View
17
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
Mahatmanta Article
Citation preview
CADD DALAM STUDIO ARSITEKTUR abstrak
Tumpuan mahasiswa untuk sukses di pendidikan arsitektur adalah pada ke-mampuan
spatialnya. Dengan kemampuan spatial yang dimaksud adalah kemampuan untuk
membayangkan dirinya berinteraksi dan terlibat dengan ruang dan pembatas-
pembatasnya: lantai, dinding, atap Kemampuan spa-tial yang baik akan menolong
banyak pada proses kreatifnya sebagai ar-sitek.. Dengan munculnya fenomena
Computer Aided Drafting-Design (CADD) mau tidak mau harus dipelajari berhubung
alat itu banyak dipakai di indus-tri konstruksi tempat mereka bekerja nanti, maka
muncullah masalah yang berkaitan dengan hal keterlibatan dengan ruang tadi.
Pertama, software CADD yang menguasai pasar nasional kita dibuat untuk kepentingan
produksi, alih-alih untuk kepentingan penjelajahan kreatif. Kedua, bekerja dengan
CADD adalah bekerja dalam ruang kartesian yang abstrak dan berbeda dengan
penghayatan ruang yang nyata. Menyadari hal-hal di atas maka Studio Arsitektur,
tempat para calon ar-sitek dilatih, perlu memberi prioritas kepada CADD sebagai alat
bantu pe-rancangan dan menghindari memperlakukannya sebagai alat produksi be-
laka. Studio Arsitektur perlu melakukan semacam program penyesuaian yang
menghantarkan orang dari “ruang yang dihayati” ke “ruang yang diabstraksi”, hal yang
tidak terlalu sederhana pelaksanaannya.
Pada paroh kedua abad ini, bidang-bidang baru yang lahir mengikuti munculnya
komputer, seperti cybernetics dan teori informasi, telah me-mainkan peran penting
yang mirip dengan peran yang sudah dibawakan oleh biologi dan psikologi pada masa
lalu: yakni menjadi sumber bagi paradigma-paradigma konseptual baru untuk disiplin
lain, termasuk arsitektur. Misalnya, konsep tentang Sistem, yang dipa-hami sebagai
paduan antara sosok-latar atau form-context, melahirkan prinsip-prinsip dasar pada
cybernetics, linguistik struktural dan teori informasi. Demikian pula dengan Gestalt,
kon-sep dasar dari psikologi persepsi telah dikem-bangkan pada teori ‘problem-solving’
dan teori informasi. Kedua contoh itu juga telah mempe-ngaruhi secara mendalam
arsitektur. Tidak ke-tinggalan filsafat fenomenologi yang menghargai pengalaman asli,
mula-mula, antara manusia dengan fenomena yang ditangkap inderanya. Computer
Aided Drafting-Design (CADD) muncul ketika perancangan arsitektur dianggap sebagai
suatu kegiatan pemecahan masalah ‘problem-solving’ dan perancangan adalah me-
nemukan variasi yang paling cocok di antara banyak kemungkinan yang ada.
menghayati ruang
Dimasukkannya bidang studi arsitektur pada fakultas teknik telah mengaburkan
pumpunan (fokus) utama dari pekerjaan arsitek. Arsitek adalah perancang ruang alih-
alih pembuat bangunan. Titik beratnya ada pada kegiatan peran-cangan dan bukan
pada kerekayasaan dan manufaktur. Sedangkan yang menjadi obyek perancangannya
adalah ruang. Ruang adalah alfa-omeganya arsitek. Ruang sebagai fenomena yang
ditangkap manusia lewat indera tubuhnya dihayati selain melalui ketiga matranya juga
melalui waktu. Penghayatan ruang selalu berlangsung pada suatu tempat dalam suatu
waktu. Menghayati ruang adalah hidup di dalam, atau terbenam dalam ruang. Suatu
situasi dimana tubuh dan inderanya berinteraksi secara dinamik dengan batas-batas
pembentuk ruang. Dengan demikian, sebenarnya perhatian arsitek adalah kepada
kekosongan dimana aktivitas manusia mengambil tempat, dan bukan pada batas-
batasnya (dinding, lantai, atap). Ruang dibangun dan menjadi nyata karena batas-
batasnya ditetapkan. Batas-batas inilah yang bisa digambar, dibangun, diraba,
dipegang. Na-mun bagi arsitek, itu hanya aspek samping dari ruang yang dibatasinya.
Sebaliknya bagi engineer, itulah yang paling nyata dan yang menjadi sasaran
pekerjaannya.
Penjelajahan kreatif arsitek terletak pada kegiatan membongkar-pasang dan
memanipulasi batas-batas tadi agar didapat ruang yang paling memenuhi kebutuhan
manusia pemakainya. Alat bagi arsitek untuk melakukan pekerjaannya ini sepanjang
sejarah senantiasa berkembang.
Dampak CAD pada proses perancangan agaknya lama diabaikan. Kebanyakan arsitek
menggunakan teknologi informasi dalam perancangan bangunan kalau tidak sebagai
job-trained yang memandang CAD sebagai alat bantu, atau sebagai orang yang dididik
secara akademik yang memperlakukan CAD sebagai bidang ter-sendiri terpisah dari
studio perancangan. Iron-inya adalah bahwa hal ini terjadi ketika studio itu sendiri
berkembang semakin kompleks dan karya-karya arsitek kontemporer semakin
'menggila'.
Yang berlangsung adalah studio itu -di jaman informasi seperti sekarang ini- masih saja
mengulang-ulang proses perancangan lamanya yang dikerjakan berabad-abad silam.
Terjadilah penggunaan yang tidak tepat medium elektronik yang seharusnya bisa
mengubah cara pandang kita terhadap proses desain, memampukan ma-hasiswa
mengeksplorasi konsep-konsep spatial-nya, menguji desain dari sudut yang paling
esen-sial: penghayatan.
Dengan penghayatan ini yang saya maksud adalah relasi antara subyek terhadap
benda-benda dimana kita kecemplung di antaranya.
Evolusi Computer Aided Drafting and Design, atau CADD, sudah mengubah tidak hanya
praktik arsitektur namun juga bagaimana ar-sitektur itu diajarkan. Pada tahu 80 an
adalah biasa kalau mahasiswa arsitektur pergi kuliah dengan membawa teken-haak (T-
square), berbagai jenis pensil, maal dan tabung berisi gulungan kertas, serta alat-alat
gambar lain. Waktu itu komputer selain adalah barang mahal yang tidak semua orang
memiliki, juga software CAD belum semudah sekarang untuk mendapatkannya, serta
operasi-operasinya belum user-friendly. Keadaan itu berubah cepat pada masa kini.
Bila Banyak program yang sudah bisa dikerjakan sendiri oleh Arsitek, dan komputer
menjadi alat presentasi di samping menjadi alat penggambar. Mula-mula komputer
memang adalah alat peng-gambar (drafting), namun sekarang ini sudah meningkat
menjadi alat bantu perancangan pula (design), sehingga CAD menjadi CADD. Komputer
masa kini sudah sedemikian baik kemam-puannya sehingga mampu menampilkan
virtual reality, 3D effect. Meski demikian, komputer tidak bisa menggan-tikan pikiran
dan tangan manusia. Ada sesuatu yang belum dapat diperikan mengenai kemam-puan
manusia yang tak tergantikan oleh kom-puter, sekalipun komputer itu meningkatkan
efisiensinya. Komputer itu adalah prosesor linier, satu langkah untuk satu ketika.
Sedang-kan merancang tidak dalam proses linear seperti itu. Arsitek berpikir serentak
pada satu ketika daripada bertahap linier. (Inilah sebabnya ke-banyakan arsitek sulit
mengungkapkan gagasan lewat kata-kata dan kalimat yang merupakan ekspresi cara
berpikir yang linier) Dalam arsitektur selalu terdapat banyak solusi daripada solusi
tunggal, hal yang amat berbeda dengan komputer yang selalu memberi satu solusi
terbaik, dan komputer selalu memberi ilusi bahwa ada satu jawaban saja. Komputer
sedemikan eksak, teliti dan dapat diandalkan.
Hal ini tercermin pada perkuliahan. Kita akan selalu meminta mahasiswa untuk
membuat model. Proses menyusun dan menyambung ba-han-bahan pembuat model
(maket) itu mirip dengan proses membangun bangunan, berbeda sama sekali dengan
mengklik tikusan (mouse) di sana sini. Pada masa lalu banyak sekali lulusan baru
pencari kerja berusaha menguasai software tertentu. Sekarang, biro-biro arsitek
menyadari bahwa softwares itu dengan mudah dapat dipelajari sambil kerja.
Software itu dibuat untuk alat bantu, bukan untuk alat pengajaran. Mahasiswa bisa
diminta mengerjakan tugas dengan mempergunakan software tertentu, namun
menerima nilai atas dasar pengerjaan tugas itu. Munculnya CADD membawa tuntutan
akan kualitas yang baik dikerjakan dengan waktu yang singkat, dan seharusnya dengan
harga yang semakin murah.
Saya percaya bahwa komputer selama ini hanya terbatas pada CAD karena
interfacenya masih statis (yang saya maksud adalah non-fluid, tidak diubungkan secara
langsung dengan gerak tu-buh,dan karenanya mungkin tidak inspiratif bagi arsitek dan
desainer lain). Hal ini sudah berubah dalam beberapa hal, misalnya dengan penggu-
naan pena stylus dan tablet yang meskipun ma-sih belum bisa merespons tekanan yang
berbeda-beda seperti halnya menggunakan pensil namun sudah lebih leluasa bila
dibanding dengan mouse. Menggambar garis dengan stylus bisa lebih ce-pat dibanding
dengan pensil, karena tidak perlu menunggu tangan kita selesai menarik garis itu.
Sayangnya, gambar yang kita kerjakan dengan CADD tidak bisa tampil sebesar dengan
cara kertas, berhubung keterbatasan monitor. Inilah barangkalai yang menyulitkan
mahasiswa dalam mengubah pandangannya bahwa yang di hadapannya itu bukan
monitor tapi benda 3D yang sedang ia hayati.
studio arsitektur
Dalam taksonomi ilmu, arsitektur lazimnya di-masukkan kedalam bidang ilmu
keteknikan. Perkembangan dalam disiplin ini sendiri telah memunculkan segi-seginya
yang baru, bahwa ternyata arsitektur itu berbeda secara mendasar dengan bidang-
bidang teknik lain. Arsitek berkepentingan dengan pembuatan ruang yang cocok untuk
kegiatan manusia yang menempatinya. Arsitek berpikir dengan bahasa visual
sementara engineer dengan bahasa matematis. Perceraian ini sudah terjadi semenjak
Revolusi Industri ketika orang-orang Ensiklopedis menempatkan fisika menjadi dasar
bagi teknologi. Sekarang pemisahan itu lambat-laun mendekat oleh pe-n-garuh apa
yang kita sebut sebagai "media". Film, televisi, CAD, advertising, signate dsb. telah
mengepung kehidupan sesehari kita dan semakin meningkatkan kemampuan bahasa
visual kita.
Arsitek itu tertarik kepada benda-benda, objek. Keterpesonaan mereka lebih kepada
bangunan atau benda jadinya daripada pada cara pembuat-an dan prosedur
manufakturnya. Ia lebih tertarik pada teori desain daripada metoda desain. Se-
baliknya dengan engineer, yang justru tertarik dengan proses, pada bagaimana sesuatu
itu ha-rus dilaksanakan atau dibuat.
Dalam sebuah kantor arsitek, kegiatan yang berlangsung di Studio Arsitektur dibedakan
de-ngan bagian produksi dokumen. Studio berkepentingan dengan pencarian kreatif
rancangan arsitektural, sedangkan bagian produksi lebih berkepentingan dengan
pembua-tan gam-bar-gambar dokumen pembangunan.
alat-alat perancangan
Dalam sejarahnya, arsitek merancang dengan menggunakan beberapa media. Sebelum
kertas digunakan, adalah model atau maket dan tablet -semacam lempung yang
ditoreh dan kemudian dikeringkan- yang menjadi dokumen perancang-an.
Kertas menduduki tempat penting karena kemu-dahannya dalam pemakaian dan
penyimpanan.
Sejarah kertas tidak ada yang bisa memberi kepastian kapan dikenal oleh manusia,
namun pengetahuan kita terakhir mengenainya mengatakan bahwa medium ini mulai
diperguna-kan sebagai pencatat dan penyimpan dokumen tertu-lis perdana dilakukan
di Cina dan kemudian Jepang. Orang Mesir dan Mesopotamia, sebagai kawasan yang
diakui Orang Barat sebagai tempat lahirnya peradaban, tidak mencatat dokumen
mereka dengan kertas. Sekalipun istilah paper, papier itu berasal dari kata papyrus
sejenis alang-alang yang tumbuh di sekitar Asia Barat sana. Orang di kedua kawasan
itu mencatat do-kumen mereka pada kulit binatang atau per-kamen (parchment) yang
lebih awet dan bisa ditulisi berulang-ulang.
Perancangan arsitektur di beberapa kelompok kebudayaan kuna mempergunakan
tablet (tanah lempung yang ditoreh dan kemudian dikering-kan), batu atau logam, di
samping juga direkam dalam mitos, kidung dan folklore. Pada kelom-pok kebudayaan
yang lebih maju, digunakanlah maket atau model, suatu tiruan dalam perban-dingan
kecil yang umumnya dibuat dari batu, kayu atau logam.
Dunia Barat mempergunakan kertas sebagai medium komunikasi perancangan baru
sekitar Abad Tengah dan Renesans (sekitar abad VIII - XII). Pada masa itu (Renesans)
muncullah per-tama kali konsep perspektif dalam perancangan arsitektur. Konsep ini
penting karena mencoba memberi citra yang lebih lengkap suatu rancang-an dengan
menyertakan lebih banyak informasi yang disusun berangsur-angsur menjauh dari
pengamat dan mengecil. Dengan itu gambar jadi semakin 'berbicara' dibanding
gambar-gambar sebelumnya karena lebih realistis, menyerupai kenyataannya.
Jaman-jaman berikut semakin memerlukan ker-tas karena kemudahannya disimpan,
portable, dan bisa direproduksi dengan mudah. Diketemu-kannya kertas
'tembuspandang' seperti doorslag dan kalkir melahirkan mesin lichtdruk yang
memudahkan reproduksi itu. Reproduksi diper-lukan karena semakin bertambah
banyaknya pihak yang terlibat dalam proyek pembangunan dimana masing-masing
pihak harus memegang dokumen yang kandungan informasinya sama.
CADD adalah media yang menyusul kemudian. Berkembang pesatnya jenis software
mendaya gunakan komputer untuk berbagai keperluan manusia dengan lebih cepat dan
akurat.
CADD memang tidak meniadakan penggunaan kertas, namun demikian paling tidak bisa
dihe-mat hingga kepada tahap yang mutlak memper-gunakan medium itu saja: yaitu
dokumen ak-hirnya.
Sebagai pengajar, saya lebih bersikap untuk me-nempatkan CADD sebagai alat bantu
yang memperkaya daripada menggantikan prosedur lama.
jaringan dan internet
Perguruan tinggi seyogyanya memberi investasi ini kepada mahasiswanya. Lab
komputer yang terhubungkan dalam LAN menjadi andalan mereka. Aksesibilitas ke
segenap penjuru kam-pus tidak harus diungkapkan dengan sirkulasi orang yang harus
berlarianke sana e mari, na-mun cukup dengan sentuhan di atas keyboard.
Komputer tidak membuat hidup lantas lebih mudah. Mahasiswa masih saja lembur
menger-jakan tugas sampai jauh malam. Hanya saja, informasi kini jauh lebih mudah
diaksesnya.
Kita tidak lagi perlu membagikan hardcopy, cu-kup dengan email, mailinglist dsb.
representasi dan presentasi
Umumnya rancangan diangankan 3D dalam be-nak, dan kemudian direpresentasikan
(dan diek-splorasi) melalui representasi 2D pada se-lembar kertas datar. Kadang kita
perlu membuat model (maket) yang adalah representasi ruang 3D yang bisa menolong
kita menghayati ruang dengan lebih baik. Berbeda dengan kertas yang memiliki batas
ukuran tertentu komputer itu ‘infinite-dimensional’
Masa sekarang, untuk kebutuhan penghadiran ruang yang mendekati nyata, dapat
dilayani dengan Quicktime VR, animasi.
Bagaimana pun saya masih menggunakan kertas roti, pensil warna dan pensil lunak (4B
- 6B) untuk membuat sketsa-sketsa awal dan brain-storming dan kemudian baru
berpindah ke kom-puter. Saya sering bolak-balik antara sketsa dan komputer.
Komputer masih terlalu “keras” bagi saya yang masih membutuhkan sentuhan kertas
dan ringan-kuatnya tekanan pensil padanya.
Penggunaan CADD memberikan banyak keun-tungan, selain memungkinkan kita bolak-
balik melakukan revisi dan pengujian tanpa mem-buang banyak material juga CADD
memberikan kepada kita model 3D yang akurat, perhitungan yang teliti dan
menghemat waktu.
CADD dan studio arsitektur
Tuntutan yang diminta dari komputer sebagai alat bantu di Studio Arsitektur adalah
kemam-puannya untuk memberi citra 3D mengenai ruang yang akan dibangun.
Tuntutan ini berbeda dengan bagian produksi dokumen perancangan yang
memperlakukan CAD sebagai alat gambar (drafting). Penjelajahan spatial yang bisa
diko-reksi dan dibangun lagi berulang-ulang adalah sangat menolong arsitek dalam
mengambil kepu-tusan rancangannya.
pustaka
Snyder, James; “Introduction to Architecture”
Embuh; “Architecture Education”
Mandrazo,Leandro; “The concept of type in Ar-chitecture”, unpublished Diss.ETH
Zurich; 1995.
Soesilo,Soehartono; “Arsitek dan Pemikiran”
MEWARISI ELOKNYA KESEDERHANAAN
APRESIASI KARYA ARSITEKTUR GHIJSEL DI INDONESIA
hunian dan penghuni
Relasi orang (penghuni) dengan arsitektur (hunian) di mana kita melakukan kegiatan
kese-harian rupanya lebih erat daripada yang kita kira, relasinya adalah dialektik,
saling mempen-garuhi dan karenanya jarang disadari. Baru disadari kemudian setelah
hunian itu hilang. Dialek-tika itu terjadi ketika si penghuni berusaha keras untuk
mengubah hunian agar pas menjadi sungguh-sungguh huniannya, dan diimbangi dengan
usaha dia menyusun kegiatannya agar sesuai dengan keadaan huniannya. Demikian
juga halnya ketika kita harus mewarisi bangunan lama yang dibuat oleh dan untuk
orang lain di masa lampau maka upaya pencapaian keseim-bangan dialektik antara
hunian (yang lama) dengan penghuni (yang baru) tadi bisa berakibat 'pudar'nya kualitas
hunian semula karena tuntutan penghuni baru yang tidak bisa dimungkinkan oleh
huniannya.
merelakan dan menjagai
Pesona yang muncul dari melihat gambar-gambar bangunan lama seperti karya-karya
arsitek Belanda FJL Ghijsels yang kini sedang dipamerkan di beberapa kota kita ini
mengingatkan kita akan beberapa hal yang memang harus direlakan hilang oleh waktu,
namun juga memperingat-kan akan kualitas lain yang perlu dijaga dan dipertahankan.
Banyak dari karya itu masih dapat kita jumpai, bahkan menjadi tempat kita sehari-hari
melakukan kegiatan, namun kualitasnya sudah amat berbeda dengan semula. Stasion,
Rumah Sakit, Kantor, Bank, Gereja, Hotel dll. yang dulunya adalah fungsi-fungsi yang
tidak dikenal dalam masyarakat tradisional, kini sudah menjadi bagian penting dari
kehidupan publik, dari seluruh anggota masyarakat kota kita.
Lihatlah Stasion Jakarta Kota (Stationgebouw BATAVIA), salah satu karya terindah
Ghijsels yang berlanggam "Indische Bouwen". Foto udara bangunan ini menghenyakkan
kita akan fakta, bahwa ternyata bangunan ini dulunya berada dalam kesatuan dengan
taman di sebelah barat-nya, juga dengan padu menyatu dengan bangunan Factorij di
seberangnya. Ruang kota sekitar Taman Stasion ini sungguh nyata dan dapat dirasakan,
pun memberi jarak yang cukup untuk 'menangkap' skala bangunan-bangunan
sekelilingnya. Ruang kota dan kenikmatan yang diberi-kan seperti itu sudah hilang
sekarang karena semakin padatnya kendaraan bermobil yang menceraikan paduan
antara Stasion dengan Taman. Dan, Skala, aspek penting dalam menga-presiasi
keindahan ruang, sudah terampas dari sana sehingga hanya menyisakan sekadar
onggokan bangunan lama. Ruang-ruang sekitar bangunan yang dulunya menyatu
dengannya karena dibutuhkan untuk skala yang tepat kini berebut dengan kebutuhan
ekonomik yang 'lebih mendesak'. Kawasan kota ini sebagaimana dirasakan di bagian
kota lain sudah tidak punya lagi ruang bersama lega yang menjadi ‘muara’ dan simpul
dari jaringan jalan-jalannya. Jejaring jalan itu telah turun maknanya menjadi sekadar
jalur untuk melintas alih-alih ruang perjumpaan sosial warga kota.
Sekarang tengoklah bagian dalam dari stasion ini, yang dengan jujur memperlihatkan
prinsip struktur 'pelengkung tiga sendi' sebagai kerangka dasar bangunan. Prinsip
struktur ini dengan wajar melahirkan bentuk bangunan stasion yang mirip dengan
gerbong kereta api sendiri. Suatu kejujuran dan kesederhanaan yang telanjang dan
tidak dicari-cari.
keindahan ruang dan ornamen
Bangunan-bangunan karya Ghijsels mengenal juga rincian ornamen (detail) yang
memperlihat-kan pengaruh Art Deco pada masanya. Pada masa itu jamaklah Arsitek
merangkap menjadi Kontraktor Pelaksana, sehingga tidak heran kalau rincian yang
sulit masih dapat dilaksanakan tanpa kesulitan. Namun demikian, sebenarnya
keindahan arsitektural itu lebih daripada sekadar keindahan ornamen seperti itu, dan
bukan dalam aspek itulah kita menghargai bangunan lama.
Rasakan halaman dalam dari Rumah Sakit Panti Rapih (Ziekenhuis Onder de Bogen)
Yogya-karta ini, bersih dari pernik rincian, namun halaman dalam itu (inner court)
hening seperti oasis bila dibandingkan dengan halaman luar yang luar biasa sibuk dan
bisingnya. Konsep inner-court ini mengingatkan akan kualitas yang sama yang bisa
dijumpai di Biara-biara Katolik, kon-sep yang sudah berumur ratusan tahun dan dikenal
baik di Barat maupun di Timur (Werner Blaser; "ATRIUM, Lichtöfe seit fünf
Jahrtausenden", Wepf & Co. AG Verlag, 1985). Rasakanlah hubungan antara halaman
tadi dengan selasar yang mengitarinya, juga busur-busur (arcade) yang menyeleksi
serta membingkai pemandangan. Keindahan ruang ini bukan keindahan yang
ornamental, tidak tergantung pada gilap dan mewahnya bahan bangunan, tidak pula
pada kerumitan ornamen. Penghargaan akan ruang ditambah dengan kewajaran bentuk
bangunan akan menghantar kepada keindahan. Keindahan ruang amat sederhana,
namun akan semakin mahal di tengah kota yang semakin memadat pada masa kini.
Apa yang terjadi pada ruang-ruang sekitar gereja St. Josef di Jatinegara (Meester
Cornelis) juga nasib yang kira-kira sama, kita sekarang hanya bisa mengamati
bangunan secara keselu-ruhan justru dari jembatan layang yang dulunya tidak pernah
menjadi pertimbangan untuk mengamati keelokan bangunan itu.
bangunan lama dan ruang kota
Ghijsels berkarya dengan teknologi membangun yang tersedia pada jamannya yang
buat kita kini mungkin hanya akan mendatangkan kritik karena boros bahan, lahan,
dan rancangan yang terlampau 'selesai' sehingga sulit untuk mengikuti perkembangan
penghuninya. Namun per-hatiannya pada ruang luar dan pautannya pada ruang kota -
sesuatu yang dijamin oleh pera-turan yang berwibawa- adalah warisan yang pantas
dijagai. Mengulang apa yang diperbuat pada masa lalu, apalagi pada aspek bentuk dan
ornamennya, hanyalah romantika kenes yang harus dibiayai mahal. Bangunan-
bangunan umum -sebagaimana karya Ghijsels -yang berada dalam jaringan ruang kota
itu seyogyanya diserahkan kembali ke publik, tidak terkucil di tem-patnya masing-
masing oleh jaringan jalan yang didominasi mobil dan motor. Jalan adalah ruang
kontinu yang merangkai pengalaman ruang orang ketika 'menghayati' kotanya. Kota
kita sekarang jarang yang bisa dinikmati, selain sarana untuk pejalan kaki (trotoar)
tidak diperhati-kan juga bangunan-bangunan di kiri-kanan jalan itu dirancang hanya
untuk kaplingnya sendiri. Paduan dengan ruang di sekitarnya diabaikan sehingga
kontinuitas penghayatan ruang terpu-tus-putus. Ruang-ruang kota adalah milik publik
yang tidak pantas untuk diprivatisasi.
kesederhanaan yang elok
Dibanding dengan karya-karya arsitektur biro lain sejamannya yang dilumuri dengan
banyak ornamen tradisional, AIA (Algemeen Ingenieur- en Architectenbureau) di mana
Ghijsels bekerja, dipuji beberapa media massa pada masanya sebagai 'sederhana
namun menampakkan selera artistik yang tinggi', mengikuti pandangan Gerika
(Yunani)Kuna "simplicity is the shortest path to beauty", kesederhanaan adalah jalan
singkat menuju keindahan (Courant, 10 Decem-ber 1925). Disuasanai oleh krisis
ekonomi dunia sekitar Perang Dunia I tidak mengherankan bila slogan yang populer
bukannya langgam (style) ornamen bangunan yang mewah, namun modernitas dan
pembangunan.
MEMBACA RUANG
universalitas ruang di ujung abad 20
Tulisan di bawah ini bermaksud untuk memberi catatan bagaimana arsitektur pada
abad ini memahami ruang. Pemahaman yang dipelihara sepanjang kurun waktu itu
hadir tidak tanpa asal-usul. Ia adalah anak kandung Pencerahan yang disuasanai oleh
kegairahan luarbiasa untuk menjelaskan fenomena alam dengan rasio manusia. Pilihan
untuk menjelaskan fenomena ruang secara rasional ini telah membawa kemajuan-
kemajuan yang signifikan pada pembentukan dan penguasaan ruang di seluruh muka
bumi kita ini (penemuan dunia baru, kontak dengan kebudayaan baru,dst.), di samping
juga korban yang tidak terbilang ( kolonialisme, keseragaman ruang,dst.).
Tulisan ini tidak bermaksud memberi jawaban dari persoalan yang ditimbulkan oleh
pilihan tadi, alih-alih hanya ingin memperlihatkan dinamika konstruksi ruang dalam
arsitektur yang berubah-ubah dan senan-tiasa direkonstruksi. Dalam dinamika itu
posisi arsitek sendiri yang adalah interpreter semangat jaman-nya.
Di ujung abad ke 20 ini muncul kesangsian akan konstruksi ruang modern tadi, bahkan
lebih dari itu su-dah (sangat) banyak yang menolaknya dan mengusulkan konstruksi
baru. Sedemikian banyak ragamnya sehingga dapatlah dikatakan bahwa jaman berikut
niscaya adalah jaman keragaman, suatu antithesis terhadap keseragaman dari jaman
modern kita ini.
menyadari ruang
Tanpa kesulitan kita bisa berbicara tentang benda-benda dalam ruang -meja dan kursi
di ruang tamu, tikar dan amben di ruang tidur, sikat gigi dan gayung di kamar mandi,
pisau dan panci di ruang dapur... - namun kita menghadapi kesulitan besar ketika
harus bicara tentang ruang itu sendiri. Apa itu ruang? Pemahaman tentang ruang yang
dapat disediakan oleh Bahasa Indonesia dan Jawa lebih mengarah kepada tempat
dilangsungkannya kegiatan tertentu (ruang tamu, kamar mandi, ruang tidur, dapur),
se-dangkan deskripsi yang obyektif nyaris tidak tersedia . Sementara itu produksi ruang
sudah dan terus berlangsung: Arsitek merancang rumah, Perencana Kota
merencanakan jalan-jalan dan lapangan, Pen-duduk Miskin menggarap bantaran sungai
dan bawah jembatan untuk hunian mereka... Orang-orang ini (juga kita!)
“kecemplung” dan menghayati ruang tapi tidak bisa berkata-kata tentangnya, Bahasa
rupanya tidak memadai untuk menjadi representasi penghayatan tadi, penghayatan
memang mendahului repre-sentasi seperti ”Pengalaman mendahului Bahasa”.
Penghayatan akan ruang ternyata tidak manusiawi, sebab binatang pun memilikinya.
Binatang yang pergi dan kembali ke sarang/kandangnya lagi memperlihatkan bahwa
mereka pun menghayati ruang.
Arsitektur adalah salah satu disiplin yang mengklaim mempelajari, merencanakan dan
mencipta ruang. Ruang adalah “Alfa dan Omega”nya Arsitektur, namun demikian juga
tidak pernah ada jawaban yang sama dari disiplin ini untuk pertanyaan di atas.
Sebenarnya persoalan ruang ini juga menjadi pergumulan serius di kalangan ilmuwan
(Scientists) Fisika, Matematika. Misalnya, Teori Kompleksitas dan Chaos yang sekarang
sedang dalam perbincangan hangat adalah buah pemikiran mereka dan berdampak
pada pemahaman kita akan ruang. Adalah baik bila para pencipta ruang: perupa,
sinematograf, penari, arsitek, city-planner untuk saling berbagi mengenai fenomena
yang mempesona ini.
fenomena ruang
Dalam berbicara tentang ruang dianggapkan kita pernah bertemu dengan sesuatu,
yaitu fenomena yang menyergap kesadaran kita. Sebenarnya tidak tepat kalau kita
mengatakan bertemu, karena nyatanya kita adalah “kecemplung”, disergap, dan
terbenam dalam fenomena (ruang). Ruang bukanlah obyek di luar diri kita (Subyek)
tetapi fenomena yang memperlihatkan diri. Agar bisa dibicarakan, maka suatu fe-
nomena harus direduksikan dan kemudian baru dijuruskan ke dalam disiplin-disiplin
yang lebih khusus. Arsitektur, terlebih Arsitektur Modern, memahami ruang sebagai
kekosongan yang terjadi karena kita menetapkan batas-batas. Ini adalah salah satu
pereduksian fenomena ruang yang secara luarbiasa su-dah membentuk wacana tentang
ruang di abad ini, di samping pereduksian dari disiplin ilmu yang lain.
tentang batas-batas
Arsitek percaya bahwa ruang ada hanya kalau batas-batasnya ditetapkan . Batas-batas
itu menangkap dan meng-konkret-kan “ruang universal” tanpa batas yang ada dalam
semesta ini ke dalam suatu “kepin-gan” ruang yang dapat kita cerap melalui indera
kita. Ruang universal itu adalah ruang homogen yang sama “kepadatan”nya dan
merata di setiap posisi. Kepercayaan akan adanya ruang universal ini niscaya adalah
dipungut dari Science. Peran dan kesibukan arsitek, dengan demikian, adalah
mengolah, menyu-sun, mengkomposisikan batas-batas tadi sedemikian sehingga
“kepingan” ruang yang terjadi memiliki kualitas yang dibutuhkan oleh penghuninya .
Jadi, sasaran penciptaannya adalah ruang, tapi yang lang-sung dikenai pekerjaan
arsitek adalah batas-batasnya. Kesibukan ini mirip dengan yang dikerjakan pem-buat
guci dalam puisinya Laotse .
Relasi ruang dengan batasnya adalah relasi komplementer yang dialektik, bak Yin-
Yang. Yang satu mengakibatkan yang lain, perubahan di satu pihak akan mengubah
pihak lain. Dalam sejarahnya, ar-sitektur sering berayun-ayun antara memberi
prioritas pada ruang pada suatu kali dan batas (atau massa) di kali lain.
slides: laotse, pagar, gerbang, gapura, omwalling architectuur, halaman pura,
sitinggil...
ruang universal
Pemahaman akan adanya ruang universal ini agaknya memiliki asal-usul sekitar
Copernicus dan Galileo yang menyatakan bahwa Bumi ini hanya bagian dari sistem
Matahari yang lebih besar. Barangkali juga dapat ditandai keterpesonaan Petrarcha
ketika ia mendaki bukit Ventoux (1336) dan menyadari bahwa ternyata ruang dan
horizon sebenarnya dapat meregang, menjulur dan meluas jauh melampaui kemam-
puan matanya sendiri melihat. Diketemukannya peta geografis, alih-alih mandala
sebagai peta mitologis, menandai “pencerahan” dan kesadaran akan ruang yang lebih
luas ini. Pemahaman ruang sebagai se-suatu yang “netral” tidak terikat pada
kemampuan mata subyek memandang ini mendapatkan acuan de-finitipnya dalam
konsep extensio dari Ruang Kartesiannya René Descartes (1596-1650), yang kelak
diteruskan oleh Newton (pengertiannya akan Ruang Absolut dan Ruang Relatif). Konsep
ruang inilah yang melahirkan pengertian “tiga dimensi” untuk benda-benda dan ruang.
Ruang netral ini dianggap meregang (extensio) ke ketiga sumbu (x,y,z) tanpa batas dan
setiap titik dapat ditetapkan lokasinya dari Titik Origin (0,0,0). Konstruksi ruang
seperti ini menguasai pemahaman arsitek akan ruang di jaman serba komputer ini, dan
bahkan program komputer untuk arsitek (misalnya, AutoCAD) adalah contoh penerapan
konsep Ruang Kartesian par excellence !
Konstruksi ruang yang seperti ini memungkinkan lahirnya penemuan-penemuan di
bidang navigasi, penemuan benua baru (Amerika), dorongan untuk menjelajah lautan
dan bertemu peradaban dan kebu-dayaan lain. Termasuk mengklaim daerah-daerah
baru itu sebagai koloni mereka. Hunian dan tata kota di daerah koloni baru itu dibuat
sama (karena mereka menganggap bahwa ruang mereka itu meregang hingga mencapai
daerah koloni baru itu) dengan daerah asal. Terjadilah universalisasi (globalisasi?) kon-
sep ruang homogen tadi yang dicirikan dengan adanya dominasi dan pelenyapan
konstruksi ruang lokal yang asli. Ruang-ruang yang semula mitologis digantikan dengan
ruang yang lebih geografis. Tidak serba mencakup memang, tapi lebih mendekati
kenyataan.
Sebelum jaman yang menakjubkan itu, yakni: Pencerahan karena mengawali
modernisme, sebenarnya pergeseran ruang dari ruang mitologis ke ruang geografis
sudah terjadi ketika manusia memasuki perad-aban tulisan. Ketika manusia memasuki
budaya tulis, maka berguguranlah sumber-sumber pengetahuan yang semula berpusat
di sekitar orang-orang besar (dan umumnya tua-tua) itu dan digantikan dengan buku-
buku yang terdistribusi ke banyak orang. Ruang memusat dan tunggal didobrak
menjadi “planet-planet” baru. Memasuki kebudayaan tulisan adalah memasuki proses
“spatialisation” atau pe-ruang-an pengetahuan.
Arsitektur Modern
Membicarakan Arsitektur Modern dalam beberapa paragraf adalah mustahil. Dalam
masa,epoch, atau gerakan Arsitektur Modern itu berlangsung dengan sangat intens
penafsiran-penafsiran akan “ruang” da-lam arsitektur. Didukung oleh penemuan-
penemuan dalam ilmupengetahuan, ditambah dengan kolabo-rasi dengan seni rupa,
diperkuat oleh filsafat Marxian yang universal maka muncul juga gagasan “The
International Style” dan globalisasi langgam arsitektur.
slides: de stijl, piccaso, rietveld, corbusier: mass-space-light, discovery, bauhaus:
design, craftmanship, arsitektur, industri, sosialisme,
ruang as(a)li
Penghayatan kita mula-mula akan ruang -jadi sebelum dilakukan reduksi atas
fenomena- jauh lebih kaya daripada konstruksi ruang ala Kartesian di atas. Pada
masyarakat pre-Modern, misalnya pada masyara-kat tradisional di Nusantara
pemahaman ruangnya belum terkena “universalisasi” sehingga peran mitos yang
memberi gambaran tentang ruang dan waktu lokal harus didengar.
Bagi arsitek mitos dibutuhkan untuk memberi informasi tentang pemaknaan ruang.
Mitos adalah sema-cam “peta dunia” yang menjelaskan hubungan dari bagian-
bagiannya, tempat satu dengan lainnya, dan mengatakan apa nilai dan maknanya bagi
manusia.
Apa maknanya Mendut terhadap Barabudur dan Barabudur terhadap India? Yerusalem
terhadap Roma? Laut terhadap Gunung? Timur terhadap Barat? Apa maknanya Gereja
menghadap Timur? Masjid di tepi sungai? Masjid terhadap Mekah, Balai di tengah
Danau (Balaikambang), Makam di atas Bukit, dst.
Masyarakat arkhaik, dan Arsitektur Tradisional, tidak hidup dalam ruang yang
homogen, sebaliknya ada-lah heterogen: tidak setiap tempat bernilai dan bermutu
sama, ada kepadatan yang berbeda dari tempat satu dengan yang lain. Ada suatu
tempat yang dianggap paling istimewa, dan dari sanalah dipancarkan tatanan ruang,
menandai suatu pusat dalam lautan ruang yang takmenentu. Lahirlah orientasi ke
pusat, lahirlah Kosmos (tatanan) sebagai lawan dari Khaos (kekalutan). Manusia
arkhaik cenderung ingin tinggal di daerah pusat tadi, atau paling tidak di sekitar dan di
dekat pusat, karena di situ ada kekuatan, di situ ada kejelasan tatanan, ada rasa
aman. Tidak heran kalau banyak masyarakat sepanjang sejarah men-gaku tinggal di
Pusat Dunia, mengaku sebagai orang pusat: Paku Buwana, Paku Alam, Tschung Kuo
(Kerajaan Tengah), Gunung Tidar, Kwakiutl, Gunung Zion (Yerusalem) dst…
Dengan ditetapkannya pusat, maka tersingkaplah juga kualitas ruang secara vertikal,
sumbu dunia: axis mundi. Atas untuk yang luhur (sakral) dan bawah untuk yang hina
(profan). Ungkapan alam yang paling mewakili konsep axis mundi ini adalah gunung
(bukit) dan juga pohon. Di puncak gununglah bersema-yam Yang Kudus, dan di
gununglah tumbuhan, hewan dan manusia senang tinggal. Demikian pula gam-baran
akan gunung yang terungkap dalam Gunungan wayang dan Candi Jawa bisa dijelaskan.
Bentuk Kerucut atau Piramida merangkum baik gradasi kualitas ruang horizontal
maupun vertikal; yang berada di pusat dan paling tinggi adalah paling suci, dan
menjauh dari itu (artinya merosot dan meminggir dari pusat) adalah paling hina.
slides: berbagai mandala, peta nusantara kuna, budaya tulis, pesantren, berbagai
“gunung”, jalan sebagai alat kekuasaan.
arsitektur dan seni
Karya seni pun seharusnya dihadapi sebagai fenomena, bukan sebagai benda/obyek.
Sekalipun yang berada di depan mata adalah kayu untuk bingkai, cat dan kain kanvas,
semen, fiberglass, batu dst. Obyek dari karya seni adalah keterpesonaan akan Yang
Indah yang direpresentasikan lewat lambang-lambang yang dipilih senimannya sebagai
yang paling jitu.
Pengalaman yang mempesona itu (disergap dalam fenomena Yang Indah) umumnya
bersifat sementara. Untuk mempertahankan pengalaman yang temporer itu manusia
membutuhkan simbol, lambang. Den-gan lambang maka idea atau Yang Indah tadi
direpresentasi ke dalam materia. Dengan lambang-lambang maka pengalaman itu
direproduksi dan dikomunikasikan sehingga di kali lain atau bagi orang lain pengalaman
itu bisa hadir kembali.
Hegel, filsuf idealis dari Jerman, pernah membuat penjenjangan karya seni berdasar
materia yang digu-nakan. Semakin tidak tergantung pada materia, semakin mulialah
karya itu. Ia meletakkan Puisi di tem-pat terhormat tadi, karena karya seni yang ini
nyaris tidak butuh materia apa pun selain ucapan dan tu-turan penciptanya.
Berikutnya adalah tarian, karena hanya menggunakan tubuh senimannya sendiri un-tuk
melahirkan karyanya. Dan paling buruk “nasibnya” adalah arsitektur yang diletakkan di
jenjang ter-bawah karena terlampau membutuhkan banyak bahan! Karena acuan yang
ia gunakan untuk menilai arsitektur adalah bangunan-bangunan dengan bentuk dan
dekorasi yang elok pada masanya, mungkin ia berubah pikiran seandainya yang ia lihat
adalah ruangnya alih-alih keelokan pembatasnya.
slides: ruang antropologis (ingat bolnow’s), ruang eksistensial, bau,
goresan,bunyi,rabaan,visual.
fenomenologi, yang diamati berhubungan dengan yg mengamati, ruang anak-anak,
perempuan, birokrat,
postkolonial, jalan, turun ke jalan: PDI dan aparat berbeda memaknai jalan.
SELF-HELP
Ibu-ibu, Bapak-bapak dan saudara-saudara mahasiswa yang saya kasihi.
Dalam masyarakat modern ada semacam keanehan.
Kalau kebetulan motor dan mobil kita sedang rewel, kita akan lari kepada "ahlinya"
yaitu bengkel. Penjelasan apa pun akan kita terima dari mereka, sehingga tugas kita
nyaris hanya membayar apa mau mereka. Juga bila badan "greges-greges" maka
penjelasan yang sah akan diberikan oleh dokter atau Rumah Sakit, dengan diagnosis
dan tindakan-tindakan yang hanya dimengerti oleh "kaum elite" paramedik itu. Pun,
kebutuhan akan ketrampilan dan pengetahuan atau belajar diidentikkan dengan
Pendidikan dan itu berarti harus bersekolah yang kemudian akan memberinya
pengesahan lewat selembar ijazah. Jarang sekali pada masa kini kita menangani
masalah-masalah keseharian kita secara mandiri. Sudah ada lembaga-lembaga dalam
masyarakat kita yang diakui dan disahkan mampu menggantikan peran kita, bahkan
dengan jauh lebih ahli. Bila saya menyebut ini sebagai keanehan abad Modern karena
pada masa yang lampau, di Eropa pada masa Renesans dan di tempat kita pada
beberapa abad lalu dimana kehidupan masyarakat belum sepelik dan kompleks seperti
sekarang, seorang pribadi mampu menguasai beberapa profesi sekaligus, paripurna.
Dengan diambil-alihnya jawaban atas kebutuhan hidup individual oleh lembaga-
lembaga seperti itu akan menjauhkan jawaban dari persoalannya, senjangnya model
dari realitas. Demikian juga dengan pelembagaan atas kebutuhan mendasar individual
akan perumahan, dengan satu Menteri dan Departemen khusus, banyak sekali
menyederhanakan dan mereduksikan kebutuhan-kebutuhan itu. Dengan standardisasi,
agar lembaga itu bisa beroperasi, maka desain dan proses konstruksi itu akan berada
jauh dari kontrol penghuninya.
Tidak semua orang yang mampu berumah tangga mampu memiliki rumah tinggal.
Memilik rumah tinggal adalah suatu perjuangan yang mengerahkan banyak daya, dana
dan pemikiran. Apakah itu lalu berarti bahwa setiap orang harus menjadi pembangun
rumahnya sendiri dengan cara "do-it-your self" ? Tidak, "yang kita perlukan adalah agar
para penghuni itu bisa mengontrol desain, proses konstruksi dan manajemen dari
rumah yang hendak dibangunnya", demikian JFC Turner. Pendekatan Self -help dalam
perancangan dan konstruksi perumahan banyak diujicobakan di banyak negara,
termasuk Indonesia, namun hanya sayup-sayup kita bicarakan di pendidikan Arsitektur
kita. Padahal, persoalan perumahan di perkotaan berada amat dekat dengan kampus
kita ini, suatu kampus yang berada di dalam jaringan kota dan ikut dalam dinamika
kota.
Tambahan lagi, Pendidikan Arsitektur sangat berkepentingan untuk mendengar
berbagai pendekatan untuk menolong orang yang tidak berdaya dan berdana tadi agar
bisa menolong dirinya sendiri.
Lain dari itu, Pertemuan pagi ini pun saya harap bisa kembali menyadarkan kedudukan
sosial arsitek yang sekali pun bukan politikus yang bisa mengubah realitas sosial,
namun apa yang dibuatnya tidak pernah lepas dari konteks sosial.
Selamat berseminar.
M E M B A N G U N
apresiasi pada karya tektonika mangunwijaya
memasuki bangunan
Dalam bahasa sesehari kita, kata membangun memuat pengertian menegakkan,
menyusun dan membuat susunan itu berdiri di atas bumi. Mungkin kata ini diambil dari
ranah (domain) domestik ketika manusia harus menegakkan rumah dan membangun
dunia kecil yang ia kuasai di sekeping tanah di muka bumi. Dan sementara itu, rumah
adalah bangunan pertama yang manusia bangun, sebelum ia mengenal dan
membangun 'rumah sakit', 'rumah makan', 'rumah tahanan', 'rumah ibadah' dan 'rumah-
rumah' yang lain. Artinya, kegiatan membangun adalah salah satu kegiatan yang
eksistensial bagi tegaknya manusia berada di muka bumi.
Bangunan, pertama-tama adalah produk kegiatan teknis (sudilah mengingat pengertian
'tekhne' yang menurunkan istilah 'teknis' ini, sebagaimana ditulis Heidegger dalam
“Building Dwelling Thinking”, 1954), sebelum kemudian ditafsir atau dibaca sebagai
sebuah teks dalam semiotika dan diperlakukan sebagai simbol yang bermakna. Dengan
menyebut arsitektur sebagai bangunan, ini adalah usaha untuk mengembalikan dia
pada aspek materialnya.
Secara teknis, menegakkan bangunan adalah semacam perjuangan sebagai perlawanan
terhadap gravitasi, sebab semua bahan yang manusia pilih dari alam, untuk disusun
dan ditegakkan sebagai unsur bangunan itu memiliki kecenderungan untuk rebah ke
tanah. Melalui Galileo dan Newton kita diberitahu tentang konsep gaya, energi dan
daya. Kita juga diberitahu bahwa suatu struktur bisa berdiri dan tidak kolaps itu
karena ada konfigurasi yang seimbang dari gaya-gaya yang bekerja padanya. Setiap
struktur yang stabil selalu dapat digambarkan diagram dari gaya beban yang bekerja,
beserta gaya lain yang mengimbanginya.
Kegiatan membangun adalah upaya menangani itu, melawan kecenderungan alamiah
untuk rebah itu. Kejelian seseorang memilih dan mengenali tabiat bahan bangunan
serta ketrampilannya menangani gaya-gaya yang bekerja pada hubungan unsur
bangunan satu dengan yang lain menjadi taruhan tegaknya bangunan tadi. Sambungan
(joint) adalah jantung persoalan ini. Apaboleh buat, manusia pembangun hanya bisa
menurut pada kemampuan yang bisa diberikan oleh bahan bangunan yang ada
padanya, sehingga perkara mengoptimalkan kemampuan bahan hingga sampai pada
batas-batasnya adalah perkara penting bagi manusia pembangun.
Manusia pembangun di sini adalah para tukang, dan setiap orang pada mulanya adalah
tukang bagi dirinya sendiri. Tukang dan ketukangannya, craft and craftmanship adalah
batu penjuru dari proses membangun, suatu peran penting dalam kebudayaan yang
sering dikecilkan oleh praktik dan pengajaran arsitektur masa kini.
Bila kebudayaan adalah buah dari penciptaan tempat (place), maka ketika seseorang
menetap di sebidang tanah di muka bumi dan, dengan menggunakan peralatan dan
bahasa, menegakkan batas-batas teritori ruangnya, maka sebenarnya ia tengah
menciptakan dunia bagi dirinya.
Kembali menghargai peran tukang adalah sebentuk kesadaran bahwa kultur
membangun itu bermula dari hasrat eksistensial manusia untuk tegak di muka bumi, di
tempatnya. Bangunan, dengan demikian, adalah "tempat" dan sekaligus "buah" manusia
menjalankan aktivitas budayanya.
tektonika
Mengikuti Kenneth Frampton dalam “Studies in Tectonic Culture, 1995”, konon istilah
tektonika diturunkan dari kata tekton yang berarti tukang kayu (carpenter) atau
manusia pembangun (builder), yang pada gilirannya nanti akan berhubungan dengan
istilah Sanskrit taksan, yang merujuk pada ketrampilan dan pertukangan kayu, atau hal
yang berhubungan dengan penggunaan kampak (axe).
Di Gerika Kuna istilah ini muncul dalam Homer, di sana istilah ini digunakan untuk
pengertian seni membangun pada umumnya. Kata kerja membangun (tektainomai) dan
membuat (poesis) berkaitan amat erat. Dalam Sappho, tekton -si tukang- dipadankan
dengan penyair (poet). Memang pada abad kelima SM pengertian ini mengalami evolusi
dari sesuatu yang sangat khusus dan fisik, seperti pertukangan kayu (carpentry),
kepada gagasan 'membuat' yang lebih umum yang memasukkan juga kedalamnya
pengertian poesis.
Secara umum, dengan mengikuti Gottfried Semper, kita menggunakan istilah tektonika
(tectonics) ini untuk merujuk pada ketrampilan menyusun atau membuat yang
menggunakan bahan ringan sebagai lawan dari penggunaan bahan berat (batu,
lempung) yang oleh Semper digolongkan sebagai stereotomic.
Dengan 'menyusun' dan 'membuat' di sini memasukkan juga keg iatan seperti menjalin,
merajut, menganyam dari bahan-bahan ringan semacam rumput, alang-alang, rotan,
tali, benang, kain, membran, dsb.
Menganyam, merajut dan menjalin adalah kegiatan-kegiatan mendasar dalam
kebudayaan. Bila Abbé Laughier mengajukan gagasan tentang 'primitive hut' sebagai
cikal-bakal hunian manusia, maka Semper (seperti dikutip Aaron Betsky dalam Building
Sex, 1995) menawar dengan mengatakan bahwa tenda adalah hunian awal manusia.
Telaah etnologisnya mendukung untuk mengatakan bahwa tindakan menganyam dan
menenun ranting dan kemudian benang untuk menjadi tenda - yang dilakukan baik
oleh lelaki maupun perempuan- adalah tindakan-tindakan awal membuat hunian, jauh
ketika manusia masih nomad.
Dan, lihatlah, tindakan menganyam dan menenun itu, masih dapat kita saksikan pada
banyak karya arsitektur vernakular di seluruh dunia, termasuk di Nusantara. Dinding,
lantai dan atap pada arsitektur Nusantara dapat dianggap sebagai buah dari tenunan
bahan-bahan alami yang ada di sekitarnya: ragum, ijuk, gedek, ilalang, rotan, dan
sebagainya, yang tidak jauh dari produk kerajinan tangan seperti tikar, tenong,
kukusan, besek, dan alat-alat rumahtangga lain.
Menganyam suatu bahan, masih mengikuti Semper, perlu diberi catatan lebih lanjut
karena batu bata, batu koral, kerikil, dan bahan-bahan lain -sekalipun berat bobotnya-
tapi bila disusun, ditebar atau dirangkai menjadi struktur yang lebih besar, pun dapat
digolongkan sebagai karya tektonika.
bahan
Place - space - structure - dan material adalah suatu kontinuum. Jelasnya, penciptaan
tempat untuk “ada” manusia memerlukan penegasan teritori ruang melalui pendirian
suatu struktur yang tersusun atas bahan-bahannya. Bahan, dengan demikian, adalah
titik tolak dalam proses membangun. Manipulasi bahan oleh alat dan prosedur (teknik,
technique) -artinya: terknologi- tertentu akan menghasilkan karya-karya yang khas. Di
tempat yang banyak bambu akan melahirkan alat-alat yang memang cocok untuk
menangani bambu, dan pada gilirannya akan membutuhkan tatacara atau prosedur
yang memang khas untuk bambu. Terobosan pada salah satu dari ketiga unsur
teknologi tadi akan membuka khasanah yang tidak habis dicari kemungkinan-
kemungkinannya yang baru.
Bagaimana dengan sikap terhadap bahan-bahan yang baru, bagaimana memahami
kodrat dari bahan yang baru? Dengan datangnya bahan-bahan yang baru, kita
cenderung bekerja dengan berpedoman pada bahan yang sebelumnya kita kenal,
sebagaimana kolom-kolom besi yang perlakuannya meniru cara bekerjanya kolom
kayu. Memang, tidak ada kesepakatan pada segi apanya yang kita tiru dari bahan
sebelumnya itu. Ketika beton diperkenalkan, ada banyak cara memandang dan cara
memperlakukannya: sebagai lempung, sebagai batu, sebagai bata, sebagai kayu...
Juga, ketika besi cor dikenalkan, ada yang memperlakukannya sebagai bahan cair
(liquid) yang cocok untuk membuat bentuk-bentuk florist yang bersulur-sulur,
sementara ada pula yang memperlakukannya sebagai batang-batang besi karena
meneladani batang-batang kayu sebagai pendahulunya. Bahan baru atau lama,
tuntutan untuk mengenali kodratnya adalah utama.
Sepanjang sejarah, banyak arsitek telah mencoba bermain dengan bahan-bahan yang
ada di suatu tempat, namun memperlakukannya dengan teknik (dan sekaligus alat)
yang baru. Hasilnya adalah bangunan yang seolah lama namun baru. Dengan ini maka
tradisi membangun dibawa maju dan semangat lokal tetap dipelihara.
dialog di sambungan
Karena membangun tak terelakkan lagi adalah kegiatan menyusun satuan-satuan
bahan yang direncanakan melindungi tempat manusia berada, maka hubungan satuan
satu dengan yang lain, hubungan bahan satu dengan yang lain menjadi perkara penting
yang harus mendapatkan perhatian penuh. "Tectonics becomes the art of joinings",
kata Adolf Heinrich Borbein, 1982. Sambungan (joints), suatu keadaan yang niscaya
ada, harus terjamin tidak hanya pada kekuatannya namun juga keselarasannya.
Sambungan ini tidak hanya harus benar secara statika, namun harus juga menampilkan
diri secara visual kebenaran nalar itu. Kebenaran statika yang terungkap dalam citra !
Sambungan yang menceriterakan secara visual peri bagaimana bagian satu bertemu
dengan bagian lain juga mengisahkan riwayat perjalanan gaya dari puncak struktur
hingga masuk mengakar ke bumi, yang dengan itu terjelaskanlah bagaimana struktur
itu bisa tegak melawan gravitasi. Riwayat suatu bangunan jadi jernih terbaca,
telanjang di hadapan siapa pun.
Dialog berjumpanya bahan yang berbeda di sambungan itu -seperti laiknya perjumpaan
apa pun- selalu berlimpah dengan potensi untuk penafsiran: perjumpaan macam apa
yang tengah berlangsung? Dominasi? Berpautan? Jalin-menjalin? Saling mengelak? Dan
sebagainya.
'God is in detail' demikian seorang arsitek modernis Mies Van der Rohe menekankan
betapa pentingnya sambungan.
Di sini, di sambungan ini, bangunan ditantang: mampukah mengungkap (aletheia)
kebenaran? Arsitektur yang ingin serba menutup tubuhnya dan hanya mengabdikan diri
pada volume ruang mengabaikan dan mengaburkan sambungan, serta memerosotkan
arsitektur itu sendiri.
indah dan benar
Pengalaman akan keindahan bermula dari pesona, rasa takjub. Keterpesonaan kita
pada sesuatu ciptaan, natural maupun kultural, membenamkan kita pada keindahan
atau 'hal indah' itu. Tidak jadi soal, apakah keindahan yang kita hayati itu molek
gemerlap atau kotor berdebu. Dengan menghayati kebenaran rumus matematika pun
kita bisa terbenam dalam keindahan itu. Kita menghayati keindahan ketika kita
menyadari bahwa kelumrahan telah dilampaui atau di-atas-i.
Suatu ciptaan, baik yang sederhana maupun yang pelik (sophisticated) dapat
menggiring kita pada keindahan bila menyingkapkan kebenaran.
Dan itu salah satunya juga dapat ditemui orang pada karya arsitektur yang baik. Karya-
karya arsitektural yang dapat mengungkapkan bagaimana ia dibangun, dirangkai,
bagaimana gaya berlalu-lintas dan terdistribusi pada sambungannya, serta bagaimana
bahan-bahan itu berbicara apa adanya dan berdialog satu dengan yang lain dengan
bahasa yang jernih itu dapat kita jumpai dalam karya Mangunwijaya. Pemahamannya
tentang keindahan yang seperti ini diturutnya dari ucapan St. Thomas Aguinas :
"Keindahan adalah pancaran kebenaran", (Pulchrum splendor est veritatis).
mangunwijaya, menangnya manusia pembangun
Tektonika adalah salah satu segi terkuat dari karya Mangunwijaya. Hampir seluruh
karyanya dibentuk dari sikap hormatnya pada bahan dan bagaimana
memperlakukannya. Ia berperan sebagai manusia pembangun sebaik-baiknya: tukang.
Ia bergaul erat dengan tukang, dengan ketrampilannya, dengan spirit ketukangannya.
Ia memiliki mata, hati dan tangan seorang tukang. Di tangannya batu dan kayu itu
bicara lewat bentuk, bobot, tekstur, yang kemudian bersama dengan bahan yang lain
berdialog dengan selaras. Dengan bebas bahan itu ditundukkannya, dilepaskannya dari
jeratan pabrik yang telah memaksanya berbentuk dan berukuran tertentu. Tukang
yang pantang menyerah dengan keterbatasan bahan, yang diterobosnya dengan
pengetahuannya yang tinggi tentang statika dan fisika bangunan. Hampir di setiap
proyeknya, ongkos tukang lebih besar daripada harga bahan bangunannya! Dia
mengenal tukang-tukangnya, demikian pula para tukang itu hapal dengan tipologi sang
master.
pendidikan arsitektur
Mengenali bahan adalah titik tolak dalam membangun, dan itu hanya bisa dilakukan
dengan langsung memegang dan merasakan kualitas yang termuat di dalamnya.
Mengikuti cara Mangunwijaya membangun adalah seperti magang pada seorang Master
Tukang, suatu model pendidikan yang sebenarnya paling sesuai untuk arsitektur. Jarak
yang terlalu jauh antara gagasan dan pewujudan bisa diatasi dengan mengakrabkan
mahasiswa bergaul dengan bahan-bahan sejak mula. Studi model jadi penting sekali
untuk dikembangkan dalam pendidikan kita.
sejarah arsitektur nusantara
Ia melanjutkan ketukangan tradisional yang ada di sekitarnya dengan penjelajahan
baru terhadap bahan-bahan yang digunakan. Lihatlah, melalui teknik dan alat yang
baru, karya-karyanya serentak baru namun tetap berakar di tempatnya.
Bila arsitektur tradisional memiliki kendala lokalitas sehingga hanya punya pilihan
terbatas untuk mendapatkan bahan bangunan, maka MAngunwijaya pun memiliki
kendala biaya sehingga harus mengandalkan bahan-bahan yang ada di sekitarnya.
Situasi yang sama-sama terbatas ini rupanya telah sama-sama memaksa lahirnya karya
yang memeras bahan sampai pada batas-batasnya, sampai pada esensinya. Bahan-
bahan tampil dengan wajar, apa adanya, benar dan akhirnya... indah. Keindahan
tektonika !
Bentuk-bentuk bangunan karyanya sama sekali tidak berpretensi meniru atau
memiripkan diri dengan bangunan tradisional manapun di Nusantara ini, namun
semangat untuk selalu memulai membangun dari bahannya inilah yang membuat
Mangunwijaya mendapat tempat dalam sejarah arsitektur Nusantara, berada dalam
tradisi yang sama dengan para pendahulunya.
Untuk itu kita berterima kasih padanya.
house and religion (an introduction to the journey)
mahatmanto@ukdw.ac.id
the invisible in a visible world.
Some analysts of architecture have striven to explain vernacular architecture in terms
of practical considerations, as representing adaptations to local climate,
geography,etc. Others have gone to the opposite extreme in attributing every aspect
of the designed structure to the abstract cosmology, symbolism, etc. Examining the
tectonics (technologies, construction process, material) of a vernacular structure will
lead us on to a consideration of various totally 'non-functional' features of the
building. In architectural practise, the functional and practical purpose are coming
first before we interpret it symbolicaly.
ab origine it was house
If we try to imagine what the first buiding and, consequently the first work of
architecture, must have been like, we may assume that at least it must have been a
house. Even our names for various non residential buildings reflect either their origins
as houses or desire to relate them to mythical origins as houses.
Mircea Eliade has pointed out that, "religious architecture simply took over and
developed the cosmologigal symbolism already present in the structure of primitive
habitations". Eliade saw houses as "the universe that man constructs for himself by
imitating the paradigmatic creation of the gods, the cosmogony."
religious architecture
Religious architecture refers to those buildings designed to serve religious purposes.
These structures can be either very simple or highly complex. However, the practice
of religion doesn't of it self require an architectural setting. Sacrifice can be offered to
the gods in the open air on a hilltop; the 'shalla' of Islam can be performed in a train or
in a plane or even in the street; and our eucharist can be celebrated in a hospital
ward. Nevertheless all the major world religions have buildings especially designed for
their rite purposes.
geometry
Geometry means applying the perfect basic-form on the surface of earth (lit. "earth
measurement", M.Eliade, 1987). The numerology and mathematics are involved in this
proccess, whatever simple they are. The perfect forms give a sense of a fixed place in
a chaos and orderless world .
indonesia and java
Indonesia, located in Southeast Asia, larger than the United States in total area, is a
nation consiting of over 13,000 islands (some publications cite more than 17,000
islands). Only 6000 of these islands are inhabited. This equatorial island chain spreads
between the Indian and Pacific oceans, linking the continent of Asia and Australia. The
main islands are Sumatera (473,606 sq.km), Kalimantan (539,460 sq.km), Sulawesi
(189,216 sq.km), Irian Jaya (421,981 sq.km), and Java (132,187 sq.km). Indonesia
shares the islands of Kalimantan with Malaysian, and Irian with Papua New Guinea.
The name Indonesia is composed of two Greek words: "Indos" which means Indian and
"nesos" which means islands.
Java is the cultural and political center of a known as Indonesia. Most of Indonesia's
population lives on this island. The central region is home of the royal courts in
Yogyakarta and Surakarta. It is also a rich archeological area featuring stone
antiquities from as early as 600 AD.
javanese culture
Since Indonesia still bases its living upon agriculture, it is not surprising to see that
almost 80 percent of its population lives in villages. Villages in Indonesia are
characterised, among many things, by their strong ties to their culture and tradition.
Within Java itself, where the capital of Jakarta lies, there are at least three major
ethnic groups: the Javanese, Sundanese and the Madurese. The Javanese comprises
around one third part of Java and are located in the central part. They have centuries
of tradition and culture. Architectural remains of the eighth century (which is a
Buddhist monument, Borobudur) is just one evidence of this long tradition and culture
(archaeologists had even proof that Java had been occupied from the prehistory
period, evidenced from remains of terraced platform of ritual places). Contacts with
Hindu, Islam, and Christianity, as well with other ethnic groups of Indonesia, with
other foreigners like Chinese, Arabic, and European had only enriched that Javanese
treasure.
javanese house
Commonly javanese houses have at least three parts. These are three independent
constructions, with each its own roof, together they form one whole. Pendopo, in
which visitors are received Pringgitan, a narrow passage to the back of the house. A
transitional area between the pendopo and the dalem. This is the smallest
construction of the three. Dalem (ageng), The private space for the family. The Dalem
is the only closed construction of the three constructions. It is divided in at least the
following:
Krobongan or sentong tengah, a space in the middle of the dalem for private
ceremonies. It is meant for the reception of the goddess Sri, to meditate and for ritual
ceremonies.
Sentongs, (sleeping)quarters that lay next to the Krobongan.
Added to these two (principal) parts are of course other rooms, baths, a kitchen and
all kinds of stables, depending on the wealth of the owner. Another important element
that gives an extra sense of safety and social status to the family is a wall surrounding
the house. Many variations on the above sketched division are possible. (Dumarçay,
1987)
the goddess sri
In Java, rice embodies Dewi Sri—the rice mother—goddess of life and fertility. The
best loved and most worshipped Hindu deity, although she is the only member of the
principal deities who didn't originate in Indian Hinduism. She is everywhere. Without
Dewi Sri, they believe they would be lifeless and empty.
the roof is my head
We live in a tropical region which has a lot of rain and hot equally. The main problem
of architecture in the stituation is to give a shelter from rain, glare and sunrays. That
is why the roof of a house is the most important and elaborated part. So to speak,
architectural symbolism in Indonesia is a roof symbolism.
P A (ha) L A W A N
Tidak.
Anda tidak salah baca dengan judul di atas. Juga bukan kesalahan saya dalam
mengetikkannya. Dan, tentunya, tidak ada maksud dalam diri saya untuk melucu
meniru Asmuni Srimulat yang main-main dengan plesetan kata. Memang betul saya
mengetikkan di situ: pahalawan alih-alih pahlawan. Yang coba hendak saya paparkan
di sini adalah menemukan kembali keluasan makna istilah pahlawan untuk kemudian
merefleksi-kannya pada situasi kritis seperti sekarang ini.
anugerah
Konon, kata pahlawan memang berasal dari pahala-wan: orang yang mendapatkan
pahala, anugerah yang tinggi dan berharga. Memang pahala itu diberikan kepada
seseorang yang sudah berbuat sesuatu secara luar biasa. Tanpa mengurangi hormat
pada Si Penerima yang sudah berprestasi ini, marilah kini kita (juga) menyoal dari
mana penghargaan ini datang, atau siapa yang memberikan penghargaan itu. Pemberi
dan Pene-rima sama pentingnya dalam soal harga-menghargai ini.
Umumnya penghargaan ini datang dari sekelompok orang, keluarga, komunitas atau
masyarakat, bangsa dan negara. Pendeknya, kolektif, diputuskan sebagai kesepakatan
dari banyak orang. Seseorang menjadi pahlawan adalah karena dijadikan oleh pihak
lain, bukan menjadikan sendiri atau menganugerahi diri sendiri. Karena pahlawan itu
hasil keputusan atau kesepakatan dari banyak orang, maka dapat dikatakan bahwa
pahlawan adalah sebuah konstruksi sosial.
pahlawan dan pecundang
Dengan mengatakan bahwa pahlawan adalah sebuah konstruksi sosial, maka makna
sebutan itu jadi sangat situasional. Akan berubah oleh ruang dan waktu. Dengan
melihat Siapa yang memberi gelar atau anugerah tadi, maka dapat dipahami pula
mengapa seseorang dapat disebut pahlawan oleh satu pihak dan disebut pecun-dang,
pemberontak, GPK dsb. oleh pihak lain. Dipanegara disebut sebagai pemberontak oleh
Kumpeni Belanda dan di saat yang sama dianggap pahlawan oleh orang Yogya. Karl
Marx yang dipuja sebagai nabi penerus spirit Perjanjian Lama oleh pengikutnya dan
yang tanpanya dunia tidak akan berwajah seperti ini, dianggap se-bagai 'setan belang'
oleh Orde Baru di Indonesia. Pak Harto yang disebut sebagai Bapak Pembangunan,
Bapak Koperasi, Bapak Apalagi... pada waktu berkuasa, kini dianggap sebagai maling
yang menguras rumahnya sendiri, ketika kita masuk jaman Reformasi.
transisi
Reformasi yang 'sedang' berlangsung di Indonesia hari-hari ini terlampau lama
mendapatkan bentuknya, keti-dakmenentuan masih dirasakan di setiap segi
kehidupan. Hampir semua dari kita sepakat bahwa reformasi be-lum selesai. Namun,
dengan terlampau lamanya proses ini mencapai kristalisasinya akan berakibat pada
turunnya stamina para pelaku reformasi, hilangnya momentum dan terlebih-lebih akan
menyulitkan kita 'memperla-kukan' korban -korban yang tewas karena kerusuhan yang
menyertai proses reformasi ini. Sudah diketahui banyak orang bahwa kemarahan
rakyat yang diwakili oleh mahasiswa itu dipicu oleh ditembaknya beberapa mahasiswa
Universitas Trisakti oleh tentara. Di samping berlarut-larutnya proses
pertanggungjawaban ABRI terhadap kasus ini, birokrasi dan alat-alat negara lain sudah
tidak sabar.
B E R M U K I M
"masalah sosial mustahil dipecahkan di atas meja gambar"
(oscar niemeyer, arsitek )
pemukiman baru
Sebenarnya kita berumah selalu bersama dengan orang lain dalam sebuah komunitas
pemukiman. Tidak ada atau jarang sekali orang bermukim bebas dari kesatuan seperti
itu. Dan pembangunan pemukiman baru pun sudah pernah berlangsung di masa lalu
dalam masyarakat kita yang masih tradisional. Kita pun masih kita dapat menjumpai
nama-nama tempat seperti Karanganyar, Kotabaru, yang memperlihatkan bahwa
dulunya tempat mereka itu adalah pembangunan baru. Tidak tercatat apakah
pembangunan pemukiman baru itu berlangsung dengan tenang ataukah selalu disertai
konflik dengan pemilik tempat yang lama. Yang jelas, pada masa kini di Jawa konflik
itu semakin sering terjadi dengan semakin habisnya tempat "kosong" karena padatnya
penghuni atau terkikisnya lahan subur.
bermukim di kota
DI dunia kaya seperti Barat diskusi mengenai arsitektur (pemukiman) dan perencanaan
kota sudah bukan lagi mengenai kebutuhan dasar untuk berteduh, namun inovasi
arsitekturallah yang menduduki tajuk sentralnya, atau dengan kata lain lebih
berkenaan dengan debat citarasa estetik. Sementara, di tempat kita ada jutaan
manusia yang tidak memiliki hal yang paling mendasar sekali pun di atas tanah ia
berdiri untuk berteduh. Arsitek Barat tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan
fenomen ini . Pada tahun 2000 nanti dunia akan sampai pada tonggak sejarah penting:
karena inilah kali pertama dalam sejarah bahwa orang akan lebih banyak tinggal di
kota daripada di desa...dunia kita akan semakin menjadi 'dunia kota' . Bila di dunia
'pertama' proses urbanisasi itu sudah selesai di masa lalu, maka di dunia 'ketiga' hal ini
kini sedang berlangsung dan dengan kecepatan yang melaju! Bila pada dasawarsa 70 an
kota-kota Paris, London, Tokyo, New York termasuk dalam 10 besar megalopoli dunia,
tahun 2000 nanti tempat mereka akan digantikan oleh Mexico City, Sao Paulo, Calcuta,
Bombay dan juga Jakarta. Sehingga, bicara mengenai pemukiman massal adalah bicara
tentang pemukiman di kota yang tengah berproses mendapati bentuk dan ukuran
definitipnya. Kota-kota kita, sekalipun berawal dari aktivitas masyarakat tradisional
sebelumnya, dasar-dasarnya diletakkan oleh penjajah Barat.
modernitas dan pemukiman
Pemukiman massal yang dikembangkan di dunia ketiga berasal tidak dari tradisi
pemukiman kolektif mereka sendiri namun mengambil alih dari Barat. Gagasan
mengenai perancangan pemukiman massal di kota (Barat) berawal kira-kira sekitar PD
I atau pada awal abad ini. Dan kemudian dalam masa antara dua Perang Dunia tercatat
banyak pembangunan perumahan di Eropa berlangsung di daerah suburban dan
pinggiran kota, karena pergerakan ke arah horizontal lebih disukai . Faktornya jelas,
kebutuhan untuk jumlah yang besar dan waktu yang cepat. Topangan dari industri
bahan dan alat (terutama logam) membuat kebutuhan 'darurat' itu bisa dipenuhi.
Dalam konteks Eropa, khususnya Jerman, kolaborasi arsitek/desainer dengan industri
yang memang maju mencapai simbiose yang mutualistik. Di sana pulalah Desain
Industri berkembang dan sebaliknya 'ideologi industri': akurat, cepat, hemat, standard
dijadikan pula kriteria menilai desain. Tulisan-tulisan sekitar arsitektur waktu itu pun
mendukung munculnya arsitektur yang menafikan idiom-idiom lama, maka estetika
baru dimunculkan dengan mengambil mesin sebagai metafora: "house is a machine for
living in". Le Corbusier dulu pernah bicara mengenai "rumah Citroen", yang mirip mobil
dibuat satu dulu hingga cocok benar dengan kebutuhan pemakai dan kemudian baru
dibuat massal. Dengan kata lain bila rumah itu misalnya digandakan hingga sejumlah
penduduk kalurahan, nalarnya akan terdapat sebuah pemukiman yang memenuhi
syarat. Nyatanya tidak, "for everyone but for no one". Sebuah pemukiman rupanya
butuh pluralisme di dalamnya, alih-alih cloning. Hassan Fathy, seorang arsitek Mesir
yang menggumuli masalah pemukiman kaum bawah, pernah mengatakan bahwa arsitek
tidak bisa merancang lebih dari 10 atau 12 rumah dalam waktu yang sama. Lebih dari
itu, ibarat seorang ahli bedah yang harus mengoperasi 200 pasien sehari, sama saja
dengan ia membunuh mereka . Standardisasi adalah hal umum di dunia industri. Pada
masa itu terbit buku standar aktivitas manusia yang hingga kini pun menjadi 'buku suci'
oleh arsitek dan desainer interior: Architect's Data tulisan Ernst Neufert. Buku ini
merinci kegiatan manusia dan memberikan ukuran dari ruang yang digunakannya,
sejak dari posisi duduk, jengkeng, berdiri, menyapu, menulis, tidur, mandi, dst.
Hebatnya, buku ini terus diperbarui hingga kini. Pemukiman, arsitektur dan kota kita
memang blasteran dengan Barat.
bisnis rumah
Kalau melihat di Indonesia, lebih khusus yang berlangsung di Jawa, pembangunan
pemukiman berlangsung kebanyakan di pinggiran kota. Baru beberapa waktu terakhir
ini ada upaya membuat rumah susun di pusat kota dan sementara itu ada fenomen lain
yang masuk yakni menggilanya pembangunan condominium, apartments dsb. yang juga
sejenis pemukiman massal namun dibangun bukan untuk kalangan yang berekonomi
kepepet alih-alih untuk investasi orang berpunya. Laporan dari beberapa media massa
mengatakan bahwa bisnis properti seperti ini sempat memanaskan ekonomi nasional,
(selain menimbulkan juga masalah dengan Bahasa Indonesia), namun kabar terakhir
melaporkan bahwa bisnis ini tengah lesu karena rupanya banyak yang tidak payu.
Bisnis properti berhubungan dengan rumah dan tanah sebagai obyek bisnisnya( properti
sendiri adalah tanah dan pembangunan di atasnya beserta hukum yang berkaitan).
tanah
Pentingnya tanah bagi eksistensi manusia di dunia ini tidak bisa disangkal lagi, terbukti
bahwa tiap agama atau kepercayaan memiliki penjelasan mengenai makna tanah tadi
dalam kehidupan, terlebih pada masyarakat agraris yang tidak bisa memutus
kelekatannya dengan tanah. Pada masyarakat itu tanah bukan saja berarti modal dan
potensi untuk digarap, namun sudah bermakna mendalam, eksistensial, penting bagi
hidup-matinya. Pada kasus penyediaan sarana bagi pemukiman, masalah ketersediaan
tanah adalah masalah terbesarnya. Sementara itu banyak pemerintah tidak punya
peran berarti dalam menyediakan tanah untuk pemukiman menengah ke bawah.
Golongan menengah ke bawah umumnya bisa mendapatkan tanah untuk
pemukimannya lewat jalur tidak resmi. Tanah-tanah di perkotaan yang tidak efisien
penggunaannya harusnya diarahkan bagi kepentingan publik.
kota kita
Yang mendorong terjadinya urbanisasi adalah dorongan kuat untuk meninggalkan desa,
di samping memang kota sendiri menariknya. Menurut perhitungan ekonomis mereka,
dan itu nyata, tinggal di desa berarti pemerosotan dan pemiskinan. Namun ternyata
tinggal di kota yang memadat dan memekar tanpa ada kesanggupan mencukupi dengan
infrastruktur itu pun hanya menempatkan mereka di sektor informal. Kehadiran sektor
informal di kota (kita) tak pelak menjadi perhatian penting, karena aktivitas di sektor
ini memberi sumbangan besar pada ekonomi nasional, karenanya harus diakui adanya.
Sementara itu kondisi kota kita pun sebenarnya mewarisi apa yang dikerjakan orang
pada masa kolonial. Kota-kota kita adalah tersusun atas banyak pusat-pusat
pertumbuhan sebagai pengembangan dari kawasan Pecinan, Arab, Melayu, Eropa yang
dibuat penjajah dulunya. Berbeda dengan kota Barat yang bertumbuh dari pusat yang
satu, kota kita tersusun atas 'kampung-kampung' yang melanjutkan tradisi bermukim
pedesaan dari mana mereka semula berasal. Karena itu pendekatan yang gayut dengan
pemukiman mereka adalah pendekatan yang masih memungkinkan suasana kampung
tadi dalam pemukiman barunya. Pluralisme dan kepelbagaian ekspresi pribadi yang
berkesan 'meriah' dalam bermukim tidak seharusnya dinilai sebagai kekumuhan, yang
lalu harus disingkirkan dengan menciptakan kebakaran (karena cara penggusuran
hanya akan memancing wartawan). Konsep 'bersih' dan 'tertib' yang diberlakukan oleh
Penguasa rupanya tidak bertolak dari konsep yang sudah dipunyai dalam tradisi, bukan
dominasi namun interdependensi. Ada beberapa hal penting dari kampung yang bisa
dikembangkan untuk pemukiman di kota :
• Kota dan Kampung memiliki relasi ekonomik yang saling menguntungkan. Para
penghuni kampung kota bekerja di kota, entah di sektor formal atau informal.
• Sektor Informal melengkapi, bahkan meramaikan sektor Formal.
• Struktur sosial kampung menjadi menentukan layout fisik kampung.
epilog
Kota kita masih akan berubah, entah akan berwajah seperti apa, yang jelas akan lebih
cepat berubah. Umur bangunan pun akan lebih singkat. Masihkah gayut kita bicara
tentang identitas kota bila banyak bangunan nanti akan digusur dan diganti dengan
yang baru tiap 20 tahun, misalnya? Kemana pun kota akan berkembang, interpretasi
baru atas kultur menghuni kita masih gayut untuk dilakukan. Fisik mungkin lain, wajah
pasti lain, tapi di pemukiman abad mendatang semoga kita masih bisa menyapa
tetangga, momong anak di depan rumah, ngerumpi ngomongin politik di warung
wedangan, jajan bakso dan lotis di emperan...
Yah, semoga masih.
Recommended