View
156
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
MAKALAH
Citation preview
MAKALAH
ISLAM PADA MASA ABBASIYAH
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah SKI
Dosen Pengampu : Herawati, S. AG.
Disusun oleh :
Dede Kankan (11110001)
Hendriana Wijaya (11110094)
Maulida Solekhah (11110078)
PRODI BAHASA DAN SASTRA ARAB
FAKULTAS ADAB DAN ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, dan
hidayah-Nya sehingga makalah yang membahas mengenai topik “ ISLAM
PADA MASA ABBASIYAH ”yang merupakan tugas mata kuliah SKI dalam
prodi Bahasa dan Sastra Arab telah kami penuhi.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak atas saran, komentar, dan
dorongan, sehingga makalah ini dapat terselesaikan tanpa ada halangan suatu
apapun.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan
dan kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dimohon saran dan kritik
yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Yogyakarta, Oktober 2012
(PENYUSUN)
BAB 1
PENDAHULUAN
Dinasti Abbasiyah adalah kekhalifahan kedua Islam yang berkuasa di
Baghdad (Ibukota Irak), dan merupakan kelanjutan dari kekuasaan Dinasti bani
Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa
Dinasti ini dirujuk kepada keturunan dari paman Nabi Muhammad SAW, yaitu
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali bin Abdullah ibn al-Abbas yang
merupakan pendiri Dinasti Abbasiyah ini. Dia dilahirkan di Humaimah pada
tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabi’ul Awwal 132
H.
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah berlangsung dari tahun 750 – 1258 M.
Pada awalnya Muhammad bin Ali, yang merupakan cicit dari Abbas
menjalankan kampanye untuk mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada
keluarga Bani hasyim di Persia pada masa pemerintahan Khalifah Umar Bin
Abdul Aziz. Selanjutnya pada abad ketujuh terjadi pemberontakan yakni perang
antara Pasukan Abbul Abbas melawan Pasukan Marwan ibn Muhammad
(Dinasti Bani Umayah). Pemberontakan ini semakin memuncak dan akhirnya
pada tahun 750, Abu al-Abbas al-Saffah berhasil menurunkan Daulah Bani
Umayah dengan menjatuhkan negeri Syiria, dan bersama dengan itu bangkitlah
Kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan kemudian Abbul Abbas dilantik sebagai
khalifah yang pertama dari kaum Abbasiyah.
Sebelum Daulah bani Abbasiyah berdiri, terdapat tiga tempat yang
menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, yaitu Humaimah, Kuffah, dan
Khurasan. Diantara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri
dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar
paman Nabi Muhammad SAW, BAIK DARI KALANGAN PENDUKUNG
ALI MAUPUN PENDUKUNG KELUARGA ABBAS. Humaimah merupakan
kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan
pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak
berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya
menganut aliran Syiah pendukung Ali Bin Abi Thalib. Ia bermusuhan secara
terang–terangan dengan golongan Bani Umayah. Demikian pula dengan
Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai
warga yang pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah
terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang
menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbasiyah mendapatkan
dukungan.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. KEMUNCULAN BANI ABBASIYAH
Perjuangan Bani Abbas untuk keluar dari bayang- bayang Dinasti Umayyah
secara intensif baru di mulahi berkisar antara 5 tahun menjelang revolusi
Abbasiyah. Pelopor utamanya adalah Muhammad Ibn Ali al-Abbas di
Hamimah. Ia telah banyak belajar dari kegagalan Syiah di karenakan kurang
terorganisis perencanaan perlawanan. Selain itu secara politik kekuatan Syiah
hanya terpusat di Kufa, yang notabene tidak bisa bergerak secara leluasa. Dari
itulah kemudian Abbas mengatur pergerakanya secara rapi dan terencana sama
seperti konsep gerakan- gerakan pada masa sekarang. Di mana harus di mulai
dari perencanaan isu politik yang matang, kemudian bergerak secara sistematis
dan taktis.
Muhammad Ibn Ali al-Abbas mulai melakukan pergerakannya dengan
langkah-langkah awal yang sistematis, diantaranya; Pertama, membuat
propaganda agama untuk menghasut rakyat menentang kekuasaan Umayyah,
serta menanamkan ide-ide tentang hak khalifah. Kedua, membantuk faksi-faksi
Hamimah, faksi Kufah, dan faksi Khurasan. Ketiga faksi ini bersatu dalam satu
tujuan menumbangkan Dinasti Umayyah. Ketiga, ide tentang persamaan antara
orang Arab dan Non Arab. Namun di balik isu propaganda itu ada isu yang
paling penting yaitu tegaknya Syariat Islam, dimana hal tersebut tidak pernah
terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni Pertama
dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka
berdakwah atas nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat
yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Para
pendakwah Abbasiyah berjumlah 150 orang di bawah para pemimpinnya yang
berjumlah 12 orang, dan pucuk pimpinnanya adalah Muhammad Ibn Ali.
Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan
pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api kebencian
umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh
sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim
al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it,
sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan
kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide
persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda
Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis
kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara menghasut dan menyombongkan diri (membangga-
bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh Bani Abbas sangat
bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 83
dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan
kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan
oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai tahun 749 M karena diketahui
oleh Marwan Ibn Muhammad (Khalifah Bani Umayyah), Ibrahim ditangkap dan
dipenjarakan di Harran, sebelum dieksekusi, Ibrahim telah menyerahkan
kepemimpinan kepada keponakannya Abdullah Ibn Muhammad dan
memerintahkan pusat gerakan di pindahkan dari Hamimah ke Kufah, maka
pindahlah mereka diiringi pembesar-pembesar Abbasiyah yang lain seperti
Ja’far, Isa Ibn Musa, dan Abdullah Ibn Ali. Sedangkan pemimpin propaganda
dibebankan kepada Abu Salama. Pada masa inilah revolusi Abbasiyah
berlangsung.
Pimpinan Bani Umayyah di Kufa, Yazid Ibn Umar Ibn Hubairah ditaklukan
oleh Abu Salama pada tahun 132 H dan diusir ke Wasit, selanjutnya Abdullah
Ibn Ali diperintahkan mengejar Khalifah Umayyah terakhir Marwan Ibn
Muhammad bersama pasukannya melarikan diri, dan dapat dipukul di dataran
rendah Sungai Zab (Tigris), pengejaran dilakukan ke Mausul, Harran, dan
menyebrang Sungai Eufrat sampai ke Damaskus. Kemudian Marwan melarikan
diri hingga Fustat di Mesir dan akhirnya terbunuh di Busir tahun 132 H/750 M
di bawah pimpinan Salib Ibn Ali salah seorang paman Abbas yang lain. Dengan
kematian Marwan Ibn Muhammad maka berdirilah Dinasti Abbasiyah sebagai
pengganti Dinasti Umayyah.
B. PERADABAN PADA MASA BANI ABBASIYAH
Peradaban Islam mengalami kemajuan pada masa Dinasti Bani Abbasiyah.
Kemajuan itu adalah :
1. Bidang Ilmu pengetahuan
Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai
bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah,
maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Kemajuan itu ditentukan oleh
dua hal, yaitu :
a. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa
lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang
ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah,
bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi
berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu
memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam.
b. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam dua fase. Fase
pertama, pada masa khalifah al-Mansyur hingga Harun al-Rasyid.
Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam
bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung pada masa
khalifah al-Ma’mun hingga tahun 300 H, terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan
semakin meluas.1 Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam
perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang
astronomi, kedokteran, filsafat, dan sejarah. Dalam bidang
astronomi terkenal nama Al Farazi sebagai pencipta Astrolobe. Al
Fargani, yang di Eropa dikenal dengan nama Al Faragnus, menulis
ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes hispalensis. Dalam
bidang kedokteran terkenal nama Jabir bin Hayyan sebagai Bapak
Kimia, Hurain bin Ishaq sebagai Dokter ahli mata, dan Ar Razi
yang terkenal dengan karangannya mengenai cacar dan campak
yang diterjemahkan dalam bahasa Latin. Tokoh-tokoh yang
terkenal dalam bidang filsafat, antara lain Al Farabi , Ibnu Sina,
dan Ibnu Rusyd. Al Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,
logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat
Aristoteles. Ibnu Sina juga banyak mengarang buku tentang
filsafat. Yang terkenal diantaranya adalah al-Syifa’. Ibnu Rusyd
yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak
berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga disana
terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
2. Bidang Ekonomi
Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M), banyak memanfaatkan
kekayaan untuk membangun rumah sakit, lembaga pendidikan dokter,
dan farmasi, pemandian umum. Tingkat kemakmuran yang tinggi terjadi
pada masa Khalifah ini. Kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Al Ma’mun (813-833 M), pengganti al-Rasyid,
dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta pada ilmu. Pada masa
pemerintahannya, penerjemahan buku-buku digalakkan. Ia juga banyak
mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah
pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al
Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
3. Bidang Politik Pemerintahan
Al Mu’tashim (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-
orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka
dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah
Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan system ketentaraan.
Praktek orang-orang muslim mengikiti perang sudah terhenti. Tentara
dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit professional. Dengan
demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan
politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbasiyah
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa
Bani Umayyah dan kalangan-kalangan intern Bani Abbasiyah, revolusi
al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan Syiah, dan
konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Semuanya dapat
dipadamkan.2
4. Bidang Ekonomi
Pada masa Al Mahdi (775-785 M), perekonomian mulai meningkat
dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan
hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi. Terkecuali itu
dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan.
Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.
5. Bidang Pendidikan
Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat, yaitu :
a. Maktab atau Kuttabdan mesjid, yaitu lembaga pendidikan terendah,
tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan, dan tulisan,
dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir,
hadits, fikih, dan bahasa.
b. Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya,
pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa
orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu
yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di
masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama yang bersangkutan. Bagi
anak penguasa pendidikan bias berlangsung di istana atau dirumah
penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli kesana. Lembaga-
lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi.
Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas,
karena disamping terdapat kitab-kitab, disana orang juga dapat
membaca, menulis, juga berdiskusi.3
C.SUKSESI KEPEMIMPINAN
Dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari
tahun 132 H-656 H. selama Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
ditetapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, pemerintahan
Abbasiyah di bagi menjadi 5 periode :
1. Periode I (132 H/750 M- 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama, Khalifah yang memerintah adalah As-Saffah 132-126 H, Ja’far
al-Mansur 136-158 H, al-Mahdi 158-169 H, al-Hadi 169-170 H, Harun
ar-Rasyid 170-193 H, al-Amin 193-198 H, al-Ma’mun 198-218 H, al-
Mu’tasim 218-227 H, al-Watsiq 227-232 H.
2. Periode II (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki
pertama, Khalifah yang memerintah adalah al-Mutawakkil 232-247 H, al-
Muntashir 247-248 H, al-Musta’in 248-252 H, al-Mu’tazz 252-255 H, al-
Muhtadi 255-256 H, al-Mu’tamid 256-279 H, al-Mu’tadhid 279 – 289 H,
al-Muktafi 289-295 H, al-Muqtadir 295-320 H, al-Qahir 220-222 H, ar-
Radhi 322-329 H, al-Muttaqi 329-333 H, al-Mustakfi 333-334 H.
3. Periode III (334 H/945 M – 447 H/1055 M), disebut kekuasaan Dinasti
Buwaih dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah atau masa
pemerintahan Persia kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Muthi’
334-363 H, ath-Tha’I 363 – 381 H, al-Qadir 381 – 422 H.
4. Periode IV (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), disebut masa kekuasaan
Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Abbasiyah atau masa pengaruh Turki
kedua. Khalifah yang memerintah adalah al-Qa’in 422-467 H, al-Muqtadi
467-487 H, al-Mustazhhir 487-512 H, al-Mustasyid 512-529 H, ar-Rasyid
529-530 H, al-Muqtafi 530-555 H, al-Munstanjid 555-566 H, al-
Mustadhi’ 566-575 H.
5. Periode V (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), disebut masa khalifah bebas
dari pengaruh Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
Baghdad sampai jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tartar di bawah
pemimpin Hulaqu Khan tahun 656 H. khalifah yang memerintah adalah
an-Nashir 575-622 H, azh-Zahir 622-623 H, al-Mustanshir 623-640 H, al-
Musta’shim 640-656 H.4
Kebijakan politik as-Saffah yang pertama pada masa pemerintahannya
adalah membasmi keluarga Bani Umayyah yang masih tersisah dengan cara
mengerahkan segenap pasukan yang dipimpin oleh pamannya sendiri Abdullah
Ibn Ali. Hal ini dilakukan untuk mereformasi semua sistem Dinasti Umayyah
agar sesuai dengan ajaran Islam murni (Syariat Islam). Karena dianggap korup,
dekaden, otoriter dan sekuler. Selain itu karena terlalu benci sampai-sampai
mereka juga membongkar semua kuburan Bani Umayyah dan jenazahnya di
bakar. Hanya ada dua kuburan yang selamat dari kekejaman tersebut yaitu
kuburan Muawiyah Ibn Abi Sofyan karena dianggap sebagai sahabat Nabi dan
Umar Ibn Abdul Aziz yang selama masa pemerintahannya menerapkan keadilan
dengan seadil-adilnya. Disamping itu Ia juga memberikan sebuah lahan di
Hamimah untuk digunakan oleh keluarga Abbas, sehingga bisa melancarkan
propaganda dengan sebaik-baiknya pasca meninggalnya. Dan dari revolusi itu
pulah hanya satu orang yang berhasil selamat yaitu Abdurrahman ad-Dakhil,
kemudian mendirikan sebuah Amir di Andalusia. Al-Saffah hanya memerintah
selama 4 tahun, setalah meninggal pada 134 H, pemerintahan diambil alih oleh
adiknya Ja’far al-Mansur setalah dapat menyingkirkan pamannya Abdullah Ibn
Ali, yang juga berusaha menjadi khalifah.
Ketika naik tahta langkah yang dilakukan oleh al-Mansur adalah
menindak tegas pemberontak yang dilakukan oleh golongan Syi’ah yang merasa
disingkirkan pasca naiknya as-Saffah, pemberontakan yang dilakukan oleh Abu
Muslim al-Khurasan yang tidak mau tunduk kepada pusat, penduduk Syiria
yang masih tunduk kepada pemerintahan Dinasti Umayyah dan orang-orang
yang kecewa kepada pemerintahan baru. Masa ini dapat dikatakan sebagai masa
perjuangan dan konsolidasi untuk mengamankan eksistensi Dinasti Abbasiyah.
Berkat visi politik dan pendekatan pragmatis yang dilakukan oleh al-Mansur,
maka terjadi kestabilan pemerintah dapat terjaga. Kemudian al-Mansur
mengangkat putranya al-Mahdi dan Isa Ibn Musa untuk menggantikan posisinya
kelak ketika Ia meninggal sebagaimana perjanjian dengan as-Saffah.
Sebenarnya tradisi ini sudah ditanamkan oleh Muawiyah ketika mengangkat
anaknya Yazid. Padahal sejarah membuktikan bahwa dari tradisi ini muncul
kecemburuan sosial yang menyebabkan terjadi ketidakpuasan dan berakhir pada
pemberontakan dibeberapa daerah, terutama dari kalangan Syi’ah dan Khawarij.
Pola seperti ini juga membuktikan bahwa Dinasti Abbasiyah menerapkan
kembali sistem Monarkhi Absolut yang dulu dipraktekkan oleh kerajaan Persia,
Romawi. Setelah dapat memperkokoh kekuasaan Abbasiyah al-Mansur
meninggal karena sakit dalam suatu perjalanan Haji kelima bersama rombongan
keluarga dan pembesar Abbasiyah. Dia meninggal dalam usia 65 tahun setelah
memerintah selama 21 tahun.5
Pemerintah Abbasiyah kemudian dipegang oleh putranya al-Mahdi, yang
baru berusia 30 tahun. Al-Mahdi memulai zaman pemerintahannya dengan
membebaskan semua tahanan, kecuali penjahat yang dipenjarah menurut
Undang-Undang dan memberikan bantuan cara hidup kepada orang-orang yang
masih dipenjara dan yang anggota tubuhnya cacat. Kemudian memerintahkan
untuk membangun beberapa bangunan Haram dan Masjid Nabawi dan
memerintahkan untuk membangun beberapa bangunan besar beserta kolam-
kolam di sepanjang jalan menuju Mekkah sebagai tempat persinggahan para
musafir dan mebangun pos yang menghubungkan Baghdad dengan wilayah
Islam lainnya. Selain itu, al-Mahdi juga membuat posko pengaduan dan
penganiayaan serta mengembalikan harta yang dirampas ayahnya kepada
pemiliknya.6
Kemudian menunpas gerakan al-Muqanna’ al-Khurasan yaitu sebuah
kelompok yang ingin menuntut balas atas kematian Abu Muslim al-Khurasan
dan merampas kekuasaan Abbasiyah. Lalu al-Mahdi mewariskan jabatan
khalifah kepada anaknya al-Hadi dan Harun ar-Rasyid, tetapi keinginannya itu
terhalang oleh Isa Ibn Musa. Berkat jabatan putra mahkota inilah Isa Ibn Musa
mengalami dua kali kekejaman yaitu pada masa al-Mansur dan al-Hadi. Setelah
dipaksa, ditanggalkanlah gelar tersebut oleh Isa Ibn Musa, maka al-Mahdi
melantik anaknya al-Hadi sebagai putra mahkota pada 160 H dan dilanjutkan
melantik Harun ar-Rasyid tahun 166 H.7 dari sini dapat kita pahami bahwa
cara-cara kekerasan merupakan alternatif utama yang diambil oleh Dinasti
Abbasiyah dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi terutama
masalah-masalah politik. Padahal hal ini jelas bertentangan dengan agama Islam
dan prilaku Nabi Muhammad.
Setelah al-Mahdi mangkat, kekuasaan Abbasiyah digantikan oleh al-Hadi
169-170 H, langkah awal yang dilakukan al-Hadi adalah melantik ar-Rabi’ Ibn
Yunus sebagai menteri, tetapi beberapa waktu kemudian ar-Rabi’ Ibn Yunus
digantikan oleh Ibrahim Ibn Zakuan al-Harrani dan bagaimana melenyapkan
Harun ar-Rasyid agar mau menanggalkan gelar putra mahkota sehingga
anaknya Ja’far dapat menggantikannya kelak. Salah satu sifat penguasa adalah
bagaimana kekuasaan itu langgeng dan hanya berputar disekitar garis
keturunannya. Oleh karena itu kekuasaan itu harus dipertahankan mati-matian,
jika perlu dengan menghalalkan segala cara.
Kekuasaan al-Hadi tidak berumur panjang hanya satu tahun, karena al-
Hadi di racun oleh ibunya Khaizuran yang lebih menginginkan Harun ar-Rasyid
sebagai penguasa. Harun ar-Rasyid 170-193 H naik tahta menggantikan al-Hadi
pada usia 22 tahun. ar-Rasyid merupakan puncak kegemilangan pemerintahan
Abbasiyah. Dimana ilmu pengetahuan berkembang luas, kekayaan melimpah,
dan stabilitas pemerintahan terkendali, ditambah lagi kebijakan pembagian
kekuasaan yang adil antara putra mahkotanya yaitu al-Ma’mun untuk wilayah
Khurasan, wilayah Irak untuk al-Amien dan semenanjung Arab untuk al-Qasim.
Dalam masalah pemerintahan, ar-Rasyid dibantu oleh seorang Wazir
yang bernama Yahya bin Barmak, terutama setelah ibunya Khaizuran
meninggal dunia pada 3 tahun kekuasaan khalifah. Yahya bin Bermak dibantu
juga oleh kerabat dan keluarganya. Berkat dirinya, orang-orang Bermak dapat
menguasai dapat menguasai pemerintahan Abbasiyah hingga beberapa tahun.8
Ar-Rasyid meninggal ketika menumpas pemberontakan yang terjadi di
Khurasan yang dipimpin oleh Rafi’ Ibn Laith. Namun sebelumnya ar-Rasyid
sudah melantik al-Amien sebagai penggantinya di Baghdad dan Yahya Ibn
Sulaiman untuk menjalankan urusan pemerintahan.9
Al-Amien melanjutkan estapet kepemimpinan Dinasti Abbasiyah dari
tahun 193-198 H. namun Ia kurang memberikan perhatian kepada
pemerintahan, karena terlalu banyak bersenda gurau dan berpoya-poya. Ketika
dating tentara al-Ma’mun dari Khurasan di bawah pimpinan Tahir Ibn al-Husain
dan Hatsamah Ibn A’yam, al-Amien tidak bisa menghalaunya dan kemudian
terbunuh.
Meninggalnya al-Amien langsung digantikan oleh al-Ma’mun (198-218).
Karena memperoleh kekuasaan dengan cara kekerasan, maka pada awal
kekuasaannya banyak pihak-pihak yang merongrong terutama pasca
kepindahannya dari Khurasan ke Baghdad. Namun semua itu dapat diatasi,
bahkan kekuasaan al-Ma’mun mengalami kejayaan seperti pada msa Harun ar-
Rasyid. Pada masa ini juga aliran Mu’tazilah dijadikan sebagai madzhab
nasional. Al-Ma’mun wafat sewaktu berperang di Tursur pada usia 48 tahun.
Namun sebelumnya ia sudah melantik saudaranya al-Mu’tashim sebagai putra
mahkota yang akan menggantikannya.10
Pasca meninggalnya al-Ma’mun kekuasaan Abbasiyah mulai mengalami
kemunduran ditambah lagi kuatnya dominasi orang-orang Turki dan Persia,
sehingga setiap saat siap merongrong kewibawaan Baghdad. Puncaknya pada
masa pemerintahan al-Mutawakkil, dimana Ia mengangkat panglima besar
Ashar yang berkebangsaan Turki11 dan mulailah berdiri Dinasti-Dinasti kecil
merdeka di sekitar Baghdad.
D. KEJAYAAN BANI ABBASIYAH
Kejayaan Daulah Bani Abbasiyah terjadi pada masa Khalifah Harun Al
Rasyid (170-193 H) dan anaknya Al Maknun (198-218 M). ketika Ar Rasyid
memerintah, Negara dalam keadaan makmur, kejayaan melimpah, keamanan
terjamin, dan luas wilayahnya mulai dari AfrikaUtara hingga ke India. Didirikan
pula perpustakaan yang diberi nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang dapat
membaca, menulis, dan berdiskusi.
Pada masa Khalifah Harun al Rasyid berkembang ilmu pengetahuan, baik
ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama, seperti ilmu
alquran, qiraat, hadits, fiqih, kalam, bahasa, dan sastra. Empat madzhab fiqih
tumbuh dan berkembang, Imam Abu Hanifah (wafat tahun 150/677) adalah
pendiri madzhab Hanafi, Imam Malik ibn Anas (wafat tahun 179/795) adalah
pendiri madzhab Maliki, Muhammad ibn Idris asy Syafi’I (wafat tahun
204/819) adalah pendiri madzhab Syafi’I, dan Ahmad ibn Hambal (wafat tahun
241/855) adalah pendiri madzhab Hambali. Selain itu berkembang pula ilmu
filsafat, logika, metafisika, matematika, alam, geometri, aljabar, aritmatika,
mekanika, astronomi, music, kedokteran, kimia.12 Ilmu ilmu umum masuk ke
dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Persia, Yunani, dan India ke dalam
bahasa Arab.
Khalifah Harun merupakan penguasa yang paling kuat di dunia pada
saat itu, tidak ada yang menyamainya dalam hal keluasan wilayah yang
diperintahnya, dan kekuatan pemerintahannya serta ketinggian kebuadayaan dan
peradaban yang berkembang di negaranya. Pelabuhan-pelabuhan Abbasiyah
disinggahi oleh kapal-kapal dari seluruh penjuru dunia, seoerti jungjung dari
Cina, yang membawa barang dagangannya (porselen, sutera, minyak kasturi),
kapal-kapal dari India dan Nusantara yang membawa barang-barang tambang,
rempah-rempah, dan cat, sedangkan batu manikam, lazuardi, dan budak datang
dari Turki di Asia Tengah. Madu, lilin, kulit, dan budak kulit putih dating dari
Skandinavia dan Rusia, sementara itu, gading, emas, dan budak kulit hitam
dating dari Afrika Timur. Dari bandar-bandar itu diekspor barang-barang hasil
industry, perhiasan, kaca, logam, mutiara, rempah-rempah ke Afrika dan Eropa.
Baghdad sebagai Ibukota Kekhalifahan Abbasiyah yang didirikan oleh
Khalifah al-Mansyur mencapai puncak kejayaanya di masa ar Rasyid walau
kota itu belum limapuluh tahun dibangun. Kemegahan dan kemakmuran
tercermin dalam istana Khalifah yang luasnya sepertiga dari kota Baghdad yang
bundar itu dengan dilengkapi bangunan-bangunan sayap dan ruang audensi
yang dipenuhi berbagai perlengkapan yang indah. Kemewahan istana itu
muncul terutama dalam upacara penobatan-penobatan khalifah, perkawina,
keberangkatan haji, dan jamuan untuk para duta Negara asing.
Wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah tidak seluas kekuasaan Bani
Umayah, karena adanya berbagai kekuasaan yang berdiri sendiri, yang tidak
menguasai kekuasaan Bani Abbasiyah, bahkan mereka menjadi saingan
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, seperti Daulah Umaiyah di Spanyol,
Daulah Fatimiyah di Afrika Utara yang berpusat di Mesir, dan Qaramitah di
Jazirah Arabia.
E. KEMUNDURAN BANI ABBASIYAH
Diantara penyebab kemunduran bani Abbasiyah adalah pola hidup
mewah yang terjadi pada para Khalifah Abbasiyah, keluarganya, serta para
Pejabatnya karena harta kekayaan yang melimpah dan hasil wilayah yang luas,
ditambah lagi dengan industry olahan yang melimpah dan tanah yang subur
serta pendapatan pajak dari pelabuhan-pelabuhan yang menghubungkan antara
dunia Barat dan Timur. Kondisi tersebut diperburuk oleh lemahnya para
Khalifah sehingga mereka berada dibawah pengaruh para pengawalnya yang
menguasai keadaan yang terdiri dari orang-orang Turki. Disamping itu adanya
dinasti-dinasti yang memerdekakan diri terhadap pemerintahan pusat, Baghdad.
Bahkan dinasti-dinasti seperti Bani Umayah di Spanyol dan Fatimiyah di Afrika
Utara dan Mesir menjadi saingan Abbasiyah. Serangan-serangan yang
dilakukan oleh pasukan Salib ke palestina yang berjalan begitu lama dengan
jatuh dan bangunnya pasukan Muslimin memperlemah kekuasaan Bani
Abbasiyah juga.
Akhir dari kekuasaan Abbasiyah ialah ketika Baghdad dihancurkan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulako Khan 656/1258. Ia adalah seorang
saudara Qubilay Khan yang berkuasa di Cina hingga ke Asia Tenggara dan
saudara Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-
wilayah sebelah Barat dari Cina itu ke pangkuannya lagi. Baghdad di bumi
hanguskan dan di luluh lantakkan dengan tanah. Khalifah Bani Abbasiyah yang
terakhir, Al Mu’tashim dibunuh beserta keluarganya. Buku-buku yang
terkumpul di Baitul hikmah dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga
berubahlah warna air sungai tersebut yang jernih bersih menjadi hitam kelam
karena lunturan tinta yang ada pada buku-buku itu.13
BAB 3
KESIMPULAN
Dari deksipsi di atas dapat disimpulkan bahwa Dinasti Ababsiyah
merupakan masa kejayaan umat Islam, berkuasa mulai Khalifah Abu Abbas as-
Saffa hingga al-Musta’shim sebagai khalifah terakhir. Rentan waktu yang lama
ini telah menghasilkan banyak kemajuan dalam peradaban Islam, terutama sejak
menerjemahkan kitab-kitab klasik dari bangsa Yunani, Persia, India, baik dalam
bidang politik pemerintahan, ekonomi, agama di mana lahir para pemikir-
pemikir Islam baik dari bidang Filsafat, Kalam, Fiqh, maupun Tasawuf, dan
ilmu-ilmu Islam lainnya. Selain itu lahir pula pakar-pakar ilmu astronomi,
geografi, sejarah, dan lain sebagainya, yang nantinya sangat berperan besar
terhadap munculnya renaissance di dunia Eropa. Namun dibalik kemajuan itu,
Dinasti Abbasiyah menyisahkan noda bagi peradaban Islam itu sendiri, terutama
pembantaian-pembantai manusia setiap pergantian kekuasaan. Dan hal yang
paling penting sekarang dapatkah kita merefleksikan kemajuan dan kemunduran
Dinasti Bani Abbasyiah dalam kehidupan kontemporer, sehingga menjadi
sebuah spirit perubahan radikal. Wallahu a’lam bi Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Badri Yatim, M.A.,Sejarah Peradaban Islam, hlm 55.2 Drs. Badri Yatim, M.A.,Sejarah Peradaban Islam, hlm 53.3Drs. Badri Yatim, M.A.,Sejarah Peradaban Islam, hlm 54.4 C. E. Bosworth, Daulah-Daulah Islam, (Bandung: Mizan), hlm. 27-28.5 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, (Jakarta: al-Husna Zikra, 1997), hlm. 81.
6 Ibid, hlm. 83-84.
7 Ibid, hlm. 93-94.
8Abdul Hakim al-Afifi, 1000 Peristiwa dalam Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), cet. I, hlm. 150.
9 A. Syalabi, Sejarah Kebudayaaan………Op. cit, hlm. 107-125.
10 Ibid, hlm. 129-144.
11Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), cet. I, hlm. 7.
12 Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, hal 103.13 Mufradi, Ali, Islam Di Kawasan Budaya Barat, hal 107.
..............Malik A. Haman, Haris Gusnam, Rofik (2005) sejarah kebudayaan islam : pokja
akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .................
............Mufrodi, Ali ( 1997 ) Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta : Logos.................
.............Syalibi, A.(1997), sejarah kebudayaan islam 3 , Jakarta : al-Husna Zikra................
.............. Al-Afifi,Abdul Hakim.(2002) 1000 peristiwa dalam islam , Bandung, :
Pustaka Hidayah ..............
.................Sou’yb, Joesoef, (1977). Sejarah dinasti Abbasiyah II , Jakarta : Bulan Bintang .....
.............. Yatim Badri, Anshari Hafiz, (2009) Sejarah peradaban Islam , Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada ............
................ Mufradi, Ali (1996), Islam Dikawasan Budaya Barat , Surabaya: logos ............
................. Bosworth, C.E., (1993), Dinasti-Dinasti Islam, Bandung : Mizan..............
Recommended