View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN LEKTOR KEPALA
TRANSFORMASI ARSITEKTONIK RUMOH ACEH DALAMARSITEKTUR MASA KINI DI BANDA ACEH
Tim Peneliti
Cut Nursaniah, ST., MT (NIP. 19681013 199903 2 002)Dr. Ir. Mirza Irwansyah, MBA., MLA (NIP. 19620526 198710 1 001)Husnus Sawab, ST., MT (NIP. 19680823 199903 1 002)
Dibiayai oleh:Universitas Syiah Kuala
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan TinggiSesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan
Pelaksanaan Penelitian Lektor Kepala Tahun Anggaran 2019Nomor: 521/UN11/SP/PNBP/2019 tanggal 8 Februari 2019
FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SYIAH KUALA
OKTOBER, 2019
"
~ (Cut Nursaoiah, ST., MT) NIP. 19681013 199903 2 002
Ketua Peneliti, Teknik, Unsyiah
Banda Aceh, 2J Oktober 2019
: Rp 57 .500.000,-
: Husnus Sawab, ST., MT : 19680823 199903 1 002 : Arsitektur dan Perencanaan
: Dr. Ir. Mirza Irwansyah, MBA., MLA ; 19620526 198710 1 001 : Arsitektur dan Perencanaan
Cut Nursaniah, ST., MT 19681013 199903 2 002
: Lektor KepaJa : Arsitektur : 081360248133 ; cutnursaniah a:unsviah.ac.id
: Transformasi Arsitektonik Rumoh Aceh dalam Arsitektur Masa Kini di Banda Aceh
Biaya
Anggota Peneliti (2) d. Nama Lengkap e. NIP f. Program Studi
Anggota Peneliti (1) a. Nama Lengkap b. NIP c. Program Studi
Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. NIP c. Jabatan Fungsional d. Program Studi e. NoHP f Alamat Sure! (e-mail)
Judul
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEP ALA
,
iii
RINGKASAN
Transformasi Arsitektonik Rumoh Aceh dalam Arsitektur Masa Kini di Banda Aceh(Cut Nursaniah, Mirza Irwansyah, Husnus Sawab: 2019)
Penelitian ini mencoba menemukan kekayaan arsitektur rumoh Aceh yang dapatmenjawab terhadap tantangan universalisme dan globalisisasi guna memberikan identitasarsitektur di Banda Aceh yang berakar pada arsitektur tradisional, yaitu rumoh Aceh.Arsitektur rumoh Aceh telah berkembang dari waktu ke waktu dengan perubahanberkelanjutan, transformasi dan adaptasi terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang berbedadari setiap periode. Arsitektur rumoh Aceh hadir melalui penggunaan bahan lokal yang tepat,teknologi lokal, dan kearifan masyarakat lokal. Arsitektur rumoh Aceh yang merupakan bagiandari arsitektur vernakular Aceh hadir dan berkembang yang merupakan kebutuhan pada saatitu. Arsitektur vernakular pasti berkelanjutan karena merupakan produk dari beberapaeksperimen.
Rumah vernakular di aceh (contohnya rumoh Aceh) merupakan bangunan warisandengan teknik konstruksi yang tidak biasa, sangat adaptif dengan kondisi wilayah aceh yangmerupakan daerah gempa kuat. Rumah tradisional aceh hadir sebagai karya penting seorangutoh/pengrajin yang sangat kaya akan detail yang mencerminkan waktu mereka. Rumoh Acehmemiliki pengaruh yang signifikan terhadap karakter lingkungan sekitar, karena rumoh acehtelah dirancang dengan memperhatikan alam, menggabungkan dan mencerminkan gaya hidupdan budaya setempat. Melalui studi arsitektonik ini nantinya akan diungkap pemanfaatan apasaja yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan potensi arsitektur tradisional rumoh Aceh kedalam arsitektur masa kini di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Arsitektonis (Architectonic)merupakan teknik atau cara yang dipakai dalam menyelesaikan bentuk bangunan dan bagiankonstruksi/struktural yang mendukung bangunan tersebut serta mempunyai penyelesaian yangindah.
Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui sejauh mana proses transformasinilai-nilai arsitektur rumoh Aceh diaplikasikan pada arsitektur masa kini di Kota Banda Acehdan sekitarnya. Hasil penelitian berpotensi untuk menggugah wawasan pengambil kebijakandan masyarakat untuk melestarikan bangunan rumah adat tradisional, agar tingkatperkembangan pengetahuan nenek moyang yang diwujudkan dalam bangunan rumahtinggalnya dapat dilestarikan dan diaplikasikan pada masa sekarang seiring dengan tingkatperkembangan penggunaan bahan material dan kemajuan teknologi bangunan di masasekarang.
Penelitian ini termasuk jenis deskriptif dan argumentatitf karena menjelaskankonsekuensi kreatifitas penggunaan unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh dalam menghasilkanwujud atau fungsi yang baru. Serta menggunakan pendekatan tipologi sebagai dasar untukmenentukan variabel perancangan. Teknik analisis merujuk pada teori transformasi arsitektur,dengan melihat dan mengamati elemen-elemen rumoh aceh yang ada pada bangunan modern,setelah terlebih dahulu mengidentifikasi elemen-elemen bangunan, tipologi bentuknya, sertamaterial yang menjadi identitas dari arsitektur rumoh Aceh. Transformasi arsitektur diartikansebagai perubahan bentuk dari deep structure yang merupakan struktur mata terdalam sebagaiisi struktur tersebut ke surface structure yang merupakan struktur tampilan berupa trukturmaterial yang terlihat. Menurut Prijotomo (1988), transformasi artinya perubahan dari bendaasal menjadi benda jadiannya, baik perubahan yang sudah tidak memiliki atau memperlihatkan
iv
kesamaan atau keserupaan dengan benda asalnya maupun perubahan yang benda jadiannyamasih menunjukkan petunjuk benda asalnya. Pengamatan dilakukan terhadap objek arsitekturbergaya rumoh Aceh, baik yang berfungsi sebagai rumah tinggal, perkantoran, dan bangunankomersil di Kota Banda Aceh. Empat aspek yang digunakan sebagai dasar pengamatanterhadap bentuk dari pengetahuan lokal terkait dengan transformasi arsitektur rumoh Aceh kebangunan arsitektur masa kini, yaitu: 1). Bentuk bangunan; 2). Material dan sistem konstruksi;3). Fungsi bangunan; dan 4). Adaptasi dengan iklim dan lingkungan.
Hasil penelitian menyimpulkan, bahwa timbulnya kearifan lokal dari masyarakat acehyang tercermin dalam elemen-elemen perancangan sebagai arsitektonik rumoh aceh didorongoleh elemen pola pikir dan elemen Alam, menunjukkan kebijakan dan kemampuanmasyarakatnya menyelaraskan diri dengan alam sebagai lingkungan hidupnya, menghasilkankebijaksanaan mereka dalam menyusun pengetahuan yang dianggap baik bagi kehidupanmereka. Arsitektur rumoh aceh mengandung budaya arsitektonik yang terkait dalampemahaman cara membangun dan terkait seni berkonstruksi. Menentukan waktu mulaikonstruksi adalah masalah penting dalam budaya Aceh. Pemilik rumah mempekerjakan tukangkayu tradisional pada bulan tertentu yang dianggap paling menguntungkan untuk memulaipembangunan. Beberapa ritual dilakukan selama proses konstruksi. Orang Aceh menggunakanunit tradisional untuk pembangunan rumah. Unit utama adalah jaroe (jari), paleut (lebarpunggung tangan), dan hah (hasta). Unit sekunder adalah jeungkai (jarak antara ibu jari yangmenyebar dan jari tengah), lhuek (panjang seluruh lengan), dan deupa (fathom). Iklim dan alamaceh sebagai elemen pendorong terbentuknya kearifan-kearifan lokal dapat diidentifikasikanke dalam beberapa kondisi, yaitu geografis, kelembaban, pergerakan angin, musim kemaraudan penghujan, dan rawan gempa. Letak, lokasi di pesisir, dan posisi rumoh aceh sertadimensinya berdampak pada sistem ketahanannya dalam menerima gravitasi dan bebanhorisontal. Sebagai responnya beban bangunan dibuat ringan dengan beberapa karakterpembebanan. Transormasi arsitektur tradisional rumoh aceh dalam perancangan saat ini belummengalami transformasi yang dinamis hanya sebatas terhadap perwujudan skala bentuk,proporsi dan estetika semata, dimana konsep filosofi ini sudah mengalami tranformasi yanguniversal dan kebanyakan dimanfaatkan oleh institusi pemerintahan ataupun institusi besarlainnya yang ingin mengangkat kembali filosofi tersebut. Tranformasi disain arsitektonikrumoh aceh pada perkantoran di Banda Aceh, diidentiikasi dari beberapa elemen dalammelengkapi bangunan tersebut dengan bentuk panggung, bentuk atap, tulak angen dan ragamhiasnya, deretan tameh (tiang) dalam tampilan material modern, balok toi dan ro’, dan bagianseuramoe teungoh (serambi tengah). Sedangkan kantor bank syariah mandiri aceh mengadopsibentuk atap lipat pada bangunan lonceng cakradonya yang berada di kompleks museum acehdan atap rumoh aceh pada bagian tombak layarnya. Bangunan perkantoran yang menjadisampel berkarakter penggabungan antara arsitektur rumoh aceh dengan tampilan modern (Neo-vernakular). Tampilan modern terlihat dari penggunaan material beton bertulang, kaca, kayu,dan material atap dari produk pabrik, yang sifatnya lebih universal.
Adapun target luaran yang telah dicapai terutama publikasi pada prosiding terindeksscopus yang akan terbit pada bulan Desember 2019, dan artikel yang sedang dipersiapkanuntuk diterbitkan pada Jurnal Internasional Journal Built Environment, Elsevier. Luaranlainnya adalah menyampaian hasil penelitian dalam pertemuan ilmiah Internasional ICRP 2019di Penang pada awal November dengan prosiding terindeks APA, serta dalam persiapan bukuajar ber ISBN.
v
PRAKATA
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya
maka pelaksanaan kegiatan penelitian bertopik arsitektur Rumoh Aceh yang berjudul
Transformasi Arsitektonik Rumoh Aceh dalam Arsitektur Masa Kini di Banda Acehtelah terlaksana dan diselesaikan dengan tepat waktu. Teriring juga shalawat serta salam
kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun
hambannya dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Banda Aceh besar dan sekitarnya,
dimana saat ini masyarakat dan Pemerintah sudah mulai mempunyai perhatian kembali
terhadap keberlanjutan arsitektur tradisional rumoh aceh. Sampel penelitian bangunan
arsitektur rumoh aceh kontemporer yang difungsikan sebagai bangunan perkantoran publik
dan bisnis, untuk mengetahui bagaimana proses transformasi arsitektonik rumoh aceh pada
bangunan kontemporer tersebut.
Kegiatan penelitian ini tidak akan berhasil tanpa adanya kerjasama antara Tim
Peneliti dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unsyiah, baik
dalam bentuk pendanaan maupun publikasi hasil penelitian. Karena itu, sangat diharapkan
kerjasama yang baik ini akan tetap berlanjut untuk masa-masa yang akan datang. Kami juga
menyadari masih banyaknya kekurangan disana sini dalam laporan akhir ini, maka kritik
membangun sangat kami hargai untuk perbaikan hasil penelitian dan laporan akhir ini.
Akhirnnya hanya kepada Allah SWT kita berserah diri, semoga hasil dari penelitian
ini akan banyak member manfaat bagi kita semua. Mudah-mudahan semua bantuan dan
dukungan yang diberikan menjadi amal shaleh disisi Allah SWT. Aamiin....
Banda Aceh, 31 Oktober 2019
Tim Peneliti
vi
DAFTAR ISIhal
HALAMAN SAMPUL …………………….....………………………......... i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… ii
RINGKASAN ………………………………………………………….…… iii
PRAKATA ……………………………………………………………….… iv
DAFTAR ISI……………………………………………………………..….. v
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………..... 1
1.2 Perumusan Masalah ………………………………………………... 3
1.3 Urgensi (keutamaan) Penelitian ..………………………………....... 4
1.4 Batasan Penelitian .........……………………………………………. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......……………………………….. 5
2.1 State of the Art Review Penelitian ..………………………………… 5
2.2 Pengertian Arsitektonik .....................……………………….……… 6
2.3 Penerapan Arsitektonik dalam Arsitektur .......................................... 8
2.4 Arsitektonik, Struktur Konstruksi, dan Perancangan Arsitektur ......... 10
2.5 Tinjauan Transformasi Arsitektonik ................................................... 11
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................ 14
3.1 Tujuan Penelitian ................................................................................. 14
3.2 Manfaat Penelitian ............................................................................... 14
BAB IV METODE PENELITIAN…………………………………..… 16
4.1 Konsep Perancangan Metode Penelitian ..………………………...… 16
4.4 Lokasi Penelitian ................................................................................. 17
BAB V HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI .........................… 19
5.1 Budaya Arsitektonik ............................................................................ 19
5.2 Konsep Disain Rumoh Aceh ............................................................... 20
5.3 Filosoi dan Transformasi Disain Arsitektonik Rumoh Aceh .............. 28
5.4 Transformasi Fungsi Rumoh aceh ....................................................... 34
vii
5.5 Artikulasi Elemen-elemen .................................................................... 36
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...………………………................. 42
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 44
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix
LAMPIRAN- Artikel Ilmiah yang Dihasilkan- Personalia Tenaga Peneliti beserta Kualifikasinya- Foto dan Gambar aktifitas
viii
DAFTAR TABEL
hal
Tabel V.1 Potensi Aplikasi Elemen-elemen Rumoh Aceh ...................... 34
ix
DAFTAR GAMBAR
hal
Gambar 4.1 Lokasi Penelitian .............................................................................. 17Gambar 4.2 Bagan Alir Penelitian ....................................................................... 18Gambar 5.1 Denah rumoh aceh standar, terdiri dari 3 ruang utama dan dapat juga
ditambahkan ruang dapur yang terpisah dari seuramo likot ............. 21Gambar 5.2 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, dengan
penambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang ........... 22Gambar 5.3 Rumoh Aceh standar terdiri dari tiga ruang dengan tinggi lantai
seuramo-keue dan seuramo likot 2 meter, dan tinggi ruang tunggai2,5 meter dari muka tanah ................................................................. 22
Gambar 5.4 Ilustrasi aliran udara pada perkampungan tradisional aceh ............... 23Gambar 5.5 Rumoh aceh dengan penambahan beranda yang disebut seulasa ...... 24Gambar 5.6 Sistem konstruksi sambungan elemen-elemen kayu yang sederhana
pada rumoh aceh menghasilkan struktur yang elastis dan mampumereduksi energi gempa .................................................................... 24
Gambar 5.7 Sambungan rangka atap menggunakan sistem ikat dengan tali ijuk,tali bisa dipotong agar konstruksi atap jatuh untuk menyelamatkanrumah jika terjadi kebakaran ............................................................... 25
Gambar 5.8 Disain arsitektonik rumoh aceh pada penerusan sambungan balokdan tiang(tameh raja dan tameh putro) ............................................... 25
Gambar 5.9 Atap bangunan yang lebar dalam proporsi besar dibandingkandengan badan dan kaki, sebagai penyeimbang/penstabil bangunan ... 26
Gambar 5.10 Sistem sambungan rangka rumoh aceh .............................................. 27Gambar 5.11 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, dengan
penambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang ............. 29Gambar 5.12 Denah standar rumoh aceh ................................................................. 30Gambar 5.13 Anatomi rumoh aceh .......................................................................... 32Gambar 5.14 Transformasi disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan
perkantoran terhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika 33Gambar 5.15 Elemen-elemen disain arsitektonik rumoh aceh yang berpotensi
ditransformasikan pada bangunan modern ......................................... 34Gambar 5.16 Memfungsikan kembali rumoh aceh sebagai tempat berbisnis kuliner,
dengan memanfaatkan bagian kolong dan atas rumah ........................ 35Gambar 5.17 Salah satu cara penghadiran bangunan balee pertemuan penunjang
mesjid dengan arsitektur vernakular rumoh santeut ............................. 36
1
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arsitektur pada dasarnya adalah merupakan produk jaman, sehingga setiap studi
tentang arsitektur sebenarnya terkait erat dengan segala upaya penafsiran/pemahaman
terhadap makna obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur tersebut terhadap
jamannya. Perkembangan arsitektur di Indonesia dan Banda Aceh khususnya, akhir-akhir
ini menunjukkan adanya sebuah gejala pada bentuk dan detail yang minimalis. Tampilan
bangunan perkantoran, bangunan akademik, dan perumahan semakin universal menjauh dari
identitas lokal dimana obyek tersebut berada. Maraknya keadaan ini tentu akibat pengaruh
globalisasi dan universalisasi. Sangat disesalkan juga, tidak terpeliharanya banyak bangunan
bernilai arsitektural dan sejarah tinggi dengan berbagai alasan, seperti semakin hilangnya
rumoh Aceh, tidak terpeliharanya kota lama, dan yang paling baru hilangnya identitas taman
sari. Alasan yang paling mendesak tentu saja adalah modernisme agar tidak tertinggal
peradaban. Apapun alasannya, yang pasti adalah akibat kurangnya apresiasi terhadap nilai-
nilai tersebut.
Melihat kondisi tersebut penelitian ini mencoba menemukan kekayaan arsitektur
rumoh Aceh yang dapat menjawab terhadap tantangan universalisme dan globalisisasi guna
memberikan identitas arsitektur di Banda Aceh yang berakar pada arsitektur tradisional,
yaitu rumoh Aceh. Arsitektur rumoh Aceh telah berkembang dari waktu ke waktu dengan
perubahan berkelanjutan, transformasi dan adaptasi terhadap kondisi sosial dan ekonomi
yang berbeda dari setiap periode. Arsitektur rumoh Aceh hadir melalui penggunaan bahan
lokal yang tepat, teknologi lokal, dan kearifan masyarakat lokal. Arsitektur rumoh Aceh
yang merupakan bagian dari arsitektur vernakular Aceh hadir dan berkembang yang
merupakan kebutuhan pada saat itu. Arsitektur vernakular pasti berkelanjutan karena
merupakan produk dari beberapa eksperimen.
Bukan juga tidak ada perhatian dari Pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk
melestarikan budaya Aceh melalui pembangunan di Kota Banda Aceh, namun yang
dilakukan belum maksimal dan tidak berkelanjutan. Kenyataannya, belum nampak adanya
karakter budaya tertentu pada wajah kota Banda Aceh. Bangunan yang muncul dengan
nuansa arsitektur Aceh pun masih dapat dihitung dengan sepuluh jari.
2
Pada era delapan puluhan Pemerintah Aceh dan kalangan lainnya pernahi mencoba
menerapkan nilai-nilai arsitektur Rumoh Aceh pada perancangan gedung-gedung
perkantoran di Kota Banda Aceh. Karakter dan bentuk Arsitektur Rumoh Aceh tersebut
merupakan simbol utama arsitektural yang ingin diperlihatan ataupun sebagai pelingkup
yang dapat mempertegas nuansa lokal dalam arsitektur. Institusi pemerintahan, museum,
perhotelan dan kawasan wisata, serta rumah masyarakat merupakan perwujudan bentuk
arsitektur yang mudah dijumpai menerapkan transformasi bentuk dan karakter arsitektur
rumoh Aceh bahkan mulai memberikan sentuhan yang dinamis dengan memadukan konsep
tema yang universal ke dalam bentuk dan karakter arsitektur tradsional lokal sehingga
memberi tampilan baru yang menarik. Perwujudan nilai-nilai arsitektur Rumoh Aceh dan
tampilan visualnya pada arsitektur masa kini tersebut menjadi bukti masih besarnya harapan
untuk mentransformasikan nilai-nilai tradisional Aceh sebagai cara berekspresi untuk
praktek arsitektur. Menurut Mahastuti (2018), ada tiga kemungkinan cara transformasi dan
korelasinya dengan kestabilan makna-makna:
1) Transformasi tradisi dan lansekap tradisional seutuhnya tanpa merubah bentuk dan
hanya sekedar memalihkan dengan penyesuaian fungsional dan konteks ruang dan
waktu;
2) Transformasi yang menghasilkan bentuk baru melalui reinterpretasi, reinvention
atau bahkan dekonstruksi atas struktur-struktur tradisi atau lansekap tradisional
eksisting ada untuk menghasilkan pemaknaan baru dari tradisi asli. Pembentukan
kode baru bisa juga dilakukan lewat upaya pembongkaran secara kritis semua
rujukan dari tradisi dan menjelajahi dimensi lain dari tradisi tersebut atau lapisan
pengalaman perseptual lain dari tradisi yang selama ini mungkin terabaikan; atau
3) Menaikan praktek kode yang biasanya hanya pada paras tekstual menjadi yang
bersifat miliu; dari yang bersifat representasi menjadi simulasi pengalaman di mana.
Dalam konteks ini nilai-nilai tradisional bukan sekedar dibaca, namun dialami dalam
konteks kekinian. Dalam konteks simulasi, transformasi makna merupakan peristiwa
rekonstitusi nilai-nilai tradisional dengan tujuan menciptakan habitat tradisional baru
di masa kini yang orisinal dan otentik, yang tetap mengindahkan nilai-nilai
tradisional namun bebas dari logosentrisme masa lalu.
Pemanfaatan bentuk rumoh Aceh pada perwujudan arsitektural merupakan
eksplorasi konsep bangunan yang pernah dikembangkan pada masa lalu untuk dilihat
bagaimana perkembangannya pada masa kini di dalam lingkungan baru yang jauh dari asal
3
tradisinya dalam konteks arsitektur. Pemanfaatan tersebut dilakukan untuk menjembatani
kehadiran arsitektur tradisional sebagai bagian dari konsep yang dapat mempertegas
identitas lokal maupun menjadikannya sebagai suatu bentuk utama/iconic arsitecture dalam
membentuk image/citra bagi suatu karya arsitektural. Melalui studi arsitektonik ini nantinya
akan diungkap pemanfaatan apa saja yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan potensi
arsitektur tradisional rumoh Aceh ke dalam arsitektur masa kini di Kota Banda Aceh dan
sekitarnya. Arsitektonis (Architectonic) merupakan teknik atau cara yang dipakai dalam
menyelesaikan bentuk bangunan dan bagian konstruksi/struktural yang mendukung
bangunan tersebut serta mempunyai penyelesaian yang indah.
Kekhasan arsitektur rumoh Aceh dapat dipandang sebagai sesuatu yang statis dan
dinamis. Kedinamisan dapat ditunjukkan melalui pelestarian dengan menggunakan kembali
unsur-unsur arsitektur tradisional masa lalu dalam konteks masa kini. Penggunaan kembali
arsitektur masa lalu tersebut harus lebih kritis melalui usaha-usaha merekontekstualisasi
arsitektur masa lalu di masa kini, tidak hanya melalui konservasi-konservasi terhadap
bendanya melainkan juga melalui wujud ‘penggunaan representasinya’ atau idenya atau
gagasannya atau spiritnya yang merujuk pada benda tersebut. Nilai-nilai tidak berhenti di
masa lalu, namun dapat disesuaikan dengan perkembangan jamannya, sehingga tidak
dianggap sebagai artefak benda yang statis dan beku. Masa kini hendaknya dipahami sebagai
proses dialog antara masa lalu, kini dan mendatang.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan ulasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
penelitian, sebagai berikut:
1. Tampilan bangunan perkantoran, bangunan akademik, dan perumahan semakin
universal menjauh dari identitas lokal dimana obyek tersebut berada;
2. Kekayaan arsitektur rumoh Aceh dapat menjawab terhadap tantangan universalisme
dan globalisisasi guna memberikan identitas arsitektur di Banda Aceh yang berakar
pada arsitektur tradisional, yaitu rumoh Aceh;
3. Perhatian dari Pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk melestarikan budaya Aceh
melalui pembangunan di Kota Banda Aceh belum maksimal dan tidak berkelanjutan.
4
1.3 Urgensi Penelitian
Untuk menyelamatkan Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh dari perkembangan
terkini yang sangat dipengaruhi globalisasi, sebuah studi komprehensif tentang rumoh aceh
dari sisi arsitektoniknya sangat penting dilakukan untuk pemahaman yang lebih baik
bagaimana mengaplikasikan simbol budaya rumoh Aceh sebagai karakter wajah Kota Banda
Aceh, sehingga tidak kehilangan identitasnya. Menurut Fielden (1998), bangunan tradisional
sebagai bangunan bersejarah, bisa memberi informasi dari rasa ingin tahu tentang orang dan
budaya yang memproduksinya. Melalui Arsitektur tradisional Rumoh Aceh orang bisa
berhubungan dan belajar dari pendahulunya terkait inovasi di masa lalu. Inovasi ini bisa
dilihat melalui gaya dan desain arsitektur, material dan tekstur, serta teknik bangunan dan
konstruksi.
Sebuah studi komprehensif tentang rumoh aceh (rumah tradisional Aceh) yang
berkonstruksi kayu sangat penting untuk meningkatkan pemahaman rasionalitas tentang
rumoh Aceh yang transformatif dan dapat digunakan sampai sekarang dan mendatang
melalui kreativitas yang baru. Melalui pemahaman tentang transformasi diharapkan dapat
dikenali unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk konteks sekarang dan mendatang.
Studi ini dapat menggambarkan sejauh mana penerapan unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh
pada konsteks bangunan baru di masa modern saat kini.
Hasil penelitian sangat penting untuk pelestarian dan konservasi rumah tradisional
aceh. Kegagalan dalam proses perkembangan Arsitektur Tradisional Aceh dapat
mengakibatkan matinya seluruh konsep yang telah dikembangkan para pendahulu kita
selama ratusan tahun.
1.4 Batasan Penelitian
1. Studi ini berkaitan dengan rumah vernakular yang dapat ditelusuri kembali ke pola
dasar rumah tradisional Aceh. Ini yang akan menjadi sampel data dalam penelitian
ini;
2. Arsitektonis merupakan teknik atau cara yang dipakai dalam menyelesaikan bentuk
bangunan dan bagian konstruksi/struktural yang mendukung bangunan tersebut serta
mempunyai penyelesaian yang indah.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 State of the Art Review Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan argumentatif sebagai kesinambungan
dari penelitian tahun 2005, yakni mengkaji filosofi sistem struktur rumoh Aceh. kemudian
berlanjut dalam penelitian tahun 2018 melakukan studi tipologi struktur dan konstruksi
rumah vernakular di Aceh (salah satunya rumoh Aceh) dalam beradaptasi dengan energi
gempa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem konstruksi penahan beban gempa pada
rumoh Aceh sudah memadai untuk mereduksi gempa. Struktur, material, dan sistem
konstruksinya dapat menyalurkan gaya inersia gempa dari tiap-tiap elemen struktur kepada
struktur utama gaya horisontal yang kemudian memindahkan gaya-gaya ini ke pondasi dan
ke tanah. Pendekatan desain pada arsitektur vernakular Aceh bukan hanya dengan cara
memperkuat struktur bangunan, tetapi adalah dengan mereduksi gaya gempa yang bekerja
pada bangunan. Menunjukkan desain rumoh Aceh sangat strategis untuk dijaga
keberlanjutannya hingga saat ini dan akan datang.
Penelitian tentang Rumoh Aceh yang telah dipublikasikan pada Jurnal Internasional
belum ditemukan. Mayoritas pembahasan tentang rumoh Aceh berupa buku, membahas
sosial budayanya, Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, ditulis oleh Husin, dkk (2003), dan
Rumah Tradisional Etnis-etnis di Aceh yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Aceh (2015). Dimana Taqiuddin menulis tentang alih fungsi rumoh Aceh sebagai
alternatif untuk pelestarian rumoh Aceh dengan konsep kekinian karena ada perbedaan
masyarakat dahulu dan masyarakat sekarang akibat gaya hidup dan perkembangan ekonomi.
Namun artikel terkait menjelaskan gaya vernakular di dunia termasuk Indonesia sudah
banyak dibahas dalam jurnal internasional, seperti menunjukkan adaptasi terhadap iklim
lokal, geografi, dan lingkungan atau dalam perlengkapan dan keterbatasan-keterbatasan
materi tertentu yang digunakan dalam konstruksi.
Penelitian Setijanti (2012) bertujuan untuk membawa nilai dan bentuk arsitektur
tradisional ke dalam desain perumahan kontemporer dan pada saat yang sama membawa
kesadaran pada pelestarian arsitektur vernakular. Merupakan penelitian deskriptif dengan
menggunakan metode kualitatif dengan perumahan vernakular di Padang sebagai sampel.
Penelitian ini juga mengeksplorasi tipologi perumahan vernakular di Padang berdasarkan
6
bahan, bentuk, dan fungsi. Selanjutnya, konektivitas antara bentuk arsitektur dan sistem nilai
sosial, dan aspek adaptasi lingkungan diperiksa. Dari hal-hal tersebut, aspek normatif dari
perumahan vernakular diformulasikan. Berdasarkan formulasi, desain baru dapat
dikembangkan untuk mengatasi tantangan dunia baru tetapi masih memiliki inti dari
arsitektur vernakular. Dalam disertasi Takano (2015) menunjukkan ada kekuatan dan
kelemahan untuk penggunaan kayu dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam pengertian
ini, pentingnya beragam perspektif terhadap bahan bangunan telah disoroti. Dibahas juga
kontribusi kayu pada lingkungan lebih positif ketika digunakan lebih banyak.
2.2 Pengertian ArsitektonikPengertian Arsitektonik atau architectonic, yaitu struktur logis yang diberikan
oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang
harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun.
Berdasarkan etimologi, istilah arsitektonik atau architectonic berasal dari :
- Dalam Bahasa Latin yaitu architectonicus, artinya dari, berhubungan dengan, atau sesuai
dengan prinsip-prinsip arsitektur.
- Dalam Bahasa Yunani yaitu architektonikos, dari architektōn, artinya terorganisir dan
memiliki struktur terpadu yang menyarankan sebuah desain arsitektur. Tektonika
berkaitan erat dengan material struktur, dan konstruksi, namun tektonika lebih
menekankan pada aspek estetika yang dihasilkan oleh suatu sistem struktur atau ekspresi
dari suatu konstruksi dari pada aspek teknologinya.
Istilah tektonik berasal dari bahasa Yunani yang merujuk pada pelaksana
pembangunan atau tukang kayu. Dari pemikiran Karl Freidrich Schinkel (1781-1841),
tektonika merupakan ekspresi arsitektural yang muncul sebagai konsekuensi prinsip
mekanika yang diterapkan dalam bangunan. Tektonik merupakan ekspresi yang terungkap
akibat penerapan prinsip statika yang bekerja pada wujud konstruksi yang ada, sehingga
selain ekspresi yang terungkap itu, terdapat pula pemahaman dalam lingkup struktur dan
konstruksinya. Ping-Gao (1999) mengemukakan dua pernyataan tentang tektonika, yaitu 1).
Berkenaan dengan terciptanya keruangan akibat hubungan dan kesesuaian antara material,
sambungan, detail dan struktur; dan 2). Berkenaan dengan seni dan kreasi bentuk yang tidak
hanya bermakna sebagai tempat berlindung dan berteduh, namun pengetahuan yang
menghadirkan suatu konstruksi.
7
Semper lebih menegaskan klasifikasi bangunan (arsitektur) dengan 2 (dua) prosedur
yang mendasari proses perakitannya, yakni 1). Tektonika yang merupakan rangka ringan
yang terdiri dari komponen linier membentuk matrik spasial; dan 2). Tahapan stereotomik
yang berupa bagian dasar dimana massa dan volume ruang terbentuk dari elemen-elemen
berat.
Tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis sebagai kata tektonamai dalam
bahasa Yunani yang secara harafiah berarti pertukangan kayu atau pembangun. Berikut ini
adalah penjelasan mengenai arsitektonik menurut beberapa tokoh :
Kenneth Frampton (1995) dalam bukunya Studies in Tectonic
Culture, menyebutkanbahwa tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis
sebagai kata tektonamaidalam bahasa Yunani, yang secara harfiah
berarti pertukangan kayu atau pembangun. Dalam bahasa Sansekerta dapat
disamakan dengan kata taksan yang juga berarti seni pertukangan kayu yang
menggunakan kapak.
Adolf Heinrich Borbein pada tahun 1982 (Frampton, 1995) pada studi Philologi
nya yang mengatakan bahwa tektonika menjadi seni dari pertemuan atau
sambungan; seni dalam hal ini ditekankan pada tekne, sehingga tektonika ternyata
bukan hanya bagian dari bangunan tetapi juga obyek atau sebagai karya seni pada
arti yang lebih sempit.
Penggunaan istilah tektonika secara arsitektural dipakai di Jerman dan muncul di
buku pegangan karya Karl Otfried Muller berjudul "Handbuch der Archeologie
der Kunst”(Handbook of the Archeology of Art) 1830,yang mendefinisikan tektonik
sebagai penggunaan sederet bentuk seni pada peralatan, bejana bunga, pemukiman
dan tempat pertemuan, yang dibentuk dan dikembangkan di satu sisi pada
penerapannya dan di sisi lain untuk menguatkan ekspresi perasaan dan pengertian
atau buah pikiran seni.
Tektonika pada arsitektur sering kali dilakukan karena ingin memberikan penekanan
pentingnya suatu bagian tertentu dari bangunan dan keinginan mengekspresikan sesuatu
perasaan yang mendalam pada bangunan.
Karl Botticher dalam bukunya The Tektonic of Helen 1843 dan 1852,
menginterpretasikan kata tektonik sebagai pemberi arti pada sistem ikatan yang
lengkap dari semua bagian kuil Yunani menjadi keseluruhan yang utuh, termasuk
rangka dari sculpture dalam segala bentuk. Tahun 500 SM di Yunani diklaim sebagai
8
masa munculnya (raison d ‘etre) tradisi arsitektur. Secara etimologi, kata arsitektur
atau arche-tekton lahir dari tradisi Yunani. Dalam ranah metode berpikir Yunani
terdapat pola pencampuran antara mitologi, mistisisme, dan matematika yang
terangkum dalam ilmu filsafat Yunani. Dari dasar itulah terbentuk wujud arsitektur
Yunani seperti arsitektur kuil tempat pemujaan terhadap dewa (kuil Parthenon),
sistem proporsi matematis Golden Section yang lahir dari konsep Pythagoras serta
kolom -kolom Doric, Ionic, Corinthian sebagai sistem simbol feodalisme Yunani.
Sementara itu Semper mengklasifikasikannya pada bangunan menjadi dua prosedur
yang mendasar, yaitu tektonika dari rangka ringan yang terdiri dari komponen-
komponen linier dikelompokan membentuk matrik spasial dan stereotomik bagian
dasar dimana massa dan volume terbentuk dari elemen-elemen berat.
Pada tahun 1973 Eduard Sekter dalam Structure, Construction and
Tectonicsmendefinisikan tektonik sebagai ekspresi yang ditimbulkan oleh
penekanan struktur dari bentuk konstruksi, dengan demikian hasil ekspresi tektonika
tidak dapat diperhitungkan hanya sebagai istilah pada struktur dan konstruksi saja.
2.3 Penerapan Arsitektonik dalam ArsitekturDalam perkembangannya, tektonika tidak hanya ditujukan untuk bahan-bahan berat
atau ringan melainkan juga cara memperlakukan bahan-bahan tersebut (Mahatmanto,
1999:16). Menyusun dan “membuat” disini memasukkan juga kegiatan seperti menjalin,
merajut, menganyam dari bahan-bahan ringan seperti rumput, alang-alang, rotan tali,
benang, kain, membran, dan sebagainya. Menganyam, menjalin, dan merajut adalah
kegiatan-kegiatan mendasar dalam kebudayaan.
Hubungan antara struktur dan konstruksi dengan arsitektur secara umum dapat
dibedakan menjadi dua:
1. Struktur hanya dipakai untuk keperluan mewujudkan rancangan sebuah bangunan.
Elemen-elemen struktur hanya sebagai elemen penerus beban sedang karakteristik
struktur tidak ikut memberikan nilai estetika arsitekturalnya;
2. Struktur terintegrasi dengan fungsi dan bentuk bangunan. Dengan demikian elemen-
elemen struktur sekaligus adalah elemen-elemen arsitektural yang ikut serta
memberikan nilai arsitektural. Arsitektonik lebih menitikberatkan pada poin yang ke
dua, yaitu kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-
9
elemen struktur untuk diterapkan dalam perancangan arsitektur yang mungkin akan
memacu semangat akan pemahaman struktur secara mendalam.
Struktur dan Konstruksi memang merupakan aspek teknis namun disisi lain juga
merupakan aspek simbolik yang representatif. Suatu karya arsitektur dapat berdiri karena
terdapat pertimbangan struktur dan konstruksi didalamnya, namun tetap dalam kapasitasnya
sebagai sebuah karya arsitektur, yang tetap menitik beratkan pada pengolahan-pengolahan
bentuk dan elemen dari sistem struktur yang diterapkan.
Dalam hal ini arsitektonik berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran
beban dan elemen-elemen struktur, mengolah bentuk secara inovatif hingga menghasilkan
potensi bentuk arsitektural secara keseluruhan maupun sambungan detail-detail konstruksi
yang digunakan. Bentuk-bentuk yang digunakan hendaknya mempunyai nilai filosofi dalam
seni bangunan, bukan sekedar detail-detail figuratif yang abstrak.
Tektonika tak berhenti pada sistem struktur saja, tetapi berlanjut kedalam elemen
konstruksi seperti kolom-kolom, dinding-dinding, balok-balok, detail-detail sambungan.
Untuk menggabungkan bentu-bentuk arsitektur dan tektonika dibutuhkan suatu pengetahuan
dan kepekaan terhadap desain dan material-material yang ada. Pencitraan masing-masing
material harus benar-benar dipahami.
Memahami arsitektonik bukan sesuatu hal yang dapat dipelajari secara teoritis, tetapi
diperlukan latihan-latihan dan uji coba. Pada tahap lanjut, diperlukan suatu pemikiran yang
holistik(terpadu) antara prinsip-prinsip perancangan, konsep struktur, pengetahuan iklim
sosial dan budaya, dan lain-lain yang menunjang ide desain arsitektural secara utuh.
Kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-elemen struktur
untuk diterapkan dalam perancangan arsitektur mungkin akan memacu semangat untuk
mempelajari struktur secara lebih dalam.
Aspek struktur dan konstruksi di satu sisi memang merupakan aspek teknik namun
di sisi lain mempunyai aspek simbolik yang representatif. Biar bagaimanapun juga suatu
karya arsitektur bisa diwujudkan dengan material yang memenuhi suatu persyaratan struktur
diantaranya adalah ‘stabil’ (bisa berdiri) dan kuat (mampu menahan gaya-gaya yang
bekerja) serta persyaratan lain yang kemudian akan dirinci oleh seorang ahli struktur
(structural engineer).
Namun sebagai suatu karya seni, arsitektur seharusnya memberi perhatian lebih pada
kreatifitas pengolahan bentuk elemen-elemen dari suatu sistem struktur yang diterapkan.
Juga mempunyai pengenalan yang baik dan benar terhadap properti material bangunan
10
sehingga arsitek dapat memilih secara tepat material yang hendak dipakai, sampai kepada
memutuskan metoda konstruksi yang sesuai. Disinilah arsitek bicara
dengan tektonika untuk membuat karya arsitektur menjadi lebih kreatif dan kaya akan
makna.
Tektonika berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran beban dari
elemen-elemen struktur. Pengolahan bentuk secara inovatif hingga menghasilkan potensi
ekspresi bentuk arsitektural secara keseluruhan maupun ekspresi seni dari detail-detail
sambungan dari konstruksi yang digunakan. Bentuk-bentuk yang dihasilkan merupakan
bentuk-bentuk artistik yang mempunyai makna nilai seni, bukan hanya bentuk yang abstrak
atau sekedar figurative bahkan mampu mengekspresikan simbolik filosofis dari bangunan.
Sejak zaman dahulu, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan beragam adat
istiadat memiliki rumah adat yang menjadi ciri tiap suku. Dengan adat istiadat masing-
masing, masyarakat Indonesia yang kental dengan prosesi adat dan kepercayaannya,
mengaplikasikannya pada rumah tradisional mereka. Kita tidak hanya akan menemukan
rumah tradisional yang memiliki bentuk dan ornamen yang memiliki nilai estetika tinggi,
juga kemajuan masyarakat Indonesia masa lampau dalam bidang konstruksi. Dapat
dikatakan, penerapan arsitektonik dalam arsitektur telah lama diaplikasikan oleh masyarakat
Indonesia sejak masa lampau, terbukti dari rumah-rumah tradisional tersebut.
2.4 Arsitektonik, Struktur Konstruksi, dan Perancangan Arsitektur
Seperti yang sudah dipaparkan di atas, Tektonika berperan dalam mengabungkan
kesenjangan antara struktur dan konstruksi dengan perancangan dalam arsitektur, tektonika
membedakan struktur dan konstruksi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Struktur hanya dipakai untuk keperluan mewujudkan rancangan sebuah bangunan.
Elemen-elemen struktur hanay sebagai elemen penerus beban,sedang karakteristik
struktur tidak ikut memberikan nilai arsitekturalnya.
2. Struktur terintegrasi dengan fungsi dan bentuk bangunan, dengan demikian elemen-
elemen struktur sekaligus adalah elemen-elemen arsitektural yang ikut memberikan
nilai arsitekturalnya.
Arsitektonik lebih menitikberatkan pada poin yang ke dua, yaitu kemampuan
menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-elemen struktur untuk diterapkan
11
dalam perancangan arsitektur yang mungkin akan memacu semangat akan pemahaman
struktur secara mendalam.
Struktur dan Konstruksi memang merupakan aspek teknis namun disisi lain juga
merupakan aspek simbolik yang representatif. Suatu karya arsitektur dapat berdiri karena
terdapat pertimbangan struktur dan konstruksi didalamnya, namun tetap dalam kapasitasnya
sebagai sebuah karya arsitektur, yang tetap menitik beratkan pada pengolahan-pengolahan
bentuk dan elemen dari sistem struktur yang diterapkan.
Dalam hal ini arsitektonik berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran
beban dan elemen-elemen struktur, mengolah bentuk secara inovatif hingga menghasilkan
potensi bentuk arsitektural secara keseluryhan maupun sambungan detail-detail konstruksi
yang digunakan. Bentuk-bentuk yang digunakan hendaknya mempunyai nilai filosofi dalam
seni bangunan, bukan sekedar detail-detail figuratif yang abstrak. Tektonika bisa dimulai
dari pemilihan struktur bangunan sesuai fungsinya, contohnya :
Bangunan candi dibuat dengan struktur yang massif, berat, dan tertutup. Hal ini
sesuai dengan fungsinya sebagai tempat ibadah yang sakral dan magis, serta
aberorientasi kedalam.
Struktur pendopo pada rumah adat jawa yang terkesan ringan dan terbuka, hal ini
menyangkut fungsinya sebagai tempat menerima tamu dan ditunjang dengan budaya
masyarakat jawa yang terbuka kepada siapa saja yang datang.
Bangunan ibadah yang ada yaitu gothic pada gereja, dan kubah pada mesjid
2.5 Tinjauan Transformasi Arsitektonik
Transformasi adalah suatu proses perubahan yang dapat terjadi secara berkelanjutan,
baik secara keseluruhan maupun sebagian, dengan tetap tidak mengubah substansi atau
esensinya yang disesuaikan dengan keadaan. Kategori transformasi menurut Anjani (2014)
sebagai berikut : 1). Transformasi bersifat Topologikal (geometri). Bentuk geometri yang
berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama; 2). Transformasi
bersifat Gramatika hiasan (ornamen). Dilakukan dengan menggeser, memutar,
mencerminkan, menjungkirbalikkan, melipat, dan lain-lain; 3). Transformasi bersifat
Reversal (kebalikan). Pembalikan citra pada figur objek yang akan ditransformasi dimana
citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya. 4. Transformasi bersifat Distortion
(merancukan). Transformasi menurut Ching (2007), merupakan proses perubahan dalam
bentuk atau struktur melalui serangkaian permutasi dan manipulasi yang terpisah dan
12
menanggapi sebuah lingkungan khusus atau seperangkat kondisi tanpa kehilangan identitas
maupun konsep. Transformasi Bentuk terbagi menjadi 3 jenis yaitu: 1). Transformasi
Dimensional Suatu bentuk dapat ditranformasikan dengan cara merubah satu atau lebih
dimensi-dimensinya dan tetap mempertahankan identitasnya sebagai anggota sebuah
keluarga bentuk; 2). Transformasi Substraktif (pengurangan) Suatu bentuk dapat
ditransformasikan dengan cara mengurangi sebagian volumenya; 3). Transformasi Adiktif
(penambahan) Suatu bentuk dapat ditransformasikan dengan menambah elemen-elemen
pada volumenya.
Dalam upaya transformasi arsitektur masa lalu ke masa kini yang paling sering
dilakukan adalah dengan meminjam bentuk dan ruang masa lalu. Prajudi (2011)
mengatakan, meminjam merupakan proses appropriation, antara lain dengan cara adopsi
(pengambilan), adaptasi (penyesuaian), dan asimilasi (perpaduan). Hasilnya dapat berupa
duplikasi, membentuk ikonik atau abtraksi. Karena itu, meminjam hendaknya
memperhatikan spirit dari tempat sehingga kesinambungan bentuk, ruang dan konteks dapat
terjaga. Lebih lanjut dalam pemahaman critical regionalism menurut Frampton (1983)
dikenali pemahaman bahwa kehadiran arsitektur yang merespon konteks culture dan nature
pada dasarnya harus dapat difahami secara kritis, apakah hanya sekadar menghadirkan
visual, sceneografi, tipologis, atau dapat lebih mendalam jika aspek tactile-nya, tektonika,
topografi, juga dihadirkan.
Penggunaan pendekatan transformasi arsitektur masa lalu ke masa kini memang
paling mudah dikenali jika dilakukan melalui pemindahan (metafora) aspek visual
khususnya diterjemahkan dalam wujud bentuk dan ruang. Contohnya untuk menyatakan
bahwa desain ini menggunakan rujukan arsitektur tradisional Aceh akan lebih mudah jika
menggunakan atap, ornamen tradisional Aceh tersebut. Hal ini banyak terjadi dalam praktik
arsitektur sehingga terkesan muncul efek ekletiktisme.
Beberapa aspek yang didapatkan berdasarkan studi arsitektonik oleh Rahadhian
(2015), pada arsitektur tradisional berpotensi untuk diterapkan dalam bangunan saat kini dan
mendatang, bahkan dapat memperkuat identitas yang bersumber pada nilai-nilai lokal jika
dilakukan secara critical yang dilandasi oleh rasionalitas yang relevan seperti halnya yang
melekat pada sifat-sifat dan konteksnya. Peranan tematik sering diaplikasikan dalam
perancangan arsitektur agar tercapai maksud yang diharapkan dari segi fungsi, citra dan
keaslian. Penerapan tematik arsitektur tradisional lokal Makasar yang diteliti oleh Andi
(2014), diaplikasikan melalui pengolahan bangunan penunjang, fasilitas penunjang, ataupun
13
ornamen bangunan /ruang kawasan. Hal tersebut telah menjadikan transformasi bentuk
arsitektural yang monumental dan menarik dalam bentuk dan ruang yang tercipta pada
kondisi kekinian.
Berdasarkan kajian tentang arsitektur klasik Indonesia, maka dapat diketahui
beberapa unsur-unsur penting dan kuat dalam wujud arsitektotikanya, sehingga dianggap
transferable untuk dapat dikembangkan di masa selanjutnya. Hal ini nampak penggunaannya
pada era Islam dan Kolonial Barat di Indonesia. Prajudi (2014) merangkum aspek-aspek
penting yang terkandung dalam bangunan tradisional hunian, antara lain:
1. Wujud ornamental berupa pola ragam hias sulur-suluran, moulding berupa padma, ragam
hias geometrik persegi, bentuk persegi dan kurva untuk pintu-jendela;
2. Wujud pembagian tiga yang menunjukkan elemen kaki, badan, dan atap;
3. Wujud atap menunjukkan proporsi yang dominan dibandingkan elemen badan atau
kakinya. Bentuk atap dapat dibagi menjadi dua jenis tipe yakni pelana dan perisai dengan
berbagai variasinya. Kaki bangunan dapat berwujud panggung kecuali arsitektur
tradisional Jawa Jaman Islam.
4. Karakter estetika arsitektural, yakni komposisi geometrik dapat berupa bentuk dasar yang
lugas dan jelas, seperti bujur sangkar /persegi panjang /lingkaran/oval/cruciform, badan
dan atap bangunan menunjukkan ekspresi volumetrik, kaki bangunan dapat menunjukkan
ekspresi garis, tata massa menunjukkan komposisi solid-void (dapat membentuk pola
cluster atau linier) dalam perletakannnya menunjukkan simbiosis kesatuan ruang dalam,
ruang luar, ruang transisi, prinsip hirarki, ekspresi segitiga pada atap, pembagian tiga
(kepala, badan, kaki/kiri-tengah-kanan/atas-tengah-bawah), irama perulangan (sosok dan
ornamen), kesimetrian atau keseimbangan (memiliki pusat perhatian), Bio-mimesis
(dalam wujud sosok bangunan atau ornamental), Bio mimesis ditunjukkan pada bentuk
atap di beberapa bangunan yang menunjukkan elemen kurva menyerupai bentuk
perahu/tanduk demikian pula pada beberapa elemen bangunannya tekstur pada beberapa
bagian permukaan atap atau dinding badan bangunan, sumbu/axis (dapat berupa linier
atau memusat), sumbu ini berkaitan dengan orientasi bangunan-kosmologi-lingkungan
alam sekitar menjadi pertimbangan.
Menurut Prajudi (2015), menggunakan representasi arsitektur masa lalu dalam disain
modern merupakan bagian dari proses rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun
reevaluate ‘benda’ masa lalu ke masa kini. Sejarah dapat difahami tidak hanya masa lalu,
melainkan bersifat masa kini (history of the present).
14
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui sejauh mana proses transformasi nilai-nilai arsitektur rumoh Aceh
diaplikasikan pada arsitektur masa kini di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Adapun tujuan
khusus penelitian untuk mengetahui:
1) Bagaimana metode pemilihan elemen-elemen arsitektur rumoh Aceh diterapkan ke
dalam penghadiran arsitektur masa kini ?
2) Apa jenis transformasi yang diterapkan kedalam konsep pembangunan arsitektur
masa kini ?
3) Bagaimana menggabungkan elemen-elemen dan tipologi arsitektur Rumoh Aceh
kedalam bangunan sebagai konsep pembangunan saat ini ?
Hasil penelitian berpotensi untuk menggugah wawasan pengambil kebijakan dan
masyarakat untuk melestarikan bangunan rumah adat tradisional, agar tingkat
perkembangan pengetahuan nenek moyang yang diwujudkan dalam bangunan rumah
tinggalnya dapat dilestarikan dan diaplikasikan pada masa sekarang seiring dengan tingkat
perkembangan penggunaan bahan material dan kemajuan teknologi bangunan di masa
sekarang.
Adapun target luaran yang akan dicapai terutama publikasi pada Jurnal Internasional
Elsevier dan Jurnal Nasional Arsitektur Terakreditasi . Luaran lainnya adalah menyampaian
hasil penelitian dalam pertemuan ilmiah Internasional dan Nasional, serta buku ajar ber
ISBN.
3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian terhadap arsitektur vernakular Aceh ini menjadi penting dan menarik
berkaitan dengan dua hal:
15
1. Arsitektur vernakular Aceh dipelajari untuk menambah kekayaan dalam ranah ilmu
arsitektur karena sifatnya yang bersahabat dengan lingkungan, adaptasi, serta
mengandung kearifan lokal.
2. Untuk menyelamatkan arsitektur vernakular Aceh dari perkembangan terkini yang
sangat dipengaruhi globalisasi. Kegagalan dalam proses perkembangan arsitektur
vernakular Aceh dapat mengakibatkan matinya seluruh konsep yang telah
dikembangkan para pendahulu kita selama bertahun-tahun.
3. Tim peneliti akan mempublikasikan hasil penelitian vernakular Aceh ini melalui
Jurnal dan Prosiding.
Hasil penelitian berpotensi untuk menggugah wawasan pengambil kebijakan dan
masyarakat untuk melestarikan bangunan rumah adat tradisional melalui bangunan publik
yang dibangun dengan gaya rumoh aceh, sehingga pengetahuan nenek moyang yang
diwujudkan dalam bangunan arsitektur dapat dilestarikan dan diaplikasikan pada masa
sekarang seiring dengan tingkat perkembangan penggunaan bahan material dan kemajuan
teknologi bangunan di masa sekarang.
16
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Konsep Perancangan Metode Penelitian
Jenis penelitian menurut tujuannya adalah penelitian deskriptif dan argumentatitf
untuk menjelaskan konsekuensi kreatifitas penggunaan unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh
dalam menghasilkan wujud atau fungsi yang baru. Serta menggunakan pendekatan tipologi
sebagai dasar untuk menentukan variabel perancangan dengan dibantu berbagai sumber
seperti buku, jurnal peraturan pemerintah dan penelitian terdahulu yang terkait dengan
transformasi arsitektur tradisional.
Teknik analisis yang dilakukan yaitu terlebih dahulu mengidentifikasi elemen-
elemen bangunan, tipologi bentuknya, serta material yang menjadi identitas dari arsitektur
rumoh Aceh. Hasil analisa tersebut kemudian dilakukan proses sintesis sehingga
menghasilkan kriteria desain yang mengalami proses transformasi.
Pemilihan sampel penelitian menggunakan metode purposive sampling berdasarkan
kriteria-kriteria yang ditetapkan pada tahap studi pendahuluan. Penetapan kriteria pemilihan
sampel adalah berdasarkan teori transformasi arsitektur. Transformasi arsitektur diartikan
sebagai perubahan bentuk dari deep structure yang merupakan struktur mata terdalam
sebagai isi struktur tersebut ke surface structure yang merupakan struktur tampilan berupa
truktur material yang terlihat. Menurut Prijotomo (1988), transformasi artinya perubahan
dari benda asal menjadi benda jadiannya, baik perubahan yang sudah tidak memiliki atau
memperlihatkan kesamaan atau keserupaan dengan benda asalnya maupun perubahan yang
benda jadiannya masih menunjukkan petunjuk benda asalnya.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan di lapangan, pendokumentasian
melalui pengukuran lapangan dan penggambaran ulang bangunan, serta mengadakan semi-
structured interview dengan pengambil kebijakan, pemilik, dan masyarakat setempat.
Pengamatan dilakukan terhadap objek arsitektur bergaya rumoh Aceh, baik yang berfungsi
sebagai rumah tinggal, perkantoran, dan bangunan komersil di Kota Banda Aceh. Empat
aspek yang digunakan sebagai dasar pengamatan terhadap bentuk dari pengetahuan lokal
terkait dengan transformasi arsitektur rumoh Aceh ke bangunan arsitektur masa kini, yaitu:
1). Bentuk bangunan; 2). Material dan sistem konstruksi; 3). Fungsi bangunan; dan 4).
17
Adaptasi dengan iklim dan lingkungan. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan dalam
lima tahapan, mulai dari kajian pustaka, pengambilan data lapangan (observasi lapangan),
analisis, rekayasa tipologi unsur-unsur yang adaptif dengan konstruksi masa kini, hingga
kesimpulan dan rekomendasi transformasi yang berkelanjutan.
Pengkajian dan perbandingan akan dilakukan pada unsur bentuk dan ruang
arsitekturalnya. Dalam perkembangannya pada masa modern, persistensi penggunaan
unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh umumnya ditunjukkan dalam bentuk ornamentasi, sosok,
dan sebagainya. Dalam konteks estetika akan mengamati unsur-unsur yang paling banyak
digunakan, seperti pola geometri, pembangian tiga (kepala, badan, kaki) pada sosoknya.
Pola geometrik, pembagian tiga, pada hakekatnya merupakan bentuk dasar dalam
mempresentasikan kelokalan. Pola-pola ini dianggap transferable pada era modern saat kini.
Unsur-unsur kuat tersebut akan dikaji konsekuensinya sejauh mana dapat
direkontekstualisasikan kemungkinan-kemungkinan yang dilakukan dalam bersinggungan
dengan konteks kekinian. Kegiatan penelitian seutuhnya dapat dilihat pada Gambar 4.1.
4.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bangunan perkantoran dan lainnya, baik 1). bergayarumoh aceh; maupun 2). rumoh aceh yang berfungsi bukan sebagai tempat tinggal. Lokasipenelitian berada di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Terdiri dari tiga lokasi.
Gambar 4.1 Lokasi PenelitianSumber: Olahan Peta Banda Aceh
Cafe
Perkantoran
Penunjangsaranamesjid
18
Gambar 4.2 Bagan Alir Penelitian
19
BAB V
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
5.1 Budaya Arsitektonik
Tektonika erat kaitannya dengan material, struktur dan kontruksi, namun tektonika
lebih menekankan pada aspek estetika yang dihasilkan oleh suatu sistem struktur atau
ekspresi dari suatu konstruksi dari pada aspek teknologinya. Berdasarkan kajian literatur,
tektonika dapat dipahami sebagai wujud keterkaitan antara material, konstruksi, bentuk dan
ekspresi pada obyek arsitektur. Dengan kata lain, tektonika dipahami sebagai piranti dasar
untuk menghasilkan ekspresi arsitektural (dampak rangkaian elemen konstruksi yang
timbul) dan meletakkan dasar pemahaman tersebut sebagai upaya untuk mengeksplorasi
bentuk arsitektur. Secara etimologi, istilah tektonika muncul dari istilah arsitektonik atau
architectonic. Tektonika menjadi seni pertemuan atau sambungan. Tektonika bukan hanya
bagian dari bangunan tetapi juga obyek atau sebagai karya seni pada arti yang lebih sempit.
Arsitektur rumoh aceh sebagai arsitektur tradisional mengandung budaya
arsitektonik, yaitu terkait dalam pemahaman cara membangun dan terkait seni
berkonstruksi. Budaya tektonika adalah cara membangun rumoh aceh oleh komunitas
masyarakat pendukung arsitektur tradisional ini. Dalam proses tektonika budaya vernakular
ini terdapat pengertian seni berkonstruksi, penggunaan material, masyarakat pemeran
tektonika, sekaligus norma-norma atau aturan budaya tektonika dalam masyarakat
tradisional aceh, yang terlihat jelas upacara-upacara mendirikan bangunan vernakular,
simbol-simbol serta estetika yang digunakan dan status sosial yang diwujudkan dalam ragam
hias bangunan vernakular. Budaya tektonika rumoh aceh ini juga dapat menjadi sumber
arsitektur yang dapat diterapkan pada arsitektur masa kini.
Menentukan waktu mulai konstruksi adalah masalah penting dalam budaya Aceh.
Pemilik rumah mempekerjakan tukang kayu tradisional pada bulan tertentu yang dianggap
paling menguntungkan untuk memulai pembangunan. Beberapa ritual dilakukan selama
proses konstruksi: pertama ketika tiang dan tiang didirikan, kedua ketika bangunan rumah
utama dibangun, dan ketiga setelah konstruksi selesai. Upacara pertama adalah taburan
bahan mentah seperti beras mentah dan air di lokasi, dilengkapi dengan makanan kecil.
Upacara kedua adalah perjamuan seremonial untuk asisten tukang kayu, biasanya berjumlah
20
lima belas. Upacara ketiga dan terakhir adalah pesta seremonial besar yang dihadiri oleh
sebanyak mungkin orang yang ingin diundang oleh pemilik.
Orang Aceh menggunakan unit tradisional untuk pembangunan rumah. Unit utama
adalah jaroe (jari), paleut (lebar punggung tangan), dan hah (hasta). Unit sekunder adalah
jeungkai (jarak antara ibu jari yang menyebar dan jari tengah), lhuek (panjang seluruh
lengan), dan deupa (fathom).
5.2 Konsep Disain Rumoh AcehKearifan lokal rumoh aceh dalam interaksi dengan lingkungannya sudah teruji dari
generasi ke generasi. Masyarakat tradisional menganggap bahwa pengetahuan akan
fenomena alam akan dapat memberikan hasil yang maksimal bagi mereka dalam bertani,
berladang, berburu, dan lain-lain, termasuk arsitektur (Purbadi, 2010). Pengetahuan tentang
alam beserta fenomena alam, menjadi panduan bagi masyarakat untuk bertindak dan
beraktifitas yang menghasilkan harmonisasi antara rumoh aceh dengan alam lingkungannya.
Proses perancangan dan pembangunan dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi
saat itu, menghasilkan disain yang arsitektonik.
Iklim dan alam aceh sebagai elemen pendorong terbentuknya kearifan-kearifan lokal
dapat diidentifikasikan ke dalam beberapa kondisi, yaitu:
5.2.1 Geografis
Sebagai bagian dari negara kepulauan yang diapit oleh dua samudera dan dipisah-
pisahkan oleh lautan, posisi aceh yang berada di uung utara pulau sumatera menjadikan
masyarakatnya harus dapat beradaptasi dengan kondisi geografisnya ini. Respon masyarakat
terhadap lautan memunculkan karakter sebagai Bangsa Bahari, karena kehandalannya
dalam mengembangkan teknologi perkapalannya sehingga mampu mengarungi berbagai
samudera di dunia semenjak abad V (Situs 2, 2013). Kehandalan membuat kapal kayu ini
tentunya berimbas langsung dengan kemampuan mereka dalam mengkonstruksikan
bangunan-bangunan kayu tempat tinggal mereka. Penggunaan bahan-bahan organik (non-
logam) dominan digunakan untuk konstruksi, seperti teknik konstruksi pasak kayu (belum
mengenal paku) dan teknik konstruksi ikatan yang diaplikasikan pada konstruksi rumoh
aceh.
21
5.2.2 Kelembaban
Kondisi geografis aceh yang berada di dekat garis ekuator membuatnya beriklim
tropis, namun karena diapit oleh dua samudera mengakibatkan Indonesia berkelembaban
tinggi sehingga digolongkan masuk ke dalam negara beriklim tropis lembab. Kondisi ini
menyebabkan kebanyakan daratan di Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat luas dan
kaya. Respon masyarakat tradisional aceh untuk kondisi ini terlihat pada cara mereka
berpakaian, dimana kelembaban mudah menyebabkan kegerahan sehingga kebanyakan
mereka berpakaian seminimalis mungkin.
Pada bangunan, iklim adalah faktor utama yang secara langsung mempengaruhi
proses konstruksi dan bahan bangunan, terutama di daerah yang beriklim tropis lembab.
Radiasi matahari memperburuk bahan organik dengan memulai reaksi kimia di dalam bahan
dan menyebabkan oksidasi. Ventilasi dan perangkap aliran udara dan angin sangat penting
diterapkan pada bangunan. Masyarakat aceh tradisional menyediakan ruang yang teduh dan
berdinding terbuka (beranda, serambi, kolong) untuk beraktivitas di siang hari dan ruang
yang tertutup rapat oleh dinding untuk aktivitas tidur pada malam hari guna menghindari
udara yang dingin.
Gambar 5.1 Denah rumoh aceh standar, terdiri dari 3 ruang utama dan dapat jugaditambahkan ruang dapur yang terpisah dari seuramo likot
Sumber: olahan dari Kamal
22
Semua rumoh aceh terdapat ukiran pada fasadnya baik ukiran tembus ataupun tidak.
Namun, banyak tidaknya penerapan ukiran tembus pada fasad bangunan sangat bergantung
pada tingkat ekonomi pemiliknya. selain serambi sebagai bentuk untuk mengantisipasi
kelembaban tinggi, bisa juga dilakukan dengan penambahan beranda. Rumoh aceh dapat
juga diperluas dengan menambahkan ruang ke arah depan dan belakang rumah. Bagian ini
biasa disebut seuramoe likot atau serambi belakang dan seuramoe reunyeun atau serambi
depan, yaitu tempat masuk ke rumah yang selalu berada di sebelah utara atau selatan.
Gambar 5.2 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, denganpenambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang
Sumber: Olahan dari Husin, 2003
Dalam mengantisipasi kelembaban tinggi, Rumoh Aceh juga memiliki ketinggian
panggung yang sempurna untuk mengalirnya angin pada area kolong rumah guna
menghapus kelembaban. Sebagian area kolong biasanya difungsikan untuk berbagai tujuan,
seperti beternak, bale-bale untuk istirahat, tempat menyimpan hasil pertanian, parkir
kendaraan, dan lain-lain.
Gambar 5.3 Rumoh Aceh standar terdiri dari tiga ruang dengan tinggi lantai seuramo-keuedan seuramo likot 2 meter, dan tinggi ruang tunggai 2,5 meter dari muka tanah.
Sumber: Husin, 2003
Penambahan ruang kearah depan
Penambahan ruang kearah depan dan belakang
23
5.2.3 Pergerakan Angin
Bangunan tradisional rumoh aceh didirikan dengan arah bubungan atap melawan
arah pergerakan angin. Pengetahuan ini didapat berdasarkan pengalaman hidup
masyarakatnya dalam membaca fenomena alam. Kebiasaan mereka dalam memanfaatkan
angin untuk menggerakkan perahu layar menimbulkan pengetahuan bagi mereka dalam
memanfaatkan pergerakan angin sebagai pendingin ruangan bangunan mereka. Rumoh aceh
pun dengan cerdas merespon lingkungan dengan posisi rumah membujur arah Barat-Timur,
dan rumah menghadap ke Utara atau Selatan. Dengan demikian sisi bangunan yang pendek
berada di bagian Timur dan Barat, sedangkan sisi bangunan yang panjang berada di bagian
Utara dan Selatan dengan aliran udara yang maksimal. Arah aliran angin lebih dominan dari
arah Tenggara atau Barat Laut.
Gambar 5.4 Ilustrasi aliran udara pada perkampungan tradisional acehSumber: Analisis
5.2.4 Musim Kemarau dan Penghujan
Iklim tropis lembab mengenal dua musim yakni musim kemarau dan musim
penghujan. Kedua musim ini tidak terdapat perbedaan suhu yang ekstrim sehingga bangunan
rumoh aceh cenderung bersifat terbuka, yaitu memiliki beranda (disebut seulasa) pada
sebagian rumoh aceh dan menggunakan kolong. Beranda dimaksudkan untuk tempat
berteduh dan berangin-angin saat cuaca panas, kolong dimaksudkan agar lantai bangunan
tidak menjadi basah ketika hujan turun dan air mengalir mengikuti kontur lahannya.
24
Gambar 5.5 Rumoh aceh dengan penambahan beranda yang disebut seulasaSumber: survei
5.2.5 Rawan Gempa
Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak yang mampu
menyelesaikan berbagai permasalahan gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami
lebih mendalam, terdapat elemen-elemen lain yang membantu kekuatan struktur,
diantaranya balok-balok pengunci untuk menjaga posisi tiang. Setiap pertemuan elemen
yang berbeda, dihubungkan dengan cara memasukkan bagian ujung elemen ke lubang yang
tersedia pada elemen lain lalu diberi pasak. Begitulah cara utoh Aceh menghubungkan setiap
elemen tanpa memakai paku, sehingga menjadi rumah. Disini timbul kekuatan struktur
dalam merangkai elemen-elemen tersebut, sehingga dapat berdiri dengan kokoh dan dapat
bertahan hingga kini.
Gambar 5.6 Sistem konstruksi sambungan elemen-elemen kayu yang sederhana padarumoh aceh menghasilkan struktur yang elastis dan mampu mereduksi energi gempa
Sumber: survei
25
Gambar 5.7 Sambungan rangka atap menggunakan sistem ikat dengan tali ijuk, tali bisadipotong agar konstruksi atap jatuh untuk menyelamatkan rumah jika terjadi kebakaran
Sumber: survei
Bagi elemen lain yang tidak berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan
mengikatkan tali (gambar 5.7). Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi
akan maksud dari dibuatnya konstruksi tersebut. Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional
yang lebih jauh dipikirkan untuk kebutuhan dan keselamatan penghuni rumah. Tidak hanya
sekadar menyambung-nyambungkan elemen belaka, misal elemen tameh raja dan putroe
dipilih kayu yang paling baik karena sebagai penyambut di serambi depan selain juga
berfungsi sebagai sebagai struktur utama sebagaimana mestinya. Penyelesain akhiran pada
tameh raja dan tameh putro diberi ukiran menghadirkan disain arsitektonik pada rumoh aceh.
Di sini tampak kesadaran masyarakat Aceh akan terbentuknya suatu ruang berikut material-
material yang digunakan.
Gambar 5.8 Disain arsitektonik rumoh aceh pada penerusan sambungan balok dan tiang(tameh raja dan tameh putro)
Sumber: survei
26
Bangunan tradisional rumoh aceh menggunakan material organik seperti Kayu,
Bambu, Rotan, dan Rumbia. Pengetahuan masyarakat bahwa bahan-bahan ini akan
mengalami kelapukan menimbulkan solusi penggantian bahan yang tercermin dalam teknik
membangun, yaitu menggunakan teknik konstruksi ikat, teknik konstruksi pasak agar
memudahkan mereka mengganti bahan bangunan yang telah lapuk tanpa perlu merobohkan
bangunan keseluruhan. Keuntungan lain yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini
adalah bangunannya lebih tahan gempa. Bangunan tradisional rumoh aceh bukan struktur
kaku sepenuhnya (rigid frame), pondasinya tidak ditanam ke tanah (diletakkan di landasan
batu) sehingga bangunan masih dapat bergoyang-goyang mengikuti goyangan gempa.
Kekokohan sistem struktur dan teknik konstruksi rumoh aceh selama ini dinilai
mampu menahan gravitasi dan gaya lateral yang menerpanya. Sementara itu cara merakitnya
sangat sederhana dengan metode tradisional. Keberadaan dan keberlangsungan kayu sebagai
materi konstruksi rumoh aceh sudah terbukti sejak lama, menunjukkan bahwa konstruksi
kayu terbentuk oleh kecocokan sinergi antara 1). Karakter materialnya; 2). Cara mengolah
untuk membangun; dan 3). Cara memperlakukan/perawatannya.
Letak, lokasi di pesisir, dan posisi rumoh aceh serta dimensinya berdampak pada
sistem ketahanannya dalam menerima gravitasi dan beban horisontal. Sebagai responnya
beban bangunan dibuat ringan dengan pembebanan berada pada:
1. Elemen tertingginya yaitu penutup atapnya yang lebar dan menyungkup badan
bangunan, namun menggunakan material yang ringan. Berungsi menaungi dari
terangkatnya atap jika terjadi angin yang kencang, juga berguna untuk
menyeimbangkan/menstabilkan bangunan;
Gambar 5.9 Atap bangunan yang lebar dalam proporsi besar dibandingkan dengan badandan kaki, sebagai penyeimbang/penstabil bangunan
2. Jumlah dan kerapatan kolom yang relatif banyak berguna untuk menjamin stabilitas dan
rijiditasnya. Terbentuk sebuah masa kotak yang kaku yang mampu menahan gaya
lateral dari tiga arah;
27
3. Balok-balok yang bersilangan disambung dengan saling mengunci untuk menahan
kolom-kolom vertikal tidak berubah posisi, menciptakan sistem jepit elastis melalui
regangan tarik dan regangan tekan pada batang-batang kayunya;
Gambar 5.10 Sistem sambungan rangka rumoh aceh
4. Terbentuk dua sub sistem yaitu kerangka bangunan sebagai massa dibawah dengan
sistem pembebanan tekan yang ditindih beban atap yang dikonstruksikan dengan sistem
pembebanan tarik;
5. Balok-balok yang menembus kolom-kolom berpotensi merenggangkan ikatan massa.
Untuk menanganinya diperlukan baji/pasak pada setiap lobang sambungan agar
mengunci. Prinsip kerja dapat menahan dan mereduksi beban lateral yang bergerak horizontal
ketika terjadi gempa.
6. Sistem tumpuan bawah/pondasi bersifat sendi, untuk mengimbangi perilaku struktur atas yang
bersifat jepit elastis. Konfigurasi demikian membuat vernakular Aceh dapat bergoyang seirama
dengan guncangan gempa. Sistem sambungannya memungkinkan toleransi terhadap gaya-gaya
yang bekerja pada batang-batang kayu. Toleransi ini menimbulkan friksi sehingga bangunan
dapat akomodatif menerima gaya-gaya gempa.
7. Dinding meggunakan kayu dan atap menggunakan daun kelapa atau seng, sehingga tidak terlalu
membebani bangunan karena bersifat ringan.
8. Kondisi tersebut menunjukkan bangunan rijid elastis dan bergoyang. Sistem struktur
rumoh aceh yang menyatu, holistik, saling tekan sekaligus saling tarik pada setiap
komponen bangunannya berakibat positif yaitu masa bangunan bawah dan atas saling
mengikat dan menyatu. Kemudian ada atap di atasnya berfungsi memberikan beban
pada masa di bawahnya sehingga relatif susah tergeser maupun terlempar oleh gaya-
gaya horisontal maupun vertikal.
28
Pembuatan rumoh aceh merupakan gabungan dari material, alat, dan proses. Setiap
material yang dipakai memiliki karakteristik khas sehingga memerlukan alat khusus yang
juga khas untuk mengolahnya melalui pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan
sifat material dan kemampuan alat. Kayu dan bambu bersifat lentur sehingga dapat bertahan
terhadap pengaruh getaran gempa bumi. Ukuran-ukuran yang digunakan adalah ukuran
tradisional yang standarnya berasal dari tubuh manusia sendiri, seperti kuku, jari, ruas, jari,
jengkal, hasta, depa, kaki, dhap, dan lainnya. Ukuran-ukuran tersebut sudah pasti akan ada
sedikit perbedaan antara satu orang dengan orang lainnya karena sangat bergantung pada
postur anggota tubuh seseorang yang dijadikan rujukan.
5.3 Filosofi dan Transformasi Disain Arsitektonik Rumoh Aceh
Nilai filosofis dalam arsitektur adalah sesuatu yang abstrak sebagai perwujudan
idealisme, keinginan, tujuan dari konsep yang ingin dihasilkan baik itu bagi pemilik
bangunan (owner) maupun dari perencana / arsitek. Melalui konsep filosofis, hasil karya
rancangan arsitektur akan mempunyai nilai nilai "roh" yang hidup, sejalan dengan
kehidupan yang ada di dalam bangunan tersebut (activirty building). Filosofi dalam suatu
konsep arsitektur dan karya arsitektural menguatkan bahwa nilai filosofis tidak akan
terlupakan dalam proses karya rancangan arsitektur. Kalau hal ini dilakukan maka bangunan
yang dihasilkan merupakan seonggok bahan bangunan yang didukung oleh rangka struktur
yang kelihatan mati seolah-olah tanpa mempunyai "roh" kehidupan yang ada dalam
bangunan tersebut.
Arsitektur Tradisional rumoh aceh berupa rumah panggung yang sarat dengan
pemaknaan filosofis, dimana pada masa lalu bangunan ini adalah rumah sebagai tempat
tinggal, yang dapat dibedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya.
Banyaknya ruweng (ruang) dan banyaknya ukiran, menunjukkan identitas-identitas tertentu
yang mendukung tingkat sosial penghuninya. Besarnya rumoh aceh tergantuang pada
banyaknya ruweueng (ruang), yaitu ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga 10
ruang. Rumoh aceh standar terdiri dari lhee ruweng (tiga ruang). Reuweueng adalah sela
antara tiang-ketiang. Tiang rumah Aceh bulat dari kayu keras dan jarak dari tiang ketiang
antara 2,5-4 meter.
Rumah terdiri dari tiga bagian, yaitu: beranda muka disebut seuramo keue atau
disebut juga seuramo rinyeuen; 2). Serambi belakang disebut seuramo likot; dan 3). Bagian
29
utama yaitu bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi disebut tungai.
Rumoh aceh dapat juga diperluas dengan menambahkan ruang ke arah depan dan belakang
rumah. Bagian ini biasa disebut seuramoe likot atau serambi belakang dan seuramoe
reunyeun atau serambi depan, yaitu tempat masuk ke rumah yang selalu berada di sebelah
utara atau selatan. Semua rumoh aceh terdapat ukiran pada fasadnya baik ukiran tembus
ataupun tidak. Namun, banyak tidaknya penerapan ukiran tembus pada fasad bangunan
sangat bergantung pada tingkat ekonomi pemiliknya. Rumoh aceh ditempati oleh keturunan
raja atau kaum bangsawan.
Gambar 5.11 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, denganpenambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang
Sumber: Olahan dari Husin, 2003
Tiang-tiang rumah Aceh berbentuk bulat berjumlah 16, 18, 22, dan 24 buah, dan
paling banyak 40 buah, yang berjejer 4 baris, yaitu baris depan, baris tengah depan, baris
tengah belakang, dan baris belakang, dengan jarak masing-masing tiang 2,5 meter. Di antara
tiang-tiang rumoh Aceh terdapat dua buah tiang yang disebut tameh raja (tiang raja) dan
tameh putrou (tiang putri). Kedua tiang itu membatasi kamar tidur dan serambi. Pada bagian
sebelah Utara didirikan tiang raja dan di bagian sebelah Selatan didirikan tiang putri. Pintu
rumah Aceh dimana diletakkan tangga terdapat di serambi depan, dengan tinggi pintu 1.8
meter dan lebarnya 0.8 meter. Jendela biasanya dibuat di serambi depan, serambi belakang,
dan di rumoh inong (juree), masing-masing dengan ukuran agak kecil, yaitu tinggi 1 meter
dan lebar 0.6 meter. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan
dengan menambah atau menghilangkan bagian ruweueng yang ada di sisi Barat atau Timur
30
rumah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang
penyangga yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak
tangganya yang berjumlah ganjil. Pada gambar 5.12 dapat dilihat denah rumoh aceh standar
yang berkembang di Aceh.
Gambar 5.12 Denah standar rumoh acehSumber: Keumala, 2008
Selengkapnya bagian-bagian rumoh Aceh sebagai berikut:
1. Rumoh Inong, yaitu rumah induk yang disebut juga rumoh tunggai, adalah bagian
rumah yang letaknya di bagian tengah dan lebih tinggi setengah meter dari serambi
depan dan serambi belakang. Rumoh inong itu terdiri atas jurei yang terletak di
bagian Barat dan menjadi kamar tidur tuan rumah, dan anjong yang terletak di
bagian Timur dan menjadi kamar tidur bagi anak-anak perempuan. Keharmonisan
rumah tangga merupakan hal yang paling penting, sehingga ditempatkan pada posisi
yang paling utama yaitu di tengah dan di lantai tertinggi;
2. Seuramou Keu (serambi depan), berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan
tempat musyawarah. Disini disandarkan sebuah tangga yang biasanya berjumlah 9
atau 7 buah anak tangga. Serambi depan letaknya memanjang sepanjang rumah tanpa
ada kamar-kamar. Tangga ditempatkan di bagian tengah rumah sehingga tamu dapat
duduk di bagian kiri atau kanan serambi. Jadi serambi depan rumoh Aceh bersifat
terbuka, sesuai dengan fungsinya antara lain tempat menerima tamu laki-laki, tempat
31
mengaji dan tempat belajar anak laki-laki (sekaligus tempat tidur mereka), dan untuk
keperluan umum;
3. Seuramou Likot (serambi belakang), yang berfungsi sebagai tempat duduk tamu
di bagian belakang, dipakai juga sebagai gudang. Sebagaimana halnya seuramoe
keu, ruangan belakang atau seuramoe likot tidak lagi dibagi menjadi ruangan-ruangn
yang lebih kecil. Tetapi ada juga yang membangun seuramoe likot ini sedikit lebih
besar dari seuramoe keu dengan cara menambahkan dua buah tiang pada bagian
timurnya. Ruang tambahan itu disebut anjong, yang sekali gus berfungsi sebagai
dapur. Pada dinding depan di bawah bara bagian luar biasanya dibuat rak tempat
meletakkan barang atau perkakas dapur, yang disebut sandeng (saneung). Ada juga
yang menambahkan rumoh dapu (dapur) di bagian belakang rumah yang elevasi
lantainya lebih rendah dari seuramo likot. Dapur mendapat posisi terendah, karena
ruang ini merupakan perluasan rumah atau tambahan ruang pada rumah saja;
4. Rambat, gang antara dua kamar kiri dan kanan yaitu bagian rumah yang
menghubungkan serambi depan dan serambi belakang;
5. Atap rumah. Kebanyakan atap rumah Aceh adalah atap dengan rabong atau
tampong satu, terletak di bagian atas ruangan tengah yang memanjang dari ujung
kiri ke kanan, sedangkan cucuran atapnya berada di bagian depan dan belakang
rumah. Biasanya atap tidak memakai plafon tetapi langsung menaungi ruangan pada
badan rumah yang fungsional. Sebuah ruang kecil terdapat di antara bubong dan
badan rumah, yakni loteng yang disebut para (fungsinya sebagai gudang). Atap
rumah Aceh biasanya dibuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah
dibelah kecil-kecil, ikatan tersebut namanya mata pijeut. Tulang atap terbuat dari
batang bambu yang dibelah-belah. Atap itu tersusun rapat sehingga susunannya rapi
dan tebal.
6. Ciri lain dari rumoh Aceh ialah bahwa biasanya di setiap rumoh Aceh ada keupok
padee (lumbung padi) dan balee (balai). Keupok biasanya terletak di depan, di
samping atau di belakang rumah, dan balee sebagai tempat beristirahat di waktu
senggang biasanya didirikan di depan atau di samping rumah. Walaupun letaknya
terpisah dari rumah, namun keduanya tidak dapat dipisahkan dengan ciri sebuah
rumah Aceh.
32
Bagian badan rumah disebut ateuh rumoh, yang berarti bagian atas. Dinamakan
seperti ini sebab posisinya memang berada jauh di atas tanah, untuk mencapai lantai rumah
ini perlu menggunakan tangga. Pada ateuh rumoh ini terdapat ruang-ruang fungsional
rumah. Bagian bawah rumah disebut yup moh, berupa kolong yang ketinggiannya sekitar
2,5 meter. Bangunan dibuat berpanggung/bertiang tinggi untuk menghindari banjir.
Gambar 5.13 Anatomi rumoh acehSumber: Kamal A. Arif
Tipologi ini yang merupakan tipologi umum berkembang di Aceh nampak
mempunyai kaitan dengan keamanan bagi penghuninya. Bentuk rumah panggung menurut
kenyataannya selalu berubah karena manusia mampu meningkatkan fungsi rumah karena
pengalaman hidupnya sebagai makhluk pencipta. Perubahan terjadi karena kedinamisan
masyarakatnya, material dan teknologinya. Namun kadangkala perubahan bentuk rumah
yang terjadi tidak lagi beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Beberapa kasus
perubahan yang tidak adaptif lagi dengan lingkungannya terjadi di kawasan rawa tripa,
pesisir barat aceh yang geografisnya berawa gambut.
Konteks filosofi arsitektur tradisional rumoh aceh dalam perancangan saat ini belum
mengalami transformasi yang dinamis. Transformasi pemanfaatan filosofi arsitektur
tradisional aceh diperkotaan Banda Aceh pernah dilakukan pada era tahun delapan puluh
hingga 90-an dan menghias wujud arsitektur di kota ini. Konsep filosofi ini hanya sebatas
terhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika semata, dimana konsep filosofi ini
33
sudah mengalami tranformasi yang universal dan kebanyakan dimanfaatkan oleh institusi
pemerintahan ataupun institusi besar lainnya (gambar 5.14) yang ingin mengangkat kembali
filosofi tersebut.
Gambar 5.14 Transformasi disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan perkantoranterhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika
Sumber: Analisis
Tranformasi tektonik atau disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan pemerintah
dan perkantoran di Banda Aceh, diidentiikasi dari beberapa elemen dalam melengkapi
bangunan tersebut dengan bentuk panggung, bentuk atap, tulak angen dan ragam hiasnya,
deretan tameh (tiang) dalam tampilan material modern, balok toi dan ro’, dan bagian
seuramoe teungoh (serambi tengah). Sedangkan kantor bank syariah mandiri aceh
mengadopsi bentuk atap lipat pada bangunan lonceng cakradonya yang berada di kompleks
museum aceh dan atap rumoh aceh pada bagian tombak layarnya.
Berkarakter penggabungan antara arsitektur rumoh aceh dengan tampilan modern
(Neo-vernakular). Tampilan modern terlihat dari penggunaan material beton bertulang,
kaca, kayu, dan material atap dari produk pabrik, yang sifatnya lebih universal. Pada Gambar
5.15 dan tabel I dapat dilihat elemen-elemen rumoh aceh yang berpotensi diaplikasikan pada
bangunan perkantoran di Banda Aceh.
34
Gambar 5.15 Elemen-elemen disain arsitektonik rumoh aceh yang berpotensiditransformasikan pada bangunan modern
Sumber: Analisis
Tabel I. Potensi aplikasi elemen rumoh acehKonstruksibangunan
elemen Kantor gubernur Bank mandiri Bank syariahmandiri
Konstruksibawah
tameh Tameh gantung
Toi dan ro’ bajoe
rinyeun
Konstruksitengah
kindang Binteh
Tingkap Pintoe
seuramoetunggai
Konstruksiatas
Para/gaseu Tulak angen
bubong Taloe pawai
sandeng
5.4 Transformasi Fungsi Rumoh Aceh
Rumoh Aceh (bahasa Aceh: "rumah Aceh") adalah tipe rumah vernakular terbesar
dan tertinggi dari semua yang ditemukan di Provinsi Aceh, yang lainnya adalah Rumoh
Santeut dan Rangkang. Rumoh Aceh adalah tumpukan yang didirikan di atas tiang yang
bersandar pada batu datar atau alas beton. Tiang tersebut dibangun dari kayu hingga ke
bagian atas. Atap pelana dibentuk dengan rangka kayu yang ditutupi dengan daun palem
jerami atau logam bergelombang. Rumoh Aceh ditemukan tersebar di kampung tradisional
(Aceh: gampong) tanpa pola khusus. Namun, posisi rumah selalu membujur dengan posisi
ke arah timur dan barat. Eksterior dapat dihiasi dengan ukiran kayu dari pola bunga atau
geometris, biasanya ditemukan di atap segitiga, di sekitar jendela dan di papan. Dekorasi
35
pelana segitiga terdiri dari layar kayu segitiga berhias yang miring ke luar dan dilubangi
untuk memungkinkan ventilasi silang. Pintu masuk rumah aceh terletak di sisi utara atau
selatan. Pintu masuk ini adalah tangga curam menuju teras depan beratap (Aceh: seulasa,
"beranda").
Ruang di bawah rumah digunakan untuk menyimpan barang-barang seperti kayu
untuk konstruksi, kayu bakar, tanaman, atau sepeda; atau untuk area istirahat, dengan
bangku. Area rumah ditandai dengan pagar pembatas atau pagar. Pepohonan memberikan
keteduhan ke halaman rumah. Lumbung padi (bahasa Aceh: krōng padé, "penyimpanan
beras") adalah lumbung padi kecil yang terletak di bawah atau di samping rumah, untuk
menyimpan gabah.
Masyarakat aceh sudah mulai membudayakan kembali rumoh aceh untuk kegiatan
berbisnis (memfungsikan rumoh aceh sebagai cafe atau warung makan), dan bangunan
pertemuan. Gambar 5.16 memperlihatkan beberapa transformasi fungsi rumoh aceh.
Gambar 5.16 Memfungsikan kembali rumoh aceh sebagai tempat berbisnis kuliner, denganmemanfaatkan bagian kolong dan atas rumah
Sumber: survei
36
Gambar 5.17 Salah satu cara penghadiran bangunan balee pertemuan penunjangmesjid dengan arsitektur vernakular rumoh santeut
Sumber survei
Hiasan tameh gantung dan penghadiran konstruksi sambungan tiang dan balok
secara estetis merupakan upaya penghadiran transormasi disain arsitektonik rumoh santeut.
Untuk penghadiran konstruksi lantai juga diupayakan mendekati metode sambungan rumoh
aceh, memungkinkan karena metode konvensional mendekati dalam hal pembalokan lantai.
Arsitektonik tidak hanya menggambarkan cara di mana struktur beban telah
digunakan dalam desain dan konstruksi bangunan, tetapi mencakup analisis berkelanjutan
yang mendasari mengapa struktur khusus dirancang. Tektonika pada Arsitektur sering kali
dilakukan karena ingin memberikan penekanan pentingnya suatu bagian tertentu dari
bangunan dan keinginan mengekspresikan sesuatu perasaan yang mendalam pada bangunan.
Arsitektonik atau Tektonika pada Arsitektur disatu sisinya adalah pengembangan struktur
yang digunakan untuk menghadirkan ruang. Sedangkan disisi yang lain adalah pengolahan
sistim sambungan pada konstruksi sehingga meningkatkan ekspresi bangunan dengan
menggunakan nilai.
5.5 Artikulasi Elemen-elemen
5.5.1 Artikulasi Bahan
Kayu
37
Setiap bahan bangunan mempunyai kodrat masing-masing dan menampakkan
karakternya. Kayu mempunyai kodrat rapi penuh aturan dalam irama serat-seratnya.
Mempunyai kodrat sebagai bahan yang kuat terhadap tarik sehingga banyak digunakan
untuk struktur yang menahan tarik. Kayu juga merupakan bahan yang ringan sehingga cocok
untuk diletakkan dalam struktur atas (atap). Irama kayu rapi dan penuh aturan. Bangunan
yang menggunakan kayu menampilkan bentuk yang sederhana, natural, dan hangat.
Konstruksi kayu terbentuk oleh kecocokan sinergi antara 1). Karakter materialnya;
2). Cara mengolah untuk membangun, dan cara memperlakukan perawatannya. Kayu
memiliki dua macam ketahanan yakni tahan terhadap gaya desak maupun gaya tarik yang
sama baiknya. Dengan demikian konstruksi kayu memberikan kesempatan digunakan dalam
dua cara sebagai penahan desak dan tarik. Sifat lenturnya menyebabkan kayu dapat
melenting dan akan kembali kepada bentuk semula ketika tekanan yang ada dihentikan.
Kayu menjadi aspek utama dalam membentuk lingkungan rumoh aceh dan
perkampungannya. Bersama material pelengkap lainnya kayu menjadi bagian penting
sehingga pada zaman dahulu disakralkan dalam rangka dilestarikan (pengambilan kayu
untuk bahan bangunan diawali dengan upacara, dan ada aturan dan tata cara dalam
menebang pohon untuk bahan bangunan dan pemilihan kayu.
Sedangkan penggunaan kayu untuk segala kebutuhan dilakukan secara seksama
diperhitungkan kuantitasnya hingga dipertimbangan secara matematis ilmiah. Karena
kedekatannya pula aspek keteknikan yang matematis dari kayu menjadi lebih populer
sebagai bagian dari ketukangan yang dikuasai oleh banyak orang.
Bahan material bangunan baru mendesak kayu yang menyebabkan terjadinya
pergeseran nilai pentingnya kayu dalam memenuhi kebutuhan rancang bangun. Besi, semen
hingga komposit sudah banyak menggantikan fungsi kayu dalam dunia arsitektur. Akan
tetapi kayu, bagaimanapun juga, tetap menjadi salah satu elemen arsitektur yang tidak
tergantikan.
batu
Batu berkepribadian kuat terhadap tekan, tetapi lemah terhadap tarik. Batu merupakan bahan
yang berat sehingga cocok ditempatkan sebagai struktur bawah, seperti pondasi. Batu alam
memiliki segala susunan, tekstur, dan warna sehingga dapat digunakan untuk struktur
dinding sebagai beban (bearing wall).
38
5.5.2 Artikulasi ekspresi beban sambungan
Kepekaan yang sangat tinggi atas bakat dan kodrat bahan membuat setiap detail
sambungan menjadi puisi. Pertemuan bahan alam dapat terjadi secara terikat, tertambat,
menyatu, melebur, atau sekedar bersinggungan menempel rapuh. Sebuah batang dapat
diekspresikan menjadi terkesan meregang tarik atau terdesak terdorong.
Konstruksi material yang disambung secara terikat pada rumoh aceh dijumpai pada
konstruksi rangka atap, menggunakan tali ijuk. Dua elemen yang berbeda disatukan dengan
alat penyambungan yang kuat, tetapi masih memiliki kelenturan.
Konstruksi material yang disambung secara tertambat, yaitu dua atau lebih elemen
yang berbeda saling berdekatan/menempel disatukan dengan alat penyambung yang kuat
dan lebih kaku dibandingkan posisi terikat. Penerapan taloe pawai pada konstruksi atap,
apabila dipotong akan menyebabkan atap rumah jatuh ke bawah.
Konstruksi material yang disambung secara menyatu/melebur, terdapat pada
konstruksi antara tiang, balok induk dan balok anak (tameh, toi dan ro’) yaitu tiga elemen
struktur yang berbeda bersatu dan memiliki siat baru. Bentuk sambungan menjadi kaku
elastis karena kayu menyambung dengan sistem lubang dan baji. Gaya-gaya yang bekerja
adalah gaya vertikal, horizontal, dan puntir (sendi-roll-puntir). Pada ujung balok diberi
ukiran yang estetis. Konstruksi ini mampu mereduksi beban lateral dengan baik merespon
angin kencang dan gempa bumi.
5.5.3 Artikulasi ekspresi konstruksi
Dalam proses pembangunannya rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai tempat
bernaung saja, namun telah menunjukkan identitasnya melalui tampilan the art of
construction yang sedemikian rupa sehingga indah sekaligus memiliki kekuatan struktur.
Struktur rumoh Aceh adalah sistem struktur rangka kayu yang terdiri dari serangkaian balok
dan tiang yang saling melengkapi, sehingga melahirkan suatu bentuk arsitektur tradisional
rumah tinggal yang unik dan tahan gempa. Pada sistem struktur rumoh Aceh, dinding
bangunan tidak berfungsi sebagai pemikul beban melainkan hanya sebagai penyekat saja.
Dengan demikian, dinding bangunan bisa saja menggunakan material yang tidak perlu
39
terlalu kuat. Dapat digunakan material kayu, pelepah, dan sebagainya. Rumoh Aceh yang
berbentuk panggung berfungsi untuk mengatasi masalah kelembaban dan keamanan.
Balok pada tiang dipasang pada posisi membujur dan melintang. Balok yang
membujur disebut toi, sedangkan balok yang melintang disebut ro’. Kedua ujug balok yang
membujur dipahat setengah sehingga seperduanya tinggal sebagai puting. Begitu juga
dengan kedua ujung balok yang membujur, dipahat dengan ukuran sama seperti balok yang
membujur. Balok kayu yang melintang dipasang di bawah balok yang membujur, dan
biasanya diperkuat dengan menggunakan baji (bajoe), sehingga rumah itu dapat berdiri
dengan kokoh dan kuat.
Di atas balok kayu yang melintang dipasang lagi balok lantai yang disebut lhue. Lhue
ini mempunyai jumlah tertentu pada setiap rumoh Aceh, dan selalu harus dalam jumlah
ganjil. Pada ruang depan sebanyak sembilan buah, pada ruang tengah 11 buah dan ruang
belakang sebanyak sembilan buah. Jumlah seluruhnya sebanyak 29 buah. Ketentuan jumlah
lhue ini ternyata juga dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap adanya ketentuan langkah,
rezeki, pertemuan dan maut (Waardenburg, 1978 : 137). Di atas lhue baru dipasang lantai
yang terbuat dari kayu, bisa juga pohon nibung (pinang) atau dari bambu yang diikat dengan
ijuk/rotan yang dipintal rapi. Pada sekeliling rumah terdapat dua lembar papan berukuran
tebal dan lebar yang berfungsi untuk menutupi ro’, toi dan lhue. Papan yang paling bawah
disebut laeak dan di atasnya disebut kindang. Di atas tiang dipasang bara setebal 15 cm dan
lebar 30 cm.
Dari tulang bubungan (tampong) sampai ke atas bara diletakkan kasau yang
dinamakan gaseue. Di bawah kasau terdapat kayu bulat sejajar dengan bara yang dinamakan
geunulong. Fungsi geunulong ini untuk mengikat kasau agar menjadi sejajar dan rapi. Pada
ujung kasau bagian bawah lesplang dipasang miring ke dalam yang dinamakan neuduek
gaseue. Sedangkan pada ujung sebelah Barat dan Timur rumah bagian atas (bubong) juga
terdapat lesplang yang berfungsi sebagai penahan atap dari terpaan angin kencang yang
dinamakan peunimpi di daerah Aceh Besar.
Dari neuduek gaseue sampai ke puncak bubungan, yaitu di antara selang-selang
kasau itu terbentang tali ijuk yang disebut taloe pawai. Tali ini terlipat dua dan kedua ujung
sebelah bawah disatukan dan disimpul dengan sangat kuatnya, sehingga bentuknya persis
seperti sebuah sanggul yang dinamakan bruek geutheun. Pada tali ijuk inilah diikat atap
rumah tersebut, sehingga apabila terjadi bencana kebakaran, maka simpul ijuk yang
40
berbentuk sanggul ini sajalah yang dipotong. Sebab dengan pemotongan sanggul ijuk itu
atap akan turun dan jatuh ke bawah secara serentak.
Pada ujung timur dan barat sejajar dengan kuda-kuda terdapat sebuah penutup yang
biasanya dilubangi yang dinamakan tulak angen (tolak angin). Tolak angin ini berfungsi
untuk menetralisir hempasan angin kencang. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek
gaseue) sampai ke bara dibuat ruang atap yang berfungsi untuk menyimpan dan meletakkan
barang-barang, seperti tikar dan bantal yang dinamakan sanding.
Jendela umumnya berada pada dinding sebelah barat dan timur, berfungsi untuk
menyambut udara bersih dan sinar matahari pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang
berada pada dinding bagian utara dan selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam
keseluruhan rumah termasuk ruang tengah. Pintu utama (pintu depan) pada setiap rumoh
Aceh hanya terdapat pada dinding kedua dari rumah itu, yaitu pada dinding tengah yang
dinamakan pinto Aceh.
Tangga rumoh Aceh disebut reuyeuen terletak di sebelah Barat atau Timur
menghadap ke Selatan dan Utara, dengan jumlah anak tangga selalu ganjil. Tangga ini
letaknya terlindung dari sinar matahari dan hujan, karena kalau cucuran atap yang sejajar
dengan tangga memanjang ke bawah, sehingga dapat melindungi tangga dari hujan dan sinar
matahari yang dapat mengakibatkan lapuk dan rusak.
Kejujuran dalam pengolahan bahan dan penanganan konstruksi pada rumoh Aceh
terlihat pada sistem sambungan balok dan tiang. Sambungan antar komponen dibuat
sedemikian rupa sehingga antara satu bagian dengan bagian lainnya saling terkait. Dengan
hubungan yang sederhana (teknik lubang dan pasak/bajoe) rumoh Aceh mampu menahan
gaya multi dimensional. Sistem lubang dan pasak digunakan sesuai dengan teknologi yang
berkembang di masa itu dan hasilnya sambungan berupa jepit elastis bersifat semi kaku yang
adaptif terhadap beban dinamis.
Sambungan toi dan tameh membuat arah kekakuan pada bidang horizontal
melintang, dan vertikal. Sambungan ro’ dan tameh membuat arah kekakuan pada bidang
membujur dan vertikal. Sambungag antara tameh, bara linteung, dan bara panyang
membuat arah kekakuan horizontal membujur dan melintang. Sedangkan sambungan antara
bara linteung dan indreng membuat arah kekakuan bidang membujur dan vertikal yang
menghasilkan suatu diagonal pendukung terhadap kekakuan total pada keseluruhan struktur
yang biasanya ditemukan pada sebuah struktur sambungan penjepit modern. Dengan
41
hubungan yang sederhana ini, rumoh aceh dapat menahan gaya multidimensional dari empat
arah utama (tiga arah dari bidang tegak lurus dan satu arah yang membentuk suatu sudut
miring terhadap tiga bidang lainnya).
Konstruksi ruang atap dan bentuk panggung yang terkesan ringan memang luar biasa
sekaligus indah, sangat potensial dan terbuka untuk kebutuhan pemakainya. Material
konstruksi rumoh Aceh harus dari kayu yang kuat, yaitu kayu kuat I atau II. Kayu merupakan
material yang memiliki tingkat keelastisan yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan
kemampuannya menerima tegangan tarik maupun tekan yang hampir sama besarnya.
42
BAB VISIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Timbulnya Kearifan lokal dari masyarakat aceh yang tercermin dalam elemen-
elemen perancangan sebagai arsitektonik rumoh aceh didorong oleh elemen pola pikir dan
elemen Alam, menunjukkan kebijakan dan kemampuan masyarakatnya menyelaraskan diri
dengan alam sebagai lingkungan hidupnya. Terbukti dengan pola pikir tersebut
menghasilkan kebijaksanaan mereka dalam menyusun pengetahuan yang dianggap baik bagi
kehidupan mereka seperti hukum adat, tata kelola, dan tata cara untuk aktivitas mereka
sehari-hari. Kearifan lokal dalam arsitektur menjadi sangat penting perannya dalam menjaga
dan mempertahankan kelestarian budaya Indonesia.
Arsitektur rumoh aceh sebagai arsitektur tradisional mengandung budaya
arsitektonik, yaitu terkait dalam pemahaman cara membangun dan terkait seni
berkonstruksi. Menentukan waktu mulai konstruksi adalah masalah penting dalam budaya
Aceh. Pemilik rumah mempekerjakan tukang kayu tradisional pada bulan tertentu yang
dianggap paling menguntungkan untuk memulai pembangunan. Beberapa ritual dilakukan
selama proses konstruksi. Orang Aceh menggunakan unit tradisional untuk pembangunan
rumah. Unit utama adalah jaroe (jari), paleut (lebar punggung tangan), dan hah (hasta). Unit
sekunder adalah jeungkai (jarak antara ibu jari yang menyebar dan jari tengah), lhuek
(panjang seluruh lengan), dan deupa (fathom).
Iklim dan alam aceh sebagai elemen pendorong terbentuknya kearifan-kearifan lokal
dapat diidentifikasikan ke dalam beberapa kondisi, yaitu geografis, kelembaban, pergerakan
angin, musim kemarau dan penghujan, dan rawan gempa.
Letak, lokasi di pesisir, dan posisi rumoh aceh serta dimensinya berdampak pada
sistem ketahanannya dalam menerima gravitasi dan beban horisontal. Sebagai responnya
beban bangunan dibuat ringan dengan beberapa karakter pembebanan.
Konteks filosofi arsitektur tradisional rumoh aceh dalam perancangan saat ini belum
mengalami transformasi yang dinamis. Transformasi pemanfaatan filosofi arsitektur
tradisional aceh diperkotaan Banda Aceh pernah dilakukan pada era tahun delapan puluh
hingga 90-an dan menghias wujud arsitektur di kota ini. Konsep filosofi ini hanya sebatas
terhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika semata, dimana konsep filosofi ini
sudah mengalami tranformasi yang universal dan kebanyakan dimanfaatkan oleh institusi
43
pemerintahan ataupun institusi besar lainnya yang ingin mengangkat kembali filosofi
tersebut.
Tranformasi tektonik atau disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan pemerintah dan
perkantoran di Banda Aceh, diidentiikasi dari beberapa elemen dalam melengkapi bangunan
tersebut dengan bentuk panggung, bentuk atap, tulak angen dan ragam hiasnya, deretan
tameh (tiang) dalam tampilan material modern, balok toi dan ro’, dan bagian seuramoe
teungoh (serambi tengah). Sedangkan kantor bank syariah mandiri aceh mengadopsi bentuk
atap lipat pada bangunan lonceng cakradonya yang berada di kompleks museum aceh dan
atap rumoh aceh pada bagian tombak layarnya.
Berkarakter penggabungan antara arsitektur rumoh aceh dengan tampilan modern
(Neo-vernakular). Tampilan modern terlihat dari penggunaan material beton bertulang,
kaca, kayu, dan material atap dari produk pabrik, yang sifatnya lebih universal.
44
DAFTAR PUSTAKA
Andi Yusdy D.R,. 2014. Pemanfaatan Tema Arsitektur Tradisional Lokal terhadapTransformasi Bentuk dan Fungsi Arsitektur di Perkotaan dalam Konteks Kekinian.Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 1, Januari 2014.
Anjani, Malicha Dini. Museum Ragam Hias Melayu Riau Di Pekanbaru Dengan PenekananPelestarian dan Pengembangan Ragam Hias Melayu Riau. Skripsi. Universitas Riau.Pekanbaru. 2014.
Ching, Francis D.K. 2007. Arsitektur : Bentuk, Ruang, dan Tatanan Edisi ketiga. Erlangga,Jakarta, 2007.
Fielden, Bernard M, 1998, Conservation of Historic Building, Bath Press, Great Britain.Frampton, Kenneth, 1983, Towards a Critical Regionalism: Six Point for an Architecture of
Resistance, Bay Press.Gushendri, Wahyu Hidayat dan Muhammad Rijal. 2015. Transformasi Bentuk Arsitektur
Rumah Godang pada Perancangan Museum Jalur Kuantan Singingi. JOM FTEKNIKVolume 2 No. 1 Februari 2015.
Husin, H. Amir, Chairani, Syafrizal, 2003, Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, DinasPerkotaan dan Permukiman Prov. NAD
Ifani., SM, 2015, Kajian Arsitektur Tradisional sebagai Acuan Disain Rumah tinggalKontemporer (Studi Kasus: Arsitektur Vernakular Gayo Lut di Kota Takengon),Tesis Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara-Medan, Tahun 2015.
Mahastuti, Ni Made M, 2018, Arsitektur Vernakular Malaysia, Prodi Arsitektur FakultasTeknik Universitas Udayana.
Matisons.,Viesturs, 2016, Application of vernacular architecture principles in modernhousing constructions, 7th Semester Dissertation, Bachelor of ArchitecturalTechnology and Construction Management, VIA University College, Horsens,Denmark.
Mentayani, Menggali Makna Arsitektur Vernakular: ranah, unsur, dan aspek-aspekvernakularitas, Lanting, Journal of Architecture, Vol 1, No 2, Agust 2012, Hal 68-82 ISSN 2089-8916.
Nursaniah., C, Izziah, dan Qadri, Konsep Kearifan Lokal dari Konstruksi Rumah Vernakulardi Pesisir Barat Aceh untuk Perancangan Arsitektur Modern, (Studi Kasus: WilayahDAS Krueng Tripa, kabupaten Nagan Raya), Tesa Arsitektur Volume 14 | Nomor 2|2016, Terakreditasi: 2/E/KPT/2015, ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367.
Nursaniah C, Sawab H, 2018, Penilaian tipologi bangunan dan metode konstruksi rumahvernakular di Aceh dalam merespon gempa. Laporan penelitian Lektor KepalaTahun 2018.
Prajudi, Rahadhian, H, 2011, Transformation in the vernacular Architecture of Settlementson Java, Indonesia from the Hindu-Buddhist Era to the Islamic Era, InternationalSeminar on Vernacular Settlement IV, 14-17th February 2007, Ahmadabad-India.
45
Prajudi, Rahadhian, H, 2012, Rekontekstualisasi Ruang-ruang Arsitektur Klasik-TradisionalNusantara di masa kini, seminar 121212, Universitas Brawijaya, Malang.
Prajudi, Rahadhian, H, 2014, Kajian Unsur Arsitektonik Transformatif dalam ArsitekturRumah Tradisional di Indonesia-Puslitbangkim, Lombok.
Prajudi, Rahadhian, H, 2015, Penggalian Unsur-unsur Arsitektonik TransformatifPercandian Indonesia untuk Arsitektur Masa Kini dan Mendatang-Puslitbangkim,Lombok.
Prijotomo, Josef, 1988, Ideas and Form of Javanese Architecture, Yogyakarta, Gadjah MadaUniversity Press.
Punpairoj. Poomchai, 2013, the Changing Use of Materials in Construction of theVernacular Thai House, A thesis submitted for the degree of Doctor of PhilosophyUniversity of Bath Departement of Architecture and Civil Engineering.
Rahadhian, 2015, Dialog Pengembangan Potensi Bentuk dan Ruang pada ArsitekturTradisional Indonesia dengan Konteks Masa Kini dan Mendatang.
Rumiwati., dan Prasetyo, 2013, Identifikasi Tipologi Arsitektur Rumah TradisionalMelayu di Kabupaten Langkat dan Perubahannya (Identification Typology ofArchitecture Traditional Malay Houses in Langkat District and Its Changes),Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 2 Agustus 2013
Setijanti, Silas, Firmaningtyas, Hartatik, 2012, Vernacular Housing in Contemporary UrbanLiving, Laboratory for Housing and Human Settlement. Dept. of Civil andArchitecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia,SB13 Dubai Paper – 154.
Takano., Atsushi, 2015, Wood in sustainable construction - a material perspective Learningfrom vernacular architecture. Doctoral dissertation for the degree of Doctor ofScience in Technology to be presented with due permission of the School ofChemical Technology for public examination and debate in Auditorium (ForestProducts Building 2) at the Aalto University School of Chemical Technology(Espoo, Finland).
Taqiuddin, Z., 2015, Rumah Tradisional Etnis-etnis di Aceh: Alih Fungsi Rumoh Acehsebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Rumoh Aceh dengan Konsep Kekinian. DinasKebudayaan dan Pariwisata Aceh Bidang adat dan Nilai Budaya.
Widiastuti., Indah, 2014, Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini.Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15
Widosari, 2010, Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika KehidupanMasyarakatPasca Gempa & Tsunami. Local Wisdom, jurnal Ilmiah Online Vol II,Nomor 2, Hal. 27-36, Maret 2010, ISSN: 2086-3764.
Curtis, William (1985) “Regionalism in Architecture”, dalam Regionalism inarchitecture editor Robert Power. Singapore : Concept Media
Lampiran 2 Susunan Organisasi Tim dan Pembagian Tugas
No. Nama / NIP InstansiAsal Bidang Ilmu
AlokasiWaktu(jam/minggu)
Uraian Tugas
1. Cut Nursaniah, ST., MTNIP.196810131999032002
FTArsitektur
Arsitektur/RekayasaStruktur danKonstruksi
10Mengkoordinirkegiatan,Mengidentifikasidan menganalisisdata sistemkonstruksi dantipologibangunan,mempresentasikanhasil, menulisartikel ilmiah danbuku ajar.
2. Dr. Ir. Mirza Irwansyah,MBA., MLANIP.196205261987101001
FTArsitektur
Lansekap Arsitektur 8 Mengidentifikasidan menganalisistransformasiunsur-unsurarsitektur rumohAceh terkait ruangluar bangunan,menulis laporandan artikel ilmiahsesuai bidangnya,dan menulis bukuajar.
2. Husnus Sawab, ST., MTNIP.196808231999031002
FTArsitektur
Arsitektur/ArsitekturLingkungan 8
Mengidentifikasidan menganalisisfungsipenghawaan danpencahayaan padaobjek penelitian,menulis laporandan artikel ilmiahsesuai bidangnyadan buku ajar.
3. Mahasiswa (3 orang) FTArsitektur 5
Pembantulapangan, tabulasidata, laporan
Agricultural
Engineering
Department
Faculty Of Civil
Engineering &
Earth Resources
International Conference on Agricultural Technology, Engineering, and Environmental Sciences
(ICATES) 2019 Address: Agricultural Engineering Department, Faculty of Agriculture, UniversitasSyiah Kuala
Jln. Tgk. Hasan KruengKalee, No. 3, Banda Aceh-Indonesia. Email: icates@unsyiah.ac.id
Website: http://icates.unsyiah.ac.id. Mobile: +6281220743572; +60 123994214
Paper Acceptance
190/ICATES/TP/2019
Banda Aceh, 24 August 2019
Paper ID: 047 Dear Cut Nursaniah, Izarul Machdar, Azmeri Azmeri, Abdul Munir, Mirza Irwansyah and Husnus Sawab
We are pleased to inform you that your paper entitled: Stilted Houses Transformation, One of Choice to Environment Respon to Sustainable, presented in The International Conference on
Agricultural Technology and Engineering, and Environmental Sciences (ICATES) 2019, is accepted to be published in IOP Conference Series: Earth and Environmental Science scheduled in 4th quarter 2019 as shown on this link: https://iopscience.iop.org/journal/1742-6596/page/Forthcoming%20volumes#tab3
Therefore, we request you to send your final revised paper to our official email at:
icates@unsyiah.ac.id both in as .docx and .pdf files latest on 3 September 2019. In order to
accelerate IOP publication, we strongly request you to strictly follow the IOP Paper format and
guidelines.
We thank you for your share and participation in the ICATES 2019 Conference.
Cordially yours,
Dr.-Ing. AgusAripMunawar ChairpersonICATES 2019, Banda Aceh-Indonesia
Website: icates.unsyiah.ac.id
1
Stilted Houses Transformation: One of Choice to EnvironmentRespond to Sustainable
Cut Nursaniah*1, Izarul Machdar2, Azmeri3, Abdul Munir1, Mirza Irwansyah1,and Husnus Sawab1
1Departement of Architecture, Engineering Faculty, University Syiah Kuala, Jln.Tengku Syech Abdurrauf No. 7, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Indonesia2Departement of Chemical Engineering, Engineering Faculty, University Syiah Kuala,Jln. Tengku Syech Abdurrauf No. 7, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Indonesia3Departement of Civil Engineering, Engineering Faculty, University Syiah Kuala, Jln.Tengku Syech Abdurrauf No. 7, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Indonesia
*E-mail: cutnursaniah@unsyiah.ac.id
Abstract. One type of houses on stilts that are spread on the west coast of the Aceh region isrumoh santeut located in the Teunom area. This vernacular architecture is a residence that hasbeen tested by climate and natural disasters for hundreds of years, but still stands strong and isstill inhabited by the fourth generation today. The Teunom settlement environment canrepresent the characteristics of other settlements on the west coast of Aceh, because it is in thesame natural conditions. These settlements often experience flooding due to the overflowing ofthe Krueng Teunom River which is located adjacent to the settlement. This paper discusses theprinciples and techniques of construction in the construction of houses on stilts, and how theelements of construction respond to environmental problems as sustainable constructionthrough a process of architectural transformation. Data has been analyzed with qualitativedescriptive methods to find out the factors that affect transformation, and how transformationoccurs. The findings show that the nature and potential of the material affect the structure /construction, building components, and construction methods. The houses on stilts in Teunomhave been transformed together with changes in the socio-cultural community and changes inthe natural environment. The use of cement, brick, and iron has now resulted in changes in themethod of construction and appearance of the house. Wooden stilt houses that are transformedcan be divided into two types of construction, they are transformed into contemporary houses,and are transformed as new stage houses. How the ancestors took care of their homes, and thefact that these houses still exist, should be an example in modern society.
1. IntroductionTransforming is a method commonly used by vernacular architecture, such as what happened at thestage house in the Teunom settlement, the West Coast region of Aceh. Transformation occurs inarchitectural buildings to adapt to the needs of residents, so that the architecture still exists and issustainable. Usually buildings are transformed to adjust the shape of construction to the environmentin which the architecture is located, or adjust to the social and cultural conditions of the dynamiccommunity. The vernacular homes are inherited from generation to generation, and these houses are
1 To whom any correspondence should be addressed.
LAMPIRAN - LAMPIRAN
2
no longer the same as the early history of its construction [1]. Houses or dwellings always changefrom traditional forms to contemporary ones in accordance with the activities and values of residents[2]. If it is unable to adjust to the environment and the needs of its people, then the architecture andsettlements will be destroyed by themselves. The evolution of vernacular homes throughout historyhas occurred to respond to factors such as geography, climate, expertise and materials [3].
Transformation in architecture is related to the process of changing forms from the initial / basicstate to the new state. The process of change can occur on an ongoing basis, both in whole and in part,while not changing the substance or its essence according to the circumstances. This change can alsobe seen in settlements in the Teunom region, where there are currently several types of stilt houses.The emergence of several types of stilt houses is of course through the transformation process from thebasic form of local residential architecture called rumoh santeut to adapt to the natural environmentand the dynamic needs of the community. Rumoh santeut is a type of stilt house in Aceh that has aparallel floor.
The process of transforming the stage house into a contemporary stage house needs to be studiedto see whether the development of architecture on the west coast of Aceh is currently still adaptive toits environment, because the area is a settlement adjacent to a large river that often overflows intoresidential settlements. Even recently more frequent occurrences of flooding have occurred in theregion. The west coast of Aceh is a coastal area of peat swamps, so that it has the character as a peatswampland, has a short river flow with heavy currents, there are many estuaries. Natural conditionsthat tend to runny affect the formation of architecture on the west coast of Aceh [4].
The social and cultural consequences of the dynamic, flood conditions, and reasons forpracticality, the santeut house in the Teunom region underwent a transformation process so that ittends to be different from the initial construction. The transformation process is a way for thecommunity to maintain the residential architecture so that it can continue to be inhabited to avoidextinction. This architectural transformation study aims to understand how the relationship betweenhouse stage and technology is currently interpreted in sustainable development, and finds a directionfor transforming the adaptation of the West Coast communities of Aceh in adapting to changes in theliving environment and current technology.
Vernacular architecture is able to connect different spaces and times and mediate the developmentof new technological innovations that provide life safety by using local materials, because vernacularknowledge gives rise to characteristics and forms of architecture that are contextual to local climate,local material, and living culture [5]. In modern construction vernacular architecture is not sufficientlyvalued, while the natural environment faces serious challenges in terms of environmental impacts andnatural resource management [6]. Though knowledge of building traditional culture is the principles oftechnology that are built from time to time through an ongoing process.
The transformation of traditional values according to [7] must not reject the latest developmentsbecause a meaningful and sustainable traditional values will always live in the present. There are threeways of transformation and their correlation with the stability of meanings: 1) the transformation oftraditions and traditional landscapes without changing the code and merely neglecting it withfunctional adjustments and the context of space and time; 2) transformation that forms a new codethrough reinterpretation, reinvention or even deconstruction of traditional structures or existingtraditional landscapes to produce new meanings of indigenous traditions. The formation of a new codecan also be done by attempting to critically dismantle all references from tradition and explore otherdimensions of the tradition or layers of other perceptual experiences from traditions that have beenneglected; or 3) raise the practice of code which is usually only textual to be militaristic; fromrepresentation to experience simulation where. In this context traditional values are not merely read,but are experienced in the present context. In the context of simulation, meaning transformation is anevent of reconstitution of traditional values with the aim of creating new traditional habitats in thepresent that are original and authentic, which still heed traditional values but are free from pastlogocentrism.
3
2. MethodsThis research uses a descriptive qualitative method to discuss understanding of change that integratesthe house on stilts, namely the concept of change with new technological advances and culturalchanges. Data collection is done through literature studies, field research with observation,documentation, interviews, and field notes. Field data collected is related to material, type ofconstruction, and construction elements. Data are analyzed and discussed through typological analysisand constant comparative analysis to find out the differences between staged houses in Teunom.
Data analysis techniques are based on the achievement phase of the research objectives, as follows:1. The understanding of the local community about the potential for disasters in their area is analyzeddescriptively through the form of their house;2. Transformation of stage houses is identified by classifying the forms and types of construction andrelated to the needs of decent homes from the aspect of safety.The safety aspect involves the resilience of building construction to the potential for natural disastersthat hit the area, such as earthquakes, floods and strong winds. The variables in this study are houseshape, floor plans, construction systems, and building materials.
3. Result and Discussion3.1 Rumoh santeutThe vernacular architecture that developed in the Aceh region was the stilt houses. The type of stilthouse known as rumoh santeut is a kind of single dwelling house inhabited by a majority of people inAceh. This stilt house has a parallel stage height. The socio-cultural conditions of the people that differbetween the tribes scattered in Aceh, led to the form of a household construction that was somewhatdifferent between the regions.
According to [8] rumoh santeut in Aceh has a floor height of about 1.5 meters from the groundwith a four-faceted pillar 12x12 cm. The poles are placed on flat stone in the form of a circle as afoundation. Using woven sago palm leaves as a roofing material. Wood and bamboo are the mainingredients of the house, resulting in light construction in this area. The house can be easily dismantledand relocated or reinstalled if necessary, because it uses a traditional connection system for mortiseand tenon reinforced by wedges or pegs. It has a front platform that functions as a front porch whereguests receive. In the decade of the 1940s and 1950s this house was very favored by young familiesand oriented to practicality. These types of houses are in Pidie, North Aceh, and the Tamiang area ofEast Aceh, which is the east coast of Aceh.
While rumoh santeut is in the Teunom region, West Coast of Aceh, the height of the floor isbetween 0.5 to 0.8 meters above ground level. However, in terms of form and material there is nosignificant difference from the house on the east coast of Aceh.
Figure 1. Rumoh santeut prototipe in Acehsource: Husin, 2003
Figure 2. Rumoh santeut in Teunomsource: survey, 2016
Geographical factors in the form of unstable peat swamps result in the construction of stilt houseswith lower floors than stilt houses on the east coast with more stable land geography. The stilt house
4
on the west coast has a stage height of 0.5 to 0.8 meters above ground level. Soft soil conditions due topart of peat swamps, flooding due to overflow of rivers, and in the dry season the conditions remainwet. Lower stage heights proved to be more able to adapt to the swing of the earthquake that often hitAceh compared to the higher stage. Lower stage heights produce lighter loads compared to higherpoles. Such construction is better able to adapt to the geographic peat swamps with soft and labile soilconditions.
The formation of a stilt house was also influenced by the acculturation of Aceh and Minangcultures, the majority of which lived in West coastal settlements. Immigration from Minang along theWest Coast of Sumatra has occurred since the battle of the troops, one of which settled in the Teunomregion.
The stilt house known as the santeut house has a contextual design principle with its environment,among others, built using local materials and simple construction. The vernacular house proved to bemore resistant to natural disasters such as earthquakes, floods, and strong winds, compared to housesbuilt on the ground.
3.2 Rumoh santeut transformationThere are two types of stilt house characteristics in the Teunom region, namely: 1) rumoh santeut or aflat house with a stage height of about 0.5 meters to 0.8 meters above ground level. This house stilluses wood material on the entire body of the building. It is more than 100 years old, but there is someconcrete material in the legs replacing wood since 20 years ago. According to the community thewater level in the settlements in the event of a flood does not reach the height of the house stage. Butlately floods have entered the house. This stage house can be classified into the category ofcontemporary rumoh santeut; 2) Stilt houses which partially use factory materials and some woodmaterials. Built after the tsunami with a stage height of 1.70 meters above ground level. The toilet isplaced on a stage with a conventional piping system to the bottom of the stage where it is placedseptictank and infiltration. Stage height based on current flood conditions. In this utility elementplanted with flowers or fruits for aesthetics. This stage house is classified into the category of newproduction houses.
3.2.1 Contemporary rumoh santeut. The transformation can be seen on a pole which was previouslywood and placed on a flat round stone, now supported by a pedestal foundation. The foundation ofumpak replaces flat stones after circulating cement material on the market. By using an umpakfoundation, the position of the wooden pillar can be farther away from the ground. The community'sunderstanding of the use of stone pedestal foundations in earthquake-prone areas is a local wisdomthat is still adhered to, namely separating the structure of a house with a foundation. Separation of thestructure of a house building with a foundation becomes a very important and fundamental factor sothat the vibrations that occur on the ground due to swaying soil only cause effects that are not too largeon the structure of the house.
Traditional house plans that tend to be simple and symmetrical or relatively balanced inearthquake-prone areas indicate that they understand if buildings require elasticity or flexibility whichcan reduce the effects of damage caused by earthquakes. The building is relatively symmetrical andlight and with a very adaptive clamping, tapping, tapping and tensile technique in earthquake proneareas. This local wisdom is also still adhered to by local communities.
Another change is that the roof from thatch leaves has been replaced by zinc material, alreadyusing nails to strengthen the construction of walls and poles. Cement and brick materials have alsobeen used to build kitchen spaces with non-stage construction. How to construct a combination oftraditional and conventional methods.
5
Figure 3. wooden poles have been replacedwith a combination of wood and concrete
slabs, source: survey, 2016
Figure 4. nails strengthen theconnection of poles and beams
source: survey, 2016
Figure 5. Zinc material replaces thatchleaves for roof coverings
source: survey, 2016
Figure 6. Kitchen room with non-stage construction
source: survey, 2016
The events of the vernacular house transformation above do not give rise to meaning and withoutraising a new cultural code. Transformation is basically just a functional-aesthetic modification ofdesign - formal adaptation for certain use purposes. The design process produces representations thatare not much different from the original form. The forms that occur are more of a formal-spatial-construction manipulation. The transformation of this form of construction is still adaptable andrelevant to its environment.
3.2.2 New production stilt house. This stage house was built after the tsunami from concrete materialsfor the construction of buildings, bricks and boards for walls, and zinc material for roof construction.Because it uses factory materials, the method of construction is done using conventional methods. Thebathroom and toilet are inside the house to make it easier for residents to clean themselves if thesettlement is in a flood condition. While septictank is built higher than the groundwater level to avoidcontamination of ground water. Construction of poles with reinforced concrete material with wells orriver stones does not affect the height of the stage, because the foundation must be placed on hardground.
Figure 7. New stilt houseSouce: survey, 2016
Figure 8. Piping systemSource: survey
6
Figure 9. stilt floor from cementSouce: survey, 2016
Figure 10. Stilt constructionSource: survey, 2016
Concrete pillars with conventional methods are connected with wooden stairs using bolts and nails.
Figure 11. The appearance of flood water on the pole or seepage ofground water
Source: survey and analisis
The design of the new stage house consists of: 1). The lower part is a foundation and pillar / column,so that the lower area can still hold water and pass water; 2). The middle part is the main house whichconsists of a family / guest room, a bedroom, and a kitchen; and 3). The roof that serves as a protectivebuilding from heat and rain. On the stilt house with conventional methods shows the Vernaculartradition has joined the modern tradition to create a new hybrid form.The construction of a stilt house in Teunom is still maintained due to its harmony with the surroundingenvironment. The stage floor is 0.5 meters from the ground in a contemporary vernacular house. Whilethe distance of the construction of the stage from the ground in a modern house 1.7 meters. This stageheight transformation to anticipate water levels in settlements is increasing in the event of a flood, dueto the existence of part of the development that depletes the land. The lower part of the stage housecan still absorb or pass water, and is in harmony with the hydrological function. This section can alsobe used to increase air refreshment naturally, because fresh air can move under the floor and reach allspaces. Under this new stilt house can also be used to maintain and cultivate various plants that arebeneficial for health or beauty and produce economy and conservation.4. Conclusion
7
The stilt house on the west coast of Aceh is still considered to contain local wisdom because of itsadaptation to climate conditions and coastal disasters. The form of the stilt house so far still meets theaspects of safety, security, comfort and health. Along with the development of urban areas, demandingneeds and limited financial capabilities, homeowners in the west coast of Aceh were able to maintain aform of construction that could reduce the impact of disasters on the safety of residents through theirstilt houses.
Geographical and climate constraints are two important considerations in the construction of stilthouse construction in the West Coast of Aceh. The stage house is very easy to adapt to climateconditions and coastal disasters.
Water catchment areas are a necessity in flood-affected settlements such as the Teunom region. Sothe stilt construction building is the local wisdom of the adaptation of the community to the naturalenvironment, so that Teunom settlements remain sustainable.Presenting a vernacular house does not need to be done by bringing back material objects from thesanteut in accordance with the original, but through the process of change by interpreting the spaceand forms of local architecture that occur today.
5. AcknowledgmentsSpecial thanks to Syiah Kuala University for supporting this research fund, so that this research can bedone well. Thanks also to the Unsyiah Research Institute and Community Service which havefacilitated and coordinated this research.
6. References[1] Oliver Paul. (ed) 2006. Dwellings: the Vernacular House Worldwide (Revised edition) London
and New York: Phaidon Press[2] Lawrence R J 1987 Housing, dwellings and homes: Design theory, research and practice
(Wiley, Chichester)[3] Punpairoj 2013 the Changing Use of Materials in Construction of the Vernacular Thai House
(A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of Bath Departementof Architecture and Civil Engineering)
[4] Wulandari Elysa 2005 Pola Tumbuh Kembang Kota-kota di Pesisir Aceh. (Proceeding)international Symposium Nusantara Urban Research Institute
[5] Harmanescu., M and Enache, C 2016 Vernacular and Technology. InBetween (InternationalConference) – Environment at a Crossroads: SMART approaches for a sustainable future.
Procedia Environmental Sciences 32 ( 2016 ) 412 – 419, Science Direct, Elsevier[6] Wallbaum, H et al 2012 Indicator based sustainability assessment tool for affordable housing
construction technologies Ecological Indicators (18:2012 (353–364)[7] Widiastuti 2014 Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini (conference
paper) Seminar Rumah Tradisional - PUSKIM 19 November 2014, 15. Download fromhttps://www.researchgate.net/publication/306094378
[8] Husin H Amir et al 2003 Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami (Dinas Perkotaan danPermukiman Prov. NAD)
FOTO – FOTO KEGIATAN
Recommended