View
73
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kasus yang berjudul Karsinoma Nasofaring.
Penulisan laporan kasus ini bertujuan memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik ilmu
penyakit telinga hidung tenggorokan kepala leher di RSUD BEKASI.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr.Farida Nurhayati, Sp.THT-KL, M-Kes
sebagai pembimbing yang mengarahkan penulisan kasus ini menjadi lebih baik.
Kami menyadari penulisan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran
yang membangun dan penulisan ilmiah yang berikutnya meningkatkan pemahaman
tentang NIHL.
Kami berharap kasus ini dapat meningkatkan pemahaman tenaga medis dan
mahasiswa kedokteran untuk lebih baik dalam aplikasi teori terhadap karsinoma
nasofaring.
Bekasi, 17 Juni 2014
Penulis
1
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Adelita Yuli Hapsari 03010003
Galih Arif Setiawan 03010112
Radiant Savani 03010229
Judul Kasus : Karsinoma Nasofaring (KNF)
Telah menyelesaikan tugas kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti di RSUD Kota Bekasi periode 2 Juni – 5 Juli 2014.
Bekasi, 17 Juni 2014
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Farida Nurhayati, SpTHT-KL, M-Kes
2
3
4
BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh terdiri dari jutaan bahkan triliunan sel-sel hidup. Sel-sel tubuh yang normal
membagi menjadi sel-sel yang baru dan mati secara teratur. Pada awal-awal kehidupan
seseorang, sel-sel normal membagi lebih cepat untuk proses pertumbuhan. Setelah orang
itu menjadi dewasa, sebagian besar sel hanya untuk menggantikan sel-sel yang rusak atau
mati. Kanker dimulai ketika sel-sel mulai tumbuh secara tidak terkendali. Ada banyak
jenis kanker yang dapat tumbuh di dalam tubuh manusia, salah satunya adalah kanker
nasofaring.1
Kanker nasofaring adalah kanker yang dimulai di nasofaring, bagian atas
tenggorokan di belakang hidung dan dekat pangkal tengkorak. Penyebab dari karsinoma
nasofaring adalah multifaktor yaitu genetik, faktor lingkungan/adat kebiasaan dan infeksi
virus Epstein-Barr (VEB).
Kanker nasofaring (KNF) atau Nasopharynx cancer (NPC) merupakan salah satu
jenis kanker dengan angka kejadian rendah, kurang dari 1 per 100 ribu penduduk pertahun
di dunia. Namun demikian, pada negara tertentu di kawasan Afrika dan Asia Tenggara
memiliki angka kejadian yang tergolong menengah sampai dengan tinggi. Salah satunya
Indonesia dengan angka kejadian 6,2 per 100 ribu penduduk pertahun. Di Indonesia
penyakit menyerang daerah leher kepala ini meliputi urutan keempat diantara kanker yang
lain. Sayangnya, deteksi dini terhadap gejala kanker nasofaring belum banyak
dikembangkan dan sebagian besar penderita datang dalam kondisi stadium lanjut sehingga
sulit ditangani.2
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring adalah ruang trapezoid di belakang koana yang berhubungan dengan
orofaring dan terletak di superior palatum molle. Ukuran nasofaring pada orang dewasa
yaitu 4 cm tinggi, 4 cm lebar dan 3 cm pada dimensi anteroposterior. Dinding posteriornya
sekitar 8 cm dari aparatus piriformis sepanjang dasar hidung. Bagian atap dan dinding
posterior dibentuk oleh permukaan yang melandai dibatasi oleh basis sfenoid, basis
oksiput dan vertebra cervical I dan II. Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit
jaringan lunak yang merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah
palatum molle. Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor
faring superior.
Gambar 2.1 Anatomi nasofaring17
6
Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang17
2.1.1 Fossa rosenmuller
Fossa russenmuller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya, sehingga
berperan dalam kejadian dan prognosis KNF. Tepat di atas apeks dari fossa russenmuller
terdapat foramen laserum, yang berisi arteri karotis interna dengan sebuah lempeng tipis
fibrokartilago. Lempeng ini mencegah penyebaran KNF ke sinus kavernosus melalui
karotis yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus mandibula
(V3) yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-kira 1.5 cm posterior
dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang dilewati oleh saraf kranial IX-XI,
dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling medial. Fossa russenmuller yang terletak di
apeks dari ruang parafaring ini merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang
membagi ruang ini menjadi 3 kompartemen, yaitu :
1. Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris inferior;
2. Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis; dan
3. Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere.
7
Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen retrofaring
kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi penyebaran menuju
kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller yang demikian itu dan dengan
sifat KNF yang invasif, menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran KNF ke daerah
sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai macam
gambaran klinis. Nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu
bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada daerah
posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis. Daerah dengan
epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara atap nasofaring dan dinding
lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan limfoid, sedangkan lapisan
submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa.3
2.2 Karsinoma nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel
permukaan nasofaring (Brennan, 2006). Tumor ini bermula dari dinding lateral nasofaring
(fosa russenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar nasofaring menuju dinding
lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta
metastase ke kelenjar limfe leher.4
2.2.1 Etiologi
Penyebab dari karsinoma nasofaring adalah multifaktor yaitu genetik, faktor
lingkungan/adat kebiasaan dan infeksi virus Epstein-Barr (VEB).5
a. Faktor Genetik
Tingginya angka insiden KNF di daerah Cina Selatan, baik yang tinggal di Cina atau yang
sudah bermigrasi, dan angka insiden sedang pada populasi keturunan cina campuran,
diduga mempunyai hubungan genetik dalam terjadinya karsinoma nasofaring. Telah
dilaporkan bahwa Histocompatibility Locus Antigen (HLA) yaitu HLA-A2 (HLA-A*0207)
dan HLA-Bsin2 berhubungan dengan KNF pada orang Cina Selatan, tetapi jarang pada
orang kulit putih. Dan telah diidentifikasi bahwa terdapat kelainan pada beberapa
kromosom, yaitu kromosom 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 11, 13, 14, 15, 16, 17, 22, dan kromosom
X. Penelitian di bagian THT FKUI/RSCM tahun 1997 didapatkan fenotip antigen HLA
8
kelas 1, HLA-A24 dan HLA-B63 untuk kemungkinan faktor penyebab bagi orang
Indonesia asli. Penelitian di Medan menemukan alel gen paling tinggi pada penderita KNF
suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*12 dan HLA-DQB*0301 dimana alel gen yang
potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen
HLA-DRB1*08.6
b. Lingkungan/kebiasaan
Beberapa kebiasaan/makanan telah dilaporkan berhubungan dengan meningkatnya
resiko dari KNF. Mengkomsumsi ikan asin dan makanan yang diawetkan yang
mengandung volatile nitrosamin, merupakan faktor karsinogenik yang penting yang
berhubungan dengan KNF. Dan telah terbukti bahwa mengkonsumsi ikan asin sejak anak-
anak meningkatkan resiko KNF di Cina Selatan.5,7
c. Virus Epstein-Barr (VEB)
Virus Epstein-Barr merupakan karsinogen yang menjadi penyebab beberapa keganasan
pada manusia, termasuk KNF. Hubungan antara KNF dan VEB telah diteliti pada beberapa
studi seroepidemik dari berbagai negara. Mereka meneliti adanya DNA VEB persisten
dan/atau virus determined nuclear antigen (EBNA) pada sel-sel KNF. Henle dan Henle,
pertama sekali menerangkan bahwa serum antibodi IgA yaitu virus capsid antigen (VCA)
dan early antigen (EA) berhubungan signifikan dengan KNF (Ganguly, 2003; Lo et al.,
2004). Infeksi laten VEB telah diidentifikasi pada sel-sel kanker pada semua kasus KNF
pada daerah endemik. VEB genome juga telah dideteksi pada karsinoma yang invasif dan
pada lesi displasia (Lo et al., 2004). Protein virus laten (latent membrane protein 1 dan 2)
memiliki efek yang substansial pada ekspresi gen selular, menghasilkan pertumbuhan yang
sangat invasif serta pertumbuhan ganas dari karsinoma.
2.2.2 Klasifikasi
Sesuai dengan klasifikasi karsinoma nasofaring yang diusulkan WHO tahun 1978.
ada tiga jenis bentuk histologik :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi, terdapat jembatan interseluler dan keratin,
dapat dilihat dengan mikroskop cahaya.
2. Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat
tanda difrensiasi, tetapi tidak ada difrensiasi skuamosa.
9
3. Karsinoma tidak berdifrensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nucleolus yang
menonjol dan dinding sel tidak tegas; tumor tampak lebih berbentuk sinsitium
daripada bentuk susunan batubata.
2.2.3 Pembagian Stadium
T = Tumor primer14
T0 = Tidak tampak tumor.
T1 = Tumor terbatas di nasofaring.
T2 = Tumor meluas ke jaringan lunak
T2a = perluasan tumor ke orofaring dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke
parafaring.
T2b = disertai perluasan ke parafaring
T3 = Tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 = Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau keterlibatan saraf kranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.
Tx = Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = Pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx = Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.
N0 = Tidak ada pembesaran
N1 = Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula.
N2 = Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran terbesar kuran dan
atau sama dengan 6 cm, diatas fossa supraklavikula
N3 = Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar dari 6
cm, atau terletak didalam fossa supraklavikula.
M = Metastase jauh
Mx = Metastasis tidak dapat dinilai.
M0 = Tidak ada metastasis jauh
M1 = Terdapat metastasis jauh
10
Stadium I :
T1 N0 M0
Stadium II :
T2 N0 M0
Stadium III :
T1/T2/T3 - N1 - M0 atau T3 - N0 - M0
Stadium IV :
T4 - N0/N1 - M0 atau T1/T2/T3/T4 - N2/N3 - M0
atau T1/T2/T3/T4 - N0/N1/N2/N3 - M1
2.2.4 Epidemiologi
Angka insiden karsinoma nasofaring cukup tinggi tergantung dari letak
geografinya. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on Cancer) pada
tahun 2002 ditemukan sekitar 80.000 kasus baru KNF di seluruh dunia dan sekitar 50.000
kasus meninggal diantaranya adalah berasal dari Cina sekitar 40%. Umur rata-rata
penderita KNF yaitu 45-55 tahun, dengan 23.3 kasus/100.000 laki-laki dan 8.9
kasus/100.000 perempuan. Rasio laki-laki : perempuan yaitu 2-3 : 1. Di Indonesia
memberikan hasil yang beragam, dengan laki-laki lebih banyak menderita KNF daripada
perempuan seperti yang telah dilaporkan oleh Armiyanto (2003) 2,2:1; Lutan (2003) 2,3:1;
Henny (2004) 2,4:1; Masrin (2005) dan Harahap (2009) dengan 2,5:1. Kelompok umur
yang terbanyak terjadi adalah pada umur 41-50 tahun. Insiden tertinggi dilaporkan berasal
dari provinsi Guandong dan daerah Guangxi Cina Selatan yaitu mencapai lebih dari 50 per
100.000 orang/tahun. Etnis Cina yang bermigrasi ke luar negeri juga mempunyai angka
insiden yang tinggi, tetapi etnis Cina yang lahir di Amerika Utara, mempunyai angka
insiden yang rendah dibandingkan dengan yang lahir di Cina. Temuan ini mengindikasikan
bahwa faktor genetik, etnik, dan lingkungan memegang peranan penting terhadap
meningkatnya KNF. Insiden yang tinggi juga ditemukan pada penduduk Eskimo di Alaska,
Greenland dan Tunisia sebanyak 15-20 kasus per 100.000 orang per tahun. Angka insiden
sedang ditemukan pada daerah Afrika Utara dan Asia Tenggara (Vietnam, Indonesia,
11
Thailand, Filipina) yaitu antara 3-8 per 100.000/tahun. Dan jarang terjadi pada negara
Eropa dan Amerika Utara. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 1998-2002
ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 penderita baru onkologi kepala dan leher.
2.2.5. Patogenesis
Akhir-akhir ini ada beberapa faktor yang dianggap cenderung menimbulkan
karsinoma nasofaring walaupun tidak merupakan penyebabnya sendiri. Dugaan adanya
predisposisi genetik disokong oleh berbagai faktor antara lain tingginya angka kejadian
pada orang cina bagian selatan dan dalam pengamatan lebih lanjut angka kejadiannya tetap
lebih tinggi dibandingkan dengan orang kulit putih jika mereka bermigrasi ke daerah yang
predominan orang kulit putih, setidaknya pada generasi pertama. Jika generasi kedua
berinteraksi penuh dengan cara hidup barat (seperti di Hawaii atu California) resiko
terkena karsinoma nasofring menurun, meskipun tidak serendah pada orang kulit putih.
Juga bukti penguat diperoleh dengan pengamatan adanya hubungan langsung antra
karsinoma nasofaring dengan HLA-A2 dan kurang dari dua antigen pada lokus B.
Perubahan lingkungan yang besar turut berperan.
Faktor lingkungan akan didukung oleh pengamatan cara hidup orang cina bagian
selatan. Cara memasak tradisional sering dilakukan dalam ruangan tertutup dan dengan
menggunakan kayu bakar. Pembakaran ini, terutama jika tak sempurna menyebarkan
partikel-partikel besar (5-10 mikrometer) yang dapat tersangkut pada hidung dan
nasofaring dan kemudian tertelan. Jika pembersihan tidak sempurna karena ada penyakit-
penyakit hidung, maka penyakit ini akan menetap lebih lama di nasofaring dan dapat
merangsang tumbuhnya tumor. Beberapa laporan menyebutkan hubungan antara
karsinoma nasofaring dengan makan ikan asin dan rendahnya kadar vitamin C sewaktu
muda. Hal ini juga biasa dalam tradisi masakan cinia. Kekurangan vitamin A diduga
merubah nitrat menjadi zat karsinogen yaitu nitrosamin.
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-pasien
orang asia dan afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder telah
dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan
seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA),
sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien Amerika yang
mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan
karsinoma nasofaring tak berdifrensiasi dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi yang
12
aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak dengan tumor sel skuamosa atau
elemen limfoid dalam limfoepitelioma.
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku diatas, belakang dan lateral.
Ke depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana sehingga sumbatan hidung
merupakan gangguan yang sering timbul. Demikian juga penyebaran tumor ke lateral akan
menyumbat muara tuba Eustachius dan akan mengganggu pendengaran serta menimbulkan
cairan di telinga tengah. Kearah belakang dinding melengkung ke atas dan ke depan dan
terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar dari os oksipital. Nekrosis akibat
penekanan mungkin timbul di tempat-tempat tersebut. Dibelakang atas torus tubarius
terdapat resesus faring atau fosa Rosenmuler dan tepat di ujung atas posteriornya terletak
foramen laserum. Tumor dapat menjalar kearah intracranial dalam dua arah, masing-
masing menimbulkan gejala neurologik yang khas. Perluasan langsung melalui foramen
laserum ke sinus kavernosus dan fosa kranii media menyebabkan gangguan saraf otak III,
IV, VI, dan kadang-kadang II. Sebaliknya penyebaran ke kelenjar faring lateral di dan
sekitar selubung karotis atau jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan
kerusakan saraf otak ke IX, X, XI dan XII. Saraf otak ke VII dan VIII biasanya jarang
terkena.
2.2.6. Gejala dan Tanda
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata, dan syaraf, serta metastasis atau gejala di
leher.8
a. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, untuk itu
nasofaring harus diperiksa dengan cermat kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena
seringa gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak
karena masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor).
b. Gejala pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor
dekat muara tuba Eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa
tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien
dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari bahwa penyebabnya adalah
karsinoma nasofaring.
c. Gejala pada mata, karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lobang, maka gangguan beberapa lobang, dari beberapa saraf otak
13
dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum
akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang
gejala diplopia yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat
keluhan lain yang berarti.
d. Gejala Neurologis, proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X,
XI dan XII, jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif
jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan Jackson syndrome. Bila
sudah mengenai seluruh syaraf otak disebut sindrom unilateral.
Sakit kepala yang hebat juga merupakan gejala yang paling berat bagi penderita
KNF, biasanya merupakan stadium terminal dari KNF. Hal ini disebabkan tumor
mengerosi dasar tengkorak dan menekan struktur di sekitarnya bila sudah terjadi
demikian biasanya prognosisnya buruk.3
e. Gejala di leher, ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan
penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF dapat terjadi unilateral atau bilateral.
Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan tempat pertama penyebaran sel
tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang
khas penyebaran KNF ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid
(kelenjar limfe jugulodigastrik), di bawah angulus mandibula, di dalam otot
sternokleidomastoid, konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan
terutama bila sel tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot di
bawahnya.9,10 Lebih dari 40% dari seluruh kasus KNF, keluhan adanya tumor di leher
ini yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang berobat.
2.2.7. Diagnosis
a. Foto Rontgen
Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan waters
menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak
memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.11
b. CT-Scan
c. Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal, dan lain-lain (kecurigaan metastasis)11
d. Pemeriksaan serologi
14
Pemeriksaan IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B telah
menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi pemeriksaan ini
hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan
tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga
hidung menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi.
Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik keluar dan diklem
bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung
disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian dengan kaca laring dilihat
daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau
memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat
lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan dengan anestsi topical dengan
Xylocain10%.
Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.
2.2.8. Diagnosis Banding
a. Angiofibroma Nasofaring
b. Karsinoma adenoid kistik (silindroma)
c. Limfoepitelioma
d. Plasmasitoma
e. Kista Nasofaring
f. Tumor neurogenik
15
2.2.9. Penatalaksanaan
a. Terapi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada penggunaan
megavoltage dan pengaturan dengan computer. Pengobatan tambahan yang diberikan
dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi,
seroterapi, vaksin dan anti virus.12
Semua pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan
kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Bebagai macam
kombinasi dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-
platinum sebagai inti.
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil saat ini
sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan. Demikian pula
telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi pra-radiasi dengan epirubicin dan cis-
platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi memberikan harapan
kesembuhan yang lebih baik.
Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang
memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran
selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan
pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi tumor induk sisa (residu) atau kambuh
(residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat operasi.
Penatalaksanaan berdasarkan stadium :
Stadium I : radioterapi
Stadium II & III : kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm : kemoradiasi
16
Stadium IV dengan N>6cm : kemotarapi dosis penuh dilanjutkan dengan kemoradiasi.
b. Perawatan paliatif
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebakan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk makan dengan
banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba memakan dan
mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain
adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis
jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual.
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap dimana
tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul metastasis jauh
pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas
tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum
yang buruk, perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan
terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.8
2.2.10 Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang , hati, dan paru dengan gejala rasa nyeri pada tulang,
batuk-batuk, dan gangguan fungsi hati.
2.2.11. Kesimpulan
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah nasofaring
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring
merupakan tumor ganas yang sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40 tahun.
Banyak terdapat pada bangsa Asia terutama orang Tionghoa. Biasanya mulai dari daerah
fosa Rossenmuler. Tumor ini tumbuh dari epitel yang meliputi jaringan limfoid. Tumor
primer dapat kecil, akan tetapi telah menimublkan metastasis pada kelenjar limfe regional,
biasanya pada leher. Sudah hampir dipastikan disebabkan oleh virus Epstein-Barr. Faktor
ras, letak geografis, jenis kelamin (laki-laki), faktor lingkungan (iritasi bahan kimia,
17
kebiasaan memasak dengan bahan/ bumbu masakan tertentu, asap sejenis kayu tertentu,
dan faktor genetic juga mempengaruhi.
18
BAB III
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
Nama Mahasiswa : Adelita Yuli Hapsari 03010003
Galih Arif Setiawan 03010112
Radian Savani 03010229
Dokter pembimbing: dr. Farida Nurhayati, SpTHT-KL
3.1 identitas
Nama : Nuryasin
Usia : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : -
Alamat : -
Pekerjaan : -
Pendidikan : -
3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama : kuping kanan berdengung terus menerus, samar-samar sejak 3
bulan lalu.
Keluhan tambahan : Telinga terasa penuh kalau kecapean, hidung sebelah kanan
bengkak dan terasa mampet, sering mimisan. Tenggorokan terasa panas, sakit bila
mengunyah, sulit menelan, suara parau, batuk berdahak kental. Sering demam 3 bulan lalu
hilang timbul, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan 6 kg selama 3 bulan
terakhir, sering pusing seperti ditusuk sampai pingsan, detak jantung terasa tidak beraturan
19
dan pasien merasa adanya benjolan sejak 1 tahun lalu yang semakin membesar dileher
sebelah kiri dan 1bulan terakhir terasa benjolan di leher sebelah kanan tanpa rasa nyeri.
3.2.2. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat magh, Hipertensi, diabetes melitus, alergi, asma disangkal, riwayat
penggunaan obat-obatan sebelumnya tidak ditanyakan
3.2.3. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat alergi (-), Diabetes melitus (-), Hipertensi (-)
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Keadaan Umum dan Tanda Vital
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. kesadaran : Compos Mentis
c. tanda vital :
Tekanan darah: -Suhu : -Nadi : -RR : -
3.3.2 Status Generalisa. Kepala : Normosefali, deformitas (-), Facies adenoid (-), distribusi rambut
merata
b. Mata : -c. Leher : Pembesaran kelenjar getah bening +/+
d. Thorax
Paru : -Jantung : -
e. Abdomen : -
f. Ekstremitas: -
3.3.3 Status Lokalis (THT)
20
a. Pemeriksaan Telinga
Kanan Kiri
Telinga luar
Daun telinga Normotia Normotia
Retroaurikuler
Hiperemis (-)Abses (-)Nyeri tekan (-)Fistel (-)
Hiperemis (-)Abses (-)Nyeri tekan (-)Fistel (-)
Liang telinga
Lapang + +
Hiperemis - -
Sekret - -
Serumen - -
Membrane timpani Refleks cahaya
Intak dengan retraksi (+) intak dengan retraksi (+)
Pemeriksaan Fungsi Pendengaran
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Swabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
b. Pemeriksaan hidung
Kanan Kiri
Pemeriksaan luar
Deformitas (-) (-)
Nyeri tekan
Dahi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pipi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Krepitasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rhinoskopi Anterior
Cavum nasi Lapang Lapang
Konka inferior Eutrofi Eutrofi Konka media Tidak tampak Tidak tampak
21
Konka superior Tidak tampak Tidak tampak
Mukosa tidak hiperemis Tidak hiperemis
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Sekret (-) (-)
Rhinoskopi Posterior Tidak dilakukan Tidak dilakukan
c. Pemeriksaan Mulut dan Orofaring
Kanan Kiri
Gigi
Karies Tidak ada Tidak ada
Lidah
Warna Merah muda Merah muda
Bentuk Normoglossia Normoglossia
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Tremor Tidak ada Tidak ada
Arcus faring + uvulaSimetris/tidak Tidak letak tengah, deviasi ke kanan
Warna Normal Normal
Bercak eksudat Tidak ada Tidak ada
Peritonsil
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tonsil
Ukuran T1 T1
Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Permukaan Rata Rata
Kripta Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
22
Dinding faring posterior
Warna Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Warna jaringan granulasi
Tidak ada Tidak ada
Permukaan Licin Licin
3.4 ResumeDari hasil anamnesis didapatkan pasien laki-laki, usia 46 tahun datang dengan
keluhan utama kuping kanan berdengung terus menerus, samar-samar sejak 3 bulan lalu
dan keluhan lain seperti telinga terasa penuh kalau kecapean, hidung sebelah kanan
bengkak dan mampet, sering mimisan, tenggorokan terasa panas, sakit bila mengunyah,
sulit menelan, suara parau, batuk berdahak kental, sering demam sejak 3 bulan lalu,
penurunan nafsu makan, penurunan berat badan 6 kg selama 3 bulan terakhir, pusing
seperti ditusuk sampai pingsan, detak jantung terasa tidak beraturan dan pasien merasa
adanya benjolan yang semakin membesar namun tidak nyeri dileher sebelah kiri kemudian
1 bulan terakhir terasa benjolan dileher sebelah kanan.
Pada pemeriksaan fisik dan status lokalis, didapatkan kedua membran timpani
retraksi. dan tenggorokan didapatkan letak uvula tidak ditengah/deviasi ke kanan.
Sedangkan pada status lokalis daerah leher didapatkan 4 bejolan dileher sebelah kiri, 1
benjolan berukuran 3x4 cm di sepanjang supraservikal, tidak nyeri, padat/keras, tidak
dapat digerakkan, permukaan rata dan 3 benjolan di supraklavikula kiri sebesar kelereng
konsistensi kenyal, dapat di gerakan, tidak nyeri, permukaan rata. Selain itu juga terdapat
3 benjolan sebelah kanan multipel, dapat digerakkan, kenyal, pemukaan rata, tidak nyeri
terletak di supraklavikula kanan.
3.5 Diagnosis kerjaSuspek KNF
3.6 Diagnosis banding
Angiofibroma Nasofaring
3.7 Pemeriksaan lanjutan
23
1. Darah rutin
2. Biopsi
3. CT-Scan fokus Ca Nasofaring
3.8 Rencana Pengobatan
Medikamentosa
1. Radioterapi 2. Kemoterapi
a. Cis-platinumb. Bleomicync. 5-fluorouracil
Non-medikamentosa
Pengobatan berdasarkan stadium :IV : N<6cm, kemoradiasi
3.9 Prognosis
Ad vitam : dubia ad malamAd sanationam : dubia ad malamAd functionam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
24
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel
epitel permukaan nasofaring (Brennan, 2006). Tumor ini bermula dari dinding
lateral nasofaring (fosa russenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau keluar
nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, dasar tengkorak, palatum,
kavum nasi, dan orofaring serta metastase ke kelenjar limfe leher .
Faktor resiko KNF, yakni genetik, infeksi virus Epstein-Barr, lingkungan
(asap, bahan kimia yang terhirup), dan diet (ikan asin, makanan yang diawetkan).13
Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi keadaan sel normal pada nasofaring.
Dalam keadaan normal, DNA sel yang rusak akan mengalami perbaikan melalui
beberapa mekanisme sehingga tidak timbul suatu masalah, namun pada KNF
karena adanya beberapa faktor resiko, perbaikan DNA tidak dapat berjalan dengan
baik sehingga timbul mutasi genetik pada sel somatik yang akan menyebabkan
penurunan proses apoptosis, inaktifasi gen supresor tumor dan aktifasi dari growth-
promoting oncogenes yang menyebabkan terjadi penurunan proses apoptosis dan
proliferasi sel menjadi abnormal yang nantinya akan membentuk suatu masa dan
akan berkembang menjadi suatu keganasan.8
Fossa rosenmuler merupakan lokasi yang cukup baik untuk timbulnya suatu
keganasan karena merupakan daerah transisional epitel. Massa yang terbentuk pada
nasofaring lambat laun akan semakin membesar sehingga dapat menekan jaringan
sekitarnya, seperti muara tuba eustachius, koana, palatum mole, basis cranii dan
jaringan sekitar lainnya sehingga menimbulkan suatu gejala pada pasien.
Pada kasus ini, setelah melakukan anamnesis pada pasien, pasien mengaku
sudah merasakan adanya benjolan dileher sebelah kiri sejak 1 tahun lalu, namun
pasien mengabaikan benjolan tersebut karena merasa tidak timbul nyeri atau gejala
apapun yang mengganggu aktifitas sehari-hari. Semakin hari benjolan tersebut
semakin membesar hingga pada 3 bulan lalu pasien merasa timbul berbagai
macam gejala, seperti sering demam, sering mimisan, kuping berdengung secara
terus menerus, penurunan pendengaran, batuk berdahak kental, suara parau, panas
ditenggorokan, sulit mengunyah dan menelan, penurunan nafsu makan dan berat
badan, pusing seperti ditusuk diseluruh kepala sampai tidak sadarkan diri, dan
merasa detak jantungnya tidak stabil. Gejala tersebut timbul jika pasien terlalu
lelah.
25
Gejala – gejala yang timbul tergantung dari letak massa tumor tersebut.
Gejala pada pasien ini, yaitu :
1. Benjolan di leher
Benjolan yang timbul di leher sebelah kiri pasien (dibawah telinga)
semakin membesar, tidak nyeri dan semakin tidak dapat digerakan. Letak
benjolan merupakan gejala yang khas pada KNF yaitu 3-5 cm dibawah
telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran kelenjar limfe,
sebagai pertahanan pertama sebelum sel tumor ke bagian tubuh yang lebih
jauh. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus
kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi lekat pada
otot dan sulit digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut
lagi. Selain di leher sebelah kiri, terdapat benjolan multipel pada daerah
supra klavikula kanan sebesar kelereng, dapat digerakkan, kenyal, dan tidak
nyeri, keadaan ini merupakan penyebaran ke kelenjar limfe kontralateral
akibat KNF.3
2. Demam
Demam yang terjadi bisa disebabkan karena adanya proses infeksi baik
virus maupun bakteri yang melalui berbagai mekanisme pengaturan suhu di
otak sehingga menimbulkan demam.
3. Sering mimisan
Hal ini bisa terjadi karena KNF merupakan jaringan yang rapuh sehingga
jika timbul suatu iritasi ringan sekalipun akan mudah mengalami suatu
perdarahan.
4. Kuping berdengung terus menerus dan pendengaran menurun
Gejala ini bisa timbul karena oklusi tuba esutachius akibat massa KNF
sehingga terjadi gangguan pada aktivitas elektrik di area auditorius yang
menimbulkan perasaan adanya bunyi.14 Selain itu, oklusi tuba eustachius
juga dapat menganggu hantaran suara yang menyebabkan terjadinya
penurunan pendengaran.
5. Batuk berdahak kental
26
Selain dari KNF, batuk berdahak ini dapat disebabkan karena adanya
infeksi saluran nafas atas yang memicu pembentukan mukus oleh sel goblet
sebagai mekanisme pertahanan.
6. Suara parau dan panas di tenggorokan
Suara parau memiliki banyak penyebab yang pada prinsipnya menimpa
laring dan sekitarnya mulai dari infeksi, gangguan neurologi sampai pada
kasus keganasan akibat metastasis dari KNF, sedangkan rasa panas
ditenggorokan merupakan gejala yang timbul karena adanya suatu
peradangan di sekitar faring bisa karena pengaruh dari peradangan KNF itu
sendiri, infeksi atau keduanya.
7. Sulit mengunyah dan menelan, penurunan nafsu makan dan berat
badan menurun.
Jika KNF telah mengalami metastasis dan mengenai m. Pterigoid maka
gerakan mandibula akan terganggu. Selain itu, dilihat dari batas lateral
nasofaring, yakni dibagian bawah adenoid (dekat fossa rosenmuler) terdapat
m. Constrictor pharyngeus superior yang berfungsi untuk menelan, sangat
mungkin untuk terjadinya penekanan oleh KNF sehingga refleks menelan
menjadi terganggu. Kesulitan menelan juga bisa disebabkan karena adanya
gangguan pada saraf IX. Dari dua mekanisme yang terganggu ini secara
tidak langsung mempengaruhi nafsu makan dan berat badan pasien.3
8. Sakit kepala hebat
Sakit kepala yang hebat sampai penurunan kesadaran merupakan gejala
yang paling berat bagi penderita KNF, biasanya merupakan stadium
terminal dari KNF. Hal ini disebabkan tumor mengerosi dasar tengkorak
dan menekan struktur di sekitarnya.3,15
9. Detak jantung tidak stabil
Pada peningkatan ukuran tumor atau metastasis memerlukan
kapilarisasi yang memadai dehingga sel tumor di suplai dengan oksigen
dan zat lainnya. Angiogenesis dirangsang melalui pelepasan mediator dan
dapat dihambat oleh penghambat angiogenesis (misalnya, angiostatin dan
endostatin). Jika ukuran tumor terlalu besar, diperlukan aliran darah
tambahan yang akan dapat meningkatkan curah jantung, dan hal tersebut
yang membuat kontraksi menjadi lebih besar dari biasanya sehingga
dirasakan detak jantung yang tidak stabil pada pasien.16 Selain itu, detak
27
jantung yang tidak stabil disebabkan adanya faktor stres ataupun nyeri yang
mempengaruhi pelepasan hormon adrenalin berkaitan dengan peningkatan
detak jantung.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan :
I. TELINGA (AD/AS)
Liang telinga lapang, tidak ada serumen atau sekret, nyeri tekan tragus (-/-).
Hal ini terjadi karena pada pasien ini tidak adanya infeksi di telinga, baik
telinga luar maupun telinga dalam.
II. HIDUNG
Kedua cavum nasi lapang, tanpa sekret dengan konka eutrofi dan tidak livid.
KNF yang ada belum terlalu mempengaruhi fungsi hidung sehingga hidung
pasien masih dalam batas normal, hanya saja pada waktu tertentu (kelelahan)
timbul epistaksis yang terjadi karena adanya iritasi pada KNF.
III. TENGGOROKAN
Uvula deviasi ke kanan, arcus faring tidak simetris dan tidak hiperemis. Hal
ini terjadi karena adanya gangguan pada saraf XI yang menyebabkan
terjadinya hemiparese palatum mole sehingga arcus faring menjadi tidak
simetris. Hasil temuan tidak didapatkan faring yang hiperemis, hal tersebut
dimungkinkan karena pada saat pemeriksaan pasien tidak sedang dalam
keadaan infeksi.
Dari hasil temuan benjolan dapat disimpulkan stadium KNF dengan menggunakan
sistem TNM, yakni :
Stadium IV T1N3M0
T1 : Tumor terbatas pada satu lokalisasi saja (lateral/posterosuperior/atap dan lain-lain).
N3: Terdapat pembesaran, baik homolateral, kontralateral, maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar.
M0 : Metastasis dekat.
BAB V
28
KESIMPULAN
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis kerja
yaitu Karsinoma nasofaring stadium IV dengan diagnosis banding Angiofibroma Nasofaring.
Untuk menegakkan diagnosis pasti dianjurkan untuk melakukan biopsi dan CT-Scan fokus
Ca Nasofaring. Rencana terapi yang akan diberikkan adalah kemoradiasi dan terapi ajuvan.
DAFTAR PUSTAKA
29
1. American Cancer Society. Cancer Facts & Figures 2013. Atlanta, Ga: American
Cancer Society; 2013.
2. Deteksi Dini kanker Nasofaring. Available at:http://www.ugm.ac.id/id/berita/8628-
deteksi.dini.kanker.nasofaring.dengan.cepat.mudah.dan.murah. accessed on June
16th 2014.
3. Witte MC, Neel HB. Nasopharyngeal cancer. In: Bailey Byron J., editor. Head &
Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia, New York: Lippincott-Raven; 1998
4. Gustafson RO, Neel HB. Cancer of the Nasopharynx In: Myers EN, Suen JY .
Cancer of The Head dan Neck. 2nd ed. New York: Churchill Livingstone; 1989. p.
494-508.
5. Ganguly NK. Epidemiological and Etiological Factors Associated with
Nasopharyngeal Carcinoma. ICMR Bulletin 2003;(9):33.
6. Delfitri M. Asosiasi Antara Alel Gen HLA-DRB1 dan HLA-DQB1 dengan
Kerentanan Timbulnya Karsinoma Nasofaring Pada Suku Batak. Univ. Sumatra
Utara Medan, 2007. Disertasi
7. Lin HS. Malignant Nasopharyngeal Tumors. 2006, Available at
http://www.emedicine.com .
8. Roezin A., dan Syafril A., 1990. Karsinoma Nasofaring dalam Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher. Ed 5th. Jakarta: FKUI.p.146-
159.
9. Soetjipto D. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Tumor Telinga Hidung dan
Tenggorok,Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta 1989;FK-UI: 71-84.
10. Ahmad A. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan Karsinoma
Nasofaring, dalam Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan
Kanker Nasofaring dan Pengobatan Suportif. FK-UI Jakarta, 2002. Hal. 1-13
11. Mansjoer, Arif., et al (eds), 1999. Kapita Selekta Kedokteran ed.III, jilid 1, FKUI,
Media Aesculapius, Jakarta
12. Asroel, Harry A. "Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring." FK
Universitas Sumatera Utara Bag THT (2002).
13. Kanker Nasofaring. Available at: http://www.dharmais.co.id/index.php/kanker-
nasofaring.html accessed on June 14th 2014..
30
14. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD.2014. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala, leher: Tinitus, ed 7th. Jakarta:
FKUI.p.89.
15. Ahmad A. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan Karsinoma
Nasofaring, dalam Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan
Kanker Nasofaring dan Pengobatan Suportif. FK-UI Jakarta, 2002. p.1-13.
16. Lang F. Teks Berwarna Patofisiologi : Akibat Tumor. Jakarta: EGC, 2006.
17. Pabst R, Putz R. Sobotta : Atlas Anatomi Manusia. Ed 22nd Jakarta: EGC.2007.
31
Recommended