View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
MEDULLOBLASTOMA
Oleh :
dr. Pristanova Larasanti
dr. Ni Putu Witari, Sp.S
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF
PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS – 1 NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Medulloblastoma adalah tumor yang paling sering berasal dari sel embrional.
Medulloblastoma tergolong jarang dimana insidennya kurang dari 2% dari semua kasus
tumor primer, dan sekitar 18%-20% dari keseluruhan kasus tumor pada anak.
Medulloblastoma umumnya terjadi pada kelompok anak umur empat tahun atau lebih
muda, disusul oleh kelompok umur 5-14 tahun, dengan median tujuh tahun. Sebanyak
70% kasus medulloblastoma anak didiagnosa sebelum umur 10 tahun dan sebanyak dua
per tiga kasus adalah laki-laki. Medulloblastoma juga bisa terjadi pada orang dewasa
meskipun lebih jarang terjadi. Sekitar seperempat kasus medulloblastoma di Amerika
Serikat ditemukan pada dewasa usia 20-44. Insiden medulloblastoma menurun
frekuensinya dengan tajam setelah umur 45 tahun.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) dengan atau tanpa kontras, lumbal pungsi, dan pemeriksan biopsi jaringan. Terapi
definitif nya adalah dengan reseksi tumor yang diikuti dengan radioterapi kraniospinal
dan/atau kemoterapi.
Prognosis ditentukan oleh umur saat pertama kali didiagnosis; ukuran dan ada
tidaknya metastasis; dan jumlah massa yang bisa direseksi. Beberapa subgroup tertentu
juga diketahui memiliki prognosis yang lebih baik dibanding subgroup lainnya. Laporan
oleh Central Brain Tumor Registry di Amerika Serikat menyebutkan 5-years survival
rate untuk pasien dewasa berusia diatas 20 tahun dengan medulloblastoma adalah
sebanyak 57%-60%, sementara 10-years survival rate nya sebesar 44%. Prognosis pada
bayi dikatakan lebih buruk, meskipun mereka yang pada saat didiagnosis memiliki tumor
yang masih terlokalisir memiliki prognosis yang lebih baik setelah operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Medulloblastoma adalah tumor embrional yang malignan, invasif, yang
tumbuh di serebelum, predominan pada anak-anak, dan memiliki tendensi untuk
bermetastase melalui likuor serebrospinalis. (Louis et al., 2007) Pada anak-anak tumor ini
umumnya tumbuh di area vermis, sedangkan pada dewasa tumor ini umumnya tumbuh
pada hemisfer serebeli, terutama di bagian lateral.
Medulloblastoma adalah jenis tumor embrional yang paling sering terjadi.
Tumor ini pertama kali dipresentasikan pada Juni 1942 oleh Harvey Cushing dan Percival
Bailey sebagai “spongioblastoma cerebelli” pada pertemuan American Neurological
Association, dimana mereka menjelaskan bahwa tumor ini tumbuh dari sel-sel embrional
yang tidak terdiferensiasi dalam atap dan lapisan ependym dari ventrikel empat.
(Kunschner, 2002) Istilah spongioblastoma sendiri pada akhirnya ditinggalkan dan
digantikan oleh medulloblastoma yang lebih dulu disebutkan dalam paper oleh Shaper
pada tahun 1897, karena ditemukan bahwa medulloblast adalah satu dari 5 tipe populasi
stem cell pada tuba saraf primitif. (Rutka dan Hoffman, 1996)
2.2. Epidemiologi
Dalam presentasinya pada tahun 1924, Cushing melaporkan kasus medulloblastoma memiliki
rerata umur 11 tahun, dimana kasus dengan tumor regio
midserebelar dan vermis memiliki rerata umur 8.3 tahun, sementara regio hemisfer
serebeli lateral memiliki rerata umur 31 tahun. (Rutka dan Hoffman, 1996) Sekitar 70%
kasus terjadi pada pasien dengan umur di bawah 15 tahun, dengan puncaknya pada umur
3-6 tahun. (Peris-Bonet et al., 2006) American Brain Tumor Association pada 2015
menyebutkan bahwa medulloblastoma umumnya terjadi pada kelompok anak umur empat
tahun atau lebih muda, disusul oleh kelompok umur 5-14 tahun, dengan median tujuh
tahun. Sebanyak 70% kasus medulloblastoma anak didiagnosa sebelum umur 10 tahun
dan sebanyak dua per tiga kasus adalah laki-laki.
Kasus medullolastoma pada usia dewasa lebih jarang terjadi, dengan insiden
0.5 per satu juta, dan hanya merupakan 2% dari keseluruhan kasus tumor primer pada
usia dewasa muda 20-34 tahun, sementara Smoll dan Drumond pada 2012 menyebutkan
insiden pada dewasa adalah 0.6 per satu juta dibandingkan dengan 6 per satu juta pada
anak-anak. Hasil dari register Surveillance, Epidemiology, and End-Results (SEER)
menyebutkan bahwa laki-laki 1.58 kali lebih berisiko menderita medulloblastoma
dibandingkan dengan perempuan. (Smoll dan Drumond, 2012)
Sejauh ini belum ada faktor risiko lingkungan yang teridentifikasi.
(Mellemkjaer et al., 2006) Medulloblastoma dihubungkan dengan beberapa sindrom
genetik familial seperti sindroma Li-Fraumeni, sindroma Gorlin, sindroma Turcot, dan
sindroma Rubinstein-Taybi. (Louis et al., 2007)
2.3. Klasifikasi Histologi dan Subtipe Molekular
Asal dari pertumbuhan sel medulloblastoma masih menjadi perdebatan.
Umumnya diduga bahwa tumor ini berasal dari dua grup sel embrio yang berbeda, yakni: sel
zona ventrikular (VZ) yang akan berdiferensiasi menjadi sel Purkinje, sel keranjang, dan sel
glia dan neuron dari serebelum, dan sel dari lapisan germinal eksterna (EGL) yang
memproduksi sel-sell granula serebelum. Kedua jenis sel ini kelak diketahui memberikan
subtipe yang berbeda pada medulloblastoma, contohnya sel VZ merupakan sel muasal dari
subtipe wingless (WNT) dan sel EGL merupakan muasal dari tipe sonic hedgehog (SHH).
(Fan dan Eberhart, 2008)
Tabel 1. Subtipe molecular (Shonka et al., 2012)
Klasifikasi WHO terbaru tahun 2007 membagi medulloblastoma menjadi lima
subtipe, yakni: klasik (80% dari keseluruhan kasus medulloblastoma anak, dan 70% dari
medulloblastoma dewasa), desmoplastik (15% pada anak, 30-
40% pada dewasa), anaplastik (10-20% kasus), sel-sel besar (2-4%), dan noduler
ekstensif (3%). Klasifikasi yang hampir sama dengan klasifikasi WHO dikeluarkan juga
oleh ABTA, namun pada klasifikasi ini ditambahkan jenis gambaran melanotic
medulloblastoma.
Tabel 2. Karakteristik medulloblastoma pada anak dan dewasa (Shonka et al., 2012)
Perbedaan antara kasus medulloblastoma pada anak dan dewasa terletak pada
gambaran histologinya, dimana gambaran histologi ini juga merupakan faktor
prognostik. Subtipe desmoplastik dan nodular memiliki prognosis yang lebih baik pada
anak <5 tahun, sedangkan tipe anaplastik dan sel-sel besar dihubungkan dengan prognosis
yang jelek pada semua kategori umur. Pada anak, medulloblastoma terletak di bidang
median dari serebelum, sementara pada dewasa ia terletak pada bagian lateral.
Penelitian mengungkapkan bahwa faktor genetik juga berperanan dalam
terjadinya tumor ini. Separuh dari kasus medulloblastoma pada anak memiliki mutasi pada
kromosom l7, sementara sekitar 10% kasus terjadi delesi soliter pada kromosom 6. Penelitian
juga mengungkapkan keterlibatan dari kromosom 1, 7, 8, 9, 10q, 11, dan 16. (ABTA, 2015)
Beberapa gen spesifik juga diketahui berperanan dalam tumbuhnya tumor ini. Meskipun
meduloblastoma familial amat sangat jarang, namun terdapat beberapa sindrom familial
seperti yang telah disebutkan sebelumya yang meningkatkan risiko berkembangnya
medulloblastoma. Mutasi gen Patched atau PTCH1 pada sindroma Gorlin; gen APC pada
sindroma Turcot; dan gen TP53 pada sindroma Li-Fraumeni adalah contoh dari gen spesifik
ini. Pasien-pasien dengan sindrom ini memiliki kecenderungan menderita polip kolon dan
tumor otak yang ganas. Menariknya, meskipun kesemua sindroma di atas adalah sifatnya
diturunkan, namu tidak sama halnya dengan medulloblastoma. Sekitar 10% pasien
medulloblastoma memiliki mutase pada gen PTCH1 namun tidak menderita sindroma Gorlin.
Gen PTCH1 ini ternyata diketahui berperanan dalam aktivasi jalur SHH yang meningkatkan
proliferasi sel di serebelum. (Brandes et al., 2015) Demikian juga dengan mutase gen pada
sindroma Turcot yang ternyata diketahui berperanan dalam jalur WNT yang juga berfungsi
dalam proliferasi sel.
Sejak jalur WNT dan SHH diidentifikasi, klasifikasi medulloblastoma telah
dikembangkan tidak hanya berdasarkan gaambaran histopatologinya, namun juga dari
gambaran molekularnya. Beberapa studi bahkan menemukan bahwa terdapat klasikasi
molekular yang berbeda pada anak dan dewasa dengan implikasi pengembangan target
therapy. Northcott et al. pada tahun 2011 membagi medulloblastoma ke dalam empat
varian, yakni:
Medulloblastoma tipe WNT
Tipe ini diidentifikasi pada 10-15% pasien dan umumnya pada usia sekolah, dengan
rerata umur 10 tahun. Subtipe ini sedikit lebih banyak pada perempuan dan jarang terjadi
pada anak umur di bawah lima tahun. Tumor ini sering mendiami ventrikel empat dan
pada tingkat seluler, tumor ini menunjukkan akumulasi protein beta-katenin di dalam
nukelus yang bisa menyebabkan delesi kopi dari kromosom 6.
Akumulasi beta-katenin ini juga menyebabkan aktivasi jalur WNT. Pasien-pasien dengan
tumor ini menunjukkan keluaran yang baik dengan operasi, radiasi, dan kemoterapi.
Medulloblastoma tipe SHH
Sebanyak 25% dari medulloblastoma adalah subtipe SHH. Distribusinya bimodal dengan
puncak pada umur <5 dan >16 tahun. Tumor ini mendiami badan dari serebelum dan
umumnya terletak di sebelah lateral. Jalur SHH penting dalam pertumbuhan normal
serebelum, namun abnormalitas pada jalur ini menyebabkan pertumbuhan dari tumor.
Keluaran dari tumor ini bervariasi dan bergantung pada ada tidaknya metastase, gambaran
histologi, dan umur pada saat pertama kali didiagnosis.
Medulloblastoma grup 3
Tipe ini kira-kira merupakan 25% dari keseluruhan kasus dan yang paling sering terjadi
pada anak umur 1-10 tahun. Subtipe ini hampir tidak pernah ditemukan pada usia dewasa.
Metastase seringkali ditemukan pada saat pasien terdiagnosis dengan tumor ini. Seperti
tipe WNT, subtipe ini umumnya terdapat di ventrikel empat dan berasal dari vermis.
Secara mikroskopis, gambaran histologi yang sering pada subtipe ini adalah sel
besar/anaplastik, namun dapat juga dijumpai tipe klasik. Keluaran dari subtipe ini adalah
yang paling buruk di antara subtipe molekular yang lain.
Medulloblastoma grup 4
Subtipe ini merupakan yang paling sering ditemui, yakni sekitar 35-40% dari keseluruhan
kasus medulloblastoma. tumor ini bisa ditemui di semua kelompok umur, namun paling
sering dijumpai pada kelompok usia sekolah. Sama halnya dengan subtipe WNT dan grup
3, tumor ini dijumpai di ventrikel empat. Abnormalitas pada kromosom 17 merupakan
ciri khas dari subtipe ini, tapi sifatnya tidak eksklusif. Keluaran dari subtipe ini umumnya
cukup baik dengan 80% 5-years survival rate jika tanpa metastase.
Subtipe 3 dan 4 diberikan nama demikian karena masih belum diketahui
dengan jelas jalur apa yang berperanan dalam petumbuhan tumor tersebut. Sebuah
konsensus diciptakan untuk mencegah kerancuan dalam penamaan subtipe ini, dimana
disepakati bahwa yang sebelumnya disebut subtipe C dan D akan disebut sebagai grup 3
dan 4.
Meskipun klasifikasi molekular ini berbeda dengan histologi namun terdapat
overlapping, misalnya pada gambaran histologi klasik yang biasanya terlihat pada subtipe
WNT dan grup 4, sementara gambaran desmoplastik nodular dan nodular ekstensif
dijumpai pada subtipe grup 3. Fakta bahwa subtipe molekular yang berbeda memiliki
keluaran yang berbeda-beda pula merupakan penemuan yang sangat penting dalam studi
mengenai medulloblastoma, utamanya dalam hal terapi.
Tumor jenis SHH banyak ditemukan pada bayi dan dewasa, sementara tipe
WNT dan grup 4 ditemukan pada semua rentang usia. Grup 3 banyak
ditemukan pada anak-anak dan memiliki prognosis paling buruk terlepas dari status
metastasenya. (Northcott et al., 2011) Remke et al. pada 2013 menemukan bahwa
survival rate dan progression-free survival (PFS) lebih superior pada kelompok WNT
dan SHH, sedangkan kelompok subtipe D memiliki survival rate lebih rendah dan
prognosis lebih buruk.
Meskipun beberapa studi mengatakan grup 3 tidak ditemukan pada usia
dewasa, tetapi ada juga studi yang menemukan persentase kecil kasus (<2%) pada
kelompok usia dewasa. (Shonka et al., 2012) Subtipe yang paling banyak ditemui pada
kelompok usia dewasa adalah subtipe SHH (58% dari keseluruhan kasus
medulloblastoma) meskipun menariknya, tumor ini secara genetik berbeda dengan tumor
anak-anak yang aktivasinya melalui jalur SHH. Amplifikasi gen MYCN dan delesi
kromosom 10q jarang ditemui pada kelompok dewasa ini dibandingkan dengan kelompok
SHH pediatrik. Sebanyak 28% kasus medulloblastoma adalah grup 4, sedangkan WNT
hanya sebanyak 13%. Dengan teknologi imunohistokimia (immunohistochemistry atau
IHC), preparat yang difiksasi dengan formalin dapat dengan akurat diklasifikasikan
subtipe molekularnya, yakni DKK1 untuk WNT, SFRP1 untuk SHH, NPR3 untuk grup 3,
dan KCNA1 untuk grup 4. Karena sifatnya yang heterogen, prediktor multigen
menggunakan real-time polymerase chain reaction (PCR) pada RNA yang diisolasi dari
sampel yang difiksasi dengan formalin dan dibekukan dengan paraffin (FFPE) bisa
memberikan hasil yang lebih akurat. (Shonka et al., 2012)
2.4. Staging
Tidak seperti kebanyakan tumor primer di otak, medulloblastoma
membutuhkan staging karena sifatnya yang bisa menyebar di sepanjang aksis neural.
Medulloblastoma memiliki kapasitas untuk menginvasi dan bermetastase. mayoritas dari
medulloblastoma berasal dari fossa posterior, dimana tumor ini akan menginfiltrasi
lapisan ependym menuju ke batang otak atau menyebar melalui likuor serebrospinalis.
Karena itulah, staging membutuhkan hasil pemindaian yang lengkap dengan MRI untuk
mengeksklusi metastase subarakhnoid, dan pungsi lumbal untuk mendapatkan sitologi
likuor yang dikerjakan sebelum operasi atau setidaknya 10-14 hari sesudahnya sehingga
sel yang terlepas pada saat operasi tidak dimisinterpretasikan sebagai penyebaran. MRI
kepala disarankan dilakukan 24-48 jam paska operasi untuk menentukan seberapa banyak
jaringan tumor yang tersisa. (Shonka et al., 2012)
Tabel 3. Klasifikasi staging menurut Chang (Shonka et al., 2012)
Staging yang tepat amat sangat penting dalam menentukan terapi yang tepat.
Metastase lebih tinggi insidennya pada anak-anak dibanding pada orang dewasa (13% vs
8%) dan secara khas menyebar melalui likuor dan leptomeningen di sepanjang medulla
spinalis. Serebelum dan otak adalah lokasi metastase yang paling sering. Pada metastase
ekstrakranial dan atipikal yang paling sering adalah pada tulang ±80% baik pada anak
maupun dewasa, diikuti oleh paru-paru (dewasa) dan hati (anak-anak). Jarak antara
diagnosis dengan metastase biasanya lebih pendek pada anak-anak dibanding pada
dewasa (20 bulan vs 36 bulan). (Shonka et al., 2012)
Chang mempublikasikan suatu sistem staging pada tahun 1969 dengan
menggunakan sistem T dan M, dimana T adalah ukuran dan keganasan tumor pada saat
reseksi, sedangkan M adalah penyebaran di luar fossa posterior. Pasien dengan M0-1 dan
T1-2 memiliki prognosis yang lebih baik, dan hanya sekitar dari 30 pasien yang tergolong
ke dalam M2 atau M3. Dewasa ini, staging T tidak memiliki nilai prognostik pada kasus
medulloblastoma usia dewasa. Staging M memiliki nilai prognostik, meskipun tidak
terdapat banyak perbedaan antara prognosis M0 dengan M1. Modifikasi dari Chang
staging saat ini merupakan standar dalam menentukan staging medulloblastoma.
umumnya disepakati bahwa pasien tanpa metastase memiliki risiko rekurensi lebih
rendah.
2.5. Gejala Klinis
Karena medulloblastoma berasal dari fossa posterior, maka keluhan yang
muncul adalah gejala-gejala yang khas seperti vertigo, muntah, ataksia, nyeri kepala.
Pasien dengan lokasi tumor di mid-serebelum bisa mengalami gejala akibat penekanan
pada nervi kraniales seperti nystagmus, diplopia, penurunan fungsi pendengaran, paresis
nervus fasialis.
Gambar 2. Gambaran sun-setting pada bayi dengan hidrosefalus (Jallo, 2014)
Komplikasi yang sering terjadi adalah hidrosefalus akibat kompresi dari
ventrikel empat, yang akan menimbulkan gejala seperti nyeri kepala di pagi hari, mual
dan muntah, serta letargi. Pada bayi, membesarnya kranium, “sun-setting sign”, dan bayi
yang terus menerus merengek bisa menjadi pertanda awal. Pada anak-anak dan dewasa
gejala seperti nyeri kepala dan muntah setelah bangun tidur, yang membaik setelah
muntah dan seiring berjalannya hari. Gejala-gejala ini kemudian perlahan memberat dan
akan menimbulkan gejala yang memberikan red flag seperti nyeri kepala hebat yang bisa
membangunkan si penderita dari tidurnya dan drowsiness. Jika tumor menyebar ke
medulla spinalis, maka juga akan timbul defisit neurologis di perifer. (ABTA, 2015)
2.6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Dari anamnesis, bisa didapatkan keluhan-keluhan yang khas pada kelainan fossa posterior
seperti disebutkan di atas, dan bersifat kronis progresif.
Pemeriksaan fisik bisa menemukan adanya defisit neurologis berupa hipotonia, ataksia,
gait yang abnormal; paresis nervus kranialis jika terjadi infiltrasi sampai ke area batang
otak; tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial jika terjadi hidrosefalus; atau dapat
juga tanda myelopati kompresi jika terjadi penyebaran ke medulla spinalis.
Pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah dengan menggunakan MRI kepala
dengan kontras. Meski demikian, seringkali pemeriksaan radiologis yang dilakukan
pertama kali pada pasien-pasien yang dicurigai tumor adalah dengan menggunakan CT-
scan kepala dengan kontras. Gambaran medullobastoma pada CT-scan tanpa kontras
adalah gambaran massa hiperdens pada serebelum yang disertai midline shift. Massa ini
kemudian menyangat setelah diberikan kontras. Seringkali dijumpai pula gambaran
hidrosefalus akibat obstruksi pada ventrikel empat. (ABTA, 2015)
Gambar 3. Gambaran CT-scan medulloblastoma (Jallo, 2014)
Gambaran MRI medulloblastoma memiliki ciri khas berupa massa tumor
hipointens pada T1-W di area fossa posterior. Sinyal T2 bervariasi, dari hiperintens
sampai hipointens. Penyangatan kontras, jika ada, derajatnya bervariasi. Pada DWI
terdapat peningkatan sinyal, yang mana bisa membantu dalam membedakan
medulloblastoma dengan pilositik-astrositoma dan ependimoma. Jika dicurigai suatu
medulloblastoma, maka selanjutnya dilakukan MRI whole spine dan pungsi lumbal untuk
menentukan apakah ada penyebaran ke medulla spinalis dan atau melalui likuor
serebropinalis.
Gambar 4. MRI kepala pada medulloblastoma (Jallo, 2014)
Dari hasil MRI dan analisis sitologi dari LCS, ditentukan staging dari tumor.
Langkah selanjutnya adalah dengan biopsi yang didapatkan saat pembedahan. Pemeriksaan
patologi anatomi akan mengkonfirmasi gambaran histologi dan/atau subtipe molekular dari
tumor tersebut. Seyogyanya dilakukan MRI ulangan dalam 48 jam paska operasi dan
pemeriksaan sitologi LCS setidaknya 14-20 hari sesudahnya untuk melihat residual dari
tumor. Pasien dikatakan risiko sedang jika paska operasi tidak terdapat residual (didefinisikan
sebagai massa >1.5 cm2) dan tidak terdapat metastasis, serta histologinya bukan sel-sel besar
atau
anaplastik. Pasien dikatakan risiko tinggi jika terdapat metastasis, residual >1.5 cm2 dan atau
gambaran histologinya adalah sel-sel besar atau anaplastik. (ABTA, 2015)
Gambar 5. Gambaran MRI medulloblastoma pada berbagai macam sinyal (Jallo, 2014)
Gambar 6. Gambaran metastase medulla spinalis pada MRI (Jallo, 2014)
2.7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk medulloblastoma antara lain:
Glioblastoma multiforme
Glioblastoma multiforme (GBM) merupakan glioma yang paling sering ditemui dan paling
ganas, dan umumnya ditemui pada pasien dewasa usia 45-70 tahun. Rentang waktu daari
timbulnya gejala sampai saat didiagnosis biasanya singkat (<3 bulan pada >50% kasus).
Gejala klinis yang biasanya muncul berupa nyeri kepala kronik progresif disertai defisit
neurologis fokal seperti hemiparesis, afasia, kejang, gangguan kognitif, dan sebagainya.
Penunjang yang dipilih adalah MRI kepala dimana pada T1 ditemukan tanda khas berupa
penyangatan berbentuk cincin dan pada T2 ditemukan edma luas mengelilingi massa. Inti
yang hipodens pada gambaran MRI menggambarkan nekrosis sentral, sementara cincin
penyangatan adalah gambaran dari sel-sel neoplastik dengan vaskularisasi abnormal yang
gampang menyerap bahan kontras. Sejumlah studi menyebutkan bahwa batas tumor tidaklah
digambarkan oleh area yang menyangat kontras karena sel-sel glioma yang menginfiltrasi
jaringan sekitarnya bisa didapatkan dalam batas 2 cm di luar area yang menyangat kontras.
Pada CT-scan, glioblastoma biasanya tampak sebagai area hipodens yang
irregular dengan cincin yang menyangat kontras dan suatu penumbra edema serebri
(Bruce, 2016).
Oligodendroglioma
Oligodendroglioma adalah suatu tumor pada kelompok usia dewasa yang berdiferensiasi
dengan baik, bersifat infiltratif, dan khas terletak pada hemisfer serebri, dengan sel yang
menyerupai suatu oligodendroglia. Tumor ini merupakan tumor indolen, dan karenanya
pada pasien yang asimptomatik, tidak harus segera dilakukan reseksi. Sekitar dua pertiga
pasien dengan oligodendroglioma anaplastik berespon terhada kombinasi dari reseksi,
radiasi dan kemoterapi dengan PCV (procarbazine, CCNU, vincristine). Terapi
bergantung dari lokasi, inflitrasi, histopatologi, dan derajat anaplastik. Oligodendroglioma
tidak memiliki gambaran yang spesifik, namun biasanya menunjukkan suatu gambaran
heterogen dengan intensitas rendah pada T1 dan dengan intensitas tinggi pada T2. Edema
peritumor bisa dilihat dengan baik pada T2 dan FLAIR, namun gambaran edema
vasogenik tidaklah umum pada oligodendroglioma. Area kistik dan perdarahan
intratumoral bisa ditemukan di dalam massa (Peretti, 2015).
Low-grade astrocytoma
Low-grade astrocytoma adalah suatu tumor primer yang merupakan salah satu jenis dari
glioma, dimana secara histologi
terbentuk dari astrosit. Tumor-tumor jenis low grade adalah yang masuk ke dalam grade I
dan II dari sistem grading untuk glioma oleh WHO, dimana pada grade I jaringan
terdiferensiasi dengan baik, tidak didapatkan aktivitas mitosis atau invasi ke jaringan
sekitar; sedangkan pada grade II didapatkan jaringan atipikal. Kebanyaka tumor ini berada
di serebral hemisfer, meskipun pada jenis astrositoma pilositik lokasinya umumnya
berada di serebelum, utamanya jika terjadi pada anak-anak. Median umur penderita
astrositoma adalah 35 tahun, dengan insiden ±15% dari keseluruhan kasus glioma. Gejala
yang ditimbulkan sama dengan jenis tumor glia yang lain da bergantung dari lokasi
tumor. Prognosis pada tipe low grade biasanya baik dengan harapan hidup mencapai 25
tahun setelah reseksi (95%) dan 10-years survival rate hampir 100%. Penunjang yang
dipilih adalah MRI dimana ditemukan penurunan sinyal pada sekuen T1 dan peninggian
sinyal pada sekuen T2 disertai edema peritumor. Pada astrositoma pilositik sering terlihat
gambaran kistik yang lebih jelas terlihat di sekuen T2 (Jallo, 2014).
Malformasi arteriovena serebelum
Malformasi arteriovena atau arteriovenous malformation (AVM) pada serebelum
memiliki karakteristik yang berbeda dengan AVM pada serebrum, dimana AVM pada
serebelum
memiliki kecenderungan untuk mejadi hemoragik lebih besar dibanding AVM pada
serebrum. Kelainan bisa ditemukan pada bagian suboksipital, vermis, tonsil, tentorium,
maupun di area petrosal, dan hanya membentuk 15% dari keseluruhan kasus AVM.
Penunjang yang merupakan baku emas adalah angiografi, baik dengan CT-angiografi,
MR-angiografi, maupun dengan Digital Substraction Angiography. Pada gambarn CT-
scan kepala biasa, akan tampak gambaran hiperdens yang jika diberikan kontras akan
menyangat dan membentuk apa yang disebut “bola cacing”. Gambaran pada MRI kepala
juga mirip dengan pada CT-scan kepala, dengan gambaran hiperintens pada sekuen T2.
Kekurangan dari MRI maupun MRA adalah pada fase akut tidak bisa mendeteksi aliran
darah dengan baik karena pembuluh darah AVM tertekan oleh hematom. Selain itu, MRI
tidak bisa dengan baik melihat feeding artery pada AVM tersebut, sehingga pilihan baku
emas pada kasus AVM, jika sudah dicurigai dari suatu gambaran CT atau MRI adalah
dengan melakukan angiografi.
Gambar 7. Gambaran MRI pada berbagai macam glioma: gambar kiri atas adalah gambaran sekuen T1 pada GBM; kanan atas adalah gambaran low-grade astrocytoma pada sekuen T2 dan T1; dan bagian bawah adalah T1 pada oligodendroglioma (Jallo, 2014; Peretti, 2015; Bruce 2016)
Gambar 8. Gambaran MRI sekuen flare (kiri) dan T1 dengan kontras (kanan) pada suatu AVM serebelum (Jallo, 2014).
2.8. Terapi
Jika dicurigai suatu medulloblastoma, maka terapi yang akan diberikan adalah
reseksi dari jaringan tumor seoptimal mungkin, diikuti dengan radiasi kraniospinal
dan/atau kemoterapi.
2.8.1. Reseksi tumor/ operasi
Reseksi jaringan tumor merupakan langkah yang penting dalam terapi
medulloblastoma. ada tiga hal yang menjadi tujuan dari tindakan operasi pada
medulloblastoma: menurunkan tekanan intracranial akibat dari blok pada ventrikel;
mengkonfirmasi diagnosis dengan biopsi jaringan tumor; dan mereseksi sebanyak mungkin
jaringan tumor dengan meminimalisir kerusakan pada jaringan otak yang normal.
Pemeriksaan MRI pre-operasi dilakukan untuk memberikan pemetaan lokasi tumor sebaik
mungkin dan juga menentukan tingkat kesulitan dari operasi. Sebanyak sepertiga kasus
terdapat pertumbuhan tumor di batang otak, sehingga pada kasus-kasus ini reseksi total tidak
bisa dilakukan. Pemberian steroid seperti deksamethason digunakan sebagai anti edema. Jika
reseksi tumor tidak bisa memperbaiki aliran likuor, maka tindakan tambahan seperti
ventrikulotomi atau ventriculo-peritoneal shunt (VP shunt) diperlukan. (ABTA, 2015)
2.8.2. Radioterapi
Cushing pada 2011 melaporkan bahwa pasien yang mendapatkan radioterapi
setelah tindakan reseksi mampu bertahan hingga lima tahun, dibandingkan pasien yang tidak
mendapatkan radioterapi dimana rata-rata survival rate-nya setelah tindakan reseksi adalah
enam bulan. Pada tahun 1953, Paterson dan Farr melaporkan bahwa 65% pasien dengan
radioterapi 50 Gy di fossa posterior
dan 35 Gy di aksis kraniospinal memiliki survival rate rata-rata tiga tahun. Memulai
radioterapi dalam 28 hari setelah reseksi tumor disebutkan memberikan keluaran yang
lebih baik.
Dosis standar yang sering disebutkan dalam literature untuk medullolatoma
pediatrik adalah 36 Gy dalam 20 fraksi di aksis neurokraniospinal, dengan booster pada
fossa posterior dengan total sebesar 54-55.8 Gy. The French Society of Pediatric
Oncology (SFOP) membuat protokol M-SFOP 98 untuk pasien medulloblastoma dengan
risiko sedang dimana diberikan radiasi yang hiperfraksi (68 Gy dalam 68 fraksi) dengan
booster pada fossa posterior dibandingkan dengan fraksi standar (36 Gy dalam 36 fraksi)
dan ditemukan bahwa 5-year survival rate-nya sebesar 89% dan 81% pada masing-
masing grup, dan tidak dibutuhkan kemoterapi. Jika dosisnya diturunkan, maka survival
rate-nya pun juga turun. Pada beberapa studi ditemukan bahwa pemberian dengan dosis
yang lebih rendah, 23.4 Gy dengan fokus pada tumor bed digabungkan dengan
kemoterapi, memiliki hasil yang cukup baik pada pasien anak dengan risiko sedang.
Iradiasi kraniospinal sering dikaitkan dengan peningkatan risiko keganasan sekunder,
disfungsi endokrin, penurunan IQ, tuli, infertilitas, penyakit kardiak, dan gangguan
neuropsikiatri. Karena sumsum tulang sebanyak 40% terletak di dalam vertebrae, maka
myelosupresi juga bisa menjadi salah satu komplikasi. Mengingat banyaknya efek
samping dari radioterapi ini, saat ini banyak yang menggunakan terapi foton. Howell
melaporan bahwa terapi dengan foton memiliki efek yang lebih rendah terhadap esofagus,
jantung, liver, tiroid, dan ginjal, dibandingkan dengan radioterapi konvensional. (Shonka
et al., 2012)
2.8.3. Kemoterapi
Evans et al. pada tahun 1990 melaporkan bahwa mayoritas pasien dengan risiko
standar, penambahan kemoterapi dengan CCNU (lomustine) dan vincristine pada pasien
dengan radioterapi tidak memberikan hasil yang signifikan. Pasien dengan kategori T3-4 dan
M1-3 yang mendapatkan kemoterapi memiliki Progressive-Free Survival (PFS) sebesar 46%
dibandingkan dengan 0% pada pasien yang hanya menerima radioterapi. Studi oleh Zeltzer et
al. melaporkan bahwa pasien-pasien risiko tinggi yang diterapi dengan 8-in-1 chemotherapy
(cisplatin, cytarabine, dacarbazine, hydrea, lomustine, methylprednisolone, procarbazine,
vincristine) lebih superior dibandingkan dengan kemoterapi menggunakan vincristine,
lomustine, dan prednison. Studi oleh Packer melaporkan penggunaan lomustine, cisplatin, dan
vincristine, dibandingkan dengan siklofosfamid, cisplatin, dan vincristine, sama efektifnya
jika digabungkan dengan radioterapi 23.4 Gy kraniospinal dan 55.8 Gy di fossa posterior,
pada pasien-pasien dengan risiko sedang antara umur 3-21 tahun. (Shonka et al, 2012)
Brandes melakukan uji klinis prospektif dimulai tahun 2003 dan dipublikasikan hasilnya pada
2010, dimana ia melakukan studi pada pasien pasien dengan T1-T3a, M0, tanpa tumor
residual, dan dikategorikan sebagai risiko rendah, diberikan radioterapi saja, dibandingkan
dengan pasien risiko tinggi yang diberikan siklus kemoterapi sebelum radioterapi, yang
kemudian dilanjutkan dengan kemoterapi lanjutan jika terdapat metastase. Hasilnya
didapatkan pada pasien risiko rendah, PFS pada 5 dan 10 tahun adalah 78% dan 46%,
sedangkan pada kelompok risiko tinggi didapatkan 50% dan 36%.
Survival rate secara keseluruhan pada pasien dengan risiko rendah pada 5 dan 10 tahun
adalah 92% dan 65%, sedangkan pada kelompok risiko tinggi adalah 58% dan 45%.
Tidak ada kematian yang disebabkan oleh toksisitas kemoterapi pada studi ini. Brandes
juga menyebutkan bahwa angka rekurensi pada pasien risiko rendah berkurang dengan
penggunaan kemoterapi. Kemoterapi yang diteliti awalnya adalah regimen nitrogen
mustard, vincristine, prednisone, dan procarbazine, namun setelah tahun 1995 regimen
diganti dengan cisplatin, etoposide, dan siklofosfamid. (Shonka et al, 2012)
Seperti halnya radiasi, kemoterapi juga memberikan efek samping. Efek samping
yang paling sering dilaporkan adalah gangguan ginjal, tuli, gangguan hati, fibrosis pulmonal,
dan gangguan gastrointestinal. Efek samping ini sifatnya reversible, dan hilang setelah
kemoterapi dihentikan, namun pada penggunaan methotrexate dilaporkan leukoensefolapati
nekrotik yang sifatnya irreversible.
2.8.4. Terapi Pada Tumor Rekuren
Agen kemoterapi yang umumya digunakan untuk tumor rekuren adalah
regimen berbasis nitrosurea, etoposide, dacarbazine, temozolomide, dan bevacizumab,
dikarenakan medulloblastoma mengekspresikan vascular endothelial growth factor
(VEGF), dan reseptor VEGF (VEGFR)-1 dan VEGFR-
2. Inhibitor SHH seperti vismodegib (Erivedge) dan LDE225 (Erismodegib) juga
diteliti bisa digunakan untuk terapi medulloblastoma rekuren, namun pada model hewan
diketahui angka resistensi pada inhibitor SHH cukup tinggi, sehingga saat ini diteliti
terapi kombinasi yang diharapkan bisa lebih efektif. (Rudin et al., 2009; Yauch et al.,
2009)
2.9. Prognosis
Seberapa baik respon terapi pada pasien medulloblastoma dipengaruhi secara
umum oleh umur pada saat pertama kali terdiagnosis; ukuran dan penyebaran tumor;
jumlah massa yang bisa direseksi; dan level dari metastase (M stage). Central Brain
Tumor Registry of the United States melaporkan 5-years survival rate pasien dewasa
(umur 20+) sebesar 57%–60%, dan 44% untuk 10-years survival rate. Dengan terapi
terkini, 5-years survival rate, terutama pada pasien dengan kelompok WNT dengan level
M0, dikatakan mencapai 90%. Pasien pediatrik yang tergolong risiko tinggi pun, dengan
penanganan yang tepat bisa mencapai 5-years survival rate sebesar 60%-65%. (ABTA,
2015)
Medulloblastoma grup 3 dan 4 memiliki prognosis yang paling buuruk di
antara subtipe lainnya. Grup 3 memiliki kesempatan untuk berkembang menjadi
metastase sebesar 45%, dan memiliki angka 5-years survival rate yang lebih rendah dari
subtipe lain. Pasien bayi dengan histologi desmoplastic dan SHH memiliki prognosis
yang lebih baik, dan diketahui efektif diterapi dengan kemoterapi saja tanpa radiasi.
(ABTA, 2015)
Prognosis untuk pasien dewasa lebih sedikit diketahui karena minimnya uji klinis
untuk pasien usia dewasa. Brandes et al. pada tahun 2003 menyimpulkan bahwa adanya
tumor residual tidak mempengaruhi survival rate pada pasien dewasa, sebaliknya adanya
tumor residual berukuran >1.5 cm2 merupakan penanda prognosis yang lebih buruk pada
pasien anak. Evans et al., menemukan bahwa 5-years survival rate pada pasien dewasa
dengan M0 adalah 59% dibandingkan dengan 36% pada M1-3. Brandes et al., menemukan
bahwa pasien dengan status
M0 dibandingkan dengan M1-3 memiliki perbedaan yang signifikan pada 5-years
survival rate nya (75% vs 45%) akan tetapi ketika diiikuti datanya, pada median 7.6
tahun, tidaklagi terdapat perbedaan yang signifikan antara kedua grup. Hal ini
dikarenakan pada kelompok risiko rendah terjadi relaps. (Brandes et al, 2003) Dua
penelitian lainnya oleh Carrie et al. dan Padovani juga menyimpulkan bahwa M stage
tidak memiliki nilai prognostik pada pasien dewasa. (Shonka et al, 2012)
BAB III
KESIMPULAN
Medulloblastoma adalah tumor embrional yang malignan, invasif,
yang tumbuh di serebelum, predominan pada anak-anak, dan memiliki tendensi
untuk bermetastase melalui likuor serebrospinalis. Pada anak-anak tumor ini
umumnya tumbuh di area vermis, sedangkan pada dewasa tumor ini umumnya
tumbuh pada hemisfer serebeli, terutama di bagian lateral.
Menurut American Brain Tumor Association medulloblastoma umumnya
terjadi pada kelompok anak umur empat tahun atau lebih muda, disusul oleh
kelompok umur 5-14 tahun, dengan median tujuh tahun. Sebanyak 70% kasus
medulloblastoma anak didiagnosa sebelum umur 10 tahun dan sebanyak dua per tiga
kasus adalah laki-laki. Kasus medullolastoma pada usia dewasa lebih jarang terjadi,
dengan insiden 0.5 per satu juta, dan hanya merupakan 2% dari keseluruhan kasus
tumor primer pada usia dewasa muda 20-34 tahun. Medulloblastoma dihubungkan
dengan beberapa sindrom genetik familial seperti sindroma Li-Fraumeni, sindroma
Gorlin, sindroma Turcot, dan sindroma Rubinstein-Taybi.
Diduga bahwa tumor ini berasal dari dua grup sel embrio, yakni: sel zona
ventrikular (VZ) dan sel dari lapisan germinal eksterna (EGL). Sel VZ merupakan sel
muasal dari subtipe wingless (WNT) dan sel EGL merupakan muasal dari tipe sonic
hedgehog (SHH). Klasifikasi WHO terbaru tahun 2007 membagi medulloblastoma
menjadi lima subtipe, yakni: klasik (80% dari keseluruhan kasus medulloblastoma
anak, dan 70% dari medulloblastoma dewasa), desmoplastik
(15% pada anak, 30-40% pada dewasa), anaplastik (10-20% kasus), sel-sel besar
(2-4%), dan noduler ekstensif (3%). Klasifikasi yang hampir sama dengan
klasifikasi WHO dikeluarkan juga oleh ABTA, namun pada klasifikasi ini
ditambahkan jenis gambaran melanotic medulloblastoma. Northcott et al. pada
tahun 2011 membagi medulloblastoma ke dalam empat varian berdasarkan dari
jalur WNT dan SHH, yakni: tipe WNT, tipe SHH, grup 3, dan grup 4. Pada anak,
medulloblastoma terletak di bidang median dari serebelum, sementara pada
dewasa ia terletak pada bagian lateral. Chang mempublikasikan suatu sistem
staging pada tahun 1969 dengan menggunakan sistem T dan M, dimana T adalah
ukuran dan keganasan tumor pada saat reseksi, sedangkan M adalah penyebaran
di luar fossa posterior. Umumnya disepakati bahwa pasien tanpa metastase
memiliki risiko rekurensi lebih rendah.
Karena medulloblastoma berasal dari fossa posterior, maka keluhan
yang muncul adalah gejala-gejala yang khas seperti vertigo, muntah, ataksia, nyeri
kepala. Pasien dengan lokasi tumor di mid-serebelum bisa mengalami gejala
akibat penekanan pada nervi kraniales seperti nystagmus, diplopia, penurunan
fungsi pendengaran, paresis nervus fasialis. Komplikasi yang sering terjadi adalah
hidrosefalus akibat kompresi dari ventrikel empat.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dipilih adalah dengan menggunakan MRI
kepala dengan kontras. Gambaran medullobastoma pada CT-scan tanpa kontras
adalah gambaran massa hiperdens pada serebelum yang disertai midline shift. Massa
ini kemudian menyangat setelah diberikan kontras. Seringkali dijumpai pula
gambaran hidrosefalus akibat obstruksi pada ventrikel empat. Gambaran MRI
medulloblastoma memiliki ciri khas berupa massa tumor hipointens pada T1-W di
area fossa posterior. Pada DWI terdapat peningkatan sinyal, yang mana bisa
membantu dalam membedakan medulloblastoma dengan pilositik-astrositoma dan
ependimoma. Jika dicurigai suatu medulloblastoma, maka selanjutnya dilakukan
MRI whole spine dan pungsi lumbal untuk menentukan apakah ada penyebaran ke
medulla spinalis dan atau melalui likuor serebropinalis.
Terapi adalah dengan reseksi tumor, radioterapi dan kemoterapi.
Tindakan pembedahan dibutuhkan untuk mendapatkan jaringan untuk biopsy dan
mengangkat sebanyak mungkin jaringan tumor, juga pada kasus-kasus dengan
hidrosefalus berguna untuk mengurangi tekanan intrakranial. Kemoterapi yang
dipilih bisa dengan cisplatin, cytarabine, dacarbazine, hydrea, lomustine,
methylprednisolone, procarbazine, vincristine, siklofosfamid. Penggunaan target
therapy dengan etoposide, dacarbazine, temozolomide, dan bevacizumab,
dikatakan baik pada kasus-kasus rekuren. Pemberian regimen radioterapi
kraniospinal digabung dengan kemoterapi dikatakan memberikan hasil yang baik,
namun pada kasus tertentu (bayi dengan risiko rendah) pemberian kemoterapi saja
sudah bisa memberikan hasil yang baik. Pemberian terapi kombinasi haruslah
didasarkan pada staging dan jenis histologi maupun tipe submolekular dari tumor
tersebut. Prognosis dikatakan baik umumnya pada pasien dengan M0, tipe WNT,
dan pada yang umur muda saat pertama kali didiagnosis. Prognosis paling buruk
didapatkan pada subtipe grup 3 dan grup 4. Pada dewasa, diketahui bahwa status
M tidak mempengaruhi prognosis pasien secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Brain Tumor Association (ABTA). Medulloblastoma. Available
from: http://www.abta.org/. Accessed December 12, 2012. 2. Brandes A.A., Franceschi E., et al. Long-term results of a prospective study
on the treatment of medulloblastoma in adults. Cancer. 2007;110:2035-41. 3. Brandes A.A., Franceschi E., et al. New perspectives in the treatment of
adult medulloblastoma in the era ofmolecular oncology. Crit Rev Oncol.
2015;12:1-12. 4. Bruce J.N. Glioblastoma Multiforme. 2016. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/283252. Accessed January 7, 2016. 5. Central Brain Tumor Registry of the United States (CBTRUS). CBTRUS
statistical report: primary brain and central nervous system tumors
diagnosed in the United States in 2004–2007. Hinsdale, IL: 2011.
Available from: http://www.cbtrus.org/2011-NPCR-SEER/WEB-0407-
Report-3-3-2011.pdf. Accessed December 12, 2012. 6. Fan X., Eberhart C.G. Medulloblastoma stem cells. J Clin Oncol.
2008;26:2821–7. 7. Jallo G.I. Medulloblastoma. 2014. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1181219. Accessed January 7,
2016. 8. Jallo G.I. Low-grade Astrocytoma. 2014. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1156429. Accessed January 7,
2016. 9. Kunschner L.J. Harvey Cushing and medulloblastoma. Arch Neurol.
2002;59:642-5. 10. Louis D., Ohgaki H., et al. WHO classification of tumours of the central
nervous system. Lyon: International Agency for Research on Cancer; 2007. 11. Mellemkjaer L., Hasle H., et al. Risk of cancer in children with the
diagnosis immaturity at birth. Paediatr Perinat Epidemiol. 2006;20:231-7. 12. Northcott P.A., Korshunov A., et al. Medulloblastoma comprises four
distinct molecular variants. J Clin Oncol. 2011;29:1408-14. 13. Peretti P. Imaging in Oligodendroglioma. 2015. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/342958. Accessed January 7, 2016. 14. Peris-Bonet R., Martinez-Garcia C., et al. Childhood central nervous
system tumours – incidence and survival in Europe(1978–1997): report
from Automated Childhood Cancer Information System project. Eur J
Cancer. 2006;42:2064–80. 15. Remke M., Hielscher T., et al. Adult medulloblastoma comprises three
major molecular variants. J Clin Oncol. 2011;29:2717-23.
16. Rudin C.M., Hann C.L., et al. Treatment of medulloblastoma with
hedgehog pathway inhibitor GDC-0449. N Engl J Med. 2009;361:1173-8. 17. Rutka J.T., Hoffman H.J. Medulloblastoma: a historical perspective and
overview. J Neurooncol. 1996;29:1-7. 18. Shonka N.A., Brandes A.A. Adult Medulloblastoma, From
Spongioblastoma Cerebelli to the Present Day: A Review of Treatment
and the Integration of Molecular Markers. Brain Tumor Onco. 2012;11. 19. Smoll N.R., Drummond K.J. The incidence of medulloblastomas
andprimitive neurectodermal tumours in adults and children. J Clin Neu-
rosci. 2012;19:1541–4. 20. Yauch R.L., Dijkgraaf G.J., et al. Smoothened mutation confers resistance
to a Hedgehog pathway inhibitor in medulloblastoma. Science.
2009;326:572-4.
Recommended