View
1.045
Download
6
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perspektif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan
manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud
adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang
berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Quran dan hadis (sunah Nabi).
Di dalam hadis Nabi juga, ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaiman Rasulullah saw
mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Misalnya, pertama, qulil haqqa walaukana murran (katakanlah
apa yang benar walaupun pahit rasanya) (hadis). Kedua, falyakul khairan au liyasmut (katakanlah bila
benar kalau tidak bisa,diamlah). Ketiga, laa takul qabla tafakur (janganlah berbicara sebelum berpikir
terlebih dahulu). Keempat, Nabi menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya, “Sebutkanlah apa-apa yang baik mengenai sahabatmu yang tidak
hadir dalam pertemuan, terutama hal-hal yang kamu sukai terhadap sahabatmu itu sebagaimana
sahabatmu menyampaikan kebaikan dirimu pada saat kamu tidak hadir”. Kelima, selanjutnya Nabi saw
berpesan, “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang…yaitu mereka yang menjungkirkan-
balikkan fakta (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan
lidahnya”. Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan
fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami.
Prinsip-prinsip etika tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim – ketika
melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas
lainnya.
Dalam Al Qur’an dengan sangat mudah kita menemukan contoh kongkrit bagaimana Allah selalu
berkomunikasi dengan hambaNya melalui wahyu. Untuk menghindari kesalahan dalam menerima pesan
melalui ayat-ayat tersebut, Allah juga memberikan kebebasan kepada Rasulullah untuk meredaksi wahyu-
Nya melalui matan hadits. Baik hadits itu bersifat Qouliyah (perkataan), Fi’iliyah (perbuatan), Taqrir
(persetujuan) Rasul, kemudian ditambah lagi dengan lahirnya para ahli tafsir sehingga melalui tangan
mereka terkumpul sekian banyak buku-buku tafsir.
Selain itu, kita mendapati Rasulullah SAW dalam berkomunikasi dengan keluarga, sahabat dan
umatnya. Komunikasi beliau sudah terkumpul dalam ratusan ribu hadits yang menjadi penguat, penjelas
Al Qur’an sebagai petunjuk bagi kehidupan umat manusia.
Komunikasi dalam Islam dinilai penting, karena adanya kewajiban berda’wah kepada setiap
orang-orang yang beriman sehingga nilai-nilai Al-Qur’an dan haditsnya harus selalu dikomunikasikan
kepada orang lain, khususnya keluarga guna menghindari siksaan api neraka.
Komunikasi sangat berpengaruh terhadap kelanjutan hidup manusia, baik manusia sebagai
hamba, anggota masyarakat, anggota keluarga dan manusia sebagai satu kesatuan yang universal. Seluruh
kehidupan manusia tidak bisa lepas dari komunikasi. Dan komunikasi juga sangat berpengaruh terhadap
kualitas berhubungan dengan sesama.
Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan
prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Dengan pengertian demikian, maka komunikasi Islam
menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam,dan cara (how),dalam hal ini
tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika).Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam
komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak
(ihsan).Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi
berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika
berkomunikasi dalam perspektif Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan-pesan keislaman dengan menggunakan
prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Dengan pengertian demikian, maka komunikasi Islam
menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam, dan cara (how), dalam hal
ini tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika). Pesan-pesan keislaman yang disampaikan
dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan
akhlak (ihsan). Pesan-pesan keislaman keislamnan yang disampaikan tersebut disebut sebagai dakwah.
Dakwah adalah pekerjaan atau ucapan untuk mempengaruhi manusia mengikuti islam.[1]
A. Etika Komunikasi Dalam Al-Quran dan Hadits
Menurut A. Samover “ We Cannot Not Communicate”[2] oleh karena itu,manusia tidak dapat
terhindar dalam interaksi sesamanya. Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan
berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya
sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam
melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari,
berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis
gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi
Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan
Layinan, dan (6) Qaulan Maysura.
1. Qaulan Sadida
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-
anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah
mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang
benar” (QS. 4:9)
Sadied menurut bahasa berarti yang benar, tepat.[3] Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida
dengan : kata yang lurus (qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, correct,tepat
(Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran
dan dengan kebenaran dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala
kesempurnaan; karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati.[4] Dalam lisanul A’rab Ibnu
Manzur berkata bahwa kata sadied yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti sebagai
sasaran.[5]
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas,dapatlah dikatakan bahwa yang
dihubungkan dengan kegiatan penyampaian pesan dakwah adalah model dari pendekatan bahasa dakwah
yang bernuansa persuasife.[6] Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa, Qaulan Sadida
adalah perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan
diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga
panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi.
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran,
faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari
segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah
bahasa yang berlaku. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan
benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
Seorang muslim berkata harus benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta,
selanjutnya kita akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu seterusnya, sehingga bibir
kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak ingin dibohongi, seorang istri akan sangat
sakit hatinya bila ketahuan suaminya berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila
dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian
untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumnya yaitu Al Quran dan hadits.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin
kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin
Basri).
2. Qaulan Baligha (Perkataan Yang Membekas Pada Jiwa)
Ungkapan qaulan baligha terdapat pada surah an-Nisa ayat 63
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu
berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan
Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan baligha menjadi dua,qaulan baligha terjadi bila
da’i (komunikator) menyesuaian pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya sesuai
dengan frame of reference and field of experience. Kedua, qaulan baligha terjadi bila komunikator
menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.[7]
Jika dicermati pengertian qaulan baligha yang diungkapkan oleh jalaluddin rahmat tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa kata Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran,
komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-
belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah
disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh
mereka.
Sebagai orang yang bijak bila berdakwah kita harus melihat stuasi dan kondisi yang tepat dan
menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara dengan anak-anak kita harus berkata sesuai
dengan pikiran mereka, bila dengan remaja kita harus mengerti dunia mereka. Jangan sampai kita
berdakwah tentang teknologi nuklir dihadapan jamaah yang berusia lanjut yang tentu sangat tidak tepat
sasaran, malah membuat mereka semakin bingung..Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi
dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan.
Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam
konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa,
gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4)
3. Qaulan Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
Jalaluddin rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah
menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-
orang miskin atau lemah.qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan
pengetahuan , mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah,
jika kita tidak dapat membantu secara material,kita harus dapat membantu psikologi.[8]Qaulan Ma’rufa
juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim
yang beriman,perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus
selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya
mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain,
memfitnah dan menghasut.
Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam QS An-Nissa ayat 5 dan 8, QS. Al-Baqarah ayat
235 dan 263, serta Al-Ahzab ayat 32.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja
dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.”
(QS An-Nissa :5)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka
dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS
An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS.
Al-Baqarah:235).
“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan
sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-
Baqarah: 263).
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).
4. Qaulan Karima (Perkataan Yang Mulia)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan
kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
Qaulan Karima –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).
Dakwah dengan qaulan karima adalah orang yang telah lanjut usia,pendekatan yang digunakan
adalah dengan perkataan yang mulia, santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak
perlu retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu
ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam
perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti
terhadap orang tua sendiri,yankni hormat dan tidak kasar kepadanya,karena manusia meskipun telah
mencapai usia lanjut,bisa saja berbuat salah atau melakukan hal-hal yang sasat menurutukuran agama.[9]
Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah adalah perkataan yang mulia,
dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang
santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.7
5. Qaulan Layyinan (Perkataan Yang Lembut)
Term qaulan layyinan tardapat dalam surah Thaha ayat 43-44 secara harfiah berarti komunikasi
yang lemah lembut (layyin)
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-lembut…”
(QS. Thaha: 44).
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang
lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati
maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila
berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga
setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.Dalam Tafsir Ibnu
Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang
atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-
lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak
berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan
suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam
berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan
menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, “Berdoalah
kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)
6. Qaulan Maisura (Perkataan Yang Ringan)
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan,
maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).
Istilah Qaulan Maisura tersebut dalam Al-Isra. Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang
artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa
Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak
berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah
dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini
tidak memerlukan dalil naqli maupun argument-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan Qaulan Maisura harus menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi
itu terdiri dari:
Ø Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran
kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
Ø Orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat.
Ø Masyarakat yang secara sosial berada dibawah garis kemiskinan, lapisan masyarakat tersebut sangat
peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka
dalam dakwah bil hal.
B. Etika Komunikasi Dalam Keluarga Islam
Salah satu kunci pembentukan keluarga sakinah adalah komunikasi, maka suami istri tidak dapat
menciptakan keluarga sakinah tanpa ada komunikasi. Tanpa komunikasi keberlangsungan keluarga
sakinah sulit dipertahankan, sebab mereka hanya akan menjalani kehidupan berumah tangga dalam
suasana ketertutupan, kesunyian, prasangka yang buruk, kesalahpahaman, bahkan boleh jadi saling
bermusuhan.
Setiap Keluarga Punya Bahasa Sebagai Alat Komunikasi
Jika dengan bahasa lisan tidak dapat dimengerti atau sulit diungkapkan maka mereka akan menggunakan
bahasa tubuh bahkan terkadang menggunakan kedua bahasa tersebut sekaligus.
Keluarga merupakan surga duniawi bagi suami istri. Ia sekaligus sebagai sekolah pertama dalam
melahirkan generasi pemimpin yang sholeh dan sholehah. Pada saat yang sama keluarga juga sebagai
basis da’wah dalam terciptanya masyarakat yang Islami. Untuk mewujudkan keluarga sebagai syurga,
sekolah dan pondasi masyarakat Islami diperlukan adanya komunikasi di antara seluruh anggota keluarga.
Ada beberapa hal yang menjadi dasar bagi pentingnya berkomunikasi dalam keluarga dan saya akan
meuraikan sebagai berikut:
1. Mengungkapkan kegembiraan dan perasaan KASIH lainnya.
Rasulullah telah memerintahkan kepada orang-orang yang bersaudara karena Islam (berukhuwah
Islamiyah) untuk menyampaikan rasa cintanya. Maka sepatutnya rasa cinta ini selalu diungkapkan oleh
suami istri dan anak-anaknya.
2. Mengungkapkan kegembiraan dan perasaan KASIH lainnya.
Rasulullah telah memerintahkan kepada orang-orang yang bersaudara karena Islam (berukhuwah
Islamiyah) untuk menyampaikan rasa cintanya. Maka sepatutnya rasa cinta ini selalu diungkapkan oleh
suami istri dan anak-anaknya.
3. Menjadi sarana peningkatan harmonisasi keluarga.
Keharmonisan keluarga membutuhkan komunikasi,sehingga keluarga menjadi tenpat untuk saling berbagi
kebahagiaan dan memecahkan masalah dan menyempurnakan kekuarangan yang ada.Sebab suami istri
berfungsi sebagai pakaian bagi pasangannya.
Allah berfirman:“Mereka (istri-istri) adalah pakaian bagi kalian (suami), dan kalian adalah pakaian bagi
mereka.” (QS 2: 187).
4. Sebagai sarana bermusyawarah.
Setiap keluarga membutuhkan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai urusan. Sebab hasil
musyawarah akan lebih sempurna dibandingkan hasil pemikiran seseorang dan dapat
dipertanggungjawabkan oleh seluruh anggota keluarga sehingga rasa kebersamaan akan menjadi milik
bagi seluruh anggota keluarga.
Allah berfirman: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam suatu urusan” (QS 3:159).
5. Sebagai sarana pemenuhan hak setiap anggota keluarga.
Setiap anggota keluarga mempunyai hak yang harus terpenuhi. Untuk memenuhi hak tersebut
memerlukan komunikasi. Dengan berkomunikasi maka mereka akan mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan kebutuhannya.
6. Sebagai sarana pendidikan anak.
Pendidikan anak memerlukan kasih sayang dan perhatian orang tua sebagaimana pendidikan anak juga
memerlukan pujian, nasehat, teguran, peringatan, dialog dan bercerita. Kesemuanya itu memerlukan
komunikasi yang baik dan efektif.
Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” (QS 6:
66).
Abnu Abbas menafsirkan ayat tersebut dengan, “Didiklah dan arahkanlah keluargamu untuk taat kepada
Allah dan menjauhi larangan-Nya."
7. Sebagai sarana da’wah
Keluarga merupakan medan da’wah pertama sebelum berda’wah ditengah masyarakat. Kesuksesan
da’wah dalam keluarga menjadi langkah pertama menuju kesuksesan da’wah di masyarakat. Bahkan
keberhasilan da’wah di keluarga menjadi tolak ukur kesuksesan da’wah di masyarakat. Sedangkan
kesuksesan da’wah itu bergantung pada kesuksesan komunikasi dalam keluarga dan masyarakat.
Allah berfirman:“Serulah pada jalan Robbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik. Dan berdebatlah
dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS 16: 125).
C. Meneladani Komunikasi dalam Keluarga Rasulullah SAW
Meneladani komunikasi dalam keluarga Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW merupakan satu-satunya orang yang mendapatkan pendidikan langsung dari Allah SWT.
Beliau bersabda: “Robbku telah mendidik aku, maka sebaik-baik pendidikan adalah pendidikan yang
diberikan kepadaku.”
Oleh karena itu, dalam berkomunikasi dengan keluarga harus meneladani Rasulullah SAW. Adapun
komunikasi yang dilakukan oleh Rasulullah kepada keluarganya sebagai berikutBermuara pada rasa cinta
dan kasih sayang
Jadikanlah komunikasi anda sebagai muara cinta dan kasih sayang yang tulus karena Allah, sebab semua
pesannya merupakan rahmat bagi keluarga bahkan bagi seluruh alam.
Abu Sulaiman Bin Al Huwairi berkata, kami datang kepada Rasulullah SAW dan kami tinggal
bersamanya selama dua puluh hari. Tenyata Rasulullah SAW orang yang dipenuhi oleh kasih sayang dan
kelembutan kepada keluarganya sehingga kami menjadi rindu kepada keluarga kami. Kemudian beliau
menanyakan keluarga yang kami tinggalkan, maka kami menceritakannya kepada beliau. Kemudian
beliau bersabda: “pulanglah kepada keluargamu dan penuhilah hak-hak mereka serta didiklah mereka dan
berbuat baiklah kepada mereka……”
Ø Memanggil nama anggota keluarganya dengan panggilan yang menyenangkan
Seperti ketika Rasulullah memanggil Fatimah dengan sebutan “Wahai Ananda”dan memanggil Aisyah
dengan sebutan “Ya Humairo’) atau Ya AaIsy (orang-orang yang hidup).
Ø Berkomunikasi tanpa emosi.
Berkomunikasi tanpa emosi membuat beliau dapat menyampaikan pesan sesuai dengan misinya.
Sehingga beliau bisa berbicara dengan kata-kata yang berbobot, penuh makna, mengandung nilai-nilai
kebaikan dengan penuh kelembutan. Sekalipun ketika beliau menegur Aisyah di saat Aisyah membuang
makanan yang dikirim oleh Ummu Salamah. Beliau bersabda: “Ibumu sedang cemburu, Hai Aisyah, satu
nampan yang engkau terima harus engkau antar satu nampan juga.”
Begitu juga ketika Aisyah tidur setelah sholat subuh, beliau bersabda kepadanya: “Hai Aisyah, jemputlah
rizkimu dan janganlah engkau menolaknya.”
Ø Beliau sering mengiringi bahasa lisannya dengan bahasa tubuhnya.
Disaat beliau ingin mengekspresikan rasa cintanya seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah beberapa hadits
berikut ini: Aisyah berkata: “saya biasa minum dari gelas yang sama ketika haid, lalu Nabi mengambil
gelas tersebut, dan meletakkan mulutnya di tempat saya meletakkan mulut saya lalu beliau minum
kemudian saya mengambil cangkir lalu saya menghirup isinya. Kemudian beliau mengambilnya dari saya
lalu beliau meletakkan mulutnya pada tempat meletakkan mulut saya. Lalu beliau pun menghirupnya.
(HR.Abu Rozaq dan Sa’id Bin Mansur).
Dari Aisyah: “bahwa Rasulullah, biasa mencium istrinya setelah wudhu, kemudian beliau sholat dan tidak
mengulangi wudhunya."
Beliau menyampaikan pesan dengan kalimat yang sederhana (tidak bertele-tele).
Ketika Aisyah marah, Rasulullah bersabda kepadanya: “Hai Aisyah, berlaku lembutlah, sesungguhnya
apabila Allah menghendaki kebaikan kepada sebuah keluarga maka Allah akan memberikan kelembutan
kepada mereka."
Ø Berlapang dada
Berlapang dada dengan kelemahan yang ada dalam anggota keluarga, sehingga komunikasi dimulai
dengan memaafkan kesalahan mereka terlebih dahulu. Anas berkata: “saya tidak pernah mendengar
Rasulullah SAW berkata, mengapa kamu tidak melaksanakan ini, mengapa kamu tidak melaksanakan itu,
mengapa kamu tidak begini dan mengapa kamu tidak begitu. Padahal dia tinggal bersama Rasulullah
selama sepuluh tahun."
Suatu hari Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat: "Ya Rasulullah, berapa kali engkau memaafkan
pelayanmu dalam satu hari ?”
Beliau tidak menjawab. Tetapi setelah pertanyaan yang ketiga baru beliau menjawab: “Aku maafkan
kesalahan pelayanku 70 x dalam sehari”.
Maka semua pesan dalam komunikasi beliau selalu menyenangkan untuk didengar, mudah untuk
dipahami, dan bersemangat untuk direspon.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah etika berkomuniakasi dalam Islam. Sedapat mungkin kita sebagai umat dapat menerapkan
dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga tujuan akhir dari kehidupan kita tidak terhalang lagi oleh
akhlak yang tidak islami. Karena sebaik-sebaik kita adalah yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih. Hati yang penuh iman. Hati yang penuh syukur. Hati yang penuh taqwa. Dan jiwa yang penuh
ketenangan dan kemuliaan dari Allah.
[1] Ahmad Ghulusy,ad-Da’watul Islamiyah, Kairo : Darul Kijab,1987.,h. 9.
[2] Lihat, larry A samover, Richard E. Potter, Nemi C. Jain. Understanding Interculturnal
Commication,Wodsworth Publishing Company,Belmont,California,.23.tt.
[3] Lihat kamus Kontenporer Arab-Indonesia,h.1055
[4] Lihat Moh. Natsir.Fiqhud Dakwah.h.189.
[5] Lihat, Lisanul A’rab, Ibnu Mazur,3/1970
[6]Dakwah persuasif adalah “proses mempengaruhi mad’u dengan pendekatan psikologis,sehingga
mad’u mengikuti ajaran da’I tetapi merasa sedang melakukan sesuatu atas kehendak sendiri”.
[7] Lihat ,Jalaluddin Rahmat,islam Aktual,Mizan,1996,h.83.
[8] Jalaluddin Rahmat ,Etika Komunikasi Perspektif Religi,makalah seminar,Jakarta,perpustakaan
nasional,18 Mei 1996.
[9] Sebagai ilustrasi psikologi orang berusia lanjut biasanya sangat peka terhadapn kata-kata yang bersifat
menggurui,menyalahkan apalagi yang kasar karena mereka merasa sudah banyak pengalaman hidupnya
atau ada istilah yang populer “banyak makan asm garam dalam kehidupan”.
Recommended