View
249
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
1
AKAR KONFLIK RELIGIUS DAN UPAYA PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF HAM
DAN ISLAM
Catatan Hasil Kunjungan Ke Kantor Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jawa
Barat dan Pondok Pesantren Al-Quran Babussalam, Bandung
LAPORAN FIELD TRIP
“Peningkatan Pemahaman Perdamaian Berperspektif HAM dan Islam”
Oleh:
Rodhia Miftah Mujahidin (PP. Al-Quran Babussalam)
Lina Fatinah (PP. Sindangsari Al-Jawami, Cileunyi)
Anis Syarifatunnisa Fauziyah (PP. Sirnamiskin)
Muhammad Rijal Farihin Darmawijaya (PP. Muslimin)
Narjis Karimatuzzahra (PP. Al-Mustofa)
Editor:
Ahmad Gaus
Pesantren for Peace (PFP):
A Project Supporting the Role of Indonesian Islamic Schools to Promote Human
Rights and Peaceful Conflict Resolution
BANDUNG 2016 M\1437 H
2
AKAR KONFLIK RELIGIUS DAN UPAYA PERDAMAIAN DALAM PERSPEKTIF HAM
DAN ISLAM
A. Pendahuluan
Masyarakat Jawa Barat selama ini dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan
sopan, senantiasa menjunjung tinggi tata-krama dalam kehidupan bermasyarakat,
dan cenderung menghindari kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Karena itu,
munculnya laporan-laporan yang menyatakan bahwa fenomena kekerasan atas nama
agama di tanah Pasundan semakin meningkat dari tahun ke tahun, sungguh
mengejutkan. Dalam laporan akhir tahun 2015 lalu, misalnya, Kontras (Komisi untuk
Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) menyebutkan bahwa Jawa Barat merupakan
daerah dengan tingkat intoleransi agama paling tinggi dimana terjadi 18 kasus
kekerasan agama. 1 Bahkan sebelumnya, pada tahun 2014, tercatat 55 kali aksi
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Jawa barat.
Angka ini jauh melampaui posisi kedua DI Yogyakarta dengan jumlah kekerasan 21
dan Ketiga Sumatera Utara yakni pada angka 18.2
Menurut komisioner Komnas HAM untuk bidang Kebebasan Beragama, Imdadun
Rahmat, sejak tahun 2011, Jawa Barat berkali-kali masuk daftar teratas daerah
dengan masyarakat yang tidak menghargai kebebasan beragama. Salah satu yang
terbesar adalah pada 2013 ketika Setara Institute mencatat ada 80 kasus
pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat. Imdadun menyebut contoh kasus
nyata pelanggaran kebebasan beragama di Jawa Barat adalah penyegelan Gereja
Yasmin di Bogor, pelarangan terhadap tujuh gereja di Bandung pada pertengahan
Juni 2015, dan pelanggaran kebebasan ibadah bagi terhadap jemaat Ahmadiyah.
Untuk kasus yang terakhir ini ia menyebut mulai dari perlakuan diskriminatif,
larangan beribadah, larangan berkumpul, hingga larangan menyebarkan ajaran
Ahmadiyah.3
Data-data tersebut memberi indikasi bahwa Jawa Barat termasuk kategori
wilayah di Indonesia yang sensitif terhadap isu toleransi. Sekali lagi, data-data ini
menjadi sebuah ironi yang memilukan terutama karena ia terjadi di tanah Pasundan,
daerah yang mewarisi ajaran luhur “silih asah, silih asih, silih asuh, silih wawangi”
1 “Jawa Barat Kembali Juara Pelanggaran Kebebasan Beragama,” lihat
https://m.tempo.co/read/news/2016/02/23/078747518/jawa-barat-kembali-juara-pelanggaran-kebebasan-
beragamaberita dirilis pada Selasa, 23 Februari 2016 | 17:41 WIB
2 “Jawa Barat Pertahankan Posisi Wahid Intoleransi se-Indonesia,” lihat http://icrp-online.org/2014/12/30/jawa-
barat-pertahankan-posisi-wahid-intoleransi-se-indonesia/ 3Ibid.
3
dari Prabu Siliwangi.4 Munculnya kelompok-kelompok intoleran di Jawa Barat juga
menjadi spekulasi tersendiri bahwa orang Sunda kini sudah berubah, dari pribadi-
pribadi yang ramah menjadi pribadi pemarah, dari sosok yang lembut dan santun
menjadi pribadi yang beringas.
Fakta-fakta diskriminasi terhadap jemaat Ahmadiyah yang banyak terjadi di Jawa
Barat bukan hanya mengindikasikan mulai lunturnya ajaran-ajaran luhur Sunda
tentang silih asah-asih-asuh, namun juga memperlihatkan orientasi keagamaan yang
mulai mengeras, dimana perbedaan pandangan atau ajaran cenderung disikapi
secara sinis dan penuh kecurigaan. Dalam kondisi seperti ini, orang cenderung
mudah menghakimi orang lain atau kelompok lain yang berbeda. Pelabelan sesat
atau kafir mudah dilakukan dan menjadi pemicu bagi munculnya tindakan kekerasan
seperti pengusiran, pelarangan, intimidasi, dan pemasungan hak-hak sipil warga
penganut Ahmadiyah. Namun, jikapun benar Ahmadiyah adalah aliran sesat, lantas
apakah jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemaksaan agar mereka
bertaubat? Dan yang lebih penting lagi, apakah kekerasan adalah jalan terbaik yang
dituntunkan oleh agama dalam mengatasi hal tersebut?5Dalam banyak kasus dan
peristiwa, tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan bahwa kekerasan dapat
menyelesaikan masalah. Bahkan, ia akan menimbulkan masalah baru karena setiap
kekerasan selalu menyisakan luka dan trauma yang tidak mudah dihapuskan dari
memori kolektif korban. Dalam jangka panjang, ia seperti menyembunyikan api
kebencian dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali.
Inilah yang patut kita renungkan dalam kaitannya dengan kasus kekerasan
agama. Kita tidak boleh berhenti untuk belajar, merenung, dan mempertanyakan
apakah sikap dan perilaku keagamaan kita selama ini sudah benar.
Dalam konteks ini kami — para penulis — merasa beruntung memperoleh
kesempatan mengikuti Training Peningkatan Pemahaman Perdamaian di Pesantren
Berperspektif HAM dan Islam, yang diadakan oleh Center for Study of Religion and
Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Konrad-Adenauer-Stiftung (KAS) Indonesia dan Timor-Leste dengan dukungan Uni
Eropa. Pelatihan ini diikuti oleh perwakilan dari 30 pesantren di Bandung dan
sekitarnya. Pelatihan yang diadakan dalam rangkaian program “Pesantren For
4Silih asah, silih asih, silih asuh dan silih wawangi diajarkan PRABU SILIWANGI yang kini menjadi Falsafah
Masyarakat Jawa Barat, merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai sifat RAHMAN dan RAHIM ALLAH
SWT. Silih asah diartikan saling mengasah, saling mempertajam agar lebih berdaya guna dalam kehidupan,
saling mendalami makna. Silih asih diartikan saling mengasihi antarsesama. Silih asuh dimaknai saling
menjaga dan silih wawangi dimaknai saling memberikan hal yang positif. Lihat, http://silih-
wawangi.blogspot.co.id/2008/12/silih-wawangi.html 5
Walter Wink, ed., Damai Adalah Satu-satunya Jalan: Kumpulan Tulisan Tentang Nir-Kekerasan Dari
Fellowship Of Reconcilliation, terj. Nico. A. Likumahua (Jakarta: Gunung Mulia, 2009), hal. 259
4
Peace”atau PFP ini berlangsung pada 2-5 Februari 2016 dan bertempat di hotel
Scarlet Jl. Siliwangi, Bandung, Jawa Barat.
Di sela-sela acara pelatihan tersebut kami memiliki program kunjungan atau field
trip selama satu hari yaitu pada hari kamis, 4 Februari 2016. Kesempatan tersebut
kami manfaatkan untuk mengunjungi Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang
terletak di Kantor JAI Jawa Barat, Jln. Pahlawan No.17, Bandung; dan pada hari yang
sama kami juga mengunjungi dan berdialog dengan pengasuh Pondok Pesantren Al-
Quran Babussalam yang berlokasi di Kampung Babakan No. 2-6, Desa Ciburial, Dago
Atas, Kabupaten Bandung.
B. Kasus Ahmadiyah
Berdasarkan dialog yang dilakukan pada saat kunjungan ke kantor JAI Jawa Barat,
serta mengacu kepada berbagai rujukan, di antaranya hasil wawancara para penulis
bersama tokoh-tokoh JAI di Jawa Barat yang dilaksanakan pada hari Kamis, 4
Februari 2016 bertempat di sekretariat JAI Rayon 11 Kota Bandung, serta sumber-
sumber lainnya, kami dapat memaparkan beberapa contoh kasus pelanggaran HAM
yang mereka alami, di antaranya:
1. Pada 28 Juli 2010, Satpol PP menyegel 1 Masjid dan 7 Mushala milik Jemaat
Ahmadiyah di Manislor, Kuningan Jawa Barat.6
2. 6 Februari 2011, ribuan orang menyerang warga JAI di Cikeusik, Pandeglang,
Banten.
3. Perusakan dan penyegelan Masjid Jemaat Ahmadiyah di Jalan Raya Ciranjang,
Cisaat, Cianjur pada 17 Februari 2012 oleh ratusan warga.7
4. Puluhan orang dari Front Pembela Islam (FPI) menyerang masjid Ahmadiyah
di Astanaanyar, Bandung pada 25 Oktober 2012. Penyerangan ini tepat saat
jamaah sedang melaksanakan takbir Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1433 Hijriyah.8
5. 5 Mei 2013 dini hari, Jemaat Ahmadiyah di Kampung Tenjowaringin, Salawu,
Tasikmalaya diserang warga. Mereka merusak tempat ibadah dan rumah
tinggal Jemaat Ahmadiyah.
Dan masih banyak kasus-kasus penyerangan lain yang dihadapi Jemaat
Ahmadiyah. Adapun beberapa kasus konflik yang tidak sampai berujung kepada
kekerasan antara lain:
Penolakan warga Subang dan Cisaranteun Bandung terhadap aliran
Ahmadiyah.
Intimidasi DI-TII terhadap Ahmadiyah.
6https://www.tempo.co/read/news/2010/07/28/178266946/hujan-batu-warnai-penyegelan-masjid-ahmadiyah-di-
manis-lor 7https://m.tempo.co/read/news/2012/02/17/058384651/masjid-ahmadiyah-di-cianjur-dirusak-warga
8http://m.news.viva.co.id/news/read/362608-kronologi-penyerangan-masjid-ahmadiyah-di-bandung
5
Penolakan kegiatan-kegiatan keagamaan Ahmadiyah oleh warga sekitar di
Banjaran, Bandung.
Dll.
Itulah beberapa kasus kekerasan dan konflik yang dialami oleh Jemaah
Ahmadiyah yang dapat disarikan dari hasil dialog dan wawancara kami dengan para
pengurus JAI Jawa Barat. Dari kasus-kasus tersebut kita dapat menyimpulkan begitu
banyak konflik dan kekerasan yang dialami oleh warga Ahmadiyah yang perlu kita
perhatikan dan carikan jalan keluarnya. Sebab, bukankah sudah menjadi keharusan
bagi kaum mayoritas untuk melindungi minoritas walaupun pandangan dan
keyakinannya bersebrangan dengan pandangan kita, demi tercapainya kedamaian di
negeri tercinta ini.9
B.1. Para Aktor
Para pelaku penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menurut
beberapa sumber sebagian besar berasal dari kalangan Ormas atau Organisasi
Masyarakat Islam. Beberapa di antaranya seperti FPI (Front Pembela Islam), LPI
(Laskar Pembela Islam), GARIS (Gerakan Reformis Islam), dan lain sebagainya.
Namun belakangan, beberapa tindak pelanggaran HAM seperti penyegelan rumah
ibadah, pelarangan kegiatan, dan lain-lain justru dilakukan oleh aparat. Beberapa di
antaranya dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP). Mereka berdalih
bahwa penyegelan itu berdasarkan surat perintah dari pejabat pemerintahan yang
berada di atas mereka. Ini berarti bahwa negara pun bahkan menjadi aktor pelanggar
HAM itu sendiri, meskipun hanya sebagian kalangan pemerintahan yang
melakukannya. Kecuali memang telah ada kesepakatan sebelumnya dengan pihak
yang bersangkutan dan telah dibuat surat keputusan yang melegalkan penutupan
atau penyegelan tersebut.
Selebihnya, pelakunya adalah masyarakat atau warga yang tinggal se-daerah
dengan Jemaat Ahmadiyah itu sendiri. Mereka melakukan penyerangan karena
terprovokasi oleh sebagian pihak. Seharusnya, pemimpin setiap daerah, atau setiap
tokoh pemuka masyarakat itulah yang berperan meluruskan setiap kegiatan yang
akan diusung warganya, agar tidak terjadi hal-hal seperti yang telah dijelaskan di
atas.
9Tore Lindohl, dkk.,Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? terj. Rafael Edi dan M. Rifa’i
Abdullah (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 80
6
B.2. Dampak yang Ditimbulkan Pasca Konflik
Beberapa dampak buruk dari kasus penyerangan dan pelanggaran HAM yang
menimpa JAI di Jawa Barat antara lain:
1. Kerusakan fasilitas publik seperti jalan, taman, trotoar, dan lain sebagainya.
2. Ketakutan dan kekhawatiran yang melanda Jemaat Ahmadiyah.
3. Kehilangan tempat tinggal karena perusakan atau pengusiran secara paksa.
4. Kehilangan tempat ibadah, sekaligus tempat menuntut ilmu karena perusakan
atau penyegelan.
5. Kerugian materi di semua pihak.
6. Kehilangan sanak saudara, sahabat, kerabat, dan orang-orang yang berada di
sekeliling mereka.
7. Kematian.
B.3. Inisiatif dan Upaya Perdamaian
JAI Jawa Barat telah banyak melakukan inisiatif perdamaian berupa
silaturahmi, pengabdian, dan bakti sosial kepada masyarakat. Beberapa contohnya
antara lain:
1. 26 Januari 2015, Jemaat Ahmadiyah Humanity First Indonesia melaksanakan
pengobatan gratis di Madrasah Al-Madrohiyah, Sukabumi. Mereka
bekerjasama dengan berbagai kalangan Ormas yakni Lembaga Penelitian
Sosial dan Agama (Lensa), Yayasan Al-Masturiyah (NU), Forum Pemuda Lintas
Iman (Fopulis), Persatuan Pemuda Kemang (Perpek).10
2. 5 Januari 2016, untuk menjalin silaturahmi, Jemaat Ahmadiyah di Sukabumi
menggelar acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Selain dihadiri Polres
Sukabumi, acara ini juga dihadiri Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
dan FOPULIS.11
3. 17 Januari 2016, tim Homeopati Ahmadiyah menggelar pengobatan gratis
bersama Viking Indramayu di Gadingan, Indramayu. Sekitar 115 pasien
berhasil diobati dalam acara ini.12
Dan masih banyak kegiatan sosial lainnya yang diselenggarakan JAI Jawa Barat
sebagai inisiatif demi terciptanya perdamaian antarumat beragama.
10
http://warta-ahmadiyah.org/humanity-first-indonesia-sukabumi.html 11
http://warta-ahmadiyah.org/jalin-silaturahmi-ahmadiyah-sukabumi-selenggarakan-maulid-nabi.html 12
http://warta-ahmadiyah.org/tim-homeopati-manislor-gandeng-suporter-persib-gelar-pengobatan-gratis.html
7
B.4. Tantangan dalam Mencapai Perdamaian
Seperti yang kita perkirakan bersama, banyak kendala dan tantangan bagi Jemaat
Ahmadiyah, khususnya di Jawa Barat untuk mewujudkan perdamaian, baik berupa
pengucilan, pengecaman, pelarangan atau pembatasan hak dalam melakukan
kegiatan mereka. Tantangan tersebut bukan hanya datang dari masyarakat sekitar,
atau dari ormas Islam setempat, sebagian justru datang dari pejabat pemerintahan,
baik itu Pemprov, Pemkot, hingga camat dan lurah. Beberapa di antaranya adalah:
1. Kementrian Agama Kabupaten Bogor mengundang semua kelompok agama
Islam yang diakui negara pada perayaan Hari Amal Bhakti (HAB) Kementerian
Agama ke-69 tingkat kabupaten Bogor, kecuali Ahmadiyah.13
2. Pada tanggal 3 Maret 2011, Gubernur Jawa Barat menandatangani peraturan
Gubernur Jawa Barat No.12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat
Ahmadiyah di Jawa Barat. Penandatanganan ini merupakan tindak lanjut dari
surat keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam
Negeri No.3 Tahun 2008, Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 dan Nomor 199 Tahun
2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau
Anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga
masyarakat.14
3. Ratusan warga Kabupaten Karawang, Jawa Barat, yang tergabung dalam
Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Pembela Islam (LPI) mendatangi kantor
pemerintah daerah setempat, mendesak tindakan tegas terhadap keberadaan
Jemaat Ahmadiyah di daerah tersebut. Mereka menuntut Pemkab Karawang
untuk melaksanakan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 12
tahun 2011 secara serius serta meminta Pemkab untuk tidak membiarkan
kegiatan Jemaat Ahmadiyah di Karawang.15
4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Ciamis meminta jamaah
Ahmadiyah menghentikan segala bentuk kegiatan di Mesjid Nur Khilafat,
Ciamis. Permintaan itu, disampaikan melalui surat yang ditandatangani Ketua
dan Sekretaris MUI Kabupaten Ciamis pada tanggal 23 April 2014.16
13
http://bogor.antaranews.com/berita/10649/kementerian-agama-ahmadiyah-tidak-ikut-hab-ke-69 14
http://www.ahmadheryawan.com/home/di-media-2/396-press-release-larangan-kegiatan-jemaat-ahmadiyah-di-
jawa-barat 15
http://www.arrahmah.com/read/2012/11/13/24692-fpi-karawang-desak-pemkab-hentikan-kegiatan-
ahmadiyah.html 16
http://sp.beritasatu.com/home/mui-ciamis-minta-jemaah-ahmadiyah-hentikan-kegiatan-di-masjid/53916
8
5. Penghentian kegiatan donor darah yang dilakukan jemaah Ahmadiyah di
Masjid An Nashir, Bandung oleh Kesbangpol-linmas Jawa Barat pada tanggal
25 Desember 2015.17
Dan masih banyak tantangan lain yang dihadapi Jemaat Ahmadiyah untuk
mencapai kedamaian. Kenyataan yang patut disayangkan di negeri ini, mengapa
begitu sulit mencapai kerukunan antarumat beragama, padahal sudah sangat jelas
tercantum dalam dasar Negara, sila ke-1 Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, juga dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Itu artinya
seluruh penduduk negeri ini bebas memilih agama menurut kepercayaannya masing-
masing. Bahkan orangtuanya sendiri pun tidak punya hak untuk memaksa seorang
anak mengikuti agama yang dia anut.
Seperti tujuan awal penulisan ini, memang perlu ada yang diteliti, dipahami,
dan dibenahi dalam sistem perdamaian di negeri ini. Indonesia adalah negara
mayoritas muslim, dimana Islam sangat menganjurkan kebaikan kepada sesama,
saling tolong-menolong, saling menghormati satu sama lain, dan tidak mengajarkan
kekerasan. Sedangkan pada kenyataannya, banyak oknum pelaku kekerasan dan
perusakan mengatasnamakan Islam dalam aksi-aksinya. Mereka meneriakkan
kalimah-kalimah “Allahu Akbar”, menamai itu dengan syi‟ar, jihad, dan lain
sebagainya, padahal jauh sekali dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Dalam acara dialog tersebut, salah seorang narasumber dari CSRC yaitu
Ahmad Gaus membacakan puisi karyanya yang berjudul “Para Penjahat atas Nama
Tuhan.” Saat itulah Entang Rasyid, salah satu pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia,
yang juga menjadi narasumber menitikkan bulir bening dari kelopak matanya, karena
terbawa ke dalam suasana puisi yang memang benar dirasakan begitu menyentuh
dan sekaligus menyentak.
Silahkan hayati puisi berikut ini;
Para Penjahat Atas Nama Tuhan
Oleh Ahmad Gaus
Di manakah Tuhan
ketika rumah-Nya diserang
dan dihancurkan?
17
https://es-la.facebook.com/PrabowoSubianto/posts/10151105442651179
9
Engkau tidak akan tahu arti sedih
sebelum kakimu tergelincir dan berdarah
ketika menyeru Tuhan di tengah jerit kesakitan
dalam kobaran api yang membakar
rumah-rumah ibadah.
Engkau tidak akan mengerti
apa artinya terbuang
sampai merasakan sendiri bagaimana
iman direndahkan.
Anak-anak dan perempuan berlari ketakutan
menunggu malaikat datang
membawa mereka terbang ke angkasa
bertemu dengan Tuhan yang bersemayam
di atas „aras.
Orang-orang tua bertanya
apakah Tuhan mereka telah binasa
dijebloskan ke dalam penjara?
Burung-burung gemetar
melihat orang-orang mengamuk
membawa senjata
batu dan parang.
Di manakah Tuhan
Ketika rumah-Nya disegel
dan dipagari kawat berduri?
Di negeri ini
iman dicurigai bagai sindikat
orang mau beribadah disamakan
dengan penjahat.
Di negeri ini
lebih mudah membuka panti pijat
daripada membuka rumah ibadat
orang mabuk difasilitasi
menyembah Tuhan dihalang-halangi.
Di negeri ini
orang mau beribadah dianggapmengganggu ketertiban umum
sementara para penjahat yang mengatasnamakan Tuhan
bebas berkeliaran sambil berteriak
Allahu akbar
serang! kejar! bunuh!
Allahu akbar
Setiap hari para pemimpin berpidatotentang Konstitusi
tapi di mana mereka bersembunyi
10
ketika orang yang berbeda keyakinan diteror
diinjak-injak?
Orang-orang dibiarkandianiaya di kampung mereka
menjadi pengungsi di negeri sendiri
hak hidup mereka direnggut
di hadapan para petinggi negeri.
Kemajemukan diancam
kebebasan disandera
orang-orang dengan pongahnya meringkus kebenaran
memaksakan kehendak dengan kekerasan.
Apakah Tuhan berduka
ketika umat-Nya terlunta-lunta?
Apakah Tuhan merasakan luka
melihat umat-Nya bertaburan isak tangis
dilempari genting dan pecahan kaca?
----000---
Ketika mendengar suara tangisan itu betapa hati kami ikut tersentuh dan prihatin
dengan keadaan ini. Bahkan, Ust. Maulana, pembicara dari Jemaat Ahmadiyah
mengatakan “Sesama muslim, tetapi mendapatkan perlakuan yang berbeda.” Dan
begitu mengagetkan saat kami mendengar ada kurang lebih 9 buku yang
mengatasnamakan MUI menfatwakan Ahmadiyah sesat dengan berbagai dampak
ikutan yang menyertainya, dimana para penyerang kerapkali, kalau bukan selalu,
merujuk pada fatwa-fatwa tersebut untuk membenarkan aksi-aksi kekerasannya.
C. Pondok Pesantren Al-Qur’an Babussalam
Upaya membangun sarana pendidikan berbasis Islam atau lebih dikenal dengan
sebutan “Pesantren” memang tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan.
Tantangan dan hambatan pasti menerjang, karena hal demikian merupakan
sunnatullaah (hukum alam) yang tidak dapat dihindari. Begitu pula yang dialami oleh
Pondok Pesantren Al-Qur‟an Babussalam.
Pondok Pesantren Al-Qur‟an Babussalam berdiri pada tanggal 12 Rabi‟ul Awwal
1401 H (18 Januari 1981 M) di Desa Ciburial, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat, Indonesia, di atas tanah wakaf seluas 500 m². Pondok ini
didirikan oleh K.H. Drs Muchtar Adam yang berasal dari Benteng, Kota Selayar,
Sulawesi Selatan. Pada dasarnya pesantren ini sangat mengedepankan sikap
menghargai heterogenitas mazhab dalam upaya mewujudkan nilai-nilai perdamaian,
11
dengan motto dakwah “Dakwah kedah kahartos sareng karaos”, maknanya dakwah
yang dilakukan harus bisa dipahami dan dirasakan oleh jamaah.
Pembangunan pesantren di kawasan Bandung Utara tersebut merupakan usaha
antisipatif terhadap gencarnya aksi kristenisasi dan usaha menyebarluaskan agama
Islam ke pelosok-pelosok yang belum tersentuh syiar Islam atau warganya masih
memiliki pengetahuan agama Islam yang rendah. Perlu dicatat bahwa mayoritas
warga di sekitar pesantren saat itu masih memeluk aliran kepercayaan.
Pada awalnya Kiai Muchtar Adam bercita-cita membangun pesantren di daerah
Ciburial saja. Namun dalam perkembangannya, atas izin Allah S.W.T, beliau dapat
membangun beberapa cabang di seluruh Indonesia antara lain di Selayar (Sulawesi
Selatan), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Alor (Nusa Tenggara Timur), dan Aceh Besar
(Aceh).
Satu hal yang menarik sebelum Kiai Muchtar Adam berhijrah ke kota Bandung 35
tahun silam, ayahnya yang merupakan tokoh Muhammadiyah kota Selayar, Tn. Adam
berpesan : “Jika dalam kurun waktu 2 tahun tidak ada fitnah maka kamu harus
tinggalkan daerah itu, tetapi jika dalam kurun waktu 2 tahun terdapat fitnah
kepadamu maka lanjutkanlah perjuanganmu disana.” Entah mengapa, agaknya Tn.
Adam telah mengetahui apa yang akan terjadi dengan perjuangan anaknya di tempat
hijrahnya. Belum genap 1 tahun, Pondok Pesantren Al-Qur‟an Babussalam --
terutama pemimpinnya K.H. Drs. Muchtar Adam -- sudah diterjang beragam fitnah.
Dalam kesempatan kunjungan dan dialog dengan beliau di aula pesantren, kami
mencatat hasil dialog tersebut terkait kasus konflik dan kekerasan yang menimpa
lembaga pendidikan Islam ini. Hasilnya, sebagian besar konflik yang terjadi di
lembaga ini terarah pada usaha individu/kelompok untuk menghancurkan lembaga ini
dengan usaha adu domba, fitnah, baik langsung maupun lewat media massa seperti
internet, majalah, selebaran, dan lain-lain yang terjadi hingga sekarang, antara lain:
Pada tahun 1982, pimpinan ponpes difitnah sebagai pengikut aliran Inkar
Sunnah (menolak hadis sebagai sumber hukum Islam).
Difitnah dan dituduh sebagai dukun, karena mampu mengobati pasien dengan
cukup memberikan doa pada air minum dengan izin Allah S.W.T, penyakit
para pasien sembuh setelah meminum air doa tersebut.
Difitnah sebagai mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), karena
beliau sempat ditugaskan oleh pemerintah untuk dakwah kepada para
tahanan PKI di Pulau Buru.
12
Difitnah mampu membangun pesantren dimana-mana karena mendapat
sumbangan dana dari kelompok JIL (Jaringan Islam Liberal).
Difitnah sebagai penganut aliran Syiah Rafidhah.
Difitnah sebagai petinggi organisasi IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait
Indonesia) yang merupakan organisasi induk kelompok Syiah.
Dll.
Adapun kekerasan yang dialami oleh lembaga ini ialah:
Para muballigh dan pegiat dakwah Babussalam mengalami tindakan
kekerasan seperti: tubuh mereka disundut api rokok yang menyala sehingga
menimbulkan luka bakar; intimidasi oleh parang, celurit, dsb., saat
melakukan dakwah karena terpengaruh oleh fitnah-fitnah yang ditujukan
kepada lembaga ini
Demikinlah beberapa kasus konflik dan kekerasan terhadap K.H. Drs. Muchtar
Adam dan Pondok Pesantren Al-Quran Babussalam yang dapat kami catat. Kejadian-
kejadian tersebut menjelaskan kepada kita bahwa lembaga ini mendapati perlakuan
yang tidak seharusnya terjadi di negeri yang menjunjung tinggi hukum ini.
D. Akar Penyebab Konflik
D.1. Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)
Perbedaan adalah salah satu hal yang menjadi pemicu adanya konflik di tengah
masyarakat. Sumber konflik kerapkali terjadi karena perbedaan iman (doktriner).
Setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran mereka yang paling benar.
Sumber lain yang memberikan sumbangsih terjadinya konflik adalah sikap mental
yang negatif seperti kesombongan religius, prasangka dan intoleran yang
menimbulkan ketegangan dan konflik. 18 Karl Marx dan Frederich Engles (1884)
menganggap bahwa konflik merupakan suatu proses terpenting dalam masyarakat
dengan terjadinya pertentangan klas (class truggle). 19 Pada kenyataannya konflik
sering terjadi karena kesenjangan sosial. 20 Dalam analisis Max Weber, konflik
18
Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hal. 154 19
Soerjono Soekamto, Teori Sosiologi Tentang Pribadi dalam Masyarakat (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981),
hal.7 20
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian dan Perbandingan (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hal.
147
13
dipahami sebagai pertentangan yang tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan budaya
manusia.21
Konflik dan kekerasan yang dialami oleh jemaat Ahmadiyah tiada lain disebabkan
oleh perbedaan pandangan dengan warga mayoritas (Muslim Sunni). Padahal kita
selalu disuguhi doktrin bahwa dalam Islam perbedaan atau ikhtilaf adalah hal yang
biasa, bahkan merupakan rahmat. 22 Akan tetapi jika ikhtilaf dihadapkan dengan
orang-orang yang masih awam yang lebih mengedepankan emosi daripada akal dan
hati nurani, maka ia tidak akan menjadi rahmat melainkan laknat. Ya, inilah yang
terjadi pada sebagian masyarakat dalam menyikapi Ahmadiyah beberapa tahun
terakhir. JAI menyayangkan maraknya peredaran buku-buku dan media yang
menyudutkan Ahmadiyah, karena sedikit banyak hal itu menjadi pemicu
kesalahpahaman yang kelak menimbulkan konflik dan kekerasan terhadap mereka.
Secara umum terdapat dua masalah yang muncul di benak warga non-
Ahmadiyah dalam menyikapi doktrin kenabian Mirza Ghulam Ahmad (Pendiri
Ahmadiyah) yang tidak dapat dipahami oleh warga non-Ahmadiyah. Ahmadiyah
membagi pandangan kenabian menjadi dua: Nabi yang membawa syariat, yaitu
Muhammad SAW, dan Nabi yang mengikuti Nabi Muhammad SAW, yaitu Hazrat Mirza
Ghulam Ahmad.23 Tentunya pandangan seperti ini sangat berbeda dengan pandangan
kaum muslim Sunni yang meyakini Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat tetapi
menolak adanya nabi yang mengikuti kenabian Muhammad SAW (seperti Mirza
Ghulam Ahmad). Sebagian besar muslim Sunni menyorot tajam kenabian Mirza
Ghulam Ahmad, akan tetapi pandangan bahwa Nabi Muhammad SAW diyakini sebagai
nabi yang harus diimani oleh jemaah Ahmadiyah, cenderung tidak diketahui oleh
sebagian besar warga non-Ahmadiyah. Faktor inilah yang menyebabkan lahirnya
pandangan dan fatwa keagamaan yang memberi label sesat pada Ahmadiyah.24
Dalam dialog bersama Ahmadiyah sebagai bentuk tabayyun, para pengurus JAI
memberi klarifikasi sebagaimana disampaikan oleh Sdr. Maulana (Muballigh JAI Jawa
Barat): “Hazrat Mirza Ghulam Ahmad adalah sosok orang yang taat dan cinta kepada
Allah SWT dan Muhammad SAW, bahkan dirinya melambangkan laksana debu yang
ada di baju Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan kepada kita bahwa sosok Mirza
Ghulam Ahmad adalah orang yang taat dan cinta kepada Nabi Muhammad SAW,”
ujarnya.
21
L. Leayendecker, Tata Perubahan dan Ketimpangan, Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1983), hal. 324 22
Al-Hamid Jakfar Al-Qadri, Bijak Menyikapi Perbedaan Pendapat (Jakarta: Mizan Pustaka, 2012), hal. 21. 23
Zuhairi Misrawi, “Kata Pengantar”,dalam Munhirul Islam Yusuf & Ekky O. Sabandi, Ahmadiyah Menggugat
(Mubarak Publishing, 2011), hal. viii. 24
Ibid.
14
Selain anggapan-anggapan tersebut masih terdapat beberapa doktrin Ahmadiyah
yang sudah menjadi rahasia umum seperti, syahadat Ahmadiyah berbeda dengan
warga muslim lainnya, menunaikan ibadah haji dan umrah ke Qadian, India (tempat
kelahiran Mirza Ghulam Ahmad), meyakini kitab suci selain al-Qur‟an, dll. Setelah
melakukan dialog dengan para pengurus JAI Jawa Barat, dapat disimpulkan bahwa
apa yang dituduhkan kepada Ahmadiyah selama ini tidak sesuai dengan kenyataan.
Mengenai munculnya beragam bentuk kekerasan yang menimpa jemaah Ahmadiyah,
menurut Sdr. Maulana, karena pemerintah dan aparat penegak hukum cenderung
bersikap “acuh tak acuh” dalam menanggapi kekerasan yang dialami oleh jemaah
Ahmadiyah, sehingga memicu timbulnya konflik dan kekerasan lebih lanjut.
Kami menarik kesimpulan bahwa sebagian masyarakat belum dapat menanggapi
informasi yang diterima atau menelan bulat-bulat informasi yang diterima tanpa
mempertimbangkan kevalidannya sehingga dengan mudah terprovokasi dalam
menyikapi hal tersebut dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan
prinsip demokrasi. Selain itu, kecenderungan aparat penegak hukum di negeri ini
yang bersikap lambat, bahkan abai atau membiarkan terjadinya kekerasan, menyulut
terjadinya kekerasan yang lebih besar dan bersifat massif. Kiranya inilah yang
menjadi akar dari konflik dan kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)
Jawa Barat.
D.2. Pondok Pesantren Al-Qur’an Babussalam
Adapun akar penyebab konflik terhadap Pondok Pesantren Babussalah ialah tuduhan-
tuduhan negatif terhadap lembaga ini. Namun analisa lebih jauh menunjukkan bahwa
tuduhan tersebut tiada lain ialah bentuk iri hati belaka, baik dari individu maupun
kelompok yang tidak menyukai perkembangan dan kemajuan lembaga ini. Mereka
kemudian mencari cara untuk menghancurkan reputasi Babussalam dengan cara
seperti adu domba, fitnah, dsb. Lagi-lagi sebagian besar masyarakat dengan
mudahnya menerima dan percaya dengan fitnah dan tuduhan-tuduhan tersebut tanpa
disertai pembuktian.
E. PELANGGARAN HAM YANG TERJADI
E.1. Bentuk Pelanggaran HAM
Berdasarkan analisa terhadap kasus-kasus yang merebak terkait konflik dan
kekerasan yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesai (JAI) dan Pondok
15
Pesantren Al-Quran Babussalam, kami menemukan adanya pelanggaran-pelanggaran
yang berkaitan dengan prisnip HAM antara lain:
E.1.2. Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)
Perusakan rumah tinggal
Perusakan rumah ibadah dan tempat menuntut ilmu
Mengganggu ketentraman warga sekitar
Pembunuhan dan penyiksaan terhadap warga Ahmadiyah
Dll.
E.1.3. Pondok Pesantren Al-Qur’an Babussalam
o Pencemaran nama baik
o Perlakuan tidak menyenangkan
o Dll.
F. Akibat dan Dampak yang Ditimbulkan Pasca Peristiwa
Kasus-kasus konflik dan kekerasan yang menimpa para korban telah menimbulkan
dampak dan akibat yang kadang tak terduga di pihak korban. Kami mencatat
sejumlah dampak dan akibat yang dialami oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan Pondok Pesantren Al-Qur‟an Babussalam:
F.1. Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)
Trauma yang mendalam
Kerusakan tempat tinggal dan rumah ibadah
Timbulnya korban jiwa
Dll
F.2. Pondok Pesantren Al-Quran Babussalam
Berkurangnya jamaah pesantren
Berkurangnya donatur
Keluarnya sejumlah santri
Tertutupnya ruang dakwah mubaligh Babussalam karena mendapat berbagai
penolakan akibat fitnah yang dituduhkan
Dll
16
G. Tantangan dan Problem yang Dihadapi
Upaya melakukan klarifikasi dan pemulihan nama baik tidak mudah dilakukan
oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Jawa Barat dan Pondok Pesantren Al-Qur‟an
Babussalam karena ekspose informasi-informasi yang menyimpang tidak mudah
diluruskan. Selain itu, sejumlah tantangan dan problem menghadang di depan mata
dan butuh penyelesaian yang arif serta cermat. Kami mencatat beberapa problem
yang dihadapi oleh kedua lembaga ini karena memiliki kesamaan yaitu:
Kecaman dari pihak lain
Intimidasi
Pengusiran
Pengucilan
Dipandang sebelah mata
Kecenderungan masyarakat mudah terprovokasi
Dll.
Faktor-faktor inilah yang dirasakan kedua lembaga dan sekaligus menjadi
kendala yang menghambat proses perdamaian dalam jangka panjang.
H. Inisiatif Perdamaian dan Resolusi Konflik
H.1. Jemaah Ahmadiyah indonesia (JAI)
Melaporkan kasus-kasus tersebut kepada aparat penegak hukum
Melaporkan kasus tersebut kepada KOMNAS HAM
Melakukan pendekatan kepada ormas-ormas toleran seperti Nahdhatul Ulama
dan Muhammadiyah
Aktif dalam mengadakan kegiatan sosial seperti pengobatan gratis dll.
Tidak pernah mengganggu kelompok\aliran lain
Dll
H.2. Pondok Pesantren Al-Qur’an Babussalam
Gencar melakukan dakwah bil hikmah kepada masyarakat luas dengan
menyisipkan semangat perdamaian dan lebih menghargai perbedaan dalam
rangka ukhuwah Islamiyah.
Mengedepankan sikap akhlakul karimah dalam berinteraksi dengan siapa pun,
khususnya lingkungan masyarakat sekitar.
17
Melakukan inisiatif damai dengan mengadakan open house. Siapa saja boleh
datang untuk mengetahui lebih dalam tentang Ponpes Babussalam. Ada orang
yang sengaja ikut sholat berjamaah dilingkungan Ponpes Babussalam. Ada juga
yang sengaja menginap di pesantren sampai 1 minggu untuk mengetahui lebih
dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh warga pesantren. Setelah orang-
orang yang penasaran ini ikut dalam kegiatan pesantren, mereka menyimpulkan
bahwa Ponpes Babussalam tidak seperti isu yang beredar di masyarakat. Mereka
tidak sedikit pun menemukan kejanggalan-kejanggalan seperti yang dikatakan
orang-orang di luar sana.
I. REKOMENDASI
Menanggapi berbagai konflik sebagaimana diuraikan di atas, kami merekomendasikan
beberapa langkah inisiatif dan upaya yang dapat ditempuh menuju perdamaian
sebagai berikut:
Setiap warga negara hendaknya memahami arti Hak Asasi Manusia (HAM)
secara lebih mendalam, bahwa setiap manusia di dunia ini berhak melakukan
apapun sesuai kehendaknya, selama itu tidak mengganggu dan merugikan
orang lain. Bayangkanlah bagaimana bila diri kita sendiri yang berada di posisi
sebagai korban, apa yang akan kita rasakan?
Serahkan dan percayakan semua urusan hukum kepada pihak yang berwajib
yang telah dibentuk negara untuk menjamin keamanan dan ketertiban negeri
ini. Perlakuan “main hakim sendiri” bukanlah perilaku yang baik untuk diri kita
sendiri maupun orang lain. Dan untuk penegak hukum hendak bersikap tegas
dan adil dalam menghadapi kasus-kasus yang menjurus pada kekerasan
sosial karena dampaknya sangat besar dan menimbulkan trauma pada
korban.
Kaum Muslim hendaknya memahami arti dakwah dan perjuangan yang
dilakukan Rasulullah SAW yang penuh dengan hikmah dan kebijakan. Rasul
tidak mengajarkan kekerasan, dan Islam sendiri sebagai agama merupakan
“Rahmatan lil „Alamin”, rahmat bagi seluruh alam. Mari wujudkan kata-kata
itu, dengan benar-benar menjadi penyebar kasih sayang kepada seluruh umat
beragama di dunia ini.
Toleransi dan sikap saling menghormati perbedaan harus dijunjung tinggi
sebab perbedaan merupakan realitas sosial yang tidak akan menghilang dari
dunia ini selama bumi masih dihuni oleh manusia. Dan yang lebih penting
18
lagi, mari menjadikan perbedaan sebagai rahmat, sebagaimana pesan Nabi
Muhammad SAW: ikhtilafu ummati rahmatun.
Secara khusus kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) hendaknya
memperbaharui legalitas dan pengakuan lembaga. Dengan demikian, JAI
dapat memohon perlindungan kepada negara bilamana terjadi pelanggaran
terhadap lembaganya.
JAI juga perlu meningkatkan aktivitasnya dalam berbagai kegiatan sosial,
untuk menumbuhkan kepercayaan kepada masyarakat bahwa Jemaat
Ahmadiyah bukanlah lembaga tertutup dan anti-sosial; mempublikasikan
penjelasan-penjelasan mengenai faham-faham yang dianut oleh Ahmadiyah
melalui penerbitan buku, seminar, atau pertemuan dengan para tokoh agama,
masyarakat, dan komponen-komponen bangsa lainnya.
JAI hendaknya merintis dan melaksanakan kerjasama dengan lembaga-
lembaga lain, baik itu lintas agama, lintas suku, budaya, dan lain sebagainya,
untuk menumbuhkan kepercayaan lembaga-lembaga lain agar tidak terjadi
kontra-persepsi antar lembaga.
---------00000--------
Recommended