View
795
Download
30
Category
Preview:
DESCRIPTION
Kawasan industri di Indonesia pada umumnya berupa kumpulan industri yang belum memiliki hubungan satu dengan yang lain. Dengan memasukkan pertimbangan aspek lingkungan pada tahap perancangan, akan dapat dihasilkan suatu industri yang tidak hanya lebih ekonomis tetapi juga berwawasan lingkungan. Dalam konsep ekologi industri kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga industri-industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme.
Citation preview
EKOLOGI INDUSTRI
MAGISTER TEKNIK PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN
JURUSAN TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOYGAKARTA
2010
KELOMPOK :
SATYA DARMAYANI
RAUDATI HILDAYATI
NOVI LAURA INDRAYANI
EKOLOGI INDUSTRI BERBASIS INDUSTRI
PENGOLAHAN TEBU
EKOLOGI INDUSTRI BERBASIS INDUSTRI PENGOLAHAN TEBU
Kawasan industri di Indonesia pada umumnya berupa kumpulan industri yang belum
memiliki hubungan satu dengan yang lain. Tahapan pendirian suatu industri dimulai dengan
penemuan proses pada tahap riset, kemudian dilanjutkan dengan tahap pengembangan dan
perancangan proses, peralatan, evaluasi ekonomi, konstruksi, serta operasi. Dalam
perancangan industri harus feasible secara teknis, ekonomis, memperhatikan aspek
keselamatan yang maksimal dan mempunyai dampak lingkungan yang minimal. Dengan
memasukkan pertimbangan aspek lingkungan pada tahap perancangan, akan dapat dihasilkan
suatu industri yang tidak hanya lebih ekonomis tetapi juga berwawasan lingkungan. Hal ini
dapat dilakukan dengan memilih bahan baku dan proses yang menghasilkan sedikit limbah
atau menghasilkan limbah tetapi dapat dimanfaatkan kembali secara berkelanjutan. Konsep
industri berwawasan lingkungan sangat penting untuk diterapkan mengingat daya dukung
alam semakin menurun dibandingkan pertumbuhan industri yang begitu cepat. Dalam konsep
ekologi industri seperti pada Gambar 1, kawasan industri ditata sedemikian rupa sehingga
industri-industri mempunyai hubungan simbiosis mutualisme. Industri-industri di dalam
kawasan saling terhubung untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi proses produksinya.
Gambar 1. Tipe Kawasan Industri
Penataan kawasan ekologi industri dapat dimulai dari pendirian kawasan industri
terpadu di dekat kawasan pertanian masyarakat. Sebagai contoh kawasan ekologi industri
berbasis industri pengolahan tebu. Tebu adalah bahan baku dalam pembuatan gula (gula
kristal putih, white sugar plantation) di pabrik gula. Dalam operasionalnya setiap musim
giling (setahun), pabrik gula selalu mengeluarkan limbah yang berbentuk cairan, padatan dan
gas. Limbah cair meliputi cairan bekas analisa di laboratorium dan luberan bahan olah yang
tidak disengaja. Limbah padat meliputi ampas tebu, abu dan debu hasil pembakaran ampas di
ketel, padatan bekas analisa laboratorium, blotong dan tetes. Limbah gas meliputi gas
cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor pemurnian cara sulfitasi.
Ampas tebu merupakan limbah padat produk stasiun gilingan pabrik gula, diproduksi
dalam jumlah 32 % tebu, atau sekitar 10,5 juta ton per tahun atau per musim giling se
Indonesia. Ampas tebu juga dapat dikatakan sebagai produk pendamping, karena ampas tebu
sebagian besar dipakai langsung oleh pabrik gula sebagai bahan bakar ketel untuk
memproduksi energi keperluan proses, yaitu sekitar 10,2 juta ton per tahun (97,4 % produksi
ampas). Sisanya (sekitar 0,3 juta ton per tahun) terhampar di lahan pabrik sehingga dapat
menyebabkan polusi udara, pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar pabrik gula.
Ampas tebu mengandung air, gula, serat dan mikroba, sehingga bila ditumpuk akan
mengalami fermentasi yang menghasilkan panas. Jika suhu tumpukan mencapai 94oC akan
terjadi kebakaran spontan.
Blotong merupakan limbah padat produk stasiun pemurnian nira, diproduksi sekitar
3,8 % tebu atau sekitar 1,3 juta ton. Limbah ini sebagian besar diambil petani untuk dipakai
sebagai pupuk, sebagian yang lain dibuang di lahan terbuka, dapat menyebabkan polusi udara,
pandangan dan bau yang tidak sedap di sekitar lahan tersebut. Sedangkan belerang dioksida
(SO2) merupakan limbah gas yang keluar dari cerobong reaktor sulfitir pada proses pemurnian
nira tebu yang kurang sempurna menyebabkan polusi udara di atas pabrik dan pemakaian
belerang menjadi lebih tinggi dari normal.
Tetes (molasses) sebagai limbah di stasiun pengolahan, diproduksi sekitar 4,5 % tebu
atau sekitar 1,5 juta ton. Tetes tebu sebagai produk pendamping karena sebagian besar dipakai
sebagai bahan baku industri lain seperti vitsin (sodium glutamate), alkohol atau spritius dan
bahkan untuk komoditas ekspor dalam pembuatan L-lysine dan lain-lain. Namun untuk hal ini
dibutuhkan kandungan gula dalam tetes yang cukup tinggi, sehingga tidak semua tetes tebu
yang dihasilkan dimanfaatkan untuk itu. Akibatnya tidak sedikit pabrik gula yang mengalami
kendala dalam penyimpanan tetes sampai musim giling berikutnya, tangki tidak cukup
menampung karena tetes kurang laku, atau memungkinkan terjadinya ledakan dalam
penyimpanan di tangki tetes sehubungan dengan kondisi proses atau komposisi.
Dalam analisa kontrol kualitas bahan alur proses di laboratorium dihasilkan limbah
bekas analisa yang berbentuk cairan dan padatan yang mengandung logam berat (Pb). Logam
tersebut berasal dari bahan penjernih Pb-asetat basa yang digunakan untuk analisa gula dalam
pengawasan pabrikasi. Bahan penjernih tersebut telah digunakan sudah cukup lama, sejak satu
abad yang lalu. Diperkirakan untuk pabrik gula yang berkapasitas 4000 ton tebu per hari
diperlukan tidak kurang dari 100 kg Pb per musim giling. Dapat dibayangkan untuk pabrik
gula seluruh Indonesia, khususnya di Jawa, diperkirakan sekitar 5 ton Pb per tahun dibuang
sebagai limbah analisa gula, atau sekitar 500 ton Pb tersebar di perut bumi Pulau Jawa selama
seabad.
Dari uraian di atas tampaknya perancangan, penanganan, pencegahan dan
pemanfaatan limbah pabrik gula yang lebih “tajam” perlu digalakkan agar limbah yang
mengganggu, polusi udara, tidak ramah lingkungan, membuat pandangan dan bau yang
kurang sedap dapat diatasi dengan baik. Yang terpenting dalam perancangan, penanganan,
pencegahan dan pemanfaatan limbah tersebut mempunyai prinsip menangani masalah limbah
tanpa menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih negatif pada lingkungan.
Perancangan, Penanganan, Pencegahan dan Pemanfaatan Limbah
Perancangan Kawasan
Saat terbaik untuk memasukkan pertimbangan penerapan ekologi industri adalah
pada tahapan awal perancangan proses, yaitu pada saat riset dan pengembangan proses. Hal ini
disebabkan kebijakan yang dibuat pada saat awal pengembangan proses seringkali akan
menentukan aktifitas pengembangan pada tahapan selanjutnya, seperti dalam hal pemilihan
jenis peralatan, material, dan kondisi proses. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dengan
mengarahkan isu lingkungan pada awal siklus pengembangan, masalah teknis dan nonteknis
(konsekuensi ekonomis dan peraturan perundangan) yang akan muncul di depan dapat
diantisipasi. Hal ini dapat mereduksi resiko teknis dan ekonomis yang berkaitan dengan isu
lingkungan.
Gambar 2. Kawasan Ekologi Agroindustri
Gambar kawasan ekologi industri di atas menjelaskan proses penataan kawasan
dimulai dari kawasan pertanian tebu rakyat. Hasil tebu diproses di industri gula menghasilkan
produk gula dan produk samping tetes tebu serta selulosa. Tetes tebu digunakan sebagai bahan
baku industri penyulingan etanol sedangkan serat selulosa dimanfaatkan sebagai bahan baku
industri kertas. Pada industri kertas dihasilkan produk kertas dan limbah lumpur yang telah
diolah dapat menjadi bahan baku industri pupuk organik. Industri penyulingan etanol dapat
menghasilkan produk etanol dan efluen yang dapat dijadikan bahan baku industri biogas.
Industri biogas dapat menghasilkan energi yang dapat memasok kawasan tersebut. Limbah–
limbah yang dihasilkan telah sangat berkurang kuantitas dan sifat toksisitasnya. Limbah
tersebut diolah secara terpadu sehingga dihasilkan limbah yang ramah lingkungan. Air limbah
yang telah diolah dapat juga dikembalikan sebagai air proses di industri.
Penanganan Limbah
Sisa Ampas atau ampas lebih. Sebelum dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku
energi listrik, media kompos dan lain-lain, penanganan awal yang bijak untuk sisa ampas
(produksi ampas – ampas yang telah digunakan sebagai pembangkit energi untuk proses)
adalah ditempa terlebih dahulu menjadi bal (kubus). Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
berat jenis ampas, kemudian diikat agar ampas tidak mudah lepas berterbangan (mawur).
Selanjutnya ampas bal siap untuk digudangkan.
Debu dan abu hasil pembakaran ampas. Penanganan debu hasil pembakaran ampas
dilakukan dengan cara menangkap debu tersebut dengan menggunakan dust collector yaitu
wet atau dry scrubber sebelum keluar melalui cerobong ketel. Debu dan abu hasil pembakaran
ampas ditanam bersama dalam tempat pembuangan akhir kemudian disiram air. Hal ini
dilakukan agar debu dan abu tersebut aman terhadap lingkungan, menghindari kebakaran
karena dikhawatirkan abu masih mengandung bara api yang latent.
Blotong. Penanganan awal untuk sisa blotong (produksi blotong - blotong yang telah
dimanfaatkan petani) perlu ditangani dengan cara menanam ke dalam lubang pembuangan
awal sebelum dimanfaatkan kembali sebagai pupuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari
pandangan dan bau yang tidak sedap.
Limbah cair dan padat bekas analisa gula di laboratorium. Limbah cair bekas
analisa gula di laboratorium ditangani dengan cara mengumpulkan cairan (filtrat) tersebut
untuk di-elektrolisis agar logam berat menempel pada elektroda. Logam berat diambil dari
elektroda sebagai limbah padat. Bersama-sama dengan limbah padat bekas analisa gula di
laboratorium dan limbah padat lainnya ditanam bersama ke dalam tempat pembuangan akhir.
Selanjutnya limbah cair yang telah ditritmen dinetralkan, kemudian bersama-sama dengan
cairan lainnya (pendingin alat mesin pabrik, luberan bahan olah yang tidak disengaja, air
kebutuhan karyawan pabrik) dikeluarkan dari pabrik dan dikirim ke tempat pengolahan limbah
dengan teknologi sistem Biotray. Sistem ini dapat mengolah air limbah untuk dipakai kembali
sehingga dapat mengurangi suplei air segar sampai 0,6 – 1 M3 per ton tebu dan beban polutan
dapat diturunkan sampai nihil.
Tetes tebu. Penyimpanan tetes tebu dalam tangki dapat ditangani dengan cara
mengantisipasi suhu tetes, yaitu sebelum dikirim ke tangki tetes suhu tetes harus berkisar
antara 35 – 40oC. Misalnya dengan cara melewatkan tetes tersebut melalui pendingin
sehingga tetes yang keluar dari pendingin tersebut berkisar 35 – 40oC.
Pencegahan Limbah
Blotong dan SO2. Pemakaian bahan pembantu proses (kapur dan belerang) yang
berlebihan dapat ditekan dengan kontrol kondisi proses pemurnian nira yang efektif melalui
optimasi pH, suhu dan waktu. Dengan memperhatikan kualitas bahan baku yang diolah dan
hasil pemurnian yang ingin dicapai maka kondisi operasional proses yang optimal dapat
ditetapkan, sehingga pemakaian bahan pembantu proses dapat ditekan. Dampaknya jumlah
blotong dan gas SO2 dapat ditekan pula. Limbah cair atau padat bekas analisa di laboratorium.
Pencegahan terjadinya limbah logam berat berkategori B3 karena penggunaan bahan penjernih
Pb-asetat basa dapat dinihilkan melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL)
sebagai alternatif pengganti bahan penjernih berkategori B3 tersebut. Sehingga dengan
demikian, cairan yang dihasilkan (filtrat) langsung dapat dikirim ke tempat pengolahan limbah
tetes tebu. Pencegahan terjadinya ledakan selama penyimpanan tetes dalam tangki dapat
dilakukan dengan mendinginkan tetes pada suhu 35 – 40oC. Di dalam tangki tetes dipasang
pipa-pipa pendingin yang melingkar, air pendingin mengalir di dalam pipa pendingin.
Sehingga dengan demikian, sambil menunggu pengeluaran tetes diharapkan suhu tetes yang
disimpan berkisar 35 – 40oC. Pengawasan suhu tetes terjadwal menjadi sangat penting. Gas
cerobong ketel. Kesempurnaan pembakaran ampas dipengaruhi oleh kualitas ampas sebagai
bahan bakar, jenis dan kondisi dapur + ketel. Namun demikian pembakaran yang sempurna
dapat diidentifikasi dari kualitas gas cerobong (kadar CO2 > 12 %, O2 < 7 dan produksi uap
per kampas > 2 kg). Oleh karena itu kontrol kualitas gas cerobong ketel terjadwal perlu
menjadi perhatian.
Pemanfaatan limbah industri gula melalui pengolahan biologis dan kimiawi
dalam upaya meningkatkan kecernaan secara invitro
Limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alternatif adalah limbah dari
perkebunan tebu. Limbah dari tebu ini yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan antara lain
adalah mollases, blotong, dan pucuk tebu. Pucuk tebu adalah limbah tebu yang memiliki
potensi sangat besar. Pucuk tebu dapat dimanfaatkan untuk pakan rum__inansia. Salah satu
kelemahan dari pucuk tebu adalah kandungan serat kasar yang tinggi. Untuk meningkatkan
manfaaat dari pucuk tebu make dilakukan pengolahan. Metode pengolahan yang biasa
digunakan untuk pakan berserat tinggi adalah pengolahan kimiawi. Bahan kimia yang biasa
digunakan adalah urea dan NaOH.
Fraksi limbah tebu lainnya yang masih memiliki nilai gizi yang baik adalah blotong.
Blotong adalah limbah yang dapat dipisahkan dengan proses penapisan dalam proses
klarifkasi nira. Untuk meningkatkan nilai gizi dari protein pada blotong perlu dilakukan
fermentasi dengan menggunakan kapang. Keseimbangan asam amino diharapkan dapat
ditingkatkan melalui fermentasi.Dengan meningkatnya kualitas protein diharapkan dapat
meningkatkan kecernaan zat-zat makanan. Jenis kapang yang biasa digunakan adalah
Saccharomyces cereviceae, Aspergillus oryzae, Aspergiltus niger.
Penelitian tahap pertama dilakukan terdiri dua bagian yaitu tahap pengolahan pucuk
tebu dan penggunaannya dalam ransum Pucuk tebu akan dilakukan pengolahan dengan
amoniasi, silase, dan hidrolisis dengan NaOH.Untuk menentukan cara pengolahan yang
terbaik terhadap pucuk tebu maka dilakukan penelitian secara in vitro. Perlakuan yang
dicobakan pada perlakuan vitro adalah:
RI = Pucuk tebu tanpa pengolahan ;
R2 = Pucuk tebu diolah secam Amoniasi;
R3 = Pucuk tebu diolah secara Silase ;
R4 = Pucuk tebu diolah secara Hidrolisis dengan NaOH.
Berdasarkan basil penelitian tersebut, ternyata metode pengolahan yang baik untuk
pucuk tebu adalah amoniasi. Untuk menentukan penggunaaanya dalam ransum dilakukan
penelitian dengan rancangan acak lengkap 4 x 5 , tiap perlakuan diulang 5 kali.
Susunan perlakuannya adalah sebagai berikut:
RO = 70% konsentrat +30% rumput lapang
RI = 70% konsentrat + 20% rumput lapang + 10% pucuk tebu teramoniasi
R2 =70% konsentrat + 10% rumput lapang + 20% pucuk tebu teramoniasi
R3 = 70% konsentrat + 0% rumput lapang + 30% pucuk tebu teramoniasi
Penelitian tahap kedua diawali dengan menentukan jenis kapang yang paling baik pada
fermentasi blotong, Susunan perlakuannya sbb:
RO = blotong tanpa pengolahan; Rl= blotong difermentasi dengan Saccharomyces cereviceae ;
R2 = blotong difermentasi dengan Aspergillus oryzae
R3=blotong difermentasi dengan Aspergillus niger
R4 = blotong difermentasi dengan Rhizopus orryzae.
Berdasarkan hasil peneliian tersebut fermentasi yang terbaik adalah menggunakan
yeats Saccharomyces cereviceae. Untuk menentukan penggunaannya adalah ransum dilakukan
penelitian dengan rancangan acak lengkap 5 x 5, susunan perlakuannya adalah sebagai
berikut:
RO = ransom basal
Rl = RO + 5% blotong terfermentasi dari BK ransom
R2 = RO + 10% blotong terfermentasi Bari BK ransum
R3 = RO + 15% blotong terfermentasi dari BK ransum
R4 = RO + 20% blotong terfermentasi dari BK ransum
Berdasarkan uji lanjut BNT menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata terhadap
KCBK dan KCBO. Hasil nyata ditunjukkan pada parameter NH3 dan VFA. Berdasarkan
kedua parameter tersebut menunjukkan bahwa perlakuan amoniasi menunjukkan hasil yang
lebih baik dibandinngkan perlakuan lainnya dan oleh karena itu, pengolahan yang digunakan
pada pucuk tebu dalam ransom adalah amoniasi. Berdasarkan uji lanjut polinominal ortogonal
menunjukkan bahwa penggunaan pucuk tebu teramoniasi dalam ransum terhadap kecernaan
bahan kering dan dan bahan organik berpola linier dengan persamaan masing-masing Y =
37,739 +0,094X dan 39,361 + 0,114X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan
pucuk tebu dalam ransom semakin tinggi nilai kecernaannya.
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis kapang terhadap
parameter kecemaan menujukkan tidak berberda nyata. Hasil yang nyata terlihat dari
parameter WA dan NH3. Berdasarkan parameter VFA dan NH3 menujukkan
bahwa penggunaan yeast Saccharomyces cereviceae sebagai bahan fermentasi pada blotong
memberikan basil yang lebih baik bila dibandingkan dengan menggunakan kapang lainnya.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan blotong dalam ransom berpengaruh nyata
terhadap kadar NH3. Berdasarkan uji lanjut polinomial ortogonal menunjukkan bahwa
perlakuan memliki respon linear terhadap kadar NH3 dengan persamaannya Y= 4,035
+0,237X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan blotong semakin tinggi
kadar NH3 cairan rumen.
Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan
blotong dalam ransom tidak berbeda nyata terhadap WA dan kecemaan bahan organik ransum
(KCBO). Hasil analisis ragam dan analisis polinomial ortogonal menunjukkan bahwa
perlakuan blotong berbeda nyata terhadap kecemaan bahan kering ransum. Kurva responnya
adalah linear dengan persamaan Y=45,964 - 0,294X. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi kandungan blotong dalam ransum nilai kecemaan bahan keringnya menurun.
Ampas tebu juga dapat dimanfaatkan sebagai energi listrik yang dijual ke rumah
tangga. Misalnya saja sisa ampas tebu pada musim giling 2008 (279.332 ton) dapat
menghasilkan listrik sekitar 36 ribu MW, atau dapat untuk memenuhi kebutuhan listrik sekitar
60.000 rumah tangga di lingkungan pabrik gula selama 6 bulan (asumsi kebutuhan rumah
tangga 100 KW per bulan) yang menghasilkan rupiah sekitar Rp. 18 Milyard.
Tabel 1. Listrik yang dihasilkan (KW) dari sisa ampas tebu pada musim giling 2008
Produsen Tebu
digiling
(ton)
Ampas
diproduksi
(ton)
Ampas
dibakar
(ton)
Sisa
ampas
(ton)
Setara uap
dihasilkan
(ton)
Setara
listrik
dihasilkan
(MW)
SetaraRp .
Milyard
Jawa 23.626.250 7.615.601 7.423.503 192.098 383.617 25.574 12,79
Sumatra 9.790.911 3.155.967 3.076.360 79.607 139.462 9.297 4,65
Sulawesi 937.995 302.350 294.723 7.627 15.050 1.003 0,50
Indonesia 34.355.156 1.107.3918 10.794.586 279.332 538.129 35.875 17,94
Serat-serat ampas merupakan bahan organik yang terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin.
Bahan organik tersebut dapat diubah menjadi kompos melalui proses biokimia dengan
melibatkan aktivitas mikroba. Oleh karena itu ampas tebu dapat digunakan sebagai bahan
baku kompos. Kompos ampas tebu (KAT) dan kompos dari campuran ampas tebu, blotong
dan abu ketel (KABAK) bagus untuk pemupukan lahan tebu. Ampas tebu juga dapat
digunakan sebagai bahan baku briket arang ampas. Briket tersebut mempunyai kualitas yang
tidak begitu berbeda dengan kualitas cokes. Dalam ukuran kecil, briket dapat digunakan di
dapur rumah tangga. Di samping itu ampas tebu dapat digunakan untuk membuat particle
board. Particle board biasanya digunakan untuk keperluan interior, akustik, insulator, panel
dinding dan meb. blotong. Blotong dapat digunakan langsung sebagai pupuk, karena
mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanah. Untuk memperkaya unsur N blotong
dikompos dengan ampas tebu dan abu ketel (KABAK). Pemberian ke tanaman tebu sebanyak
100 ton blotong atau komposnya per hektar dapat meningkatkan bobot dan rendamen tebu
secara segnifikan. Kandungan hara kompos ampas tebu (KAT), blotong dan kompos dari
ampas tebu, blotong dan abu ketel (KABAK).
Tabel 2. Hasil analisis kimia KAT, blotong dan KABAK:
Di dalam
tetes tebu terkandung
total gula sebagai invert antara 60 - 70 %, merupakan bahan baku yang potensial bagi produk-
produk fermentasi dan salah satu diantaranya adalah etanol (alkohol). Bahkan jika diproduksi
dalam skala industri perumahan menjanjikan untuk menambah pendapatan rumah tangga.
Dalam 5 tahun terakhir ini pemerintah sedang giatnya menggalakkan program bahan bakar
yang bersifat renewable. Salah satu diantaranya adalah mencampur etanol ke dalamm BBM
menjadi gasohol sebagai energi alternatif. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia telah
berhasil menguji gasohol sampai E20 (etanol : bensin = 20 : 80) untuk mesin bensin. Di dalam
tetes tebu terkandung sukrosa antara 35 - 45 %, gula invert antara 17 – 35 %, total gula
sebagai invert (TSAI) antara 60 - 70 %. Hal ini merupakan bahan baku yang potensial bagi
Analisis KAT Blotong KABAK
pH 7.32 7.53 6.85
Karbon (C), % 16.63 26.51 26.51
Nitrogen (N), % 1.04 1.04 1.38
Nisbah C/N 16.04 25.62 15.54
Fosfat (P2O5), % 0.421 6.142 3.020
Kalium (K2O), % 0.193 0.485 0.543
Natrium (Na2O), % 0.122 0.082 0.103
Kalsium (Ca), % 2.085 5.785 4.871
Magnesium (Mg), % 0.379 0.419 0.394
Besi (Fe), % 0.251 0.191 0.180
Mangan (Mn), % 0.066 0.115 0.090
produk-produk fermentasi dan salah satu diantaranya adalah sirup invert. Untuk menjadikan
gula dalam tetes menjadi invert semua maka komponen sukrosa harus diinversi terlebih
dahulu. Proses inversi sukrosa menjadi gula invert yang banyak diminati adalah cara
enzimatis karena tidak bersifat korosif terhadap peralatan yang digunakan. Proses inversi
menggunakan ragi roti optimal pada larutan brix tetes 50 %, pH 4,5, suhu inkubasi 60oC
selama 24 jam. Di samping dapat dibuat alkohol atau spiritus dan sirup invert, tetes tebu juga
dapat dipakai sebagai bahan baku L-lysine dan media untuk pembuatan sodium glutamate di
pabrik vitsien. Bahkan tetes tebu saat ini merupakan komoditas eksport non migas yang cukup
menjanjikan.
Selain dari nira, ampas yang dihasilkan sebagai hasil ikutan dari unit gilingan bisa
diproses lebih lanjut menjadi etanol, dengan menambah unit pretreatment dan sakarifikasi.
Unit pretreatment berfungsi untuk mendegradasi ampas menjadi komponen selulosa, lignin,
dan hemiselulosa. Dalam unit sakarifikasi, selulosa dihidrolisa menjadi gula (glukosa) yang
akan menjadi bahan baku fermentasi, selanjutnya didestilasi menghasilkan etanol. Unit
preparasi berfungsi untuk menjernihkan dan memekatkan nira mentah yang dihasilkan unit
gilingan. Klarifikasi bisa dilakukan secara fisik dengan penyaringan atau secara kimiawi.
Klarifikasi terutama bertujuan untuk menghilangkan beberapa impurities yang bisa
mengganggu proses fermentasi. Nira yang dihasilkan dari proses ini disebut nira jernih.
Sedangkan unit fermentasi berfungsi untuk mengubah nira jernih menjadi etanol, melalui
aktivitas fermentasi ragi. Jumlah unit fermentasi biasanya terdiri dari beberapa unit (batch)
atau system kontinyu tergantung kepada kondisi dan kapasitas pabrik. Beberapa nutrisi
ditambahkan untuk optimalisasi proses. Etanol yang terbentuk dibawa ke dalam unit destilasi.
Unit destilasi berfungsi untuk memisahkan etanol dari cairan lain khususnya air. Unit ini juga
terdiri dari beberapa kolom destilasi. Etanol yang dihasilkan biasanya memiliki kemurnian
sekitar 95-96%. Proses pemurnian lebih lanjut akan menghasilkan etanol dengan tingkat
kemurnian lebih tinggi (99% ethanol anhydrous), yang biasanya digunakan sebagai campuran
unleaded gasoline, menjadi gasohol.
Modifikasi pabrik gula dan pabrik etanol ini bisa dilakukan dengan memisahkan
aliran nira mentah yang ditampung dari unit gilingan kedalam 2 jalur, yaitu: ke unit preparasi
nira dan selanjutnya dibawa ke unit fermentasi untuk menghasilkan etanol atau dibawa ke
statsiun pengolahan untuk menghasilkan gula. Dalam bentuk diagram sederhana proses
tersebut disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema modifikasi PG untuk menghasilkan gula dan etanol
Produksi etanol secara terpadu dengan pabrik gula lebih disukai karena ada fleksibilitas
produksi, efisiensi energi, dan biaya produksi menjadi lebih rendah.
CO2 dari gas cerobong. Limbah gas cerobong, khususnya gas CO2, dapat
dimanfaatkan kembali untuk keperluan pemurnian nira sebagai pengganti gas SO2 atau
dimanfaatkan dalam pemurnian defekasi remelt karbonatasi. Dalam 2 tahun terakhir ini proses
defekasi remelt karbonatasi sedang banyak dibicarakan para pakar dan praktisi industri gula
dalam negeri sehubungan dengan harga belerang yang mahal, produksi gula dalam negeri
yang telah menyentuh swa sembada gula dan tuntutan akan gula mutu tinggi. Diprediksi pada
musim giling ditahun yang akan datang terjad kelebihan stok gula dalam negeri sehingga
dikhawatirkan terjadi penyaluran gula berlebih yang macet, untuk diekspor mutu gula dalam
negeri masih kalah bersaing.
Oleh karena itu paling bijak adalah memilih proses defekasi remelt karbonatasi dalam
mengatasi masalah ini. Dengan proses tersebut, di samping dapat mengurangi cemaran
lingkungan, juga dapat memproduksi gula mutu tinggi sehingga dapat mengatasi masalah
pergulaan nasional yang sedang mengalami kendala dalam persaingan global. Dengan
perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan limbah pabrik gula tersebut
diharapkan program langit biru dan bumi hijau akan terlaksana dengan baik di sektor industri.
Oleh karena itu penataan kawasan ekologi industri sangat diperlukan dalam rangka
pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dimana konsep
kawasan ekologi industri di Indonesia sebaiknya disesuaikan dengan kondisi geografis dan
yang paling sesuai untuk dikembangkan segera adalah kawasan ekologi industri pertanian atau
agro-industri.
Kawasan ekologi industri dapat diimplementasikan dengan baik jika masing-masing
industri dalam kawasan tersebut dapat saling terbuka dan terhubung dengan baik. Dalam hal
ini diperlukan kesepakatan bersama tentang pengelolaan kawasan industri bersama dengan
tetap berpegang pada prinsip ekonomi dan keselamatan lingkungan. Penerapan kawasan
ekologi industri di Indonesia saat ini masih pada tahap pengembangan dan masih sangat
sedikit kawasan industri yang menerapkannya. Hal ini disebabkan adanya ketakutan industri
untuk membagi informasi tentang bahan baku, proses produksi, dan limbah apa yang
dihasilkan. Industri masih menganggap informasi tersebut dapat disalahgunakan oleh industri
lain untuk meniru produknya. Peran pemerintah dan masyarakat sebagai konsumen sangat
diperlukan untuk mendorong industri menerapkan ekologi industri. Pemerintah dapat berperan
dalam pembuatan kebijakan peraturan dan pemberian insentif bagi industri yang menerapkan
ekologi industri. Masyarakat sebagai konsumen dapat menekan industri dengan memilih
produk yang dihasilkan dari proses yang ramah lingkungan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa limbah pengolahan tebu dari pabrik
gula yang terasa mempunyai konotasi mengganggu dan mencemari lingkungan tampaknya
dapat diatasi dengan baik, sehingga memberi manfaat pada lingkungan. Upaya penanganan
limbah cair dilakukan melalui elektrolisis cairan bekas analisa di laboratorium dan mengolah
limbah cair yang keluar dari pabrik gula dengan biotray. Penanganan limbah padat dilakukan
dengan cara menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dustcollector dan menanam
atau membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium kepembuangan. Upaya
pencegahan limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman lingkungan (PAL)
dalam analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan kontrol pemurnian nira. Upaya
pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan ampas dan blotong sebagai bahan baku pupuk
kompos, ampas untuk energi listrik di perumahan dan tetes sebagai bahan baku industri
etanol, spiritus dan vitsin. Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk pemurnian nira
sebagai pengganti gas SO2. Dengan perancangan, penanganan, pencegahan dan pemanfaatan
limbah pengolahan tebu yang berasal dari pabrik gula tersebut diharapkan program langit biru
dan bumi hijau akan terlaksana dengan baik di sektor industri. Namun yang terpenting dari
semua pemanfaatan limbah pabrik tersebut adalah mempunyai prinsip menangani masalah
limbah tanpa menimbulkan masalah limbah baru yang berdampak lebih negatif pada
lingkungan yakni dengan menerapkan konsep ekologi industri. Indonesia telah menerapkan
konsep kawasan ekologi industri meskipun masih sederhana dan perlu dikembangkan lebih
lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Kurniawan.Y., Susmiadi.A., dan Toharisman.A., 2005, Potensi Pengembangan Industri Gula Sebagai Penghasil Energi di Indonesia, Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Surabaya.
Martoyo, T., B. E. Santoso dan M. Mochtar. 1994. Bahan penjernih alternatif untuk analisis pol nira dan bahan alur proses di pabrik gula. Majalah Penelitian Gula Vol 30 (3 - 4). P3GI. Pasuruan. pp: 1– 5.
Santoso.B.E., 2008., Limbah Pabrik Gula: Penanganan, Pencegahan Dan Pemanfaatannya Dalam Upaya Program Langit Biru Dan Bumi Hijau. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan, Indonesia. p: 1-6.
Wantomo.D.S., Christina.M., dan Megasari.P.K., 2007, Kajian Penerapan Ekologi Industri Di Indonesi, STTN BATAN, Yogyakarta.
Widodo. Yusuf., 2007, Pemanfaatan Limbah Industri Gula Melalui Pengolahan Biologis Dan Kimiawi Dalam Upaya Meningkatkan Upaya Kecernaannya Secara Invitro, Lampung University Library, Lampung.
http://www.penelitian_gula.asp.atm.
Recommended