View
34
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
makalah skizofrenia
Citation preview
Tugas Farmasi
SKIZOFRENIA
Disusun oleh:
Meutia Halida
G99141018
Pembimbing:
Dra. Diah Poerwohastoeti, S.Farm., M.Si., Apt.
KEPANITERAAN KLINIK UPF / LABORATORIUM FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia dan seluruh dunia. Secara umum gangguan jiwa dibagi dalam dua
golongan besar yaitu psikosis dan non psikosis (ansietas, depresi, insomnia,
alkoholisme dan ketergantungan obat). Golongan psikosis di tandai dengan dua
gejala utama yaitu tidak adanya pemahaman dari ketidak mampuan menilai
realitas. Sedangkan golongan psikosa itu sendiri dibagi dalam dua sub golongan,
yaitu psikosa fungsional dan psikosa organik.
Skizofrenia merupakan bentuk psikosa fungsional paling berat, dan
menimbulkan disorganisasi personalitas yang terbesar. Skizofrenia juga
merupakan suatu bentuk psikosa yang sering dijumpai dimanapun sejak dahulu
kala. Meskipun demikian pengetahuan kita tentang sebab-musabab dan
patogenisanya sangat kurang (Maramis, 2009). Di Amerika Serikat angka pasien
skizofrenia mencapai 1/100 penduduk. Sebagai perbandingan, di Indonesia bila
pada PJPT I angkanya adalah 1/1000 penduduk maka proyeksinya pada PJPT II,
3/1000 penduduk, bahkan bisa lebih besar (Yosep, 2008). Prevalensi antara pria
dan wanita seimbang. Puncak usia dari onset skizofrenia antara 15 sampai 35
tahun.Onset usia sebelum 10 tahun atau setelah 45 tahun jarang terjadi (Sadock,
2003).
Skizofrenia adalah penyakit nomor empat yang dapat menyebabkan
kelumpuhan pada orang dewasa. Data menunjukan bahwa 10% penderita
skizofrenia meninggal karena bunuh diri. Diagnosis dan penanganan dini, riset
dan pengobatan yang terus berkembang akan dapat meningkatkan kualitas hasil
terapi pada orang dengan skizofrenia (Maramis, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Skizorenia merupakan gangguan psikotik kronis yang terjadi sedikitnya
6 bulan atau lebih dan ditandai oleh episode akut yang mencakup kondisi
terputus dengan realitas yang ditampilkan dalam ciri-ciri seperti waham,
halusinasi, pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku.
Defisit residual dalam area kognitif, emosional, dan sosial dari fungsi-fungsi
yang ada sebelum episode akut (Nevid dkk, 2003; Kaplan dan Sadock, 2005).
B. Etiopatogenesis
Hingga sekarang belum ditemukan penyebab (etiologi) yang pasti
mengapa seseorang menderita skizofrenia. Menurut model stress-diathesis,
ada integrasi dari faktor biologis, genetik, psikososial dan lingkungan yang
membuat seseorang memiliki kerentanan spesifik terhadap stres. Kondisi stres
dapat memicu berkembangnya gejala skizofrenia dalam diri seseorang
(Sadock, 2003).
1. Faktor biologis.
Faktor biologis seperti otak, termasuk sistem limbik, korteks
frontalis, talamus, batang otak, dan ganglia basalis disebut berpengaruh
terhadap kejadian skizofrenia. Pada otak dan batang otak diketahui
sebagai tempat utama neuron aminergik asenden. Selain itu juga adanya
neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, norepineprin, dan GABA
pada sistem saraf pusat mempengaruhi faktor biologis skizofrenia.
Dopamin telah diduga kemungkinan penyebab skizofrenia secara
tidak langsung karena banyak pasien parkison yang mengalami gejala
skizofrenia ketika diobati dengan obat yang disebut L-DOPA. Obat ini
melepaskan dopamin dalam otak, yang sangat bermanfaat dalam
mengobati parkinson, tetapi dalam waktu bersaman obat ini menekan
berbagai bagian lobus prefrontalis dan area yang berkaitan dengan
lainnya. Telah diduga bahwa pada skizofrenia terjadi kelebihan dopamin
yang disekresikan oleh sekelompok neuron yang mensekresikan dopamin
yang badan selnya terletak tegmentum ventral dari mesensefalon,
disebelah medial dan anterior dari sistem limbik, khususnya hipokampus,
amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus prefrontalis ini
semua pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat kuat. Suatu alasan
yang lebih meyakinkan untuk mempercayai skizofrenia mungkin
disebabkan produksi dopamin yang berlebihan ialah bahwa obat-obat
yang bersifat efektif mengobati skizofrenia seperti klorpromazin,
haloperidol, dan tiotiksen semuanya menurunkan sekresi dopamin pada
ujung-ujung syaraf dopaminergik atau menurunkan efek dopamin pada
neuron yang selanjutnya (Guyton dan Hall, 2007).
Neurotransmiter seperti serotonin juga berpengaruh dalam
gangguan mood, peningkatan serotonin juga berperan dalam perilaku
bunuh diri dan impulsif. Sementara norepineprin juga berperan dalam
modulasi sistem dopaminergik sehingga jika terjadi kelainan pada
norepineprin maka orang dengan skizofrenia akan sering relaps. Demikan
juga dengan GABA, kehilangan neuron GABA-ergik di dalam
hipokampus akan menyebabkan hiperaktivitas dopaminergik dan
noradrenergik (Kaplan dan Sadock, 2005).
2. Faktor genetika.
Penelitian menunjukkan adanya polimorfisme kromosom terutama
pada lengan panjang kromosom 5, 11, dan 18, serta lengan pendek
kromosom 19 (Kaplan dan Sadock, 2005). Menurut Dalev (2001)
probabilitas seorang menderita skizofrenia apabila orang tua maupun
saudara-saudaranya tidak mengidap penyakit tersebut adalah sekitar satu
persen. Apabila ada seorang orang tua atau saudara kandung mengidap
penyakit ini maka peluang untuk menderita skizofrenia berkembang
menjadi 10%. Apabila kedua orang tua mengidap skizofrenia, maka
peluang untuk menderita penyakit ini berkembang menjadi 40%.
3. Faktor psikososial.
Faktor psikososial seperti yang didalilkan oleh Sigmund Freud
(teori psikoanalitis) menyatakan bahwa defek ego dan konflik intrapsikis
sebagai penyebab skizofrenia (Kaplan dan Sadock, 2005).
C. Klasifikasi
Menurut Maramis (2009) skizofrenia dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Skizofrenia Paranoid
Simptom utamanya adalah waham kejar atau waham kebesarannya
dimana individu merasa dikejar-kejar oleh pihak tertentu yang ingin
mencelakianya. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu ditanggapi
secara sensitif dan egosentris seolaholah orang lain akan berbuat buruk
kepadanya. Gambaran penyerta meliputi kecemasan yang tidak terfokus,
kemarahan, suka bertengkar/ berdebat dan tindak kekerasan.
2. Skizofrenia Katatonik
Gambaran tipe ini biasanya muncul secara tiba-tiba. Umumnya
penderita memiliki riwayat bertingkah laku eksentrik disertai
kecenderungan menarik diri dari realitas. Ada dua subtipe, yakni subtipe
stuppor dan subtipe aktif.
a. Subtipe stuppor, ciri-cirinya adalah : mengalami stuppor, yaitu
kehilangan semangat hidup dan senang diam dalam posisi kaku
tertentu sambil membisu dan menatap dengan pandangan kosong.
Kendati tampak acuh tak acuh namun pada saat “sadar” ternyata dia
dapat menceritakan segala sesuatu yang berlangsung disekitarnya. Ia
sangat mudah dipengaruhi sehinggan secara otomatis akan mengikuti
perintah atau meniru perbuatan orang lain (ekhopraksia); umumnya
bersifat negativistik: menolak membetulkan posisi tubuhnya,
menolak makan, membuang air seenaknya, keluar busa dari
mulutnya dan pikiran tampak kosong. Ancaman fisik berupa
stimulasi yang menyakitkan tidak membuat penderita bergeming.
b. Subtipe aktif (axcited), dengan ciri-ciri: dari keadaan katatonik serba
pasif, secara tiba-tiba berubah menjadi “exsited”, berbicara dan
berteriak-teriak tak karuan, berjalan mondar mandir, melakukan
aktifitas seksual secara terbuka, seperti masturbasi, melukai tubuh
sendiri, atau sebaliknya menyerang dan mencoba membunuh orang
lain.
3. Skizofrenia Hebefren
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia permulaanya
perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara usia 15-
25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauan, dan adanya depersonalisasi. Pada tipe ini terjadi
desintegrasi emosi, dimana emosinya bersifat kekanak-kanakan, ketolol-
tololan, seringkali tertawa sendiri dan secara tiba-tiba menangis tersedu-
sedu. Terjadi regresi tolol, dimana individu menjadi kekanak-kanakan.
Individu mudah tersinggung atau sangat irritable. Seringkali
dihinggapi sarkasme (sindiran tajam) dan menjadi marah meledak-ledak
atau explosive tanpa sebab. Pembicaraannya kacau, suka berbicara
berjam-jam. Pada awal gangguan seringkali komunikatif, tetapi lama-
kelamaan menjadi tidak karuan yang bahkan sampai akhirnya individu
tidak komunikatif
4. Skizofrenia simplex
Skizofrenia simplex, sering timbul pertama sekali pada masa
pubertas. Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya sukar ditentukan. Waham
dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan.
Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan keluarga atau
menarik diri dari pergaulan, makin lama ia semakin mundur dalam
pekerjaan dan pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan
bila tidak ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi
“pengemis”, “pelacur”, atau “penjahat”.
5. Skizofrenia Tak Tergolongkan (Undeferentiated)
Tipe ini tidak dapat dimasukkan dalam tipe-tipe yang telah
diuraikan sebelumnya, dimana gejala-gejala yang muncul sulit untuk
digolongkan pada tipe skizofrenia tertentu. Kriteria diagnosti untuk
sizofrenia tipe undifrentiated adalah dimana simptom-simptom
memenuhi kriteria A, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia
tipe paranoid, katatonik ataupun tipe hebefrenik.
D. Gejala
Gejala - gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
gejala negatif atau negative symptoms dan gejala positif atau positive
symptoms.
1. Gejala- Gejala Negatif.
a. Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam
perasaan ini dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukan
ekspresi.
b. Menarik diri atau mengasingkan diri tidak mau bergaul atau kontak
dengan orang lain, suka melamun.
c. Kontak emosional amat “miskin”, sukar diajak bicara, pendiam.
d. pasif dan apatis, menarik diri dari pergaulan sosial.
e. Tidak ada/ kehilangan dorongan/ kehendak dan tidak ada inisiatif,
tidak ada upaya dan usaha, tidak ada spontanitas, monoton, tidak
ingin apa-apa dan serba malas (kehilangan nafsu).
2. Gejala- Gejala Positif
a. Delusi/ waham, yaitu keyakinan yang tidak masuk akal. Contohnya
berfikir bahwa dia selalu diawasi lewat televisi, berkeyakinan bahwa
dia orang terkenal, berkeyakinan bahwa radio atau televisi
memberikan pesan-pesan tertentu, memiliki keyakinan agama yang
berlebihan.
b. Halusinasi, yaitu mendengar, melihat, merasakan, mencium sesuatu
yang sebenarnya tidak ada. Sebagian penderita, mendengar
suara/bisikan bersifat menghibur atau tidak menakutkan, sedangkan
lainnya mungkin menganggap suara/bisikan tersebut bersifat
negatif/buruk atau memberikan perintah tertentu.
c. Pikiran Paranoid, yaitu kecurangan yang berlebihan. Contohnya
merasa ada seseorang yang berkomplot melawan, mencoba
mencelakai atau mengikuti. Percaya ada makhluk asing yang
mengikuti dan yakin dirinya diculik/ dibawa ke planet lain.
E. Kriteria Diagnosis
Menurut Maslim dalam PPDGJ III (2003) kriteria diagnosis Skizofrenia
harus mencakup sedikitnya satu gejala berikut ini yang sangat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
1. Thought: thought echo, thought insertion or withdrawal, thought
broadcasting. Echo berartiisi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda. Insertion or
withdrawalyaitu isi yang asing dan luar masuk ke dalam pikirannya
(insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar
dirinya(withdrawal). Broadcasting berarti isi pikiranya tersiar keluar
sehingga orang lain atau umum mengetahuinya;
2. Delusion: delusion of control, delusion of passivitiy, dan delusional
perception. Delusi kontrol yaitu waham tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar.Delusion of passivitiyyaitu waham
tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari
luar; (tentang ”dirinya” = secara jelas merujuk kepergerakan tubuh /
anggota gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus).
Delusional perceptionyaitu pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya bersifatmistik atau mukjizat;
3. Halusinasi auditorik:
a. suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau
b. mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka sendiri
(diantara berbagai suara yang berbicara), atau
c. jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu bagian tubuh.
4. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dan dunia lain).
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :
1) Halusinasi yang menetap dari panca-indera apa saja
2) Inkoherensi
3) Perilaku katatonik
4) Gejala-gajala negatif
Adanya gejala-gejala tersebut di atas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam
mutu keseleruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, tujuan hidup, tidak berbuat sesuatu, sikap larut
dalam diri sendiri dan penarikan diri secara sosial.
F. Terapi
Terapi skizofrenia terdiri atas terapi somatik (psikofarmaka dan non
psikofarmaka) dan terapi psikososial seperti terapi perilaku, keluarga,
kelompok dan psikoterapi individual.
Indikasi pemberian obat antipsikosis pada skizofrenia adalah untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan (Maramis,2009).
Prinsip-prinsip pemberian terapi psikofarmaka pada skizofrenia adalah:
1. Tentukan target gejala
2. Gunakan AP (antipsikosis) yang telah terbukti di masa lalu
3. Gunakan AP yang minim efek samping
4. Lama uji coba AP : 4-6 minggu, bila gagal, coba dengan AP lain.
5. Single drug
6. Pertahankan pada dosis efektif yang terendah.
Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis
ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis
dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat
diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak
sama) dengan dosis ekuivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan obat
antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya ditolerir
baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang (Rahardja dan
Tjay, 2007; Ganiswara, 2005).
Obat Antipsikosis dibagi menjadi 2 yaitu Antipsikosis golongan I (APG
I) dan Antipsikosis Golongan II (APG II). APG I bekerja dengan memblok
reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular
sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif tetapi pemakaian lama
dapat memberikan efek samping. Sedangkan APG II bekerja melalui interaksi
serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang
menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif
mengatasi gejala negatif (Ganiswara, 2005).
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau
antipsikosis atipikal. Obat yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine,
olanzapine, quetiapine dan risperidone. Bila gejala negatif lebih menonjol
dari gejala positif pilihannya adalah obat APG II (atipikal). Sebaliknya, bila
gejala positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah
APG I (tipikal). Begitu juga pasien-pasien dengan efek samping
ekstrapiramidal pilihannya adalah jenis atipikal (Rahardja dan Tjay, 2007).
Pada umumnya pemberian antipsikosis dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk
pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multiepisode, terapi
pemeliharaan diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang cukup
lama ini dapat menurunkan derajad kekambuhan 2,5-5 kali. Obat antipsikosis
tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan dalam
jangka waktu lama sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Namun, pada penghentian mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic
Rebound”: gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dan
lain lain (Maslim, 2001).
Pemberian antipsikosis dimulai dengan dosis awal sesuai dosis anjuran
dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul
peredaan sindrom psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu
dinaikkan sampai mencapai dosis optimal dipertahankan sekitar 8-12
minggu (stabilisasi) diturunkan tiap 2 minggu hingga mencapai dosis
pemeliharaan dipertahankan selama 6 bulan sampai 2 tahun, diselingi
“drug holiday” 1-2 hari/minggu tappering off, dosis diturunkan tiap 2-4
minggu stop (Maslim, 2001).
ALGORITMA SKIZOFRENIA
Serangan pertama atau belum pernah menggunakan SGA
sebelumnya
Menolak klozapin
6 bulan
tidak ada respon
tidak ada respon
Respon parsial atau tidak ada
Respon parsial atau tidak adaRespon parsial atau tidak ada
Respon parsial atau tidak ada
Maksimal 12 minggu
Tahap VCoba satu obat FGA atau SGA
yang belum dicoba
Tahap IVKlozapin
Tahap IIICoba FGA atau SGA yang lain
Tahap IIACoba FGA atau SGA
yang lain
Tahap ICoba SGA tunggal Aripiprazol,
Olahzapin, Quetiapin, Risperidon, ziprasidon
Tahap VITerapi kombinasi SGA+FGA. Kombinasi SGA + (FGA atau
SGA) + ECI ( FGA atau SGA)+ agen yang lain
Maksimal 12 mingguTahap II
Coba SGA tunggal yang lain (selain yang dipakai pada tahap I)
FGA = first generation antipsycoticSGA = Second generation antipsycotic
BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. SG
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
RM : 0460xx
Agama : Islam
Alamat : Jepon, Blora
Pendidikan : SMK
Pekerjaan : Kuli bangunan
Status : Belum Menikah
2. Keluhan Utama
Pasien berulang kali merobek bajunya
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Anamnesis dilakukan di bangsal Senna tanggal 17 Maret 2015. Saat
dilakukan anamnesis pasien sedang duduk bermain gitar. Pasien
memperkenalkan diri sebagai saudara Sg, usia 33 tahun, tinggal di Jepon
Blora. Pasien merupakan tamatan dari SMK dan beberapa kali berganti
pekerjaan, namun pekerjaan terakhirnya yaitu kuli bangunan di Surabaya.
Pasien tampak memakai seragam pasien RSJD berwarna biru, penampilan
tampak sesuai usia, perawatan diri cukup.
Pasien mengaku dibawa ke RSJD Surakarta diantar oleh bapaknya
dengan bus. Pasien mengakui bahwa kali ini merupakan keempat kalinya
pasien dibawa ke RSJD. Pasien dibawa ke RSJD karena merobek bajunya
setiap kali dipakaikan baju. Pasien menceritakan bahwa ia melakukan hal
itu sebagai syarat agar pangeran William mau membantunya dalam
mengalahkan Allah. Pasien sering mendengar bisikan bisikan dari
pangeran William “Kamu hebat” berulang kali setiap ia merobek bajunya.
Ia mempercayai bahwa apabila ia dapat mengalahkan Allah dengan
bantuan pangeran William maka ia akan mendapatkan 1/3 dari isi bumi,
namun apabila ia gagal maka Allah akan mengambil semua wanita dibumi.
Pangeran William merupakan teman sejak kecil yang dipercayai dapat
berkomunikasi melalui hati, sering membisikan berupa pujian maupun
suruhan.
Pasien mengeluhkan bahwa ia memiliki banyak orang yang
memusuhinya termasuk pasien-pasien lain yang berada disatu bangsal
dengannya dan semua perawat pria, karena mereka semua merupakan anak
buah Allah yang diutus untuk menyerangnya. Selain pasien dibangsal,
pocong yang berada disamping dari tempat tidurnya merupakan salah satu
anak buah Allah yang sering mengganggunya. Saat pasien menceritakan
tentang keberadaan pocong, pasien berjalan menuju tempat tidurnya dan
menunjukan keberadaan pocong, namun pasien enggan berbicara dengan
pocong karena merupakan musuhnya. Pasien juga sering mencium bau
kemenyan atau bau busuk yang dikatakan berasal dari guna guna para anak
buah Allah.
Pasien menceritakan bahwa ia sedang menyiapkan beberapa strategi
untuk mengalahkan Allah dengan jalan politik yaitu dengan bantuan
pangeran William dan dengan pertarungan dragon ball. Pasien yakin
bahwa ia dapat mengalahkan Allah karena ia pernah bertemu dengan Allah
disuatu malam yang mendung pukul 9 malam. Dan menceritakan Allah
merupakan suatu sinar yang besar dan sangat kuat. Namun pasien tetap
meyakini bahwa ia dapat mengalahkan Allah suatu hari nanti. Keyakinan
pasien akan hal tersebut didasari oleh 10 tahi lalat yang ditubuhnya. Ia
mempercayai bahwa tahi lalat tersebut merupakan suatu mukjizat dan
suatu pertanda bahwa ia dapat mengalahkan Allah. Tahi lalat yang ia
miliki berbeda dengan tahi lalat yang dimiliki orang pada umumnya. Tahi
lalat tersebut terkadang dapat mengendalikan dirinya dengan kekuatan-
kekuatan yang sebelumnya tak ia miliki.
Pasien mengakui bahwa ia memiliki istri yang dinikahi melalui
perantara TV. Pasien sering mendengar bisikan-bisikan dari istri berupa
“bunuh ibu!!” berulang kali, karena menurutnya pernikahannya tidak
direstui oleh ibunya. Pasien sempat melakukan percobaan pembunuhan
terhadap ibunya dengan melemparkan kursi kearah ibunya. Sehingga pada
tahun 2009 pasien sempat dipondokan di RSJD. Hingga saat ini pasien
sering mendengar suara dari istrinya berbisik di telinganya, namun
belakangan ini bisikan yang ia dengar bukan merupakan suruhan untuk
membunuh melainkan kata “kangen”, bahkan pada saat wawancara
berlangsung pasien mengakui mendengar bisikan istrinya ”aku mau
gabung”, yang berarti istrinya ingin bergabung dalam pembicaraan kami.
Pada tahun 2009, selain dikarenakan membahayakan keselamatan dari
ibunya pasien menceritakan bahwa ia juga merusak semua benda-benda
elektronik seperti TV, radio, telepon, karena ia mempercayai bahwa
benda-benda tersebut dapat memberitahukan kepada orang lain tentang apa
yang ia pikirkan. Sehingga ia harus memusnahkan sebelum pikirannya
tersiar dan semua rencananya digagalkan oleh orang lain.
Pasien menyadari bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit jiwa
Surakarta untuk ditenangkan, namun pasien mengatakan bahwa selain
menenangkan diri ia hendak mempelajari ilmu-ilmu dari kejiwaan
sehingga saat keluar nanti ia akan menjadi seorang ilmuwan.
4. Riwayat Psikiatri : (+) pada tahun 2009, empat kali dirawat
5. Riwayat Gangguan Medis
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat Medis Lain
Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
Riwayat merokok : 1 bungkus/ hari
Riwayat konsumsi NAPZA : disangkal
7. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat. hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
B. PEMERIKSAAN STATUS MENTALIS
1. Gambaran Umum
a. Penampilan
Seorang laki-laki, 35 tahun, penampilan sesuai umur, perawatan diri
cukup
b. Psikomotor
Pasien tampak normoaktif
c. Sikap terhadap pemeriksa
Sikap pasien terhadap pemeriksa cukup kooperatif. Kontak mata
dengan pemeriksa adekuat.
2. Kesadaran
a. Kuantitatif : Compos Mentis, GCS E4V5M6
b. Kualitatif : Berubah
3. Pembicaraan
Volume cukup, intonasi dan artikulasi jelas, spontan.
4. Alam Perasaan
a. Mood : eutimik
b. Afek : normoafek
c. Keserasian : serasi (appropriate)
d. Empati : tidak dapat dirabarasakan
5. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi : (+) auditorik, visual, olfaktori
b. Ilusi : (-)
c. Depersonalisasi : (-)
d. Derealisasi : (-)
6. Proses Pikir
a. Bentuk pikir : Non realistik
b. Arus pikir : relevan
c. Isi pikir : pre okupasi terhadap Allah, waham paranoid,
thought broadcasting, delusion of control
7. Kesadaran dan Kognisi
a. Orientasi
Orang : baik, pasien dapat mengenali dokter dan perawat.
Tempat : baik, pasien mengetahui sedang berada di rumah sakit
jiwa dan tahu alamat tempat tinggalnya
Waktu : baik, pasien mengetahui waktu saat dilakukan
pemeriksaan.
Suasana : baik
b. Daya ingat
Jangka panjang : baik, pasien dapat mengingat riwayat
pendidikannya.
Jangka pendek : baik, pasien mampu menyebutkan apa yang
dimakan saat sarapan.
Jangka segera : baik, pasien mampu menyebutkan nama pemeriksa.
c. Daya konsentrasi dan perhatian
Konsentrasi : baik
Perhatian : baik
d. Kemampuan abstrak
Baik
e. Kemampuan Visuospasial
Baik
f. Kemampuan menolong diri sendiri
Baik, pasien dapat makan, minum, mandi, dan bisa tidur sendiri
dengan baik.
g. Tilikan
Derajat III ( pasien mengetahui bahwa dirinya sakit namun
menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya)
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum: composmentis, sakit ringan, gizi cukup
Tanda Vital:
1. Tekanan Darah : 120/80 mmHg
2. Frekuensi Nadi : 68 kali/menit, reguler
3. Respirasi : 16 kali/menit
4. Suhu : 36,4ºC
Pemeriksaan Kepala dan Leher : dalam batas normal
Pemeriksaan Thoraks : dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : dalam batas normal
Pemeriksaan Ekstremitas : dalam batas normal
Status neurologis : dalam batas normal
D. DIAGNOSIS
Axis I : F20.0 Skizofrenia Paranoid
Axis II : Belum Ada Diagnosis
Axis III : Belum Ada Diagnosis
Axis IV : Kepatuhan minum obat yang kurang
Axis V : GAF 40-31
E. TATALAKSANA
1. Non Medikamentosa
Edukasi keluarga mengenai penyakit, terapi, efek samping
pengobatan, pentingnya kontrol dan minum obat teratur agar mengetahui
kondisi pasien serta pentingnya dukungan anggota keluarga menghadapi
masalah pasien.
Edukasi kepada pasien jika kondisi pasien sudah membaik mengenai
penyakitnya, terapi dan kepatuhan terapi serta kembali ke fungsi peran di
masyarakat.
2. Medikamentosa
Pada pasien ditemukan gejala positif berupa waham dan gejala negatif
berupa isolasi diri sehingga terapi medikamentosa yang diberikan
merupakan kombinasi dari APG I dan APG II ( Chlorpromazine dan
Risperidone).
Resep Medikamentosa
RSJ Surakarta
Jalan KH Dewantara, Jebres, Surakarta
17 Juni 2015
Dokter : dr. Meutia Halida, Sp.KJ
R/ Chlorpromazin tab mg 100 No. VI
∫ 1 dd tab II hora somni
R/ Risperidon tab mg 2 No. VI
∫ 2 dd tab I
Pro : Tn. SG (35 tahun)
Alamat: Jepon, Blora
BAB IV
PEMBAHASAN
A. CHLORPROMAZINE (CPZ)
1. Mekanisme Kerja
Memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak.
Memblok kuat efek alfa adrenergik. Menekan penglepasan hormon
hipotalamus dan hipofisis, menekan Reticular Activating System (RAS)
sehingga mempengaruhi metabolisme basal, temperatur tubuh, kesiagaan,
tonus vasomotor dan emesis.
2. Farmakodinamik
a. SSP
CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak acuh
terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul
toleransi terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi tergantung dari status
emosional penderita sebelum minum obat (Ganiswara, 2005).
b. Otot rangka
CPZ dapat menimbulkan relaksasi otot skelet yang berada dalam
keadaan spastik (Ganiswara, 2005).
c. Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, serta sekresi ACTH. Efek
terhadap sistem endokrin ini terjadi berdasarkan efeknya terhadap
hipotalamus (Ganiswara, 2005).
d. Kardiovaskular
CPZ dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan beberapa
hal(Ganiswara, 2005).
3. Farmakokinetik
Pada umumnya semua fenotiazin diabsorbsi dengan baik bila diberikan
peroral maupun parenteral (Ganiswara, 2005).
4. Indikasi
Psikosis, neurosis, gangguan susunan saraf pusat yang membutuhkan
sedasi, anestesi, pre medikasi, mengontrol hipotensi, induksi hipotermia,
antiemetik, skizofrenia, gangguan skizoafektif, psikosis akut, sindroma
paranoid, dan stadium mania akut.
5. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap klorpromazin atau komponen lain formulasi,
reaksi hipersensitif silang antar fenotiazin mungkin terjadi, depresi SSP berat,
dan koma.
6. Dosis
Untuk skizofrenia/psikosis:
Anak: oral 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam; anak yang lebih tua
mungkin membutuhkan 200 mg/hari atau lebih besar; im, iv: 0,5-1
mg/kg/dosis setiap 6-8 jam; < 5 tahun (22,7 kg): maksimum 75 mg/hari.
Dewasa: oral 30-2000 mg/hari dibagi dalam 1-4 dosis, mulai dengan
dosis rendah, kemudian sesuaikan dengan kebutuhan. Efek antipsikosis
pada CPZ biasanya dapat dicapai setelah dosis > 300 mg/hari.
Dosis lazim : 400-600 mg/hari,beberapa pasien membutuhkan 1-2 g/hari.
im, iv: awal 25 mg, dapat diulang 25-50 mg, dalam 1-4 jam, naikkan
bertahap sampai maksimum 400 mg/dosis setiap 4-6 jam sampai pasien
terkendali; dosis lazim: 300-800 mg/hari.
Untuk efek sedasi
Efek sedasi CPZ dicapai pada dosis rendah, yaitu 50-150 mg/hari.
Untuk mual-muntah:
Anak: oral 0,5-1 mg/kg/dosis setiap 4-6 jam bila diperlukan; im, iv : 0,5-
1 mg/kg/dosis setiap 6-8 jam
Dewasa: oral 10-25 mg setiap 4-6 jam, im,iv: 25- 50 mg setiap 4-6 jam.
Gejala perilaku yang terkait demensia
Dosis awal 10-25 mg, 1-2 kali/hari, naikkan pada interval 4-7 hari
dengan 10-25 mg/hari, naikkan intervaldosis, sehari 2x, sehari 3 kali, dan
seterusnya.
7. Efek Samping
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek
samping umumnya merupakan efek perluasan farmakodinamiknya. Mungkin
dapat terjadi reaski idiosinkrasi berupa ikterus, dermatitis dan
leukopenia(Ganiswara, 2005).
8. Sediaan
CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 atau 100 mg dan larutan suntik 25
mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi merah jambu pada
pengaruh cahaya (Ganiswara, 2005).
B. RISPERDONE
1. Mekanisme Kerja
Risperidone adalah turunan dari benzisoxazole yang merupakan obat
atipikal pertama yang diedarkan dianggap sangat efektif untuk menurunkan
gejala psikotik negatif dan positif. Risperidone merupakan antagonis
monoaminergik selektif dengan afinitas tinggi terhadap reseptor serotonergik
5-HT2 dan dopaminergik D2, reseptor α1-adrenergik, α2-adrenergik, dan
reseptor histamin. Risperidone tidak memiliki afinitas terhadap reseptor
kolinergik. Aktivitas antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap
reseptor serotonin dan dopamin. Risperidone dianggap mempunyai efektivitas
yang sama dengan haloperidol dengan efek samping yang lebih rendah
(Ganiswara, 2005).
2. Farmakokinetik
Risperidone diabsorpsi sempurna setelah pemberian oral, konsentrasi
plasma puncak dicapai setelah 1-2 jam. Absorpsi risperidone tidak
dipengaruhi oleh makanan. Di plasma, risperidone terikat dengan albumin
dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma sekitar 90%. Risperidone
secara ekstensif dimetabolisme di hati oleh enzim CYP2D6 menjadi
metabolitnya 9-hidroksirisperidone (Ganiswara, 2005).
Waktu paruh eliminasi dari fraksi antipsikosis yang aktif adalah 24 jam.
Studi risperidone dosis tunggal menunjukkan konsentrasi zat aktif dalam
plasma yang lebih tinggi dan eliminasi yang lebih lambat pada lanjut usia dan
pada pasien dengan gangguan ginjal. Konsentrasi plasma tetap normal pada
pasien dengan gangguan fungsi hati. Risperidone sebagian besar di ekskresi
lewat urin (Ganiswara, 2005).
3. Indikasi dan Penggunaan Klinis
Terapi pada skizofrenia akut dan kronik serta pada kondisi psikosis
yang lain, dengan gejala-gejala tambahan (halusinasi, delusi, gangguan pola
pikir, kecurigaan dan rasa permusuhan) dan atau dengan gejala-gejala negatif
yang terlihat nyata (blunted affect, menarik diri dari lingkungan sosial dan
emosional, sulit berbicara). Juga mengurangi gejala afektif (seperti depresi,
perasaan bersalah, dan cemas) yang berhubungan dengan skizofrenia
(Ganiswara, 2005).
4. Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap risperidone (Ganiswara, 2005).
5. Interaksi Obat
Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang bekerja pada
SSP dan alkohol.
Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis
dopamin lainnya.
Karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone.
Clozapine dapat menurunkan clearancerisperidone.
Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikosis
(risperidone dan 9-hydroxy-risperidone) dengan meningkatkan konsentrasi
risperidone (Ganiswara, 2005).
6. Efek Samping
Yang umum terjadi: insomnia, agitasi, rasa cemas, sakit kepala.
Efek samping lain: somnolen, kelelahan, pusing, konsentrasi terganggu,
konstipasi, dispepsia, mual/muntah, nyeri abdominal, gangguan
penglihatan, priapismus, disfungsi ereksi, disfungsi ejakulasi, disfungsi
orgasme, inkontinensia urin, rinitis, ruam dan reaksi alergi lain.
Beberapa kasus gejala ekstrapiramidal mungkin terjadi (namun insiden
dan keparahannya jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan
haloperidol), seperti: tremor, rigiditas, hipersalivasi, bradikinesia,
akathisia, distonia akut. Jika bersifat akut, gejala ini biasanya ringan dan
akan hilang dengan pengurangan dosis dan/atau dengan pemberian obat
antiparkinson bila diperlukan.
Seperti neuroleptik lainnya, dapat terjadi neuroleptic malignant syndrome
(namun jarang), ditandai dengan hipertermia, rigiditas otot, ketidakstabilan
otonom, kesadaran berubah dan kenaikan kadar CPK, dilaporkan pernah
terjadi. Bila hal ini terjadi, penggunaan obat antipsikosis termasuk
risperidone harus dihentikan.
Kadang-kadang terjadi orthostatic dizziness, hipotensi termasuk ortostatik,
takikardia termasuk takikardia reflek dan hipertensi.
Risperidone dapat menyebabkan kenaikan konsentrasi prolaktin plasma
yang bersifat dose-dependent, dapat berupa galaktorhoea, ginekomastia,
gangguan siklus menstruasi dan amenorhoea.
Kenaikan berat badan, edema dan peningkatan kadar enzim hati kadang-
kadang terjadi.
Sedikit penurunan jumlah neutrofil dan trombosit pernah terjadi.
Pernah dilaporkan namun jarang terjadi, pada pasien skizofrenik:
intoksikasi air dengan hiponatraemia, disebabkan oleh polidipsia atau
sindrom gangguan sekresi hormon antidiuretik (ADH); tardif dyskinesia,
tidak teraturnya suhu tubuh dan terjadinya serangan (Rahardja & Tjay,
2007; Ganiswara, 2005).
7. Peringatan dan Perhatian
Anak-anak usia < 15 tahun tidak dianjurkan.
Dapat menyebabkan hipotensi ortostatik, terutama pada pemberian awal.
Risperidone diberikan secara hati-hati pada penderita kardiovaskular.
Pengurangan dosis harus dipertimbangkan bila terjadi hipotensi.
Obat antagonis reseptor dopamin berhubungan dengan induksi tardive
dyskinesia, ditandai dengan pergerakan berulang yang tidak terkendali,
terutama pada lidah dan/atau wajah. Dilaporkan bahwa munculnya gejala
ekstrapiramidal merupakan faktor risiko terjadinya tardive dyskinesia. Jika
tanda dan gejala tardive dyskinesia muncul, pertimbangkan untuk
menghentikan penggunaan semua obat antipsikosis.
Pemberian risperidone pada pasien Parkinson secara teori dapat
menyebabkan penyakit memburuk.
Hati-hati penggunaan pada pasien epilepsi.
Pasien diberitahu bahwa berat badannya dapat meningkat.
Risperidone dapat mengganggu aktivitas yang memerlukan konsentrasi
mental, pasien disarankan tidak menyetir atau menjalankan mesin hingga
diketahui kerentanan individualnya.
Pemberian pada wanita hamil dan menyusui jika keuntungannya lebih
besar dari risiko.
Penggunaan risperidone dapat menimbulkan Neuroleptic Malignant
Syndrome (NMS) yang manifestasi klinisnya adalah hiperpireksia,
rigiditas otot, perubahan status mental dan gangguan denyut nadi, tekanan
darah, aritmia, takikardia dan diaforesis. Manifestasi lainnya dapat berupa
peningkatan kreatinin fosfatase, mioglobinemia, serta gagal ginjal akut.
Bila timbul gejala NMS, hentikan segera penggunaan.
Penggunaan risperidone juga dapat menimbulkan hiperprolaktinemia
(karena risperidone dapat meningkatkan kadar prolaktin sehingga
kemungkinan efek karsinogenitasnya meningkat).
Penggunaan risperidone pada penderita geriatrik serta penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal: Dosis awal dan dosis tambahan perlu dikurangi
sampai separuh dosis normal
8. Dosis Umum
Untuk dewasa dan anak di atas usia 15 tahun, risperidone dapat diberikan
1-2x/hari.
Dosis awal 2 mg/hari, pada hari kedua dosis ditingkatkan 4 mg/hari, dari
titik ini dosis dapat dipertahankan atau disesuaikan secara individual
(titrasi lebih rendah dilakukan pada beberapa pasien).
Dosis optimal 2 x 2-4 mg sehari, biasanya 4-6 mg/hari.
Dosis harian yang direkomendasikan 2-4 mg.
Dosis di atas 10 mg/hari tidak lebih efektif dari dosis yang lebih rendah
dan bahkan mungkin dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal. Dosis di
atas 10 mg/hari dapat digunakan hanya pada pasien tertentu dimana
manfaat yang diperoleh lebih besar dibanding dengan risikonya. Dosis di
atas 16 mg/hari belum dievaluasi keamanannya sehingga tidak boleh
digunakan. Bila diperlukan efek sedasi yang lebih, pemberian obat seperti
benzodiazepin lebih baik dibanding menaikkan dosis risperidone
Penggunaan pada penderita geriatrik, juga penderita gangguan fungsi
ginjal dan hati: Dosis awal: 0,5 mg, 2 x sehari
Dosis dapat disesuaikan secara individual dengan penambahan 0,5 mg
2x/hari (hingga mencapai 1-2 mg, 2x/hari)
Penggunaan pada anak: pengalaman penggunaan pada anak-anak usia di
bawah 15 tahun belum cukup (Rahardja & Tjay, 2007).
9. Sediaan
Risperidone tersedia dalam bentuk tablet 1 mg, 2 mg, 3 mg, sirup dan
injeksi 50mg/ml (Ganiswara, 2005).
C. INTERAKSI OBAT
Pemberian kombinasi antipsikosis dengan antipsikosis lain dapat
menimbulkan potensiasi efek samping dan tidak ada bukti lebih efektif atau tidak
ada efek sinergis antara kedua obat (Maslim, 2001).
BAB V
SIMPULAN
1. Skizorenia merupakan gangguan psikotik kronis yang terjadi sedikitnya 6
bulan atau lebih dan ditandai oleh episode akut yang mencakup kondisi
terputus dengan realitas yang ditampilkan dalam ciri-ciri seperti waham,
halusinasi, pikiran tidak logis, pembicaraan yang tidak koheren, dan perilaku.
2. Terapi skizofrenia terdiri atas terapi somatik (psikofarmaka dan non
psikofarmaka) dan terapi psikososial seperti terapi perilaku, keluarga,
kelompok dan psikoterapi individual.
3. Indikasi pemberian obat antipsikosis pada skizofrenia adalah untuk
mengendalikan gejala aktif dan mencegah kekambuhan.
4. Obat Antipsikosis dibagi menjadi 2 yaitu Antipsikosis golongan I (APG I) dan
Antipsikosis Golongan II (APG II). APG I bekerja dengan memblok reseptor
D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan tuberoinfundibular sehingga
dengan cepat menurunkan gejala negatif, sedangkan APG II bekerja melalui
interaksi serotonin dan dopamin pada ke empat jalur dopamin di otak yang
menyebabkan rendahnya efek samping extrapiramidal dan sangat efektif
mengatasi gejala negatif.
5. Pada pasien ditemukan gejala positif berupa waham dan gejala negatif berupa
isolasi diri sehingga terapi medikamentosa yang diberikan merupakan
kombinasi dari APG I dan APG II ( Chlorpromazine dan Risperidone).
1.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara SG. 2005. Farmakologi dan terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.
Guyton AC, Hall JE (2007). Buku ajar fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC.
Kaplan, Sadock G (2005). Sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku psikiatri
klinis. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Maramis WF (2009). Catatan ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press.
Maslim R (2001). Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Edisi
ketiga. Jakarta: FK Unika Atmajaya.
Maslim R (2004). Buku saku diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ III). Jakarta : FK
Unika Atmajaya.
Nevid JS, Rathus SA, Greene B. (2003). Psikologi abnormal. Edisi 5 Jilid
2.Jakarta : Erlangga.
Rahardja K, Tjay TH (2007). Obat obat penting: Khasiat, penggunaan dan efek-
efek sampingnya. Jakarta: Gramedia.
Sadock BJ (2003). Kaplan’s pocket handbook of clinical psychiatry.4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Yosep S (2008). Proses terjadinya gangguan jiwa. Disampaikan pada :
Penyuluhan kesehatan jiwa dan bahaya napza kabupaten Sumedang tahun
2008.
Recommended