View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
HUBUNGAN NILAI INDEKS MASSA TUBUH
DENGAN NILAI RISIKO FRAKTUR
OSTEOPOROSIS BERDASARKAN PERHITUNGAN
FRAX® TOOL PADA WANITA USIA ≥ 50 TAHUN DI
KLUB BINA LANSIA PISANGAN CIPUTAT TAHUN
2015
Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN (S.Ked)
Oleh :
Ahmad Khoiron Nashirin
NIM: 1112103000079
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2015
Ahmad Khoiron Nashirin
MateraiRp. 6.000
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena rahmat dan karunia-Nya saya
dapat menyelesaikan penelitian dan laporan penelitian dengan judul “Hubungan
Nilai Indeks Massa Tubuh Dengan Nilai Risiko Fraktur Osteoporosis
berdasarkan Perhitungan Frax® Tool pada Wanita Usia ≥ 50 Tahun di Klub
Bina Lansia Pisangan Ciputat Tahun 2015” ini sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW sehingga kita bisa menikmati zaman yang bebas dari kebodohan
dan bernafaskan islam.
Saya ingin berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi
dalam penyelesaian laporan penelitian ini. Terima kasih saya sampaikan kepada:
1. Prof. DR. (HC) Dr. MK Tajuddin, Sp. And dan Dr. H. Arif Sumantri, SKM.,
M.Kes. selaku Dekan lama dan baru Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Keseharatan UIN Jakarta
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, Sp. GK dan dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid
selaku Ketua lama dan baru Program Studi Pendidikan Dokter beserta
segenap dosen prodi Pendidikan Dokter yang telah membimbing dan
mengajarkan ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di
Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS dan dr. Flori Ratna Sari, Ph.D
selaku Penanggung Jawab Modul Riset Program Studi Pendidikan Dokter
2012.
4. dr. Achmad Zaki, Sp.OT, M.Epid sebagai pembimbing pertama walaupun di
tengah-tengah kesibukannya sebagai Kepala Program Studi Pendidikan
Dokter telah memberikan bimbingan dan pengarahan agar penelitian ini
berjalan dengan sebaik-baiknya.
5. dr. Nurmilasari, M.Biomed sebagai pembimbing kedua walaupun dalam
waktu yang singkat telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
menyusun laporan penelitian ini.
vi
6. Kedua orang tua saya M.Shonhajie dan Lailatul Badriyah yang selalu
memberikan doa, dukungan serta penyemangat selama proses belajar dan
penyelesaian penelitian ini.
7. Teman seperjuangan penelitian, Mohammed Shabat, Alfa Septiano, Sarah
Attauhidah dan Muthiah Miftahul H yang dengan kompak telah membantu,
dan berjuang bersama dalam penelitian ini.
8. Rekan kerja saya, M. Ilzam Nuzulul Hakiki selaku senior dan Majlis Pembina
Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah berkontribusi dalam
pelaksanaan pengambilan data di Klub Bina Lansia Pisangan Ciputat
9. Ibu Indah selaku pimpinan dan pengelola Klub Bina Lansia Pisangan Ciputat
yang telah mendukung untuk dilaksanakannya penelitian ini
10. Semua pihak yang telah memberi dukungan dan doa kepada saya yang tidak
dapat saya sebutkan satu persatu
Pada akhirnya, saya menyadari banyak kekurangan dalam laporan penelitian ini.
Saya mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan
proposal ini. Semoga penelitian ini bisa terlaksana dengan baik serta berguna dan
bermanfaat bagi banyak orang.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jakarta, Oktober 2015
Peneliti
vii
ABSTRAK
Ahmad Khoiron Nashirin. Program Studi Pendidikan Dokter. Hubungan
Nilai Indeks Massa Tubuh Dengan Nilai Risiko Fraktur Osteoporosis
berdasarkan Perhitungan FRAX® tool pada Wanita Usia ≥ 50 Tahun di Klub
Bina Lansia Pisangan Ciputat Tahun 2015
Asesmen terhadap faktor risiko fraktur osteoporosis kini menjadi rekomendasi
ketika terbatasnya penggunaan DXA sebagai gold standar diagnosis osteoporosis
di Indonesia. WHO bekerjasama dengan bagian pusat penyakit tulang metabolik
Universitas Sheffield telah menciptakan perangkat hitung yang bernama WHO risk
assesment fracture tool (FRAX® tool). FRAX® tool merupakan perangkat berbasis
online yang digunakan untuk menghitung tingkat risiko fraktur osteoporosis
berdasarkan faktor risiko klinis yang telah luas digunakan. Hasil perhitungannya
berupa persentase kemungkinan fraktur osteoporosis tulang mayor (proksimal
humerus, pergelangan tangan, vertebrae) dan femur dalam 10 tahun mendatang.
Indeks massa tubuh merupakan salah satu faktor risiko penting osteoporosis yang
juga diperhitungkan dalam penggunaan FRAX® tool. Untuk melihat hubungan
antara nilai indeks massa tubuh (IMT) dengan nilai risiko fraktur osteoporosis
berdasarkan FRAX® tool, peneliti menggunakan uji hipotesis korelatif Spearmen.
Hasil dari 55 responden menyatakan adanya hubungan (korelasi) antara nilai IMT
dengan nilai risiko fraktur osteoporosis mayor dan femur berdasarkan perhitungan
FRAX® tool (p = 0,027; p = 0,000 dengan r = 297; r = 0,467). Hasil ini memiliki
nilai korelasi negatif yang artinya semakin rendah nilai IMT seseorang, maka
semakin besar nilai risiko fraktur osteoporosisnya.
Kata Kunci: IMT, osteoporosis, FRAX® tool
viii
ABSTRACT
Ahmad Khoiron Nashirin. Medical Education Program. Relationship between
Body Mass Index and Osteoporosis Fracture Risk Value using FRAX® tool
Calculation based on age ≥ 50 years of Women in Klub Bina Lansia Pisangan
Ciputat 2015
Assessment of the osteoporotic fracture risk factors is now become the
recommendation when the usage of DXA is limited as the gold standard for
diagnosis osteoporosis in Indonesia. WHO collaborating with centre for metabolic
bone disease University of Sheffield have created a device count named FRAX®
tool. FRAX® online-based tool is a device to calculate the osteoporotic fracture risk
factors based on clinical risk factors that have been widely used. Calculation results
in percentage of ten year probability of major osteoporotic fracture (proximal
humerus, wrist, vertebrae) and femoral neck. Body mass index is one of the
important risk factors for osteoporosis are also taken into account in the use FRAX®
tool. To see the relationship between the body mass index (BMI) and osteoporosis
fracture risk value based FRAX® tool, researcher using Spearman correlative
hypothesis test. The results of the 55 respondents stated that there is relationship
between the BMI value and the risk of major osteoporotic fractures and femur based
FRAX® calculation tool (p = 0.027; p = 0.000, r = 297; r = 0.467). These results
have a negative correlation value means that the lower the value of a person's BMI,
the greater the risk of fracture osteoporosis value.
Keywords : IMT, osteoporosis, FRAX® tool
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ............................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA.........................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN .............................................................................iii
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................iv
KATA PENGANTAR.......................................................................................v
ABSTRAK .........................................................................................................vii
ABSTRACT.......................................................................................................viii
DAFTAR ISI......................................................................................................ix
DAFTAR TABEL .............................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN .....................................................................................xv
DAFTAR SINGKATAN...................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................2
1.3 Hipotesis........................................................................................................2
1.4 Tujuan Penelitian.... ......................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum .....................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus ....................................................................................3
1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................3
1.5.1 Bagi Institusi .......................................................................................3
1.5.2 Bagi Masyarakat .................................................................................4
1.5.3 Bagi Peneliti ........................................................................................4
1.5.4 Bagi Peneliti Lain ...............................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori..............................................................................................5
2.1.1 Pengertian Osteoporosis......................................................................5
2.1.2 Klasifikasi Osteoporosis .....................................................................6
x
2.1.3 Fisiologi Pembentukan dan Perombakan Tulang (bone formation, bone
resorption) ..........................................................................................7
2.1.4 Osteoporosis pada Wanita...................................................................13
2.1.5 Faktor Risiko Osteoporosis.................................................................16
2.1.6 Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Terjadinya Osteoporosis .....17
2.1.7 Penggunaan FRAX® tool dalam Menilai Risiko Fraktur pada
Osteoporosis .......................................................................................18
2.1.8 Kelemahan dan Keterbatasan Penggunaan FRAX® tool .....................19
2.1.9 Interpretasi Hasil Perhitungan FRAX® tool.........................................19
2.1.10 Panduan Pengisian Asesmen Faktor Risiko Osteoporosis
Menggunakan FRAX® tool ...............................................................22
2.1.11 Pemeriksaan BMD dan Diagnosis Osteoporosis ..............................24
2.1.12 Program Pencegahan dan Tatalaksana Osteoporosis pada Lanjut Usia
............................................................................................................26
2.2 Kerangka Teori..............................................................................................31
2.3 Kerangka Konsep ..........................................................................................32
2.4 Definisi Operasional......................................................................................33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian...........................................................................................35
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................................35
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ....................................................................35
3.4 Jumlah Sampel Penelitian .............................................................................35
3.5 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian........................................................36
3.6 Kriteria Sampel Penelitian ............................................................................36
3.7 Alat dan Bahan..............................................................................................37
3.8 Alur Kerja Penelitian.....................................................................................38
3.9 Cara Kerja Penelitian ....................................................................................39
3.10 Identifikasi Variabel....................................................................................39
3.11 Rencana Manajemen Data...........................................................................39
xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Sampel
4.1.1 Usia Responden ..................................................................................41
4.1.2 Gambaran Indeks Massa Tubuh Responden.......................................43
4.2 Gambaran Faktor Risiko Klinis Osteoporosis Responden............................45
4.2.1 Riwayat Fraktur Sebelumnya pada Responden ..................................46
4.2.2 Riwayat Fraktur Femur pada Orang Tua Responden..........................47
4.2.3 Faktor Risiko Fraktur Osteoporosis Lain............................................48
4.3 Gambaran Hasil Perhitungan Faktor Risiko Fraktur Osteoporosis
Menggunakan FRAX® tool dan Interpretasinya.........................................49
4.4 Korelasi antara Nilai Indeks Massa Tubuh dengan Nilai Risiko Fraktur
Osteoporosis Berdasarkan Perhitungan FRAX® tool....................................51
4.5 Keterbatasan Penelitian.................................................................................52
4.6 Kajian Islam ..................................................................................................53
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .......................................................................................................55
5.2 Saran..............................................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................57
LAMPIRAN.......................................................................................................61
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penyebab osteoporosis sekunder.........................................................7
Tabel 2.2 Panduan pengisian FRAX® tool .........................................................23
Tabel 2.3 Kriteria diagnosis osteoporosis berdasarkan T-score..........................25
Tabel 2.4 Daftar bahan makanan dan kandungan kalsium di dalamnya.............27
Tabel 2.5 Definisi operasional ............................................................................33
Tabel 4.1 Sebaran Usia Responden di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat Tahun
2015 ....................................................................................................42
Tabel 4.2 Gambaran Gambaran Status Gizi Responden di Klub Bina Lansia
Pisangan, Ciputat Berdasarkan Kriteria Asia-Pasifik ......................44
Tabel 4.3 Gambaran riwayat fraktur pada responden di Klub Bina Lansia
Pisangan, Ciputat ................................................................................46
Tabel 4.4 Gambaran faktor risiko klinis fraktur pada osteoporosis yang
didapatkan melalui wawancara 55 responden ....................................43
Tabel 4.4 Gambaran riwayat fraktur femur pada orang tua responden di Klub Bina
Lansia Pisangan, Ciputat ....................................................................47
Tabel 4.5 Interpretasi hasil perhitungan menggunakan FRAX® tool pada 55 wanita
usia ≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat tahun 2015 ...50
Tabel 4.6 Korelasi antara nilai IMT responden dengan nilai risiko fraktur
osteoporosis mayor dan femur (uji Spearmen) ................................51
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambaran mikro-arsitektur tulang ..................................................5
Gambar 2.2 Bagan masa klimakterium pada wanita...........................................10
Gambar 2.3 Osteoklastogenesis yang dipengaruhi oleh interaksinya dengan
osteoblast melalui RANKL (receptor activator of nuclear factor-
kappaß ligand) dan OPG (osteoprotegerin).....................................12
Gambar 2.4 Skema hubungan keterkaitan beberapa hormon dalam proses
modeling dan remodeling tulang......................................................13
Gambar 2.5 Skema hubungan penuaan dengan penurunan densitas tulang pada
pria dan wanita...............................................................................15
Gambar 2.6 Diagram interpretasi hasil asesmen faktor risiko osteoporosis
menggunakan FRAX® tool .............................................................21
Gambar 2.7 Alur/algoritma penetapan interpretasi hasil asesmen faktor risiko
osteoporosis menggunakan FRAX® tool ........................................22
Gambar 2.8 Alat Dual X-Ray Absorptiometry (DXA).......................................26
Gambar 2.9. Kerangka Teori...............................................................................31
Gambar 2.10 Kerangka Konsep ..........................................................................32
Gambar 2.11. Kerangka Teori.............................................................................23
Gambar 2.12. Kerangka Konsep .........................................................................24
Gambar 3.1 Alur Penelitian.................................................................................38
Gambar 4.1 Sebaran jumlah responden berdasarkan usia menggunakan diagram
batang ...............................................................................................43
xiv
Gambar 4.2 Presentase status gizi responden .....................................................45
Gambar 4.3 Presentase tingkat risiko fraktur osteoporosis responden ...............50
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tampilan perangkat hitung FRAX® tool
Lampiran 2. Hasil perhitungan nilai risiko fraktur osteoporosis mayor dan femur
menggunakan FRAX® tool
Lampiran 3. Kuesioner penghitungan risiko fraktur osteoporosis
Lampiran 4. Surat ethical approval penelitian
Lampiran 5. Riwayat Penulis
xvi
DAFTAR SINGKATAN
BMD Bone Mineral Density
Depkes RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia
GH Growth Hormone
IGF-1 Insulin-like Growth Factor-1
IMT Indeks Massa Tubuh
IOF International Osteoporosis Foundation
NOF National Osteoporosis Foundation
NOGG National Osteoporosis Guideline Group (UK)
OPG Osteoprotegerin
PTH Parathormone
WHO World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Osteoporosis merupakan penyakit yang tersembunyi (silent disease) tanpa
adanya tanda-tanda khusus sampai pasien mengalami patah tulang akibat trauma
minimal.1,2 Dinyatakan sebagai kelainan tulang metabolik terbanyak yang menimpa
sekitar 28,7% pria dan 32,3% wanita di indonesia.3 Prevalensi osteoporosis meningkat
seiring dengan peningkatan usia, khususnya usia ≥ 50 tahun baik pada pria maupun
wanita.4 Banyak faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya osteoporosis. Identifikasi
faktor risiko osteoporosis dan fraktur akibat osteoporosis merupakan hal penting
mengingat penggunaan alat ukur BMD (bone mass density) saja dinilai kurang
optimal.5 Asesmen faktor risiko ini bermanfaat dalam penghematan biaya dan
penentuan terapi pada pasien yang diduga osteoporosis. WHO bekerjasama dengan
Universitas Sheffield telah menciptakan perangkat hitung untuk menilai risiko yang
dimiliki seorang individu serta kemungkinan terjadinya fraktur osteoporotik dalam 10
tahun ke depan dengan melihat data-data faktor risiko klinis seseorang.5,6,7 Penggunaan
FRAX® tool menjadi rekomendasi yang luas digunakan meskipun memiliki kekurangan
tersendiri.5,7,8
Indeks massa tubuh (IMT) merupakan faktor yang ikut berperan dalam
terjadinya osteoporosis dan menjadi faktor risiko timbulnya fraktur akibat
osteoporosis.9 Hasil dari beberapa studi menunjukkan penurunan densitas tulang lebih
sering ditemukan pada individu lanjut usia dengan IMT yang rendah. Oleh karenanya,
WHO menjadikan IMT sebagai faktor risiko klinis terjadinya osteoporosis.6,10,11,12
Penelitian tentang asesmen faktor risiko fraktur osteoporosis ini sebelumnya
belum pernah dilakukan khususnya di daerah Pisangan, Ciputat. Masing-masing faktor
risiko osteoporosis yang akan diteliti memiliki keterkaitan satu sama lain dalam
menentukan nilai risiko fraktur osteoporosis yang dihitung menggunakan metode
FRAX® tool. Oleh karenanya, peneliti bermaksud untuk melihat adanya hubungan
2
faktor risiko indeks massa tubuh terhadap nilai risiko fraktur osteoporosis yang
dihitung menggunakan FRAX® tool serta melihat seberapa besar korelasinya. Nilai
faktor risiko osteoporosis yang dihitung menggunakan FRAX® tool ini dibagi menjadi
dua, yakni 1) faktor risiko osteoporosis mayor yang menilai prediksi terjadinya fraktur
pada tulang pergelangan tangan, proksimal humerus dan tulang belakang 2) faktor
risiko osteoporosis pada leher femur yang menilai prediksi terjadinya fraktur tulang
femur.5,13 Penelitian ini dilakukan pada responden wanita usia lebih dari 50 tahun di
Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat tahun 2015.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah peningkatan Indeks Massa Tubuh dapat menurunkan nilai risiko
fraktur osteoporosis mayor berdasarkan perhitungan FRAX® tool pada
wanita usia ≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat?
1.2.2. Apakah peningkatan Indeks Massa Tubuh dapat menurunkan nilai risiko
fraktur osteoporosis leher femur berdasarkan perhitungan FRAX® tool pada
wanita usia ≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat?
1.3. Hipotesis
1.3.1. Peningkatan Indeks Massa Tubuh dapat menurunkan nilai risiko fraktur
osteoporosis mayor berdasarkan perhitungan FRAX® tool pada wanita usia
≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat
1.3.2. Peningkatan Indeks Massa Tubuh dapat menurunkan nilai risiko fraktur
osteoporosis leher femur berdasarkan perhitungan FRAX® tool pada wanita
usia ≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat
3
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan faktor risiko indeks massa tubuh dengan nilai
risiko fraktur osteoporosis berdasarkan perhitungan menggunakan
FRAX® tool pada wanita usia ≥50 tahun di klub Bina Lansia Pisangan,
Ciputat.
1.4.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan antara nilai Indeks Massa Tubuh dengan
dengan nilai risiko fraktur osteoporosis mayor berdasarkan
perhitungan FRAX® tool pada wanita usia ≥50 tahun di Klub Bina
Lansia Pisangan, Ciputat
2. Mengetahui hubungan antara nilai Indeks Massa Tubuh dengan
dengan nilai risiko fraktur osteoporosis leher femur berdasarkan
perhitungan FRAX® tool pada wanita usia ≥50 tahun di Klub Bina
Lansia Pisangan, Ciputat
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Bagi Institusi
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya terkait hubungan
faktor risiko status gizi dengan nilai risiko fraktur osteoporosis
berdasarkan perhitungan menggunakan FRAX® tool pada wanita
usia ≥50 tahun
b. Menjadi pemicu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terkait
hubungan faktor risiko status gizi dengan nilai risiko fraktur
osteoporosis berdasarkan perhitungan menggunakan FRAX® tool
pada wanita usia ≥50 tahun
c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti berikutnya terkait hubungan
faktor risiko status gizi dengan nilai risiko fraktur osteoporosis
4
berdasarkan perhitungan menggunakan FRAX® tool pada wanita
usia ≥50 tahun
1.5.2. Bagi Masyarakat
a. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait faktor-faktor
risiko fraktur akibat osteoporosis yang bisa dinilai secara klinis
(clinical risk factors)
b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang hasil
perhitungan faktor risiko klinis osteoporosis menggunakan FRAX®
tool dan interpretasinya
c. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya tentang
hubungan faktor risiko indeks massa tubuh dengan risiko fraktur
osteoporosis
1.5.3. Bagi Peneliti
a. Memberikan pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian
deskriptif analitik.
b. Mendapatkan manfaat untuk mengamalkan ilmu pengetahuan
yang sudah dipelajari di Program Studi Pendidikan Dokter UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran
1.5.4. Bagi Peneliti Lain
Hasil dari penelitian yang kami lakukan ini diharapkan dapat menjadi
bahan referensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian
selanjutnya demi kemajuan ilmu pengetahuan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengertian Osteoporosis
WHO mendefinisikan osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang
ditandai dengan berkurangnya massa tulang disertai adanya perubahan mikroarsitektur
jaringan tulang, mengakibatkan meningkatnya resiko terjadinya fraktur tulang
(fragility fracture). Atas dasar tersebut, WHO menetapkan diagnosis osteoporosis
berdasarkan densitas massa tulang (bone mass density) dengan nilai t-score -2,5 atau
kurang.6,14 Meskipun keadaan trabekular tulang mengalami pengeroposan dan korteks
tulang lebih tipis dari normal, namun bagian struktur tulang yang tersisa termineralisasi
dengan baik. Ini yang membedakan dengan osteomalacia, yang mana terjadi akibat
tidak adekuatnya proses mineralisasi tulang.10,15 Melemahnya kekuatan tulang (bone
strength) pada osteoporosis disebabkan oleh perubahan pada komponen mineral dan
matriks tulang, trabekular tulang, korteks tulang serta adanya mikrofraktur pada tulang.
Berkurangnya kekuatan tulang ini menyebabkan tulang bersifat rapuh dan mudah
terjadi fraktur.4,14,15
Gambar 2.1. Gambaran mikro-arsitektur tulang: (A) tulang normal (B) tulang
osteoporotik
Sumber: U.S. Department of Health and Human Services, 2004.
6
2.1.2. Klasifikasi Osteoporosis
Osteoporosis menurut penyebabnya dibagi menjadi dua, yakni osteoporosis
primer dan sekunder.
1. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak disebabkan oleh adanya
kelainan lain yang bersifat spesifik. Osteoporosis jenis ini terdiri dari: 1)
osteoporosis primer idiopatik (idiopathic primary osteoporosis) pada anak
dan remaja yang jarang ditemukan, dan 2) osteoporosis berhubungan dengan
usia (age-related osteoporosis) pada manusia usia lanjut (pasca-menopause
pada wanita), jenis ini adalah yang paling sering ditemukan.
2. Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang terjadi akibat adanya
penyakit spesifik lain atau obat-obatan. Osteoporosis jenis ini lebih sering
ditemukan pada pria atau wanita pre-menopause.4,15
Osteoporosis berhubungan dengan usia merupakan jenis osteoporosis yang
paling banyak ditemukan. Pada wanita, satu dari tiga wanita yang berumur lebih dari
50 tahun memiliki resiko fraktur karena osteoporosis. Sedangkan pada pria, satu dari
lima pria dengan usia lebih dari 50 tahun memiliki resiko fraktur karena osteoporosis.
Bagian tulang yang sering mengalami fraktur adalah tulang belakang (spine),
proksimal femur (hip) dan distal lengan bawah (forearm). Resiko ini akan meningkat
seiring dengan penambahan usia.4,14
7
Tabel 2.1. Penyebab osteoporosis sekunder
Sumber: U.S. Department of Health and Human Services, 2004.
2.1.3. Fisiologi Pembentukan dan Perombakan Tulang (bone forming, bone
resorption)
Tulang merupakan organ struktural yang memiliki 3 fungsi utama, yakni
untuk penegak (support), proteksi (protection) dan gerakan (leverage). Komposisi
tulang yang terdiri dari sel tulang dan matriks yang menjadi tempat endapan mineral
tulang berupa kristal hidroksiapatit (Ca3(PO4)2) membentuk tulang menjadi organ
8
yang memiliki kekuatan sehingga tulang bisa meredam gaya/trauma tanpa mengalami
kerusakan.4,15
Selain itu, fungsi lain tulang adalah sebagai sistem penyimpan mineral penting
yakni kalsium (Ca) dan fosfat (PO4). Tulang yang merupakan organ konstan, secara
berkala mengalami proses pembentukan (bone forming) dan perombakan tulang (bone
resorption). Dua proses ini diperankan oleh dua sel yang ada di tulang. Osteoblas
berperan dalam pembentukan tulang, sedangkan osteoklas berperan dalam perombakan
tulang yang mana aktivitasnya mendapat pengaruh dari osteoblas. Faktor-faktor yang
mempengaruhi proses modeling dan remodeling tulang antara lain adalah:
1. Hormon-hormon yang berkaitan dengan regulasi kalsium. Hormon-hormon
ini berperan penting dalam menjaga kesehatan tulang, terdiri dari:
a) Hormon paratiroid (PTH) yang mengatur kadar kalsium darah,
disekresikan oleh kelenjar paratidoid. Produksinya meningkat ketika
terjadi penurunan kadar kalsium plasma di bawah normal (normalnya 8,8-
10,4 mg/dL). Beberapa efek yang diakibatkan PTH adalah:
Pada tubulus renalis ginjal. Meningkatkan absorpsi kalsium dan
menurunkan absorbsi (restriksi) fosfat.
Pada parenkim ginjal. Peingkatan kadar PTH meningkatkan konversi
metabolit vitamin D 25-hydroxycholecalciferol [25-OHD] menjadi
bentuk aktif 1,25-dihydroxycholecalciferol [1,25-(OHD)2D].
Bentuk aktif inilah yang sekaligus berperan sebagai hormon yang
membantu PTH dalam mengatur kadar kalsium darah.
Pada intestinal. PTH memiliki efek absorbsi kalsium tidak langsung
melalui aktivasi 1,25-dihydroxycholecalciferol [1,25-(OHD)2D] di
parenkim ginjal.
Pada tulang. PTH menstimulasi perombakan tulang (resorpsi) oleh
osteoklas untuk meningkatkan kalsium dan fosfat darah. Target aksi
PTH adalah terhadap peningkatan ekspresi RANKL (receptor
activator of nuclear factor-kappaß ligand), yakni suatu mediator
9
pembentukan osteoklas yang dihasilkan oleh osteoblas. Target kedua
PTH adalah terhadap hambatan pembentukan osteoprotegerin (OPG)
yang merupakan reseptor bebas terhadap RANKL (dihasilkan juga
oleh osteoblas) sehingga hambatan terhadap osteoclastogenesis tidak
terjadi.15,16
b) Kalsitriol (1,25-dihydroxycholecalciferol). Merupakan hormon yang
terbentuk dari vitamin D oleh enzim di ginjal dan hati. Peran utama
kalsitriol adalah meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus.4
Selain itu, kalsitriol juga mampu meningkatkan proses resorpsi tulang
melalui osteoclastogenesis.15
c) Kalsitonin yang berfungsi melawan efek PTH, dihasilkan oleh sel C
kelenjar tiroid. Bekerja menurunkan kadar kalsium darah dengan
meningkatkan ekskresinya melalui tubulus ginjal dan menghambat
osteoklas sehingga resorpsi tulang menurun.4,16
2. Hormon-hormon seks yang terlibat adalah estrogen wanita dan testosteron
pria. Estrogen memiliki efek positif dalam menghambat osteoklas melalui
peningkatan produksi dan aktivitas OPG. Efek lain estrogen adalah terhadap
peningkatan absorbsi kalsium di intestinal serta stimulasi osteoblas.4,15
Testosteron (androgen) juga memiliki efek yang sama dengan estrogen. Selain
mampu berefek pada penghambatan resorpsi tulang dan stimulasi
pembentukan tulang, testosteron juga sebagai sumber estrogen melalui hasil
dari konversinya di sel lemak.4 Pada wanita, terdapat fase dalam perubahan
sekresi estrogen. Penurunan hormon estrogen secara fisiologis dimulai dari
usia 35 tahun dan berakhir sampai usia 65 tahun. Masa ini disebut masa
klimakterium yang digambarkan pada gambar 2.3 di bawah ini:
10
Gambar 2.2. Bagan masa klimakterium pada wanita
Sumber: Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008.
3. Hormon-hormon lain yang terlibat antara lain:
a) Hormon pertumbuhan (GH) dari kelenjar pituitari yang menstimulasi
insulin-like growth factor-1 (IGF-1) pada osteoblas tulang, berperan
dalam pembentukan tulang (bone formation). Sekresi hormon
pertumbuhan ini berkurang seiring dengan bertambahnya usia.4
b) Hormon tiroid yang berperan dalam meningkatkan metabolism sel tulang,
berefek pada pembentukan (bone formation) dan perombakan tulang
(bone resorption). Hormon ini bekerja terhadap osteoklas secara langsung
atau bekerja terhadap osteoblas yang memediasi proses resorpsi osteoklas
sehingga menyebabkan osteoporosis.4,15
c) Hormon kortisol yang disekresikan oleh kelenjar adrenal. Memiliki efek
terhadap penghambatan pembentukan tulang (bone formation), penurunan
absorpsi kalsium di intestinal dan peningkatan eksresinya di tubulus
ginjal. Kortisol juga memiliki efek langsung terhadap stimulasi ekspresi
RANKL dan menghambat ekspresi OPG di osteoblas.15 Bentuk sintetik
kortisol yang dikenal sebagai glukokortikoid juga memiliki efek yang
sama sehingga menjadi salah satu faktor risiko utama osteoporosis.4
11
4. Stress mekanis. Aktivitas yang menumpu beban (weight bearing) dan
kontraksi otot menyebabkan peningkatan pulsasi vaskular ke tulang. Stress
mekanis ini dipercayai mampu menunjang kekuatan tulang melalui regulasi
hormon pertumbuhan lokal. Oleh karena itu, orang dengan aktivitas rendah
dan imobilisasi lama memiliki resiko untuk terjadi osteoporosis.15 Menurut
sebuah studi, terdapat hubungan antara wanita menopause yang memiliki
aktivitas fisik kurang dari 20 menit dengan osteoporosis.4
5. Diet dan asupan nutrisi. Diet yang direkomendasikan dan terbukti berfungsi
sebagai tindakan preventif primer sekaligus sekunder adalah diet kalsium,
vitamin D dan vitamin K.4,17 Vitamin D meningkatkan absorbsi kalsium di
usus, sedangkan vitamin K mampu meningkatkan reabsorpsinya di tubulus
ginjal. Diet fosfat terbukti tidak memiliki efek yang signifikan terhadap
densitas tulang. Bahkan diet fosfat tinggi akan mengurangi absorbsi kalsium.17
Kebutuhan kalsium per-hari sekitar 800-1.000 mg untuk dewasa dan
meningkat pada usia 50 tahun ke atas, wanita hamil dan menyusui sampai
1.200 mg, sedangkan pada anak-anak sekitar 200-400 mg per-hari.15 Asupan
vitamin D yang dibutuhkan sekitar 20 mikrogram dan terbukti diet vitamin D
20 mikrogram ini bersama dengan 1.200 mg kalsium mampu mengurangi
risiko fraktur osteoporosis. Konsumsi alkohol berlebih juga berefek
menghambat diferensiasi dan akititas osteoblas di tulang, mengurangi
absorpsi kalsium di usus dan konversi vitamin D ke dalam bentuk aktifnya.17
Seseorang yang mengkonsumsi alkohol berlebih (lebih dari 2 unit per-hari)
risiko untuk mengalami fraktur osteoporosis meningkat sebanyak 40%
dibandingkan mengkonsumsi alkohol dengan dosis sedang (<2 unit per-hari)
atau tidak sama sekali.14
6. Adanya penyakit-penyakit tertentu yang berkaitan erat dengan osteoporosis.
penyakit tersebut meliputi
a. Rheumatoid arthritis. Merupakan penyakit inflamasi kronik yang
memiliki hubungan erat dengan penurunan massa tulang. lebih sering
ditemukan pada perempuan daripada laki-laki (2-3 kali lipat). Pada fase
12
aktif penyakit ini, peningkatan konsentrasi sitokin inflamasi (IL-1, IL-6,
TNFα) menyebabkan penurunan massa lemak dan otot sehingga kekuatan
otot melemah. Hal ini menimbulkan efek negatif terhadap kekuatan tulang
(BMD). Ditambah lagi dengan adanya penggunaan terapi glukokortikoid
pada pasien rheumatoid arthritis yang juga berperan dalam pengeroposan
tulang.18 Penyakit lain yang berhubungan dengan penggunaan
glukokortikoid seperti systemic lupus erithematosus (SLE) dan crohn
disease juga berperan dalam pengeroposan tulang.13
b. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan osteoporosis seperti:
osteogenesis imperfekta, diabetes tipe I, hipertiroidisme kronis,
hipogonadisme, paget disease, menopause dini, malnutrisi menahun atau
malabsorpsi dan penyakit hati menahun.10,13,15
Gambar 2.3. Osteoklastogenesis yang dipengaruhi oleh interaksinya dengan osteoblas
melalui RANKL (receptor activator of nuclear factor-kappaß ligand) dan OPG
(osteoprotegerin)
Sumber: U.S. Department of Health and Human Services, 2004.
13
Gambar 2.4. Skema hubungan keterkaitan beberapa hormon dalam proses modeling
dan remodeling tulang (telah dimodifikasi)
Sumber: Sherwood L, 2010.
2.1.4. Osteoporosis pada Wanita
Osteoporosis merupakan penyakit yang umum ditemui pada usia lanjut di
seluruh dunia, terutama pada wanita pasca menopause. Osteoporosis terjadi baik pada
pria maupun wanita lanjut usia, namun kejadiannya menjadi dua sampai tiga kali lebih
sering pada wanita lanjut usia. Meskipun faktor lain seperti faktor genetik dan nutrisi
14
juga ikut berperan, namun patofisiologi yang dominan diakibatkan oleh defisiensi
estrogen dan androgen.6,10,19
Pada prosesnya, wanita mengalami dua fase dalam penurunan massa tulang
berhubungan dengan peningkatan usia. Selama sekitar 10 tahun setelah menopause
(≥ 50 tahun), penurunan massa tulang akibat peningkatan resorpsi tulang mengalami
peningkatan menjadi 3% per-tahun dibandingkan dengan periode dekade kedua setelah
menopause yang hanya sekitar 0,3%.15 Fase pertama adalah fase cepat (high-turnover
osteoporosis), dimana terjadi pada masa menopause (40 tahun) sampai sekitar 4-8
tahun kemudian. Pada fase cepat ini, wanita kehilangan 5-10 persen bagian kortikal
tulang dan 20-30 persen trabekular tulang. Hal ini disebabkan karena penurunan
produksi estrogen ovarium secara dramatis sehingga mengakibatkan peningkatan
perombakan tulang dan penurunan pembentukan tulang. Peningkatan resorpsi tulang
merupakan proses yang dominan. Peningkatan kadar kasium darah melebihi normal
(hiperkalemia) sebagai akibat dari peningkatan resorpsi tulang dapat dikompensasi
dengan peningkatan ekskresinya di ginjal, penurunan absorpsi di intestinal dan efek
inhibisi parsial terhadap produksi PTH. Pada akhirnya, diduga karena perubahan
peningkatan deteksi osteoblas terhadap beban akibat penurunan massa tulang
mengakibatkan tulang berespon untuk mengurangi resorpsinya dan fase cepat pun
berakhir. Fase kedua adalah fase lambat (low-turnover osteoporosis), dimana terjadi
mengikuti setelah terjadinya fase cepat dan berlanjut seiring dengan bertambahnya
usia. Penurunan massa tulang terjadi 20-25 persen pada bagian korteks dan trabekular
tulang. Fase ini terjadi akibat beberapa faktor diantaranya gangguan
pembentukan/formasi tulang, penurunan diet kalsium dan vitamin D, penurunan
aktivitas fisik serta gangguan pengaturan keseimbangan kalsium oleh estrogen.
Penurunan kadar vitamin D adalah yang paling sering pada wanita usia lanjut.20
Penurunan kadar kalsium darah yang diakibatkan oleh penurunan absorpsi usus dan
peningkatan ekskresinya di ginjal mengakibatkan peningkatan produksi PTH.
Hiperparatiroidisme sekunder akan mengakibatkan peningkatan resorpsi tulang.4,20
15
Berbeda dengan wanita, laki-laki hanya mengalami satu fase dalam penurunan
massa tulang, yakni fase lambat. Penurunan massa tulang sekitar 20-25 persen pada
bagian korteks dan trabekular tulang. Fenomena ini disebabkan oleh banyaknya jumlah
serum sex hormone binding globulin (bentuk ikatan antara hormon seks dengan
protein). Dengan adanya ikatan dengan globulin ini menyebabkan testosteron dan
estrogen tidak bisa digunakan oleh tubuh (inaktif). Efek selanjutnya adalah sama
seperti yang terjadi pada wanita lanjut usia, namun penurunan pembentukan tulang
merupakan proses dominan yang dialami laki-laki lanjut usia.20
Gambar 2.5. Skema hubungan penuaan dengan penurunan densitas tulang pada pria
dan wanita
Sumber: U.S. Department of Health and Human Services, 2004.
16
2.1.5. Faktor Risiko Osteoporosis
Menurut International Osteoporosis Foundation (IOF), faktor risiko
osteoporosis dibagi menjadi dua bagian, yakni faktor risiko tetap atau tidak bisa
dirubah dan faktor risiko yang bisa dirubah. Semakin banyak faktor risiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar pula risiko untuk mengalami osteoporosis di kemudian hari.14
Karena pada osteoporosis tidak diketahui adanya tanda awal melemahnya kekuatan
tulang, identifikasi faktor risiko osteoporosis sejak dini diperlukan untuk mencegah
terjadinya fraktur osteoporotik di kemudian hari.1
A. Faktor risiko yang tidak bisa diubah/tetap (fixed risks)
1. Usia (50 tahun atau lebih)
2. Wanita
3. Riwayat keluarga osteoporosis
4. Riwayat fraktur sebelumnya
5. Ras/suku (lebih sering pada kaukasia dan asia, insidensi fraktur proksimal
femur dan tulang belakang pada ras kulit hitam lebih rendah daripada ras
kulit putih)
6. Menopause/histerektomi
7. Penggunaan glukokortikoid jangka panjang
8. Arthritis reumatoid
9. Hipogonadisme primer/sekunder (pada laki-laki)
B. Faktor risiko yang bisa diubah (modifiable risks)
1. Alkohol
2. Merokok
3. IMT rendah
4. Asupan nutrisi rendah (termasuk kalsium)
5. Defisiensi vitamin D
6. Kelainan makan/pencernaan
17
7. Jarang olahraga
8. Sering jatuh (karena gangguan primer yang mendasarinya seperti:
gangguan mata, demensia, imobilisasi, gangguan neuromuskular)14
2.1.6. Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Terjadinya Osteoporosis
Indeks massa tubuh merupakan faktor yang ikut berperan dalam terjadinya
osteoporosis dan menjadi faktor risiko timbulnya fraktur akibat osteoporosis. Menurut
Scottish Intercollegiate Guidelines Network, penurunan berat badan atau status gizi
yang kurang (BMI rendah) menjadi indikator penurunan densitas tulang (BMD).9 Hasil
dari beberapa studi menunjukkan penurunan densitas tulang (BMD) lebih sering
ditemukan pada manusia lanjut usia dengan IMT yang rendah. Oleh karenanya, indeks
massa tubuh dijadikan sebagai faktor risiko klinis terjadinya osteoporosis oleh WHO.6,10,11,12
Hubungan signifikan IMT dengan osteoporosis ini disebabkan karena
berkurangnya efek protektif jaringan lemak subkutan terhadap densitas tulang pada
wanita lanjut usia. IMT ini merupakan salah satu parameter dalam menilai status gizi
seseorang. Seseorang dengan IMT 20 kg/m2 mengalami peningkatan risiko fraktur dua
kali lipat dibandingkan dengan seseorang yang memiliki IMT 25 kg/m2.21 Sedangkan
wanita dengan status gizi berlebih (overweight) atau obesitas memiliki status absorpsi
kalsium yang lebih baik dan resorpsi tulang yang lebih rendah pasca menopause
daripada wanita dengan status gizi normal. Karena alasan inilah, dianjurkan bagi
wanita lanjut usia memiliki status gizi sedikit berlebih selama tidak memiliki risiko
terhadap penyakit kardiovaskular.17 Wanita dan pria obesitas juga akan mengalami
peningkatan konversi hormon androgen menjadi estrogen. Di sisi lain, peningkatan
jaringan lemak tubuh menyebabkan peningkatan beban dan berefek positif terhadap
pembentukan tulang.12,22
18
2.1.7. Penggunaan FRAX® tool dalam Menilai Risiko Fraktur pada
Osteoporosis
WHO telah merumuskan beberapa faktor risiko yang berperan terhadap
terjadinya osteoporosis. Faktor-faktor risiko tersebut digunakan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya fraktur karena osteoporosis dalam 10 tahun mendatang
melalui WHO risk assesment fracture tool. FRAX® tool merupakan alat hitung berbasis
komputer (bisa diakses melalui: www.shef.ac.uk/FRAX) yang digunakan menilai
tingkat risiko terjadinya fraktur osteoporosis pada individu dengan usia lebih dari 40
tahun. Prediksi terhadap terjadinya fraktur osteoporotik dalam 10 tahun ke depan dapat
diperoleh melalui asesmen faktor risiko klinis osteoporosis baik disertai hasil
pengukuran BMD pada femoral neck maupun tidak.5,6,7 Hasil akhir meliputi nilai
prediksi terhadap kemungkinan terjadinya fraktur (%) pada leher tulang femur (femoral
neck) dan pada bagian tulang mayor lain (pergelangan tangan, proksimal humerus dan
tulang belakang) dalam 10 tahun kemudian yang telah dikalibrasikan di masing-masing
negara (45 negara) termasuk Indonesia.5
Adapun faktor-faktor risiko klinis osteoporosis meliputi:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Riwayat fraktur osteoporotik sebelumnya
4. IMT rendah
5. Penggunaan glukokortikoid oral lebih dari 5 mg/hari atau prednison
selama lebih dari 3 bulan
6. Arthritis rheumatoid
7. Osteoporosis sekunder
8. Riwayat fraktur proksimal femur pada orang tua.
9. Merokok
10. Alkohol (3 kali minum atau lebih per hari)
19
Faktor-faktor risiko di atas dianggap mampu berperan secara independen
dalam terjadinya osteoporosis dan mampu meningkatkan risiko fraktur
osteoporosis.7
Terdapat perbedaan rekomendasi atau saran dalam penggunaan FRAX® tool.
Untuk prediksi terhadap kemungkinan fraktur pada tulang femur, kombinasi antara
faktor risiko klinis dan nilai BMD pada tulang femur mampu meningkatkan sensitivitas
perhitungan. Sedangkan pada prediksi pada fraktur osteoporotik pada bagian lain
(major osteoporotic fracture) hasilnya akan lebih baik jika dikombinasikan dengan
penggunaan pengukuran nilai BMD pada bagian tulang perifer misalnya kalkaneus.
Berdasarkan hasil perhitungan FRAX® tool ini dapat ditentukan batas kapan intervensi
terapi pada osteoporosis diperlukan.6,13
2.1.8. Kelemahan dan Keterbatasan Penggunaan FRAX® tool
Meskipun sangat bermanfaat untuk menilai risiko osteoporosis yang dimiliki
oleh seorang individu, FRAX® tool dinilai memiliki keterbatasan dalam
penggunaannya. Salah satu yang paling jelas terlihat pada penentuan dosis/jumlah pada
beberapa faktor risiko. Misalnya pada seorang individu dengan riwayat dua fraktur
osteoporotik seharusnya memiliki faktor risiko lebih besar dibandingkan dengan
seorang yang hanya memiliki riwayat satu fraktur osteoporotik. Namun pada FRAX®
tool belum ditentukan penentuan dosis pada faktor risiko tertentu secara aritmatik.
Begitu juga dengan dosis konsumsi obat glukokortikoid, rokok dan alkohol.5,23
Kelemahan lainnya adalah tidak memasukkan jatuh sebagai faktor risiko mengingat
fraktur osteoporotik sangat kuat hubungannya dengan adanya riwayat jatuh. Faktor lain
seperti kebiasaan olahraga, asupan vitamin D dan kalsium juga tidak dicantumkan
dalam penghitungan dengan metode FRAX® tool ini.23
2.1.9. Interpretasi Hasil Perhitungan FRAX® tool
Metode asesmen faktor risiko menggunakan FRAX® tool (tanpa BMD pada
leher femur) ini menghasilkan kesimpulan yang terdiri dari 3 interpretasi, yakni risiko
20
tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan hal tersebut, terdapat ambang/batas untuk
dilakukan terapi (intervention threshold) dan ambang/batas untuk perlunya dilakukan
pengukuran BMD pada femoral neck (lower assessment threshold).5,6,7 Penggunaan
batas intervensi ini didasarkan pada alasan efektivitas biaya (cost effectiveness) dan
digunakan sebagai pedoman menentukan langkah klinisi selanjutnya terhadap pasien.
NOGG (National Osteoporosis Guideline Group UK) telah menentukan langkah
selanjutnya bagi klinisi dalam penatalaksanaan hasil penghitungan FRAX® tool ini.
1. Jika risiko fraktur rendah, pasien disarankan untuk mengatur diet nutrisi dan
olahraga tanpa menggunakan obat-obatan.
2. Jika risiko fraktur sedang, penggunaan DXA diindikasikan untuk kemudian
dihitung kembali risiko frakturnya.
3. Jika risiko fraktur tinggi, terapi mengunakan obat-obatan
direkomendasikan.5,7
Namun menurut NOF (National Osteoporosis Foundation), batas penggunaan terapi
obat-obatan menurut hasil FRAX® tool tidak diberlakukan. Indikasi diberlakukannya
terapi ditentukan berdasarkan perkiraan klinisi dan faktor lain yang dimiliki pasien
seperti adanya kondisi komorbid lainya.1
21
Gambar 2.6. Diagram interpretasi hasil asesmen faktor risiko osteoporosis
menggunakan FRAX® tool. Garis putus-putus merupakan batas nilai ditetapkannya
terapi pada pasien osteoporosis.
Sumber: Kanis JA, McCloskey EV. Johansson H, Cooper C, Rizzoll R, Reginster JY;
2012
22
Gambar 2.7. Alur/algoritma penetapan interpretasi hasil asesmen faktor risiko
osteoporosis menggunakan FRAX® tool. CRFs = Clinical Risk Factors
Sumber: Kanis JA, McCloskey EV. Johansson H, Cooper C, Rizzoll R, Reginster JY;
2012
2.1.10. Panduan Pengisian Asesmen Faktor Risiko Osteoporosis Menggunakan
FRAX® tool
FRAX® tool merupakan perangkat hitung yang bisa diakses secara online
(lampiran 1). Semua pertanyaan faktor-faktor risiko klinis dijawab dengan jawaban ya
atau tidak. Faktor risiko klinis osteoporosis dijelaskan pada tabel 2.2 di bawah ini.24
23
Tabel 2.2. Panduan pengisian FRAX® tool
Poin Keterangan
Usia Model ini bisa digunakan untuk pasien berusia 40 sampai
90 tahun. Jika usia pasien dibawah atau diatas kisaran
tersebut, maka program komputer akan menghitung
kemungkinannya untuk usia 40 atau 90 tahun
Jenis kelamin Pria atau wanita. Pilih yang sesuai
Berat Badan Berat badan ditulis dalam satuan Kg.
Tinggi Badan Tinggi badan ditulis dalam satuan cm
Riwayat patah
tulang
Adanya riwayat patah tulang memberikan gambaran yang
lebih akurat tentang patah tulang yang terjadi secara
spontan pada usia dewasa, atau patah tulang karena trauma
yang tidak mungkin terjadi pada orang yang sehat.
Masukkan jawaban Ya atau Tidak. Termasuk juga patah
tulang yang hanya terdeteksi dari pengamatan radiografis
(patah tulang belakang morphometric)
Riwayat patah
tulang Femur dari
orang tua
Diisi dengan riwayat patah tulang Femur pada ibu atau ayah
pasien. Jawab Ya atau Tidak.
Perokok Jawab Ya atau Tidak tergantung dari kondisi pasien pada
saat ini, apakah pasien masih merokok atau tidak.
Perhitungan menggunakan asumsi pemakaian dosis rata-
rata (1 bungkus per-hari)
Glukokortikoid Jawab Ya jika pasien pernah mengkonsumsi glukokortikoid
atau saat ini tengah mengkonsumsi glukokortikoid selama
lebih dari 3 bulan dengan dosis prednisolone 5 mg perhari
atau lebih (atau dosis glukokortikoid lain yang setara).
Perhitungan menggunakan asumsi pemakaian dosis rata-
rata.
24
Poin Keterangan
Artritis reumatoid Jawab Ya jika pasien memang pernah terdiagnosa
menderita artritis rheumatoid berdasarkan klinis ataupun
laboratorium. Jika tidak pernah jawab Tidak.
Osteoporosis
sekunder
Jawab Ya jika pasien memiliki kelainan yang erat kaitannya
dengan osteoporosis.Termasuk type I (insulin dependent)
diabetes, osteogenesis imperfecta dewasa, untreated long-
standing hyperthyroidism, hypogonadism, menopause dini (
< 45 tahun), malnutrisi menahun atau malabsorption serta
penyakit hati menahun.
Minuman
beralkohol 3
unit/takar sehari
atau lebih
Jawab Ya jika pasien mengkonsumsi minuman beralkohol
sebanyak 3 unit/takar sehari atau lebih. Satu unit/takar
alkohol ukurannya berbeda-beda di setiap negara, antara 8 –
10 gr. Ukuran Ini setara dengan ukuran standar untuk satu
gelas bir (285 cc), ukuran standar untuk satu takaran
minuman keras (30 cc), ukuran sedang untuk satu gelas
anggur (120 cc) atau ukuran satu takaran jenis minuman
berakohol yang diminum sebelum makan (60 cc).
Perhitungan menggunakan asumsi pemakaian dosis rata-
rata.
Bone mineral
density (BMD)
(BMD) Silahkan pilih mesin scanning DXA yang
digunakan dan masukkan nilai BMD leher Femur
2.1.11. Pemeriksaan BMD dan Diagnosis Osteoporosis
Jenis pemeriksaan untuk menilai densitas tulang yang menjadi “gold
standard” adalah dual x-ray absorptiometry (DXA) pada proksimal femur (hip), tulang
belakang (spine) atau lengan bawah (forearm). Nilai BMD mendeskripsikan massa
25
mineral tulang per luas area (gram/cm2), interpretasinya bisa ditentukan dengan nilai
T-score.1,6
Hasil dari pemeriksaan ini menjadi standar diagnosis osteoporosis. Selain itu,
hasil BMD ini juga bisa digunakan untuk memprediksi seberapa besar risiko fraktur
yang akan terjadi dengan melihat beberapa faktor risiko yang lain. Karena penetapan
nilai BMD ini memiliki sensitivitas rendah serta tidak menjadi standar baku risiko
terjadinya fraktur osteoporosis. Bahkan sebagian besar individu mengalami fraktur
osteoporotik meskipun T-score nya di atas -2,5, khususnya pada keadaan
osteopenia.6,7,14,24 Penggunaan alat DXA sebagai “gold standar” diagnosis osteoporosis
juga memiliki dua kelemahan utama, yaitu biaya yang mahal dan jarangnya
ketersediaan alat khususnya di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia.25,26
Tabel 2.3. Kriteria diagnosis osteoporosis berdasarkan T-score
Sumber: World Health Organization, 2007
26
Gambar 2.8. Alat Dual X-Ray Absorptiometry (DXA)
Sumber: http://dokita.co/blog/pemeriksaan-kepadatan-mineral-tulang-bone-
mineral-density-scan/
2.1.12. Program Pencegahan dan Tatalaksana Osteoporosis pada Lanjut Usia
Osteoporosis merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh banyak faktor
(multifactorial disease). Selain terapi farmakologis, terdapat rekomendasi terapi non-
farmakologis melalui edukasi terhadap semua pasien yang memiliki risiko.1,14
Beberapa program yang direkomendasikan untuk semua pasien yang sudah terbukti
atau memiliki risiko osteoporosis adalah:
1. Asupan kalsium dan vitamin D yang baik. Asupan kalsium dan vitamin D rutin
setiap hari dapat menurunkan risiko fraktur dan menjaga kesehatan tulang.
Asupan kalsium sekitar 1.200 mg per-hari dengan mengkonsumsi susu atau
produk olahannya sekitar 3 porsi per-hari. Dan bisa ditambah dengan sayuran
seperti brokoli dan kubis dan buah-buahan. Minum minuman mineral yang
mengandung kalsium juga direkomendasikan.1,6,17 Namun, harus berhati-hati jika
asupan kalsium ini lebih dari 1.200-1.500 mg per-hari karena bisa menimbulkan
risiko terbentuknya batu ginjal dan penyakit kardiovaskular. Konsumsi makanan
27
yang mengandung kalsium dengan porsi kecil-kecil lebih direkomendasikan,
sedangkan porsi besar sebaiknya dikonsumsi saat malam hari.17 Selain itu,
vitamin D berguna untuk meningkatkan penyerapan kalsium di usus. Asupan
yang direkomendasikan sekitar 20 mikrogram per-hari. Pasein bisa mendapatkan
sumber vitamin D dari ikan, hati dan susu. Asupan protein yang baik juga
direkomendasikan untuk pasien osteoporosis sekitar 1gr/kgBB per-hari.4,7,17
Tabel 2.4. Daftar bahan makanan dan kandungan kalsium di dalamnya
Kelompok bahan makanan Bahan makanan Mg Ca/gr bahan
Susu dan produknya Susu sapi
Susu kambing
Keju
Yoghurt
Susu pabrik
116
129
90-1180
150
1450-2000
Ikan Teri kering
Teri segar
Sarden kaleng
1200
500
354
Sayuran Bayam
Sawi
Daun papaya
Brokoli
267
220
353
110
Kacang-kacangan dan bahan
olahannya
Kacang panjang
Susu kedelai
Tempe
Tahu
347
250
129
124
Sumber: Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2008.
28
2. Olahraga dengan beban dan pencegahan jatuh. Pasien bisa melakukan lari
(jogging), berjalan, menaiki tangga, tai-chi atau bermain tenis.18
Latihan/olahraga ini dilakukan sebanyak 2-5 hari selama 20-60 menit. Depkes RI
sendiri mencanangkan program senam osteoporosis untuk meningkatkan
densitas tulang pada penderita osteoporosis. Terdapat empat jenis latihan fisik
yang boleh dilakukan bagi penderita osteoporosis, empat jenis latihan fisik
tersebut adalah:
a) Latihan fisik berjalan secara teratur dengan kecepatan minimal 3 mph (4,5
km) per jam selama 50 menit, 5 kali dalam seminggu
b) Latihan kekuatan otot, menggunakan beban. Ditekankan untuk melatih
daerah panggul, paha, punggung, lengan, pergelangan tangan dan bahu.
c) Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kelincahan.
d) Latihan ekstensi punggung dengan cara duduk di kursi dan
melengkungkan punggung ke belakang.2
Diharapkan program latihan beban ini mampu meningkatkan massa dan
kekuatan otot, keseimbangan tubuh dan kekuatan tulang. Program latihan ini
juga berefek besar terhadap pencegahan jatuh.1,4,26 Tindakan pencegahan jatuh
lain yang bisa dilakukan diantaranya modifikasi tempat tinggal menjadi
seaman mungkin dan melakukan pemeriksaan penglihatan, pendengaran serta
neurologi.1,4
3. Hindari merokok dan konsumsi alkohol. Merokok dan alkohol merupakan faktor
risiko penting terjadinya osteoporosis. Merokok berefek pada tulang baik secara
langsung maupun tak langsung. Secara langsung, kandungan cadmium dan
nikotin pada rokok memiliki efek toksik terhadap tulang. Adapun secara tidak
langsung, rokok dapat menurunkan absorpsi kalsium di usus, mempengaruhi
pengaturan vitamin D dan hormon-hormon lain yang berperan dalam regulasi
tulang atau juga bisa berpengaruh terhadap penurunan berat badan dan aktivitas.
Sedangkan konsumsi alkohol berlebih juga berefek menghambat diferensiasi dan
aktivitas osteoblas di tulang, mengurangi absorpsi kalsium di usus dan konversi
29
vitamin D ke dalam bentuk aktifnya. Alkohol juga bisa meningkatkan eliminasi
kalsium dan magnesium tubuh yang berperan dalam pembentukan tulang.4
Adapun pemberian terapi obat-obatan diberlakukan khususnya pada wanita
atau pria usia 50 tahun atau lebih sebagai agen untuk menurunkan risiko terjadinya
fraktur osteoporotik. Keadaan pasien umumnya telah mengalami kehilangan massa
tulang yang cukup berat. Kriteria pemberian terapi obat-obatan pada pasien
osteoporosis antara lain:
1. Ditemukan adanya fraktur atau tanda-tanda fraktur pada proksimal femur atau
tulang belakang.
2. Nilai T-score ≤ -2,5 pada proksimal femur atau tulang belakang setelah
penyebab osteoporosis sekunder dianggap tidak ada.
3. Pasien dengan ambang batas intervensi berdasarkan risk assessment fracture
tool sesuai rekomendasi WHO melalui analisa FRAX® tool.1,5,6,14
Pilihan terapi obat-obatan yang diberikan adalah:
a. Selective estrogen-receptor modulators (SERMs). Merupakan obat non-
steroid dengan target aksi reseptor estrogen sebagai agonis atau antagonis
estrogen sesuai jaringan target. Raloxifene merupakan satu-satunya obat
yang luas digunakan sebagai tindakan pencegahan dan terapi pada
osteoporosis pasca menopause.5 Selain itu, raloxifene juga mampu
menurunkan risiko terjadinya kanker payudara.1
b. Bisphosphonate. Merupakan inhibitor poten resorpsi tulang dan mampu
menurunkan jumlah dan aktivitas osteoklas. Direkomendasikan sebagai
terapi osteoporosis pasca menopause. Meskipun bioavailabilitas oral
rendah dan absorpsinya di usus dihambat oleh makanan (kalsium, besi,
kopi, teh, jus jeruk), namun cepat terdeposit di tulang dan waktu paruhnya
sangat lama. Alendronate 70 mg dan risendronate 35 mg per-minggu
merupakan yang paling luas digunakan.5,15
30
c. Calcitonin. Bekerja menghambat resorpsi tulang. Digunakan secara injeksi
atau melalui nasal spray. Selain itu, obat ini juga memiliki efek analgesik
sehingga menjadi terapi pilihan pada osteoporosis dengan nyeri akut.5,14
d. Parathyroid hormone. Obat yang diberikan lewat injeksi subkutan tiap hari
ini mampu meningkatkan jumlah dan aktivitas osteoblas sehingga terjadi
peningkatan pembentukan dan massa tulang. Dosis yang diberikan sekitar
20 µg untuk teriparatide (PTH sintetik) dan 100 µg PTH per-hari injeksi
subkutan.5
e. Strontium ranelate. Juga digunakan untuk terapi osteoporosis pasca
menopause. Berefek minimal dalam menghambat resorpsi tulang dan
stimulasi pembentukan tulang. Peningkatan dosis strontium ranelate
berhubungan dengan peningkatan BMD tulang. Dosis yang diberikan 2
gram (sachet) perhari. Strontium ranelate dikontraindikasikan untuk pasien
dengan gannguan ginjal serius.5,14
Terapi yang tersedia di Indonesia antara lain raloxifene, calcitonin dan
bisphosphonate. Terapi kombinasi juga bisa digunakan, antara lain kombinasi obat
bisphosphonate dan non-bisphosphonate.1,3,5,14
31
2.2. Kerangka Teori
Gambar 2.9. Kerangka teori
32
2.3. Kerangka Konsep
Gambar 2.10. Kerangka konsep
33
2.5. Definisi Operasional
Tabel 2.5. Definisi operasional
No Variabel Definisi Alat ukur Carapengukuran
Skalapengukuran
1 Usia Keterangan umurkronologis (dalam tahun)
Wawancara Numerik
2 Indeks massa
tubuh
Keterangan angka yangdidapatkan dari rasioberat badan terhadaptinggi badan. Merupakanalat/cara sederhana untukmelihat status gizi orangdewasa.
TimbangandanMeteran
Berat badan(kg) dibagidengankuadrat tinggibadan (m)
Numerik
3 Riwayatpatah tulang
Keterangan yangmenunjukkan adanyariwayat patah tulang padasubjek penelitian baikpatah tulang yang terjadisecara spontan pada usiadewasa maupun patahtulang karena traumaminimal yang tidakmungkin terjadi padaorang sehat.
Wawancara Kategorik(Ya/Tidak)
4 Riwayatpatah tulangFemur dariorang tua
Keterangan yangmenunjukkan adanyariwayat patah tulang padaorang tua (ayah/ibu)
Wawancara Kategorik(Ya/Tidak)
5 Merokok Keterangan yangmenunjukkan adanyakebiasaan merokok padasubjek penelitian saatkondisi sekarang denganmenghitung berdasarkanpemakaian dosis rata-rata(± satu bungkus perhari)
Wawancara Kategorik(Ya/Tidak)
6 Riwayatkonsumsiobatglukokortikoid
Keterangan yangmenunjukkan adanyariwayat konsumsi obatglukokortikoid (misalprednisone 5 mg perhari)
Wawancara Kategorik(Ya/Tidak)
34
selama lebih dari 3 bulanmaupun pada saatkondisi sekarang.
7 Reumatoidarthritis
Keterangan yangmenunjukkan adanyapenyakit rheumatoidartritis yang dideritaseseorang baik yangsudah terdiagnosamaupun yangmenunjukkan adanyagejala klinis rheumatoidartritis (peradangan dannyeri pada persendiankecil (poliartritis),deformitas persendian,kaku sendi lebih dari 30menit dll)
Wawancara Kategorik(Ya/Tidak)
8 Osteoporosis
sekunder
Keterangan yangmenunjukkan adanyakelainan/penyakit lain yang erathubungannya denganosteoporosis (diabetestipe I, osteogenesisimperfekta,hipertiroidisme kronis,hipogonadisme,menopause dini,malnutrisi menahun ataumalabsorpsi, penyakithati menahun)
Wawancara Kategorik(Ya/Tidak)
9 Minuman
beralkohol 3
unit/hari
Keterangan yangmenunjukkan adanyakebiasaan meminumminuman beralkoholsebanyak 3 unit/takarperhari (300 ccbir/anggur)
Wawancara Kategorik(Ya/Tidak)
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan desain cross
sectional untuk mengetahui hubungan (korelasi) nilai IMT dengan nilai hasil
perhitungan faktor risiko fraktur osteoporosis menggunakan FRAX® tool wanita
usia ≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat tahun 2015
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu : Minggu, 12 Juli 2015
Tempat : Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi : Semua warga wanita dengan usia ≥50 tahun
Populasi terjangkau : Semua warga wanita dengan usia ≥50 tahun di
Kelurahan Pisangan, Ciputat
Sampel : Semua warga wanita dengan usia ≥50 tahun di
kelurahan Pisangan, Ciputat yang datang ke posyandu untuk menghadiri acara
buka bersama dan santunan di Pamulang
3.4. Jumlah Sampel Penelitian
Rumus besar sampel berdasarkan pertanyaan penelitian analitis korelatif.
n= { , [ ]}2 + 3
36
keterangan.
Zα = deviat baku alfa
Zẞ = deviat baku beta
r = korelasi minimal yang dianggap bermakna
Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis 1 arah , sehingga Zα
= 1,64. Kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 10%, maka Zẞ = 1,28.
Korelasi minimal yang dianggap bermakna ditetapkan sebesar 0,4.
n= { , [ ]}2 + 3
{( , , ), [ ,, ]}2 + 3
50,51 dibulatkan menjadi 51
3.5. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sample yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah consecutive sampling, yakni memasukkan semua subjek yang sesuai
dengan kriteria penelitian yang ada di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat.
3.6. Kriteria Sampel Penelitian
3.6.1. Kriteria inklusi:
Warga wanita dengan usia ≥50 tahun di kelurahan Pisangan, Ciputat yang
datang ke posyandu untuk menghadiri acara buka bersama dan santunan di
Pamulang
3.6.2. Kriteria eksklusi:
Tidak ada
37
3.7. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Timbangan berat badan
2. Meteran
3. Kertas identifikasi faktor risiko menurut FRAX® tool
4. Bolpoin
5. Laptop dan alat hitung FRAX® tool
6. Program software SPSS 22
38
3.8. Alur Kerja Penelitian
Gambar 3.1. Alur penelitian
Perizinan ke Klub BinaLansia Pisangan Ciputat
Persiapan penelitian
Melakukan pemeriksaanberat badan dan tinggi
badan
Penyajian dan analisa data
Melakukan asesmen danwawancara mengenai faktor
risiko klinis osteoporosis
Penghitungan data masing-masing sampel
menggunakan FRAX® tool
Berdiskusi denganpenanggung jawab Klub
Bina Lansia terkait waktuyang tepat untuk
dilakukannya penelitian
1. Jenis kelamin2. Indeks massa tubuh3. Riwayat fraktur
sebelumnya4. Riwayat fraktur
femur pada orangtua
5. Merokok6. Glukokortikoid7. Rheumatoid arthritis8. Osteoporosis
sekunder9. Alkohol
1. Kemungkinan frakturosteoporosis tulang mayor(%)
2. Kemungkinan frakturosteoporosis tulang femur(%)
39
3.9. Cara Kerja Penelitian
1. Melakukan persiapan penelitian di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Mengurus perizinan melakukan penelitian di Klub Bina Lansia Pisangan,
Ciputat.
3. Melakukan diskusi dengan penanggung jawab Klub Bina Lansia Pisangan
terkait waktu yang tepat untuk dilakukannya penelitian
4. Melakukan pendataan jumlah warga wanita yang datang ke Posyandu
5. Melakukan pemeriksaan berat badan dan tinggi badan
6. Melakukan wawancara mengenai faktor-faktor risiko klinis osteoporosis
7. Melakukan perekapan data dan perhitungan masing-masing data responden
menggunakan FRAX® tool
8. Menyajikan dan menganalisa data dengan menggunakan program SPSS 22
3.10. Identifikasi Variabel
3.10.1. Variabel terikat (dependen)
Nilai hasil perhitungan risiko fraktur osteoporosis mayor dan femur
berdasarkan FRAX® tool dalam skala numerik
3.10.2. Variabel bebas (independen)
Nilai indeks massa tubuh (IMT) dalam skala numerik
3.11. Rencana Manajemen Data
3.11.1. Pengolahan data
1. Coding, yaitu data diberi kode sesuai dengan kriteria masing-masing
2. Entry, yaitu memasukkan data ke dalam program computer
3. Editing, yaitu meliputi kelengkapan jawaban dan tulisan yang jelas
40
3.11.2. Analisis data
Melakukan uji korelatif untuk menilai korelasi menggunakan uji
Pearson. Jika syarat uji Pearson tidak terpenuhi, maka dilakukan uji
Spearmen sebagai alternatif untuk menentukan korelasi antara nilai IMT
dengan nilai risiko fraktur osteoporosis berdasarkan perhitungan
FRAX® tool
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan dengan melihat hasil data primer yang didapatkan
pada wanita lanjut usia (usia ≥50 tahun) yang merupakan anggota klub Bina Lansia
Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan pada tanggal 12 Juli 2015. Didapatkan subjek
penelitian sebanyak 55 orang yang telah menyetujui untuk dilakukan asesmen terkait
faktor risiko fraktur osteoporosis yang dimiliki masing-masing individu.
4.1. Karakteristik Sampel
4.1.1. Usia Responden
Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 55 wanita lansia yang berusia
lebih dari 50 tahun. Alasan didapatkannya responden wanita adalah karena anggota
Klub Bina Lansia ini rata-rata terdiri dari wanita dan hanya sedikit yang berjenis
kelamin laki-laki. Responden terdiri dari usia 52 tahun sampai 90 tahun dengan rata-
rata usia responden adalah 65,45 tahun (SD=7,852). Data usia ini diperoleh melalui
wawancara dengan responden tanpa adanya bukti tertulis misalnya surat tanda
kelahiran atau kartu tanda penduduk.
42
Tabel 4.1. Sebaran Usia Responden di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat
Usia menjadi salah satu faktor risiko kuat terhadap terjadinya osteoporosis
maupun fraktur akibat osteoporosis.13 Salah satu penyebab utama adalah faktor
hormonal dimana defisiensi estrogen terjadi (pasca-menopause).1,7,16 Selama 10 tahun
semenjak menopause, seorang wanita akan mengalami fase cepat kehilangan massa
tulang (sekitar 30% per-tahun). Setelah periode ini selesai, kehilangan massa tulang
terjadi secara lambat (sekitar 0,3% per-tahun).15 Menurut studi kohort yang dilakukan
oleh Siu L dkk (1987), terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan usia
dengan peningkatan kejadian fraktur osteoporotik pada leher femur dan penurunan
massa tulang pada lengan bawah (radial midshaft).27 Oleh karena itu, usia menjadi salah
satu faktor risiko penting dalam menentukan risiko fraktur osteoporosis terlebih pada
wanita.6,24
No Usia Frekuensi
(n)
Presentase
(%)
No Usia Frekuensi
(n)
Presentase
(%)
1 52 1 1,8 13 65 3 5,5
2 54 1 1,8 14 66 3 5,5
3 55 2 3,6 15 67 3 5,5
4 56 2 3,6 16 68 3 5,5
5 57 4 7,3 17 69 1 1,8
6 58 2 3,6 18 70 2 3,6
7 59 2 3,6 19 71 2 3,6
8 60 3 5,5 20 72 2 3,6
9 61 1 1,8 21 73 2 3,6
10 62 2 3,6 22 77 3 5,5
11 63 3 5,5 23 80 3 5,5
12 64 4 7,3 23 90 1 1,8
Jumlah 27 49% Jumlah 28 51%
43
Gambar 4.1. Sebaran jumlah responden berdasarkan usia menggunakan diagram
batang
4.1.2. Gambaran Indeks Massa Tubuh Responden
Pengukuran berat badan dan tinggi badan responden di Klub Bina Lansia
Pisangan, Ciputat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur timbangan dan
meteran. Dalam prosedurnya pengukuran tinggi badan dengan mengukur dari ujung
telapak kaki sampai ujung kepala menggunakan meteran ini dinilai kurang akurat untuk
mengukur tinggi badan lansia. Metode yang direkomendasikan adalah menggunakan
formlula Gibson (1993) dengan mengukur tinggi lutut bagi orang dengan usia >59
44
tahun ( Pria = (2,02 x tinggi lutut (cm)) – (0,04 x umur (tahun)) + 64,19 ; wanita =
(1,83 x tinggi lutut (cm)) – (0,24 x umur (tahun)) + 84,88)) ).28
Status gizi 55 responden dari Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat jika dilihat
menurut kriteria asia pasifik dapat digambarkan melalui tabel 4.2. Status gizi responden
paling banyak terdiri dari status gizi normal dengan jumlah 17 responden (30,91%) dan
diikuti oleh obesitas grade I (n=13; 23,6%), gizi berlebih (n=11; 20%), gizi kurang
(n=9; 16,36%) serta obesitas grade II dengan jumlah 5 responden (9,09%).
Tabel 4.2. Gambaran Status Gizi Responden di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat
Berdasarkan Kriteria Asia-Pasifik
Status Gizi (IMT) Frekuensi (n) Presentase (%)
Gizi Kurang; <18,5(Underweight)
9 16%
Gizi Normal
;18,5-22,9
17 31%
Gizi Berlebih; 23-24,9
(Overweight)
11 20%
Obesitas Grade I
;25-30
13 24%
Obesitas Grade II
; >30
5 9%
Jumlah 55 100%
45
Gambar 4.2. Presentase status gizi responden
4.2. Gambaran Faktor Risiko Klinis Osteoporosis Responden
Faktor risiko klinis osteoporosis yang direkomendasikan untuk diidentifikasi
merupakan hasil dari bukti-bukti beberapa penelitian internasional (meta-analisis).
Penghitungan risiko osteoporosis menjadi metode yang perlu dilakukan daripada
penggunaan pengukuran BMD saja. Atas dasar inilah, WHO menggalakkan strategi
secara global yang berfokus pada pencegahan, penanganan dan suveilans
osteoporosis.13
Dari hasil asesmen melalui wawancara dan perkiraan klinis (clinical
judgement) faktor risiko klinis fraktur pada osteoporosis (riwayat fraktur sebelumnya,
riwayat fraktur femur pada orang tua, merokok, glukokortikoid, rheumatoid arthritis,
osteoporosis sekunder, alkohol) pada 55 responden, didapatkan sebanyak 6 pasien
mengaku pernah mengalami fraktur sebelumnya. Pada faktor risiko adanya riwayat
46
fraktur femur pada orang tua, hanya ada 4 responden yang membenarkan adanya faktor
risiko tersebut. Bahkan terdapat 1 responden yang memiliki dua faktor risiko sekaligus,
yaitu memiliki riwayat fraktur sebelumnya dan adanya riwayat fraktur femur pada
orang tuanya. Faktor risiko yang lain sama sekali tidak ditemukan pada responden yang
kami wawancarai.
4.2.1. Riwayat Fraktur Sebelumnya
Dari hasil wawancara, didapatkan hanya 6 responden yang mengaku memiliki
riwayat fraktur sebelumnya. Sedangkan 49 responden mengaku tidak memiliki riwayat
fraktur sebelumnya.
Tabel 4.3. Gambaran riwayat fraktur pada responden di Klub Bina Lansia
Pisangan, Ciputat
Riwayat Fraktur
Sebelumnya
Frekuensi (n) Presentase (%)
Pernah mengalami fraktur
sebelumnya
6 11%
Tidak pernah mengalami
fraktur sebelumnya
49 89%
Jumlah 55 100%
Adanya riwayat fraktur sebelumnya menandakan tulang kemungkinan
memiliki BMD yang rendah. Risiko fraktur osteoporotik menjadi lebih besar pada
pasien yang telah mengalami fraktur sebelumnya dibandingkan orang yang belum
pernah mengalami fraktur.29 Tulang yang sering mengalami fraktur diantaranya tulang
femur, lengan bawah dan tulang belakang.4,13,14
47
4.2.2. Riwayat Fraktur Femur pada Orang Tua
Dari hasil wawancara, didapatkan hanya 4 responden yang memiliki riwayat
fraktur femur pada orang tua mereka. Sedangkan 51 responden mengaku tidak
memiliki riwayat tersebut.
Tabel 4.4. Gambaran riwayat fraktur femur pada orang tua responden di Klub
Bina Lansia Pisangan, Ciputat
Riwayat Fraktur
Femur pada Orang Tua
Frekuensi (n) Presentase (%)
Terdapat riwayat fraktur
femur pada orang tua
4 7%
Tidak terdapat riwayat
fraktur femur pada orang
tua
51 93%
Jumlah 55 100%
Adanya riwayat fraktur femur pada orang tua menandakan berperannya faktor
genetik terhadap osteoporosis. Faktor genetik ini cukup berpengaruh terhadap BMD
tulang. Sekitar 80% kepadatan tulang diturunkan secara genetik.2 Beberapa studi
menunjukkan adanya perbedaan massa tulang yang lebih kecil antara kembar
monozigot daripada dizigot. Menurut beberapa studi, adanya riwayat fraktur
osteoporotik pada orang tua setelah usia 50 tahun akan meningkatkan risiko fraktur
pada anak.30
48
4.2.3. Faktor Risiko Fraktur Osteoporosis yang Lain (Merokok,
Glukokortikoid, Rheumatoid Arthritis, Osteoporosis Sekunder, Alkohol)
Dari 55 responden yang diteliti melalui proses wawancara dan perkiraan
klinis, tidak didapatkan responden mengaku memiliki faktor-faktor risiko tersebut.
Menurut peneliti, hal ini dikarenakan karakteristik responden yang semuanya berjenis
kelamin wanita dan jarangnya faktor-faktor risiko tersebut untuk ditemukan. Meskipun
begitu, faktor-faktor risiko tersebut dinilai berpengaruh sehingga perlu untuk dilakukan
pembahasan satu-persatu.
Studi tentang efek rokok terhadap penurunan BMD telah dipublikasikan,
sebuah studi meta-analisis menjelaskan bahwasannya seseorang dengan kebiasaan
merokok memiliki risiko fraktur osteoporosis lebih besar dibandingkan dengan non-
perokok.31
Penggunaan obat glukokortikoid yang berperan dalam pengeroposan tulang
juga menjadi faktor risiko terjadinya fraktur pada semua usia. Menurut beberapa
penelitian, risiko fraktur pada tulang femur, lengan bawah dan bahu meningkat menjadi
dua kali lipat pada pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid.32
Menurut beberapa studi, rheumatoid arthritis memiliki hubungan dengan
terjadinya fraktur pada femur, tulang belakang dan pelvis.34 Hal ini dikarenakan adanya
proses patologis pada penyakit rheumatoid arthritis sendiri maupun adanya keterkaitan
dengan penggunaan glukokortikoid.13
Konsumsi minuman beralkohol akan mengakibatkan osteoporosis sekunder
terutama pada laki-laki.13 Seseorang yang mengkonsumsi alkohol berlebih (lebih dari
2 unit per-hari) risiko untuk mengalami fraktur osteoporosis meningkat sebanyak 40%
dibandingkan mengkonsumsi alkohol dengan dosis sedang (<2 unit per-hari) atau tidak
sama sekali.14
49
4.3. Gambaran Hasil Penghitungan Faktor Risiko Fraktur Osteoporosis
Menggunakan FRAX® tool dan Interpretasinya
Interpretasi nilai faktor risiko terjadinya fraktur osteoporosis dalam 10 tahun
ke depan berbeda menurut tiap kategori umur seseorang. Semakin bertambahnya usia,
maka batas ambang (threshold) nilai hasil perhitungan FRAX® tool juga semakin
tinggi.5 Interpretasi hasil perhitungan menggunakan FRAX® tool pada 55 wanita usia
≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat tahun 2015 adalah sebagai berikut:
1. 49 responden (89,1%) memiliki kemungkinan fraktur osteoporosis ringan dan
disarankan untuk mengatur diet nutrisi dan olahraga tanpa menggunakan
terapi obat-obatan.
2. 5 responden (9,1%) memiliki kemungkinan fraktur osteoporosis sedang,
penggunaan DXA diindikasikan untuk kemudian dihitung kembali risiko
frakturnya.
3. 1 responden (1,8%) memiliki kemungkinan fraktur osteoporosis tinggi,
sehingga penggunaan terapi mengunakan obat-obatan direkomendasikan pada
pasien ini. Pasien ini (59 tahun) mengaku memiliki riwayat fraktur
sebelumnya dan riwayat fraktur tulang femur pada orang tuanya meskipun
status gizinya adalah obesitas derajat II.
Menurut National Osteoporosis Guideline Group (UK), interpretasi ini
digunakan sebagai pedoman klinisi dalam melakukan tindakan selanjutnya.5,7
Sedangkan menurut National Osteoporosis Foundation pada batas tindakan terapi,
perlu diperhitungkan berdasarkan analisa klinisi dan adanya faktor lain seperti kondisi
komorbid yang menyertai.1
50
Tabel 4.5. Interpretasi hasil perhitungan menggunakan FRAX® tool pada 55 wanita usia
≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat tahun 2015
Kategori Frekuensi (n) Presentase (%) Tingkat Risiko
Lower assessment
threshold
49 89,1 Risiko Fraktur
Osteoporosis Ringan
Upper assessment
threshold
5 9,1 Risiko Fraktur
Osteoporosis Sedang
Intervention
threshold
1 1,8 Risiko Fraktur
Osteoporosis Tinggi
Gambar 4.3. Presentase tingkat risiko fraktur osteoporosis responden
89%
9% 2%
Presentase Tingkat Risiko Fraktur Osteoporosis Responden
Risiko Fraktur Osteoporosis Ringan
Risiko Fraktur Osteoporosis Sedang
Risiko Fraktur Osteoporosis Tinggi
51
4.4. Korelasi antara Nilai Indeks Massa Tubuh dengan Nilai Risiko Fraktur
Osteoporosis Berdasarkan Perhitungan FRAX® tool
Uji korelasi dilakukan untuk melihat seberapa besar hubungan yang dimiliki
dua variabel. Untuk melihat korelasi antara nilai IMT responden dengan nilai risiko
fraktur osteoporosis mayor dan femur digunakan uji hipotesis korelatif Spearmen. Uji
ini dipilih dikarenakan data nilai risiko fraktur osteoporosis mayor dan femur memiliki
distribusi tidak normal (Test of normality Kolmogorov-Smirnov: p = 0,000).
Tabel 4.6. Korelasi antara nilai IMT responden dengan nilai risiko fraktur osteoporosis
mayor dan femur (uji Spearmen)
Korelasi P value Arah
korelasi
Koefisien korelasi
(r)
Nilai IMT dengan nilai risiko
fraktur osteoporosis mayor
0,027 Negatif (-) -0,297
Nilai IMT dengan nilai risiko
fraktur osteoporosis femur
0,000 Negatif (-) -0,467
Kedua korelasi ini sama-sama signifikan (p < 0,05), nilai negatif menunjukkan
bahwa semakin besar nilai IMT yang dimiliki responden semakin kecil risiko fraktur
osteoporosis yang dimiliki. Korelasi nilai IMT dengan nilai risiko fraktur osteoporosis
mayor memiliki kekuatan korelasi yang lemah (r = 0,297). Sedangkan korelasi nilai
IMT dengan nilai risiko fraktur osteoporosis femur memiliki kekuatan korelasi sedang
(r = 0,467). Hasil ini membuktikan bahwasannya indeks massa tubuh berperan dalam
meningkatkan nilai risiko fraktur osteoporosis berdasarkan perhitungan FRAX® tool
meskipun dipengaruhi perbedaan faktor risiko lain seperti usia, riwayat fraktur
sebelumnya serta riwayat fraktur femur pada orang tua.
Hasil sebuah studi yang dilakukan oleh Montazerifar F dkk (2014) pada 80
wanita post-menopause menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara indeks
massa tubuh dengan nilai BMD pada lumbar spine (p=0,02;r=0,31). Sedangkan
52
korelasi antara indeks massa tubuh dengan nilai BMD pada femur neck bernilai tidak
signifikan (p=0,128;r=0,209).33 Studi lain yang dilakukan oleh Mardas AK dkk (2014)
menyatakan indeks massa tubuh merupakan faktor yang ikut berperan dalam terjadinya
osteoporosis dan menjadi faktor risiko timbulnya fraktur akibat osteoporosis.9 Hasil
dari beberapa studi menunjukkan penurunan densitas tulang (BMD) lebih sering
ditemukan pada manusia lanjut usia dengan IMT yang rendah. Oleh karenanya, WHO
menjadikan indeks massa tubuh sebagai faktor risiko klinis terjadinya osteoporosis.6,10,11,12
Hubungan signifikan IMT dengan osteoporosis ini disebabkan karena
berkurangnya efek protektif jaringan lemak subkutan terhadap densitas tulang pada
wanita lanjut usia. Seseorang dengan IMT 20 kg/m2 mengalami peningkatan risiko
fraktur dua kali lipat dibandingkan dengan seseorang yang memiliki IMT 25 kg/m2.21
Sedangkan wanita dengan status gizi berlebih (overweight) atau obesitas memiliki
status absorpsi kalsium yang lebih baik dan resorpsi tulang yang lebih rendah pasca
menopause daripada wanita dengan IMT normal. Karena alasan inilah, dianjurkan bagi
wanita lanjut usia memiliki status gizi sedikit berlebih selama tidak memiliki risiko
terhadap penyakit kardiovaskular.17 Wanita dan pria obesitas juga akan mengalami
peningkatan konversi hormon androgen menjadi estrogen. Di sisi lain, peningkatan
jaringan lemak tubuh menyebabkan peningkatan beban dan berefek positif terhadap
pembentukan tulang.12,22
4.5. Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik yang hanya diikuti oleh
responden sebanyak 55 orang. Peneliti menilai sulitnya mengumpulkan
responden lebih banyak lagi karena keterbatasan waktu dan tenaga, sementara
nggota Klub Bina Lansia juga terbatas.
2. Sampel pada penelitian ini hanya diambil dari Klub Bina Lansia Pisangan,
Ciputat dan tidak mengambil dari populasi yang lebih luas lagi.
3. Penelitian ini hanya melihat besarnya faktor risiko fraktur osteoporosis pada
wanita usia ≥50 tahun. Peneliti tidak menyertakan laki-laki sebagai responden
53
karena keterbatasan waktu dan tenaga, sementara anggota laki-laki Klub Bina
Lansia berjumlah sedikit.
4. Penelitian ini tidak menggunakan metode pengukur tinggi badan yang lebih
akurat khususnya pada wanita usia >60 tahun. Hanya menggunakan metode
pengukuran tinggi badan dengan keadaan berdiri menggunakan alat ukur
meteran.
5. Penilaian faktor risiko fraktur osteoporosis (berupa riwayat patah tulang
sebelumnya, riwayat patah tulang femur pada orangtua, merokok, riwayat
konsumsi obat glukokortikoid, reumatoid arthritis, adanya osteoporosis
sekunder, minuman beralkohol 3 unit/hari) berdasarkan pada wawancara dan
perkiraan klinis (clinical judgement) yang cepat. Hal ini disebabkan
keterbatasan waktu untuk menilai faktor risiko tersebut lebih cermat lagi.
6. Terdapat kemungkinan bias pada asesmen faktor risiko klinis dikarenakan
responden berusia lanjut.
4.6. Kajian Islam
Wanita merupakan makhluk Tuhan yang memiliki perbedaan dengan
pasangannya, yakni laki-laki. Salah satu pembedanya adalah perubahan fase kehidupan
wanita seiring dengan bertambahnya usia. Berbeda dengan laki-laki yang memiliki
masa subur terus-menerus sepanjang hidupnya, wanita memiliki masa dimana terjadi
proses berhentinya fungsi organ reproduksi. Masa ini dinamakan menopause, yang
menyebabkan menurunnya produksi hormon seks oleh organ reproduksi (estrogen)
setelah usia lebih dari 40 tahun. Fenomena ini mengakibatkan salah satu fungsi
estrogen dalam mengendalikan keseimbangan massa tulang terganggu. Oleh karena
itu, wanita pasca menopause memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami
pengeroposan tulang (osteoporosis) dibandingkan laki-laki. Pembeda ini merupakan
suatu keistimewaan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Firman Allah dalam surat
An-Nisa' (4): 32:
54
“Janganlah kamu iri hati terhadap keistimewaan yang dianugrahkan Allah terhadap
sebahagian kamu atas sebahagian yang lain laki-laki mempunyai hak atas apa yang
diusahakan dan perempuan juga mempunyai hak atas apa yang di usahakannya”
Salah satu tindakan pencegahan terjadinya osteoporosis pada masa tua adalah
melakukan diet makan-makanan yang baik untuk kekuatan tulang. Allah berfirman
dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 31:
“Hai anak sekalian manusia makan-makanlah yang halal lagi baik daripada yang
terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena
syaitan musuh yang nyata bagimu.”
Berdasarkan ayat di atas, kita diperintahkan untuk memakan-makanan yang halal dan
baik serta tidak berlebih-lebihan. Salah satu makanan yang baik untuk mendukung
kekuatan tulang ini adalah susu, ikan, sayur-sayuran dan kacang-kacangan karena
memiliki kandungan kalsium di dalamnya. Kalsium ini bermanfaat untuk kesehatan
dan kekuatan tulang sehingga menjadi kebutuhan nutrisi tubuh. Kebutuhan kalsium
bagi wanita yang sudah berusia tua adalah sekitar 1.200 mg per harinya. Selain untuk
memenuhi kebutuhan kalsium, makan dengan kandungan gizi yang cukup dapat
berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang baik bermanfaat dalam
menurunkan risiko fraktur osteoporosis. Namun terdapat rambu-rambu bahwa kita
dilarang untuk berlebihan dalam hal makan karena akan berakibat terhadap timbulnya
penyakit-penyakit lainnya seperti diabetes, penyakit jantung, stroke dan sebagainya.
Allah juga melarang meminum alkohol (khamr) dan berdosa besar bagi yang
meminumnya. Dan juga sebagaimana kita tahu bahwasannya minum-minuman
beralkohol juga menjadi faktor risiko osteoporosis serta dapat berperan dalam
meningkatkan risiko fraktur osteoporosis. Keterangan ini sebagaimana dalam surat Al
Baqarah ayat 219 yang menjelaskan tentang larangan meminum alkohol.
55
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
1. Terdapat korelasi antara nilai Indeks Massa Tubuh dengan nilai risiko fraktur
osteoporosis mayor berdasarkan perhitungan FRAX® tool pada wanita usia
≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat (p = 0,027) dengan arah
korelasi negatif dan kekuatan korelasi lemah (r = 0,297)
2. Terdapat korelasi antara nilai Indeks Massa Tubuh dengan nilai risiko fraktur
osteoporosis leher femur berdasarkan perhitungan FRAX® tool pada wanita
usia ≥50 tahun di Klub Bina Lansia Pisangan, Ciputat (p = 0,000) dengan arah
korelasi negative dan kekuatan korelasi sedang (r = 0,467)
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat beberapa saran yang diberikan
sebagai berikut:
a. Bagi masyarakat
1. Wanita dengan risiko ringan berdasarkan perhitungan FRAX® tool
disarankan untuk mengatur diet nutrisi serta olahraga yang teratur. Hal ini
dikarenakan wanita maupun pria dengan usia ≥50 tahun memiliki risiko
terjadinya pengeroposan tulang. Serangkaian tindakan pencegahan
osteoporosis direkomendasikan untuk menghindari terjadinya fraktur
osteoporosis yang berefek terhadap mortalitas dan morbiditas pasien.
Tindakan pencegahan tersebut meliputi asupan kalsium dan vitamin D yang
baik, olahraga dan pencegahan jatuh serta menghindari merokok dan
minuman beralkohol.
2. Wanita dengan risiko yang sedang berdasarkan perhitungan FRAX® tool
disarankan untuk melakukan pemeriksaan densitas tulang menggunakan
56
DXA. Namun hal ini memiliki kendala dikarenakan ketersediaan alat DXA
sebagai gold standard diagnosis osteoporosis masih minim di Indonesia.
3. Tindakan terapi obat-obatan disarankan bagi responden dengan risiko berat
berdasarkan perhitungan FRAX® tool menurut NOGG. Sedangkan menurut
IOF, penentuan terapi melihat dari kondisi komorbid lain.
b. Bagi Pemerintah
Indonesia sebagai negara berkembang dinilai masih kurang dalam pemenuhan
fasilitas-fasilitas penunjang kesehatan. Minimnya jumlah alat pengukur standar
pada osteoporosis menyebabkan osteoporosis sebagai silent disease dan jarang
terdeteksi sampai terjadinya frakur karena tulang menjadi keropos. Penggunaan
asesmen faktor risiko fraktur osteoporosis pada wanita usia tua (pasca
menopause) direkomendasikan menurut beberapa studi. FRAX® tool sebagai
alat hitung untuk menilai besarnya risiko fraktur karena osteoporosis
bermanfaat dalam penghematan biaya sekaligus sebagai pedoman penentuan
langkah klinisi dalam menangani pasien osteoporosis. Pemerintah hendaknya
bisa memberikan regulasi yang jelas dan terarah dalam penggunaan FRAX® tool
ini mengingat Indonesia menjadi salah satu dari 45 negara yang telah
dikalibrasikan penggunaannya.
c. Bagi peneliti
Dalam penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk melakukan asesmen
faktor risiko osteoporosis pada wanita maupun pria usia lanjut dengan jumlah
sampel yang lebih banyak lagi. Terlebih lagi jika penelitian dilakukan pada pria
dan wanita sekaligus/berpasangan. Penilaian faktor risiko klinis osteoporosis
dilakukan dengan metode yang lebih terstandarisasi misalnya adanya bukti
tertulis untuk mengetahui faktor risiko usia responden, metode pengukuran
tinggi badan yang sesuai untuk usia lanjut dan sebagainya.
57
DAFTAR PUSTAKA
1. National Osteoporosis Foundation. Clician’s guide to prevention and treatment
of osteoporosis. Washington DC: National Osteoporosis Foundation. 2010.
2. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengendalian osteoporosis.
Jakarta: Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008
3. Mithal A, Dhingra V, Lau Edith. The Asian audit epidemiology, cost and
burden of osteoporosis in asia 2009. International Osteoporosis Foundation.
2009. p. 28-29.
4. U.S. Department of Health and Human Services. Bone health and osteoporosis:
a report of the surgeon general. Rockville MD: U.S. Department of Health and
Human Services, Office of The Surgeon General. 2004.
5. Kanis JA, McCloskey EV. Johansson H, Cooper C, Rizzoll R, Reginster JY.
European guidance for the diagnosis and management of osteoporosis in
postmenopausal women. Osteoporos Int. 2012 October 19. doi:
10.1007/S00198-012-2074-y.
6. World Health Organization. WHO scientific group on the assessment of
osteoporosis at primary health care level. World Health Organization. 2007.
7. Compston J, Cooper A, Cooper C, Francis R, Kanis JA, Marsh D, et al.
Guideline for the diagnosis and management of osteoporosis in postmenopausal
women and men from the age of 50 years in the UK. London: National
Osteoporosis Guideline Group. 2014.
8. Kanis JA, Oden A, Johansson H, Borgstrom F, Strom O, McCloskey EV. Frax®,
a new tool for assessing fracture risk: clinical applications and intervention
thresholds. Medicographia. 2010; 1: 32
9. Mardas A K, Sulaf AH, Alkazzaz A. Effect of body mass index and physical
activities on risk of osteoporosis in Babylon Iraq. Medical Journal of Babylon.
2014; 11(1): 173-187
58
10. Salter B. textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system 3th
ed. Baltimore: Williams & Wilkins. 1990. Chapter 9, Generalized and
disseminated disorder; p. 190-194.
11. Nguyen TV. Center JR, Eisman JA. Osteoporosis in elderly men and women:
effects of dietary calcium, physical activity, and body mass index. Journal of
Bone and Mineral Research. 2000; 15(2): 322-331
12. Salamat MR, Salamat AH, Abedi I, Janghorbani M. Relationship between
weight, body mass index, and bone mineral density in men referred for dual-
energy x-ray absorptiometry scan in Isfahan, iran. Hindawi Publishing
Corporation. 2013; 2013: 1-7. doi: 10.1155.2013/205963
13. World Health Organization. Assessment of osteoporosis at the primary health
care level. WHO Collaborating Centre for Metabolic Bone Diseases, University
of Sheffield. 2007
14. International Osteoporosis Foundation [internet]. [place unknown]:
International Osteoporosis Foundation; [date unknown] [cited 2015 June 05].
Available from: http://www.iofbonehealth.org/osteoporosis.
15. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s system of orthopaedics and
fractures. 9th ed. London: Holder Arnold. 2010. Chapter 7, Metabolic and
endocrine disorder; p. 117-134.
16. Sherwood L. Human physiology from cells to systems 7th ed. Canada:
Brook/Cole Cengange Learning. 2010. Chapter 19, The peripheral endocrine
glands; p. 726-729.
17. Stransky M, Rysava L. Nutrition as prevention and treatment of osteoporosis.
Institute of Physiology Academy of Sciences of the Czech Republic. 2009;
58(1): 7-11
18. Sarkis KS, Salvador MB, Pinheiro MM, Silva RG, Zerbini CA, Martini LA.
Association between osteoporosis and rheumatoid arthritis in women: a cross-
sectional study. Sao Paulo Med J. 2009; 127(4): 216-222
19. Hadji P, Klein S, Gothe H, Haussier B, Thomas Kless, Torsten S, et al. The
epidemiology of osteoporosis - bone evaluation study (BEST): an analysis of
59
routine health insurance data. Dtsch Arztebl Int. 2013; 110(4): 52-57. doi:
10.3238/arztebl.2013.0052.
20. Khosla S, Riggs BW. Pathophysiology of age-related bone loss and
osteoporosis. Elsevier Inc. 2005; 34(2005): 1015-1030. doi:
10.1016/j.ecl.2005.07.009
21. International Osteoporosis Foundation [internet]. [place unknown]:
International Osteoporosis Foundation; [date unknown] [cited 2015 June 05].
Available from: http://www.iofbonehealth.org/osteoporosis
22. Ravn P, Cizza G, Bjarnason NH, Thompson D, Daley M, Wasnich RD, et al.
Low body mass index is an important risk factor for low bone mass and
increased bone loss in early postmenopausal women. Journal of Bone and
Mineral Research. 1999; 14(9): 1622-1627
23. McCloskey E. FRAX® Identifying people at high risk of fracture: WHO
fracture risk assessment tool, a new clinical tool for informed treatment
decisions. Switzerland: International Osteoporosis Foundation. 2009
24. World Health Organization Collaborating Centre for Metabolic Bone Disease
University of Sheffield UK [internet]. [place unknown]: University of Sheffield
UK; [date unknown] [cited 2015 June 05]. Available from:
http://www.sheffield.ac.uk/FRAX.
25. Cheng S, Njeh CF, Fan B, Cheng X, Hans D, et al. Influence of region of
interest and bone size on calcaneal BMD: implication for the accuracy of
quantitative ultrasound assessments at the calcaneus. The British Journal of
Radiology. 2002 January; 75: 59-68.
26. Papaioannou A, Morin S, Cheung AM, Atkinson S, Brown JP, Feldman S, et
al. Clinical practice guidelines for the diagnosis and management of
osteoporosis in Canada: background and technical report. Ontario: Juravinski
Research Centre. 2010.
27. Hui SL, Slemenda CW, Johnston CC. Age and bone mass as predictors of
fracture in a prospective study. Journal of Clinical Investigation. 1998; 81:
1804-1809.
60
28. Chumlea WC, Roche AF, Steinbaugh ML. Estimating stature from knee height
for persons 60 to 90 years of age. J Am Geriatr Soc. 1985; 33(2): 116–20
29. Johnell O, Kanis JA, Oden A, Sernbo I, Redlund-Johnell I, Petterson C et al.
Fracture risk following an osteoporotic fracture. Osteoporos Int. 2004; 15: 175-
179. doi: 10.1007/s00198-003-1514-0
30. Bauer DC, Brower WS, Cauley JA, Orwoll ES, Scott JC, Black DM et al.
Factors associated with appendicular bone mass in older women: the study of
Osteoporotic Fractures Research Group. Annals of Internal Medicine. 1993;
118: 657-665
31. Kanis JA, Johnell O, Oden A, Johansson H, De Laet C, Eisman JA et al.
Smoking and fracture risk: a meta-analysis. Osteoporos Int. 2005; 16: 155-162
32. Van Staa TP, Leufkens HG, Abenhaim L, Zhang B, Cooper C. Oral
corticosteroids and fracture risk: relationship to daily and cumulative doses.
Rheumatology. 2000; 39: 1383-1389
33. Montazerifar F, Karajibani M, Alamian S, Sandough M, Zakeri Z, DashipourAR. Age, weight and body mass index effect on bone mineral density inpostmenopausal women. Health Scope. 2014 May; 3(2): 1-5
61
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tampilan metode fracture risk assessment tool (FRAX® tool) yang dapat
diakses melalui http://www.sheffield.ac.uk/FRAX/tool.jsp?country=19
62
Lampiran 2 Hasil perhitungan nilai risiko fraktur osteoporosis mayor dan femurmenggunakan FRAX® tool
63
64
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Ahmad Khoiron Nashirin
Tempat Tanggal Lahir : Pasuruan. 14 Desember 1993
Alamat : Jl. SD Inpres, Pisangan, Ciputat
Email : khoironnashirin@ymail.com
No.Telepon : 085749679311
Riwayat Pendidikan :
TK PGRI Sidogiri, Kraton, Pasuruan (1999-2000)
SDN Sidogiri, Kraton, Pasuruan (2000-2006)
MTs Al-Yasini, Wonorejo, Pasuruan (2006-2009)
MAN KRATON Al-Yasini Pasuruan (2009-2012)
FKIK Prodi Pendidikan Dokter UIN Syarif
Hidayatullah Jakarat (2012-sekarang)
Recommended