View
32
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
BAB IKASUSA. IDENTITAS PASIENNama : Tn.RJenis kelamin : Laki-lakiUmur : 25 tahunSuku bangsa : bugisAgama : IslamPekerjaan : wiraswastaStatus Marital : Belum Menikah Alamat : PinrangTanggal Masuk : 11 November 2014No/ RM : 030053B. ANAMNESISKeluhan Utama : Bengkak seluruh badanRiwayat Penyakit Sekarang: Dialami sejak 1 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 minggu terakhir. Awalnya bengkak muncul pada kelopak mata, kemudian wajah, perut dan kedua kaki. Riwayat demam tidak ada, demam tidak ada, sakit kepala tidak ada, sesak nafas ada dirasakan apabila pasien duduk lama dan sehabis makan. Batuk tidak ada, riwayat batuk lama tidak ada, mual ada, muntah tidak ada. Nyeri uluhati ada. Nyeri tekan epigastrium ada, nyeri saat kencing tidak ada.Buang air besar: biasa, frekuensi 3 kali sehariBuang air kecil: lancar, warna kuning kecoklatanRiwayat Penyakit Dahulu: riwayat hipertensi tidak adariwayat DM tidak ada
Citation preview
BAB I
KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.R
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 25 tahun
Suku bangsa : bugis
Agama : Islam
Pekerjaan : wiraswasta
Status Marital : Belum Menikah
Alamat : Pinrang
Tanggal Masuk : 11 November 2014
No/ RM : 030053
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Bengkak seluruh badan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Dialami sejak 1 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 minggu
terakhir. Awalnya bengkak muncul pada kelopak mata, kemudian
wajah, perut dan kedua kaki. Riwayat demam tidak ada, demam tidak
ada, sakit kepala tidak ada, sesak nafas ada dirasakan apabila pasien
duduk lama dan sehabis makan. Batuk tidak ada, riwayat batuk lama
tidak ada, mual ada, muntah tidak ada. Nyeri uluhati ada. Nyeri tekan
epigastrium ada, nyeri saat kencing tidak ada.
Buang air besar: biasa, frekuensi 3 kali sehari
Buang air kecil: lancar, warna kuning kecoklatan
Riwayat Penyakit Dahulu:
riwayat hipertensi tidak ada
riwayat DM tidak ada
Riwayat Keluarga:
tidak diketahui adanya riwayat hipertensi dalam keluarga
Riwayat Alergi:
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat ataupun makanan
C. PEMERIKSAAN FISIK
S: bengkak pada kelopak mata,perut dan kedua tungkai
Mual ada, nyeri uluhati ada
O: Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis GCS: E4 M6 V5
Vital sign:
Tekanan Darah :110/80 mmHg
Nadi :80 kali per menit
RR :26 kali per menit
Suhu : 36,60 C
Kepala / Leher:
Konjungtiva anemis tidak, ikterus tidak ada, pupil isokor 2,5/2,5 mm,
udem palpebra ada
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
JVP R-0cmH2O
Kaku kuduk tidak ada
Thorax:
Cor :
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak
Palpasi: ictus cordis di ICS IV-V midclavicular line sinistra
Perkusi: batas jantung kesan normal
Auskultasi: S1 S2 regular, murmur tidak ada
Pulmo:
Inspeksi: retraksi otot-otot pernapasan (-)
Palpasi: gerak napas simetris kiri sama dengan kanan
Perkusi: sonor/sonor
Auskultasi: suara paru vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Bunyi pernapasan menurun di kedua lapangan paru
Abdomen:
Inspeksi : cembung
Palpasi : hepar dan lien sulit dinilai
Perkusi : timpani ada, shifting dullness (+)
Auskultasi : peristaltik ada kesan Normal
Ekstremitas:
Superior : akral hangat +/+, edema +/+
Inferior : akral hangat +/+, edema +/+
Motorik : Lateralisasi (-)
Reflex fisiologis: BPR : +N/+N, TPR : +N/+N
KPR: +N/+N, APR: +N/+N
Reflex patologis : Babinsky -/-, Chaddock -/-
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium: 11 November 2014
GDS 117 mg/dL
DARAH LENGKAP
Hemoglobin 12 g/dL
Leukosit 11,38/cmm
Trombosit 505.000/cmm
FUNGSI HATI (LFT)
SGOT 15 U/l
SGPT 8 U/l
Albumin 1,5
RFT
Ureum 19 mg/dl
Creatinin 0,6 mg/dL
Natrium 130
Kalium 3,4
Clorida 108
E. ASSESMENT
1. Sindrom nefrotik
2. Dispepsia fungsional
F. PENATALAKSANAAN AWAL
1. Diet Rendah protein 0,8gr/kgBB/hari
2. O2 nasal kanul 3-4 liter/menit
3. Conecta
4. Methyl prednisolon 16 mg. 1-0-0
5. Furosemid 40 mg/24 jam/oral
6. Captopril 6,25mg/8 jam/oral
7. Valsartan 80 mg/8 jam/oral
8. Omeprazole 20 mg/24 jam/oral
G. PLANING
1. Foto thorax
2. USG abdomen
3. Biopsi ginjal
4. Urine esbach
H. PROGNOSIS
1. Quad ad functionam : Dubia et bonam
2. Quad ad sanationam : Dubia et bonam
3. Quad ad vitam : Dubia et bonam
FOLLOW UP
Tanggal: 11 November 2014
PEMERIKSAAN FISIK
S: bengkak pada kelopak mata,perut dan tungkai
Mual ada, nyeri uluhati ada, sesak ada
O: Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis GCS: E4 M6 V5
Vital sign
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 kali per menit
RR : 24 kali per menit
Suhu : 36,6 C
Kepala / Leher:
Anemis tidak ada, ikterus tidak ada, udem palpebra ada
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
JVP R-0cmH2o
Kaku kuduk tidak ada
Cor : BJ S1S2 murni regular
Murmur tidak ada
Pulmo: BP: vesikuler +/+, Rhonki tidak ada, Wheezing tidak
Bunyi pernapasan menurun di kedua lapangan paru
Abdomen: Cembung, ikut gerak nafas
Peristaltik ada, kesal normal
Hepar dan lien sulit dinilai
Ekstremitas: edema pretibial ada
Hasil laboratorium:
GDS 117 mg/dL
Hemoglobin 12 g/dL
Leukosit 11,38/cmm
Trombosit 505.000/cmm
SGOT 15 U/l
SGPT 8 U/l
Albumin 1,5
Ureum 19 mg/dl
Creatinin 0,6 mg/dL
Natrium 130
Kalium 3,4
Clorida 108
Hasil foto thorak: Efusi pleura bilateral
Hasil USG: echo parenkim kedua ginjal sesuai nephropaty bilateral
ASSESMENT
1. Sindrom nefrotik
2. Dispepsia fungsional
PENATALAKSAAN
1. Diet Rendah Garam protein 0,8gr/kgBB/hari
2. O2 nasal kanul
3. Conecta
4. Methyl prednisolon 16 mg. 1-0-0
5. Furosemid 40 mg/24jam/oral
6. Valsartan 80 mg/8 jam/oral
7. Captopril 6,25mg/8 jam/oral
8. Omeprazole 20 mg/24 jam/oral
PLANING:
1. Ukur lingkar perut/BB/hari
2. Periksa urin esbach
Tanggal 12 November 2014
PEMERIKSAAN FISIK
S: Bengkak pada kelopak mata,perut dan tungkai
Mual ada, nyeri uluhati ada
O: Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis GCS: E4 M6 V5
Vital sign
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 76 kali per menit
RR : 20 kali per menit
Suhu : 36,50 C
Kepala / Leher:
Anemis tidak ada, ikterus tidak ada,udem palpebra ada
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
JVP R-0cmH2o
Kaku kuduk tidak ada
Cor : BJ S1S2 murni regular
Murmur tidak ada
Pulmo: BP: vesikuler +/+, Rhonki tidak ada, Wheezing tidak
Bunyi pernapasan menurun di kedua lapangan paru
Abdomen: Cembung, ikut gerak nafas
Peristaltik ada, kesal normal
Hepar dan lien sulit dinilai
Ekstremitas: edema pretibial ada
Hasil laboratorium:
Urine: blood +- 5
Protein +++300
Glukosa + 250
Sedimen: Kristal Ca oxalate 0-3
ASSESMENT
1. Sindrom nefrotik
2. Dispepsia fungsional
PENATALAKSANAAN:
1. Diet Rendah Garam protein 0,8gr/kgBB/hari
2. Conecta
3. Methyl prednisolon 16 mg. 1-0-0
4. Furosemid 40 mg/24jam/oral
5. Valsartan 80 mg/8 jam/oral
6. Captopril 6,25mg/8 jam/oral
7. Omeprazole 20 mg/24 jam/oral
Tanggal 13 November 2014
S: Bengkak pada kelopak mata,perut dan tungkai
Mual ada, nyeri uluhati tidak ada
O: Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis GCS: E4 M6 V5
Vital sign
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 76 kali per menit
RR : 20 kali per menit
Suhu : 36,50 C
Kepala / Leher:
Anemis tidak ada, ikterus tidak ada,udem palpebra ada
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
JVP R-0cmH2o
Kaku kuduk tidak ada
Cor : BJ S1S2 murni regular
Murmur tidak ada
Pulmo: BP: vesikuler +/+, Rhonki tidak ada, Wheezing tidak
Bunyi pernapasan menurun di kedua lapangan paru
Abdomen: Cembung, ikut gerak nafas
Peristaltik ada, kesal normal
Hepar dan lien sulit dinilai
Ekstremitas: edema pretibial ada
Hasil laboratorium:
Urine: blood +- 5
Protein +++300
Glukosa + 250
Sedimen: Kristal Ca oxalate 0-3
ASSESMENT
1. Sindrom nefrotik
2. Dispepsia fungsional
PENATALAKSANAAN:
1. Diet Rendah Garam protein 0,8gr/kgBB/hari
2. Conecta
3. Methyl prednisolon 16 mg. 1-0-0
4. Furosemid 40 mg/24jam/oral
5. Valsartan 80 mg/8 jam/oral
6. Captopril 6,25mg/8 jam/oral
7. Omeprazole 20 mg/24 jam/oral
Tanggal 14 November 2014
S: Bengkak pada kelopak mata,perut dan tungkai
Mual ada, nyeri uluhati tidak ada
O: Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis GCS: E4 M6 V5
Vital sign
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 76 kali per menit
RR : 20 kali per menit
Suhu : 36,50 C
Kepala / Leher:
Anemis tidak ada, ikterus tidak ada,udem palpebra ada
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
JVP R-0cmH2o
Kaku kuduk tidak ada
Cor : BJ S1S2 murni regular
Murmur tidak ada
Pulmo: BP: vesikuler +/+, Rhonki tidak ada, Wheezing tidak
Bunyi pernapasan menurun di kedua lapangan paru
Abdomen: Cembung, ikut gerak nafas
Peristaltik ada, kesal normal
Hepar dan lien sulit dinilai
Ekstremitas: edema pretibial ada
Hasil lab tanggal 14:
WBC : 10,9
RBC : 3,11
HB : 12
PLT : 524
Albumin 1,5
Elektrolit :
Natrium 130
Kalium 3,4
Urine:
Protein +++300
Glukosa + 250
Sedimen: Kristal Ca oxalate 0-3
Urine esbach 2gr/dl
ASSESMENT
1. Sindrom nefrotik
2. Dispepsia fungsional
PENATALAKSANAAN:
1. Diet Rendah Garam protein 0,8gr/kgBB/hari
2. Conecta
3. Methyl prednisolon 16 mg. 1-0-0
4. Furosemid 40 mg/24jam/oral
5. Valsartan 80 mg/8 jam/oral
6. Captopril 6,25mg/8 jam/oral
7. Omeprazole 20 mg/24 jam/oral
Tanggal 15 November 2014
S: Bengkak pada kelopak mata,perut dan tungkai
Mual tidak ada, nyeri uluhati tidak ada
O: Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis GCS: E4 M6 V5
Vital sign
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali per menit
RR : 20 kali per menit
Suhu : 36,80 C
Kepala / Leher:
Anemis tidak ada, ikterus tidak ada,udem palpebra ada
Pembesaran kelenjar getah bening : tidak ada
JVP R-0cmH2o
Kaku kuduk tidak ada
Cor : BJ S1S2 murni regular
Murmur tidak ada
Pulmo: BP: vesikuler +/+, Rhonki tidak ada, Wheezing tidak
Bunyi pernapasan menurun di kedua lapangan paru
Abdomen: Cembung, ikut gerak nafas
Peristaltik ada, kesal normal
Hepar dan lien sulit dinilai
Ekstremitas: edema pretibial ada
ASSESMENT
1. Sindrom nefrotik
PENATALAKSANAAN:
1. Diet Rendah Garam protein 0,8gr/kgBB/hari
2. Conecta
3. Methyl prednisolon 16 mg. 1-0-0
4. Furosemid 40 mg/24jam/oral
5. Valsartan 80 mg/8 jam/oral
6. Captopril 6,25mg/8 jam/oral
7. Omeprazole 20 mg/24 jam/oral
RESUME:
Laki-laki umur 25 tahun masuk RS dengan keluhan bengkak seluruh badan
yang dialami sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya bengkak muncul pada kelopat
mata, kemudian wajah, perut dan kedua kaki. Mual ada, nyeri uluhati ada.
Riwayat sakit magh ada. Pada pemeriksaan fisis didapatkan shifting dullness
positif. Hasil laboratorium: albumin 1,5 gr/dl, urinalisis: protein +++ 300 dan
blood +-3, urine esbach 2gr/dl.
Berdasar anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan laboratorium maka pasien
didiagnosa sebagai sindrom nefrotik dan dispepsia fungsional
BAB II
DISKUSI
Bengkak seluruh badan dialami sejak 1 bulan yang lalu dan memberat dalam 1
minggu terakhir. Awalnya bengkak muncul pada kelopak mata, kemudian wajah,
perut dan kedua kaki. Riwayat demam tidak ada, demam tidak ada, sakit kepala
tidak ada, sesak nafas ada dirasakan apabila pasien duduk lama dan sehabis
makan. Batuk tidak ada, riwayat batuk lama tidak ada, mual tidak ada, muntah
tidak ada, nyeri uluhati ada, nyeri tekan epigastrium ada, nyeri saat kencing tidak
ada.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema palpebra, asites serta
edema pada extremitas. Adanya edema generalisata pada pasien ini bisa
mengarahkan diagnosa pada berbagai kemungkinan misalnya sindrom nefrotik,
GGA oliguria, gagal jantung kongestif, sirosis hepatis, kwashiorkor. Berdasarkan
hasil laboratorium darah didapatkan albumin 1,5 g/dL. Hasil pemeriksaan
urinalisis didapatkan protein +++/300 dan Blood +-3. Pemeriksaan protein Esbach
diperoleh hasil 2 gram/dl. Karena hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang pasien ini memenuhi kriteria diagnosis sindrom nefrotik
yaitu adanya edema anasarka, proteinuria masif (≥3.5 g/hari), dan
hipoalbuminemia (<3,5 gr/dL), maka diagnosis pasien ini diarahkan pada sindrom
nefrotik.
Proteinuria pada pasien ini disebabkan karena adanya peningkatan
permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein yaitu berdasarkan ukuran molekul
(size barrier) dan berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada sindrom
nefrotik, kedua mekanisme penghalang tersebut terganggu sehingga protein dapat
lolos pada saat proses filtrasi glomerulus.
Hipoalbuminemia pada pasien ini disebabkan oleh proteinuria masif
dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Hipoalbuminemia dapat pula
terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus
proximal. Hipoalbuminemia juga dapat menyebabkan efusi pleura oleh karena
terjadi penurunan tekanan koloid osmotik vaskular pleura.
Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.
Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Kedua mekanisme tersebut
ditemukan secara bersama pada pasien SN.
Hiperlipidemia biasanya juga terjadi disebabkan oleh meningkatnya LDL
(Low Density Lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Mekanisme
hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme, namun pada pasien ini didapatkan
nilai kolestrol dalam batas normal kecuali trigliserida : 209 mg/dl.
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau
terjadi sebagai akibat efek samping steroid. Hipertensi pada kasus ini dapat juga
berdiri sendiri tanpa berhubungan dengan sindrom nefrotik.
Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, dan
gangguan sistem komplemen. Hal ini bisa berhubungan dengan penyakit SN yang
diderita.
Pengobatan pada SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan
terhadap penyakit dasar dan pengobatan non spesifik untuk mengurangi
proteinuria, mengontrol edema dan mengobati komplikasi. Pada praktek sehari-
hari, intake protein yang direkomendasikan untuk penderita sindrom nefrotik yaitu
0,8-1 g/kg/hari, dengan anjuran asupan protein berasal dari protein nabati dan
protein dari ikan. Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-
macam, di antaranya pada orang dewasa adalah prednison/metilprednisolon 1-1,5
mg/kg berat badan/hari selama 4 – 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1
hari selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya. Sampai 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu namun 50% pasien akan
mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan. Untuk terapi
suportif/simtomatik ACE inhibitor diindikasikan untuk mengurangi proteinuria,
pada edema sedang atau edema persisten, dapat diberikan furosemid dengan dosis
1-3 mg/kg per hari. Pemberian spironolakton dapat ditambahkan dengan dosis 1-2
mg/kg per hari.
Komplikasi sindrom nefrotik yang bisa terjadi yaitu keseimbangan
nitrogen menjadi negatif, tromboemboli, kekurangan vitamin D, infeksi serta
gangguan fungsi ginjal.
Keseimbangan nitrogen merupakan salah satu komplikasi SN yang terjadi
oleh karena proteinuria yang masif. Tromboemboli bisa terjadi karena adanya
peningkatan koagulasi intravaskular, kelainan ini disebabkan oleh perubahan
tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.
Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan
fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis.
Kekurangan vitamin D juga merupakan komplikasi SN. Vitamin D yang
terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan
kadar plasma. Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular dan
gangguan sistem komplemen. Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami
gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan
atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain
yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema
intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sindrom klinik yang mempunyai banyak
penyebab, yang ditandai permeabilitas membran glomerulus yang meningkat
dengan manifestasi proteinuri massif yang menyebabkan hipoalbuminemia dan
biasanya disertai edema dan hiperkolesterolemia.1,2
SN merupakan manifestasi glomerulus yang paling sering ditemukan di
anak yang 15 kali lebih sering daripada orang dewasa. Kelainan histologik
tersering pada anak adalah kelainan minimal yang disebut Sindrom Nefrotik
Kelainan Minimal (SNKM).2
Penyakit ini merupakan penyakit kronis yang cenderung kambuh berulang
kali, perjalanan penyakit ini bersifat secara kebetulan (insidious), dan seringkali
menyebabkan keterlambatan diagnosis.2
II. ETIOLOGI
Sebagian besar kasus sindrom nefrotik muncul karena disebabkan oleh
penyakit ginjal primer. Nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal
segmental (FSGS) merupakan jenis yang ditemukan pada sepertiga dari seluruh
kasus SN primer (idiopatik).3
Namun, FSGS merupakan penyebab tersering dari SN yang diketahui
terjadi pada usia remaja. Penyakit kelainan minimal dan nefropati IgA terjadi pada
sekitar 25% kasus SN idiopatik. Kondisi lain, seperti glomerulonefritis
membranoproliferatif jarang terjadi. FSGS tercatat ada pada sekitar 3,3% penyakit
ginjal tahap akhir (ESRD). Di sisi lain, penyebab terbanyak dari kasus SN
sekunder yakni diabetes mellitus.3
Tabel 1. Jenis tersering dari sindrom nefrotik idiopatik 3
Tabel 2. Penyebab tersering dari sindrom nefrotik sekunder 3
a. Penyebab Primer
Umumnya tidak diketahui kasusnya dan terdiri atas sindrom nefrotik
idiopatik (SNI) atau yang sering disebut juga SN primer yang bila berdasarkan
gambaran dari histopatologinya, dapat terbagi menjadi1,3-5 :
1. GN lesi minimal (GNLM);
2. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSF);
3. GN membranosa (GNMN);
4. GN Membranoproliferatif (GNMP);
5. GN proliferatif lain.1,3-5
b. Penyebab Sekunder
1. Infeksi : malaria, hepatitis B dan C, GNA pasc infeksi, HIV, sifilis, TB, lepra,
skistosoma
2. Keganasan : leukemia, Hodgkin’s disease, adenokarsinoma (paru, payudara,
kolon), multiple myeloma, karsinoma ginjal
3. Jaringan penghubung : Systemic Lupus Erytematous (SLE), Reumatoid
artritis, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD)
4. Metabolik : Diabetes melitus, amiloidosis
5. Efek obat dan toksin : OAINS, preparat emas, penisilinami, probenesid,
kaptopril, heroin
6. Berdasarkan respon steroid, dibedakan respon terhadap steroid (sindrom
nefrotik yang sensitif terhadap steroid (SNSS) yang lazimnya berupa kelainan
minimal, tidak perlu biopsi), dan resisten steroid atau SNRS yang lazimnya
bukan kelainan minimal dan memerlukan biopsy. 1,3-5
III. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi SNKM di Negara barat sekitar 2-3 kasus per 100.000 anak < 16
tahun, di Asia 16 kasus per 100.000 anak dan di Indonesia sekitar 6 kasus per
100.000 anak < 14 tahun. Anak laki-laki lebih sering terjangkit daripada anak
perempuan dengan perbandingan 2:1. Anak dengan SNKM biasanya berumur <
10 tahun, sekitar 90% kasus berumur < 7 tahun dengan usia rata-rata 2-5 tahun.2
IV. PATOFISIOLOGI
a. Proteinuria
Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein
akibat kerusakan glomerulus (kebocoran glomerulus) yang ditentukan oleh
besarnya molekul dan muatan listrik, dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi
tubulus (proteinuria tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus
menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap perotein plasma dan
protein utama yang dieksresikan dalam urin adalah albumin.1,5
b. Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.1
Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan
hipoalbuminemia. Sebagai akibatnya hipoalbuminemia menurunkan tekanan
onkotik plasma koloid, meyebabkan peningkatan filtrasi transkapiler cairan keluar
tubuh dan menigkatkan edema.1,5
c. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia merupakan peningkatan profil lipid dalam darah yang
sering menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid
bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Kolesterol serum yang
mengalami peningkatan yakni VLDL (very low density lipoprotein), LDL (low
density lipoprotein), ILDL (intermediate-density lipoprotein), sedangkan HDL
(high density lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.1,5
d. Edema
Edema pada SN dapat dijelaskan dengan teori underfill dan overfill. Teori
underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor kunci terjadinya
edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan
terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik dan bergesernya cairan plasma,
terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air. Mekanisme ini akan memperbaiki volume intravaskuler
tetapi juga akan memperberat edema karena kadar albumin yang tidak mampu
menjaga cairan intravaskuler.1,5
Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium sebagai defek renal
utama.Retensi natrium menyebabkan peningkatan cairan ekstraseluler sehingga
terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan
terus mengaktivasi system retensi natrium dan air oleh ginjal sehingga edema
semakin berlanjut.1,5
V. TANDA DAN GEJALA
Tanda yang terdapat pada sindrom nefrotik yakni terdapat proteinuria massif
>3-3,5 gr/hari dan serum albumin <25g/l. Gejala yang sering tampak yakni edema
pada kedua tungkai, berat badan meningkat, dan lelah. Pada kasus lain dapat
disertai edema periorbital dan edema genital, asites, atau efusi pleura maupun
efusi perikard.3
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis SN didapatkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Kriteria diagnostik sindrom nefrotik meliputi: 1
1. Proteinuria massif >3-3.5 g/24 jam atau rasio protein:kreatinin urin spot >300-
350 mg/mmol.
2. Serum albumin <2,5 gr/dl.
3. Manifestasi klinis edema perifer.
4. Hiperlipidemia (kolesterol total >10 mmol/l) sering menyertai.1
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis sindrom nefrotik dapat ditegakkan melalui beberapa
pemeriksaan penunjang berikut: 4
a) Urinalisis
Urinalisis adalah tes awal diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria
berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes
semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat. 3+ menandakan kandungan
protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih
yang masuk dalam nephrotic range.
b) Pemeriksaan sedimen urin
Pemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies:
epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai
eritrosit, leukosit, torak hialin, dan torak eritrosit.
c) Pengukuran protein urin
Pengukuran protein urin dilakukan melalui timed collection atau
single spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan
urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan
harinya. Pada individu sehat, total protein urin ≤150 mg. Adanya
proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.
Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein
urin dan kreatinin > 2g/mol, ini mengarahkan pada kadar protein urin per
hari sebanyak ≥ 3g.
d) USG renal
Terdapat tanda-tanda glomerulonefritis kronik.
e) Biopsi ginjal
Biopsi ginjal diindikasikan pada anak dengan SN kongenital, onset
usia > 8 tahun, resisten steroid, dependen steroid atau frequent relaps, serta
terdapat manifestasi nefritik signifikan. Pada SN dewasa yang tidak
diketahui asalnya, biopsi mungkin diperlukan untuk diagnosis. Penegakan
diagnosis patologi penting dilakukan karena masing-masing tipe memiliki
pengobatan dan prognosis yang berbeda. Penting untuk membedakan
minimal-change disease pada dewasa dengan glomerulosklerosis fokal,
karena minimal-change disease memiliki respon yang lebih baik terhadap
steroid.
f) Darah:
Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai:
- Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gr/100ml)
- Albumin menurun (N:4-5,8 gr/100ml)
- ureum, kreatinin dan klirens kreatinin normal.
VIII. PENATALAKSANAAN
Tidak ada guideline dan penelitian terbaru tentang tata laksana sindrom
nefrotik pada remaja. 3
Nutrisi dan Cairan
Pasien harus membatasi intake natrium pada kisaran 3 gr per hari, dan
mungkin butuh restriksi intake cairan (<1,5 liter per hari). 3
Diuretik
Diuretik merupakan terapi medis utama, namun tidak ada bukti tentang
rekomendasi pemilihan obat maupun dosisnya. Berdasarkan pendapat yang
disepakati saat ini, diuresis ditargetkan pada penurunan berat badan 0,5-1 kg per
hari untuk menghindari gagal ginjal akut atau gangguan keseimbangan elektrolit.
Obat-obatan Loop diuretic seperti furosemid (Lasix) atau bumetanide saat ini
paling banyak digunakan. Dosis besar (80-120 mg furosemid) seringkali
dibutuhkan, dan obat-obatan ini secara tipikal harus diberikan secara intravena
karena daya absorpsi yang kurang secara oral terhadap obat-obatan tersebut dapat
menyebabkan edema intestinum. Kadar albumin serum yang rendah juga
membatasi efektivitas obat-obat diuretic dan membutuhkan dosis yang lebih
tinggi. Diuretik thiazid, potassium-sparing diuretic, atau metolazone (Zaroxolyn)
dapat berguna sebagai terapi adjuvant atau penyerta diuretik.3
ACE Inhibitors
Angitensin-converting enzyme (ACE) inhibitors telah diketahui dapat
menurunkan proteinuria dan mengurangi risiko progresifitas yang mengarah ke
penyakit ginjal pada pasien dengan sindrom nefrotik. Suatu penelitian
menemukan bahwa tidak ada peningkatan respon ketika terapi kortikosteroid
dikombinasikan dengan terapi ACE inhibitors. Dosis yang direkomendasikan pun
masih belum ada, namun dosis enalapril (Vasotec) 2,5-20 mg per hari banyak
digunakan. Pasien-pasien dengan sindrom nefrotik sebaiknya diterapi dengan
ACE inhibitiors untuk mengurangi proteinuria yang terjadi dengan memengaruhi
tekanan darah.3
Albumin
Albumin intravena telah diusulkan untuk menangani diuresis yang terjadi
karena edema dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia. Namun, tidak ada bukti
penelitian yang mengindikasikan keuntungan dari terapi dengan albumin, dan
pada keadaan yang tidak diharapkan seperti hipertensi dan edema pulmonum,
jelas membatasi terapi albumin.3
Kortikosteroid
Terapi dengan kortikosteroid masih kontroversial dalam manajemen sindrom
nefrotik pada orang dewasa. Terapi ini tidak memiliki keuntungan, namun
direkomendasikan pada beberapa pasien yang tidak berespon terhadap terapi
konservatif. Terapi pada anak dengan sindrom nefrotik berbeda, dan hal tersebut
lebih memperlihatkan bahwa anak berespon baik terhadap terapi kortikosteroid.
Secara klasik, penyakit kelainan minimal berespon lebih baik terhadap
kortikosteroid dibanding glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), dan hal ini
ditemukan pada anak dengan sindrom nefrotik primer.3
Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan
yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Pengobatan dengan
kortikosteroid dibedakan antara pengobatan inisial dan pengobatan relaps.3,5
Regimen penggunaan kortikosteroid pada SN bermacam-macam, di
antaranya pada orang dewasa adalah prednison/metilprednisolon 1-1,5 mg/kg
berat badan/hari selama 4 – 8 minggu diikuti 1 mg/kg berat badan selang 1 hari
selama 4-12 minggu, tapering di 4 bulan berikutnya. Sekitar 90% pasien akan
remisi bila terapi diteruskan sampai 20-24 minggu, namun 50% pasien akan
mengalami kekambuhan setelah kortikosteroid dihentikan.3,5
Respon klinis terhadap kortikosteroid dapat dibagi menjadi remisi
lengkap, remisi parsial dan resisten. Dikatakan remisi lengkap jika proteinuria
minimal (< 200 mg/24 jam), albumin serum >3 g/dl, kolesterol serum < 300
mg/dl, diuresis lancar dan edema hilang. Remisi parsial jika proteinuria<3,5
g/hari, albumin serum >2,5 g/dl, kolesterol serum <350 mg/dl, diuresis kurang
lancar dan masih edema. Dikatakan resisten jika klinis dan laboratoris tidak
memperlihatkan perubahan atau perbaikan setelah pengobatan 4 bulan dengan
kortikosteroid.3,5
Lipid-lowering treatment
Beberapa bukti penelitian memperlihatkan peningkatan risiko
aterosklerosis atau infark miokard pada pasien SN, yang mungkin berhubungan
dengan peningkatan kadar lipid serum. Namun, peranan terapi pada peningkatan
lipid serum masih belum diketahui. Pemilihan untuk memulai terapi dengan
penurun lipid pada pasien SN dapat digunakan jika tidak menimbulkan kerugian.3
IX. KOMPLIKASI
1. Infeksi
Penderita SN sangat rentan terhadap infeksi, yang paling sering ialah
selulitis dan peritonitis. Pada orang dewasa, infeksi yang sering terjadi adalah
infeksi gram negatif.5
2. Hipertensi
Hipertensi pada SN dapat ditemukan sejak awal pada 10-15% kasus, atau
terjadi sebagai akibat efek samping steroid.5
3. Hipovolemia
Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik
yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan
muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan
perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa
anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia diterapi dengan pemberian
cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1
g/kg berat badan. 5
4. Tromboemboli
Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh karena keadaan
hiperkoagulabilitas. Selain disebabkan oleh penurunan volume intravaskular,
keadaan hiperkoagulabilitas ini dikarenakan juga oleh peningkatan faktor
pembekuan darah antara lain faktor V, VII, VIII, X serta fibrinogen, dan
dikarenakan oleh penurunan konsentrasi antitrombin III yang keluar melalui urin.
Risiko terjadinya tromboemboli akan meningkat pada kadar albumin plasma < 2
g/dL, kadar fibrinogen > 6 g/dL, atau kadar antitrombin III < 70%. Pada SN
dengan risiko tinggi, pencegahan komplikasi tromboemboli dapat dilakukan
dengan pemberian asetosal dosis rendah dan dipiridamol. Heparin hanya diberikan
bila telah terhadi tromboemboli, dengan dosis 50 U/kg intravena dan dilanjutkan
dengan 100 U/kg tiap 4 jam secara intravena. 5
5. Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada SN meliputi peningkatan kolesterol, trigliserida,
fosfolipid dan asam lemak. Kolesterol hampir selalu ditemukan meningkat,
namun kadar trigliserida, fosfolipid tidak selalu meningkat. Peningkatan kadar
kolesterol berbanding terbalik dengan kadar albumin serum dan derajat
proteinuria. Keadaan hiperlipidemia ini disebabkan oleh karena penurunan
tekanan onkotik plasma sebagai akibat dari proteinuria merangsang hepar untuk
melakukan sintesis lipid dan lipoprotein, di samping itu katabolisme lipid pada SN
juga menurun. Hiperlipidemia pada SNSS biasanya bersifat sementara, kadar lipid
kembali normal pada keadaan remisi, sehingga pada keadaan ini cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pengaruh hiperlipidemia terhadap morbiditas dan
mortalitas akibat kelainan kardiovaskuler pada anak penderita SN masih belum
jelas. Manfaat pemberian obat-obat penurun lipid seperti kolesteramin, derivat
asam fibrat atau inhibitor HMG-CoA reduktase (statin) masih diperdebatkan. 5
X. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan terapi secara
umum baik, dan tergantung pada penyebab, usia, dan respon terhadap terapi. Pada
anak dengan SN biasanya memiliki prognosis baik. Pada anak dengan usia <5
tahun memiliki prognosis buruk dan pada orang dewasa dengan usia >30 tahun
juga lebih memiliki risiko gagal ginjal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hull RP., Goldsmith DJ., Nephrotic syndrome in adults. BMJ,
2008;336:1185-9
2. Handayani I., Rusli B., Hardjoeno, Profile of cholesterol and albumin
concentration and urine sediment based on nephritic syndrome children.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory,
2007;13(2):49-52.
3. Kodner C., Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management.
American Family Physician, 2009;80(10):1129-1134.
4. Davin JC., Rutjes NW., Nephrotic syndrome in children: From bench to
treatment. International Journal of Nephrology, 2011;1-6.
5. Prodjosudjadi W., Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed
VI. 2006;999-1003
Recommended