View
217
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Suprayoga Hadi, Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatan Tahun 2004 129 Saut Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya
7Megakota Jakarta:Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya
Saut Sagala,1 ,2
Pudja Handika,2 M. Reza Arisandy
2
1Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, ITB 2Pusat Mitigasi Bencana, Institut Teknologi Bandung
Email: saut.sagala@sappk.itb.ac.id
Abstrak
Megakota menciptakan sebuah dinamika dan kompleksitas yang baru akibat dari
perkembangan kota yang semakin tidak terkendali. Permasalahan yang dihadapi
megakota di dunia memiliki karakteristik yang umum, seperti halnya Jakarta
dengan permasalahan penduduk, kepadatan, sektor usaha formal, dan informal,
kemiskinan, kriminalitas meningkat, serta potensi konflik sosial. Selain tantangan-
tantangan tersebut, megakota seperti Jakarta dapat memiliki kerentanan
(vulnerability) yang semakin tinggi terhadap bencana alam. Banjir besar yang
melanda Jakarta pada tahun 1997 dan 2002 serta banjir-banjir pada tahun lainnya
seakan-akan ingin menunjukkan bahwa inilah akibat dari perkembangan Jakarta
sebagai megakota yang tidak terkendali. Tulisan singkat ini mengulas keberadaan
Jakarta dan persoalan kebencanaan yang dihadapi. Dua megakota di dunia, Tokyo
dan Seoul, diulas dalam tulisan ini sebagai perbandingan bagaimana mereka
berhasil mengelola masalah kebencanaan dengan pembentukan institusi yang
tangguh. Jakarta diharapkan dapat mengadopsi apa yang dilakukan oleh Tokyo dan
Seoul di dalam penanganan persoalan kebencanaan.
Kata kunci: megakota, Jakarta, bencana,pendekatanan,penanganan
7.1 PENGANTAR
Megakota memiliki berbagai definisi yang berbeda. Beberapa penulis berargumen
bahwa megakota adalah kota yang dicirikan memiliki populasi lebih dari 1 juta
(Mitchell, 1998) 8 juta (Nicholls, 1995) dan 10 juta (Thouret, 1999). Dengan
menggunakan definisi di atas, Jakarta dan wilayah di sekitarnya (Bogor, Depok,
Tangerang dan Bekasi), atau yang biasa disebut Jabodetabek, termasuk di dalam
kategori megakota.
130 JudMena
50 TA
Megakota
dinamika
pertumbu
dan meng
degradasi
dapat me
pembangu
seperti ke
kelompok
sulit dala
konsekue
bencana b
besar siste
Tantangan
antaranya
formal da
potensi ko
sendiri at
bersatu
perubahan
pembangu
berperan
pergesera
Kecender
industri, d
Megakota
dengan b
semakin
kerentana
keterbatas
yaitu pola
tantangan
dul Bukuarik Pelajaran da
TAHUN PERJA
a lebih dari
dan kom
uhan ekonom
ghadapi teka
i lingkungan
eningkatkan
unan peruma
esenjangan s
k pendapatan
am pengelola
nsi yang san
besar gempa
em keuangan
n yang dihad
a permasalah
an informal,
onflik sosial
tau berupa d
seperti Jab
n struktur s
unan ekonom
sebagai fak
an dari pro
rungan ini ju
dan perdagan
Gambar 7.1
a menimbul
berbagai alas
luasnya dae
an semakin s
san untuk m
a jalan yang
n fisik terha
ari
ALANAN PER
i sekedar s
mpleksitas y
mi yang pesa
anan yang ku
n. Pemekaran
volume la
ahan yang tid
sosial yang t
n. Megakota
aannya. Sent
ngat tinggi k
bumi terjad
n seluruh dun
dapi megako
han pendudu
, merebakny
lainnya. Me
dua kota ata
odetabek. P
sosial, indus
mi merupaka
ktor utama d
oduksi prim
uga terkait d
ngan serta de
1. KepadatanSumber : O
lkan tantang
san. Pertam
erah kota m
sulit untuk di
melayani jum
rumit serta
dap sistem
RENCANAAN
sebuah kota
yang baru.
at sehingga m
uat untuk m
n dan perke
alu lintas, k
dak mencuku
tinggi antara
a dapat menj
tralitas politi
etika terjadi
i di Tokyo m
nia (Hadfield
ota di dunia m
uk dan kep
ya kemiskina
egakota dapa
au lebih yan
Perkembanga
strialisasi, d
an alasan terb
dalam proses
mer menjad
dengan perub
engan peruba
n Bangunan dObservasi, 20
gan khusus
ma, terdapat
menjadi sebu
ipantau. Sela
mlah pendud
interkonektiv
transportasi.
WILAYAH DA
besar, yan
Megakota
mempunyai
melakukan pe
embangan ko
konsentrasi
upi dan dalam
a masyarakat
jadi begitu k
ik dan ekono
bencana. Se
maka akan m
d, 1991; Uitt
memiliki kar
padatannya,
an, tingginya
at terdiri atas
ng semakin
an populas
dan faktor l
rbentuknya m
s yang lebih
di produksi
bahan keseim
ahan sosial, p
an Kendaraan011
untuk peng
kompleksita
uah megako
ain itu infrast
duk yang ad
vitas di wila
. Kedua, m
AN KOTA DI IN
ng skalanya
a seringkali
peluang yan
erubahan dise
ota yang tid
tinggi produ
m beberapa k
t yang berbe
kompleks seh
omi dapat m
ebagai contoh
menimbulkan
to dan Schne
rakteristik ya
penyebaran
a angka krim
s sebuah kot
lama semak
i nasional
lain yang te
megakota. M
h besar, yan
sekunder
mbangan ant
politik dan bu
n Kota Jakarta
gurangan re
as secara ge
ota membuat
truktur yang
da. Permasa
ayah megako
megakota yan
NDONESIA
menciptaka
i mengalam
ng lebih bes
ertai ancama
dak terkenda
uksi industr
kasus ekstrem
eda kelas ata
hingga sang
mengakibatka
h, jika sebua
dampak yan
ider, 1996).
ang umum, d
sektor usah
minalitas, da
a yang berdi
kin padat da
yang cepa
erkait denga
Migrasi ke ko
ng melibatka
dan tersie
tara pertanian
udaya.
a
esiko bencan
eografis, yait
t bahaya da
g ada memilik
alahan lainny
ota merupaka
ng terdiri da
an
mi
ar
an
ali
ri,
m
au
at
an
ah
ng
di
ha
an
iri
an
at,
an
ta
an
er.
n,
na
tu
an
ki
ya
an
ari
SuprayogaSa
sejumlah
dalam kea
yang besa
dalam jum
limbah pa
Tulisan in
konteks J
megakota
Megakota
megakota
yang terd
7.2 JA
Jakarta y
kesebelas
perkemba
penduduk
pada tahu
mencapai
penduduk
ulang-alik
a Hadi, Pemikut Sagala, et a
kota denga
adaan darura
ar bagi meg
mlah yang b
anas dalam ju
ni melakuka
akarta. Pada
a. Kemudian
a Jakarta. S
a, tulisan ini
apat di Toky
AKARTA SE
yang menem
s terbesar
angan yang
k, menjadi 2,
un 1980, 9,1
i 9,6 juta j
k yang setiap
k (commuting
Gamb
kiran Perencanal., Megakota
an yurisdiks
at apabila ben
akota. Mega
besar sehingg
umlah yang b
an kajian lit
a bagian awal
tulisan ini m
Sebagai pen
i berargumen
yo dan Seoul
EBAGAI ME
mpati lahan
di dunia
sangat pesat
,7 juta jiwa
1 juta jiwa p
jiwa pendud
p hari datang
g).
bar 7.2. PosiSum
naan di IndoneJakarta: Pers
i masing-ma
ncana terjadi
akota memer
ga menimbul
besar pula.
teratur tentan
l, tulisan ini
mendiskusika
ndekatan pen
n perlunya s
.
EGAKOTA
seluas 662
(Gambar 6
t. Pada tahu
penduduk pa
penduduk pa
duk. Ini bel
g dari daerah
isi Jakarta diamber : The Brin
esia Berdasarsoalan Kebenc
asing memi
i. Ketiga, ter
rlukan konsu
lkan limbah
ng megakota
akan memba
an persoalan-
nanganan p
sebuah instit
kilometer
6.2). Pendud
un 1950 terd
ada tahun 19
ada tahun 19
lum termasu
h sekitar Jak
ntara Megakonkhoff, 2008
r Catatan Tahucanaan dan PePenan
liki tantanga
rdapat dampa
umsi energi,
padat, cair,
a yang ada
ahas posisi Ja
-persoalan ke
ersoalan keb
tusi yang tan
persegi me
duk Jakarta
dapat sekitar
960, 6 juta ji
995, dan pad
uk sekitar 2
karta untuk b
ota di Dunia
un 2004 13endekatan nganannya
an koordina
ak lingkunga
air, makana
dan gas ser
di dunia da
akarta sebag
ebencanaan
bencanaan d
ngguh, seper
erupakan ko
a mengalam
1,4 juta jiw
iwa pendudu
da tahun 201
2,5 juta jiw
bekerja secar
31
asi
an
an
rta
an
ai
di
di
rti
ta
mi
wa
uk
10
wa
ra
132 Judul BukuMenarik Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
Jakarta juga menjadi magnet bagi para imigran yang mencari kondisi kehidupan
yang lebih baik. Pada tahun 2015, Jakarta diharapkan menjadi kota terbesar kelima
di dunia, dengan populasi sekitar 21,2 juta jiwa atau 15 kali lebih banyak
dibandingkan dengan penduduk pada tahun 1950. Laju tahunan pertumbuhan
penduduk mencapai 1,39 persen pada periode 2000-2010 dan kepadatan penduduk
mencapai lebih dari 1300 jiwa per kilometer persegi pada tahun 2010 (Badan Pusat
Statistik BPS, 2010) membuat Jakarta sebagai salah satu kota terpadat di dunia.
Jakarta telah menjadi pusat perdagangan sejak abad ke-16-an, ketika perusahaan
Hindia Belanda Timur mendirikan sebuah kota yang bernama Batavia yang berada
dekat dengan Teluk Jakarta. Perkembangan jumlah manusia yang pindah ke kota
merupakan awal dari bencana yang ditimbulkan oleh Megakota. Kondisi inilah yang
terjadi di Kota Jakarta yang saat ini tumbuh menjadi Megakota Jakarta.
Ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang terkait
dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota berdampak terhadap
kerusakan lingkungan di kota ini. Salah satu yang juga menjadi tantangan utama
bagi Kota Jakarta adalah pengelolaan akan pelanggaran batas perkotaan ke daerah
pinggiran. Sejak tahun 1955, wilayah metropolitan telah meningkat lebih dari tiga
kali lipat (Firman dan Dharmapatni, 1994). Seperti halnya dengan kota-kota besar
lainnya, pinggiran kota Jakarta tumbuh lebih cepat dari kota itu (UNCHS, 1996).
7.3 BENCANA DI MEGAKOTA JAKARTA
Sejumlah bencana alam secara rutin telah terjadi di Jakarta yang berkaitan dengan
perkembangan kota dan kerusakan lingkungan. Bencana alam yang sering terjadi di
Jakarta adalah bencana banjir yang terjadi setiap tahunnya dan hampir terjadi di
seluruh kecamatan di kota ini. Banjir yang diakibatkan oleh naiknya permukaan air
laut juga sering terjadi khususnya di Jakarta bagian utara. Jakarta sebagai megakota
memiliki resiko yang sangat besar apabila terjadi bencana seperti halnya gempa
bumi.
Studi yang dilakukan oleh Yusuf dan Fransisco (2009) yang terkait dampak
perubahan iklim menunjukkan bahwa wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara
masing-masing menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai wilayah yang
paling rentan terhadap bencana di Asia Tenggara. Jakarta Pusat merupakan wilayah
yang sangat rentan terhadap banjir dan Jakarta Utara juga rentan terhadap banjir,
akibat iklim yang menyebabkan naiknya permukaan air laut.
Dalam laporan “Global Earthquake Safety Initiative” PBB juga mempublikasikan
10 megakota yang berbahaya di dunia apabila terjadi bencana alam dan Jakarta
merupakan kota ketujuh. Perkembangan Jakarta menjadi megakota menyebabkan
kebutuhan akan air bersih meningkat sehingga eksploitasi terhadap air tanah
semakin tidak dapat terkendali dan menyebabkan penurunan permukaan tanah di
Jakarta secara perlahan-lahan (Brinkman dan Hartman, 2008). Tingkat ekstraksi air
tanah di Jakarta meningkat dari sekitar 17 juta m3 pada tahun 1998 menjadi 22,5
juta m3 pada tahun 2007 (Firman, 2010). Saat ini garam di dalam air tanah sudah
terdeteksi, hal ini diakibatkan pengaruh pasang surut yang terjadi di Teluk Jakarta
(Samsuhadi, 2010). Penurunan permukaan tanah di beberapa wilayah Jakarta terjadi
Suprayoga Hadi, Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatan Tahun 2004 133 Saut Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya
secara signifikan, mencapai 80 cm selama 1982-1991, 160 cm selama periode 1991-
1997, dan sekitar 20 cm selama periode 1997-1999 (Abidin et al., 2008).
Ada empat jenis penyebab turunnya permukaan tanah di Cekungan Jakarta, yaitu
penurunan air tanah (ekstraksi), beban konstruksi, konsolidasi alam, dan penurunan
akibat proses tektonik (Abidin et al., 2008). Menurut Ward et al.(2010), terdapat
indikasi kuat bahwa penurunan permukaan tanah di Jakarta akibat dari ekstraksi air
tanah dengan volume yang sangat tinggi yang berasal dari akuifer menengah dan
bawah. Berdasarkan data Dinas Industri dan Energi DKI Jakarta, terdapat 60 titik
tanah di Jakarta yang sudah diteliti penurunan permukaan tanahnya sejak 2002-
2010. Penurunan permukaan tanah yang paling mengkhawatirkan berada di Jakarta
Utara. Lokasinya antara lain di Mutiara Baru, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk,
dan Ancol. Penurunan permukaan tanah juga terjadi di daerah Jakarta Barat,
lokasinya antara lain di Cengkareng Barat, dengan penurunan sekitar 65 cm,
sedangkan di Jakarta Timur penurunan terjadi sekitar 47 cm. Jakarta Pusat
mengalami hal yang sama dengan penurunan sekitar 15 cm. Jakarta Selatan
termasuk daerah yang tidak mengalami penurunan permukaan tanah. Penurunan
permukaan tanah atau land subsidence di Jakarta akan tetap terjadi hingga 15 tahun
ke depan, meski pengambilan air tanah dihentikan. Menurut Konsorsium Jakarta
Coastal Defence Strategy (JCDS), dalam 'Workshop Draft Atlas' di Jakarta pada
tahun 2011, selama kurun waktu tersebut, permukaan tanah di Jakarta diprediksi
bakal turun hingga 6,6 meter pada 2030. Pada periode 1974-2010, JCDS
menemukan adanya penurunan permukaan tanah hingga 4,1 meter, di wilayah
Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Wilayah lain seperti Cengkareng Barat
mengalami penurunan 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik
pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter, dan
Cibubur 0,25 meter. Selama kurun waktu 1974-1982, penurunan permukaan tanah
belum terjadi begitu signifikan seperti saat ini, karena ketika itu penggunaan air
tanah tidak setinggi sekarang dan bangunan juga masih relatif sedikit. Pada 1982-
1991, permukaan tanah Jakarta mulai mengalami penurunan, dan pada 1991-2010
kondisi itu makin meluas dan memburuk.
Permasalahan yang muncul akibat perkembangan Jakarta sebagai megakota secara
tidak langsung menyebabkan pemanfaatan air tanah yang melebihi batas dan tidak
dapat dikendalikan, dan juga karena banyaknya daerah resapan air yang dikonversi
menjadi perumahan mewah dan pembangunan lainnya. Faktor lokal yang mungkin
juga telah memengaruhi banjir adalah penurunan permukaan tanah dibeberapa
lokasi, kegagalan pengendalian penggunaan lahan dan pemeliharaan infrastruktur.
Akibat perkembangan kota bencana banjir terjadi di Jakarta. Banjir terburuk di
Jakarta terjadi pada tahun 2002 dan 2007 yang melumpuhkan beberapa bagian kota.
Pada tahun 2002, Jakarta terendam banjir dihampir 90 lokasi di kota yang luasnya
mencakup lebih dari 16 ribu hektar, atau hampir seperlima dari luas total Jakarta.
Bencana alam banjir telah terjadi setiap tahun di hampir semua kecamatan di
Jakarta. Sekitar 40 persen dari wilayah Jakarta terletak di bawah permukaan laut,
terutama di wilayah Jakarta Utara. Berikut jumlah kejadian bencana yang
diakibatkan oleh perkembangan Jakarta menjadi Megakota berdasarkan wilayah
administrasi di Jakarta;
134 JudMena
50 TA
Tabel 7.1
Wilay
Kep Serib
Jakarta S
Jakarta T
Jakarta P
Jakarta B
Jakarta U
Total
Sumber: B
Perkemba
bencana
banjir yan
dengan ju
karena d
pertambah
hidup di
geografis
lingkunga
kian lama
Bencana y
kota yang
serta pen
perkemba
yang berl
karena be
digantikan
aspal atau
dul Bukuarik Pelajaran da
TAHUN PERJA
1. Jumlah Ben
yah(
bu
Selatan
Timur
Pusat
Barat
Utara
BPS, 2009
angan Jakar
alam. Rata-
ng saat ini t
umlah pendu
daya tarik k
han pendud
Jakarta yan
yang rend
an hidup ak
a kian rentan
G
yang terdapa
g tidak diiku
ngawasan da
angan empat
langsung pes
eralih fungs
n oleh rumah
u pelataran
ari
ALANAN PER
ncana Berdas
Banjir kejadian)
-
42
43
27
37
29
178
rta menjadi
-rata bencan
terjadi setiap
duk tertinggi
kota ini se
duk yang tin
ng semakin
dah dan dia
kibat tekanan
terhadap an
Gambar 7.3.
at di Jakarta
uti dengan p
alam pemba
dasawarsa t
sat telah men
si menjadi d
h dan bangun
parkir sehin
RENCANAAN
sarkan Wilayah
KenaikaPermukaan
(kejadia
4
-
-
-
-
3
7
megakota m
na alam yan
p tahunnya.
i di Indonesi
ebagai pusat
nggi ini men
lama sema
aliri oleh b
n pertumbuh
caman benca
Banjir di KotaSumber : Viv
merupakan
perkembang
angunan fisik
terakhir ini. P
nyebabkan k
daerah perm
nan, dan lah
ngga tidak m
WILAYAH DA
h Administras
anair laut
an)
An(
menyebabka
ng sering ter
Saat ini Jak
ia dan jumlah
t perekonom
nimbulkan t
akin berat. P
banyak sung
han pendudu
ana banjir.
a Jakarta vanews,2011
salah satu da
an infrastruk
k. Hal terse
Peningkatan
kawasan resa
mukiman dan
an yang ters
mampu meny
AN KOTA DI IN
i Jakarta, Tah
ngin Badai (kejadian)
3
-
1
-
-
1
5
an Jakarta s
rjadi merupa
arta juga me
h ini akan ter
mian Indon
tekanan pad
Perpaduan a
gai, serta k
uk, menyeba
ampak dari p
ktur yang m
ebut dapat
n jumlah pen
apan air berk
n industri. L
isa pun ditut
yerap air. A
NDONESIA
hun 2005-2008
Tanah longsor
(kejadian)
-
-
1
-
-
-
1
ering diland
akan bencan
erupakan ko
rus bertamba
esia. Tingk
da lingkunga
antara kondi
kian rusakny
abkan Jakar
perkembanga
mendukungny
dilihat dalam
duduk Jakar
kurang drast
Lahan terbuk
tupi oleh jala
ir hujan yan
8
da
na
ta
ah
kat
an
isi
ya
rta
an
ya
m
rta
tis
ka
an
ng
Suprayoga Hadi, Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatan Tahun 2004 135 Saut Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya
tidak teresap berubah menjadi aliran permukaan yang mengalir ke sungai,
selanjutnya dialirkan ke sesuai dengan kapasitas sungai yang ada dalam
menampung air tersebut. Dalam jumlah besar, air hujan yang tidak tertampung akan
menjadi banjir. Terjadinya banjir akan tergantung pada tingginya curah hujan di
hulu dan di wilayah Jakarta sendiri, volume sampah yang membuat sungai-sungai
menjadi tersumbat dan dangkal, serta pasang surutnya air laut. Bila salah satu faktor
yang disebutkan ini sedang berada dalam keadaan tidak normal, terjadilah banjir
dan genangan air di beberapa kawasan yang rendah di ibukota. Bila semua faktor
berada dalam keadaan tidak normal, banjir besar akan menimpa Jakarta. Tabel
berikut ini menampilkan berbagai bencana di Jakarta berikut penyebab dan
kerugiannya;
Tabel 7.2. Kejadian Bencana di Jakarta
Tahun Jenis
Persoalan Penyebab Kerugian
September, 1989
Banjir Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan meluap akibat tidak mampu menampung banjir kiriman dari hulu
4.400 KK harus mengungsi
November, 1997
Banjir kecilnya kapasitas tampung sungai dibanding limpasan (debit) air yang masuk ke Jakarta. Keterbatasan kapasitas sungai dan saluran makro ini disebabkan karena konversi badan air untuk perumahan, sedimentasi dan pembuangan sampah secara sembarangan.
menggenangi 4 Kelurahan, 745 rumah, serta mengakibatkan 2.640 orang harus mengungsi.
Februari, 1999
Banjir Meluapnya sungai Angke, Pesanggrahan, Ciliwung, Cipinang, Sunter,
Ribuan rumah terendam, 6 korban tewas, 30.000 jiwa mengungsi
Januari, 2002
Banjir Penggunaan lahan di perkotaan dengan banyak bangunan dan permukiman menyebabkan kemampuan tanah meresap air sangat rendah, dan penyempitan alur sungai daerah hilir
Jumlah pengungsi Banjir 2002 yang mencapai 100 ribu lebih. korban meninggal berjumlah 25org
Februari, 2007
Banjir Selain sistem drainase yang buruk, banjir berawal dari hujan lebat yang berlangsung sejak sore hari tanggal 1 Februari hingga keesokan harinya tanggal 2 Februari, ditambah banyaknya volume air 13 sungaiyang melintasi Jakarta yang berasal dari Bogor-Puncak-Cianjur, dan air laut yang sedang pasang, mengakibatkan hampir 60% wilayah DKI Jakarta terendam banjir dengan kedalaman mencapai hingga 5 meter di beberapa titik lokasi banjir.
48 orang tewas dan 210.404 orang mengungsi (Bakornas PB) , 1379 gardu induk terganggu, 420.000 pelanggan listrik terganggu
136 Judul BukuMenarik Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
Tahun Jenis
Persoalan Penyebab Kerugian
Juni, 2008
Banjir di Tol Sedyatmo Km 26 (Tol Jakarta- Bandara Soekarno Hatta)
Tanggul penahan air laut yang berada di lokasi jalan tol tersebut jebol akibat tidak dapat menampung tekanan air laut yang semakin besar.
Keterlambatan beberapa maskapai penerbangan dalam keberangkatan pesawat
Maret, 2009
Situ Gintung(bendungan jebol)
Penyebab jebolnya tanggul Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang, Banten dikarenakan tingginya curah Hujan, yang menyebabkan permukaan air situ naik dan melimpas tanggul. Penyebab tersebut dijelaskan Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung dan Cisadane Sutoyo Subandrio Pitoyo.
Berdasarkan data terakhir di posko utama UMJ, pengungsi korban Situ Gintung mencapai 525 jiwa, korban meninggal kurang lebih 100 jiwa
September, 2010
Longsor di kebagusan pasar minggu, Jakarta selatan
Hujan yang terus menerus. Tidak ada korban jiwa dalam musibah ini, 1 rumah rusak
September, 2010
BanjirKuningan dan casablanca
Drainase yang kurang optimal serta hujan yang terus menerus
Kemacetan selama (berapa jam)
September, 2010
Jalananamblas di REMartdinata
Intrusi air laut, air tanah terus disedot sama pengembang, ditambah air laut mulai masuk ke tanah, dan air laut lebih mempercepat proses erosi
Kondisi lalu lintas macet pada saat jalanan amblas karena tidak dapat dilewati kendaraan apapun
Sumber : Diolah dari berbagai sumber
Dari berbagai kejadian bencana yang terjadi di Jakarta seperti yang dijelaskan pada
tabel di atas, yang tergolong dalam bencana pada skala besar yaitu bencana banjir
yang terjadi pada tahun 1997, 2002, dan 2007. Banjir Jakarta pada tahun 1997
terjadi pada seluruh penjuru Kota Jakarta. Pada tahun 2002 dan 2007, banjir
kembali melanda Jakarta dan sekitarnya dengan dampak yang lebih luas dan besar.
Banjir yang terjadi pada tahun 2002 dan 2007 di Jakarta lebih buruk dibandingkan
dengan banjir yang terjadi pada tahun 1997, yaitu dengan penambahan luas
genangan banjir dan dampak keuangan yang lebih besar. Banjir besar tahun 2002
menggenangi Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Sementara banjir pada tahun 2007
berdampak pada hampir 60% dari wilayah Jakarta terendam banjir, yang
menyebabkan Jakarta menggusur 210.000 jiwa untuk mengungsi. Dampak banjir
yang semakin memburuk tersebut disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal.
Penyebab banjir di Jakarta secara umum terjadi karena dua faktor utama yakni
faktor alam dan faktor manusia. Penyebab banjir dari faktor alam antara lain karena
lebih dari 40% kawasan di Jakarta berada di bawah muka air laut pasang sehingga
Jakarta Utara akan menjadi sangat rentan terhadap banjir saat ini. Selain itu secara
SuprayogaSa
umum top
di dataran
lain (Abi
kawasan
irigasi pe
perumaha
kawasan c
Berdasark
2.000 – 4
sifat umu
selanjutny
tangkapan
Bogor, D
menamba
di kawas
kapasitas
ke Jakart
konversi
sembaran
juga mem
menyebab
Jakarta U
a Hadi, Pemikut Sagala, et a
pografi wilay
n banjir Kali
idin, 2008).
sekitarnya.
ertanian, dan
an dan laha
cekungan di
kan data kli
4.000 mm s
m kawasan t
ya akan men
n air (catchm
Depok dan
ah debit limp
san hilir sun
tampung su
ta. Kecilnya
badan air un
ngan. Air kir
mbuat kapa
bkan banjir.
Utara juga me
Gamba
kiran Perencanal., Megakota
yah Jakarta y
i Angke, Pes
Sungai–sun
Fungsi sun
saat ini lah
an komersil.
Jakarta Utar
imatografi d
etiap tahunn
tropis lembab
nciptakan lim
ment) di hul
Jakarta. Pem
pasan permu
ngai di Jaka
ungai yang sa
kapasitas s
ntuk perumah
riman yang
sitas sungai
Pengaruh pe
enyebabkan d
ar 7.3. KecamSumbe
naan di IndoneJakarta: Pers
yang relatif d
sanggrahan,
ngai tersebu
gai–sungai t
an pertanian
. Akibatnya
ra.
di kawasan J
nya dengan d
b serta damp
mpasan air y
lu. Daerah ta
mbangunan
ukaan yang ak
arta. Kondis
aat ini diban
sungai dan s
han, sedimen
datang dari
i di Jakarta
eningkatan p
daerah Jakart
matan yang Dilaer : Hasil analis
esia Berdasarsoalan Kebenc
datar, dan 40
Ciliwung, C
ut relatif ter
tersebut awa
n sebagian be
air secara
Jakarta, inte
durasi yang
pak pemanas
yang deras k
angkapan in
besar–besar
khirnya juga
si tersebut
nding limpas
saluran mak
ntasi, dan pe
daerah seki
a tidak dap
pasang air lau
ta Utara sem
anda Banjir disis, 2011
r Catatan Tahucanaan dan PePenan
0% wilayah J
Cipinang, Sun
rletak di at
alnya merup
esar telah di
a otomatis b
ensitas hujan
lama. Hal in
san global. C
ketika jatuh d
i juga menc
ran di kawa
a menambah
diperparah o
an (debit) ai
kro ini diseb
embuangan s
itar Jakarta
at menampu
ut dan penur
makin rentan b
i Jakarta
un 2004 13endekatan nganannya
Jakarta berad
nter, dan lain
as ketinggia
pakan salura
iubah menjad
berkumpul d
n tinggi yait
ni merupaka
Curah hujan in
di atas daera
cakup Cianju
asan ini jug
potensi banj
oleh kecilny
ir yang masu
babkan karen
sampah secar
seperti Bogo
ung sehingg
runan tanah
banjir.
37
da
n-
an
an
di
di
tu
an
ni
ah
ur,
ga
jir
ya
uk
na
ra
or
ga
di
138 Judul BukuMenarik Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
Penyebab banjir dari sisi faktor manusia antara lain adalah tidak terintegrasinya tata
kota dan tata air di Jabodetabek, pembangunan yang melebihi kapasitas daya
dukung lingkungan (di antaranya kurangnya tempat parkir air dan sumber air
bersih) serta lemahnya implementasi tata ruang dan tata air di Jabodetabek
merupakan awal mula banjir atau bencana lainnya muncul di Jakarta. Kompetisi dan
penggunaan lahan di kawasan Jabodetabek yang sedemikian cepat juga membuat
konversi besar-besaran badan air dan daerah rawan banjir (sungai, rawa, situ serta
sempadannya) menjadi perumahan, kawasan industri, dan lain-lain. Selanjutnya hal
ini juga mengakibatkan sedimentasi sungai akibat lumpur, sampah organik, dan
anorganik yang disebabkan oleh pembukaan lahan tersebut. Ketidakjelasan
pembagian peran dan tugas Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta, dan
masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur tata air juga
menyebabkan memburuknya kondisi banjir yang ada. Terakhir, faktor penyebab
manusiawi banjir Jakarta ialah pengambilan air tanah yang berlebihan. Hal ini
menyebabkan penurunan tanah semakin ekstrim terutama di Jakarta Utara.
Penyebab manusia seperti yang telah dijelaskan di atas merupakan dampak dari
perkembangan Jakarta sebagai megakota di Indonesia.
7.4 PENDEKATAN PENANGANAN BENCANA: INSTITUSI YANG TANGGUH
Terdapat beberapa megakota di dunia yang memiliki permasalahan yang kompleks
seperti Jakarta, tetapi lebih maju dalam hal penangangan kebencanaan. Dua
megakota di Asia yang dapat dijadikan contoh adalah Tokyo dan Seoul. Kedua kota
ini menunjukkan bahwa persoalan kebencanaan di megakota dapat ditangani dengan
membuat satu lembaga dengan rotoritas khusus, yang menangani berbagai
persoalan terkait kebencanaan dan lingkungan, baik bencana yang bersifat alami
maupun buatan.
7.4.1 Tokyo
Selama abad ke duapuluh Tokyo mengalami ekspansi perkotaan yang sangat
signifikan akibat dari pertumbuhan penduduk yang cepat. Penduduk Tokyo
meningkat dari 7,5 juta pada tahun 1920 menjadi hampir 35 juta pada tahun 2007.
Masalah perencanaan utama bagi Tokyo pada abad keduapuluh adalah untuk
memperluas dan mengintensifkan daerah perkotaan dalam rangka mengakomodasi
pertumbuhan yang cepat. Pada tahun 1860-an, ketika reformis menggulingkan
sistem feodal dalam upaya untuk memodernisasi masyarakat Jepang, Edo diganti
namanya menjadi Tokyo (Modal Timur-Kota), dan direnovasi menjadi kota modern
dengan pengenalan kereta api, trem, dan jaringan jalan, penyediaan air modern, dan
taman modern sampai 1910-an. Pada pertengahan tahun 1920-an, kawasan
perkotaan Tokyo mulai tumbuh melewati pinggiran kota bekas daerah perkotaan
Edo, pabrik industri berat yang berlokasi di daerah pinggiran Tokyo mulai tumbuh
dengan pesat.
Tokyo telah mengalami berbagai masalah lingkungan perkotaan karena pesatnya
pertumbuhan dan konsentrasi penduduk dan industri. Masalah tersebut termasuk
Suprayoga Hadi, Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatan Tahun 2004 139 Saut Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya
pencemaran lingkungan seperti polusi udara, pencemaran air dan penurunan
permukaan tanah, keterlambatan dalam menyediakan sistem pembuangan limbah
dan keterbatasan tempat pembuangan sampah.
Tokyo saat ini merupakan megakota terbesar di dunia dengan penduduk sebesar 35
juta jiwa penduduk. Bencana yang terjadi di Tokyo umumnya adalah bencana
gempa bumi dan banjir. Tahun 1923 terjadi gempa bumi yang sangat besar di
Tokyo, yang dikenal dengan Gempa Kanto, yang menelan korban jiwa paling
sedikit 105.385 jiwa, 37.000 jiwa yang diperkirakan tewas. Gempa sendiri
merupakan salah satu fenomena yang sering sekali terjadi di Tokyo akibat dari letak
Jepang yang berada pada patahan dari lempeng-lempeng benua, yaitu Lempeng
Eurasia, Pasifik, dan Laut Filipina.
Untuk menghasilkan sistem manajemen bencana yang siap terhadap bencana,
Tokyo memiliki Pusat Pencegahan Bencana, yaitu Tokyo Metropolitan Disaster
Prevention Center (TMDPC). Pusat Pencegahan Bencana Metropolitan Tokyo
merupakan pusat fasilitas yang bertindak sebagai penghubung antara organisasi
manajemen bencana di bawah jaringan Tokyo Metropolitan Government. Lembaga
ini memiliki fungsi menganalisis informasi, menimbang, menentukan, dan
mengeluarkan petunjuk langkah-langkah anti bencana dengan tujuan melindungi
kehidupan dan aset warga Tokyo dari berbagai jenis bencana baik alam ataupun
buatan, seperti gempa bumi, badai, banjir, serangan teror, kecelakaan, dan bencana
lainnya. Sebagai tulang punggung (backbone) lembaga ini, dibuat sistem informasi
darurat yang menampilkan data dan fungsi-fungsi grafis komunikasi berdasarkan
jaringan nirkabel darurat. (Okata, Junichiro, dan Murayama, 2011)
7.4.2 Seoul
Seoul Metropolitan Region (SMR) meliputi kota Seoul dan Incheon dan Provinsi
Gyonggi. Incheon adalah sebuah kota mandiri di barat Seoul dengan jumlah
penduduk lebih dari dua juta orang. SMR telah melewati masa pertumbuhan yang
cepat selama 50 tahun terakhir, mengalami peningkatan populasi dari 3,2 juta pada
tahun 1960, 11,9 juta pada tahun 1980 dan 23,8 juta pada tahun 2005, atau 48,3%
dari populasi nasional. Kota Seoul sendiri telah tumbuh dari 2,4 juta pada tahun
1960 menjadi 10.3 juta pada tahun 2005, dan merupakan salah satu dari 25 kota-
kota besar dunia dengan lebih dari sepuluh juta penduduk. Ledakan pertumbuhan
SMR terjadi secepat pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi di tingkat nasional.
The National Emergency Management Agency (NEMA) Korea berada di bawah
Departemen Administrasi Pemerintahan dan Dalam Negeri dan bertanggung jawab
atas semua bencana alam. Ketika bencana terjadi, Markas Besar Pusat
Penanggulangan Bencana dan Keselamatan (The Central Disaster and Safety
Countermeasures Headquarters, CDSCH) mempunyai tugas untuk mengontrol
pelaksanaan pencegahan termasuk status sumber daya apabila terjadi bencana alam,
serta perencanaan pemulihan, dan melaksanakan tindakan yang diperlukan
sehubungan dengan bencana tersebut (Keun Namkoong, 1995).
Pada tahun 1990-an, Pemerintah Korea mulai melakukan perbaikan dalam
manajemen bencana alam dan bencana buatan manusia, dan memperbaiki program
140 Judul BukuMenarik Pelajaran dari
50 TAHUN PERJALANAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA DI INDONESIA
yang terkait seperti sistem informasi manajemen bencana dan program asuransi
banjir. Kegiatan tersebut dipimpin oleh Markas Besar Pusat Penanggulangan
Bencana dan Keselamatan dan berada di bawah Departemen Pemerintah
Administrasi dan Dalam Negeri, yang mengelola dan mengoperasikan dilakukan
oleh Dewan Pusat Pertahanan Sipil dan Komite Penanggulangan Bencana. Dua
puluh satu instansi pemerintah dan enam belas pemerintah daerah juga terlibat
dalam manajemen bencana dan pencegahan bencana.
Pemerintah pusat dan daerah telah menempatkan teknik perencanaan penggunaan
lahan jangka panjang untuk mempromosikan mitigasi bencana banjir. Tujuannya
adalah untuk membentuk rencana kesiapan terhadap bencana nasional dan prosedur
pemulihan bencana bagi warga negaranya. Pemerintah Korea Selatan sedang
mengembangkan program asuransi banjir nasional akibat peningkatan jumlah
kerusakan harta benda masyarakat yang disebabkan oleh banjir.
7.5 KESIMPULAN
Tulisan ini telah mengulas persoalan kebencanaan di Megakota Jakarta. Persoalan
ini akan cenderung semakin meningkat. Tanpa sebuah pendekatan yang sistematis
dan terencana, persoalan kebencanaan dan lingkungan ini akan semakin kompleks
dan tidak tertangani. Belum lagi persoalan lain yang dihadapi oleh megakota,
seperti persoalan pembangunan ekonomi, persoalan transportasi dan infrastruktur.
Bagi Megakota Jakarta, ada kebutuhan untuk memperkuat kelembagaan yang dapat
merencanakan, mengkoordinasikan dan melaksanakan program pembangunan untuk
menjamin keberlanjutan megakota dalam masa depan, terutama dalam menangani
persoalan kebencanaan Jabodetabek. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
meningkatkan dan memberdayakan sumberdaya yang ada seperti adanya sebuah
badan yang khusus menangani persoalan kebencanaan Jabodetabek. UU No 24
tahun 2007 tentang manajemen kebencanaan pada intinya mengamanatkan
pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai institusi di
tingkat propinsi dan kota/kabupaten yang mengkoordinasi manajemen kebencanaan.
Tantangannya adalah, bagaimana agar BPBD yang dimaksud dapat tangguh seperti
institusi yang terdapat di Tokyo dan Seoul yang diuraikan di atas.
REFERENSI
Abidin, H. Z., Andreas, H., Djaja, R., Darmawan, D., & Gamal, D. (2008). Land subsidence
characteristics of Jakarta between 1997 and 2005. GPS Solutions, 12(1), pp: 23-32.
Badan Pusat Statistik. (2009). Environment statistics of Indonesia 2009. Jakarta : Badan
Pusat Statistik.
Brinkman, J. J., & Hartman, M. (2008). Jakarta flood hazard mapping framework. World
Bank report, Jakarta.
Firman, T. (2010). Impact of climate change on Jakarta. The Jakarta Post. daily, 9 October.
Firman, T. et al. (2010). Potential climate-change related vulnerabilities in Jakarta:
Challenges and current status, Habitat International.
Firman, T dan Dharmapatni, I .(1994). The Challenges to Sustainable Development in
Jakarta Metropolitan Region. Habitat International, Vol. 18, No. 3.
Suprayoga Hadi, Pemikiran Perencanaan di Indonesia Berdasar Catatan Tahun 2004 141 Saut Sagala, et al., Megakota Jakarta: Persoalan Kebencanaan dan Pendekatan Penanganannya
Hadfield, P. (1991). The Coming Tokyo Earthquake: Sixty Seconds that Will Change the
World. Charles E. Tuttle, Boston, MA. dari buku (The geography of disaster
vulnerability in megacities: J. I. Uitto)
Keun Namkoong. (1995). How to Advance Risk Mitigation and Risk Management in Local
Governance: Adaptation of Seoul Earthquake Management System After the 1995
Kobe Earthquake, Seoul National University of Technology, Seoul, Korea
Mitchell, J.K. (1998b). Urban metabolism and disaster vulnerability in an era. In:
Schellnhuber, H.-J., Wenzel, V. (Eds.), Earth System Analysis: Integrating Science
for Sustainability. Springer, Berlin, pp. 359–377. Dari J.A. Cross Megacities and
small towns: different perspectives on hazard Vulnerability
Nicholls, R.J. (1995). Coastal megacities and climate change. GeoJournal. 37 (3), pp: 369–
379. Dari J.A. Cross Megacities and small towns: different perspectives on hazard
Vulnerability
Okata, Junichiro dan Akito Murayama. 2011. Tokyo’s Urban Growth, Urban Form
and Sustainability, di dalam: Editor Sorensen, A. 2011. Megacities, Urban Form,
Governance, and Suistainability.
Samsuhadi, S. (2010). Ground water utilization in the Jakarta basin. A powerpoint presented
to the discussion on Concepts and Strategy of Sustainability Future of Jakarta.
Tarumanagara University. Oktober, Jakarta.
Sorensen, A dan Okata. (2011). Megacities Urban Form, Governance, and Sustainability.
Tokyo
Thouret, J.C. (1999). Urban hazards and risks: consequences of earthquakes and volcanic
eruptions: an introduction. GeoJournal 49 (2), 131–135. Dari J.A. Cross Megacities
and small towns: different perspectives on hazard Vulnerability
United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS). (1996). An Urbanizing World:
Global Report on Human Settlements 1996.
Uitto, J. I. and Schneider, J. (1996). Preparing for the Big One in Tokyo: Urban Earthquake
Risk Management. The United Nations University and INCEDE, Tokyo. Dari buku
(The geography of disaster vulnerability in megacities: J. I. Uitto)
Ward, P. J. et al. (2010). Coastal inundation and damage exposure estimation: a case study
for Jakarta. Natural Hazard, Agustus.
Yusuf, A. A., & Fransisco, H. (2009). Climate Change Vulnerability Mapping for Southeast
Asia. Singapore: Economy and Environment Programfor Southeast Asia (EEPSEA).
Recommended