View
263
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014
LAPORAN AKHIR
KAJIAN PENGAWASAN BARANG YANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, sehingga laporan Kajian Pengawasan Barang yang
Beredar di Daerah Perbatasan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang
sudah ditentukan. Perlindungan konsumen merupakan syarat pendukung dalam
mewujudkan perekonomian yang sehat melalui keseimbangan antara
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Dalam upaya
melindungi konsumen, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri
Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata
cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Upaya meningkatkan pengawasan
terhadap barang beredar pada dasarnya harus dilaksanakan di seluruh wilayah
Republik Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan. Kajian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan pengawasan barang dan sekaligus menganalisis kinerja
pengawasan khususnya di daerah perbatasan.
Dalam rangka mendukung peningkatan pengawasan barang beredar
khususnya di perbatasan, hasil kajian ini merekomendasikan perlu disusun
Standar Pelayanan Minimum (SPM), mengusulkan dana alokasi khusus (DAK)
dan dana dekonsentrasi, kerjasama dengan pihak kepabeanan, karantina, dan
keamanan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU), dan memajukan peran
Kementerian Perdagangan dalam menyediakan bahan kebutuhan pokok yang
lebih baik dan terjamin bagi masyarakat daerah perbatasan.
Disadari bahwa hasil Kajian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan
penyempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu penyelesaian laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat.
Jakarta, September 2014
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan ii
ABSTRAK
Perlindungan konsumen adalah salah satu syarat pendukung dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Dalam upaya melindungi konsumen, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan, telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Upaya meningkatkan pengawasan terhadap barang beredar sebagai upaya mewujudkan perlindungan konsumen yang optimal pada dasarnya harus dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia termasuk di wilayah perbatasan. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan pengawasan barang dan sekaligus menganalisis kinerja pengawasan khususnya di daerah perbatasan. Dengan menggunakan Kerangka Input-Proses-Output, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengawasan barang beredar di daerah perbatasan belum dilaksanakan secara optimal dan kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan belum berjalan dengan baik yang disebabkan Sumber daya manusia (SDM) pengawasan yang dimiliki daerah perbatasan masih terbatas atau hanya sebanyak 50% dari kebutuhan, proporsi anggaran untuk pengawasan masih relatif kecil yaitu rata-rata sebesar 9% dari total anggaran Dinas, dan minimnya sarana transportasi untuk mendukung pelaksanaan pengawasan.
Kata kunci: Pengawasan Barang Beredar, Permendag Nomor 20/M-
DAG/PER/5/2009, Kerangka Input-Proses-Output.
ABSTRACT
Consumer protection is a designated instrument to support the development of efficient and equitable economies that ensure the rights of consumers as well as entrepreneurs. In this regard, the Ministry of Trade has issued Minister Regulation of Trade Number 20/M-DAG/PER/5/2009 concerning Provisions and Procedure of Goods and/or Service Control. The implementation of that regulation is mandatory in Indonesian territory, including in the border area with neighboring countries. This research is aimed to describe the procedure of goods control as well as analyze its performance in border area. By performing the Input – Output Framework, the research result shows that the procedure of goods control in border area is not optimally implemented with poor performance. The main factors are the lack of human resources which only fulfill the half of the necessity, the small proportion of provincial budget off which only 9% is allocated for goods control purpose, and poor supporting facilities and infrastructures.
Kata kunci: Surveillance on circulated goods, Pengawasan Barang Beredar,
Minister Regulation of Trade Number 20/M-DAG/PER/5/2009, Input-Process-Output Framework.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 3 1.3. Tujuan ......................................................................................... 3 1.4. Keluaran ...................................................................................... 4 1.5. Dampak ....................................................................................... 4 1.6. Ruang Lingkup ............................................................................ 4 1.7. Sistematika Laporan .................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR ......................... 7 2.1. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 7 2.2. Kerangka Berpikir ...................................................................... 13
BAB III. METODE PENGKAJIAN .................................................................... 17 3.1. Metode Analisis ......................................................................... 17 3.2. Responden Kajian ..................................................................... 22 3.3. Lokasi Kajian ............................................................................. 22 3.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ............................ 23
BAB IV. PROFIL PERDAGANGAN BARANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN ................................................................................... 24 4.1. Profil Perdagangan di Daerah Perbatasan ................................ 24 4.2. Profil Perdagangan Kabupaten Nunukan ................................... 26
4.2.1. Gambaran Perdagangan Kabupaten Nunukan ............. 29 4.2.2. Gambaran Barang Beredar di Kabupaten Nunukan ...... 31 4.2.3. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar .................. 34
4.3. Profil Perdagangan Kabupaten Malinau .................................... 39 4.3.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Malinau............ 40 4.3.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar .................. 45
4.4. Profil Perdagangan Kabupaten Sanggau ................................... 47 4.4.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Sanggau .......... 47 4.4.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar .................. 53
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iv
4.5. Profil Perdagangan Kabupaten Bengkayang ............................. 55 4.5.1. Gambaran perdagangan di Kabupaten Bengkayang ..... 56 4.5.2. Pelaksanaan pengawasan barang yang beredar .......... 63
BAB V. PELAKSANAAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN ................................................................... 65 5.1. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar di Daerah
Perbatasan ................................................................................ 65 5.1.1. Kabupaten Nunukan ..................................................... 67 5.1.2. Kabupaten Malinau ....................................................... 69 5.1.3. Kabupaten Sanggau ..................................................... 69 5.1.4. Kabupaten Bengkayang ................................................ 71 5.1.4. Provinsi Kalimantan Timur ............................................ 71
5.2. Kinerja Pengawasan Barang Beredar ........................................ 73 5.2.1. Proporsi Barang Sesuai Parameter ............................... 73 5.2.2. Sumberdaya Pengawasan Barang Beredar .................. 75 5.2.3. Hasil Analisis ANOVA ................................................... 78
BAB VI. UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR DI DAERAH PERBATASAN .............................................................. 83 6.1. Permasalahan Dalam Pengawasan Barang Beredar Di
Daerah Perbatasan ................................................................... 83 6.1.1. Permasalahan Pelaksanaan ............................................ 89 6.1.2. Permasalahan Kinerja ..................................................... 91
6.2. Upaya Peningkatan Pengawasan .............................................. 91
BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................ 97 7.1. Kesimpulan................................................................................ 97 7.2. Rekomendasi Kebijakan ............................................................ 98
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Sumber informasi, jenis data, metode pengumpulan, dan alat analisis .......................................................................................... 21 Tabel 3.2. Responden/narasumber dan jumlah sampel ................................. 22 Tabel 4.1. Gambaran umum di daerah kajian ................................................ 25 Tabel 4.2. Populasi dan Ibukota Kabupaten di Kalimantan Utara ................... 27 Tabel 4.3. Profil Ringkas Kabupaten Nunukan Tahun 2013 ........................... 28 Tabel 4.4. Neraca Perdagangan Kabupaten Nunukan,Tahun 2010-2012 ...... 30 Tabel 4.5. Rekapitulasi Perdagangan Lintas Batas Kabupaten Nunukan
Tahun 2012 dan 2014 ................................................................... 31 Tabel 4.6. Barang Beredar dan Sumbernya (Bahan Pokok) ........................... 32 Tabel 4.7. Barang Beredar dan Sumbernya (Barang SNI) ............................. 33 Tabel 4.8. Perhitungan Kebutuhan Hari Pengawasan Minimal ....................... 50 Tabel 4.9. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Malinau) ....................................................................................... 39 Tabel 4.10. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Sanggau) ..................................................................................... 50 Tabel 4.11. Bahan bangunan dan elektronik yang beredar berdasarkan sumbernya ................................................................................... 52 Tabel 4.12. Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di Bengkayang dan Sumbernya ........................................................................... 58 Tabel 4.13. Bahan Bangunan yang Beredar di Kabupaten Bengkayang
dan Sumbernya ........................................................................... 60 Tabel 4.14. Barang Elektronik dan Alat Listrik yang Beredar di Kabupaten Bengkayang dan Sumbernya ........................................................ 62 Tabel 5.1. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar ................... 65 Tabel 5.2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan barang di daerah survey ........................................................................................... 66 Tabel 5.3. Gambaran Rasio proporsi barang sesuai parameter di daerah perbatasan ..................................................................................... 74 Tabel 5.4. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar .................... 76 Tabel 5.5. Gambaran SDM dan Anggaran Pengawasan Barang Di Daerah Survey ............................................................................................ 77 Tabel 5.6. Rekap Hasil Pengujian Beda Rata-Rata Anova .............................. 80 Tabel 5.7. Kesimpulan .................................................................................... 81
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1. Mekanisme pengawasan barang beredar dan jasa ..................... 15 Gambar 2. 2. Kerangka berpikir pelaksanaan kajian ......................................... 16 Gambar 3. 1. Pendekatan pelaksanaan kajian .................................................. 19 Gambar 4. 1. Peta Kalimantan Utara ................................................................ 26 Gambar 4. 2. Struktur perekonomian Kabupaten Nunukan Tahun 2013 ........... 29 Gambar 4. 3. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang ..................... 31 Gambar 4. 4. Nilai Barang Beredar (Bahan Pokok)........................................... 32 Gambar 4. 5. Nilai Barang Beredar (Barang SNI) ............................................. 33 Gambar 4. 6. Struktur Organisasi Disperindagkop UMKM Kab. Nunukan ......... 34 Gambar 4. 7. Alur Perdagangan Lintas Batas di Kecamatan Kayan Hulu ......... 41 Gambar 4. 8. Alur Perdagangan Barang Dari Perbatasan Ke Kabupaten Malinau ....................................................................................... 42 Gambar 4. 9. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang ..................... 44 Gambar 4.10. Nilai Bahan Pokok Yang Beredar ................................................ 45 Gambar 4.11. Peta Kabupaten Sanggau ........................................................... 47 Gambar 4.12. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang ..................... 49 Gambar 4.13. Nilai Bahan Pokok yang Beredar ................................................. 51 Gambar 4.14. Nilai Barang Elektronik yang Beredar .......................................... 53 Gambar 4.15. Proporsi Asal Barang yang Beredar ............................................ 57 Gambar 4.16. Nilai Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total........................................... 59 Gambar 4.17. Nilai Bahan Bangunan dan Elektronik yang Beredar di Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total ........................ 61 Gambar 6.1. Urutan Barang Beredar Menurut Margin Penjualan di Nunukan dan Malinau ................................................................. 84 Gambar 6. 2. Cara Merembesnya Barang Negara Tetangga ke Wilayah Indonesia .................................................................................... 85 Gambar 6. 3. Jenis Barang Beredar di Perbatasan ........................................... 86 Gambar 6. 4. Cara Merembesnya Barang Negara Tetangga ke Wilayah Indonesia .................................................................................... 85 Gambar 6. 5. Area Pemerikasaan Barang Pelabuhan Tunon Taka Nunukan.... 85 Gambar 6. 6. Rangkaian Upaya Mendorong Peningkatan Pengawasan ........... 93
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perlindungan konsumen merupakan salah satu syarat pendukung
dalam mewujudkan perekonomian yang sehat melalui keseimbangan antara
perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha. Idealnya,
perlindungan konsumen yang diberikan kepada masyarakat haruslah bersifat
preventif, yaitu perlindungan sebelum konsumen mengalami kerugian akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang beredar di pasar baik dari yang
berasal dari dalam negeri maupun yang diimpor dari luar negeri. Dalam
upaya melindungi konsumen, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan,
telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang
dan/atau Jasa. Upaya meningkatkan pengawasan terhadap barang beredar
sebagai upaya mewujudkan perlindungan konsumen yang optimal seperti
tersebut diatas, pada dasarnya harus dilaksanakan di seluruh wilayah
Republik Indonesia, termasuk di wilayah perbatasan.
Pengamatan terhadap permasalahan perdagangan di perbatasan1,
secara umum menunjukkan pentingnya peningkatan pemenuhan kebutuhan
bagi masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan dan indikasi perlunya
peningkatan pengawasan terhadap barang beredar di daerah perbatasan.
Berdasarkan laporan hasil pelaksanaan pengawasan daerah perbatasan di
Kabupaten Nunukan ditemukan produk-produk yang tidak memiliki SNI
seperti pupuk, garam, tepung terigu, dan ban sepeda motor, padahal produk-
produk tersebut sudah diberlakukan SNI wajib. Selain menemukan produk
yang tidak memenuhi SNI, juga ditemukan produk-produk yang tidak layak
1 Hasil kajian Pusat Kajian Perdagangan Luar Negeri (2012), dan Hasil paparan
Asisten Teritorial Kodam VII dan XII (2013).
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2
untuk dijual karena kemasannya rusak, kadaluarsa, dan barang elektronik
yang tidak memiliki kartu garansi dan panduan manual dalam bahasa
Indonesia (Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa Kementerian
Perdagangan, 2012). Pelanggaran lain yang terjadi di wilayah perbatasan
khususnya antara Indonesia dan Malaysia yaitu banyak ditemukannya tabung
elpiji yang digunakan di daerah perbatasan tidak sesuai dengan SNI karena
tabung elpiji tersebut berasal dari Malaysia (www.kompas.com, 2013). Selain
itu pada tahun 2013 terdapat 26 kasus pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen pada komoditi gula yang beredar di
daerah perbatasan tidak memenuhi unsur keselamatan, keamanan,
kesehatan dan lingkungan (www.pontianak.tribunnews.com, 2013). Dengan
demikian upaya pengawasan barang beredar di daerah perbatasan
seharusnya dilakukan lebih ketat karena daerah perbatasan relatif lebih
terbuka terhadap lalu lintas barang dari negara tetangga, sehingga potensi
untuk menerima barang yang berkualitas buruk (tidak memenuhi standar),
merugikan konsumen (karena ketiadaan purna jual, ketidaktepatan
pengukuran), atau berbahaya menjadi lebih besar.
Permasalahan dalam pelaksanaan pengawasan barang beredar di
daerah perbatasan cukup kompleks antara lain: keterbatasan jumlah SDM
pengawas (PPBJ dan PPNS-PK), ketersediaan anggaran, dan kecukupan
sarana pengujian barang serta lemahnya koordinasi dari instansi/lembaga
terkait. Dalam kerangka daerah perbatasan, permasalahan ini diperluas
dengan masalah hambatan geografis, kedekatan dengan sumber barang dari
negara tetangga (kemungkinan penduduk perbatasan berbelanja ke negara
tetangga) yang mudah diakses oleh masyarakat baik dari sisi harga yang
lebih murah maupun dari sisi kualitas yang relatif lebih baik, dan kurangnya
tingkat pemenuhan barang kebutuhan masyarakat oleh pasar dalam negeri.
Keseluruhan hal tersebut diduga akan membuat ragam barang yang beredar
di daerah perbatasan relatif berbeda dengan yang beredar di daerah bukan
perbatasan. Hal ini akan berpotensi membahayakan konsumen karena jenis-
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3
jenis barang barang yang beredar tersebut dikhawatirkan tidak mengandung
unsur keamanan, kesehatan, keselamatan dan lingkungan (K3L) atau
banyaknya barang beredar di daerah tersebut mengidikasikan tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku (standar, label dan Manual Kartu
Garansi/MKG).
Gambaran terhadap karakteristik dan permasalahan peredaran barang
di daerah perbatasan ini belum dipaparkan secara jelas. Selain itu juga hasil
kajian yang dapat dijadikan sebagai literatur belum menemukan kajian awal
mengenai pengawasan barang beredar di daerah perbatasan yang
mencukupi, padahal kajian-kajian ini penting sebagai sumber informasi untuk
menyusun upaya peningkatan pengawasan barang beredar dalam rangka
perlindungan konsumen yang lebih baik di daerah perbatasan. Berdasarkan
hal tersebut, maka dirasa perlu untuk melakukan kajian yang lebih mendalam
terhadap pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kajian pengawasan barang
yang beredar di daerah perbatasan penting untuk dilakukan guna menjawab
beberapa permasalahan terkait dengan aspek pengawasan yaitu
implementasi pengawasan terhadap barang beredar di daerah perbatasan
yang masih lemah, serta belum teridentifikasinya karakteristik dan
permasalahan dalam pelaksanaan pengawasan barang yang beredar di
daerah perbatasan.
1.3. Tujuan
Sejalan dengan permasalahan kajian tersebut diatas, maka tujuan
kajian ini adalah:
a. Mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan;
b. Menganalisis kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan; dan
c. Merumuskan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah
perbatasan.
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4
1.4. Keluaran
a. Deskripsi pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan;
b. Hasil analisis kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan; dan
c. Rumusan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah perbatasan.
1.5. Dampak
a. Pemerintah: Meningkatnya pengawasan barang beredar di daerah
perbatasan sebagai unsur perlindungan konsumen.
b. Pedagang: Terlindunginya pedagang dari persaingan dengan barang yang
tidak memenuhi standar/merugikan/berbahaya.
c. Masyarakat/Konsumen: Terlindunginya konsumen di kawasan perbatasan
dari barang-barang yang berpotensi melanggar unsur Keamanan,
Keselamatan, Kesehatan, dan Lingkungan (K3L).
1.6. Ruang Lingkup
a. Kajian hanya membahas permasalahan pada barang beredar.
b. Barang yang menjadi objek kajian adalah kelompok jenis barang yang
beredar pada tingkat pengecer di kawasan perbatasan. Parameter
pengawasan dibatasi pada ketentuan penerapan SNI (wajib), label
berbahasa Indonesia dan Manual Kartu Garansi (MKG).
c. Aspek Kebijakan: Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang
dan/atau Jasa
d. Daerah Kajian: Kajian dilakukan di Kawasan perbatasan darat antara
Kalimantan dengan Malaysia, yaitu di Provinsi Kalimantan Barat (Kab.
Sanggau dan Kab. Bengkayang), Provinsi Kalimantan Utara (Kab.
Nunukan dan Kab. Malinau) dan Provinsi Kaimantan Timur. Pertimbangan
pemilihan daerah karena memiliki volume perdagangan lintas batas
melalui darat yang relatif lebih besar dibanding daerah perbatasan di
provinsi lain (Nusa Tenggara Timur dan Papua). Selain itu, beberapa
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5
daerah dikedua propinsi ini memiliki neraca perdagangan yang defisit
(impor lebih besar dari ekspor) (Puska PLN, 2012).
e. Responden Kajian: Responden kajian adalah Pedagang (pengecer),
Masyarakat/Pelintas Batas, dan narasumber dari Dinas Perdagangan
(Provinsi dan Kabupaten), Petugas Pengawas Barang Beredar, Direktorat
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, serta instiansi lain yang
mendukung pelaksanaan pengawasan barang beredar.
1.7. Sistematika Laporan
Laporan kajian ini terdiri dari 7 (tujuh) Bab, sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, output, dampak dan ruang lingkup analisis yang
dilakukan.
BAB II : Tinjauan Pustaka dan Kerangka Berpikir. Bab ini menjelaskan
kerangka berpikir dalam pengkajian dan tinjauan literatur yang
akan digunakan sebagai referensi dalam kajian ini meliputi Definisi
daerah perbatasan, Pengawasan barang beredar di daerah
perbatasan, dan Permendag pengawasan.
BAB III : Metode Pengkajian. Bab ini menjelaskan metode yang digunakan
dalam kajian ini untuk memperoleh data dan informasi yang
dibutuhkan untuk menjawab tujuan kajian meliputi metode analisis,
lokasi penelitian dan responden, serta sumber data dan teknik
pengumpulan data.
BAB IV : Profil Perdagangan Barang yang Beredar Di Daerah
Perbatasan. Bab ini akan menggambarkan profil daerah
perbatasan yang ada di daerah kajian, serta informasi mengenai
jenis barang yang beredar, barang-barang yang dihasilkan, keluar
(diekspor), dan masuk (diimpor) ke daerah kajian.
BAB V : Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar di Daerah
Perbatasan. Pada bab ini akan digambarkan proses perencanaan,
Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6
pelaksanaan, dan pelaporan hasil pengawasan barang di kawasan
perbatasan dan kesesuaiannya dengan mekanisme pengawasan
barang menurut Permendag 20/2009, sumber daya yang dimiliki
dan dibutuhkan untuk melakukan pengawasan tersebut, dan
gambaran sejauh mana pengawasan barang beredar telah
dilakukan serta hasilnya.
BAB VI : Upaya Peningkatan Pengawasan Barang Beredar di Daerah
Perbatasan. Pada bab ini akan dilakukan sintesis dari hasil-hasil
bab IV dan V, untuk menyusun rekomendasi strategi Peningkatan
Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan darat.
BAB VII : Kesimpulan dan Rekomendasi. Bab ini memberikan kesimpulan
hasil pengkajian dan rekomendasi.
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1. Tinjauan Pustaka
a. Kondisi Daerah Perbatasan
Daerah perbatasan, menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
tentang Wilayah Negara, adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak
pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain,
dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di
kecamatan.
Kawasan/Daerah perbatasan Indonesia terdiri dari perbatasan darat
yang berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua Nugini
(PNG), dan Timor Leste serta perbatasan laut yang berbatasan dengan 10
negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina,
Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG).
Setiap kawasan perbatasan memiliki ciri khas masing-masing, dengan
potensi yang berbeda antara satu kawasan dan kawasan lainnya. Potensi
yang dimiliki oleh kawasan perbatasan yang bernilai ekonomis cukup besar
adalah potensi sumberdaya alam (hutan, tambang dan mineral, serta
perikanan dan kelautan) yang terbentang di sepanjang dan sekitar kawasan
perbatasan. Sebagian besar dari potensi sumberdaya alam tersebut belum
dikelola, dan sebagian lagi merupakan kawasan konservasi atau hutan
lindung yang memiliki nilai sebagai world heritage yang perlu dijaga dan
dilindungi (Ikhwan, 2009).
1). Kawasan Perbatasan Darat
Kawasan perbatasan darat Indonesia berada di 3 (tiga) pulau, yaitu
Pulau Kalimantan, Papua, dan Pulau Timor, serta tersebar di 4 (empat)
provinsi, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan NTT. Setiap
kawasan perbatasan memiliki kondisi yang berbeda satu sama lain. Kawasan
8
perbatasan di Kalimantan berbatasan dengan Negara Malaysia yang
masyarakatnya lebih sejahtera. Kawasan perbatasan di Papua
masyarakatnya relatif setara dengan masyarakat PNG, sementara dengan
Timor Leste kawasan perbatasan Indonesia masih relatif lebih baik dari segi
infrastruktur maupun tingkat kesejahteraan masyarakatnya.
2). Kawasan Perbatasan Darat di Kalimantan
Pulau Kalimantan memiliki kawasan perbatasan dengan Malaysia di 8
(delapan) kabupaten yang berada di wilayah Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Barat berbatasan langsung dengan
wilayah Sarawak sepanjang 847,3 yang melintasi 98 desa dalam 14
kecamatan di 5 kabupaten, yaitu Kabupaten Sanggau, Kapuas Hulu,
Sambas, Sintang, dan Kabupaten Bengkayang. Wilayah Kalimantan Utara
berbatasan langsung dengan wilayah Sabah sepanjang 1.035 kilometer
yang melintasi 256 desa dalam 9 kecamatan dan 3 kabupaten yaitu di
Nunukan, Kutai Barat, dan Kabupaten Malinau.
Dari kelima kabupaten di Kalimantan Barat dan tiga kabupaten di
KalimantanUtara, hanya terdapat 3 (tiga) pintu perbatasan (border gate)
resmi, yaitu di Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Bengkayang di
Kalimantan Barat, serta Kabupaten Nunukan di Kalimantan Timur. Kabupaten
Sanggau dan Nunukan memiliki fasilitas Custom, Imigration, Quarantine, and
Security (CIQS) dengan kondisi yang relatif baik, sedangkan fasilitas CIQS di
tempat lainnya masih sederhana serta belum didukung oleh aksesibilitas
yang baik karena kondisi jalan yang buruk.
Kawasan perbatasan daerah lain seperti di Kabupaten Sintang,
Sambas, Kapuas Hulu, Malinau dan Kutai Barat masih belum memiliki pintu
perbatasan resmi dan masih dalam tahap pembangunan. Sesuai
kesepakatan dengan pihak Malaysia dalam forum Sosek Malindo,
sebenarnya telah disepakati pembukaan beberapa pintu perbatasan secara
9
bertahap di beberapa kawasan perbatasan di Kabupaten Kapuas Hulu,
Sambas, Sintang dan Bengkayang.
Namun demikian, masyarakat di sekitar perbatasan sudah
menggunakan pintu-pintu perbatasan tidak resmi sejak lama sebagai jalur
hubungan tradisional dalam rangka kekeluargaan atau kekerabatan. Pos-pos
keamanan dan pertahanan yang tersedia di sepanjang jalur tradisional
tersebut masih sangat terbatas, demikian pula dengan kegiatan patroli
keamanan yang masih menghadapi kendala berupa minimnya sarana dan
prasarana transportasi.
Potensi sumberdaya alam kawasan perbatasan di Kalimantan cukup
besar dan bernilai ekonomi sangat tinggi, terdiri dari hutan produksi
(konversi), hutan lindung, dan danau alam yang dapat dikembangkan
menjadi daerah wisata alam (ekowisata) serta sumberdaya laut yang ada di
sepanjang perbatasan laut Kalimantan Timur maupun Kalimantan Barat.
Beberapa sumberdaya alam tersebut saat ini berstatus taman nasional dan
hutan lindung yang perlu dijaga kelestariannya seperti Cagar Alam Gunung
Nyiut, Taman Nasional Bentuang Kerimun, Suaka Margasatwa Danau
Sentarum di Kalimantan Barat, serta Taman Nasional Kayan Mentarang di
Kalimantan Timur.Saat ini beberapa areal hutan tertentu yang telah
dikonversi tersebut berubah fungsi menjadi kawasan perkebunan yang
dilakukan oleh beberapa perusahaan swasta nasional bekerjasama dengan
perkebunan Malaysia.
Seiring dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di
kawasan tersebut, maka berbagai kegiatan ilegal telah terjadi seperti
pencurian kayu atau penebangan kayu liar (illegal logging) yang dilakukan
oleh oknum-oknum di negara tetangga bekerjasama dengan masyarakat
Indonesia. Kegiatan penebangan kayu secara liar oleh orang-orang
Indonesia ini dipicu oleh kemiskinan dan rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat di sekitar perbatasan, serta lemahnya pengawasan dan
penegakan hukum di kawasan tersebut.
10
b. Kebijakan Pengawasan
Kewenangan pengawasan barang dan atau jasa yang beredar di pasar
dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Pengawasan tidak mengenal dimensi
tempat yang artinya pengawasan berlaku di seluruh wilayah Indonesia tanpa
terkecuali termasuk pengawasan perdagangan di wilayah perbatasan.
Perdagangan di perbatasan berrkan Undang-undang Perdagangan N0 7
tahun 2014 adalah Perdagangan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia yang bertempat tinggal di daerah perbatasan Indonesia dengan
penduduk negara tetangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk itu,
Pemerintah melalui kementerian teknis mempunyai kewenangan untuk
melakukan pengawasan perdagangan diperbatasan sesuai dengan tugas
dan fungsinya masing-masing. Kementerian Perdagangan melakukan
pengawasan barang beredar dan atau jasa yang beredar di pasar
berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-
DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang
dan/atau Jasa. Pengawasan barang beredar dan jasa selama ini dilakukan
oleh Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Pengawasan di
daerah perbatasan dilaksanakan dengan memperhatikan parameter
pengawasan khususnya: standar, label, dan Manual Kartu Garansi (MKG).
Pengawasan terhadap barang produksi dalam negeri dilaksanakan dengan
memperhatikan label berbahasa Indonesia yang diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor 67/M-DAG/PER/11/2013 tentang Kewajiban
Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang, dan memiliki
SPPT SNI (Sertifikasi Produk Pengguna Tanda SNI) dari lembaga sertifikasi
produk (LS Pro) serta Surat Pendaftaran Barang (SPB) dan Surat Nomor
Pendaftaran barang (NPB). Sedangkan untuk barang impor, selain
mencantumkan persyarat seperti yang diatur untuk produk dalam negeri juga
harus mencantumkan Nomor Registrasi produk (NPB). SPB (Surat
11
Pendaftaran Barang). Pengawasan tersebut mengacu pada Petraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor 14/M-DAG/PER/3/2007 tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional
Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan,
serta Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 67/M-DAG/PER/11/2013
tentang Pencantuman Label Bahasa Indonesia Pada Barang.
Jenis pengawasan yang dilaksanakan terdiri dari tiga jenis, yaitu:
pengawasan berkala yang dilakukan oleh PBBJ dan/atau PPNS-PK,
pengawasan khusus yang dilaksanakan oleh PBBJ dan PPNS-PK
merupakan tindak lanjut dari pengawasan berkala atau adanya pengaduan
dari masyarakat atau dugaan adanya tindak pidana di bidang perlindungan
konsumen, dan pengawasan terpadu yang dilakukan secara koordinatif
dengan instansi/lembaga terkait melalui Tim Pengawasan Barang Beredar
(TPBB).
c. Permasalahan Umum Perdagangan di Daerah Perbatasan
Masalah-masalah yang terjadi terkait Perdagangan di daerah
perbatasan antara Indonesia dan Malaysia antara lain (Bappenas, 2009) :
1. Terbatasnya sarana dan prasarana pada Pos LIntas Batas (PLB) seperti
keamanan, bea cukai, karantina dan imigrasi, sehingga menyebabkan
belum optimalnya pelayanan public pada wilayah ini.
2. Terjadinya Perdagangan lintas batas yang illegal. Hal ini diduga terjadi
karena jalur ekonomi dan distribusi yang menuju ke wilayah perbatasan
terhambat oleh minimnya infrastruktur.
3. Minimnya aksesibilitas daerah perbatasan, yang menyababkan wilayah
tersebut sulit terjangkau oleh kendaraan berukuran besar khususnya
perbatasan darat
Selain itu, Warta Ekspor oleh Direktorat Jenderal Pengembangan
Ekspor Nasional (2012) juga melaporkan bahwa selama ini kerjasama
perdagangan dalam fora internasional, baik itu bilateral maupun regional
12
belum mengaitkan secara optimal mengenai Perdagangan di wilayah
perbatasan, sehingga peningkatan kerjasama dan investasi di wilayah
perbatasan masih belum ada peningkatan.
d. Hasil Penelitian Sebelumnya
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri pada tahun 2012 melakukan
survey Perdagangan, khususnya ekspor impor di daerah perbatasan. Daerah
perbatasan dengan Malaysia yang menjadi daerah survey adalah Entikong,
Sambas, dan JagoiBabang di Kalimantan Barat, Nunukan, Sebatik Utara,
Sebatik Utara, Sebatik Tengah dan Krayan di Kalimantan Timur. Penelitian ini
mencatat berbagai aspek dalam transaksi ekspor impor yang dilakukan
masyarakat di daerah tersebut. Berikut adalah hasil survey, khususnya
barang-barang yang banyak diimpor dari Malaysia.
Tabel 2. 1. Barang yang diimpor dari masing-masing wilayah perbatasan
No. Pintu Perbatasan
Barang-barang utama yang diimpor
Volume (Kg)
Nilai (USD) Peranan (%)
1 Kec. Krayan, Nunukan
Bahan bakar mineral 53592 63191 31,60
Garam, belerang, kapur (Semen)
87240 25422 12,71
2 Kabupaten Nunukan
Susu, mentega, telur 560 1484 9,65
Pupuk 1670 878 5,71
3 Sebatik Tengah
Bahan bakar mineral 1040 602 39,32
Garam, belerang, tanah batu, kapur, semen
3900 231 15,09
4 Sebatik Utara Bahan bakar mineral 27923 16083 19,90
Gula dan kembang gula 26138 12737 15,76
5 Jagoi Babang, Kalbar
Gula dan kembang gula 53575 47713
Bahan bakar mineral 21036 18986
6 Kabupaten Sambas
Gula dan kembang gula 31870 41481
Lemak dan mintak hewan/nabati
7886 11305
7 Entikong Mesin/peralatan listrik 1487 13262
Daging hewan 1963 4818
Sumber: Puska Perdagangan Luar Negeri, 2012
13
Dari Tabel 2.1, dapat dilihat bahwa barang-barang yang dibeli oleh
masyarakat di daerah perbatasan dari Malaysia mayoritasnya adalah barang
kebutuhan sehari-hari seperti gula pasir, minyak nabati, bahan bakar, garam,
semen, pupuk, serta daging hewan. Hanya di Entikong yang masyarakatnya
mengimpor mesin dan peralatan listrik. Penyebab utama ketergantungan
masyarakat daerah perbatasan terhadap kebutuhan pokok dari Malaysia
adalah karena jalur distribusi ke daerah-daerah ini kondisinya kurang baik
sehingga menghambat pasokan barang-barang tersebut. Tidak seperti
daerah perbatasan yang lain, perdagangan di daerah pulau Sebatik
didominasi oleh moda transportasi air (sungai dan laut). Beberapa dermaga
tidak memiliki pos Bea dan Cukai dan kegiatan bongkar muatnya tergantung
pada waktu pasang surut air laut. Selanjutnya, di daerah Jagoi Babang yang
berbatasan langsung dengan Sarawak – Malaysia Timur, tidak terdapat
pengawasan dan pencatatan yang menyebabkan rawan terjadi kegiatan yang
ilegal.
2.2. Kerangka Berpikir
Pelaksanaan pengawasan barang beredar di daerah perbatasan secara
umum sama dengan pengawasan barang yang beredar di pasar (bukan
daerah perbatasan). Barang yang beredar di pasar dalam negeri dibentuk
oleh barang-barang yang dihasilkan oleh industri dalam negeri dan barang
yang berasal dari impor. Seperti telah disebutkan dalam latar belakang,
terhadap barang-barang ini, baik dari dalam negeri maupun impor, sebelum
memasuki pasar harus melewati tahap pra-pasar terlebih dahulu untuk
memastikan produk-produk tersebut layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Bagi barang hasil produksi dalam negeri, tahap Pra-pasar meliputi
pengurusan SPPT SNI (Sertifikasi produk pengguna tanda SNI-jika telah ada
SNI-nya), NRP (Nomor Registrasi Perusahaan), sertifikat SKPLBI (Surat
Keterangan Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia) atau SPKPLBI
(Surat Pembebasan Kewajiban Pencantuman Label dalam Bahasa
14
Indonesia). Sedangkan bagi barang impor, maka tahap pra-pasar dapat
diamankan pada pengurusan SPPT SNI, SPB (Surat Pendaftaran Barang),
NPB (Nomor Pendaftaran Barang), PIB (Pemberitahuan Impor Barang), dan
pengurusan sertifikat SKPLBI atau SPKPLBI. Pengawasan pada tahap
tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 14/M-
DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan
Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan
Jasa yang Diperdagangkan, serta Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor
67/M-DAG/PER/11/2013 tentang Pencantuman Label Bahasa Indonesia
Pada Barang.
Setelah barang beredar, pemerintah juga melakukan pengawasan
barang dan jasa beredar yang dilaksanakan oleh Pemerintah, masyarakat
dan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
sesuai Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009
tentang Ketentuan dan Tata cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa.
Lingkup pengawasan barang beredar secara umum terutama meliputi: (1)
apakah barang memenuhi standar (terutama untuk barang yang telah
memiliki SNI wajib), (2) keberadaan buku petunjuk penggunaan dan kartu
jaminan/ garansi dalam bahasa Indonesia, serta (3) label dalam bahasa
Indonesia. Disamping itu pengawasan terhadap barang juga dilakukan untuk
menemukan kemungkinan beredarnya barang/jasa yang dilarang beredar di
pasar, barang/jasa yang diatur tata niaganya, perdagangan barang-barang
dalam pengawasan, dan barang yang diatur distribusinya.
15
Sumber: Direktorat Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen, 2012
Gambar 2. 1. Mekanisme pengawasan barang beredar dan jasa
Berdasarkan gambaran diatas, maka dengan mengacu pada kerangka
pengawasan barang beredar di pasar maka kerangka berpikir pengkajian ini
digambarkan dalam gambar 2.2. Pengamatan pada dasarnya menggunakan
pendekatan Input-Proses-Output. Pendekatan ini dinilai mencukupi
mengingat metodologi kajian secara umum bersifat deskriptif terhadap suatu
proses yang berjalan (pengawasan barang). Pandangan terhadap sebuah
proses, secara logis memerlukan juga pandangan terhadap sisi Input dan
Output-nya sebagai sebuah kesatuan alur kegiatan.
Sejalan dengan metodologi kajian yang bersifat deskriptif, maka seluruh
informasi yang dihasilkan dideskripsikan menggunakan alat-alat statistik
deskriptif agar dapat dengan mudah dipahami besaran dan perilakunya.
Hubungan antara aspek kinerja pengawasan dan variabel-variabel yang
berasal dari aspek input pengawasan, proses pengawasan, dan lingkungan
perdagangan, dianalisis menggunakan tabel kontijensi dan uji chi-square (jika
data bersifat nominal/ordinal), atau uji ANOVA (jika data bersifat interval).
Jika diperoleh kasus perbedaan ekstrim dan menarik, maka alat analisis
inferential lainnya dapat digunakan untuk melihat kemungkinan adanya
hubungan dan kausalitas lainnya.
16
Gambar 2. 2. Kerangka berpikir pelaksanaan kajian
Perencanaan, Pelaksanaan, Pelaporan Pengawasan Barang Beredar
Estimasi proporsi barang sesuai parameter pengawasan
Jangkauan dan Hasil pengawasan barang beredar
Sumberdaya: SDM; Sarana; Anggaran; Prosedur & standar; Koordinasi Instansi pendukung
PENGAWASAN BARANG BEREDAR
Daftar produk SNI wajib
Ketentuan label dan MKG
Jumlah usaha perdagangan
Jangkauan pengawasan barang
Gambaran Pelaksanaan pengawasan barang,
Permendag; pedoman prosedur pengawasan; SPM
PROFIL LINGKUNGAN PERDAGANGAN DAERAH PERBATASAN
Pasar Daerah Perbatasan
Analisis Deskriptif untuk memaparkan data Analisis ANOVA untuk menguji keragaman
Sintesis
Kesesuaian mekanisme pengawasan dengan mekanisme baku
Keadaan dan kebutuhan sumberdaya untuk pengawasan optimal
Kinerja pengawasan barang di kawasan perbatasan saat ini
Gambaran lingkungan perdagangan di Perbatasan
Rekomendasi Kebijakan Peningkatan pengawasan barang di daerah perbatasan
Pengamatan, wawancara
Identifikasi kelompok jenis barang beredar
Daftar kelompok jenis barang
Harga patokan
Gambaran barang dari negara tetangga
Gambaran ketersediaan dan harga
Gambaran sumberdaya pengawasan
Pasokan Dalam Negeri
Barang dari Negara Tetangga
Pengamatan, wawancara
PROFIL PELAKSANAAN & MEKANISME PENGAWASAN BARANG DAERAH PERBATASAN
Hambatan, kendala, pendukung mekanisme
Pengamatan, wawancara
Faktor Lingkungan
17
BAB III. METODE PENGKAJIAN
Memperhatikan tujuan kajian, maka secara umum metodologi kajian
bersifat deskriptif yaitu akan lebih banyak upaya pengolahan data menjadi
sesuatu yang dapat diutarakan secara jelas dan tepat. Dalam keilmuan,
deskripsi diperlukan agar peneliti tidak melupakan pengalamannya dan agar
pengalaman tersebut dapat dibandingkan dengan pengalaman peneliti lain,
sehingga mudah untuk dilakukan pemeriksaan dan kontrol terhadap deskripsi
tersebut.
3.1. Metode Analisis
3.1.1. Pendekatan Pelaksanaan Kajian
Keluaran yang ingin diperoleh dari kajian adalah (1) Deskripsi
pelaksanaan pengawasan barang yang beredar di daerah perbatasan, (2)
Hasil analisis kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan, dan (3)
Rumusan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah perbatasan.
Keluaran pertama secara umum diperoleh melalui wawancara kepada satuan
kerja yang bertanggung jawab terhadap pengawasan barang beredar di
Kabupaten dan di daerah perbatasan yang menjadi daerah kajian.
Pengenalan terhadap pelaksanaan pengawasan barang akan dilakukan
menggunakan kerangka Input-Proses-Output, dimana kajian akan
menggambarkan proses pengawasan barang yang dilaksanakan saat ini,
mengenali dan menggambarkan sumberdaya (SDM, anggaran, sarana,
lainnya) yang terlibat sebagai input, mengukur hasil (output: jumlah sampel,
laporan, publikasi, lainnya) dari proses tersebut, dan mengenali variabel
lingkungan yang mempengaruhi alur input-proses-output tersebut.
Keluaran kedua, pengukuran kinerja pengawasan barang beredar di
daerah perbatasan, sesungguhnya juga merupakan bagian dari output
proses pengawasan. Kinerja pengawasan (akibat pra-pasar dan ketika
18
barang telah beredar di pasar) seharusnya tercermin pada tidak beredarnya
barang yang tidak sesuai dengan parameter pengawasan barang di wilayah
pengawasan. Dengan demikian, keluaran direncanakan diukur melalui
estimasi proporsi jumlah barang beredar yang tidak sesuai dengan parameter
pengawasan barang beredar (secara kasat mata saja). Estimasi
direncanakan diperoleh dari sampel pedagang/pengecer yang ada di daerah
perbatasan. Hasil estimasi ini diharapkan memberikan gambaran patokan
awal (baseline) dari kinerja pengawasan barang beredar di daerah
perbatasan.
Berdampingan dengan dua upaya tersebut diatas, kajian juga
memerlukan gambaran profil perdagangan barang di daerah perbatasan.
Informasi ini dibutuhkan untuk memberikan latar informasi kondisi daerah dan
perilaku perdagangan di daerah perbatasan. Dalam profil ini ingin
digambarkan: gambaran kelompok jenis barang yang beredar, sumber
barang, gambaran cara masuknya barang dari negara tetangga, tingkat
ketersediaan, tingkat harga relatif, neraca perdagangan, dan preferensi
masyarakat (terbatas). Informasi-informasi ini diharapkan memperkaya
aspek lingkungan yang diperoleh dari keluaran pertama. Informasi
diharapkan diperoleh dari pengamatan kepada sebaran barang dan
wawancara dengan pedagang/pengecer, serta wawancara dengan
masyarakat/ pelintas batas.
Seluruh informasi hasil gambaran input-proses-output ini, kemudian
akan dibandingkan dengan beberapa acuan seperti (1) kesesuaian
mekanisme dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang, peraturan
menteri perdagangan, dan peraturan turunan lainnya, (2) Standar pelayanan
minimal yang seharusnya dicapai oleh satuan kerja dalam urusan
pengawasan barang beredar, atau (3) patokan lain yang dapat ditarik dari
praktik terbaik pengawasan barang yang ada didalam atau diluar negeri.
Beberapa variabel dari aspek input, proses, dan lingkungan yang menarik
kemudian dapat dianalisis hubungannya dengan kinerja pengawasan di
19
masing-masing daerah. Hasilnya diharapkan memberikan pengetahuan yang
lebih mendalam mengenai karakteristik barang dan pengawasan barang di
daerah perbatasan.
Hambatan-hambatan teridentifikasi dan informasi penting yang
diperoleh dari pelaksanaan pengawasan barang beredar di daerah
perbatasan, kemudian distrukturkan untuk memperoleh gambaran mengenai
akar masalah, dan program serta kebijakan yang dibutuhkan untuk
mengatasi akar masalah tersebut. Gambaran pendekatan pelaksanaan
kajian dapat dilihat dalam gambar 3.1.
Gambar 3. 1. Pendekatan pelaksanaan kajian
Rekomendasi Kebijakan Peningkatan pengawasan barang di daerah perbatasan
Narasumber,
Masyarakat,
Pelintas
Pedagang/Pengecer
Identifikasi
barang
beredar
Ketersediaan
barang
Pasar dalam
negeri
Negara tetangga
Harga
barang
Sumber
barangPreferensi
Hambatan
perdagangan
Hambatan
Logistik
Pengalaman
pengawasan
Cara masuk
Pelaku,
Motif/ Alasan,
Nilai rata-rata / tahun
Keberadaan pendaftaran
Keberadaan pengawasan
Pengamatan
pemenuhan parameter
pengawasan barang
beredar
Estimasi
proporsi
Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota
Penggambaran
mekanisme
perencanaan,
pelaksanaan,
pelaporan
Pengukuran output
Pengawasan barang
beredar
Identifikasi kapasitas
Sumber daya
SDM,
Anggaran,
Sarana
Koordinasi instansi pendukung
Lainnya
Jumlah
pelaksanaan
Jumlah sampel
Jangkauan
pengawasan
Identifikasi hambatan
dalam perencanaan,
pelaksanaan,
pelaporan
Wilayah
Jenis Barang
Waktu
Kinerja
pengawasan
SPM
Permendag
Best practice
Pencatatan Profil
perdagangan
daerah
2
5 3
1
4
6
20
3.1.2. Alat Analisis
Sesuai dengan tujuannya mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan
barang di daerah perbatasan dan menganalisis kinerja pengawasan barang
di daerah perbatasan, maka kajian banyak menggunakan alat-alat statistika
deskriptif seperti Tabel, Histogram, dan perhitungan Nilai Sentral (rata-rata,
deviasi). Tujuannya adalah agar karakteristik dan perbedaan nilai variabel
antar daerah dapat ditampilkan secara baik dan dengan segera dapat diamati
karakteristiknya.
Pandangan terhadap suatu Mekanisme, disamping dipaparkan dalam
narasi, digambarkan dalam bagan alir (flow chart) untuk menunjukkan
keterkaitan pelaku, kegiatan, dan keluaran yang dihasilkan.
Pada bagian tertentu, kinerja pengawasan dianalisis dalam kondisi
lingkungan, profil perdagangan, dan mekanisme pengawasan yang berbeda-
beda, langkah ini dilakukan agar kajian dapat mengidentifikasi variabel-
variabel yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja pengawasan. Analisis
hubungan ini menggunakan uji ANOVA.
Uji ANOVA adalah alat analisis inferensial yang dapat digunakan untuk
menguji apakah dua atau lebih sampel memiliki mean yang sama atau tidak.
Dalam kajian ini, analisis ANOVA digunakan untuk mengidentifikasi variabel-
variabel mana yang secara signifikan memberikan hasil kinerja pengawasan
barang beredar yang berbeda pada kondisi yang berbeda, dan variabel-
variabel mana yang tidak. Variabel yang mampu membedakan kinerja dapat
dianggap sebagai memiliki “hubungan” dengan kinerja (yang harus
dijudgement kembali), sedangkan variabel yang tidak membedakan,
dianggap berperilaku sama pada semua keadaan.
Pada bagian terakhir, kajian menstrukturkan masukan hambatan yang
dihadapi menggunakan kerangka Project Cycle Management (PCM) untuk
mencari akar masalah, identifikasi program, dan identifikasi kebijakan yang
perlu dilaksanakan. Hal ini diperlukan agar kajian dapat menyusun
rekomendasi kebijakan yang memperhatikan seluruh masukan yang
21
diperoleh langsung dari pemangku kepentingan, atau tidak langsung dari
pemahaman terhadap karakteristik dan perilaku data dalam kondisi berbeda.
Hubungan antara data, keluaran, dan alat analisis disajikan dalam tabel 3.1.
Tabel 3. 1. Sumber informasi, jenis data, metode pengumpulan, dan alat analisis
Tujuan Sumber Informasi Jenis Data/ Metode
Keluaran Alat Analisis/ Alat Bantu
1. Mendeskripsikan pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan
Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK;
Desk study Wawancara
1.1. Gambaran perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil pengawasan barang di kawasan perbatasan, serta Kesesuaian dengan Permendag 20/2009
Kerangka Input-Proses-Output untuk mengenali komponen mekanisme.. Checklist kesesuaian mekanisme (checklist perbandingan kondisi yang ada dengan mekanisme sesuai peraturan)
2. Menganalisis Kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan
Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK;
Wawancara Perhitungan
2.1. Gambaran sumber daya yang dimiliki (SDM, sarana, anggaran) untuk melakukan pengawasan, kecukupan, dan kebutuhannya
Alat statistika deskriptif (tabel, histogram, nilai sentral) untuk menyajikan data Estimasi sumberdaya dibutuhkan untuk pengawasan optimal
Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK
Wawancara; Perhitungan rasio output pengawasan
2.2. Jangkauan pengawasan barang beredar yang telah dilakukan di daerah perbatasan
Penggambaran output pengawasan (jumlah hari, jumlah sampel) per tahun
Pedagang Wawancara; Pemeriksaan kasat mata sederhana Estimasi rentang
2.3. Hasil estimasi proporsi jumlah barang beredar sesuai parameter pengawasan barang beredar di daerah perbatasan
Estimasi proporsi jumlah barang beredar sesuai parameter pengawasan dari toko sampel
Disperdag prov ; Disperdag kab/kota; PPBJ dan PPNS-PK Instansi pendukung di perbatasan
Wawancara 2.4. Hambatan pengawasan barang di daerah perbatasan
Tabel dan paparan
3. Merumuskan usulan kebijakan pengawasan barang di daerah perbatasan
Hasil Tujuan 1dan 2 Desk Study, FGD
3.1. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Sintesa tujuan 1 dan 2
22
3.2. Responden Kajian
Responden kajian adalah Pedagang (pengecer), Masyarakat/Pelintas
Batas, dan narasumber dari Dinas Perdagangan (Provinsi dan Kabupaten),
Petugas Pengawas Barang Beredar, Direktorat Pengawasan Barang Beredar
dan Jasa, serta institusi lain yang mendukung/memiliki data sekunder yang
dibutuhkan.
Pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti teknik purposive
sampling (metode pemilihan dengan cara sengaja memilih sampel-sampel
tertentu karena memilki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki sampel lainnya).
Jumlah sampel untuk masing-masing responden/narasumber dapat dilihat
dalam Tabel 3.2.
Tabel 3. 2. Responden/narasumber dan jumlah sampel
Responden/Narasumber
(Key Person)
Instrumen
Lokasi
Jumlah
Kalimantan Barat Kalimantan Utara
Kalimantan Timur
Pro
v. K
alb
ar
Kab. S
anggau
Kab.
Bengka
yang
Pro
v. K
alta
ra
Kab. M
alin
au
Kab. N
unuka
n
Dinas Perdagangan
Kuesioner-1: Dinas
1 1 1 1 1 1 2 8
Petugas PPBJ/ PPNS-PK
Kuesioner-2: Unit Pengawas
2 2 2 2 2 2 2 14
Pengecer barang
Kuesioner-3: Pengecer
16 16
16 16 4 68
Instansi terkait
Kuesioner-4:
2 2
2 2 2 10
3.3. Lokasi Kajian
Kab. Sanggau Kab Bengkayang Hulu
Kab. Malinau Kab. Nunukan
23
Untuk menggali data dan informasi pengawasan barang beredar di
daerah perbatasan dan perdagangan lintas batas dilakukan survey kepada
pelintas batas, pelaku usaha dan instansi yang terkait. Lokasi kajian
dilakukan di wilayah perbatasan darat antara Kalimantan dengan Malaysia.
Provinsi Kalimantan Barat terdapat 2 (dua) kabupaten (Kab. Sanggau,
Kapuas Hulu). Provinsi Kalimantan Utara 2 (dua) kabupaten (Kab. Nunukan,
dan Malinau), dan Provinsi Kalimantan Timur.
3.4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam analisis ini dilakukan dengan cara survey
dan observasi lapangan kepada responden di daerah kajian dengan
menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan serta melakukan
wawancara langsung secara mendalam (in depth). Pertanyaan
dikembangkan untuk mendalami berbagai hal yang belum tertangkap melalui
kuesioner. Selain survey, pengambilan data dan informasi juga akan
dilakukan melalui diskusi terbatas untuk menggali dan mencari solusi dari
permasalahan yang ada. Dalam diskusi terbatas ini akan diundang para
pemangku kepentingan yang terkait dengan pengawasan barang di daerah
perbatasan.
Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer yang diperoleh dari wawancara langsung dengan
responden yaitu pelaku usaha, pelintas batas/masyarakat dan instansi yang
terkait, serta data sekunder yang dikumpulkan adalah kebijakan terkait
pengawasan barang beredar, serta data perdagangan dan lingkungan daerah
perbatasan. Sumber data Sekunder tersebut diperoleh melalui pendekatan
Desk Study (review dokumenter) dan data dari instansi yang tugasnya terkait,
seperti Pusat Kajian Perdagangan Luar Negeri, Direktorat Pengawasan
Barang Beredar dan Jasa, Badan Pusat Statistik (Pusat dan Daerah), dan
lainnya.
25
BAB IV. PROFIL PERDAGANGAN BARANG BEREDAR DI DAERAH
PERBATASAN
4.1. Profil Perdagangan di Daerah Perbatasan
Sebagai halaman depan dari sebuah negara, daerah perbatasan
menjadi salah satu faktor pendukung dalam mempromosikan produk-produk
unggulan dalam negeri. Namun di sisi lain daerah perbatasan sangat rentan
terhadap masuknya barang-barang yang tidak sesuai ketentuan. Khususnya
untuk daerah perbatasan darat antara Indonesia-Malaysia masih banyak
memerlukan perhatian serius terutama dalam memenuhi kebutuhan pokok
masyarakat yang tinggal disana. Maraknya produk Malaysia yang beredar di
daerah perbatasan disebabkan karena kontinuitas pasokan produk dalam
negeri yang terbatas dan persaingan harga serta kualitas. Tentu saja barang
asal Malaysia yang beredar tersebut tidak semua memenuhi aturan yang
berlaku oleh karena itu diperlukan pengawasan secara ketat terhadap barang
beredar. Namun kondisi ini kurang mendapat respon yang baik yang
tercermin dari jumlah SDM Pengawasan, anggaran, dan infrastruktur dalam
pelaksanaan pengawasan barang beredar yang masih terbatas. Secara rinci,
profil perdagangan di daerah kajian dapat dilihat dalam tabel 4.1.
Secara umum, asal barang beredar di daerah kajian bercampur antara
barang lokal (yang datang dari Surabaya, Makassar, dan Pontianak), dengan
barang “tetangga”/”luar” yang datang dari Malaysia. Di daerah kajian, rata-
rata 30% barang berasal dari Malaysia. Namun jika komposisinya ditelaah
lebih dalam, maka tampak bahwa untuk bahan pokok, proporsi barang
tetangga dapat mencapai 53% (100%-47%). Sedangkan untuk barang-
barang elektronik, proporsi barang tetangga amat kecil. Untuk elektronik,
barang lokal masih menjadi “raja” di pasaran Indonesia. Hal ini terjadi karena
spesifikasi daya listrik yang berbeda antara perusahaan listrik Indonesia dan
Malaysia.
26
Neraca perdagangan daerah kajian tampak ada yang bernilai defisit,
dan ada yang surplus. Belum ada informasi yang dapat ditarik dari data ini,
namun pandangan pada sumbangan sektor perdagangan kepada PDRB
daerah menunjukkan bahwa daerah dengan neraca perdagangan yang
defisit, cenderung memiliki proporsi sumbangan sektor perdagangan yang
kecil kepada PDRB-nya .
Tabel 4. 1. Gambaran umum di daerah kajian
Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang Keterangan
Luas wilayah (Km2) 14.247,50 39.799,90 12.857,70 5.396,30
Jumlah pintu masuk resmi
1 (satu) buah
Tidak ada 1 (satu) buah
Sedang dibangun
Fasilitas pintu masuk CIQS - CIQS SI Custom, Imigration, Quarantine, and Security (CIQS)
Pintu masuk tidak resmi Ada Ada Ada Ada
Jumlah kecamatan 15 12 15 17
Jumlah kelurahan/desa 240 109 169 124
Populasi 146.286 62.423 372.448 214.785 (dalam jiwa)
Ekspor (2012) (juta Rp) 3.019.557 1.116.243 1.175.930 389.609 ADH berlaku
Impor (2012) (juta Rp) 4.270.380 1.203.677 993.110 138.393 ADH berlaku
Neraca Surplus (Defisit) (1.250.823) (87.434) 182.820 251.216 Ekspor-impor
Sumbangan Sektor Perdagangan (2012)
10,24% 9,47% 18,98% 24,55%
IPM (2011) 74,38 73,26 68,97 67,98
Proporsi barang Dalam Negeri (menurut nilai barang)
- Total 66,4% 66,4% 68,7% 79,7% Rata-rata; 70,3%
- Bahan pokok 35,2% 35,2% 56,4% 61,3% Rata-rata; 47,0%
- Barang elektronik 97,8% 100,0% 98,3% 100,0% Rata-rata; 99,0%
- Bahan bangunan 74,5% 74,5% 100,0% 100,0% Rata-rata; 87,3%
Jumlah pasar tradisional 18 8 15 3
Jumlah pedagang 2.822 1.028 445 261
Sumber: BPS, Kementerian perdagangan, Data hasil survey, diolah
27
4.2. Profil Perdagangan Kabupaten Nunukan
Profil Ringkas Kalimantan Utara
Kalimantan Utara adalah sebuah provinsi di Indonesia
yang terletak di bagian utara Pulau Kalimantan. Provinsi ini
berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara
Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur.
Saat ini, Kalimantan Utara merupakan provinsi termuda
Indonesia, resmi disahkan menjadi provinsi dalam rapat paripurna DPRpada
tanggal 25 Oktober 2012 berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2012.
Pada saat dibentuknya, wilayah Kalimantan Utara dibagi menjadi 5
(lima) wilayah administrasi, yang terdiri dari 1 (satu) kota dan 4 (empat)
kabupaten sebagai berikut:
1. Kota Tarakan
2. Kabupaten Bulungan
3. Kabupaten Malinau
4. Kabupaten Nunukan
5. Kabupaten Tana Tidung
Gambar 4. 1. Peta Kalimantan Utara
Kota Tarakan
Kab. Nunukan
Kab. Malinau
Kab. Bulungan
P. Nunukan
P. Sebatik
Kab. Tana Tidung
28
Seluruh wilayah ini sebelumnya merupakan bagian dari wilayah
Kalimantan Timur. Ibu kota provinsi ditempatkan di Tanjung Selor, di
Kabupaten Bulungan. Pejabat Gubernur saat ini adalah DR. Ir. H. Irianto
Lambrie, MM. Luas wilayah Provinsi Kalimantatan Utara adalah sebesar
Total 85.618 km2 (33,057 mil²), dengan jumlah penduduk (tahun 2010)
sebesar 524.656 orang. Secara keseluruhan, provinsi memiliki 4 (empat)
kabupaten, 1 (satu) kota, dan 47 kecamatan.
Tabel 4. 2. Populasi dan Ibukota Kabupaten di Kalimantan Utara
No. Kabupaten/Kota Populasi (orang)
Ibukota
1 Kota Tarakan 192.287 Tarakan
2 Kabupaten Nunukan 140.404 Nunukan
3 Kabupaten Bulungan 112.472 Tanjung Selor
4 Kabupaten Malinau 61.658 Malinau
5 Kabupaten Tana Tidung
15.202 Tideng Pale
Sumber: BPS, Sensus Penduduk 2010
(http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?tid=337&wid=6400000000)
Profil Ringkas Kabupaten Nunukan
Kabupaten Nunukan adalah salah
satu kabupaten di Kalimantan Utara,
Indonesia. Ibu kota kabupaten ini
terletak di kota Nunukan. Kabupaten
ini memiliki luas wilayah 14.493 km²
dan berpenduduk sebanyak 146.286 jiwa (2013). Motto
Kabupaten Nunukan adalah "Penekindidebaya" yang artinya "Membangun
Daerah" yang berasal dari bahasa Tidung. Nunukan juga adalah nama
sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara,
Indonesia.
29
Tabel 4. 3. Profil Ringkas Kabupaten Nunukan Tahun 2013
Bupati BASRI
Wakil Bupati Hj. ASMAH GANI
Luas Wilayah Daratan 14.247,50 Km2
Luas Pengelolaan laut 1.026,74 Km2
Kecamatan 15
Desa / Kelurahan 218
Jumlah Rumah Tangga 17.131
Jumlah Penduduk 146.286 jiwa
Kepadatan Penduduk 10,71 jiwa/km2
Angkatan Kerja 67.186 jiwa
Jumlah Penduduk Miskin 17.700 ribu jiwa
Pertumbuhan Ekonomi 6,72 %
PDRB ADH Berlaku Rp. 4.660.682.000.000,-
PDRB Per Kapita ADH Berlaku Rp. 31.860.071,-
Pendapatan Asli Daerah Rp. 34.871.929.384,98,-
APBD (2013) Rp. 1,6 Triliun
Sumber: Provinsi Kalimantan Timur
(http://www.kaltimprov.go.id/viewkota-10.html)
Kabupaten Nunukan merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten
Bulungan, yang terbentuk berdasarkan pertimbangan luas wilyah,
peningkatan pembangunan, dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Pada tahun 1999, pemerintah pusat memberlakukan otonomi daerah
dengan didasari Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Dengan dasar inilah dilakukan pemekaran pada
Kabupaten Bulungan menjadi 2 (dua) kabupaten baru lainnya, yaitu
Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau.
Pemekaran Kabupaten ini secara hukum diatur dalam UU Nomor 47
Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau,
Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat dan Kota Bontang pada
tanggal 4 Oktober 1999.
30
4.2.1. Gambaran Perdagangan Kabupaten Nunukan
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran menciptakan nilai tambah
bruto sebesar Rp 596 miliar dengan kontribusi terhadap PDRB adalah
10,24%. Nilai ini sedikit menurun sebesar 0,23% jika dibandingkan dengan
kontribusi tahun 2012. Walaupun nilai kontribusi ini relatif kecil dibandingkan
sektor pertambangan dan penggalian, namun untuk masa yang akan datang,
jika pemerintah dapat memberikan perhatian khusus dalam
pengembangannya, sektor ini dapat memiliki prospek bagus untuk
dikembangkan, terutama subsektor perdagangan, mengingat kondisi
geografis kabupaten Nunukan sebagai daerah perbatasan sangat strategis
sebagai lalu lintas perdagangan antar pulau maupun antar negara, ditunjang
dengan meningkatnya aktivitas di subsektor perkebunan, industri pengolahan
dan batubara. Tentunya jika diterapkan peraturan yang mendukung
lancarnya perdagangan antar daerah maupun ekspor impor ke luar negeri,
maka perkembangan sektor ini akan lebih baik. Misalnya, penerapan
kebijakan national single window dalam kebijakan ekspor impor.
Sumber: PDRB Kab. Nunukan Menurut Lapangan Usaha 2009-2013
Gambar 4. 2. Struktur perekonomian Kabupaten Nunukan Tahun
2013
Sektor Perdagangan
31
Secara umum, neraca ekspor-impor Kabupaten Nunukan bernilai Surplus
dan cenderung mencatat pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun. Nilai
ekspor amat ditentukan oleh komoditas minyak mentah, kayu log, buah
kelapa sawit, dan batubara. Meskipun pada jumlah ekspor minyak mentah
dan kayu cenderung menurun, namun komoditas batubara dan buah kelapa
sawit cenderung bertahan atau meningkat. Pertumbuhan impor cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Komoditas impor kebanyakan merupakan
minyak kelapa sawit, peralatan dapur, sayuran, mie, tepung, dan bahan
makanan.
Tabel 4. 4. Neraca Perdagangan Kabupaten Nunukan,Tahun 2010-2012
2010 2011 2012 Pertumbuhan
ADH Berlaku
Ekspor 2.004.481 2.501.076 3.019.557 22,7%
Impor 2.693.045 3.600.719 4.270.380 25,9%
Surplus (Defisit) (688.564) (1.099.643) (1.250.823) 34,8%
ADH Konstan
Ekspor 783.849 838.142 890.429 6,6%
Impor 791.489 884.575 950.876 9,6%
Surplus (Defisit) (7.640) (46.433) (60.447) 181,3%
Sumber: BPS Kabupaten Nunukan
Disamping impor yang dilakukan oleh perusahaan resmi, impor juga
dilakukan oleh pelintas batas. Dalam catatan dinas perdagangan kabupaten
Nunukan, barang yang kerap dimasukkan adalah: minyak kelapa sawit,
bubuk kakao, ikan basah dan ikan beku, mie kuning, buah-buahan, sayur-
sayuran, makanan dan minuman ringan, tepung terigu, bawang merah,
wortel, kentang, dan perangkat dapur. Nilai ekspor impor pelintas batas ini
tidaklah besar. Namun nilainya selalu defisit. Di tahun 2012 nilai defisit ini
berjumlah Rp 2,609 miliar, di tahun 2014 diperkirakan nilainya mencapai Rp
3,453 miliar.
32
Tabel 4. 5. Rekapitulasi Perdagangan Lintas Batas Kabupaten Nunukan Tahun 2012 dan 2014
2012 2014* Pertumbuhan
Ekspor 126.843.253 294.300.000 52,3%
Impor 2.736.512.231 3.747.852.960 17,0%
Surplus (defisit) (2.609.668.978
) (3.453.552.960) 15,0%
Keterangan: *) Angka dugaan Sumber: Dinas Perindagkop dan UMKM kabupaten Nunukan
4.2.2. Gambaran Barang Beredar di Kabupaten Nunukan
Sesuai dengan kondisi geografisnya sebagai daerah perbatasan, maka
di Nunukan juga beredar barang yang berasal dari negara tetangga.
Jumlahnya sekitar 33,6%. Pada toko bahan makanan, proporsi barang dari
dalam negeri berbanding dari luar negeri (DN:LN) mencapai 43,5% : 56,5%.
Sedangkan pada toko elektronik, proporsi DN:LN mencapai 88% : 12%
(Gambar 4.3).
Sumber: Data diolah
Gambar 4. 3. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang
Gambar 4.4 dan tabel 4.5, menunjukkan bahwa barang kebutuhan
pokok masyarakat lebih banyak diisi oleh barang dari Malaysia.
Toko bahan Makanan Keseluruhan Toko Elektronik
33
Tabel 4. 6. Barang Beredar dan Sumbernya (Bahan Pokok)
Barang Sumber
1 Beras Malaysia
2 Gula Pasir Malaysia
3 Minyak Goreng-botol Malaysia
6 Daging ayam boiler Malaysia
8 Telur ayam ras Indonesia & Malaysia
10 Susu kental manis Indonesia & Malaysia
11 Susu bubuk Indonesia & Malaysia
13 Garam Malaysia
14 Tepung Terigu Malaysia
16 Mie Instan Indonesia
20 Bawang merah Indonesia & Malaysia
21 Bawang putih Malaysia
23 Kacang hijau Indonesia
24 Kacang tanah Indonesia
3 Gas LPG Malaysia
Sumber: Data diolah
Sumber: Data diolah
Gambar 4.4. Nilai Barang Beredar (Bahan Pokok)
34
Tabel 4. 7. Barang Beredar dan Sumbernya (Barang SNI)
Barang Sumber
2 Air minum dalam kemasan Indonesia
7 Baja lembaran lapis seng Malaysia
32 Kabel fleksibel Indonesia
33 Kaca lembaran Indonesia
43 Korek api gas Malaysia
44 Kloset duduk Indonesia
47 Lampu swa-balast Indonesia
56 Peralatan audio, video Indonesia
57 Peralatan Pendingin Indonesia
58 Peralatan listrik rumah tangga Indonesia
59 Kotak Kontak Indonesia
60 Tusuk Kontak Indonesia
61 Mini Circuit Breaker – MCB Indonesia
62 Pompa Indonesia
63 setrika listrik Indonesia
64 mesin cuci Indonesia
74 Regulator tabung baja LPG Malaysia
75 Selang kompor gas LPG Malaysia
77 Semen Portland Indonesia
94 Ubin Keramik Indonesia
Sumber: Data diolah
Sumber: Data diolah Gambar 4.5. Nilai Barang Beredar (Barang SNI)
35
Sebesar 80% barang Elektronik dan bangunan yang ada di P. Sebatik
dan Nunukan berasal dari Indonesia. Besarnya proporsi barang elektronik
dari Indonesia disebabkan Spesifikasi barang elektronik asal Indonesia lebih
cocok dengan voltase listrik wilayah Indonesia. Barang elektronik asal
Malaysia memiliki kebutuhan voltase dan daya listrik yang berbeda, sehingga
tidak dapat digunakan di Indonesia. Sedangkan Baja lembaran Malaysia
lebih disukai karena lebih panjang.
4.2.3. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar
a. Profil SKPD Pelaksana Pengawasan
Urusan pelaksanaan pengawasan barang beredar berada di bawah
Seksi Perdagangan Dalam Negeri Dinas Perindustrian Perdagangan
Koperasi dan UMKM kabupaten Nunukan. SKPD ini berkantor di gedung
Gabungan Dinas I, lantai 1, jalan Ahmad Yani Nunukan.
Gambar 4.6. Struktur Organisasi Disperindagkop UMKM Kab. Nunukan
Kepala Dinas
Sekertaris
Kasubag Peny. Program & Pelaporan
Kasubag Umum & Kepegawaian
Kasubag Keuangan
Kabid UMKM Kabid Koperasi Kabid Industri Kabid Perdagangan
Kasi Bina SDM
UMKM Kasi Bina SDM
Koperasi
Kasi Hil Kasi PLN
Kasi Bina Usaha & Kelembagaan
UMKM
Kasi Bina Usaha & Kelembagaan Kop
Kasi IKM Kasi PDN
Bendahara Pengelaran
Bendahara Penerimaan
Jabatan Fungsional
36
b. Mekanisme Pengawasan
Kendati urusan pengawasan barang ada dibawah Bidang Perdagangan
Dalam Negeri Dinas Perdagangan, namun pelaksanaan pengawasan
dilakukan bersama-sama dalam sebuah Tim Pengawasan Terpadu. Ada dua
jenis pengawasan barang di Kabupaten Nunukan, (1) Pengawasan rutin tri-
wulanan, dan (2) Pengawasan menjelang hari raya. Kedua jenis pengawasan
ini tidak hanya dilakukan oleh Bidang perdagangan saja, melainkan dibantu
oleh bidang atau SKPD lain yang berhubungan, seperti Dinas Kesehatan,
Satpol PP, dan aparat Polri.Dengan demikian dalam satu tahun ada sekitar 3
(tiga) kali kegiatan pengawasan di setiap kecamatan. Khusus untuk
kecamatan Nunukan, ada 5 (lima) kali kegiatan pengawasan. Pengawasan
terutama dilaksanakan di pasar tradisional.Dalam satu tahun, tidak seluruh
kecamatan mendapat pengawasan, kecamatan bergiliran mendapat
pengawasan. Untuk tahun 2014 misalnya, hanya dianggarkan untuk 8
(delapan) kecamatan. Setiap kecamatan mendapat jatah waktu pengawasan
selama 3 (tiga) hari.
Perencanaan kegiatan pengawasan dilakukan di tingkat Kepala Dinas
(Eselon II), sebagai bagian dari rencana kerja daerah dalam urusan
perdagangan, Pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah Kabupaten
dilakukan oleh tim gabungan dari beberapa SKPD terkait. Disamping karena
jumlah orang yang terbatas, juga karena urusan ini juga dinilai tersebar pada
SKPD-SKPD yang lain. SKPD yang terlibat dalam kegiatan pengawasan
barang adalah Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan Bidang-bidang lain dalam
Disperindagkop UMKM. Koordinasi pelaksanaan pengawasan dilakukan
dalam pertemuan SKPD yang biasanya dilakukan menjelang pengawasan
dilakukan. Tidak ada forum khusus untuk untuk melakukan koordinasi
pelaksanaan ini, hanya komunikasi langsung antar Kepala Dinas.
37
c. Sumberdaya Pengawasan
Jumlah PPBJ yang ada di Kabupaten Nunukan berjumlah 2 (dua) orang.
Kedua petugas ini berusia antara 25-40 tahun. Satu petugas berasal dari
Bidang perdagangan, sedangkan satu petugas berasal dari bidang
Perindustrian. Kedua petugas ini tidak khusus mengurusi pengawasan
barang saja, tetapi juga tugas administratif lain di bidang perdagangan dan
industri.
Kabupaten Nunukan secara rutin mengusulkan SDM untuk mengikuti
diklat PPBJ. Untuk tahun ini, sudah mengirimkan 3 (tiga) nama peserta,
tetapi belum mengetahui apakah akan dipanggil atau tidak. Permasalah
jumlah petugas pengawas ini kurang lebih sama dengan yang lain, yaitu
kemampuan daerah menjaga petugas yang ada. Hal ini karena mutasi yang
kerap terjadi di daerah.
Jika dihitung, kebutuhan petugas minimal adalah sebanyak 2 (dua)
orang. Dengan demikian, jumlah petugas yang ada saat ini dinilai sudah
mencukupi jika hanya khusus fokus mengurusi pengawasan barang
saja.Namun mempertimbangkan batas perjalanan dinas yang dibatasi
selama 3 (tiga) hari saja, dan sulitnya menjangkau daerah perbatasan,
seperti kecamatan Krayan dan Sebuku, maka jumlah ideal petugas
sebaiknya menjadi 4 (empat) orang. Kabupaten juga belum memiliki
Penyidik PPNS Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).
38
Tabel 4. 8. Perhitungan Kebutuhan Hari Pengawasan Minimal
Jumlah kecamatan 16 kecamatan
Waktu kegiatan pengawasan 3 hari per kecamatan
Jumlah kali pengawasan per tahun 3 kali per tahun
Kebutuhan hari pengawasan 144 hari per pengawasan per tahun
Jumlah pasar tradisional 1) 18 pasar
Jumlah pedagang pasar tradisional 1) Sekitar 2.822 pedagang
Kebutuhan sampel minimal 2) 350 pedagang
Kebutuhan waktu pengawasan minimal setahun:
- Kapasitas 1 pedagang per hari 350 hari
- Kapasitas 2 pedagang per hari 175 hari
- Kapasitas 3 pedagang per hari 120 hari
Kebutuhan Petugas PPBJ 2 – 4 orang
Kebutuhan Petugas PPNS 1 – 2 orang
1) Kementerian Perdagangan 2) menggunakan rumus Slovin untuk taraf signifikansi 5%
Hingga saat ini, pelanggaran yang ditemui tidak pernah dilanjutkan ke
tahapan penyidikan, tindakan yang dilakukan lebih mengarah kepada
penyuluhan dan pembinaan, seperti teguran, membuat surat pernyataan, dan
menarik barang bermasalah secara sukarela. Pihak yang sudah melakukan
tindakan dan penyidikan adalah dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) Provinsi Kalimantan Timur, namun terbatas hanya kepada makanan
dan obat-obatan (hingga saat ini Kabupaten Nunukan belum memiliki BPOM
Kabupaten).
Pengawasan dilakukan berdasarkan parameter yaitu SNI, Label
berbahasa Indonesia dan MKG. Pengawasan yang dilakukan secara kasat
mata. Pengawasan tidak pernah ke tahap pengujian laboratorium karena
tidak ada anggaran untuk membeli sampel barang dan belum ada fasilitas
laboratorium yang cukup di kabupaten. Pembelian sampel hanya dilakukan
jika ada pesanan dari PPBJ provinsi Kalimantan Timur atau titipan pesanan
39
dari Pusat. Namun kegiatan ini belum dilakukan sebanyak pengawasan oleh
BPOM. Menurut keterangan, dalam satu tahun minimal 1 (satu) kali
pembelian jenis barang yang berbeda-beda.
Kecukupan ketrampilan dan kompetensi petugas PPBJ yang ada saat
ini dinilai cukup, namun dinilai sering tertinggal informasi peraturan dan
informasi terbaru. Untuk itu petugas PPBJ kabupaten Nunukan
mengharapkan dapat lebih sering memperoleh sosialisasi jika ada peraturan/
informasi baru dan pelatihan dari pemerintah pusat.
Anggaran
Jumlah anggaran pengawasan tahun 2014 adalah sebesar Rp
223.192.000,- untuk melaksanakan pengawasan di 8 (delapan) kecamatan.
Anggaran pengawasan berasal dari dana Dekonsentrasi. Anggaran total
bidang perdagangan adalah sebesar Rp 4.104.000.000. Dengan demikian,
jumlah anggaran pengawasan hanya meliputi 5,4% dari anggaran bidang
perdagangan.
Sarana
Tidak ada sarana khusus yang dimiliki oleh bidang perdagangan dalam
negeri untuk pelaksanaan pengawasan barang ini. Untuk melaksanakan
tugas pengawasan, tim memang memiliki kesempatan untuk menggunakan
mobil operasional dinas yaitu satu buah mobil pick-up untuk mengangkut
barang.
d. Rasio Proporsi Barang Beredar Sesuai Parameter
Proprosi barang sesuai parameter digunakan untuk mencoba
menunjukkan “kinerja” pemerintah dalam menjaga pasar dari masuknya
barang yang tidak sesuai aturan. Rasio ini dihitung dari proposi jumlah
barang yang sesuai parameter pengawasan (yang disederhanakan, hanya
label dan SNI, serta kadaluarsa untuk bahan makanan).
40
Pengolahan data kabupaten Nunukan menunjukkan rasio sebesar 50%,
artinya baru sebesar 50% barang dari toko sampel yang diamati, relatif
sesuai dengan ketentuan/parameter yang ada.
e. Permasalahan Pengawasan
Untuk bahan kebutuhan pokok, produk dalam negeri tidak dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama dari segi jumlah ketersediaan
dan harga. Untuk sayur, buah, dan daging segar, produk dalam negeri
kebanyakan telah rusak dalam pengangkutan sehingga kualitasnya mejadi
lebih rendah.
f. Harapan Kepada Pemerintah Daerah
Dapat berkoordinasi dengan daerah lain untuk memperoleh barang
yang dibutuhkan masyarakat.
4.3. Profil Perdagangan Kabupaten Malinau
Kabupaten Malinau terletak antara 114°35'22" sampai dengan
116°50'55" Bujur Timur dan 1°21'36" sampai dengan 4°10'55” Lintang Utara.
Seluruh wilayah Kabupaten Malinau merupakan daratan dengan luas
39.766,33 Km2 sehingga menjadikan Malinau kabupaten terluas di Propinsi
Kalimantan Timur. Secara administrasi, Kabupaten Malinau merupakan salah
satu daerah hasil pemekaran wilayah Kabupaten Bulungan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 47 Tahun 1999 dimana wilayahnya terletak di bagian
utara Provinsi Kalimantan Timur yang juga berbatasan langsung dengan
Negara Bagian Serawak, Malaysia. Letak geografisnya yang berbatasan
dengan Malaysia merupakan salah satu pertimbangan sebagai daerah
survey untuk Kajian Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan.
41
4.3.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Malinau
Perdagangan pada daerah perbatasan di Kabupaten Malinau terdiri dari
dua cara, yaitu perdagangan lintas batas dari beberapa kecamatan yang
berbatasan langsung dengan Malaysia (seperti Kecamatan Kayan Hulu,
Kayan Hilir, Kayan Selatan, Bahau Hulu, dan Pujungan) dan perdagangan
melalui Kabupaten lain di Propinsi Kalimantan Utara. Ala et al (2013)
menggambarkan studi kasus perdagangan lintas batas di Kecamatan Kayan
Hulu yang berbatasan dengan Sawarak dimana lokasi perdagangan
berlangsung di Malaysia. Dalam pelaksanaannya, Pelintas2 di Kecamatan
Kayan Hulu melewati pemeriksaan yang terdapat di Desa Long Nawang
menuju Tapak Mega atau Kapit yang berlokasi di Sarawak. Beberapa hal
yang menjadi perhatian dalam perdagangan lintas batas antara lain:
Motivasi penduduk melakukan perdagangan lintas batas adalah untuk
memenuhi kebutuhan pokok.
Pelintas terdiri dari perorangan dan pedagang lokal.
Jenis barang yang diperdagangkan antara lain gula, minyak goreng, Gas
Elpiji, alat komunikasi dan elektronik, pakaian, dan BBM dengan volume
terbatas untuk keperluan sehari-hari.
Lokasi perdagangan berada di wilayah Malaysia yang berjarak sekitar 23
Km dari perbatasan.
Intensitas perdagangan didasari pada kedekatan hubungan pelintas
dengan pedagang di Malaysia.
Sementara perdagangan barang di luar wilayah perbatasan dilakukan
melalui jalur distribusi dari Kabupaten Nunukan. Dalam pelaksanaannya,
Pengecer atau Pelintas yang berada di Kabupaten Malinau (Kota) membeli
2penduduk yang berdiam atau bertempat tinggal dalam wilayah perbatasan negara
serta memiliki kartu identitas yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan yang
melakukan perjalanan lintas batas di daerah perbatasan melalui Pos Pengawas Lintas Batas
(Peraturan Menteri keuangan No 188/PMK.04/2010 Tentang Impor Barang Yang Dibawa
Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman
42
barang dari Tawau (Malaysia) dan didistribusikan melalui Kecamatan Sebatik
(Kabupaten Nunukan) – Sungai Nyamuk – Kecamatan Sebuku (Kabupaten
Nunukan) – Kecamatan Mensalong (Kabupaten Nunukan) – Malinau Kota.
Beberapa hal yang menjadi perhatian dalam perdagangan tersebut antara
lain:
Motivasi penduduk melakukan perdagangan lintas batas adalah untuk
memenuhi kebutuhan pokok dan mencari keuntungan melalui penjualan
grosir/eceran.
Pelintas terdiri dari perorangan dan pedagang.
Sarana transportasi yang digunakan adalah kapal angkut dan truk
Jenis barang yang diperdagangkan antara lain gula, minyak goreng,
terigu, Gas Elpiji, makanan ringan dan olahan, daging sapi, pakaian, dan
BBM dengan volume tertentu baik untuk keperluan sehari-hari maupun
penjualan grosir/eceran.
Intensitas perdagangan didasari pada kedekatan hubungan pelintas
dengan pedagang di Malaysia.
Gambar 4. 7. Alur Perdagangan Lintas Batas di Kecamatan Kayan Hulu
43
Perdagangan lintas batas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
(1) kedekatan geografis dan kondisi topografis wilayah; (2) aksesibilitas; (3)
kedekatan secara kultural dan emosional diantara kedua komunitas di
perbatasan tersebut. Namun demikian, terdapat manfaat dari kegiatan
perdagangan lintas batas antara lain terciptanya kemampuan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan dasar (pokok) dengan cara yang relatif lebih
mudah dengan biaya yang relatif lebih murah dan waktu yang lebih cepat.
Gambar 4. 8. Alur Perdagangan Barang Dari Perbatasan Ke Kabupaten Malinau
Tawau
(Malaysia)
Transportasi Laut
PERBATASAN
Sebatik
(Nunukan)
Transportasi Laut
Nunukan
(Kota)
Sungai
Nyamuk
Sebuku
(Nunukan)
Transportasi Laut
Mensalong
(Nunukan)
Transportasi
Darat
Kabupaten
Malinau
Transportasi
Darat
44
a. Perdagangan Barang Lintas Batas
Pemerintah Daerah melalui Dinas Perindustrian, Perdagangan dan
Koperasi telah mengatur jenis barang yang dapat diperdagangkan melalui
perbatasan merupakan barang kebutuhan pokok. Peraturan tersebut
dikeluarkan oleh Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi
pada tanggal 19 Juli 2013 dengan beberapa ketentuan antara lain:
1) Barang kebutuhan pokok dapat diperdagangkan melalui perbatasan
dengan dasar untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.
2) Barang yang dilarang peredarannya seperti minuman beralkohol, bahan
peledak, dan barang beracun yang tidak ditujukan untuk kegiatan
pertanian tidak termasuk dalam barang yang dapat diperdagangkan
melalui perbatasan.
3) Apabila pelaku usaha terbukti memperdagangkan barang yang dilarang
peredarannya, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
4) Pelaku usaha yang memasukkan barang kebutuhan pokok dari Malaysia
wajib menjual produk hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan dari
Malinau untuk diperdagangkan di Malaysia.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perdagangan barang lintas batas
didominasi oleh barang kebutuhan pokok (Tabel 4.9) antara lain gula pasir,
minyak goreng, tepung terigu, daging ayam, daging sapi, produk susu
olahan, bawang putih, gas LPG, dan air minum dalam kemasan. Sementara
produk lainnya seperti elektronik tidak memiliki jumlah yang signifikan karena
pada umumnya tidak diperdagangkan.
45
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Gambar 4. 9. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang
Tabel 4. 9. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Malinau)
No Jenis Barang Sumber
1 Beras Indonesia
2 Gula Pasir Indonesia dan Malaysia
3 Minyak Goreng Indonesia
4 Daging Ayam Broiler Malaysia
5 Telur Ayam Ras Indonesia
6 Susu Kental Manis Indonesia
7 Susu Bubuk Malaysia
8 Garam Indonesia
9 Tepung Terigu Indonesia dan Malaysia
10 Mie Instan Indonesia
11 Bawang Merah Indonesia
12 Bawang Putih Malaysia
13 Kacang Hijau Indonesia
14 Kacang Tanah Indonesia
15 Gas LPG Malaysia
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Dalam negeri, 35
.2%Luar negeri, 64
.8%
Makanan
Dalam negeri
Luar negeri Dalam negeri, 66
.4%
Luar negeri, 33
.6%
TotalMakanan Total
46
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Gambar 4. 10. Nilai Bahan Pokok Yang Beredar
Seperti yang terlihat pada grafik 4.10, barang kebutuhan pokok
didominasi oleh barang yang berasal dari Malaysia. Beberapa
diantaranya adalah terigu, minyak goring, dan gula pasir. Barang
tersebut merupakan kebutuhan pokok yang memiliki nilai relatif besar
untuk diperdagangkan. Jika didasarkan pada nilai, beberapa barang
pokok seperti Mie Instan, gula, minyak goreng, beras, susu bubuk, dan
gas LPG juga merupakan barang yang sering diperdagangkan.
4.3.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar
Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan,
dan KoperasiKabupaten Malinauberupa pengawasan barang sesuai dengan
ketentuan seperti SNI Wajib, label berbahasa Indonesia, dan Manual Kartu
Garansi (MKG) yang dilakukan dua kali dalam setahun. Dalam hal ini,
47
pengawasan terhadap peredaran barang di perbatasan belum dilakukan
secara khusus dikarenakan beberapa hal, antara lain :
1) Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar
sangat terbatas. Alokasi anggaran kegiatan pengawasan lebih difokuskan
pada aspek monitoring harga barang dan pelaksanaan ketentuan SNI
Wajib, MKG, dan label berbahasa Indonesia.
2) Belumtersedianya Petugas Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
(PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS-PK) yang memadai.
3) Belum tersedianya sarana dan prasarana seperti mobil operasional
pengawasan.
4) Belum tersedianya Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan barang. Hal ini
menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan prosedur
pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah
provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.
5) Kondisi geografis yang sulit bagi kegiatan pengawasan serta minimnya
infrastruktur pada jalur perdagangan lintas batas.
Secara umum, beberapa barang yang diperdagangkan tidak memenuhi
ketentuan yang berlaku seperti:
1) Tidak terdapat label/ tanda SNI Wajib pada produk Air Minum Dalam
Kemasan (AMDK) yang diimpor dari Malaysia. Hal ini tidak sesuai dengan
Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 49/M-IND/PER/3/2012 tentang
Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Air Minum Dalam
Kemasan (AMDK) Secara Wajib yang mengatur ketentuan label SNI
Wajib pada produk AMDK di pasar dalam negeri.
2) Produk gula pasir dan terigu yang diimpor dari Malaysia dijual pada
tingkat harga subsidi yang ditunjukkan dengan label “Produk Bersubsidi”
pada kemasan. Besaran subsidi adalah RM 1 untuk setiap produk.
48
4.4. Profil Perdagangan Kabupaten Sanggau
4.4.1. Gambaran Perdagangan di Kabupaten Sanggau
Dilihat dari letak geografisnya, Kabupaten Sanggau terletak diantara
1010’ Lintang Utara dan 0030’ Lintang selatan, serta diantara 109045’ dan
111011’ Bujur Timur atau berada pada bagian utara daerah Provinsi
Kalimantan Barat dengan luas daerah 12.857,70 km2 dan kepadatan
penduduk 33 jiwa per km2. Batas wilayah administratif Kabupaten Sanggau
adalah Utara berbatasan dengan Malaysia Timur (Sarawak), Selatan
berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, Timur berbatasan dengan
Sekadau, dan Barat berbatasan dengan Kabupaten Landak (Sanggau Dalam
Angka, 2013).
Sumber:http://informasi-kalbar.blogspot.com/2011/04/profil-kabupaten-
sanggau.html
Gambar 4.11. Peta Kabupaten Sanggau
49
Kabupaten Sanggau merupakan salah satu dari lima Kabupaten dari
total 14 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan
langsung dengan MalaysiaTimur (Sarawak) dengan panjang garis
perbatasan ± 129,50 Km. Di sepanjang perbatasan tersebut terdapat 1 Pos
Pemeriksaan Lintas Batas/PPLB (PPLB Entikong), 2 Pos Pelintas Batas/PLB
(PLB Bantan dan PLB Segumun), dan 11 pintu masuk tanpa pos
(Inventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kawasan Perbatasan, 2014).
Berdasarkan faktor geografis tersebut, pengembangan sektor perdagangan
merupakan salah satu langkah strategis dalam pembangunan Kabupaten
Sanggau. Akses langsung keluar negeri melalui PPLB Entikong mendorong
arus barang dan jasa dari Indonesia ke Malaysia maupun sebaliknya semakin
cepat.Pada dasarnya telah sejak lama terjalin hubungan perdagangan antara
kedua negara baik yang melalui PPLB, PLBmaupun jalan tikus. Seiring
dengan berkembangnya perekonomian daerah, perdagangan di daerah
perbatasan semakin kompleks dengan jenis produk, jumlah produk, jumlah
pelaku usaha, kebijakan atau regulasi, dan kendalanya. Oleh karena itu
pengawasan barang merupakan salah satu parameter yang memegang
peranan penting dalam perdagangan khususnya di daerah perbatasan.
a. Gambaran Perdagangan
Perdagangan lintasbatas melalui PPLB Entikong tidak hanya
memperdagangkan produk-produk yang ada di sekitar wilayah perbatasan
saja namun juga berbagai produk dari luar wilayah perbatasan. Sebagian
besar produk asal Indonesia yang diperdagangkan ke Malaysia adalah hasil
pertanian dari daerah sekitar perbatasan seperti lada, kakao, kacang tanah,
karet dan jagung serta produk dari daerah lain di Kalimantan Barat berupa
ikan, udang, lidah buaya. Sementara produk-produk seperti pakaian, kain,
kosmetik, rokok, mie instant, bahan bangunan dan elektronik berasal dari luar
provinsi Kalimantan Barat. Sedangkan produk asal Malaysia yang masuk ke
Indonesia adalah beras, gula, minyak goreng, tepung terigu, gas, makanan
50
Dalam negeri, 68.7%
Luar negeri, 31.3%
Total
Dalam negeri, 56.4%
Luar negeri, 43.6%
Makanan
Dalam negeri, 98.3%
Luar negeri,
1.7%
Elektronik
dan minuman, daging, susu bubuk,telur dan pupuk. Berdasarkan
pengamatan di lapangan diperoleh gambaan bahwa jumlah barang asal
dalam negeri yang beredar di daerah perbatasan sebanyak 68,7%
sedangkan sisanya sebesar 31,3 adalah barang yang berasal dari luar
negeri.
Pelaku usaha yang diperbolehkan untuk masuk dan bertransaksi di
pasar Serian adalah pelaku usaha yang memiliki Pass Lintas Batas.Pass
lintas batas dikeluarkan oleh Imigrasi untuk penduduk yang memiliki kartu
keluarga dan KTP Kecamatan Entikong dan Kecamatan Sekayam. Pass
tersebut berlaku 4 tahun dan harus melaporkan secara rutin setiap
bulan.Alasan pedagang dan konsumen memilih belanja bahan kebutuhan
pokok dari Malaysia karena kontinuitas persediaan dan harganya yang relatif
lebih murah jika dibandingkan dengan produk yang sama dari dalam Negeri.
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Gambar 4. 12. Proporsi Barang Beredar Menurut Sumber Barang
Khususnya untuk bahan kebutuhan pokok diduga masuk secara tidak
resmi karena semua bahan kebutuhan pokok tersebut merupakan subsidi
dari Pemerintah Malaysia. Para pelaku usaha membawa masuk ke Indonesia
dengan cara membayar kepada petugas baik petugas dari Indonesia maupun
51
Malaysia yang dalam istilah lokal dikenal dengan istilah “sopoy” atau
pungutan tidak resmi. Pada prinsipnya banyak dari pelaku usaha yang
mengeluhkan tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk memasukkan
barang ke Indonesia. Oleh karena itu pelaku usaha meminta untuk
melegalkan bahan kebutuhan pokok tersebut dan bersedia untuk membayar
jika barang kebutuhan tersebut akan dikenakan bea masuk.
Tabel 4. 10. Bahan Pokok yang Beredar Berdasarkan Sumbernya (Sanggau)
No. Jenis Barang Sumber
1 Beras Indonesia & Malaysia
2 Gula Pasir Malaysia
3 Minyak Goreng-botol Malaysia
4 Daging ayam boiler Indonesia
5 Telur ayam ras Malaysia
6 Garam Indonesia
7 Tepung Terigu Malaysia
8 Mie Instan Indonesia
9 Bawang merah Indonesia
10 Bawang putih Indonesia
11 Ikan Asin Teri Indonesia
12 Kacang hijau Indonesia
13 Kacang tanah Indonesia
14 Gas LPG Malaysia
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
52
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Gambar 4. 13. Nilai Bahan Pokok yang Beredar
Berdasarkan pengamatan dilapangan khususnya di Kecamatan
Entikong dan Kecamatan Sekayam dapat dilihat bahwa ketersediaan barang
terutama bahan pokok yang berasal dari dalam negeri sangat sedikit
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah
perbatasan. Saat ini sekitar 43,6% bahan kebutuhan pokok yang banyak
beredar di daerah perbatasan dipasok dari Malaysia seperti beras, minyak
goreng, tepung terigu, gula, daging dan tabung gas LPG. Kebutuhan bahan
pokok yang dipasok dari Malaysia kedalam wilayah Indonesia melalui PPLB
Entikong. Bahan kebutuhan pokok tersebut masuk melalui pos pemeriksaan
lintas batas Entikong dibawa oleh pelaku usaha yang membeli bahan
kebutuhan pokok di pasar Serian (masuk wilayahMalaysia).
Sementara untuk barang elektronik sekitar 98,3% barang elektronik
yang beredar di daerah perbatasan adalah barang elektronik dari dalam
negeri seperti: TV, mesin cuci, lemari es, setrika, air conditioner, regulator
53
tabung gas, dan alat listrik.Banyaknya barang elektronik dari dalam negeri
yang beredar di daerah perbatasan disebabkan perbedaan voltase listrik
antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia menggunakan voltase 220
sementara Malaysia menggunakan voltase 240-260 sehingga barang
elektronik dari Malaysia tidak dapat digunakan secara optimal di daerah
perbatasan.Pasokan barang elektronik di daerah perbatasan berasal dari
Pontianak yang umumnya berasal dari Jawa.
Tabel 4. 11. Bahan bangunan dan elektronik yang beredar berdasarkan sumbernya
No
. Jenis Barang Sumber
1 Baja lembaran lapis seng (Bj LS) Indonesia
2 Kabel daya - Bag 1: Kabel untuk voltase pengenal 1 kV dan 3 kV
Indonesia
3 Kabel daya - Bag 2: Kabel untuk voltase pengenal 6 kV sd 30 kV
Indonesia
4 Kabel PVC dgn tegangan pengenal sd 450/750 V - Bagian 5: Kabel fleksibel
Indonesia
5 Kloset duduk Indonesia
6 Lampu pijar Indonesia
7 Peralatan audio, video dan elektronika sejenis
Indonesia
8 Peralatan Pendingin Indonesia
9 Kotak Kontak Indonesia
10 Tusuk Kontak Indonesia
11 Mini Circuit Breaker – MCB Indonesia
12 Pompa Indonesia
13 setrika listrik Indonesia
14 mesin cuci Indonesia
15 Regulator tekanan rendah untuk tabung baja LPG
Indonesia
16 Selang karet untuk kompor gas LPG Indonesia
17 Semen Portland Indonesia
18 Ubin Keramik Indonesia
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
54
Ketersediaan bahan bangunan di daerah perbatasan sudah mencukupi
dan pasokannya rutin dan belum ada kendala dalam perdagangan bahan
bangunan. Bahan bangunan yang beredar didaerah perbatasan dipasok dari
Pontianak. Sebagian besar bahan bangunan tersebut berasal dari Jawa.Jenis
bahan bangunan yang banyak beredar adalah semen, ubin keramik, dan
seng.
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Gambar 4. 14. Nilai Barang Elektronik yang Beredar
4.4.2. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar
Dalam rangka kegiatan peningkatan pengawasan peredaran barang,
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Kabupaten Sanggau melakukan kegiatan pengawasan barang beredar
55
secara rutin dan berkala pada 15 Kecamatan yang ada di seluruh Kabupaten
Sanggau termasuk kecamatan yang berada di daerah perbatasan.
Berdasarkan pengawasan tersebut didapatkan hasil-hasil sebagai berikut:
banyak jenis makanan dan minuman dari kaleng, botol serta dari kotak yang
tidak mencantumkan kode registrasi MD dan ML (tanpa ijin Dinas Kesehatan
dan BPOM), masih ditemukan lampu pijar yang tidak mencantumkan tanda
SNI, dan produk makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa serta
kemasannya rusak atau cacat (Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan
Pengawasan Peredaran Barang dan Jasa, 2014). Tindak lanjut dari hasil
pengawasan tersebut adalah meminta kepada pengecer untuk
mengembalikan barang-barang yang tidak sesuai dengan ketentuan atau
dimusnahkan demi keamanan dan keselamatan konsumen
a. Rasio Proporsi Barang Beredar sesuai parameter
Rasio barang sesuai parameter mencoba menunjukkan kinerja
pemerintah dalam menjaga pasar dari masuknya barang yang tidak sesuai
ketentuan. Rasio ini dihitung dari proposi jumlah barang yang sesuai
parameter pengawasan (yang disederhanakan, hanya label dan SNI, serta
kadaluarsa untuk bahan makanan).
Pengolahan data kabupaten Sanggau menunjukkan rasio sebesar 52%,
yang menunjukkan hanya sekitar 52% barang dari toko sampel yang diamati,
relatif sesuai dengan ketentuan yang ada.
b. Permasalahan Pengawasan
Keterbatasan jumlah pegawai dan anggaran menyebabkan
pengawasan tidak dapat dilakukan pada semua Kecamatan namun dilakukan
secara bergantian pada tiap-tiap Kecamatan yang telah ditetapkan sebagai
objek pengawasan setiap tahunnya. Kendala lain yang dihadapi dalam
pelaksanaan kegiatan pengawasan adalah tidak adanya Petugas
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS-PK) yang disebabkan karena pegawai yang telah mendapatkan
56
pelatihan sebagai PBBJ atau PPNS-PK dipindahkan atau dipromosikan ke
unit lain diluar unit perdagangan dan atau telah memasuki masa pensiun.
c. Harapan Kepada Pemerintah Daerah
Untuk mengatasi permasalah perdagangan yang terjadi di daerah
perbatasan, Pemerintah dapat segera memberikan solusi antara lain:
Penyediaan bahan kebutuhan pokok di daerah perbatasan,
Fasilitasi penyediaan infrastruktur seperti jalan yang baik dan instrumen
pendukung lainya khususnya untuk meminimalisir peredaran barang
melalui jalur yang tidak resmi dan juga dapat menambah pemasukan
negara dari bea masuk barang,
Penambahan PPBJ dan PPNS-PK di daerah perbatasan melaui
pengadaan pegawai baru dan pelatihan,
Memberlakukan aturan atau kebijakan khusus bagi daerah perbatasan
dalam rangka pengadaan dan pengawasan barang mengingat kondisi
geografis dan pola perdagangan yang berbeda dengan daerah bukan
perbatasan, dan
Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka
pengawasan barang beredar.
4.5. Profil Perdagangan Kabupaten Bengkayang
Kabupaten Bengkayang terletak di bagian utara provinsi Kalimantan
Barat. Secara administratif, Kabupaten Bengkayang berbatasan di sebelah
timur dengan Kabupaten Sambas dan Sarawak (Malaysia Timur), di sebelah
selatan dengan Kabupaten Pontianak, di sebelah timur dengan Kabupaten
Landak dan Kabupaten Sanggau, serta di sebelah barat dengan Kota
Singkawang dan Laut Natuna. Panjang perbatasan negara di Kabupaten
Bengkayang adalah 76,564 km.
Kabupaten Bengkayang memiliki 17 kecamatan, salah satunya adalah
kecamatan Jagoi Babang yang merupakan daerah perbatasan dengan
57
Malaysia. Pintu perbatasan Jagoi Babang dengan Malaysia belum dibuka
secara resmi, sehingga pemerintah setempat tidak mengeluarkan Pass
Lintas Batas (PLB) seperti di daerah perbatasan lain misalnya di Kabupaten
Sanggau (Entikong) untuk masyarakat melintasi perbatasan negara. Jika
masyarakat Bengkayang, khususnya penduduk Jagoi Babang, ingin ke
Malaysia terkait kegiatan perdagangan dan lain-lain, maka mereka
memerlukan surat keterangan dari kecamatan setempat. Berdasarkan
pengamatan di lapangan, pos penjagaan di perbatasan tidak dijaga secara
ketat. Sementara, pos penjagaan lintas batas di negara Malaysia lebih aktif
dalam hal pemeriksaan dan pendataan orang dan barang yang keluar masuk
dari dan ke Malaysia. Pemeriksaan dan pendataan tersebut termasuk
memeriksa apakah barang yang dibawa oleh pelintas batas merupakan
barang yang dikategorikan dilarang untuk diperjualbelikan, seperti Batik,
bahan peledak, senjata tajam, dan sebagainya. Selain itu, pos penjagaan
lintas batas Malaysia juga mencatat barang-barang apa saja yang masuk dan
keluar. Namun, nilai perdagangan barang-barang tidak dicatat.
4.5.1. Gambaran perdagangan di Kabupaten Bengkayang
Jenis barang yang beredar di kabupaten Bengkayang digolongkan
dalam 3 kategori, yaitu bahan kebutuhan pokok masyarakat, bahan
bangunan, dan barang eletronik dan alat listrik. Dari seluruh barang tersebut,
mayoritas berasal dari dalam negeri (Indonesia) yaitu sekitar 79,7%.
Sementara proporsi barang yang berasal dari luar negeri khususnya Malaysia
adalah sebesar 20,3%.
58
Gambar 4. 15. Proporsi Asal Barang yang Beredar
a. Barang kebutuhan pokok
Barang kebutuhan pokok masyarakat yang disurvey terdiri dari 30 jenis,
meliputi beras, gula pasir, minyak goreng, sumber protein hewani dan nabati,
serta sayur mayur. Berbagai jenis barang tersebut yang asalnya dari dalam
negeri adalah beras, cabe rawit, ikan asin dan tomat. Sementara yang
berasal dari Malaysia yaitu gula pasir, daging ayam, bawang merah dan
putih, serta sayuran seperti kol, kentang, wortel dan buncis. Kemudian,
beberapa barang yang berasal dari dalam maupun luar negeri seperti telur
ayam, minyak goreng, garam, tepung terigu, susu kental manis, dan mie
instan. Untuk bahan bakar gas (elpiji) yang digunakan rumah tangga,
berdasarkan pengamatan di lapangan hampir seluruhnya berasal dari
Malaysia.
59
Tabel 4. 12. Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di Bengkayang dan Sumbernya
Nama barang Asal Barang
Beras Indonesia
Gula Pasir Malaysia
Minyak Goreng-botol Indonesia, Malaysia
Minyak Goreng-curah Indonesia
Daging ayam boiler Malaysia
Telur ayam ras Indonesia, Malaysia
Susu kental manis Indonesia, Malaysia
Garam Indonesia, Malaysia
Tepung Terigu Indonesia, Malaysia
Mie Instan Indonesia, Malaysia
Cabe Rawit Indonesia
Bawang merah Malaysia
Bawang putih Malaysia
Ikan Asin Teri Indonesia
Kol/Kubis Malaysia
Kentang Malaysia
Tomat Indonesia
Wortel-Buncis Malaysia
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, barang-
barang kebutuhan pokok tidak dapat seluruhnya dipasok dari dalam negeri.
Hal ini dikarenakan distribusi barang tersebut ke daerah perbatasan,
khususnya Jagoi Babang, memerlukan biaya yang cukup besar. Seperti
misalnya gula pasir yang seluruhnya berasal dari Malaysia. Para pedagang
mengemukakan bahwa gula pasir yang berasal dari dalam negeri (dari pulau
Jawa) harganya lebih mahal daripada gula pasir yang berasal dari Malaysia.
Demikian halnya dengan daging ayam serta bawang merah dan putih.
Sementara untuk beberapa jenis sayuran seperti wortel dan buncis juga
dipasok dari Malaysia karena sayur tersebut tidak dapat ditanam dan
60
dihasilkan dari lahan pertanian setempat. Dari segi pasokan, selama ini tidak
ada hambatan pasokan yang signifikan. Arus barang dari Malaysia juga stabil
karena pedagang secara rutin membeli barang dari Malaysia dan sudah
memiliki pemasok tetap.
Gambar 4. 16. Nilai Barang Kebutuhan Pokok yang Beredar di
Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total
Sebagian bahan kebutuhan pokok yang beredar di kabupaten
Bengkayang berasal dari Malaysia. Untuk susu dan susu kental manis,
konsumen lebih menyukai yang berasal dari Malaysia karena rasanya dinilai
lebih enak dan cocok dengan selera. Sementara itu untuk beras, masyarakat
lebih menyukai beras yang berasal dari Indonesia karena lebih pulen.
61
b. Bahan bangunan
Bahan bangunan yang beredar di kabupaten Bengkayang seluruhnya
dipasok dari Pontianak. Sebagian besar bahan bangunan tersebut berasal
dari pulau Jawa. Jenis bahan bangunan yang banyak beredar adalah semen,
ubin keramik, seng, dan paku. Berdasarkan pengamatan secara kasat mata
diperoleh informasi bahwa bahan-bahan tersebut telah memenuhi SNI, Label,
dan MKG.
Bahan bangunan maupun elektronik di kabupaten Bengkayang tersedia
cukup dan tidak memiliki hambatan dalam pasokannya. Para pedagang yang
menjadi responden mengemukakan bahwa barang-barang yang telah
memenuhi SNI memiliki pangsa pasar yang cukup besar, terutama jika
konsumen membutuhkan barang dengan kualitas yang baik. Sementara
barang-barang yang belum memenuhi SNI umumnya dipilih karena harganya
yang kompetitif. Namun demikian, asal barang tidak terlalu menjadi masalah
bagi konsumen.
Tabel 4. 13. Bahan Bangunan yang Beredar di Kabupaten Bengkayang dan Sumbernya
Nama Barang Asal Barang
Kloset Indonesia
Ubin Keramik Indonesia
Semen Indonesia
Baja Tulang Beton Indonesia
Baja Lembaran Indonesia
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
62
Gambar 4. 17. Nilai Bahan Bangunan dan Elektronik yang Beredar di Kecamatan Jagoi Babang Menurut Jumlah Total
c. Barang elektronik dan alat listrik
Hampir sekitar 90% barang elektronik yang beredar di daerah
perbatasan adalah barang elektronik dari dalam negeri seperti televisi, mesin
cuci, kulkas, setrika, AC, regulator tabung gas, dan lain-lain. Pasokan barang
elektronik berasal dari Pontianak yang umumnya berasal dari Pulau Jawa.
63
Tabel 4. 14. Barang Elektronik dan Alat Listrik yang Beredar di Kabupaten Bengkayang dan Sumbernya
Nama Barang Asal Barang
Mesin cuci Indonesia
Peralatan Pendingin Indonesia
Setrika listrik Indonesia
Kompor gas bahan bakar LPG satu tungku Indonesia
Pompa Indonesia
Kabel daya - Bag 2: Kabel untuk voltase pengenal 6 kV sd 30 kV Indonesia
Regulator tekanan rendah untuk tabung baja LPG Indonesia
Kabel PVC dgn tegangan pengenal sd 450/750 V - Bagian 5: Kabel fleksibel Indonesia
Mini Circuit Breaker – MCB Indonesia
Kabel daya - Bag 1: Kabel untuk voltase pengenal 1 kV dan 3 kV Indonesia
Kloset duduk Indonesia
Kotak Kontak Indonesia
Air minum dalam kemasan Indonesia
Tusuk Kontak Indonesia
Lampu pijar Indonesia
Lampu swa-balast Indonesia
Ubin Keramik Indonesia
Semen masonry Indonesia
Baja tulangan beton Indonesia
Baja lembaran lapis seng (Bj LS) Indonesia
Sumber: Data Hasil Survey (diolah)
Banyaknya barang elektronik dalam negeri yang beredar di daerah
perbatasan disebabkan perbedaan voltase listrik antara Indonesia dan
Malaysia. Indonesia menggunakan voltase 220 sementara Malaysia
menggunakan voltase 240-260. Barang elektronik dari Malaysia tidak dapat
digunakan secara optimal di Indonesia, khususnya di daerah perbatasan.
Serupa dengan bahan bangunan, preferensi masyarakat untuk barang
elektronik dan alat listrik didasarkan pada harga dan kebutuhan. Khusus
64
untuk alat listrik yang digunakan dalam instalasi listrik oleh Perusahaan Listrik
Negara (PLN), masyarakat akan memilih alat dan perlengkapan listrik yang
sudah memenuhi SNI seperti yang disyaratkan oleh PLN.
4.5.2. Pelaksanaan pengawasan barang yang beredar
Dinas Perindustrian dan Perdagangan kabupaten Bengkayang belum
pernah melakukan kegiatan pengawasan barang yang beredar. Hal ini
disebabkan antara lain :
a. Pada Dinas Perindag belum dibentuk bidang yang khusus menangani
perlindungan konsumen. Pengawasan barang beredar berada pada seksi
(eselon 4) yang salah satu tugas dan fungsinya melaksanankan
pengawasan barang beredar kabupaten Bengkayang termasuk daerah
perbatasan. SDM pengawas yang dimiliki sangat terbatas atau kurang
mencukupi untuk melakukan pengawasan yang dapat menjangkau 53
pasar. Saat ini, jumlah SDM pengawas yaitu Petugas Pengawasan
Barang Beredar dan Jasa (PBBJ) hanya dua orang, namun belum
memiliki petugas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS-PK). Dengan
demikian apabila terjadi kasus pelanggaran, akan dilakukan secara damai
atau penarikan barang dari peredaran.
b. Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar
tidak menjadi prioritas. Kegiatan yang rutin dilakukan oleh dinas adalah
monitoring harga barang-barang di pasar(di tingkat pengecer) terutama
untuk tujuan inflasi. Pelaksanaan pengawasan barang beredar dilakukan
secara koordinasi (Dinas Perindag. Balai POM, Dinas Kesehatan)pada
saat menjelang hari besar keagamaan yaitu Lebaran dan Natal-Tahun
Baru (satu tahun dua kali pengawasan). Terkait dengan hal tersebut,
Dinas Perindag. secara rutin melaksanakan pasar murah dan penyaluran
Raskin dalam rangka stabilisasi harga.
c. Dinas Perindag tidak memiliki Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan
barang. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan
65
prosedur pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari
pemerintah provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.
Pelaksanaan pengawasan barang beredar dilakukan oleh instansi
masing-masing sesuai tugas dan fungsinya. Untuk Dinas Perindag barang
yang diawasi adalah non pangan, Balai POM yaitu bahan makanan
sedangkan Dinas Kesehatanyaitu obat-obatan serta kosmetik.Parameter
pengawasan oleh Dinas Perindag berdasarkan SNI, Label dan MKG, untuk
Balai POM dan Dinas Kesehatan melakukan uji sampel di beberapa pasar
untuk mengecek tanggal kadaluarsa, kandungan bahan-bahan berbahaya
dan kode registrasi.
66
BAB V. PELAKSANAAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR
DI DAERAH PERBATASAN
5.1. Pelaksanaan Pengawasan Barang Beredar di Daerah Perbatasan
Hasil survey ke daerah kajian menunjukkan bahwa belum seluruh
daerah melaksanakan pengawasan barang beredar. Kabupaten Bengkayang
misalnya, ternyata tidak pernah melakukan pengawasan barang beredar,
yang dilakukan selama ini hanyalah memfasilitasi kegiatan pemantauan
harga barang di tingkat kabupaten.
Secara umum, pelaksana pengawasan barang ditangani oleh petugas
PPBJ (staf) yang berada dibawah seksi Perdagangan Dalam Negeri. Seksi
ini dikendalikan oleh seorang kepala seksi yang berasal dari eselon IV (tabel
5.1). Penggabungan urusan didaerah dalam sebuah dinas, seperti Dinas
Perindustrian Perdagangan Koperasi dan UKM, membuat urusan
pengawasan barang dan perlindungan konsumen dilaksanakan pada
tingkatan yang rendah.
Tabel 5.1. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar
Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang
Kelembagaan pelaksana
Seksi Perdagangan Dalam Negeri
Seksi Perdagangan Dalam Negeri
Seksi Perdagangan Dalam Negeri
Seksi Distribusi, Perlindungan Konsumen, dan Metrologi
Eselon IV IV IV IV
frekwensi pengawasan per tahun
4 kali 2 kali 1 kali Tidak melakukan
Mekanisme
Dilaksanakan oleh Tim Terpadu (gabungan SKPD) Hanya kasat mata
Dilaksanakan oleh unit kerja perdagangan Hanya kasat mata
Dilaksanakan oleh unit kerja perdagangan Hanya kasat mata
Tidak melaksanakan
Sumber: Data diolah
67
Beberapa daerah tampak sudah lebih sungguh-sungguh dalam
pelaksanaan pengawasan barang beredar, seperti kabupaten Nunukan dan
Kabupaten Sanggau misalnya. Pelaksanaan pengawasan dilaksanakan oleh
Tim Terpadu, yang diikuti oleh lebih dari satu SKPD, sehingga koordinasi
pengawasan barang ada pada tingkatan yang lebih tinggi. Pelaksanaan
secara terpadu membuat frekwensi pengawasan menjadi lebih tinggi
dibandingkan daerah lain.
Tabel 5. 2. Pelaksanaan mekanisme pengawasan barang di daerah survey
Tahap Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang
Perencanaan Ada Ada Ada Ada
Pelaksanaan Berkala Ada Ada Ada Tidak ada
- Pembelian sampel acak Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
- Pengamatan kasat mata Ada Ada Ada Tidak ada
- Uji laboratorium (jika perlu) Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
- Berita acara pengawasan Ada Ada Ada Tidak ada
- Hasil pengamatan kasat mata Ada Ada Ada Tidak ada
- Tabulasi hasil uji laboratorium Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
- Rencana tindak lanjut hasil pengawasan Ada Tidak ada Ada Tidak ada
- Penerimaan pengaduan masyarakat Ada Tidak ada Ada Tidak ada
Pelaksanaan pengawasan khusus Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Melaksanakan tindakan terhadap pelanggaran
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pelaporan kepada Bupati Ada Ada Ada Tidak ada
Pelaporan kepada Gubernur Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Pelaporan kepada Menteri Perdagangan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Berdasarkan mekanisme pengawasan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Perdagangan RI Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa. Pelaksanaan
68
pengawasan barang beredar meliputi kegiatan-kegiatan perencanaan,
pelaksanaan pengawasan (meliputi pembelian sampel acak, pengamatan
kasat mata, uji laboratorium (jika perlu), pembuatan berita acara
pengawasan, pembuatan hasil pengamatan kasat mata, tabulasi hasil uji
laboratorium, rencana tindak lanjut hasil pengawasan, penerimaan
pengaduan masyarakat, pelaksanaan pengawasan khusus), melaksanakan
tindakan terhadap pelanggaran, pelaporan kepada bupati, pelaporan kepada
gubernur, dan pelaporan kepada menteri perdagangan. Hasil pengamatan
terhadap pelaksanaan pengawasan barang di daerah perbatasan
menunjukkan belum seluruh tahapan tersebut dilaksanakan. Kegiatan
pengawasan yang umumnya dilaksanakan adalah perencanaan dan
pengamatan secara kasat mata. Sementara pembelian sampel dan uji
laboratorium belum dilakukan karena keterbatasan anggaran dan ketiadaan
lab penguji di daerah survey. Kegiatan lain yang tidak dilakukan adalah
pelaporan hasil pengawasan kepada Gubernur dan Menteri Perdagangan
melalui Direktur Pengawasan Barang Beredar dan Jasa. Berikut ini
gambaran pelaksanaan pengawasan barang di daerah kajian.
5.1.1. Kabupaten Nunukan
Kendati urusan pengawasan barang ada dibawah Bidang Perdagangan
Dalam Negeri Dinas Perdagangan, namun pelaksanaan pengawasan
dilakukan bersama-sama dalam sebuah Tim Pengawasan Terpadu. Ada dua
jenis pengawasan barang di Kabupaten Nunukan, (1) Pengawasan rutin tri-
wulanan, dan (2) Pengawasan menjelang hari raya. Kedua jenis
pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh Bidang perdagangan saja,
melainkan dibantu oleh bidang atau SKPD lain yang berhubungan, seperti
Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan aparat Polri. Dengan demikian dalam satu
tahun ada sekitar 3 (tiga) kali kegiatan pengawasan di setiap kecamatan.
Khusus untuk kecamatan Nunukan, ada 5 (lima) kali kegiatan pengawasan.
Pengawasan terutama dilaksanakan di pasar tradisional. Dalam satu tahun,
69
tidak seluruh kecamatan mendapat pengawasan, kecamatan bergiliran
mendapat pengawasan. Untuk tahun 2014 misalnya, hanya dianggarkan
untuk 8 (delapan) kecamatan. Setiap kecamatan mendapat jatah waktu
pengawasan selama 3 (tiga) hari.
Perencanaan kegiatan pengawasan dilakukan di tingkat Kepala Dinas
(Eselon II), sebagai bagian dari rencana kerja daerah dalam urusan
perdagangan. Pelaksanaan pengawasan oleh pemerintah Kabupaten
dilakukan oleh tim gabungan dari beberapa SKPD. Disamping karena jumlah
orang yang terbatas, juga karena urusan ini juga dinilai tersebar pada SKPD-
SKPD yang lain. SKPD yang sudah pasti terlibat dalam kegiatan
pengawasan barang adalah Dinas Kesehatan, Satpol PP, dan Bidang-bidang
lain dalam Disperindagkop UMKM. Koordinasi pelaksanaan pengawasan
dilakukan dalam pertemuan SKPD yang biasanya dilakukan menjelang
pengawasan dilakukan. Tidak ada forum khusus untuk untuk melakukan
koordinasi pelaksanaan ini, hanya komunikasi langsung antar Kepala Dinas.
Hingga saat ini, pelanggaran yang ditemui tidak pernah dilanjutkan ke
tahapan penyidikan, tindakan yang dilakukan lebih mengarah kepada
penyuluhan dan pembinaan, seperti teguran, membuat surat pernyataan, dan
menarik barang dari peredaran. Pihak yang sudah melakukan tindakan dan
penyidikan adalah dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Provinsi Kalimantan Timur, namun terbatas hanya kepada makanan dan
obat-obatan (hingga saat ini Kabupaten Nunukan belum memiliki BPOM
Kabupaten).
Pengawasan parameter pengawasan barang lainnya dilakukan oleh
petugas PPBJ kabupaten Nunukan. Pengawasan yang dilakukan sebatas
pengawasan kasat mata. Pengawasan tidak pernah ke tahap analisis
laboratorium karena tidak ada anggaran untuk membeli sampel barang dan
belum ada fasilitas laboratorium yang cukup di kabupaten. Pembelian
sampel hanya dilakukan jika ada pesanan dari PPBJ provinsi Kalimantan
Timur atau titipan pesanan dari Pusat. Namun kegiatan ini belum dilakukan
70
sebanyak pengawasan oleh BPOM. Menurut keterangan, dalam satu tahun
paling tidak ada 1 (satu) kali pembelian titipan ini, pada jenis barang yang
berbeda-beda.
5.1.2. Kabupaten Malinau
Pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan,
dan KoperasiKabupaten Malinauberupa pengawasan barang sesuai dengan
ketentuan seperti SNI Wajib, label berbahasa Indonesia, dan Manual Kartu
Garansi (MKG) yang dilakukan dua kali dalam setahun. Dalam hal ini,
pengawasan terhadap peredaran barang di perbatasan belum dilakukan
secara khusus dikarenakan beberapa hal, antara lain :
a. Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar.
Alokasi anggaran kegiatan pengawasan lebih difokuskan pada aspek
monitoring harga barang dan pelaksanaan ketentuan SNI Wajib, MKG,
dan label berbahasa Indonesia.
b. Belumtersedianya Petugas Pengawasan Barang Beredar dan Jasa
(PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang memadai.
c. Belum tersedianya sarana dan prasarana seperti mobil operasional
pengawasan.
d. Belum dimilikinya Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan barang. Hal ini
menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan prosedur
pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah
provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.
e. Kondisi geografis yang sulit bagi kegiatan pengawasan serta minimnya
infrastruktur pada jalur perdagangan lintas batas.
5.1.3. Kabupaten Sanggau
Dalam rangka kegiatan peningkatan pengawasan peredaran barang,
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
Kabupaten Sanggau melakukan kegiatan pengawasan barang beredar
secara rutin setiap 4 bulan sekali dan berkala menjelang hari raya besar
71
keagamaan pada 15 Kecamatan yang ada di seluruh Kabupaten Sanggau
termasuk kecamatan yang berada di daerah perbatasan. Berdasarkan
pengawasan tersebut didapatkan hasil-hasil sebagai berikut: banyak jenis
makanan dan minuman dari kaleng, botol serta dari kotak yang tidak
mencantumkan kode registrasi MD dan ML (tanpa ijin Dinas Kesehatan dan
BPOM), masih ditemukan lampu pijar yang tidak mencantumkan tanda SNI,
dan produk makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa serta
kemasannya rusak atau cacat (Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan
Pengawasan Peredaran Barang dan Jasa, 2014). Tindak lanjut dari hasil
pengawasan tersebut adalah meminta kepada pengecer untuk
mengembalikan barang-barang yang tidak sesuai dengan ketentuan atau
dimusnahkan demi keamanan dan keselamatan konsumen. Keterbatasan
jumlah pegawai dan anggaran menyebabkan pengawasan tidak dapat
dilakukan pada semua Kecamatan namun dilakukan secara bergantian pada
tiap-tiap Kecamatan yang telah ditetapkan sebagai objek pengawasan setiap
tahunnya. Kendala lain yang dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan
pengawasan adalah tidak adanya Petugas Pengawasan Barang Beredar dan
Jasa (PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS-PK) yang disebabkan
karena pegawai yang telah mendapatkan pelatihan sebagai PBBJ atau
PPNS-PK dipindahkan atau dipromosikan ke unit lain diluar unit perdagangan
dan atau telah memasuki masa pensiun.
Untuk mengatasi permasalah perdagangan yang terjadi di daerah
perbatasan, Pemerintah dapat segera memberikan solusi khususnya
penyediaan bahan kebutuhan pokok di daerah perbatasan, memfasilitasi
penyediaan infrastruktur seperti jalan yang baik dan instrumen pendukung
lainya khususnya untuk meminimalisir peredaran barang melalui jalur yang
tidak resmi dan juga dapat menambah pemasukan negara dari bea masuk
barang, penambahan PPBJ dan PPNS-PK di daerah perbatasan melaui
pengadaan pegawai baru dan pelatihan, memberlakukan aturan atau
kebijakan khusus bagi daerah perbatasan dalam rangka pengadaan dan
72
pengawasan barang mengingat kondisi geografis dan pola perdagangan
yang berbeda dengan daerah bukan perbatasan, dan koordinasi dengan
pihak-pihak terkait dalam rangka pengawasan barang.
5.1.4. Kabupaten Bengkayang
Dinas perindustrian perdagangan kabupaten Bengkayang belum pernah
melakukan kegiatan pengawasan barang yang beredar. Hal ini disebabkan
antara lain:
a. Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan barang beredar
tidak menjadi prioritas. Kegiatan yang rutin dilakukan oleh dinas adalah
monitoring harga-harga barang di pasar, terutama menjelang hari besar
keagamaan. Terkait dengan hal tersebut, dinas perdagangan rutin
melaksanakan pasar murah dan penyaluran Raskin dalam rangka
stabilisasi harga.
b. Dinas setempat tidak memiliki Petunjuk Teknis (Juknis) pengawasan
barang. Hal ini menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan
prosedur pengawasan barang dari pemerintah pusat maupun dari
pemerintah provinsi tidak tersampaikan ke dinas kabupaten.
c. Sementara itu, pengawasan barang yaitu bahan makanan dan obat-obatan
serta kosmetik rutin dilakukan oleh Dinas Kesehatan, terutama menjelang
hari besar keagamaan. Mereka melakukan uji sampel di beberapa pasar
untuk mengecek tanggal kadaluarsa, kandungan bahan-bahan berbahaya
dan kode registrasi.
5.1.4. Provinsi Kalimantan Timur
Berdasarkan diskusi dengan pihak-pihak terkait diperoleh informasi
bahwa Kalimantan Utara (Kaltara) adalah Daerah Otonomi Baru yang
disahkan oleh DPR pada tanggal 25 Oktober 2012 dan menjadi provinsi
ke-34 di Indonesia. Provinsi baru ini merupakan hasil pemekaran wilayah
Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim). Kalimantan Utara terdiri dari 1 kota
dan 4 kabupaten, yaitu: Kota Tarakan, Kabupaten Bulungan, Kabupaten
73
Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kabupaten Tana Tidung. Alasan
pembentukan Provinsi Kaltara, yaitu kesejahteraan masyarakat di daerah-
daerah perbatasan kurang tersentuh. Ini disebabkan antara lain oleh
terhambatnya koordinasi pembangunan. Isu yang selalu mencuat seputar
perbatasan adalah pengamanan wilayah Indonesia sehingga
mengenyampingkan aspek lainnya. Harapan pemekaran wilayah baru ini
adalah fokus dan lancarnya pelayanan kepada masyarakat disekitar,
pembangunan wilayah berkarakter budaya setempat, dan kesejahteraan
yang nyata. Asumsi yang dibangun adalah; solusi kepada persoalan
kesejahteraan, peningkatan ekonomi, pembangunan struktur dan
infrastruktur akan tercapai maksimal bila daerah perbatasan dikelola oleh
suatu pemerintahan dalam bentuk provinsi.
Ketersediaan barang terutama bahan pokok yang berasal dari dalam
negeri sangat sedikit sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat di daerah perbatasan sudah lama terjadi sejak Kaltara masih
masuk dalam wilayah Kaltim. Hal ini seperti yang telah dijelaskan diatas
yaitu yang menjadi fokus utama di daerah perbatasan adalah isu
keamanan. Saat ini khususnya kebutuhan bahan pokok seperti gas juga
banyak ditemui beredar di wilayah Kaltim yang disinyalir dipasok dari
Malaysia masuk secara tidak resmi kedalam wilayah Indonesia.
Berdasarkan hasil survei dan diskusi dengan stakeholder terkait
dengan pengawasan barang yang beredar didaerah perbatasan, ada
beberapa masukan antara lain sebagai berikut:
1. Pemerintah pasca pemekaran wilayah dapat lebih fokus memberikan
solusi khususnya penyediaan bahan kebutuhan pokok di daerah
perbatasan
2. Memfasilitasi penyediaan infrastruktur seperti pelabuhan dan instrumen
pendukung lainya untuk meminimalisir peredaran barang melalui jalur
74
yang tidak resmi dan juga dapat menambah pemasukan negara dari
bea masuk barang.
3. Memberikan aturan atau kebijakan yang khusus bagi daerah perbatasan
dalam rangka pengadaan dan pengawasan barang mengingat kondisi
geografis dan pola perdagangan yang berbeda dengan daerah bukan
perbatasan.
4. Meningkatkan koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam rangka
pengawasan barang khususnya di daerah perbatasan.
5.2. Kinerja Pengawasan Barang Beredar
5.2.1. Proporsi Barang Sesuai Parameter
Dalam kajian ini, hasil mekanisme pengawasan setiap daerah akan
diukur menggunakan sebuah ukuran yang sama. Untuk itu kemudian
diturunkan sebuah rasio hasil pengawasan barang beredar yang merupakan
proporsi barang sesuai parameter di toko sampel. Idenya adalah, jika
pengawasan sungguh-sungguh dilakukan, maka seharusnya survey tidak
akan menemukan barang yang tidak sesuai parameter pengawasan barang
di setiap toko yang menjadi sampel. Jadi rasio hasil pengawasan adalah
rasio jumlah barang sesuai parameter, terhadap total jumlah barang yang
ada di toko tersebut.
Rasio proporsi barang sesuai parameter dapat dihitung dari “Jumlah
Jenis” barang atau dari “Nilai” Barang. Proporsi barang sesuai parameter
menurut jenis barang adalah perbandingan antara jumlah jenis barang yang
memenuhi parameter pengawasan (yang disederhanakan), dengan jumlah
total jenis barang yang menjadi sampel dari toko. Proporsi barang sesuai
parameter menurut nilai barang adalah perbandingan antara nilai barang
yang memenuhi parameter pengawasan (yang disederhanakan), dengan
jumlah total nilai barang yang menjadi sampel dari toko. Rasio ini dihitung
75
sebagai pendekatan untuk menunjukkan dampak pelaksanaan pengawasan
barang beredar di daerah kajian.
Tabel 5. 3. Gambaran Rasio proporsi barang sesuai parameter di daerah
perbatasan
Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang Rata-rata
Jumlah jenis
1)
Nilai 2)
Jumlah jenis
Nilai Jumlah jenis
Nilai Jumlah jenis
Nilai
Jumlah
jenis Nilai
Proporsi barang sesuai parameter Total 51,9% 78,6% 44,6% 33,0% 68,8% 76,0% 40,3%
35,5%
51,4%
55,8%
Proporsi barang sesuai parameter parsial: - Bahan pokok
41,7% 60,0%
47,8% 33,0%
43,4% 53,8%
13,9%
16,2%
36,7%
40,8%
- Barang elektronik 72,2% 87,6%
100,0%
100,0% 93,3% 97,9% 60,7%
55,8%
81,6%
85,3%
- Bahan bangunan 40,0% 65,5%
100,0%
100,0%
100,0%
100,0% 57,5%
59,3%
74,4%
81,2%
Sumber: Data diolah
Hasil survey menunjukkan bahwa proporsi barang sesuai parameter, di
daerah perbatasan, secara total, baru mencapai 51,4%, artinya, dari seluruh
barang yang beredar di daerah perbatasan, baru 51,4% -nya yang sesuai
dengan unsur/parameter pengawasan barang.
Secara umum, tampak bahwa di daerah perbatasan, bahan-bahan
kebutuhan pokok memiliki nilai yang paling rendah (36,7%), sedangkan
barang-barang elektronik dan bahan bangunan, memiliki nilai diatas 70%,
atau relatif lebih sesuai. Perlu diperhatikan bahwa nilai ini tidak hanya
mencerminkan kinerja pengawasan yang dilakukan oleh unit pelaksana,
tetapi juga mencerminkan hasil pengawasan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah pusat melalui kegiatan pendaftaran barang, kewajiban
pemberitahuan impor barang, serta pengaturan lainnya yang sifatnya
terpusat dan nasional.
76
Jika diperhatikan kasus kabupaten Bengkayang yang tidak melakukan
kegiatan pengawasan, namun memiliki proporsi barang sesuai parameter
sebesar 40,3%. Nilai ini jelas bukan akibat kinerja pengawasan SKPD,
melainkan hasil yang diberikan oleh sistem pendaftaran, pengaturan, dan
pengawasan barang yang dilaksanakan pusat. Hal ini memberikan sebuah
pengetahuan bahwa: (a) 40,3% adalah nilai dasar dari sebuah upaya
pengawasan barang di daerah. Artinya, tanpa melakukan apapun, rasio hasil
pengawasan akan menunjukkan kinerja sebesar 40%; (b) Upaya
pengawasan oleh daerah baru bisa disebut memiliki dampak jika memberikan
hasil lebih besar dari 40%; (c) hal ini juga menunjukkan sistem pengawasan
barang yang diselenggarakan oleh Kementerian Perdagangan baru
memberikan hasil sebesar 40% pada tingkatan nasional.
5.2.2. Sumberdaya Pengawasan Barang Beredar
Kinerja pengawasan ditentukan oleh bauran faktor-faktor input yang
diberikan kepada mekanisme pengawasan tersebut. Faktor input yang
diamati adalah SDM, anggaran, dan sarana (Tabel 5.4 dan 5.5).
Hasil survey menunjukkan bahwa daerah relatif kekurangan Petugas
Pengawasan Barang dan Jasa (PPBJ). Rata-rata jumlah petugas baru
mencapai 50% dari kebutuhan. Seksi yang menangani pengawasan barang
menyatakan bahwa meskipun ada petugas namun pengetahuan petugas
terhadap informasi baru dibidang pengawasan kadang masih tertinggal.
Untuk itu kegiatan pengayaan dan pemutakhiran pengetahuan petugas PPBJ
perlu dilaksanakan secara berkelanjutan.
Jumlah anggaran untuk pengawasan rata-rata berkisar sebesar 9% dari
total anggaran Bidang Perdagangan. Jumlah ini, jika dilihat dari keterangan
yang diberikan, adalah meliputi pelaksanaan 50% jangkauan pengawasan
yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengawasan belum
sepenuhnya dilaksanakan. Karena pengawasan yang dilakukan hanya
pengawasan kasat mata, maka sarana yang dibutuhkan relatif tidak besar.
77
Yang utama adalah sarana transportasi untuk menjangkau lokasi
pengawasan, terutama di kecamatan yang ada di wilayah perbatasan.
Jumlah kendaraan operasional ini relatif terbatas, karena digunakan oleh
dinas bersama-sama. Jika kendaraan operasional tidak dapat digunakan,
petugas memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Sarana yang dibutuhkan berikutnya, adalah komputer untuk menyusun
laporan dan petunjuk teknis untuk melaksanakan pengawasan dan
penindakannya. Komputer pada umumnya sudah dimiliki, namun petunjuk
pelaksanaan rata-rata tidak dimiliki.
Tabel 5.4. Gambaran sumberdaya pengawasan barang beredar
Nunukan Malinau Sanggau Bengkayang Keterangan
Perhitungan kebutuhan SDM PPBJ dan PPNS-PK
Jumlah pedagang 2.822 1.028 445 261
sampel minimal pengawasan 350 287 210 157
Kebutuhan petugas pengawas (PPBJ) 4 orang 2 orang 2 orang 2 orang
Kebutuhan petugas PPNS-PK 2 orang 1 orang 1 orang 1 orang
bagian dari PPBJ
Jumlah SDM PPBJ saat ini 2 orang 1 orang
Tidak ada 2 orang
Jumlah SDM PPNS PK saat ini
Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Anggaran pengawasan 223.192.000 200.000.000 NA 63.000.000
Anggaran total dinas 4.104.000.000 NA NA 500.000.000
persentase anggaran total 5,4% NA NA 12,6% Rata-rata: 9%
Sarana pengawasan
Kendaraan operasional milik dinas dan pribadi.
Komputer.
Kendaraan operasional milik dinas, dan pribadi.
Komputer.
Kendaraan operasional milik dinas, dan pribadi.
Komputer.
Kendaraan operasional milik dinas, dan pribadi.
Komputer.
Petunjuk Teknis Tidak dapat ditunjukkan
Tidak dapat ditunjukkan
Tidak dapat ditunjukkan
Tidak dapat ditunjukkan
Sumber: Data diolah
78
Tabel 5.5. Gambaran SDM dan Anggaran Pengawasan Barang Di Daerah Survey
Gambaran SDM Pengawas Barang
Malinau Sanggau Nunukan Bengkayang
2012 2013 cukup Butuh 2012 2013 cukup butuh 2012 2013 Cukup Butuh 2012 2013 cukup Butuh
SDM di seksi pengawasan barang:
Struktural
Fungsional
Staf
1 1 1
1 1 1
Tidak
- 3
1 - 2
1 - 2
tidak
2
1 2 2
1 2 2
Tidak cukup
1 4 2
1 2 2
Tidak cukup
- 6 -
SDM Pengawas
Pengawas (PPBJ)
Penyidik (PPNS-PK)
1 -
1 -
Tidak
2 1
2 -
- -
Tidak cukup, pindah ke bidang lain
2
2 -
2 -
Tidak cukup
4 2
4 -
2 -
Tidak cukup
4 2
Komposisi PPBJ dan PPNS-PK menurut umur
< 25 tahun
25-40 tahun
41- 55 tahun
>55 tahun
- - 3 -
- - 3
2
2
- 2 - -
- 2 - -
- - 4 -
- - 2 -
6 - - -
Gambaran Anggaran Pengawasan Barang
Malinau Sanggau Nunukan Bengkayang
2012 2013 cukup Butuh 2012 2013 cukup butuh 2012 2013 Cukup butuh 2012 2013 cukup butuh
Jumlah anggaran Dinas
Jumlah anggaran bidang/seksi pengawasan (Pengawasan berkala dan sosialisasi)
NA
200 jt
Tidak
NA 190 jt
4,1 M 223 jt
500 jt 63 jt
500 jt 63 jt
Tidak cukup
Frekwensi Pengawasan pertahun
1 kali 1 kali 15 kali 10 kali 4 kali 4 kali 4 kali (3 hari)
4 kali (3 hari)
1 kali menjelang lebaran dan tahun baru
1 kali menjelang lebaran dan tahun baru
Catatan : Pengawasan Barang beredar pada dinas di empat daerah survey berada pada Seksi (es IV). Rata-rata di setiap kabupaten hanya memiliki SDM 2 orang PPBJ dan pelaksanaan pengawasan barang hanya 1x setahun
79
5.2.3. Hasil Analisis ANOVA
Salah satu informasi yang dihasilkan oleh pengolahan data kajian
adalah “Rasio hasil pengawasan”. Dalam kajian ini, rasio ini digunakan
sebagai pendekatan terhadap output hasil pengawasan barang beredar yang
dilakukan oleh daerah. Rasio ini dihitung berdasarkan anggapan bahwa jika
pengawasan barang dilakukan secara baik, maka semestinya tidak ada
barang tidak sesuai parameter yang ditemukan di toko yang menjadi sampel
di daerah kajian. Nilai Rasio Hasil Pengawasan ini kemudian dianalisis
menggunakan uji beda rata-rata dengan metode Anova. Faktor
pembagi/pembeda yang dipilih adalah (1) jenis toko, (2) lokasi toko, dan (3)
daerah survey. Faktor “jenis toko” menguji perbedaan rata-rata rasio hasil
pengawasan antara toko yang menjual bahan pokok, bahan peralatan rumah
tangga, dan bahan bangunan/elektronik. Faktor “lokasi toko” menguji
perbedaan rata-rata hasil pengawasan antara toko yangberlokasi di daerah
perbatasan, dan toko yang berlokasi diluar daerah perbatasan. Faktor
“daerah survey” menguji perbedaan rata-rata hasil pengawasan antara toko
yang berada di daerah survey yang berbeda (Nunukan, Malinau, Sanggau,
Bengkayang). Pembagian menurut faktor-faktor tersebut diharapkan dapat
memberikan informasi/pengetahuan tentang perilaku kinerja pengawasan
berdasarkan perbedaan lokasi tersebut.
Sejauh ini dugaan yang diujikan adalah:
1. Pembagi jenis toko
H0 : Rasio hasil pengawasan relatif sama pada seluruh jenis barang yang
diamati
H1 : Rasio hasil pengawasan berbeda pada jenis barang yang berbeda
(rasio hasil pengawasan barang kebutuhan pokok lebih rendah
dibanding bahan bangunan dan elektronik)
80
2. Pembagi lokasi toko
H0 : Rasio hasil pengawasan sama saja pada toko di daerah perbatasan
dan toko diluar daerah perbatasan
H1 : Rasio hasil pengawasan berbeda antara toko di daerah perbatasan
dan toko diluar daerah perbatasan (Rasio hasil pengawasan di
daerah perbatasan diduga lebih rendah dibandingkan diluar daerah
perbatasan)
1. Pembagi Daerah survey
H0 : Rasio hasil pengawasan di semua daerah survey sama
H1 : ada perbedaan rasio hasil pengawasan antar daerah survey(rasio
hasil pengawasan di daerah perbatasan yang besar/relatif maju
(Nunukan dan Sanggau) diduga lebih baik)
Pengujian menunjukkan hasil sebagai berikut:
81
Tabel 5. 6. Rekap Hasil Pengujian Beda Rata-Rata Anova
Variabel Keterangan Hasil Pengujian Menurut Faktor Pembagi
Jenis Toko Lokasi Toko
Daerah
Jumlah Barang DN yg lulus
Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari DN yang lulus pengamatan
Signifikan
Jumlah Barang DN yg tidak lulus
Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari DN yang tidak lulus pengamatan
Signifikan
Kinerja pengasawan DN
Menunjukkan proporsi barang sampel DN yang lulus pengamatan
Signifikan Signifikan Signifikan
Jumlah barang LN yg lulus
Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari LN yang lulus pengamatan
Signifikan
Jumlah barang LN yg tidak lulus
Menunjukkan jumlah barang sampel yg berasal dari LN yang tidak lulus pengamatan
Signifikan
Kinerja pengawasan LN
Menunjukkan proporsi barang sampel LN yang lulus pengamatan
Signifikan Signifikan Signifikan
Kinerja pengawasan total –nilai
Menunjukkan proporsi barang sampel DN dan LN yang lulus pengamatan dari sisi nilai
Signifikan Signifikan
Proporsi barang DN-nilai
Menunjukkan proporsi barang DN, jika dihitung menurut nilai barang
Signifikan
Proporsi barang LN-nilai
Menunjukkan proporsi barang LN, jika dihitung menurut nilai barang
Signifikan
Proporsi barang DN-jumlah
Menunjukkan proporsi barang DN, jika dihitung menurut jumlah unit barang
Signifikan
Proporsi barang LN jumlah
Menunjukkan proporsi barang LN, jika dihitung menurut jumlah unit barang
Signifikan
Kinerja pengawasan-jumlah
Menunjukkan proporsi barang sampel DN dan LN yang lulus pengamatan dari sisi jumlah
Signifikan Signifikan
Sumber: Data Diolah
82
Jika hasil pengujian tersebut disimpulkan, maka tarikan kesimpulannya
akan tampak dalam tabel berikut ini.
Tabel 5. 7. Kesimpulan
Variabel Faktor Pembagi
Jenis Toko Lokasi Toko Daerah
Kinerja pengasawan DN
Sig 10% *
(proporsi barang DN yang lulus parameter paling tinggi adalah barang elektronik)
Sig 5% **
Sig 1% ***
Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) semakin baik kinerja pengawasan thd barang yg berasal dari DN
Kinerja pengawasan LN
Sig 1% ***
(proporsi barang LN yang lulus parameter paling tinggi adalah barang kelontong)
Sig 1% ***
Semakin jauh dari perbatasan semakin baik kinerja pengawasannya
Sig 1% ***
Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) semakin buruk kinerja pengawasan terhadap barang berasal dari LN.
Kinerja pengawasan total –nilai
Sig 1% ***
(proporsi barang DN dan LN yang lulus parameter paling tinggi adalah barang elektronik)
Sig 1% ***
Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) maka kinerja pengawasan totalnya semakin baik.
Kinerja pengawasan-jumlah
Sig 5% **
Kinerja paling tinggi ada pada barang elektronik & bahan bangunan, paling rendah pada bahan pokok
***
Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) maka kinerja pengawasan totalnya semakin baik.
Simpulan Umum
Bahan pokok paling banyak melanggar parameter
Semakin jauh dari perbatasan semakin baik proporsi barang sesuai parameter nya
Semakin besar daerah perbatasan (Sanggau, Nunukan) maka proporsi barang sesuai parameter totalnya semakin baik.
Sumber: Tabel 5.6
83
Hasil pengujian secara umum menunjukkan bahwa
1. Pembagi Jenis Toko: hasil pengujian mendukung dugaan alternatif, yaitu
Rasio hasil pengawasan berbeda pada jenis barang yang berbeda.
Pengamatan kepada perhitungan rata-ratanya mengkonfirmasikan bahwa
barang kebutuhan pokok memiliki nilai proporsi barang sesuai parameter
yang lebih rendah dibanding bahan bangunan dan elektronik.
2. Pembagi Lokasi Toko: Hasil pengujian mendukung dugaan alternatif yaitu
nilai proporsi barang sesuai parameter berbeda antara toko di daerah
perbatasan dan toko diluar daerah perbatasan. Pengamatan terhadap
nilai rata-ratanya menunjukkan rasio hasil pengawasan di daerah
perbatasan adalah lebih rendah dibandingkan diluar daerah perbatasan.
Hal ini mengkonfirmasi dugaan bahwa proporsi barang sesuai parameter
di daerah perbatasan lebih rendah dibanding daerah bukan perbatasan.
3. Pembagi Daerah Survey: Hasil pengujian mendukung dugaan alternatif
yaitu ada perbedaan proporsi barang sesuai parameter antar daerah
survey. Hal ini menunjukkan hasil pengawasan di daerah perbatasan
yang besar/relatif maju (seperti Nunukan dan Sanggau) adalah lebih baik
dibandingkan daerah perbatasan yang relatif tidak maju (Seperti Malinau
dan Bengkayang). Hal ini menunjukkan bahwa kinerja pengawasan
barang beredar tumbuh seiring dengan pertumbuhan daerah. Di daerah
perbatasan yang raltif belum maju, maka urusan pengawasan barang
beredar nampaknya belum menjadi prioritas.
84
BAB VI. UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN BARANG BEREDAR
DI DAERAH PERBATASAN
6.1. Permasalahan Dalam Pengawasan Barang Beredar Di Daerah
Perbatasan
Dalam memahami permasalahan dalam pengawasan barang di daerah
perbatasan, perlu dipisahkan secara tegas antara isu Perdagangan Barang
Di Daerah Perbatasan yang dilakukan oleh masyarakat perbatasan untuk
keperluan hidupnya, dengan isu Perdagangan yang Melalui Daerah
Perbatasan, yang dilakukan oleh pedagang yang menggunakan motif
keuntungan dengan memanfaatkan barang murah yang berasal dari barang
subsidi milik negara tetangga. Kedua jenis perdagangan ini memberikan
dampak pada pengawasan barang beredar.
Perdagangan Barang di Daerah Perbatasan diperkenankan sesuai
dengan ketentuan BTA (border trade agreement) dan Sosek Malino.
Masyarakat di daerah perbatasan secara budaya tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat daerah perbatasan di negara tetangga. Hubungan kekerabatan
dan bisnis telah terjalin sejak lama, sehingga batas fisik perbatasan negara
acap kabur di daerah perbatasan. Pengamatan saat survey menunjukkan
bahwa masyarakat dapat berkali-kali tanpa sadar melintasi batas geografis
antara kedua negara. Karena kedekatan tersebut, adalah logis bagi
masyarakat perbatasan untuk diperkenakan berbelanja dan mengkonsumsi
barang yang dimiliki/disediakan oleh pedagang negara tetangga. Hal yang
sebaliknya pun terjadi pada masyarakat perbatasan negara tetangga. Tanpa
izin, masyarakat perbatasan akan kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Undang-Undang Wilayah Negara (UU no 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara) menyatakan bahwa Daerah Perbatasan adalah bagian dari Wilayah
Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia
dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan
Perbatasan berada di kecamatan. Sebagai contoh, kabupaten Bengkayang
85
di Kalimantan Barat yang memiliki 17 kecamatan, namun yang dapat disebut
sebagai daerah perbatasan hanyalah 2 (dua) kecamatan, yaitu kecamatan
Jagoi Babang dan Siding.
Masalah sesungguhnya baru muncul ketika barang yang berasal dari
negara tetangga ini kemudian dipasarkan keluar daerah perbatasan (keluar
kecamatan perbatasan) dan merembes kedalam pasar dalam negeri yang
jauh dari daerah perbatasan. Pengolahan data volume penjualan, harga
barang, dan profit penjualan barang di daerah perbatasan menunjukkan
kemungkinan adanya motif mencari keuntungan yang melatari volume
perdagangan yang besar dari beberapa barang bersubsidi yang berasal dari
negara tetangga (gambar 6.1).
Gambar 6. 1. Urutan Barang Beredar Menurut Margin Penjualan di Nunukan dan Malinau
Sebagai contoh dapat dilihat data yang berasal dari Nunukan dan
Malinau. Dalam survey ke Kalimantan Utara, ditemukan bahwa barang yang
merembes dari Malaysia melalui Sei Nyamuk (daerah perbatasan), kemudian
dikirimkan ke Malinau (luar daerah perbatasan) melalui jalur sungai. Jika
diperhatikan data transaksi yang terjadi di kedua daerah, tampak bahwa
86
tepung terigu, minyak goreng, dan gula pasir adalah barang-barang yang
memberikan margin penjualan tertinggi, yang artinya dibeli dengan harga
murah dan dijual pada harga yang memberikan margin penjualan yang relatif
tinggi (sekitar 50%). Perlu diingat bahwa tepung terigu, gula, dan minyak
goreng yang beredar tersebut adalah barang-barang yang telah disubsidi
oleh Kerajaan Malaysia sehingga memang memiliki harga yang relatif lebih
murah (sekitar Rp. 1.000- Rp. 3.000,-) dibandingkan harga barang sejenis
dari dalam negeri. Hal ini menunjukkan adanya motif mengejar profit, dan
bukan semata-mata hanya masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat di
daerah perbatasan. Hal ini menunjukkan masalah baru dalam pengawasan
barang beredar di daerah perbatasan, yaitu perdagangan barang negara
tetangga yang melalui daerah perbatasan untuk masuk ke dalam daerah
diluar daerah perbatasan.
Gambar 6. 2. Cara Merembesnya Barang Negara Tetangga ke Wilayah Indonesia
87
Pandangan terhadap barang beredar di perbatasan menunjukkan
setidaknya 6 (enam) jenis barang yang beredar di daerah perbatasan,
mereka adalah: (1) barang dalam negeri yang memenuhi ketentuan untuk
beredar, (2) barang dalam negeri yang tidak memenuhi ketentuan untuk
beredar (tidak memenuhi SNI, dll); (3) barang negara tetangga yang tidak
diperkenankan keluar oleh otoritas negara tetangga (minyak goreng, gula,
terigu, beras bersubsidi kerajaan/pemerintah negara tetangga); (4) barang
negara tetangga yang diperkenankan keluar oleh otoritas negara tetangga,
namun belum diperkenankan oleh Indonesia (seperti: biskuit, minuman, dll
yang belum didaftarkan oleh importir di Indonesia); (5) barang negara
tetangga yang diperkenankan keluar oleh otoritas negara tetangga dan sudah
diperkenankan beredar oleh Indonesia (seperti: biskuit, minuman yang sudah
terdaftar di Indonesia); (6) barang internasional yang tidak diperkenankan
beredar oleh otoritas internasional (seperti: narkoba, dan perdagangan
manusia). Lihat gambar.
Gambar 6. 3. Jenis Barang Beredar di Perbatasan
88
Tampak bahwa pengawasan barang beredar di perbatasan lebih
diperluas oleh 1 (satu) kategori barang, yaitu barang luar negeri, yang terdiri
dari 3 (tiga) sub kategori (barang tidak diperkenankan keluar, barang
diperkenankan keluar tapi belum terdaftar, dan barang sudah
diperkenankan), dimana jumlah jumlah barang dalam kategori ini relatif
besar. Hal ini menambah tantangan dalam melaksanakan pengawasan
barang di daerah perbatasan, karena masuknya barang-barang ini dapat
dianggap sebagai penyelundupan. Ketiga hal tersebut (batas wilayah
perbatasan, tambahan kategori barang, dan penyelundupan) memunculkan
kebutuhan sistem pemeriksaan, pendaftaran dan pendataan arus barang
yang cepat di perbatasan. Penerimaan parameter pengawasan dan
kerjasama pendaftaran barang dengan negara tetangga merupakan
tantangan dan jika tidak diatasi dengan baik akan memunculkan pembiaran
penyelundupan barang.
Sistem pemeriksaan dan pencatatan barang keluar/masuk ke wilayah
perbatasan Indonesia memang relatif longgar. Hal ini karena diasumsikan
barang-barang ini adalah barang untuk kebutuhan masyarakat di perbatasan.
Proses pemeriksaan barang di pos kepabeanan atau keamanan cenderung
singkat dan tidak melakukan pencatatan terhadap barang yang masuk
(Gambar 6.4). Pemeriksaan tampak lebih diarahkan pada kategori Barang
Internasional yang berbahaya, seperti narkoba dan kemungkinan human
trafficking, dan lebih diutamakan pemeriksaan pada kelengkapan administrasi
kependudukan (KTP/PLB/Paspor).
89
Gambar 6. 4. Jalur Masuk Barang Ke Wilayah Perbatasan Indonesia
Pengamatan terhadap pos pemeriksaan di daerah survey menunjukkan
“pintu masuk” barang cenderung terbuka (tidak steril, banyak jalan keluar
bagi orang dan barang dari area pemeriksaan tanpa dijaga).
Gambar 6. 5. Area Pemeriksaan Barang Pelabuhan Tunon Taka Nunukan
90
6.1.1. Permasalahan Pelaksanaan
Keterbatasan jangkauan kewenangan Unit Kerja pelaksana
pengawasan barang di daerah. Pengawasan Barang beredar pada dinas di
empat daerah survey berada pada Seksi (es IV). Seksi dibawah bidang
perdagangan (dalam negeri) ini tidak hanya menangani tugas pengawasan
saja tetapi juga yang terkait dengan perlindungan konsumen seperti
sosialisasi, pelatihan, dan pembinaan konsumen,
Keterbatasan frekwensi dan jangkauan wilayah pelaksanaan
pengawasan barang beredar di daerah perbatasan. Frekwensi
pelaksanaan pengawasan barang rata-rata hanya dilaksanakan 1(satu) kali
setahun (pada saat hari raya keagamaan), kecuali di Kabupaten Nunukan
dilakukan hingga 3 (tiga) kali setahun. Mengenai jangkauan wilayah, hasil
survey menunjukkan bahwa satu Kecamatan dalam sebuah kabupaten,
hanya akan memperoleh kunjungan pengawasan barang sebanyak 1 (satu)
kali setiap 3 (tiga) tahun. Keterbatasan frekwensi dan jangkauan ini
disebabkan oleh keterbatasan anggaran dan kondisi geografis daerah
perbatasan. Hal ini menunjukkan kebutuhan akan pengawasan dan
pemeriksaan yang ketat di pintu masuk barang, baik pintu masuk barang dari
luar negeri (kepabeanan), maupun pintu masuk barang dari dalam negeri
(pelabuhan,
Keterbatasan ketersediaan Petunjuk Teknis pengawasan barang
dan ketiadaan Standar Pelayanan Minimal dalam bidang pengawaan
barang beredar. Kunjungan ke daerah belum memukan Petunjuk Teknis
(Juknis) pengawasan barang di unit kerja pelaksana pengawasan di daerah
survey menunjukkan bahwa informasi mengenai tata cara dan prosedur
pengawasan barang dari pemerintah pusat tidak tersampaikan ke dinas
kabupaten. Petunjuk teknis, juga baru dibuat untuk barang-barang yang
memiliki SNI wajib, dan jumlah juknis yang ada belum meliputi seluruh barang
yang telah memiliki SNI tersebut. Sedangkan Standar Pelayanan Minimum
91
(SPM) tampaknya memang belum dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk
mengawasi pelaksanaan pengawasan barang beredar yang dilaksanakan
oleh pemerintah daerah. Padahal sebuah urusan pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah harus disertai dengan SPM sebagai panduan
pelaksanaan pelayanan minimal dan bagi pelaksanaan penilaian kinerja
Pemerintah Daerah dalam melaksanakan urusan bidang tersebut.
Keterbatasan tindak lanjut hasil pengawasan dan laporan
masyarakat dan penegakan hukum. Pengamatan menunjukkan tidak ada
penyidikan yang dilakukan jika ditemukan pelanggaran/indikasi pelanggaran.
Tindakan yang dilakukan lebih mengarah kepada penyuluhan dan
pembinaan, seperti teguran, membuat surat pernyataan, dan menarik barang.
Jenis barang yang umumnya banyak melanggar antara lain: makanan dan
minuman dari kaleng, botol serta dari kotak yang tidak mencantumkan kode
registrasi MD dan ML (tanpa ijin Dinas Kesehatan dan BPOM), masih
ditemukan lampu pijar yang tidak mencantumkan tanda SNI, dan produk
makanan atau minuman yang sudah kadaluarsa serta kemasannya rusak
atau cacat.
Meskipun tidak secara langsung, keterbatasan pasokan bahan pokok
dan energi di daerah perbatasan menjadi salah satu faktor pembentuk
keterbatasan pengawasan barang beredar di daerah perbatasan.
Pengamatan didaerah perbatasan menunjukkan kesulitan masyarakat untuk
memperoleh bahan kebutuhan pokok dan energi (BBM, listrik, dan gas) asal
dalam negeri baik dari segi jumlah, kualitas, ketepatan waktu, dan harga.
Produk bahan pokok dari dalam negeri kebanyakan telah rusak dalam
pengangkutan sehingga kualitasnya mejadi lebih rendah. Kesulitan ini
kemudian membuka lebih jauh perembesan barang dan, sesuai penjelasan
diatas, menimbulkan perdagangan melalui daerah perbatasan yang
memunculkan kategori barang baru. Pemenuhan kebutuhan bahan pokok
dan energi di daerah perbatasan mungkin tidak berada dalam lingkup kajian
ini, namun perlu disampaikan karena sifatnya yang memoderasi tantangan
92
pengawasan barang di daerah perbatasan. Ketidakmampuan menyediakan
kebutuhan pokok dan energi masyarakat (Keputusan Perusahaan Listrik
Negara (PLN) untuk meminta Malaysia melayani kebutuhan listrik masyarakat
di daerah perbatasan) menunjukkan lemahnya kemampuan kita dalam
melayani kebutuhan masyarakat sampai kepelosok khususnya daerah
perbatasan.
6.1.2. Permasalahan Kinerja
Kinerja pengawasan barang beredar di perbatasan yang dicerminkan
oleh frekwensi pelaksanaan pengawasan barang (satu – dua kali dalam
setahun), jangkauan wilayah pengawasan (satu kecamatan per tiga tahun),
dan nilai Jangkauan Pengawasan Barang (51,4% sampel belum memenuhi
parameter) menunjukkan masih lemahnya pengawasan barang beredar di
perbatasan. Permasalahan yang dihadapi berkisar pada : (1) Belum
memadainya jumlah dan kompetensi SDM pengawas yaitu Petugas
Pengawasan Barang Beredar dan Jasa (PBBJ) dan Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS-PK), (2) Keterbatasan anggaran sehingga kegiatan pengawasan
barang beredar sangat terbatas. Alokasi anggaran kegiatan pengawasan
lebih difokuskan pada aspek monitoring harga barang, (3) Belum tersedianya
sarana transportasi seperti mobil bagi kegiatan operasional pengawasan, dan
(4) Kurangnya pemahaman dan perhatian Kepala Daerah terhadap isu
Perlindungan Konsumen, terutama melalui Pengawasan Barang Beredar,
sebagai urusan pemerintahan yang sudah diambil dari tangan pusat dan
harus dilaksanakan secara baik, meskipun belum ada Standar Pelayanan
Minimal yang mengaturnya.
6.2. Upaya Peningkatan Pengawasan
Hasil analisis data menunjukkan daerah dengan kegiatan pengawasan
yang rendah (mendekati nol) ternyata tidak sertamerta memiliki nilai
jangkauan pengawasan barang yang nol pula. Kabupaten Bengkayang
misalnya, yang tidak melaksanakan pengawasan barang beredar, ternyata
93
masih memiliki nilai jangkauan pengawasan sebesar 40%. Hal ini
menunjukkan kinerja pengawasan di daerah dibentuk pula oleh kinerja
pengawasan oleh sistem Standarisasi dan Perlindungan Konsumen di tingkat
nasional, dan akumulasi dari hasil pelaksanaan dan pembinaan tahun-tahun
sebelumnya. Dengan demikian, tulang punggung utama perlindungan
konsumen melalui pengawasan barang beredar sesungguhnya berada di
tangan Pemerintah Pusat melalui pelaksanaan sistem Standarisasi dan
Perlindungan Konsumen di tingkat nasional (SNI, pendaftaran barang,
pendaftaran perusahaan, dll) kegiatan ini memberikan sumbangan sebesar
40% terhadap keberhasilan pengawasan barang di daerah perbatasan.
Sisanya tentu perlu diupayakan oleh Pemerintah Daerah yang menerima dan
melaksanakan urusan perdagangan ini, termasuk pengawasan barang
beredar (Gambar 6.6).
Pengamatan kepada daerah perbatasan yang relatif aktif melakukan
pengawasan, menunjukkan tambahan upaya pemerintah daerah hanyalah
sebesar 10-15% saja, mendorong nilai jangkauan pengawasan ke angka
antara 50%-55%. Untuk itu memang perlu dicari jalan agar dalam 3 (tiga)
hingga 5 (lima) tahun ke depan, nilai jangkauan pengawasan barang beredar
ini dapat meningkat secara bertahap ke tingkatan 75%-80% di daerah
perbatasan.
Peningkatan nilai rasio jangkauan pengawasan sebesar 20-25% dalam
5 (lima) tahun tidak dapat dilaksanakan oleh Pemerintah sendiri. Masyarakat
sebagai konsumen, juga memiliki peran yang sangat besar. Yaitu sebagai
pihak yang dengan cerdas menuntut pemerintah daerah untuk melaksanakan
perlindungan konsumen tersebut, meskipun kebutuhan akan perlindungan ini
(masalah safety needs) baru akan muncul di masyarakat setelah masalah
ketersediaan dasar terpenuhi (masalah basic needs).
94
Gambar 6. 6. Rangkaian Upaya Mendorong Peningkatan Pengawasan
Dalam rangka perlindungan konsumen khususnya peningkatan
pengawasan di daerah perbatasan perlu dilakukan antara lain:
a. Pemerintah Pusat
1) Menjalankan secara terus menerus dan memperkuat sistem
standarisasi dan perlindungan konsumen nasional.
2) Menyusun petunjuk teknis pelaksanaan pengawasan barang yang
dapat digunakan sebagai panduan oleh pemerintah daerah. Termasuk
kiat menyesuaikan parameter pengawasan, khusus untuk daerah
95
perbatasan. Menyusun Standar Pelayanan Minimum pengawasan
barang untuk daerah.
3) Menghubungkan penyaluran dana DAK dan Dekonsentrasi ke daerah
sesuai kinerja daerah dalam memenuhi Standar Pelayanan Minimum
pengawasan barang untuk daerah.
4) Menyalurkan dana alokasi khusus dan dekonsentrasi untuk menjamin
petugas PPBJ di daerah memperoleh anggaran operasional untuk
melaksanakan pengawasan, dan memastikan pemerintah daerah
dapat merekrut dan menjaga jumlah petugas PPBJ yang dibutuhkan.
5) Memastikan pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki
pemahaman mengenai pelaksanaan urusan Perdagangan, khususnya
mengenai urusan perlindungan konsumen melalui pengawasan barang
beredar di daerah dan keterkaitannya dengan sistem SPK di
pusat/nasional.
6) Memastikan pemerintah Provinsi memiliki kemampuan untuk
melakukan pengawasan barang melalui pengujian laboratorium (tidak
perlu memiliki lab sendiri, dapat bekerjasama dengan BPSMB dan
Barsitand), dan memiliki anggaran yang cukup untuk melaksanakan
pembelian sampel dan pengujian barang.
7) Mendorong koordinasi pengawasan antara unit kerja di provinsi, dan
kabupaten/kota, serta badan terkait di provinsi dan daerah (BPOM,
Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian, Bea Cukai, TNI Pejaga
Perbatasan) dalam merencanakan dan melaksanakan pengawasan
barang di daerah.
8) Khusus untuk daerah perbatasan, pemerintah pusat perlu mencari
cara untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok dan energi (listrik, gas,
dan BBM) bagi masyarakat di daerah perbatasan dengan jumlah dan
harga yang sesuai. Daerah memprioritaskan ketersediaan bahan
pokok bagi masyarakatnya diatas pemenuhan ketentuan parameter
pengawasan barang beredar. Hal ini tercermin dari keputusan daerah
96
untuk tidak melakukan pengawasan barang beredar, atau tindak lanjut
pengawasan yang hanya pada tingkatan penyuluhan dan pembinaan.
b. Pemerintah Provinsi
1) Meningkatkan koordinasi pengawasan dengan unit kerja di
kabupaten/kota, dan badan terkait di provinsi serta kabupaten / kota
Tim PPBB dalam merencanakan dan melaksanakan pengawasan
barang di daerah.
2) Memfasilitasi kerjasama antar daerah untuk memenuhi kebutuhan
pokok dan energi masyarakat yang ada di wilayah kerja.
3) Memastikan Unit Kerja yang menangani pengawasan barang di tingkat
provinsi memiliki sumberdaya yang cukup untuk memfasilitasi uji
laboratorium yang dibutuhkan oleh unit kerja pengawasan barang di
kabupaten/kota.
4) Secara proaktif membantu pemerintah pusat melaksanakan sosialisasi
peraturan/ketentuan baru terkait pengawasan barang beredar, dan
upgrading kompetensi petugas PPBJ di kabupaten/kota.
5) Memfasilitasi penyediaan tenaga PPNS-PK dan masalah penegakan
aturan/ hukum perlindungan konsumen yang dihadapi oleh pemerintah
daerah.
c. Pemerintah Kabupaten/Kota
1) Melaksanakan urusan pengawasan barang beredar sebagai sebuah
kesatuan dalam upaya melaksanakan perlindungan konsumen, sesuai
petunjuk teknis dan standar pelayanan minimum yang ditetapkan.
2) Menjaga ketersediaan jumlah petugas PPBJ sesuai dengan
kebutuhan.
3) Membuka dan mensosialisasikan hotline pengaduan masyarakat.
4) Secara tertib dan disiplin membangun basis data perlindungan
konsumen, pengawasan barang, serta pelaporan kegiatan
pengawasan barang yang rutin dan berkala ke unit kerja terkait di
97
provinsi dan pusat,sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 20/M-DAG/PER/5/2009 Tentang Ketentuan Dan Tata
Cara Pengawasan Barang Dan/Atau Jasa.
5) Bekerja sama dengan unit kerja pengawasan yang ada di provinsi
atapun pusat untuk menyusun strategi pengawasan barang yang lebih
optimal.
6) Bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dan Provinsi melayani dan
menyediakan barang kebutuhan masyarakat.
d. Masyarakat dan LPKSM
Masyarakat dalam hal ini selain konsumen juga lembaga swadaya
masyarakat (LSM)/Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM), dan YKLI
1) Memahami hak dan kewajibannya sebagai konsumen (konsumen
cerdas-KONCER) untuk mengetahui parameter barang yang perlu
diamati untuk melindungi dirinya.
2) LPKSM mempunyai tugas antara lain menyebarluaskan informasi
dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban serta
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
memberikan nasihat kepada konsumen sehubungan dengan pemilihan
barang dan jasa yang aman untuk dikonsumsi yang beredar di
masyarakat; bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya
mewujudkan perlindungan konsumen; membantu konsumen dalam
memperjuangkan hak-haknya; menerima keluhan dan pengaduan dari
konsumen dan melakukan pengawasan bersama pemerintah dan
masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen
98
BAB VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
a. Pengawasan barang beredar di daerah perbatasan belum dilaksanakan
secara optimal. Umumnya pengawasan dilaksanakan secara kasat mata
dan belum dilakukan uji laboratorium. Selain itu, belum dibuat secara rutin
laporan dan tindak lanjut hasil pengawasan.
b. Tim Terpadu Pengawasan Barang Beredar (Tim TPBB) sudah dibentuk,
namun koordinasi antar instansi maupun lembaga terkait dalam
melaksanakan pengawasan belum efektif. Koordinasi dilakukan hanya
pada saat menjelang bulan puasa dan hari besar keagamaan sekaligus
untuk monitoring harga. Koordinasi dimaksud juga belum dilaksanakan
dengan melibatkan Kepabeanan, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan
(CIQS-custom, immigration, quarantine, and security).
c. Kinerja pengawasan barang di daerah perbatasan belum berjalan dengan
baik. Hal ini diindikasikan dengan frekuensi pengawasan yang relatif
rendah yaitu rata-rata hanya dilaksanakan 1 (satu) kali dalam setahun.
Hal ini disebabkan:
1) Sumber daya manusia (SDM) pengawasan yang dimiliki daerah
perbatasan masih terbatas. Rata-rata jumlah petugas pengawas
berkisar antara 1 – 2 orang atau hanya sebanyak 50% dari kebutuhan
sehingga pengawasan tidak dapat dilakukan secara optimal. Selain itu
tingkat pengetahuan dan pemahaman terhadap bidang tugas
pengawasan juga masih rendah.
2) Proporsi anggaran untuk pengawasan masih relatif kecil yaitu rata-rata
sebesar 9% dari total anggaran Dinas.
3) Minimnya sarana transportasi untuk mendukung pelaksanaan
pengawasan barang yang memadai.
99
d. Ditemukan barang sampel yang tidak sesuai ketentuan parameter
pengawasan khususnya Label, Standar Nasional Indonesia (SNI), dan
Manual Kartu Garansi (MKG). Jenis barang yang tidak bertanda SNI
antara lain lampu pijar, regulator tabung gas, dan tusuk kontak, sedangkan
yang tidak menggunakan Label Bahasa Indonesia antara lain
biskuit/makanan ringan, bahan pokok, dan makanan minuman kaleng.
e. Gambaran umum proporsi barang yang beredar di daerah perbatasan
adalah 70% merupakan produk dalam negeri dan 30% berasal dari
Malaysia. Sementara barang yang telah memenuhi ketentuan parameter
pengawasan di daerah perbatasan mencapai 51,4% yang merupakan
produk dalam negeri, sehingga masih terdapat 18,6% produk dalam negeri
yang belum memenuhi ketentuan parameter pengawasan.
f. Berdasarkan kelompok barang yang beredar di daerah perbatasan maka
barang yang berasal dari Malaysia didominasi (53%) oleh bahan pokok,
biskuit/makanan ringan dan makanan minuman kalengan, sedangkan
barang-barang elektronik dan bahan bangunan didominasi oleh produk
dalam negeri masing-masing sebesar 99% dan 88,3%.
g. Dengan alasan untuk memenuhi kecukupan pasokan bahan pokok, Kepala
daerah/bupati yang memiliki daerah perbatasan, mengeluarkan surat
edaran yang memperbolehkan beredarnya barang pokok asal Malaysia
keluar dari daerah perbatasan (kecamatan) ke kecamatan lain di
kabupaten tersebut. Kebijakan ini berpotensi membuat barang asal
Malaysia merembes ke kabupaten lain bahkan ke provinsi lainnya.
7.2. Rekomendasi Kebijakan
a. Dalam rangka mendukung peningkatan pengawasan barang beredar
khususnya di perbatasan, perlu disusun Standar Pelayanan Minimum
(SPM) meliputi frekuensi pengawasan, jumlah barang yang diawasi, dan
lokasi pengawasan agar dapat dijadikan acuan dalam penilaian kinerja
unit kerja pengawasan barang beredar.
100
b. Menghimbau pemerintah daerah agar dapat merekrut petugas PPBJ dan
PPNS-PK sesuai kebutuhan dan mempertahankan keberadaan petugas
pengawas tersebut dengan mengusulkan menjadi fungsional.
c. Mengusulkan dana alokasi khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi untuk
mendukung pelaksanaan pengawasan di daerah perbatasan dengan
persyaratan adanya jumlah SDM Pengawas yang memadai, frekuensi
pelaksanaan pengawasan, dan jumlah laporan pengawasan barang di
daerah perbatasan.
d. Dalam rangka efektifitas pelaksanaan pengawasan barang di daerah
perbatasan, maka dapat dilakukan kerjasama dengan pihak kepabeanan,
karantina, dan keamanan dalam bentuk nota kesepahaman (MoU).
e. Mensinkronisasikan peraturan daerah yang berpotensi menghambat
pencapaian tujuan pengawasan barang beredar, khususnya di daerah
perbatasan.
f. Memajukan peran Kementerian Perdagangan dalam menyediakan bahan
kebutuhan pokok yang lebih baik dan terjamin bagi masyarakat daerah
perbatasan.
101
DAFTAR PUSTAKA
Asisten Teritorial Kasdam VII Mulawarman, 2013, Bahan paparan: Permasalahan Perdagangan di Wilayah Perbatasan Indonesia-Malaysia.
Asisten Teritorial Kodam XII Tanjungpura, 2013, Bahan paparan:
Permasalahan Menonjol Bidang Perdagangan di PErbatasan RI-Malaysia.
Bappenas, 2009, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan
Perbatasan Antar Negara di Indonesia. Diunduh dari: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CCMQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.bappenas.go.id%2Findex.php%2Fdownload_file%2Fview%2F11630%2F3866%2F&ei=dVsVU_SNJcaErAesyID4DQ&usg=AFQjCNGOdEI4ibVz5ofsL0FfemfXqTfaVg&bvm=bv.62286460,d.bmk
Bappenas, 2010, Isu Strategis dan Mendesak Dalam Pembangunan
Kawasan Perbatasan Kabupaten Kalimantan Barat - Sarawak. Diunduh dari: http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/11640/3867/.Tanggal 19 Februari 2014
BPS Daerah Kabupaten Nunukan. Produk Domestik Regional Bruto Menurut
Penggunaan Kabupaten Nunukan Tahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Malinau. Produk Domestik Regional Bruto Menurut
Penggunaan Kabupaten Malinau Tahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Sanggau. Produk Domestik Regional Bruto Menurut
Penggunaan Kabupaten SanggauTahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Bengkayang. Produk Domestik Regional Bruto
Menurut Penggunaan Kabupaten Bengkayang Tahun 2008-2012. BPS Daerah Kabupaten Nunukan. Statistik Daerah Kabupaten Nunukan
2013. BPS Daerah Kabupaten Nunukan. Nunukan Dalam Angka 2013. Ditjen PEN, 2012, Mendorong Perdagangan Lintas Batas, Warta Ekspor,
Ditjen PEN/MJL/003/8/2012 Edisi Agustus
102
Haryanto, 2013, Tahun 2013 Kasus Gula Ilegal Meningkat 245 Persen, diunduh dari http://pontianak.tribunnews.com/2014/01/08/tahun-2013-kasus-gula-ilegal-meningkat-245-persen tanggal 14 Maret 2014.
Inventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kawasan Perbatasan. 2014.
Badan Pengelola Perbatasan Kabupaten Sanggau. Kementerian perdagangan, 2009, Peraturan Menteri Perdagangan RI
Nomor20/M-DAG/PER/5/2009 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa.
_________________, 2007, Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor
14/M-DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangankan.
Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan Pengawasan Peredaran Barang dan
Jasa. 2014. Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Sanggau.
Pusat Kajian Strategis, 2009, Telaahan Isu Strategis Lainnya, Kementerian
Pekerjaan Umum Republik Indonesia Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri, 2012, Evaluasi Perdagangan
Lintas Batas Indonesia Republik Indonesia, 2008, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang
Wilayah Negara. Sanggau Dalam Angka. 2013. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sanggau Suryowati, Estu, Tabung Elpiji di Perbatasan Tak Sesuai SNI, diunduh dari
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/31/2050378/Tabung.Elpiji.di.Perbatasan.Tak.Sesuai.SNI tanggal 14 Maret 2014
Wikipedia. http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Nunukan
Recommended