View
17
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
LAPORAN PRAKTIKUM
PERTANIAN BERLANJUT
Disusun Oleh :
Norma Yunita Sari 145040201111178
Maria Ulfah 145040201111200
Rizky Osvaldo 145040201111202
Arya Putra W 145040201111209
Clarista Derantika 145040201111219
Bintar Probo Sunarto 145040201111227
Dinda Pangesti 145040201111235
Devinia Martantya 145040201111248
Muchammad Ivan F 145040201111250
Octaviasari Purnama 145040207111002
KELOMPOK 4
KELAS M
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .........................................................................................................iv
1. PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 1
1.3 Manfaat .................................................................................................... 1
2 METODOLOGI .................................................................................................. 3
2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan .............................................................. 3
2.2 Metode Pelaksanaan ................................................................................ 3
2.2.1 Pemahaman Karakteristik Lanskap ................................................... 3
2.2.2 Pengukuran Kualitas Air .................................................................... 4
2.2.3 Pengukuran Biodiversitas .................................................................. 8
2.2.4 Pendugaan Cadangan Carbon ......................................................... 12
2.2.5 Identifikasi Keberlanjutan Lahan dari Aspek Sosial Ekonomi ......... 13
3 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 15
3.1 Hasil ........................................................................................................ 15
3.1.1. Kondisi Umum Wilayah ................................................................... 15
3.1.2. Indikator Pertanian Berlanjut dari Aspek Biofisik ........................... 18
3.1.3. Indikator Pertanian Berlanjut dari Sosial Ekonomi ......................... 34
3.2 Pembahasan Umum ............................................................................... 47
3.2.1 Keberlanjutan Sistem Pertanian di Lokasi Pengamatan ................. 47
4. PENUTUP ....................................................................................................... 49
4.1 Kesimpulan ............................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 50
LAMPIRAN ............................................................................................................. 52
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Daerah Tulungrejo ............................................................................... 15
Gambar 2. Grafik Perhitungan Analisa Vegetasi Gulma ....................................... 23
Gambar 3. Pedoman Penentuan Nilai C................................................................ 33
iv
DAFTAR TABEL
Table 1. Tanaman semusim................................................................................... 16
Table 2. Tanaman semusim + Pemukiman ........................................................... 16
Table 3. Agroforestri............................................................................................. 16
Table 4. Hutan ....................................................................................................... 17
Table 5. Pengamatan Kualitas Air.......................................................................... 18
Table 6. Biodiversitas Tanaman Tahunan dan Pangan ......................................... 20
Table 7. Perhitungan Analisa Vegetasi Gulma ...................................................... 22
Table 8. Komposisi Peranan Arthropoda dalam hamparan .................................. 25
Table 9. Komposisi penyakit dalam hamparan plot .............................................. 26
Table 10. Tutupan Lahan dan C-stock ................................................................... 31
Table 11. Biaya Variable ........................................................................................ 35
Table 12. Tenaga Kerja .......................................................................................... 35
Table 13. Biaya Tetap ............................................................................................ 35
Table 14. Penerimaan............................................................................................ 36
Table 15. Indikator Keberlanjuta ........................................................................... 47
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertanian berlanjut merupakan upaya pemanfaatan sumber daya yang
dapat diperbarui maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbarui dengan
menekan dampak negatif terhadap lingkungan. Sistem pertanian
berkelanjutan ditujukan untuk mengurangi kerusakan lingkungan,
mempertahankan produktivitas pertanian, meningkatkan pendapatan petani
dan meningkatkan stabilitas dan kualitas kehidupan masyarakat. Bisa
dikatakan bahwa pertanian berlanjut itu layak secara sosial-ekonomi dan juga
ramah lingkungan. Dari segi keberlanjutan, diharapkan bisa memperbaiki
seluruh sistem yang ada pada suatu lahan dan bisa menjadi pertanian sehat
dan alami tanpa merusak lingkungan.
Dalam pertanian berlanjut ada tiga kriteria yaitu keberlanjutan secara
ekonomi, keberlanjutan secara ekologis, dan keberlanjutan secara sosial
budaya. Pertanian berlanjut juga mempunyai empat aspek penting yang saling
berhubungan, aspek budidaya, aspek hama dan penyakit tanaman, aspek
sumberdaya lahan dan aspek sosial ekonomi. Keempat aspek tersebut sangat
berpengaruh dalam berkelanjutan suatu pertanian. Dalam pelaksanaan suatu
pertanian yang berkelanjutan perlu adanya keseimbangan keempat aspek
tersebut agar dapat diperoleh hasil produksi atau produktivitas yang optimal
dan kelestarian lingkungan tetap terjaga keberlanjutannya.
1.2 Tujuan
a. Mahasiswa dapat menggali informasi yang terkait dengan pertanian
berlanjut baik dari aspek sosial, ekonomi maupun ekologi pada lokasi
pengamatan.
b. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami macam-macam
karakteristik landskap yang terdapat pada lokasi pengamatana.
c. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami cara pengukuran kualitas air
serta pengukuran biodiversitas dari lokasi pengamatan.
d. Mahasiswa dapat mengindentifikasi keberlanjutan dari lahan pengamatan
dilihat dari aspek sosial, ekonomi maupun ekologi
1.3 Manfaat
a. Mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang lebih terkait tentang
pertanian berlanjut dihubungkan pada lokasi pengamatan.
2
b. Mahasiswa mampu menganalisi dan menentukan lokasi pengamatan
dikatakan berlanjut atau tidak pada lokasi pengamatan.
c. Mahasiswa mampu menganalisis karakteristik landskap pada lokasi
pengamatan.
d. Mahasiswa mampu menerapkan cara pengukuran kualitas air serta
biodiversitas pada lokasi pengamatan.
3
2 METODOLOGI
2.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan fieldtrip mata kuliah Pertanian Berlanjut dilaksanakan di
desa/dusun Tulungrejo, kecamatan Ngantang, Malang pada hari Minggu, tanggal
16 Oktober 2016.
2.2 Metode Pelaksanaan
2.2.1 Pemahaman Karakteristik Lanskap
Lanskap adalah sebidang lahan yang bisa kita lihat secara
komprehensif disekitar kita TANPA melihat secara dekat atau secara
tertutup pada komponen tunggal dan yang terlihat familiar dengan kita.
Penegrtian lain lansekap adalah konfigurasi khusus dari topografi, tutupan
lahan, tata guna lahan, dan pola pemukiman yang membatasi beberapa
aktivitas dan proses alam serta budaya. Terdapat empat kunci dasar untuk
mempelajari karakteristik lansekap yaitu:
1. Komposisi lanskap, misalnya tipe habitat atau land use.
2. Struktur lansekap, misalnya susunan berbagai macam land use pada
suatu lansekap.
3. Manajemen lansekap.
4. Konteks regional
Pemahaman karakteristik lanskap berguna untuk penentuan tipe lansekap
yang terbentuk. Setiap tipe memiliki perlakuan atau tindakan yang
berbeda-beda dalam hal konservasi, perbaikan, rekonstruksi dan
pengelolaan.
a) Alat , Bahan dan Fungsi
Kompas :Berfungsi untuk mengetahui arah lereng
Kamera : Berfungsi untuk mendokumentasikan
Klinometer :Berfungsi untuk mengetahui lereng dan ketinggian
Alat tulis :Berfungsi untuk mencatat hasil pengamatan
4
b) Cara Kerja
Menentukan lokasi yang representative sehingga kita dapat melihat lansekap
secara keseluruhan
Melakukan pengamatan secara menyeluruh terhadap berbagai bentuk
penggunaan llahan yang ada. Mengisikan hasil pengamatan pada
kolompenggunaan lahan
Mengidentifikasikan jenis vegetasi yang ada, mengisikan hasil identifikasi ke
dalam kolom tutupan lahan
Melakukan pengamatan secara menyeluruh terhadap berbagai tingkat
kemiringan lereng yang ada serta tingkat tutupan kanopi dan seresahnya
Mengisi hasil pengamatan pada form yang telah disediakan
2.2.2 Pengukuran Kualitas Air
Prosedur Pemilihan Lokasi dan Pengambilan Contoh
2.2.2.1 Pemilihan lokasi pengambilan contoh
Pemilihan lokasi pengambilan contoh tergantung pada
tujuan dilakukan pemantauan. Pada field trip ini, pemantauan
dilakukan untuk mengetahui dampak penggunaan lahan terhadap
kualitas air. Lokasi pengambilan contoh akan dilakukan di 4
(empat) tipe penggunaan lahan yang ada dalam satu aliran sungai.
Lokasi tersebut adalah:
(a) Hutan/perkebunan pinus;
(b) Agroforestri;
(c) Pertanian intensif (sayur-sayuran) atau sawah;
(d) Pertanian intensif + permukiman.
5
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lokasi pengambilan contoh adalah
hindari lokasi yang berada pada peralihan antara dua tipe penggunaan lahan
(misalnya antara agroforestri dengan sawah).
2.2.2.2 Pengambilan contoh air
Pengambilan contoh air perlu dilakukan untuk mengukur parameter dissolve
oxygen (DO) dan pH di laboratorium. Adapun alat yang diperlukan untuk
pengambilan contoh antara lain:
Botol air mineral bekas ukuran 0,5 L (4 buah)
Spidol permanen
Kantong plastik besar (ukuran 5 kg)
Langkah-langkah pengambilan contoh air:
Pada saat pengambilan contoh air, sungai harus dalam kondisi yang alami
(tidak ada orang yang masuk dalam sungai). Hal ini untuk menghindari
kekeruhan air akibat gangguan tersebut;
Ambil contoh air dengan menggunakan botol ukuran 0,5 L (sampai
penuh) dan tutup rapat-rapat;
Beri label berisi waktu (jam, tanggal, bulan, tahun), tempat pengambilan
contoh, dan nama pengambil contoh;
Simpan baik-baik contoh air dan segera bawa ke laboratorium untuk di
analisa.
1. Pendugaan Kualitas Air secara Fisik dan Kimia
1.1 Pendugaan kualitas air secara fisik
a. Pengamatan kekeruhan air sungai
6
Catat suhu udara sebelum mengukur suhu di dalam air;
Alat yang diperlukan untuk mengukur kekeruhan adalah:
Tabung transparan dengan tinggi 45 cm, tabung dapat dibuat dari
tiga buah botol air kemasan ukuran 600 ml yang disatukan;
Secchi disc, dibuat dari plastik mika tebal berbentuk lingkaran
dengan diameter 5 cm, dengan pemberat dari logam besi dan tali
serta meteran.
Cara membaca ‘Secchi disc’:
Tuangkan contoh air adalam tabung/botol air mineral sampai ketinggian
40 cm;
Aduk air secara merata;
Masukan ‘Secchi disc’ ke dalam tabung yang berisi air secara perlahan-
lahan; dan amati secara tegak lurus sampai warna hitam-putih pada
‘Secchi disc’ tidak dapat dibedakan;
Baca berapa centimeter kedalaman ‘Secchi disc’ tersebut;
Konsentrasi sedimen hasil pengukuran ‘Secchi disc’ dapat diduga dengan
mempergunakan persamaan berikut:
Konsentrasi Sedimen (mg/l) = 9,7611e-0,136D
dimana: D adalah kedalaman secchi disc (cm).
b. Pengamatan suhu
Alat yang digunakan dalam pengukuran suhu air adalah termometer
standar (tidak perlu menggunakan termometer khusus pengukur air).
Langkah dalam pengukuran suhu adalah:
7
Baca suhu saat termometer masih dalam air, atau secepatnya setelah
dikeluarkan dari dalam air;
Catat pada form pengamatan.
Masukkan termometer ke dalam air selama 1-2 menit;
2 Pendugaan kualitas air secara kimia
a. Pengamatan oksigen terlarut atau Dissolve Oxygen (DO), pH dan angka
kekeruhan.
Pengukuran parameter dissolve oxygen (DO), pH dan tingkat
kekeruhan dilakukan di laboratorium dengan menggunakan alat ‘multi
water quality checker’.
Alat multi water quality checker dimasukkan ke dalam contoh air
yang telah diambil;
Liat data hasil analisis di data logger (penggunaan alat akan
dipandu oleh asisten lab);
Baca tingkatan DO, pH dan angka kekeruhan yang tercatat
(bandingkan data tingkat kekeruhan hasil pengukuran dari
lapangan dengan hasil pembacaan dari alat ini?)
Isikan data pengukuran pada form yang telah disediakan dan
kelaskan berdasarkan tabel kualitas air (PP no 82 tahun 2001).
8
2.2.3 Pengukuran Biodiversitas
2.2.3.1 Aspek Agronomi
2.2.3.1.1 Biodiversitas Tanaman
Keragaman Tanaman Pangan/Tahunan
Informasi penggunaan lahan pertanian (landuse) dan tanaman-tanaman
yang ada di atasnya sangat penting bagi pengelolaan lahan skala lanskap.
Penggunaan lahan dengan hamparan tanaman semusim, tanaman tahunan
maupun kombinasi diantara keduanya mempunyai karakteristik berbeda-beda
baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Pengelolaan budidaya tanaman skala
lanskap terdiri dari perencanaan tanaman beserta sistem budidayanya,
keterkaitan antar penggunaan lahan serta rencana upaya konservasi lahan skala
plot maupun skala lanskap. Salah satu upaya konservasi dalam budidaya pertanian
diantaranya menerapkan pemilihan tanaman budiaya berdasarkan kemiringan
lahan.
Biodiversitas Tanaman Pangan & Tahunan
Buatlah jalur transek pada hamparan yang akan dianalisi
Tentukan titik pada jalur ( transek ) yang mewakili masing-masing jenis
lahan dalam hamparan landscape
Kemudian catat karakteristik tanaman budidaya di setiap jenis lahan yang
telah ditentukan dengan menggunakan form pengamatan biodiversitas
tanaman pangan dan tahunan
Tentukan titik pengamatan yang dapat melihat seluruh hamparan lanskape
dan gambar sketsa tutupan lahan lanskape di kertas
2.2.3.1.2 Keragaman dan Analisa Vegetasi
Identifikasi Gulma di Lapang
Dalam mengidentifikasi macam spesies gulma di lapang, dapat dilakukan
cara-cara sebagai berikut :
9
Melakukan identifikasi dan analisa gulma pada setiap pengamatan
biodiversitas tanaman
1. Membandingkan tumbuhan gulma dengan gambar, foto atau ilus trasi
gulma yang tersedia;
2. Membandingkan dengan determinasi dari spesies gulma yang kita duga;
3. Mencari sendiri melalui kunci identifikasi;
4. Konsultasikan pada ahli di bidang yang bersangkutan.
Cara (1) yang paling praktis dan dapat dikerjakan sendiri di tempat, oleh karena
telah banyak publikasi gambar dan foto-foto gulma. Dalam menempuh cara (2)
dan (3) sedikit banyak kita harus memahami istilah biologi yang berkenaan dengan
morfologi yang dapat dipelajari pada buku. Bila ada spesies gulma yang sukar
diidentifikasi, maka dapat dilakukan dengan metode (4) maupun dengan
herbarium gulma (lengkap daun, batang, bunga, bunga danakarnya). Metode
analisis vegetasi gulma yang digunakan adalah metode estimasi visual (visual
estimation), yakni metode analisis dengan pandangan mata dan pencatatan
macam spesies gulma beserta skor kelebatan pertumbuhannya masing-masing
(Soekisman et. al., 1984).
Metode estimasi visual merupakan pengumpulan data kualitatif. Data
kualitatif vegetasi gulma menunjukkan bagaimana suatu spesies gulma tersebar
dan berkelompok, stratifikasinya, periodisitas (seringnya ditemukan) dan pola
komposisi macam spesiesnya. Untuk memperoleh data kualitatif tersebut perlu
ditentukan macam peubah pengamatannya, penetapan luas dan jumlah petak
contoh, serta penyebaran hasil-hasil pengamatannya.
Alat dan Bahan
Alat :
- Tali Rafia : untuk membuat petak kuadrat 1x1 m
- Penggaris : untuk mengukur diameter tajuk
- Alat Tulis : untuk mencatat hasil
- Kamera : untuk mendokumentasikan
- Plastik : untuk menyimpan gulma
- Buku flora : untuk mengidentifikasi gulma
Bahan :
- alcohol 75% : untuk menyemprot gulma agar tidak layu
Analisa Vegetasi dan Pengolahan Gulma
10
Buat hasil pengamatan dalam bentuk tabel
Tentukan 5 titik pengambilan sampel pada masing-masing tutupan lahan
dalam hamparan lanskape secara acak (dengan melempar petak kuadrat
1x1m)
Foto petak kuadrat dengan kamera sehingga seluruh gulma di dalam
petak kuadrat dapat terlihat jelas
Identifikasi gulma yang ada didalam petak kuadrat
Hitung jumlah populasi gulma dan d1 (diameter tajuk terlebar ) dan d2
(diameter tajuk yang tegak lurus d1 )
Bila terdapat gulma yang tidak dikenal, gunakan pisau untuk memotong
gulma sebagai sampel ( selanjutnya digunakan untuk identifikasi ),
semprot gulma dngan alcohol 75% biar tidak layu, dan masukan dalam
kantong plastic.
Semua kantong plastic berisi sampel gulma teridentiifkasi dengan
membandingkan dengan foto daru buku atau internet, dan bila belum
diketahui bisa ditanyakan ke asisten/dosen
2.2.3.2 Aspek Hama Penyakit
2.2.3.2.1 Biodiversitas Antrophoda
11
Serangga makro didokumentasikan sebagus mungkin (minimal memakai kamera
digital, dilarang memakai kamera handphone)
Kondisi sistem ekologi dalam agroekosistem juga dapat dikaji dengan
melihat dinamika komposisi peran dari jumlah individuspesies yang terkoleksi,
lintas waktu ataupun lokasi dalam hamparan (lansekap) yang sama. Cara ini sangat
sesuai dalam menilai/memahami kondisi ekologis yang dikaitkan dengan
pengembangan tindakan preventif dalam pengelolaan hama. Dalam hal ini yang
dikoleksi adalah komunitas arthropoda dan peran yang dimaksud adalah sebagai
hama, musuh alami (predator dan parasitoid), serta arthropoda lain (pengurai dll).
Keseimbangan komposisi peran dari totalitas individu yang terkoleksi dijadikan
sarana untuk memahami kondisi ekologi lahan. Metode yang digunakan berupa
pendekatan fiktorial dengan menggunakan grafik tiga dimensi untuk
menggambarkan posisi dari komposisi peran.
Alat dan Bahan
1. Sex feromon : Zat kimia
2. Yellow sticky trap : Perangkap hama
3. Pit fall : Perangkat hama
4. Sweep net : perangkat hama
5. Alkohol 50 % dan etil asetat :untuk membius hama
6. Kertas label dan plastik klip : menandai hama tersebut
7. Kamera : Dokumentasi
Cara kerja:
Ambilah Serangga yang sudah terperangkap pada sex feromon, yellow sticky
trap, fit fall dan perangkap panci kuning yang sudah di pasang.
Masukkan pada fial film yang telah di berisi kapas, alkohol/ etil asetat/ formalin
dan masukkan pada kotak serangga.
Tangkaplah serangga di lokasi yang ditentukan mengunakan sweep net dan
kemudian masukanlah pada fial film yang telah berisi kapas dan bahan pembius
.
12
Bungkus Rapat mengunakan Tissue.
Identifikasi serangga, peranannya dan jumlah
2.2.3.2.1 Biodiversitas Penyakit
Phytopathologi : phyton (tanaman), pathos (sakit), logos (ilmu). Jadi
Phytopathologi adalah ilmu yang mempelajari penyakit tanaman. Tanaman sakit
menunjukkan gejala (symptom) yg khas, gejala dapat bersifat setempat (Lokal)
atau meluas (Sistemik). Penyakit tanaman disebabkan oleh mikroorganisme
(Jamur, bakteri, virus dan nematoda) sehingga mengakibatkan perubahan fisiologi
tanaman atau sering di kenal dengan gejala.
Alat dan Bahan :
1. Gunting / cutter : untuk memotong tanaman yang terkena penyakit
2. Tissu (ukuran besar): membungkus tanaman yang terserang penyakit
3. Kotak : tempat menyimpan tanaman yang terserang penyakit
Cara kerja:
Amati Gejala dan tanda pada tanaman yang ada di lokasi praktikum.
Ambil bagiam tanaman yang memiliki gejala dan tanda indikasi terserang
penyakit
Masukkan pada kotak pengaman dan susun secara rapi.
Kemudian identifkasi penyakit tersebut
2.2.4 Pendugaan Cadangan Carbon
Indikator karbon terkait dengan isu pemanasan global yang berkembang
saat ini adalah berhubungan dengan keberadaan pohon dan ekosistem yang
terbentuk. Emisi karbon dapat dikurangi dengan menjaga keberadaan hutan
13
Jika hasil < 1 maka emisi karbon tinggi pada lahan tersebut
karena berfungsi sebagai penyerap karbon di udara dan menyimpannya dalam
waktu yang lama. Peran lanskap dalam menyimpan karbon bergantung pada
besarnya luasan tutupan lahan hutan alami dan lahan pertanian berbasis
pepohonan baik tipe campuran (agroforestri) atau monokultur (perkebunan).
Namun demikian besarnya karbon tersimpan di lahan bervariasi antar
penggunaan lahan tergantung pada jenis, kerapatan dan umur pohon. Oleh karena
itu ada tiga parameter yang diamati pada setiap penggunaan lahan yaitu jenis
pohon, umur pohon, dan biomassa yang diestimasi dengan mengukur diameter
pohon dan mengintegrasikannya ke dalam persamaan allometrik.
Cara Kerja :
Mempunyai peta lahan sepuluh tahun terakhir dan peta lahan tahun ini.
Dilihat apakah ada perubahan selama 10 tahun terakhir antara hutan primer,
belukar dan perkebunan
Hitung faktor emisi dan dinamika C-stock
2.2.5 Identifikasi Keberlanjutan Lahan dari Aspek Sosial Ekonomi
Sumberdaya alam termasuk di dalamnya sumberdaya pertanian agar bisa
memberikan manfaat untuk generasi sekarang dan juga bagi generasi yang akan
datang, diperlukan pengelolaan yang memperhatikan prinsip-prinsip
keberlanjutan (sustainability). Dalam pembangunan dibidang pertanian,
peningkatan produksi seringkali diberi perhatian utama, namun ada batas
maksimal produktivitas ekosistem. Jika batas ini dilampaui, maka ekosistem akan
mengalami degradasi. Seringkali pula pemilihan investasi atau penggunaan
sumberdaya pertanian, selalu menjadikan pertimbangan finansial sebagai dasar
pertimbangan utama, artinya apabila dihadapkan pada beberapa pilihan
penggunaan lahan, maka keputusan akan diambil pada aktivitas yang memberikan
keuntungan finansial yang terbesar. Hal ini cenderung mengabaikan aspek
lingkungan. Agar sistem bertanian bisa berkelanjutan, maka harus
14
2. Kunjungan dan observasi lapangan
(Fieldtrip);
3. Wawancara petani;
4. Pembuatan laporan;
5. Presentasi dan diskusi.
mempetimbangkan tidak hanya aspek finansial semata, dan juga tidak hanya
mengejar produksi yang tinggi semata, namun juga harus memperhatikan aspek
ekologis, produktivitas jangka panjang serta sosial ekonomi yang lainnya.
Kriteria pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menurut SEARCA
(2005) adalah sistem pertanian yang: (1) berkelangsungan hidup secara ekonomi
(economically viable); (2) ekologis dan bersahabat atau ramah lingkungan
(ecologically sound and friendly/environmentally); (3) berkeadilan sosial (socially
just equitable); (4) cocok secara budaya (culturally appropriate); dan (5)
merupakan pendekatan sistem dan holistik / terintegrasi (systems and holistic/
integrated approach).
Tujuan keseluruhan dari pertanian yang berkelanjutan adalah untuk
meningkatkan kualitas hidup. Hal ini dapat dicapai melalui (SEARCA, 1995): (1)
pembangunan ekonomi; (2) memberikan prioritas pada ketahanan pangan (food
security); (3) menempatkan nilai yang tinggi pada pembangunan sumberdaya
manusia dan pemenuhan kebutuhannya; (3) pemberdayaan dan pembebasan
petani; (4) menjamin suatu lingkungan yang stabil (aman, bersih, seimbang dan
dapat diperbarui); dan (5) memfokuskan pada tujuan produktivitas jangka
panjang.
Cara kerja:
Mahasiswa bekerja secara berkelompok.
Kegiatan praktikum akan dilakukan dengan:
1. Penjelasan dan diskusi di kelas;
15
3 HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1. Kondisi Umum Wilayah
Fieldtrip dilaksanakan di Desa Tulungrejo Kecamatan Ngantang
Kabupaten Malang. Lokasi ini berada ditengah wilayah Kabupaten Malang.
Bagian hulu merupakan kawasan hutan perhutani dan bagian hilir
merupakan kawasan pertanian yang sangat intensif.
Secara geografis Desa Tulungrejo terletak pada posisi 7°21′ -7°31′
Lintang Selatan dan 110°10′-111°40′ Bujur Timur. Topografi ketinggian
desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 156 m di atas
permukaan air laut. Secara administratif, Desa Tulungrejo terletak di
wilayah Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang dengan posisi dibatasi
oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah Utara berbatasan dengan
Hutan Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang. Di sebelah Barat
berbatasan dengan Desa Waturejo. Di sisi Selatan berbatasan dengan Desa
Sumberagung/Kaumrejo Kecamatan Ngantang, sedangkan di sisi Timur
berbatasan dengan Hutan Kecamatan Pujon (PEMKAB Malang, 2014).
Desa Tulungrejo, Kecamatan Ngantang masuk dalam kawasan Sub
Daerah Aliran Sungai Kalikonto. Lokasi ini dipilih karena sesuai dengan
kriteria yang dibutuhkan untuk kegiatan fieldtrip yaitu memiliki
keanekaragaman jenis penggunaan lahan dalam satu lanskap.
Gambar 1. Daerah Tulungrejo
16
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Table 1. Tanaman semusim
N
o
Pengguna
an Lahan
Tutupan
Lahan
Ma
nfa
at
Posi
si
Lere
ng
Tingkat
tutupan
Juml
ah
Spes
ies
Ker
ap
ata
n
C-stok
(ton/ha
) Kan
opi
Sere
sah
1 Semusim Rumput
gajah
D A T S - T 1
Pepaya B T R R 2 R 1
Jagung B B T S - T 1
Table 2. Tanaman semusim + Pemukiman
N
O
Penggunaan
Lahan
Tutupan
Lahan
M
a
nf
a
at
Posi
si
Lere
ng
Tingkat
Tutupan
Jumlah
Spesies
Kera
pata
n
C-
Stock
(ton/
ha)
Kan
opi
Sere
sah
1. Lahan Bero Tidak
ada
- B - R - - 1
2. Tanaman
semusim
Jagung B T R R 400/pet
ak
T 1
3. Agroforestry
Campuran
Sengon K A S S 23 S 1
Pisang B A S S 17 S 1
Jati K A S S 8 S 1
Bambu K A R R 11 R 1
Rumput
Gajah
D A R R 30 T 1
Table 3. Agroforestri
N
o
Pengguna
an Lahan
Tutupan
Lahan
Man
faat
Posi
si
Lere
ng
Tingkat
tutupan
Jumla
h
Spesi
es
Kerap
atan
C-stok
(ton/h
a) Kan
opi
Sere
sah
1 Tegalan Kopi B T S S 50 S 50
17
Sengon K T S S 21 R 50
Pisang B T S S 8 R 50
Kaliandra K T S S 7 R 50
Talas B T R R 4 R 20
Kelapa B T R R 3 R 20
Belimbin
g
B T R R 2 R 20
2 Jagung Jagung B T R R 400/p
etak
T 20
Table 4. Hutan
N
o
Penggunaa
n Lahan
Tutupan
Lahan
Man
faat
Pos
isi
Ler
eng
Tingkat
tutupan
Juml
ah
Spesi
es
Kerapa
tan
C-
stok
(ton/
ha)
Kano
pi
Seres
ah
1 Hutan
Produksi
Pinus K A S T 50 S 250
Pisang B/D B R S 30 R 100
Rumput
gajah
D T R T - T 100
Lamtoro B/D T R T 22 S 100
Berdasarkan tabel yang ada di atas terdapat 4 jenis penggunaan lahan yaitu
lahan tanaman semusim, tanaman semusim+pemukiman, agroforestry, dan
hutan. Pada plot pertama terdapat penggunan lahan tanaman semusim seperti
tanaman rumput gajah, pepaya, dan jagung. Pada plot kedua terdapat
penggunaan lahan tanaman semusim serta agroforestri campuran seperti
tanaman jagung, sengon, pisang, jati, bambu dan rumput gajah. Utuk plot ke tiga
terdapat penggunaan lahan agroforestri yang ditanamami tanaman kopi, pisang
kaliandra, sengon, talas kelapa blimbing, danjagung. Sedangkan pada plot terakhir
yaitu ke empat penggunaan lahan hutan produksi yang ditanami tanaman pinus,
pisang, rumput gajah, sengon dan lamtoro.
Dengan berbagai macam tutupan lahan yang ada di desa tulungrejo yang di
dominasi dengan tanaman tahunan dapat dikatakan lansekap masih dikatakan
berlanjut. Hal yang perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan suatu lahan
dengan cara mempertahankan dan menjaga keberagaman tanaman agar kondisi
lahan tetap seimbang dan terjaga. Misalnya seperti mempertahankan budidaya
polikultur, serta tidak membuka lahan hutan yang sebenarnya tidak boleh
dilakukan.
18
3.1.2. Indikator Pertanian Berlanjut dari Aspek Biofisik
3.1.2.1. Kualitas air
Pendugaan kualitas air dilakukan secara langsung yang meliputi DO,
tingkat kekeruhan (turbidity), suhu, pH, dan suhu lab. Pendugaan ini berfungsi
untuk mengetahui tingkat kelayakan kegunaan air atau kualitas air yang
tercermin dari pengelolaan lahan pada skala lanskap dengan batasan DAS.
Table 5. Pengamatan Kualitas Air
Lokasi
Pengambilan
Sampel
Parameter Satuan
Ulangan Kelas (PP
no.82 tahun
2001) 1 2 3
Plot 1
DO mg/L 0,02 0,02 0,02
4
Kekeruhan cm 40 40 40
Suhu °C 23 22,5 22,5
pH - 6,57 6,47 6,31
Suhu Lab °C 29,10 29,23 29,44
Plot 2
DO mg/L 0,02 0,02 0,02
4
Kekeruhan cm 40 40 40
Suhu °C 23 21 22,5
pH - 6,31 6,28 6,26
Suhu Lab °C 29,13 28,68 28,64
Plot 3
DO mg/L 0,02 0,02 0,02
4
Kekeruhan cm 40 40 40
Suhu °C 20 24 23
pH - 6,30 6,37 6,31
Suhu Lab °C 28,49 28,30 28,21
Plot 4
DO mg/L 0,02 0,02 0,02
4
Kekeruhan cm 40 40 40
Suhu °C 26 26 25
pH - 6,22 6,16 6,15
Suhu Lab °C 28,80 29,66 29,59
Berdasarkan hasil pendugaaan kualitas air menunjukkan kandungan DO
yang rendah pada semua plot yaitu >1 atau 0,02. Kekeruhan yang diamati pada
semua plot berada pada kedalaman 40 cm, suhu yang diamati berkisar antara 21-
26˚C pada plot 1-4. Untuk pH disemua plot berada dikisaran pH 6,1-6,5. Suhu lab
berkisar antara 28-29˚C.
19
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001
tentang kualitas dan pengendalian pencemaran air sungai di desa tulungrejo
masuk kedalam air dengan klasifikasi kelas IV, karena memiliki DO 0 dan pH 5-9.
Kualitas air sungai dengan kelas IV, air yang peruntukkannya untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama
dengan kegunaan tersebut.
a. DO (Dissolved Oxygen/ Oksigen Terlarut)
Oksigen merupakan unsur yang sangat penting dalam proses aerob.
Kelarutan oksigen (DO) di dalam air dipengaruhi beberapa faktor seperti
temperatur, tekanan atmosfer, padatan terlarut dan salinitas (Wardhana, 2004).
Nilai DO juga dipengaruhi oleh laju fotosintesis dan degradasi bahan organik. Dari
hasil pengukuran didapatkan rata-rata DO 0,02 mg/l yang berarti status kualitas
air tercemar berat. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 tahun 1990
mensyaratkan batas oksigen terlarut adalah 4,0 mg/l. Dengan dasar pemikiran
demikian tingkat kelarutan oksigen dalam suatu badan air dapat digunakan
sebagai indicator terjadinya polusi limbah pada suatu badan air.
Tabel 1. Status Kualitas Air Berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut (Jeffries/Mills,
1996)
b. Kekeruhan (Turbiditas)
Nilai kekeruhan air di semua plot sungai desa tulungrejo adalah 40 cm
dengan menggunakan alat Secchi disc. Dari hasil pengukuran terhadap penetrasi
cahaya diperoleh bahwa intensitas cahaya pada masing-masing plot dapat
menembus kedalaman 40 cm. Pada masing-masing plot terlihat tidak ada
perbedaan kemampuan penetrasi cahaya ke dalam air. Hal ini menunjukkan
bahwa kejernihan badan air antara keempat plot ini relatif sama.
20
Besar nilai penetrasi cahaya ini dapat diidentikkan dengan kedalaman air
yang memungkinkan masih berlangsungnya proses fotosintesis. Kecerahan
perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat
terlarut, partikel partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang
dibawa oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kecerahan air danau
menjadi rendah, sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan
(Nybakken, 1992).
c. Suhu
Suhu yang diamati pada sungai di semua plot berkisar antara 21-26˚C.
Menurut Berutu (2001) bahwa suhu perairan yang berkisar antara 27--29 0C dan
bahkan 30--31 0C masih merupakan suhu normal untuk perairan tropis. Air yang
baik harus memiliki temperatur sama dengan temperatur udara yaitu 20°C sampai
dengan 60°C. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suhu sungai di desa
tulungrejo dalam keadaan normal.
d. PH
Berdasarkan hasil pengukuran air sungai pada semua plot cenderung asam
dengan pH antara 6,1-6,5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 416 tahun 1990
mensyaratkan batas minimum pH untuk air bersih adalah 6,5 dan batas maksimum
8,5. Berdasarkan pH air menurut Benerjea (1967), sungai di desa tulungrejo I
termasuk kedalam perairan yang tidak produktif. Benerjea (1967) membagi
perairan menjadi tiga golongan yaitu: perairan dengan pH 5,5--6,5 tergolong
perairan tidak produktif, 6,5--7,5 tergolong produktif dan 7,5--8,5 sudah tidak
produktif lagi. Berdasarkan kisaran pH tersebut sungai didesa tulungrejo I dapat
dikategorikan suatu perairan yang tidak produktif (pH rata-rata sebesar 6,3),
namun masih dalam batas toleransi untuk keperluan kehidupan. Secara umum
nilai pH antara 7--9 mengindikasikan sistem perairan yang sehat (WHO, 1992).
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi (Barus, 1996).
3.1.2.2. Biodiversitas Tanaman
a. Biodiversitas Tanaman Pangan dan Tahunan
Table 6. Biodiversitas Tanaman Tahunan dan Pangan
Titik
Pengambilan
Semusim/
Tahunan/
Informasi tutupan lahan &
tanaman dalam lanskap
21
sampel
tutupan lahan
Campuran Luas
Jarak
Tanam Populasi
Sebaran
Hutan
Produksi
Pinus
1 ha
5x5 m 60 Merata
Pisang 3,5x3,5 m 72 Merata
Rumput
gajah - 357
Tidak
Merata
Kopi 1,5x1,5 m 28 -
Agroforestry
Kopi
1 ha
2x2 m 2500 Merata
Pisang 10 m 1000 Tidak
merata
Kelapa 12 m 833 Tidak
merata
Lamtoro 21 m 476 Tidak
merata
Waru 50 m 200 Tidak
merata
Semusim
Jagung 700 m2 80 x 32 cm 2700 Merata
Rumput
Gajah 2500 m2
30 x 30 cm 3000 Merata
Kelapa 5000 m2 25 Tidak
Merata
Pisang 5000 m2 50 Tidak
Merata
Semusim
+Pemukiman Jagung 0,25 ha
30 x 50 cm 167 Merata
Untuk keragaman biodiversitas tanaman pada lokasi fieldtrip dibagi dalam
empat plot dimana pada masing-masing plot biodiversitas tanamannya berbeda-
beda. Pada plot satu (1) dengan luas 1ha merupakan hutan produksi yang terdiri
dari tanaman pinus, kopi, pisang dan rumput gajah. Jarak tanam pinus
5x5m/tanaman, dengan jumlah 60 buah pinus serta sebarannya merata. Kedua,
tanaman kopi ditanam dengan jarak tanam 1,5x1,5m, jumlah populasinya 28 buah
dan tersebar secara tidak merata. Untuk rumput gajah jumlahnya banyak yaitu
357 buah dan tesebar tidak merata. Keempat tanaman pisang yang memiliki jarak
tanam 3,5x3,5cm/tanaman, total populasinya 72 buah dengan sebaran yang
merata. Dilihat dari jumlah populasinya rumput gajah yang paling mendominasi
dibanding tanaman lainnya.
22
Plot dua (2) luas lahannya sama yaitu 1 ha dikategorikan sebagai lahan
agroforestry dimana terdapat tanaman kopi, pisang, kelapa, lamtoro dan waru.
Jarak tanam untuk kopi 2x2m, total populasinya 2500 buah dengan sebaran
merata. Selanjutnya, tanaman pisang jarak tanamnya 10m/tanaman, total
populasinya 1000 buah dengan sebaran tidak merata. Untuk kelapa jarak
tanamnya 12m/tanaman, terdapat 833 buah dengan sebaran yang tidak merata.
Populasi lamtoro cukup banyak yaitu 476 buah dengan jarak tanam 21m/tanaman
yang tersebar secara tidak merata. Sedangkan tanaman waru jumlah populasinya
200 buah dengan jarak tanam 50cm/tanaman serta tersebar tidak merata. Maka
pada plot dua (2) tanaman yang mendominasi adalah kopi.
Pada plot tiga (3) merupakan lahan tanaman semusim yang terdiri dari
tanaman jagung, rumput gajah, kelapa, dan pisang. Luas lahan tanaman jagung
700m2 dengan jarak tanam 80cmx32cm, jumlah populasinya 2700 buah dan
tersebar merata. Tanaman rumput gajah luas lahannya 2500m2 dengan jarak
tanam 30cmx30cm, total populasinya 3000buah serta tersebar merata.
Selanjutnya tanaman kelapa dan pisang luas lahannya sama yaitu 5000m2 tetapi
jumlah populasinya berbeda. Populasi pisang mendominasi yaitu 50buah
sedangkan kelapa 25 buah. Tanaman pisang dan kelapa sama-sama tersebar
secara tidak merata. Tanaman yang mendominasi pada plot tiga (3) adalah
tanaman rumput gajah.
Plot terakhir merupakan lahan tanaman semusim dekat dari pemukiman
warga dengan luas 0,25ha terdapat tanaman jagung yang memiliki jarak tanam
30cmx50cm, populasi tanamannya 167 buah yang tersebar merata. Dari keempat
lokasi persebaran biodiversitas tanaman tiap lokasi tidak merata. Hal ini
disebabkan penggunaan lahan yang berbeda tiap lokasi sehingga kelembaban,
curah hujan dan suhu menjadi faktor yang mempengaruhi persebaran
biodiversitas. Secara ekologi jenis tanaman mempunyai beberapa faktor
pembatas untuk pertumbuhan dan penyebarannya. Faktor yang paling
menentukan adalah faktor tanah, iklim dan ketinggian tempat.
b. Analisa Vegetasi Gulma
Table 7. Perhitungan Analisa Vegetasi Gulma
No. Lokasi
Koefisien
Komunitas
(C)
Indeks
Keragaman
(H’)
Indeks Dominansi
(C)
1. Hutan 16,85 1,36 0,26
2. Agroforestry 10,1 1,71 0,22
23
3. Semusim 25,26 1,18 0,34
4. Semusim dan
Pemukiman
17,66
1,21 0,22
Dari tabel diatas diketahui nilai koefisien komunitas (c), indeks keragaman
(H’) dan indeks dominansi (C) dari masing-masing lahan berbeda. Untuk nilai
koefisien komunitas (c) hutan 16,85% ; agroforestry 10,1% ; tanaman semusim
25,26 % serta tanaman semusim dan pemukiman 17,66 %. Bila diamati nilai
koefisien komunitas keempat lokasi c <75%. Selanjutnya nilai indeks keragaman
(H’) di hutan 1,36 ; agroforestry 1,71 ; tanaman semusim 1,18 serta tanaman
semusim dan pemukiman 1,21. Terakhir nilai indeks dominansi (C) dihutan 0,26 ;
agroforestry 0,22 ; tanaman semusim 0,34 serta tanaman semusim dan
pemukiman 0,22.
Gambar 2. Grafik Perhitungan Analisa Vegetasi Gulma
Pada grafik batang diatas diketahui bahwa nilai indeks keragaman (H’) dan
indeks dominansi (C) lahan agroforestry grafiknya lebih tinggi sedangkan lahan
tanaman semusim indeks keragamannya paling rendah. Selanjutnya pada grafik
nilai indeks dominansi lahan tanaman semusim paling tinggi sedangkan pada lahan
agroforestry dan tanaman semusim+pemukiman sama rendahnya.
c. Pembahasan Analisa Vegetasi Gulma
Koefisien Keragaman (c)
Nilai koefisien komunitas atau indeks kesamaan suatu jenis gulma
merupakan nilai yang menunjukkan homogenitas komunitas gulma pada lokasi
yang berbeda. Nilai ini digunakan untuk menentukan cara pengendalian
(Tjitrosoedirjo 1984 dalam Tanasale, 2012). Dari hasil perhitungan nilai koefisien
1,36
0,26
1,71
0,22
1,18
0,34
1,21
0,22
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
1,2
1,4
1,6
1,8
H' C
C
Hutan
Agroforestry
Semusim
Semusim+Pemukiman
H'
24
gulma diketahui nilai koefisien keragaman keempat lokasi menunjukkan bahwa
nilai c <75%, yang artinya indeks koefisien komunitas atau indeks kesamaan gulma
antar keempat lokasi rendah atau tidak homogen. Pada lahan tanaman semusim
nilai koefisien keragamannya tinggi sedangkan pada lahan agroforestry nilai
koefisien keragamannya rendah. Apabila diamati nilai koefisien keragaman
keempat lahan berbeda. Perbedaan komunitas gulma ini diduga akibat adanya
perbedaan ruang tumbuh yang berpengaruh terhadap lingkungan pertanaman.
Oleh karena itu komunitas gulma pada setiap lokasi memiliki komposisi yang tidak
sama sehingga pengendalian gulma untuk setiap lokasi juga tidak sama. Hal ini
sejalan dengan pendapat Aldrich (1984), bahwa tiap spesies gulma mempunyai
kemampuan yang berbeda untuk menanggapi ketersediaan faktor pertumbuhan
seperti air, unsur hara, cahaya dan CO2 yang jumlahnya terbatas. Diketahui ada
banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keragaman gulma yaitu jenis tanah,
ketinggian tempat (dpl), pola kultur teknis, tingkat kemasaman (pH) tanah dan
kelembaban tanah (Tanasale, 2012).
Indeks Keragaman (H’)
Pada grafik dan tabel nilai indeks keragaman (H’) diatas menunjukkan
adanya perbedaan keragaman pada masing-masing lokasi. Hal ini dikarenakan
pada masing-masing lokasi kondisi lingkungannya berbeda sehingga
mempengaruhi keragaman spesies yang ada tiap lokasi. Selain itu, perbedaan
kondisi lingkungan juga menyebabkan berbedanya keragaman spesies yang paling
dominan. Sesuai dengan pernyataan Ewusie (1990) bahwa kondisi lingkungan
sangat mempengaruhi keanekaragaman jenis suatu tumbuhan. Adanya
keanekaragaman spesies yang tumbuh, dipengaruhi oleh lingkungan tempat
tumbuhnya yaitu cahaya, suhu, air dan kelembaban.
Keanekaragaman gulma di lokasi fieldtrip mempunyai nilai yang tidak
terlalu jauh berbeda antara setiap lokasi pengamatan, dengan kisaran antara 1,18
hingga 1,71 (Tabel 1), nilai tertinggi didapatkan pada lokasi Agroforestry yaitu
1,71. Tingginya nilai keragaman pada suatu lokasi bila dibandingkan dengan lokasi
lain disebabkan oleh kualitas lingkungan yang lebih baik pada lokasi tersebut
daripada yang lain. Sementara itu, nilai keanekaragaman terendah terdapat pada
lokasi tanaman semusim yaitu 1,18. Hal ini disebabkan oleh keragaman yang ada
pada lokasi ini kualitas lingkungannya tidak sebaik lokasi lainnya. Hasil analisis
keragaman (H’) gulma memperlihatkan bahwa pada seluruh lokasi stabil moderat.
Menurut Stirn (1981), apabila nilai indeks keragaman (H’) < 1, maka suatu
komunitas dinyatakan tidak stabil, apabila H’ berkisar 1-3 maka stabilitas suatu
komunitas tersebut adalah moderat (sedang) dan apabila H’ > 3 berarti stabilitas
suatu komunitas berada dalam kondsi prima (stabil). Semakin besar nilai H’
25
menunjukkan semakin beragamnya kehidupan di lokasi tersebut, kondisi ini
merupakan tempat hidup yang lebih baik.
Indeks Dominasi (C)
Indeks dominansi yang didapatkan pada semua lokasi pengamatan
mempunyai nilai yang mendekati 0 atau berada pada kisaran nilai antara 0,22 -
0,34 (Tabel 1), nilai tertinggi terdapat pada lokasi tanaman semusim yaitu 0,34 dan
terendah pada lokasi agroforestry serta semusim+pemukiman warga yaitu 0,22.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam struktur komunitas gulma yang sedang
diamati tidak terdapat spesies yang mendominasi spesies lainnya, parameter-
parameter pendukung berada pada kisaran yang sesuai sehingga tidak terjadi
kompetisi. Semua spesies memiliki peluang yang sama untuk dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Hal ini menunjukkan struktur komunitas dalam keadaan
stabil, kondisi lingkungan cukup prima dan tidak terjadi tekanan ekologis. Nilai
indeks dominasi berkisar antara 0 – 1, dimana semakin kecil nilai indeks dominasi
maka menunjukan bahwa tidak ada spesies yang mendominasi, sebaliknya
semakin besar nilai indeks dominasinya, maka menunjukan bahwa ada dominasi
dari spesies tertentu (Odum, 1993). Faktor utama yang mempengaruhi jumlah
organisme, keragaman jenis dan dominansi antara lain adanya perusakan habitat
alami, pecemaran kimia dan organik, serta perubahan iklim (Widodo, 1997).
3.1.2.3. Biodiversitas hama dan penyakit
Table 8. Komposisi Peranan Arthropoda dalam hamparan
Titik
Pengambilan
Sampel
Jumlah individu Persentase
Hama MA
SL Total Hama MA SL
Plot 1 2 1 58 69 14,5% 1,4% 84%
Plot 2 29 133 1 56 1,8% 96,4% 1,8%
Plot 3 6 7 4 14 21,4% 50% 28,6%
Plot 4 3 13 2 18 16,7% 72,2% 11,1%
Total 40 154 65 217 54,4% 220% 125.5%
Rata-rata 13,6% 55% 31,37%
26
Komposisi Peranan Arthropoda dalam hamparan diketahui bahwa
presentasi Arthropoda tertinggi dari jenis musuh alami sebesar rata-rata 50.6%,
kemudian serangga lain sebesar 27,1%, dan persentase hama sebesar 2,9%. Odum
(1998) menyatakan bahwa keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh proporsi
individu dari setiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenis
tetapi penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragamannya rendah.
Janzen (1987), menyatakan bahwa pada habitat alami keanekaragaman hayati
masih tinggi, termasuk keragaman serangga. Habitat ekosistem diduga turut
mempengaruhi keberadaan serangga pada ekosistem tersebut. Kelimpahan
serangga pada suatu habitat ditentukan oleh keanekaragaman dan kelimpahan
pakan yang tersedia pada habitat tersebut.
Menurut Debach (1973), mengingatkan bahwa penggunaan pestisida secara
berlebihan akan mengakibatkan terjadinya biological explosion dan terganggunya
keseimbangan alami dengan berbagai konsekuensi negatif lainnya. Oleh karena
itu, pengendalian hama dianjurkan secara terintegrasi dengan mengutamakan
lingkungan sehat sehingga insektisida hanya berperan sebagai salah satu
komponen pengendalian. Cara ini akan memberi kesempatan kepada serangga
27
berguna, seperti musuh alami, untuk lebih berperan dalam mengendalikan hama.
Pada saat kondisi lingkungan ekologi seimbang, serangan wereng batang coklat
rendah karena musuh alami berperan secara optimal (Kartohardjono 1988).
Table 9. Komposisi penyakit dalam hamparan plot
Lokasi Penyakit Ditemukan Gejala Gambar
Plot 1
1. Karat Daun Pisang
/ Uredospora
musae
2. Blas / Pyricularia
grisea
1. Daun pisang
bagian bawah
berkarat.
2. Berupa
bercak pada
daun,
berbentuk
belah ketupat
dengan
warna kelabu
pada
tengahnya.
Plot 2
1. Karat daun kopi
(Hemileia
vastatrix)
2. Bercak daun kopi
(Mycosphaerella
coffeicola)
1. Bercak daun
berwarna
kuning
kemudian
berubah
menjadi
coklat
2. Bercak
berwarna
coklat yang
tepinya
dikelilingi
warna kuning
Plot 3
1. Penyakit Karat
Daun / Puccinia sp.
2. Penyakit Embun
jelaga / Sooty
Mold
1. Muncul
bercak
berwarna
cokelat
kemerahan
pada daun
yang makin
28
lama makin
besar .
bercak ini
juga di
kelilingi oleh
jaringan
warna kuning
2. Daun
tanaman
kering dan
terlihat jelaga
hitam yang
muncul di
batang daun.
Plot 4
1. Hawar daun
(Helminthosporium
turicum)
2. Penyakit karat
daun / Puccinia
polysora
1. Bercak-
bercak
kuning
seperti karat
pada daun
2. Muncul
bercak
berwarna
cokelat
kemerahan
pada daun
yang makin
lama makin
besar .
bercak ini
juga di
kelilingi oleh
jaringan
warna kuning
29
Komposisi penyakit dalam hamparan plot diketahui keberadaan penyakit
ada di semua plot. Pada plot 1 dengan komoditas pisang dan rumput gajah
ditemukan penyakit karat daun pisang (Uredospora musae) yang mempunyai
gejala daun pisang bagian bawah berkarat, dan Blas pada rumput gajah
(Pyricularia grisea) yang mempunyai gejala Berupa bercak pada daun, berbentuk
belah ketupat dengan warna kelabu pada tengahnya. Pada plot 2 dengan
komoditas kopi ditemukan penyakit Karat daun kopi (Hemileia vastatrix) yang
mempunyai gejala Bercak daun berwarna kuning kemudian berubah menjadi
coklat, dan Bercak daun kopi (Mycosphaerella coffeicola) yang mempunyai gejala
Bercak berwarna coklat yang tepinya dikelilingi warna kuning. Pada plot 3 dengan
komoditas jagung ditemukan penyakit Karat Daun (Puccinia sp.), yang mempunyai
gejala muncul bercak berwarna cokelat kemerahan pada daun yang makin lama
makin besar, bercak ini juga di kelilingi oleh jaringan warna kuning. Pada plot 4
dengan komoditas jagung monokultur ditemukan penyakit Hawar daun
(Helminthosporium turicum) yang mempunyai gejala bercak-bercak kuning seperti
karat pada daun, dan penyakit karat daun (Puccinia polysora), yang mempunyai
gejala muncul bercak berwarna cokelat kemerahan pada daun yang makin lama
makin besar, bercak ini juga di kelilingi oleh jaringan warna kuning
Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea merupakan
salah satu penyakit penting pada lahan sub-optimal di Indonesia seperti
agroekosistem kering (padi gogo) dan agroekosistem rawa (padi rawa). Namun
sejak akhir 1980-an, penyakit ini juga sudah mulai ditemukan pada
agroekosistem padi sawah irigasi atau rumput-rumputan.(Yuliani, 2014)
Secara spesifik perkembangan penyakit karat daun kopi dipengaruhi oleh
pathogen H. vastatrix, kondisi tanaman kopi, dan lingkungan kebun. Di daerah
tropis, H. vastatrix bertahan sebagai uredospora (spora jamur karat), uredium
(badan buah penghasil uredospora), dan miselium (kumpulan hifa jamur karat)
pada daun sakit untuk melanjutkan infeksi pada tanaman. Dari beberapa struktur
jamur tersebut, uredospora paling berperan dalam perkembangan penyakit karat
daun. Tanaman kopi jenis arabika lebih peka terhadap penyakit karat daun
dibanding jenis robusta (Hulupi 1998; Sri-Sukamto 1998). Daun muda lebih peka
terhadap penyakit karat daun dibanding daun yang lebih tua. Jika posisi daun tidak
rapat, uredospora jamur H.vastatrix yang sampai ke tanaman kopi akan banyak
yang jatuh ke tanah. Sebaliknya, jika posisi daun rapat, permukaan tanaman
menjadi luas yang memungkinkan semua uredospora yang sampai ke tanaman
kopi menempel pada daun sehingga tersedia banyak sumber penyakit (Partridge,
1997).
Menurut Sugianto (2016), Penyakit bercak daun adalah penyakit yang
menyerang daun dan buah tanaman kopi. Berbeda dengan penyakit karat daun,
penyakit ini disebabkan oleh jamur Cercospora coffeicola. Penyakit ini bisa
30
menyerang tanaman kopi selama masa pembibitan sampai dengan tanaman
tersebut dewasa. Apabila sudah parah, serangan penyakit ini bahkan dapat
merembet ke buah-buah kopi. Cercospora coffeicola merupakan jamur dari
keluarga Mycosphaerellaceae dengan ordo Dothideales. C. coffeicola juga
memiliki konidia ganda yang berwujud seperti tepung berkelir abu- abu.
Selanjutnya, konidia ini dibentuk di permukaan daun yang mengalami bercak.
Menurut Semangun (1991), Tanaman jagung yang tertular
Helminthosporium turcicum, gejala awalnya muncul bercak-bercak kecil, jorong,
hijau tua/hijau kelabu kebasahan. Selanjutnya, bercak-bercak tadi berubah warna
menjadi coklat kehijauan. Bercak kemudian membesar dan mempunyai bentuk
yang khas, berupa kumparan atau perahu. Lebar bercak 1-2 cm dan panjang 5-10
cm, tetapi lebar dapat mencapai 5 cm dan panjang 15 cm. Konidia banyak
terbentuk pada kedua sisi bercak pada kondisi banyak embun atau setelah turun
hujan, yang menyebabkan bercak berwarna hijau tua beledu, yang makin ke
tepi warnanya makin muda. Beberapa bercak dapat bersatu membentuk bercak
yang lebih besar sehingga dapat mematikan jaringan daun Pertanaman jagung
yang tertular berat tampak kering seperti habis terbakar.
Karat jagung disebabkan oleh tiga spesies dari dua negara yaitu Puccinia
sorghi Scw, P.polysora Underw dan Physopella zeae (Mains) Cunmins dan
Ramachar (Syn. Angiospora zeae Mains). P. polysora dan P. zeae mempunyai
uredospore berwarna kekuningan sampai keemasan, berbentuk elip, berukuran
20-29 x 29-40 μm. Tebal dinding spora 1-1,5 μm dengan 4-5 lubang ekuator.
Teliospora berwarna coklat, halus, elip, kedua ujungnya membulat, ukuran 18-27
x 29-41μm, mudah lepas, dua sel, timbul pada tangkai pendek ukuran 10-30 μm.
Aeciosporanya belum diketahui (Wakman dkk, 1998).
31
3.1.2.4. Cadangan Karbon
Komposisi vegetasi di 4 plot yang dilakukan saat survey didapatkan 12 jenis tanaman pada berbagai tingkat. Beberapa
jenis tumbuhan ini menjadi ciri khas lanskap pada daerah tersebut seperti tumbuhan pinus. Dalam suvey yang dilakukan ini
Carbon stock pada lanskap setiap plot dapat dilihat secara rinci pada Tabel 10.
Table 10. Tutupan Lahan dan C-stock
No Penggunaan Lahan Tutupan Lahan Manfaat Posisi
Lereng
Tingkat tutupan Jumlah
Spesies
Kerapatan C-stok
(ton/ha) Kanopi Seresah
1 Hutan Produksi
(Plot 1)
Pinus Kayu Atas Sedang Tinggi 50 Sedang 250
Pisang Buah Bawah Rendah Sedang 30 Rapat 80
Rumput gajah Daun Tengah Rendah Tinggi ~ Tinggi 1
Lamtoro Daun/buah Tengah Rendah Tinggi 22 Tinggi 250
Jumlah 581
2. Agroforestri (Plot 2) Kopi
Buah Tengah Sedang Sedang 50 Tinggi 80
Sengon Kayu Tengah Sedang Sedang 21 Tinggi 80
Pisang Buah Tengah Sedang Sedang 8 Tinggi 80
Kaliandra Kayu Tengah Sedang Sedang 7 Sedang 50
Talas Batang Tengah Sedang Sedang 4 Sedang 1
Kelapa Buah Tengah Sedang Sedang 3 Rapat 80
Belimbing Buah Tengah Sedang Sedang 2 Sedang 50
Jumlah 421
3. Semusim
(Plot 3)
Rumput Gajah Daun Atas Tinggi Sedang ~ Tinggi 1
Pepaya Buah Tengah Rendah Rendah 2 Rendah 20
32
Jagung Buah Bawah Tinggi Sedang 500 Tinggi 1
Jumlah 22
4. Semusim+Pemukiman
(Plot 4)
Jagung Buah Tengah Rendah Rendah 400 Tinggi 1
Lahan Bero - Tengah rendah rendah - Rendah -
Jumlah 1
33
Gambar 3. Pedoman Penentuan Nilai C
Adanya perubahan tutupan lahan di suatu wilayah dapat mengindikasikan
dinamika cadangan karbon di wilayah tersebut. Misalnya, aktivitas konversi hutan
menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya menyebabkan terjadinya penurunan
jumlah cadangan karbon.
Pada plot pertama lahan digunakan sebagai hutan produksi dengan
tutupan lahan pohon pinus, pisang, rumput gajah, serta lamtoro. Berdasarkan
tabel tingkat kerapatan masing masing tutupan lahan secara berurtuan yaitu
sedang, rapat, tinggi dan tinggi. Dengan kerapatan yang dimiliki hutan produksi
didapatkan cadangan karbon sebesar 581 ton/ha.
Pada plot kedua lahan digunakan sebagai Agroforesri dengan tutupan
lahan kopi, sengon, pisang, kaliandra, talas, kelapa, dan belimbing. Berdasarkan
tabel, tingkat kerapatan yang dimiliki tutupan lahan agroforestri adalah tinggi,
tinggi, tinggi, sedang, sedang, rapat, dan sedang. Sehingga didapatkan nilai
cadangan carbon sebesar 421 ton/ha.
Pada plot ketiga lahan digunakan sebagai lahan tanaman semusim dengan
tutupan rumput gajah, pepaya, dan jagung. Berdasarkan tabel diatas, tingkat
kerapatan yang dimiliki adalah tinggi, rendah, dan tinggi. Dengan kerapatan yang
ada didapatkan nilai cadangan carbon sebesar 22 ton/ha
Pada plot keempat lahan digunakan sebagai lahan semusim+pemukiman
dengan tutupan lahan tanaman jagung serta terdapat lahan bero. Tanaman jagung
memiliki kerapatan yang tinggi namun memiliki nilai cadangan karbon sebesar 1
ton/ha. Hal ini dikarenakan pada plot 4 tidak ada tanaman tahunan serta terdapat
lahan bero, dimana tanaman tahunan memiliki nilai cadangan carbon yang tinggi.
Menurut Mutuo et al. (2005) peningkatan cadangan karbon di suatu lanskap dapat
dilakukan dengan mengalih fungsikan lahan bero atau lahan tanaman semusim
34
(misalnya rumput-rumputan, sayuran dsb) menjadi system pertanian berbasis
pepohonan) termasuk didalamnya adalah agroforestri kopi.
Perbedaan cadangan karbon ini dikarenakan perbedaan keanekaragaman
dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya.
Menurut Hairiah, dkk (2007) menyatakan penyimpanan karbon pada suatu lahan
menjadi besar apabila kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomassa pohon
meningkat, atau dengan kata lain cadangan karbon diatas tanah ditentukan oleh
besarnya cadangan karbon di dalam tanah. Salah satu cara untuk mengendalikan
perubahan iklim adalah dengan mengurangi emisi gas rumah kaca yaitu dengan
cara mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan
populasi pepohonan di luar hutan.
Dengan peningkatan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian akan
menurunkan angka cadangan karbon yang disimpan oleh tanah maupun tanaman.
Guna meningkatkan angka cadangan karbon perlu diadakannya usaha konservasi
lahan hutan alami yang ada pada daerah tersebut. Konservasi dapat dilakukan
dengan upaya penanaman pohon yang lebih beragam sehingga terbentuk seperti
hutan alami. Menurut Agus (2013) Konservasi tanah dan karbon saling berkaitan
dan mempunyai arti strategis pada tingkat lokal dan global. Manfaat lokal harus
diutamakan karena berhubungan langsung dengan pendapatan dan
kesejahteraan petani serta keberlanjutan pembangunan pertanian. Manfaat
global perlu dioptimalkan selama tidak mengorbankan kepentingan lokal dan
nasional.
3.1.3. Indikator Pertanian Berlanjut dari Sosial Ekonomi
3.1.3.1 Economically Viable (Keberlangsungan secara ekonomi)
Economically Viable merupakan keberlangsungan tingkat usahatani secara
layak secara ekonomi. Keberhasilan pengembangan suatu komoditas ditentukan
dari tingkat pendapatan dan tingkat efisiensinya pendapatan petani tersebut.
Untuk itu diperlukan analisis kelayakan terhadap komoditi agar dapat memberikan
gambaran kepada petani bagaimana melakukan kegiatan usahatani yang
menguntungkan dengan mempertimbangkan berbagai macam biaya dan faktor
produksi yang akan dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Selain itu analisis
kelayakan ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah komoditi tersebut dapat
menguntungkan petani yang membudidayakan serta dapat meningkatkan
perbaikan perekonomian masyarakat pada umumnya (Kamila, 2013)
35
Table 11. Biaya Variable
Keterangan Unit Harga/ Unit Jumlah Biaya
Bibit 5 Rp. 60.000 / kg Rp. 300.000
Pupuk :
Urea (Pupuk N)
TSP/SP 36 (Pupuk P)
Ponska
Pupuk Kandang
1
1
1
25
Rp. 180.000
Rp. 230.000
Rp. 236.000
Rp. 10.000
Rp. 180.000
Rp. 230.000
Rp. 236.000
Rp. 250.000
Pestisida Kimia 1 Rp. 125.000 Rp. 125.000
Sewa bajak traktor 1 Rp. 200.000 Rp. 200.000
Total biaya Rp. 1.521.000
Table 12. Tenaga Kerja
Keterangan Jumlah
orang
Jumlah
Hari
Jumlah
Jam/
Hari
HOK Upah /
HOK
Jumlah
Upah
Tenaga Kerja Pria
Pengolahan Lahan :
Pembajakan
Pencangkulan
2
4
1
2
8
8
1
1
Rp.50.000
Rp.50.000
Rp. 100.000
Rp. 400.000
Pemupukan 2 1 8 1 Rp.50.000 Rp.100.000
Penyiangan - - - - - -
Penyemprotan - - - - - -
Pemanenan - - - - - -
Tenaga Kerja Wanita
Penanaman 7 1 8 1 Rp.40.000 Rp.280.000
Total Biaya Rp. 880.000
Table 13. Biaya Tetap
Keterangan Jumlah Unit Harga sewa/th Harga sewa / musim
Sewa Lahan 1200 m2 Rp. 1.200.000 Rp. 400.000
Total Biaya Rp. 400.000
36
Table 14. Penerimaan
Keterangan Jumah Unit / kg Harga per
Satuan/ kg
Jumlah
Jagung 1.200 kg Rp. 4.000 Rp. 4.800.000
Total Biaya Rp. 4.800.000
Perhitungan :
1. Total Biaya Variable (TVC) = Rp. 1.521.000 + Rp. 880.000
= Rp. 2.401.000
2. Total Biaya tetap (TFC) = Rp. 400.000
3. Total Biaya (TC) = TVC + TFC
= Rp. 2.401.000 + Rp. 400.000
= Rp. 2.801.000
4. Total Penerimaan (TR) = Rp. 4.800.000
5. Pendapatan (n) = TR- TC
= Rp. 4.800.000 – 2.801.000
= Rp. 1.999.000
Analisis Kelayakan Usaha Tani
1. Keuntungan = Penerimaan – Total biaya
= Rp. 4.800.000 – 2.801.000
= Rp. 1.999.000
2. R/C ratio = penerimaan / Totalbiaya
= Rp. 4.800.000 / Rp. 2.801.000
= 1, 71
3. GFFI = penerimaan total – biaya yang dibayarkan
= Rp. 4.800.000 – Rp. 2.801.000
= Rp. 1.999.000
Besarnya penerimaan ushaatani jagung pada plot 1 memiliki penerimaan
sebesar Rp. 1.999.000 dalam satu kali panen. Menurut Soekartawi (!986)
menyatakan bahwa pendapatan kotor (gross farm income) itu sebagai nilai produk
total usahatani dalam jangka waktu tertentu,baik yang dijual maupun tidak dijual.
37
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pendapat kotor petani jagung
dapat dilihat bahwa hasil yang diterima oleh petani tidak mengalami
kerugian.Selain itu berdasarkan hasil analisis kelayakan usaha tani yang telah
dilakukan di Desa Tulungrejo, dusun Jagon milik bapak Suwono pada plot 1
diketahui bahwa usahatani yang dilakukan Bapak Suwono dikatan layak. Hal
tersebut dapat dilihat dari perhitungan R/C ratio dimana nilai R/C ratio 1,71 atau
>1 . Menutut Soekartawi (2003) Analisis R/C Ratio, yaitu ukuran perbandingan
antara hasil pendapatan dengan total biaya per usahatani. Dengan melihat angka
R/C Ratio ini akan terlihat kelayakan usahatani jagung, jika nilainya lebih dari 1,
berarti usahatani jagung milik Bapak Suwono dikatakan layak. Yang berarti setiap
Rp 1 yang dikeluarkan oleh Bapak Suwono untuk biaya produksi akan menerima
keuntungan sebesar Rp 1,71 . .
Sedangkan hasil analisis usahatani yang dilakukan pada plot 2 dengan
komoditas utamanya adalah kopi diperoleh nilai GFFI atau pendapatan kotor
petani sebesar Rp. 5.829.653 dan memiliki nilai B/C ratio sebesar 4,49. Dengan
melihat GFFI dan B/C rataio dari petani dapat dikatakan bahwa usahatani yang
dilakukan oleh Bapak Suwarni pada plot 2 adalah layak. Hal ini dis ebabkan petani
memperoleh keuntungan dari usahatani tersebut dan disetiap Rp.1 modal yang
dikeluarkan oleh petani untuk produksi akan memperoleh keuntungan sebesar
Rp.4,49.
Sedangkan berdasarkan hasil analisis usahatani yang dilakukan pada plot 3
diperoleh hasil pendapatan kotor petani (GFFI) sebesar Rp 11.786.500,- dengan
komoditas utama cabai dan memiliki nilai R/C rato yang tinggi yakni sebesar 6,0.
Dimana setiap Rp.1 modal yang dikeluarkan oleh petani untuk biaya produksi,
petani akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 6.0. Nilai R/C ratio yang tinggi
menunjukan bahwa usahatani pada komoditas cabai dan kubis yang dilakukan
sangat layak dan tidak mengalami kerugian.
Dan pada analisis usahatani plot 4 dengan komoditas utamanya yaitu
jagung dimana petani bekerjasama dengan perusahaan BISI diperoleh pendapatan
kotor petani sebesar Rp. 475.000 untuk jagung manis, dan gffi untuk jagung bisi
sebesar Rp. 7.220.000 nilai R/C ratio sebesar 2,6 . Dimana nilai R/C ratio
menunjukan bahwa setiap Rp.1 modal yang dikeluarkan oleh petani akan
mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2,6 . Sedangkan untuk nilai R/C ratio pada
varietas jagung manis sebesar 1,15. Dimana nilai R/C ratio menunjukan bahwa
setiap Rp. 1 modal yang dikeluarkan oleh petani akan mendapatkan keuntungan
sebesar Rp. 1,15. Dengan analisis tersebut dapat dikatakan bahwa usahatani yang
dilakuan pada plot 4 layak dan tidak mengalami kerugian
38
Berdasarkan perbandingan yang telah dilakukan pada plot 1, 2, 3 dan 4
maka dapat dilihat bahwa usahatani yang dilakukan petani di semua plot layak.
Kelayakan usahatani dapat dilihat berdasarkan hasil GFFI dan nilai R/C ratio pada
semua plot. Dimana nilai R/C ratio pada semua plot >1. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Hamanto (2003) yakni nilai R/C ratio > 1 berarti usaha yang dilakuka
secara ekonomis efisien atau menguntungkan, sedangkan jika nilai R/C ratio <1
berarti usaha yang dilakukan seara ekonnomis tidak efisien atau tidak
menguntungkan dan jika nilai R/C ratio = 1 berarti usaha mengalami titik impas.
3.1.3.2 Ecologically sound (ramah lingkungan)
Pertanian ramah lingkungan secara fundamental adalah pertanian yang
lebih memperhatikan kelestarian lingkungan daripada keuntungan ekonomi
jangka pendek, sehingga mempuyai prospek keberlanjutan, baik dalam bidang
biofisik lingkungan maupun sosial-ekonomi. Sistem pertanian ramah lingkungan
memiliki perhatian pada aspek lingkungan sekaligus pada aspek sosial -ekonomi.
Fakta di lapangan menunjukkan petani tidak dapat melaksanakan kegiatan
pertaniannya kalau tidak menguntungkan secara ekonomi, tetapi di sisi lain ada
kebutuhan yang mendesak untuk melakukan pelestarian lingkungan hidup
sehingga praktek pertanian harus mempertahankan kualitas lingkungan dan
produksi pertanian tidak hanya buat generasi sekarang tetapi juga untuk generasi
yang akan datang. Pertanian ramah lingkungan bukan berarti pertanian organik,
yaitu pertanian tanpa menggunakan masukan bahan kimia sintetis, meskipun
intensitas perhatiannya mengarah kepada penggunaan komponen organik dan
spesifik lokasi, khususnya pestisida dan pupuk (Muir dalam Samekto 2012).
Berdasarkan hasil wawancara petani pada plot 1 diperoleh
informaasi bahwa sistem pertanian yang dilakukan sudah termasuk ramah
lingkungan. Meskipun sistem pertanian yang dilakukan masih menggunakan
pupuk kimia seperti urea, ponska dan TSP akan tetapi penggunaannya tidak
dilakukan secara berlebihan. Hal tersebut dapat dilihat dengan cara petani
memberikan pupuk sesuai dengan tanaman dan tidak diberikan dalam jumlah
yang banyak. Selain itu penggunaan pupuk kimia juga diimbangi dengan
pemberian pupuk kandang untuk memperbaiki sifat fisik dari tanah. Pemberian
pupuk kimia secara berlebihan jelas kurang bijaksana karena justru akan
memperburuk kondisi fisik tanah. Tanpa di imbangi dengan pemberian humus
atau kompos, efisiensi dan efektivitas penyerapan unsur hara oleh tanaman juga
tidak akan optimal (Santi, 2006).
Selain itu keberagaman agroekosistem yang ada pada plot 1 juga dapat
dilihat dengan cara petani menjaga kondisi lahan dengan sekeliling lahan
ditemukannya berbagai jenis komoditas yang lain. Sehingga keanekaragaman
39
arthropoda sangat baik. Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah
berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan
keanekaragaman plasma nutfah yang terkandung di dalamnya (Mackinnon et al.,
2000). Pertahanan keragaman hayati (biodiversitas) dapat dilihat dengan masih
asrinya lingkungan pertanian yang ada disana. Banyaknya jenis tanaman membuat
biodiversias yang ada disana semakin tingg.
Berdasarkan hasil data yang diperoleh pada plot 2 dapat dikatakan
bahwa sistem pertanian yang dilakukan disana dapat dikatakan tidak ramah
lingungan. Hal tersebut dikarenakan penggunaan pupuk dan pestisida diberikan
dalam jumlah yang banyak tanpa memperhitungkan kebutuhan tanaman.
Pemberiaan pestisida yang dilakukan setiap seminggu sekali meskipun kondisi
tanaman tidak terdapat hama dan penyakit. Selain itu penggunaan pestisida yang
berlebihan dapat dilihat dalam satu kali musim tanam petani membutuhkan 3-4
botol pestisida untuk mengendalikan hama. Penggunaan pestisdia yang
berlebihan dapat berdampak negatif terhadapa lingkungan dan tanaman, karena
pestisida dapat menimbulkan residu pada tanaman. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Tarumingkeng (1992) menyatakan sebab utama terjadinya pencemaran
lingkungan oleh pestisida adalah pengendapan (deposit) dan residu pestisida yang
digunakan untuk pengendalian hama, penyakit serta tumbuhan pengganggu
(gulma) serta serangga yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat.
Pestisida diserap oleh berbagai komponen lingkungan, kemudian terangkut ke
tempat lain oleh air, angin atau organisme yang berpindah tempat. Ketiga
komponen ini kemudian mengubah pestisida tersebut melalui proses kimiawi atau
biokimiawi menjadi senyawa lain yang masih beracun atau senyawa yang telah
hilang sifat racunnya. Yang menjadi perhatian utama dalam toksikologi lingkungan
adalah berbagai pengaruh dinamis pestisida dan derivat-derivatnya setelah
mengalami perubahan oleh faktor lingkungan secara langsung atau faktor hayati
terhadap sistem hayati dan ekosistemnya (Tarumingkeng, 1976).
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada plot 3 dapat dikatakan
bahwa usahatani yang dilakukan oleh petani sekitar termasuk kedalam usahatani
yang ramah lingkungan. Usahatani yang ramah lingkungan bukan berarti dia
organik akan tetapi usahatani yang tetap menjaga kelestarian lingkungan dengan
cara menekan jumlah input pupuk dan pestisida anorganik. Dalam pemberian
input berupa pupuk dan pestisida dilakukan seperti kombinasi dengan pengunaan
pupuk organik, pemakaian sesuai dosis, dan memahami kandungan pupuk kimia
yang akan digunakan. Dengan berbagai perhatian yang diberikan serta usaha yang
dilakukan, diharapkan bahwa masalah degradasi kesuburan tanah ini dapat diatasi
(Romli, 2012) . Hal itu dilakukan oleh petani yang ada pada plot 3, meskipun petani
menggunakana pupuk kimia petani juga mengimbanginya dengan penggunaan
pupuk kandang sebagai bahan organik yang dapat memenuhi kebutuhan unsur
40
harra yang dibutuhakan tanaman, selain itu penggunaan pupuk kandang juga
dapat memperbaiki struktur tanah. Selain itu para petani pada plot 3
menggunakan pestisida kimia untuk mengendalikan hama dan penyakit, akan
tetapi pemberiannya hanya dilakukan jika terdapat serangan hama dan penyakit
yang tinggi, serangan hama dan penyakit tinggi biasanya terjadi ketika musim
hujan. Akan tetapi ketika tidak terjadi serangan hama dan penyakit petani tidak
melakukan penyemprotan pestisida. Sehingga penggunaan pestisida ini tidak
menimbulkan residu dan berdampak terhadap matinya musuh alami maupun
serangga lain yang ada disekitar plot.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pada plot 4 dengang
komoditas utama tanaman jagung dapat dikatakan bahwa usahatani yang
dilakukan oleh petani merupakan usahatani yang ramah lingkungan dan berlanjut.
Hal tersebut dapat dilihat dengan sistem pertanian yang ada disana
memanfaatkan pupuk kandang yang berasal dari kotoran sapi milik sendiri
digunakan untuk menambah unsur hara yang dibuthkan oleh tanaman. Selain itu
pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman oleh pestisida. Meskipun petani menerapkan penggunaan
pestisida kimia , beliau mempertimbangkan dan tidak memberikan pestisida
secara berlebihan. Hal tersebut dapat dilihat bahwa petani memberikan pestisida
kimia hanya pada saat tanaman terserang oleh hama atau penyakit dengan
takaran secukupnya, dan jika tidak ada hama atau penyakit tanaman tidak
diberikan pestisida. Sehingga tidak menimbulkan residu yang besar terhadap
tanaman dan lingkungan.
Dengan perbandingan wawancara yang dilakukan pada plot 1,2,3 dan 4
dapat dilihat bahwa penggunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia selalu
dilakukan oleh semua petani, akan tetapi pemakaian bahan kimia sintetis.
disesuaikan terhadap kebutuhan tanah dan tanaman sehingga tetap menjaga
lingkungan sekitar. Selain itu berdasarkan lokasi fieldtrip dapat dilihat bahwa
agroekosistem yang ada disana sangat baik dengan beragamannya tanaman pada
lansekap yang ada, sehingga diversifikasi antrhopoda juga beragam. Biodiversitas
atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan
ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah yang terkandung di
dalamnya (Mackinnon et al., 2000). Pertahanan keragaman hayati (biodiversitas)
dapat dilihat dengan masih asrinya lingkungan pertanian yang ada disana.
Banyaknya jenis tanaman membuat biodiversias yang ada disana semakin tinggi.
41
3.1.3.3 Socially just (berkeadilan = menganut azas keadilan)
Plot 1
Berdasarkan hasil wawancara, dapat diketahui melalui Bapak Suwono
selaku narasumber pada plot 1 bahwa terdapat kelembagaan gapoktan yang
bernama gapoktan Sidosubur-Wonoasri di Desa ini yang telah diikuti oleh petani
dimana petani tersebut hanya berperan sebagai anggota. Selain itu, terdapat juga
koperasi namun tidak berjalan dengan lancar, dikarenakan skalanya masih kecil
dimana pelayananannya juga kurang maksimal. Maka, dengan keterbatasan
koperasi ini, petani melakukan peminjaman modal di bank swasta untuk
melakukan proses budidaya dan menyewa lahan. Menurut Soetrionodan Rijanto
(2006) permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan
petani di indonesia adalah (1) masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani
terhadap masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran, (2) belum
terlibatnya secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih
terfokus pada kegiatan produksi (on farm), (3) peran dan fungsi kelembagaan
petani sebagai wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal. Utamanya
bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya. Pemberdayaan yang
disokong melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas masyarakat pedesaan
(memanfaatkan dan mengembangkan segala potensi yang ada) merupakan salah
satu strategi pembangunan pedesaan dengan melibatkan dan memberdayakan
segala bentuk kelembagaan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat.
Berdasarkan aspek pemasaran, hasil panen jagung langsung dijual ke
tengkulak yang datang ke Desa tersebut, sehingga petani memasrahkan
sepenuhnya harga kepada tengkulak, hal tersebut akan menambah kerugian
karena tengkulak membeli dengan harga yang lebih rendah bila dibandingkan
harga yang seharusnya. Namun, dengan adanya tengkulak juga mempermudah
petani, dikarenakan petani tidak perlu susah untuk memasarkan hasil panennya.
Menurut Mubyarto (1994) Tengkulak sebagai pembeli hasil produk pertanian
mendapatkan keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari selisih
harga beli di petani dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa tengkulak leluasa membeli harga petani dengan rendah karena
posisi tawar yang sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak
sesuai tarik ulur permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih
banyak dinikmati tengkulak/pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan untuk
mendapat kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.
Plot 2
Berdasarkan hasil wawancara pada plot 2, dapat diketahui bahwa terdapat
kelembagaan dan koperasi di Desa Tulungrejo. Namun, kelembagaan tersebut
tidak dapat berjalan dengan lancar, dikarenakan anggotanya hanya terdapat 6
42
orang dan hanya orang-orang tertentu yang mendapat bagian ketika ada bantuan
berupa uang, bibit dan lain lain. Disamping itu 6 orang ini hanya sebagai anggota
pada kelembagaan tersebut.Koperasi pada Desa Tulungrejo ini juga tidak dapat
berjalan dengan lancar, dikarenakan skalanya masih tergolong kecil, sehingga
untuk pelayanannya kurang maksimal dan menyeluruh. Dengan terbatasnya
fungsi koperasi ini, petani meminjam modal untuk budidaya pertaniannya yaitu
dengan cara kredit atau meminjam modal di bank swasta yang terdekat dengan
daerah tersebut.Menurut Soetriono dan Rijanto (2006) permasalahan yang masih
melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di indonesia adalah (1) masih
minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen
produksi maupun jaringan pemasaran, (2) belum terlibatnya secara utuh petani
dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi
(on farm), (3) peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi
petani belum berjalan secara optimal. Utamanya bertujuan untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakatnya. Pemberdayaan yang disokong melalui peningkatan
kapasitas, kapabilitas masyarakat pedesaan (memanfaatkan dan mengembangkan
segala potensi yang ada) merupakan salah satu strategi pembangunan pedesaan
dengan melibatkan dan memberdayakan segala bentuk kelembagaan (sosial,
adat-budaya) desa dan masyarakat.
Dilihat dari aspek pemasaran, hasil panenproduk pertanian langsung dijual
ke tengkulak yang datang ke Desa, sehingga petani tidak perlu susah untuk
memasarkan hasil panennya. Namun, dengan adanya tengkulak tersebut, petani
memasrahkan sepenuhnya harga kepada tengkulak, sehingga hal ini dapat
merugikan petani karena tengkulak membeli dengan harga yang lebih rendah bila
dibandingkan harga yang seharusnya. Menurut Mubyarto (1994) Tengkulak
sebagai pembeli hasil produk pertanian mendapatkan keuntungan berlipat.
Keuntungan tersebut didapat dari selisih harga beli di petani dengan harga jual di
pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tengkulak leluasa membeli
harga petani dengan rendah karena posisi tawar yang sangat kuat di hadapan
petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur permintaan dan
penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak dinikmati
tengkulak/pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan untuk mendapat
kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.
Plot 3
Berdasarkan hasil wawancara pada plot 3, dapat diketahui bahwa
di Desa Tulungrejo terdapat kelembagaan dan koperasi, namun tidak berjalan
dengan lancar dikarenakan petani tidak mengikuti kelembagaan yang ada di desa
tersebut. Selain itu, Bapak pemilik lahan di plot 3 ini tidak pernah meminjam dana
di koperasi tersebut. Bapak pemilik lahan di plot 3 ini menggunakan 100% dana
pribadi untuk mengelola sawahnya.Menurut Soetriono dan Rijanto (2006)
43
permasalahan yang masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di
indonesia adalah (1) masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap
masalah manajemen produksi maupun jaringan pemasaran, (2) belum terlibatnya
secara utuh petani dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada
kegiatan produksi (on farm), (3) peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai
wadah organisasi petani belum berjalan secara optimal. Utamanya bertujuan
untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakatnya. Pemberdayaan yang disokong
melalui peningkatan kapasitas, kapabilitas masyarakat pedesaan (memanfaatkan
dan mengembangkan segala potensi yang ada) merupakan salah satu strategi
pembangunan pedesaan dengan melibatkan dan memberdayakan segala bentuk
kelembagaan (sosial, adat-budaya) desa dan masyarakat.
Untuk sistem pemasarannya, petani menjual hasil panennya ke tengkulak
yang datang di Desa Tulungrejo. Hal ini dapat menguntungkan dan juga
merugikan, dikarenakan dengan adanya tengkulak yang datang tersebut, petani
tidak perlu susah untuk memasarkan hasil panennya. Namun dengan adanya
tengkulak dapat merugikan petani, dikarenakan tengkulak membeli dengan harga
yang lebih rendah bila dibandingkan harga yang seharusnya. Maka, petani disini
berperan sebagai price taker dan tengkulak sebagai price maker.Menurut
Mubyarto (1994) Tengkulak sebagai pembeli hasil produk pertanian mendapatkan
keuntungan berlipat. Keuntungan tersebut didapat dari selisih harga beli di petani
dengan harga jual di pasar konsumen. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
tengkulak leluasa membeli harga petani dengan rendah karena posisi tawar yang
sangat kuat di hadapan petani. Walaupun harga akan bergerak sesuai tarik ulur
permintaan dan penawaran barang, selisih keuntungan akan lebih banyak
dinikmati tengkulak/pengepul. Sebaliknya, petani akan dirugikan untuk mendapat
kesempatan memperoleh harga yang layak bagi hasil panennya.
Plot 4
Berdasarkan hasil wawancara pada plot 4 di Desa Tulungrejo ini terdapat
kelembagaan pertanian yaitu kelompok tani yang terdiri dari beberapa anggota.
Di daerah ini juga terdapat koperasi, namun skalanya masih kecil sehingga
pelayanan yang diberikan belum bisa menyeluruh ke seluruh gabungan kelompok
tani. Dengan keterbatasan koperasi ini, maka petani apabila ingin melakukan
peminjaman modal untuk kegiatan budidaya pertanian, mereka meminjam
melalui bank swasta. Menurut Soetriono dan Rijanto (2006) permasalahan yang
masih melekat pada sosok petani dan kelembagaan petani di indonesia adalah (1)
masih minimnya wawasan dan pengetahuan petani terhadap masalah manajemen
produksi maupun jaringan pemasaran, (2) belum terlibatnya secara utuh petani
dalam kegiatan agribisnis. Aktivitas petani masih terfokus pada kegiatan produksi
44
(on farm), (3) peran dan fungsi kelembagaan petani sebagai wadah organisasi
petani belum berjalan secara optimal. Utamanya bertujuan untuk memperbaiki
kualitas hidup masyarakatnya. Pemberdayaan yang disokong melalui peningkatan
kapasitas, kapabilitas masyarakat pedesaan (memanfaatkan dan mengembangkan
segala potensi yang ada) merupakan salah satu strategi pembangunan pedesaan
dengan melibatkan dan memberdayakan segala bentuk kelembagaan (sosial,
adat-budaya) desa dan masyarakat. Kemudian, terdapat kerjasama antar petani
dan pabrik, petani melakukan kerja sama dengan pabrik BISI dimana kebutuhan
budidaya seperti bibit, pupuk dan pestisida disubsidioleh pabrik BISI dengan imbal
balik petani menjual hasil panennya kepada pabrik BISI. Jadi, dengan adanya
kerjasama ini dapat memudahkan petani dalam hal pemasaran hasil panen,
dikarenakan hasil panen akan langsung ditampung oleh pabrik BISI.
Berdasarkan hasil wawancara petani pada plot 1, 2, 3 dan 4 dapat diambil
kesimpulan bahwa dari segi socially just pada daerah tersebut belum tercapai. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah anggota gapoktan yang masih sedikit, dan ada pula
yang tidak mengikuti gapoktan di daerah tersebut. Selain itu terdapat koperasi,
namun yang mendapatkan bantuan hanya orang – orang tertentu saja. Kurangnya
sosialisasi diantara para petani menyebabkan hanya sedikit informasi terkait
gapoktan dan koperasi yang diketahui oleh petani.
3.1.3.4 Culturally acceptable (berakar pd budaya setempat)
Plot 1
Berdasarkan hasil wawancara pada plot 1, dapat diketahui bahwa di Desa
Tulungrejo masih percaya dengan adat istiadat Desa, mereka menganut suatu
sistem budaya yang ada. Sistem budaya disana adalah saling membantu antar
anggota keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga membantu pada saat panen
berlangsung. Budaya lain yang ada disana pranoto mongso yaitu melihat arah
bintang di langit ketika akan melakukan bajak lahan. Kegiatan ini dilakukan
bersama dengan tokoh masyarakat yang ada. Selain itu juga terdapat kegiatan
rutin yang dilakukan di Desa ini yaitu kegiatan bersih desa. Kegiatan bersih desa
ini bertujuan untuk membersihkan daerah tersebut atau diri sendiri dari hal-hal
yang negatif dan secara tidak langsung berperan sebagai bentuk rasa syukur
kepada tuhan atas rizki yang telah diperoleh. Sifat kebersamaan dalam hukum
adat ini mengandung arti bahwa manusia menurut hukum adat merupakan
makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat seluruh lapisan makhluk diliputi
oleh rasa kebersamaan anggota baik sesama keluarga, kerabat, tetangga yang
didasarkan pada tolong-menolong saling membantu satu sama lain (Soekanto,
2009).Nuansa budaya jawa masyarakat Desa Tulungrejo masih ada. Masyarakat
45
mempercayai suatu tempat yang biasanya disebut punden. Punden adalah tempat
yang dilindungi seperti kuburan yang mana kuburan tersebut merupakan kuburan
leluhur. Hal ini menandakan bahwa petani menghargai budaya yang ada, dengan
tidak merusak tempat-tempat yang dilindungi. Menurut Euis Sunarti (2004) sistem
pertanian yang menganut atau sesuai dengan budaya setempat akan
menghasilkan petani yang memiliki sifat kepedulian terhadap sesama petani dan
menghargai setiap hasil yang diperoleh dari proses budidaya yang berlangsung.
Plot 2
Di Desa Tulungrejo ini mempunyai kegiatan rutin yang dilakukan secara
gotong royong antar warga yaitu kegiatan bersih desa. Kegiatan bersih desa ini
memiliki tujuan membersihkan daerah tersebut atau diri sendiri dari hal-hal yang
negatif dan secara tidak langsung berperan sebagai bentuk rasa syukur kepada
tuhan atas rizki yang telah diperoleh. Sifat kebersamaan dalam hukum adat ini
mengandung arti bahwa manusia menurut hukum adat merupakan makhluk
dalam ikatan kemasyarakatan yang erat seluruh lapisan makhluk diliputi oleh rasa
kebersamaan anggota baik sesama keluarga, kerabat, tetangga yang didasarkan
pada tolong-menolong saling membantu satu sama lain (Soekanto,
2009).Kemudian dari segi penananaman, kebiasaan dari penduduk adalah
menanam pada saat awal musim hujan karena menurut pendapat mereka,
tanaman padi akan memberikan hasil yang baik apabila ditanam pada awal musim
hujan. Selain itu, petani juga memiliki kebiasaan tentang penyemprotan hama
yang terjadwal setiap seminggu sekali, meskipun tidak terdapat hama.Menurut
Euis Sunarti (2004) sistem pertanian yang menganut atau sesuai dengan budaya
setempat akan menghasilkan petani yang memiliki sifat kepedulian terhadap
sesama petani dan menghargai setiap hasil yang diperoleh dari proses budidaya
yang berlangsung.
Plot 3
Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa di Desa Tulungrejo adat
istiadat yang masih melekat yaitu sistem budaya saling membantu antar anggota
keluarga, dimana biasanya anggota keluarga perempuan membantu pada saat
panen berlangsung. Tak hanya panen saja, pada saat awal pengolahan pun juga
dilakukan bergotong royong bersama anggota keluarga, namun biasanya pada
saat pengolahan dilakukan oleh anggota keluarga laki-laki.Sifat kebersamaan
dalam hukum adat ini mengandung arti bahwa manusia menurut hukum adat
merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat seluruh lapisan
makhluk diliputi oleh rasa kebersamaan anggota baik sesama keluarga, kerabat,
tetangga yang didasarkan pada tolong-menolong saling membantu satu sama lain
(Soekanto, 2009).Dilihat darisegi kebiasaan yang dilakukan berhubungan dengan
waktu penanaman yang dilakukan, petani disana biasanya melakukan
penanamandengan memperhatikan tanda-tanda alam seperti musim kemarau
46
ataupun musim hujan. Menurut Euis Sunarti (2004) sistem pertanian yang
menganut atau sesuai dengan budaya setempat akan menghasilkan petani yang
memiliki sifat kepedulian terhadap sesama petani dan menghargai setiap hasil
yang diperoleh dari proses budidaya yang berlangsung.
Plot 4
Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa di Desa Tulungrejo
terdapat adat istiadat yang masih kental dikalangan para petani disana yaitu
sistem budaya gotong royong antar anggota keluarga, dimana biasanya anggota
keluarga perempuan dan laki-laki saling membantu dalam proses budidaya
pertanian, mulai pengolahan hingga panen dilakukan oleh anggota keluarga.
Menurut Soekanto (2009) sifat kebersamaan dalam hukum adat ini mengandung
arti bahwa manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan
kemasyarakatan yang erat seluruh lapisan makhluk diliputi oleh rasa kebersamaan
anggota baik sesama keluarga, kerabat, tetangga yang didasarkan pada tolong-
menolong saling membantu satu sama lain.
47
3.2 Pembahasan Umum
3.2.1 Keberlanjutan Sistem Pertanian di Lokasi Pengamatan
Table 15. Indikator Keberlanjuta
Indikator Keberhasilan Plot 1 Plot 2 Plot 3 Plot 4
Produksi Vvv vvv vvv Vvv
Air Vv vv vv Vv
Karbon vvv vv v Vv
Arthropoda dan penyakit
Gulma Vv vv V V
Note: v = kurang; vv= sedang; vvv = baik; vvvv = sangat baik
Tabel diatas merupakan skoring indikator pertanian berlanjut dalam tiap-
tiap plot. Dimana plot 1 merupakan hutan produksi, plot 2 merupakan
agroforestry, plot 3 merupakan tanaman semusim dan plot 4 merupakan tanaman
semusim & pemukiman. Indikator yang di nilai meliputi hasil produksi, kualitas air,
cadangan karbon, keragaman arthropada dan penyakit serta keberadaan gulma
dalam masing-masing plot.
Secara umum dari plot yang paling mendekati dengan sistem pertanian
berkelanjutan yaitu plot 1 yang merupakan hutan produksi. Dari keempat plot
tersebut, dapat disimpulkan bahwa indikator air perlu dibperhatikan lagi, karena
kualitas air tergolong tercemar dengan pH asam berkisar 6,1-6.5. Itu disebabkan
endapan lumpur di aliran sungai karena erosi tanah yang berdampak pada kualitas
air di lokasi pengamatan. Dan yang paling mendukung dari indikator keberhasilan
adalah produksi dimana indikator ini memiliki kelayakan dalam usahatani, masing-
masing plot produksinya tergolong baik.
Pada plot 1 tergolong lokasi yang mengarah kepada sistem pertanian
berkelanjutan. Dari penilaian indikator produksi memiliki nilai yang tergolong baik,
itu dikarenakan hasil usahatani yang dilekukan di plot tersebut layak untuk
dialkukan. Untuk indikator karbon juga tergolong baik karena di plot 1 banyak
terdapat pohon-pohon tinggi yang mampu menyimpan cadangan karbon.
Sedangkan untuk indikator air tergolong sedang karena kualitas air tergolong
tercemar. Dan untuk indikator gulma tergolong sedang, itu dikarenakan
pertumbuhan gulma di plot ini tingkatnya sedang dalam menyaingi tanaman
utama. Karena plot ini merupakan hutan produksi maka biodiversutas yang ada di
dalamnya juga beragam. Kondisi yang sama juga terjadi pada plot 2, lokasi ini
hampir sama penilainnya seperti plot pertama. Hanya saja untuk penyimpanan
karbon lokasi ini tergolong sedang, itu dikarenakan tanaman pohon yang berada
48
di agroforestry tidak sebanyak yang ada di hutan produksi. Kedua plot tersebut
dapat dikatakan sudah mengarah pada sistem pengelolaan pertanian
berkelanjutan.
Untuk plot 3 dan plot 4, lokasi ini masih belum tergolong ke sistem
pengeloaan pertanian berkelanjutan. Pada plot 3 yang merupakan lokasi tanaman
semusim penyimpanan cadangan karbonnya cukup rendah. Tentu saja pada plot
ini perlu dilakukan penanaman tanaman pohon disekitar areanya. Pada indikator
gulma plot 3 juga tergolong kurang, itu terlihat diman banyaknya populasi gulma
yang tumbuh dapat menyebabkan persaingan antar tanaman utama dengana gula
itu sendiri. Perlu dilakukan pengendalian gulma untuk mengurangi terjadinya
persaingan nutrisi dengan tanaman utama. Kondisi yang sama juga dialami oleh
plot 4. Hanya saja pada plot 4 cadangan penyimpanan karbon masih tergolong
sedang, itu dikarenakan pada daerah pemukiman dan tanaman semusim banyak
terdapat pohon-pohon tinggi yang dapat menyimpan cadangan karbon.
49
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air pada keempat plot memiliki
kualitas air yang baik karena termasuk kelas IV. Biodiversitas paling tinggi terdapat
pada plot 2 karena merupakan lahan agroforestri. Keragaman arthropoda dan
penyakit pada masing-masing plot tidak ada yang mendominasi. Kemudian nilai
cadangan karbon pada Desa Tulungrejo yaitu pada tanaman semusim 1 ton/ha, 51
ton/ha untuk lahan semusim+pemukiman, 51 ton/ha untuk agroforestri dan 250
ton/ha untuk lahan hutan produksi. Dari segi aspek sosial-ekonomi pada keempat
plot memiliki R/C Ratio >1 yang berarti usahatani di wilayah tersebut layak karena
mengalami keuntungan.
Pertanian dapat dikatakan berlanjut apabila ketiga kriteria pertanian
keberlanjutan terpenuhi yaitu dari segi ekonomi, ekologis dan budaya.
Berdasarkan hasil analisis pembahasan mulai dari kualitas air, biodiversitas,
arthropoda, penyakit, nilai cadangan karbon dan nilai R/C Ratio dapat disimpulkan
bahwa Desa Tulungrejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang tersebut
termasuk dalam pertanian berlanjut.
4.2 Saran (Untuk Hasil Laporan dan Untuk Praktikum Matakuliah Pertanian
Berlanjut)
Semoga mendapatkan hasil yang terbaik untuk laporan ini dan praktikum
selanjutnya bisa menjadi lebih baik lagi.s
50
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Fahmuddin (2013). Konservasi Tanah Dan Karbon Untuk Mitigasi Perubahan
Iklim Mendukung Keberlanjutan Pembangunan Pertanian. Balai Penelitian
Tanah : Bogor.
Aldrich, R.J. 1984. Weed Crop Ecology Principles in Weed Management. Breton
Publisher, Massachusetts. 465p.
Barus. 2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau.
Program StudiBiologi FMIPA Universitas Sumatera Utara. Medan.Hal: 5—
8.
Banerjea S. M. 1967. Water Quality and Soil Condition of Fish Ponds in Some States
of India in Relation to Fish Production. India
Berutu, P. 2001. Kajian Parameter Fisika, Kimia, Dan Biologi Dalam Kaitannya
dengankeberadaan Ikan Di Kawasan Perairan Danau Toba Sumatera
Utara. Tesis. Program Pascasarjana, Program Studi Ilmu Lingkungan,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: xi + 146 hlm.
Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Diterjemahkan oleh U. Tanuwijaya.
ITB Press. Bandung
Hairiah, Kurniatun et al. 2007. Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan
Ke Bentang Lahan Edisi 2. World Agroforestry Centre.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara.
Jeffries, M., and D. Mills. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications.
John Wileyand Sons, Chicester UK.
Mutuo, P.K.; G. Cadisch; A. Albrecht; C.A. Palm & L. Verchot (2005). Potential
agroforestri for carbon sequestration and mitigation of greenhouse gas
emissions from soils in the tropics. Nutrient cycling in Agroecosystems
71(1): 43-54.
Nasution, U. 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera
Utara dan Aceh. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Tanjung Morawa, Medan.
51
Nybakken, J.W. 1992, 1998. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Penerjemah:
H.Muhammad Eidman. PT Gramedia Pustaka, Jakarta
Prawirosukarto, S., E. Syamsuddin, W. Darmosarkoro dan A. Purba. 2005.
Tanaman Penutup Tanah dan Gulma pada Kebun Kelapa Sawit, PPKS,
Medan.
Stirn, J. 1981. Manual Methods in Aquatic Environment Research. Part 8 Rome:
Ecological Assesment of Pollution Effect, FAO.
Tanasale, V. L. 2012. Studi Komunitas Gulma di Pertanaman Gandaria (Bouea
macrophylla Griff.) pada Tanaman Belum Menghasilkan dan
Menghasilkan di Desa Urimessing Kecamatan Nusaniwe Pulau
Ambon. Jurnal Budidaya Pertanian 8: 7-12.
Wakman, W., M. S. Kontong, A. Muis, D.M. Persley, and Teakle., 2001. Mosaic
disease of maize caused by sugarcane mosaic potyvirus. in Sulawesi.
Indonesian Journal of Agricultural Science 2(2):56-59.
Wardhana, W.A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Ed. III. Penerbit Andi.
Yogyakarta:xviii + 462 hlm.
WHO (World Health Organization). 1993. Guidelines for Drinking Water Quality,
2nd Edition.Vol. 1, p 188.
Widodo, J. 1997. Biodiversitas sumber daya perikanan laut peranannya dalam
pengelolaan terpadu wilayah pantai. Dalam: Mallawa, A., R. Syam, N.
Naamin, S. Nurhakim, E.S. Kartamihardja, A. Poernomo, dan
Rachmansyah (ed.). Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II,
Ujung Pandang, 2-3 Desember 1997. Perlu penyelenggara.
Penyelenggara : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan
bekerjasama dengan Japan International Coorporation Agency,
Universitas Hasanuddin, Dinas Perikanan Dati I Sulsel, Ikatan Sarjana
Perikanan Indonesia, dan Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia.
Yuliani, Dini, dkk. 2014. Integrasi Teknologi Pengendalian Penyakit Blas pada
Tanaman Padi di Lahan Sub-Optimal. Palembang: Universitas
Sriwijaya
52
LAMPIRAN
Lampiran 1. Sketsa Penggunaan Lahan di Lokasi Pengamatan
53
Lampiran 2. Transek lahan
54
Lampiran 3. Data-data lapangan lainnya
Pengamatan Aspek Agronomi
Tabel 2. Hasil Perhitungan SDR Lokasi Hutan
No Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV SDR
1. Daun Asam 12,3 34,9 0,67 25 38,47 51,29 27,2 87,1 29,03
2. Bandotan 16,33 46,2 1 37,5 19,6 26,2 13,9 97,6 32,5
3. Pegagan 4,67 13,2 0,67 25 19,6 26,2 13,9 52,1 17,4
4. Tanaman x 2 5,7 0,33 12,5 63,6 84,8 45 63,2 21,1
Kerapatan Mutlak (KM) = 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
Oxsalis corminaculata = 37
3 = 12,33
Agreratum conyzoides L = 49
3 =16,33
Centella asiatica = 14
3 = 4,67
Tanaman x =6
3 = 2
TOTAL KM = 12,33 + 16,33 + 4,67 + 2 = 35,33
Kerapatan Nisbi (KN) = 𝐾𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐾𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 x 100%
Oxsalis corminaculata = 12,33
35,33 x 100% = 34,9 %
Agreratum conyzoides L = 16,33
35,33 x 100% = 46,2%
Centella asiatica = 4,67
35,33 x 100% = 13,2%
Tanaman x = 2
35,33 x 100% = 5,7%
Frekuensi Mutlak (FM) = 𝑝𝑙𝑜𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑝𝑙𝑜𝑡
Oxsalis corminaculata = 2
3 = 0,667
Agreratum conyzoides L = 3
3 = 1
Centella asiatica = 2
3 = 0,667
55
Tanaman x =1
3 = 0,333
TOTAL FM = 0,667 + 1 + 0,667 + 0,333 = 2,667
Frekuensi Nisbi (FN) = 𝐹𝑀 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐹𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 x 100%
Oxsalis corminaculata = 0,667
2,667 x 100% = 25%
Agreratum conyzoides L = 1
2,667 x 100% = 37, 5%
Centella asiatica = 0,667
2,667 x 100% = 25%
Tanaman x = 0,333
2,667 x 100% = 12,5%
Luas Basal Area (LB) = [𝑑1 𝑥 𝑑2
4]2 x 𝜋
Oxsalis corminaculata = [3,5 𝑥 4
4]2 x 3,14 = 38,465
Agreratum conyzoides L = [2 𝑥 5
4]2 x 3,14 = 19,625
Centella asiatica = [2 𝑥 5
4]2 x 3,14 = 19,625
Tanaman x = [6 𝑥 3
4]2 x 3,14 = 63,585
Dominasi Mutlak (DM) = 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑎𝑠𝑎𝑙 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑏𝑢𝑡
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑎𝑟𝑒𝑎 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
Oxsalis corminaculata = 38,465
0,75 = 51,287
Agreratum conyzoides L = 19,625
0,75 = 26,167
Centella asiatica = 19,625
0,75 = 26,167
Tanaman x = 63,585
0,75 = 84,78
TOTAL DM = 51,287 + 26,167 + 26,167 + 84,78 = 188,401
Dominasi Nisbi (DN) = 𝐷𝑀 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐷𝑀 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑝𝑒𝑠𝑖𝑒𝑠 x 100%
56
Oxsalis corminaculata = 51,287
188,401 x 100% = 27,2%
Agreratum conyzoides L = 26,167
188 ,401 x 100% = 13,9%
Centella asiatica = 26,167
188 ,401 x 100% = 13,9%
Tanaman x = 84 ,78
188 ,401 x 100% = 45%
Importance Value (IV) = KN + FN + DN
Oxsalis corminaculata = 34,9 + 25 + 27,2 = 87,1
Agreratum conyzoides L = 46,2 + 37,5 + 13,9 = 97,6
Centella asiatica = 13,2 + 25 + 13,9 = 52,1
Tanaman x = 5,7 + 12,5 + 45 = 63,2
Summed Dominance Ratio (SDR) = IV/3
Oxsalis corminaculata = 87,1
3 = 29,033
Agreratum conyzoides L = 97,6
3 = 32,533
Centella asiatica = 52,1
3 = 17,367
Tanaman x =63,2
3 = 21,067
Tabel 3. Hasil Perhitungan SDR Lokasi Agroforestry
No Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV SDR
1. Rumput Teki 17,7 35,1 0,3 10,1 2484 0 1,1 46,4 15
2. Legetan 4,7 9,3 0,7 20,2 1149 0 0,5 30 10
3. Rumput
Gajah Mini
12,3 24,5 1 30,3 86,5 0 0 54,9 18
4. Tapak Liman 2,7 5,3 0,3 10,1 213899 0,98 99 113 38
5. Bandotan 1,3 2,7 0,3 10,1 95 0 0 12,8 4
6. Glentangan 7,7 15,2 0,3 10,1 50,2 0 0 25,4 8
7. Setawar 4 8 0,3 10 572 0 0,3 18,3 6
KM
57
Cyperus rotundus L. = 53/3 = 17.7
Calyptocarpus wendlandii = 14/3 = 4.7
Axonopus compressus = 37/3 = 12.3
Elephantopus scaber = 8/3 = 2.7
Borreria alata = 12/3 = 4
Ageratum conyzoides L. = 4/3 = 1.3
Synedrella nodiflora = 23/3 = 7.7
Total KM = 50.3
KN
Cyperus rotundus L. = 17.7/50.3 x 100% = 35.1%
Calyptocarpus wendlandii = 4.7/50.3 x 100% = 9.3%
Axonopus compressus = 12.3/50.3 x 100% = 24.5%
Elephantopus scaber = 2.7/50.3 x 100% = 5.3%
Borreria alata = 4/50.3 x 100% = 8%
Ageratum conyzoides L. = 1.3/50.3 x 100% = 2.7%
Synedrella nodiflora = 7.7/50.3 x 100% = 15.2%
FM
Cyperus rotundus L. = 1/3 = 0.3
Calyptocarpus wendlandii = 2/3 = 0.7
Axonopus compressus = 3/3 = 1
Elephantopus scaber = 1/3 = 0.3
Borreria alata = 1/3 = 0.3
Ageratum conyzoides L. = 1/3 = 0.3
Synedrella nodiflora = 1/3 = 0.3
58
Total FM = 3.3
FN
Cyperus rotundus L. = 0.3/3.3 x 100% = 10.1%
Calyptocarpus wendlandii = 0.7/3. 3 x 100% = 20.2%
Axonopus compressus = 1/3. 3 x 100% = 30.3%
Elephantopus scaber = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1%
Borreria alata = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1%
Ageratum conyzoides L. = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1%
Synedrella nodiflora = 0.3/3. 3 x 100% = 10.1%
LBA
Cyperus rotundus L. = (12.5 x 9/4)² x 3.14 = 2483.8
Calyptocarpus wendlandii = (9 x 8.5/4 x 3)² x 3.14 = 1148.5
Axonopus compressus = (7 x 3/4)² x 3.14 = 86.5
Elephantopus scaber = (29 x 36/4)² x 3.14 = 213899.9
Borreria alata = (9 x 6/4)² x 3.14 = 572.3
Ageratum conyzoides L. = (11 x 2/4)² x 3.14 = 95.0
Synedrella nodiflo = (8 x 2/4)² x 3.14 = 50.2
Total LBA = 218336.3
DM
Cyperus rotundus L. = 0.0036/218336.3= 0.0114
Calyptocarpus wendlandii = 0.0017/218336.3= 0.0053
Axonopus compressus = 0.0001/218336.3= 0.0004
59
Elephantopus scaber = 0.3080/218336.3= 0.9797
Borreria alata = 0.0008/218336.3= 0.0026
Ageratum conyzoides L. = 0.0001/218336.3= 0.0004
Synedrella nodiflo = 0.00007/218336.3= 0.0002
Total DM = 1
DN
Cyperus rotundus L. = 0.0114/1 x 100% = 1.14%
Calyptocarpus wendlandii = 0.0053/1 x 100% = 0.53%
Axonopus compressus = 0.0004/1 x 100% = 0.04%
Elephantopus scaber = 0.9781/1 x 100% = 97.97%
Borreria alata = 0.0008/1 x 100% = 0.26%
Ageratum conyzoides L = 0.0004/1 x 100% = 0.04%
Synedrella nodiflo = 0.0002/1 x 100% = 0.02%
IV
Cyperus rotundus L. = 35.1% + 10.1% + 1.14% = 46.4%
Calyptocarpus wendlandii = 9.3% + 20.2% + 0.53% = 30%
Axonopus compressus = 24.5% + 30.3% + 0.04% = 54.9%
Elephantopus scaber = 5.3% + 10.1% + 97.97% = 113.4%
Borreria alata = 8% + 10.1% + 0.26% = 18.3%
Ageratum conyzoides L = 2.7% + 10.1% + 0.04% = 12.8%
Synedrella nodiflo = 15.2% + 10.1% + 0.02% = 25.4%
SDR
Cyperus rotundus L. = 46.4%/3 = 15%
60
Calyptocarpus wendlandii = 30%/3 = 10 %
Axonopus compressus = 54.9%/3 = 18%
Elephantopus scaber = 113.4%/3 = 38%
Borreria alata = 18.3%/3 = 6%
Ageratum conyzoides L = 12.8%/3 = 4%
Synedrella nodiflo = 25.4%/3 = 8%
Tabel 4. Hasil Perhitungan SDR Lokasi Semusim
No Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV SDR
1. Krokot 3 6,8 1 27,3 254,3 0 0,2 32,3 11,4
2. Rumput
Belulang
34,33 77,4 1 27,3 28938 0,3 24,9 129,
6
43,2
3. Daun
Asam kecil
3 6,8 0,7 18,3 19,6 0 0 25 8,4
4. Rumput
Merak
4 9 1 27,3 85487 0,8 74,8 111 37
Kerapatan Mutlak (KM) = plot jumlah
tersebut spesies Jumlah
1. Postulaca oleracea L. = 9
3
= 3
2. Eleusine indica = 103
3
= 34.33
3. Oxalis corniculata L. = 9
3
= 3
4. Themede arguens (L) = 12
3
= 4
Kerapatan Nisbi (KN) = %100 spesies seluruh KM jumlah
tersebut spesies KM
1. Postulaca oleracea L. = 3
44.33 × 100%
= 6.76%
61
2. Eleusine indica = 34.33
44.33 × 100%
= 77.44%
3. Oxalis corniculata L. = 3
44.33 × 100%
= 6.76%
4. Themede arguens (L) = 4
44.33 × 100%
= 9.02%
Frekuensi Mutlak (FM) = plot seluruh jumlah
tersebut spesies terdapat yangplot
1. Postulaca oleracea L. = 3
3
= 1
2. Eleusine indica = 3
3
= 1
3. Oxalis corniculata L. = 2
3
= 0.67
4. Themede arguens (L) = 3
3
= 1
Frekuensi Nisbi (FN) = %100 spesies seluruh FM jumlah
tersebut spesies FM
1. Postulaca oleracea L. = 1
3.67 × 100%
= 27.25%
2. Eleusine indica = 1
3.67 × 100%
= 27,25%
3. Oxalis corniculata = 0.67
3.67 × 100%
= 18.26%
4. Themede arguens (L) = 1
3.67 × 100%
= 27.25%
Luas basal area =
2
4
21 dd
1. Postulaca oleracea L. = ( 2 ×18
4)2 × π
= 254.34
2. Eleusine indica = ( 16 ×24
4)2 × π
= 28938.24
62
3. Oxalis corniculata = ( 4 ×2.5
4)2 × π
= 19.63
4. Themede arguens (L) = ( 33 ×20
4)2 × π
= 85486.5
Dominansi Mutlak (DM) = contoh area seluruh luas
tersebut spesies area basal luas
1. Postulaca oleracea L. = 254 .34
114698 .71
= 0.002
2. Eleusine indica = 28938.24
114698 .71
= 0.25
3. Oxalis corniculata = 19.63
114698 .71
= 0.0002
4. Themede arguens (L)= 85486 .5
114698 .71
= 0.75
Dominansi Nisbi (DN) = %100 spesies seluruh DM jumlah
spesies suatu DM
1. Postulaca oleracea L. = 0.002
1.0022 × 100%
= 0.19%
2. Eleusine indica = 0.25
1.0022 × 100%
= 24.94%
3. Oxalis corniculata =0.0002
1.0022 × 100%
= 0.019%
4. Themede arguens (L) = 0.75
1.0022 × 100%
= 74.83%
Menentukan Nilai Penting (Importance Value = IV)
Importance Value (IV) = KN + FN + DN
1. IV Postulaca oleracea L. = 6.76% + 27.25% + 0.19%
= 34.2%
2. IV Eleusine indica = 77.44 + 27.25 + 24.94
= 129.63%
3. IV Oxalis corniculata = 6.76 + 18.26 + 0.019
= 25.04%
4. IV Themede arguens (L) = 9.02 + 27.25 + 74,83
63
= 111.1%
Summed Dominance Ratio (SDR)= IV/3
1. SDR Postulaca oleracea L. = 34.2 / 3
= 11.4%
2. SDR Eleusine indica = 129.63 / 3
= 43.21%
3. SDR Oxalis corniculata = 25.04 / 3
= 8.35%
4. SDR Themede arguens (L) = 111.1 / 3
= 37.03%
Tabel 5. Hasil Perhitungan SDR Lokasi Semusim dan Pemukiman
No Spesies KM KN FM FN LBA DM DN IV SDR
1. Krokot 5,64 20 0,7 13,4 7 0 0 33,4 11
2. Rumput
Belulang
4,33 15,3 0,7 13,4 22954 1 99 126,7 42,2
3. Aur-aur 15,67 55,3 1 20 276 0 0 72,3 25,1
4. Bandotan 1,33 4,7 0,3 6,6 44,2 0 0,1 11,4 3,8
5. Tanaman x 1,33 4,7 0,3 6,6 4,9 0 0 11,3 3,4
Kerapatan Mutlak (KM) = plot jumlah
tersebut spesies Jumlah
1. Postulaca oleracea L. = 3
17
= 5,67
2. Eleusine indica = 3
13
= 4,33
3. Commelina diffusa = 3
47
= 15,67
4. Ageratum sp. = 3
4
= 1,33
5. Tanaman X = 3
4
= 1,33
64
Kerapatan Nisbi (KN) = %100 spesies seluruh KM jumlah
tersebut spesies KM
1. Postulaca oleracea L. = %100 28,33
5,67
= 20,01%
2. Eleusine indica = %100 28,33
4,33
= 15,28 %
3. Commelina diffusa = %100 28,33
15,67
= 55,31 %
4. Ageratum sp. = %100 28,33
1,33
= 4,69 %
5. Tanaman X = %100 28,33
1,33
= 4,69 %
Frekuensi Mutlak (FM) = plot seluruh jumlah
tersebut spesies terdapat yangplot
1. Postulaca oleracea L. = 3
2
= 0,67
2. Eleusine indica = 3
2
= 0,67
3. Commelina diffusa = 3
3
= 1
4. Ageratum sp. = 3
1
= 0,33
5. Tanaman X = 3
1
= 0,33
Frekuensi Nisbi (FN) = %100 spesies seluruh FM jumlah
tersebut spesies FM
65
1. Postulaca oleracea L. = %100 5
0,67
= 13,4%
2. Eleusine indica = %100 5
0,67
= 13,4 %
3. Commelina diffusa = %100 5
1
= 20 %
4. Ageratum sp. = %100 5
0,33
= 6,6 %
5. Tanaman X = %100 5
0,33
= 6,6 %
Luas basal area =
2
4
21 dd
1. Postulaca oleracea L. =
2
4
5,14
= 7,065
2. Eleusine indica =
2
4
1819
= 22954,18
3. Commelina diffusa =
2
4
55,7
= 275,97
4. Ageratum sp. =
2
4
5,26
= 44,16
5. Tanaman X =
2
4
25,2
= 4,91
Dominansi Mutlak (DM) = contoh area seluruh luas
tersebut spesies area basal luas
1. Postulaca oleracea L. = 23286,28
7,065
= 0,0003
66
2. Eleusine indica = 223286,28
22954,18
= 0,98
3. Commelina diffusa = 223286,28
275,97
= 0,01
4. Ageratum sp. =223286,28
44,16
= 0,001
5. Tanaman X = 223286,28
4,91
= 0,0002
Dominansi Nisbi (DN) = %100 spesies seluruh DM jumlah
spesies suatu DM
1. Postulaca oleracea L. = 0,99
0,0003x 100 %
= 0,03%
2. Eleusine indica = %1000,99
0,98
= 98,99%
3. Commelina diffusa = %1000,99
0,01
= 0,01 %
4. Ageratum sp. = %1000,99
0,001
= 0,10 %
5. Tanaman X = %1000,99
0,0002
= 0,02 %
Importance Value (IV) = KN + FN + DN
1. Postulaca oleracea L. = 20,01 + 13,4 + 0,03
= 33,4
2. Eleusine indica = 15,28 + 13,4 + 98,99
= 126,67
3. Commelina diffusa = 55,31 + 20 + 0,01
67
= 75,32
4. Ageratum sp. = 4,69 + 6,6 + 0,10
= 11,39
5. Tanaman X = 4,69 + 6,6 + 0,02
= 11,31
Summed Dominance Ratio (SDR) = IV/3
1. Postulaca oleracea L. = 33,44 / 3
= 11,15
2. Eleusine indica = 126,67 / 3
= 42,22
3. Commelina diffusa = 75,32 / 3
= 25,11
4. Ageratum sp. = 11,39 / 3
= 3,8
5. Tanaman X = 11,31 / 3
Pengamatan Aspek Agronomi (Perhitungan Koefisien Komunitas (c), Indeks
Keragaman (H’) dan Indeks Dominansi (C)
1. Perhitungan Koefisien Komunitas (c)
Perhitungan C = 4 x 𝑊
𝐴+𝐵+𝐶+𝐷 x100%
A = 35,53 C = 44,33 A+B+C+D = 35,33 + 50,3 + 44,33 + 28,33 = 158,36
B = 50,3 D = 28,33
W plot 1 = 2 + 4,6 = 6,67
W plot 2 = 1,3 + 2,7 = 4
W plot 3 = 3 + 3+ 4= 10
Wplot 4 = 1,33 + 1,33 + 4,33 = 6,99
C Hutan = 4 x 6,67
35,33+50,3+44,33+28,33 x 100%
= 4 x 6,67
158 ,36 x 100%
= 16,85 %
C Agroforestry = 4 x 4
158 ,36 x 100%
= 10,1 %
68
C Tanaman Semusim = 4 x 10
158 ,36 x 100 %
= 25,26%
C Semusim dan Pemukiman = 4 x 6,99
158 ,36 x 100%
= 17,66%
2. Perhitungan Indeks Keragaman (H’)
H’ = -∑ (𝑛𝑖
𝑁
𝑛𝑛=𝑖 In
𝑛𝑖
𝑁)
Oxsalis corminaculata = 87,1
300x LN
87,1
300
= 0,35906
Agreratum conyzoides = 97,6
300x LN
97,6
300
= 0,36532
Centella asiatica = 52,1
300x LN
52.1
300
= 0,30402
Tanaman x = 63,2
300x LN
63 ,2
300
= 0,32811
H’ = -∑ (𝑛𝑖
𝑁
𝑛𝑛=𝑖 In
𝑛𝑖
𝑁)
Cyperus rotundus L. = 46 ,40
300 ,20x LN
44,40
300,20
= 0,28815
Calyptocarpus wendlandii = 30
300 ,20x LN
30
300,20
= 0,22974
Axonopus compressus = 54,90
300,20x LN
54 ,90
300 ,20
= 0,31027
Elephantopus scaber = 113,40
300,20x LN
113 ,40
300 ,20
= 0,36778
Borreria alata = 18,30
300 ,20x LN
18 ,30
300,20= 0,17017
Ageratum conyzoides L. = 12,80
300 ,20x LN
12 ,80
300 ,20
69
= 0,13422
Synedrella nodiflora = 25,40
300,20x LN
25 ,40
300 ,20
= 0,20855
H’ = -∑ (𝑛𝑖
𝑁
𝑛𝑛=𝑖 In
𝑛𝑖
𝑁)
Postulaca oleracea L. = 34 ,20
299,97x LN
34 ,20
299,97
= 0,24757
Eleusine indica= 34 ,20
299,97x LN
34 ,20
299,97
= 0,36257
Oxalis corniculata =34 ,20
299,97x LN
34,20
299,97
= 0,20729
Themede arguens (L) = 34 ,20
299,97x LN
34 ,20
299,97
= 0,36787
H’ = -∑ (𝑛𝑖
𝑁
𝑛𝑛=𝑖 In
𝑛𝑖
𝑁)
Postulaca oleracea L. = 33,44
145,07x LN
33,44
145 ,07
= 0,35906
Eleusine indica= 33,44
145,07x LN
33,44
145 ,07
=
Commelina diffusa = 33,44
145,07x LN
33,44
145 ,07
= 0,33826
Ageratum sp. = 33,44
145,07x LN
33,44
145 ,07
= 0,33826
Tanaman X = 33,44
145,07x LN
33,44
145 ,07 = 0,19892
3. Perhitungan Indeks Dominansi (C)
Hutan
D = ∑(𝑛𝑖/𝑁)2
1. Oxsalis corminaculata = ∑(87,1/300)2
= 0,0842934444
2. Agreratum conyzoides = ∑(97,6/300)2
= 0,105841778
3. Centella asiatica =∑(52,1/300)2
= 0,030160111
4. Tanaman x = ∑(63,2/300)2
70
= 0,044380444
TOTAL = 0,264675778
Agroforestry
D = ∑(𝑛𝑖/𝑁)2
1. Cyperus rotundus L. = ∑(46,4/301,2)2
= 0,023732
2. Calyptocarpus wendlandii = ∑(30/301,2)2
= 0,00992
3. Axonopus compressus = ∑(54,9/301,2)2
= 0,033223
4. Elephantopus scaber = ∑(113,4/301,2)2
= 0,141748
5. Borreria alata = ∑(18,30/301,2)2
= 0,003691
6. Ageratum conyzoides L. = ∑(12,8/301,2)2
= 0,001806
7. Synedrella nodiflora = ∑(25,4/301,2)2
= 0,007111
TOTAL = 0,221231
Semusim
D = ∑(𝑛𝑖/𝑁)2
1. Postulaca oleracea L. = ∑(34,2/299,97)2
= 0,012999
2. Eleusine indica= ∑(129,63/299,97)2
= 0,186748
3. Oxalis corniculata =∑(25,04/299,97)2
= 0,006968
4. Themede arguens (L) = ∑(111,1/299,97)2
= 0,137174
TOTAL = 0,343889
Semusim+Pemukiman
D = ∑(𝑛𝑖/𝑁)2
1. Postulaca oleracea L. = ∑(33,44/145,07)2
= 0,053135
2. Eleusine indica= ∑(33,44/145,07)2
= 0,053135
3. Commelina diffusa = ∑(33,44/145,07)2
71
= 0,053135
4. Ageratum sp. = ∑(33,44/145,07)2
= 0,053135
5. Tanaman X = ∑(11,31/145,07)2
= 0,006078
TOTAL = 0,218616
72
Pengamatan Aspek Agronomi (Katalog Gulma yang Ditemukan di Lokasi
Praktikum)
1. Oxalis corminaculata
Nama ilmiah : Oxalis corminaculata
Nama umum : Daun Asam/ Semanggi
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Oxalidales
Famili :Oxalidaceae
Genus : Oxalis
Spesies: O. corminaculata
2. Agreratum conyzoides L.
Nama ilmiah : Agreratum conyzoides L
Nama umum : Babandotan
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Ageratum
Spesies : Agreratum conyzoides L
3. Centella asiatica L.
Nama ilmiah : Centella asiatica L.
Nama umum : Pegagan
Klasifikasi :
73
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Apiales
Famili : Apiaceae
Genus : Centella
Spesies : Centella asiatica L.
4. Cyperus rotundus L
Nama ilmiah : Cyperus rotundus L.
Nama umum : Rumput Teki
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Cyperales
Famili : Cyperaceae
Genus : Cyperus
Spesies : Cyperus rotundus L.
5. Calyptocarpus wendlandii
Nama ilmiah : Calyptocarpus wendlandii
Nama umum : Legetan
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
74
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Calyptocarpus
Spesies : Calyptocarpus wendlandii
6. Axonopus compressus
Nama ilmiah : Axonopus compressus
Nama umum : Rumput Gajah Mini
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Axonopus
Spesies : Axonopus compressus
7. Elephantopus scaber
Nama ilmiah : Elephantopus scaber
Nama umum : Tapak Liman
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
75
Famili : Asteraceae
Genus :Elephantopus
Spesies : Elephantopus scaber
8. Borreria alata
Nama ilmiah : Borreria alata
Nama umum : Setawar
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Borreria
Spesies : Borreria alata
9. Synedrella nodiflora
Nama ilmiah : Synedrella nodiflora
Nama umum : Glentangan
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Synedrella
76
Spesies : Synedrella nodiflora
10. Postulaca oleracea L.
Nama ilmiah : Postulaca oleracea L.
Nama umum : Krokot
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Caryophyllales
Famili : Portulacaceae
Genus : Portulaca
Spesies: Portulaca oleracea L.
11. Eleusine indica
Nama ilmiah : Eleusine indica
Nama umum : Rumput Belulang
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Graminales
Famili : Graminae
Genus : Eleusine
Spesies: Eleusine indica
12. Themede arguens (L) Hack
Nama ilmiah : Themede arguens (L) Hack
Nama umum : Rumput Merak
Klasifikasi :
77
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Themeda
Spesies: Themeda arguens L.
13. Commelina diffusa
Nama ilmiah : Commelina diffusa
Nama umum : Aur-aur
Klasifikasi :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Commelinales
Famili : Commelinaceae
Genus : Commelina
Spesies : Commelina nudiflora L.
78
Lampiran 4 Hasil Interview
Plot 1 Kelompok X3
Luas lahan 1.200 m2 Lahan sewa
Komoditas
sampingan sayuran
Komoditas
utama Padi, jagung
Pupuk Pupuk Kandang, urea, TSP/SP 36, ponska
Tenaga Kerja
Pengolahan : Laki-Laki Tetangga :-
Panen : Perempuan
Upah Tenaga
Kerja dalam 1
hari
Laki-Laki : 50.000
Perempuan 40.000
Upah Tenaga
Kerja setengah
hari (07.00-
11.00)
-
Modal Pribadi
Biaya produksi
rata-rata Modal awal Rp.500.000
Bibit Beli
Jagung Rp. 60.000/kg membutuhkan 5kg benih dalam
sekali tanam
-
Ternak - -
-
Pupuk
Kandang :
Beli dengan harga Rp. 10.000/karung , dalam
awal tanam membutuhkan 25 karung pupuk
kandang
Urea 180.000/karung Untuk 1
musim
tanam
TSP/SP36 230.000/karung
Ponska 236.000/karung
Panen (jagung) Berat : 1.200 kg
Harga 4.000 kering Dijual ke
tengkulak
yang
79
datang ke
desa
Tanda alam Tanda alam digunakan seperti pranotomongso
Pengendalian
Hama Aplikasi Menggunakan pestisida kimia
Pengaplikasian dilakukan jika adanya hama dan
penyakit jika tanaman sehat dan tidak ada
serangan hama dan penyakit maka tidak
dilakukan penyemprotan pestisida
Harga Rp. 125.000/botol
Kerugian
Keuntungan Keuntungan yang didapat tidak pernah dihitung secara pasti, yang
penting lebih dari modal, sudah untung.
Alat Bajak mesin Sewa, tergantung luas
Rp. 300.000 sudah termasuk dengan 2 tenaga
kerja
Jual Selalu langsung ke tengkulak, tidak pernah ke pasar
Harga jual Ditentukan oleh tengkulak
Jumlah tengkulak banyak
Setiap tengkulak, penentuannya berbeda
Hutan alami Ada
Tidak ada pembukaan lahan saat ini, karena masyarakat tidak
mau ada perubahan lahan
Sebenarnya, Perhutani ingin menebang hutan alami tersebut,
namun masyarakat menolak
Hutan dilindungi karena untuk melindungi air tanah yang berasal
dari pegunungan Gunung Kukusan
Dulu ada pengalihan lahan ketika Pemerintahan Gus Dur, yaitu
dari Hutan menjadi lahan pertanian
Penebangan hutan masal tersebut menyebabkan banjir dan erosi
Sekarang, jika ada penebangan ilegal, maka pelakunya di denda,
tergantung banyak pohon. 1 pohon bisa lebih dari 500.000 dan
harus melakukan penanaman kembali
Kelembagaan Ada, kelompok tani bernama Sidosubur-Wonoasri
80
Koperasi Ada akan tetapi pak Suwono tidak meminjam modal di koprasi
Tanda alam Tanda alam digunakan seperti pranotomongso
Pengendalian
Hama Aplikasi Menggunakan pestisida kimia
Pengaplikasian dilakukan jika adanya hama dan
penyakit jika tanaman sehat dan tidak ada
serangan hama dan penyakit maka tidak
dilakukan penyemprotan pestisida
Harga Rp. 125.000/botol
Kerugian
Keuntungan Keuntungan yang didapat tidak pernah dihitung secara pasti, yang
penting lebih dari modal, sudah untung.
Alat Bajak mesin Sewa, tergantung luas
Rp. 300.000 sudah termasuk dengan 2 tenaga
kerja
Jual Selalu langsung ke tengkulak, tidak pernah ke pasar
Harga jual Ditentukan oleh tengkulak
Jumlah tengkulak banyak
Setiap tengkulak, penentuannya berbeda
Hutan alami Ada
Tidak ada pembukaan lahan saat ini, karena masyarakat tidak
mau ada perubahan lahan
Sebenarnya, Perhutani ingin menebang hutan alami tersebut,
namun masyarakat menolak
Hutan dilindungi karena untuk melindungi air tanah yang berasal
dari pegunungan Gunung Kukusan
Dulu ada pengalihan lahan ketika Pemerintahan Gus Dur, yaitu
dari Hutan menjadi lahan pertanian
Penebangan hutan masal tersebut menyebabkan banjir dan erosi
81
Plot 2 Kelompok X4
Luas lahan 1,25 ha Tanah Warisan
Komoditassampingan Sengon, Kopi,
Pisang Panen sekali dalam 1 tahun
Komoditasutama Padi, sayuran
Pupuk Pupuk Kandang
Tenaga Kerja 3 orang
Pengolahan : Laki-Laki Tetangga
Panen : Perempuan
Upah Tenaga
Kerjadalam 1 hari Laki-Laki : 50.000
Perempuan 40.000
Upah Tenaga Kerja
setengah hari (07.00-
11.00) 25.000
Modal Pinjam (Kredit)
Biaya produksi rata-
rata
10.000.000-15.000.000/musim tanam untuk komoditas kubis,
padi dan kentang
Biaya paling besar adalah kentang, karena bibit kentang mahal
Bibit Beli
Kentang : 5.000/kg
Kubis : 90.000/genggam(1000 bibit) atau 25.batang
Ternak Kambing : 5 ekor
Jenis kambing perah, namun sekarang sudah tidak pernah
menjual susu kambing
Sekarang, jika ada penebangan ilegal, maka pelakunya di denda,
tergantung banyak pohon. 1 pohon bisa lebih dari 500.000 dan
harus melakukan penanaman kembali
Kelembagaan Ada, kelompok tani bernama Sidosubur-Wonoasri
Koperasi Ada akan tetapi pak Suwono tidak meminjam modal di koprasi
82
Pupuk
Kandang :
Berasal dari ternak sendiri. Pengaplikasiannya
seperti biasa, dikeringkan dahulu baru bisa di
aplikasikan ke tanah untuk pengolahan
ZA : 85.000/karung Untuk 1
musim
tanam
Phonska : 118.000/karung
TS : 130.000/karung
Panen (Kopi) Berat : 1,5 ton
Harga 23.000/kg (kering) Dijual ke
tengkulak
yang
datang ke
desa
5.000/kg (basah)
Panen (Pisang) Dijual ketika ada acara seperti khitanan, nikahan dll
Panen (Kentang) Harga : 7.000-8.000/kg
Kentang
besar
2.000/kg Kentang
kecil
Berat : 3,5 ton
Panen (Kubis) Harga ketika
musim hujan : 600/kg
Harga
tergantung
musim.
Ketika
musim
hujan
harga
turun
karena
banyak
penyakit
yang
menyerang
Harga ketika
musim panas : 3.000-5.000/kg
Panen (Padi) Berat : 3 ton
Harga : 5.000/kg (basah) 10.000/kg (kering)
Tanda alam Tidak memperhatikan tanda-tanda alam untuk panen
Ketika musim hujan menanam padi
Pengendalian Hama Aplikasi Menggunakan pestisida Desis, Proklim, Klimaton
83
Setiap minggu di semprot
meskipun tidak ada hama
1 musim tanam membutuhkan 3-
4 botol
1 botol dihabiskan dalam waktu 3
minggu
Tidak pernah memakai bahan alami untuk
pengendalian karna kurangnya pengetahuan
dan belum adanya sosialisasi
Harga 125.000/botol
Kerugian Pernah mengalami kerugian, yaitu ketika harga komoditas turun
dan yang membutuhkan komoditas itu hanya sedikit.
Keuntungan Keuntungan yang didapat tidak pernah dihitung secara pasti, yang
penting lebih dari modal, sudah untung.
Alat Bajakmesin Sewa, tergantung luas
1 Ha = 1.000.000
Jual Selalu langsung ketengkulak, tidak pernah kepasar
Harga jual Ditentukan oleh tengkulak
Jumlah tengkulak banyak
Setia ptengkulak, penentuannya berbeda, ada selisih antara 500-
1.000
Hutan alami Ada
Luas lahan : >100 ha
Tidak ada pembukaan lahan saat ini, karena masyarakat tidak
mau ada perubahan lahan
Sebenarnya, Perhutani ingin menebang hutan alami tersebut,
namun masyarakat menolak
Hutan dilindungi karena untuk melindungi air tanah yang berasal
dari pegunungan Gunung Kukusan
Dulu ada pengalihan lahan ketika Pemerintahan Gus Dur, yaitu
dari Hutan menjadi lahan pertanian
Penebangan hutan masal tersebut menyebabkan banjir dan erosi
Sekarang, jika ada penebangan ilegal, maka pelakunya di denda,
tergantung banyak pohon. 1 pohon bisa lebih dari 500.000 dan
harus melakukan penanaman kembali
Kelembagaan Ada, tapi tidak jalan,
84
Karena anggota hanya 6 orang dan hanya orang-orang tertentu
yang dibantu/dapat bagian ketika ada bantuan berupa uang, bibit
dll. 6 orang yang menjadi anggota itu tidak punya lahan sendiri.
Sekarang, kepala desa baru, sehingga Gapoktan mulai akan
dijalankan kembali
Koperasi Ada namun juga tidakberjalan
Lembaga keuangan Ada
85
PLOT 3 KELOMPOK X1
Luaslahan 1250 m2 Tanah MilikSendiri
Komoditassampingan Tidakada
Komoditasutama Cabai, Kubis
Pupuk PupukKandang, Ponska, ZA, SP 36
TenagaKerja 3 orang
Pengolahan
: Laki-Laki
Keluargasendiri
Panen : Perempuan
UpahTenagaKerjadalam 1 hari
Laki-laki: -
Perempuan:-
UpahTenagaKerjasetengahhari
(07.00-11.00) Tidak menggunakan biaya tenaga kerja karena dalam
keluarga
Modal Modal sendiri
Biayaproduksi rata-rata 1.697.400/musim tanam untuk komoditas Cabai ( kubis
belum panen)
Biaya paling besar di penggunaan pupuk kandang,SP 36,
Ponska
Bibit Beli
Cabai : 112.500/ 1500 bibit
Kubis : 90.000/1000 bibit
Ternak Sapi: 8 ekor
Ternak sapi hanya digunakan untuk menghasilkan sebagian
pupuk kandang, serta di ambil produknya yang berupa susu
segar
Pupuk
Kandang :
Sebagian berasal dari ternak milik sendiri.
Tetapi petani tetap membeli pupuk kandang
sebesar 17.000/karung (8 karung) = 136.000
ZA : 1400/per kg ->
75.000/musim tanam Untuk 1 musim
tanam Phonska :
120.000/ per musim
tanam
86
SP 36 : 3000/ kg -> 120.000/
musim tanah
Panen (Cabai) BeratPanen
:
55 kg/ Panen (bisa
sampai 10x panen)
Dapat di panen
hingga 10 kali
Hargajual 25.000/kg Dijualketengkulak
yang
datangkedesa
Panen (Kubis) Harga Jual
saat ini 700/kg
Harga tergantung
musim. Ketika
musim hujan
harga turun
karena banyak
penyakit yang
menyerang
Harga
ketika
musim
panas :
3.000-5.000/kg
Tandaalam Memperhatikan tanda-tanda alam untuk menanam
-
Pengendalian Hama Aplikasi
Untuk menggunakan pestisida Antrakol,
pestisida x
Penggunaan ketika
terdapat hama dan
intensitas hujan tinggi
Sampai saaat ini masih belum menggunakan
pestisida alami untuk mengendalikan hama
Harga 500.000/ dalam satu musim tanam
Kerugian Pernah mengalami kerugian, yaitu ketika harga komoditas
turun dan yang membutuhkan komoditas itu hanya sedikit.
Keuntungan Keuntungan hanya dilihat dari penerimaan yang di
dapatkan ketika panen, tidak eprnah mempertimbangkan
Alat Bajakmesin Tergantunghari Rp. 300.000/hari
Jual Selalu langsung ketengkulak, tidak pernah kepasar
Hargajual Ditentukan oleh tengkulak
Jumlah tengkulak banyak
Setiap tengkulak, penentuannya berbeda, ada selisih
antara 500-1.000
87
Kelembagaan Ada, tapi tidak jalan,
Petani tidak mengikuti kelembagaan yang ada.
Koperasi Ada namun juga tidak berjalan
Lembagakeuangan Ada
Bapak nya tidak pernah meminjam uang di lembaga
keuangan. 100% data pribadi.
Plot 4 Kelompok X1
Luas lahan ¾ ha (7500 m2) Sewa (3 jt/tahun)
Komoditas
sampingan Tidak ada
Komoditas
utama
Jagung (varietas yang ditanam saat ini BISI (untuk benih),
sebelumnya menanam jagung manis/sayur)
Pupuk Pupuk Kandang, urea dan phoska
Tenaga Kerja 2 orang (tenaga kerja dalam keluarga)
Upah Tenaga
Kerja dalam 1
hari
-
Laki-laki: -
Perempuan:-
Upah Tenaga
Kerja setengah
hari (07.00-
11.00)
Tidak menggunakan biaya tenaga kerja karena dalam keluarga
Modal Modal sendiri dan dari pabrik BISI untuk benih, pupuk dan
pestisida
Rp. 2.300.000/musim tanam jagung
88
Biaya produksi
rata-rata Biaya paling besar pada sewa lahan
Bibit/benih Dari BISI
Jagung BISI
Rp 60.000/ kg
Membutuhkan 6 kg benih jagung betina dan 2
kg benih jagung jantan
Jagung
manis/sayur
Rp. 75.000/kantong (¼ kg untuk satu kantong)
Membutuhkan 13 kantong
Ternak Sapi : 1 ekor
Kotoran dari ternak tersebut digunakan untuk pupuk kandang
Pupuk Kandang : Dari ternak sendiri (diaplikasikan jika perlu)
Urea :
100 kg, dengan harga Rp 100.000/
50 kg
Diaplikasi pada 20 HST dan
membutuhkan 1 kw Untuk 1
musim
tanam
Phoska :
250 kg, dengan harga Rp.
125.000/50 kg
Diaplikasikan 2 kali pada 40 HST (1
kw) dan 60 HST (1,5 kw)
Panen (Jagung)
Berat Panen :
2,5 ton (panen jagung manis yang ditanam
sebelumnya)
Untuk jagung BISI belum panen, karena baru
pertaman kali menanam
Harga jual
Rp. 1.500/kg (untuk jagung
manis/sayur pada musim tanam
sebelumnya)
Rp. 4.000/ Kg (untuk jagung BISI)
Jagung
manis
dijual ke
tengkulak
dan jagung
BISI dijual Pendapatan Rp 10.000.000/musim tanam
89
ke pabrik
BISI
Tanda alam Tidak ada
Pengendalian
Hama Penyemprotan
pestisida
Menggunakan pestisida Desis dan Foradan
Penggunaan ketika terdapat hama
Harga Desis 1 botol: Rp. 35.000
Foradan ½ kg: Rp. 40.000
Kerugian Belum pernah mengalami kerugian untuk penanaman jagung BISI.
Pernah mengalami kerugian pada saat penanaman jagung manis
(musim tanam sebelumnya) karena harga turun.
Keuntungan Keuntungan musim tanam sebelumnya ± Rp. 2.000.000/ musim
tanam
Alat Traktor Rp. 400.000/ musim tanam
Jual Jagung manis/sayur dijual ke tengkulak
Jagung BISI dijual ke BISI
Harga jual Jagung manis/sayur: Rp 1.500/kg
Jagung BISI: Rp. 4.000/Kg
Kelembagaan Ada, tapi tidak jalan
Koperasi Ada namun juga tidak berjalan
Lembaga
keuangan Ada (Bank)
Recommended