View
242
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
1
LAPORAN EAFM WPP-713
Kompilasi Hasil Kajian dari Kalimantan Timur (Kutai Timur, Kutai Karta Negara, Kutai Timur, Kota Baru), Nusa Tenggara Barat (Lombok Timur,
Sumbawa), Dan Nusa Tenggara Timur (Sikka, Manggarai Barat, Flores Timur, Lembata Dan Alor), Sulsel (Bone), Sulbar (Majene), dan Sulteng (Donggala)
Syamsu Alam Alli dkk
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,
terletak di daerah tropik dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km atau 18,4% dari 440.000 km panjang garis pantai dunia. Keanekaragaman sumber daya hayati yang dimiliki sangat tinggi termasuk di dalamnya sumberdaya ikan. Perairan Indonesia memiliki 27.2% spesies flora dan fauna yang terdapat di dunia, meliputi 12% mammalia, 23.8% amphibia, 31.8% reptilia, 44.7% ikan, 40% moluska, dan
8.6% rumput laut. Dari potensi tersebut menunjukkan sumberdaya ikan memiliki persentase tertinggi. Indonesia memiliki potensi perikanan terbesar di dunia yaitu sekitar 65 juta ton per tahun belum dimanfaatkan secara optimal atau baru dimanfaatkan sekitar baru 20% (Dahuri, 2013).
Sumberdaya ikan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat pulih
(renewable resources) apabila dikelola dengan baik dapat memberikan hasil maksimum berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan
peningkatan pendapatan negara. Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Berdasarkan Undang-undang tersebut pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh
pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati.
Pengelolaan perikanan selain telah memberikan keuntungan namun telah
menimbulkan masalah kelebihan penangkapan (overfishing) dan kerusakan habitat (habitat destruction) yang berdampak terhadap degradasi stok dan penurunan
produksi perikanan baik dalam skala lokal, nasional, maupun skala global. Ancaman terhadap kelestarian ikan laut telah menjadi suatu masalah dan beberapa spesies
3
didokumentasikan sudah langkah dan terancam punah. Spesies-spesies yang
berpotensi mengalami ancaman overeksploitasi dan kepunahan adalah spesies yang penyebarannya terbatas, pertumbuhan lambat, kematangan lambat, fekunditas
tahunannya rendah, tidak menjaga turunannya, serta banyak diburu oleh masyarakat karena memiliki nilai ekonomis tinggi (Musick et al. 2000). Status
eksploitasi berlebih juga telah terjadi pada beberapa spesies sumberdaya perikanan di Indonesia karena alat tangkap tidak ramah lingkungan, kebijakan akses terbuka, overcapacity, kerusakan habitat ikan (terumbu karang, lamun, mangrove) dan pollusi perairan. Misalnya di WPP 713 beberapa sumberdaya ikan berstatus eksploitasi penuh (full exploitation) sampai berlebihan (overfishing). Berdasarkan Kepmen 45 seperti ikan pelegik kecil, ikan terbang, udang, ikan demersal, dan madidihang sudah mengalami over eksploitasi, dan tuna mata besar berda dalam kondisi eksploitasi penuh. Penangkapan berlebihan selain menurunkan produksi hasil perikanan, juga menyebabkan penurunan kapasitas reproduksi ikan, gangguan terhadap keseimbangan ekosistem, penurunan ukuran populasi, dan
dapat berdampak terhadap penurunan variasi genetik. Banyak kebijakan pengelolaan perikanan membiarkan atau gagal mencegah penangkapan secara
berlebihan terutama dalam fase-fase reproduktif sehingga kapasitas regenerasi menurun sehingga terjadi degradasi populasi ikan (Gislason et al. 2000). Selain itu
kebijakan pengelolaan perikanan tidak didasari oleh hasil kajian ilmiah yang memadai sehingga kebijakan yang diterapkan tidak berhasil dengan baik.
Indonesia yang terletak di wilayah tropis tidak terlepas dari ciri kompleksitas ekosistem tropis (tropical ecosystem complexities). Dalam konteks ini, pengelolaan perikanan yang tujuan ultimatnya adalah memberikan manfaat sosial ekonomi yang optimal bagi masyarakat tidak dapat dilepaskan dari dinamika ekosistem yang menjadi media hidup bagi sumberdaya ikan itu sendiri. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar memiliki keanekaragaman spesies dan ekosistem perairan, memiliki karakteristik dinamika sumberdaya perairan, termasuk di dalamnya sumberdaya ikan dan biodiversitasnya. Pengelolaan sumberdaya perikanan bersifat kompleks (complexity), dinamis (dynamic), dan uncertainity (penuh ketidakpastian)
mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik, sehingga dibutuhkan pendekatan secara multidimensi. Dalam konteks inilah pendekatan
4
ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management, EAFM) dianggap penting. Sistem perikanan yang sangat kompleks memerlukan pendekatan multidimensi sehingga penilaian terhadap keberlanjutan
sumberdaya perikanan tidak dapat dipetakan pada satu dimensi tetapi harus dianalisis secara multidimensional. Salah satu pendekatan untuk mengatasi
permasalahan tersebut di atas adalah pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem atau EAFM (ecological approach to fisherie management). EAFM telah dikembangkan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, Filipina dan lain-lain.
Pengelolaan sumberdaya perikanan bersifat kompleks mencakup aspek biologi, ekonomi, sosial budaya, hukum, dan politik. FAO (1995) menyatakan
tujuan umum pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi aspek biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial. Tujuan biologi untuk menjaga sumberdaya ikan pada tingkat
yang diperlukan bagi keberlanjutan produktivitas, Tujuan ekologi, untuk meminimalkan dampak penangkapan ikan bagi lingkungan dan sumberdaya non-target (by-catch), serta sumberdaya lainnya yang terkait. Tujuan ekonomi, untuk memaksimalkan pendapatan nelayan, dan Tujuan sosial, untuk memaksimalkan peluang kerja / mata pencaharian nelayan / masyarakat yang terlibat.
Pengelolaan perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan
ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001). Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan kelestarian ekosistemnya. Pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting. Kebutuhan untuk mengamankan ketahanan
pangan dan keberlanjutan kesejahteraan ekonomi masyarakat nelayan, terutama di negara berkembang menjadi perhatian banyak pihak. Pertemuan para pengambil
5
kebijakan pada World Summit on Sustainable Development tahun 2002 di
Johannesburg, disepakati perlunya koordinasi dan kerjasama untuk melaksanakan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Dengan menandatangani
hasil pertemuan tersebut, Indonesia berkewajiban untuk melaksanakan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem ini dimulai pada tahun 2010.
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai : an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian
tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan
berkelanjutan. Dalam implementasi EAFM yang harus diperhatikan antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang
dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3 perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk
semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut di atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, mulai dari pengelolaan WPP, pengelolaan di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten atau kota. Hal ini paling tidak menyangkut perubahan kerangka berpikir misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan atau fisheries management functions (Adrianto et al, 2008). WPP ini merupakan basis bagi tata
6
kelola perikanan (fisheries governance) Indonesia yang diharapkan dapat menjadi
kawasan implementesi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. WPP mempunyai keuntungan untuk mengurangi potensi konflik antar daerah yang
bertetangga maupun antara antara daerah dan dan pusat, menghindari terjadinya pemanfaatan berlebih, menguranngi potensi terjadinya IUU fishing, dan
meningkatkan kualitas sistem pengelolaan pengawasan dan pengendalian, serta memberi peluang sistem pengelolaan terpadu antara daerah dan pusat.
Dalam konteks kebijakan pengelolaan perikanan berkelanjutan melalui EAFM di Indonesia, maka telah dilakukan uji coba pengkajian/penilaian pengelolaan perikanan dengan menerapkan indikator EAFM hasil revisi 2014. Pengkajian EAFM dilakukan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP 713). Hasil studi ini dilaksanakan di 13 kabupaten sampel pada 6 provinsi dan laporannya telah disampaikan pada Perguruan Tinggi (Unhas) sebagai koordinator WPP-713 untuk diintegrasikan atau dikompilasi ke dalam WPP-713. Laporan kajian tersebut adalah:
1. Laporan EAFM dan matriks skor indikator EAFM Provinsi Sulawesi Selatan
(Kabupaten Bone). 2. Laporan EAFM dan matriks skor indikator EAFM Provinsi Sulbar (Kabupaten
Majene). 3. Laporan EAFM dan matriks skor indikator EAFM Provinsi NTB (Kabupaten
Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa). 4. Laporan EAFM dan matriks skor indikator EAFM Provinsi Kalimantan Timur
(Kabupaten Kutai Karta Negara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kota Baru).
5. Laporan EAFM dan matriks skor indikator EAFM Provinsi NTT (Kabupaten Sikka, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor).
6. Laporan EAFM dan matriks skor indikator EAFM Provinsi Sulawesi Tengah (Donggala).
Hasil kompilasi 6 laporan tersebut di atas diharapkan dapat menentukan sejauh mana kondisi pengelolaan perikanan di WPP 713, dan strategi apa yang perlu
7
dilakukan berdasarkan hasil analisis indikator untuk mencapai tujuan pengelolaan
secara berkelanjutan di WPP 713. Dari hasil pengkajian ini diharapkan otoritas pengelolaan perikanan dan para pihak terkait dengan sumberdaya perikanan
memiliki informasi terkini tentang status sumberdaya perikanan dan mencari solusi terbaik pengelolaan perikanan di WPP-713.
1.2 Tujuan Studi EAFM di WPP 713 a. Menganalisis performa pengelolaan perikanan berbasis EAFM di wilayah pengelolaan
(WPP) 713 berdasarkan laporan hasil kajian EAFM dari Sulsel, Sulbar, Sulteng, Kaltim,
NTB, dan NTT. . b. Menganalisis status pengelolaan perikanan berdasarkan pendekatan EAFM pada
pengelolaan tingkat Kabupaten.
c. Menganalisis status pengelolaan perikanan berdasarkan pendekatan EAFM pada pengelolaan tingkat provinsi.
d. Menaganalisi status pengelolaan perikanan berdasarkan pendekatan EAFM pada
wlayah pengelolaan perikanan (WPP-713). e. Merumuskan rekomendasi pengelolaan perikanan di Wilayah Pengelolaan
Perikanan (WPP-713). f. Merumuskan rekomendasi perbaikan tools EAFM berdasarkan hasil penerapan
EAFM di wilayah pengelolaan perikanan (WPP-713).
1.3. Manfaat Studi EAFM di WPP 713 a. Bahan Informasi bagi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten dan kota untuk menyusun perencanaan dan pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di WPP 7713.
b. Bahan informasi bagi pengusaha dan nelayan yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di WPP 713.
c. Mendukung implementasi EAFM agar kelestarian ekosistem terjaga, sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, dan manfaat sosial
ekonomi sumberdaya perikanan dalam jangka panjang dapat dipertahankan di WWP 713.
8
2. METODE PENILAIAN INDIKATOR EAFM
2.1. Lokasi Studi
Berdasarkan laporan EAFM dari 6 Provinsi pengkajian penerapan EAFM telah di lakukan di WPP 713 (Gambar 1) pada 12 Kabupaten atau pada 6 Provinsi yaitu:
1. Provinsi Sulawesi Selatan: Kabupaten Bone dengan fokus pada
pengelolaan 4 spesies ikan ekonomis yaitu tuna, cakalang, kakap, dan
layang (Pelaksana Universitas Hasanuddin). 2. Provinsi Sulawesi Barat : Kabupaten Majene dengan fokus pengelolaan 4
spesies ikan ekonomis yaiitu tuna, cakalang, kakap, dan layang. (Pelaksana Universitas Hasanuddin).
3. Provinsi NTB: Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Sumbawa, menggunakan 5 spesies ikan ekonomis yaitu tuna madidihang, layaran,
cakalang, lemadang, dan tongkol abu-abu. Pelaksana Konsorsium Mitra Bahari Regional Center Nusa Tenggara Barat.
4. Provinsi Kalimantan Timur: Kabupaten Kutai Karta Negara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kota Baru. Pelaksana Uniiversitas Mulawarman.
5. Provinsi NTT: Kabupaten Sikka, Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Flores Timur, Kabupaten Lembata, dan Kabupaten Alor. Pelaksana oleh
Universitas Arta Wacana dan Pooliteknik Ppertanian Kupang. 6. Provinsi Sulawesi Tengah: Kabupaten Donggala, dengan fokus
pengelolaan pada 5 spesies yaitu: teri, kerapu, layang, tongkol, cakalang. Pelaksana STPL Palu.
9
Gambar 1. Peta Wilayah Pengelolaan Perikanan RI.
2.2. Metode Pengumpulan data Indikator EAFM.
Berdasarkan laporan EAFM dari 6 provinsi menjelaskan bahwa pengumpulan data sesuai dengan manual penialain indikator EAFM yang terbaru yang dikeluarkan oleh
(National Working Group on EAFM, 2014) sebagai berikut: 1. Domain Sumberdaya Ikan mencakup: CPUE baku, trend ukuran ikan,
proporsi ikan yuana yyang tertangkap, komposisi spesies, spesies ETP, range Collapse sumberdaya ikan.
2. Domain Ekosistem dan Habitat Ikan: kualitas perairan, status ekosistem
lamun, status ekosistem mangrove, status ekosistem karang, habitat unik, dan perubahan iklim terhadap sumberdaya ikan.
3. Domain Teknologi Penangkapan: metode penangkapan ikan, modifikasi alat tangkap, kapasitas dan upaya penangkapan, selektifitas alat tangkap,
Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen, sertifikasi awak kapal.
4. Domain Ekonomi: kepemilikan asset, pendapatan rumah tangga, rasio tabungan.
10
5. Domain sosial: partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan,
pemanfaatan pengetahuan lokal. 6. Domain Kelembagaan: tingkat kepatuhan terhadap perikanan bertanggung
jawab, kelengkapan peraturan, mekanisme pengambiilan keputusan, Rencana Pengelolaan Perikanan, sinergitas kelembagaan pengelolaan
perikanan, kapasitas pemangku kepentingan. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan bantuan kuisioner dari berbagai sumber iinformasi. Sumber informasi mencakup pemangku kepentingan yang terdiri dari nelayan, punggawa, tokoh nelayan, pemerintah desa, kelompok usaha pemasaran hasil perikanan, penyedia bahan bakar, tenaga ahli, peneliti di beberapa lembaga riset, Universitas, pemerintah daerah (Dinas Perikanan Provinsi, Dinas Perikanan Kabupaten dan Kota), dan Lembaga Swadaya Masyarakat pada setiap Provinsi dan Kabupaten Samppel. Sedangkan data sekunder
dikumpulkan dari berbagai dokumen laporan dan statistik perikanan di tingkat Kabupaten dan Provinsi, laporan hasil penelitian dari berbagai lembaga riset, hasil
penelitian Perguruan Tinggi, laporan hasil penelitian yang dilakukan perusahaan swasta, dokumentasi dan laporan hasil penelitian yang dilakukan oleh LSM, dan
desk study melalui internet. 2.3. Metode Analisis Komposit
Analisis Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) merupakan salah satu pendekatan multi atribut, dengan pendekatan kepada gejala atau performa indikasi kondisi ekosistem perairan secara umum. Teknik Flag Modeling dilakukan dengan menggunakan pendekatan multi-criteria analysis (MCA) di mana sebuah set
kriteria dibangun sebagai basis bagi analisis keragaan wilayah pengelolaan perikanan dilihat dari pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAFM). Analisis indeks komposit dilakukan sesuai petunjuk Adrianto, Matsuda, and Sakuma, (2005) dalam Modul penilaian indikator untuk pengelolaan perikanan dengan pendekatan
11
ekosistem, Ecosystem Aproach to Fisheries Management (National Working Group
on EAFM, 2014). Nilai skor agregat kemudian dideskripsikan atas 5 kelompok(kategori). Kelima
kategori ini menggambarkan 5 tingkatkan status dari domain EAFM suatu wilayah. Nilai agregat domain berasal dari agregat agregat parameter yang dievaluasi.
Sementara itu agregat kawasan adalah nilai rata dari nilai atribut dalam setiap domain. Hasil ini kemudian dijadikan sebagai dasar dalam pengklasifikasian nilai agregat total. Interpretasi dari nilai agregat bisa dilihat dari 2 sisi yaitu karena atributnya yang rendah (dibawah reference point) atau karena konektivitasnya yang kurang. Agregat yang rendah selain itu juga bermakna bahwa pengaruh dari atribut cenderung negative dan pengaruh parameter di kawasan tersebut juga kurang. Hasil dari nilai agregat ini kemudian dijadikan sebagai dasar untuk penetapan rekomendasi dari penilaian indicator EAFM di wilayah perairan yang dikaji. Untuk penilaian yang dilakukan di tingkat WPP dengan lokasi sampling yang mengambil data dari beberapa kabupaten dan propinsi, maka penilaian agregasinya dilakukan
dengan cara merata-rata nilai yang berada pada tingkat indikator untuk menghasilkan nilai yang ada di tingkat WPP, Template Flag Modeling ini dapat
diperoleh di Learning Center EAFM PKSPL-IPB dan WWF Indonesia dalam bentuk file MS Excel (National Working Group on EAFM, 2014).
Analisis status pengelolaan perikanan melalui pendekatan indikator EAFM di
WPP-713 dilakukan pada 13 Kabupaten dan 6 provinsi. Analisis indikator EAFM dilakukan pada 13 Kabupaten Sampel. Kemudian Kabupaten dikelompokkan ke dalam masing-masing Provinsi lalu dihitung rata-rata indikator kabupaten menjadi
Indikatr EAFM tingkat Provinsi, kemudian dilakukan analisis Flag Model masing-masing pada 6 provinsi. Selanjutnya rata-rata indikator domain 6 provinsi dianallisis lebih lanjut dengan menggunakan Flag Model sebagai status pennggelolaan perikanan berbasis EAFM pada tingkat WPP-713. Untuk mengetahui sejauh mana status pngelolaan perikanan berdasarkan domain dan agregat tingkat kabupaten, tingkat provinsi, dan tingkat WPP-713 disajikan dalam bentuk visualisasi model bendera sesuai rentang nilai EAFM dengan rentang nilai antara skala 1-100 sebagai berikut.
12
Tabel. Batasan Skor Nilai Domain dan Agregat
Rentang nilai Model Bendera Deskripsi Rendah Tinggi 1 20 Buruk dalam menerapkan EAFM 21 40 Kurang dalam menerapkan EAFM 41 60 Sedang dalam menerapkan EAFM 61 80 Baik dalam menerapkan EAFM 81 100 Baik Sekali dalam menerapkan EAFM
13
3. ANALISIS NILAI KOMPOSIT EAFM PADA TINGKAT KABUPATEN, PROVINSI, DAN WPP-713
Analisis Indikator EAFM dan pembahasan nilai komposit domain dan nilai
komposit setiap Kabupaten kemudian analisis perbandingan nilai komposit agregat masing-masing kabupaten. Selanjutnya dilanjutkan analisis komposit pada tingkat
provinsi kemudian perbandingan nilai komposit agregat antar provinsi. Terakhir dilakukan analisis indikator EAFM pada tingkat WPP-713.
3.1. Nilai Komposit Tingkat Kabupaten. 3.1.1. Kabuaten Sumbawa dan Lombok Timur (NTB)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 42 Sedang Habitat & ekosistem 80 Baik Teknik Penangkapan Ikan 49 Sedang Sosial 56 Sedang Ekonomi 69 Baik Kelembagaan 71 Baik Aggregat 61 Baik
Oleh karena matriks indikator antara Kabupaten Sumbawa dan Lombok Timur sudah tergabung maka Hasil analisis flag model indikator EAFM pada empat jenis ikan (Cakalang, Tuna madidihang, Lemadang, Layaran, Tongkol Abu-abu) di Kabupaten Sumbawa dan Lombok menunjukkan habitat dan ekosistem,
kelembagaan, dan ekonomi memiliki nilai yang baik masing-masing denggan nilai 80, 71, dan 69. Sedangkan nilai dimensi sosial 56, teknik penangkapan 49, dan
sumberdaya ikan 42, masing-masing diniai sedang. Dimensi sosial yang masih rendah terutama disebabkan adanya konflik perikanan, pada dimensi penangkapan
terjadi akibat masih adanya penangkapan destruktif, dan selektifitas alat yang rendah, sedangkan pada dimensi sumberdaya ikan disebabkan kecenderungan
ukuran iikan yang tertangkap lebih kecil, penurunan CPUE dan masih tertangkapnya spesies ETP.
14
3.1.2. Kabupaten Flores Timur (NTT)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 52 Sedang Habitat & ekosistem 73 Baik Teknik Penangkapan Ikan 62 Baik Sosial 33 Kurang Ekonomi 77 Baik Kelembagaan 63 Baik Aggregat 60 Sedang
Hasil analisis flag model di Kabupten Flores Timur menunjukkan nilai dimensi
habitat dan ekosistem 73, kelembagaan 63, teknik penangkapan 62, dan ekonomi 77 masing-masing memiliki nilai baik. Dimensi Sumberdaya ikan dengan nilai 52 atau
kategori sedang. Rendahnya nilai dimensi sumberdaya ikan disebabkan oleh karena masih tertangkapnya spesies ETP dan turunnya CPUE baku. Dimensi sosial memiliki
nilai 33 (kurang), diindikasikan oleh adannya konflik perikanan, rendahnya partisipasi pemangku kepentingan, dan kurangnya pengetahuan lokal. Nilai komposit agregat 60 menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan dengan pendekatan EAFM di Kabupaten Flores Timur tergolong sedang.
3.1.3. Kabupaten Manggarai Barat (NTT)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 67 Baik Habitat & ekosistem 11 Buruk Teknik Penangkapan Ikan 33 Kurang Sosial 45 Sedang Ekonomi 57 Sedang Kelembagaan 53 Sedang Aggregat 44 Sedang
Tabel nilai komposit di atas memperlihatkan niai komposit domain sosial 45, ekonomi 57, dan kelembagaan 53 masing-masing kategori sedang. Rendahnya nilai komposit dimensi sosial disebabkan karena pada dimensi kelembagaan tidak ada mekanisme pengambilan keputusan yang stanndar, belum ada Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP), rendahnnya kepatuhan terhadap peraturan perikanan. Rendahnya
15
nilai komposit dimensi sosial diindikasikan oleh rendahnya partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan perikanan, dan tidak ada pengetahhuan kearifan lokal. Serta rendahnya nilai dimensi ekonomi ditandai oleh rendahnya pendapatan rumah
tangga perikanan lebih rendah nilai UMR. Dimensi teknik penangkapan memiliki kurang (33) disebabkan karena penangkapan destruktif, peningkatan kapasitas
penangkapan dan effort, rendahnya kepemilikan sertifikat awak kapal. Dimensi yang memiliki nilai buruk (11) adalah habitat dan ekosistem karena tutupan karang rendah dan tidak ada habitat unik. Nilai komposit agregat sebesar 44 menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan di Kabupaten Manggarai Barat melalui pendekatan ekosistem masih tergolong sedang.
3.1.4. Kabupaten Sikka (NTT)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 68 Baik Habitat & ekosistem 73 Baik Teknik Penangkapan Ikan 52 Sedang Sosial 63 Baik Ekonomi 65 Baik Kelembagaan 62 Baik Aggregat 64 Baik
Hasil analisis Flag Model dan nilai komposit dimensi sumberdaya ikan 68, dimensi
habitat dan ekosistem 73, sosial 63, ekonomi 65 dan kelembagaan 62 semuanya tergolong baik. Kecuali dimensi teknik penangkapan tergolong sedang dengan nilai 52 disebabkan oleh karena penangkapan destruktif, sertifikasi awak kapal masih kurang, peningkatan kapasitas/effort, dan kesesuaian fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen kapal. Secara agregat pengelolaan perikanan melalui pendekatan EAFM di Kabupaten Sikka sudah tergolong baik dengan nilai 64.
16
3.1.5. Kabupaten Lembata (NTT)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 100 Baik Sekali Habitat & ekosistem 92 Baik Sekali Teknik Penangkapan Ikan 100 Baik Sekali Sosial 100 Baik Sekali Ekonomi 100 Baik Sekali Kelembagaan 100 Baik Sekali Aggregat 99 Baik Sekali
Hasil analisis flag model menunjukkan semua dimensi memiliki nilai komposit sangat tinggi berkisar antara 92-100 dan tergolong baik sekali. Secara agregat nilai komposit sebesar 99 berarti pengelolaan perikanan melalui pendekatan EAFM
juga tergolong baik sekali.
3.1.6. Kabupaten Alor (Nusa Tenggara Timur)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 53 Sedang
Habitat & ekosistem 51 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 57 Sedang
Sosial 63 Baik Ekonomi 43 Sedang
Kelembagaan 60 Sedang Aggregat 55 Sedang
Pada tabel diatas hasil analisis komposit Kabupaten Alor secara umum deskripsi
sedang yaitu domain sumberdaya ikan (53), habitat dan ekosistem (51), teknik penangkapan ikan (57), ekonomi (43), dan kelembagaan (60). Sedangkan
domain sosial (63) deskripsi baik. Rendahnya nilai domain sumberdaya ikan diakibatkan oleh penurunan CPUE baku. Pada domain habitat dan ekosistem yaitu tidak adanya pengetahuan tentang habitat khusus atau unik.
17
3.1.7. Kabupaten Majene (Sulawesi Barat)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 76 Baik
Habitat & ekosistem 57 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 69 Baik
Sosial 68 Baik Ekonomi 52 Sedang
Kelembagaan 83 Baik Sekali Aggregat 67 Baik
Pada tabel nilai komposit empat spesies ikan (Cakalang, Tuna, Layang dan Kakap) di Kabupaten Majene domain kelembagaan (83) mendapatkan deskripsi baik sekali. Domain sumberdaya ikan (76), teknik penangkapan ikan (69), dan sosial (68) mendapatkan deskripsi baik. Sedangkan domain Habitat dan ekosistem (57), dan ekonomi (52) mendapatkan deskripsi sedang. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya nilai domain habitat dan ekosistem disebabkan kerusakan terumbu karang oleh kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan dan kerusakan ekosistem lamun. Sedangkan pada domain ekonomi yang menyebabkan masih rendahnya nilai komposit adalah rata-rata nelayan
tidak memiliki rasio tabungan. Sedangkan agregat nilai komposit Kabupaten Majene 67 menunjukkan penerapan EAFM tergolong baik.
3.1.8. Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 74 Baik
Habitat & ekosistem 68 Baik Teknik Penangkapan Ikan 80 Baik
Sosial 68 Baik Ekonomi 56 Sedang
Kelembagaan 55 Sedang Aggregat 67 Baik
Pada tabel analisis nilai komposit empat spesies ikan (Cakalang, Tuna, Layang dan Kakap) di Kabupaten Bone (Sulawesi Selatan) secara umum kondisi domain
memiliki deskripsi baik yaitu sumberdaya ikan (74), habitat dan ekosistem (68), teknik penangkapan ikan (80), dan sosial (68) kecuali domain ekonomi (56) dan
18
kelembagaan (55) memiliki deskripsi sedang. Tabel diatas menunjukkan
rendahnya nilai komposit pada domain ekonomi karena rata-rata nelayan belum memiliki tabungan. Sedangkan pada domain kelembagaan belum ada rencana
pengelolaan perikanan, dan masih minimnya kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan. Sedangkan agregat nilai komposit Kabupaten Bone
adalah 67 menunjukkan penarapan EAFM tergolong baik.
3.1.9. Kabupaten Kota Baru (Kalimantan Timur)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 37 Kurang
Habitat & ekosistem 53 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 75 Baik
Sosial 88 Baik Sekali Ekonomi 85 Baik Sekali
Kelembagaan 66 Baik Aggregat 67 Baik
Pada analisis nilai komposit diatas domain sosial (88) dan ekonomi (85) memiliki deskripsi baik sekali. Domain teknik penangkapan ikan (75) dan
kelembagaan (66) memiliki deskripsi baik. Domain habitat dan ekosistem (53) memiliki deskripsi sedang. Sedangkan domain sumberdaya ikan (37) memiliki
deskripsi kurang atau buruk. Status sumberdaya ikan yang buruk disebabkan oleh semakin jauhnya daerah penangkapan ikan, proporsi ikan yuwana yang
tertangkap lebih banyak daripada ikan non target, penurunan CPUE baku dan
ukuran ikan yang tertangkap semakin kecil. Sedangkan tingginya nilai komposit domain ekonomi dan sosial disebabkan oleh rata-rata pendapatan rumah tangga
perikanan diatas upah minimum provinsi dan tingginya partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Sedangkan agregat nilai komposit
Kabupaten Kota Baru yaitu 67 menunjukkan penerapan EAFM tergolong baik.
19
3.1.10. Kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 57 Sedang
Habitat & ekosistem 51 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 52 Sedang
Sosial 80 Baik Ekonomi 100 Baik Sekali
Kelembagaan 74 Baik Aggregat 69 Baik
Pada analisis nilai komposit kabupaten Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) domain ekonomi memiliki deskripsi baik sekali. Domain sosial dan kelembagaan memiliki deskripsi baik. Sedangkan domain sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem, dan teknik penangkapan ikan memiliki deskripsi sedang. Rendahnya komposisi spesies hasil tangkapan dan menurunnya trend ukuran ikan menjadi penyebab rendahnya nilai domain sumberdaya. Pada domain habitat dan ekosistem yang menyebabkan nilai kompositnya rendah karena kualitas perairan
yang tercemar, dan kerusakan ekosistem lamun dan terumbu karang. Sedangkan pada domain teknik penangkapan yaitu tingginya kegiatan
penangkapan ikan yang bersifat destruktif, dan kesesuaian fungsi dan ukuran kapal serta sertifikasi awak perikanan yang sesuai aturan masih tergolong
rendah. Nilai komposit agregat Kutai Kartanegara yaitu 69 menunjukkan penerapan EAFM tergolong baik.
3.1.11. Kabupaten Kutai Timur (Kalimantan Timur)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 45 Sedang
Habitat & ekosistem 44 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 52 Sedang
Sosial 67 Baik Ekonomi 85 Baik Sekali
Kelembagaan 63 Baik Aggregat 59 Sedang
20
Pada analisis domain EAFM nilai komposit tertinggi pada domain ekonomi (85)
deskripsi baik. Sedangkan pada domain sosial (67) dan kelembagaan (63) deskripsi baik serta doamain sumberdaya ikan (45), habitat dan ekosistem (44),
dan teknik penangkapan (52) deskripsi sedang. Hal diatas menunjukkan rendahnya nilai domain sumberdaya ikan dikarenakan semakin menurunnya
CPUE baku, dan rendahnya komposisi tangkapan spesies target serta range collaps yang semakin jauh. Pada domain habitat dan ekosistem menurunnya kualitas perairan akibat pencemaran, dan kerusakan ekosistem lamun dan terumbu karang. Sedangkan pada domain teknik penagkapan yaitu tingginya kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif, dan kesesuaian fungsi dan ukuran kapal serta sertifikasi awak perikanan yang sesuai aturan masih tergolong rendah. Kemudian agregat nilai komposit (59) Kabupaten Kutai Timur menunjukkan penerapan EAFM tergolong sedang.
3.1.12. Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah)
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 57 Sedang
Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Ikan 40 Kurang
Sosial 46 Sedang Ekonomi 58 Sedang
Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 52 Sedang
Pada tabel nilai komposit lima spesies ikan (Tongkol, Cakalang, Layang, teri dan Kerapu) di Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah) domain habitat dan
ekosistem (63) deskripsi baik. sedangkan domain sumberdaya ikan (57), sosial (46), ekonomi (58), dan kelembagaan (48) deskripsi sedang. Serta domain
teknik penangkapan ikan (40) deskripsi kurang. Rendahnya nilai domain teknik penangkapan ikan disebabkan oleh semakin tingginya penggunaan alat tangkap
yang bersifat destruktif, rendahnya kesesuaian fungsi dan ukuran kapal serta sertifikasi awak perikanan yang sesuai aturan dan rendahnya kapasitas perikanan dan upaya penangkapan. Sedangkan agregat nilai komposit Kabupaten Donggala (52) menunjukkan penerapan EAFM tergolong sedang.
21
3.1.13. Perbandingan Nilai Komposit Agregat Antar Kabupaten
Pada grafik diatas memperlihatkan nilai agregat komposit setiap Kabupaten
menunjukkan Kabupaten Lembata memiliki nilai tertinggi 99 menunjukkan penerapan EAFM tergolong sangat baik. Sedangkan Kabupaten Majene 67, Bone 67, Sumbawa dan Lombok Timur 61, Sikka 64, Kota Baru 67, dan Kutai Kartanegara 69 masing-masing menunjukkan penerapan EAFM yang baik. Sedangkan Kabupaten nilai komposit agregat Flores Timur 60, Manggarai Barat 44, Alor 55, Kutai Timur 59, dan Donggala 52 masing-masing menerapkan pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem sedang.
3.2. Nilai Komposit Tingkat Provinsi.
3.2.1. Provinsi Kalimantan Timur
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 46 Sedang
Habitat & ekosistem 49 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 59 Sedang
Sosial 78 Baik Ekonomi 90 Baik Sekali
Kelembagaan 68 Baik Aggregat 65 Baik
6767
6160
9944
5564
6769
5952
0 20 40 60 80 100 120
MajeneBone
Sumbawa dan Lombok TimurFlores Timur
LembataManggarai Barat
AlorSikkka
Kota BaruKutai Kartanegara
Kutai TimurDonggala
Nilai Komposit Agregat
22
Hasil analisis flag model indikator EAFM Provinsi Kaltim menunjukkan sumberdaya
ikan tergolong sedang (46), habitat dan ekosistem sedang (49) dan teknik penangkappan ikan sedang (59). Hal ini disebabkan pada sumberdaya ikan banyak
tertangkap ikan yuana, CPUE menurun, dan tertangkapnya spesies ETP. Pada dimensi habitat dan ekosistem masih rendah karena tidak ada habitat khusus, dan
tidak ada data kuallitas air. Dimensi teknik penangkapan rendah disebabkan tingginya penangkapan destruktif, kesesuaian fungsi dan ukuran kapal tidak sama dengan dokumen kapal, sertifikasi awak kapal masih rendah. Secara agregat pengelolaan perikanan melalui pendekatan EAFM sudah berjalan baik.
3.2.2. Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tabel flag model tersebut di atas nilai komposit habitat dan ekosistem, kelembagaan, dan ekonomi memiliki nilai yang baik masing-masing denggan nilai 80, 71, dan 69. Sedangkan nilai dimensi sosial 56, teknik penangkapan 49, dan
sumberdaya ikan 42, masing-masing diniai sedang. Rendahnya dimensi sosial terutama disebabkan adanya konflik perikanan, sedangkan rendahnya dimensi
penangkapan akibat masih adanya penangkapan destruktif dan selektifitas alat yang rendah, sedangkan rendahnya nillai kompposit pada dimensi sumberdaya ikan disebabkan adanya kecenderungan ukuran ikan yang tertangkap lebih kecil, penurunan CPUE dan masih tertangkapnya spesies langka dan dilindungi. Berdasarkan nilai komposit agregat di Provinsi NTB sebesar 61 menunjukkan penerapan EAFM tergolong baik.
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 42 Sedang
Habitat & ekosistem 80 Baik Teknik Penangkapan Ikan 49 Sedang
Sosial 56 Sedang Ekonomi 69 Baik
Kelembagaan 71 Baik Aggregat 61 Baik
23
3.2.3. Provinsi Nusa Tenggara Timur
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 63 Baik
Habitat & ekosistem 71 Baik Teknik Penangkapan Ikan 56 Sedang
Sosial 49 Sedang Ekonomi 62 Baik
Kelembagaan 60 Sedang Aggregat 60 Sedang
Pada tabel nilai komposit Nusa Tenggara Timur diatas menunjukkan domain yang memiliki deskripsi baik yaitu sumberdaya ikan 63, habitat dan ekosistem 71, dan
ekonomi 62. Sedangkan domain memiliki deskripsi sedang yaitu teknik penangkapan ikan 56, sosial 49, dan kelembagaan. Domain teknik penangkapan ikan yang masih
rendah diindikasikan oleh penangkapan ikan destruktif, sertifikasi awak kapal perikanan tidak sesuai aturan, dan kesesuaian fungsi dan ukuran kapal tidak sesuai dokumen. Rendahnya domain sosial ditandai oleh partisipasi pemangku kepentingan yang masih kurang dan terjadi konflik perikanan. Sedanngkan rendahnya domain kelembagaan disebabkan oleh belum ada rencana pengelolaan perikanan dan masih minimnya kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab. Nilai komposit agregat Nusa Tenggara Timur sebesar 60 menunjukkan penerapan EAFM masih tergolong sedang.
3.2.4. Provinsi Sulawesi Tengah
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 57 Sedang Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Ikan 40 Kurang Sosial 46 Sedang Ekonomi 58 Sedang Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 52 Sedang
24
Hasil analisis flag model pada tingkat provinsi Sulawesi tengah nilai komposit
domain habitat dan ekosistem 63 deskripsi baik. Sedangkan domain sumberdaya ikan (57), sosial (46), ekonomi (58), dan kelembagaan (48)
masing-masing kategori sedang. Sedangkan domain teknik penangkapan ikan (40) kategori kurang. Rendahnya nilai domain teknik penangkapan ikan
disebabkan oleh semakin tingginya penggunaan alat tangkap yang bersifat destruktif, rendahnya kesesuaian fungsi dan ukuran kapal serta sertifikasi awak perikanan yang tidak sesuai aturan dan tingginya kapasitas dan upaya penangkapan. Berdasarkan nilai komposit agregat 52 menunjukkan di Provinsi Sulawesi Tengah penerapan EAFM tergolong sedang.
3.2.5. Provinsi Sulawesi Selatan.
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 74 Baik
Habitat & ekosistem 68 Baik Teknik Penangkapan Ikan 80 Baik
Sosial 68 Baik Ekonomi 56 Sedang
Kelembagaan 55 Sedang Aggregat 67 Baik
Pada tabel di atas menunjukkan di Provinsi Sulawesi Selatan yang diwakili Kabupaten Bone mempunyai nilai komposit dimensi sumberdaya ikan 74,
habitat dan ekosistem 68, teknik penangkapan ikan 80, sosial 68 semuanya
tergolong baik. Kecuali dimensi ekonomi dan kelembagaan tergolong sedang masing-masing dengan nilai 56 dan 55. Rendahnya nilai komposit ekonomi
diindikasikan oleh karena nelayan tidak memiliki tabungan, dan pada dimensi kelembagaan belum ada rencana pengelolaan perikanan, dan masih minimnya
kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan. Sedangkan agregat nilai komposit sebesar 67 menunjukkan pengelolaan perikanan melalui
pendekkatan EAFM di Provinsi Sulawesi Selatan tergolong baik.
25
3.2.6. Provinsi Sulawesi Barat.
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 76 Baik
Habitat & ekosistem 57 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 69 Baik
Sosial 68 Baik Ekonomi 52 Sedang
Kelembagaan 83 Baik Sekali Aggregat 67 Baik
Pada tabel di atas menunjukkan nilai komposit Provinsi Sulbar yang diwakli oleh Kabupaten Majene yaitu dimensi kelembagaan (83) kategori baik sekali. Domain sumberdaya ikan (76), teknik penangkapan ikan (69), dan sosial (68) masing-masing berkategori baik. Sedangkan domain Habitat dan ekosistem (57), dan ekonomi (52) memiliki kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya nilai komposit domain habitat dan ekosistem disebabkan kerusakan terumbu karang oleh kegiatan
penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan dan kerusakan ekosistem lamun. Sedangkan pada domain ekonomi yang relatif rendah disebabkan
nelayan tidak memiliki rasio tabungan. Sedangkan nilai agregat komposit sebesar 67 di Provinsi Sulbar tergolong baik dalam penerapan
EAFM.
3.2.7. Perbandingan Nilai Komposit Agregat Antar Provinsi
Grafik diatas memperlihatkan nilai komposit agregat setiap Provinsi di WPP 713.
Nilai komposit agregat Provinsi Sulawesi Selatan 67, Sulawesi Barat 67,
67
67
52
65
61
60
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Timur
Nilai Komposit Setiap Provinsi
26
Kalimantan Timur 65, dan Nusa Tenggara Barat 61 menunjukkan keempat
provinsi tersebut telah melakukan penerapan EAFM yang baik. Kecuali Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan nilai 60 dan Sulawesi Tengah dengan nilai 52
menunjukkan penerapan EAFM tergolong sedang.
3.3. Analisis EAFM WPP-713 (Hasil Kompilasi 6 Provinsi atau 12 Kabupaten).
3.3.1. Domain Sumberdaya ikan WPP-713
Hasil analisis indikator domain sumberdaya ikan pada tingkat WPP 713 (gabungan
12 Kabupaten atau 6 Provinsi) menunjukkan indikator trend rata-rata ukuran yang rendah (1,44) menandakan terjadinya penurunan rata-rata ukuran ikan yang
menjadi fokus pengelolaan (tuna, cakalang, kakap, layang), serta proporsi ikan yuana yang tertangkap dengan nilai komposit 1,57 menggambarkan proorsi ikan muda atau yuana yang tertangkap cukup tinggi. Begitupula spesies ETP yang tertangkap masih tinggi dengan nilai 1,87, penurunan CPUE baku dengan nilai 1,90 dan range collaps ikan sumberdaya ikan relatif bergeser jauh, kecuali komposisi spesies target dan non target dengan nilai 2,14 cukup berimbang.
1.901.44
1.572.14
1.91
1.87
0.00 1.00 2.00 3.00
1. CpUE Baku2. Tren ukuran ikan
3. Proporsi ikan yuwana yang…4. Komposisi spesies hasil…
5. "Range Collapse"…6. Spesies ETP
27
3.3.2. Domain Ekosistem dan habitat WPP 713
Hasil analisis indikator domain habitat dan ekosistem pada WPP-713 menunjukkan
indikator status ekosistem lamun rendah yaitu tutupan dan keanekaragaman rendah, status ekosistem mangrove rendah yaitu kerapatan dan keanekaragaman rendah, ekosistem terumbu karang yaitu tutupan dan keanekaragaman rendah.
3.3.3. Domain Teknologi Penangkapan WPP 713
Tabel di atas menunjukkan indikator dimensi teknik penangkapan yang rendah adalah indikator sertifikasi awak kapal perikanan, masih adanya penangkapan
destruktif, dan kesesuaian fungsi dan ukuran kapal dengan dokumen juga masih rendah. Selektifitas penangkapan, kapasitas penangkapan dan upaya
penangkapan, serta modifikasi alat tangkap relatif tinggi.
2.09
1.71
1.78
1.91
2.07
1.87
0 1 2 3
1. Kualitas perairan
2. Status ekosistem lamun
3. Status ekosistem mangrove
4. Status ekosistem terumbu karang
5. Habitat unik/khusus
6. Perubahan iklim terhadap kondisi…
1.53
2.00
1.90
1.93
1.59
1.37
0 1 2 3
1. Penangkapan ikan yang…
2. Modifikasi alat penangkapan…
3. Kapasitas Perikanan dan…
4. Selektivitas penangkapan
5. Kesesuaian fungsi dan…
6. Sertifikasi awak kapal…
28
3.3.4. Domain Ekonomi WPP 713
Pada grafik domain ekonomi di WPP 713 secara keseluruhan indikator tergolong
sedang yaitu kepemilikan aset (1,910), pendapatan rumah tangga perikanan (2,210), dan rasio tabungan nelayan dengan nilai 1,660. Rendahnya saving ratio nelayan dikarenakan rata-rata pendapatan rumah tangga nelayan yang masih setara dengan upah minimum provinsi sehingga pendapatan nelayan digunakan masih sebatas pada pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. 3.3.5. Domain Sosial
Pada domain sosial di WPP 713 diatas semua indikator memiliki status sedang yaitu pemanfaatan pengetahuan lokal dalam kegiatan penangkapan ikan (2,060), partisipasi pemangku kepentingan (1,890), dan konflik perikanan (1,580). Kasus
konflik perikanan yang terjadi di WPP 713 rata-rata disebabkan oleh konflik perebutan penggunaan daerah penangkapan ikan dan benturan alat penangkapan ikan.
1.91
2.21
1.66
0 1 2 3
1. Kepemilikan Aset
2. Pendapatan rumah tangga…
3. Rasio Tabungan (Saving ratio)
1.89
1.58
2.06
0 1 2 3
1. Partisipasi pemangku…
2. Konflik perikanan
3. Pemanfaatan…
29
3.3.6. Domain Kelembagaan
Indikator domain kelembagaan di WPP 713 secara umum memiliki nilai sedang yaitu kapasitas pemangku kepentingan (2,010), tingkat sinergitas kebijakan antar lembaga (2,250), mekanisme pengambilan keputusan (2,100), kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan (2,142), dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip
perikanan (1,885) sedangkan indikator yang memiliki nilai buruk yaitu rencana pengelolaan perikanan (1,220). Hal diatas menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di WPP 713 di butuhkan rencana pengelolaan perikanan sebagai pedoman dasar dalam pengelolaan perikanan berkelanjutan.
3.3.7. Nilai Komposit WPP 713
Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 59 Sedang
Habitat & ekosistem 65 Baik Teknik Penangkapan Ikan 59 Sedang
Sosial 61 Sedang Ekonomi 65 Baik
Kelembagaan 65 Baik Aggregat 62 Baik
Pada tabel di atas menunjukkan nilai komposit WPP 713 yang diwakli oleh enam Provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan Timur atau 12 Kabupaten) yaitu dimensi habitat dan ekosistem 65, ekonomi 65, dan kelembagaan 65 kategori baik. Domain
1.885
2.142
2.1
1.22
2.25
2.01
0 1 2 3
1. Kepatuhan terhadap prinsip-…
2. Kelengkapan aturan main dalam…
3. Mekanisme pengambilan…
4. Rencana pengelolaan perikanan
5. Tingkat sinergisitas kebijakan…
6. Kapasitas pemangku kepentingan
30
sumberdaya ikan 59, teknik penangkapan ikan 59, dan sosial 61 masing-masing
kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa rendahnya nilai komposit dimensi sumberdaya ikan disebabkan penurunan trend ukuran ikan yang tertangkap dan
tingginya proporsi ikan yuwana yang tertangkap. Pada dimensi teknik penangkapan ikan disebabkan oleh sertifikasi awak kapal perikanan masih rendah, dan
penangkapan ikan secara destruktif masih terus berlangsung, pada dimensi sosial masih terjadi konflik perikanan. Sedangkan nilai agregat komposit secara total sebesar 62 menandakan bahawa pengelolaan perikanan melalui pendekatan EAFM di WPP 713 tergolong baik.
31
4. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
a. Secara umum dimensi sumberdaya ikan di WPP 713 terindikasi terjadi
penurunan trend rata-rata ukuran ikan, tertangkapnya ikan yuana atau
ikan mudah cukup tinggi, penurunan CPUE baku, masih sering terjadi penangkapan spesis ETP.
b. Pada dimensi habitat dan ekosistem di WPP-713 terindikasi terjadi penurunan tutupan dan keanekaragaman lamun, terumbu karang, dan
mangrove serta indikasi adanya dampak perubahan iklim terhadap terumbu karang (bleaching).
c. Pada dimensi teknik penangkapan ikan di WPP-713 terindikasi penangkapan ikan destruktif (illegal fishing) masih tinggi, sertifikasi awak kapal masih rendah, dan kesesuaian fungsi dan ukuran kapal tidak sesuai aturan atau dokumen.
d. Dimensi sosial di WPP 713 menunjukkan konflik perikanan masih tinggi, dan partisipasi pemangku kepentingan masih rendah.
e. Dimensi ekonomi di WPP 713 terindikasi nilai komposit rendah adalah rasio tabungan yang rendah, dan kepemilikan asset nelayan yang masih
rendah. f. Pada dimensi kelembagaan indikator paling rendah adalah belum ada RPP
di beberapa Kabupatenn dan Propinsi. g. Nilai komposit agregat secara total di WPP-713 menunjukkan pengelolaan
perikanan berdasarkan pendekatan EAFM sudah tergolong baik.
32
4.2. Rekomendasi Pengelolaan Berdasarkan Setiap Domain dalam EAFM
1. Domain SDI
TUJUAN INDIKATOR NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN PENGELOLAAN
Menjaga kualitas habitat SDI sehingga produktivitas dan keanekaragaman ekosistem tetap tinggi dan stabil.
1. CpUE Baku 2180.8 Pengendalian upaya tangkap Pengendalian jumlah trip
Pengkajian jumlah effort berdasarkan jenis alat tangkap yang diperbolehkan.
Kendalikan jumlah effort berdasarkan jenis alat yang sudah beroperasi melalui sistem perizinan.
Penentuan TAC (Total allowable catch) setiap jenis ikan ekonomis penting di WPP-713.
2. Tren ukuran ikan 887.4
Pengaturan ukuran ikan yang tertangkap
Mengendalikan selektifitas alat
Pengkajian ukuran minimal ikan ekonomis penting yang diperbolehkan untuk di tangkap.
Pengaturan ukuran minimal ikan ekonomis yang boleh ditangkap.
Pengaturan terhadap penggunaan alat tangkap yang tidak selektif.
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
643.8
Pengendalian ikan juwana yang tertangkap
Pengaturan mesh size
Kajian ilmiah ukuran pertama kali matang gonad untuk menetapkan ukuran
33
Mencegah penangkapan ikan muda (belum mijah).
Pengendalian alat tangkap bersifat destruktif dan tidak ramah lingkungan
Ketersediaan data secara berkelanjutan
ikan yang diperbolehkan ditangkap.
Melarang jenis alat tangkap yang sasarannya pada ikan-ikan juwana, juvenil atau ikan-ikan muda.
Melarang operasi penangkapan pada daerah asuhan ikan-ikan muda (nursery area).
Melarang penangkapan ikan pada waktu musim pemijahan.
Buat peraturan larangan alat tangkap yang sasarannya pada ikan-ikan juwana, juvenil atau ikan-ikan muda.
Pengaturan ukuran minimal ikan yang boleh ditangkap (telah memijah satu kali)
4. Komposisi spesies tangkapan
629.3
Pengendalian penangkapan terhadap non target.
Pengendalian mesh size Pengendalian alat tangkap
Kajian ilmiah tentang teknologi penangkapan yang mengurangi spesies non target.
Penerapan teknologi penangkapan yang mengurangi tertangkapnya
34
spesies non target. Kajian iilmiah selektivitas
alat, ukuran mata jaring, ukuran mulut bubu, alat tangkap ramah lingkungan untuk mengurangi spesies non target.
5. Spesies ETP 297.25 Meningkatkan pengetahuan nelayan tentang pelarangan penangkapan spesies yang dilindungi
Pengendalian penangkapan spesies ETP
Pengaturan pemanfaatan spesies ETP
Penegakan hukum
Sosialisasi peraturan pemerintah tentang spesies ETP yang dilindungi
Menghentikan atau mengurangi penangkapan spesies ETP
Membuat peraturan daerah tentang perlindungan dan larangan terhadap penangkapan spesies ETP.
Kajian tenatang teknologi alat tangkap yang selektif terhadap spesies ETP.
Penyadaran masyarakat tentang biota dilindungi
Penegakan hukum terhadap penangkap spesies EP
6. "Range Collapse" sumberdaya ikan
578.55 Pengendalian upaya penangkapan Pengembangan dan perbaikan
habitat ikan Pengaturan daerah tangkapan
Mengurangi jumlah upaya penangkapan.
Rehabilitasi dan konservasi ekosistem pesisir
35
(mangrove, lamun dan karang).
Pengembangan rumah ikan, rumpon ikan, artificial reef untuk menarik kembali populasi ikan.
Rotasi daerah penangkapan atau jeda waktu penangkapan.
2. Domain Habitat dan Ekosistem
TUJUAN INDIKATOR NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN PENGELOLAAN
Menjaga kualitas habitat SDI sehingga produktivitas dan keanekaragaman ekosistem tetap tinggi dan stabil.
1. Kualitas perairan 1529.75 Pengendalian pencemaran limbah B3
Meminimalkan dampak pencemaran
Penegakan hukum terhadap kapal-kapal yang membuang limbah di laut
Pemeriksaan dan pengawasan AMDAL yang ketat terhadap kawasan industri.
Monitoring secara berkala terhadap pollutan: limbah B3 dan eutrofikasi.
Monitoring kualitas perairan secara berkala, terutama yang mempunyai poetensi terkena dampak aktivitas.
2. Status ekosistem lamun 728.625 Perlindungan terhadap ekosistem lamun
Pembuatan DPL ekosisitem lamun.
36
Pengembangan kawasan konservasi lamun
Pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusakan lamun.
Pemetaan ekosistem lamun pada Zonasi pesisir di WPP 713.
Pembuatan aturan jalur penangkapan
Peningkatan kesadaran masyarakat tentang manfaat ekosistem lamun
3. Status ekosistem mangrove
854.775 Perlindungan dan rehabilitasi ekosistem mangrove
Pemetaan kondisi mangrove pada zona wilayah pesisir di WPP713.
Penanaman mangrove Rehabilitasi mangrove yang
rusak Kembangkan daerah konservasi
mangrove Pengawasan terhadap
perusakan ekosistem mangrove 4. Status ekosistem terumbu karang
828.675 Rehabilitasi terumbu karang Peningkatan kesadaran
nelayan dalam perlindungan terumbu karang
Menjaga kelestarian terumbu karang yang sudah eksis
Pengendalian alat tangkap yang bersifat destruktif
Pemetaan kondisi terumbu karang di wilayah pesisir WPP 713.
Rehabilitasi, transplantasi, dan artificial reef.
Pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap penggunaan alat tangkap destruktif seperti bom dan bahan kimia beracun.
37
Kembangkan daerah perlindungan terumbu karang.
Pembuatan peraturan larangan menempatkan alat tangkap di atas terumbu karang.
5. Habitat unik/khusus 1206.4 Pengembangan daerah perlindungan terhadap ekosistem penting
Perlindungan habitat pemijahan ikan, feeding ground, dan nursery ground ikan ekonomis penting.
Perlindungan habitat kekayaan genetik dan biodiversity.
Meningkatkan kegiatan pengelolaan terhadap kawasan konservasi yang sudah eksis di WPP 713.
6. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat
532.15 Perlindungan ekosistem pesisir.
Identifikasi dan pemetaan dampak perubahan iklim terhadap kerusakan habitat.
Penyusunan strategi adaptasi
Kajian ilmiah dampak perubahan iklim terhadap kerusakan habitat pesisir dan mitigasi bencana.
Identifikas dan pemetaan habitat yang memiliki potensi terkena dampak perubahan iklim.
Penyusunan strategi proteksi dan adaptasi.
38
3. Domain Teknik Penangkapan Ikan
TUJUAN INDIKATOR NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN PENGELOLAAN
Penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan sesuai dengan daya dukung SDI
1. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif
1418.1 Penegakan hukum dan peraturan
Pengendalian alat tangkap yang bersifat destruktif
Pengawasan terhadap penggunaan bom dan potasium
Penegakan hukum dan peraturan Pengembangan mata
pencaharian alternatif. Kerjasama pihak keamanan
terkait: Polri, AL, PPNS, Satpol, dan Pokwasmas.
Penyediaan sarana pengawasan (kapal pengawas).
Penyuluhan tentang bahaya penggunaan alat tangkap bersifat destruktif, dan penyuluhan tentang IUU Fishing.
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
1522.5 Pengaturan standarisasi alat tangkap
Penentuan spesifikasi kapal, alat tangkap, dan alat bantu penangkapan yang digunakan untuk penangkapan terhadap spesies ekonomis penting (perlu kajian ilmiah).
Pengecekan dokumen kapal dan fisik kapal, alat tangkap, dan alat bantu yang digunakan apakah sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan.
3. Kapasitas Perikanan dan 904.8 Penetapan fishing capacity dan Pengkajian jumlah effort dan
39
Upaya Penangkapan (Fishing Capacity and Effort)
jumlah effort fishing capacity di WPP 713. Penetapan jumlah izin yang
dikeluarkan sesuai kajian jumlah effort yang diperbolehkan.
4. Selektivitas penangkapan
874.35 Pengaturan ukuran mata jaring dan ukuran mulut alat tangkap bubu.
Pengaturan musim penangkapan
Pengaturan daerah penangkapan
Kajian ilmiah terhadap mesh size dan ukuran mulut bubu yang selektif.
Menetapkan ukuran mata jaring dan mulut bubu yang diperbolehkan untuk penangkapan ikan.
Monitoring terhadap alat tangkap yang tidak selektif.
Menetapkan musim atau waktu penangkapan agar alat tangkap selektif terhadap induk ikan yang akan mijah.
Rotasi daerah penangkapan atau jedah waktu penangkapan untuk menghindari penangkapan induk yang akan mijah.
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal
495.9 Penataan perizinan fungsi, ukuran dan dokumen kapal.
Pengawasan fungsi dan ukuran kapal pada dokumen kapal.
Pemeriksaan surat izin, ukuran kapal, dan dokumen kapal di lapangan.
Pengecekan langsung di lapangan
40
6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
208.8 Penataan sertifikasi awak kapal Pelatihan keterampilan awak kapal perikanan yang dilaksanakan oleh lembaga yang berkompetensi dan pemberian sertifikat awak kapal sesuai dengan peraturan.
4. Domain Sosial
TUJUAN INDIKATOR NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN PENGELOLAAN
Meningkatkan Nilai-Nilai Sosial Dalam Pengelolaan Perikanan
1. Partisipasi Pemangku Kepentingan
2273.6 Peningkatan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan
Pelibatan pemangku kepentingan (masyarakat, lembaga swasta, dan lembaga pemerintah) dalam perencanaan, pengelolaan, dan evaluasi dalam EAFM.
Peningkatan frekwensi keikut sertaan pemangkutan kepentingan dalam kegiatan EAFM.
2. Konflik Perikanan 1613.85 Pengaturan daerah penangkapan
Zonasi daerah penangkapan dan pengawasan
Pemetaan zonasi daerah penangkapan berdasarkan jenis alat tangkap di WPP713.
Peningkatan Pengawasan terhadap operasi penangkapan berdasarkan zonasi jenis alat tangkap.
41
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan perikanan.
1645.75 Mempertahankan pengetahuan lokal yang ada dalam pengelolaan perikanan
Pengkajian pengetahuan lokal dalam pengelolaan perikanan.
Pengkajian pengetahuan lokal ramah lingkungan dalam penangkapan ikan.
Peningkatan pengetahuan lokal terhadap pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan.
5. Domain Ekonomi
TUJUAN INDIKATOR NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN PENGELOLAAN
Mencapai Kesejahteraan Nelayan Yang Lestari
1. Kepemilikan Aset 2466 Peningkatan jumlah aset produktif nelayan
Pendampingan nelayan dalam peningkatan asset, mempertahankan kepemilikan asset yang sudah ada dalam usaha perikanan.
Pemberian bantuan peralatan, modal untuk penambahan asset dalam usaha perikanan.
2.Pendapatan Rumah Tanggga (RTP)
1958 meningkatkan pendapatan nelayan
Meningkatkan pendapatan rumah tangga perikanan melalui penyuluhan, percontohan, dan pendampingan usaha nelayan.
Pengembangan mata pencaharian alternatif di luar usaha penangkapan ikan seperti budidaya ikan, dan usaha perekonomian llainnya.
Pemberian bantuan permodalan
42
oleh pemerintah maupun swasta. Bantuan kredit lunak untuk
usaha nelayan. 3. Rasio Tabungan (Saving Ratio)
1428 Peningkatan kesejahteraan masyarakat
Pendampingan, sosialisasi dan penyuluhan terhadap nelayan tentang pentingnya menabung.
Pengembangan lembaga keuangan mikro di desa nelayan untuk kegiatan simpan pinjam nelayan.
Pengembangan pelayanan unit-unit perbankan pemerintah atau swasta di desa nelayan.
Pengembangan mata pencaharian alternatif untuk meningkatkan pendappatan sehingga nelayan dapat menabung.
6. Domain Kelembagaan
TUJUAN INDIKATOR NILAI
PRIORITAS PERBAIKAN PENGELOLAAN
AKSI PERBAIKAN PENGELOLAAN
Meningkatkan kinerja kelembagaan dan tata kelola perikanan
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal
1493.5
Peningkatan kesadaran nelayan
Penyuluhan dan sosialisasi tentang hukum dan peraturan yang terkait dengan pengelolaan perikanan.
Komitmen penegakan hukum di laut oleh semua pihak keamanan terkait: Polri, AL, PPNS, Satpol, Pokwasmas, Kejaksaan dan Pengadilan.
43
Peningkatan kooordinasi, kerjasama, komunikasi, semua pihak keamanan terkait.
2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
1636.18 Peningkatan jumlah aturan main dalam pengelolaan perikanan
Melengkapi peraturan pengelolaan perikanan
Pembuatan kelengkapan peraturan yang masih dibutuhkan dalam pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem baik ditingkat Kabupaten, Propinsi, dan WPP-713 (Pemerintah Pusat).
3 . Mekanisme pengambilan keputusan
1226.7 Mekanisme pengambilan keputusan lebih ditingkatkan
Pelibatan pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan.
Peningkatan keterlibatan pemangku kepentinngan (masyarakat, swasta, dan lembaga pemerintah) dalam pengambilan keputusan pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem (EAFM).
Peningkatan keterlibatan pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan (EAFM) mulai dari tahap perencanaan, implementasi dan evaluasi.
4. Rencana pengelolaan perikanan
552.45 Mendorong penerapan RPP yang sudah ada (RPP ikan Lemuru di Selat Bali, RPP ikan terbang di Selat Makassar dan Laut Flores).
Sosialisasi RPP yang sudah ada seperti RPP lemuru, dan RPP ikan terbang.
Pembentukan dan penguatan kelembagaan RPP.
Pelibatan artisipasi stakeholders dalam implementasi dan evaluasi RPP.
44
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
732.105 Kerjasama antar lembaga pengelola perikanan lebih ditingkatkan
Peningkatan sinergi atau kerjasama antar lembaga yang terkait dalam pengelolaan perikanan.
Mengefektifkan komunikasi dan koordinasi antar lembaga terkait dalam pengambilan keputusan pengelola perikanan berbasis ekosistem (EAFM) di WPP 713.
Membangun kesepakan antar lembaga berdasarkan fungsi dan tugas masing-masing lembaga.
Pertemuan secara berkala antara lembaga untuk mengevaluasi hasil kerja masing-masing.
Setiap lembaga melaporkan hasil kerja masing-masing pada level manager pengelolaan perikanan (EAFM).
6 . Kapasitas pemangku kepentingan
276.95 Peningkatan kapasitas pemangku kepentingan
Pelatihan dan penyuluhan terhadap pemangku kepentingan (nelayan, swasta, dan pemerintah) tenntang EAFM baik ditingkat Kabupaten, Propinsi maupun di tingkat WPP.
Seminar, pelatihan dan workshop secara berkala tentang implementasi dan hasil EAFM pada Tingkat Kabupaten, Provinsi maupun tingkta WPP 713.
45
4.3. Rekomendasi Tool EAFM
a. Untuk penentuan indikator CPUE, nilai 25 % perlu direvisi reference
pointya dan didasarkan pada tolok ukur yang jelas. b. Scope area untuk penilaian indikator EAFM perlu dibedakan antara
wilayah 4 mil dan 12 mil mengingat adanya perbedaan ekosistem yang signifikan.
c. Perlu ada pengelompokan penilaian SR berdasarkan status nelayan (ABK, Juragan dan Ponggawa) untuk menhindari GAP yang terlalu tinggi dalam perhitungan pendapatan dan SR antara masing-masing status.
d. Kreteria untuk menunjukkan klasifikasi terjadinya eutrofikasi yang digunakan adalah yaitu kreteria 1 = konsentrasi klorofil a > 5 µg/l dan Kretria 3 = konsentrasi klorofil a < 2 µg/l, sehingga jika terjadi potensi eutrofikasi maka skornya akan rendah dan jika sebaliknya maka akan memiliki skor yang tinggi. Sedangkan kriteria yang digunakan saat ini
adalah kriteria kesuburan yaitu kriteria 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l.
Eutrofikasi dapat disefinisikan sebagai kejadian peningkatan pasokan bahan organik ke dalam ekosistem perairan, terutama fosfat dan nitrat.
Eutrofikasi merupakan kejadian pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam
rentang 35-100 µg/L. Sumber fosfor penyebab eutrofikasi 10% berasal dari proses alamiah di lingkungan perairan itu sendiri (background
source), 7% dari industri, 11% dari detergen, 17% dari pupuk pertanian, 23% dari limbah manusia, dan yang terbesar 32% dari limbah peternakan
(Morse et al., 1993). e. Sistem monitoring/evaluasi perlu dikembangkan agar dapat efektif dan
terpercaya, didukung oleh sumberdaya yang memadai, termasuk sumber pendanaan yang jelas.
f. Perlu perbaikan panduan untuk kebutuhan analisis EAFM ditingkat kabupaten seperrti indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
46
penangkapan ikan dengan dokumen legal dan indikator sertifikasi awak
kapal perikanan apakah sesuai dengan peraturan karena tingkat kabupaten karena mayoritas kapal yang digunakan nelayan dibawah 10
GT dan sertifikasi awak kapal dikeluarkan bagi kapal yang berlayar diatas 60 mil dengan kapal ukuran diatas 10 GT.
g. Penelitian EAFM membutuhkan waktu yang cukup terutama enumerator agar dapat mengukur langsung ikan di lapangan, tidak hanya mengandalkan informasi ukuran ikan dari wawancara nelayan.
h. Untuk indikator metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif pada domain Teknologi Penangkapan bila mengandalkan data frekwensi kasus mungkin nilai frekwensinya rendah, sehingga diperlukan penelusuran informasi frekwensi pelanggaraqn melalui aparat lapangan, tokoh masyarakat maupun nelayan.
Daftar Pustaka
Adrianto, L. Y. Matsuda, Y. Sakuma. 2005. Assesing Sustainability of Fishery Systems
in A Small Island Region: Flag Modeling Approach. Proceeding of IIFET. 2005. Tokyo, 2005.
Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Balckwell Science. UK. FAO. 1995. Code of Conduct For Responsible Fisheries. Rome. 41 p. FAO. 2003. Ecosystem Approach to Fisheries. FAO Technical Paper. Gislason, H., M. Sinclair, K. Sainbury and R. O’Boyle. 2000. Symposium overview:
incorporating ecosystem objectives within fisheries management. Journal of Marine Sciences. 57: 468-475.
Morse et al. 1993. (The Economic and Environmental Impact of Phosphorus Removal from Wastewater in the European Community), APHA, AWWA, WEF, (1995), Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. 19th edition. Ed: Andrew D. Eaton, APHA, Washington DC.
Musick, J.A., S.A. Barkeley., G.M. Caillet., M. Camhi., G. Huntsman., M. Nammack and M.L. Warren Jr. 2000. Protection of marine fish stocks at risk of extinction. Fisheries. 25(3): 6-8.
National Working Group on Ecosystem Approach to Fisheries Management. 2014. Modul Penilaian Indikator Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan (Ecosistem Approach to Fisheries Management). Training EAFM. Bogor.
Recommended