View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
7/30/2019 majmn umkm
1/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 1Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
BAB I
PENDAHULUAN
A. AbstrakUsaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) harus diakui sebagai
kekuatan strategis dan penting untuk mempercepat pembangunan daerah, oleh
karena pertumbuhan Usaha Mikro kecil dan Menengah setiap tahun mengalami
peningkatan, dimana jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2008 sebanyak 48,9
Juta unit, dan terbukti memberikan kontribusi 53,28% terhadap PDB (Pendapatan
Domestik Bruto) dan 96,18% terhadap penyerapan tenaga kerja. Selain itu, selama
2005-2008, laju pertumbuhan PDB UMKM dengan minyak dan gas (Migas) dan
tanpa migas ternyata tidak berbeda jauh, hanya pada PDB tanpa migas agak
tertarik ke atas..
Sepanjang 2005-2008 kumulatif pertumbuhan PDB migas UMKM
masing-masing: 5,61%; 5,52%; 5,97%; dan 5,40%, sedangkan pertumbuhan tanpa
migas masing-masing: 5,62%; 5,55%; 5,99%; dan 5,41%. Bandingkan dengan
pertumbuhan PDB usaha besar, dengan migas masing-masing: 3,77%; 4,42%;
5,32% dan 5,60% sedangkan tanpa migas masing-masing: 5,81%; 6,64%; 7,49%;
dan 7,17%.
Data pertumbuhan PDB selama 4 (empat) tahun itu, tampak bahwa
dengan migas laju pertumbuhan UMKM lebih baik daripada laju pertumbuhan
usaha besar, walaupun pertumbuhan PDB usaha besar cenderung meningkat terus
setiap tahunnya. Bila dicermati dari laju pertumbuhan PDB tanpa migas,
pertumbuhan PDB usaha besar lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan
PDB UMKM. Ini menunjukkan pertumbuhan PDB migas yang umumnya dikelola
oleh usaha besar mengalami penurunan setiap tahunnya.
Dari data tersebut di atas, berarti kita tidak boleh mengabaikan
keberadaan UMKM yang strategis baik secara nasional maupun di daerah.
UMKM memiliki posisi penting, bukan saja dalam penyerapan tenaga kerja dan
7/30/2019 majmn umkm
2/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 2Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
kesejahteraan masyarakat di daerah, dalam banyak hal mereka menjadi perekat
dan menstabilkan masalah kesenjangan sosial. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka perlu upaya untuk menumbuhkan iklim kondusif bagi perkembangan
UMKM dalam mempercepat pembangunan daerah.
B. Kriteria Usaha Mikro Kecil Dan Menengah.
Konsep Usaha Kecil itu sendiri sesungguhnya, dari 48,9 juta usaha kecil
di Indonesia, hanya 1 juta unit lebih yang benar-benar dapat di sebut sebagai
pengusaha kecil. Koperasi pun hanya 80 ribu lebih, lebih dari 47,50 juta
pengusaha sesungguhnya dikategorikan sebagai usaha mikro. Dengan demikian,
bila kita berbicara tentang UMKM perlu di ingat bahwa sebetulnya kebanyakan
usaha yang kita bahas itu bersifat sangat kecil. Sampai saat ini masih terdapat
perbedaan mengenai kriteria pengusaha kecil baik yang ada dikalangan
perbankan, lembaga terkait, biro statistik (BPS), maupun menurut kamar dagang
dan industri Indonesia (KADIN). Perbedaan kriteria tersebut adalah Bank
Indonesia. Suatu perusahaan atau perorangan yang mempunyai total assets
maksimal Rp. 600 juta tidak termasuk rumah dan tanah yang ditempati. Untuk
Departemen Perindustrian kriteria usaha kecil sama dengan Bank Indonesia. Biro
Pusat Statistik (BPS); Usaha rumah tangga mempunyai : 1-5 tenaga kerja, Usaha
kecil mempunyai : 6-19 tenaga kerja, Usaha menengah mempunyai : 20-99
tenaga kerja. Kamar Dagang Industri Indonesia (KADIN); Industri yang
mempunyai total assets maksimal Rp.600 juta termasuk rumah dan tanah yang
ditempati dengan jumlah tenaga kerja dibawah 250 orang. Departemen Keuangan;
Suatu badan usaha atau perorangan yang mempunyai assets setinggi-tingginya
Rp. 300 juta atau yang mempunyai omset penjualannya maksimal Rp. 300 juta per
tahun.
Sebagai permbandingan dikemukakan pula beberapa kriteria usaha kecil
beberapa Negara berkembang seperti India, Thailand dan Philipina. India,
Industri yang memiliki pabrik dan mesin-mesin beserta perlengkapannya dengan
fixed assets maksimal Rupe 2.500.000 atau sekitar Rp. 496,4 juta. Thailand
7/30/2019 majmn umkm
3/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 3Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
Industri yang memiliki fixed assets maksimal Bath 2.000.000 atau sekitar Rp.
438,1 juta. Philipina Usaha rumah tangga industri adalah yang nilai fixed assets
kurang dari Pesos 100.000 atau sekitar Rp. 16 juta. Small industry adalah yang
nilai fixed assetsnya antara Pesos 100.000 s/d 1.000.000 atau sekitar Rp. 160,8
juta.
Usaha berskala mikro, kecil dan menengah dalam arti yang sempit
seringkali dipahami sebagai suatu kegiatan usaha yang memiliki jumlah tenaga
kerja dan atau assets yang relatif kecil. Bila hanya komponen ini dijadikan sebagai
patokan dalam menentukan besar kecilnya skala usaha maka banyak bias yang
terjadi, sebagai contoh sebuah perusahaan yang memperkejakan 50 orang
karyawan di Amerika Serikat di kategorikan sebagai perusahaa kecil (relatif
terhadap ukuran ekonomi Amerika Serikat). Sementara itu untuk ukuran yang
sama, sebuah perusahaan di Bolivia tidak lagi masuk dalam kategori usaha kecil.
Dengan demikian, diperlukan komponen atau karakteristik lain dalam melakukan
penilaian ukuran usaha, misalnya dengan melihat tingkat informalitas usaha
dengan berdasarkan kepada dokumen-dokumen usaha yang dimiliki, tingkat
kerumitan teknologi yang digunakan, padat karya dan lain sebagainya.
Perbedaan beberapa kriteria tersebut dapat dimengerti karena alasan
kepentingan pembinaan yang spesifik dari masing-masing sektor/kegiatan yang
bersangkutan. Namun disadari pula bahwa dalam beberapa hal perbedaan tersebut
dapat menimbulkan kesulitan bagi suatu lembaga peneliti terutama dalam
pengambilan sample penelitian, sehingga hasilnya dapat menimbulkan persepsi
berbeda.
Sehubungan dengan kesulitan yang ditimbulkan di atas, maka sejak tahun
1995 telah diadakan kesepakatan bersama antar instansi BUMN dan perbankan
untuk menciptakan suatu kriteria usaha kecil, yaitu suatu badan atau perorangan
yang mempunyai total assets maksimal Rp. 600 juta tidak termasuk rumah dan
tanah yang ditempati.
7/30/2019 majmn umkm
4/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 4Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
BAB II
PEMBAHASAN
A. Strategi Pengembangan UMKM Dengan Klaster BisnisPengembangan UMKM di Indonesia, setidaknya bisa ditilik dari empat
tataran kebijakan pengembangan. Kebijakan pembanguan UMKM dapat
dibedakan ke dalam emapt tataran, yaitu tataran meta, tataran makro, tataran
meso, dan tataran mikro.
Pada tataran meta, kemauan politik para pendiri republik ini telah
memberikan dukungan landasan peraturan perundang-undangan yang jelas dan
tegas kepada koperasi, sebagaimana tercantum dalam pasal 33 UUD 1945 dan
penjelasannya. MPR RI juga secara tegas selalu mencantumkan perlunya
pemberdayaan UMKM pada setiap GBHN yang ditetapkan, dan selanjutnya
diperkuat dengan adanya UU nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dan
UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
Kebijakan pada tataran makro akan menentukan kondusif atau tidaknya
sistem dan kondisi perekonomian dengan pembangunan UMKM. Kebijakan pada
tataran makro akan menentukan struktur dan tingkat persaingan pasar yang
dihadapi oleh pelaku usaha termasuk UMKM. Tugas pemerintah (pusat dan
daerah) untuk menumbuhkan iklim usaha yang kondusif bagi UMKM, dalam arti
UMKM memiliki kesempatan berusaha yang sama dan menanggung beban yang
sama dibandingkan pelaku usaha lainnya secara proporsional.
B. Menjadikan Sentra Kegiatan UMKM sebagai Titik MasukPendekatan pengembangan UMKM dengan membuat fokus sasaran
adalah sentra dimulai oleh Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan
Pengusaha Kecil dan Menengah (BPS-KPKM) pada tahun anggaran 2001 yang
lalu. Pada dasarnya pendekatan ini adalah memberikan perkuatan untuk menjaga
dinamika sentra agar tumbuh menjadi Klaster Bisnis UMKM melalui perkuatan
7/30/2019 majmn umkm
5/11
7/30/2019 majmn umkm
6/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 6Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
Prioritas mendesak bagi pendekatan pemerintah Indonesia di dalam
pengembangan UMKM, antara lain menciptakan kondisi kondusif bagi sektor
swasta untuk bergerak dan berkembang. Maka, perlu dilakukan reformasi
lingkungan kewenangan formal di mana perusahaan beropersi, yakni kebijakan
dan peraturan yang tepat. Dalam konteks pengembangan UMKM, tantangan
utama bagi setiap pemerintah, termasuk di dalamnya pemerintah Indonesia, adalah
mendefinisikan apa peran yang akan dimainkannya dalam mengembangkan pasar
BDS secara efektif.
Dalam rangka merumuskan lebih lanjut suatu pendekatan baru
penyediaan BDS, terdapat tiga implikasi penting untuk Indonesia. Pertama,
kejelasan strategi peran pemerintah dalam jasa pengembangan usaha. Hal ini
dikaitkan dengan adanya perbedaan sangat jelas antara peran sah pemerintah
dalam memberikan proteksi dan mengembangkan individu serta kelompok yang
kurang beruntung di masyarakat (tujuan kesejahteraan sosial), dan peran
pemerintah dalam mengembangkan sektor swasta. Kedua tujuan tersebut tidak
dapat dicampur-aduk. Tujuan pengembangan bisnis biasanya jarang tercapai
melalui mekanisme kesejahteraan sosial, dampak proteksi dan subsidi seringkali
tidak bermanfaat. Dalam konteks ini terdapat dua isu yang relevan untuk dijawab
: apakah perusahaan yang menjadi sasaran berada dalam posisi bisa berkembang
melalui BDS? Apakah BDS memang benar merupakan solusi permasalahan?
Kedua, mempertimbangkan penyediaan BDS yang disubsidi. Tujuan
subsidi perlu secara eksplisit dipertimbangkan. Pertimbangan itu harus
menjelaskan apakah dukungan tersebut dimaksudkan menjadi perangsang
perusahaan sekali saja, atau kalaumemang bukan demikian, maka harus
dijelaskan bagaimana jaminan akses berlanjut UMKM ke jasa BDS. Model
pemberian subsidi melalui system voucher yang dirintis oleh Swisscontact
terbukti dapat berjalan, walaupun keterpaduan dengan program lain masih perlu
dikembangkan. Pertimbangan tersebut juga harus dapat menjelaskan bagaimana
dukungan bersubsidi itu dapat meningkatkan daya saing dan memperbaiki
lingkungan UMKM yang kondusif, dan tidak memperpanjang proteksi.
7/30/2019 majmn umkm
7/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 7Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
Ketiga, adanya keterbatasan pemerintah dalam berperan sebagai
penyedia langsung BDS. Secara umum pemerintah seyogyanya menghindari
peran sebagai penyedia jasa BDS. Banyak pengalaman membuktikan bahwa
peran demikian tidaklah positif. Struktur, budaya, dan kapasitas pemerintah tidak
cocok untuk melakukan fungsi inti pasar dan menyediakan jasa yang relevan serta
tepat waktu untuk UMKM. Terlebih pula, karena insentif, tujuan dan struktur
kepemilikan berbeda, pelibatan pemerintah menanggung resiko menimbulkan
distorsi, bukannya pengembangan pasar.
Kendala terhadap fleksibilitas, kecekatan (responsiveness) dan inovasi
juga dapat menghambat pemerintah dalam memainkan peran fasilitator langsung
di pasar BDS. Fasilitator BDS harusnya merupakan lembaga non-profit di luar
pemerintah. Ketika intervensi langsung dianggap tidak terhindarkan, sedapat
mungkin pemerintah mengikuti prinsip dan norma pasar, demi menghindari
distorsi. Sebaiknya pemerintah juga meminimalkan salah satu resiko intervensi,
yakni kelembaman program (programme inertia), yakni tatkala intervensi jangka
pendek berubah menjadi kepentingan birokratis. Maka, desain awal program
harus secara eksplisit mencantumkan strategi keluar (exit strategy) atau
mekanisme alih peran kepada sektor swasta. Pendekatan partisipasi (partisipatory
approach) lebih diperlukan. Dan dalam konteks ini, banyak diperankan oleh
BDS-BDS yang membina sentra-sentra bisnis dan mengembangkan klaster-klaster
yang andal.
Peran pemerintah yang wajar, dalam pengembangan UMKM adalah
mendukung fungsi peningkatan pasar. Hal ini tidak saja terkait dengan transaksi
tradisional yang melibatkan penjual dan pembeli, namun juga terkait dengan
serangkaian fungsi pelengkap pendukung perkembangan pasar yang efektif, yaitu
ketersediaan informasi, penelitian dan pengembangan, tingkat koordinasi yang
wajar, regulasi dan kendali mutu, perlindungan konsumen dan sebagainya.
Dalam konteks ini pula, seyogyanya pemerintah mampu melakukan
pendekatan yang tepat bagi pengembangan UMKM dari aspek finansial. Oleh
7/30/2019 majmn umkm
8/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 8Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
karenanya, iklim kondusif perlu dikembangkan, baik dari sisi penyedia modal
maupun para pelaku UMKM yang membutuhkannya. Bantuan yang diberikan
pemerintah dan lembaga donor, dalam konteks ini, hendaknya tidak
dikembangkan dengan mengedepankan paradigma karitatif, melainkan
memandang UMKM sebagai potensi yang perlu dikembangkan dengan
berorientasi kemandirian dan mampu bersaing di pasar (orientasi pasar).
Pemerintah, dengan demikian bukan sinterklas, melainkan fasilitator dan
regulator yang diharapkan mampu berperan baik.
Beberapa catatan di atas, setidaknya dapat dipetik pelajaran paling
berharga bahwa strategi pengembangan UMKM di masa depan. Khususnya untuk
menghindari terjadinya semacam kebingungan bagi masyarakat pelaku UMKM,
yang mengharapkan peran konkret dan konsisten dari pemerintah.
Inkonsistensinya penataan kelembagaan, misalnya, dalam konteks pengembangan
UMKM, bagaimanapun merupakan problem serius, yang sesungguhnya
mencerminkan lemahnya keberpihakan pemerintah dalam pengembangan UMKM
di tanah air.
Masyarakat luas sebenarnya sangat paham bahwa strategi pengembangan
UMKM secara umum harus berdasarkan pada dua pilar utama : (1) tegaknya
sistem dan mekanisme pasar yang sehat ; (2) berfungsinya pengaturan
kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi yang efektif. Pemihakan
terhadap pengembangan UMKM, selama ini lebih cenderung mementingkan hasil
(ends) daripada proses dan mekanisme (means) yang harus dilalui untuk mencapai
hasil akhir tersebut.
Pemberdayaan SDM telah menjadi tema pokok yang tak bisa dipisahkan
dari upaya mengatasi berbagai problema yang dihadapi UMKM. Hal ini tidak
saja terkait dengan bagaimana kualitas SDM yang ada mampu memodernisasi
usahanya lewat penguasaan teknologi ; tapi juga terletak pada kemampuan
manajerialnya. Maka, upaya pendidikan dan pelatihan, kemampuan mengakses
informasi dan teknologi dan pemanfaatannya secara optimal, serta kemampuan
7/30/2019 majmn umkm
9/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 9Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
manajerial para pelaku UMKM, masih amat diperlukan. Dalam kaitan ini, bila
SDM andal, maka diharapkan mereka mampu mengembangkan klaster-klaster
bisnis dengan baik dan kokoh.
Studi-studi mengenai klaster-klaster UMKM di Eropa Barat, setidaknya
menunjukkan bahwa ada sejumlah faktor, yang membuat mereka dapat
berkembang dengan pesat, antara lain : (1) di dalam sentra terdapat juga
pemasok bahan baku, alat-alat produksi, mesin, dan komponen-komponen,
subkontraktor, dan produsen barang-barang jadi. Selain mengurangi ongkos
produksi, satu sama lain saling bersinergi, memperlancar keterkaitan bisnis
antarmereka ; (2) adanay suatu kombinasi antara persaingan yang ketat di satu
pihak, dan kerjasama yang baik di pihak lain, antar sesama pengusaha UMKM.
Dengan demikian terciptalah tingkat efisiensi kolektif (collective efficiency) yang
tinggi ; (3) di dalam klaster-klaster terdapat pusat-pusat pelayanan, terutama
yang disediakan oleh pemerintah lokal, yang dapat digunakan secara kolektif oleh
semua pengusaha yang ada di sana ; (4) UMKM yang ada di dalam klaster
menjadi sangat fleksibel dalam menghadapi perubahan-perubahan di pasar, di
mana telah tercipta network yang baik, serta inovasi-inovasi yang cerdas.
C. Kondisi Pengembangan Klaster di IndonesiaBerdasarkan catatan berbagai instansi yang berhasil dikumpulkan Tim
Studi JICA (2002), pada saat ini paling tidak terdapat 9.800 unit sentra UMKM
dengan tingkat perkembangan derajat keterkaitan dalam klaster yang umumnya
masih rendah. Jumlah unit UMKM yang terpantau dalam sentra sebagai embrio
klaster tersebut diperkirakan mencapai sekitar 475.000. dilihat dari
penyebarannya sekitar 58% sentra yang ada berada di Jawa, Bali, dan Nusa
Tenggara.
Ditinjau dari jenis kegiatan memang pada umumnya pengelompokan
tersebut di sektor yang berkaitan dengan industri yang ada 50% klaster UMKM
tersebut pada industri pengolahan makanan dan minuman ISIC 31 dan tekstil ISIC
7/30/2019 majmn umkm
10/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 10Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
32. salah satu bukti belum berkembangnya klaster dari tingkat teknologi yang
tergolong rendah atau sederhana misalnya pada ISIC 31, ISIC 32 dan iSIC 34.
Dari sisi tenaga kerja yang dipekerjakan, UMKM pada klaster rata-rata
mempunyai tenaga 3 orang atau hampir sama dengan industri rumah tangga yang
batasannya memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang atau 4 orang pekerja atau
kurang. Pada sentra-sentra UMKM sebesar 3 orang hanya sedikit di atas rata-rata
industri rumah tangga secara nasional termasuk di luar klaster sebesar 2 orang.
Namun masih jauh dari rata-rata penggunaan tenaga kerja pada industri kecil
sebesar 8 orang. Dengan demikian kondisi penggunaan tenaga kerja pada klaster
yang ada memang masih dalam tahap yang sangat awal untuk bertahan dalam
kegiatannya. Hal ini didukung oleh temuan bahwa sekitar 70% pengelompokan
industri menurut penggunaan tenaga kerja berada pada tingkat penggunaan
teknologi yang rendah di tiga jenis industri pilar kegiatan UMKM.
Akibat langsung yang terlihat dair rendahnya tingkat teknologi dan
struktur penggunaan tenaga kerja, sebagaimana diperlihatkan dengan keragaman
nilai tambah yang diperoleh klaster UMKM hanya mencapai Rp 1 milyar atau
lebih rendah dibandingkan industri rumah tangga sebesar 1,2 milyar. Sementara
industri kecil di luar klaster mencapai 2,9 milyar atau 2 kali lebih besar.
Rendahnya produktivitas klaster ini juga terjadi di semua sektor ekonomi.
Dengan demikian kondisi klaster yang ada pada umunya dapat digolongkan ke
dalam tiga tahap perkembangan sesuai deng produktivitas tenaga kerja dan
penggunaan teknologi yaitu teknologi rendah yang memiliki produktivitas/tenaga
sebesar Rp 970.000,-. Pada tingkat teknologi menengah sebesar Rp 2.055.000,-
serta teknologi tinggi Rp 8.240.000,-.
7/30/2019 majmn umkm
11/11
Denny Trisetyawan (10412141039) 11Strategi Pegembangan UMKM dengan Klaster Bisns
BAB III
PENUTUP
A. KesimpulanDengan pendekatan ini diharapkan ini diharapkan akan terbentuk sebuah
komunitas dalam pengembangan UMKM, dalam bentuk asosiasi, perhimpunan
atau dalam bentuk organisasi yang lain. Karena sifatnya pembinaan maka
lembaga ini merupakan lembaga nonprofit yang terdiri dari para stakeholder
UMKM yang melakukan.
B. SaranPerlu diingat bahwa tiga pilar keberhasilan penopang dinamika klaster
adalah adanya dukungan non finansial, dukungan finansial untuk penggerak
(USP/KSP), dan adanya asosiasi atau lembaga yang menjadi
representatif/perwakilan mereka. Kesemuanya itu akan bekerja dalam klaster,
yang didukung oleh jaringan sistem informasi yang menjadi instrumen penting,
dalam penyelesaian kegiatan-kegiatan yang ada.
Karena itu proses pengembangan UMKM akan berjalan baik apabila
berlanjut menjadi lembaga swasta murni, dengan pendekatan pasar. Hal ini
dilakukan agar fungsi kelembagaan pembinaan UMKM di dalam klaster berfungsi
secara lebih efisien dan efektif dengan menjalankan prinsip saling
menguntungkan. Adapun untuk pengembangan selanjutnya dapat dilakukan
dengan replikasi terhadap sentra-sentra yang telah ada.
Recommended