View
252
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BADAN KETAHANAN PANGAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
LAPORAN KINERJA
PUSAT KETERSEDIAAN DAN KERAWANAN PANGAN
TAHUN 2016
Laporan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan
(BKP) Kementerian Pertanian, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan telah
menyelenggarakan fungsinya dalam : (1) Penyiapan koordinasi di bidang peningkatan
ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan;
(2) Pengkajian di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta
penurunan kerawanan pangan; (3) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang
peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan
pangan; (4) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan
akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (5) Pelaksanaan pemantapan di
bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan
kerawanan pangan; (6) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan
kerawanan pangan; (7) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan
pangan; (8) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang
peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan
pangan.
Mengacu visi, misi, arah, dan kebijakan BKP Kementerian Pertanian, disusun Visi
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 2015-2019, yaitu: “Pemantapan
ketersediaan pangan dan penurunan kerawanan pangan berbasis sumberdaya
lokal untuk mewujudkan peningkatan kedaulatan pangan.”
Untuk mencapai visi di atas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
mengemban misi, yaitu: (1) Membangun koordinasi yang sinergi dan efektif untuk bahan
perumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan
pangan, (2) Memantapkan ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya
local, (3) Memantapkan penurunan kerawanan pangan, (4) Membangun model-model
pengembangan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan secara
partisipatif dan transparan, (5)Membangun kapasitas aparatur dan sumberdaya
manusia pertanian
Sebagai penjabaran visi dan misi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,
maka tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Menyusun dan menganalisis bahan rumusan
kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan , (2)
Meningkatkan penyediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal, (3)
Menurunkan persentase jumlah penduduk rawan pangan, (4) Mengembangkan desa
dan kawasan mandiri pangan, (5) Meningkatkan kualitas kinerja aparatur dan
sumberdaya manusia pertanian.
Berdasarkan visi, misi, dan tujuan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,
serta mengakomodasi berbagai perubahan yang terjadi di lingkup Badan Ketahanan
Pangan, disusun rencana kerja tahunan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Tahun 2016 dengan sasaran strategis yang hendak dicapai, yaitu : (1) Tersedianya
Laporan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan ii
bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan
pangan, (2) Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya
lokal; (3)Menurunnya persentase penduduk rawan pangan; (4) Berkembangnya desa
dan kawasan mandiri pangan; (5) Meningkatnya kualitas kinerja aparatur dan
sumberdaya manusia pertanian.
Meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan,
yang diukur dengan indikator kinerja: (1) Analisis Neraca Bahan Makanan sebanyak 34
laporan; (2) Sistem kewaspadaan pangan dan gizi pada 35 lokasi; (3) Kajian responsif
dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan sebanyak 1 judul; (4) Peta
ketahanan dan kerentanan pangan sebanyak 1 peta; (5) Kawasan mandiri pangan pada
187 kawasan; (6) Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan pada 33 lokasi; (7)
Pemberdayaan petani kecil dan gender pada 33.600 KK; (8) Dukungan produksi
pertanian dan pemasaran pada 26.880 KK; (9) Pengembangan rantai nilai tanaman
perkebunan pada 224 desa; (10) Dukungan manajemen dan administrasi SOLID
sebanyak 12 bulan layanan.
Tujuan dan sasaran strategis tersebut dicapai melalui Kebijakan ketahanan
pangan dalam aspek ketersediaan dan kerawanan pangan yang diarahkan untuk: (a)
Peningkatan ketersediaan pangan yang beraneka ragam berbasis potensi sumber daya
lokal; dan (b) Memantapkan penanganan kerawanan pangan untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin dan kelaparan.
Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan
pangan dan penanganan rawan pangan, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran
sebesar Rp.250.064.227.000,00 telah direalisasikan sebesar Rp. 228.991.719.899,00
atau 91,57 persen yang dilaksanakan melalui Satker BKP Kementerian Pertanian, untuk
kegiatan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan sebesar Rp. 17.524.834.000,00
telah direalisasikan sebesar Rp 13.237.639.642,00 atau 75,54 persen dan di daerah
sebesar Rp. 233.577.267.000,00 telah terealisasi sebesar Rp. 216.669.974.442,00 atau
92,76 persen.
Dalam hal akuntabilitas keuangan, laporan baru dapat menginformasikan realisasi
penyerapan anggaran, dan belum dapat menginformasikan adanya efisiensi
penggunaan sumberdaya. Hal ini diakibatkan oleh sistem penganggaran yang belum
sepenuhnya berbasis kinerja, sehingga salah satu komponen untuk mengukur efisiensi,
yaitu standar analisis biaya belum ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan iii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN EKSEKUTIF i
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
KATA PENGANTAR vi
BAB
I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tugas Fungsi dan Struktur Organisasi 1
II PERENCANAAN KINERJA 4
2.1 Rencana Strategis
1. Visi
2. Misi
3. Tujuan
4. Sasaran Strategis
5. Cara Pencapaian Tujuan dan Sasaran
6. Program
7. Rencana Kinerja Tahun 2016
4
4
4
4
5
5
6
8
III AKUNTABILITAS KINERJA 10
3.1 Capaian Kinerja 10
3.2 Realisasi Anggaran 20
3.3 Hasil Kinerja Tahun 2016 23
3.4 Capaian Kinerja Lainnya
3.5 Dukungan Instansi Lain
60
62
IV Penutup
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
64
64
65
LAMPIRAN
66
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan iv
Lampiran
Pernyataan Penetapan Kinerja Tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Formulir Penetapan Kinerja Tingkat Unit Organisasi Eselon II Kementerian/Lembaga
Matriks Rencana Aksi Pencapaian Kinerja Berdasarkan PK Triwulan I-IV Tahun 2016
Matriks Target dan Realisasi Capaian Kinerja Berdasarkan PK Triwulan I-IV Tahun 2016
Indikator, Definisi dan Sumber Data FSVA Kabupaten 2016
Tabel Perbandingan Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan v
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1 Penetapan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun
Anggaran 2016 9
2 Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016 11
3 Perbandingan Realisasi Kinerja dan Capaian Kinerja Tahun 2012-2016 14
4 Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 21
5 Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Daerah
22
6 Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Pusat dan Daerah
23
7 Perkembangan Dana Bansos/Banper dan Realisasi Kawasan Mandiri
Pangan Tahun 2013-2016 24
8 Jumlah Sampel Per Provinsi Berdasarkan Kapasitas Penggilingan 53
9 Tingkat Rendemen Penggilingan Sampel
55
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan vi
KATA PENGANTAR
Laporan Kinerja (LAKIN) ini disusun sebagai pertanggung jawaban atas
pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,
Badan Ketahanan Pangan selama menjalankan tugas-tugas kedinasan dan
dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar prestasi yang telah dicapai.
Melalui LAKIN ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada semua pihak
yang berkepentingan mengenai kinerja Pusat ketersediaan dan Kerawanan Pangan
yang telah dicapai dalam Tahun 2016. Terkait dengan hal itu diharapkan adanya
masukan-masukan sebagai umpan balik yang bermanfaat dan alternatif pemecahan
masalah-masalah yang dihadapi, yang semuanya mengarah pada peningkatan kinerja
aparat.
Kami menyadari bahwa laporan ini belum sepenuhnya sempurna, karena itu
saran konstruktif untuk pelaksanaan tugas dimasa mendatang sangat diharapkan.
Semoga laporan ini bermanfaat bagi peningkatan kinerja Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan.
Jakarta, Januari 2017
Kepala Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Dr. Benny Rachman, APU
NIP. 19590210 198603 1001
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan merupakan salah satu unit kerja Eselon II pada
Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor
43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Pertanian. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mempunyai tugas
melaksanakan koordinasi, pengkajian, penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan pangan. Sesuai dengan Instruksi
Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,
mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan negara
untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan
pengelolaan sumberdaya, pelaksanaan kebijakan, dan program dengan menyusun laporan
akuntabilitas melalui proses penyusunan rencana strategis, rencana kinerja, dan pengukuran
kinerja. Sehubungan dengan Inpres tersebut, setiap penyelenggara negara dan pemerintah
wajib melaporkan akuntabilitas kinerjanya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya
sehingga terjadi sinkronisasi antara perencanaan ideal yang direncanakan dengan keluaran
dan manfaat yang dihasilkan.
Untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pemberi mandat dan
publik) tentang visi dan misi, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, serta tingkat capaian
sasaran tersebut melalui program dan kegiatan yang telah ditetapkan, maka disusun Laporan
Akuntabilitas Kinerja (LAKIN) Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016.
LAKIN disusun sebagai : (1) pertanggungjawaban Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan dalam melaksanakan program dan kegiatannya selama tahun 2016; (2) untuk
mengetahui tingkat pencapaian atau keberhasilan program dan kegiatan yang dilakukan oleh
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan; (3) bahan untuk mengevaluasi kinerja Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016, termasuk permasalahan, penyelesaian
permasalahan dan saran masukan serta perbaikan kinerja Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan di masa datang.
1.2 Tugas Fungsi dan Struktur Organisasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, pengkajian, penyiapan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 2
pangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
menyelenggarakan fungsi :
1. penyiapan koordinasi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta
penurunan kerawanan pangan;
2. pengkajian di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan
kerawanan pangan;
3. penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses
pangan serta penurunan kerawanan pangan;
4. pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan
serta penurunan kerawanan pangan;
5. pelaksanaan pemantapan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan
serta penurunan kerawanan pangan;
6. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang peningkatan ketersediaan
pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan;
7. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan
akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; dan
8. pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan
ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan terdiri atas :
1. Bidang Ketersediaan Pangan terdiri dari Subbidang Analisis Ketersediaan Pangan dan
Subbidang Sumberdaya Pangan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan
koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemantapan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis, pemantauan,
dan evaluasi di bidang peningkatan ketersediaan pangan;
2. Bidang Akses Pangan terdiri dari Subbidang Analisis Akses Pangan dan Subbidang
Pengembangan Akses Pangan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan
koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemantapan, penyusunan
norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis, pemantauan,
dan evaluasi di bidang akses pangan;
3. Bidang Kerawanan Pangan terdiri dari Subbidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan
Kerawanan Pangan dan Subbidang Mitigasi Kerawanan Pangan yang mempunyai tugas
melaksanakan penyiapan koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan,
pemantapan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian
bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi di bidang penurunan kerawanan pangan;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 3
4. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri atas jabatan fungsional Analis Ketahanan Pangan,
dan dikoordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang ditunjuk Kepala Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. Tugasnya melakukan kegiatan sesuai dengan
jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan tugas dan fungsinya, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada Tahun
Anggaran 2016 telah berupaya mengoptimalkan tugas dan fungsinya melalui dukungan
sumberdaya manusia baik teknis maupun non teknis. Adapun dukungan sarana/prasarana
lainnya berupa biaya, data/informasi, alat pengolah data/komputer, dana khususnya dalam
melaksanakan pemantauan, pengkajian, dan perumusan kebijakan ketahanan pangan. Data
pendukung yang terkait diantaranya adalah data statistik (penduduk, statistik pertanian,
konsumsi/Susenas, status gizi, kemiskinan, industri, ekspor/impor, stok pangan, dan lain-lain)
secara series, serta data primer dan sekunder dari instansi terkait yang ada di pusat dan
daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 4
BAB II
PERENCANAAN KINERJA
2.1 Rencana Strategis
Penyusunan LAKIN Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengacu pada Renstra
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2015-2019. Renstra yang disusun Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan untuk melaksanakan program dan kegiatan,
berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan sebagai berikut :
1. Visi
Visi merupakan suatu gambaran tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan
citra yang ingin diwujudkan. Visi adalah suatu harapan dan tujuan yang akan dicapai,
dalam mencapai visi tersebut memerlukan waktu yang panjang dan kerja keras, karena
akan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan pertanian khususnya pembangunan
ketahanan pangan.
Untuk itu, visi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tahun 2015-2019, yaitu :
“Pemantapan ketersediaan pangan dan penurunan kerawanan pangan berbasis
sumberdaya lokal untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kemandirian
pangan.”
2. Misi
Untuk mencapai visi di atas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
mengembangkan misi dalam tahun 2015 - 2019, yaitu :
a. Membangun koordinasi yang sinergi dan efektif untuk bahan perumusan kebijakan
peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan
b. Memantapkan ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal
c. Memantapkan penurunan kerawanan pangan
d. Memantapkan akses pangan masyarakat
e. Membangun model-model pengembangan ketersediaan, akses dan penurunan
kerawanan pangan secara partisipatif dan transparan
f. Membangun kapasitas aparatur dan sumberdaya manusia pertanian
3. Tujuan
Sebagai penjabaran visi dan misi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, maka
tujuan yang ingin dicapai adalah :
a. Menyusun dan menganalisis bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan,
akses dan penurunan kerawanan pangan;
b. Meningkatkan penyediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal;
c. Menurunkan persentase jumlah penduduk rawan pangan;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 5
d. Mengembangkan Desa dan Kawasan Mandiri Pangan;
e. Meningkatkan kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian.
4. Sasaran Strategis
Sasaran strategis merupakan indikator kinerja dalam mencapai tujuan yang hendak
dicapai. Sasaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tahun 2015-2019 adalah:
a. Tersedianya bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan
penurunan kerawanan pangan;
b. Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal;
c. Menurunnya persentase penduduk rawan pangan;
d. Berkembangnya Desa dan Kawasan Mandiri Pangan;
e. Meningkatnya kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian.
5. Cara Pencapaian Tujuan dan Sasaran
Tujuan dan sasaran strategis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tersebut,
ditempuh melalui strategi, kebijakan, program, dan kegiatan sebagai berikut :
a. Strategi
Memperhatikan strategi Badan Ketahanan Pangan yang meliputi : (1)
Memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk
meningkatkan produksi pangan domestik, menyediakan lapangan kerja dan
meningkatkan pendapatan masyarakat; (2) Pemenuhan pangan bagi kelompok
masyarakat terutama masyarakat miskin kronis dan transien (akibat bencana alam,
sosial, ekonomi) melalui pendistribusian bantuan pangan; (3) Pemberdayaan
masyarakat supaya mampu memanfaatkan pangan beragam, bergizi, seimbang dan
aman (B2SA) berbasis sumber daya dan kearifan lokal; (4) Promosi dan edukasi
kepada masyarakat untuk memanfaatkan pangan B2SA berbasis sumber daya lokal;
dan (5) Penanganan keamanan pangan segar.
Adapun strategi yang akan ditempuh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
2015-2019 untuk peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan pangan
meliputi:
1) Memobilisasi dan mengoptimalkan sumberdaya dan kemampuan (experties)
yang ada (birokrasi, masyarakat, dan pakar setempat);
2) Memobilisasi sumberdaya (alam, finansial, sosial, teknologi) - daerah dan
masyarakat;
3) Memanfaatkan bantuan teknis dari negara-negara asing dan lembaga
internasional.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 6
Strategi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dalam pengembangan
ketersediaan dan penanganan rawan pangan diimplementasikan melalui langkah-
langkah operasional sebagai berikut :
(a) Penguatan Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi (SKPG);
(b) Analisis ketahanan dan kerentanan pangan wilayah;
(c) Kajian ketersediaan, akses dan kerawanan pangan;
(d) Model Desa dan Kawasan Mandiri Pangan;
(e) Peningkatan kapasitas aparat;
(f) Menggerakkan berbagai komponen masyarakat dan pemerintah untuk
memobilisasi sumber daya untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga
dan masyarakat.
b. Kebijakan
Kebijakan ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dan kerawanan pangan
difokuskan pada :
1) Peningkatan ketersediaan pangan yang beraneka ragam berbasis potensi
sumber daya lokal; dan
2) Memantapkan penanganan kerawanan pangan untuk mengurangi jumlah
penduduk miskin dan rawan pangan.
6. Program
Program yang dilaksanakan oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada tahun
2015–2019 sesuai dengan program Badan Ketahanan Pangan tahun 2015-2019 yaitu
“Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat”.
Dalam rangka mencapai sasaran program Badan Ketahanan Pangan tersebut, sasaran
program yang hendak dicapai oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan adalah
pengembangan model-model peningkatan ketersediaan dan penanganan kerawanan
pangan. Hal ini dilakukan dengan menggerakkan berbagai komponen masyarakat dan
pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat untuk memobilisasi,
memanfaatkan, dan mengelola aset setempat (sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
sumberdaya finansial, sumberdaya fisik/teknologi serta sumberdaya sosial) untuk
meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga dan masyarakat, dengan kegiatan
strategis yang terdiri dari :
a. Penguatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, adalah kegiatan yang
dilakukan untuk pencegahan dan penanggulangan terjadinya bencana rawan pangan
kronis dan transien. Penanganan kerawanan pangan kronis dilakukan dengan
penerapan instrumen Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), melalui tahap
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 7
pengumpulan data, analisis, pemetaan, investigasi dan intervensi. Sedangkan untuk
penanganan kerawanan pangan transien dilakukan melalui investigasi dan intervensi.
b. Model Kawasan Mandiri Pangan, merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat
miskin yang mempunyai potensi komoditas unggulan di kawasan rawan pangan,
khususnya di wilayah kepulauan dan perbatasan, untuk mewujudkan ketahanan
pangan masyarakat dengan pendekatan penguatan kelembagaan masyarakat,
pengembangan sistem ketahanan pangan dan koordinasi lintas sektor, selama empat
tahun secara berkesinambungan. Model kawasan mandiri pangan merupakan
pengembangan kegiatan desa mandiri pangan yang telah dilaksanakan sebelumnya.
c. Analisis ketahanan dan kerentanan pangan wilayah (Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan/Food Security and Vulnerability Atlas, FSVA), adalah
kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan informasi bagi pengambil keputusan
dalam perencanaan program, penentuan sasaran/lokasi, penanganan kerawanan
pangan dan gizi di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan dan desa.
d. Kajian ketersediaan, akses dan kerawanan pangan, adalah kegiatan dalam
rangka penyediaan data dan informasi serta hasil analisis, secara berkala dan
berkelanjutan untuk perumusan kebijakan dan program ketersediaan, rawan pangan
dan akses pangan, antara lain melalui pemantauan ketersediaan pangan,
sinkronisasi sub sektor dan lintas sektor, penyusunan neraca bahan makanan,
penyusunan dan analisis sumberdaya pangan, monitoring dan analisis situasi akses
pangan, pengembangan akses pangan, penyebarluasan informasi ketersediaan,
kerawanan dan akses pangan.
e. Peningkatan kapasitas aparat, adalah rangkaian kegiatan untuk meningkatkan
kemampuan apparat dalam metode pengumpulan, pengolahan, dan analisis data
serta evaluasi kegiatan dalam pelaksanaan pemantauan produksi, penanggulangan
rawan pangan, pengembangan akses pangan bagi aparat di daerah dan pusat.
Indikator sasaran output kegiatan pengembangan ketersediaan pangan dan penanganan
daerah rawan pangan pada tahun 2016 adalah : (a) Hasil analisis ketersediaan pangan
34 laporan; (b) Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 35 lokasi;
(c) Hasil kajian responsif dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan 1 judul;
(d) Hasil Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 1 peta FSVA;
(e) Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan di 188 kawasan; (f) Hasil pemantauan
ketersediaan, akses dan kerawanan pangan 33 lokasi; (g) pemberdayaan petani kecil dan
gender di 33.600 KK; (h) Pengembangan Kepala Keluarga yang mendukung produksi
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 8
pertanian dan pemasaran 26.880 KK; (i) Desa yang mengembangkan rantai nilai
tanaman perkebunan 224 desa; (j) Kelancaran dukungan manajemen dan administrasi
SOLID 12 bulan layanan.
7. Rencana Kinerja Tahun 2016
Rencana kinerja pada tahun 2016 merupakan implementasi rencana jangka menengah
yang dituangkan kedalam rencana kerja jangka pendek, yang mencakup tujuan, sasaran
kegiatan dan indikator kinerja berikut :
a. Sasaran Kinerja Tahun 2016
Berdasarkan visi, misi dan tujuan strategis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan Tahun 2016 yang masih mengacu pada Renstra Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan Tahun 2015-2019, serta mengakomodasi berbagai perubahan
yang terjadi di lingkup Badan Ketahanan Pangan, disusun sasaran strategis Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 yang hendak dicapai, dengan
indikator kinerja sebagai berikut :
1) Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan Pangan 34 Laporan
2) Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 35 Lokasi
3) Jumlah Hasil Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan 1 Judul
4) Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 1 Peta FSVA
5) Jumlah Kawasan Mandiri Pangan 188 kawasan
6) Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan, Akses dan Kerawanan Pangan 33
lokasi
7) Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender 33.600 KK
8) Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran26.880 KK
9) Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan 224 Desa
10) Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID 12 bulan layanan
b. Penetapan Kinerja
Sebagai tindaklanjut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian
Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi
Pemerintah, Badan Ketahanan Pangan telah menyusun Penetapan Kinerja (PK)
Tahun 2016 sebagai acuan tolok ukur evaluasi akuntabilitas kinerja yang akan
dicapai pada tahun 2016, sebagai berikut :
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 9
Tabel 1. Penetapan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Tahun 2016
Unit Organisasi Eselon II : Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Tahun Anggaran : 2016
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target
(1) (2) (3)
1. Meningkatnya pemantapan ketersediaan
dan penanganan rawan pangan
1. Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan Pangan
2. Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gizi 3. Jumlah Hasil Kajian Responsif dan
Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan 4. Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan
5. Jumlah Kawasan Mandiri Pangan 6. Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan,
Akses dan Kerawanan Pangan
7. Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender
8. Jumlah KK yang mendukung produksi
pertanian dan pemasaran 9. Jumlah desa yang mengembangkan
rantai nilai tanaman perkebunan
10. Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID
34 Laporan 35 Lokasi
1 Judul
1 Peta FSVA
188 kawasan 33 lokasi
33.600 KK
26.880 KK 224 Desa
12 Bulan Layanan
Jumlah Anggaran :
Kegiatan Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan
Pangan sebesar Rp. 250.064.227.000,--
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 10
BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA
3.1 Capaian Kinerja
Sasaran program dan kegiatan yang dilaksanakan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan yang digunakan pada tahun 2016 mengacu pada sasaran yang telah disusun pada
Rencana Strategis (Renstra), Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Penetapan Kinerja (PK), serta
mengikuti perubahan kebijakan dan lingkungan strategis Badan Ketahanan Pangan
Kementerian Pertanian. Berdasarkan Indikator Kinerja Utama Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan telah ditetapkan satu sasaran strategis, yaitu meningkatnya pemantapan
ketersediaan dan penanganan rawan pangan. Sasaran tersebut selanjutnya diukur dengan
menggunakan 8 (delapan) indikator kinerja. Pengukuran tingkat capaian kinerja Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 dilakukan dengan cara :
1. Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016
Capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dapat dilihat dari realisasi
kinerja yang telah dilakukan selama satu tahun terhadap target yang telah disusun dalam
penetapan kinerja (Renstra). Perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2. Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja Target Realiasi % Capaian Kinerja
1 2 3 4 5
Meningkatnya pemantapan ketersediaan dan penanganan rawan pangan
1. Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan Pangan
2. Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
3. Jumlah Hasil Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
4. Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
5. Jumlah Kawasan Mandiri Pangan (Papua dan Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang diberdayakan)
34 Laporan 35 Lokasi 1 Judul 1 Peta FSVA 107 kawasan
34 Laporan 35 Lokasi 1 Judul 1Peta FSVA 103 kawasan
100 100 100 100 96.26
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 11
6. Jumlah Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan reguler
7. Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan, Akses dan Kerawanan Pangan
8. Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender
9. Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran.
10. Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan.
11. Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID
85 kawasan 33 lokasi 33.600 KK 26.880 KK 224 Desa 12Bulan
Layanan
85 kawasan 33 lokasi 33.600 KK 26.880 KK 224 Desa 12Bulan Layanan
100 100 100 100 100 100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa target Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan yang telah ditetapkan sebelumnya, telah terlaksana seluruhnya dengan capaian
kenerja sebesar 100 persen untuk setiap target yang telah ditetapkan, namun untuk
kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di Papua dan Papua Barat, Kepulauan Perbatasan
target capaian 96,26%. Hal ini disebabkan 4 kabupaten pelaksana Kawasan mandir
Pangan di Mahakam Hulu (Kalimantan Timur), Kawasan di Kabupaten Nunukan
(Kalimantan Timur), Indragiri Hulu (Riau), Kawasan di Kabupaten Rote Ndao (NTT) tidak
melaksanakan kgiatan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Pusat Ketersediaan dan
Kerawanan Pangan dapat dikatakan berhasil (capaian kinerja antara 80 hingga 100 %).
Kawasan di Mahakam Hulu (Kaltara), disebabkan oleh pemekaran wilayah yang semula
wilayah Kawasan merupakan bagian dari wilayah admnistratif di Kaltim dengan
pemekaran provinsi wilayah tersebut menjadi wilayah Kaltara. Sedangkan Kawasan di
kabupaten Inhil (Riau), tidak terlaksana disebabkan SDM Aparat kabupaten kurang siap
dalam melaksanakan kegiatan sehingga proses pendampingan tidak terlaksana. Untuk
Kawasan di Kabupaten Rote ndao (NTT), kawasan tidak terlaksana disebabkan
pemanfaatan dana tidak sesuai dengan RUK yang dibuat kelompok. Kawasan di
Kabupaten Nunukan (kaltim) dana bansos tidak dicairkan disebabkan karena tidak
adanya tenaga pendamping sehingga kelompok yang ditumbuhkan tidak paham maksud
dan tujuan kegiatan.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 12
Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara
Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara. Kegiatan
tersebut antara lain pemberdayaan petani kecil dan Gender, dan kegiatan rumah tangga
yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran. Program SOLID dilaksanakan di
224 desa dan dirasakan manfaatnya oleh 217 desa atau 92,72% , yang terdiri dari 33.600
KK (100% dar target sasaran 33.600 KK) dan tergabung ke dalam 26.363 Kelompok
Mandiri (KM) (98% dari target sasaran 26.880 KM). Fasilitas permodalan dalam bentuk
dana hibah prestasi atau Matching Fund (MF) dan dana bergulir atau Revolving Fund
(RF) diberikan kepada KM untuk membiayai usaha produktif yang dijalankan oleh KM
maupun anggota KM. Sampai dengan akhir tahun 2016, total dana MF dan RF yang
disalurkan kepada KM masing-masing sebesar Rp. 30.352 Milyar dan Rp. 72.840 Milyar.
Selain Fasilitasi permodalan pada tahun 2016 KM menerima fasilitasi pelatihan-pelatihan
teknik, demplot, sekolah lapang, anjang karya, serta bantuan sarana dan prasarana untuk
KM. Fasilitasi permodalan pelatihan pengembangan kapasitas serta sarana dan
prasarana yang diberikan kepada KM berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan
produktif yang diusahakan oleh KM.
Berdasarkan hasil survei tahun 2016, peningkatan hasil produksi pertanian dialami oleh
hamper semua responden SOLID. Peningkatan produksi pertanian responden tersebut
terjadi pada hamper semua komoditi/produk yang diusahakan, kecuali produk olahan
pala. Peningkatan tersebut terkait dengan penggunaan teknologi baru, teknologi
perbanyakan benih, teknik budidaya tanaman dan lain-lain. Meskipun produksinya
dilaporkan meningkat hanya 59% responden yang menyatakan bahwa pendapatan
mereka naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Adanya peningkatan produksi pertanian dan pendapatan tersebut berpengaruh terhadap
situasi ketahanan pangan responden SOLID. Dari seluruh responden, hanya 25% yang
melaporkan mengalami kekurangan pangan selama 12 bulan terakhir. Akan tetapi
responden tersebut sebagian besar mengalami kekurangan pangan selama 1-2 minggu
(Grafik A), relative lebih singkat apabila dibandingkan dengan durasi kekurangan pangan
yang dialami oleh sebagian besar responden pada tahun 2012 dan 2014..
Kendala SOLID : (1) Beberapa kegiatan yang harus dilakukan di awal tahun harus
tertunda karena adanya pemblokiran ; (2) Pencairan dana di tahun 2015 masih disalurkan
di tahun 2016; (3) Proses identifikasi yang agak terlambat karena belum siapnya
masyarakat dalam penyusunan Rencana Usaha .
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 13
Total anggaran yang dialokasikan untuk mencapai keberhasilan indicator penurunan
jumlah penduduk rawan pangan adalah sebesar Rp. 250.064.227.000 dengan realisasi
anggaran sebesar Rp. 244.304.341.000 atau 91,57%
2. Perbandingan Realisasi Kinerja Serta Capaian Kinerja Tahun Ini Dengan Beberapa
Tahun Terakhir
Penetapan indikator kinerja untuk mencapai sasaran strategis mengalami perubahan dari
tahun 2012 – 2014. Hal tersebut terkait dengan perubahan organisasi Badan Ketahanan
Pangan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2010
tanggal 14 Oktober 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengalami perubahan struktur organisasi
yaitu dari yang sebelumnya terdiri dari Bidang Ketersediaan Pangan, Bidang Kerawanan
Pangan dan Bidang Cadangan Pangan menjadi Bidang Ketersediaan Pangan, Bidang
Kerawanan Pangan dan Bidang Akses Pangan.
Capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan juga dapat dilihat dari
realisasi kinerja selama lima tahun terakhir berdasarkan Rencana Strategis Jangka
Menengah Tahun 2012-2016. Capaian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 14
Tabel 3. Perbandingan Realisasi Kinerja dan Capaian Kinerja Tahun 2012-2016
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian Kinerja (%)
2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)
1. Jumlah desa yang diberdayakan Demapan (reguler dan kawasan 2013)
3.414 1.625 798 - - 3.414 1.625 798 100 100 100
2. Analisis penanganan daerah/lokasi rawan pangan, SKPG
444 455 455 456 444 455 455 456 100 100 100 100
3. Jumlah hasil penyusunan FSVA Provinsi
100 1 15 1 58 100 1 15 1 58 100 100 100 100 100
4. Jumlah hasil kajian ketersediaan pangan, rawan pangan, dan akses pangan
34 36 36 72 1
37 1
34 36 36 72 1
37 1
100 100 100 100 100
100 100
5. Penguatan kapasitas aparat dan masyarakat
132 8 7 2 1 132 8 7 2 1 100 100 100 100 100
6. Jumlah desa mandiri pangan regular yang diberdayakan
429 - 429 - 100 -
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 15
Sasaran Strategis
Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian Kinerja (%)
2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)
14. Jumlah kawasan mandiri pangan (Papua dan Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang diberdayakan)
107 107 107 103 100 96,26
15. Jumlah pengembangan kawasan mandiri pangan 2015
- - - 85 85 - - - 85 85 - - - 100 100
16. Pengembangan akses pangan
- - - 3 1 - - - 3 1 - - - 100 100
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 16
Berdasarkan tabel diatas walaupun realisasi kinerja mengalami perubahan satuan maupun jumlah
target di setiap tahunnya, akan tetapi capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
menunjukkan capaian 80-100 persen di setiap tahun untuk masing-masing target. Adanya
perubahan yang terjadi ditahun-tahun tertentu dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Capaian kinerja untuk kegiatan Kawasan Mandiri Pangan sampai dengan tahun 2016 secara
keseluruhan terealisasi dari segi keprograman, namun pada tahun 2016 terjadi penurunan
sasaran yang dikarenakan terjadinya pemotongan anggaran dan perubahan kelembagaan di
daerah.
- Pada tahun 2016, Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Papua-Papua Barat, Kepulauan dan
Perbatasan telah memasuki Tahap Kemandirian. Alokasi dana bansos sebesar 200 juta di 107
kawasan Mandiri Pangan, 59 Kabupaten di 13 Provinsi (Aceh, Sumut, Riau, Kepri, Babel,
Kalbar, Kaltim, Sulut, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat). Sedangkan kegiatan
Kawasan Mandiri Pangan regular (diluar wilayah Papua-Papua Barat, Kepulauan dan
Perbatasan) yang ditumbuhkan tahun 2015 telah memasuki Tahap Penumbuhan. Jumlah
lokasi kawasan yang diberdayakan sebanyak 85 kawasan, 85 kabupaten dan di 24 Provinsi.
Hasil capaian kinerja baik di Pusat maupun di daerah telah mencapai 100 persen untuk
kegiatan Kawasan Mandiri Pangan.
Kawasan Mandiri Pangan tahun tidak mencapai 100 % atau sebesar 98,16 %, karena ada 2
(dua) kawasan yang tidak terbentuk karena tidak sesuai dengan CPCL atau Pedoman Umum
Pengembangan Kawasan mandiri Pangan yaitu di Kabupaten Rote Ndao yaitu kawasan Rote
Barat Daya dan Rote Barat.
Pada tahun 2015, kegiatan Desa Mandiri Pangan tetap dikembangkan dalam 2 (dua) model,
yaitu (1) Kegiatan Desa Mapan Reguler yang merupakan kelanjutan pembinaan dari desa
yang sudah ada, dan (2) Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di 192 kawasan dengan jumlah
desa rata-rata 3 desa per kawasan. Realisasi pelaksanaan Kawasan Mandiri Pangan
sebanyak 150 kawasan atau 78,40%, karena ada 42 kawasan yang tidak terlaksana karena
tidak sesuai dengan CPCL atau Pedoman Umum Pengembangan Kawasan mandiri Pangan,
perpindahan lokasi sasaran pada pertengahan tahun 2015, pemekaran wilayah desa.
- Kegiatan Desa Mandiri Pangan telah memasuki tahap kemandirian sesuai target keprograman
pada tahun 2015 dan merupakan tahun terakhir kegiatan Desa Mandiri Pangan yang dibiayai
dari anggaran APBN, keberlanjutan pembinaan akan dilakukan oleh Provinsi dan Kabupaten.
- Capaian kinerja untuk penyusunan FSVA dari tahun 2010 hingga tahun 2014 ini secara
keseluruhan berturut-turut telah terealisasi 100 persen. Perbedaan jumlah realisasi kerja untuk
setiap tahunnya disebabkan karena perbedaan output dan sasaran penyusunan FSVA.
Pada tahun 2010, penyusunan FSVA ditujukan pada tingkat provinsi, sehingga dihasilkan
14 laporan di tingkat provinsi dan 1 laporan di tingkat pusat. Pada tahun 2011,
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 17
penyusunan FSVA merupakan kelanjutan dari FSVA 2010, sehingga dihasilkan 18
laporan di tingkat provinsi (bagi provinsi yang belum menyusun FSVA pada tahun 2010)
dan 1 laporan di tingkat pusat. Pada tahun 2012 telah disusun FSVA tingkat kabupaten,
sehingga di hasilkan 100 laporan untuk kabupaten yang masuk dalam prioritas satu
hingga tiga berdasarkan FSVA Nasional 2009. Pada tahun 2013, disusun kembali FSVA
tingkat Nasional yang menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai
dengan level kabupaten, sehingga diperoleh 1 laporan. Sedangkan pada tahun 2014 ini,
penyusunan FSVA ditujukan untuk pemutakhiran data FSVA provinsi tahun 2010
sehingga dihasilkan 14 laporan di tingkat provinsi dan 1 laporan di tingkat pusat.
Sedangkan pada tahun 2015, penyusunan peta ketahanan dan kerentanan pangan
(FSVA) Nasional yang menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai
dengan level kabupaten (pemutahiran data FSVA tahun 2013). Kegiatan penyusunan
FSVA Nasional menghasilkan output berupa tersusunnya FSVA Nasional sebanyak 1
Buku atau terealisasi 100 persen. Kemudian pada tahun 2016 menyusun 58 FSVA
kabupaten, terdiri dari 44 kabupaten prioritas 1 dan 14 kabupaten prioritas 2 berdasarkan
FSVA Nasional tahun 2015.
- Kegiatan pengembangan akses pangan tahun 2016 terdiri dari kegiatan peningkatan kapasitas
sumber daya pertanian (1 dokumen), peningkatan akses pangan (1 dokumen) serta
pembinaan dan pemantauan pemanfaatan dana hibah AGFUND (1 dokumen).
- Pelaksanaan SKPG dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 dilaksanakan di seluruh
provinsi dan kabupaten, sedangkan untuk tahun 2016 hanya di 34 Provinsi yang mendapatkan
kegiatan SKPG yang dialokasikan dana APBN.
- Hasil kajian ketersediaan pangan, rawan pangan, dan akses pangan :
Pada tahun 2010 dan 2011 output dari indikator ini berupa provinsi yang menyusun
analisis ketersediaan pangan yaitu sebanyak 33 provinsi.
Sedangkan pada tahun 2012 hingga 2016 output dari indikator ini berupa laporan.
Laporan pada tahun 2012 ditujukan pada penyusunan Neraca Bahan Makanan di tingkat
provinsi sejumlah 33 buku dan di tingkat nasional sejumlah 1 buku serta satu laporan
Analisis Situasi Akses Pangan dan satu laporan Pengembangan Akses Pangan, sehingga
secara keseluruhan berjumlah 36 laporan. Walaupun dalam penetapan kinerja tahun
2012 hanya tertulis target sebanyak 34 laporan tetapi dihasilkan 36 laporan. Hal tersebut
juga terjadi pada tahun 2013 dan 2014.
Untuk tahun 2016, indikator ini berupa laporan dan dokumen. Hasil kajian ketersediaan
pangan, rawan pangan, dan akses pangan pada tahun 2016 terdiri dari 35 laporan
penyusunan NBM, 1 laporan analisis situasi akses pangan, 35 laporan kajian evaluasi
dampak desa mandiri pangan, 1 laporan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan
dan 1 dokumen Kemandirian Pangan dalam mendukung Swasembada Pangan.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 18
Pada TA.2016, hasil Kajian Responsive dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan, outputnya barupa bahan rekomendasi pengembangan ketahanan pangan dan
energi untuk kawasan perbatasan.
- Penguatan kapasitas aparat dan masyarakat
Pada tahun 2016 peningkatan kapastas aparat Kabupaten dan Provinsi berupa : pelatihan
penyusunan analisis penanganan kerawanan pangan melalui Sistem Kewaspadaan
Pangan dan Gizi (SKPG) untuk 34 provinsi dimana setiap provinsi diwakili oleh 2 aparat
sehingga secara keseluruhan berjumlah 116 aparat. Output yang diharapkan berupa
tersedianya laporan hasil situasi kerawanan pangan din gizi.
Peningkatan kapasitas pendamping, pengurus LKK/pengurus FKK kegiatan Kawasan
Mandiri Pangan dilaksanakan 2 kali, yaittu bagi pelaksana kegiatan kawasan Mandiri
Pangan wilayah Perbatasan, Kepulauan, Papua-Papua Barat dan pelaksana Kawasan
Mandiri Pangan regular diluar wilayah tersebut. Output yang diharapkan adalah
terlaksananya kegiatan Kawasan Mandiri Pangan sesuai tujuan dan sasaran kegiatan pada
wilayah pelaksana KMP.
3. Analisis penyebab keberhasilan/kegagalan atau peningkatan/penurunan kinerja serta
alternatif solusi yang telah dilakukan;
Analisis penyebab keberhasilan jika dilihat dari kedua tabel di atas dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut :
a. Hambatan dan Permasalahan
Dari hasil evaluasi kinerja berbagai kegiatan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,
ditemui beberapa permasalahan dan kendala utama dalam pelaksanaan kegiatan selama
tahun 2016 sebagai berikut :
1) Kesulitan dalam memperoleh data dan informasi untuk menghasilkan analisis yang
akurat, karena data dan informasi sering dianggap bukan kegiatan prioritas;
2) Terbatasnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan pembinaan, monitoring dan
evaluasi menyebabkan petugas Kabupaten/Kota jarang melakukan kunjungan
lapangan ke kelompok sasaran;
3) Tingginya mutasi pegawai di daerah, sangat mempengaruhi kinerja daerah dan
kemampuan pegawai daerah dalam melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan
pengembangan ketersediaan pangan dan penanganan kerawanan pangan;
4) Kawasan Mandiri Pangan: (a) jumlah KK miskin hasil DDRT tidak semua menjadi
anggota kelompok afinitas, karena alokasi anggaran terbatas; (b) koordinasi provinsi
dan kabupaten melalui forum Dewan Ketahanan Pangan (DKP) belum optimal; (c)
pembinaan pandamping masih belum optimal; dan (d) kurangnya dukungan daerah
dalam keterpaduan/sinergitas kegiatan untuk mempercepat pembangunan di lokasi;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 19
5) Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan SKPG diantaranya yaitu :
a) Ketersediaan data untuk analisis SKPG yaitu data yang sesuai dengan indikator
SKPG yang ditetapkan, tidak seluruhnya dapat tersedia disetiap wilayah;
b) Terkait Tim Pokja SKPG dan koordinasinya : (i) beberapa provinsi dan kabupaten
belum membentuk Tim SKPG; (ii) efektifitas kerja Tim SKPG belum berjalan
optimal. Hal ini berdampak pada proses analisis data dan pelaporan rutin oleh
provinsi; (iii) Koordinasi dengan dinas terkait dalam melakukan pemantauan dan
mengumpulkan data tidak semuanya berjalan dengan baik;
c) Aparat di beberapa daerah masih belum memahami kegiatan SKPG sebagai sistem
pemantauan pangan dan gizi serta alat analisis;
d) Sering terjadinya mutasi pejabat/pegawai yang menangani kegiatan SKPG,
sehingga menghambat proses analisis SKPG.
6) Hambatan dan permasalahan dalam penyusunan analisis ketersediaan pangan di
daerah antara lain :
a) Kurangnya SDM atau aparat yang menangani analisis ketersediaan pangan di
daerah yang mengakibatkan terhambatnya penyusunan analisis ketersediaan
pangan.
b) Belum semua Provinsi/Kabupaten terbentuknya tim NBM sehingga sulit untuk
berkoordinasi lintas instansi dalam hal pengumpulkan data.
c) Belum adanya angka konversi wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang lebih bisa
menggambarkan kondisi wilayah setempat.
d) Banyak komoditas atau jenis pangan lokal yang belum masuk dalam NBM padahal
komoditas tersebut merupakan potensi wilayah.
e) Belum dimanfaatkannya hasil analisis ketersediaan pangan sebagai dasar
mengambil kebijakan.
f) Kurangnya dukungan dana APBD untuk kegiatan analisis ketersediaan pangan,
walaupun hasil analisis tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan kebijakan atau
perencanaan.
7) Beberapa permasalahan berkaitan dengan pemanfaatan dana hibah AGFUND:
a) LKD Naka Mura Desa Madukoro
- Pemahaman pengurus tentang isi AD/ART yang telah disepakati oleh seluruh
anggota LKD Nakamura masih kurang,
- Anggota kelompok yang meminjamkan dana di LKD Naka Mura yang berasal
dari luar Desa Madukoro tidak berasal dari desa pelaksana program Desa
Mandiri Pangan maupun Desa Replika Mandiri Pangan.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 20
- Usaha produktif yang dibiayai dari pinjaman dana AGFUND tidak hanya untuk
sektor pertanian dalam arti luas, tetapi juga berbagai sektor usaha.
- SDM yang mengelola dana hibah AGFUND masih sangat terbatas
pengetahuannnya terutama dalam administrasi.
b) LKD Muntuk Lestari, Desa Muntuk
- Anggota kelompok LKD Munthuk Lestari sebagian besar merupakan pengrajin,
sehingga apabila pemanfaatannya lebih besar untuk usaha produktif pertanian
dikhawatirkan tingkat kegagalannya tinggi (resiko tinggi) karena tidak punya
pengalaman dalam bidang pertanian.
- Untuk kelompok budidaya tanaman padi dan budidaya perikanan, pencairan
dana AGFUND sedikit mundur. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan dana
menunggu datangnya musim hujan yang datangnya terlambat.
8) Beberapa permasalahan pada kegiatan monitoring akses pangan di tingkat
penggilingan antara lain : (a) Pengklasifikasian kapasitas penggilingan berdasarkan
ketentuan BPS berbeda dengan kondisi di lapangan; (b) Ada beberapa penggilingan
berhenti beroperasi; (c) Data tidak dapat dikumpulkan sebagaimana yang diharapkan,
karena pergantian beberapa enumerator kabupaten.
b. Upaya yang dilakukan
Berbagai upaya yang dilakukan oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dalam
rangka mengatasi permasalahan antara lain :
1) Meningkatkan koordinasi lintas sektor terkait penyediaan data dan informasi dan
meningkatkan koordinasi antara Pusat dan Daerah;
2) Untuk kegiatan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan, disarankan untuk (a)
Peninjauan metodologi; dan (b) Peninjauan klasifikasi kapasitas penggilingan.
3.2 Realisasi Anggaran
Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan TA.
2016 telah dialokasikan anggaran melalui Satker BKP Kementerian Pertanian untuk alokasi
anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan sebesar Rp.17.524.834.000 telah
direalisasikan sebesar Rp.13.237.639.642 atau 75,54 persen dengan rincian per kegiatan
sebagai berikut :
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 21
Tabel 4. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
KETERANGAN
BKP PUSAT
PAGU REALISASI %
Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan - - -
Penguatan sistem kewaspadaan pangan
dan gizi
750,000,000
641,073,750 85.48
Kajian Responsif dan Antisipatif
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
345,060,000
113,768,358 32.97
Peta ketahanan dan kerentanan pangan
600,000,000
420,833,180 70.14
Kawasan Mandiri Pangan
993,140,000
905,105,475 91.14
Pemantauan ketersediaan dan
kerawanan pangan
2,538,635,000 1,895,055,741 74.65
Dukungan manajemen dan administrasi
SOLID
11,260,125,000 8,345,908,953 74.12
Dukungan manajemen dan administrasi
PUSAT
1,037,874,000
915,894,185 88.25
TOTAL
17,524,834,000 13,237,639,642 75.54
Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan
penanganan rawan pangan di daerah, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran sebesar
Rp. 233,577,267,000 dan telah terealisasi sebesar Rp. 216,669,974,442 atau 92.76 persen
dengan rincian sebagai berikut :
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 22
Tabel 5. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Daerah
KETERANGAN
BKP DAERAH
PAGU REALISASI %
Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan 1,815,081,000
1,707,994,700 94.10
Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
5,079,897,000
4,612,029,419 90.79
Kawasan Mandiri Pangan 26,524,051,000
23,726,999,058 89.45
Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan
5,638,363,000
5,104,152,510 90.53
Pemberdayaan petani kecil dan gender 19,588,600,000
18,681,073,000 95.37
Dukungan produksi pertanian dan pemasaran
130,578,050,000
121,034,192,549 92.69
Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan
4,953,150,000
4,712,413,000 95.14
Dukungan manajemen dan administrasi SOLID
39,400,075,000
37,091,120,206 94.14
TOTAL 233,577,267,000
216,669,974,442 92.76
Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan
penanganan rawan pangan di Pusat dan Daerah, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran
sebesar Rp. 250.064.227.000 dan telah terealisasi sebesar Rp. 228.991.719.899 atau
91,57 persen dengan rincian sebagai berikut :
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 23
Tabel 6. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Pusat dan Daerah
KETERANGAN
BKP PUSAT DAN DAERAH
PAGU REALISASI %
Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan
1,815,081,000
1,707,994,700 94.10
Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
5,829,897,000
5,253,103,169 90.11
Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
345,060,000
113,768,358 32.97
Peta ketahanan dan kerentanan pangan
600,000,000
420,833,180 70.14
Kawasan Mandiri Pangan
27,517,191,000
24,632,104,533 89.52
Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan
8,176,998,000
6,999,208,251 85.60
Pemberdayaan petani kecil dan gender
19,588,600,000
18,681,073,000 95.37
Dukungan produksi pertanian dan pemasaran
130,578,050,000
121,034,192,549 92.69
Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan
4,953,150,000
4,712,413,000 95.14
Dukungan manajemen dan administrasi SOLID
50,660,200,000
45,437,029,159 89.69
TOTAL
250,064,227,000
228,991,719,899 91.57
3.3 Hasil Kinerja Tahun 2016
Hasil kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada tahun 2016 adalah sebagai
berikut :
1) Kawasan Mandiri Pangan
Dalam rangka pengurangan kemiskinan dan penanggulangan kerawanan pangan
khususnya rawan pangan kronis, BKP mengembangkan kegiatan Kawasan Mandiri
Pangan yang menjadi salah satu kegiatan strategis di BKP. Kawasan Mandiri Pangan
(KMP) adalah kawasan yang dibangun dengan melibatkan keterwakilan masyarakat yang
berasal dari desa-desa atau kampung-kampung terpilih (terdiri dari 5 kampung/desa), untuk
menegakkan masyarakat miskin di daerah rawan pangan menjadi kaum mandiri. Tujuan
umum kegiatan KMP adalah mewujudkan ketahanan pangan masyarakat berlandaskan
kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keprograman, kegiatan KMP dilaksanakan
melalui 5 tahapan yang meliputi: Tahap Persiapan, Penumbuhan, Pengembangan,
Kemandirian dan Keberlanjutan (Exit Strategy). Untuk mendukung kegiatan pemberdayaan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 24
dalam KMP maka dialokasikan dana bantuan sosial bansos/bantuan pemerintah (banper)
serta anggaran pembinaan dan pendampingan bagi daerah.
Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan dimulai pada tahun 2013 di Kawasan
Perbatasan, Kepulauan dan Papua-Papua Barat yang bertujuan untuk: (1)
mengembangkan perekonomian kawasan adat di Papua-Papua Barat; (2)
mengembangkan perekonomian kawasan perbatasan antar negara; dan (3)
mengembangkan cadangan pangan masyarakat kawasan kepulauan. Selanjutnya pada
tahun 2015 dikembangkan Kawasan Mandiri Pangan yang hingga saat ini dilaksanakan di
85 kawasan pada 84 kabupaten di 24 provinsi. Untuk KMP Perbatasan, Kepulauan, Papua
dan Papua Barat dialokasikan dana bansos senilai Rp. 200 juta per kawasan yang
dialokasikan pada Tahap Persiapan, Penumbuhan dan Pengembangan; selanjutnya untuk
KMP yang dimulai pada tahun 2015, dialokasikan dana banper senilai Rp. 100 juta per
kawasan yang dialokasikan pada Tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian
(mengingat pengalaman menunjukkan bahwa pada masyarakat perlu dipersiapkan terlebih
dahulu pada Tahun I/Tahap persiapan). Pemanfaatan dana banper I pada Tahun II/Tahap
Penumbuhan diarahkan untuk kegiatan budidaya dan kegiatan pendukung lainnya; banper
II pada Tahun III/Tahap Pengembangan diarahkan untuk pengolahan dan kegiatan
pendukungan lainnya; dan banper III pada Tahun IV/Tahap Kemandirian diarahkan untuk
pemasaran dan kegiatan pendukung lainnya.
Tabel 7 Perkembangan Dana Bansos/Banper dan Realisasi Kawasan Mandiri
Pangan Tahun 2013–2016
Tahun 2013 2014 2015 2016 Total Rata-
rata/tahun
Bansos/Banper
(Rp.000.000) 21.800 21.400 20.600 7.800
71.600 14.320
Penerima
Manfaat
(kawasan)
109 107 188 181
585 146
Sasaran kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di tahun 2016 beradi di 192 kawasan di
145 Kabupaten/Kota pada 31 Provinsi yang terdiri dari 107 Kawasan Kepulauan,
Perbatasan, Papua dan Papua Barat serta 85 Kawasan Mandiri Pangan regular (diluar
wilayah Kepulauan, Perbatasan, Papua dan Papua Barat). Pelaksanaan kegiatan KMP
tahun 2016, (yakni KMP yang dimulai pada tahun 2015) terdapat perbedaan antara target
dan capaian, dimana target pelaksanaan KMP diawal tahun 2016 adalah sebanyak 192
kawasan dan terealisasi sebanyak 181 kawasan atau 94,27% (yang terdiri dari 103
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 25
Kawasan Kepulauan, Perbatasan, Papua dan Papua Barat dan 78 KMP). Penyebab
terjadinya hal tersebut antara lain karena :
Terjadi pemekaran di salah satu wilayah Provinsi Kalimantan Timur menjadi Provinsi
Kalimanatan Utara sehingga berpengaruh terhadap kesiapan provinsi baru dalam
proses administrasi pencairan bansos dan pembinaan kegiatan;
Tantangan dari segi geografis di beberapa daerah di mana jarak antar lokasi yang jauh
dan tidak hanya dihubungkan oleh daratan (tetapi juga perairan) sehingga dibutuhkan
sumber daya (termasuk keuangan) yang besar untuk pelaksanaan monev oleh aparat
kabupaten dan provinsi;
Kapasitas SDM/aparat yang masih kurang di tingkat kabupaten;
Terdapat daerah yang tidak melakukan survei Data Dasar Rumah tangga (DDRT) pada
Tahap Persiapan;
Penetapan lokasi pelaksanaan kegiatan tidak sesuai sasaran lokasi dan kriteria yang
sudah ditentukan.
Selain itu tantangan lain yang dihadapi adalah: terjadinya refocusing kegiatan dan
anggaran, mutasi pejabat/pegawai, serta pendamping yang tinggal diluar desa binaan.
Selain itu untuk mendukung kegiatan Kawasan Mandiri Pangan tahun 2016 dilaksanakan
kegiatan (a) Sosialisai Kawasan Mandiri Pangan, (b) Apresiasi Kawasan Mandiri Pangan,
(c) Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan.
a) Sosialisasi Kawasan Mandiri Pangan
Sosialisasi Kawasan Mandiri Pangan dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2016.
Peserta terdiri dari eselon III/IV dari 34 provinsi dan perwakilan kabupaten/kota yang
menangani kegiatan Kawasan Mandiri Pangan. Dari undangan yang hadir telah
mencapai target 100 persen yang sesuai dengan sasaran di 34 Provinsi. Kawasan
mandiri pangan tahun 2016 masuk dalam tahap penumbuhan dimana kegiatan kawasan
sudah mulai mencairkan dana bantuan pemerintah sebesar 100 juta dan fokus dana
pemanfaatannya pada kegiatan budidaya pertanian, peternakan, perikanan, holtikultura.
b) Apresiasi Kawasan Mandiri Pangan
Kegiatan apresiasi Kawasan Mandiri Pangan bertujuan memberikan pemahaman bagi
tenaga pendamping kawasan dalam pengelolaan kegiatan kawasan mandiri pangan,
pengelolaan pemanfaatan dana bansos dalam rangka peningkatan kesejahteraan
masyarakat miskin dan pengembangan usaha sesuai lokal spesifik; memberikan
pelatihan pemberdayaan masyarakat kepada petugas di lapangan mengenai pembuatan
RUK dan RPWK dan melakukan penguatan dan pengembangan dinamika serta usaha
produktif kelompok, pengembangan fungsi kelembagaan, pengembangan potensi pasar,
peningkatan dukungan sarana dan prasarana.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 26
Apresiasi kawasan mandiri pangan dilaksanakan dua kali yaitu di wisma hijau pada
tanggal 21 – 24 Maret 2016 yang diikuti oleh petugas pendamping/penyuluh pertanian
yang beradi di 107 kawasan, 58 kabupaten, 13 provinsi dan pada tanggal 28 – 31 Maret
di Diandara Bogor yang diikuti oleh petugas pendamping/penyuluh pertanian, di 85
kawasan, 84 kabupaten, 24 provinsi, undangan yang hadir telah mencapai target 100 %
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam apresiasi kawasan mandiri pangan dan
tindak lanjut yang harus dilakukan oleh pelaksana kegiatan di kawasan mandiri pangan
yaitu :
Konsep Kawasan Mandiri Pangan adalah Kawasan yang terdiri dari 5 desa
berdekatan yang dibangun dengan melibatkan masyarakat miskin yang berasal dari
desa-desa terpilih dalam satu kecamatan, untuk menegakkan masyarakat
miskin/rawan pangan menjadi kaum mandiri. Adapun sasaran kegiatannya adalah
rumah tangga miskin yang berada dalam Kawasan Mandiri Pangan yang mempunyai
potensi wilayah untuk dikembangkan dan mengupayakan penyelesaian masalah
untuk mewujudkan ketahanan pangan.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat, yang dilakukan meliputi : (a) Pemanfaatan SDA
(khususnya penyehatan lahan, pengelolaan air, pengelolaan limbah, pengembangan
bibit/benih lokal spesifik); (b) meningkatkan kegiatan usahatani kelompok melalui
budidaya pertanian/peternakan/perikanan sampai pengolahan dalam rangka
memenuhi ketiga manfaat pertanian sebagai sumber bahan pangan, sumber enerji,
dan bahan baku industri; (c) Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro untuk
mendukung kegiatan usaha.
Sebagai tindak lanjut kegiatan apresiasi Kawasan Mandiri Pangan :
1) Aparat/Pendamping/LKK/FKK yang sudah mendapatkan pelatihan pada kegiatan
ini berkoordinasi dan menyampaikan materi kepada penangungjawab kegiatan di
Provinsi maupun Kabupaten, selanjutnya peserta sebagai Trainer di kawasan
masing-masing.
2) Aparat/Pendamping/LKK/FKK menindaklanjuti hasil pelatihan dengan pelatihan
teknis spesifik lokasi dengan metode demplot dan sekolah lapangan.
3) Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan tahap penumbuhan segera menentukan titik
tumbuh kawasan sebagai pusat perekonomian di kawasan secara terintgrasi
dengan mempertingkan prioritas kegiatan.
4) Pemanfaatan bantuan pemerintah untuk kegiatan usaha di kawasan meliputi
kegiatan budidaya, pengolahan, pemasaran dan teknologi tepat guna
5) Penyuluh/pendamping berkoordinasi LKK, FKK dan aparat kabupaten/provinsi
untuk meningkatkan kinerja kelembagaan dan kelompok.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 27
6) Seluruh pengelolaan keuangan dana bantuan pemerintah kawasan dilakukan oleh
LKK. Untuk itu, sebelum LKK memberikan dana pinjaman kepada kelompok, LKK
harus memenuhi administrasi umum, seperti: (1) AD/ART; (2) Buku Simpan
Pinjam; (3) Buku Tabungan; dan (4) Buku Administrasi Keuangan.
7) Syarat untuk pencairan bantuan pemerintah ke KPPN dilengkapi SK penetapan
lokasi kawasan, kelompok penerima manfaat, usulan RUK, no rekening, SPTJB
(Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja), SPTJM, Pakta integritas yang
dibuat kelompok dengan PPK
8) Mekanisme pencairan bantuan pemerintah melalui rekening kelompok, yang
selanjutnya ada proses serah terima kepada pengelolaan LKK untuk dilakukan
pencatatan oleh pengurus LKK. Pengurus LKK akan memonitor perkembangan
pemanfaataan Dana Bantuan Pemerintah.
9) Melakukan monitoring, evaluasi kegiatan secara bertingkat di tingkat Desa dan
kawasan, serta menyampaikan laporan secara berjenjang dari Desa, Kawasan
sampai dengan Pusat dalam rangka penyempurnaan kegiatan.
c) Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan
Untuk mengoptimalkan kegiatan Kawasan Mandiri Pangan melaksanakan kegiatan
Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan yang bertujuan untuk: (1) mengevaluasi
pelaksanaan kegiatan KMP khususnya untuk Tahap Kemandirian pada KMP
Perbatasan, Kepulaun, Papua dan Papua Barat dan tahap penumbuhan pada kawasan
mandiri pangan serta, (2) merencanakan tindak lanjut kegiatan KMP.Kegiatan workshop
ini dilaksanakan pada tanggal 2 – 4 November 2016 di Hotel Sukajadi Bandung, yang
diikuti oleh 31 Provinsi hasil diskusi evaluasi kegiatan kawasan mandiri pangan sebagai
berikut:
Konsep penajaman kegiatan Kawasan Mandiri Pangan melalui pertanian terpadu dan
berkelanjutan perlu dijelaskan lebih lanjut didalam pedoman teknis kawasan mandiri
pangan tahap pengembangan.
Kegiatan pendampingan oeh pendamping kawasan dan pendamping swakarsa perlu
dukungan pendanaan dari APBD I dan APBD II mengingat okasi binaan jauh dari
pusat kota dan merupakan basis/sentra kerawanan.
Kegiatan kawasan yang sudah tahap kemandirian selanjutnya tahun depan
diserahkan sepernuhnya kepada pemerintah daerah, baik segi pendanaan maupun
kegiatan keberlanjutan.
Pemanfaatan dana Banper kawasan mandiri pangan tahap pengembangan akan
diprioritaskan pada pengolahan hasil pertanian dan kegiatan pendukung lainnya,
yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi produk hasi pertanian.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 28
Hasil dari akhir kegiatan Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan dibuat suatu
rumusan untuk ditindak lanjuti daerah dan sebagai acuan daerah untuk melaksanakan
kegiatan Kawasan Mandiri Pangan. Adapun rumusan Workshop Akhor KMP 2016
adalah sebagai berikut :
1) Penajaman KMP dengan menerapkan Konsep Pertanian Terpadu dan
Berkelanjutan untuk meningkatkan manfaat bagi masyarakat:
2) Pendekatan pemberdayaan diarahkan pada pemenuhan kepentingan bersama
melalui kegiatan secara berkelompok. Oleh sebab itu usaha yang dilakukan oleh
kelompok adalah usaha bersama melalui Rencana Usaha Kelompok (RUK).
3) Pelaksanaan Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Tahap Pengembangan:
Pendekatan ekonomi masyarakat secara berkelompok untuk meningkatkan
kesejahteraan (pendapatan) bersama dengan memanfaatkan semua potensi
sumberdaya lokal dari hulu sampai hilir (zero waste);
Pemerintah daerah melakukan monitoring proses pencairan dan pemanfaatan
dana Banper sampai kelompok penerima dan dilengkapi dokumen administrasi.
4) Pelaksanaan Kawasan Mandiri Pangan Keberlanjutan:
Lembaga Keuangan Kawasan/LKK diharapkan berkembang menjadi lembaga
keuangan formal sesuai dengan aturan yang berlaku dan bersinergi dengan
lembaga keuangan lain dilingkup desa/kecamatan.
Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Tahap Keberlanjutan (tahun 2017) tidak
dibiayai oleh APBN dan sudah diserahkan kepada daerah. Komponen kegiatan
utama yang perlu dibiayai antara lain: honor pendamping kawasan dan
swakarsa, honor FKK dan LKK, pelatihan lanjutan bagi kelompok.
2) Pengembangan Akses Pangan
Untuk mendukung kegiatan pengembangan akses pangan, dilakukan beberapa kegiatan
pertemuan yang bertujuan memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan, dimana
kegiatan ini meliputi :
a. Peningkatan kapasitas sumber daya pertanian
Tujuan dari kegiatan pertemuan peningkatan kapasitas sumber daya pertanian adalah
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengurus LKD dalam pengelolaan
keuangan agar dana yang dikelola dapat berkembang dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan pemanfaatannya.
Kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya pertanian dilaksanakan pada tanggal 28
– 30 November 2016 di Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Convention Hotel
Yogyakarta, Jalan Demangan Baru No. 8 Yogyakarta dengan peserta sebanyak 20
orang yang terdiri dari 5 pengurus dan anggota LKD Muntuk Lestari, 5 pengurus dan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 29
anggota LKD Naka Mura dan 10 anggota LKD di luar penerima bantuan dana hibah
AGFUND.
Adapun rumusan hasil pertemuan ini adalah :
1) Lembaga Keuangan Desa Mandiri Pangan (LKD) merupakan lembaga keuangan
non bank milik masyarakat desa yang bersepakat untuk bekerja sama saling
menolong dengan melaksanakan penghimpunan dana melalui tabungan dan
menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada kelompok masyarakat untuk
tujuan produktif dan kesejahteraan;
2) LKD memiliki fungsi sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat desa
rawan pangan, sarana untuk pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah,
memberikan layanan permodalan untuk usaha produktif serta mengembangkan
kapasitas masyarakat dan membangun jaringan usaha. Prinsip LKD dalam
menjalankan fungsinya adalah mandiri, transparan, profesional dan prudential
(MANTAP). Dalam perkembangannya, LKD diharapkan bisa menjadi lembaga
keuangan berbadan hukum berbentuk koperasi;
3) Dalam mencapai tujuan LKD atau koperasi, perlu ada nilai-nilai yang harus
dijunjung tinggi bersama dan diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan operasional
sehari-hari. Salah satunya adalah komitmen yang harus dibangun oleh seluruh
anggota dan pengurus, dimana anggota dan pengurus berpegang teguh dan fokus
pada keputusan bersama yang diambil, memikul segala resiko dan konsekuensinya
dan menjalaninya penuh rasa syukur sebagai bagian dari proses untuk mencapai
tujuan bersama;
4) Prinsip pengelolaan usaha LKD atau koperasi adalah orientasi pelayanan pada
anggota, dimana anggota adalah segala-galanya, kepuasan anggota adalah yang
utama dan memberikan nilai lebih kepada anggota adalah penting. Pelayanan
kepada anggota diterapkan untuk meningkatnya keinginan dan harapan anggota,
untuk LKD atau koperasi dapat eksis dan berkembang dan untuk mendukung
kinerja keuangan LKD atau koperasi;
5) Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dana adalah melakukan analisis
kelayakan usaha untuk menentukan kelayakan besaran pinjaman yang akan
disalurkan terhadap jenis-jenis usaha yang diajukan anggota melalui kelompok.
Beberapa hal pokok yang menjadi dasar dalam pemilihan jenis usaha adalah jangka
waktu usaha, jumlah pengusahaan, potensi produksi dan waktu proses produksi.
Penilaian kelayakan usaha dalam pemilihan jenis kegiatan usaha dilihat dari
cakupan daerah pemasaran, cara pemasaran, persaingan pasar, permintaan pasar,
penentuan harga, cara pembayaran, penguasaan teknologi, tenaga kerja, sarana
dan prasarana serta cara dan tempat pengelolaan usaha dilakukan;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 30
6) Peluang usaha dapat dilihat dari adanya kebutuhan pasar akan suatu barang atau
jasa yang dapat diberikan. Peluang usaha juga dapat diciptakan dengan memberi
nilai tambah pada suatu objek yang menjadi kebutuhan pasar. Dibutuhkan
pengalaman bisnis yang cukup baik dan waktu yang lama agar naluri bisnis menjadi
tajam dalam melihat peluang usaha serta dibutuhkan kreativitas untuk menciptakan
peluang usaha;
7) Faktor penting yang menentukan keberlanjutan suatu LKD adalah kinerja keuangan
yang baik. Jika layanan internal baik, dan layanan ke anggota atau pihak eksternal
lainnya baik, maka diharapkan kinerja keuangannya akan baik. Dari aspek
pengelolaan keuangan, dibutuhkan kemampuan pengurus dalam mengelola
keuangan, menyusun laporan keuangan dan mengintepretasikan hasil laporan
keuangan untuk penyusunan rencana usaha;
8) Tertib administrasi atau pencatatan keuangan sangat penting sebagai laporan
penerimaan dan pemanfaatan uang LKD atau koperasi sehingga keuntungan yang
diperoleh atau kerugian yang dialami dapat dikontrol dan pengelolaan dana yang
berkembang secara keseluruhan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Aplikasi berbasis sistem android yang dapat digunakan untuk mempermudah
pencatatan keuangan adalah SI APIK;
9) Manajemen resiko kredit adalah manajemen resiko kerugian karena pihak peminjam
tidak dapat dan/atau tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana
yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya. Kerangka
manajemen resiko kredit terdiri dari : (1) Pencegahan resiko kredit yaitu desain
produk kredit, seleksi nasabah dan analisis kredit, komite kredit; dan (2)
Pengendalian resiko kredit yaitu manajemen tunggakan dan pemantauan resiko
kredit;
10) Prinsip seleksi nasabah dalam pencegahan resiko kredit adalah 5C, yaitu : (1)
Character, yaitu informasi kepribadian nasabah; (2) Capacity, yaitu kemampuan
nasabah dalam mengelola dana yang dipinjam; (3) Condition, yaitu kondisi ekonomi
yang mempengaruhi kelayakan pinjaman; (4) Capital, yaitu aset atau kekayaan
yang dimiliki oleh nasabah; dan (5) Collateral yaitu jaminan atau agunan yang
dimiliki oleh nasabah;
11) Permasalahan umum yang dihadapi dalam pemberian modal usaha adalah
nasabah tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat waktu atau gagal bayar. Untuk
mengantisipasi resiko gagal bayar, LKD atau koperasi dapat menyiapkan dana
cadangan resiko yang disisihkan dari keuntungan yang diterima setiap bulan atau
diambil dari SHU tahunan sesuai dengan akumulasi kerugian yang dialami;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 31
12) Sejak penerimaan tahun pertama pada tahun 2014, dana hibah AGFUND yang
dikelola LKD Nakamura sampai Oktober tahun 2016 berkembang dari
Rp.547.938.500,- menjadi Rp.688.068.053 (26%), sedangkan LKD Munthuk Lestari
dari Rp. 543.680.000,- menjadi Rp. 830.298.409,- (53%), yang digunakan untuk
mengembangkan berbagai usaha anggotanya dalam bidang pertanian pertanian
dalam arti luas dan turunannya diantaranya untuk kerajinan bambu, mebel, ternak
kambing, ternak sapi, budidaya padi, perikanan lele, warung sembako dan olahan
pangan seperti mie, susu kedelai, nata de casava, geplak dan tempe;
13) Selain kepada anggotanya, LKD penerima dana hibah AGFUND diharapkan dapat
melakukan kerja sama dengan memberikan pinjaman modal kepada LKD lain yang
membutuhkan penguatan modal usaha produktifnya. Hal ini juga dapat dilakukan
oleh LKD lain yang modalnya sudah berkembang, sehingga dapat membantu LKD
lain yang membutuhkan penguatan modal.
b. Pembinaan dan pemantauan pemanfaatan dana hibah AGFUND
Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurus dan anggota
Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam pemanfaatan dan pengelolaan dana hibah
AGFUND.
Pertemuan Peningkatan Kapasitas LKD Pemanfaatan Dana Hibah AGFUND Tahun
2016, dilaksanakan tanggal 27 – 29 Juli 2016, di Asrama Haji Transit Yogyakarta, Jl.
Ringroad Utara Siduadi, (Depan SD Al-Azhar), dengan peserta penerima dana hibah
AGFUND, yaitu LKD Desa Mandiri Pangan di Desa Madukoro, Kecamatan Kajoran
Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dan Desa Munthuk, Kecamatan Dlingo
Kabupaten Bantul Provinsi D.I Yogyakarta, dan pendamping.
Adapun rumusan hasil pertemuan ini adalah :
a) Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurus dan anggota
Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam pemanfaatan dan pengelolaan dana hibah
AGFUND. Sasarannya adalah pengurus dan anggota LKD yang menerima dana
hibah AGFUND, yaitu LKD Munthuk Lestari, Desa Munthuk, Kecamatan Dlingo,
Kabupaten Bantul, Provinsi DI. Yogyakarta dan LKD Nakamura, Desa Madukoro,
Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah;
b) LKD sebagai suatu organisasi memiliki tujuan bersama yang ingin dicapai yaitu
untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya secara khusus dan masyarakat
sekitarnya secara umum. Dalam pembentukannya, LKD diharapkan dapat
mengelola dan mengembangkan dana yang dimiliki melalui berbagai usaha atau
kegiatan yang dilaksanakan anggotanya;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 32
c) Dalam mencapai tujuan LKD, perlu ada nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan
diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari. Salah satunya
adalah komitmen yang harus dibangun oleh seluruh anggota dan pengurus, dimana
anggota dan pengurus berpegang teguh dan fokus pada keputusan yang diambil,
kemudian memikul segala resiko dan konsekuensinya tanpa mengeluh, dan
menjalaninya penuh rasa syukur sebagai bagian dari proses kehidupan untuk
mencapai tujuan bersama;
d) Ketrampilan teknis pengelolaan keuangan menjadi salah satu hal yang harus dimiliki
oleh pengurus LKD agar dana yang dikelola dapat berkembang dengan baik dan
dapat dipertanggungjawabkan pemanfaatannya. Administrasi pembukuan atau
akuntansi koperasi/LKD harus dilakukan dengan cermat, tertib dan tepat, sehingga
laporan keuangan yang disusun dapat memberikan gambaran yang baik mengenai
arus kas yang masuk dan keluar, jumlah dana yang dipinjam dan dikembalikan
anggota serta jumlah hasil usaha yang diperoleh LKD;
e) Keberhasilan usaha yang dilakukan koperasi juga ditentukan oleh kemampuan
membangun jaringan usaha dan kemitraan. Karakteristik yang harus dimilki seorang
wirausaha/pengurus LKD adalah 1). adanya kemauan; 2). memiliki keberanian; 3).
mampu membela usahanya dan mitranya; 4). Jujur dan amanah (bisa dipercaya);
5). hemat; 6). tepat guna didalamnya termasuk menempatkan orang sesuai dengan
kemampuannya; 7). mencintai usahanya dan 8). pantang menyerah;
f) Dalam menjalin kemitraan, prinsip utama yang harus dipegang adalah saling
memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan;
g) Untuk mewujudkan berkembangnya koperasi, koperasi harus melayani anggota
melalui pemahaman atas kebutuhan anggotanya yaitu dengan memenuhi sarana
dan prasarana yang dibutuhkan untuk kemajuan usaha anggotanya, sehingga
diversifikasi usaha dari koperasi di Nakamura dan Munthuk dapat dilakukan
berdasarkan pemenuhan kebutuhan anggota;
h) Sejak penerimaan dana hibah AGFUND oleh 2 LKD pada tahun 2014,
perkembangan dana maupun organisasi desa telah meningkat, sebagai berikut:
(1) Dana hibah AGFUND yang dikelola oleh LKD Munthuk Lestari dan LKD
Nakamura sampai tahun 2016 telah berkembang masing-masing dari
Rp.543.680.000,- menjadi Rp. 792.560.730,- (45,8 persen) dan
Rp. 547.938.500,- menjadi Rp. 821.050.000,- (50 persen) yang digunakan
untuk mengembangkan berbagai usaha anggotanya dalam bidang pertanian
pertanian dalam arti luas dan turunannya diantaranya untuk kerajinan bambu,
mebel, ternak kambing, ternak sapi, budidaya padi, perikanan lele, warung
sembako dan olahan pangan seperti mie des, susu kedelai, nata de casava,
geplak dan tempe;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 33
(2) Di samping itu modal dari bantuan program Desa Mandiri Pangan (Demapan)
yang diterima LKD Muntuk sebesar 100.000.000,- pada tahun 2006
berkembang sampai saat ini sebesar Rp. 465.472.000,- dan LKD Nakamura
Desa replikasi sebesar Rp. 25.000.000,- pada tahun 2011 berkembang menjadi
Rp. 30.000.000,- di samping berbagai kegiatan produktif yang sampai saat ini
masih dilakukan oleh anggota kelompok afinitas;
(3) Terkait dengan kelembagaan LKD Muntuk Lestari, sejak tanggal 15 Oktober
2015, No. 26/BH/XV.I/X/2015 telah berbadan hukum menjadi Koperasi,
sedangkan LKD Nakamura sedang mengajukan proses untuk menjadi koperasi.
3) Penanganan Rawan Pangan, Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
SKPG merupakan serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan
pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan
penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Penerapan SKPG sampai saat ini masih
dirasakan sangat penting sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota, dimana sebagian aspek-
aspek penanganan kerawanan pangan merupakan urusan daerah. Pemerintahan Propinsi
mempunyai kewajiban: (1) pencegahan dan pengendalian masalah pangan akibat
menurunnya ketersediaan pangan di daerah karena berbagai sebab; (2) pencegahan dan
penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunya mutu, gizi dan keamanan
pangan; (3) peningkatan dan pencegahan penurunan akses pangan masyarakat; dan (4)
penanganan dan pengendalian kerawanan pangan di wilayah provinsi.
Kegiatan SKPG bertujuan untuk menganalisis situasi pangan dan gizi;
meningkatkan kemampuan petugas dalam menganalisis situasi pangan dan gizi; dan
mengantisipasi terjadinya rawan pangan. Sasaran kegiatan SKPG terpetakannya situasi
pangan dan gizi dan terantisipasinya kejadian rawan pangan secara dini di 455 lokasi, yang
terdiri dari pusat, 33 provinsi dan 421 kabupaten/kota. Untuk tahun 2016 kegiatan SKPG
hanya dilakukan di Provinsi, sedangkan Kabupaten untuk menganalisis kegiatan SKPG
dengan pembinaan di APBD Kabupaten.
Pelaksanaan kegiatan SKPG pada tahun 2016 sebagai berikut:
a. Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG
Kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG dilaksanakan
guna meningkatkan pemahaman dan kemampuan pejabat/aparat provinsi dan
kabupaten/kota dalam menganalisis situasi pangan dan gizi di wilayahnya melalui
SKPG. Terlaksananya kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam
Analisis SKPG diharapkan dapat memberikan pemahaman aparat pelaksana kegiatan
SKPG mengenai analisis SKPG sehingga mampu meningkatkan kemampuan aparat
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 34
yang menangani SKPG dalam menganalisis situasi pangan dan gizi di wilayahnya.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode pemaparan materi, praktik analisis SKPG
bulanan dan tahunan, pembuatan laporan SKPG, serta pembuatan peta dengan
menggunakan Quantum GIS.
Hal-hal yang dapat disampaikan berdasarkan kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas
Aparat dalam Analisis SKPG sebagai berikut:
1) Aparat provinsi dan kabupaten/kota harus meningkatkan pemahaman tentang
konsepsi ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan
berdasarkan UU No 18 tahun 2012, sehingga pelaksanaan pencegahan kerawanan
pangan melalui SKPG dapat terlaksana lebih baik.
2) Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) pada tahun 2016 masih
berdasarkan Permentan No. 43 Tahun 2010, sedangkan ujicoba aplikasi berbasis
website digunakan untuk penyempurnaan sistem pada Permentan baru sebagai
pengganti Permentan No. 43 Tahun 2010. Sehingga kabupaten/kota tetap
menyampaikan laporan analisis SKPG tahun 2016 ke provinsi dan pusat berupa
laporan tahunan dan bulanan yang dimulai dari bulan Januari 2016.
3) Provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki karakteristik khusus (non sentra pertanian,
Papua&Papua Barat, Maluku&Maluku Utara, NTT, dan Gorontalo) harus dibahas lebih
lanjut oleh daerah masing-masing untuk merumuskan dan menentukan indikator yang
akan digunakan dalam analisis SKPG.
4) Beberapa masukan untuk penyusunan permentan baru sebagai pengganti Permentan
No 43 Tahun 2010:
a) Wilayah perkotaan yang memiliki luas lahan pertanian pangan dan dapat mencukupi
kebutuhan wilayahnya tetap menggunakan indikator dari aspek ketersediaan.
b) SKPG tahunan merupakan akumulasi dari analisis bulanan sehingga laporan
bulanan diharapkan dilaporkan setiap bulannya
c) Untuk data D (data balita ditimbang terkoreksi) terdapat beberapa daerah yang tidak
memiliki data
5) Dalam rangka pelaksanaan ujicoba pelaporan SKPG berbasis website:
a) Aparat kabupaten/kota dan provinsi yang menangani entry data SKPG berbasis
website diharapkan tidak berganti-ganti selama proses uji coba tahun 2016.
b) Kabupaten/kota melakukan entry data mulai bulan Januari 2016, sedangkan
provinsi berkewajiban mendapingi pelaksanaan entry data. Namun demikian, jika
kabupaten/kota mengalami kendala dalam pengisian dan upload data, aparat
provinsi membantu berdasarkan kabupaten/kota yang menjadi tanggung jawabnya;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 35
c) Kabupaten/kota dan provinsi membuat email yang akan digunakan sebagai
username sesuai format yang telah disepakati, provinsi membuat tabulasi dan
melaporkan username ke pusat melalui email: pelaporanskpg@gmail.com;
d) BKP Pusat membuat password untuk login dan formulir input data selanjutnya
disampaikan kembali hasilnya kepada provinsi melalui email provinsi, selanjutnya
provinsi menyampaikan password dan formulir input ke kabupaten/kota masing-
masing.
6) Aplikasi SKPG berbasis website yang telah didemonstrasikan perlu penyempurnaan,
diantaranya:
a) Pada tampilan perlu ditambahkan menu cetak dan download hasil tabulasi (.xls)
setiap indikator;
b) Upload data SKPG dipisahkan per tahun agar dapat terlihat hasil analisis setiap
tahunnya;
c) Update data diharapkan dapat dilakukan berdasarkan data terakhir yang diupload
kedalam website.
7) Database SKPG sebaiknya dilengkapi dengan instrumen berikut: (1) peta analisis; (2)
fungsi download data dan analisisnya; dan (3) fungsi pembuatan pelaporan.
b. Rapat Koordinasi Tim/Pokja SKPG Pusat
Rapat Koordinasi Pokja SKPG Pusat dilaksanakan dalam rangka untuk merumuskan
bahan kebijakan terkait dengan penanganan rawan pangan dan gizi. Hal lain adalah
Konsolidasi antar anggota Pokja, terkait tugas dan fungsi masing-masing instansi dan
perannya terhadap kegiatan analisis SKPG serta mengevaluasi pelaksanaan program
SKPG terkait dengan situasi pangan dan gizi di propinsi dan kabupaten/kota.
Terlaksananya Rapat Koordinasi Pokja SKPG Pusat diharapkan dapat meningkatkan peran
serta Tim Pokja SKPG dalam memberikan rekomendasi dan masukan terkait kegiatan
SKPG.
Pada Tahun 2016 telah dilaksanakan 2 kali Rapat Koordinasi Tim Pokja dengan uraian
sebagai berikut:
a) Rapat Koordinasi Tim Pokja I
Rapat koordinasi Tim Pokja SKPG Pusat dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 2016
di Ruang Nusantara 1 Lantai II yang dihadiri anggota Tim Pokja SKPG Pusat dari: (1)
Kementerian Dalam Negeri; (2) Kementerian Sosial; (3) Bappenas; (4) BPS; (5)
Kementerian Perdagangan; (6) Tanaman Pangan Kementerian Pertanian; (7)
Pusdatin, Kementerian Pertanian, (7) BNPB; dan Pejabat lingkup Pusat Ketersediaan
dan Kerawanan Pangan serta perwakilan dari World Food Programme (WFP). Rapat
dibuka Kepala Bidang Kerawanan Pangan dan dilanjutkan dengan pemaparan materi
hasil Kajian Ujicoba Perubahan Indikator SKPG oleh Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si,
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 36
dan dilanjutkan dengan diskusi dan masukan dari Tim Pokja SKPG pusat dan peserta
lainnya. Berdasarkan paparan dan diskusi oleh peserta pertemuan, diperoleh hal-hal
penting sebagai berikut:
1) Perlunya memahamkan kepada pimpinan daerah tentang SKPG dengan metode
dan bahasa yang dapat dipahami atau re-branding, sehingga diharapkan
pimpinan daerah tertarik dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan
rekomendasi kebijakan terkait permasalahan penanganan kerawanan pangan.
Hal lain adalah perlunya indikator positif terkait upaya dan pencapaian
penanganan kerawanan pangan yang dapat dibandingkan dengan
perkembangan yang perlu ditindaklanjuti.
2) Perlunya SKPG menjadi perhatian bersama atau lintas sector seperti forum DKP,
sehingga dapat menjadi penguat dalam pelaksanaan dan sebagai fungsi
rekomendasi. Salah satu hal yang dapat ditindaklanjuti adalah bahwa perlu
adanya reward and punishment bagi pelaksana kegiatan SKPG yang
menunjukan kinerja yang baik, sehingga dapat memotivasi bagi daerah dalam
melaksanakan kegiatan SKPG..
3) Pada wilayah khusus seperti wilayah kepulauan, perkebunan, Papua, Maluku
dan NTT memerlukan indikator khusus, dan berdasarkan hasil kajian sudah
diusulkan mengenai hal tersebut yang diharapkan dapat memperkuat analisis
dan memperoleh informasi yang tepat berdasarkan indicator yang digunakan.
4) Sistem SKPG adalah bersifat terbuka yaitu bahwa apabila terdapat kabupaten
yang mengalami kerentanan maka bisa dapat bantuan dari daerah/kabupaten
sekitarnya. Hal ini karena fungsi SKPG adalah sebagai deteksi dini, dan hasil
analisis yang menunjukan rawan dapat disebabkan oleh banyak faktor termasuk
alih fungsi lahan (lahan baku sawah) atau perubahan komoditas (dari padi ke
lainnya), tetapi hasil akhirnya sama yaitu produksi menurun akan menunjukan
indikasi rawan pangan.
5) SKPG masih diperlukan sesuai dengan amanat UU Pangan sehingga merupakan
tanggungjawab pusat, provinsi dan kabupaten melalui Dewan Ketahanan
Pangan.
6) Pusat menyediakan data dalam bentuk dashboard sehingga memudahkan
daerah mengakses dan mempublikasi datanya. Pusat dapat membuat berupa
dashboard yang komprehensif agar kabupaten bisa mencontoh nya.
7) Perlunya memasukan SKPG dalam konsep kebijakan yang besar KS RANPG,
sehingga dapat dengan mudah di implementasikan di daerah karena ada
instruksi khusus dari presiden.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 37
b) Rapat Koordinasi Tim Pokja II
Rapat koordinasi Tim Pokja SKPG Pusat dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2016 di
Ruang Nusantara I Lantai 2 yang dihadiri anggota Tim Pokja SKPG Pusat yaitu: (1)
Sub Direktorat Statistik Rumah Tangga, Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat,
BPS; (2) Bidang Data Non Komoditas, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,
Kementerian Pertanian, (3) Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis,
Kementerian Perdagangan; (4) Seksi Pengolahan Statistik Tanaman Pangan,
Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan, BPS, (5) Bidang
Perencanaan dan Bidang Konsumsi pada Badan Ketahanan Pangan, (6) Pejabat
lingkup Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan serta (7) World Food
Programme (WFP). Rapat dibuka Kepala Bidang Kerawanan Pangan dan dilanjutkan
dengan pemaparan materi konsep panduan penyusunan analisis SKPG dan juga
disampaikan oleh Dr. Drajat Martianto dari IPB tentang hasil visibility study kegiatan
SKPG.
Berdasarkan paparan dan diskusi oleh peserta pertemuan, diperoleh hal-hal penting
sebagai berikut:
1) Hasil ujicoba perubahan indikator SKPG menunjukkan bahwa terdapat indikator
yang perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini, sehingga hasil dari analisis SKPG
dapat dimanfaatkan secara maksimal dan dapat dijadikan dasar penyusunan
Pedoman Pelaksanaan SKPG Tahun 2016;
2) Hasil kajian feasibility study SKPG yang dilaksanakan oleh Tim dari BKP
bekerjasama dengan WFP dengan tenaga ahli Dr. Drajat Martianto (IPB)
menunjukkan bahwa pada kegiatan SKPG terdapat beberapa kendala dalam
pelaksanaan SKPG di daerah seperti kuantitas dan kapasitas SDM di daerah yang
kurang, keterlambatan data analisis, dan kurangnya dukungan pemerintah daerah;
3) Terkait dukungan pemerintah daerah, perlu adanya advokasi dalam rangka
pemahaman kegiatan SKPG baik melalui koordinasi maupun melalui forum-forum
resmi seperti rapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di provinsi maupun
kabupaten/kota;
4) Perlu adanya payung hukum yang kuat dan mengikat untuk pemerintah daerah,
sehingga keberadaan SKPG menjadi hal penting. Kebijakan bersama antara
Kementan dan Kemendagri atau Inpres tentang SKPG diharapkan memperkuat
terhadap keterlibatan lembaga/instansi terkait, dukungan dan prioritas anggaran;
5) Adanya penghargaan/reward terhadap pengambil kebijakan (gubernur dan
bupati/walikota) dan pelaksana kegiatan SKPG di daerah. Penghargaan ini dapat
diintegrasikan dengan kegiatan lain (misalnya integrasi dengan Penghargaan
Adhikarya Pangan Nusantara) atau secara mandiri. Hal ini sebagai bentuk
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 38
apresiasi dan semangat kepada pemerintah daerah atas perhatiannya terhadap
upaya pencegahan/deteksi dini kerawanan pangan melalui SKPG;
6) Pelaksanaan kegiatan analisis SKPG berkaitan erat dengan kebijakan dan
ketersediaan data, oleh karena itu perlu upaya dan langkah bersama serta
pengembangan media atau alat analisis. Pengembangan aplikasi SKPG berbasis
website perlu disempurnakan sehingga dapat difungsikan lebih optimal.
c. Pembahasan Panduan Penyusunan SKPG
Pertemuan dalam rangka Pembahasan Panduan Penyusunan SKPG dihadiri oleh: (1)
Pimpinan dan Staf Bidang Kerawanan Pangan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan (2) perwakilan dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan; (1) Tim
Pengembangan Aplikasi SKPG berbasis website dan (4) World Food Programme (WFP).
Pembahasan tentang Panduan Analisis SKPG antara lain :u sulan bahwa perlu adanya
kesepakatan oleh stakeholder terkait di provinsi dalam menetapkan indikator yang akan
digunakan dalam analisis SKPG. Hal ini berkaitan dengan agregat yang akan dihasilkan
oleh provinsi nantinya agar seragam atau sama, perlunya menggunakan istilah yang lebih
tepat, dimana selama ini menggunakan istilah Aman, Waspa dan dan Rawan sebagai hasil
analisis SKPG, usulan menggunakan istilah Aman, Waspada dan Rentan dalam analisis
SKPG dan perlunya pemahaman bersama mengenai konsep dan pelaksanaan SKPG, baik
secara istilah maupun dalam pelaksanaan analisis.
d. Penyusunan Analisis SKPG
Kegiatan Penyususnan Analisis SKPG dilaksanakan di Wisma Hijau, Depok. Penyusunan
Analisis SKPG dilaksanakan dalam rangka mengetahui perkembangan analisis SKPG
bulanan dari provinsi. Metode yang digunakan adalah dengan menganalisis perkembangan
laporan SKPG bulanan masing-masing provinsi selama tahun 2016. Laporan tersebut
diamati perkembangan data ditiap bulannya, kemudian dianalisis faktor yang
mempengaruhinya, sehingga menjadi analisis yang komperhensif.
Beberapa hal yang dapat dilaporkan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:
a). Perlunya data dan laporan SKPG bulanan dari provinsi yang rutin sehingga dapat
dianalisis dengan baik
b). Masih adanya provinsi yang belum mengirimkan laporan yang disebabkan oleh
keterlambatan data dari instansi terkait. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan koordinasi
dengan provinsi sehingga data dasar yang digunakan untuk analisis provinsi dapat
terpenuhi.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 39
c). Data yang dikirim oleh provinsi masih memerlukan konfirmasi ulang. Hal ini
dikarenakan data yang dikirim tidak seluruhnya lengkap dan sesuai dengan format
analisis SKPG.
4) Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and
Vulnerability Atlas) FSVA
Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and
Vurnerability Atlas - FSVA) mengacu pada tiga aspek ketahanan pangan, yaitu:
ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan konsumsi (pemanfaatan) pangan, dan
digambarkan secara lebih rinci kedalam beberapa indikator yang terkait dengan masalah
ketahanan pangan. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) diharapkan dapat
memfasilitasi kebutuhan informasi mengenai lokasi keberadaan wilayah yang memiliki
kerentanan terhadap kerawanan pangan.
Kegiatan penyusunan FSVA pada tahun 2016, dilakukan analisisi FSVA sampai
dengan tingkat Kabupaten dengan cakupan analisis sampai dengan wilayah desa. Analisis
FSVA Kabupaten ini dilakukan terhadap 58 kabupaten yang masuk prioritas 1 dan 2 hasil
FSVA Nasional 2015. Karena kabupaten yang masuk dalam kedua prioritas tersebut dinilai
atau dikelompokkan dalam kategori kerentanan tinggi terhadap kerawanan pangan. Dari
analisis FSVA Kabupaten 2016 diharapkan akan meningkatkan efektifitas pemantauan dan
penanganan kerawanan pangan, sekaligus dijadikan referensi untuk memformulasikan
kebijakan ketahanan pangan yang tepat.
Kabupaten yang termasuk kedalam prioritas 1 dan 2 yaitu sebanyak 58 terdapat di
Provinsi Papua (26 Kabupaten), Sumatera Utara (4 kabupaten), Sumatera Barat (1
Kabupaten), Kepulauan Riau (1 Kabupaten), Nusa Tenggara Timur (9 Kabupaten), Maluku
(7 Kabupaten), Maluku Utara (1 Kabupaten), dan Papua Barat (9 Kabupaten).
Agar pelaksanaan penyusunan FSVA berjalan dengan baik, termasuk penyiapan
metodologi, ketersediaan data, maka diperlukan beberapa kegiatan seperti pemantapan
serta pertemuan untuk pembahasan draf dan pemantapan penyusunan FSVA Kabupaten.
Selain itu juga dilakukan sosialisasi panduan penyusunan FSVA Kabupaten ke aparat
daerah dan ditindaklanjuti dengan pembinaan/bimbingan teknis ke daerah untuk koordinasi,
sinkronisasi kegiatan dan peningkatan kapasitas aparat di daerah dalam rangka
penyusunan FSVA Kabupaten.
Indikator-indikator yang telah ditetapkan untuk penyusunan FSVA Kabupaten
sebanyak 9 (sembilan) indikator baru yang digunakan dalam penyusunan yaitu: (1) Rasio
Warung terhadap Rumah Tangga; (2) Rasio Toko terhadap Rumah Tangga; (3) Rasio
Penduduk dengan Tingkat Kesejahteraan Terendah; (4) Rasio Rumah Tangga Tanpa
Akses Listrik; (5) Desa tanpa akses penghubung yang memadai; (6) Rasio Anak Tidak
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 40
Bersekolah; (7) Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses ke Air Bersih; (8) Rasio Tenaga
Kesehatan terhadap Penduduk; dan (9) Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas Tempat
Buang Air Besar (BAB).
Metodologi yang digunakan dalam analisis FSVA Kabupaten adalah metode
pembobotan yang terdiri atas dua tahapan yaitu :
Penentuan Cut Off Point Indikator Individu
Cut off point indikator individu bisa menjadi dasar suatu kabupaten melihat
perkembangan kondisi desa-desa di wilayahnya. Masing-masing indikator nantinya
akan dikelompokkan kedalam empat prioritas. Prioritas 1 dan 2 merupakan desa-desa
yang cenderung rentan terhadap suatu indikator (warna merah). Sedangkan prioritas 3
dan 4 adalah kelompok desa-desa yang yang cenderung tahan terhadap suatu
indikator (warna hijau).
Penentuan cut off point indikator individu menggunakan metode sebaran empiris
dengan mencari nilai pada titik potong 25%, 50% dan 75%. Sehingga jika nilai pada
titik-titik potong tersebut diketahui, maka cut off point untuk masing-masing indikator
akan mudah ditentukan.
Penentuan Cut Off Point Skor Komposit
Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) kabupaten terdiri atas
sembilan indikator. Dengan indikator yang banyak tersebut kita akan menemui banyak
kesulitan untuk mengelompokkan satu desa dengan desa yang lain, sehingga desa-
desa dalam satu kelompok memiliki karakteristik yang sama dibandingkan dengan
desa-desa yang berada dalam kelompok lainnya.
Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, diperlukan suatu metode komposit yang
berguna untuk menjawab permasalahan tersebut. Dalam perkembangannya, metode
komposit yang digunakan dalam penyusunan FSVA baik di tingkat nasional, provinsi
dan kabupaten mengalami perubahan disesuaikan dengan perkembangan
permasalahan yang ada. Sehingga muncul analisis komposit dengan metode
pembobotan. Metode pembobotan ini merupakan suatu metode sederhana yang bisa
digunakan untuk menentukan suatu daerah atau desa masuk kedalam kategori rentan
atau tahan pangan.
Analisis komposit dengan metode pembobotan digunakan untuk menghilangkan atau
mengurangi kelemahan-kelemahan pada metode-metode komposit sebelumnya.
Kelemahan tersebut antara lain: tidak ada cut off point dalam penentuan prioritas
komposit, pengelompokan dilakukan hanya berdasarkan tingkat kemiripan karakteristik
data-data indikator, daerah-daerah yang di prioritas rendah/tinggi akan selalu berada
pada posisi tersebut (konstan) untuk tahun-tahun mendatang, dan adanya kerancuan
tingkat pemahaman terkait hasil analisis komposit pada tahun yang berbeda. Oleh
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 41
karena itu, metode pembobotan dapat dijadikan sebagai salah satu cara pendekatan
yang baik untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut.
2. Kajian Ketersediaan Pangan, Akses Pangan dan Penanganan Rawan Pangan
Kajian ketersediaan pangan, rawan pangan dan akses pangan terdiri dari :
a. Penyusunan Neraca Bahan Makanan
Informasi situasi ketersediaan pangan di suatu wilayah dapat menjadi bahan
penyusunan kebijakan ketersediaan pangan wilayah dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam upaya untuk mendapatkan informasi tersebut
dilakukan penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM) yang telah dilakukan di tingkat
pusat dan 34 Provinsi. Penyusunan Neraca Bahan Makanan bertujuan untuk
memperoleh data ketersediaan pangan per kapita dalam bentuk energi, protein dan
lemak. Pada tahun 2016, telah disusun Buku NBM Indonesia 2014-2016 yang berisi
data 2014 Angka Tetap, 2015 Angka Sementara dan 2016 Angka Sangat Sementara.
Hasil analisis NBM berdasarkan Angka Tetap 2014, Angka Sementara 2015 dan 2016
Angka Sangat Sementara sebagai berikut :
1) Tingkat ketersediaan energi dan protein pada periode tahun 2014 – 2015 sudah
melebihi anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE) 2.200 Kalori/kapita/hari, dan
Angka Kecukupan Protein 57 gram/kapita/hari. Total ketersediaan zat gizi per kapita
tahun 2014 yaitu energi sebesar 3.834 kkalori/hari, protein 91,83 gram/hari, dan
lemak 63,63 gram/hari. Pada Tahun 2015 (angka sementara), ketersediaan zat gizi
untuk energi menjadi 3.835 kkalori/hari, protein 94,85 gram/hari dan 57,81 gram/hari
lemak. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2016
masing-masing sebesar 4.017 kkalori, 83,07 gram, dan 79,64 gram.
2) Ketersediaan energi per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami peningkatan
0,03% dibanding tahun 2014, dari 3.834 kkal menjadi 3.835 kkal. Ketersediaan
protein per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 3,29%
dibanding tahun 2014, dari 91,83 gram menjadi sebesar 94,85 gram. Sedangkan
ketersediaan lemak per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami penurunan
sebesar 9,15% dibanding tahun 2014 dari 63,63 gram turun menjadi 57,81 gram.
3) Ketersediaan energi per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami peningkatan
4,73% dibanding tahun 2015, dari 3.835 kkal menjadi 4.017 kkal. Ketersediaan
protein per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 12,42%
dibanding tahun 2015, dari 94,85 gram menjadi sebesar 83,07 gram. Sedangkan
ketersediaan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami peningkatan
sebesar 37,78% dibanding tahun 2015 dari 57,81 gram naik menjadi 79,64 gram.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 42
4) Ketersediaan energi, protein dan lemak pada tahun 2014, 2015 dan 2016 masih di
dominasi bahan pangan sumber nabati. Pada tahun 2014 kontribusi energi pangan
nabati sebesar 95,51%, protein sebesar 80,65% dan lemak sebesar 84,58% dari
total energi, protein dan lemak. Pada tahun 2015 kontribusi energi, protein dan
lemak dari bahan pangan sumber nabati masing-masing sebesar 95,38%, 80,68%
dan 82,53% dari total energi, protein dan lemak. Pada tahun 2016 kontribusi energi,
protein dan lemak dari bahan pangan sumber nabati masing-masing sebesar
95,95%, 79,13% dan 88,18% dari total energi, protein dan lemak.
5) Ketersediaan energi kelompok padi-padian pada tahun 2015 lebih tinggi dari tahun
2014, yaitu 2.294 kkal/kap/hari menjadi 2.362 kkal/kap/hari atau meningkat sebesar
68 kkalori (2,96%). Demikian pula ketersediaan protein dan lemak per kapita per
hari meningkat dari 55,57 gram menjadi 57,13 gram protein, dan lemak meningkat
dari 12,82 gram menjadi 13,11 gram, atau meningkat masing-masing sebesar 1,56
gram (2,81%) dan 0,29 gram (2,26%). Sedangkan ketersediaan kelompok padi-
padian tahun 2016 menurun dari tahun 2015 yaitu 2.362 kkal/kap/hari menjadi 2.258
kkal/kap/hari atau menurun sebesar 104 kkalori.
6) Kelompok makanan berpati, kelompok pangan ini adalah ubi jalar, ubi kayu dan
sagu. Kelompok pangan ini mensuplai untuk ketersediaan per kapita per hari energi,
protein, dan lemak yang cukup tinggi, namun mengalami penurunan pada tahun
2015 dibandingkan tahun 2014, yaitu dari 272 kkal menjadi 262 kkal, 1,37 gram
menjadi 1,28 gram dan 1,05 gram menjadi 1,00 gram. Tahun 2016 dari kelompok
makanan berpati yaitu masing-masing sebesar 228 kkal, 1,05 gram dan 0,87 gram
masih lebih rendah dibanding 2015. Hal tersebut belum bisa dijadikan acuan karena
ketersediaan pada tahun 2016 masih mengalami perubahan.
7) Kelompok gula, terdiri dari komoditas gula pasir dan gula mangkok Kelompok ini
terdiri dari komoditas gula pasir dan gula mangkok. Gula pasir merupakan
komoditas penyumbang energi terbesar. Ketersediaan energi per kapita per hari
dari kelompok gula pada tahun 2015 meningkat dibanding tahun 2014, yaitu dari
227 kkal menjadi 250 kkal, sedangkan untuk protein dan lemak relatif sama.
Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 dari
kelompok gula yaitu masing-masing 158 kkal, 0,09 gram dan 0,31 gram.
8) Kelompok buah/biji berminyak yang termasuk dalam kelompok ini adalah kacang
tanah, kedelai, kacang hijau dan kelapa. Ketersediaan energi dan protein per kapita
per hari kelompok ini pada tahun 2015 mengalami peningkatan dibanding tahun
2014, masing-masing dari 224 kkal menjadi 230 kkal, 14,08 gram menjadi 15,11
gram, sedangkan untuk lemak ketersediaan per kapita per hari mengalami
penurunan dari 15,34 gram menjadi 15,26 gram. Ketersediaan energi, protein dan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 43
lemak per kapita per hari pada tahun 2016 dari kelompok buah biji berminyak, yaitu
masing-masing 153 kkal, 7,40 gram dan 11,50 gram, masih lebih rendah dari dua
tahun sebelumnya karena data yang masuk belum lengkap dan sebagian besar
masih angka sementara, estimasi dan angka sasaran.
9) Kelompok buah-buahan, Kontribusi energi per kapita/hari pada tahun 2015 sama
dengan tahun 2014 yaitu sebesar 71 kkal. Sedangkan untuk protein dan lemak
mengalami peningkatan masing-masing dari 0,76 gram menjadi 0,77 gram dan 0,44
gram menjadi 0,47 gram. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari
pada tahun 2016 dari kelompok buah-buahan untuk sementara tidak jauh berbeda
dengan dua tahun sebelumnya namun akan mengalami perubahan apabila data
sudah menjadi angka sementara ataupun angka tetap.
10) Kelompok sayur-sayuran, Kontribusi energi, protein dan lemak per kapita per hari
pada tahun 2015 mengalami penurunan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing
dari 35 kkal menjadi 32 kkal, dari 1,65 gram menjadi 1,50 gram dan dari 0,33 gram
menjadi 0,30 gram. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari
kelompok sayur-sayuran pada tahun 2016, tidak jauh berbeda dengan dua tahun
sebelumnya yaitu masing-masing 32 kkal, 1,50 gram dan 0,32 gram, namun data ini
akan mengalami perubahan apabila sudah menjadi angka sementara atau angka
tetap.
11) Kelompok daging, Pada tahun 2015 ketersediaan per kapita per hari untuk energi,
protein dan lemak mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 masing-masing
dari 61 kkal (1,59%) menjadi 62 kkal (1,62%) dari total ketersediaan, 4,10 gram
menjadi 4,12 gram dan 4,83 gram menjadi 4,95 gram. Ketersediaan energi, protein
dan lemak dari kelompok daging pada tahun 2016 kemungkinan akan mengalami
kenaikan, dan saat ini tersedia naik masing-masing sebesar 63 kkal, 4,17 gram dan
5,03 gram, dan akan mengalami perubahan apabila sudah menjadi angka
sementara dan angka tetap.
12) Kelompok telur, kelompok ini antara lain telur ayam buras, telur ayam ras dan telur
itik. Kelompok telur memberikan kontribusi ketersediaan energi, protein dan lemak
cukup tinggi. Pada tahun 2015 kontribusi per kapita per hari mengalami peningkatan
dibanding tahun 2014, yaitu masing-masing dari 22 kkal (0,57%) menjadi 24 kkal
(0,63%), dari 1,68 gram menjadi 1,80 gram, dan dari 1,60 gram menjadi 1,71 gram.
13) Kelompok susu, pada tahun 2015 tidak mengalami perubahan dari tahun 2014
yaitu sebesar 24 kkal, sedangkan untuk protein dan lemak mengalami peningkatan
yaitu masing-masing dari 1,24 gram menjadi 1,25 gram dan dari 1,35 gram menjadi
1,37 gram. Sedangkan tahun 2016 yaitu masing-masing 9 kkal, 0,48 gram dan 0,53
gram.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 44
14) Kelompok ikan, Produksi perikanan berasal dari produksi ikan tangkap dan
budidaya, baik air tawar maupun laut, termasuk rumput laut. Pada tahun 2015,
kontribusinya mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing
dari 177 kkal menjadi 213 kkal, dari 11,25 gram menjadi 11,78 gram dan dari 1,69
gram menjadi 1,83 gram. Tahun 2016 ketersediaan per kapita per hari energi,
protein masing-masing sekitar 213 kkal, 11,48 gram dan 1,85 gram.
15) Kelompok minyak dan lemak terdiri dari minyak nabati dan lemak hewani. Minyak
nabati terdiri dari minyak yang berasal dari kacang tanah, kopra dan sawit,
sedangkan lemak hewani merupakan bagian dari kelompok daging. Pada tahun
2015 ketersediaan energi dan lemak per kapita per hari mengalami penurunan
dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 426 kkal menjadi 307 kkal dan dari
23,86 gram menjadi 17,50 gram, sedangkan untuk ketersediaan protein tidak
mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 0,03 gram.
Kontribusi kelompok minyak nabati terhadap ketersediaan energi dan lemak per
kapita per hari merupakan yang terbesar, pada tahun 2015 mengalami penurunan
dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 419 kkal menjadi sebesar 299 kkal
dan dari 23,06 gram menjadi sebesar 16,67 gram, sedangkan untuk ketersediaan
protein tetap tidak mengalami perubahan yaitu 0,02 gram. Sementara itu pada
tahun 2016, ketersediaan per kapita per hari energi, protein dan lemak masing-
masing sekitar 809 kkal, 0,05 gram dan 44,18 gram.
b. Analisis Situasi Akses Pangan
Secara konsep akses pangan dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi dan sosial.
Aspek fisik dicirikan oleh ketersediaan pangan disuatu wilayah baik sebagai hasil
produksi setempat maupun pasokan pangan dari tempat lain yang kondisinya sangat
tergantung pada jalur distribusi dan prasarana infrastruktur dasar seperti jalan dan
pasar, aspek ekonomi terkait dengan daya beli masyarakat terhadap bahan pangan, dan
aspek sosial meliputi pendidikan dan modal sosial masyarakat.
Permasalahan akses pangan dapat bersifat sesaat (transien) maupun kronis.
Permasalahan yang bersifat sesaat (transien) biasanya disebabkan oleh adanya
gangguan terhadap potensi sumberdaya seperti konflik sosial dan bencana alam
sedangkan yang bersifat kronis yang umumnya terjadi didaerah rawan pangan dapat
disebabkan karena adanya ketimpangan pada salah satu aspek tersebut diatas atau
bahkan pada ketiga-nya, sehingga penanganan yang harus diambil akan berbeda
sesuai dengan penyebab timbulnya masalah aksesibilitas pangan tersebut.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 45
Untuk menciptakan kondisi sebagaimana pengertian akses pangan bahwa akses
pangan merupakan kemampuan masyarakat, kelompok, rumah tangga atau individu
untuk untuk memenuhi kecukupan pangan setiap saat, baik dari produksi sendiri,
pembelian, pemberian atau bantuan berdasarkan sumber daya yang dikuasai
(teknologi, finansial, sosial, alam dan manusia) dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan keyakinan dapat terpenuhi, maka langkah awal adalah
mengetahui individu atau kelompok yang mengalami rawan pangan, penyebab
timbulnya kondisi tersebut, dan sumber daya yang mereka kuasai yang dapat dijadikan
modal untuk memperkuat aksesibilitas pangan mereka, sehingga langkah dan kebijakan
yang akan disusun berdasarkan kondisi, permasalahan, kebutuhan dan potensi
setempat.
Tujuan kegiatan Analisis Situasi Akses Pangan adalah :
Mengetahui rumah tangga/kelompok rumah tangga yang mengalami masalah
aksesibiltas pangan;
Mengetahui penyebab rendahnya akses pangan rumah tangga/kelompok rumah
tangga;
Menyediakan bahan rumusan kebijakan penguatan aksesibilitas pangan
masyarakat.
Hasil analisis situasi akses pangan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Kegiatan analisis akses pangan telah dilakukan di Desa Tanah Abang Kecamatan
Batanghari Leko Kabupaten Musi Banyuasin. Pemilihan desa berdasarkan FSVA
dan SKPG Kabupaten. Pelaksanaan dilakukan 2 (dua) tahap pengumpulan data
dan informasi yaitu tahap identifikasi dan tahap investigasi. Tahap identifikasi
dilaksanakan dengan menyebar KAP-RT (Kartu Akses Pangan-Rumah Tangga)
kepada seluruh penduduk Desa Tanah Abang yang berjumlah 500 orang. KAP-RT
berisi informasi keberagaman makanan yang dikonsumsi RT setiap hari selama dua
minggu, pada tahap ini semua rumah tangga mengisi KAP-RT sesuai dengan
konsumsi rumah tangga yang bersangkutan, sedangkan tahap investigasi dilakukan
kepada rumah tangga yang teridentifikasi mengalami masalah aksesibilitas pangan
(kategori rendah), untuk mengetahui penyebab terjadinya masalah aksesibilitas
pangan di rumah tangga terduga, baik dari aspek fisik, ekonomi maupun sosial,
dengan menggunakan kuesioner investigasi;
2. Berdasarkan identifikasi aksesibilitas pangan rumah tangga yang dilakukan dengan
menggunakan KAP-RT untuk 500 kepala keluarga, diperoleh status aksesibilitas
akses pangan yang masuk dalam kategori baik 129 kepala keluarga, kategori
sedang 239 kepala keluarga, kategori rendah 53 kepala keluarga atau 10,6 % dan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 46
79 kepala keluarga tidak ada data. Jumlah keluarga yang termasuk pada kategori
aksesibilitas pangan rendah sebesar 10,6 %, mendekati angka kemiskinan BPS
sebesar 11,22 % (Maret 2015);
3. Hasil monitoring pada rumah tangga dengan aksesibiitas pangan rendah mencatat
hal-hal berikut :
a) Berdasarkan analisa distribusi pengeluaran untuk pangan dan stok pangan
rumah tangga, pada 53 rumah tangga yang teridentifikasi mengalami
aksesibilitas pangan tersebut, diperoleh data bahwa rumah tangga yang benar-
benar mengalami masalah aksesibilitas pangan hanya sebesar 16% atau
sebanyak 9 orang, sisanya sebanyak 44 orang berkecenderungan memiliki akses
pangan sedang sampai baik;
b) Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara usia produktif kepala rumah
tangga, jumlah anggota keluarga serta jenis kelamin kepala rumah tangga
dengan kondisi aksesibilitas pangan rumah tangga bersangkutan, namun
mengingat identifikasi aksesibilitas rumah tangga ini berdasarkan keberagaman
asupan makanan, maka perlu dikaji sejauh mana intervensi kepala rumah tangga
pria dalam menentukan menu keluarganya;
c) Keberadaan warung pangan di sekitar pemukiman penduduk dapat
mencerminkan ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau. Jumlah warung
yang cukup banyak dan jarak yang relatif dekat membantu masyarakat
memperoleh bahan pangannya dengan mudah, dapat dikatakan bahwa
ketersediaan bahan pangan di daerah ini cukup, serta dengan harga yang relatif
tidak berbeda jauh dengan harga di kota kecamatan;
d) Penyebab masalah aksesibilitas pangan di Desa Tanah Abang Kecamatan
Batanghari Leko adalah sebagai berikut :
1) Keterbatasan pendidikan (tidak tamat SD)
Pada rumah tangga yang teridentifikasi mengalami akses pangan rendah,
komposisi terbesar pendidikan kepala rumah tangga adalah belum tamat
SD;
2) Mata pencaharian kepala rumahtangga dan anggota keluarga lainnya
Keterbatasan pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki kepala keluarga
mengakibatkan tidak adanya pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh,
umumnya pekerjaan mereka adalah buruh di kebun karet maupun buruh
serabutan lainnya, pekerjaan tersebut tidak memberi mereka pendapatan
yang cukup, sehingga sebagian besar pendapatannya hanya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan pangan saja;
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 47
3) Tidak dimilikinya aset, baik aset produksi maupun aset yang mudah
dicairkan yang dapat digunakan untuk membantu pemenuhan pangan
keluarga;
4) Peran dan fungsi hubungan sosial belum maksimal dimanfaatkan terutama
terkait dengan ketahanan pangan keluarga. Keaktifan berkelompok untuk
peningkatan produksi kebun hanya diikuti oleh 18,6 % buruh, di luar itu
kelompok untuk dana kematian diikuti oleh 39,5 %;
5) Berdasarkan topografi wilayah dan kultur setempat, tersedia potensi yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan aksesibilitas masyarakat
desa tersebut.
c. Kajian Responsif Antisipatif Kerawanan Pangan
Pada tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan melaksanakan
kegiatan Kajian Responsif Antisifatif dalam rangka mitigasi penanganan Kerawanan
Pangan yang difokuskan pada pengembangan kawasan terpadu pangan dan energi,
dengan sasaran kegiatan di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Maluku Utara,
Kepuluan Riau (Natuna). Dari hasil pemetaan FSVA wilayah Maluku, Kep. Riau dan
Kaltara, merupakan daerah rentan karena faktor akses dan sarana prasana. Sedangkan
potensi wilayahnya sangat mendukung untuk dikembangkan. Tahun 2016 kegiatan
pengembangan kawasan terpadu pangan dan energi rencana dilaksanakan di Provinsi
Kalimantan utara. dimana Energi listrik merupakan salah satu infrastruktur utama
yang menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat. Kebutuhan penyediaan energi
listrik harus dapat menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, sehingga dapat
menggerakan perekonomian masyarakat. Semakin meningkatnya tingkat ekonomi pada
suatu daerah maka konsumsi energi listrik juga akan semakin meningkat. Kurangnya
pasokan listrik di Kalimantan Utara menyebabkan pemadaman bergilir sewaktu-
waktu.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengadakan kajian melalui FGD
(Focus Discusion Group) sebagai berikut:
1) FGD pertama dilaksanakan pada tannggal 14 – 15 Juli 2016 di Wisma Sapphire
Pertamina dengan peserta yang hadir dari unsur pemerintah (swasta). Unsur
pemerintah terdiri dari Dinas/Kantor/Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku,
Maluku Utara, Kalimantan Utara, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Blora.
Sedangkan dari swasta dan Perguruan Tinggi dari perwakilan PT. Megadaya, PT.
Paduka Tani Mulia serta UNWAHA Jombang. Dari hasil FGD ini, untuk
pengembangan kawasan perpadu pangan dan energi dengan melihat
pengembangan daerah kawasan memerlukan infrastruktur dan sarana yang
memadai. Inovasi teknologi yang terjangkau dan sesuai dengan kondisi daerah
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 48
seperti penggunaan mikroba untuk penyuburan tanah, penggunaan Soil Stabilizer
untuk pengerasan sarana jalan dan pengadaan energi listrik dari bahan bakar
biomassa dapat diterapkan untuk pengembangan daerah kawasan dan untuk
mengimpelentasikan upaya tersebut, maka diperlukan kerjasama dari seluruh sektor
baik pemerintah maupun non pemerintah.
2) FGD Kedua melanjutkan pembahasan Kawasan Mandiri Pangan terpadu untuk
daerah perbatasan di Provinsi Kaliamantan Utara, FGD ini dilaksanakan di Ruang
Rapat Nusantara II tanggal 3 Agustus 2016 dengan hasil bahasan bahwa di
perbatasan Provinsi Kalimantan Utara banyak daerahnya berada di wilayah
pedalaman sehingga pemenuhan pangan dengan harga terjangkau dan penyediaan
energi listrik masih kurang. Dengan melimpahnya ketersediaan sumberdaya lokal
merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan kawasan
terpadu pangan dan energi diwilayah perbatasan. Potensi sumberdaya lokal yang
ada tersebut merupakan peluang untuk dimanfaatkan dalam penyediaan listrik dari
biomassa. Produksi energi dari biomassa tersebut juga merupakan salah satu output
yang tidak terpisahkan dari pengembangan sektor pertanian khususnya pangan.
3) FGD Ketiga dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2016 di Ruang Rapat Kapus
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan bertujuan untuk: (1) menggali informasi dan
permasalahan serta potensi SDA maupun SDM di wilayah perbatasan Kaltara; (2)
mendapatkan masukan dari nara sumber dan praktisi yang terkait untuk
pengembangan potensi pangan dan energi terbaharukan dalam rangka
pembangunan ketahanan pangan di kawasan perbatasan di Kaltara; dan (3)
merumuskan upaya untuk mengembangkan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu untuk
Daerah Perbatasan
Beberapa hal yang menjadi perhatian dan arah pengembangan Kawasan Mandiri
Pangan terpadu untuk Daerah Perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara yaitu:
a. Pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak hanya mencakup pangan tetapi juga
kebutuhan lainnya seperti energi. Teknologi yang dapat digunakan untuk
mewujudkan hal tersebut adalah pemanfaatan mikroba baik untuk di sektor
pertanian untuk meningkatkan penyediaan dan akses pangan untuk masyarakat
maupun untuk memproduksi listrik dari biomassa; di mana biomassa ini banyak
tersedia di Provinsi Kalimantan Utara.
b. Fokus pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu untuk Daerah Perbatasan
di Kalimantan Utara meliputi: (1) Pemanfaatan pertanian berkelanjutan; (2)
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 49
pembangunan infrastruktur pendukung sarana prasarana pertanian dan
pemukiman, (3) penyediaan listrik tenaga melalui PLTBM (Pembangkit Listrik
Tenaga Biomassa); dam, 4) Pengembangan SDM misalnya melalui pembangunan
politeknik kerjasama dengan perguruan tinggi lainnya.
4) FGD Keempat dilaksanakan di Cipayung pada tanggal 14 -1 5 November 2016 Focus
Group Discussion (FGD) ini merupakan upaya meningkatkan pemahaman
stakeholder terkait dan aparat daerah dalam memanfaatkan sektor pertanian dan
sumberdaya lokal lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah
perbatasan melalui pengembangan Kawasan mandiri Pangan Terpadu.
Untuk memperkuat Kajian Kawasan Mandiri Pangan terpadu ini maka ditambah
peran Pokja Ahli DKP dan Dewan Pakar Provinsi Kalimantan Utara. Dai hasil FGD
sebagai berikut :
a. Untuk mewujudkan kehidupan yang layak, maka perlu dilakukan perubahan
paradigma dalam pertanian terkait kedaulatan/ketahanan pangan, yakni pertanian
digunakan untuk memenuhi penghidupan (livelihood); artinya pertanian tidak
hanya untuk memenuhi pangan tetapi juga memenuhi kebutuhan hidup lainnya
seperti bahan sandang, papan, obat-obatan, dll. Contoh realisasi konsep ini
meliputi contoh sebagai berikut:
- Pemanfaatan jamur mikoriza untuk menyehatkan dan mempertahankan
kesuburan lahan;
- Pemanfaatan mikroorganisme untuk ketersediaan pangan seperti ganggang
mikro spirulina;
- Pemanfaatan pertanian untuk bahan infrastruktur seperti membuat tembok
dari serat tanaman dan bahan pengeras jalan (yang berfungsi seperti aspal);
- Eceng gondok/tanaman lainnya yang dianggap gulma dimanfaatkan sebagai
bahan bioetanol;
- Landscaping pertanian untuk meningkatkan produksi, pendapatan dan
kemandirian petani. Contoh lanscaping pertanian adalah: memanfaatkan arah
sinar matahari, penyediaan air di setiap lahan petani, serta penerapan sistem
zero waste dalam kegiatan pertanian.
b. Upaya untuk melakukan pemerataan pembangunan melalui optimalisasi potensi
sumberdaya yang belum dimanfaatkan. Nilai APBN Indonesia saat ini adalah
sekitar Rp. 3.000 trilyun, yang merupakan 5% dari ekonomi Indonesia secara
keseluruhan. Sementara 95% dari keseluruhan ekonomi Indonesia yang sering
tidak diperhatikan, merupakan potensi yang perlu dikelola.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 50
c. Untuk daerah perbatasan/kepulauan yang memiliki tantangan tertentu, maka
diperlukan penyelesaian yang sesuai dengan kondisinya masing-masing.
Penyelesaian tantangan dan permasalahan perlu dipikirkan untuk daerah yang
biasanya jauh dari perhatian ini. Pemanfaatan pertanian untuk memenuhi
penghidupan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perlu dilakukan untuk
menghadapi tantangan tersebut. Berbagai tantangan yang dihadapi antara lain:
- Masih rendahnya kapasitas SDM (baik aparat maupun masyarakat);
- Keterbatasan sarana dan pra sarana produksi pertanian untuk menghasilkan
pangan;
- Keterbatasan penyediaan energi listrik dan bahan bakar untuk masyarakat.
- Beberapa jalan keluar yang ditawarkan dalam rangka menghadapi tantangan
tersebut (baik dari sisi teknis maupun kebijakan), adalah sebagai berikut:
Kebijakan:
Perlu ada leading sector yang dapat mengkoordinasi upaya penyelesaian
masalah ini;
Perlunya dukungan politik dari masing-masing daerah untuk merealisasikan
upaya yang direncanakan.
Teknis:
Pemanfatan limbah pertanian/perikanan/peternakan menjadi bahan yang
bernilai ekonomis, seperti pemanfaatan limbah perikanan untuk bahan
pengenyal dan pengawet makanan, pemanfaatan gulma untuk bahan
bioetanol;
Pemanfaatan embung bertingkat dalam rangka menyediakan air untuk
kegiatan pertanian sekaligus menahan air selama mungkin sebelum kembali
ke laut;
Penyediaan tanaman pelindung disekitar embung, untuk mengatasi evaporasi
yang tinggi pada musim kemarau;
Penyediaan benih bagi petani oleh petani itu sendiri.
d. Rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain :
Sosialisasi kepada stakeholder di Daerah Perbatasan (Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara);
Pembagian peran (pengorganisasian);
Persiapan teknis;
Pengembangan Kemitraan dan peran lembaga kemasyarakatan, pemerintah
dan swasta.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 51
5) FGD kelima di laksanakan pada tanggal 16 November 2016 dengan membahas isu-
isu strategis yang dibahas a) Fokus utama proyek pengembangan kawasan mandiri
pangan terpadu daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara, b) rencana lokasi
proyek pengembangan kawasan mandiri pangan terpadu daerah perbatasan di
Provinsi Kalimantan Utara, penyiapan bahan-bahan terkait rencana audiensi dengan
jajaran pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.
Hasil FGD yang perlu diperhatikan adalah : a) fokus utama pengembangan Kawasan
Mandiri Pangan Terpadu diarahkan pada pemantapan sistem pertanian dengan
menggunakan pendekatan landscaping yang mampu mempertahankan dan
meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat dihasilkan produk-produk
pertanian/pangan yang berdaya saing dan sebagai bonus pemanfaatan dengan
penerapan prinsip zero easte maka didapat energi (termasuk listrik). b) melalui
pendekatan landscaping tersebut, Kawasan Mandiri Pangan Terpadu dapat
dikembangkan secara berkelanjutan dengan berbasis pemanfaatan sumberdaya
lokal; c) kegiatan pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu tersebut dapat
melibatkan swasta dengan tetap memfokuskan kepada peningkatan kesejahteraan
masyarakat; d) dalam rangka persiapan pelaksanaan kegiatan pengembangan
Kawasan Mandiri Pangan Terpadu, akan segera disusun proposal mengenai
kegiatan dimaksud; e) untuk mempercepat pelaksanaan audiensi dengan jajaran
Pemprov Kaltara, selama satu minggu kedepan Tim akan berkoordinasi dengan
pemangku kepentingan di Provinsi Kalimantan Utara;
d. Monitoring Akses Pangan di Tingkat Penggilingan
Penggilingan padi merupakan bagian dari aktivitas produksi, pasca panen,
pengolahan dan pemasaran gabah/beras, sehingga merupakan mata rantai penting
dalam suplai beras nasional. Industri penggilingan padi dituntut dapat memberikan
kontribusi dalam penyediaan beras, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk
mendukung ketahanan pangan nasional. Penggilingan memiliki peranan penting antara
lain: (1) sebagai penyedia kebutuhan masyarakat, (2) menjadi titik sentral dari suatu
kawasan industri produksi padi, karena mampu berfungsi sebagai titik pertemuan antara
perubahan bentuk padi menjadi hasil utama berupa beras, (3) kontribusinya dalam
menentukan jumlah ketersediaan beras, mutu dan kualitas beras, (4) tingkat harga dan
pendapatan yang diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar oleh
konsumen, dan (5) mampu membuka lapangan pekerjaan di daerah pedesaan. Selain
itu, penggilingan merupakan salah satu pintu masuk untuk memperkirakan antara lain
jumlah/kuantitas beras yang tersedia pada waktu tertentu.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 52
Berdasarkan hasil survei ekonomi yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012
data jumlah penggilingan yang ada di Indonesia sebanyak 182.175 unit terdiri dari
167.840 unit dengan kapasitas kecil, 8.624 unit dengan kapasitas sedang, 2.117 unit
dengan kapasitas besar, dan sebanyak 3.594 unit tidak tercatat golongan
kapasitasnya.
Jumlah penggilingan padi tergantung pada kondisi lingkungan setempat dimana
biasanya semakin tinggi produksi padi di suatu wilayah semakin banyak pula jumlah
penggilingan padi di wilayah tersebut. Saat ini sebanyak 53% jumlah penggilingan padi
di Indonesia berada di pulau Jawa. Berdasarkan tempat usaha, penggilingan padi
dibedakan menjadi dua yaitu penggilingan padi tetap dan penggilingan padi keliling.
Lokasi penggilingan padi tetap selalu menetap di suatu wilayah sedangkan penggilingan
padi keliling umumnya bergerak mengikuti konsumen dari jasa penggilingan tersebut.
Jumlah penggilingan padi keliling di Indonesia mencapai 11,5 % dari total seluruh
penggilingan. Munculnya penggilingan padi keliling mempermudah petani untuk
menggiling padi tanpa harus memikirkan pengangkutan hasilnya.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui stok gabah dan beras yang
ada di penggilingan sebagai indikasi ketersediaan beras di masyarakat. Jumlah sampel
pada kegiatan monitoring akses pangan sebanyak 970 penggilingan yang terdapat pada
97 kabupaten di 22 provinsi di Indonesia. Tiga kabupaten yaitu Kabupaten Toba
Samosir, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Lampung Tengah (30 penggilingan) tidak
dimasukkan dalam pengolahan data karena kendala di lapangan sehingga kabupaten-
kabupaten tersebut tidak dapat mengirimkan data.
Sampel penggilingan terdiri dari 514 penggilingan dengan kapasitas besar, 357
penggilingan kapasitas sedang, dan 99 penggilingan kapasitas kecil. Persentase
penggilingan responden dari masing-masing skala usaha dibandingkan dengan populasi
jumlah penggilingan di Indonesia berdasarkan kapasitasnya adalah sebagai berikut
penggilingan besar sebesar 25%, penggilingan sedang 4,3%, dan penggilingan kecil
sebesar 0,06%.
Hasil kegiatan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan tahun 2016
adalah sebagai berikut :
(1) Jumlah Sampel Per Provinsi
Persentase penggilingan responden dari masing-masing skala usaha dibandingkan
dengan populasi jumlah penggilingan di Indonesia berdasarkan kapasitasnya
adalah sebagai berikut : penggilingan besar sebesar 25%, penggilingan sedang
4,3%, dan penggilingan kecil sebesar 0,06%. Pengambilan sampel pada
penggilingan skala besar lebih banyak dari penggilingan skala lainnya karena
keragaman kapasitas terpasang pada skala tersebut relatif tinggi. Berikut jumlah
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 53
populasi sampel dan jumlah sampel berdasarkan kapasitas penggilingan per
provinsi pada kegiatan monitoring akses pangan tahun 2016.
Tabel 8. Jumlah sampel per provinsi berdasarkan kapasitas penggilingan
No. Provinsi Jumlah Sampel
Jumlah Besar Sedang Kecil
1 Bali 13 5 2 20
2 Banten 12 24 4 40
3 DI Yogyakarta 6 3 1 10
4 Jawa Barat 96 48 16 160
5 Jambi 11 5 4 20
6 Jawa Tengah 70 56 14 140
7 Jawa Timur 72 36 12 120
8 Kalimantan Barat 29 26 5 60
9 Kalimantan Selatan 17 9 4 30
10 Kalimantan Tengah 11 7 2 20
11 Kalimantan Timur 12 6 2 20
12 Lampung 9 18 3 30
13 Nanggroe Aceh Darussalam
18 9 3 30
14 Nusa Tenggara Barat 24 12 4 40
15 Nusa Tenggara Timur 8 10 2 20
16 Riau 1 8 1 10
17 Sulawesi Barat 11 7 2 20
18 Sulawesi Selatan 50 31 9 90
19 Sulawesi Tenggara 1 8 1 10
20 Sumatera Barat 15 12 3 30
21 Sumatera Selatan 22 14 4 40
22 Sumatera Utara 6 3 1 10
Total 514 357 99 970
a. Tingkat Rendemen Penggilingan Sampel
1) Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat rendemen
Rendemen giling adalah persentase berat beras sosoh terhadap berat
gabah yang digiling. Beras sosoh adalah gabungan beras kepala, beras
patah, dan menir. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung
rendemen adalah dengan mengambil sampel gabah dan ditimbang kemudian
dimasukkan ke mesin penggiling dengan konfigurasi mesin yang telah
ditentukan. Beras hasil penggilingan ditimbang dan dipisahkan dari kotoran
atau benda asing. Nilai rendemen merupakan hasil perbandingan antara berat
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 54
beras sosoh yang dihasilkan dari penggilingan dengan berat gabah sebelum
digiling.
Rendemen merupakan salah satu faktor mutu yang penting. Rendemen
dikatakan baik apabila dari gabah digiling diperoleh minimum 70% beras
giling, terdiri dari ± 50% beras kepala dan 20% beras pecah.
Faktor-faktor yang menentukan rendemen giling antara lain : varietas,
penerapan budidaya, lingkungan atau agroekosistem, penanganan pasca
panen, teknik penggilingan, peralatan penggilingan, dan kemampuan sumber
daya manusia yang melakukan proses penggilingan.
Upaya untuk menekan susut dan meningkatkan rendemen giling telah
dilakukan pemerintah dengan meluncurkan program Peningkatan Produksi
Beras Nasional (P2BN) dan gerakan penanganan pasca panen dan
pemasaran gabah/beras (GP4GB) dengan target menghasilkan tambahan
produksi dua juta ton beras atau setara 3,15 juta ton GKG (gabah kering
giling). Dalam kegiatan pascapanen upaya tersebut ditempuh melalui
pengadaan dan rehabilitasi alat mesin pascapanen (sabit bergerigi, terpal,
pedal thresher dan power thresher) dan revitalisasi penggilingan padi kecil
(PPK) atau rice milling unit (RMU) dengan tujuan utama menekan susut
pascapanen dan meningkatkan rendemen giling. Jika dalam penanganan
pascapanen dapat ditekan susut sebesar 3 persen maka usaha tersebut
dapat meningkatkan produksi gabah sebesar 1,8 juta ton GKG atau setara
1,14 juta ton beras. Di lain pihak, dalam penggilingan jika dapat meningkatkan
rendemen sebesar 3 persen akan dapat meningkatkan ketersediaan beras
nasional sekitar 1,14 juta ton beras. Dengan demikian sekitar 2,28 juta ton
beras dapat diselamatkan dengan menekan susut dan meningkatkan
rendemen giling.
2) Keragaan rendemen setiap kabupaten
Hasil pemantauan menunjukkan bahwa tingkat rendemen berkisar
antara 41% - 75 % dengan rata-rata rendemen 55 %. Keragaan rendemen
setiap kabupaten dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 55
Tabel 9 . Tingkat rendemen penggilingan sampel
b. Jumlah Penggilingan Yang Memberikan Data Selama Juli – Desember 2016
Persentase tertinggi jumlah penggilingan yang memberikan data terjadi pada
bulan Juli 2016 yaitu sebesar 83,09%, dan terendah pada bulan Desember 2016
yaitu 69,38%, rata-rata data yang masuk setiap bulan sebesar 76,82%.
Berdasarkan wilayah, provinsi yang memberikan laporan data stok gabah
dan beras secara penuh (100%) adalah provinsi Bali, Jambi, Kalimantan Selatan,
No. Kabupaten Rata-Rata Rendemen
1 Lima Puluh Kota 48 %
2 Indragiri Hilir 60 – 65 %
3 Kerinci 55 – 65 %
4 Banyuasin 55 – 66 %
5 Lampung Timur 56 – 66 %
6 Tanggamus 50 %
7 Serang 50 – 59 %
8 Lebak 55 – 62 %
9 Pandeglang 48 – 63 %
10 Tangerang 55 – 65 %
11 Cianjur 43 – 64 %
12 Bogor 52 – 65 %
13 Karawang 53 – 60 %
14 Majalengka 60 – 65 %
15 Pati 49 – 60 %
16 Ponorogo 60 – 66 %
17 Banyuwangi 51 – 55 %
18 Ngawi 55 – 65 %
19 Malang 50 – 55 %
20 Pasuruan 46 – 53 %
21 Lumajang 53 – 58 %
22 Bantul 60 %
23 Lombok Tengah 60 – 62 %
24 Bima 60 – 66 %
25 Lombok Barat 50 – 75 %
26 Kubu Raya 64 – 68 %
27 Hulu Sungai Tengah 60 – 67 %
28 Hulu Sungai Selatan 66 %
29 Takalar 65 %
30 Gowa 55 – 65 %
31 Bantaeng 60 – 70 %
32 Maros 41 – 65 %
33 Wajo 50 – 57 %
34 Bulukumba 55 – 65 %
35 Polewali Mandar 57 – 60 %
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 56
Riau dan Sumatera Utara, sedangkan provinsi Sulawesi Tenggara merupakan
provinsi yang terendah dalam memberikan laporan (0%). Tren pengumpulan data
semakin menurun. Hal ini antara lain disebabkan oleh :
1) Perubahan kelembagaan yang menangani ketahanan pangan di daerah,
salah satu diantaranya mutasi enumerator ke dinas lain;
2) Respon dari penggilingan yang menjadi sampel semakin lama semakin
turun, hal ini diduga karena responden merasa bosan. Sehingga
pengumpulan data mengalami keterlambatan atau bahkan tidak ada data
sama sekali.
c. Stok Gabah dan Beras di Penggilingan pada Bulan Juli – Desember 2016
Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan dari bulan Juli – Desember
2016, diperoleh data stok gabah tertinggi terdapat pada bulan Agustus 2016
yaitu sebesar 3.828.810 ton, dan stok terendah terjadi pada bulan November
2016 yaitu sebesar 2.964.067 ton. Stok beras tertinggi terjadi pada bulan
September 2016 yaitu sebesar 1.762.296 ton, dan stok terendah pada bulan Juli
2016 yaitu sebesar 1.529.048 ton. Stok tersebut tersebar di penggilingan besar,
sedang maupun kecil.
d. Stok Gabah dan Beras di Penggilingan Berdasarkan Kapasitasnya pada
bulan Juli – Desember 2016
1) Stok gabah dan beras di penggilingan berdasarkan kapasitas besar pada
bulan Juli – Desember 2016
Berdasarkan hasil survei Juli - Desember 2016 diperoleh data stok
gabah di penggilingan kapasitas besar tertinggi terjadi pada bulan Juli 2016
yaitu sebanyak 291.342,60 ton, sedangkan stok beras tertinggi pada bulan
Oktober 2016 yaitu sebesar 454.271,78 ton.
2) Stok gabah dan beras di penggilingan kapasitas sedang pada bulan Juli –
Desember 2016
Berdasarkan hasil survey Juli - Desember 2016 diperoleh data stok
gabah di penggilingan kapasitas sedang tertinggi terjadi pada bulan
Desember 2016 yaitu sebanyak 398.072,80 ton dan stok beras tertinggi juga
terjadi pada bulan Desember 2016 sebesar 192.110,23 ton.
3) Stok gabah dan beras di penggilingan kapasitas kecil pada bulan Juli –
Desember 2016
Berdasarkan hasil survey Juli – Desember 2016 diperoleh data stok
gabah dan beras di penggilingan kapasitas kecil tertinggi terjadi pada bulan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 57
Agustus 2016 yaitu dimana stok gabah sebanyak 3.260.289 ton dan stok
beras tertinggi terjadi pada bulan Juli 2016 sebanyak 1.268.680 ton.
e. Perkiraan Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Nasional
Perkiraan ketersediaan beras nasional tahun 2016 sebesar 46,028.6 ribu ton
dan perkiraan kebutuhan beras nasional tahun 2016 sebesar 33,842.4 ribu.
Kebutuhan beras nasional dihitung sebesar 124,89 kg/kap/thn. Dengan stok akhir
tahun 2015 sebesar 8.906,6 ribu ton maka pada tahun 2016 tidak perlu ada
import. Jumlah penduduk tahun 2016 sebanyak 258.705.000 jiwa (proyeksi
penduduk Indonesia 2010 – 2035, Bappenas – BPS).
f. Hubungan Antara Ketersediaan Dan Stok Beras Di Penggilingan Pada
Bulan Juli – Desember 2016
Apabila dibuat perbandingan perkiraan ketersediaan beras dan stok beras di
penggilingan dari bulan Juli – Desember 2016 terdapat hubungan yang cukup
signifikan antara ketersediaan beras dan stok beras di penggilingan, dimana hasil
uji korelasi menunjukan nilai r = 0,889. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi
hubungan yang kuat antara ketersediaan beras dengan stok beras di
penggilingan. Sedangkan arah hubungan adalah positif karena nilai r positif,
berarti semakin tinggi perkiraan ketersediaan beras per bulan maka stok beras di
penggilingan per bulan juga meningkat.
g. Hubungan Antara Perkiraan Kebutuhan Dan Stok Beras Di Penggilingan
Pada Juli – Desember 2016
Berdasarkan hasil pengumpulan data monitoring akses pangan di tingkat
penggilingan dari bulan Juli – Desember 2016 jumlah stok beras di penggilingan
hampir selalu lebih rendah dibanding perkiraan kebutuhan beras.
h. Hubungan Antara Perkiraan Ketersediaan Beras, Stok Beras Di
Penggilingan, Dan Perkiraan Kebutuhan Beras Bulan Juli – Desember 2016
Perkiraan kebutuhan beras untuk tahun 2016 cenderung stabil dari bulan ke
bulan, sedangkan perkiraan ketersediaan beras bersifat fluktuatif tergantung
pada musim, dimana pada saat musim panen seperti bulan Maret perkiraan
ketersediaan berasnya sangat tinggi. Namun apabila dilihat dari jumlah stok
beras di penggilingan, jumlahnya juga cukup stabil tidak terlalu terpengaruh oleh
musim panen walaupun pada musim-musim panen jumlahnya cenderung tinggi
namun meningkatnya tidak terlalu signifikan dibanding bulan-bulan lainnya.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 58
Stabilnya jumlah stok beras di penggilingan diduga karena pada umumnya
apabila di suatu wilayah tidak terdapat stok gabah untuk digiling maka
pengusaha penggilingan akan berusaha mencari gabah dari daerah-daerah lain
untuk digiling, sehingga perusahaan penggilingan tersebut cenderung stabil.
Secara umum, ketersediaan dan stok beras di penggilingan masih dapat
memenuhi kebutuhan beras setiap bulan pada tahun 2016.
e. Kemandirian Pangan dalam Mendukung Swasembada Pangan
Untuk mencapai kemandirian pangan kemampuan penyediaan pangan
berdasarkan produksi lokal merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu swasembada
pangan harus terus diupayakan. Penyediaan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan
pangan dalam negeri sangat ditentukan oleh luas dan produktivitas lahan yang dikelola,
keterbatasan lahan dan rendahnya produktivitas mengakibatkan ketergantungan pangan
kepada pihak luar, kondisi tersebut akan sangat membahayakan kedaulatan suatu
bangsa.
Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan yang selama
ini tidak digunakan karena berbagai sebab, antara lain minimnya unsur hara yang
berakibat pada rendahnya produktivitas sebagaimana yang terjadi di lahan kritis yang di
dalamnya termasuk lahan bekas galian tambang. Jaringan advokasi tambang (Jatam)
memperkirakan 70% kerusakan lingkungan Indonesia disebabkan operasi
pertambangan. Sekitar 3,97 juta ha kawasan lindung terancam pertambangan termasuk
keragaman hayatinya. Tak hanya itu, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat
aktivitas pertambangan juga meningkat dalam 10 tahun terakhir, dari sekitar 4.000 DAS
di Indonesia, 108 rusaknya rusak parah.
Pengelolaan lahan dengan benar pada lahan-lahan kritis dan tidak
termanfaatkan tersebut dapat memenuhi 2 (dua) hal yang dibutuhkan untuk penyediaan
pangan secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan lahan harus diupayakan tanpa
menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan maupun menurunkan kualitas sumber
daya lahan, dan sebaiknya diarahkan pada perbaikan struktur fisik, komposisi kimia dan
aktivitas biota tanah yang optimum bagi tanaman, yang selanjutnya dapat menjamin
keberlangsungan usaha tani.
Pertemuan Penyusunan Panduan Pembinaan Keberlanjutan Kemandirian
Pangan
Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 21 – 22 April 2016 di Wisma BIN,
Cipayung, Bogor dengan peserta sebanyak 12 orang yang terdiri dari Kepala Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Kepala Bidang Akses Pangan, Kepala Sub
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 59
Bidang Analisis Akses Pangan, Kepala Sub Bidang Pengembangan Akses Pangan
dan staf Bidang Akses Pangan.
Tujuan dari pertemuan ini adalah menyusun panduan pembinaan keberlanjutan
kemandirian pangan.
Output yang dihasilkan pada pertemuan ini adalah Panduan Pembinaan
Keberlanjutan Kemandirian Pangan – SOP Penyehatan Lahan Bekas Galian
Tambang.
Kegiatan pembinaan keberlanjutan kemandirian pangan hanya dilaksanakan melalui
kegiatan penyusunan panduan saja. Hal ini dikarenakan adanya pemotongan
anggaran.
3. Penguatan Kapasitas Aparat dan Masyarakat
a. Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan
Kegiatan Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan bertujuan untuk menyamakan
persepsi dan meningkatkan kemampuan aparat daerah dalam melakukan analisis
ketersediaan pangan wilayah (provinsi dan kabupaten/kota). Sasaran dari kegiatan ini
adalah aparat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam melakukan analisis
ketersediaan pangan wilayah. Sedangkan output dari kegiatan ini adalah terlaksananya
apresiasi analisis ketersediaan pangan terhadap aparat dari 34 provinsi.Realisasi
pelaksanaan 100 persen.
Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan Tahun 2016 dilaksanakan dua kali pertemuan.
Pertemuan pertama di Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 15 – 17 Maret 2016,
diikuti oleh 16 provinsi. Pertemuan kedua di Jawa Timur pada tanggal 30 Maret – 1 April
2016, diikuti oleh 17 provinsi. Sedangkan Materi yang disampaikan dalam Apresiasi
Analisis Ketersediaan Pangan adalah Neraca Bahan Makanan (NBM), Angka
Kecukupan Gizi dan Pola Pangan Harapan (AKG & PPH), Pola Panen Bulanan, Hari
Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Berdasarkan hasil pemaparan, diskusi dan pembahasan selama apresiasi maka
diperlukan rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan di tingkat daerah dan pusat,
diantaranya sebagai berikut:
a. Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, khususnya SKPD yang menangani ketahanan
pangan diharapkan dapat:
1) Memanfaatkan hasil analisis ketersediaan pangan sebagai bahan perumusan
kebijakan ketersediaan pangan di wilayahnya. Analisis Neraca Bahan Makanan
(NBM) dapat digunakan sebagai sarana evaluasi kinerja instansi lintas sektor
terkait yang menjadi sumber data dan informasi NBM.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 60
2) Membentuk Tim Neraca Bahan Makanan dengan melibatkan instansi lintas
sektor dalam rangka mempermudah koordinasi dan validasi data dari berbagai
instansi lintas sektor terkait, dengan menerbitkan SK Gubernur/Bupati/Walikota
selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi/Kabupaten/Kota.
3) Melakukan kordinasi dengan SKPD, terkait komoditas yang belum masuk dalam
NBM. Dalam hal ini komoditas spesifik wilayah dimana komoditas tersebut
banyak dikonsumsi oleh mayarakat.
4) Menggunakan angka konversi dalam NBM sesuai dengan kondisi daerah
masing-masing berdasarkan hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan dan
disepakati Tim NBM Provinsi dan Kabupaten/Kota.
5) Buku NBM diharapkan dapat distribusikan kepada seluruh SKPD terkait dan
anggota TIM NBM, sehingga diharapkan menjadi salah satu alat (informasi)
dalam pengambilan kebijakan Gubernur, Bupati dan walikota.
6) Menyusun Pola Pangan Harapan (PPH) sesuai dengan kondisi potensi wilayah,
khususnya di wilayah non sentra produksi beras atau wilayah dengan konsumsi
pangan pokok selain beras.
7) Dalam menyusun pola panen dan produksi bulanan, diharapkan Provinsi,
Kabupaten/Kota perlu melakukan kordinasi dengan BPS terkait dengan data sub-
round khususnya data sub-round pada tingkat Kabupaten.
8) Melaksanakan pelatihan analisis ketersediaan pangan dalam rangka
meningkatkan kapasitas dan kinerja aparat provinsi/kabupaten/kota dalam
analisis ketersediaan pangan.
b. Melakukan koordinasi lintas sektor untuk membahas kembali angka-angka konversi
yang digunakan dalam NBM.
c. Melakukan evaluasi terhadap hasil analisis NBM yang disusun oleh Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
d. Melakukan koordinasi untuk mengalokasikan anggaran Tugas Pembantuan untuk
memfasilitasi analisis ketersediaan pangan di tingkat kabupaten.
3.4 Capaian Kinerja Lainnya
a. Updating FSVA Nasional
FSVA Nasional 2015 menyediakan bahan rekomendasi kepada pengambil
keputusan dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari
berbagai sektor seperti pelayanan jasa, pembangunan manusia dan infrastuktur yang
berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap
penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat. FSVA Nasional 2015 ini
menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai dengan level kabupaten.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 61
Kegiatan penyusunan FSVA Nasional menghasilkan output berupa tersusunnya FSVA
Nasional sebanyak 1 Buku atau terealisasi 100 persen.
Kegiatan penyusunan FSVA bertujuan untuk: (1) Meningkatkan pemahaman
petugas pelaksana tentang pentingnya informasi ketahanan dan kerentanan pangan, (2)
Meningkatkan kemampuan petugas pelaksana dalam penyusunan peta ketahanan dan
kerawanan pangan (FSVA) provinsi/kabupaten, (3) Meningkatkan kemampuan petugas
pelaksana dalam pemanfaatan data/indikator peta ketahanan dan kerawanan pangan untuk
menyusun rencana program peningkatan ketahanan pangan dan penanggulangan
kerawanan pangan dan gizi.
FSVA Nasional 2015 mengacu pada tiga aspek ketahanan pangan, yaitu aspek
ketersediaan pangan, aspek akses pangan dan pemanfaatan pangan. Masing-masing
aspek tersebut diwakili dengan indikator-indikator yang mengimplementasikan aspek
ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan.
FSVA Nasional 2015 terdiri dari 13 indikator, dimana indikator tersebut terbagi
dalam 9 indikator kerawanan pangan kronis dan 4 kerawanan pangan transien. Indikator
kerawanan pangan kronis meliputi rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan produksi
bersih (padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar), persentase penduduk hidup di bawah garis
kemiskinan, persentase desa dengan akses penghubung yang kurang memadai,
persentase rumah tangga tanpa akses listrik, persentase perempuan buta huruf,
persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, persentase desa dengan jarak lebih
dari 5 km dari fasilitas kesehatan, presentase tinggi badan balita dibawah standar (stunting)
dan angka harapan hidup pada saat lahir. Sedangkan kerawanan pangan transien meliputi
bencana alam yang terkait iklim, variabilitas curah hujan, hilangnya produksi padi dan
deforestasi yang secara rinci dapat dilihat pada tabel lampiran. Metodologi dalam analisis
komposit FSVA Nasional 2015 adalah menganalisis 9 indikator kerawanan pangan kronis
dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis), Analisis
Gerombol (Cluster Analysis) dan Analisis Diskriminan (Discriminant Analysis).
FSVA Nasional 2015 juga dapat menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu dimana
wilayah yang paling rentan terhadap kerawanan pangan, mengapa wilayah tersebut rentan
terhadap kerawanan pangan, dan berapa banyak orang yang terkena dampak (estimasi).
Berdasarkan hasil analisis ketahanan pangan komposit, dari total 398 kabupaten di
Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Prioritas 1 sebanyak 14 kabupaten
(4%), Prioritas 2 sebanyak 44 kabupaten (11%), Prioritas 3 sebanyak 52 kabupaten (13%),
Prioritas 4 sebanyak 84 kabupaten (21%), Prioritas 5 sebanyak 85 kabupaten (21%) dan
Prioritas 6 sebanyak 119 kabupaten (30%). Dari 14 kabupaten yang termasuk kategori
Prioritas 1, semuanya berasal dari Provinsi Papua. Perlu diketahui bahwa Provinsi Papua
memiliki 28 kabupaten secara keseluruhan. Selanjutnya dari 44 kabupaten yang termasuk
kategori Prioritas 2, terdapat 12 kabupaten di Provinsi Papua, 9 kabupaten di Provinsi
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 62
Papua Barat, 9 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 7 kabupaten di Provinsi
Maluku, 4 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dan 1 kabupaten masing-masing di
Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Maluku Utara.
Karakteristik utama yang menyebabkan tingginya kerentanan terhadap kerawanan
pangan secara umum adalah: (1) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik, (2)
tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (jalan darat
dan air), (3) tingginya jumlah keluarga yang tinggal di desa dengan jarak lebih dari 5 km
dari fasilitas kesehatan, (4) tingginya angka perempuan buta huruf, (5) tingginya jumlah
penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan (6) tingginya rasio konsumsi terhadap
produksi.
Karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada Prioritas 1
secara berturut-turut adalah: (1) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses
penghubung yang memadai (jalan darat dan air), (2) tingginya jumlah rumah tangga tanpa
akses listrik, (3) tingginya angka perempuan buta huruf, (4) tingginya jumlah desa yang
tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan dalam jarak 5 km dan (5) tingginya angka
stunting pada balita.
Karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada Prioritas 2
berturut-turut adalah: (1) tingginya angka stunting pada balita, (2) tingginya jumlah rumah
tangga tanpa akses air bersih dan layak minum, (3) rendahnya angka harapan hidup, (4)
tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik dan (5) tingginya angka perempuan buta
huruf.
Sedangkan karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada
Prioritas 3 berturut-turut adalah: (1) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses
penghubung yang memadai (jalan darat dan air), (2) tingginya jumlah rumah tangga tanpa
akses listrik, (3) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan
dalam jarak 5 km, (4) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih dan layak
minum dan (5) tingginya rasio konsumsi terhadap produksi.
3.5 Dukungan Instansi Lain
Pada tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mendapatkan dukungan dari
beberapa instansi terkait antara lain :
(1) Badan Pusat Statistik (BPS), (2) Kementerian Kesehatan, (3) Kementerian Perdagangan,
(4) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), (5) Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika (BMKG), (6) Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, (7) Badan Koordinasi
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), (8) Kementerian Sosial, (9) Kementerian Dalam
Negeri, (10) Bank Indonesia, (11) Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BPPN),
(12) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (13) Kementerian Kelautan dan
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 63
Perikanan, (14) Perum Bulog, (15) Institut Pertanian Bogor (IPB) dan (16) World Food
Programme (WFP).
Dukungan yang diberikan berupa penyediaan data yang digunakan dalam analisis yang terkait
kegiatan di Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. Selain itu, BAPPENAS juga
memberikan dukungan dengan menjadikan peta FSVA sebagai salah satu sumber wacana
dalam penentuan indikator pembangunan desa.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 64
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Secara umum, kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan selama tahun 2016 telah berjalan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, yang
tampak dari hasil pengukuran kinerja dengan sasaran meningkatnya kualitas analisis
ketersediaan dan akses pangan serta penanganan kerawanan pangan, yang ditetapkan melalui
8 indikator berikut:
1. Jumlah desa mandiri pangan regular yang diberdayakan di 429 desa dengan capaian 429
desa atau 100 persen;
2. Jumlah kawasan mandiri pangan (Papua, Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang
diberdayakan) di 107 lokasi dengan capaian 100 persen;
3. Jumlah pengembangan kawasan mandiri pangan 2016 sebanyak 85 laporan dengan
capaian 85 laporan atau 100 persen;
4. Analisis penanganan rawan pangan, SKPG sebanyak 456 laporan dengan capaian 456
laporan atau 100 persen;
5. Pengembangan akses pangan sebanyak 3 laporan dengan capaian 3 laporan atau 100
persen;
6. Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) sebanyak 1 laporan, dengan
capaian 1 laporan atau 100 persen;
7. Jumlah hasil kajian ketersediaan pangan, akses pangan dan penanganan rawan pangan
sebanyak 72 laporan dan 1 dokumen dengan capaian 72 laporan dan 1 dokumen atau 100
persen.
8. Jumlah laporan hasil penguatan kapasitas aparat dan masyarakat sebanyak 2 laporan
dengan capaian 7 laporan atau 100 persen.
Selain melakukan kegiatan diatas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan juga
melakukan kegiatan lain untuk menunjang sasaran strategis yaitu kajian cadangan beras dan
PPFS-APEC.
Untuk mencapai sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan
penanganan rawan pangan dialokasikan anggaran sebesar Rp.17.524.834.000 telah
direalisasikan sebesar Rp.13.237.639.642 atau 75,54 persen, yang dialokasikan pada di 9
kegiatan yang meliputi : Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan, Penanganan Daerah
Rawan Pangan (SKPG), Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA),
Kajian Ketersediaan Pangan, Akses Pangan dan Penanganan Rawan Pangan, dan
Penguatan Kapasitas Aparat dan Masyarakat.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 65
4.2 Saran
1. Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektor untuk mendukung kegiatan Pusat
Ketersediaan dan Kerawanan Pangan;
2. Perlunya peningkatan sosialiasi kegiatan Pusat ke daerah;
3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Pusat dan Daerah;
4. Perlunya dukungan anggaran di Pusat dan Daerah.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Indikator, Definisi dan Sumber Data FSVA Kabupaten 2016
1. Rasio Warung terhadap Rumah Tangga
Adalah Rasio Jumlah Warung/Kedai Makanan dan Minuman terhadap Jumlah Rumah Tangga.
Jumlah toko/warung kelontong adalah tempat usaha di bangunan tetap untuk menjual barang
keperluan sehari-hari secara eceran tanpa ada sistem pelayanan mandiri, sumber data:
PODES 2014 #1208, BPS.
Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2014, hasil dari proyeksi SP 2010.
2. Rasio Toko terhadap Rumah Tangga.
Adalah Rasio Jumlah Warung/Kedai Makanan Minuman terhadap Jumlah Rumah Tangga.
Jumlah warung/kedai makanan minuman adalah usaha pangan siap saji di bangunan tetap,
pembeli biasanya tidak dikenai pajak, sumber data: PODES 2014 #1207, BPS.
Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2014, hasil dari proyeksi SP 2010.
3. Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah.
Adalah Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah terhadap Total Penduduk.
Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah adalah Jumlah Penduduk dengan Tingkat
Kesejahteraan pada Desil 1, Sumber data: PBDT 2015, TNP2K.
Jumlah Penduduk adalah jumlah penduduk tahun 2015, hasil proyeksi dari SP 2010.
4. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik
Adalah rasio jumlah rumah tangga dengan sumber penerangan utama bukan listrik pada
semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok III #9a, TNP2K.
Jumlah rumah tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi 2010.
5. Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Memadai.
Adalah Desa Tidak Memiliki Jalan yang Dapat Dilalui Kendaraan Roda 4 atau Lebih, yaitu:
desa dengan sarana transportasi darat tidak dapat dilalui sepanjang tahun dan
desa yang tidak ada angkutan umum sarana transportasi air.
Sumber data: PODES 2014 #1001B2, BPS.
6. Rasio Anak yang Tidak Bersekolah terhadap Anak yang Bersekolah.
Adalah Rasio Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah (7-15 Tahun) terhadap Jumlah Anak
Bersekolah (7-15 Tahun) pada semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok IV #kolom15,
TNP2K.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
7. Rasio Rumah Tangga tanpa Akses Air Bersih.
Adalah Rasio Rumah Tangga Tidak Memiliki Akses ke Air Bersih. Air bersih adalah air yang
digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat
diminum apabila telah dimasak (Permenkes 416 Tahun 1990).
Air minum yang berkualitas (layak) adalah air minum yang terlindung meliputi: air ledeng
(keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan (PAH) atau mata air
dan sumur terlindung, sumur bor atau sumur pompa, yang jaraknya minimal 10 m dari
pembuangan kotoran, penampungan limbah dan pembuangan sampah. Tidak termasuk: air
kemasan, air dari penjual keliling, air yang dijual melalui tanki, air sumur dan mata air tidak
terlindung.
Rumah tangga tidak memiliki akses ke air bersih adalah rumah tangga dengan sumber air tidak
layak minum yaitu sumber air tidak terlindungi, terdiri atas (a) sumur tak terlindung; (b) mata air
tak terlindung (c) sungai/danau/waduk; (d) air hujan; (d) lainnya pada semua desil, sumber
data: PBDT 2015, Blok III #7, TNP2K.
Jumlah rumah tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi SP 2010.
8. Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Penduduk.
Adalah Rasio Jumlah Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk. Jumlah tenaga
kesehatan terdiri atas: (a) Dokter Umum/Spesialis (Pria/wanita), (b) Dokter Gigi, (c) Bidan dan
(d) Tenaga Kesehatan lainnya (apoteker/asisten apoteker, tenaga kesehatan masyarakat,
tenaga gizi, perawat), Sumber data: PODES 2014 #706a-#706d, BPS.
Jumlah penduduk adalah jumlah penduduk tahun 2014, hasil proyeksi dari SP 2010.
9. Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB (Buang Air Besar).
Adalah Rasio Rumah Tangga yang Tidak Memiliki Fasilitas Buang Air Besar terhadap Jumlah
Rumah Tangga.
Rumah Tangga yang Tidak Memiliki Fasilitas Sanitasi Memadai adalah rumah tangga yang
tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar pada semua desil, sumber data: PBDT 2015,
Blok III #11a, TNP2K.
Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi SP 2010.
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
Tabel Perbandingan Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
No FSVA Nasional (2015) FSVA Provinsi FSVA Kabupaten (2016)
A. Aspek Ketersediaan Pangan
1 Rasio Konsumsi Normatif
per Kapita terhadap
Produksi Bersih
Sumber Data: Data
Produksi, BPS
Rasio Konsumsi Normatif
per Kapita terhadap
Produksi Bersih
Sumber Data: Data
Produksi, BPS
1. Rasio Warung terhadap Rumah Tangga
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
2. Rasio Toko terhadap Rumah Tangga
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
2 Persentase Penduduk
Miskin
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Persentase Penduduk
Miskin
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Diolah dengan Metode SAE
(Small Area Estimation)
3. Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Tersendah
Sumber Data: PBDT 2015,
TNP2K
B. Aspek Akses terhadap Pangan
3 Persentase Desa dengan
Akses Penghubung Kurang
Memadai
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
Persentase Desa dengan
Akses Penghubung Kurang
Memadai
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
4. Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Memadai
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
4 Persentase Rumah Tangga
Tanpa Akses Akses Listrik
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Persentase Rumah Tangga
Tanpa Akses Akses Listrik
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Diolah dengan Metode SAE
(Small Area Estimation)
5. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik
Sumber Data: PBDT 2015,
TNP2K
C. Aspek Pemanfaatan Pangan
5 Persentase Perempuan Buta
Huruf
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Persentase Perempuan Buta
Huruf
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Diolah dengan Metode SAE
(Small Area Estimation)
6. Rasio Anak yang Tidak Bersekolah terhadap Anak yang Bersekolah
Sumber Data: PBDT 2015,
TNP2K
Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan
No FSVA Nasional (2015) FSVA Provinsi FSVA Kabupaten (2016)
6 Persentase Rumah Tangga
tanpa Akses Air Bersih
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Persentase Rumah Tangga
tanpa Akses Air Bersih
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Diolah dengan Metode SAE
(Small Area Estimation)
7. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Air Bersih
Sumber Data: PBDT 2015,
TNP2K
7 Persentase Desa dengan
Jarak lebih 5 km dari
Fasilitas Kesehatan
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
Persentase Desa dengan
Jarak lebih 5 km dari
Fasilitas Kesehatan
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
8. Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Penduduk
Sumber Data: PODES 2014,
BPS
8 Persentase Balita Tinggi
Kurang (Stunting)
Sumber Data: RISKESDAS
2013, Kemkes
Persentase Balita Tinggi
Kurang (Stunting)
Sumber Data: RISKESDAS
2013, Kemkes
Diolah dengan Metode SAE
(Small Area Estimation)
9. Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB
Sumber Data: PBDT 2015,
TNP2K
9 Angka Harapan Hidup
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Angka Harapan Hidup
Sumber Data: SUSENAS
2013, BPS
Diolah dengan Metode SAE
(Small Area Estimation)
Recommended