View
236
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
Maxilla
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kecelakaan lalu lintas merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang. Menurut World Health
Organization (WHO), tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67 persen korban
kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif , yakni 22 – 50 tahun. Terdapat
sekitar 400.000 korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya, dengan
rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya. Bahkan,
kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-anak di dunia,
dengan rentang usia 10-24 tahun.kecelakaan lalu lintas menelan korban jiwa sekitar
2,4 juta jiwa manusia setiap tahunnya.(WHO, 2011).
Menurut data Kepolisian Republik Indonesia, Di Indonesia, jumlah
kendaraan bermotor yang meningkat setiap tahunnya dan kelalaian manusia,
menjadi faktor utama terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Data Kepolisian
RI menyebutkan, pada 2012 terjadi 109.038 kasus kecelakaan dengan korban
meninggal dunia sebanyak 27.441 orang, dengan potensi kerugian sosial ekonomi
sekitar Rp 203 triliun - Rp 217 triliun per tahun (2,9% - 3,1 % dari Pendapatan
Domestik Bruto/PDB Indonesia). Sedangkan pada 2011, terjadi kecelakaan
sebanyak 109.776 kasus, dengan korban meninggal sebanyak 31.185 orang
(Sjamsuhidajat, 2014).
Namun dibandingkan dengan sebelumnya berdasarkan data Analisa dan
Evaluasi Korlantas Polri, jumlah tingkat kecelakaan dalam 4 tahun terakhir terus
menurun dalam setiap tahunnya.Pada tahun 2012 misalnya, tercatat sebanyak
128.312 kejadian kecelakaan lalu lintas.Sementara angka tersebut turun pada tahun
2013 dengan total 110.448 kejadian.Begitu pula dengan yang terjadi pada tahun
2014, angka kecelakaan menurun drastis dengan total 95.969 kejadian
(Sjamsuhidajat, 2014).
1
Tingginya angka kecelakaan menyebabkan angka kejadian atau insiden
fraktur tinggi, dan salah satu fraktur yang terjadi adalah fraktur maxilla atau trauma
pada wajah.
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi disintegritas tulang,
penyebab terbanyak adalah kecelakaan, tetapi faktor lain seperti proses degeneratif
juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur. Fraktur lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan umur di bawah 45 tahun.Pada
anak-anak prevalensi fraktur tulang wajah secara keseluruhan jauh lebih rendah
dibandingkan pada dewasa.Sekitar 5-15% dari keseluruhan fraktur wajah terjadi
pada anak.
Fraktur maxilla sebagian besar menyebabkan trauma pada tulang rahang.
Trauma pada tulang rahang jarang menimbulkan syok dan bila hal tersebut terjadi,
mungkin akan menyebabkan komplikasi yang lebih parah, seperti pada pasien
dengan batas kesadaran yang menurun sampai tidak mampu melindungi jalan
pernafasan dari darah dan patahan gigi, serta bekas pendarahan di dalam gusi, gigi,
dan mulut sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas (Suardi,Fraktur Pada
Tulang Maksila 2012).
Hal ini menimbulkan masalah bagi penatalakasanaan anestesi, dimana
pasien datang dalam kondisi tulang maxilla yang sudah bergeser dan gigi yang
berantakan, serta bekas darah yang tersisa akibat pendarahan pasca kecelakaan,
dengan umur 8 tahun. Sehingga dibutuhkan keterampilan khusus, dalam melakukan
manajemen air way, karena pada pasien anak anatomi dan fisiologi pernafasannya
berbeda, rongga mulut yang kecil, lidah yang besar dan epiglotis yang masih
berbentuk v kecil. Selain itu seoranganestesi harus mampu menentukan keputusan
yang tepat dalam menentukan teknik dan tindakan anestesi yang tepat,serta
mengetahui cara penatalaksanaan menejemen nyeri.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik mengambil studi kasus “
Asuhan Keperawatan dan Penatalaksanaan Anestesi Umum pada Tn. A usia 65
2
tahun dengan Fraktur Maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary
Fixation di RSUD kelas B Kabupaten Subang April 2015”
C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Mampu memahami dan melakukan asuhan keperawatan dan penatalaksanaan
anestesi umum pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch
Ber Intermaxillary Fixation di RSUD kelas B
2. Tujuan Khusus
a) Mampu melakukan pengkajian pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan
pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi umum.
b) Mampu menentukan diagnosa keperawatan Tn. A dengan fraktur maxillaris
dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi
umum.
c) Mampu mengidentifikasi rencana tindakan keperawatan pada Tn. A dengan
fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation
dengan anestesi umum.
d) Mampu mendiskripsikan tindakan dari Asuhan Keperawatan pada Tn. A
dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary
Fixation dengan anestesi umum..
e) Mampu melaksanakan evaluasi tindakan dari Asuhan Keperawatan yang
dilakukan pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch
Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi umum.
f) Mampu mendokumentasikan Asuhan Keperawatan Perioperatif yang
dilakukan pada Tn. A dengan fraktur maxillaris dengan pemasangan Arch
Ber Intermaxillary Fixation dengan anestesi umum.
g) Mampu membuat penatalaksanaan anestesi pada Tn. A dengan fraktur
maxillaris dengan pemasangan Arch Ber Intermaxillary Fixation dengan
anestesi umum.
3
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pembaca
Makalah Studi kasus ini di harapkan dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan dan
referensi kepada pembaca dalam menambah pengetahuan terhadap konsep dasar
penyakit dan penatalaksanaan anestesi umum pada Tn. A dangan fraktur
maxillaris yang menjalani pemasangan Arch Ber.
2. Bagi Rumah Sakit
Dengan makalah ini diharapkan dapat menambah referensi bagi RSUD kelas B
Kabupaten Subang sehingga semakin terdepan dalam memberikan pelayanan
yang sesuai standar operasional kepada masyarakat.
E. Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu penulis hanya
menggambarkan atau memaparkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa kini.
Adapun teknik pengumpulan data sebagai berikut :
1. Wawancara
Penulis mengadakan wawancara langsung terhadap pasien, keluarga pasien,
perawat ruangan dan petugas kesehatan yang terlibat dalam kasus ini.
2. Observasi
Penulis melakukan pengumpulan data melalui hasil pengamatan secara
langsung terhadap kondisi pasien.
3. Pemeriksaan Fisik
Penulis melakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan metode inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultrasi.
4. Studi Literatur
Penulis melakukan pengumpulan data dengan cara mempelajari buku-buku
keperawatan dan buku-buku ilmiah lainnya yang menunjang kasus.
5. Studi Dokumentasi
Penulis melakukan pengumpulan data dengan memvalidasi data yang diperoleh
dari pengkajian dan data dari keluarga.
4
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan dibagi menjadi 4 bagian sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, rumusan masalah,
tujuan penulisan, Manfaat penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Tinjauan Teori tentang Anestesi Umum, Fraktur Maxillaris, dan
pemasangan Arch Ber.
BAB III : Tinjauan kasus asuhan keperawatan perioperatif mulai dari
pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga evaluasi serta
penatalaksanaan Anestesi Umum pada pasien Tn.A dengan fraktur
maxilla yang akan menjalani operasi pemasangan Arch Ber.
BAB IV : Kesimpulan dan saran.
BAB V : Penutup
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. KONSEP DASAR ANESTESI UMUM
1. Definisi Anestesi Umum
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen
anestesi yang ideal terdiri : hipnotik, analgesia, relaksasi otot. (Leksana,Ery.
2007)
2. Jenis Anestesi Umum
Anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya terdiri dari 2 cara, yaitu:
a. Anestesi Inhalasi
Dalam praktek kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama
yang penting dalam menentukan kecepatan induksi dan pemulihannya.
Induksi dan pemulihan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut.
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) atau MAC (Minimum Alveolar
Concentration) ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan
1 atmosfir yang diperlukan untuk mencegah gerakan pada 50% pasien yang
dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi tercapai pada 95%
pasien, jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam keadaan
seimbang tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan
zat dalam darah dan otak tempat kerja obat. Keterbatasan lain bahwa konsep
MAC hanya membandingkan tingkat anestesi saja dan tidak dapat
memperkirakan efek fisiologis pada sistem organ penting seperti fungsi
kardiovaskular dan ginjal, terutama pada pasien berpenyakit menahun.
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh :
1) Konsentrasi inspirasi
2) Ventilasi alveolar
3) Koefisien gas / darah
4) Curah jantung atau aliran darah paru
5) Hubungan ventilasi – perfusi
6
Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh paru-paru. Sebagian
lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi sitokrom P450. Sisa
metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan melalui ginjal. Jenis-jenis obat
anestesi inhalasi yang digunakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Subang yaitu :
1) N2O (gas gelak, nitrous oxide, dinitrogen monoxida)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesia
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesi
lemah, tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Jarang digunakan sendirian,
tetapi dikombinasi dengan salah satu cairan anestetik lain. Pada akhir
anestesia setelah N2O dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi
alveoli, sehingga terjadi pegenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi.
Untuk menghindarinya, berikan O2 100% selama 5-10 menit. MAC
105,2 vol%.
2) Halotan
Halothan dapat digunakan untuk induksi dan juga untuk laringoskopi
intubasi. Pada nafas spontan rumatan anestesia sekitar 1-2 vol % dan
pada nafas kendali sekitar 0,5 – 1 vol % yang tentunya disesuaikan
dengan respon klinis pasien. Halotan menyebabkan vasodilatasi serebral,
meninggikan aliran darah otak yang sulit dikendalikan dengan teknik
anestesia hiperventilasi, sehingga tidak disukai untuk bedah
otak. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor,
depresi miokard dan inhibisi reflex baroreseptor. Pasca pemberian
halotan sering menyebabkan pasien menggigil.
3) Isofluran
Efek Isofluran terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan
7
konsentrasi > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan
kurang responsive jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot dapat
dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.
4) Sevofluran
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas,
sehingga digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia.
Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti isofluran dan belum ada
laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran
cepat dikeluarkan oleh badan.
b. Anestesi Intravena (Anestesi Parenteral)
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang
perasaan klaustrofobik (perasaan akan-akan wajah ditutupi topeng), tahap
tidak sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi.
Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan
anestesi.
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-
kadang sangat cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada
gangguan pernapasan yang mengharuskan digunakannya ventilasi dan
ketidak-stabilan hemodinamik. Agen induksi intravena biasanya digunakan
bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan analgesia yang
memadai dan dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang
optimum.
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis
pada anesthesia atau tambahan pada anelgesia regional dan sedasi pada
beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur diagnostik
misalnya tiopental, ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total
8
biasanya menggunakan propofol. Anestesi intravena ideal membutuhkan
kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air
dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat, lama kerja
pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia,
disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah
dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau
sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh
farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping
(mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan
di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi
lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek
salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.
1) Hipnotik Sedative
a) Barbiturate
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat
anestesi intravena yang bekerja cepat (short acting). Bekerja
menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat
pusat pernafasan di medula oblongata. Tidal volume menurun dan
kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus
vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah
jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi
jantung terhadap katekolamin.
b) Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat,
lama kerja pendek. Efek kerja dicapai dalam 15-45 detik. Efek
puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat
dimetabolisme, pemulihan cepat. Suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat
diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek hipnotik 1,8 kali
9
pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal.
Efek anti emetik positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek
sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA (gamma-amino
butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.
c) Ketamin
Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi
disosiatif yang menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien
tetap terbuka dengan nistagmus lambat. Pada saat yang sama pasien
tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat
baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23%
dari baseline, denyut jantung meningkat, kadang-kadang timbul
aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mekanisme kerja ketamin
berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), reseptor
opioid, reseptor monoaminergik, reseptor muskarinik, dan
saluran voltage sensitive ion calcium. Daya larut dalam lemak tinggi
membuat transfer obat ini melewati sawar darah otak
danmenghasilkan anestesi. Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit
pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit, tetapi memerlukan waktu
60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11 menit.
d) Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam,
lorazepam, dan midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk
medikasi pra-anestetik (sebagai neurolepanalgesia) dan untuk
mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam
anestetik regional. Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok
obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan
amnesia anterograd (setelah pemberian midazolam IM, IV), tetapi
tidak berefek analgesic. Adapun golongan benzodiazepine yang
digunakan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Subang adalah:
(1) Midazolam
10
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan
anestesi, bekerja cepat dan karena transformasi metaboliknya
cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat menimbulkan
sedasi dan induksi tidur. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-
30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma
maksimum dicapai dalam 30 menit. Kontraindikasi pemberian
pada pasien dengan hipersensitivitas, insufisiensi paru-paru akut,
depresi pernafasan, dan kehamilan 3 bulan pertama. Midazolam
menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari
diazepam. Efek depresi pernafasan minimal. Juga menurunkan
metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak. Dosis pre
medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi
0,1-0,4 mg/kgbb IV.
2) Muscle Relaxant
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia
umum inhalasi, melakukan blockade saraf regional dan memberikan
pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia beresiko depresi napas dan
depresi jantung, blockade saraf terbatas penggunaannya.
Setiap serabut saraf motorik mensarafi beberapa serabut otot lurik dan
sambungan ujung saraf dengan otot lurik disebut sambungan saraf-otot.
Pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-muskular.
Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion
kalsium memicu keluarnya asetil-kolin sebagai transmitter saraf.
Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor nikotinik-
kolinergik di otot. Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi
depolarisasi dan lorong ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan
ion kalium keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa
oleh asetilkolin-esterase (kolin-esterase khusus atau murni) menjadi
asetil dan kolin, sehingga lorong tertutup kembali terjadilah repolarisasi.
11
Jenis obat golongan muscle relaxant yang digunakan di Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Subang adalah :
a) Atracurium
Merupakan benzilisoquinolinium bisquaternary OBNM non
depolarizing. Obat ini berkompetensi untuk reseptor kolinergik pada
motor end plate. Dengan OOA 3-5 menit dan DOA 30-45 menit serta
dosis 0,3-0,6 mg/KgBB.
b) Penawar Pelumpuh Otot
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada
sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja,
sehingga asetilkolin dapat bekerja. Asetilkolinesterase yang paling
sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin dan
edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-
oral. Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4
mg/kg, edrophonium 0,5-1,0 mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg.
penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik menyebabkan
hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang bronnkus, hipermotilitas
usus, dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai
oleh obat vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02 mg/kg atau
glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.
Pemilihan Muscle Relaxant berdasarkan kasus:
a) Gangguan faal ginjal : atrakurium, vekuronium
b) Gangguan faal hati : atrakurium
c) Miasternia gravis : jika dibutuhkan dosis 1/10
atrakurium
d) Bedah singkat : atrakurium, rokuronium,
mivakuronium
e) Kasus obstetric : semua dapat digunakan, kecuali
gallamin
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
12
a) Cegukan (hiccup).
b) Dinding perut kaku.
c) Ada tahanan pada inflasi paru.
3) Analgetik Narkotik (OPIOID)
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika
yang sering digunakan dalam anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat
pembedahan dan nyeri pasca pembedahan.
- Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat
(morfin), tetapi penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain
menjadi natural (morfin, kodein, papaverin, dan tebain), semisintetik
(heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan sintetik (petidin,
fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
a) Morfin
Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid
lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting).
Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi dan
stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan
emosi, hipoventilasi alveolar stimulasi termasuk stimulasi
parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal,
konvulsi, dan sekresi hormone antidiuretik (ADH). Terhadap Sistem
Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan berakibat
bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik
pada dewasa sehat normal tidur terlentang hampir tidak
mengganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin menyebabkan
hipotensi ortostatik. Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati,
karena morfin dapat melepaskan histamine, sehingga menyababkan
konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di indikasi-kontrakan pada kasus
13
asma dan bronchitis kronis. Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal,
morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli yang berakibat
retensio urin.
b) Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya
sangat berbeda dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan
efek samping yang mendekati sama. Perbedaannya dengan morfin
sebagai berikut:
(1) Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin
yang lebih larut dalam air.
(2) Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan
normeperidin, asam meperidinat dan asam normeperidinat.
Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah
berkurang 50%. Kurang dari 10% petidin bentuk asli ditemukan
dalam urin.
(3) Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca
bedah yang tak ada hubungannya dengan hipotermi dengan dosis
20-25 mg iv pada dewasa. Morfin tidak.
(4) Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih
kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5
mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi.
Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan
untuk analgesia spinal pada pembedahan dengan dosis 1-2
mg/kg BB.
c) Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan
100xmorfin. Lebih larut dalam lemak dibandingkan petidin dan
menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan
intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama
14
dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama
melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati dengan N-dealkilasi dan
hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek
depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3
ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena
itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk
pasca bedah. Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi
anesthesia dan pemeliharaan anesthesia dengan kombinasi
bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
d) Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah
pada reseptor mu dan kelamahan analgesinya 10-20% dibanding
morfin. Tramadol dapat diberikan dengan dosis maksimal 400 mg
per hari.
e) Antagonis
(1) Nalokson
Nalokson ialah antagonis murni opioid dan bekerja oada reseptor
mu, delta, kappa, dan sigma. Pemberian nalokson pada pasien
setelah mendapat morfin akan terlihat laju napas meningkat,
kantuk menghilang, pupil mataa dilatasi, tekanan darah kalu
sebelumnya rendah akan meningkat. Nalokson biasanya
digunakan untuk melawan depresi napas pada akhir pembedahan
dengan dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang
tiap 3-5 menit, sampai ventilasi dianggap baik. Dosisi lebih dari
0,2 mg jarang digunakan. Dosis intramuscular 2x dosis
intravena.pada keracunan opioid nalokson dapat diberikan per-
infus dosis 3-10ug/kgBB.
Untuk depresi napas neonates yang ibunya mendapat opioid
berikan nalokson 10 ug/kgBB dan dapat diulang setelah 2 menit.
15
Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml,
sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.
3. Persiapan dan Penilaian Praanestesi
a. Persiapan Tindakan Anestesi
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan
wawancara (anamnesis) seperti menanyakan apakah pernah mendapat
anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas,
dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan
gigi – geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek.
Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit,
masa pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan
dengan status anestesi menurut The American Society Of
Anesthesiologist(ASA). Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan
darurat dengan mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ),
misalnya ASA IE atau IIE.
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif,
pengosongan lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam,
bayi 3 – 4 jam. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat
dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara lain yaitu
menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium
trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus
dalam keadaan kosong sehingga perlu dipasang kateter. Sebelum pasien
masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien atau keluarga sudah
memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
16
b. Penilaian Pra-Bedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang
identitas yang dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis
bagian tubuh yang akan dioperasi.
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang
perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri
otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga kita dapat
merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik. Kebiasaan merokok
sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin yang
mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk
mengaktifkan kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk
mengurangi produksi sputum. Kebiasaan minum alcohol juga harus
dicurigai akan adanya penyakit hepar.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor,
misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb, leukosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
4) Kebugaran untuk anestesi
17
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan
agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito
penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
5) Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan risiko
anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
ASA I Pasien dalam keadaan normal dan sehat, kecuali
penyakit bedahnya
ASA II Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lain.
Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan
lekositosis dan febris.
ASA III Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diakibatkan karena berbagai penyebab.
Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia
miokardium.
ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya. Contohnya :
Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun
dioperasi atau tidak. Contohnya : pasien tua dengan
perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena
ruptur hepatik.
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan huruf E.
18
Tujuan dari penggolongan pasien berdasarkan ASA adalah untuk
menentukan status fisik pasien tersebut dalam menjalani operasi
sehingga anestetis dapat menentukan teknik, obat, dan persiapan yang
diperlukan serta menentukan penyulit yang mungkin akan timbul pada
saat intra dan post operatif yang mana dapat ditanggulangi atau dicegah.
6) Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama pada pasien-pasien yang mengalami anesthesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan diri masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anesthesia. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dan dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia.
c. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari
anesthesia diantaranya:
1) Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2) Memperlancar induksi anesthesia.
3) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada
situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menentramkan hati pasien. Obat pereda
kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum
induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat diberikan
opioid misalnya petidin 50 mg intramuscular.
19
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis
reseptor H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidine
(zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansetron 2-4 mg (zofran,narfoz).
4. Intra Operatif dan Monitoring
a. Induksi
Induksi adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke
stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel). Merupakan tindakan untuk
membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anesthesia dan pembedahan.
Ko-induksi adalah setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi
anestesi. Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit
sebelum induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS
(Scope, Tubes, Airway, Tape, Introducer, Connector dan Suction).
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
1) Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan 30-60 detik. Selama induksi
anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
2) Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau dewasa yang takut disuntik.
20
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan
O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran
N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol %
sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk konsentrasi
halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi
sampai konsentrasi yang diperlukan. Induksi dengan sevofluran lebih
disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun langsung diberikan
dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran
jarang dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi
lama.
3) Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar)
yang dapat diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB
dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
4) Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau
midazolam. Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu
mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
b. Teknik Anestesi Umum
1) Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
a) Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
b) Keadaan umum baik (ASA I – II)
c) Lambung harus kosong
2) Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi ; operasi
lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
21
3) Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar-benar tidak bisa bernafas dan pasien
dikontrol pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x
permenit. Setelah operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa
nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
a) Teknik sama dengan diatas
b) Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
c) Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
c. Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan
cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika
konsentrasi obat tinggi maka akan dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya
jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat anestesi yang
dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman
anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi. Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada
trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh
otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi
pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama
dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan
udara+O2 atau N20+O2.
22
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1
ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol%
atau sovofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
Tanda-tanda klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1) Peningkatan tekanan darah.
2) Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3) Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4) Terdapat pergerakan.
5) Berkeringat.
d Monitoring Intraoperatif
1) Kardiovaskuler
Fungsi jantung dapat diperkirakan dari hasil observasi nadi, bunyi
jantung melalui stetoskop precordium atau oesofagus, pemeiksaan EKG,
tekanan darah arteri, tekanan darah vena pusat, produksi urine dan
pengukuran tekanan darah langsung (intra arteri).
Melakukan monitoring frekuensi dan ritme nadi dapat dilakukan dengan
mudah misalnya dengan meraba A. temporalis, A. radialis, A. carotis
atau dengan mendengar langsung melalui stetoskop precordium.
Pemeriksaan EKG selama anestesi dilakukan untuk memonitoring
perubahan frekuensi dan ritme jantung, serta system konduksi jantung.
Perlu atau tidaknya pemeriksaan ini tergantung dari kelainan jantung
pasien dan sarana yang tersedia. Indikasi monitoring EKG selama
anestesi adalah :
a) Mendiagnosa adanya henti jantung
b) Mencari adanya aritmia
c) Diagnosis iskemik miokard
d) Dapat memberikan gambaran perubahan elektrolit seperti
hypokalemia dan sebagainya.
e) Observasi fungsi alat pacu jantung
23
Tekanan darah dihitung dengan satuan mmHg. Tekanan tertinggi disebut
sistole dan terendah diastole. MAP adalah tekanan darah arteri rata-rata
dengan nilai normal 65-110. Rumus MAP :
MAP = Tekanan sitole + 2 Tekanan Diastole
3
Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan tekanan darah :
a) Ventilasi : ventilasi kendali sedikit menurunkan tekanan darah.
b) Posisi : pada posisi berdiri tekanan darah di lengan lebih rendah dari
pada di kaki.
c) Usia : bayi mempunyai tekanan darah sistolik 60 mmHg, kemudian
makin meningkat dengan bertambahnya usia.
Produksi urin dalam anestesi dipengaruhi oleh zat anestetik, tekanan
darah, volume darah, hidrasi pasien dan faal ginjal sendiri. Jumlah urin
normal 1 mm/kg BB/ jam. Kalau urine di tamping dengan kateter, harus
dijaga sterilitas agar tidak terjadi infeksi, karena kateter sering dipasang
sampai beberapa hari. Selama anestesi dan pembedahan kita harus
mengawasi warna perdarahan, apakah merah tua, atau merah muda.
Selain itu jumlah perdarahn harus dihitung, baik dari botol penghisap
ataupun dari kasa operasi yang mengandung darah dan dari kain duk dan
jas bedah. Perhitungan jumlah perdarahan dari kasa yang di timbang di
perkirakan 1 gr darah dianggap sama dengan 1 ml darah, dengan
kesalahan 25%.
2) Respirasi
Pernafasan dinilai dari jenis pernafasan , apakah torakal atau abdominal,
apakah ada nafas paradoksial, apakah ada retraksi intercostal atau
pernafasan seperi spasme laring, ronki dan sebagainya. Perlu juga dinilai
freekuensi pernafasannya.
3) Suhu
Tubuh tidak mampu mempertahankan suhu. Obat anestesi mendepresi
pusat pengaturan suhu (susunan saraf pusat), sehinnga mudah turun naik
dengan perubahan suhu lingkungan dan teknik anestesi yang di berikan.
24
Monitoring suhu jarang dilakukan kecuali pada bayi atau anak kecil,
pasien yang demam, teknik anestesi dengan hipotermi buatan. Dalam
keadaan anestesi, banyak hal yang mempengaruhi pengaturan suhu tubuh
antara lain :
a) Jenis sirkuit anestesi (sirkuit tertutup maka produksi panas
meningkat).
b) Tebal dan lebarnya kain penutup operasi.
c) Intensitas lampu operasi.
d) Suhu kamar operasi.
5. Pengakhiran Anestesi dan Monitoring Post Operatif
a. Pengakhiran Anestesia
1) Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi
berakhir (pada penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah
kulit dijahit).
2) FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
3) Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
4) Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan
telah kembali (antagonisasi dari relaksasi otot).
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik dimasukkan ke
ruangan pasca-bedah.
b. Monitoring Post Operatif
Hampir sama dengan monitoring intra operasi, tetapi di dalam post op
terdapat penilaian pemulihan anestesi yang disebut Alderet Score.
TANDA KRITERIA NILAI
AKTIFITAS - Dapat menggerakkan ke 4
anggota badan sendiri/dengan
- Dapat menggerakkan ke 2
2
25
anggota badan sendiri /dengan
perintah
- Tidak dapat menggerakkan
anggota badan
1
0
RESPIRASI - Dapat napas dalam &batuk bebas
- Dispnoe /napas terbatas
- Apnoe
2
1
0
SIRCULASI - TD ± 20% dari pre anestesi
- TD ± 20% -50 % dari pre anestesi
- TD ± 50% dari pre anestesi
2
1
0
KESADARAN - Sadar penuh
- Dapat di bangunkan bila di
panggil
- Tidak bereaksi
2
1
0
SATURASI
O2
- >90% dengan udara bebas
- Dengan O2 untuk menjaga SpO2
>90%
- SpO2 <90% dengan tambahan O2
2
1
0
TOTAL 10
Secara umum sama dengan moni
Keterangan : Jika nilai > 8 tanpa ada nilai 0 pasien boleh pindah keruangan,
jika nilai <7 klien pindah ke ICU
26
Indikasi
1. Operasi durasi lama2. Operasi daerah mulut dan wajah3. Operasi bagian tubuh umbilicas ke atas4. Operasi pada pasien puasa kurang5. Operasi yang membutuhkan relaxasasi otot
Menghambat neurotransmitter ScH ekstasi
Penurunan kesadaran
Ganguan pada aliran ion kalium dan klorida
Distribusi dalam pembuluh darah
Menempati resptor AcH
Non-depol tidak menempati reseptor tapi memblokade lansung din euro junction sehingga menghalangi ikatan AcH + reseptorSehingga tidak ada
ikatan antara AcH dengan resptornya
Obat masuk
Mendepresi sistem pengaktivasi retikuler di batang otak
Obat masuk
Berkaitan dengan resptor spesifik disepanjang SSP dengan jaringan lain
Depolarizing Non-depolarizing
Obat masuk
Obat masuk
Distribusi di pembuluh darah
TRIAS ANESTESI
Analgetik(penghambat nyeri)
Muscale Relaxan( relaksasi otot lurik )
Hipnotik(penurunan kesadaran)
6. Pathway Anestesi Umum
27
TIVA COMBAINT VIMA
Gangguan transmisi dari impuls nyeri
ANASTESI UMUM
Tidak ada gerak motorik
Tanda-tanda :
respon nyeri hilang
Tanda-tanda :
Tidak ada fasikulasi otot,tidak gerakan dada
Tidak ada pergerakan motorik karna tidak ada ikatan AcH+reseptor
Tanda-tanda :
Fasikulasi otot
B. KONSEP DASAR FRAKTUR MAXILLA
1. Pengertian
28
Fraktur ialah hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan keras tubuh
(Grace and Borley, 2007). Berdasarkan anatominya wajah atau maksilofasial dibagi
menjadi tiga bagian, ialah sepertiga atas wajah, sepertiga tengah wajah, dan
sepertiga bawah wajah . Bagian yang termasuk sepertiga atas wajah ialah tulang
frontalis, regio supra orbita, rima orbita dan sinus frontalis. Maksila, zigomatikus,
lakrimal, nasal, palatinus, nasal konka inferior, dan tulang vomer termasuk ke
dalam sepertiga tengah wajah sedangkan mandibula termasuk ke dalam bagian
sepertiga bawah wajah (Kruger, 1984).
2. Dasar Anatomi
Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding
penopang (buttress)vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang
lebih tebal yang menyokong unitfungsional wajah (otot, mata, oklusi dental,
airway) dalam relasi yang optimal dan menentukanbentuk wajah dengan cara
memproyeksikan selubung soft tissue diatasnya. Vertical buttressesterdiri dari
sepasang maksilari lateral (+ dinding orbital lateral) atau zygomatic
buttress,maksilari medial (+ dinding orbital medial) atau nasofrontal buttress,
pterygomaxillary buttress,dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress.
Horizontal buttresses juga terdiri darisepasang maksilari tranversal atas (+ lantai
orbital), maksilari transversal bawah (+ palatum),mandibular transversal atas dan
mandibular tranversal bawah.
Gambar 2: Kerangka wajah
29
Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang
berkontribusiterhadap pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbit, hidung,
dan palatum. Maksilaberlubang pada aspek anteriornya untuk menyediakan celah
bagi sinus maksila sehinggamembentuk bagian besar dari orbit, nasal fossa, oral
cavity, dan sebagian besar palatum, nasalcavity, serta apertura piriformis. Maksila
terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal,zygomatic, palatina, adan alveolar.
Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar. Padamasa anak-anak,
ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan mebesar
danmenembus sebagian besar struktur sentral pada wajah.
3. Klasifikasi Fraktur Maxilla
a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah (Fonseca, 2005)
Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah.
b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang
palatina, dan tulang nasal. Tulang-tulang maksila membantu dalam
pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga mulut dan nasal dan
juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar
sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di
sepertiga tengah wajah ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena
fraktur.Fraktur Le Fort dibagi atas 3, yaitu :
1) Le Fort I
Pada fraktur lefort tipe satu alveolus, bagian yg menahan gigi pada rahang
atas terputus, dan mungkin jatuh ke dalam gigi bawah. Ketidaksetabilan
terjadi jika dilakukan pemeriksaan fisik pada hidung dan gigi incisivus.
Garis Fraktur berjalan dari sepanjang maksila bagian bawah sampai dengan
bawah rongga hidung. Disebut juga dengan fraktur “guerin”. Kerusakan
yang mungkin :
a) Prosesus arteroralis
b) Bagian dari sinus maksilaris
c) Palatum durum
30
d) Bagian bawah lamina pterigoid
Gambar 3. Le fort 1
2) Le Fort II
Pada tipe dua terdapat ketidakstabilan setinggi os. Nasal. Garis fraktur
melalui tulang hidung dan diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita,
pinggir infraorbita dan menyeberang ke bagian atas dari sinus maksilaris
juga kea rah lamina pterogoid sampai ke fossa pterigo palatine. Disebut juga
fraktur “pyramid”. Fraktur ini dapat merusak system lakrimalis, karena
sangat mudah digerakkan maka disebut juga fraktur ini sebagai “floating
maxilla (maksila yang melayang) ”
Gambar 4. Le Fort 2
3) Le Fort III
31
Pada tipe tiga, fraktur dengan disfungsi kraniofacial komplit. Tipe fraktur
ini mungkin kombinasi dan dapat terjadi pada satu sisi atau dua sisi. Garis
Fraktur melalui sutura nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction
melalui fissure orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral ke orbita,
sutura zigomatikum frontal dan sutura temporo-zigomatikum. Disebut juga
sebaga “cranio-facial disjunction”. Merupakan fraktur yang memisahkan
secara lengkap sutura tulang dan tulang cranial. Komplikasi yang mungkin
terjadi pada fraktur ini adalah keluarnya cairan otak melalui atap ethmoid
dan lamina cribiformis.
Gambar 5. Fraktur Le Fort III
a) Fraktur Sepertiga Atas Wajah
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita,
rima orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat
depressed ke dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat
meluas ke daerah wajah yang lain.
b) Fraktur Dentoalveolar (Fonseca, 2005; Andreasen et al., 2007)
Fraktur dentoalveolar sering terjadi pada anak-anak karena terjatuh saat
bermain atau dapat pula terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
Struktur dentoalveolar dapat terkena trauma yang langsung maupun tidak
langsung. Trauma langsung biasanya dapat menyebabkan trauma pada
gigi insisif sentral maksila karena berhubungan dengan posisinya yang
terekspos.
D. Etiologi
32
1. Terjadinya fraktur pada daerah 1/3 tengah wajah adalah karena yang hebat,
tetapi kebanyakan oleh oleh karena kecelakaan lalu lintas.
2. Fraktur maksilofasial dapat diakibatkan karena tindak kejahatan atau
penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olahraga dan industri, atau
diakibatkan oleh hal yang bersifat patologis yang dapat menyebabkan rapuhnya
bagian tulang (Fonseca, 2005).
3. Fraktur pada midface seringkali terjadi akibat kecelakan kendaraan bermotor,
terjatuh, kekerasan, dan akibat trauma benda tumpul lainnya.4 Untuk fraktur
maksila sendiri, kejadiannya lebih rendah dibandingkan dengan fraktur midface
lainnya. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rowe dan Killey pada tahun
1995, rasio antara fraktur mandibula dan maksila melebihi 4:1. Beberapa studi
terakhir yang dilakukan pada unit trauma rumah sakit-rumah sakit di beberapa
negara menunjukkan bahwa insiden fraktur maksila lebih banyak terkait dengan
fraktur mandibula.2 Data lainnya juga dilaporkan dari trauma centre level 1,
bahwa diantara 663 pasien fraktur tulang wajah, hanya 25.5% berupa fraktur
maksila.
E. Pathway
33
G. Diagnosis dan Gambaran Klinis
34
Mobilitas dan maloklusi merupakan hallmark adanya fraktur maksila.
Namun, kurangdari 10 % fraktor Le Fort dapat terjadi tanpa mobilitas maksila.
Gangguan oklusal biasanyabersifat subtle, ekimosis kelopak mata bilateral biasanya
merupakan satu-satunya temuan fisik.Hal ini dapat terjadi pada Le Fort II dan III
dimana disrupsi periosteum tidak cukup untukmenimbulkan mobilitas maksila.
Anamnesis jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan
sebelum pasientiba di departemen emergency. Pengetahuan tentang mekanisme
cedera memungkinkan dokteruntuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera
primer. Waktu diantara cedera ataupenemuan korban dan inisiasi treatment
merupakan informasi yang amat berharga yangmempengaruhi resusitasi pasien.
Tanda-tanda patah pada tulang rahang meliputi :
1. Dislokasi, berupa perubahan posisi rahang yg menyebabkan maloklusi atau
tidak berkontaknya rahang bawah dan rahang atas
2. Pergerakan rahang yang abnormal, dapat terlihat bila penderita menggerakkan
rahangnya atau pada saat dilakukan
3. Rasa sakit pada saat rahang digerakkan
4. Pembengkakan pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah
fraktur.
5. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung
tulang yang fraktur bila rahang digerakkan
6. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
7. Discolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan
8. Disability, terjadi gangguan fungsional berupa penyempitan pembukaan mulut.
9. Hipersalivasi dan Halitosis, akibat berkurangnya pergerakan normal mandibula
dapat terjadi stagnasi makanan dan hilangnya efek “self cleansing” karena
gangguan fungsi pengunyahan.
10. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah
nervus alveolaris.
11. Inspeksi. Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral), edema,
danhematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke bawah dan
35
belakangmengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada pergigian posterior.
12. Palpasi. Palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada
suturazygomaticomaxillary, mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior.
13. Manipulasi Digital. Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara
memegang dengankuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan
keempat jari lainnya, sedangkan tanganyang satunya menjaga agar kepala
pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akanterdengar suara
krepitasi jika terjadi fraktur.
14. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea. Cairan serebrospinal dapat
mengalamikebocoran dari fossa kranial tengah atau anterior (pneumochepalus)
yang dapat dilihat padakanal hidung ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial
tengah atau anterior biasanya terjadipada cedera yang parah. Hal tersebut dapat
dilihat melalui pemeriksaaan fisik dan radiografi.
15. Maloklusi Gigi. Jika mandibula utuh, adanya maloklusi gigi menunjukkan
dugaan kuatke arah fraktur maksila. Informasi tentang kondisi gigi terutama
pola oklusal gigi sebelumnyaakan membantu diagnosis dengan tanda maloklusi
ini. Pada Le Fort III pola oklusal gigi masihdipertahankan, namun jika maksila
berotasi dan bergeser secara signifikan ke belakang danbawah akan terjadi
maloklusi komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.
Fraktur pada sepertiga tengah wajah pasien mempunyai gambaran yang tidak
menguntungkan karena dapat menyebabkan:
1. Sering terjadi fraktur multipel berbentuk fragmen 50 atau lebih.
2. Cedera pada saraf cranial yaitu pada: saraf gigi infraorbital dan superior.
3. Ethmoid, mungkin terjadi fraktur atau duramater robek yang menyebabkan
rhinorrhea
4. Orbita, mungkin terjadi fraktur orbital blow out syndrome
5. Sirkulasi pada mata terganggu sehingga menyebabkan opthalmic canal
syndrome.
6. Sinus maksilaris mungkin penuh dengan darah.
7. Duktus nasolakrimalis mungkin cedera
36
G. Jenis Pemeriksaan
Pemeriksaan Radiologi,pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara
klinis,pemeriksaan radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.
Pemeriksaan radiologi dapatberupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan
untuk pemeriksaan diagnostik. Teknikyang dipakai pada foto polos diantaranya;
waters, caldwell, submentovertex, dan lateral view.
Jika terjadi fraktur maksila, maka ada beberapa kenampakan yang mungkin akan
kita dapat darifoto polos. Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus
maksila, pemisahan pada rimaorbita inferior, sutura zygomaticofrontal, dan daerah
nasofrontal. Dari film lateral dapat terlihatfraktur pada lempeng pterigoid. Diantara
pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untukmenilai fraktur maksila adalah
dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapatdigunakan untuk
mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya cairan pada sinusmaksila
bilateral menimbulkan kecurigaan adanya fraktur maksila.
Dibawah ini merupakan foto CT scan koronal yang menunjukkan fraktur Le Fort
I,II, danIII bilateral. Dimana terjadi fraktur pada buttress maksilari medial dan
lateral di superior maupuninferior (perpotongan antara panah hitam dan putih).
Perlu dilakukan foto CT scan aksial untukmengkonfirmasi diagnosis dengan
mengamati adanya fraktur pada zygomatic arch dan buttresspterigomaksilari.
Gambar 6. CT Scan Koronal
Banyaknya komponen tulang yang terlibat dalam fraktur maksila, membuat
klasifikasi inicukup sulit untuk diterapkan. Untuk memudahkan tugas dalam
37
mengklasifikasikan frakturmaksila, terdapat tiga langkah yang bisa diterapkan.
Pertama, selalu memperhatikan prosesuspterigoid terutama pada foto CT scan
potongan koronal. Fraktur pada prosesus pterigoid hampirselalu mengindikasikan
bahwa fraktur maksila tersebut merupakan salah satu dari tiga fraktur LeFort.
Untuk terjadinya fraktur Le Fort, prosesus pterigoid haruslah mengalami disrupsi.
Kedua,untuk mengklasifikasikan fraktur tipe Le Fort, perhatikan tiga struktur
tulang yang unikuntuk masing-masing tipe yaitu; margin anterolateral nasal fossa
untuk Le Fort I, rima orbitainferior untuk Le Fort II, dan zygomatic arch untuk Le
Fort III. Jika salah satu dari tulang inimasih utuh, maka tipe Le Fort dimana fraktur
pada tulang tersebut merupakan ciri khasnya, dapatdieksklusi. Ke-tiga, jika salah
satu tipe fraktur sudah dicurigai akibat patahnya komponen uniktipe tersebut, maka
selanjutnya lakukan konfirmasi dengan cara mengidentifikasi fraktur-
frakturkomponen tulang lainnya yang seharusnya juga terjadi pada tipe itu.
Skema dibawah ini menunjukkan komponen unik untuk masing-masing tipe Le
Fort.Pada Le Fort I, margin anterolateral nasal fossa (tanda panah) mengalami
fraktur, struktur initetap utuh pada Le Fort II dan III. Sedangkan pada Le Fort II,
rima orbita inferior (tanda panah)yang mengalami fraktur, tapi utuh pada Le Fort I
dan III. Pada Le Fort III, yang mengalamifraktur adalah zygomatic arch (tanda
panah) namun utuh pada Le Fort I dan II.
Gambar 7. Komponen Unik Masing-Masing Tipe Le Fort
C. KONSEP DASAR INTERMAXILARI FIXATION
38
Fiksasi intermaksilar umumnya menggunakan arch-bar yang dicekatkan pada
gigi geligi dengan bantuan kawat baja tahan karat.Akan tetapi, baik pasien maupun
operator beresiko terinfeksi akibat tertusuk kawat yaitu pada sarung tangan dan jari
operator.Banyaknya kawatyang diperlukan, membutuhkan banyakwaktu untuk
pemasangan, demikian pulauntuk pengangkatannya kemudian.Kawat-kawattersebut
juga menimbulkan rasatidak nyaman dan kesulitan memeliharakebersihan gigi dan
mulut serta menggangguestetika (Gambar 2).
( Sumber : Majalah Kedokteran FK UKI 2012 Vol XXVIII No.2 )
Pada tahun 1997, Karlis, menemukan inovasi desain baru system fiksasi
intermaksilar menggunakan screw kecil berdiameter 2 mm, panjang 8-12 mm, berupa
titanium-alloy bone screw. Pada kepala screw terdapat lubang, yang memungkinkan
akan menstabilkan fragmen fraktur dengancekat. Gambar 3 memperlihatkan kawat
cekat sebagaimana pada penggunaan arch-bardalam keadaan gigi geligi oklusi.Screw
39
digunakan hanya untuk fiksasi intermaksilaris pada perawatan kasus frakturmandibula
tertentu saja,yaitu:
1) Fraktursederhana, tanpa pergeseran atau hanyamaloklusi ringan yang hanya
memerlukantraksi ringan.
2) Fraktur belum mengalamipenyatuan tulang atau masih fibrous union.
3) Lokasi fraktur terutama mandibular bagian yang bergigi atau disebut
toothbearingarea yaitu symphisis, parasymphisisdan corpus .
4) Penderita masihbergigi banyak atau lengkap. Bila pasientidak bergigi atau hanya
bergigi sedikit,pasien harus memiliki protesis, bila tidak,harus dibuatkan protesis
atau splint terlebihdahulu.
Kontra indikasi pemasangan screwadalah:
a) Osteoporosis pada mandibular dan maksila, karena diperlukan tulangyang
kompak untuk penjangkaran screw.
b) Fraktur berkeping-keping atau frakturdengan fragmen displaced yang
memerlukantraksi yang cukup besar.
c) Pasien allergimetal, karena screw titanium dipasang padarahang seperti implant.
d) Oklusi gigi asliataupun gigi palsu yang tidak stabil. Fiksasirahang harus dalam
keadaan gigi beroklusinormal.
e) Anak dengan gigi geligi susu/campuran, karena didalam rahang terdapatbenih gigi
permanen yang dapat tercederaioleh pemasangan screw. Bahan Titanium di dalam
tubuhsecara spontan membentuk lapisan tipisoksida setebal 10μm yang
melindunginyadari keasaman tubuh sehingga titaniummerupakan logam yang
paling tahan lama,tahan korosi dan tidak menimbulkan efekgalvanik.Titanium
aman ditanam dalamtulang, sebagai the preffered metal for boneappliances dan
telah digunakan secara luasseperti pada plate and screw osteosynthesisdan implan
gigi. Titanium merupakanbahan paling biocompatible, dan tidakditolak tubuh.
Berbeda dengan stainlesssteel (Fe-Cr-Ni alloy), yang merupakancorpus alienum,
dan memerlukan operasilagi untuk pengangkatannya. Titanium(CpTi) adalah
99,99% titanium murni yangbebas korosi.Gejala seperti nyeri, infeksi,
logamlonggar/berubah letak sangat jarang terjadisehingga dinyatakan sepanjang
asimtomatikatau tidak timbul keluhan, tidak diperlukanpengangkatan alat
40
tersebut.Pemasangan screw yang tidak memerlukanpengeboran (drill-free/self-
tapping), akanmenghemat waktu dan menghilangkantahapan pengeboran dalam
pemasangannya.Keuntungan lain adalah terhindarnya cederapada nervus, gigi,
benih gigi atau nekrosistulang akibat putaran bor. Demikian pulaterhindar dari
kesalahan pada pengeboranmisalnya pemilihan diameter bor yang terlalu besar.
1. Bahan yang Diperlukan:
Screw titanium diameter 2 mm, panjang 8-12 mm, paling sedikit 2-4 buah.
Jumlah dan panjang screw disesuaikan dengan kebutuhan yang penjangkaran
dan stabilisasi screw yang maksimal. Selain itu diperlukan bor tulang diameter
1,5 mm, untuk membuat pilot hole, bila korteks sangat kompak.6-8 Diperlukan
pula beberapa buah kawat yang lunak diameter 0.5 mm panjang 10 cm yang
jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.
2. Prosedur Pemasangan Screw dan KawatFiksasi Intermaksilar.
Pada lokasi screw yang akan dipasang. Lokasi pemasangan screw
diperhitungkan pada daerah yang akan menghasilkan efek stabilisasi maksimal.
Secara anatomis, pemasangan harus dilakukan pada strukturtulang yang sehat
dan kompak.Harus dihindari struktur vital seperti apeks gigi, benih gigi, dan
kanalis mandibula karena didalamnya berjalan nervus, arteri dan vena alveolaris
inferior, serta mukosa nasal, dan sinus maksilaris. Pada maksila screw
ditempatkan di pyriform rim, di sebelah superior dan di antara apeks gigi. Pada
mandibula screw ditempatkan di regio symphisis antara foramen mentale kiri-
kanan, atau region corpus, di area inferior apeks gigi geligi dan kanalis
mandibula. Pada lokasi yang telah ditentukan, setelah diolesi larutan betadin
10%, dibuat insisi kurang lebih 2 mm pada mukosa mulut dan periosteum.Bila
diperlukan, dibuat lubangdengan bor pada korteks tulang tersebut.Pengeboran
dilakukan dalam kecepatan rendah sambil diteteskan larutan saline/ aquadest
steril untuk menghindari nekrosis tulang akibat panas. Selanjutnya
screwdipasangkan menggunakan screw driver.Permukaan screw titanium yang
kasar,memudahkannya berintegrasi maksimaldengan tulang (osseo-integrated).
Bagiankepala screw yang terletak dipermukaanmukosa, licin berkilat sehingga
41
debris tidakmudah melekat. Setelah fragmen frakturdi reposisi, yang ditandai
dengan oklusinormal gigi atas dan bawah, selanjutnyaposisi tersebut
dipertahankan dengan kawatmelalui lubang yang terdapat pada screwdi
mandibula dihubungkan vertikal denganscrew pada maksila. Kemudian
keduanyadipuntir menggunakan wire-twister sampaiBila diperlukan traksi maka
digunakanrubber ligature (elastik) yang dilingkarkanpada kepala screw
lawannya.Sebagaimana pada penggunaan archbar.Screwdipertahankan sampai
terjadi konsolidasipenyatuan tulang yang sempurna secaraklinis. Selama 4
sampai 8 minggu, dilakukanpemeriksaan berkala seminggu sekali untukmenilai
oklusi, pengencangan kawat yanglonggar, atau penggantian rubber
ligaturedengan kawat.Setelah kurun waktu tersebut, bilaoklusi tetap baik dan
stabil, dilakukanpengangkatan screw. Luka pada mukosaakan menutup sendiri.
Pasien dimotivasiuntuk berlatih membuka lebar mulut danmembersihkan rongga
mulut denganseksama.
BAB III
42
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PERIOPERATIF PADA Tn.A
DENGAN GANGGUAN SISTEM MUSKOLUSKELETAL AKIBAT FRAKTUR
MAKSILA, AKAN DILAKUKAN TINDAKAN PEMASANGAN ARCH BER DI
IBS RUMAH SAKIT UMUM KELAS B KAB. SUBANG
I. PENGKAJIAN
Pre Operasi
A. Pengumpulan Data
1. Identitas Klien
Nama : Tn. A
Umur : 65 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Sunda/Indonesia
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Limaratus 03/04 Sindangsari
Ruangan : Ruang Dahlia
DX. Medis : Fraktur Maxillaris
No. Reg : 15264506
Tanggal Masuk : 01 Agustus 2015 Jam 14.00 WIB
Tanggal Pengkajian : 01 Agustus 2015 Jam 14.30 WIB
Tanggal Operasi : 02 Agustus 2015 Jam 08.00 WIB
43
Jenis Pembedahan : Pemasangan Arch Ber
Dokter Bedah : dr. Y. Sp.BM
Dokter Anestesi : dr. A. Sp.An, KIC
Asisten Bedah : Br. M, Br. N
Asisten Anestesi : Sr. E
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Ny. D
Umur : 62 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Hubungan Keluarga : Istri Klien
Alamat : Limaratus 03/04 Sindangsari
B. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Nyeri pada mulut bagian atas (Maxillaris).
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien datang ke IGD tanggal 01 Agustus 2015 pukul 14.00 WIB karena
mengalami kecelakaan lalu lintas tertabrak mobil saat berjalan kaki
hendak menyebrang jalan. Saat kejadian Klien sadar, tidak muntah dan
terdapat kelainan berupa gusi depan sebelah kanan menjolor kebelakang
dan terlihat mau terlepas, luka lecet dibagian pipi sebelah kanan disertai
bengkak. Klien terlihat lemas dan pucat. Di IGD klien dipasang infus
pada tangan kanan dengan cairan RL, dan dipasang NGT. Setelah
dilakukan pemeriksaan Foto Rotgen dan Lab klien dinyatakan
44
mengalami Fraktur Maxilla dan disiapkan untuk tindakan Arch Ber
Intermaxillaris Fixation. Setelah itu pada tanggal 02 Agustus 2015 klien
di kirim ke Instalasi Bedah Sentral jam 08 WIB untuk segera dilakukan
tindakan operasi.
c. Riwayat Kesehatan Pada Saat di kaji
Klien mengatakan nyeri pada bagian mulut atas. Nyeri dirasakan seperti
berdenyut-denyut. Nyeri dirasakan di mulut bagian atas. Skala nyeri
yang dirasakan klien 7 dari (0-10). Nyeri dirasakan pada saat bicara dan
menggerakan rongga mulut.
d. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Keluarga klien mengatakan pasien belum pernah dioperasi dan
dianestesi sebelumnya dan klien tidak mempunyai riwayat alergi,
riwayat asma,tetapi pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak umur 40
tahun.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien mengatakan kluarga klien belum pernah mengalami hal yang
sama yang terjadi pada klien. Tapi ayah klien memiliki riwayat
hipertensi.
f. Pola aktivitas sehari-hari
No Jenis Aktivitas Dirumah Di Rumah Sakit
1. Nutrisi
a. Makan
Frekuensi
Jenis
Porsi
Keluahan
Pantangan
b. Minum
Frekuensi
Jumlah
3x /hari
Nasi + sayur + lauk
1 porsi / piring
Tidak ada
Tidak ada
7-8 gelas / hari
1500 ml / hari
(Puasa)
Terpasang NGT dan IV
line
RL dan D5%
500 ml dan 500 ml/hr
(Puasa)
Terpasang NGT dan IV
45
Jenis
Keluhan
Air putih,teh manis
Tidak ada
Line
RL 500 ml dan D5%
500 ml
2. Eliminasi
a. BAB
Frekuensi
Konsistensi
Warna
Keluhan
b. BAK
Frekuensi
Jumlah
Warna
Keluhan
1 x /hari
Lembek
Kekuning-kuningan
Tidak ada
4-5 x / hari
1200-1500 ml
Kuning jernih
Tidak ada
1 x / hari
Lembek
Kekuning-kuningan
Tidak ada
Dipasang Kateter
1000-1500 ml
Kuning keruh
Tidak ada
3. Istirahat Tidur
Siang
Malam
Keluhan
2 Jam
6-7 Jam
Tidak ada
2-3 Jam
6-7 Jam
Tidak ada
4. Personal Hygiene
Mandi
Gosok Gigi
Keramas
Gunting
Kuku
2 x / hari
2 x / hari
3 hari sekali
1 x seminggu
1 x hari
1 x hari
2 hari ini dirawat 1 x
keramas
Belum gunting kuku
Karena sehari sebelum
masuk RS klien sudah
menggunting kukunya.
5. Aktivitas Aktivitas selama
dirumah dilakukan
klien secara mandiri
Aktivitas sedikit masih
dapat dilakukan sendiri
tetapi lebih banyak
46
dibantu oleh keluarga
C. Pemeriksaan Fisik Singkat Prabedah
Keadaan Umum : Cukup
GCS : E : 4 M : 6 V :5, Compos Mentis
Tanda – Tanda Vital :
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Nadi : 65 x/menit
Suhu : 37 0C
Respirasi : 20 x/menit
BB : 60 kg
Tinggi Badan : 170 cm
Status Malampati : 2
ASA : 3
Leo port : 3
Pemeriksaan fisik yang sempat dilakukan :
Pengkajian Fisik Persistem
a. Sistem Pengindraan
Mata (Penglihatan)
Bentuk mata bulat ( simetris ) , sclera putih , konjungtiva anemis,
pupil isokor
Hidung (penciuman)
Warna sawo matang ,bentuk simetris, secret (-), nyeri tekan
(+),fungsi penciuman masih berfungsi dengan baik dan dpat
membedakan maca-macam bau.
Telinga (Pendengaran)
Bentuk dan ukuran simetris,fungsi pendengaran baik dan fapat
membedakan suara.
Lidah (Pengecapan)
47
Bentuk dan ukuran lidah smetris,fungsi pengecapan berfungsi dengan
baik dan dapat membedakan macam-macam rasa ( manis,asin,asam
dan pahit )
b. Sistem Pernafasan
Hidung kurang simetris, Ada pengeluaran cairan darah dari
hidung,frekuensi nafas 20 x/mnt,ronchi (-),wheezing (-).
c. Sistem Cardiovaskuler
Bunyi jantung: S1 dan S2 terdengar, murmur(-), dan gallop(-)
TD 140/90 mmHg; N: 65 x/menit.
Capillary refill < 3 detik
Mukosa bibir tidak tampak sianosis, dan kulit pucat
Bunyi nafas vesikuler +/+, mengi -/-, stridor -/-.
d. Sistem Persarafan.
Tingkat kesadaran klien : Compos Mentis
Nilai GCS 15 ( E:5,M:6,V:5 )
N I = Nervus Olfactorius
Klien dapat membedakan bau
N II = Nervus Optikus
Klien dapat melihat dengan jelas
N III = Nervus Occulomotorius
Klien sulit dapat bergerak kesegala arah
N IV = Nervus Trochealis
Klien dapat menggerakan mata ke atas dan ke bawah
N V = Nervus Trigeminus
Klien tidak dapat menguyah dengan baik.
N VI = Nervus Abdusen
Bola mata klien dapat bergerak kearah samping
N VII = Nervus Fasialis
Raut wajah klien tidak simetris
N VIII = Nervus Auditorius
Klien dapat mendengarkan suara denting jam
48
N IX = Nervus Glossopharingeus
Klien dapat merasakan sakit saat menelan .
N X = Nervus Vagus
Klien dapat menelan dengan baik meski nyeri
N XI = Nervus Asesorius
Klien dapat mengangkat bahu meskipun berat.
N XII = Nervus Hipoglossus
Klien susah menggerakkan lidah kesegala arah.
e. Sistem Pencernaan
Lesi pada gigi (+), Bentuk gigi tidak simetris , pembengkakan pada
daerah mulut (+),bentuk abdomen datar,dintensi abdomen (-),nyeri tekan
di perut kanan atas,tidak terjadi konstipasi,bising usus 8x/menit.
f. Sistem Muskoloskleletal.
Postur tubuh normal, ada pembekakan lebam di tubuh, sedangkan sendi
pada ekstremitas atas dan bawah tidak terjadi krepitasi,tidak terjadi
kelemahan otot lengan atas dan paha .
4 4
4 4
g. Sistem Urogenital
Klien terpasang kateter, jumlah urine 1000 ml/hari,warna urine kuning
keruh,bau khas urine,nyeri tekan daerah vesika urinaria (-),teraba massa
(-),
h. Sistem Reproduksi
Pembengkakan tidak ada,nyeri tekan (-), benjolan (-).
i. Sistem Integumen.
Kulit : Turgor kulit baik,kebersihan kurang,warna kulit sawo matang.
Kuku : keadaan kuku kotor, capirali refill time > 3 detik
49
Rambut : Distribusi rambut merata,rambut berwarna hitam dan
sedikit ada yang memutih ,kebersihan rambut baik .
j. Sistem Endokrin
Tidak terdapat benjolan dikelenjar tiroid.
D. Riwayat Psikologi.
a. Orang terdekat dengan klien adalah suami dan anak.
b. Interaksi dengan keluarga.
Pola Komunikasi : klien dapat berkomunikasi dengan baik
Pengambilan keputusan : keputusan klien dipertimbangkan kembali
oleh suami dan anak klien.
Kegiatan kemasyarakataan : Klien mengatakan semenjak klien sakit
kerabat dan tetangga klien sering mengunjunginya.
Dampak penyakit klien terhadap keluarga : Keluarga menjadi
khawatir keadaan klien saat ini.
Persepsi klien terhadap penyakinya.
a) Hal yang dipikirkan klien saat ini : klien mengatakan ingin
cepat sembuh dan pulang kerumah serta berkumpul kembali
dengan kelurga yang lain dirumah .
b) Harapan setelah menjalani penetalaksanaan :klien ingin cepat
sembuh dari penyakitnya.
c) Perubahan yang dirasakan setelah sakit : sedikit kesulitan
beraktifitas karena nyeri di perut kuadran atas.
E. Aspek kognitif klien dan keluarga
Klien mengatakan cemas menghadapi operasi .Tampak klien cemas
dan sering bertanya kepada perawat dan keluarga,klien tampak gelisah.
F. Pemeriksaan penunjang
50
Tabel 3.1
Hasil Lab Tanggal 01 agustus 2015
Rongent
Hasil ekspertise tanggal 01 agustus 2015: pasien mengalami fraktur maxilla.
II. ANALISA DATA
51
Jenis pemeriksaan Hasil Nilai normal
Hematology
Waktu pendrahan (BT)
Waktu pembekuan (CT)
Hemoglobin
Hematokrit
Jumlah leukosit
Jumlah trombosit
1,30
3,30
9,8
31
8.000
378.000
1-3
1-7
P:12-16 L:14-18
P:35-45 L:4-50
Dewasa : 5.000-
7.000 Bayi:7.000-
17.000
150.000-350.000
Karbohidrat
Glukosa 109 100-110
Faal ginjal
Ureum
Kreatinin
14
0,79
15-45
P:0,5-0,9 L:0,7-
1,20
Faal hati/jantung
Bilirubin total
Bilirubin
Bilirubin
Alkalicstatase
Protein
Albumin
Globulin
0,60
0,20
0,40
145
9,27
5,11
4,16
0,1-1,20
< 0,20
98-279
6,6-8,3
3,5-5,0
NO DATA ETIOLOGI MASALAH
1 PRE OPERATIF
DS:
- Klien mengeluh nyeri
pada rahang bagian atas
- Klien mengeluh nyeri
saat bicara.
DO
- Klien nampak meringis
- Terdapat nyeri pada
maxilla.
- Skala nyeri 7 (0-10)
TD : 140/90mmHg
R : 20x/menit
N : 65x/menit
S : 370C
Kecelakaan lalulintas
Trauma maxilla
Hemoragi intrakranial
cedera jaringan otak
TIK meningkat
Merangsang pembentukan zat
kimia : bradikinin, serotinin,
histamin, dan prostaglandin
Dihantarkan ke korteks cerebri
Gangguan rasa nyaman nyeri
Gangguan rasa
nyaman nyeri
2 PRE OPERATIF
DS:
- Klien merasa gugup
mengenai pembedahan
dan tindakan anestesi yg
Kurangnya
pengetahuan/imformasi
mengenai tindakan pembedahan
dan anestesi
Cemas
52
akan dilakukan
- Klien mengatkan kurang
mengerti tentang operasi
yang akan dilakukan.
- Klien mengatakan
semakin cemas melihat
kondisi lingkungan di
ruang operasi.
DO:
- Klien sering
menanyakan tentang
operasi dan pembiusan,
klien terlihat gelisah,
keringat dingin.
Pada saat di lakukan
pemeriksaan TTV di
premedikasi
TD : 140/80 mmhg
N : 112 x/menit
R : 26 x/menit
S : 35,50C
Klien banyak bertanya kepada
perawat tentang proses
operasi/pembiusan
Stressor meningkat
Cemas
3 INTRA OPERATIF
DS :
-
DO :
- Nadi 109 X/menit
Tindakan pembedahan
luka insisi, puasa, IWL
perdarahan
Resiko terjadinya
kekurangan cairan
tubuh
53
- tekanan darah 100/69
mmHg
- Cafirally refil time lebih
dari 2 detik
kekurangan volume cairan tubuh
4 POST OPERATIF
DS :
- Klien mengeluh nyeri
pada bagian rahang atas.
DO :
- Klien tampak meringis
- Keadaan Umum lemah
- Skala nyeri 5 dari (0-10)
TD : 130/74 mmhg
N : 86 x/menit
R : 24 x/menit
SPO2 : 99 %
Terputusnya kontinuitas jaringan
akibat proses pembedahan
Dihantarkan kesaraf tepi
Merangsang pembentukan zat
kimia : bradikinin, serotinin,
histamin, dan prostaglandin
Dihantarkan ke korteks cerebri
Nyeri dipersepsikan
Gangguan rasa
nyaman dan nyeri
III. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma maxilla
2. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/informasi mengenai
tindakan pembedahan dan anestesi
54
3. Resiko terjadi kekurangan cairan tubuh berhubungan dengan tindakan
pembedahan dan pendarahan preoperatif
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan akibat proses pembedahan
55
IV. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
tabel 3.4 Intervensi
56
57
No DiagnosaPerencanaan
Tujuan Intervensi Rasional
1. PRE OPERATIF
Gangguan rasa nyaman
nyeri berhubungan
dengan trauma maxilla
DS:
- Klien mengeluh nyeri
pada rahang bagian
atas
- Klien mengeluh nyeri
saat bicara.
DO
- Klien nampak
meringis
- Terdapat nyeri pada
bagian maxilla.
- Skala nyeri 7 (0-10)
TD : 140/90mmHg
R : 20x/menit
N : 65x/menit
S : 370C
Tupan : nyeri
berkurang
Tupen : setelah
dilakukan tindakan
keperawatan selama
2x60 menit nyeri
berkurang dengan
kriteria hasil:
- klien tampak
tenang
- skala nyeri 0
- TTV kembali
normal
1. pantau tingkat nyeri pada wajah,
nyeri terlokalisasi/ menyebar
pada wajah.
2. ajarkan pada klien tentang
alternatif lain untuk mengatasi
dan mengurangi rasa nyerinya.
3. kolaborasi dengan dokter untuk
pemberian obat analgetik
1. untuk mengetahui
tingkat nyeri dari
ekspresi wajah klien
2. Alternatif lain untuk
mengatasi nyeri,
pengaturan posisi, dan
sebagainya
3. dengan pemberian obat
analgetik diharapkan
nyeri klien berkurang
2. Cemas berhubungan
dengan kurangnya
pengetahuan/informasi
mengenai tindakan
Tupan:klien sudah
tidak cemas lagi
Tupen: setelah
dilakukan tindakan
1. Kaji tingkat pengetauan pasien 1. mengetahui tingkat
pengetahuan pasien
terhadap tindakan
operasi yang akan
V. IMPLEMENTASI
tabel 3.5 implementasi
Tanggal/Jam DP Implementasi Paraf
01 Agustus
2015
Jam 14.30
Jam 14.50
Jam 15.20
1 1. Memantau tingkat nyeri pada wajah, nyeri
terlokalisasi/ menyebar pada wajah.
Hasil:
- klien terlihat tenang
2. Mengajarkan pada klien tentang alternatif lain untuk
mengatasi dan mengurangi rasa nyerinya.
Hasil:
- klien mau mengikuti saran dari perawat dan mulai
mencoba dari hal yang kecil
3. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
analgetik
hasil:
- klien tampak tenang dan istirahat yang cukup
- skala nyeri 4
58
01 Agustus
2015
Jam 15.30
Jam 16.00
2 1. Mengkaji tingkat pengetahuan pasien
Hasil:
- klien tidak mengetahui tentang tindakan operasi yang
akan dilakukan
2. Memberikan penkes tentang fraktur maxilla yang
meliputi:
pengertian fraktur maxilla
perawatan fraktur maxilla
tindakan pembedahan pada fraktur maxilla
Hasil:
- klien mengerti dan mulai memahami tenang fraktur
maxilla dan tindakan operasi yang akan dilakukan
02 Agustus
2015
Jam 08.00
31. Memonitoring TTV
Hasil:
- TTV kembali normal: tensi 120/70 mmHg, nadi
90x/menit, SPO2 99%
2. Mengkaji intake output klien
Hasil:
- intake dan output klien normal
3. Mencukupi kebutuhan cairan pasien sesuai dengan
volume darah dan kebutuhan cairan rumatan pasien.
Hasil :
- keadaan hemodinamik pasien mulai stabil
4. Observasi efek samping obat-obatan yang digunakan
Hasil:
- Tidak terjadi efek samping yang tidak diinginkan
dari obat-obatan yang digunakan
59
02 Agustus
2015
Jam 09.00
4 1. Mengobservasi TTV
Hasil :
- TTV klien mulai stabil: tensi 130/70 mmHg, nadi
80x/menit, SPO2 99%
2. kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti
nyeri
Hasil:
- nyeri klien berkurang dan klien terlihat tenang
- skala nyeri 2
60
VI. EVALUASI SUMATIF
tabel 3.6 evaluasi
No
.
Tgl DP Evaluasi Paraf
1 01 Agustus
2015
Jam 17.20
1 S : Klien mengatakan nyeri Bagian rahang atas
O : skala nyeri 4
A : Masalah belum teratasi
P :
1. Kaji nyeri
2. lakukan tehnik distraksi nyeri
3. lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam
pemberian analgetik
I : melakukan intervensi
1. mengkaji nyeri dengan cara : melakukan
inpeksi dengan melihat ekspresi wajah klien
2. melakukan distraksi nyeri dengan
distraksi visual misalnya menonton TV
3. melakukan kolaborasi dengan tim medis
dalam pemberian analgetik
E : skala nyeri berkurang.
2 18 Agustus
2015
Jam 19.00
2 S : Klien mengatakan sudah mengerti tentang apa yang
telah dijelaskan oleh petugas kesehatan
O : klien terlihat lebih tenang
A : Masalah teratasi
61
3 02 Agustus
2015
Jam 08.00
3 S : -
O : Tanda-Tanda vital mulai stabil dengan hasil :
tensi 120/70 mmHg, nadi 90x/menit, SPO2 99%
A : Masalah teratasi
4 02 Agustus
2015
Jam 09.00
4 S : Klien mengatakan masih terasa nyeri didaerah bekas
operasi
O:
- klien terlihat meringis kesakitan
- skala nyeri 2
A : Masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
I: - Observasi TTV
- kolaborasi dalam pemberian obat anti nyeri
- ajarkan klien teknik distraksi untuk mengurangi
nyeri
E: Masalah belum teratasi
5 01 Agustus
2015
Jam 22.00
1 S : Klien mengatakan nyeri berkurang
O : skala nyeri 0
A : Masalah teratasi
62
6 02 Agustus
2015
Jam 22.00
4 S : Klien mengatakan nyeri berkurang
O:
- klien terlihat tenang
- skala nyeri 0
A : Masalah teratasi
63
B. PENATALAKSANAAN ANESTESI UMUM
1. Preoperatif
a. Persiapan Pasien
Melakukan informed consent mengenai tindakan bedah dan anestesi. Pasien
serta keluarga telah menyetujui tindakan pembedahan dan pembiusan. Diruang
persiapan pasien ditanyakan kembali mengenai identitas, diagnosa, jenis
pembedahan,malampati, dan penilaian hal-hal yang dapat mempersulit
tindakan intubasi endotrakeal tube seperti leher pendek, gigi ompong,
kemampuan membuka mulut, dll. Menanyakan penyakit lain selain penyakit
bedah nya yang dapat memperberat resiko tindakan anestesi, berat badan, usia,
puasa atau makan dan minum terakhir, aktivitas dan kebiasaan buruk,
memastikan IV line pada tangan kanan berjalan lancar dan memeriksa kembali
hasil-hasil laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain serta periksa
kembali tanda-tanda vital klien.
Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa klien tidak memiliki penyakit
penyerta, puasa klien cukup, makan minum terakhir jam 02.00 WIB melalui
NGT, tidak ada gigi palsu tetapi ada gigi yang goyang, tidak ada alergi obat-
obatan maupun makanan.
Di ruang persiapan pasien terpasang infuse di tangan kanan dengan cairan RL
yang di loading/guyur. Setelah itu klien di bawa ke dalam ruang operasi, klien
di posisikan supine diatas meja operasi, kemudian dipasang tensi, SPO2,
dengan hasil :Tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 65 x/menit, saturasi 99%.
b. Persiapan Alat Anestesi
Peralatan yang harus disiapkan adalah STATICS, meliputi :
1) S : Scope (stetoscope dan laringoskop No 4)
2) T : Tube (endotracheal tube No 6.5,7, 7.5)
3) A: Airway (Orofaringeal airway No 4)
4) T: Tape (plester)
5) I: intoducer (stylet atau madrin)
6) C: conector (conector bentuk Y piece beserta face mask untuk anak - anak)
64
7) S: Suction (mesin suction dan kanul suction)
8) Mesin anestesi dengan sumber gas N2O, O2 dan isoflurane sudah siap di
pakai serta monitor.
c. Persiapan Obat Anestesi
1) Volatile : Sevoflurane
2) Maintenance : Isoflurane 2 MAC
3) Obat opioid analgetik : Fentanyl 2 amp (1 amp = 100µg)
4) Obat sedatif-hipnotik : Propofol 1 amp (1amp = 200 mg)
5) Obat muscle relaxan : Atrakurium 1 amp (1 amp = 25 mg)
6) Obat nonopioid : Ketorolac 1 amp (1 amp = 30 mg)
7) Obat emergency
Sulfas Atropin : 2 amp (1 amp = 0,25 mg)
Epedrin : 1 amp (1 amp = 50 mg)
8) Obat antiemetic : Ondansentron 4 mg 1 amp
9) Obat kortikosteroid : Deksametason 5 mg 2 amp
10) Persiapan cairan
Cairan kristaloid : 3 labu ( RL2, Nacl 1)
Nutrisi : Dextrosa 5% 1 labu
6. Premedikasi
Untuk premedikasi klien diberikan dexametasone 5 mg
2. Intra Operatif
Metode anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan teknik intubasi
nasofaringeal menggunakan ETT nomor 7. dilakukan intubasi nasal karena
lapangan operasi yang berebutan dengan daerah anestesi.
a. Induksi dan Intubasi
65
Klien naik ke meja operasi pada pukul 08.10 WIB. TTV klien setelah
dilakukan loading cairan yaitu, Nadi 76 x/menit,TD 140/90 x/menit, SPO2
99%. Sebelum induksi klien diberitahu untuk berdoa terlebih dahulu sesuai
dengan agama dan kepercayaannya, Induksi dimulai pukul 08.15 WIB.
Klien di berikan obat-obatan induksi melalui jalur intravena, obat pertama
yag diberikan adalah Fentanil 100 µg, kemudian propofol 100 mg, setelah
refleks bulu mata hilang klien diberikan O2 3 ltr/mnt dan N2O 3 ltr/mnt
melalui sungkup muka, sevoflurane dibuka dengan MAC 2 vol% kemudian
setelah 2-3x inspirasi MAC dinaikan 0,5 vol % sehingga mejadi 2,5 vol%
yang bertujuan untuk mencegah batuk agar induksi lancar. Perhatikan
pergerakan dada, kembang kempis balon, saturasi O2 dimonitor, setelah
jalan nafas dikuasai berikan atrakurium 20 mg IV dilakukan assist aspirasi
sampai terjadi apneu dan lakukan hiperventilasi sampai onset muscle
relaxan tercapai ± 3 menit. Tensi 90/70 mmHg, nadi 65 x/menit , saturasi
99%. Setelah onset tercapai lakukan laringoskopi dengan blade laringoskop
no 4 dan intubasi orofaringeal tube dengan ETT no 7 secara smooth dan hati
– hati sebab gigi pasien ada yang goyang. Setelah intubasi berhasil beri
udara pada balon ETT secukupnya, serta hubungkan ETT dengan conector
mesin anestesi, cek dan atur kedalaman serta kesamaan bunyi nafas
vesikuler antara paru-paru kanan dan kiri dengan menggunakan stetoskop,
setelah dipastikan sama fiksasi ETT dengan menggunakan plester. Jangan
lupa menutup mata klien dengan menggunakan kasa lembab. Setelah itu,
mempersilahkan operator untuk memulai tindakan pembedahan. Setelah
dilakukan intubasi tensi jadi 110/70 mmHg, nadi menjadi 68 x/menit dan
SPO2 99%. .Sebelum operator melakukan sayatan, matikan inhalasi
sevoflurane dan dalamkan anestesi inhalasi dengan menggunakan inhalasi
isoflurane dengan MAC 2 vol%. Operator mulai melakukan sayatan jam
08.20 WIB, setelah operator selesai melakukan sayatan turunkan kembali
MAC isoflurane menjadi 1,5 vol%.
b. Monitoring Intra Operatif
66
Tabel 3.2 Monitoring Intra Operatif
No.Tanggal Jam Nadi SPO2 TD Keterangan
1.
02
Agustus
2015
08.15 76x/menit 100 140/90 Induksi
2.
02
Agustus
2015
08.20 65x/menit 99 90/70 Intubasi
3.
02
Agustus
2015
08.30 75x/menit 99 110/78 Pembedahan
4.
02
Agustus
2015
08.45 74x/menit 99 117/68
5.
02
Agustus
2015
09.00 78x/menit 99 128/70
6.
02
Agustus
2015
09.15 74x/menit 99 120/73 Ekstubasi
9.
02
Agustus
2015
09.30 80x/menit 99 130/80 Pindah ke RR
c. Intake dan Output
Output :
Pendarahan Pre Op : = ± 50 cc
Perdarahan Intra Op:
Suction : 10cc
Duk : 5 cc
Kassa kecil : 5 cc
Urine : 100 cc
67
Jumlah Output: Pendarahan Pre Op + Pendarahan Intra Op + IWL + Puasa +
Urine = (50)cc+(20)cc+360cc+600cc+ 100 cc =1130cc
Intake :
glukosa : 500 cc
RL :500 cc
Total Cairan masuk :
Kristaloid = 1000 ml
Balans Cairan = Output – Intake = 1130 – 1000= 130 cc (deficit)
3. Post Operatif
1. Peangakhiran anestesi
Pembedahan selesai pada pukul 09.10 Setelah itu dilakukan hipoventilasi
pada ventilasi pasien guna merangsang nafas spontan, voletile diturunkan
MAC nya menjadi 1,5 vol%, N20 1,5 ltr/mnt dan O2 4,5 ltr/mnt. Sepuluh
menit kemudian nafas pasien sudah mulai spontan dan adekuat. Lalu N20
dihentikan pemakaiannya, isoflurane dinaikkan MAC nya jadi 2,0 vol%
dan O2 dinaikkan menjadi 6 ltr/mnt. Dilakukan suctioning guna
membersihkan airway dari slime. Setelah itu dilakukan ekstubasi pada
pukul 09.15, ekstubasi yang dilakukan adalah ekstubasi dalam dimana
refleks menelan klien sudah belum ada dan nafas pasien sudah spontan dan
adekuat. Setelah ekstubasi Pasien diberikan oksigenasi lagi sebanyak 6
liter menggunakan sungkup muka dan volatilenya di matikan. Lalu
dilakukan sedikit sucsioning karena masih terdapat banyak saliva pada
jalan nafas. Oksigenasi dilakukan sambil melihat respon apakah pasien
sudah benar-benar bangun atau belum. Pada pukul 09.25 pasien bangun
dan dapat membuka mata. Alat tensi dan pulse oxymetri dilepas kemudian
pasien dipindahkan ke Ruang Pemulihan dengan nadi akhir 80 x/menit,
tekanan darah 130/80mmHg dan saturasi 99%. Pukul 09.30 pasien masuk
Ruang Pemulihan, dilakukan tindakan keperawatan berupa pemberian O2
sebanyak 6 liter melalui oksigen sungkup. Tetesan infus diatur 20
68
tetes/menit. Kesadaran dan aldrette score pasien dinilai dengan hasil GCS
15 (Compos Mentis) dan alderete Score 7. Setelah 15 menit kembali
diobservasi dengan hasil tensi 140/90 mmHg, nadi 70x/menit alderete
score kembali dinilai dan didapatkan hasil 8. Pada pukul 10.00 dilakukan
observasi terakhir sebelum pindah ke ruangan perawatan dengan hasil :
tensi 140/90mmHg, nadi 80x/menit, saturasi 99% dan Alderete Score 9.
2. Keaadaan Paska Bedah
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 130/80mmhg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 18x/menit
Oksigen : 3 liter/menit
SpO2 : 99%
Urine : 150 mililiter
Pasien di observasi selama : 10 menit
Selama di RR :tidak terjadi mual-muntah, tidak terjadi
perdarahan dari luka operasi.
3. Monitoring Post Operatif
NoTanggal Jam Nadi TD Keterangan
02
Agustus
2015
09.30 80x/menit
130/80mmHg
Pindah ke RR
2.
02
Agustus
2015
09.45 70x/menit
140/90mmHg
RR
02
Agustus
2015
10.00 80x/menit
140/90mmHg
Pindah ke Ruang Perawatan
Tabel 3.3 Monitoring Post Operatif
69
4. Alderete Score
Tabel 3.4 Alderete Score
Tanda Kriteria Nilai
Saat
Pene
rima
an
Setelah
15 30 45 60
AKTIVIT
AS
- Dapat menggerakkan ke 4
anggota badan
sendiri/dengan perintah
- Dapat menggerakkan ke 2
anggota badan sendiri
/dengan perintah
- Tidak dapat menggerakkan
anggota badan
2
1
0
1 1 12 2
RESPIRA
SI
- Dapat napas dalam &batuk
bebas
- Dispnoe /napas terbatas
- Apnoe
2
1
0
1 2 2 22
SIRKUL
ASI
- TD ± 20% dari pre anestesi
- TD ± 20% -50 % dari pre
anestesi
- TD ± 50% dari pre anestesi
2
1
0 2 2 22 2
KESADA
RAN
- Sadar penuh (compos
mentis)
- Dapat di bangunkan bila di
2
1
1 1 2
70
panggil (apatis)
- Tidak bereaksi 0
2 2
WARNA
KULIT
- >90% dengan udara bebas
- Dengan O2 untuk menjaga
SpO2 >90%
- SpO2 <90% dengan
tambahan O2
2
1
0
2 2 22 2
TOTAL 10 7 8 9 10 10
Keterangan : Jika nilai > 8 tanpa ada nilai 0 pasien boleh pndah keruangan,
jika nilai <7 klien pindah ke ICU
5. Instruksi Post Operasi
a. O2 2 - 3 liter / menit
b. IVFD : Dextrosa 5% + fentanil 50 µg 20 tpm
c. Observasi Tanda – tanda vital dan Perdarahan
d. Puasa sampai bising usus ( + )
BAB IV
MASALAH DAN PENYELESAIAN MASALAH
71
A. Masalah
1. Gangguan keseimbangan cairan dan nutrisi Pre-operatif.
2. Sulit induksi dan intubasi.
3. Kesulitan dalam menejemen airway.
B. Penyelesaian Masalah
1. Gangguan keseimbangan cairan dan nutrisi Pre-operatif.
Pada pasien dengan fraktur atau terputusnya kontinuitas jaringan keras, seperti
pada kasus fraktur maxillaris membutuhkan penanganan segera, karena selain
tidak nyaman, menejemen airway yang terhambat, dan rasa sakit yang
berkelanjutan. Sehubungan dengan gangguan keseimbangan cairan dan nutrisi
karena pasien orangtua, sulit untuk di infus, susah makan, dan gangguan rasa
nyaman nyeri. Maka dalam melakukan persiapan pre-operatif pertama libatkan
keluarga dalam melakukan tindakan, kedua pasang NGT sehubunngan dengan
kurangnya asupan nutrisi.
Karena terjadi pada pasien geriatrik dengan tingkat mortalitas dan morbiditas
yang tinggi dan dan disertai dengan penyakit penyerta maka dibutuhkan
persiapan yang optimal. Yang paling pertama harus di lihat adalah daerah
operasi dan hasil pemeriksaan penunjang berupa hasil lab. Karena pada pasien
dengan trauma ada daerah-daerah khusus yang harus lebih di perhatikan apalagi
pasien tersebut mempunyai riwayat penyakit hipertensi. Selain itu lapangan
pembedahan dengan anestesi yang bersamaan, terutama dalam melakukan
menejemen airway.
2. Sulit induksi dan intubasi.
Intubasi dilakukan oral atau nasal, guna memudahkan menjaga airway dan
mencegah terjadi aspirasi dan regurgitasi. Sebaiknya dilakukan intubasi nasal
karena lapangan operasi yang berebutan dengan daerah anestesi. Disebabkan
tidak tersedianya ETT non king-king maka dilakukan intubasi oral.
Monitoring dilakukan secara keseluruhan, tetapipada pediatrik yang paling
sering dilakukan adalah heart rate dan saturasi (SPO2), maka harus di pasang
saturasi dan stetoskop pada precordial.
72
Pada pediatrik dengan tingkat kecemasan yang tinggi, rewel, takut, maka induksi
dilakukan di ruang persiapan, pada intra operatif harus di perhatikan pemberian
analgetik, hipnotik yang cukup. Pada pengaturan suhu harus di perhatikan
karena pediatrik mudah terjadi hipotermi dan hipertermi, maka dalam
pelaksanaan operasi hindari panas ataupun dingin yang berlebihan.
3. Kesulitan dalam menejemen airway.
a. Intra-operatif
Pada pasien ini dengan masalah yang komplek maka dibutuhkan persiapan
yang maksimal mulai dari alat maupun obat. Dan dibutuhkan keterampilan
yang mempuni, karena pediatrik bukan miniatur orang dewasa, anatomi dan
fisiologi yang berbeda,danadanya fraktur maxilla. Maka pertama harus
dilakuakan adalan intubasi, sebaiknya intubasi nasal. Karena tidak
tersedianya ETT non king-king maka dilakukan intubasi oral. pada saat
intubasi diusahakan memakai kasa pada gigi bagian atas supaya tidak
menambah trauma, siapkan suction untuk melihat slem atau darah yang
menyumbat, selanjutnya pakailah pack roll.
b. Post-operatif
Dilakukan ekstubasi dalam, karena geriatrik ini mempunyai riwayat
hipertensi sehingga harus diperhatikan saat ekstubasi jangan sampai tekanan
darah meningkat sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
73
A. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan perioperatif pada Tn.A dengan
gangguan sistem muskoluskeletal akibat fraktur maksila, dan akan dilakukan tindakan
pemasangan arch ber di IBS Rumah Sakit Umum Kelas B kab. Subang dari tanggal 01 -
02 Agustus 2015, kemudian penulis melakukan analisa kesenjangan antara konsep teori
dengan praktek di lapangan. Setelah dilakukan pembahasan, penulis dapat menarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengkajian
Pada tahap pengkajian, penulis menemukan data subjektif diantaranya Klien
mengatakan nyeri pada bagian mulut atas. Nyeri dirasakan seperti berdenyut-
denyut. Nyeri dirasakan di mulut bagian atas. Skala nyeri yang dirasakan klien 7
dari (0-10). Nyeri dirasakan pada saat bicara dan menggerakan rongga mulut.
Tekanan Darah 140/90 mmHg, nadi 65 x/menit, dan respirasi 20 x/menit
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang muncul berdasarkan prioritas masalah pada klien
Tn. A dengan gangguan sistem muskoluskeletal akibat fraktur maksila, antara
lain : Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma maxilla, cemas
berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/informasi mengenai tindakan
pembedahan dan anestesi, resiko terjadi kekurangan cairan tubuh berhubungan
dengan tindakan pembedahan dan pendarahan preoperatif, dan gangguan rasa
nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan akibat
proses pembedahan.
3. Perencanaan
Rencana keperawatan yang telah ditetapkan disesuaikan dengan kemampuan,
kondisi, sarana dan kebutuhan klien serta melibatkan klien dan keluarga untuk
mengatasi masalah keperawatan yang aktual maupun potensial, yang meliputi :
ajarkan pada klien tentang alternatif lain untuk mengatasi dan mengurangi rasa
nyerinya, berikan penkes tentang fraktur maxilla, cukupi kebutuhan cairan
pasien sesuai dengan volume darah dan kebutuhan cairan rumatan pasien, dan
kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti nyeri.
74
4. Pelaksanaan
Dalam proses pelaksanaan penulis tidak mengalami hambatan semua tindakan
dapat dilakukan sesuai dengan rencana, yang meliputi: memantau tingkat nyeri
pada wajah, nyeri terlokalisasi/ menyebar pada wajah; memberikan penkes
tentang fraktur maxilla dan pembedahannya; cukupi kebutuhan cairan pasien
sesuai dengan volume darah dan kebutuhan cairan rumatan pasien, dan
berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat anti nyeri.
5. Evaluasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan, dari kelima diagnosa yang ditemukan
pada Tn. A antaralain gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma
maxilla, cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan/informasi
mengenai tindakan pembedahan dan anestesi, resiko terjadi kekurangan cairan
tubuh berhubungan dengan tindakan pembedahan dan pendarahan preoperatif,
dan gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas
jaringan akibat proses pembedahan semua masalah teratasi.
6. Dookumentasi
Dokumentasi sebagai alat komunikasi antar perawat tidak hanya terbatas pada
status pasien, tetapi lembar observasi juga dapat dijadikan sebagai catatan
kondisi klien yang mempermudah dalam memonitor perkembangan klien.
B. Saran
1. RSUD kelas B kabupaten subang
Diharapkanmenjadi bahan kajian pada RSUD kelas B kabupaten subang dan
evaluasi pelaksanaan pelayanan dengan fraktur maxillaris.
2. Bagi Institusi dan Pendidikan
Studi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi untuk menambah
ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai fraktur maxillaris.
DAFTAR PUSTAKA
75
John L. Triplane Fracture. Available from:
http://www.emedicine.com/sports-/TOPIC24.HTM
Manfra Marretta S, Schrader SC, Matthiesen DT. 1990. Problems associated with the
management and treatment of jaw fractures. Prob Vet Med (Dentistry) 2:220,
Reksoprodjo, S. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Fakultas Kedoktran Universitas
Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.
Sjamsuhidajat R, Jong W. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.
Suardi, NPEP & AA GN Asmara Jaya. 2012. Fraktur Pada Tulang Maksila. Bagian
Ilmu Bedah RSUP Sanglah: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Utama, HSY, 2012. Available From:
http://www.dokterbedahherryyudha.com/2012/08/diagnosa-dan-
penatalaksanaan-fraktur.html?m=1
76
Recommended