View
52
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
STATUS PASIEN
I.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. R
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cipinang Melayu, Kp. Makasar.
Suku : Jawa
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 11-06-2012
I.2 ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Bintul-bintul pada leher sebelah kanan sejak ± 3 hari SMRS.
Keluhan Tambahan
Nyeri seperti terbakar, leher kaku dan demam.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan terdapat bintul-bintul berisi cairan di daerah dagu dan
leher sebelah kanan sejak ± 3 hari SMRS. Menurut pasien awalnya bintul-bintul
hanya berupa bercak kemerahan yang gatal dan kemudian menjadi bintul yang berisi
cairan. Bintul pertama kali muncul pada daerah dagu sebelah kanan yang kemudian
pecah karena tidak sengaja tergaruk, setelah itu bintul-bintul menyebar ke daerah
leher sebelah kanan dan daun telinga. Bintul terakhir muncul pada pagi hari sebelum
1
datang ke RS di daerah leher bagian belakang. Pasien mengatakan sejak muncul
bintul-bintul leher sebelah kanan menjadi kaku dan agak nyeri bila digerakkan. Lima
hari SMRS, pasien mengaku mengalami demam tinggi mendadak yang berlangsung
selama kurang lebih 3 hari. Satu minggu SMRS pasien mengaku berada dalam 1
angkutan umum dengan seorang yang sedang mengalami hal serupa seperti pasien.
Menurut pasien bintul sebesar jarum pentul dan bergerombol dengan pinggir
kemerahan, saat pecah cairan berwarna bening dan kemudian mengering menjadi
seperti keropeng.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami cacar air saat masih kecil, sembuh dengan sendirinya.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita penyakit yang sama.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Riwayat Alergi
Alergi obat- obatan dan makanan disangkal
I.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : composmentis
Tanda Vital
2
Tekanan darah : tidak dilakukan
Nadi : 88 x/menit
Suhu : tidak dilakukan
Pernapasan : 16 x/menit
Status Generalisata
Kepala :
• Rambut : tidak ada kelainan
• Mata : tidak ada kelainan
• Hidung : tidak ada kelainan
• Mulut : palatoschisis.
Leher
• KGB: tidak ada kelainan
• Kelenjar tiroid tidak ada kelainan
Thoraks : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas : tidak ada kelainan
3
Status Dermatologis
Ad regio Mandibula,
Distribusi Regional
Lesi Multiple, herpetiformis, unilateral, sebagian konfluens, sebagian
diskret, bentuk reguler, vesikel berukuran milier sampai
lentikuler, sirkumskripta, permukaan menonjol.
Efluroesensi Makula eritematosa dengan batas tidak jelas dengan vesikel
bergerombol diatasnya, krusta.
Ad regio Colli dextra
Distribusi Regional
Lesi Multiple, herpetiformis, unilateral, sebagian konfluens, sebagian
diskret, bentuk reguler, vesikel berukuran milier sampai
lentikuler, sirkumskripta, permukaan menonjol.
Efluroesensi Makula eritematosa dengan batas tidak jelas dengan vesikel
bergerombol diatasnya, krusta
4
Ad regio Auris Dextra
Distribusi Regional
Lesi Multiple, herpetiformis, unilateral, sebagian konfluens, sebagian
diskret, bentuk reguler, vesikel berukuran milier sampai
lentikuler, sirkumskripta, permukaan menonjol.
Efluroesensi Makula eritematosa dengan batas tidak jelas dengan vesikel
bergerombol diatasnya, krusta
RESUME
• Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke RSIJ Sukapura dengan keluhan bintul-bintul
berisi cairan yang dirasakan sejak 3 hari SMRS. Bintul-bintul berawal dari bercak
kemerahan yang gatal yang kemudian berubah menjadi bintul yang berisi cairan.
Bintul dirasakan nyeri seperti terbakar. Leher pasien terasa kaku dan nyeri bila
digerakkan. Riwayat demam 5 hari SMRS. Riwayat kontak dengan orang yang
memiliki gejala serupa 7 hari SMRS. Pasien pernah mengalami cacar air sebelumnya.
Pemeriksaan Fisik
• Lokasi ad mandibula dextra, colli dextra, auris dextra
Lesi ukuran miliar, herpetiformis
Efluroesensi Makula eritematosa dengan batas tidak jelas dengan vesikel
5
bergerombol diatasnya, krusta
I.4 Diagnosis kerja : Herpes Zoster
Diagnosis Banding : Herpes simpleks, impetigo bulosa
I.5 Penatalaksanaan
Medikamentosa
Acyclovir 400 mg 5 dd 2
Mefinal 500 mg 3 dd 1
Cefadroxil 500 mg 2 dd 1
Mufacort dan Bactoderm
Non-Medikamentosa
o Edukasi pasien untuk menghindari menggaruk tempat luka, lepuhan jangan
dipecahkan, kenakan pakaian yang longgar
o Edukasi pasien agar tetap bersih dan kering agar tidak terjadi infeksi sekunder.
o Periksa atau kontrol kembali jika tidak ada perbaikan.
o Istirahat cukup serta mencukupi kebutuhan nutrisi
Prognosis
o Quo ad vitam : ad bonam
o Quo ad fungsionam : ad bonam
o Quo ad sanactionam : ad bonam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HERPES ZOSTER
2.1 Pendahuluan
Pada saat ini diketahui bahwa beberapa anggota kelompok virus herpes merupakan
patogen penting bagi manusia. Salah satu ciri penting virus herpes adalah kemampuannya
untuk menimbulkan infeksi akut, kronik/persisten dan laten pada penjamunya yang pada
waktu – waktu tertentu infeksi tersebut mengalami reaktifasi.
Infeksi laten sel oleh virus merupakan infeksi yang tidak disertai pembentukan
virion. Karena dalam replikasinya, virus mempergunakan perangkat metabolisme sel,
maka ketidakmampuan sel menghasilkan virion mungkin terjadi akibat ketidakcocokan
antara kebutuhan virus dan perangkat sel tersebut atau perangkat sel tersedia tetapi tidak
berfungsi. Selain sifat infeksi yang tidak boleh litik juga keberadaan genom virus dalam
sel harus dapat bertahan dan sel yang terinfeksi tersebut harus pula mampu menghindari
kerja sistem kekebalan. Secara umum cara penghindaran sel terinfeksi laten dari sistem
kekebalan dapat terjadi karena berbagai mekanisme, diantaranya adalah:
terbatasnya ekspresi genom virus.
tempat infeksi terjadi pada sel yang sukar dicapai oleh sistem kekebalan
seperti epitel, susunan syaraf pusat dan ginjal.
Supresi ekspresi dan presentasi antigen ke sel limfosit T.
Variasi antigenik.
Induksi toleransi.
Infeksi pada sel sistem kekebalan sendiri.
Pada kasus Varisela zoster, latensi banyak ditemukan pada ganglion trigeminus dan
ganglion dorsalis. Perbedaannya dengan tempat latensi virus Herpes simplex mungkin
merupakan cermin perbedaan distribusi lesi pada infeksi primernya. Pada infeksi
Varisela, lesi infeksi primer luas dan derajat viremianya juga lebih tinggi. Virus
mencapai neuron tidak hanya melalui translokasi retrograde tetapi juga melalui
7
penyebaran hematogen. Selain itu, virus Varisela-Zoster dapat menjadi laten pada sel
satelit. Virus Varisela-zoster merupakan sinonim dari virus Human Herpes 3. Pada
infeksi awal, VVZ yang merupakan virus herpes yang limfotropik, menginfeksi sel T
CD4 dan CD8. Infeksi VVZ primer mempengaruhi sel T CD4 dan CD8 untuk mengenal
glikoprotein virus maupun protein – protein dengan fungsi regulasi. Antibodi Ig M, Ig G,
Ig A dapat dijumpai segera setelah terdeteksinya sel T spesifik terhadap VVZ.
Virus Varisela zoster, dengan pintu masuknya di mukosa orofaring, dapat menjadi
penyebab varisela, herpes zoster, pneumonia dan meningoensefalitis.
Herpes zoster adalah penyakit neurodermal ditandai dengan nyeri radikular
unilateral serta erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritematosa pada daerah kulit
yang dipersarafi oleh saraf kranialis atau spinalis. Dalam laporan kasus ini akan dibahas
mengenai herpes zoster yang terjadi karena relaps endogen atau reaktivasi virus varisela
zoster (VSV).
2.2 Definisi
Herpes zoster adalah infeksi viral kutaneus pada umumnya melibatkan kulit dengan
dermatom tunggal atau yang berdekatan. Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi
virus varisela zoster yang memasuki saraf kutaneus selama episode awal chicken pox.
Shingles adalah nama lain dari herpes zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh
setelah infeksi primernya dalam bentuk varisela melainkan dorman pada sel ganglion
dorsalis sistem saraf sensoris yang kemudian pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan
bermanifestasi sebagai herpes zoster.
8
http://www.medicinenet.com/
shingles/article.htm
2.3 Epidemiologi
Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun tanpa prevalensi musiman.
Terjadinya herpes zoster tidak tergantung pada prevalensi varisela, dan tidak ada bukti
yang meyakinkan bahwa herpes zoster dapat diperoleh oleh kontak dengan orang lain
dengan varisela atau herpes. Sebaliknya, kejadian herpes zoster ditentukan oleh faktor-
faktor yang mempengaruhi hubungan host-virus.
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Insiden terjadinya herpes
zoster 1,5 sampai 3, 0 per 1.000 orang per tahun dalam segala usia dan 7 sampai 11 per
1000 orang per tahun pada usia lebih dari 60 tahun pada penelitian di Eropa dan Amerika
Utara. Diperkirakan bahwa ada lebih dari satu juta kasus baru herpes zoster di Amerika
setiap tahun, lebih dari setengahnya terjadi pada orang dengan usia 60 tahun atau lebih.
Ada peningkatan insidens dari zoster pada anak – anak normal yang terkena chicken pox
ketika berusia kurang dari 2 tahun. Faktor resiko utama adalah disfungsi imun selular.
Pasien imunosupresif memiliki resiko 20 sampai 100 kali lebih besar dari herpes zoster
daripada individu imunokompeten pada usia yang sama. Immunosupresif kondisi yang
berhubungan dengan risiko tinggi dari herpes zoster termasuk “human immunodeficiency
virus” (HIV), transplantasi sumsum tulang, leukimia dan limfoma, penggunaan
kemoterapi pada kanker, dan penggunaan kortikosteroid. Herpes zoster adalah infeksi
oportunistik terkemuka dan awal pada orang yang terinfeksi dengan HIV, dimana
9
awalnya sering ditandai dengan defisiensi imun. Zoster mungkin merupakan tanda paling
awal dari perkembangan penyakit AIDS pada individual dengan resiko tinggi. Dengan
demikian, infeksi HIV harus dipertimbangkan pada individu yang terkena herpes zoster.
Faktor lain melaporkan meningkatnya resiko herpes zoster termasuk jenis kelamin
perempuan, trauma fisik pada dermatom yang terkena, gen interleukin 10 polimorfisme,
dan ras hitam, tapi konfirmasi diperlukan. Paparan dari anak dan kontak dengan kasus
varisela telah dilaporkan untuk memberikan perlindungan terhadap penyakit herpes
zoster. Episode kedua dari herpes zoster jarang terjadi pada orang imunokompeten, dan
serangan ketiga sangat jarang. Orang yang menderita lebih dari satu episode mungkin
immunocompromised. Pasien imunokompeten menderita beberapa episode seperti
penyakit herpes zoster yang mungkin menderita infeksi virus herpes simpleks
zosteriform (HSV) yang berulang.
Pasien dengan herpes zoster kurang menular dibandingkan pasien dengan varisela.
Virus dapat diisolasi dari vesikel dan pustula pada herpes zoster tanpa komplikasi sampai
7 hari setelah munculnya ruam, dan untuk waktu yang lebih lama pada individu
immunocompromised. Pasien dengan zoster tanpa komplikasi dermatomal muncul untuk
menyebarkan infeksi melalui kontak langsung dengan lesi mereka. Pasien dengan herpes
zoster dapat disebarluaskan, di samping itu, menularkan infeksi pada aerosol, sehingga
tindakan pencegahan udara, serta pencegahan kontak diperlukan untuk pasien tersebut.
2.4 Patogenesis
http://www.moondragon.org/health/disorders/eyesshingles.html
10
Varisela sangat menular dan biasanya menyebar melalui droplet respiratori. VVZ
bereplikasi dan menyebar ke seluruh tubuh selama kurang lebih 2 minggu sebelum
perkembangan kulit yang erupsi. Pasien infeksius sampai semua lesi dari kulit menjadi
krusta. Selama terjadi kulit yang erupsi, VVZ menyebar dan menyerang saraf secara
retrograde untuk melibatkan ganglion akar dorsalis di mana ia menjadi laten. Virus
berjalan sepanjang saraf sensorik ke area kulit yang dipersarafinya dan menimbulkan
vesikel dengan cara yang sama dengan cacar air. Zoster terjadi dari reaktivasi dan
replikasi VVZ pada ganglion akar dorsal saraf sensorik. Latensi adalah tanda utama virus
Varisela zoster dan tidak diragukan lagi peranannya dalam patogenitas. Sifat latensi ini
menandakan virus dapat bertahan seumur hidup hospes dan pada suatu saat masuk dalam
fase reaktivasi yang mampu sebagai media transmisi penularan kepada seseorang yang
rentan. Reaktivasi mungkin karena stres, sakit immunosupresi, atau mungkin terjadi
secara spontan. Virus kemudian menyebar ke saraf sensorik menyebabkan gejala
prodormal dan erupsi kutaneus dengan karakteristik yang dermatomal. Infeksi primer
VVZ memicu imunitas humoral dan seluler, namun dalam mempertahankan latensi,
imunitas seluler lebih penting pada herpes zoster. Keadaan ini terbukti dengan insidensi
herpes zoster meningkat pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun, dibandingkan
dengan orang normal.
11
http://www.herpes.com/herpes-zoster.html
http://www.pyroenergen.com/
articles08/herpes-zoster-shingles.htm
Penyebab reaktivasi tidak diketahui pasti tetapi biasanya muncul pada keadaan
imunosupresi. Insidensi herpes zoster berhubungan dengan menurunnya imunitas
terhadap VZV spesifik.
Pada masa reaktivasi virus bereplikasi kemudian merusak dan terjadi peradangan
ganglion sensoris. Virus menyebar ke sumsum tulang belakang dan batang otak, dari
saraf sensoris menuju kulit dan menimbulkan erupsi kulit vesikuler yang khas. Pada
daerah dengan lesi terbanyak mengalami keadaan laten dan merupakan daerah terbesar
kemungkinannya mengalami herpes zoster.
Selama proses varisela berlangsung, VZV lewat dari lesi pada kulit dan permukaan
mukosa ke ujung saraf sensorik menular dan dikirim secara sentripetal, naik ke serabut
sensoris ke ganglia sensoris. Di ganglion, virus membentuk infeksi laten yang menetap
selama kehidupan. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom dimana ruam dari
varisela mencapai densitas tertinggi yang diinervasi oleh bagian (oftalmik) pertama dari
saraf trigeminal ganglion sensoris dan tulang belakang dari T1 sampai L2.
Depresi imunitas selular akibat usia lanjut, penyakit, atau obat-obatan
mempermudah reaktivasi. Herpes zoster pada anak kecil sehat mungkin berhubungan
dengan perkembangan imunitas selular yang kurang efisien pada saat terjadi infeksi VZV
primer baik in utero maupun pascalahir.
12
http://en.wikipedia.org/wiki/
Herpes_zoster#Pathophysiology
Gambaran perkembangan rash pada herpes zoster diawali dengan:
( seperti terlihat pada gambar di atas )
1. Munculnya lenting-lenting kecil yang berkelompok.
2. Lenting-lenting tersebut berubah menjadi bula-bula.
3. Bula-bula terisi dengan cairan limfe, bisa pecah.
4. Terbentuknya krusta (akibat bula-bula yang pecah).
5. Lesi menghilang.
(sekelompok vesikel – vesikel dalam bentuk bervariasi)
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles72.html
13
(vesikel berumbilikasi dan membentuk krusta)
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles91.html
(sekelompok vesikel – vesikel berkonfluens pada kasus inflamasi berat)
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles90.html
(vesikel pecah menjadi krusta dan mungkin dapat menjadi “scar” jika inflamasi
berat)
http://hardinmd.lib.uiowa.edu/dermnet/shingles95.html
14
2.5 Gejala Klinis
Varisela biasanya dimulai dengan demam prodromal virus, nyeri otot, dan kelelahan
selama 1 sampai 2 hari sebelum erupsi kulit. Inisial lesi kutaneus sangat gatal, makula
dan papula eritematosa pruritus yang dimulai pada wajah dan menyebar ke bawah.
Papula ini kemudian berkembang cepat menjadi vesikel kecil yang dikelilingi oleh halo
eritematosa, yang dikenal sebagai “tetesan embun pada kelopak mawar” ( “dew drop on
rose petal” ). Setelah vesikel matang, pecah membentuk krusta. Lesi pada beberapa
tahapan evolusi merupakan karakteristik dari varisela.
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang sangat dan
pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik erupsi kulit dari
vesikel berkelompok pada dasar yang eritematosa.
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan intermiten atau
terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir, beberapa dermatom atau
difus. Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten kurang dari
usia 30 tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri
prodormal : lamanya kira –kira 2 – 3 hari, namun dapat lebih lama.
Gejala lain dapat berupa rasa terbakar dangkal, malaise, demam, nyeri kepala, dan
limfadenopati, gatal, tingling. Lebih dari 80% pasien biasanya diawali dengan
prodormal, gejala tersebut umumnya berlangsung beberapa hari sampai 3 minggu
sebelum muncul lesi kulit.
Nyeri preeruptif dari herpes zoster (preherpetic neuralgia) dapat menstimulasi
migrain, nyeri pleura, infark miokardial, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik renal dan
bilier, apendisitis, prolaps diskus intervertebral, atau glaucoma dini, dan mungkin
mengacu pada intervensi misdiagnosis yang serius.
Lesi kulit yang paling sering dijumpai adalah vesikel dengan eritema di sekitarnya
herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral. Erupsi diawali dengan
plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian makulopapuler muncul secara
dermatomal.
Lesi baru timbul selama 3-5 hari. Bentuk vesikel dalam waktu 12 sampai 24 jam dan
berubah menjadi pustule pada hari ketiga. Pecahnya vesikel serta pemisahan terjadi
15
dalam 2 – 4 minggu. Krusta yang mongering pada 7 sampai 10 hari. Pada umumnya
krusta bertahan dari 2 sampai 3 minggu. Pada orang yang normal, lesi – lesi baru
bermunculan pada 1 sampai 4 hari ( biasanya sampai selama 7 hari). Rash lebih berat
dan bertahan lama pada orang yang lebih tua., dan lebih ringan dan berdurasi pendek
pada anak – anak.
Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom dorsolumbal merupakan lokasi
yang paling sering terlibat (50%), diikuti oleh trigeminal oftalmika, kemudian servikal
dan sakral. Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.
Keterlibatan saraf kranial ke 5 berhubungan dengan kornea. Pasien seperti ini harus
dievaluasi oleh oftalmologi. Varian lain adalah herpes zoster yang melibatkan telinga
atau mangkuk konkhal – sindrom Ramsay-Hunt. Sindrom ini harus dipertimbangkan
pada pasien dengan kelumpuhan nervus fasialis, hilangnya rasa pengecapan, dan mulut
kering dan sebagai tambahan lesi zosteriform di telinga. Secara klasik, erupsi terlokalisir
ke dermatom tunggal, namun keterlibatan dermatom yang berdekatan dapat terjadi,
seperti lesi meluas dalam kasus zoster-diseminata. Zoster bilateral jarang terjadi, dan
harus meningkatkan kecurigaan pada imunodefisiensi seperti HIV / AIDS.
Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-5 Hari ke-6
Perkembangan rash pada herpes zoster
http://en.wikipedia.org/wiki/Herpes_zoster#Pathophysiology
2.6 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis klinis dibuat dalam kebanyakan kasus. Konfirmasi laboratorium biasanya
tidak perlu. Metode laboratorium untuk identifikasi adalah sama seperti orang-orang
untuk herpes simpleks. Tzanck smear, biopsi kulit, titer antibodi, cairan vesikuler
antibodi immunofluorescent (direct fluorescent antibody), mikroskop elektron, dan
kultur dari cairan vesikel dari beberapa studi patut dipertimbangkan.
16
Tes awal pilihan adalah apusan sitologi (Tzanck smear). Tes tersebut tidak
membedakan herpes simpleks dan varicella.
Dasar dari lesi pertama kali dikerok dan diwarnai dengan hematoxylin-eosin,
Giemsa, Wright’s, toluidine biru, atau tinta papanicolaou. Sel raksasa multinuklear dan
sel epitel yang mengandung inklusi intranuklear asidofilik dapat terlihat.
Direct fluorescent antibody : dilakukan untuk HSV-1. DFA adalah tes cepat (rapid
test) untuk membedakan VHS-1, VHS-2, dan VVZ.
Kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi tidak sensitif. VVZ sulit untuk dikultur
dan tumbuh dengan lambat, minimal 1 minggu.
Herpes zoster terlihat kira –kira 7 kali lebih sering pada pasien HIV. Tes HIV
dilakukan jika ada indikasi yang jelas.
2.7 Diagnosa
Diagnosa herpes zoster berdasarkan klinis.
Ditambahkan dengan berbagai prosedur diagnostik.
Apusan sitologik dari vesikel berupa sel raksasa multinuklear dan degenerasi
balon dan / degenerasi retikular.
Sel raksasa terdiri dari 8 -10 nukleus, dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi.
Biopsi kulit berupa lesi intraepidermal pada pertengahan sampai epidermis bagian
atas, degenerasi balon dan / degenerasi reticular dari sel, sel akantolisis, sel virus
raksasa multinuklear, intranuklear inklusi mungkin diidentifikasikan sebagai sel
raksasa.
Virus dapat dikultur dari cairan vesikel.
Direct immunofluorescence menggunakan antibodi monoklonal.
Identifikasi virus dengan mikroskop elektron.
2.8 Diagnosa Banding
Herpes simpleks: hanya dapat dibedakan dengan mencari virus herpes
simpleks dalam embrio ayam, kelinci, tikus.
17
Varisela: biasanya lesi menyebar sentrifugal, selalu disertai demam.
Impetigo vesikobulosa: lebih sering pada anak-anak, dengan gambaran vesikel
dan bula yang cepat pecah dan menjadi krusta
Pemphigus dan bulosa lainnya yang melepuh tapi tidak ada distribusi
dermatomal klasik.
Molluscum contagiosum dengan papul putih atau kuning dengan umbilikasi
sentral yang disebabkan oleh pox virus. Lesinya lebih lunak dan tidak ada
dasar eritem seperti zoster.
Scabies dapat muncul dengan rash pustul yang tidak tebatas pada dermatom
dan mengikuti jaringan laba – laba.
Gigitan serangga (Insect bite).
2.9 Komplikasi
Sepsis kulit sekunder, biasanya akibat Streptococcus pyogenes atau
Staphylococcus aureus.
Okular: pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi komplikasi diantaranya
ptosis paralitik, skleritis, korioretinitis, neuritis optik, konjungtivitis, keratitis,
uveitis, nekrosis retina, parut kelopak mata. Herpes zoster oftalmikus (HZO)
dapat muncul di kemudian hari dan menyebabkan komplikasi okular dan nyeri
neuralgik.
Diseminasi kutan pada pasien immunocompromised.
Pasien transplantasi dan limfoma memiliki resiko tertinggi (hingga 40%).
Diseminasi visceral terjadi pada 5-10% pasien.
Zoster paralitik :
o akibat keterlibatan saraf motorik seperti sindrom Ramsay Hunt (erupsi nyeri
pada dan sekitar telinga, palsi saraf ipsilateral VII dengan atau tanpa gangguan
vestibular), oftalmoplegia eksternal, gangguan kandung kemih, dan kelemahan
otot ekstremitas.
Komplikasi SSP :
o pleiositosis limfositik CSS asimtomatik dengan protein meningkat ringan serta
kadar glukosa normal sering terjadi. Meningoensefalitis, mielitis, dan
hemiplegia kontralateral akibat angitis granulomatosa jarang terjadi.
18
Neuralgia pascaherpes :
o komplikasi paling sering, keadaan yang dirasakan paling menganggu pada
herpes zoster dirasakan sebagai nyeri dermatomal yang menetap setelah
penyembuhan walau lesi sudah hilang. Insidensi keseluruhan adalah 9-15%, 10
– 15 % >40 tahun, mencapai 50% pada usia > 60 tahun. nyeri biasanya
menghilang dalam 3 -6 bulan namun pada beberapa pasien nyeri hebat ini bisa
menetap selama 6 bulan. Neuralgia ini bervariasi dalam hal keparahan, tipe,
dan kualitasnya.
Zoster sakralis :
o keterlibatan segmen – segmen sakral bisa menyebabkan retensi urin akut di
mana hal ini bisa dihubungkan dengan adanya ruam kulit.
Zoster trigeminalis :
o herpes zoster bisa menyerang setiap bagian dari saraf trigeminus, tetapi paling
sering terkena adalah bagian oftalmika. Gangguan mata seperti konjungitvitis,
keratitis, dan/atau iridosiklitis bisa terjadi bila cabang nasosiliaris dari bagian
oftalmika terkena (ditunjukkan oleh adanya vesikel –vesikel di sisi hidung),
dan pasien dengan zoster oftalmika hendaknya diperiksa oleh oftalmolog.
o herpes keratokonjungtivitis : termasuk HZO, dalam waktu 3 minggu selama
rash, terdapat ulkus kornea, keratitis punctata.
http://www.thachers.org/dermatology.htm
19
http://www.entusa.com/oral_pictures_htm/
shingles_herpes_zoster.htm
Infeksi pada bagian maksila dari saraf trigeminus menimbulkan vesikel –
vesikel unilateral pada pipi dan pada palatum.
Zoster motoris :
o Kadang-kadang selain lesi kulit pada dermatom sensoris, serabut saraf motoris
bisa juga terserang, yang menyebabkan terjadinya kelemahan otot.
Infeksi juga dapat menjalar ke alat dalam, misalnya paru, hepar dan otak.
Banyak reaksi kutaneus yang berkembang selama masa penyembuhan lesi
Herpes zoster. Granuloma annulare (GA) dilaporkan pada beberapa kasus
bekas luka (“scars”) Herpes zoster.
Telah dilaporkan bahwa pruritus paska herpes (PPH) dapat muncul di bagian
yang telah sembuh dari herpes zoster dengan sakit atau tanpa rasa sakit, dan
dihubungkan dengan kehilangan saraf sensorik.
2.10 Penatalaksanaan
PENGOBATAN
Tujuan dari pengobatan adalah menekan inflamasi, nyeri dan infeksi. Pengobatan
zoster akut mempercepat penyembuhan, mengkontrol sakit, dan mengurangi resiko
komplikasi. Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir. Obat yang lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang mempunyai
waktu paruh eliminasi yang lebih lama sehingga cukup diberikan 3x250 mg sehari.
Obat – obat tersebut diberikan dalam 3 hari pertama sejak lesi muncul. Untuk zoster
yang menyebar luas yang timbul pada orang – orang yang mengalami imunosupresi,
asiklovir intravena mungkin dapat menyelamatkan jiwa.
Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7
hari, paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen yang dianjurkan.
20
http://www.herpestreatmentcure.org/herpes-treatment-acyclovir/
Indikasi pemberian asiklovir pada herpes zoster :
1. Pasien berumur ≥ 60 tahun dengan lesi muncul dalam 72 jam.
2. Pasien berumur ≤ 60 tahun dengan lesi luas, akut dan dalam 72 jam.
3. Pasien dengan lesi oftalmikus, segala umur, lesi aktif menyerang leher, alat
gerak, dan perineum (lumbal – sakral).
Valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih
tinggi. Jika lesi baru masih tetap timbul obat – obat tersebut masih dapat diteruskan dan
dihentikan sesudah 2 hari sejak lesi baru tidak timbul lagi. Valasiklovir terbukti lebih
efektif dibandingkan asiklovir sedangkan famsiklovir sama dengan asiklovir.
Pengobatan lain yang juga dipakai antara lain kortikosteroid jangka pendek dan
diberikan pada masa akut, pemberian steroid ini harus dengan pertimbangan ketat.
Indikasi pemberian kortikosteroid ialah sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini –
dininya untuk mencegah terjadinya paralisis. Diberikan prednison dengan dosis 3 x 20
mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan bertahap. Dengan dosis prednison setinggi
itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obat anti viral. Dikatakan
kegunaanya mencegah fibrosis ganglion.
Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah
pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres
terbuka. Kalo terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik.
Anestesi lokal misalnya krim lidokain 5% memberikan perbaikan dibandingkan
kontrol.
21
Antiinflamasi non-steroid juga dikatakan menolong, namun hasilnya tidak dapat
disimpulkan.
Untuk neuralgia pasca herpes, pemberian awal terapi anti virus telah diberikan untuk
mengurangi insidens.
Menurut FDA, obat pertama yang dapat diterima untuk nyeri neuropatik pada
neuropati perifer diabetik dan neuralgia paska herpetic ialah pregabalin. Obat tersebut
lebih baik daripada obat gaba yang analog yaitu gabapentin, karena efek sampingnya
lebih sedikit, lebih poten (2 – 4 kali), kerjanya lebih cepat, serta pengaturan dosisnya
lebih sederhana. Dosis awal 2 x 75 mg sehari, setelah 3 – 7 hari bila responnya kurang
dapat dinaikkan menjadi 2 x 150 mg sehari. Dosis maksimum 600 g sehari. Efek
sampingnya berupa dizziness, dan somnolen yang akan menghilang sendiri, jadi obat
tidak perlu dihentikan.
Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim capsaicin dapat
digunakan untuk neuralgia paska herpes. Solutio Burrow dapat digunakan untuk kompres
basah. Kompres diletakkan selama 20 menit beberapa kali sehari, untuk maserasi dari
vesikel, membersihkan serum dan krusta, dan menekan pertumbuhan bakteri. Solutio
Povidone- iodine sangat membantu membersihkan krusta dan serum yang muncul pada
erupsi berat dari orang tua. Acyclovir topikal ointment diberikan 4 kali sehari selama 10
hari untuk pasien imunokompromised yang memerlukan waktu penyembuhan jangka
pendek.
Pada kasus berat dapat diberikan Gabapentin oral (300 – 600 mg per oral TID
selama 7 hari). Tidak lebih dari 150 mg/d. Penderita AIDS dengan CD4+ <100 sel/mm
dan transplantasi resipien, khususnya sumsung tulang mungkin mengalami infeksi VVZ
dengan resistan acyclovir. Perlu diawali pengobatan dengan foscarnet 40 mg/kg IV setiap
8 jam selama 7 – 10 hari pada pasien dengan suspek infeksi VVZ dengan resisten
acyclovir. Pengobatan foscarnet diperlukan setidaknya sampai 10 hari atau sampai lesi
sembuh.
Anti depresi antisiklik ( misalnya nortriptilin dan aminotriptilin): amitriptilin 30 –
100 mg per oral QHS. Pengobatan dengan amiptriptilin dan obat sejenisnya, blok saraf,
dan / opioid nantinya setelah perkembangan nyeri akut dapat mencegah sensitisasi SSP
22
yang menyebabkan nyeri persisten. Efek sampingnya ialah gangguan jantung, sedasi, dan
hipotensi. Dosis nortriptilin 50 – 150 mg/hari.
Rejimen terapi untuk Varisela-zoster :
ACYCLOVIR FAMCICLOVIR VALACYCLOVIR
Zoster 5 x 800 mg setiap
hari selama 7 – 10
hari
500 mg TID selama 7
hari
1 g TID selama 7 hari
“Disseminated
zoster” (dosis anak)
20 mg/kg IV setiap 8
jam selama 7 hari
- -
“Disseminated
zoster”(dosis
dewasa)
10 mg/kg IV setiap
8 jam selama 7 hari
- -
PENCEGAHAN
Vaksin Zostavax℗ : strain hidup yang dilemahkan dari VVZ. Berhubungan dengan
Varivax℗, tetapi diperkirakan 14 kali lebih terkonsentrasi. Telah disetujui oleh FDA
untuk pasien > 60 tahun tanpa riwayat penyakit herpes zoster sebelumnya. Zostavax
telah diketahui untuk mengurangi penyakit herpes zoster dan neuralgia paska herpes.
http://www.medscape.com/viewarticle/735609
23
2.11 Prognosa
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada tindakan
perawatan secara dini.
24
BAB III
KESIMPULAN
Herpes zoster merupakan hasil dari reaktivasi virus varisela zoster yang memasuki
saraf kutaneus selama episode awal chicken pox. Shingles adalah nama lain dari herpes
zoster. Virus ini tidak hilang tuntas dari tubuh setelah infeksi primernya dalam bentuk
varisela melainkan dorman pada sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris yang kemudian
pada saat tertentu mengalami reaktivasi dan bermanifestasi sebagai herpes zoster.
Manifestasi dari herpes zoster biasanya ditandai dengan rasa sakit yang sangat dan
pruritus selama beberapa hari sebelum mengembangkan karakteristik erupsi kulit dari vesikel
berkelompok pada dasar yang eritematosa.
Gejala prodormal biasanya nyeri, disestesia, parestesia, nyeri tekan intermiten atau
terus menerus, nyeri dapat dangkal atau dalam terlokalisir, beberapa dermatom atau difus.
Nyeri prodormal tidak lazim terjadi pada penderita imunokompeten kurang dari usia 30
tahun, tetapi muncul pada penderita mayoritas diatas usia 60 tahun. Nyeri prodormal :
lamanya kira –kira 2 – 3 hari, namun dapat lebih lama.
Salah satu faktor risiko yang kuat adalah usia lebih tua. Lesi kulit yang paling sering
dijumpai adalah vesikel dengan eritema di sekitarnya herpetiformis berkelompok dengan
distribusi segmental unilateral. Dermatom yang terlibat : biasanya tunggal dermatom
dorsolumbal merupakan lokasi yang paling sering terlibat, diikuti oleh trigeminal oftalmika,
kemudian servikal dan sakral. Ekstremitas merupakan lokasi yang paling jarang terkena.
Pemeriksaan laboratorium antara lain : tzanck smear, direct fluorescent antibody
dilakukan untuk HSV-1, kultur virus : tes yang sangat spesifik, tetapi tidak sensitif. Diagnosa
banding dari herpes zoster antara lain herpes simpleks karena herpes zoster dapat muncul di
daerah genital, selulitis, erisipelas, eritema gangrenosum terutama bentuk atipikal, infeksi
jamur diseminata, infeksi mikobakterium diseminata.
Komplikasi yang paling sering adalah neuralgia paska herpes. Neuralgia pascaherpes
merupakan keadaan yang dirasakan paling menganggu pada herpes zoster dirasakan sebagai
nyeri dermatomal yang menetap setelah penyembuhan walau lesi sudah hilang.
25
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir.
Obat yang lebih baru ialah famsiklovir dan pensiklovir yang mempunyai waktu paruh
eliminasi yang lebih lama sehingga cukup diberikan 3x250 mg sehari.
Dosis asiklovir yang dianjurkan ialah 5 x 800 mg sehari dan biasanya diberikan 7
hari,paling lambat dimulai 72 jam setelah lesi muncul berupa rejimen yang dianjurkan.
Valasiklovir cukup 3 x 1000 mg sehari karena konsentrasi dalam plasma lebih tinggi.
Valasiklovir terbukti lebih efektif dibandingkan asiklovir sedangkan famsiklovir sama
dengan asiklovir. Pengobatan lain yang juga dipakai antara lain kortikosteroid jangka pendek
dan diberikan pada masa akut. Indikasi pemberian kortikosteroid ialah sindrom Ramsay
Hunt. Diberikan prednison dosis 3 x 20 mg sehari, setelah seminggu dosis diturunkan
bertahap. Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk
mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder.
Menurut FDA, obat pertama yang dapat diterima untuk nyeri neuropatik pada
neuropati perifer diabetik dan neuralgia paska herpetic ialah pregabalin. Obat tersebut lebih
baik daripada obat gaba yang analog yaitu gabapentin, karena efek sampingnya lebih sedikit,
lebih poten (2 – 4 kali), kerjanya lebih cepat, serta pengaturan dosisnya lebih
sederhana.Terapi topikal seperti krim EMLA, lidokain patches, dan krim capsaicin dapat
digunakan untuk neuralgia paska herpes. Vaksin Zostavax℗ merupakan strain hidup yang
dilemahkan dari VVZ. Telah disetujui oleh FDA untuk pasien > 60 tahun tanpa riwayat
penyakit herpes zoster sebelumnya. Zostavax telah diktahui untuk mengurangi penyakit
herpes zoster dan neuralgia paska herpes.
Prognosis umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada
tindakan perawatan secara dini.
26
Recommended