View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
(KAJIAN POSISI WILAYATUL HISBAH DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Listiana Dwi Nusanti
NIM: 104045201512
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PRESPEKTIF HUKUM ISLAM
(KAJIAN POSISI WILAYATUL HISBAH DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Listiana Dwi Nusanti
NIM: 104045201512
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Prof. Dr. Masykuri Abdillah.
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H /2009 M
KATA PENGANTAR
��� ا ا���� ا�����
Segala puji dan syukur hanya kepada Allah, Rabb al-‘izzati, yang senantiasa
mendengarkan keluh kesah penulis selama belajar untuk meraih cita-cita. Salawat dan
salam dimohonkan untuk Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, serta para
sahabatnya yang telah memberikan inspirasi bagi penulis untuk belajar politik
ketatanegaraan Islam.
Skripsi yang berjudul “Lembaga Kepolisian dalam Prespektif Hukum Islam
(Kajian Posisi Wilayatul Hisbah Di Nanggroe Aceh Darussalam)” ini adalah penelitian
tentang bagaimana hukum Islam memandang Lembaga Kepolisian dan Wilayatul Hisbah,
serta sejauh mana posisi antara Lembaga Kepolisian dan Wilayatul Hisbah dan posisi
keduanya dalam hukum Islam, yakni sebagai lembaga penegak hukum.
Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau penulis mengucapkan terimakasih kepada
yang terhormat :
1) Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN (Universitas Islam Negeri)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2) Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3) Asmawi, M.Ag., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Sri Hidayati,
M.Ag., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah di mana ikut mendorong
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4) Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA, yang membimbing penulis dengan penuh
kesabaran, teliti, cermat dan akurat.
5) Asmawi, M.Ag dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum yang telah menguji
skripsi dan memberikan masukan konstruktif kepada penulis.
6) Ucapan terimakasih yang mendalam juga penulis sampaikan untuk para Dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmunya selama perkuliahan.
7) Kepada Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan
Utama UIN (Universitas Islam Negeri) Syarif Hidayatullah Jakarta dan
seluruh karyawannya yang telah menyediakan berbagai literatur yang
mendukung penyusunan skripsi ini.
8) Kepada teman-teman kost an yang cuantik and narsis abiz, Vai, Elsa, Ikoh, Dj,
Neng Yuli (I Luv Forever). Sahabat terbaik penulis, Rini, Nita, Atul, Urwah
(Thanks atas doa dan support-nya). Wa bil khusus, Qoqom (yang sudah sabar
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini). Tidak lupa pula teman-
teman Aliansi Siyasah Syar’iyyah 2004 yang tidak mungkin saya sebutkan
satu persatu, terimakasih atas segala jalinan persahabatan yang telah
memberikan warna bagi kehidupan penulis.
9) Ucapan terimakasih dan doa kepada yang terhormat, Ayahanda Suwito dan
Ibunda Munarmi, Kakanda Asep, Adinda Chandra dan Sulis, terimakasih atas
motivasinya baik moril maupun materiil kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Semoga Allah membalas segala kebaikan untuk
semuanya yang jauh lebih baik.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis berharap, semoga kebaikan dan
pengorbanan yang telah diberikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah Swt.
Akhir kalimat, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dalam khazanah
keilmuan bagi kita semua.
Jakarta, 04 Maret 2009
07 Rabi’ul Awal 1430
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....................i
DAFTAR ISI………………………………………………………………….....................iv
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………….1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………..........7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………...........................7
D. Review Studi Terdahulu………………………………………………………..8
E. Metode Penelitian……………………………………………..........................10
F. Sistematika Penulisan………………………………………............................12
BAB II TINJAUAN UMUM LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM…………………………………………………………………...14
A. Pengertian Lembaga Kepolisian……………………………………………..14
B. Sejarah Lembaga Kepolisian dalam Hukum Islam………….........................17
1. Lembaga Kepolisian Pada Masa Nabi Muhammad................................21
2. Lembaga Kepolisian Pada Masa Khulafa al-Rasyidun...........................23
C. Kedudukan Lembaga Kepolisian dalam Sistem Kenegaraan ………………28
D. Hubungan Lembaga Kepolisian dengan Lembaga Pemerintahan Lain …….32
1. Hubungan Kepolisian dan Pemerintahan Daerah………………………33
2. Hubungan Kepolisian dan TNI………………………………………...36
3. Hubungan Lembaga Kepolisian dan Criminal Justice System………....38
E. Fungsi dan Wewenang Lembaga Kepolisian………………………………..40
BAB III KONSEP WILAYATUL HISBAH DAN APLIKASINYA DI NANGGROE
ACEH DARUSSALAM…………………………………………………………………..49
A. Pengertian Wilayatul Hisbah……………………………………………….49
B. Posisi Wilayatul Hisbah……………………………………………………53
C. Tugas-Tugas Wilayatul Hisbah…………………………………………….56
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN POSISI WILAYATUL HISBAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM
HUKUM ISLAM………………………………………………………………………….62
BAB V PENUTUP………………………………………………………………………...76
A. Kesimpulan………………………………………………............................76
B. Saran……….………………………………………………………….........78
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………......................80
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Lembaga kepolisian adalah bagian dari lembaga pemerintahan yang dipahami
sebagai suatu organ, lembaga atau institusi, dan bisa juga dimaknai sebagai organ
beserta fungsinya.1 Lembaga kepolisian juga merupakan suatu institusi yang
memiliki ciri universal. Ciri polisi yang bersifat universal ini dapat ditelusuri dari
sejarah lahirnya polisi. Baik polisi sebagai fungsi, maupun polisi sebagai organ. Bila
ditilik dari asal muasalnya, dahulu kepolisian adalah bagian dari ABRI.
Setelah dikeluarkannya ketetapan MPR No VI/MPR/2002 tentang pemisahan
TNI dan POLRI, ketetapan MPR No VII/MPR/2002 tentang peran TNI dan POLRI,
dan keluarnya undang-undang No 2 tahun 2002 sebagai pengganti undang-undang
No 28 tahun 1987 tentang POLRI, maka POLRI bukan lagi sebagai unsur Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), melainkan bagian dari kepolisian sipil yang
memiliki karakter dan jati diri sendiri.2
Dalam rancangan undang-undang dasar Khilafah Islamiyah versi Hizbut Tahrir
pasal 71, dijelaskan bahwa polisi itu ada dua jenis: Pertama, polisi militer yang
berada di bawah Amirul Jihad atau Direktorat Perang. Kedua, polisi yang ada di
1 Drs. Jend. Pol (Purn) Kunarto, Etika Kepolisian, (Jakarta; Cipta Manunggal, 1997), h 60
2 Dr. Sadjijono, SH, M. HUM, Mengenal Hukum Kepolisian Prespektif Kedudukan dan
Hubungannya Dalam Hukum Administrasi, (Surabaya; Laks Bang MEDIATAMA, 2008), h 194
bawah penguasa untuk menjaga keamanan. Polisi ini berada di bawah Direktorat
Keamanan Dalam Negeri.3
Menurut undang-undang No 2 tahun 2002 pasal 8 ayat (1) tentang kepolisian
negara Republik Indonesia, kedudukan kepolisian itu berada di bawah Presiden.4
Tugas dan wewenangnya terdapat dalam pasal 13 yaitu: Pertama, pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat yang biasa disebut sebagai fungsi “sicherheits
politizei”. Kedua, penegakan hukum. Ketiga, adalah memberikan perlindungan,
pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.5
Berdasarkan ketiga tugas pokok tersebut, maka kepolisian mempunyai
hubungan erat dengan kekuasaan kehakiman. Karena salah satu tugas kepolisian
adalah menegakkan hukum. Dalam sifat peradilan pidana, penegakan hukum oleh
kepolisian dilakukan dengan langkah penyelidikan yang dapat dilakukan dengan
penyidikan. Kemudian kejaksaan yang melanjutkannya dengan penuntutan di
persidangan.
Sebagai dari sistem administrasi hukum, memang polisi, bersama-sama dengan
jaksa dan hakim, disebut sebagai aparat atau badan penegak hukum, tetapi karena
kedudukannya yang cukup unik sebagaimana diuraikan diatas, maka terdapat
3 Taqiyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, (Jakarta; Hizbut Tahrir Indonesia,
2008), h 161
4 UU No 2 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah R.I No 12 Tahun 2007, Tentang Kepolisian,
(Bandung: Citra Umbara, 2007), h 6
5 Ibid, h 8
perbedaan menarik di antara badan tersebut. Apabila sistem administrasi keadilan
dalam perkara pidana merupakan suatu rangkaian proses kegiatan yang panjang,
maka masing-masing badan tersebut menjalankan fungsi-fungsinya itu dalam ikatan
mata rantainya masing-masing.6
Beranjak dari konsep tersebut, dalam Islam kita mengenal adanya wilayatul
hisbah yaitu sebagai badan yang melakukan pengawasan, pemberi ingat dan
pencegahan atas pelanggaran syariat Islam, atau bisa juga merupakan badan
pengawasan yang bertugas melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengingatkan
masyarakat mengenai aturan-aturan syari’at.7
Dari uraian tersebut barangkali kewenangan yang hampir mirip dengan polisi
syariat yang ada di Aceh dalam pelaksanaan syariat Islam adalah wilayatul hisbah.
Meskipun demikian tidak seluruh tugas dan wewenang wilayatul hisbah ini menjadi
tugas dan wewenang polisi syariat, karena ada urusan-urusan tertentu seperti air
minum, bangunan dan jalan umum, urusan ternak serta timbangan, telah ada
lembaga atau dinas lain yang mengurus secara khusus.
Tugas pokok polisi syariat yang terpenting adalah menjaga terpeliharanya
ketertiban umum dan kesusilaan serta tegaknya amar ma’ruf nahi munkar secara
6 Mocthar Lubis, Citra Polisi, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1998), h 176
7 Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung
Qanun Pelaksanaan Syariat Islam ), (Banda Aceh; Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005), h 92
baik, barangkali tugas yang mendesak bagi polisi syariat di Aceh adalah mengontrol
pelaksanaan syariat yang terakomodir dalam suatu bingkai terbuka dan demokratis.8
Adapun dalil atau akar tentang keberadaan lembaga ini dimulai dengan beberapa
praktek yang terjadi pada masa Rasulullah SAW sendiri. Sebagian ulama merujuk
kepada peristiwa penghancuran berhala-berhala di sekitar Masjidil Haram dan kota
Mekkah oleh beberapa orang sahabat di bawah pimpinan Ali bin Abi Thalib setelah
futuh (penaklukan) Mekkah, serta penunjukan Sa’id bin ‘Ash sebagai pengawas
pasar di Madinah, yang bertugas menjaga dan memeriksa keakuratan alat timbangan
dan takaran, keaslian uang yang digunakan, sebagai salah satu dalil tentang adanya
tugas pengawasan yang diemban oleh lembaga wilayatul hisbah. Pada masa
Khulafa’ur Rasyidin keberadaan kegiatan pengawasan dan pencegahan pelanggaran
syariat (amar ma’ruf nahi munkar) semakin formal dan melembaga. Terdapat
beberapa catatan mengenai hal ini, seperti kegiatan pengawasan dan dilakukan Abu
Bakar terhadap berbagai kegiatan di pasar. Pada masa Umar bin Khatab pemisahan
kewenangan peradilan (umum) dengan wilayatul hisbah semakin jelas, karena
beliau menunjuk beberapa orang menjadi muhtasib (petugas wilayatul hisbah)
untuk mengawasi pasar dan mengawasi perilaku masyarakat dalam hal yang
berhubungan dengan ketertiban umum (kesalehan, kejujuran, kesopanan, dan
8 Prof. Dr. H Rusjdi Ali Muhammad, SH, MA, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh Problem, Solusi
dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, (Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 2003), h
188-189
sebagainya), yang sebagian dari anggotanya adalah perempuan (misalnya Umm asy-
Syifa).
Setelah masa Khulafa’ur Rasyidin, bentuknya lebih sistematis dengan
kewenangan yang semakin jelas, dimulai oleh salah seorang khalifah Bani ‘Abbas
yaitu al-Mahdi (159 – 169 H). Pada masa khalifah inilah badan yang bertugas dan
diberi kewenangan menangani masalah amar ma’ruf nahi munkar ini diberi nama
wilayatul hisbah sedang para petugasnya diberi nama muhtasib (muhtasibah).9
Secara fungsional wilayatul hisbah adalah lembaga pembantu tugas kepolisian
yang bertugas membina, melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar
ma’ruf nahi munkar dan dapat berfungsi sebagai polsus (polisi khusus) dan PPNS.10
Yang dimaksud dengan polisi khusus di sini adalah instansi atau badan
pemerintahan yang oleh peraturan perundang-undangan diberi wewenang untuk
melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing. Misalnya Balai
Pengawas Obat dan Makanan, polisi kehutanan, polsus di lingkungan imigrasi dan
lain-lain.11
Jadi sebenarnya wilayatul hisbah itu bukanlah polisi syari’at, melainkan lebih
kepada lembaga pengawas dan pembinaan yang seharusnya menghadapi masyarakat
9 Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung
Qanun Pelaksanaan Syariat Islam ), (Banda Aceh; Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005), h 93 10 Qanun No 11 Tahun 2004, Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, (Banda Aceh; Badan Pengelola Data Eletronik Prov. NAD, 2004).h 6
11 Prof. Dr. H. Al Yasa Abubakar, MA, Syariat Islam di Provinsi NAD Paradigma Kebijakan
dan Kegiatan, (Banda Aceh; Dinas Provinsi NAD, 2005), h 371.
dengan menggunakan kharisma pribadi yang dimiliki, mengadu argumen dengan
masyarakat dengan selalu bersenjatakan Al-Qur’an dan Hadits serta Qanun.
Pelaksanaan syariat Islam ini tidaklah memunculkan ketakutan kepada wilayatul
hisbah, tetapi lebih kepada melahirkan keseganan karena muhtasib-nya adalah
orang-orang yang dapat dijadikan sebagai uswatun khasanah yang mempunyai
moral tinggi dan memahami hukum dalam penegakan syariat Islam.
Berdasarkan pemikiran di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
skripsi “LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Kajian posisi wilayatul hisbah di Nanggroe Aceh Darussalam)” sebagai bahan
kajian perbandingan hukum mengenai Lembaga Kepolisian dan Posisi Wilayatul
Hisbah di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan dalam latar belakang masalah,
penulis membatasinya pada Posisi lembaga kepolisian dan Wilayatul Hisbah jika
dilihat dari perspektif hukum Islam.karena antara lembaga kepolisian dan
wilayatul hisbah mempunyai persamaan dan perbedaan.. dan penulis
merumuskannya ke dalam:
1. Apa yang menjadi tugas dan wewenang lembaga kepolisian dan wilayatul
hisbah?
2. Bagaimanakah lembaga kepolisian dalam hukum Islam?
3. Bagaimanakah perbandingan hukum Islam tentang posisi wilayatul hisbah
di Aceh dan lembaga kepolisian di Indonesia?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui tentang lembaga kepolisian dalam hukum Islam
2. Untuk mengetahui tentang konsep wilayatul hisbah dan aplikasinya di
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
3. Untuk menganalisis tentang perbandingan posisi wilayatul hisbah di
Nanggroe Aceh Darussalam dan yang berkaitan.
Adapun manfaat yang diharapkan penulis adalah:
1) Dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan bagi penulis, pembaca, serta
masyarakat akan pentingnya lembaga kepolisian di Indonesia dan wilayatul
hisbah di Nanggroe Aceh Darussalam.
2) Dapat mengetahui apa saja yang menjadi kewenangan dari lembaga
kepolisian dan wilayatul hisbah.
3) Secara akademis dapat bermanfaat bagi para akademisi Fakultas Syari’ah
dan Hukum pada umumnya, dan dapat menjadi salah satu referensi dalam
program studi siyasah syar’iyyah mengenai posisi wilayatul hisbah dan
lembaga kepolisian dalam hukum Islam.
Review Studi Terdahulu
Sejumlah penelitian tentang lembaga kepolisian dan wilayatul hisbah memang
sudah dilakukan. Hanya saja yang secara spesifik merupakan tinjauan lembaga
kepolisian adalah karya Furkon Maulana Yusuf dari Fakultas Syariah dan Hukum
tahun 2007, dalam skipsinya yang berjudul Kedudukan Militer Di Indonesia Dalam
Tinjauan Hukum Positif Dan Hukum Islam. Dalam literatur ini dijelaskan
Bagaimana Sejarah dan Dasar-Dasar militer bisa ada jika dilihat dari sudut pandang
hukum positif dan hukum islam. Serta dimana letak Persamaan dan Perbedaan
pandangan hukum positif dan hukum islam terhadap kedudukan militer di
Indonesia.
Selain skripsi, literatur mengenai wilayatul hizbah juga ditemukan penulis
dalam beberapa buku :
1. Buku yang berjudul Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
paradigma kebijakan dan kegiatan memuat tentang dasar hukum
pelaksanaan syari’at Islam di provinsi NAD, dan paradigma pelaksanaan
syari’at Islam di provinsi NAD, serta Qanun-qanun syari’at Islam dan
pelaksanaanya di provinsi NAD yang salah satunya menjelaskan tentang
bagaimana hubungan antara mahkamah syari’ah dengan kepolisian dan
kejaksaan, dan bagaimana pula hubungan wilayatul hisbah dengan lembaga
adat dan lembaga penegakan hukum.
2. Buku yang berisi Qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 tahun
2004, memuat tentang tugas fungsional daripada kepolisian daerah
Nanggroe Aceh Darussalam dan penjelasanya.
3. Buku yang berjudul “Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam”
(Pendukung qanun pelaksanaan syari’at Islam), membahas penjelasan
tentang wilayatul hisbah, dan perspektif masyarakat Aceh mengenai
Mahkamah Syari’ah. Serta tugas dan wewenang kepolisian di provinsi
Nanggroe Aceh Darusslam, sehubungan dengan undang-undang no 18 tahun
2001.
4. Buku “Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh Problem, Solusi dan Implementasi
Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam”,
memuat tentang upaya realisasi syari’at Islam di Aceh, yang isinya
berkenaan dengan lembaga wilayatul hisbah dan pengawasan. Serta
pengertian daripada wilayatul hisbah dan polisi syari’at.
5. Buku Mengenal hukum kepolisian, perspektif kedudukan dan hubungannya
dalam hukum administrasi, memuat tentang: kedudukan dan karakteristik
hukum kepolisian si Indonesia. Disamping itu buku ini juga mengkaji secara
dalam tentang kedudukan hukum kepolisian dan keterkaitannya dengan
hukum administrasi, yang lebih spesifiknya lagi tentang kedudukan lembaga
kepolisian dalam ketatanegaraan Indonesia. Perlu kita ketahui bahwa hukum
kepolisian merupakan dari hukum administrasi yang eksistensinya tidak
dapat dipisahkan dengan hukum administrasi sebagai hukum dasar dalam
penyelenggaraan pemerintah.
Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam pengumpulan data-data yang
diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya sesuatu yang
dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau lebih tepatnya
“pengetahuan yang benar” dimana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat
dipakai untuk menjawab pertanyaan atau pengetahuan tertentu.12
Penelitian ini
dimaksudkan untuk menggali peran lembaga kepolisian di Indonesia dan wilayatul
hisbah di Nanggroe Aceh Darussalam dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
penelitian yang berbentuk studi deskriptif kualitatif yang berusaha
mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris. Sedangkan pendekatan
empiris diharapkan dapat menggali data dan informasi sebanyak mungkin
tentang kedudukan lembaga kepolisian.
2. Teknik Pengumpulan Data
12 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta; PT. Grafindo Persada, 1997), h 27-
28
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan teknik pengambilan
instrumen data dengan metode kepustakaan atau studi pustaka (library
research). Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
Pertama, data kumulatif : yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kalimat atau
uraian.
Kedua, data primer : yang mencakup UU RI No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan
Pemerintah RI No.12 Tahun 2007 tentang Kepolisian.
Ketiga, data tersier : buku, kamus, ensiklopedia, artikel, koran, majalah, situs
internet, jurnal politik dan pemerintahan serta makalah-makalah yang berkaitan
dengan lembaga kepolisian dan wilayatul hisbah.
3. Teknik Analisis Data
Semua data yang terkumpul kemudian di identifikasi peneliti mulai dengan
mengolah data yang ada secara kualitatif dengan analisa deskriptif, sehingga
data yang dihasilkan berupa pemaparan yang bersifat pengamatan.13
4. Teknik Penulisan
Untuk teknik penulisanya, penulis berpedoman pada buku petunjuk “pedoman
penulisan skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta 2007.
13 M. A. Moleong J. Lexy, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Roda Karya.
2004) h.6.
Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi saya ini, penulis
menyusun melalui sitematika penulisan yang terdiri dari lima bab, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM HUKUM
POSITIF DAN HUKUM ISLAM
Dalam sub babnya memuat tentang pengertian lembaga kepolisian, sejarah
lembaga kepolisian dalam hukum Islam, kedudukan lembaga kepolisian
dalam ketatanegaraan, hubungan lembaga kepolisian dengan pemerintahan
lain seperti hubungan lembaga kepolisian dan pemerintahan daerah,
hubungan lembaga kepolisian dan TNI, hubungan lembaga kepolisian dan
Criminal Justice System, serta fungsi dan wewenang lembaga kepolisian.
BAB III KONSEP WILAYATUL HISBAH DAN APLIKASINYA DI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Pada bab ini memuat, pengertian wilayatul hisbah, Posisi wilayatul hisbah,
serta tugas-tugas wilayatul hisbah.
BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN POSISI WILAYATUL HISBAH
NANGGROE ACEH DARUSSALAM DAN LEMBAGA KEPOLISIAN
DALAM HUKUM ISLAM
BAB V PENUTUP
Pada bab ini memuat tentang kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II
TINJAUAN UMUM LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN
HUKUM ISLAM
A. Pengertian Lembaga Kepolisian
Beberapa penulis telah mencoba menelusuri dan mengartikan tentang istilah
kepolisian, baik ditinjau dari segi etimologis maupun terminologis. Secara teoritis
pemaknaan terhadap suatu istilah dapat dipengaruhi oleh konsep berfikir, cara
pandang dan pendekatan yang dilakukan serta perkembangan-perkembangan yang
terjadi, baik perkembangan sosial, budaya, bahasa maupun kebiasaan-kebiasaan dari
suatu bangsa atau Negara. Oleh karena itu pemaknaan istilah “polisi” dan “lembaga
kepolisian” pun menjadi berkembang dengan pengaruh di atas, sehingga perbedaan
makna yang terjadi menjadi suatu wacana tersendiri.
Ditinjau dari segi etimologis istilah polisi di beberapa negara memiliki
ketidaksamaan, seperti di Yunani istilah polisi disebut “politela”, di Inggris
“police” juga dikenal adanya istilah “constable”, di Jerman “polizei”, di America
dikenal dengan “sheriff”, di Belanda “Politei”, di Jepang dengan istilah “koban”
dan “chuzaisha”, walaupun sebenarnya istilah koban adalah merupakan suatu nama
pos polisi di wilayah kota dan chuzaisha adalah pos polisi di wilayah pedesaan.14
14 Dr Sadjijono, SH, M,Hum, Mengenal Hukum Kepolisian Prespektif Hubungannya Dalam
Hukum Administrasi, (Surabaya: LaksBang MEDITAMA: 2006), h 1-2.
Jauh sebelum istilah polisi lahir sebagai organ, kata “polisi” telah dikenal dalam
bahasa Yunani, yakni “politea”. Kata “politea” digunakan sebagai judul buku
pertama Plato, yakni "politea" yang mengandung makna suatu negara yang ideal
sekali sesuai dengan cita-citanya, suatu negara yang bebas dari pemimpin negara
yang rakus dan jahat, tempat keadilan dijunjung tinggi 15
Kemudian dikenal sebagai suatu bentuk negara, yaitu negara polisi (polizeistaat)
yang artinya negara yang menyelenggarakan keamanan dan kemakmuran atau
perekonomian, meskipun negara polisi tersebut dikenal dua konsep polisi (polizei),
yakni sicherheit polizei yang berfungsi sebagai penjaga tata tertib dan keamanan,
dan verwaltung polizei atau wahlfart polizei yang berfungsi sebagai penyelenggara
semua kebutuhan hidup warga negara16
, dilihat dari sisi historis, istilah “polisi” di
Indonesia tampaknya mengikuti dan menggunakan istilah “politie” di Belanda. Hal
ini sebagai akibat dan pengaruh dari bangunan sistem hukum Belanda yang banyak
dianut di Negara Indonesia
Raymond B. Fosdick, memberi pengertian lembaga kepolisian adalah sebagai
kekuatan konstitusi utama untuk melindungi individu-individu dalam hak-hak
15 Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya
(Jakarta: UI Pres, 1995), h 19.
16 Ibid, h 44.
hukum mereka.17
Selain sebagai kekuatan konstitusi Encyclopedia Britanica,
mengartikan lembaga kepolisian sebagai lembaga yang memelihara ketertiban
umum dan memberikan perlindungan kepada orang-orang serta miliknya dari
keadaan yang menurut perkiraan dapat merupakan satu bahaya atau gangguan
umum dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum.18
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, lembaga kepolisian adalah urusan polisi
atau segala sesuatu yang bertalian dengan polisi19
dalam undang-undang No. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada pasal 1, kepolisian
adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dalam pasal 2 fungsi kepolisian adalah
salah satu fungsi pemerintah negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.20
17 Bruce Smith, police systems is United States, (New York: Harpher Brothers Publisher, 1949),
h 15, menyebutkan : the police as the primary constitusional force for the protection of individuals in
their legal rights.
18 (Encyclopedia Britanica, Volume XVIII, 1968, hal 158, menyebutkan : the term police means
the maintenance of public order and the protection of person and property from the hazards of
public accidents and the commission of unlawful acts
19 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, (Jakarta; Balai Pustaka, 1994), h
780.
20 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah R.I No 12 Tahun 2007, Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h 2.
Dari arti istilah polisi ataupun lembaga kepolisian di atas bila diinterpretasi,
maka lembaga kepolisian dalam arti formal, mencakup penjelasan tentang
organisasi dan kedudukan daripada instansi kepolisian. Sedangkan lembaga
kepolisian dalam arti materiil memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan
tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya/gangguan keamanan dan
ketertiban, baik dalam rangka kewenangan kepolisian umum maupun melalui
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peraturan (undang-undang tentang
kepolisian khusus).21
B. Sejarah Lembaga Kepolisian Dalam Hukum Islam
Pada masa sebelum datangnya Islam, di Jazirah Arab telah mempunyai berbagai
macam agama, adat istiadat, ahlak dan peraturan-peraturan hidup. Bila dilihat dari
asal usul keturunan , penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu Qahthaniyun (keturunan Qahthan) dan Adnaniyun (keturunan Ismail ibn
Ibrahim). pada mulanya wilayah utara diduduki golongan ’Adnaniyun, dan wilayah
selatan didiami golongan Qahthaniyun. Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan
itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari Utara ke Selatan atau sebaliknya.
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya
kesukuan badui. Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam
suatu rentang komunitas yang luas.beberapa kelompok keluarga membentuk kabilah
21 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta : CV Sandaan, 1984), h 24.
(clan).sedang beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan dipimpin
oleh seorang syaikh. Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga
kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah
atau suku.Mereka suka berperang. Karena itu, peperangan antarsuku sering terjadi
kali terjadi.peperangan-peperangan itu pada asal mulanya ditimbulkan oleh
keinginan memelihara hidup, karena hanya siapa yang kuat sajalah yang berhak
memiliki tempat-tempat yang berair dan padang-padang rumput tempat
menggembalakan binatang ternak.Adapun si lemah, dia hanya berhak mati atau jadi
budak.22
Peperangan-peperangan itu menghabiskan waktu dan tenaga, karena itu mereka
tidak mempunyai waktu dan kesempatan lagi untuk memikirkan kebudayaan. Dan
bilamana di antara mereka dapat bekerja, menciptakan dan menegakan suatu
kebudayaan, datanglah orang lain memerangi dan meruntuhkannya,23
karena itu
pada zaman ini keamanan dan ketertiban dilakukan langsung oleh seorang Syakh
atau amir (ketua kabilah).
Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan mendiami
pesisir Jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas. Mereka selalu
mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengintarinya.mereka
22 Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Grafindo
Persada: 2004) h 10-11.
23 Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah Kebudayan Islam, (Jakarta: Anggota IKAPI: 1994) h 30
mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan, sampai
kehadiran Nabi Muhammmad. Di sebelah utara Jazirah juga pernah berdiri
kerajaan-kerajaan. Tetapi, kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan kerajaan
protokorat. Ini terjadi karena kafilah-kafilah Romawi dan Persia selalu mendapat
gangguan dari suku-suku Arab yang memeras dan merampoknya. Untuk melindungi
kafilah-kafilah itu, atas inisiatif kerajaan besar tersebut didirikanlah kerajaan Hirah
di bawah perlindungan Persia dan kerajaan Ghassan di bawah perlindungan romawi.
Bagian lain dari daerah Arab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa
lain, baik karena sulit dijangkau maupun karena tandus dan miskin, adalah Hijaz.
Kota terpenting di daerah ini adalah Makkah, kota suci tempat ka’bah berdiri.
ka’bah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut
agama asli Makkah. Tetapi juga, oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di
sekitarnya.
Untuk mengamankan yang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan
yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum sebagai
pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai
pemegang kekuasaan atas nama ka’bah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke
suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai. Suku
terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik.ada sepuluh jabatan
tinggi yaitu hijabah, penjaga kunci-kunci ka’bah; siqayah,pengawas mata air
zamzam; diyat, kekuasaan hakim sipil dan kriminal; sifarah, kuasa usaha negara
atau duta; liwa, jabatan ketentaraan; rifadah, pengurus pajak untuk orang miskin;
nadwah, jabatan ketua dewan; khaimmah, pengurus balai musyawarah; khazinah,
jabatan administratif keuangan; dan azlam, penjaga panah peramal untuk
mengetahui pendapat dewa-dewa.24
Periode inilah Peperangan atau penyergapan suku-suku Arab dalam
mempertahankan dan membela kelompoknya yang menghiasi sejarah Islam klasik
merupakan cikal bakal atau periode awal terbentuknya sistem lembaga kepolisian
dan wilayatul hisbah sebagai lembaga yang menegakan amar maruf nahi
munkar..Lembaga kepolisian tidak saja berfungsi sebagai kekuatan Islam dalam
mengembangkan misi sucinya, tetapi lembaga kepolisian juga menjadi bagian
kekuatan negara Islam.25
Di sisi lain, institusi wilayatul hisbah bukanlah lembaga baru dalam tradisi
Negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung pondasinya oleh Rasulullah Saw,
beliaulah muhtasib (petugas yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam
Islam. Seringkali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktivitas jual beli.
Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum yang berlaku curang
dengan menimbun gandum basah dan meletakkan gandum yang kering di atas.
24 Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Grafindo
Persada: 2004) h 12-14.
25 Imam Yahya, Tradisi Militer Dalam Islam (Yogyakarta: Logus Pustaka, 2004), h 25.
Beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan berlaku jujur, "barang siapa
yang menipu maka ia tidak akan termasuk golongan kami"26
1. Lembaga Kepolisian Pada Masa Nabi Muhammad
Pada awal pertama dakwah Islam di Makkah, Nabi Muhammad tidak
diperkenankan untuk melakukan peperangan.27
Dakwah Islam dilakukan dengan
persuasif. Komunitas muslim di Makkah belum cukup kuat untuk
mendeklarasikan ajaran-ajaran Islam secara transparan. Berbagai hambatan dan
tantangan datang silih berganti dari suku Quraish Makkah, bahkan tidak sedikit
kerabat Nabi Muhammad sendiri menjadi musuh Islam.
Pada tahun 622 M, Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah dan
membangun masyarakat muslim yang lebih kuat. Memasuki tahun ke-2 H (624
M), Madinah menghadapi serangan kaum musyrik dalam perang Badar yang
dimenangkan oleh tentara Islam. Dalam perang pertama kali Nabi dan
pengikutnya harus lebih dahulu bermusyawarah untuk menentukan strategi
dalam memenangkan suatu pertempuran. Satu tahun kemudian 625 M,
rombongan tentara Makkah melakukan serangan balik dengan kemenangan di
pihak Makkah dalam perang Uhud. Pada tahun 627 M, setelah perang Uhud,
26 Hafas Furqani, Wilayatul Hisbah, http:// www.acehinstitute.org / Frot-html, artikel
diakses 20 july 2008.
27 Ibnu Taimiyah, Al- Siyasat Al-Syar’iyyah fi Islahi Al-Raiyyah, (Mesir: Dar Al-Kitab Al –
Araby, 1969), h 54
pasukan Makkah mengalami kekalahan akibat taktik perang yang dilakukan
kaum muslimin dengan menggali parit (khandaq).
Pada tahun 628 M, Nabi melakukan perjanjian damai antara suku Quraisy
Makkah dengan kaum muslimin Madinah yang dikenal dengan perjanjian
Hudaibiyah. Pasca perjanjian Hudaibiyah, Islam semakin maju dan banyak
kaum Makkah yang masuk Islam. Namun perjanjian damai tersebut dilanggar
oleh kaum Quraisy Makkah, pada tahun 630 M, Nabi dan kaum muslimin
membalas dengan menyerang kota Makkah tanpa pertumpahan darah dan kaum
muslimin menguasai Makkah.
Kemenangan angkatan perang pada masa Nabi yang merupakan
perkembangan mendasar berkaitan dengan kebijakan tentang lembaga
kepolisian yang menandakan era baru lembaga kepolisian, dimana lembaga
kepolisian mempunyai kekuasaan penuh dalam mengatur keamanan negara.
Nabi sebagai kepala agama sekaligus sebagai kepala pemerintahan hanya
memberikan kebijakan-kebijakan global yang berkaitan dengan aktifitas
lembaga kepolisian.
Pengangkatan panglima perang pertama kali terjadi pada Ramadhan 1
H/Maret 623 M, enam bulan setelah hijrah Nabi dan terakhir kali terjadi pada
Rabiu Tsani I 1 H/632 M. Ada 72 kali pengangkatan pemimpin perang dengan
jumlah pemimpin perang yang dipercaya 47 orang.28
Pengangkatan ini
dilakukan secara sementara atau satu kali perang. Pengangkatan panglima
perang itu dilakukan terhadap perang yang tidak diikuti oleh Nabi (sariyah)
disekitar wilayah Madinah.
2. Lembaga Kepolisian pada masa Khulafaur Rasyidun
Pada saat Nabi meninggal dunia, organisasi politik negara Madinah
mengahadapi persoalan krusial. Pertama, Al-Qur'an sebagai sumber pokok
ajaran Islam telah dianggap selesai, karena tidak turun lagi. Untuk
memberikan jawaban atas persolaan yang muncul maka diperlukan tafsir atas
teks Al-Qur'an. Kedua, tidak adanya, pengganti yang dipersiapkan sebelum
Nabi meninggal. Ketiga, muncul pertentangan antara kaum Anshar dan
Muhajirin tentang pemimpin setelah Nabi.
Setelah musyawarah di Tsaqifah, Bani Saidah sepakat mengangkat Abu
Bakar sebagai kepala agama sekaligus kepala pemerintahan sekaligus sebagai
panglima perang tertinggi. Tugas politik pertama yang harus dihadapi adalah
28 Para ulama dan sejarawan berbeda pendapat tentang berapa kali peristiwa perang yang
diikuti oleh Nabi (Ghazwah) dan beberpa peperangan yang tidak diikuti oleh Nabi (sariyah).
Imam Yahya, Tradisi Militer Dalam Islam (Yogyakarta: Logung Pustaka, 200), h. 40.
banyaknya komunitas muslim yang meninggalkan agamanya (riddah)
sepeninggalnya Nabi.29
Abu Bakar dibantu Umar bin Khattab meyakinkan umat
muslim bahwa 'nabi-nabi' baru harus ditumpas sampai habis. Khalid bin Walid
yang pada waktu perang Uhud menjadi musuh tangguh Islam diangkat menjadi
panglima perang bagi seluruh umat Islam.30
Di mana Khalid bin Walid menjadi
panglima perang yang membawahi panglima-panglima dibawahnya.
Umar bin Khatab adalah khalifah kedua (634-644 M), Abu Bakar
mengharapkan Umar menjadi penggantinya baik sebagai pemimpin Negara
sekaligus pemimpin angkatan perang. Beberapa kebijakan yang mendapat
perhatian serius diantaranya; pengembangan daerah kekuasaan Islam,
pembenahan birokrasi pemerintahan, pembentukan Lembaga Kepolisian dan
pengembangan demokrasi. Keinginan ini didasarkan atas perkembangan negara
Islam yang semakin lama menyebar Seantero Jazirah Arabia.
29 Para ulama salaf menyalakan bahwa riddah yang terjadi pada saat pengangkatan Abu
Bakar karena persoalan agama yang sebelumnaya belum dimengerti secara penuh. Sementara
para sarjana kontemporer memandang bahwa riddah di sini tidak saja berimplikasi pada
agama tetapi juga dengan politik kenegaraan. Menurut Karen Amstrong, riddah pada masa Abu
Bakar berdomensi politik dan ekonomi. Masuknya suku Badui Makkah kedalam Islam lebih
pada faktor ekonomi politik dan Nabi pada saal itu memandang masuknya suku Badui lebih
karena tekanan politik bukan religius. Lihat Hudhari Beik, Al-Wafafi Sirath Al-Khulaha, Beirut:
Dar Al-Fikr, TT, Karen Amstrong, Islam a Short History (New York: A Modern Library
Cronical Book, 2000)
30 Fred McGraw Donner. The Early Islamic Conguest ,Princenton, (Princenton University
Press, I981), h. 73.
Beliau adalah orang yang pertama kali membangun struktur politik
kenegaraan dengan adanya gubernur sebagai financial officer harus
menyerahkan uang kepada khalifah. Struktur pemerintahan akan berjalan
dengan baik manakala ada sistem keuangan negara, termasuk mengatur sistem
keuangan lembaga kepolisian dibawah kendali negara.31
Struktur kenegaraan
yang mengatur tentang lembaga kepolisian berbentuk diwan al-Ahdats (jawaban
kepolisian).diwan al-jund (jabatan militer) yang berkewajiban menginventalisir
dan mengelola administrasi ketentaraan. serta Didirikannya Lembaga
Kepolisian, dan militer (diwan) yang merupakan pusat bantuan negara dalam
masalah memelihara ketertiban umum dan menindak pelanggar hukum yang
kemudian diadili oleh qadhi ( hakim ).32
Kebijakan lain yang diterapkan Umar
adalah menempatkan tentara-tentara muslim di daerah-daerah kota garis depan
dan pembentukan garnisum (amsar).
Pada periode ini, lembaga kepolisian juga memiliki fungsi sebagai penjaga
keamanan dalam negeri dan amirul jihad. Departemen Keamanan Dalam
Negeri ditangani oleh satu departemen yang dinamakan Departemen Keamanan
Dalam Negeri. Departemen ini dikepalai oleh Mudir Keamanan Dalam Negeri
(Mudir al-Amni ad-Dakhili).departemen ini memiliki cabang di setiap wilayah
31 Edmund Bosworth, Annies of The Prophet dalam Bernard Lewis, The World of Island;
people, Culture, (London: Thames and Hudson, 1979), h. 78
32 Dr. J. Suyuti Pulungan, M.A., Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1994), h 13.
yang dinamakan Idarah al-Amni ad-Dakhili (Administrasi Keamanan Dalam
Negeri) yang dikepalai oleh kepala kepolisian wilayah ( Shahib asy-Syurthah al-
Wilayah).cabang ini di bawah wali dari sisi tanfidz (pelaksana eksekusi), tetapi
dari sisi administrasi berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri.33
Departemen Peperangan merupakan salah satu instansi Negara. Kepalanya
disebut Amir al-Jihad dan tidak disebut Mudir al-Jihad (Direktur Jihad). Hal itu
karena Rasulullah saw.menamakan komandan pasukan sebagai amir. Ibn Sa’ad
telah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw.pernah bersabda:
�� �� أ�� �� ��, أم��ا���س زی� ا�� ��ر��� �%)ن���ت& ا%�$ن "! �, �$ن "! �
�)�%* +(%�� . ���(� رج ��
Yang menjadi amir atas orang-orang adalah Zaid bin Haritsah. Jika ia gugur maka Ja’far bin
Abi Thalib; Jika ia gugur maka Abdullah bin Rawahah; Jika ia gugur maka hendaklah kaum
Muslim memilih salah seorang laki-laki diantara mereka lalu mereka jadikan sebagai amir
yang memimpin mereka.34
Terpilihnya Utsman bin Affan (644-656 M), sebagai khalifah setelah Umar
tidak memberikan nuansa baru dalam pemerintahan negara Islam35
karena
perkembangan sistem organisasi lembaga Kepolisian selama pemerintahan
Utsman tidak banyak mengalami perubahan yang berani.
33 Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan & Administrasi), (Jakarta: HTI
Press: 2006) h. 153
34
Ibid., h. 139
35 Hugh Kennedy, The Prophet and The Age of The Chalipates: The Islamic Near East from
o The Eleven Century, (London: Longham, 1956), h. 120s
Sama seperti pendahulunya, pemerintahan Ali bin Abi Thalib tidak
meninggalkan sistem organisasi Lembaga Kepolisian yang lebih baik dari
Khalifah Umar dan Utsman. Pemerintahan Ali diwarnai perang sipil antar umat
muslim, perang yang dikenal dengan perang Unta (Jamal) 656 M.
Setelah masa Khulafa’ur Rasyidin, bentuknya lebih sistematis dengan
kewenangan yang semakin jelas, dimulai oleh salah seorang khalifah Bani
‘Abbas yaitu al-Mahdi (159 – 169 H). Pada masa khalifah inilah badan yang
bertugas dan diberi kewenangan menangani masalah amar ma’ruf nahi munkar
ini diberi nama wilayatul hisbah sedang para petugasnya diberi nama muhtasib
(muhtasibah).36
Dalam perkembangan sejarahnya, lembaga kepolisian dan wilayatul Hisbah
masih tetap ada di negeri-negeri Islam yang di kuasai kerajaan Ottoman (Turki
Usmani) sampai hancurnya kerajaan tersebut pada tahun 1922. Dewasa ini
Negara islam yang masih melestarikan lembaga kepolisian dan wilayatul hisbah
antara lain adalah Arab Saudi, berdasarkan keputusan kerajaan Arab Saudi
tanggal 3-9-1396 H, dan kerajaan Maroko, berdasarkan Undang-Undang Nomor
20/82 tanggal 21 Juni 1982. sekalipun lembaga hisbah ini tidak ada lagi di
beberapa Negara Islam, termasuk Indonesia, tetapi tugas amar maruf nahi
36 Prof. Dr. Al Yasa Abubakar, MA, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung
Qanun Pelaksanaan Syariat Islam ), (Banda Aceh; Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2005),
h 93
munkar masih tetap berjalan.wewenang lembaga hisbah ini terpencar di
berbagai departemen.37
C. Kedudukan Lembaga Kepolisian Dalam Sistem Ketatanegaraan
Di dalam mengkaji kedudukan kepolisian dalam sistem ketatanegaraan ini,
mendekatkan pada suatu pengertian yang dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon
dalam mengartikan istilah kedudukan lembaga negara, bahwa pertama kedudukan
diartikan sebagai posisi suatu lembaga negara dibandingkan lembaga lain, aspek
kedua kedudukan adalah posisi suatu lembaga negara didasarkan pada fungsi
utamanya. Dari arti kedudukan tersebut, pembahasan kedudukan kepolisian dalam
bab ini didekatkan pada arti kedudukan sebagai posisi lembaga didasarkan pada
fungsi utamanya.
Berdasarkan rumusan pasal 2 Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang Porli,
fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Di sisi lain tugas pokok kepolisian yang dimaknai sebagai fungsi utama
kepolisian sebagaimana telah dijelaskan di muka, dijalankan tertuju pada
terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat yang merupakan salah satu
37 Drs. H A.Hafizh Dasuki, M.A.dkk, Ensiklopedi Islam Jilid I, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU
VAN HOEVE: 1996), h 193-194.
fungsi pemerintahan. Berpijak pada teori pembagian kekuasaan dan sistem
pemerintahan presidensiil, fungsi pemerintahan diselenggarakan oleh lembaga
eksekutif yang dipimpin oleh presiden, sehingga presiden bertanggungjawab atas
penyelenggaraan pemerintahan. Oleh karena itu mengkaji tentang kedudukan
kepolisian yang didasarkan pada fungsi utamanya, tidak dapat dipisahkan dengan
fungsi utama pemerintah yang dipimpin oleh presiden.38
Dikaji dari cara memperoleh wewenang, kewenangan kepolisian diperoleh
secara atributif, artinya wewenang tersebut bersumber pada undang-undang, yakni
UUD 1945, Undang-undang No 2 Tahun 2002 dan peraturan perundang-undangan
lainnya. Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari negara hukum, supermasi
hukum dan pemerintahan yang menganut sistem presidensiil yang harus
menempatkan semua lembaga kenegaraan berada di bawah UUD 1945.39
selain itu
dalam sistem pemerintahan presidensiil, presiden bertanggungjawab atas
penyelenggaraan keamanan, ketentraman dan ketertiban umum.
Kedudukan Kepolisian tidak diatur secara jelas dan tegas dalam UUD 1945, lain
halnya dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara yang diatur
secara tegas dalam pasal 10 UUD 1945, yakni ” presiden memegang kekuasaan
yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Akan
38 Dr Sadjijono, SH, M,Hum, Mengenal Hukum Kepolisian Prespektif Hubungannya Dalam
Hukum Administrasi, (Surabaya: LaksBang MEDITAMA: 2006), h 53-54
39 Soewoto Mulyosudarmo, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,
(Malang: Assosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In Trans: 2004), h 7
tetapi ketentuan dalam pasal 30 ayat (5) UUD 1945 mensyaratkan adanya tindak
lanjut pembentukan undang-undang yang mengatur tentang susunan dan
kedudukan, hubungan kewenangan Porli dalam menjalankan tugasnya. Sehingga
konsekuensi logis dari ketentuan dalam pasal 30 ayat (5) UUD 1945 tersebut
dibentuk Undang-undang No 2 Tahun 2002 tentang polri, dimana di dalam
Undang-undang dimaksud lembaga kepolisian diposisikan di bawah presiden dan
bertanggungjawab kepada presiden. Di samping itu adanya beberapa instrumen
hukum yang sebelum lahirnya Undang-undang No 2 Tahun 2002 telah mengatur
tentang kedudukan lembaga Polri di bawah presiden, seperti Peraturan Presiden No
89 Tahun 2000 dan ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan
Polri.
Di dalam teori ketatanegaraan, bagi negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensiil negara dipimpin oleh seorang presiden dalam jabatannya selaku kepala
negara dan kepala pemerintahan. Dikaitkan dengan makna kepolisian sebagai ” alat
negara” sebagaimana disebutkan dalam pasal 30 ayat (4) UUD 1945, berarti
kepolisian dalam menjalankan kewenangannya berada di bawah Presiden selaku
Kepala Negara.di sisi lain kedudukan kepolisian dalam sistem ketatanegaraan,
berada di bawah Presiden, secara teori ketatanegaraan Presiden mengendalikan
langsung lembaga kepolisian.Hal ini sebagai konsekuensi logis dari jabatan
Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Untuk memperjelas kedudukan kepolisian, berikut dikemukakan bagan tentang
kedudukan kepolisian dalam struktur ketatanegaraan setelah amandemen UUD
1945, dimana kedudukan Presiden sejajar dan dalam satu tingkatan dengan
lembaga-lembaga lain, seperti Majelis Permunsyawaratan Rakyat (MPR), DPR dan
DPD, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Badan Pengawas Keuangan (BPK).
Disini mengandung implikasi adanya chek and balance dalam penyelenggaraan
pemerintahan antara lembaga yang satu dengan yang lain. Disisi lain kedudukan
lembaga kepolisian di bawah Presiden memiliki implikasi, bahwa tanggungjawab
penyelenggaraan kepolisian menjadi tanggungjjawab Presiden, karena fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden. 40
Bagan:
Kedudukan Polri dalam struktur ketatanegaraan
40 Dr Sadjijono, SH, M,Hum, Mengenal Hukum Kepolisian,2006) h 54-58
UUD ‘45
PRESIDEN
(Eksekutif)
POLRI
D. Hubungan Lembaga Kepolisian dengan Lembaga Pemerintahan Lain
Lembaga kepolisian dan institusi pemerintahan yang lain memiliki suatu
kesamaan, terutama dalam menjalankan fungsi pemerintahan, dan sama-sama
berada dalam satu atap, yakni birokrasi pemerintahan. Mensitir pendapat Lance
Castles ” birokrasi” diartikan sebagai orang-orang yang bergaji yang menjalankan
fungsi-fungsi pemerintah, termasuk di dalamnya pejabat tentara dan birokrasi
militer (Bureaucracy I mean salaried people Who are charged with the function of
government. The army officers, the mil itery bureaucracy, are of course include).41
Dengan demikian dapat ditarik pemahaman, bahwa bagi orang-orang atau pun
badan-badan pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintahan dan
penyelenggaraannya menerima gaji dari pemerintah dapat dikatakan pegawai
pemerintah dan sebagai birokrasi. Oleh karena itu lembaga kepolisian dan lembaga
pemerintahanan yang lain merupakan lembaga birokrasi.
Perbedaan yang mendasar terletak pada bidang tugas dan wewenang yang
diembannya, akan tetapi semua itu tertuju pada penyelenggaraan pemerintahan.
Selain pendapat di atas, hal yang menjadikan lembaga kepolisian satu atap dengan
lembaga pemerintahan yang lain, yakni adanya kesatuan pegawai negeri
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian. Di dalam pasal 2 ayat (1) menyebutkan, ”pegawai negeri terdiri dari:
41 Lance Castles dalam Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru Prespektif
Kultural dan Struktural, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1997) cet ke 3, h 20
a. Pegawai negeri sipil; b. Anggota Tentara Nasional Indonesia; c Anggota
Keplisian Negara Republik Indonesia”.42
dimana Pegawai Negeri adalah merupakan
aparatur negara yang menjalankan tugas pemerintahan.
1. Hubungan Kepolisian dan Pemerintahan Daerah
Pemeliharaan sistem keamanan, ketentraman dan ketertiban umum dalam
negara kesatuan disusun dan diselenggarakan oleh pemerintah pusat yang secara
fungsional didekonsentralisasikan kepada pejabat pada unit pemerintahan
daerah ataupun didesentralisasikan kepada Pemerintah Daerah Otonom. Fungsi
penyelenggaraan keamanan, ketentraman dan ketertiban umum ini merupakan
salah satu fungsi pemerintahan yang dijalankan oleh kepolisian, sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 2 Undang-undang No 2 Tahun 2002. penyelenggaraan
pembinaan keamanan, ketentraman dan ketertiban yang dijalankan oleh
kepolisian didelegasikan atau dimandatkan secara berjenjang kepada Kepolisian
Provinsi sampai dengan tingkat Kepolisian Sektor.
Perbedaan yang sangat mendasar antara kepolisian dan pemerintahan
daerah terletak pada kewenanganya yang otonom, dimana masing-masing
daerah mempunyai wewenang untuk menentukan nasib daerahnya, sedangkan
lembaga kepolisian merupakan kepolisian nasional yang berpusat di Markas
Besar Kepolisian (Mabes Porli), adanya penentuan daerah sebagai upaya
mengefektifkan mekanisme dan sistem operasional kepolisian.
42 Dr Sadjijono, SH, M,Hum, Mengenal Hukum Kepolisian,2006) h 74-75
Gambaran tingkatan atau level perjenjangan kepolisian di tingkat provinsi
dan pemerintah daerah dapat digambarkan, sebagai beriut:
Bagan:
Hubungan antara Kepolisian Propinsi dengan Pemerintah Daerah43
Penjelasan:
Kepolisian Daerah (Polda) setingkat dengan Pemerintahan Daerah Propinsi, Kepolisian
Resort (Polres) setingkat dengan Kabupaten, dan Kepolisian Sektor (Polsek) setingkat
dengan Kecamatan. Walaupun ada Level yang tidak dapat digambarkan karena sebagai
pemegang kendali dan koordinasi, yakni Kepolisian Wilayah (Polwil) serta Level yang
terdapat pada kota besar seperti Kepolisia Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) dan Kepolisian
Resort Kota (Polresta).
43 Sumber dari Keputusan Presiden No 70 Tahun 2003 ditindaklanjuti dengan Keputusan
Kapolri No. Pol. Skep/53/x/2002 dan Skep/54/x/2002 tanggal 17 Oktober 2002, Undang-undang
No22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP
No 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi. Lihat dalam tentang Penyelenggaraan
Dekonsentrsi. Lihat dalam Sadjijono, Fungsi Kepolisian Dalam Pelaksanaan Good Governanc
(Jakarta:Laskbang:2005)
KEPOLISIAN
PROPINSI (POLDA)
POLWIL/
POLWILTABES
KEPOLISIAN KOTA
(POLRESTA)
KEPOLISIAN KAB.
(POLRES)
KEPOLISIAN KAB.
(POLRES)
KEPOLISIAN KAB.
(POLRES)
KEPOLISIAN KAB.
(POLRES)
KEPOLISIAN KAB.
(POLRES)
KEPOLISIAN KAB.
(POLRES)
Dengan demikian terdapat persinggungan antara Porli dan pemerintahan
daerah dalam menjalankan fungsi keamanan, ketentraman dan ketertiban,
tentang mekanisme dan pertanggungjawaban penyelenggaraan pembinaan
keamanan dan ketertiban.
Berdasarkan ketentuan pasal 42 ayat (2) Undang-undang No 2 Tahun 2002
tentang Porli, bahwa ”Hubungan dan Kerjasama di daerah. Penegak hukum,
badan lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas
partisipasi dan subsidiaritas”. Hubungan kerjasama tersebut didasarkan atas
sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu,
mengutamakan kepentinagan umum, serta memperhatikan hierarki.
Jika dilihat dari Kewajiban Kepala Daerah sebagaimana dirumuskan dalam
pasal 43 huruf f Undang-undang No 22 Tahun 1999 yang diganti dengan
Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka salah
satu kewajiban Kepala Daerah adalah memelihara ketentraman dan ketertiban
masyarakat, di sisi lain kepolisian mempunyai tugas pokok memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, sebagaimana
dirumuskan pasal 13 Undang-undang No2 Tahun 2002 tentang Porli.masyarakat
disini meliputi semua orang yang tinggal atau berada dalam daerah dimana
Kepala Daerah di tugaskan.
Dengan demikian, apa yang menjadi tugas pokok kepolisian dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yang ada di daerah tersebut
juga menjadi suatu kewajiban Kepala Daerah untuk menjalankannya. Disinilah
letak persinggungannya, yakni Kepolisian, terutama dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat yang melibatkan dua unsur lembaga
terkonsep satu visi dan presepsi, sehingga dapat berjalan secara efektif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa hubungan lembaga kepolisian
dengan pemerintah daerah merupakan hubungan bantuan dan kemitraan secara
fungsional. Jika dicermati bantuan dimaksud dapat dikategorikan ke dalam dua
kelompok, yakni:
a) Bantuan personil yang bersifat permanen dalam rangka penegakan
Peraturan Daerah.
b) Bantuan personil yang bersifat sewaktu waktu terutama dalam keadaan
”genting dan memaksa”.44
2. Hubungan Kepolisian dan TNI
Setelah Keluarnya Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2000 dan Ketetapan
MPR RI No VII/MPR/2000 garis hubungan antara kepolisian dan TNI tampak
secara jelas, karena tidak lagi menjadi salah satu bagian yang terintegrasikan ke
dalam ABRI.pemisahan tersebut menjadikan kepolisian tunduk pada peradilan
44 Dr Sadjijono, SH, M,Hum, Mengenal Hukum Kepolisi, 2006,) h 78-79
umum yang juga merupakan peradilan bagi masyarakat sipil. Disinilah lebih
mendukung munculnya istilah kepolisian sipil atau kepolisian non militer.
Hubungan antara kepolisian dan TNI dirumuskan dalam pasal 41 ayat (1)
dan (2) Undang-undang No2 Tahun 2002 yang menyebutkan, bahwa: ayat (1):
Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah; dan ayat (2): Dalam keadaan darurat militer
dan keadaan perang, Kepolisian Negara Indonesia memberikan bantuan kepada
Tentara Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
Bantuan yang diberikan oleh Tentara Nasional Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dalam pelaksanaan operasional di bawah
komando dan pengendalian Kepolisian Negara Republik Indonesia,
sebagaimana diuaraikan dalam penjelasan pasal dimaksud. Kerjasama dan
bantuan yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-undang No 2
Tahun 2002 tersebut sebagai tindak lanjut amanat pasal 2 ayat (3) Ketetapan
MPR RI No VI/MPR/2000 yang subtansinya ”Dalam hal terdapat keterkaitan
kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia harus bekerjasama dan saling
membantu”. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 30 ayat (1) dan( 2). Bahwa ayat (1)
Tiap tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha Pertahanan dan
Keamanan negara. Dan ayat (2) Usaha pertahanan dan keamanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai
kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung. Dengan demikian
bantua dimaksud bersifat koordinatif dan kemitraan yang mendasarkan pada
fungsional.45
3. Hubungan Lembaga Kepolisian dan Criminal Justice System
Istilah criminal justice system secara harfiah diartikan sebagai sistem
peradilan pidana. Dengan kata lain sistem peradilan pidana dapat dikiaskan
sebagai ” kotak hitam” (black box). Di dalam sistem peradilan pidana ini
masukannya (input) adalah perkara pidana atau kejahatan termasuk pelanggaran
(overtredingen) dan kejahatan ringan yang tercatat, sedangkan keluarannya
(output) yang bersifat langsung berupa hukuman penjara, menimbulkan nista,
pencabutan hak milik maupun hukuman mati.46
Secara sistemik untuk mencapai output dalam sistem peradilan pidana
tersebut melalui proses yang melibatkan beberapa komponen, antara lain
lembaga kepolisian, lembaga kejaksaan, lembaga peradilan dan lembaga
45 Dr Sadjijono, SH, M,Hum, Mengenal Hukum Kepolisi, 2006,) h 78-79
46 ML. HC. Hulsman, Sistem Peradilan Pidana Dalam Prespektif Perbandingan Hukum,
Disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo , (Jakarta : Rajawali:1994) h 2
advokat. Bahkan cakupan lebih luas menurut Jimly Asshiddiqie dalam
menentukan komponen penegakan hukum tokoh-tokoh kunci yang berperan
didalamnya adalah tokoh dan lembaga kepolisian, kejaksaan, pengacara atau
penasehat hukum, Vim, sipir penjara, dan bahkan semua profesi hukum lainnya
seperti panitera, notaris dan sebagainya.47
Di dalam proses penegakan hukum komponen-komponen tersebut memiliki
fungsi yang berbeda-beda, seperti kepolisian sebagai penyidik (pemeriksa
pendahuluan), kejaksaan (Jaksa) sebagai penuntut, peradilan (Hakim) sebagai
pemutus perkara, dan advokat sebagai pembela. Dalam perkembangannya ke
empat lembaga tersebut disebut sebagai ”catur wangsa” dalam proses
penegakan hukum di Indonesia. Dan apabila kita cermati hubungan antara
kepolisian dengan lembaga lain dalam criminal justice system adalah merupakan
hubungan legalitas fungsional, yaitu hubungan yang didasarkan pada ketentuan
undang-undang yang mengatur tentang fungsi yang melekat dan diemban oleh
masing-masing lembaga, yang semua itu tertuju pada penegakan hukum
pidana.Hubungan ini bersifat administratif.
47 Jimly Asshiddiqie, Agenda Perkembangan Hukum Nasional di Abad Globalisasi,
(Jakarta: Balai Pustaka: 1998) h 99
E. Fungsi dan Wewenang Lembaga Kepolisian
Sesuai dengan Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian pasal 2
fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.48
Didalam menjalankan tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, polisi memiliki tanggung jawab terciptanya dan terbinanya suatu
kondisi yang aman dan tertib dalam kehidupan masyarakat. Menurut pendapat
Subroto Brotodiredja sebagaimana disitir oleh R. Abdusslaam mengemukakan,
bahwa keamanan dan ketertiban adalah keadaan bebas dari kerusakan atau
kehancuran yang mengancam keseluruhan atau perorangan dan memberikan rasa
bebas dari ketakutan atau kekhawatiran, sehingga ada kepastian dan rasa kepastian
dari jaminan segala kepentingan atau suatu keadaan yang bebas dari pelanggaran
norma-norma hukum.49
Untuk mencapai tugas pemeliharaan kemanan dan ketertiban di bidang preventif
dilaksanakan dengan konsep dan pola pembinaan dalam wujud pemberian
pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat, agar masyarakat
merasa aman tertib dan tentram tidak terganggu aktivitasnya. Sedangkan tugas-
48 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Dan Peraturan Pemerintah R.I No 12 Tahun 2007, Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h 5.
49 Soebroto Brotodirejo,Dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh Polri,
(Jakarta: Dinas Hukum Polri, 1997), h 22
tugas di bidang represif ini sebagai tugas kepolisian dalam bidang peradilan atau
penegakkan hukum, yang dibebankan kepada petugas kepolisian, sebagaimana
dikatakan oleh Harsja W. Bachtiar, bahwa petugas-petugas kepolisian dibebani
dengan tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan
menangani tindakan-tindakan kejahatan, baik dalam bentuk tindakan terhadap
pelaku kejahatan agar supaya para anggota masyarakat dapat hidup bekerja dalam
keadaan aman tentram.50
Adapun lima fungsi umum dalam Lembaga kepolisian adalah:
1. Samapta : itu fungsi kepolisian yang menjalankan tugas-tugas umum seperti
patroli, penjagaan markas, penjagaan tahanan, penjagaan obyek vital,
penerimaan dan pembuatan laporan surat kehilangan, dan sebagainya.
2. Lantas : itu fungsi yang salah dikenal oleh banyak orang. Bahkan mungkin
dijuluki malaikat pencabut nyawa apabila anda kedapatan tidak memakai
helm, atau tidak membawa SIM/STNK. Nah, fungsi ini bertanggung jawab
atas kelancaran, ketertiban, dan keamanan pengendara di jalan umum.
3. Binamitra : Fungsi ini mendekati fungsi humas, yaitu berkonsentrasi kepada
sosialisasi informasi kepolisian secara aktif yang menghubungkan antara
polisi dan masyarakat.
4. Intel : Fungsi ini adalah mata dan telinganya lembaga kepolisian. Mereka
mendengar dan melihat semua gejala dan keluhan-keluhan masyarakat mulai
50 Dr Sadjijono, SH, M,Hum, Mengenal Hukum Kepolisi, 2006,), h 115-118
dari naiknya harga minyak tanah, sampai celetukan kecil teroris saat belanja
bahan peledak. Mereka menghasilkan laporan informasi yang nantinya akan
dialihkan kepada fungsi yang berkaitan untuk meredam supaya tidak
meningkatkan menjadi ancaman faktual.
5. Reskrim : fungsi ini akan bekerja apabila telah terjadi suatu tindak pidana.
Mereka mengumpulkan barang bukti, yang bertujuan untuk mengungkapkan
kasus yang telah terjadi mulai dari awal sampai akhir. Setelah bukti
terkumpul, mereka menangkaptersangka, kemudian bersama-sama diboyong
kejaksa penuntut umum.51
Di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 secara filosofis telah
mereflesikan tugas dan wewenang serta tanggungjawab kepolisian, sebagaimana
dirumuskan dalam Alenia ke IV Pembukaan UUD 1945. Isi dari alenia IV tersebut
dapat dipahami mengandung esensi, bahwa negara bercita-cita untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seliruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian
negara memiliki kewajiban dan bertanggungjawab penuh atas pemberian
perlindungan bagi warganegaranya. Hakekat pemberian perlindungan dimaksud
51 Pelayan Masyarakat, Lima Fungsi Umum Kepolisian, http.// id.wikipedia.org/ wiki/ pelayan
masyarakat, artikel diakses 29 Agustus 2008
agar warganegara tenang,tentram dan damai dalam kehidupannya, baik dari
ancaman dalam negeri maupun luar negeri. 52
Berpijak dari konsep tersebut Dalam Negara hukum, wewenang pemerintah
berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya suatu wewenang yang
bersumber dari peraturan-peraturan perundang-undangan, sehingga didalam Negara
hukum asas legalitas menjadi salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan terutama bagi Negara-negara hukum yang menganut
civil law sistem (Eropa Continental). Dengan demikian setiap penyelenggaraan
pemerintah harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang menurut H.D Van Wijke/willew konijnenbelt defenisi wewenang
tersebut, sebagai berikut:
1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintah. Artinya wewenang atribusi diperoleh dari
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang wewenang
pemerintah.
52 Lihat dalam Pembukaan UUD 1945 secara lengkap rumusan dalam Alenia ke IV, sebagai
berikut: “kemudian dari pada itu, untuk membentuk sesuatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia dalam satu Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradap, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpinoleh hikmat kebijaksanaan dalam
permunsyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”.
2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Wewenang kepolisian ini hanya difokuskan pada wewenang yang diperoleh
secara atributif, maksudnya wewenang yang diperoleh dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Wewenang kepolisian yang diperoleh secara atributif tersebut
meliputi wewenang umum dan wewenang khusus, wewenang umum sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 15 ayat (1) undang-undang no 2 tahun 2002 tentang
kepolisian meliputi:
a. Menerima laporan dan atau pengaduan.
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum.
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa.
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administrasi kepolisian.
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan.
g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang.
i. Mencari keterangan dan barang bukti.
j. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional.
k. Mengeluarkan surat izin dan/ surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat.
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat.
m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu
Berkaitan dengan wewenang khusus kepolisian, antara lain meliputi, Pertama,
kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan (pasal 15 ayat 2). Kedua,
wewenang penyelidikan atau penyidikan proses pidana, diatur dalam pasal 16 ayat 1
undang-undang No. 2 tahun 2002.
Wewenang sesuai peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut;
a. Memberikan Izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan
kegiatan masyarakat lainnya.
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor.
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor.
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik.
e. Memberikan izin melakukan pengawan senjata api, bahan peledak dan
senjata tajam.
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha dibidang jasa pengamanan.
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus
dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.
h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik
dan memberantas kejahatan internasional.
i. Melakukan pengawan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional.
j. Mewakili pemerintah republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional.
k. Melaksanakan kewenangan lain dalam lingkup tugas kepolisian.
Adapun wewenang dalam proses pidana sebagai berikut;
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri
e. Melakukan pemeriksaan-pemeriksaan surat.
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai ersangka atau
saksi.
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
h. Mengadakan penghentian penyidikan.
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi dalam
keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menyangkal
orang yang disangka melakukan tindak pidana.
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum, dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang berlaku.53
Selain daripada wewenang diatas lembaga kepolisian juga mempunyai
wewenang lain seperti yang dilelaskan dalam Undang-undang No 2 Tahun 2002
Tentang porli, pasal 18 ayat (1) yaitu untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
53 Dr Sadjijono, SH, M. Hum, Mengenal Hukum Kepolisian Prespektif Hubungannya Dalam
Hukum Administrasi, (Surabaya: LaksBang MEDITAMA, 2006), h 122-126.
bertindak menurut penilaiannya sendiri.54
Maksudnya suatu tindakan yang dapat
dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertidak
harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakan dan betul-betul untuk
kepentingan umum.55
54 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Dan Peraturan Pemerintah R.I No 12 Tahun 2007, Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h 13
55 Ibid. h 40
BAB III
KONSEP WILAYATUL HISBAH DAN APLIKASINYA
DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
A. Pengertian Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah (yang disingkat WH) adalah sebuah istilah baru atau istilah
yang diperkenalkan kembali kepada masyarakat Aceh. Karena sudah lama tidak
dipergunakan kembali.56
Secara sepintas, kajian-kajian tentang WH dalam khazanah
pemikiran Islam telah banyak dikaji oleh para ahli, baik secara khusus dalam satu
buku ataupun merupakan bagian dalam satu bab.
Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Siyasah al-Syar’iyyah memaknai wilayah
sebagai “wewenang” dan "kekuasaan" yang dimiliki oleh institusi pemerintahan
untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi munkar,
serta menolong pihak yang teraniaya. Sementara kata hisbah bermakna pengawasan,
pengiraan dan perhitungan.57
Sedangkan dalam kitab al-Ahkam al-Shulthahiyah, al-
56 Prof Dr Al Yasa Abubakar MA,Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
paradigma kebijakan dan kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2005), h. 350
57 Hafas Furqani,Wilayatul Hisbah, http:// www.acehinstitute.org / Frot-html, artikel diakses
20 Juli 2008
Mawardi memaknai hisbah dengan seruan kepada kebaikan secara terang-terangan
dan melarang dari kemungkaran secara terang-terangan pula.58
Berbeda dengan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Khaldun memaknai hisbah dengan
tugas keagamaan dalam bidang amar ma’ruf nahi anil munkar secara luas yang
difardhukan bagi setiap muslim dengan harapan dapat membawa manusia kepada
kemaslahatan umum dalam sebuah negara. Seperti penertiban jalan raya untuk
menghindari kemacetan dan mencegah muatan kapal (penumpang atau barang)
secara berlebihan.59
Hisbah juga bisa dipahami sebagai salah satu lembaga peradilan dalam Islam
yang khusus menangani kasus moral dan berbagai bentuk maksiat yang tidak
termasuk wewenang peradilan biasa dan peradilan mazalim (peradilan khusus yang
menangani tindak pidana para penguasa). Secara etimologis hisbah berarti
melakukan suatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.
Para ulama fiqh siyasi (politik) mendefinisikan Hisbah sebagai peradilan yang
menangani kasus orang yang melanggar secara nyata perintah untuk berbuat baik
dan kasus orang yang mengerjakan secara nyata larangan untuk berbuat
munkar.dengan demikian, tugas utama lembaga ini adalah mengajak orang berbuat
58 Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara
dalam Syari’at Islam, ( Jakarta: PT Darul Falah: 2006) h 399.
59 Drs. Jamhuri, Wilayatul Hisbah Bukan Polisi Syariat,
http://www.serambinews.com/old/index.php? aksi= baca opinid, artikel diakses 28 Juli 2008
baik dan mencegah orang berbuat munkar, dengan tujuan mendapat pahala dan rida
Allah SWT.60
Adapun dalil tentang disyariatkannya hisbah adalah:
�������� ���� �� ������ �������
����� � !"��#$% ��!�&'���
($!*�+&,$$�- ���./0��� 1��
2!"��3☺��$% 5 .689:"�'��� �*;
<=�3"�>�?3☺��$% 1@AB
“Dan hendaklah ada diantara kamu satu pihak yang menyeru kepada kebajikan
(mengemban Islam ), dan menyuruh berbuaat baik, serta melarang dari pada segala perkara
yang salah (buruk) dan mereka yang bersifat demikian, ialah orang-orang yang berjaya.
(Ali Imran 104)”
Dan hadits yang merujuk tentang pensyariatan menyuruh berbuat ma’ruf
�A وذ�< �>=%>9 ی�!78 �� �$ن �>ـ�ـ��ن9 ی�!78 �� �$ن ���+ + �6��� م�2�ا م2�� رأى م�B أ�یCا
Siapa di antara kamu melihat kemunkaran, maka hendaklah ia merubahkan
dengan tangannya (kuasa yang ada padanya). Jika ia tidak mampu (merubah
dengan tangannya) maka (hendaklah ia merubah) dengan lidahnya. Jika tidak
60 Drs. H A.Hafizh Dasuki, M.A.dkk, Ensiklopedi Islam Jilid I, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU
VAN HOEVE: 1996), h 192
mampu (merubah dengan lidahnya) maka hendaklah dengan hatinya, dan yang
demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.61
Di dalam fiqh, WH merupakan suatu badan pengawasan yang bertugas
melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mengingatkan masyarakat mengenai aturan-
aturan syariat, langkah yang harus mereka ambil untuk menjalankan syariat serta
batas di mana orang-orang harus berhenti. Sebab kalau mereka terus berbuat,
mereka akan dianggap melanggar ketentuan syariat. Dalam keadaan terpaksa atau
sangat mendesak, WH diberi izin melakukan tindakan untuk menghentikan
pelanggaran serta melakukan tindakan yang dapat menghentikan upaya pelanggaran
atau sebaliknya mengarahkan orang melakukan ajaran dan perintah syari’at.62
Sebenarnya tugas keagamaan tentang amar ma’ruf nahi munkar itu dapat
dilakukakan oleh tiap-tiap pribadi muslim, tapi ada perbedaan antara muhtasib
dengan orang yang bertindak atas dasar sukarela, perbedaan-perbadaan itu adalah
sebagai berikut;
1. Menyuruh ma’ruf dan mencegah munkar adalah fardhu ‘ain bagi si
muhtasib, karena dia memang diangkat untuk itu dan diberi gaji pula,
sedang untuk orang lain merupakan fardhu kifayah.
61
Dr. Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul
Majid, 2004), h. 80 62 Prof. Dr yasa Abubakar, MA, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam, Pendukung Qanun
Pelaksanaan Syariat Islam, (Banda Aceh: DINAS Syariat Islam Provinsi NAD, 2005), h. 92
2. Si muhtasib adalah orang-orang ditugaskan untuk bertindak atas
seseorang yang membuat kemunkaran dan wajib memberi bantuan kepada
orang yang meminta bantuannya. Sedang orang yang bekerja dengan
sukarela tidak diharuskan atasnya yang demikian itu, terkecuali ketika
darurat.
3. Muhtasib harus membahas dan meneliti kemunkaran-kemunkaran yang
nyata untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan,
sebagaimana dia harus memeriksa tentang perbuatan-perbuatan ma’ruf
yang tidak dikerjakan oleh orang-orang yang harus mengerjakannya.
4. Muhtasib dapat mengangkat beberapa pegawainya untuk menjalankan
tugas hisbah dan dia di beri hak menjalankan hukuman ta’zir terhadap
orang-orang yang mengerjakan kemunkaran.63
Seorang Muhtasib itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1)
merdeka, akil baligh, dan adil; (2) memiliki pandangan yang luas serta berpegang
teguh kepada ajaran Islam; dan (3) memiliki pengetahuan yang memadai tentang
bentuk-bentuk kemungkaran. Sebagian ahli fiqh menambahkan syarat lain yaitu
63 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddiqie, Peradilan Dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra: 2001), h. 97-98
muhtasib harus seorang mujtahid akan tetapi, syarat ini ditolak oleh jumhur
ulama.64
B. Posisi Wilayatul Hisbah
Wilayatul Hisbah dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 01 Tahun 2004, mempunyai susunan organisasi yang terdiri
atas, wilayatul hisbah provinsi, wilayatul hisbah tinkat kabupaten/kota, wilayatul
hisbah tingkat kecamatan, dan wilayatul hisbah kemukiman, bahkan memungkinkan
di bentuk di gampong dan lingkungan-lingkungan lainnya (Qanun Nad No 11 Bab
VI, pasal 14 ayat (2), dalam wilayah Kota Banda Aceh baru terbentuk hanya
wilayatul hisbah kota saja dengan jumlah personil 45 orang.
Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina,
dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
bidang Syariat Islam dalam rangka amar maruf nahi munkar.
Wilayatul Hisbah dikoordinir oleh Dinas Syariat Islam diangkat oleh gubernur
tingkat provinsi, Bupati/Walikota ditingkat kabupaten/kota, ditingkat kemukiman
yang bertugas di gampong-gampong tetap diangkat Bupati/Walikota, pengangkatan
64 Drs. H A.Hafizh Dasuki, M.A.dkk, Ensiklopedi Islam Jilid I, (Jakarta: PT ICHTIAR BARU
VAN HOEVE: 1996), h 193
wilayatul hisbah di berbagai tingkat terlebih dahulu harus dikonsultasikan dengan
Majelis Permunsyawaratan Ulama (MPU).65
Wilayatul Hisbah juga merupakan satu sistem yang khas dari sistem-sistem
Islam. Ia berdiri di atas dasar tanggung jawab seorang muslim membasmi
kemungkaran dan menegakkan yang ma’ruf. Hisbah mempunyai beberapa ciri
kehakiman dan kekuasaan, karena itulah ia boleh dianggap termasuk dalam
lingkungan sistem kehakiman Islam dan sebagian dari institusi-institusi sistem ini.
Maka dari itu, hisbah bukanlah sesuatu yang asing dari sistem kehakiman
melainkan seperti apa yang diungkapkan oleh para fuqaha' yaitu: “kedudukannya di
tengah-tengah antara hukum-hukum kehakiman dan madzalim (pengadilan)".66
Wilayatul Hisbah ini adalah lembaga pembantu tugas kepolisian yang berada
di Aceh, yang tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syari’at Islam oleh
masyarakat. Posisinya sebagai "jantung" dalam dinas syariat Islam yang sangat
menentukan skeberhasilan atau kegagalan dinas ini menegakkan syari’at.67
atau
suatu tugas keagamaan, masuk ke dalam bidang amar ma'ruf nahi munkar. Tugas
ini merupakan suatu tugas fardhu yang harus dilaksanakan oleh penguasa.
65 Drs. Abu Bakar,M.Si, Penerapan Syariat Islam,
http://www.puslitjaknov.depdiknas.go.id/data/ file 2008, Diakes 22 februari 2009
66 Dr. Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul
Majid, 2004), h. 78 67 Hafas Furqani, Wilayatul Hisأbah, http:// www.acehinstitute.org /Frot-html, artikel diakses
20 Juli 2008
Karenanya penguasa harus mengangkat orang-orang yang dipandang cakap atau
mampu di dalam melaksanakan tugas tersebut.
Dalam sejarah Islam, hierarkhi struktural WH, berada di bawah lembaga
peradilan wilayatul hisbah bersama dengan wilayatul qadha dan wilayatul
madzalim berada di bawah qadhi al-qadha (Hakim Agung). Ketiga institusi tersebut
mempunyai peran yang sama, yaitu sebagai lembaga peradilan yang memutuskan
sengketa dan memberikan hukuman, tetapi ketiganya mempunyai perbedaan dalam
hal cakupan tugas serta wewenang. Wilayatul qadha adalah lembaga peradilan
umum seperti dikenal sekarang. Wilayatul madzalim adalah lembaga peradilan yang
di bentuk untuk menangani kasus keseweng-wenangan dan kezaliman pejabat
pemerintah. Sedangkan wilayatul hisbah adalah lembaga yang bertugas mengawasi
pelaksanaan syari’at Islam dan amar ma’ruf nahi munkar secara umum. 68
C. Tugas- Tugas Wilayatul Hisbah
Tugas dari hisbah ini, ialah memberi bantuan kepada orang-orang yang tidak
dapat mengembalikan haknya69
dalam Qanun No 11 tahun 2004 tentang tugas
fungsional kepolisian daerah Nanggroe Aceh Darussalam bab ketentuan umum
68 Ibid.
69 Teungku Muhammad Hasby Ash Shiddiqie, Peradilan Dan Hukum Acara Islam ,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra: 2001) h 96
pasal 1 angka (8), disebutkan bahwa, wilayatul hisbah itu adalah lembaga pembantu
tugas kepolisian yang bertugas membina, melakukan advokasi dan mengawasi
pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh berbuat baik) dan dapat
berfungsi sebagai Polsus dan PPNS.70
Adapun menyuruh kepada kebaikan terbagi ke dalam tiga bagian. Pertama,
menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak Allah Ta’ala, salah satunya
ialah perintah untuk berjama’ah dan tidak menyendiri. Misalnya meninggalkan
shalat Jum’at di tempat yang berpenghuni. Jika jumlah orang-orang yang berada di
tempat tersebut mencapai jumlah yang disepakati shalat Jum’at sah dengan jumlah
empat puluh orang, maka muhtasib (petugas hisbah) wajib menyuruh mereka
menyelenggarakan shalat Jum’at dan menghukum mereka jika terjadi
ketidakberesan pada penyelenggaraan shalat Jum’at.
Kedua, menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak manusia,
terbagi ke dalam dua bagian: (1) umum contohnya seperti sebuah daerah yang tidak
berfungsi sumber airnya, maka muhtasib (petugas hisbah) tidak diperbolehkan
menyuruh sesuatu yang menimbulkan madharat kepada mereka misalnya menyuruh
mereka memperbaiki sumber air tersebut, karena hal tersebut menjadi tanggung
jawab baitul mal (kas negara) dan bukan tanggung jawab selain baitul mal. (2)
khusus contohnya seperti penanganan hak-hak yang ditunda dan penundaan
70 Qanun No 11 Tahun 2004, Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, ( Banda Aceh, Badan Pengelola Data Eletronik Prov. NAD, 2004) h 6.
pembayaran hutang, muhtasib (petugas hisbah) berhak menyuruh orang yang
mempunyai uang untuk segera mengeluarkan hak tersebut, jika ia diminta tolong
oleh pemilik halnya. Muhtasib (tidak dibenarkan menahan orang tersebut
dikarenakan menunda pemenuhan hak atau pembayaran hutangnya, karena
penahanan adalah keputusan hukum.
Ketiga, menyuruh kepada kebaikan yang terkait dengan hak-hak bersama
antara hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak manusia, contohnya seperti menyuruh para
wali menikahkan gadis-gadis yatim dengan orang laki-laki yang se-kufu (selevel)
dan mewajibkan wanita-wanita yang dicerai untuk menjalani iddah (masa tunggu
setelah perceraian). Muhtasib (petugas hisbah) berhak menjatuhkan ta’zir (sanksi
disiplin) kepada wanita yang dicerai yang menolak menjalani iddah (masa tunggu
setelah perceraian), namun ia tidak berhak menjatuhkan ta’zir (sanksi disiplin) pada
para wali gadis-gadis yang menolak menikahkan gadis-gadis yang berada dalam
perwalian.71
Dari kutipan di atas terlihat bahwa WH akan dijadikan sebagai bagian integral
pelaksanaan Qanun-qanun syari’at Islam, dengan tugas utama melakukan
sosialisasi, pengawasan dan pembinaan, sehingga masyarakat akan merasa diberi
tahu, diingatkan bahkan mendapat bimbingan, tentang perilaku dan perbuatan baik
yang perlu (seharusnya) mereka tempuh dan lakukan, serta menghindari perbuatan
71 Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara
dalam Syari’at Islam, ( Jakarta: PT Darul Falah: 2006) h 404-408.
dan perilaku tercela yang tidak diizinkan oleh Qanun secara khusus, atau oleh
peraturan perundangan syari’at Islam lainnya secara lebih umum. Lebih dari itu WH
juga dipercaya untuk menjalankan tugas penyidikan, karena dapat berfungsi sebagai
PPNS.72
Sebenarnya polsus dan PPNS di sini adalah merupakan badan atau instansi
pemerintah yang secara fungsional akan membantu polisi, tetapi tidak mempunyai
hubungan hierarkhis dengan Kepolisisan. Keberadaan Polsus didasarkan atas
undang-undang, kuasa undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang
memberi badan tersebut kewenangan kepolisian dalam soal-soal tertentu saja, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar umumnya tersebut.
Sedang mengenai keberadaan dan kewenangan PPNS tidak dijelaskan, karena
sudah di sebutkan dalam KUHP, yaitu pasal 6 dan pasal 7 sebagai berikut:
Pasal 6, (1) penyidik adalah
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.
Pasal 7, (2) penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b,
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
72
Prof Dr Al Yasa Abubakar MA,Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
paradigma kebijakan dan kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, 2005), h. 358
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat ( 1) huruf a.73
Dari uraian di atas terlihat bahwa keberadaan wilayatul hisbah selalu
diperlukan untuk pelaksanaan Qanun Syariat Islam di Aceh. Mereka telah bertugas
pada tahap sosialisasi, dan akan berhubungan dengan pimpinan gampong, sedang
pada tahap penyidikan mereka juga bertugas sebagai PPNS dan akan berhubungan
dengan polisi. Selanjutnya ketika putusan telah jatuh, mereka bertugas kembali
sebagai petugas pencambuk yang akan berhubungan dengan kejaksaan. Karena,
pertama tanggung jawab dan kesewenagan melaksanakan hukuman terbeban kepada
jaksa pasal 2 ayat (1). Dan kedua, pencambuk adalah petugas wilayatul hisbah,
yang akan bertugas atas permintaan jaksa pasal 1 angka (II) dan pasal 2 ayat (1)
peraturan Gubernur No 10 tahun 2005.74
Dengan demikian, tugas dari pada wilayatul hisbah dalam keputusan Gubernur
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 1 tahun 2004, Pasal 4 ayat (1) adalah :
a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang syari’at Islam.
73 Dr. Andi Hamzah, S.H, KUHP dan KUHAP, (Jakarta : PT RINEKA CIPTA: 2005) h 235
74 Peraturan Gubernur No 10 Tahun 2005, tentang hukuman cambuk, ,( Banda Aceh, Badan
Pengelola Data Eletronik Prov. NAD, 2005) h 7.
b. Melakukan pembinaan dan advokasi spiritual terhadap setiap orang yang
berdasarkan bukti permulaan patut di duga telah melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang syariat Islam.
c. Pada saat tugas pembinaan mulai dilakukan, muhtasib perlu memberi
tahukan hal itu kepada penyidik terdekat atau kepada keuchik/kepala
Gampong dan keluarga pelaku.
d. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang syari’at Islam kepada penyidik.75
Dari uraian di atas terlihat bahwa wilayatul hisbah mempunyai kewenangan
untuk :
1. Masuk ke tempat tertentu yang diduga menjadi menjadi tempat terjadinya
maksiat atau pelanggaran syariat Islam
2. Mencegah orang-orang tertentu untuk melakukan perbuatan tertentu,
melarang mereka masuk ke tempat tertentu, atau melarang mereka keluar
dari tempat tertentu.
3. Meminta dan mencatat Identitas orang-orang tertentu dan
4. Menghubungi Polisi atau geuchik (tuha peut) gampong tertentu guna
menyampaikan laporan atau memohon bantuan dalam upaya melakukan
75 Keputusan Gubernur Provinsi NAD No 1 Tahun 2004, tentang pembentukan organisasi dan
tata kerja wilayatul hisbah, ,( Banda Aceh, Badan Pengelola Data Eletronik Prov. NAD, 2004) h 3
pembinaan atau menghentikan perbuatan (kegiatan) yang di duga
merupakan pelanggaran atas qanun di bidang syariat Islam.76
76 Prof Dr Al Yasa Abubakar MA,Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
paradigma kebijakan dan kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam: 2005) h 366.
BAB IV
ANALISIS PERBANDINGAN POSISI WILAYATUL HISBAH NANGGROE
ACEH DARUSSALAM DAN LEMBAGA KEPOLISIAN DALAM HUKUM ISLAM
Wilayatul hisbah yang telah populer sebagai WH, agaknya telah banyak
mewarnai opini masyarakat akhir-akhir ini. Mulai dari kalangan masyarakat awam
sampai para ilmuan. Di antara mereka ada yang memberi nama dengan polisi
syari’ah dan ada juga yang beranggapan masyarakat seperti ini tidaklah dapat kita
nafikan, karena bila kita tanya kepada mereka anggota WH (Muhtasib) itu sendiri,
siapa anda sebenarnya? Mereka akan menjawab beragam, sama halnya dengan opini
yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Bahkan ada di kalangan ilmuan kita yang
berkeinginan menjadikan WH ini bagian dari kepolisian dengan tujuan menambah
kewibawaan dalam melaksanakan tugas sehari-hari dalam menangani kasus
pelanggaran syari’at. Hal ini tentu saja kurang tepat bila kita memahami apa itu WH
dalam perspektif pelaksanaan syari’at dalam hukum Islam di NAD.
Dalam kitab Tashil al-Nadzar wa Tajil al-Zhafar, disebutkan bahwa hisbah adalah
aksi (tindakan) bukan hanya merupakan seruan kepada anak-anak yang duduk di meja
kemudian menyuruhnya menulis atau mengusir orang dari peradilan.77
Hal ini dipertegas
lagi dalam kitab Ahkam al-Sulthaniyah yang memaknai hisbah dengan menyuruh kepada
77 Drs. Jamhuri, wilayatul hisbah bukan polisi syariat, http:/ www.serambinews.com/ old /index.php?
aksi= baca opinid, artikel diakses 28 Juli 2008
kebaikan jika terbukti ditinggalkan (tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika
terbukti kemungkaran dikerjakan. Allah Swt berfirman:
�������� ���� �� ������ �������
����� � !"��#$% ��!�&'���
($!*�+&,$$�- ���./0��� 1��
2!"��3☺��$% 5 .689:"�'��� �*;
<=�3"�>�?3☺��$% 1@AB
“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung”. (Ali-Imran: 104)78
Sedangkan dalam Qanun provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 9 Tahun 2003
tentang hubungan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dengan eksekutif,
legislatif dan instansi lainnya pada ketentuan umum disebutkan Wilayatul Hisbah adalah
satuan tugas yang membantu polisi dalam urusan penegakan syari’at Islam.79
Lain halnya
dengan Qanun Provinsi NAD No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam bidang
aqidah, ibadah, dan syiar Islam pada ketentuan umum disebutkan Wilayatul Hisbah adalah
badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam.80
78 Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam
Syari’at Islam, ( Jakarta: PT Darul Falah: 2006) h. 398
79 Qanun No 9 Tahun 2003, Tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama
Dengan Eksekutif, Legislatif, Dan Instansi Lainnya, ( Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Badan Pengelola Data Elektronik Provinsi NAD:2003) h 2
80 Qanun No 11 Tahun 2002, Tentang Pelaksanaan Syariat Bidang Aqidah, Ibadah, Dan Syiar
Islam, (Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Badan Pengelola Data Elektronik Provinsi
NAD:2002) h 2
Adapun syariat Islam yang ada di Aceh itu hanya untuk menjaga qanun / aturan
yang telah lalu. Esensialnya hanya mengatur enam aspek individu yang telah ada di Aceh,
enam peran itu adalah:
1) Setiap muslim wajib melaksanakan ajaran Islam termasuk shalat jumat.
2) Setiap muslim wajib memakai pakaian islami.
3) Setiap muslim dan non muslim dilarang mengkonsumsi narkoba ataupun menjual
khamr (minuman keras).
4) Setiap muslim dan non muslim dilarang berjudi.
5) Setiap muslim dilarang berkhalwat (berpacaran) antara laki-laki dan perempuan
yang belum menikah.
6) Setiap muslim diwajibkan untuk membayar zakat.81
Perlu kita pahami juga sekarang apakah masyarakat Aceh (Islam) mampu
‘membumikan’ syariat Islam sehingga terciptanya masyarakat yang beriman dan
taqwa? Ingat firman Allah SWT:
�"�� ��� CD;� %E�!F���$% G%�0��%�� G%�"��$%� $�0"�J⌧?"� �L �>� MN:⌧O�!�-
P� �� �Q$.☺RR�$% 1ST�U$%� �(�:"�� G%�-WX⌧O N3/:�+X"U'"& $.☺�- G%�+$CZ ���6(R��� 1[ B
81 Troy Johnson, Voices from Aceh: Perspectives on Syariat Law, (Hong Kong: City University of
Hong Kong: 2007) h. 4
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka
Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al-A’raf : 96)”82
Dalam konteks ini, maka pemberlakuan syariat Islam di Aceh perlu kita
sikapi.Artinya bagaimana umat Islam di Aceh melaksanakannya sesuai syariat sehingga
terwujudnya berkah dan kejayaan seperti generasi masa lalu Aceh yang baldatun
thayyibattun warabbun ghafur.
Atas dasar pandangan bagaimana membumikan ajaran syariat Islam dalam
kehidupan sehari-hari, penting bagi pimpinan atau petugas hisbah (muhtasib) dan semua
jajaran WH untuk melakukan introspeksi secara obyektif sekaligus merumuskan sikap,
langkah, kebijakan dan program kerja yang mampu mewujudkan kinerja terbaik sekaligus
mehilangkan citra buruk yang sampai saat ini masih melekat di tubuh WH. Dalam konteks
inilah perlu dilakukan reformasi ditubuh WH dari aspek filosofis perlu ditanamkan kuat-
kuat dan menjadi niat setiap jajaran WH bahwa menjadi anggota WH berarti harus siap dan
bersedia menjadi pelayan dan pelindung masyarakat, termasuk warga tidak perlu
mengeluarkan biaya sedikitpun. Aspek kultural mencakup sikap dan perilaku anggota WH
yang harus mampu menunjukan dirinya sebagai sahabat masyarakat. Adapun aspek
struktural adalah penyesuaian dan modernisasi kelembagaan WH, termasuk struktur
organisasi, tata kerja, susunan kedudukan, agar tetap mampu eksis dan sesuai dengan
kebutuhan dan tatanan zaman. Serta harapan masyarakat. Sedangkan aspek instrumental
82 Depag RI, Al-quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Depag RI: 1984) h. 298
antara lain dilengkapinya WH dengan peralatan modern dan canggih sesuai perkembangan
iptek sehingga memudahkan pelaksanaan tugasnya sekaligus membuktikan dirinya sebagai
lembaga yang menegakan amar ma'ruf nahi munkar yang modern dan profesional.
Namun demikian WH hanya berperan mengawasi hal-hal yang tampak (dzahir) dan
sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada
perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau
sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi uruf (adat) dalam keseharian
masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan,
perasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan
sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu
Wilayatul Qadha' atau Wilayatul Madzalim. Untuk Aceh, WH juga berperan mengawasi
qanun-qanun yang berkaitan dengan syariat Islam yang telah ditetapkan.
Jadi secara garis besarnya, peran yang diemban oleh WH dalam hukum Islam
adalah hanya sebatas pada pelanggaran syariat Islam, dan penegakan aturan-aturan yang
diajarkan oleh agama Islam, yaitu menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini sudah
jelas bahwa Islam diturunkan sebagai rahmatan lil alamin, ini berarti sebuah konsep yang
bisa diterapkan untuk manusia. Tetapi tentunya penerapan ini tergantung interpretasinya,
garisnya adalah selama ada dalam fleksibilitas Islam dan tidak berbeda. Karena itu
universalitas Islam yang tertuang dalam maqashid syari’ah menjadi penting untuk
diterapkan di segala aspek pendidikan, baik hukum maupun dalam aspek penegakan syariat
Islam yang dilakukan oleh lembaga WH. Bahkan berangkat dari ketiga aspek inilah
kemudian kata kunci yang tepat adalah bagaimana kemudian menciptakan “keadilan”,
karena dengan keadilan akan dapat meminimalisir tingkat kriminalitas di negara ini. Selain
itu dari keadilanlah sebenarnya akan tercipta kesejahteraan.
Wilayatul Hisbah (WH) juga merupakan satu sistem yang khas dalam sistem-sistem
Islam, karena WH adalah departemen resmi yang diperkenalkan kembali oleh masyarakat
di NAD. Tugas utamanya adalah mengawasi dan mensosialisasikan peraturan yang sudah
ada, serta memberitahu dan mengingatkan anggota-anggota masyarakat tentang aturan-
aturan yang harus diikuti, dan perbuatan yang harus dihindari karena bertentangan dengan
syariat, atau dengan kalimat lain, mereka disebut sebagai lembaga yang bertugas
melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.
Lebih dari itu, di samping bertugas mensosialisasikan peraturan-peraturan yang ada,
WH juga dapat memberi sangsi kepada para pelanggarnya, lembaga ini juga bertugas
mengingatkan dan menegur orang-orang agar mereka mengikuti aturan moral (akhlak) yang
baik, yang sangat dianjurkan di dalam syariat Islam. WH adalah cermin pelaksanaan syariat
Islam di Aceh.dan WH juga merupakan operasional dari pelaksanaan ajaran syariat Islam di
Aceh.
Namun sayangnya, Yusni Sabri wakil dari organisasi Aceh Institut menganggap,
bahwa anggota WH mempunyai repurtasi buruk dan juga melakukan pelanggaran di
tengah-tengah masyarakat.’misalnya’ ketika ada sesuatu terjadi, dimana menurut anggapan
mereka orang tersebut ’melanggar’, kemudian langsung diberi sanksi. Padahal dalam soal
HAM, apa yang dilakukan setiap orang adalah hak asasi. Sama sekali tidak ada
penghargaan, anggota WH adalah pemuda yang tidak memiliki penghargaan dan suka
mengkritik untuk mengintimindasi orang luar. Seperti orang non muslim, dan pasangan
yang sekedar jalan berdua.
Namun kepala WH merespon bahwa hal ini adalah bentuk kesalahpahaman Islam
dengan barat. Selama ini barat mengartikan WH adalah sebuah lembaga yang selalu
melakukan hukuman, padahal tidak ada kasusnya. Dalam hal ini WH tidak pernah memiliki
kewenangan untuk memberikan sanksi administratif di luar dari aturan yang
disosialisasikan. Problem yang terkait dengan aturan yang ada di qanun dan sanksi
administratif itu hanya di Mahkamah Syar’iyyah dan polisi umum.WH hanya dalam lisan
dan kertas, WH tidak menggunakan senjata dan kita tidak memberikan wewenang sanksi
kepada non muslim, polisi dan militer.
Oleh sebab itulah, WH di Aceh hanyalah lembaga yang mengawasi implementasi
syariat Islam atau disebut ‘shari’at police’ yakni pasukan yang bertindak tegas dalam
menjalankan apa yang menjadi wewenangnya dan yang bukan wewenangnya atau bisa di
sebut juga sebagai ‘polisi syariah’ seperti di negara-negara timur tengah yakni Lebanon,
Malaysia, Iran, Maroko dan lain-lain.83
83 Troy Johnson, Voices from Aceh: Perspectives on Syariat Law, (Hong Kong: City University of
Hong Kong: 2007) h. 19-20
Sebagai lembaga baru atau sebagai lembaga yang baru diperkenalkan kembali di
Aceh, WH mempunyai posisi tersendiri di dalam pemerintahan NAD, yaitu sebagai jantung
Dinas Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.84
Karena WH adalah lembaga pembantu tugas
kepolisian yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan amar ma'ruf nahi
munkar serta dapat berfungsi sebagai polisi khusus atau PPNS (Penyidik Pengawas Negeri
Sipil) yang kedudukannya berada di tengah-tengah antara lembaga kehakiman dan
Madzalim (pengadilan). 85
Dalam Islam, pembahasan tentang posisi WH mengambil inspirasi dari ketentuan
dan keberadaannya dalam sejarah umat Islam masa lalu, juga mempertimbangkan adat
yang telah melembaga serta tradisi yang telah ada di tengah masyarakat Aceh sekarang, dan
berpedoman pada peraturan tentang lembaga sosialisasi dan pengawasan yang ada, serta
berdasarkan perundang-undangan nasional, yang mempunyai tugas dan kewenangan yang
hampir sama dengan lembaga kepolisian yaitu sebagai Polisi Khusus (POLSUS), Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) atau Penyidik Pengawas Negeri Sipil (PPNS).
Seperti telah diuraikan di atas, keberadaan lembaga ini telah dicantumkan dalam
beberapa Qanun. Pertama sekali dalam perda nomor 5 tahun 2000, pasal 20 ayat (1) bab VI,
pengawasan dan penyidikan yang berbunyi :
84 Hafas Furqani,wilayatul hisbah ,http:// www.Acehinstitute.org / Frot-html, artikel diakses 20 Juli
2008.
85 Dr. Abdul Karim Zaidan, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul Majid:
2004) h 78.
(i) Pemerintah daerah berkewajiban membentuk badan yang membentuk badan
yang berwenang mengontrol/mengawasi (Wilayatul Hisbah) pelaksanaan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan daerah ini sehingga dapat berjalan
dengan sebaik-baiknya.86
Dalam buku ”police and people”, karya Profesor E Adlow dari Universitas Boston
menggambarkan kepolisian sebagai profesi yang sangat unik. Seorang polisi adalah
manusia penting dalam peradaban yang kompleks. Adapun kepolisian itu ada dua jenis:
polisi militer dan polisi yang berada di samping penguasa.
Al-Azhari berkata, “polisi adalah setiap kesatuan yang merupakan kesatuan
terbaik.diantara kesatuan pilihan tersebut adalah polisi, karena mereka adalah prajurit-
prajurit pilihan. Bahkan dikatakan mereka adalah kesatuan terbaik yang lebih menonjol dari
pada tentara.dikatakan bahwa mereka dinamakan syurthah (polisi) karena mereka memiliki
cirri-ciri yang telah dikenal, baik dari pakaian maupun kemampuan geraknya.
Pendapat diatas juga dipilih al-Ashma’i. Dikatakan di dalam kamus: Wa syurthah
(polisi), dengan dhammah, adalah bentuk tunggal dari asy-syurath. Mereka adalah kesatuan
terbaik yang terjun dalam perang dan mereka siap untuk mati. Polisi adalah kesatuan
diantara para penolong wali. Ia disebut dengan syurthi seperti halnya sebutan Turki dan
Juhani. Mereka dinamakan demikian karena diri mereka dapat diketahui dengan tanda-
tanda yang sudah dikenal luas.
86 Perda No 5 Tahun 2002, Tentang Pelaksanaan Syariat Islam ,http:// www.nad. go id/ index.php?
option= isi & taks= view& id=2924& itemid=513, diakses tanggal 25 july 2008
Polisi militer adalah bagian dari tentara yang memiliki tanda-tanda yang lebih
menonjol daripada pasukan yang lainnya untuk mendisiplinkan urusan-urusan
pasukan.polisi militer merupakan bagian dari pasukan yang berada dibawah Amirul Jihad,
yaitu berada di bawah Departamen Perang. Adapun polisi yang selalu siap disamping
penguasa berada dibawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Imam al-Bukhari
menuturkan riwayat dari Anas bin Malik:
,ا��>� ی�ي ��� ی2)ن آ�ن س�� �� "�E إن�I�� ���J ط�Lم�� م� ا�Mا Sesungguhnya Qais bin Saad di sisi Nabi saw.memiliki posisi sebagai kepala polisi dan ia termasuk
di antara para amil.
Maksudnya adalah Qais bin Saad bin ‘Ubadah al-Anshariy al-Khazraji di sisi Nabi
saw.berkedudukan sebagai kepala polisi dan ia termasuk diantara para amir, yaitu orang
yang menangani urusan-urusan polisi.87
Dengan demikian secara umum mengkaji masalah kepolisian bisa dibagi dalam tiga
kategori besar, yaitu lembaga (institusi), polisi sebagai individu, dan polisi sebagai filosofi
(hati nurani). Bila dikaitkan dengan tataran kewenangan yang telah disepakati dalam tugas
kepolisian, ada dua tataran tanggung jawab. Kepolisian sebagai organ yang bertanggung
jawab pada pimpinan atau komandan (policy), dan polisi sebagai individu yang
bertanggung jawab secara individu atas tindakan yang dilakukan. Sedang secara filosofis,
87 Hizbut Tahrir, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan & Administrasi), (Jakarta: HTI Press:
2006) h,154-155
melekat kesadaran pada setiap orang untuk menjadi polisi terhadap dirinya sendiri untuk
mendisiplinkan diri.88
Kepolisian juga merupakan bagian dari lembaga pemerintah yang dipahami
sebagai suatu organ, lembaga atau institusi dan bisa juga dimaknai sebagai organ beserta
fungsinya.89
Secara garis besar hal ini juga ditegaskan oleh undang-undang No. 2 tahun
2002 tentang kepolisian negara Republik Indonesia, yang menyatakan bahwa kedudukan
kepolisian itu berada di bawah presiden, yang tugas serta wewenangnya terdapat pada pasal
13 yaitu:
1) Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
2) Penegakan hukum
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Hal ini bisa kita jadikan paramenter perbedaan paling esensial antara polisi dan
tentara.saat bertugas,tentara bertanggung jawab mutlak pada pimpinan, sedang polisi
bertanggung jawab atas dirinya sendiri tampa harus melibatkan komandannya.serta
tindakan atau perbuatan di luar tugas kedinasan, baik polisi maupun tentara,harus
dipertanggung jawabkan secara individu (pribadi) bukan tanggung jawab lembaga atau
kedinasannya.
Dalam hal ini perlu kita perhatikan juga pandangan hukum Islam, yang menyatakan
bahwa negara yang adil dan makmur haruslah memiliki keamanan dan ketertiban dalam
89 Drs. Jend. Pol ( Purn) Kunarto, Etika Kepolisian, ( Jakarta: Cipta Manunggal: 1997) h 60.
semua aspek kehidupan baik, sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. di dalamnya
upaya perwujudan keamanan segenap potensi dan kemampuan. Kedudukan lembaga
kepolisian di Indonesia dalam pandangan hukum Islam di mana kedudukan lembaga
kepolisian sebagai alat negara di jelaskan dalam al-Qur’an;90
G%T� �� �3/"� $�� \�*"]�J^$% � �� M_`�*a b ��
(c$�-dT BD�X.]��$% <=�6 ;!* e f�- �3�� gQ$% �FZ�3���
�hi2!.P%��� � � \�/ +3j Ck �3/�+�3☺�>*" lQ$% �3/3☺�>*�� 5
$��� G%�F� ?0* � � ��m⌧g n�h BDX�o.^ gQ$% W$��� ���X"���
\�+�� Ck <=�3☺�>�F* 1 AB
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-Anfaal:60)
Maksud dari ayat ini adalah siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja
yang kami sanggupi dan dari kuda-kuda” (pangkal ayat). Dalam ayat ini Allah menyatakan
hendaklah yang beriman menjaga kekuatan. Karena kalau pihak musuh mengingkari janji,
90Syahrir Harahap, dkk., Islam dan TNI, relasi rakyat TNI mewujudkan pertahanan negara
(Yogyakarta ; PT. Tirta wacana Yogya, 2000) h-29
kita hanya dapat menegurnya dengan kekuatan, kalau kita lemah, maka tiap ada
kesempatan, niscaya mereka akan menginjak-injak janji itu, Maka ayat ini adalah lanjutan
dan akibat yang wajar dari usaha menegakkan Islam. Bagaimana akan sanggup menghadapi
perang, kalau persiapan kekuatan tidak ada?
Lanjutan ayat yang menegaskan “kamu menggentarkan musuh Allah, Musuh mu
dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya” yaitu dengan persiapan
perang yang tangguh dan kuat itu akan berfikirlah musuh seribu kali terlebih dahulu
sebelum memerangi kamu, atau sebelum mereka mengingkari janji.
Ayat di atas menjelaskan bahwa Keamanan pada akhirnya berkaitan dengan
tindakan keamanan diri (lembaga kepolisian) yang dalam bahasa agama disebut dengan
jihad, jihad dengan segala bentuknya bertujuan untuk menjalankan perintah Allah dalam
kehidupan (li’ila’i kalimatillah) yang juga dapat menjelaskan kedudukan Lembaga
Kepolisian di Indonesia dalam hukum Islam. Dimana kepolisian bertujuan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban serta melindungi negara, keutuhan kepolisian wilayah negara
Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk
ancaman.91
Seperti dalam pandangan Al-Qur’an, Al-Hadits sebagai pemberi penjelasan
tambahan terhadap Al-Qur’an (tibyan) memberi perhatian khusus dalam upaya
mewujudkan keamanan dan ketertiban serta upaya menghindari adanya gangguan
keamanan negara.
91Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz x, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas:1984) h 22
�� ))داودأ� روا+( ا��امT و"�ل ؟ ا "��)ام�ا�=)Rدی�رس)ل ، ���=)ة وا �
Siapkanlah kekuatan, Sahabat bertanya, Apakah kekuatan itu? Nabi menjawab kekuatan itu ialah
panah” (HR. Abu Daud).
Dari gambaran diatas, jelaslah bahwa fungsi keamanan dan ketertiban memiliki
peranan yang sangat penting dalam suksesi sebuah negara Indonesia yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Peneliti juga dapat mengambil kesimpulan bahwa posisi
Wilayatul Hisbah dan Lembaga Kepolisian dalam hukum Islam secara subtansial
melahirkan berbagai persamaan ataupun perbedaan.
Adapun persamaannya dalam hukum Islam adalah:
a) Wilayatul Hisbah Dan Lembaga Kepolisian mempunyai tugas yang sama
yaitu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat setempat.
b) Wilayatul Hisbah juga mempunyai fungsi yang sama dengan Lembaga
Kepolisian yaitu sebagai POLSUS (polisi khusus), dan PPNS (penyidik
pegawai negeri sipil
Adapun perbedaannya dalam hukum Islam adalah Kedudukan Wilayatul Hisbah
berada di tengah-tengah hukum pengadilan yang bersama-sama dengan Wilayatul Qadha
dan Wilayatul Madzalim berada dibawah Qadhi al-Qudhah (hakim agung). Karena sebagai
Lembaga pembantu tugas Kepolisian dalam Mengawasi dan Membina Masyarakat tentang
pelaksanaan Syariat Islam yaitu menegakkan amar maruf nahi munkar di daerah Nanggroe
Aceh Darussalam.
Sedangkan Lembaga Kepolisian berkedudukan sebagai alat negara yang
bertanggung jawab kepada presiden dalam melakukan fungsinya sebagai aparatur negara
yang mengamankan rakyatnya dari hal-hal yang tidak di inginkan (melanggar hukum).
Secara jelas hal ini juga ditegaskan oleh UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kepolisian
adalah sebagai alat Negara. Kedudukannya sebagai alat negara jelas menghendaki adanya
posisi yang tepat bagi Lembaga Kepolisian untuk bersikap dan bertindak untuk kepentingan
negara belaka. Dengan demikian tidak ada lagi dimungkinkan terciptanya situasi dan
kondisi dimana Lembaga Kepolisian menjadi alat kekuasaan dari suatu pemerintahan atau
bahkan menjadi alat bagi suatu kelompok elit tertentu. Apabila hal ini terjadi, maka dapat
dikatakan telah terjadi pelangggaran konstitusi yang serius dan memiliki dampak hukum
dan politik yang tidak ringan, atas dasar itu semua, pihak baik internal maupun eksternal
Lembaga Kepolisian, termasuk para pejabat dan elit politik hendaknya dapat memahami isi
konstitusi tersebut sekaligus mentaatinya sebagai bentuk kesadaran dan ketaatan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan interpretasi yang disajikan dalam bab-bab sebelumnya, penulis
dapat menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Tugas dan wewenang Lembaga Kepolisian menurut Undang-Undang No 2
Tahun 2002 meliputi, pemeliharaan keamanan dan ketertiban negara,
penegakan hukum, serta memberikan perlindungan dan pengayoman kepada
masyarakat yang membutuhkan pertolongan baik secara langsung maupun
tidak. Sedang Tugas Wilayatul Hisbah adalah membina, melakukan
advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar serta
berfungsi sebagai POLSUS ( polisi khusus ) dan PPNS ( penyidik pegawai
negeri sipil ).
2. Dalam hukum Islam polisi di sebut syurthah karena mereka adalah kesatuan
terbaik yang menonjol daripada tentara..Dan Wa Syuthah adalah bentuk
tunggal dari asy-syurath yakni kesatuan terbaik yang terjun dalam perang
dan mereka siap untuk mati. ia bisa juga disebut dengan syurthi seperti hal
nya di Negara Turki dan juhani.dan berfungsi sebagai, Pertama: Departemen
Keamanan Dalam Negeri yang dikepalai oleh Mudir Keamanan Dalam
Negeri (Mudir al-Amni ad-Dakhili) dan memiliki cabang di setiap wilayah
yang dinamakan Idarah al-Amni ad-Dakhili (Administrasi Keamanan Dalam
Negeri) yang dikepalai oleh kepala polisi wilayah (Shahib asy-Syurthah al-
Wilayah). Kedua: Amirul Jihad (Departemen Perang). Departemen
peperangan merupakan instansi negara. Kepalanya di sebut Amir al-Jihad
dan tidak disebut Mudir al-Jihad (Direktur Jihad).
3. Dalam pandangan hukum Islam, posisi Lembaga Kepolisian adalah sebagai
alat negara penegak hukum yang bertanggung jawab kepada presiden untuk
mengamankan negara dan masyarakat dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, melakukan penyidikan terhadap kejahatan, mengawasi
aliran kepercayaan yang membahayakan masyarakat dan negara serta
melakukan tugas khusus lain yang ditentukan dalam suatu peraturan negara.
Jadi sebenarnya lembaga kepolisian adalah Undang-Undang yang hidup.
Karena seorang polisi dan uniform yang dipakai adalah Undang-
Undang,dimana petunjuk dan keputusan seorang polisi harus dipatuhi, demi
ketertiban umum yang luas. Berbeda dengan Lembaga Kepolisian, Wilayatul
Hisbah mempunyai posisi tersendiri, yakni sebagai jantung dalam Dinas
Syariat Islam yang sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas
ini menegakan syariat sebab Wilayatul Hisbah di Aceh adalah cermin
pelaksanaan syariat Islam dan merupakan lembaga yang mengawasi
implementasi syariat atau disebut “ shari’at police” Kedudukannya berada
di tengah-tengah antara hukum kehakiman dan madzalim (pengadilan).
Karena Wilayatul Hisbah adalah Lembaga yang membantu tugas Lembaga
Kepolisian dalam mengawasi pelaksanaan syariat Islam secara umum, mulai
dari segi ibadah, muamalah, politik sosial dan budaya. Dan seiring dengan
perkembangannya sejarahnya lembaga ini masih banyak yang
melestarikan,seperti negara-negara timur tengah yaitu, Maroko, Lebanon,
Malaysia dan lain-lain.
4. Jadi pada hakekatnya masyarakat luas, baik yang berada di Indonesia
maupun di daerah Aceh, setuju dengan adanya Lembaga Kepolisian dan
Wilayatul Hisbah sebagai lembaga pembina dan pengawas tentang aturan-
aturan yang sudah berlaku dalam pemerintahan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, dan melihat sudut pandang hukum Islam
terhadap Lembaga Kepolisian serta Wilayatul Hisbah, maka penulis menyarankan
kepada pimpinan pusat Lembaga Kepolisian Republik Indonesia dan Petugas
Wilayatul Hisbah di Nanggroe Aceh Darussalam untuk:
1. Sebagai bagian dari fungsi pemerintahan negara, penyelenggaraan fungsi
kepolisian harus menetapkan paradigma yang dianut dalam reformasi
ketatanegaraan dan pemerintahan yang secara normatif konstitusional,
diterbitkan dalam bentuk ketetapan MPR, amandemen UUD 1945 dan
berbagai undang-undang.
2. Lembaga Kepolisian harus lebih akomodatif terhadap kondisi sosio historis
Indonesia sebagai bangsa yang plural dalam konteks keberagaman.
3. Orang yang menduduki jabatan Wilayatul Hisbah harus memiliki kriteria
tertentu yang ditetapkan dalam suatu perundang-undangan di Aceh, seperti
ukuran kriteria yang baik dan saleh, tidak berkelakuan buruk, mengetahui
hukum-hukum Islam, berintegrasi dan profesional.
4. Sebaiknya pemerintah provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merujuk kitab-
kitab salaf tentang Wilayatul Hisbah, dimana banyak sekali ulama-ulama
terkenal menduduki jabatan ini, untuk menentukan kriteria yang berhak
menduduki jabatan tersebut. Sebab kesalahan dalam melantik petugas
Wilayatul Hisbah akan menimbulkan kemarahan masyarakat yang berujung
pada pertentangan eksistensi institusi ini secara keseluruhan.
5. Mengingat provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah satu-satunya
provinsi berdasarkan Qanun Syari'at Islam, maka seharusnya pelaksanaan isi
Qanun bukanlah dalam persoalan saja, tetapi juga dalam berbagai level
kebijakan lainnya yang mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat
Aceh yang plural.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Karim
Abubakar, Al-Yasa, MA. Prof. Dr , Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Pendukung
Qanun Pelaksanaan Syariat Islam ), (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi
NAD, 2005)
Al-Nabhani,Taqiyuddin, Peraturan Hidup Dalam Islam, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia,
2008)
Al-Nabhani, Taqiyuddin, Struktur Negara Khilafah (Pemerintahan & Administrasi,
(Jakata: HTI, 2006)
Azhari, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya
(Jakarta: UI Pres ,1995).
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Hukum-hukum Penyelenggaraan Negara dalam
Syari’at Islam, (Jakarta: PT Darul Falah: 2006)
Ash Shiddiqie, Tengku Muhammad Hasby, Peradilan Dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001)
Asshiddiqie, Jimly, Agenda Perkembangan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, (Jakarta:
Balai Pustaka: 1998)
Amstrong, Karen, Islam a Short History (New York: A Modern Library Cronical Book,
2000)
Beik, Hudhori, Al-Wafafi Sirath Al-Khulaha, (Beirut: Dar Al-Fikr, TT)
Bosworth, Edmund, Annies of The Prophet dalam Bernard Lewis, The World of Island;
people, Culture, (London: Thames and Hudson, 1979)
Brotodirejo, Soebroto , Dalam R. Abdussalam, Penegakan Hukum Di Lapangan Oleh
Polri, (Jakarta: Dinas Hukum Polri: 199)
Castles, Lance, dalam Priyo Budi Santoso, Birokrasi Pemerintah Orde Baru Prespektif
Kultural dan Struktural, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1997)
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994).
Depag RI, Al-Qur’an al dan Terjemahannya, (Jakarta: Depag RI, 1984)
Encyclopedia Britanica, Volume XVIII, 1968
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz x, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas:1984)
Harahap, Syahrir, dkk. Islam dan TNI, relasi rakyat TNI mewujudkan pertahanan negara,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 2000)
Hafizh, Dasuki, M.A. Drs. H A, dkk, Ensiklopedi Islam Jilid I, (Jakarta: PT Ichtiar Baru
van Hoeve, 1996)
Hulsman, ML. HC., Sistem Peradilan Pidana Dalam Prespektif Perbandingan Hukum,
Disadur oleh Soedjono Dirdjosisworo , (Jakarta : Rajawali:1994)
Ibnu Taimiyah, Al- Siyasat Al-Syar’iyyah fi Islahi Al-Raiyyah, (Mesir: Dar Al-Kitab Al-
Araby, 1969).
Kunarto, Drs. Jend. Pol (Purn), Etika Kepolisian, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1997)
Kelana, Momo, Hukum Kepolisian, (Jakarta :CV Sandaan, 1984).
Kennedy, Hugh , The Prophet and The Age of The Chalipates: The Islamic Near East from
o The Eleven Century, (London: Longham, 1996).
Lubis Mocthar, Citra Polisi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998).
Moleong J. Lexy. M.A, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Roda Karya.
2004).
Muhammad, H. Rusjdi Ali, SH, MA.Prof. Dr,Revitalisasi Syariat Islam di Aceh Problem,
Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2003)
Mulyosudarmo, Soewoto, Pembaharuan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi,
(Malang: Assosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur dan In Trans: 2004),
McGraw Donner, Fred, The Early Islamic Conguest, (Princenton, Princenton University
Press, I981)
Pulungan, Suyuti, M.A. Dr. J, Fiqih Siyasah Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994)
Sadjijono, SH, M. HUM. Dr, Mengenal Hukum Kepolisian Prespektif Kedudukan dan
Hubungannya Dalam Hukum Administrasi, (Surabaya: Laks Bang MEDIATAMA,
2008)
Sunggono, Bambang ,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1997)
Smith, Bruce, Police Systems in United States, (New York: Harpher Brothers Publisher,
1949)
Syalabi, Prof. Dr. A., Sejarah Kebudayan Islam, (Jakarta: Anggota IKAPI: 1994)
Troy, Johnson, Voice from Aceh: Perspectives on Syariat Law, (Hong Kong: City
University of Hong Kong, 2007)
Yahya, Imam, Tradisi Militer Dalam Islam (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004)
Yatim, Badri, Drs., M.A, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT
Grafindo Persada: 2004)
Zaidan, Abdul Karim, Sistem Kehakiman Islam, (Kuala Lumpur: Pustaka Haji Abdul
Majid, 2004) .
Sumber Perundang-undangan
UU No 2 Tahun 2002 Dan Peraturan Pemerintah R.I No 12 Tahun 2007, Tentang
Kepolisian, (Bandung: Citra Umbara, 2007)
Qanun No 11 Tahun 2004, Tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, (Banda Aceh: Badan Pengelola Data Eletronik Prov. NAD, 2004)
Qanun No 9 Tahun 2003, Tentang Hubungan Tata Kerja Majelis Permusyawaratan Ulama
Dengan Eksekutif, Legislatif, Dan Instansi Lainnya, (Pemerintah Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam: Badan Pengelola Data Elektronik Provinsi NAD,
2003)
Qanun No 11 Tahun 2002, Tentang Pelaksanaan Syariat Bidang Aqidah, Ibadah, Dan
Syiar Islam, (Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Badan Pengelola
Data Elektronik Provinsi NAD, 2002)
Sumber Elektronik
Anonim, Pelayan Masyarakat, Lima Fungsi Umum Lembaga Kepolisian, http.//
id.wikipedia.org/ wiki/ pelayan masyarakat, Artikel diakses 29 Agustus 2008
Bakar,Abu, Drs, M.Si, Penerapan Syariat Islam,
http://www.puslitjaknov.depdiknas.go.id/data/file2008/. Artikel diakes pada
tanggal 22 februari 2009
Furqani, Hafas, Wilayatul Hisbah, http:// www.acehinstitute.org / Frot-html, artikel diakses
20 Juli 2008
Jamhuri, Drs, Wilayatul Hisbah Bukan Polisi Syariat, http:// www.serambinews.com / old
/index.php? aksi= baca opinid, artikel diakses 28 Juli 2008
Khathir, Rita, Syariat Islam, http://www.mail-serambi news.com/ppiindia
@yahoogroups.com/msg42549.html, diakses tanggal 2 januari 2009
Perda No 5 Tahun 2002, Tentang Pelaksanaan Syariat Islam ,http:// www.nad. go id/
index.php? option= isi & taks= view& id=2924& itemid=513, diakses tanggal 25
Juli 2008
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 11 TAHUN 2004
TENTANG
TUGAS FUNGSIONAL KEPOLISIAN
DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Menimbang:
a) Bahwa tata kehidupan masyarakat yang aman,tertib, nyaman dan tenteram dalam
wilayah Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu syarat untuk tercapainya
kehidupan masyarakat yang damai dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang
berkesinambungan untuk kesejahteraan masyarakat baik material maupun spiritual;
b) Bahwa pengaturan tentang pelaksanaan tugas fungsional Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam yang mendukung pelaksanaan syariat Islam
merupakan kebutuhan sesuai dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
c) Bahwa pengaturan tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
merupakan pelaksanaan ketentuan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001;
d) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dalam huruf a, b dan c, perlu
membentuk Qanun tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam.
Mengingat:
1. Al-Qur’an;
2. Al- Hadis;
3. Undang-Undang Dasar 1945;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara;
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64 Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209);
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Republik Indonesia
Lembaran Negara Nomor 3839);
7. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3879);
8. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 59);
9. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Propinsi Daerah Istimewa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893);
10. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi
Daerah Istimewa Sebagai Naggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3893);
11. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3952).
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG TUGAS
FUNGSIONAL KEPOLISIAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1) Pemerintah adalah Perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas
Presiden beserta para Menteri.
2) Provinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
3) Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta Perangkat Daerah Otonom yang lain
sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
4) Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
5) Kabupaten/Kota adalah Daerah Otonom dalam Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam yang dipimpin oleh Bupati/Walikota;
6) Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7) Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam adalah Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang bertugas di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
8) Wilayatul Hisbah adalah Lembaga pembantu tugas Kepolisian yang bertugas
membina, melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi
mungkar dan dapat berfungsi sebagai Polsus dan PPNS;
9) Kepentingan Dinas adalah Kepentingan Umum yang didasarkan pada Keputusan
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
10) Penyidik adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penyidikan;
11) Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan
mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup
Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing;
12) Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat
kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melaksanakan tugas penyidikan
yang diatur dalam Undang-undang;
13) Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan
menemukan tersangkanya.
BAB II
MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Maksud pembentukan Qanun ini adalah sebagai dasar dalam pelaksanaan tugas
operasional Kepolisian menurut ketentuan Undang-undang Kepolisian Negara Republik
Indonesia di bidang penegakan hukum syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Pasal 3
Tujuan pembentukan Qanun ini adalah memberi landasan yuridis bagi Kepolisian Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan penegakan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Pasal 4
1) Ruang lingkup pelaksanaan tugas fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam meliputi tindakan preemtif, preventif dan repressive non yustisial, dan
repressive pro yustisial di bidang tugas umum Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan penegakan syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2) Pelaksanaan tugas Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan dan Qanun di bidang syariat Islam.
BAB III
FUNGSI KEPOLISIAN DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Pasal 5
Fungsi Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu fungsi Pemerintah
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di bidang Keamanan, Ketertiban dan Ketentraman
masyarakat, perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat dan penegakan hukum
Syariat Islam.
Pasal 6
1) Pengemban fungsi Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam adalah
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam yang dibantu oleh Wilayatul
Hisbah yang dapat berfungsi sebagai Polisi Khusus dan atau PPNS.
2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat.
3) Melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
Qanun-qanun terkait dan Qanun Hukum Acara.
BAB IV
SUSUNAN DAN KEDUDUKAN KEPOLISIAN DAERAH NANGGROE ACEH
DARUSSALAM
Pasal 7
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan fungsinya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 meliputi seluruh wilayah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.
Pasal 8
Susunan organisasi dan tata kerja Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
disesuaikan dengan kepentingan pelaksanaan tugas umum Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan penegakan hukum Syariat Islam yang akan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden Republik Indonesia atas usul Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Pasal 9
Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam menetapkan, menyelenggarakan dan mengendalikan
kebijakan tehnis Kepolisian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, Qanun di bidang syariat Islam, Qanun Peradatan dan Qanun-qanun terkait lainnya.
BAB V
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 10
Tugas Pokok Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam selain sebagaimana
disebutkan dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga
melaksanakan tugas dan wewenang di bidang syariat Islam, peradatan dan tugas-tugas
fungsional lainnya yang diatur dalam berbagai Undang-undang terkait.
Pasal 11
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam pasal 10, Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam bertugas :
a) Melaksanakan tugas umum Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b) Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana (jarimah)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Qanun di bidang Syariat Islam,
Peradatan dan Qanun terkait lainnya.
Pasal 12
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 11, Kepolisian
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam berwenang;
a) Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
b) Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Qanun bidang Syariat Islam dan
Qanun lainnya.
Pasal 13
Pejabat Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam menjalankan tugas dan
wewenangnya di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya di
daerah hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan Qanun bidang Syariat Islam dan Qanun lainnya.
Pasal 14
1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya pejabat Kepolisian Daerah Nanggroe
Aceh Darussalam wajib bertindak berdasarkan norma hukum dan ketentuan Syariat
Islam;
2) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam mengutamakan tindakan persuasif
dan preventif.
BAB VI
HUBUNGAN FUNGSIONAL
Pasal 15
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksakan kebijakan tehnis
Kepolisian bidang keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat serta penegakan
Syariat Islam dipertanggung jawabkan oleh Kapolda Daerah Nanggroe Aceh Darussalam
kepada KAPOLRI dan juga kepada Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 16
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam melaksanakan kebijakan keamanan,
ketertiban dan ketentraman masyarakat, perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat dikoordinasikan oleh Kapolda Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Kepada
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 17
Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam dalam menjalankan kebijakan di bidang
ketertiban dan ketentraman serta penegakan syariat Islam, perlu melakukan
konsultasi/mendengar pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
BAB VII
PEMBINAAN
Pasal 18
1) Pembinaan kemampuan profesi pejabat Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang Kepolisian;
2) Pembinaan kemampuan tekhnis Pejabat Kepolisian yang diberi tugas Khusus dan
Anggota Wilayatul Hisbah dilakukan oleh Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam bersama Dinas Syariat Islam.
Pasal 19
Pengangkatan, pemberhentian, penggajian dan pembinaan pejabat Wilayatul Hisbah
dilakukan oleh Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 20
Kedudukan, susunan dan tata kerja Sub-Unit organisasi Kepolisian Daerah dibidang Syariat
Islam dan Pejabat Wilayatul Hisbah diatur dalam Qanun tersendiri.
BAB VIII
PEMBIAYAAN
Pasal 21
1) Segala pembiayaan yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas
umum Kepolisian Republik Indonesia di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di
bebankan pada APBN.
2) Segala pembiayaan yang di perlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas
fungsional Kepolisian Daerah/sub-unit Organisasi Kepolisian Daerah Nanggroe
Aceh Darussalam, bidang Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah dibebankan pada
APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota.
BAB IX
PENUTUP
Pasal 22
Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini akan di atur lebih lanjut dengan Keputusan
Gubernur.
Pasal 23
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pegundangan Qanun ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,
ABDULLAH PUTEH
Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
THANTHAWI ISHAK
LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN
2004 NOMOR 11 DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
KETUA
TGK. MUHAMMAD YUS
PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 11 TAHUN 2004 TENTANG TUGAS FUNGSIONAL KEPOLISIAN
DAERAH NANGGROE ACEH DARUSSALAM
I. PENJELASAN UMUM
Qanun Tentang Tugas Fungsi Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam, merupakan
penjabaran dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang
diselenggarakan dengan Undang-undang Nomor 44 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh. Dalam Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Nanggro Aceh
Darussalam.
Qanun ini dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan Tugas Fungsional
Kepolisian dalam bidang keamanan, ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Dengan
demikian Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam mempunyai landasan yuridis
dalam melaksanakan wewenangnya.
Tugas-tugas Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam selain tugas-tugas yang
bersifat umum berdasarkan Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga
dilaksanakan tugas-tugas khusus pelaksanaan dan penegakan Syariat Islam yang diatur
Qanun.
II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup Jelas
Pasal 2
Cukup Jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tindakan preemtif adalah eliminasi terhadap faktor-faktor stimulan
melalui upaya rekayasa untuk mendapat daya tangkal dan daya lawan masyarakat terhadap
ancaman Kamtibmas.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Pasal 5
Cukup Jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Anggota Wilayatul Hisbah yang diangkat sesuai dengan kontrak kerja dan bukan berstatus
sebagai Pegawai Negeri Sipil, difungsikan sebagai Pembantu Kepolisian Khusus (Polsus)
dan kepadanya diberi kewenangan tertentu yang diatur dengan Keputusan Kapolda.
Anggota Wilayatul Hisbah yang telah diangkat menjadi PNS, kepadanya diberikan hak
penuh sebagai PPNS.
Ayat (2)
Sebelum Qanun tentang Hukum Acara Penerapan Syariat Islam terbentuk, KUHAP tetap
digunakan sebagai pedoman hukum acara.
Pasal 7
Cukup Jelas
Pasal 8
Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam bersama Gubernur dan DPRD Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam dapat mengambil langkah-langkah persiapan untuk menyusun rancangan
sub-unit organisasi pelaksana tekhnis bidang khusus (misalnya dalam bentuk direktorat)
untuk penegakan Syariat Islam.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan tidak diatur khusus dalam Qanun Syariat Islam dan Qanun lainnya
misalnya seperti yang juga diatur dalam Qanun Peradatan, yang memberi kesempatan
kepada Keuchik dan Mukim untuk menyelesaikan tindak pidana secara musyawarah (Adat)
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Dalam menjalankan kebijakan dibidang ketertiban dan ketenteraman masyarakat, perlu
dikonsultasikan kepada Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), karena bidang-bidang ini
mencakup hal yang luas, agar dalam menjalankan kebijakan dibidang tertentu tidak
bertentangan dengan Ketentuan Syariat Islam.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Sebelum terbentuknya Qanun tentang sub-unit organisasi Kepolisian Daerah dan Wilayatul
Hisbah, untuk hal tersebut Kapolda dan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dapat
melakukan langkah-langkah persiapan dalam bentuk surat Keputusan.
Pasal 21
Huruf (1)
Cukup jelas
Huruf (2)
Sumber dana dari APBD Provinsi diperuntukkan bagi Pelaksanaan Syariat Islam dan
kegiatan Wilayatul Hisbah untuk Tingkat Provinsi. APBD Kabupaten/Kota dimaksudkan
untuk mendukung kegiatan Pelaksanaan Syariat Islam dan Wilayatul Hisbah di
Kabupaten/Kota. Sedangkan sumber dana dari APBN diusahakan oleh Provinsi
berdasarkan usulan kegiatan Provinsi dan atau bersama Kabupaten/Kota yang dipergunakan
untuk membiayai Penyelenggaraan Syariat Islam dan kegiatan Wilayatul Hisbah di Provinsi
dan Kabupaten/Kota. Pembebanan pada APBN dalam rangka implementasi Undang-
undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001.
Pasal 22
Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak terjadi kefakuman dalam usaha peningkatan Syariat
Islam.
Pasal 23
Cukup jelas
Recommended