View
28
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
MEKANISME CERAI TALAK DALAM HUKUM KELUARGA
ISLAM DI INDONESIA DAN TUNISIA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Muhammad Ilman Anapi
NIM. 1113043000070
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
v
ABSTRAK
Muhammad Ilman Anapi, NIM 1113043000070, Mekanisme Cerai Talak
Dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Tunisia, Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta,
1439/2018M.
Skripsi ini bertujuan untuk memaparkan bagaimana mekanisme talak
dalam hukum keluarga di Indonesia dan Tunisia, apa persamaan dan perbedaan
mekanisme cerai talak di Indonesia dan Tunisia. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan
kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan pencarian
makna, pegertian konsep dan karakteristik. Juga menggunakan metode analisis
komperatif yaitu menemukan persamaan dan perbedaan dalam mekanisme talak di
Indonesia dan Tunisia.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa di Negara Indonesia dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa Talak Ba`in Kubraa adalah talak
yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak
dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas
isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul
dan habis masa iddahnya. Sedangkan di Negara Tunisia dalam Code Of Personal
Status (CPS) atau Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah (MAS) dijelaskan bahwa
Suami tidak boleh menikah lagi (rujuk) dengan wanita yang ia ceraikan dengan
ṭalak tiga, tentu aturan ini sangat berbeda dengan konsep ajaran Islam, tetapi para
pendukung MAS berdalih bahwa tujuan pasal ini adalah untuk memberantas
praktik pernikahan rekayasa (muḥallil) yang banyak terjadi di tengah masyarakat
Tunisia ketika itu.
Kata Kunci : Cerai, Talak, Ba’in Kubro, Kompilasi Hukum Islam,
Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah.
Pembimbing : Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag.
: Ahmad Bisyri Abdul Somad, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1979-2016
vi
KATA PENGANTAR
Puji serta rasa syukur yang mendalam penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT. karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Shalawat teriring salam semoga selalu tercurahkan pada
Baginda Rasulullah Muhammad Salallahu’ ‘alaihi wa sallam.
Selanjutnya penulis ingin sampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik berupa
dorongan moril maupun materiil. Penulis yakin jika tanpa bantuan dan dukungan
tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis secara khusus ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., M.H., MA. selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Bapak Hidayatullah, SH., MH. selaku Sekretaris
Program Studi Perbandingan Madzhab;
3. Ibu Dewi Sukarti, MA., selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis;
4. Ibu Dr. Afidah Wahyuni, M.Ag., dan Bapak Ahmad Bisyri Abdul Somad, MA.,
selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan arahan, saran dan
ilmunya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan ‘Ilmu dan
Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
vii
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta;
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Hamid Susanto dan Ibunda tercinta Ayi
Kholifah, serta adik-adik tersayang Dini Istimaidah, Muhammad Zikri Amrillah,
juga orang-orang terdekat Arizal Firdaus, Robbi Cahyadi, Taufiqqurrahman, Udi
Marsidi, Yadi, Siti Khodijah, dan juga untuk nenek yang telah mencintai penulis
dengan segenap jiwa dan raga, baik doa maupun dukungan dan dengan penuh
kesabaran sehingga dengan ridha mereka penulis mampu berada pada titik seperti
saat ini;
8. Keluarga Besar, SD Lanud Atang Sandjaya Bogor, Pondok Pesantren Daarul
Uluum Bogor, MAN Satu Kota Bogor, dan keluarga besar Jurusan Agama Bogor;
9. Keluarga Besar PMH angkatan 2013 dan Ladies PMH 2013 yang telah menemani
serta memberi dukungan, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini
dengan baik dan semua yang pernah kenal baik semoga Allah melimpahkan
keberkahan kepada kehidupan kalian semua (Aamiin).
10. Kepada guru-guru tercinta KH. Aep Saepudin (Almarhum), KH. Abdul Rajak
(Almarhum), H. Syamsudin, Ustd. Djamsari, Ibu Imas, Ibu lilik, Ibu Dedeh, Ibu
Latifah, Ibu Teti, terimakasih penulis ucapkan sedalam-dalamnya atas nasehat,
do’a, dan ilmu yang diberikan kepada penulis, semoga Allah selalu memberikan
keberkahan dunia dan akhirat kepada beliau semua (Amiin).
11. Kepada teman saya Muhamad Rizki, Arifyanto, Syaeful Bahri, Suparman, Reztu
Rizkiana, Siska Indriyani, Rosyidah, Siti Fadillah, Wisnu Febrian, Asep
Romdhoni, Yuli Sopiyullah, Heri Safrizal terimakasih telah menjadi guru saya
yang membantu penulis. Semoga Allah selalu memberikan Keberkahan kepada
kalian (Amiin).
viii
12. KKN KASTARA yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis dalam ilmu
dan nasihat-nasihatnya. Terimakasih telah menjadi sahabat yang baik.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan balasan
yang berlimpah bagi kita semua Amiin.
Jakarta, 2018
Penulis
MUHAMMAD ILMAN ANAPI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
PEDOMAN TRANSLITERAS .......................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ........................................... 5
a. Batasan Masalah ..................................................................... 5
b. Rumusan Masalah .................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 6
D. Metode dan Teknik Penelitian .................................................... 7
E. Kerangka Teori ............................................................................. 9
F. Review Kajian Terdahulu ............................................................ 10
G. Sistematika Penulisan ................................................................... 13
BAB II MEKANISME CERAI TALAK DI INDONESIA DAN TUNISIA
14
A. Pengertian Perceraian .................................................................. 14
B. Alasan Perceraian ........................................................................ 15
C. Macam-Macam Perceraian.......................................................... 16
D. Pengertian Talak.......................................................................... 16
E. Dasar Hukum Talak .................................................................... 17
F. Hukum Cerai Talak ..................................................................... 19
G. Rukun dan Syarat Talak .............................................................. 19
H. Macam-Macam Talak ................................................................. 20
I. Iddah (Masa Tunggu) .................................................................. 27
J. Hikmah Talak .............................................................................. 30
K. Talak Menurut Ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i ....... 30
BAB III CERAI TALAK DI INDONESIA DAN TUNISIA ....................... 34
A. Pengaturan Cerai Talak Dalam Undang-Undang Indonesia ....... 34
1. Sekilas Tentang Negara Indonesia ......................................... 36
2. Cerai Talak Dalam UU No. 1 Tahun 1974 ............................ 37
3. Cerai Talak Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ............. 37
4. Cerai Talak Dalam PP No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan
Atas PP No. 45 Tahun 1983 ................................................... 41
5. Cerai Talak Dalam Undang-Undang Perkawinan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) ............................................................... 48
B. Pengaturan Cerai Talak Dalam Undang-Undang Tunisia ........... 51
1. Sekilas Tentang Negara Tunisia ............................................. 51
2. Cerai Talak Dalam Regulasi Undang-Undang Tunisia (The
Code Of Personal Status Law) ............................................... 53
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF CERAI TALAK DI INDONESIA
DAN TUNISIA PERSPEKTIF HUKUM KELUARGA .............. 58
A. Analisis Cerai Talak Di Indonesia Dan Tunisia Persfektif Hukum
Keluarga ...................................................................................... 58
B. Komparatif Mekanisme Cerai Talak dalam Hukum Perkawinan
Di Indonesia Dan Tunisia............................................................ 62
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 67
A. Kesimpulan ................................................................................. 67
B. Saran ............................................................................................ 68
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 69
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h ha dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z zet ز
s es س
xiv
sy es dan ye ش
s es dengan garis bawah ص
d de dengan garis bawah ض
t te dengan garis bawah ط
z zet dengan garis bawah ظ
ع koma terbalik di atas hadap kanan
gh ge dan ha غ
f ef ف
q Qo ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
ء apostrop
y Ya ي
xv
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal
atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
a fathah ــــــــــ
i kasrah ــــــــــ
u dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya
sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
ي___ ai a dan i
و___ au a dan u
c.Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
â a dengan topi diatas ـــــا
î i dengan topi atas ـــــى
û u dengan topi diatas ـــــو
xvi
c. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alif dan lam(
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyahatau ,( ال
huruf qamariyyah. Misalnya:
اإلجثهاد = al-ijtihâd
الرخصة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
d. Tasydîd (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah = الشفعة
e. Ta Marbûtah
Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau
diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شزيعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشزيعة اإلسالمية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
xvii
f. Huruf Kapital
Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam
transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika
nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf
kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Misalnya, البخاري = al-Bukhâri, tidak ditulis al-Bukhâri.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama
tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis
Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
g. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara
terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
-al-darûrah tubîhu al الضرورة تبيح احملظورات 1
mahzûrât
al-iqtisâd al-islâmî اإلقتصاد اإلسالمي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
-al-‘asl fi al-asyyâ’ al األصل يف األشياء اإلباحة 4
ibâhah
al-maslahah al-mursalah املصلحة املرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan satu langkah awal terbentuknya sebuah keluarga.
Dalam al-Qur‟an persoalan pernikahan dibahas dalam banyak ayat, al-Qur‟an
sendiri memberikan pemaknaan bahwa pernikahan merupakan jalan menuju
kebahagiaan yang hakiki, 1
sebagaimana firman Allah SWT:
ه نكم مودةومن آياته أن خلق لكم من أن فسكم أزواجا لتسكنوا إلي لك ورحة ا وجعل ب ي إن ف ذرون ليات لقوم ي ت فك
Artinya: “Dan sebagian dari tanda – tanda kekuasaan-Nya, ia jadikan kamu
berpasang-pasangan supaya kamu hidup tentram dan damai (sakinah), dan jadikan
antara kamu dan cinta dan kasing sayang, sesungguhnya hal-hal yang demikian
itulah tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir” (Q.S. Ar Rum : 21)
Nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang berfungsi
untuk memberikan hak kepemilikan bagi laki-laki untuk bersenang-senang, dan
menghalalkan seorang perempuan bersenang-senang dengan lelaki. Maksudnya,
pengaruh akad ini bagi laki-laki adalah memberi hak kepemilikan secara khusus,
maka lelaki lain tidak boleh memilikinya. Sedangkan pengaruhnya kepada
perempuan adalah sekadar menghalalkan bukan memiliki hak secara khusus.2
Islam mengatur kehidupan rumah tangga. Dalam Islam, rumah tangga
merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan merupakan faktor utama dalam
membina masyarakat. Dari sebuah rumah tangga, segala persoalan kehidupan
manusia timbul.3
Tidak jarang kita temukan dalam sebuah bahtera keluarga suami membenci
istrinya, dan begitu juga sebaliknya karena perkawinan tidak dibangun di atas
pondasi rumah tangga yang dipenuhi rasa kasih sayang, tafahum, komunikasi
1Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, Prenada Media, 2004), h. 42 – 43. 2Wahbah Az-zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani Darul Fikir, 2011),
Jilid 9, h. 47 – 48. 3Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, Poligami dalam Islam vs
Monogami Barat, ( Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996 ), h. 6.
2
yang baik, serta suami istri yang menjalankan kewajibannya masing-masing. Hak
tersebut bisa berupa hak bersama-sama, misalkan hak sama-sama mendapatkan
„kesenangan‟, hak istri terhadap suami, seperti hak kebendaan (mahar dan
nafkah), dan hak non kebendaan (keadilan), hak suami terhadap istri misalnya
suami harus ditaati oleh istri dan sebagainnya, jika beberapa usur di atas belum
terpenuhi, maka kehidupan keluarga tidak akan berjalan dengan baik.4
Dalam sistem hukum perkawinan, di dalamnya mencakup pula mengenai
persoalan pertalakan. Karena, suatu ikatan perkawinan tidak akan cukup
menjawab persoalan hati manusia yang selalu membutuhkan pasangan hidup.
Adakalanya manusia itu memiliki rasa kecewa, kurangnya kepuasan lahir maupun
batin terhadap pasangannya, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perlu adanya
hukum pertalakan dalam rumah tangga, walaupun perkara yang halal untuk
dilakukan tetapi dibenci oleh Allah SWT adalah pertalakan, bukan tidak mungkin
Allah SWT mengijinkan pasangan suami-isteri untuk bertalak dalam keadaan
tertentu.
Islam telah mengatur mengenai pertalakan dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Ketentuan Islam mengenai pertalakan perlu disosialisasikan agar
orang mengetahui bagaimana Allah SWT. menjelaskan adab dan tuntunan kepada
mereka yang akan bertalak. Kerap timbul anggapan bahwa apabila seorang
suami sudah mengucapkan kata “talak” kepada isterinya, maka jatuhlah talak
itu. Seorang lelaki, apabila dalam keadaan emosi, tidak sedikit yang
mengeluarkan ungkapan untuk bertalak. Apalagi dalam keadaan ekonomi
seperti saat ini, kebutuhan hidup semakin sulit dan lapangan pekerjaan susah,
sementara harga bahan baku semakin mahal dan tekanan hidup semakin berat,
potensi terjadinya pertentangan dan keributan dalam rumah tangga amat besar.
Bisa jadi dalam rumah tangga yang masih terasa harmonis, dapat terjadi
sedikit salah paham, bertengkar, dan akhirnya dalam keadaan emosi terucap
kata “talak” dalam waktu sesaat.
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya suami-isteri penuh
kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya
4Saayyid Sabiq, fiqh as-sunnah, (Beirut: Dar El Fikr, 1993 ), Juz II, h. 135.
3
rasa kasih sayang itu tidak dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang
berganti dengan kebencian. Jika kebencian sudah datang, dan suami-isteri tidak
dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih
sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu,
upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu
dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan
tetapi perlu pula diingat, bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali
menjadi kasih sayang.5
Permasalahan – permasalahan yang terjadi dalam perkawinan yang
berkepanjangan ini dapat menyebabkan tidak terciptanya tujuan dari perkawinan
yang dapat berujung pada perceraian. Perceraian sejadinya dapat terjadi ketika
seorang suami mengucapkan kata Thalaq pada istrinya. Thalaq secara harfiah
berarti membebaskan.6 Sedangkan menurut syariat pengertian talak adalah
terlepasnya pernikahan dengan lafal talak dan yang sejenisnya.7
Dalam ilmu fikih setidaknya ada empat kemungkinan yang dapat terjadi
dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian yaitu :
1) Terjadinya Nusyuz dari pihak istri
2) Nusyuz suami terhadap istri
3) Terjadinya Syiqaq
4) Salah satu pihak melakukan perbuatan zina
Dalam Undang – Undang Perkawinan Republik Indonesia No 1/1974 Pasal
38 dinyatakan : Perkawinan dapat putus karena,
a) Kematian
b) Perceraian
c) Atas keputusan pengadilan 8
Banyaknya sistem hukum yang berlaku di dunia, mengindikasikan
kemajemukan masyarakat dunia pada satu pihak, dan pluralisme hukum yang
5Satria Effendi , M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), ed. 1, cet. Ke-2, h. 96. 6Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), h. 76.
7Wahbah Zuhayli, Fiqih Islam jilid 9, Penerjemah Abdul Hayyi a Al-Kattani, dkk, (Jakarta:
Gema Insani, 2011), h. 318. 8Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 209, 216.
4
berlaku di pihak lain. Bahkan tidak jarang dalam satu negara atau masyarakat
hukum, berlaku sistem hukum yang berbeda. Di Negara-negara yang
penduduknya tergolong heterogen semacam Indonesia dan Malaysia, berlakunya
hukum pluralis memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan.
Sama halnya dengan sistem-sistem hukum lain yang berlaku di belahan
bumi yang berbeda-beda, sistem Hukum Keluarga Islam masih tetap eksis dan
terus berlaku di Dunia Islam. Dari sekian banyak Negara Islam, atau negara-
negara berpenduduk mayoritas Muslim dan bahkan di negara-negara berpenduduk
muslim minoritas sekalipun, hukum keluarga Islam benar-benar menjadi hukum
yang hidup ( Living Law ) dan diamalkan oleh keluarga-keluarga muslim.9
Salah satu fenomena yang muncul di dunia Muslim dalam abad 20 adalah
adanya usaha pembaharuan Hukum Keluarga (Perkawinan, Perceraian, dan
Warisan) di negara-negara berkependudukan mayoritas Muslim10
salah satunya
adalah Negara Tunisia, pembaharuan konsep hukum keluarga yang disahkan
dengan penerbitan Code Of Personal Status Law atau Majallah Al Akhwal as
Syakhsiyyah pada tanggal 13 agustus 1956.11
Beberapa masalah permasalahan
dalam Code Of Personal Status Law yang menimbulkan kontroversi antara lain :
pelarangan poligami, kesetaraan istri dengan suami dalam menafkahi keluarga,
dan larangan rujuk setelah talak tiga.
Sejak mengalami sekularisasi yang digagas di masa presiden pertama,
Habib Hourguiba, Tunisia terus berkembang menjadi negara yang jauh dari kesan
religi, salah satu faktornya adalah karena undang – undang yang menaungi rakyat
juga tidak mengarah sepenuhnya kepada asas islami, termasuk mengenai hukum
keluarga yang merupakan pedoman penting bagi masyarakat madani.
Sementara di Indonesia, lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat
dikatakan sebagai pembaharuan Hukum Keluarga. Hal ini disebabkan oleh karena
hukum yang kurang relevan dan menyebakan ketidak-samaan suara dalam
9Muhamad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 9. 10
M. Atho‟ Muzdhar, Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern
(Jakarta: Ciputat Press, 2003), h. 22. 11
Muhamad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), h. 15.
5
pengambilan keputusan, sehingga kerap terjadi kesimpang-siuran hukum.
Sekalipun mayoritas ummat Islam Indonesia menganut mazhab Syafi‟i, pemikiran
hukum islam yang berkembang ditengah masyarajat juga mencakup mazhab-
mazhab yang lain. Dengan hadirnya KHI, maka para pengambil kebijakan bisa
lebih menyamakan suara hukum.12
Beranjak dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian perbandingan mengenai hukum keluarga di Tunisia pada Aspek
Pertalakan lalu mengkomparasikannya hukum keluarga di Indonesia pada aspek
Pertalakan. Dengan Judul Skripsi,
“MEKANISME CERAI TALAK DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM
DI INDONESIA DAN TUNISIA”
B. Identifikasi Dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Agar pembahasan ini tidak melebar dan meluas, maka dalam penelitian ini
penulis terfokus pada Perceraian di Indonesia dan Tunisia dan mekomparasikan
UU RI No. 1/1976 dengan UU Tunisia Code Of Personal Status Law (Majallah
Al Akhwal as Syakhsiyyah).
Dalam Syariat maupun Fiqh perkawinan dapat putus dengan talak
(melepaskan ikatan) dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan,
meskipun dibolehkan pada hadist Rasulullah menjelaskan talak ini sangat dibenci
Allah. Atas dasar itulah penulis ingin menelusuri lebih jauh analisis perbandingan
terhadap peraturan perundangan hukum keluarga Indonesia dan Tunisia.
2. Rumusan Masalah
Pernikahan adalah usaha untuk memenuhi beberapa kebutuhan manusia
diantaranya kebutuhan untuk saling menjaga, saling menyayangi, dan kebutuhan
memiliki keturunan, oleh karenanya pernikahan dianggap penting pada umumnya.
12
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006) , h. 98
6
Kompleksitas kehidupan manusia menimbulkan beberapa masalah dalam
pernikahan, beberapa masalah yang ada dalam pernikahan tidak hanya disebabkan
oleh faktor internal manusianya saja tetapi tidak sedikit faktor eksternal juga dapat
mempengaruhinya, diantara faktor eksternal yang berkembang dimasyarakat
adalah masalah yang timbul oleh gejala sosial.
Untuk memudahkan agar bisa dipahami rumusan masalah diatas, maka
penulis merincinya dengan membuat beberapa pertanyaan penelitian sebagai
berikut :
1) Bagaimana Mekanisme Talak dalam Hukum Keluarga di Indonesia dan
Tunisia?
2) Apa persamaan dan perbedaan mekanisme cerai talak di Indonesia dan
Tunisia?
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1) Tujuan Penelitian
Tujuan yang terkandung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk Mengetahui mekanisme talak dalam hukum perkawinan di
Indonesia dan Tunisia.
b. Untuk Mengetahui persamaan dan perbedaan mekanisme cerai talak di
Indonesia dan Tunisia.
2) Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam melaksanakan penelitian ini
adalah :
a. Manfaat akademis. Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah
wawasan dan memperkaya khazanah keilmuan dalam hal masalah.
perceraian di Dunia Muslim. Kemudian menambah literatur perpustakaan
khususnya dalam bidang perbandingan mazhab dan hukum.
b. Manfaat Praktis. Diharapkan hasil penelitian ini bisa memberikan
penjelasan kepada masyarakat tentang Pembaharuan Hukum Keluarga di
Dunia Muslim khususnya dalam masalah mekanisme cerai talak di
Negara Indonesia (KHI) dan Tunisia (Code Of Personal Status Law).
7
Serta diharapkan menjadi bahan rujukan para praktisi hukum dalam
masalah perceraian di Indonesia dan Tunisia.
4. Metode Penelitian
Untuk penelitian ini, penulis menggunakan metode desktiptif dengan
pendekatan kualitatif, yakni merupakan suatu strategi inquiry yang menekankan
pencarian makna, pegertian konsep, karakteristik, gejala, simbol, maupun
deskripsi suatu fenomena; fokus dan multimetode, bersifat alami dan holistik,
mengutamakan kualitas, menggunakan beberapa cara, serta disajikan secara
naratif,13
dan juga menggunakan metode analisis komperatif yaitu menurut Dra.
Aswami penelitian yang berusaha untuk menemukan persamaan dan perbedaan
tentang benda, tentang orang, tentang prosesur kerja, tentang ide, kritik terhadap
orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja. Dapat juga
dilaksanakan dengan maksud membandingkan kesamaan pandangan dan
perubahan pandangan orang, grup, atau negara terhadap kasus, terhadap peristiwa,
atau terhadap ide
Suharsimi selanjutnya mengemukakan, apabila dikaitkan dengan pendapat
Van Dalen tentang jenis-jenis interrelationship studies, maka penelitian
kompatatif boleh jadi bisa dimaksudkan sebagai penelitian causal comparative
studies, yang pada pokoknya ingin membandingkan dua atau tiga kejadian dengan
melihat penyebabnya.
Penelitian komparatif bersifat “expost facto”, artinya data yang
dikumpulkan setelah peristiwa yang dipermasalahkan terjadi. Expost facto
merupakan suatu penelitian emperis yang sistematis dimana peneliti tidak
mengendalikan variabel bebas secara langsung karena perwujudann variabel
tersebut telah terjadi atau karena variabel tersebut pada dasarnya memang tidak
dapat dimanipulasi. Peneliti tidak melakukan perlakuan dalam membandingkan
dan mencari hubungan sebab-akibat dari variabelnya. Peneliti hanya mencari satu
atau lebih akibat-akibat yang ditimbulkan dan mengujinya dengan menelusuri
13
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian; Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Kencana Prenda Media,2014), h. 329
8
kembali masa lalu untuk mencari sebab-sebab, kemungkinan hubungan, dan
maknanya. Penelitian ini cenderung menggunakan data kuantitatif.14
1) Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian
yang menggunakan norma-norma hukum di Indonesia dan Tunisia.
2) Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan 2 sumber data, yaitu
primer dan data Sekunder :
a) Data primer merupakan sumber data yang digunakan sebagai sumber data
pokok : Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Indonesia dan
Undang-undang perkawinan The Code Of Personal Status 19 Tunisia.
b) Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari literatur-literatur
kepustakaan yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Literatur-
literatur yang dimaksud adalah buku-buku majalah, surat kabar, jurnal
ilmiah, dan artikel yang relevan dengan tema skripsi yang penulis teliti.
3) Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data diperoleh melalui kepustakaan
(Library Research), untuk mendapatkan teori – teori yang mendukung tema dalam
penulisan skripsi ini yang diperoleh dari berbagai literatur.15
Dengan
mengumpulkan data yang membahas tentang perceraian, undang-undang
perceraian, serta prosedur talak di negara Indonesia dan Tunisia.
4) Metode Analisis Data
Analisis merupakan suatu usaha untuk menentukan jawaban atas pertanyaan
dari rumusan masalah yang telah tersusun. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode analisis komparatif yang bersifat membandingkan.
Penelitian ini dilakukan dengan membandingkan Undang-Undang perkawinan di
Indonesia (KHI) dengan Undang-Undang di Tunisia (Code Of Personal Status
Law).
14
Sudijono, Anas, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), h. 274 15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UIP, 1986), cet. Ke-III , h. 57.
9
C. Kerangka Teori
a) Perceraian
“Cerai” menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti: pisah, putus
hubungan sebagai suami istri, talak. Kemudian, kata “perceraian” mengandung
arti: perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri), perpecahan. Adapun kata
“bercerai” berarti: tidak bercampur (berhubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-
bini (suami istri).16
Perceraian adalah bagian dari dinamika rumah tangga. Meskipun tujuan
perkawinan bukanlah perceraian, namun perceraian merupakan sunnatullah,
dengan penyebab yang berbeda-beda. Ahmad, menyatakan bahwa perceraian
dapat disebabkan oleh kematian, ketidak cocokan dan pertengkaran selalu terjadi
atau karena salah satu dari suami-istri tidak lagi fungsional secara biologis,
misalnya suaminya impoten atau istrinya mandul.17
Sedangkan menurut Dahlan Idhami, lafadz talak berarti melepaskan ikatan,
yaitu putusnya ikatan perkawinan dengan ucapan lafadz yang khusus seperti talak
dan kinayah (sindiran) dengan niat talak.18
Istilah perceraian terdapat dalam pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 yang
memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan”.
Jadi secara yuridis istilah perceraian berarti putusnya perkawinan, yang
mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri atau berhenti berlaki-bini
(suam istri) sebagaimana diartikan dalam kamus besar Bahasa Indonesia di atas.
Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum
positif tentang perceraian menunjukkan adanya:
a) Tindak hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus
hubungan perkawinan diantara mereka;
b) Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu
kematian suami atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan
16
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 185. 17
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat Jilid 2, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), h. 96 18
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1993), h. 156.
10
yang pasti dan langsung ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa;
c) Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum
putusnya hubungan perkawinan antara suami istri.19
Sedangkan dalam istilah fiqih disebut Talak yang berarti membuka
ikatan, membatalkan perjanjian. Perceraian dalam istilah fiqih juga sering
disebut furqah, yang artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul.
Kemudian kedua istilah itu digunakan oleh para ahli fiqih sebagai satu istilah
yang berarti “perceraian suami istri”20
D. Review Studi Terdahulu
Dalam studi review ini penulis menemukan beberapa judul skripsi yang
berkenaan dengan judul yang penulis akan tulis oleh mahasiswa-mahasiswi
sebelumnya, ternyata setelah penulis baca dan meneliti berbeda pembahasannya
dengan yang akan penulis sajikan dalam penulisan Skripsi ini. Sehingga dalam
penulisan ini tidak akan ada kecurigaan atau plagiasi. Untuk itu penulis
kemukakan 2 buah skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa lainnya
diantaranya sebagai berikut :
1. Aris Munandar, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga Di
Dunia Islam (Studi Perbandingan Hukum Keluarga Islam di Indonesia
dan Turki), Fakultas syariah dan Hukum, 2007. Skripsi ini membahas
Bagaimana poligami menurut Hukum Perkawinan Islam di Indonesia dan
Turki? Bagaimana bentuk sanksi pelaku poligami di Indonesia dan Turki?
Apa perbedaan dan persamaan sanksi poligami di Indonesia dan Turki? Dan
lebih ditekankan dalam hal perbandingan poligami di negara Indonesia dan
Turki dengan studi perbandingan hukum Keluarga Indonesia No 1 Tahun
1974 (Indonesia : The Law On Marrieg 1974). Dan Turkey : Fifty Years of
19
Muhammad Syaifuddin, dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.16 20
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1982), h. 103.
11
Personal Reform 1915-1965 (Turki : 50 Tahun Pembaharuan Hukum
Tentang Pribadi 1915-1965)21
2. Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum
Keluarga Di Dunia Islam (Studi Perbandingan Hukum Keluarga Islam
di Indonesia dan Tunisia), Fakultas syariah dan Hukum, 2014. Skripsi
ini membahas Bagaimana poligami menurut Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia dan Tunisia? Bagaimana bentuk sanksi pelaku poligami di
Indonesia dan Tunisia? Apa perbedaan dan persamaan sanksi poligami di
Indonesia dan Tunisia? dan lebih ditekankan dalam hal sanksi bagi pelaku
poligami di negara Indonesia dan Tunisia dengan studi perbandingan hukum
Keluarga Indonesia No 1 Tahun 1974 (Indonesia : The Law On Marrieg
1974). Dan Tunisia : The Code Of Personal Status 1981 ( Tunisia : Kode
Status Pribadi 1981) 22
, perbedaan skripsi ini dengan skripsi Dinda Khoirul
Ummah adalah bahwa dalam tulisannya Dinda Khoirul Ummah hanya
meneliti bagaimana aturan poligami, prosedur poligami, serta sanksi bagi
pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia, meskipun pembahasan pada
umumnya sama dalam masalah perbandingan Undang-Undang Perkawinan
indonesia dengan Undang-Undang Perkawinan Tunisia tetapi objeknya
berbeda dari skripsi yang penulis teliti.
3. Hani Nurhanipah, Hak Iddah Istri Dalam Cerai Talak Akibat Nusyuz
(Studi Komparatif Putusan No.0033/Pdt.G/2011/PA JT dan Putusan
No. 1550/Pdt.G/2011/PAJS). Dalam skripsi ini membahas bagimana
pertimbangan hukum hakim mengenai cerai talak yang menetapkan nafkah
iddah kepada termohon yang nusyuz pada perkara No.0033/Pdt.G/2011/PA
JT dan Putusan No. 1550/Pdt.G/2011/PAJS? Bagimana pandangan hakim
terhadap putusan cerai talak talak yang menetapkan nafkah iddah kepada
istri nusyuz pada perkara No.0033/Pdt.G/2011/PAJT dan Putusan No.
21
Aris Munandar, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga Di Dunia Islam (Studi
Perbandingan Hukum Keluarga Islam di Indonesia dan Turki), Fakultas syariah dan Hukum,
2007. 22
Dinda Choerul Ummah, Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga Di Dunia Islam
(Studi Perbandingan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia Dan Tunisia), Fakultas syariah dan
Hukum, 2014.
12
1550/Pdt.G/2011/PAJS? Dan lebih menjelaskan tata cara penyelesaian
perkara karena istri nusyuz di Pengadilan Agama Jakarta Timur dan Jakarta
Selatan.
4. Abdul Rahman, Talak Tiga Sekaligus dalam Hukum Islam (Studi
atas Pemikiran Asghar Ali Engineer). Dalam skripsi Abdul Rahman
membahas Bagaimana konsep keabsahan talak yang dipublikasikan oleh
asghar ali engineer? dijelaskan, Asghar menyatakan bahwa dalam al-
Qur‟an dan hadis tidak ada konsep talak tiga sekaligus dan apabila
terjadi maka jatuh talak satu. Hal ini dikuatkan hadis nabi yang shahih
dan juga historis Umar bin Khattab yang memberlakukan konsep
ini demi kemaslahatan pada waktu itu, murni ijtihad dan bukan
bersifat Ilahy yang abadi. Di Indonesia meskipun mayoritas bermazhab
Syafi‟I namun dalam hal talak tiga tidak mengikuti pendapat Imam Syafi‟i.
Hal ini dapat dilihat dalam Fatwa MUI tentang talak tiga sekaligus dan
undang-undang perkawinan yang tidak menyinggung talak tiga ini.
5. Farid Widjil Mubarok. Keabsahan Talak: Studi Komparatif
Mazhab Asy-syaf’I dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Dalam
skripsi ini dijelaskan bahwa menurut mazhab Syafi‟I talak dapat jatuh
dengan pernyataan sepihak, yaitu dari pihak suami, baik lisan atau
tertulis, secara sungguh-sungguh atau bersenda gurau. Dalam
perundang-undangan dijelaskan bahwa talak hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan. Dari kajian terdahulu, seluruhnya mengambil dari
kajian mengenai perbandingan antara undang-undang perkawinan
Indonesia dengan negara lain, sepengetahuan penulis belum ada penelitian
lain yang menjadikan judul “MEKANISME CERAI TALAK DALAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA DAN TUNISIA”.
13
E. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca mempelajari tata urutan
penulisan ini maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut:
BAB I Memuat Pendahuluan yaitu penjelasan erat sekali hubungannya
dengan masalah yang akan dibahas. Penjelasan-penjelasan tersebut dapat
dirincikan dengan bab-bab sebagai berikut yaitu mencakup latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, riview terdahulu, kemudian sistematika penulisan.
BAB II Berisi tentang mekanisme Cerai Talak di Indonesia, Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan mekanisme Cerai Talak dalam Hukum Keluarga
Islam di Tunisia, The Code Of Personal Status Law, cerai talak dalam Undang-
Undang Perkawinan Tunisia.
BAB III Berisi tentang Analisis Komparatif Cerai Talak Di Indonesia
dan Tunisia Perspektif Hukum Keluarga Islam
BAB IV Tinjauan Maqashid Al Syariah tentang Majallah Al Akhwal as
Syakhsiyyah Pasal 19.
BAB V Merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG CERAI TALAK
A. Pengertian Perceraian
Kata “cerai” menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti : pisah, putus
hubungan sebagai suami istri. Kemudian kata “perceraian” mengandung arti:
perpisahan (antara suami dan istri). Adapun kata “bercerai” berarti : tidak
bercampur (hubungan, bersatu) lagi, berhenti berlaki-bini (suami istri).1
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, sebab tidak ada perceraian
tanpa diawali pernikahan terlebih dahulu. Pernikahan merupakan awal dari hidup
bersama antara seorang wanita yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit
keluarga yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak
masyarakat dan pembentukan peradaban.2
Meskipun tidak terdapat satu pengertian secara otentik tentang perceraian,
tidak berarti bahwa perceraian ini tidak diatur sama sekali di dalam Undang-
Undang Perkawinan. Bahkan yang terjadi sebaliknya, pengaturan masalah
perceraian menduduki tempat terbesar. Hal ini jelas apabila kita melihat
peraturan-peraturan pelaksanaannya.3
Istilah perceraian terdapat dalam pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 yang
memuat ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan”. Jadi secara yuridis istilah perceraian
berarti putusnya perkawinan, yang mengakibatkan putusnya hubungan sebagai
suami istri atau berhenti berlaki-bini (suami istri) sebagaimana diartikan dalam
kamus besar Bahasa Indonesia di atas.4
1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h.185. 2Rifyal Ka‟bah, “Permasalahan Perkawinan”, Majalah Varia Peradilan, No. 271, (Juni
2008), h. 7. 3Subekti, Pokok-Pokok Hukun Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h.23.
4Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Undang
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta: Liberty, 1982), h.103.
15
Beberapa ahli juga memberikan rumusan atau definisi dari perceraian itu
sendiri, antar lain:
Menurut R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, perceraian
berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat
tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari
suami maupun dari istri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar
pada perselisihan antara suami dan istri.5
Menurut P.N.H. Simanjuntak, perceraian adalah pengakhiran suatu
perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah
satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan6
Menurut Subekti, perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan
hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.7
B. Alasan Perceraian
Alasan perceraian menurut Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) No. 9
Tauhun 1975, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meniggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
5R. Soetojo Prawiroharmidjojo dan Aziz Saefuddin, Hukum Orang dan Keluarga,
(Bandung: Alumni, 1986), h. 109. 6P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Pusaka
Djambatan, 2007), h. 53. 7Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1985), h.23.
16
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Adapun dalam kitab-kitab fiqh, setidaknya ada empat kemungkinan yang
dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya
perceraian, yaitu :
1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri
2. Nusyuz suami terhadap istri
3. Terjadi syikak
4. Salah satu dari pihak melakukan zina (fakhisyah), yang menimbulkan
saling tuduh-menuduh antara keduanya.
C. Macam-macam Perceraian
Bentuk dan jenis perceraian di Indonesia ditinjau dari segi tata cara dan
beracara di Pengadilan Agama telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975, yang dibedakan menjadi 2 bagian yaitu perceraian karena talak atau
dengan berdasarkan gugatan perceraian:8
a. Cerai Berdasarkan Talak
Perceraian berdasarkan talak termuat dalam, Bab XVI Pasal 117 Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia menjelaskan bahwa talak adalah ikrar suami di
hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya
perkawinan.9
b. Cerai Berdasarkan Gugat
K. Wantjik Saleh mengemukakan yang dimaksud dengan gugatan
perceraian adalah perceraian karena ada suatu gugatan lebih dahulu dari salah
satu pihak kepada Pengadilan dan dengan suatu putusan Pengadilan.10
8Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2004), h. 141. 9Zahry Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan
Di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1979), h. 46. 10
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia), h. 40.
17
D. Pengertian Talak
Secara etimologis, talak mempunyai arti membuka ikatan, melepaskan, dan
menceraikan. Secara terminologis, menurut Abdul Rahman Al-Jajiri, talak adalah
melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut mengurangi pelepasan
ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan. Menurut Sayyid
Sabiq, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami istri, menurut Ibrahim Muhammad al-Jamal, talak adalah memutuskan tali
perkawinan yang sah, baik seketika atau di masa mendatang oleh pihak suami
dengan menggunakan kata-kata tertentu atau cara lain yang menggantikan
kedudukan kata-kata tersebut.11
E. Dasar Hukum Talak
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan Islam. Aqad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya
hingga meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan
rumah-tangga tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat
memelihara anak-anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu, maka
dikatakan bahwa “ikatan antara suami istri” adalah ikatan paling suci dan paling
kokoh.12
Islam telah mensyariatkan agar perkawinan itu dilaksanakan selama
lamanya, diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai. Islam juga
mengharamkan perkawinan yang tujuannya untuk sementara waktu tertentu,
hanya sekedar untuk melepaskan hawa nafsu saja.13
Talak atau perceraian dalam Islam telah di atur dalam al-Quran dan Hadis.
Adapun ayat yang menjadi dasar hukum cerai talak ini diantara nya adalah surat
al-Baqarah [2] ayat 229, yaitu:
11
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2016), h.
145. 12
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Alma‟arif, 1990) Jilid 8, h. 9. 13
Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 157.
18
ل لكم أن تأخذوا ما آت يتموىن فإمساك بعروف أو تسريح بإحسان الطلق مرتان ول يلو فل جناح عليهما فيما فإن خفتم أل يقيما حدود ال شيئا إل أن يافا أل يقيما حدود اللو
ومن ي ت عد حدود اللو فأولئك ىم الظالمون تلك حدود اللو فل ت عتدوىا اف تدت بو Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
Dalam surat yang lain Allah berfirman:
ة تن وأحصوا العد ترجوىن ل وات قوا اللو ربكم يا أي ها النب إذا طلقتم النساء فطلقوىن لعدنة ومن ي ت عد حدود اللو ف قد وتلك حدود اللو من ب يوتن ول يرجن إل أن يأتني بفاحشة مب ي
لك أمرا ظلم ن فسو ل تدري لعل اللو يدث ب عد ذArtinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (Q.S
Ath-Thalaaq 65:1)
Hadis Nabi,
الطلق اللو إل اللل أب غض وسلم عليو اللو صلى اللو رسول قال : قال عمر بن اللو عبد عن س نن و( يف ابوداود رواه)
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar telah berkata bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda:“Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah).14
14
Ibn Majah Abu Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majah, juz 6, Maktabah Syamilah, h.
175, atau lihat: Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, juz 6, Maktabah Syamilah, h. 91.
19
F. Hukum Cerai Talak
“Thalak diperbolehkan (mubah) jika untuk menghindari bahaya yang
mengancam salah satu pihak, baik itu suami maupun istri. Thalak itu bisa wajib,
haram, mubah dan bisa juga sunnah. Di lihat dari konteks yang
melatarbelakanginya, hukum-hukum talak adalah sebagai berikut:
1. Thalak wajib adalah thalak yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi antara suami dan istri; jika masing-masing melihat bahwa
thalak adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan.”
2. Thalak yang diharamkan adalah thalak yang dilakukan bukan karena adanya
tuntutan yang dapat dibenarkan. Karena, hal itu akan membawa mudharat
bagi diri sang suami dan juga istrinya serta tidak memberikan kebaikan bagi
keduanya.
3. Thalak yang mubah adalah thalak yang dilakukan karena adanya hal yang
menuntut kearah itu, baik karena buruknya perangai si istri, pergaulannya
yang kurang baik atau hal-hal buruk lainnya.
4. Sedangkan thalak yang disunnahkan adalah thalak yang dilakukan terhadap
seorang istri yang telah berbuat zhalim kepada hak-hak Allah yang harus
diembannya, seperti shalat dan kewajiban-kewajiban lainnya, dimana
berbagai cara telah ditempuh oleh sang suami untuk menyadarkannya, akan
tetapi ia tetap tidak menhendaki perubahan. Thalak juga disunnahkan ketika
suami istri berada dalam perselisihan yang cukup tegang, atau pada suatu
keadaan dimana dengan thalak itu salah satu dari keduanya akan
terselamatkan dari bahaya yang mengancam.15
15
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1998),
h. 428-429.
20
G. Syarat Dan Rukun Talak
a. Syarat Talak
Syarat jatuhnya talak adalah terjadinya ikatan suami isteri, jika tidak terjad
ikatan suami isteri maka tidak sah talaknya.Yang tidak menyebabkan terjatuhnya
talak ada empat: anak kecil, orang gila, orang yang tidur, dan orang mabuk.16
Harus berasal dari suami, Maksudnya bahwa dia telah menikahi wanita. Jika
dia tidak menikahinya, maka pengaitan talak dengan syarat-syarat darinya tidak
sah. Sebab, jika dia bukan sebagai suami dari wanita itu yang tidak memiliki
wewenang untuk mengaitkan talak dengan syarat-syarat.17
Orang yang
mengucapkan talak telah baligh, berakal, dan mengucapkan talak dengan
kehendaknya sendiri.
b. Rukun Talak
Rukun talak ada tiga, yaitu:
1. Suami, yang mana selain suami tidak boleh mentalak. Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Talak itu hanyalah bagi orang yang mempunyai kekuatan (suami).” (HR.
Ibnu Majah dan Daruquthni)
2. Istri, yaitu orang yang berada di bawah perlindungan suami dan ia adalah
obyek yang akan mendapatkan talak
3. Lafazh yang menunjukan adanya talak, baik itu diucapkan secara lantang
maupun dilakukan melalui sindiran dengan syarat harus disertai adanya niat.
Namun demikian, tidak cukup hanya dengan niat saja, sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam:
“Sesungguhnya Allah memberikan ampunan bagi umatku apa-apa yang
terdetik di dalam hati mereka, selama tidak mereka ucapkan atau kerjakan.”
(Muttafakun „Alaih)18
16
Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz II (Bandung: Al-Haromain Jaya, 2005), h.102,104. 17
Syaikh Muhammad Al-Utsaimin, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media, T.Th), h.
366. 18
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, h. 437.
21
H. Macam-macam Talak
Talak terbagi kepada beberapa bagian jika dilihat daripada sudut yang
berbeda.
1. Jika dilihat daripada sudut kejelasan lafadz yang digunakan, ia terbagi
kepada talak sorih dan kinayah.
2. Jika dilihat daripada sudut keadaan (waktunya) istri yang diceraikan;
diceraikan berdasarkan dalam keadaan suci atau haid, dewasa atau
kanak-kanak, ia terbagi kepada talak bid’i, dan talak sunni.
3. Jika dilihat dari sudut talak menurut pelaku perceraian, ia terbagi kepada
fasakh dan khulu.19
Secara garis besar ditinjau dari boleh atau tidaknya rujuk kembali, talak
dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut yaitu:
1. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah
pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang
pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Dan suami masih
mempunyai hak untuk merujuk kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan
dengan lafal-lafal tertentu.20
Hal ini sesuai dengan Firman Allah :
ة د ع ل ا وا ص ح وأ تن د ع ل ن وى ق ل ط ف ء ا س ن ل ا م ت لق ط ا ذ إ نب ل ا ا ه ي أ ا وا ي ق ت وام ربك و ل ل ة ا ن ي ب م ة ش ح ا ف ب ني ت أ ي ن أ ل إ ن رج ي ول وتن ي ب ن م ن وى رج ت ل
ل و وت ل ل ا ود د ح و ك س ف ن م ل ظ د ق ف و ل ل ا ود د ح د ع ت ي ن ري وم د ت ل را م أ ك ل ذ د ع ب ث د ي و ل ل ا ل ع ل
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap
19
Mustofa Al-Khin, Dkk, Kitab Fikah Mazhab Syafi’i Undang-Undang Kekeluargaan,
(Kuala Lumpur: Prospecta Printers, 2005) Jilid 4, h. 864. 20
H.M.A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 231.
22
dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah
itu sesuatu hal yang baru.” (Q.S At-Talaq 65:1)21
Yang dimaksud dengan “menghadapi iddah yang wajar” dalam ayat
tersebut adalah istri-istri itu hendaknya ditalak ketika suci dan belum dicampuri.
Sedangkan yang dimaksud dengan “perbuatan keji” adalah apabila istri
melakukan perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar,
dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan “sesuatu yang baru” adalah
keinginan suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru dijatuhkan sekali
atau dua kali.22
Setelah terjadi talak raj‟i maka isteri wajib beriddah, hanya bila
kemudian mantan suami hendak kembali kepada mantan isterinya sebelum
berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk,
tetapi jika dalam masa iddah tersebut mantan suami tidak menyatakan rujuk
terhadap mantan isterinya, maka dengan berakhirnya masa iddah tersebut
kedudukan talak menjadi talak ba’in, kemudian jika sesudah berakhirnya
masa iddah itu suami ingin kembali kepada mantan isterinya maka wajib
dilakukan dengan akad baru dan dengan mahar pula.23
Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, berdasarkan
firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
ن ا رت م ق طل ل ن ا ا س ح إ ب ح ري س ت و أ روف بع ك ا س م إ ن ف أ م ك ل ل ي ول لو ل ا ود د ح ا م ي ق ي ل أ ا ف يا ن أ ل إ ا ئ ي ش ن وى م ت ي ت آ ما وا ذ خ أ خ ت ن إ ل ف أ م ت ف
و ب ت د ت ف ا ا م ي ف ا م ه ي ل ع اح ن ج ل ف لو ل ا ود د ح ا م ي ق ل ي ف لو ل ا ود د ح ك ل تا وى د ت ع ون ت م ل ظا ل ا م ى ك ئ ول أ ف لو ل ا ود د ح د ع ت ي ن وم
Artinya:” Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
21
Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 558. 22
Hasbi Al-Shiddieqi, Al-Quran dan Terjemahnya: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, (Jakarta: Depag RI, 1989), 945.
23Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Premena Jaya, 2006), Cet. Ke-2, h.
191.
23
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S Al-Baqarah 2:229)
2. Talak Ba’in, Talak yang jatuhnya tidak memberi hak rujuk kepada mantan
isteri untuk kembali kepada mantan suami. Apabila mantan suami isteri itu
hendak kembali maka wajib bagi keduanya mengadakan akad nikah yang baru
lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya. Talak ba‟in sendiri ada dua
macam yaitu:24
a. Talak ba’in shughra, adalah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan
mantan suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan mantan
suami untuk kawin kembali dengan mantan isteri, baik dalam masa
iddahnya maupun sesudah berakhirnya masa iddah.
Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan:
(1) Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
(2) Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada Ayat (1) adalah:
a) Talak sebelum berkumpul
b) Talak dengan tebusan atau khulu;
c) Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
b. Talak bain kubro yaitu, talak yang menghilangkan status perkawinan dan
menghilangkan kehalalan suami untuk kawin kembali dengan bekas
isterinya kecuali setelah bekas isteri itu kawin dengan laki-laki lain, telah
berkumpul dan cerai secara wajar serta telah selesai menjalankan
iddahnya25
. Talak ba‟in kubro ini terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini
sesuai firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 230:
24
Djamal Latief, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981),
h. 61.
25Slamet Abidin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 9.
24
ره ي غ ا زوج ح ك ن ت ت ح د ع ب ن م و ل ل ت ل ف ا ه لق ط ن إ ن ف إ ا ف ه لق طلو ل ا ود د ح ا م ي ق ي ن أ نا ظ ن إ ا ع ج را ت ي ن أ ا م ه ي ل ع اح ن ج ل ك ف ل وت
ون م ل ع ي م و ق ل ا ه ن ي ب ي لو ل ا ود د حArtinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama
dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (Q.S Al-Baqarah:
230)
Dalam hal ini harus ada perkawinan antara seorang perempuan yang ditalak
tiga kemudian menikah dan bercerai dengan laki-laki lain. Dalam keadaan
demikian perempuan tersebut dikawin lagi oleh laki-laki bekas suami pertama.
Perkawinan seperti ini halal hukumnya, tetapi jika terjadi ada laki-laki yang
diupah oleh bekas suaminya pertama tadi agar menikah dengan bekas istrinya,
kemudian mentalaknya dan oleh karena sudah ditalak oleh laki-laki yang diberi
upah itu, bekas suami pertama (yang mengubah) mengawini perempuan itu lagi,
upaya-upaya tesebut tidak dibenarkan di dalam ajaran Islam.26
Talak ini mengakibatkan hilangnya hak rujuk pada bekas istri
walaupun kedua bekas suami istri itu ingin melakukannya, baik diwaktu
iddah atau sesudahnya, yang termasuk talak bain kubra adalah segala macam
talak yang mengandung unsur-unsur sumpah.27
1. Talak dilihat dari cara pelafalannya terbagi menjadi dua yaitu:
a) Sharih (terang-terangan)
Yaitu, kata-kata yang digunakan jelas dan tegas, dapat dengan mudah
dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai ketika diucapkan.
26
Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) h. 82. 27
Djalil dan A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), h. 78. 26
Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeven,
tth), h. 89. 27
Sayuti Thalib, Hukum KeKeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, (Jakarta: UI
Press, 1986), h. 100.
25
Beberapa contoh talak sarih ialah seperti suami berkata kepada isterinya:
a. Engkau saya talak sekarang juga, engkau saya cerai sekarang juga.
b. Engkau saya firaq sekarang juga, engkau saya pisahkan sekarang juga.
c. Engkau saya sarah sekarang juga, engkau saya lepas sekarang juga.
Apabila suami mengucapkan talak kepada isterinya dengan talak sarih
maka jatuhlah talak itu dengan sendirinya sepanjang suami dalam keadaan
sadar dan tidak ada paksaan suatu apapun.28
b) Kinayah (sindiran)
Talak kinayah yaitu lafadh yang maknanya bisa diartikan talak
atau selainnya. Misalnya perkataan suami ‚saya melepas kamu, atau kamu
saya lepas, atau saya meninggalkan kamu, atau kamu saya tinggalkan atau
kamu pulang saja kerumah orang tuamu‛ (menurut sebagian ulama‟).
Apabila lafadh-lafadh ini keluar dari mulut seorang suami disertai niat
talak maka jatuhlah talak bagi sang istri. Namun jika tidak disertai dengan
niat maka tidak jatuh talak.
Dalil Penggunaan lafal Kinayah dalam talak adalah hadi dari Aisyah
R.A. bahwasannya anak perempuan dari pesisir, menemui Rasulullah SAW,
lalu beliau mendekatinya, kemudian perempuan itu berkata, “aku berlindung
kepada Allah darimu”, lalu beliau menjawab, “Aku telah berlindung kepada
Yang Maha agung. Kembalilah kepada keluargamu.” (H.R. Bukhori [No.
4955]) 29
2. Talak jika dilihat daripada sudut keadaan (waktu) istri yang diceraikan:
a) Bid‟i
Talak bid’i adalah larangan menjatuhkan talak kepada isteri yang
dalam keadaan haid atau suci tetapi setelah digauli dan nifas.
Diperinci, terdiri dari beberapa macam:
1. Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketika sedang dalam
keadaan haid atau nifas.
2. Jika seorang suami menceraikan isterinya ketika dalam keadaan suci,
28Slamet Abiding, Fikih Munakahat, h,195
29Mustafa Al-Bugha, Dkk, Fikih Manhaj, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2012), Jilid I, h. 711.
26
namun ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut.
3. Seorang suami menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya dengan satu
kalimat atau tiga kalimat dalam satu waktu.30
b) Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan
agama, yaitu seseorang mentalak perempuan yang telah pernah
dicampurinya dengan sekali talak dimasa bersih dan belum ia sentuh
kembali selama masa bersih itu.
3. Talak menurut pelaku perceraian
a. Talak yang dijatuhkan suami kepada istri,
b. Talak yang dijatuhkan istri kepada kepada suami atau Gugat Cerai yaitu
perceraian yang dilakukan oleh istri kepada suami. Cerai seperti ini
dilakukan dengan cara mengajukan perceraian kepada Pengailan Agama,
dan Percraian tidak dapat terjadai sebelun Pengadilan Agama memutuskan
secara resmi.
Ada dua istilah yang dipergunakan pada kasus gugat cerai oleh istri, yaitu
fasakh dan khulu’:
1) Fasakh
Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi
yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi dimana:
a. Suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan
berturut-turut, suami meninggalkan istrinya selama empat tahun
berturut-turut tanpa ada kabar berita
b. Suami tidak melunasi mahar (mas kawin) yang telah disebutkan dalam
akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya (sebelum terjadinya
hubungan suami istri)
c. Adanya perlakuan buruk suami seperti penganiayaan, penghinaan dan
tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan
keamana istri. Jika gugatan tersebut dikabulka n oleh hakim
30
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 211.
27
berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka hakim berhak
memutuskan (tafriq) hubungan perkawinan antara keduanya.
2) Khulu‟
Khulu‟ adalah kesepakatan perceraian antara suami istri atas
permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang (harta, mas kawin) yang
diserahkan kepada suami. Dalam peristiwa ini suami melepaskan
kekuasaannya sebagai suami dan memberikan kekuasaan tersebut kepada
istrinya dalam bentuk thalak tebus.
4. Beda Talak Raj‟i, Talak Bain Sughra, dan Talak Tiga (Ba‟in Kubro)
Dari seluruh uraian seputar talak/perceraian diatas dapat disimpulkan
bahwa talak ada 3 macam yaitu talak raj‟i, talak ba‟in sughra (kecil) dan talak
bai‟in kubro (talak 3).
Perbedaan ketiganya adalah :
1. Talak Raj‟i (Rujuk) adalah cerai oleh suami dengan level talak 1 (satu)
dan talak 2 (dua). Dengan status talak raj‟i, maka suami boleh rujuk atau
kembali pada istri yang dicerainya selama masa iddah tanpa harus akad
nikah baru. Namun apabila keinginan rujuk tersebut setelah masa iddah
habis, maka harus diadakan akad nikah baru.
2. Talak Bain Sughra (kecil) adalah perceraian yang disebabkan oleh gugat
cerai oleh istri baik dengan cara fasakh atau khuluk. Dalam kondisi inn,
maka:
a. suami tidak boleh rujuk pada istri selama masa iddah.
b. Suami boleh kembali ke istri setelah masa iddah habis dengan akad
nikah yang baru.
3. Talak 3 (Ba‟in Kubro) adalah perceraian di mana suami sama sekali
tidak boleh rujuk atau kembali pada istrinya walaupun masa iddah sudah
habis kecuali setelah istri menikah dengan laki-laki lain dan beberapa
saat (bulan/tahun) kenudian pria kedua tersebut menceraikannya.31
31
Pembahasan Lengkap Mengenai Perceraian Talak Dalam Islam Pengertian Cerai Talak
Hukum Cerai Syarat Rukun Dalil Tentang Cerai Masa Iddah Macam Macam Cerai Dll, Masuk
Islam.com/ konten/ 2018/ 03/ 08/ PembahasanLengkap-Mengenai-Perceraian-Talak-DalamIslam.
28
I. Iddah (Masa Tunggu)
Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang dicerai talak oleh suami atau
karena gugat cerai oleh istri. Dalam masa iddah, seorang perempuan yang dicerai
tidak boleh menikah dengan siapapun sampai masa iddahnya habis atau selesai.
Bagi istri yang di talak raj‟i (talak satu atau talak dua) maka suami boleh kembali
ke istri (rujuk) selama masa iddah tanpa harus ada akad nikah baru. Sedangkan
apabila suami ingin rujuk setelah masa iddah habis, maka harus ada akad nikah
yang baru. Rincian masa iddah sebagai berikut32
:
1. Perempuan yang ditinggal yang ditinggal mati suaminya
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :
a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka
masa menunggunya („iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya,
berdasarkan firman Allâh Subhanahu wa Ta‟ala :
وأولت الحال أجلهن أن يضعن حلهن Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu
ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (Ath Thalaq 65:4).
b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa „iddahnya adalah
empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta‟ala berfirman :
فإذا ب لغن وعشرا ي ت وف ون منكم ويذرون أزواجا ي ت ربصن بأن فسهن أرب عة أشهر والذين اخبي ت عملون واللو ب أجلهن فل جناح عليكم فيما ف علن يف أن فسهن بالمعروف
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber‟iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
„iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu
perbuat”. (Al-Baqarah 2: 234)33
2. Wanita yang diceraikan
Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu:
32
Pembahasan Lengkap Mengenai Perceraian Talak Dalam Islam Pengertian Cerai Talak
Hukum Cerai Syarat Rukun Dalil Tentang Cerai Masa Iddah Macam Macam Cerai Dll, konten/
2018/ 03/ 08/. 33
Masa Iddah Dalam Islam, almanhaj.or.id, konten/2108/ 03/ 08/. 3668-masa-iddah-dalam-
islam.
29
a. wanita yang dicerai dengan talak raj‟i (talak yang bisa rujuk)
1) wanita yang masih haid, Masa „iddah wanita jenis ini adalah tiga kali
haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
والمطلقات ي ت ربصن بأن فسهن ثلثة ق روء Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru‟. (Al-Baqarah 2: 228)
2) Wanita yang tidak haid, baik karena belum pernah haidh atau sudah
manopause. Bagi wanita yang seperti ini masa „iddahnya adalah tiga
bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
ئي ضن والل ئي ل ي ت هن ثلثة أشهر والل يئسن من المحيض من نسائكم إن ارت بتم فعدArtinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause)
di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. (At-Thalaq 65:4)
3) Wanita hamil
Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir
dengan melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وأولت الحال أجلهن أن يضعن حلهن Artinya: “Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya”. (Ath-Thalaq 65:4)
b. Wanita yang ditalak dengan thalak bâ‟in (thalak tiga).
Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk
memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak,
masa iddahnya sekali haidh. Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti
bahwa rahim kosong dari janin dan setelah itu ia boleh menikah lagi dengan
lelaki lain.
3. Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu‟).
Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa „iddahnya sekali haidh,
sebagaimana ditunjukkan oleh hadits dibawah ini:
30
يو وسلم عن ابن عباس أن امرأة ثابت بن ق يس اخت لعت من زوجها على عهد النب صلى اللو عل اللو عليو وسلم أن ت عتد بيضة فأمرىا النب صلى
Artinya : Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais
menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
lalu Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu
sekali haidh. [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-
Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950).34
J. Hikmah Talak
Secara moral, perceraian adalah sebuah pengingkaran, oleh karena itu islam
tidak menyukai adanya perceraian. Akan tetapi harus disadari bahwa tidak
mungkin perceraian sama sekali untuk dihindarkan dalam lingkup kehidupan
berkeluarga, maka dengan penuh penyesalan, demi alasan-alasan khusus islam
terpaksa menerima kemungkinan terjadinya perceraian. Oleh karena itu perceraian
merupakan jalan terakhir dalam menyelesaikan ketidak serasian dalam rumah
tangga.
Walaupun talak itu dibenci terjadi dalam suatu rumah tangga, namun
sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan. Hikmah di perbolehkannya talak itu karena adanya dinamika
kehidupan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah
tangga akan menimbulkan mudarat kepada dua belah pihak dan orang sekitarnya.
Dalam rangka menolak terjadinya bentuk talak tersebut, maka talak dalam Islam
hanyalah untuk tujuan maslahat. 35
K. Talak Tiga (Ba’in Kubro) Menurut Ulama Mazhab Maliki dan Mazhab
Syafi’i
Kata talak menurut bahasa adalah melepas, kata at-thalaq secara makna
bahasa adalah isim masdhar kata thalaqa, dan suatu isim masdhar menyamai
masdhar dari sisi makna tetapi berbeda dari segi huruf-hurufnya. Makna kata ini
34
Syaikh Husain Bin Audah Al „Awaisyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Muyassarah,
(Beirut: Dar Ibnu Hazm, T.th). Jilid 5, h. 392. 35
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Gema Insani, 1999) h. 201.
31
diambil dari kata al-ithlaq yang artinya melepas. Hal itu karena pernikahan adalah
ikatan (akad), apabila istri ditalak, lepaslah ikatan (akad) tersebut.
Pengertian talak menurut istilah adalah melepaskan ikatan perkawinan atau
putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri dalam waktu tertentu atau
selamanya.
Menurut Mazhab Syafi‟i : “Talak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal talak
atau yang semakna dengan itu”36
Para Ulama Mazhab sepakat bahwa seorang laki-laki yang mencerai talak
tiga istrinya, maka istrinya tersebut tidak halal lagi baginya sampai ia kawin
terlebih dahulu dengan laki-laki lain dengan cara yang benar, lalu di campuri
dalam arti yang sesungguhnya menjadi muhallil (penyelang).
Imam Syafi‟i berkata, “kadang ada sesuatu yang disebutkan dalam al-
Qur‟an lalu diharamkan dan diharamkan pula melalui lisan Nabi-nya,
sebagaimana penyebutan perempuan yang ditalak tiga, Allah Subhanahu wa
Ta‟ala :
ت ن ل لو من ب عد حت ره فإن طلقها فل ت كح زوجا غي
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
(Q.S Al-Baqarah (2): 230)
Allah Subhanahu wa Ta‟ala menerangkan melalui lisan Nabi-nya bahwa
perempuan yang telah ditalak harus dinikahi (dicampuri), baru setelah itu halal
bagi bekas suami untuk menikahinya.”
Dalam as-sunnah kita mendapati keterangan bahwa perempuan yang telah
ditalak harus dicampuri oleh suami barunya. Perempuan tersebut halal baginya
sebelum talak tiga dan haram bagi suami yang menalaknya sehingga perempuan
itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Si istri tetap tidak halal bagi bekas suami
pertama sampai dia melakukan hubungan badan dengan suami barunya dan
bercerai darinya.
36
Imam Syafi‟i Abu Abdullah Muhammad Bin Idris, Ringkasan Kitab AL-UMM, (Jakarta:
Pustaka Azzam), h.476
32
Imam Syafi‟i menambahkan, ayat ini menunjukan bahwa jika seorang suami
menalak istrinya, baik telak dicampuri atau belum, dengan talak tiga, maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya sehingga perempuan tersebut menikah
dengan laki-laki lain.
Malik memberitahukan kepada kami, dari Ibnu Syihab, dari Zuhri, dari
Muhammad bin Abdurrahman, dari Muhammad bin Iyas bin Bukhair, dia berkata:
“ada seorang laki-laki menalak istrinya yang belum pernah dicampuri dengan
talak tiga. Kemudian dia pergi mencari fatwa, dia pergi menemui Abu Hurairah
dan Abdullah bin Abbas. Keduanya berkata: „menurut kami, engkau tidak boleh
menikahinya sehingga perempuan itu menikah lagi dengan laki-laki selain
dirimu.‟
Laki-laki itu berkata, „talak yang saya jatuhkan adalah talak satu.‟ Ibnu
Abbas berkata, „engkau telah melepas karunia yang ada di tanganmu.
Imam Syafi‟i berkata, “jika seorang perempuan yang ditalak tiga menikah
lagi dengan laki-laki lain dengan pernikahan yang sah, kemudian dia melakukan
hubungan seksual dengan suami barunya, lalu suami barunya menalaknya, maka
perempuan ini halal bagi mantan suami pertama, jika masa iddahnya telah habis.
Sabda Rasulullah SAW kepada (mantan) istri Rifa‟ah, „jangan kembali
rujuk kepada Rifa‟ah sebelum engkau merasakan madu suami barumu dan dia
merasakan madumu. „artinya mencampurimu.37
Sedangkan Menurut Mazhab Maliki: “Talak adalah suatu sifat hukum yang
menyebabkan gugurnya kehalangan hubungan suami istri.”
Dalam masalah talak tiga Imam Maliki sependapat dengan para Ulama
Mazhab lainnya, bahwa „seorang laki-laki yang mencerai talak tiga istrinya, maka
istrinya tersebut tidak halal lagi baginya sampai ia kawin terlebih dahulu dengan
laki-laki lain dengan cara yang benar, lalu di campuri dalam arti yang
sesungguhnya‟.
Sesuai dengan firman Allah Subhanu wa ta‟ala :
ره ت نكح زوجا غي ل لو من ب عد حت فإن طلقها فل ت
37Syaikh Ahmad bin Mustafa Al-Farran, Tafsir Imam Syafi’i, (Jakarta: Almahira, 2006), h.
401-402.
33
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
(Q.S Al-Baqarah (2): 230)
Hanya saja Imam Malik mensyaratkan bahwa, laki-laki yang menajadi
Muhallil (penyelang) itu haruslah baligh, sedangkan Imam Syafi‟i memandang
cukup bila dia Muhallil (penyelang) mampu melakukan hubungan seksual,
sekalipun dia belum baligh.38
38
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali, (Jakarta: Lentera, 2011), h. 137-138.
34
BAB III
CERAI TALAK DI INDONESIA DAN TUNISIA
A. Pengaturan Cerai Talak Dalam Undang-Undang Negara Indonesia
1. Sekilas Tentang Negara Indonesia
Indonesia adalah negara berbentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi
daerah yang luas. Negara kesatuan adalah bentuk negara berdaulat yang
diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal. Negara kesatuan menempatkan
pemerintah pusat sebagai otoritas tertinggi sedangkan wilayah-wilayah
administratif di bawahnya hanya menjalankan kekuasaan yang dipilih oleh
pemerintah pusat untuk didelegasikan. Wilayah administratif di dalam negara
Indonesia saat ini terbagi menjadi 34 provinsi. Bentuk pemerintahan negara
Indonesia adalah republik konstitusional, sedangkan sistem pemerintahan negara
Indonesia adalah sistem presidensial. Bentuk pemerintahan republik merupakan
pemerintahan yang mandat kekuasaannya berasal dari rakyat, melalui mekanisme
pemilihian umum dan biasanya dipimpin oleh seorang presiden.
Sistem presidensial adalah sistem negara yang dipimpin oleh presiden.
Presiden adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden
dalam menjalankan pemerintahan dibantu oleh menteri-menteri. Presiden berhak
mengangkat dan memberhentikan para menteri. Para menteri atau biasa disebut
sebagai kabinet bertanggung jawab terhadap presiden.Presiden dalam
menjalankan pemerintahannya diawasi oleh parlemen.1
Parlemen di Indonesia terdiri dari dua bagian yakni, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Anggota DPR dan DPD
dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR merupakan pemilihan umum yang diselenggarakan
oleh sebuah komisi pemilihan umum dengan mekanisme kontestasinya berbentuk
pemilihan umum multi partai. Pemilihan umum untuk memilih anggota DPD juga
diselenggarakan oleh komisi pemilihan umum dengan mekanisme kontestasinya
1Profil Negara Indonesia, indonesia.go.id/2019/19/04/profil/sistem-pemerintahan.
35
berasal dari calon perseorangan dengan syarat-syarat dukungan tertentu yang
mewakili wilayah administrasi tingkat 1 atau provinsi.
Anggota-anggota DPR dan DPD merupakan anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang bersidang sedikitnya satu kali dalam 5
(lima) tahun. MPR merupakan lembaga tinggi negara berwenang untuk mengubah
dan menetapkan undang-undang dasar negara. MPR adalah lembaga tinggi negara
yang melantik presiden dan wakil presiden. MPR hanya dapat memberhentikan
presiden dan atau wakil presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang
dasar. langsung oleh Rakyat Indonesia melalui Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Pilpres) diselenggarakan 5 Tahun sekali. Nama lengkap
Indonesia adalah Republik Indonesia dengan Ibukotanya adalah Kota Jakarta.2
Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang berbentuk
Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Pancasila adalah dasar ideal negara dan yang
menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai dan
menghormati kehidupan beragama.
Sampai saat sekarang ini di negara Republik Indonesia berlaku
berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam serta hukum
Barat (baik itu civil law maupun common law atau hukum anglo sakson).
Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak
menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas penduduknya
menganut agama Islam. Secara sosiologis, hukum Islam dapat dikatakan telah
berlaku di Indonesia, sebab sebagian hukum Islam telah hidup dan berkembang
di masyarakat sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, kemudian berlaku pada
masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan. Secara yuridis,
sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Namun, perlu diketahui penerapan
prinsip berangsur-angsur dalam pengundangan hukum Islam di Indonesia.3
2Profil Negara Indonesia, indonesia.go.id/2019/19/04/profil/sistem-pemerintahan.
3Supriyadi, Dkk, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung: Pustaka
Al-Fikriis) 2009, h., 183-184.
36
Berbagai persoalan yang berkaitan dengan masalah keluarga terus
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Hal ini kemudian menuntut instrumen hukum yang ada harus bisa mengakomodir
bermacam persoalan yang muncul tersebut agar bisa diselesaikan. Selain itu, isu
gender turut membawa perubahan terhadap kedudukan seorang wanita dalam
hukum terutama dalam sistem hukum keluarga. Kedudukan Wanita yang dahulu
selalu di nomor duakan, sekarang menjadi setara dengan laki laki, sehingga
membawa perubahan terhadap masalah peran dan tugas wanita dalam kehidupan
rumah tangga. Adanya kedudukan yang setara tersebut membawa perubahan yang
cukup besar dalam sistem hukum keluarga.
Hukum keluarga yang berlaku antara satu negara dengan negara lainnya
tentu berbeda, termasuk hukum keluarga yang berlaku di beberapa negara muslim.
Meskipun yang menjadi acuan hukum keluarga di negara-negara muslim adalah
hukum Islam, namun pemaknaan serta interpretasi hukum Islam juga memiliki
perbedaan. Hal ini bisa kita lihat dari pluralitas hukum keluarga yang ada di
beberapa negara muslim.
Seiring dengan perkembangan zaman, maka negara-negara muslim
kemudian melakukan pembaharuan hukum keluarga untuk mengakomodir
berbagai persoalan yang muncul. Pembaharuan ini selanjutnya menjadi tonggak
awal reformasi hukum keluarga yang merata di negara-negara muslim.4
Perubahan yang terjadi dalam sistem hukum yang telah lama digunakan
pasti membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Termasuk hukum
keluarga Islam di negara muslim, khususnya Indonesia. Sikap para ulama pun
juga pro dan kontra dan tak jarang terjadi perdebatan sengit karena ingin
mempertahankan ketentuan hukum yang lama, baik karena persoalan metodologi
maupun substansinya.
Di Indonesia lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dikatakan
sebagai pembaharuan hukum keluarga. Hal ini disebabkan oleh karena
hukum yang kurang relevan dan menyebabkan ketidak-samaan suara dalam
4M. Nur Hasan Latief, ”Pembaruan Hukum Keluarga Serta Dampaknya Terhadap
Pembatasan Usia Minimal Kawin Dan Peningkatan Status Wanita”, Jurnal Hukum Novelty,
(Agustus, 2016), h. 197.
37
pengambilan keputusan, sehingga kerap terjadi kesimpang-siuran hukum.
Sekalipun mayoritas ummat Islam Indonesia bermazhab Syafi‟i, pemikiran
hukum Islam yang berkembang di tengah masyarakat juga mencakup
mazhab-mazhab yang lain. Dengan hadirnya KHI, maka para pengambil
kebijakan bisa lebih menyamakan suara hukum.5
2. Cerai talak dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974
Di dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yang menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan yang berwenang” adalah landasan dalam perceraian yang
terkandung di dalam Undang-Undang yang cenderung kepada persaksian
talak.6
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 hanya memuat pengertian perceraian,
yang terdiri dari cerai talak dan cerai gugat. Ini berarti bahwa Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih lanjut bentuk-bentuk perceraian, yang
dalam hukum Islam bentuk-bentuk percerain itu justru lebih banyak prngaturan
hukumnya. Namun demikian, bentuk-bentuk perceraian yang berakibat hukum
putusnya perkawinan itu tetap bermuara pada cerai talak dan cerai gugat serta
alasan-alasan hukun perceraiannya yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974.7
Pada pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 menjelaskan juga Akibat putusnya
perkawinan karena perceraian ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan.
5Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 98.
6Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2006), Cet. Ke-2, h.
191. 7Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 116.
38
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapt memberi
kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya
tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.8
3. Cerai Talak Dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Tidak mudah untuk menggugat ataupun memohon cerai ke pengadilan.
Harus ada alasan-alasan yang cukup menurut hukum, sehingga gugatan cerai bisa
dikabulkan Pengadilan.
Alasan-asalan tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni
sebagai berikut:
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
Kalau perceraian dituntut dengan alasan hukum suami atau istri berzina
dengan orang lain, maka ada kemugkinan bahwa pihak yang salah itu, dituntut
pula secara pidana di pengadilan. Jika hakim yang memeriksa dan mengadili
perkara perzinaan tersebut kemudian memutus bahwa benar terjadi perbuatan
zina dan pihak yang melakukan perbuatan zina itu dihuk pidana, maka hakim
yag memeriksa dan mengadili perkara perdatanya dapat menetapkan perceraian
setelah menerima turunan dari putusan hakim dalam perkara pidana tentang
perzinaan itu, artinya tidak perlu ada pembuktian lagi tentang perbutan zina
yang dilakukan suami atau istri dengan orang lain tersebut.9
8Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41.
9Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h.184.
39
2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
Meninggalkan pihak lain tanpa alasan yang sah menunjukan secara tegas
bahwa suami atau istri sudah tidak melaksanakan kewajiabnnya sebagai suami
atau istri, baik kewajiban yang bersifat lahiriah maupun batiniah. Ini berarti
bahwa tidak ada harapan lagi untuk mempertahankan kelangsungan rumah
tangga, karena telah hilangnya perasaan sayang dan cinta, sehingga tega
menelantarkan atau mengabaikan hak suami atau istri yang ditinggalkannya.
Jadi, perceraian adalah solusi untuk keluar dari rumah tangga yang secara
hukum formal ada, tetapi secara faktual sudah tidak ada lagi.
Alasan hukum perceraian berupa meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah, harus dimajukan
di depan sidang pengadilan dari rumah kediaman pihak yang menuntut
perceraian setelah lampaunya waktu waktu dua tahun terhitung sejak saat pihak
lainnya meninggalkan rumah kediaman tersebut. Tuntutan ini hanya dapat
dimajukan ke depan sidang pengadilan jika pihak meninggalkan tempat
kediaman tanpa sebab yang sah, kemudian tetap segan untuk kumpul kembali
dengan pihak yang ditinggalkan.10
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
Hukuman penjara atau hukuman berat lainnya dapat membatasi bahkan
menghilangkan kebebasan suami atau istri untuk melakukan berbagai aktivitas
berumah tangga, termasuk menghambat suami atau istri untuk melaksanakan
kewajibannya, baik kewajiban yang bersifat lahiriah dan batin dalam rumah
tangga yang sudah tidak layak lagi untuk dipertahankan.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
10
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,
1981), h.141.
40
Kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan dapat
berdampak penderitaan fisik dan mental (psikologis) bagi suami atau istri yang
menerima kekejaman dan penganiayaan berat sebagai bentuk tindak kekerasan
yang membahayakan “nyawa” tersebut. Tindak kekerasan, terutama tindak
kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri terjadi hampir di semua
lapisan masyarakat Indonesia, meskipun data resminya sendiri tidak tersedia.
Perilaku kejam dan aniaya berat yang membahayakan adalah perilaku
yang sangat buruk dan memalukan keluarga dan kerabat dari suami atau istri
yang bersangkutan, sehingga perilaku demikian juga merupakan alasan hukum
perceraian menurut hukum adat.11
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
Cacat badan atau penyakit adalah kekurangan yang ada pada diri suami
atau istri, baik berupa badaniyah (misalnya cacat atau sakit tuli, buta , dan
sebagainya) yang mengakibatkan terhalangnya suami atau istri untuk
melaksanakan kewajibannya sebagai suami istri, sehingga dengan keadaan
demikian itu dapat menggagalkan tujuan perkawinan untuk membentuk rumah
tangga yang bahagia dan kekal.12
6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
“Perselisihan” adalah perbedaan pendapat yang sangat prinsip, tajam dan
tidak ada titik temu antara suami dan istri yang bermula dari perbedaan
pemahaman tentang visi dan misi yang hendak diwujudkan dalam kehidupan
berumah tangga. Misalnya, suami atau istri yang memahami perawinan sebagai
sarana untuk memenuhi hasrat seksual semata, atau mengutamakan/
mementingkan kebutuhan materialistik saja. Adapun “pertengkaran” adalah
sikap yang keras yang ditampakkan oleh suami atau istri, yang tidak hanya
berwujud nonfisik (kata-kata lisan / verbal yang menjurus kasar, mengumpat
dan menghina), tetapi juga tindakan-tidakan fisik (mulai dari tindakan
11
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h.194. 12
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 204.
41
melempar benda-benda,mengancam dan menampar/ memukul), yang terjadi
karena adanya persoalan rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan oleh
pihak keluarga dan kerabat dari masing-masing suami dan istri yang
bersangkutan.
Tujuan perkawinan ialah hidup bersama dalam keadaan tentram dan
damai. Jika cekcok sedemikian hebat, sehingga keadaanya tidak dapat baik
lagi, maka sangat layak, apabila ada perceraian, oleh karena tujuan utama
perkawinan, yaitu hidup bersama secara memuaskan, teryata tidak tercapai.
Hanya saja perlu dicamkan, bahwa harus betul-betul cekcok yang hebat itu.
Untuk itu, hakim di depan sidang pengadilan yang akan menetapkan ada atau
tidak ada cekcok itu harus mendengarkan keterangan dari pihak yang menuntut
perceraian dan seberapa boleh juga dari pihak yang lain dan orang-orang
keluarga atau teman sahabat karib dari suami dan istri. Dengan demikian, dapat
diusahakan, agar hakim dapat mengetahui sungguh-sungguh keadaan yang
sebenarnya dalam rumah tangga suami istri.13
Perceraian boleh dilakukan dengan satu alasan hukum saja di antara
beberapa alasan hukum yang ditentukan dalam Pasal 39 ayat 2 UU No. 1 tahun
1974 yang telah dijabarkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun
1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Jadi, secara
yuridis, alasan-alasan hukum perceraian tersebut bersifat alternatif, dalam arti
suami atau istri dapat mengajukan tuntutan perceraian cukup dengan satu
alasan hukum saja. Selain itu, juga bersifat enumeratif, dalam arti penafsiran,
penjabaran dan penerapan hukum secara lebih konkret tentang masing-masing
alasan-alasan hukum perceraian merupakan wewenang hakim di pengadilan.14
Selajutnya, memperhatikan alasan-alasan hukum perceraian sebagaimana
ditentukan dalam UU No. 1 tahun 1974 yang kemudian dijabarkan dalam
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, maka dapat ditegaskan bahwa selain
harus di lakukan di depan sidang pengadilan guna mewujudkan kepastian
hukum yang adil dan melindungi istri bahkan suami selama dan setelah proses
13
Abdul Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 82-
83. 14
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 208
42
hukum perceraian, perceraian juga tidak dilarang, dalam arti suami dan istri
boleh memutuskan hubungan perkawinan di antara keduanya, dengan alasan-
alasan hukum yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Jadi hukum perceraian secara prinsip membolehkan perceraian,
namun mempersukar proses hukum perceraiannya, karena tujuan perkawinan
itu adalah” untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
didasarkan atas ajaran agama yang diyakini suami dan istri, sehingga
perkawinan tidak hanya mengandung unsur lahiriah atau jasmaniah, tetapi juga
unsur batiniah atau rohaniah.15
4. Cerai Talak Dalam PP No. 45 Tahun 1990 Perubahan Atas PP No. 45 Tahun
1983
a. Pengertian Pegawai Negeri Sipil
Peraturan tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi PNS yang tertuang
dalam Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi PNS.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pegawai Negeri Sipil terdiri kata
“pegawai” yang berarti orang yang bekerja pada pemerintah (perusahaan atau
sebagainya) sedangkan “negeri” berarti negara atau pemerintah, jadi Pegawai
Negeri Sipil adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau Negara.16
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disingkat PP
No. 10 Tahun 1983), yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil adalah
“Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian juncto Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian” kedua Undang-Undang tersebut
memberikan pengertian yang sama mengenai Pegawai Negeri, yaitu:
15
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 210 16
W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1986), h. 478 dan 514.
43
Pegawai Negeri Adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang
telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi
tugas dalam sesuatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainya yang
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap hukum bagi Pegawai Negeri Sipil tidak secara otomatis berlaku bagi
pegawai-pegawai yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil. Penafsiran
secara a contrario, memahamkan bahwa sepanjang tidak ada ketentuan hukum
khusus secara tegas, ketentuan hukum yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil
tidak dapat dengan sendirinya berlaku juga bagi pegawai-pegawai tertentu
meskipun dipersamakan dengan Pegawai Negeri Sipil. Jadi, PP No 10 Tahun
1983 yang mengatur tentang izin Perkawinan dan Perceraiaan bagi Pegawai
Negeri Sipil adalah ketentuan hukum khusus yang secara tegas mempersamakan
pegawai-pegawai tertentu dengan Pegawai Negeri Sipil, sehingga PP No 10
Tahun 1983 berlaku bagi pegawai-pegawi tertentu tersebut.
Ketentuan-ketentuan hukum umum lainnya yang berlaku bagi Pegawai
Negeri Sipil tidak berlaku bagi pegawai-pegawai tertentu tersebut, jika tidak
ditentukan secara tegas dalam ketentuan hukum khusus. Kepala desa, apalagi
perangkat desa dan petugas yang menyelengarakan urusan pemerintah di desa
juga bukan Pegawai Negeri Sipil, tetapi dipersamakan dengan Pegawai Negeri
Sipil oleh PP No 10 Tahun 1983.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan pejabat menurut Pasal 1 huruf b PP No
10 Tahun 1983, adalah Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah
Non Departemen, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi atau Tinggi Negara, Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I, Pimpinan Bank Milik Negara, Pimpinan Badan Usaha Milik Negara,
Pimpinan Bank Milik Daerah, dan Pimpinan Badan Usaha Milik Daerah.17
Pejabat adalah pegawai pemerintahan yang memegang suatu jabatan
tertentu dan penting dalam bidang pemerintahan. Pengertian pejabat dalam urusan
pemerintah tersebut disebut juga Pejabat Tata Usaha Negara sebagaimana
17
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 435 dan 441.
44
dimasksud oleh pasal 1 angka 2 UndangUndang No 9 Tahun 2004, tentang
Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat UU No 9 Tahun 2004), yaitu
“Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
b. Dasar Hukum Perceraian Pegawai Negeri Sipil
Pengaturan hukum khusus perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil terdapat
dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu,
pertimbangan pengaturan hukum khusus bagi Pegawai Negeri Sipil dapat
dipahami dari pertimbangan pemberlakuan kedua Peraturan Pemerintah tersebut.
PP Nomor 45 Tahun 1990 yang tentang perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983
diberlakukan secara khusus bagi Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan
perceraian berdasarkan pertimbangan, sebagai berikut.
Pertimbangan Hukum (Peraturan Perundang-Undangan) pemberlakuan PP
Nomor 10 Tahun 1983 di revisi dengan PP Nomor 45 Tahun 1990 merupakan
penjabaran hukum dari UU Nomor 1 Tahun 1974 dan sinkronisasi terhadap PP
Nomor 9 Tahun 1975 yang didasarkan atas asas-asas hukum perceraian, yaitu asas
mempersukar proses hukum perceraian, asas kepastian pranata dan kelembagaan
hukum perceraian, serta asas perlindungan hukum yang seimbang selama dan
setelah proses hukum perceraian. Selain itu UU Nomor 1 Tahun 1974 yang
dijabarkan dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 memaknai perkawinan adalah ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan
dan dapat dilakukan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat
terpaksa. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Hak dan
kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam
45
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan.
Dalam pelaksanaannya, beberapa ketentuan dalam PP Nomor 10 Tahun
1983 tidak jelas Pegawai Negeri Sipil tertentu yang seharusnya terkena ketentuan
PP Nomor 10 Tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak
dalam ketentuan tersebut. Selain itu, ada kalanya pula pejabat tidak dapat
mengambil tindakan yang tegas, karena ketidakjelasan rumusan ketentuan PP
Nomor 10 Tahun 1983 itu sendiri, sehingga dapat memberi peluang untuk
memberikan penafsiran sendiri-sendiri. Oleh karena itu, dipandang perlu
melakukan penyempurnaan dengan menambah dan atau mengubah beberapa
ketentuan PP Nomor 10 Tahun 1983 tersebut dengan memberlakukan PP Nomor
45 Tahun 1990. Beberapa perubahan yang dimaksud antara lain, kejelasan tentang
keharusan mengajukan permintaan izin dalam hal akan ada perceraian. Selain itu,
juga ada perubahan tentang pembagian gaji sebagai akibat terjadinya perceraian
yang diharapkan dapat lebih terjamin keadilan bagi kedua belah pihak.18
Kehidupan Pegawai Negeri Sipil telah diatur sedemikian rupa, sehingga
kesehariannya tidak dapat lepas dari norma-norma dalam aturan hukum
kepegawaian. Pemberlakuan PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990
tidak saja menunjukkan bahwa aturan hukum kepegawaian tidak hanya berlaku
ketika seorang Pegawai Negeri Sipil berada di kantor, tetapi juga di luar kantor.
Usaha meningkatkan disiplin Pegawai Negeri Sipil berhubungan dengan contoh
dan keteladanan harus diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan
dan masyarakat, sehingga kepada Pegawai Negeri Sipil diberikan ketentuan
disiplin yang tinggi. Untuk melakukan perkawinan dan perceraian, Pegawai
Negeri Sipil harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat yang
bersangkutan.
Menurut Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, Pegawai Negeri Sipil yang akan
melakukan perceraian, wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu
dari pejabat. Bagi Pegawai Negeri yang berkedudukan sebagai penggugat maupun
yang berkedudukan sebagai tergugat, untuk memperoleh izin atau surat
18
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 444-445
46
keterangan tersebut, maka harus mengajukan permintaan secara tertulis. Dalam
surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk
mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasarinya. Memperhatikan subtansi Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, maka
dapat dipahami bahwa permohonan izin untuk bercerai harus diajukan secara
tertulis oleh Pegawai Negeri Sipil kepada pejabat. Namun, khusus bagi Pegawai
Negeri Sipil yang proses hukum percerainya sudah diperiksa, tetapi belum diputus
oleh Pengadilan, baik yang bersangkutan berkedudukan sebagai penggugat
maupun tergugat, maka harus memberitahukan adanya gugatan perceraian
tersebut kepada Pejabat guna memperoleh surat keterangan dari pejabat yang
bersangkutan. Baik pemohonan izin maupun pemberitahuan yang disertai
permohonan surat keterangan tersebut, harus dicantumkan secara jelas alasan-
alasan hukum bagi Pegawai Negeri Sipil untuk bercerai.
Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PP No. 45 Tahun
1990 tersebut, diajukan kepada Pejabat melalui saluran hierarki. Ini berati bahwa
permohonan izin untuk bercerai yang diajukan kepada pejabat dilaksanakan sesuai
proses internal di lingkungan lembaga atau instansi dan memperhatikan pula
jenjang jabatan yang ada dalam struktur lembaga atau instansi yang bersangkutan.
Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil
dalam lingkungannya, untuk melakukan perceraian, diwajibkan oleh Pasal 5 PP
No. 45 Tahun 1990 untuk memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada
Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan
terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud. Rasio hukum dari
adanya jangka waktu pemberian pertimbangan dan penerusannya oleh atasan
kepada pejabat, adalah memberikan kesempatan bagi atasan untuk menelusuri
informasi dan meminta klarifikasi atau penjelasan tentang alasan-alasan hukum
untuk bercerai dari Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan izin untuk bercerai
tersebut. Jika informasi dan penjelasan sudah diperoleh, maka atasan tentu saja
memerlukan waktu untuk menguji dan menganalisis pertimbangan apa yang
seharusnya diberikan, untuk kemudian dapat diteruskan kepada pejabat
bersangkutan. Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan
47
perceraian, dilakukan oleh pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 3 bulan terhitung sejak ia mulai menerima permintaan izin tersebut
sebagaimana ditentukan secara imperatif dalam Pasal 12 PP No. 45 Tahun 1990.
Kemudian pejabat, berdasarkan Pasal 13 PP No. 45 Tahun 1990, dapat
mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pejabat lain dalam
lingkungannya, serendah-rendahnya pejabat eselon IV atau yang dipersamakan
dengan itu, untuk memberikan atau menolak pemberian izin tersebut, sepanjang
mengenai permintaan izin yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil golongan II
kebawah atau yang dipersamakan dengan itu. Jadi, berdasarkan “delegasi
wewenang” dari pejabat kepada pejabat lainya berkaitan dengan pemberian atau
penolakan pemberian izin untuk bercerai yang dimohon oleh Pegawai Negeri
Sipil. Secara teori wewenang pemerintah diperoleh melalu 3 cara yaitu atribusi,
delegasi dan mandat.
Pejabat yang menerima izin permintaan untuk melakukan perceraian
sebagaimana dimaksud Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990, diwajibkan oleh Pasal 6
PP No. 45 Tahun 1990 “memperhatikan dengan seksama” alasan-alasan yang
dikemukakan dalam surat permintaan izin perceraian dan pertimbangan dari
atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Apabila alasan-alasan yang
dikemukakan dalam permintaan izin perceraian kurang meyakinkan, maka pejabat
harus meminta keterangan tambahan dari istri atau suami dari Pegawai Negeri
Sipil yang mengajukan atau dari pihak yang dipandang dapat memberikan
keterangan yang meyakinkan. Sebelum mengambil keputusan, pejabat berusaha
lebih dahulu “merukunkan kembali” suami isteri yang bersangkutan dengan cara
memanggil mereka secara langsung untuk diberi nasihat.
Untuk menjamin kelancaran dan keseragaman dalam pelaksanaan PP No. 45
Tahun 1990 yang merupakan perubahan atas PP No. 10 Tahun 1983, maka
diterbitkan Petunjuk Pelaksanaan berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan
Administrasi Kepegawaian Negara Nomor: 48/SE/1990 Petunjuk Pelaksanaan
untuk menyelesaikan masalah perceraian PNS. Selanjutnya, petunjuk pelaksanaan
untuk menyelesaikan masalah perceraian Pegawai Negeri Sipil yang menduduki
48
jabatan tertentu menurut Surat Edaran Kepala BAKN No. 48/SE/1990 tersebut,
sebagai berikut:
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian yang
berkedudukan sebagai berikut:
a. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (saat ini tidak ada lagi
lembaga tertinggi negara), Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga
Pemerintah Non Departemen (saat ini disebut NonKementrian),
Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (saat
tidak ada lagi lembaga tertinggi negara), Gubernur Bank Indonesia,
Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur
Kepala Daerah Tingkat 1 (saat ini disebut Gubernur Provinsi), wajib
memperoleh izin terlebih dahulu dari Presiden.
b. Bupati/Wali kota madya Kepala Daerah Tingkat II (saat ini disebut
Bupati/Wali kota), termasuk Wakil Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah Tingkat II dan WaliKota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
serta Walikpta Administratif (saat ini tidak ada lagi Walikota
Administratif), wajib memperoleh izin dari Menteri dalam Negeri.
c. Pimpinan/Direksi Bank Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara,
wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Presiden.
d. Pimpinan/Direksi Bank Milik Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah,
wajib memperoleh izin terlebih dahulu dari Kepala Daerah Tingkat I
dan Kepala Daerah Tingkat II (saat ini disebut
Bupati/Walikota/Gubernur Provinsi) yang bersangkutan.
e. Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara (saat ini tidak ada lagi
Lembaga Tertinggi Negara), wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
Menteri/Pimpinan Instansi Induk yang bersangkutan.
f. Kepala Desa, Perangkat Desa dan Petugas yang menyelengarakan
urusan Pemerintah di desa wajib memperoleh izin dahulu dari Bupati
Kepala Daerah Tingkat II (saat ini disebut Bupati Kabupaten) yang
bersangkutan.
49
2. Yang harus dipenuhi dan ditaati adalah sama dengan ketentuan-ketentuan
sebagaimana tersebut dalam angka II, angka IV Surat Edaran Kepala
Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 08/SE/1983 tanggal 26
April 1983 dan angka II, III, IV Surat Edaran ini.19
5. Cerai Talak Dalam Undang-Undang Perkawinan Kompilasi Hukum Islam
(KHI)
Kompilasi Hukum Islam diakui mengandung muatan-muatan hasil ijtihad
ulama Indonesia yang tersebar di berbagai pasal, satu di antaranya adalah tentang
perceraian. Hasil ijtihad tersebut tidak lain adalah penegasan pemberlakuan
hukum Islam sesuai dengan perkembangan zaman dan iklim kultural bangsa dan
masyarakat Indonesia. Indonesia adalah sebuah wilayah teritorial yang dihuni oleh
mayoritas bergama Islam, dan memiliki ulama dan ahli hukum Islam yang
mumpuni. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam kompilasi Hukum Islam di
sana sini ditemukan hukum-hukum fikih yang khas Indonesia. Hukum-hukum
fikih khas Indonesia tersebut lebih populer dengan sebutan "Fikih Indonesia".
Tentu saja, Fikih Indonesia adalah produk ijtihad ulama Indonesia yang berbeda
dengan hasil ijtihad fuqaha' klasik masa lalu. Kendatipun, kitab-kitab mereka tetap
menjadi rujukan.20
Fikih Indonesia dapat dikenali ciri-cirinya dalam produk hukum Islam
seperti mengacu pada maslahat kekinian, mengkomodir kearifan lokal, menganut
prinsip kompilasi dan menerima talfiq, mengdepankan metodologi hukum Islam
yang rasional seperti maslahat mursalah dan istihsan, sadduzariah.21
Perceraian berdasarkan pasal 114 KHI yaitu putusnya perkawinan yang
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak, atau berdasarkan gugatan
perceraian, namun lebih lanjut dalam pasal 116 KHI dijelaskan beberapa alasan
atau alasan-alasan perceraian yang akan diajukan kepada pengadilan untuk di
proses dan ditindak lanjuti. Adapun alasan-alasan tersebut adalah:
19
Muhammad Syarifuddin, Dkk, Hukum Perceraian, h. 460-461-462-463-464. 20
Nouruzzaman Shiddieqy, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya , (Cetakan ke 1,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 241 21
Nouruzzaman Shiddieqy, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, h. 242.
50
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
sebagainya yang sukar di sembuhkan.
b. Salah pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman
yang lebih berat selama perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang
membahaya kan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri.
f. Antara suami-isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar ta‟lik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.22
Adapun yang dimaksud talak pasal 117 kompilasi hukum Islam, talak
adalah ikrar suami dihadapan pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab
putusnya perkawinan. Sedangkan yang dimaksud dengan perceraian adalah:
1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada pengadilan
agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat,
kecuali meninggal kan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
2) Dalam hal gugat bertempat kediaman di luar negeri, ketua pengadilan
agama mem beritahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui
perwakilan republik indonesia setempat. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa perceraian dengan jalan talak adalah permohonan
cerai yang diajukan oleh suami, sedangkan gugatan perceraian diajukan
oleh pihak isteri atau kuasanya kepada pengadilan agama. Adapun sebab-
sebab perceraian adalah sebagaimana yang diterangkan dalam hukum
22
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Kompilasi Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), h. 57.
51
positif dimana terdapat beberapa sebab atau alasan yang dapat
menimbulkan perceraian, sebagaimana ditegaskan dalam peraturan
pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19.23
Dalam Pasal 118 KHI dijelaskan bahwa,
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah.24
Dalam Pasal 119 KHI dijelaskan bahwa,
1. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.25
Dalam Pasal 120 KHI dijelaskan bahwa,
“Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.”26
Dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi :
“Seorang suami yang akan menjatuhkan kepada istrinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.”27
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau
diucapkan oleh suami di muka Pengadilan Agama.28
23
Linda Azizah, Analisis Perceraian Dalam Kompilasi Hukum Islam, (Al-„Adalah Vol. X,
No. 4 Juli 2012) h. 417. 24
KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 118. 25
KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 119. 26
KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 120. 27
KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 129. 28
Talak Menurut Hukum Islam Atau Hukum Negara, www.hukumonline.com, 22/03/2018.
52
B. Pengaturan Cerai Talak Dalam Undang-Undang Tunisia
1. Sekilas Tentang Negara Tunisia
Tunisia adalah sebuah negara merdeka yang terletak di ujung Utara benua
Afrika. Tipikal geografisnya sangat dipengaruhi oleh kultur Mediterranea dan
Gurun Sahara. Luas wilayahnya adalah 63.200 mil persegi atau sekitar 164.000
km2 dengan perbatasan laut Mediterrania di sebelah Timur dan Utara, Aljazair di
Barat dan Barat Daya serta Libya di Selatan dan Tenggara. Terletak di tengah-
tengah Selat Gibraltar dan Terusan Suez serta hanya berjarak 86 mil dari Pulau
Sicilia Italia, Tunisia menempati posisi Geopolitik yang sangat strategis sebagai
penghubung antara Eropa dan Afrika, serta antara bagian Timur dan bagian Barat
dunia Arab. Bersama Maroko dan Aljazair, Tunisia membentuk sebuah zona
regional yang disebut dengan Arab Maghreb.29
Ibu kota Tunisia adalah Tunis yang tumbuh dari sebuah kota kuno
“Carthage” yang berjarak 10 km dari laut Mediterranea. Kota Carthage dengan
pelabuhannya merupakan pusat kebudayaan bersejarah terkemuka di wilayah itu
sejak dari abad 9 SM sampai dengan abad 8 M. Hampir semua warga Tunisia
adalah Muslim (97%), sedangkan sisanya adalah warga minoritas Yahudi dan
komunitas Eropa. Bahasa nasional adalah bahasa Arab dengan dialek yang nyaris
seragam. Sedangkan bahasa Perancis berkedudukan sebagai bahasa resmi kedua.
Tetapi, sangat minim warga yang nyaman dengan bahasa Perancis. Kefasihan
berbahasa Perancis menjadi simbol status sosial dan menjadi pintu bagi warga
Tunisia untuk melakukan kontak internasional. 30
Tunisia melakukan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga pada saat
setelah negara itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan,
beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berpikir bahwa dengan melakukan fusi
terhadap mazhab Maliki dan mazhab Hanafi, maka sebuah ketentuan hukum baru
mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang sesuai dengan
29
Benjamin Rivlin, “Tunisia”, In The Encyclopedia Americana: International Edition
Volume 27, (New York: Americana Corporation, 1972), h. 222. 30
Ahmad Sukandi, Politik Bourguiba Tentang Hukum Keluarga Di Tunisia (1957-1987), h.
100.
53
perkembangan situasi dan kondisi sosial di Tunisia. Sekelompok ahli hukum
mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi dan Maliki,
dan dipublikasikan dibawah judul Lihat Majallatal-Ahkamal-Syar‟iyyah (Draf
Undang-undang Hukum Islam). 31
Berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari Laihat dan Undang- undang
Hukum Keluarga Mesir, Jordan, Syiria dan Turki, panitia mengajukan Rancangan
Undang-undang Hukum Keluarga kepada pemerintah. Rancangan tersebut
akhirnya diundangkan dibawah judul Majallatal-Ahwalal-Syakhsiyah (Codeof
Personal Status) 1956, berisi 170 pasal 10 buku dan diundangkan keseluruh
Tunisia pada tanggal 1 Januari 1957. Namun dalam perjalanannya, Undang-
undang ini mengalami kodifikasi dan perubahan (amandemen) beberapa kali,
yaitu melalui Undang-undang No.70/1958, Undang-undang No.41/1962, Undang-
undang No.1964, Undng-undang No.77/1969, dan terakhir menurut catatan Tahir
Mahmud, mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui Undang-undang No.
1/1981.32
Perlu dicatat, bahwa walaupun secara umum berlandaskan mazhab
Maliki, akan tetapi Undang-undang ini memasukkan pula beberapa prinsip yang
berasal dari mazhab-mazhab yang lain. Jika dibanding dengan negara-negara Arab
lain, reformasi dibidang hukum di Tunisia lebih revolusioner. Adapun Substansi-
substansi Hukum Keluarga di Tunisia adalah aturan mengenai nafkah isteri,
larangan poligami, perceraian dan talak tiga.33
2. Cerai Talak Dalam Regulasi Undang-Undang Tunisia (The Code Of Personal
Status Law)
Prancis menjajah Tunisia selama kurang lebih 75 tahun, hingga
kemudian Tunisia meraih kemerdekaannya pada 20 Maret 1956. Meski telah
merdeka, namun pengaruh kolonial Prancis masih sangat kental terhadap
aspek kehidupan masyarakat Tunisia. Salah satunya adalah dalam hal penerapan
modernisasi konsep hukum keluarga.
31
Ahmad Sukandi, Politik Bourguiba Tentang Hukum Keluarga Di Tunisia (1957-1987), h.
100. 32
Ahmad Sukandi, Politik Bourguiba Tentang Hukum Keluarga Di Tunisia (1957-1987), h.
107. 33
Ahmad Sukandi, Politik Bourguiba Tentang Hukum Keluarga Di Tunisia (1957-1987), h.
108.
54
Pemerintah Tunisia kala itu di bawah kekuasaan presiden Habib
Bourguiba, memperbaharui konsep hukum keluarga yang berasaskan fikih
mazhab Maliki (mayoritas) dan fikih madzhab Hanafi (minoritas), dipimpin
oleh Syaikh Muhammad Aziz Ju‟aith sebagai ulama terkemuka sekaligus
mantan Menteri Kehakiman di era pra kemerdekaan yang ditunjuk langsung
oleh presiden Habib Bourguiba. Hukum keluarga terbaru disahkan dengan
penerbitan Code of Personal Status atau Majallah al Ahwal as
Syakhsiyyah (MAS) pada tanggal 13 Agustus 1956. Masyarakat diwajibkan
mentaati 213 pasal-pasal yang ada di dalamnya, kendati sebagian pasalnya
dianggap bertentangan dengan syariat Islam, seperti pelegalan aborsi,
penghapusan hak ijbar, batas minimal usia pernikahan, kewajiban isteri
memberi nafkah dalam keluarga, prosedur talak, dan pelarangan poligami.
Dengan diberlakukannya pasal tersebut, Tunisia menjadi negara di semenanjung
Arab pertama yang melarang praktik poligami.34
Upaya pemerintah Tunisia untuk memperbaharui hukum keluarga ini
memiliki beberapa tujuan, antara lain yang paling disuarakan adalah untuk
menghadapi perkembangan zaman, karena konsep fiqih klasik dianggap tidak
lagi relevan sehingga membutuhkan kajian yang lebih sesuai dengan zaman
sekarang. Selain itu juga untuk meningkatkan status wanita dengan dalih
kesetaraan gender.
Code of Personal Status (CPS) atau Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah
(MAS) di Tunisia merupakan hukum keluarga paling progressif di dunia Islam
saat itu, mengingat sejumlah pasalnya dinilai sejumlah pihak bertentangan
dengan konsep fikih, bahkan dengan teks Al Quran atau Hadits. Tak heran jika
beberapa saat setelah CPS diluncurkan lahirlah pro dan kontra di kalangan
masyarakat. Dalam perjalanannya, secara perlahan-lahan mereka juga mengadopsi
prinsip-prinsip hukum Prancis. Sehingga output sistem hukum yang dihasilkan
34
Utang Ranuwijaya, Ade Husna, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di Indonesia Dan
Tunisia, Vol.3 No.1 Januari – Juni 2016, h. 66.
55
merupakan perpaduan sinergis antara prinsip-prinsip hukum Islam (Maliki dan
Hanafi) dan prinsip-prinsip hukum sipil Prancis (French civil law).35
a. Perceraian
Dalam Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia, sebuah perceraian
yang dilakukan secara sepihak tidak mengakibatkan jatuhnya talak.
Perceraian hanya dapat kekuatan hukum dan berlaku efektif apabila
diputuskan oleh pengadilan. Demikian juga sebaliknya, pengadilan dapat
memutuskan perkawinan yang diajukan oleh istri dengan alasan suami telah
gagal dalam memenuhi nafkah rumah tangga, atau karena kedua belah pihak
telah sepakat untuk melakukan perceraian. Pengadilan juga dapat
memutuskan perkawinan yang diajukan sepihak, dengan ketentuan pihak
tersebut wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya. Putusan
perceraian hanya akan diberikan, dalam segala kondisi apabila upaya damai
yang telah diusahakan oleh pihak suami dan istri.36
Hukum Keluarga Tunisia berusaha memperketat terjadi perceraian
(ṭalāq). Menurut Majallah Al Akhwal as Syakhsiyyah (MAS) ṭalāq tak dapat
dijatuhkan secara sepihak oleh suami, melainkan hanya dapat terjadi di
pengadilan. Pasal 30 MAS menyebutkan :
إأللدى احملكمة, ول حيكم بااطالق إألبعد أن يبذل قاضى األسرة جهداىف ال يقع الطالق و عن ذلك الووجني ويع حماولت اصلح بني
Artinya: “Ṭalāq tak dapat terjadi kecuali di pengadilan. Ṭalāq tak dapat
terjadi kecuali jika hakim telah melakukan usaha mendamaikan kedua
pihak, dan ia tak mampu lagi”.
Berdasarkan pasal ini, MAS menghendaki agar talak tak lagi
merupakan otoritas tunggal suami, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-
kitab fikih. Ṭalāq, menurut MAS, hanya dapat terjadi setelah melalui proses
persidangan dengan melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk isteri.
35
Kompleksitas Hukum Keluarga Islam Di Republik Tunisia, www.academia.edu,
/21/03/2018/KOMPLEKSITAS_HUKUM_KELUARGA_ISLAM_DI_REPUBLIK_TUNISIA. 36
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Rajawali
Grafindo, 2005), h. 188.
56
Persetujuan isteri apakah ia siap dicerai atau tidak, harus didengar oleh
hakim sebelum menyatakan jatuhnya ṭalāq.37
MAS menghendaki agar hanya pengadilan yang dapat menjatuhkan
talak. Dengan kata lain, perceraian hanya berkekuatan hukum dan berlaku
secara efektif apabila diputuskan oleh pengadilan. Pengadilan menjatuhkan
talak berdasarkan kesepakatan dari pasangan suami isteri, atau karena petisi
dari salah satu pasangan dengan alasan telah terjadinya penganiayaan oleh
pihak lain. Pengadilan juga dapat memutuskan perceraian apabila salah satu
pihak bermaksud bercerai, dengan konsekuensi bahwa pihak yang
mengajukan gugatan perceraian wajib membayar ganti rugi kepada pihak
yang lain. Keputusan perceraian hanya di berikan apabila upaya perdamaian
pasangan suami istri tersebut gagal. Jauh sebelum pasal ini disahkan, Ṭāhir
Ḥaddād telah mengusulkan dibentuknya lembaga pengadilan (maḥākim aṭ-
ṭalāq) yang memiliki otoritas tunggal untuk mengadili perkara-perkara
perceraian. Usulan Ḥaddād ini didasari atas fenomena pada masyarakat
Tunisia ketika itu, ketika para suami begitu mudah menjatuhkan ṭalāq
kepada isterinya. Ḥaddād memandang bahwa otoritas tunggal suami untuk
menjatuhkan talak kapan pun ia mau, adalah salah satu bentuk
ketidakadilan. Imbasnya, kaum wanita dalam posisi dirugikan dan
kehilangan masa depan. Ḥaddād mengatakan, “Adanya mahkamah ṭalāq,
sama sekali tidak akan merugikan para suami. Justru untuk memastikan
bahwa talak yang ia jatuhkan itu sesuai dengan aturan yang dibolehkan
Islam” Penetapan pasal ini menunjukkan keseriusan pemerintahan Tunisia
dalam mengakomodir dan melindungi hak-hak perempuan. Karena
kehadiran pasal ini akan penting dalam rangka: (1) memastikan proses ṭalāq
yang terjadi sejalan dengan tujuan (maqāsid) sharī‟ah, (2) memelihara
terlaksananya hukum-hukum sharī‟ah, (3) mahkamah tidak bermaksud
merampas hak suami dalam menjatuhkan ṭalāq, melainkan meluruskannya,
(4) mengutamakan hak-hak masyarakat di atas kepentingan pribadi, (5)
37
Dede Ahmad Permana, Majallah Al Akhwāl Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan
Hukum Keluargadi Tunisia, Jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 3 No. 1, Januari-Juni 2016, h.11.
57
memastikan bahwa alasan suami menjatuhkan ṭalāq adalah dibenarkan
secara hukum. Artinya, jika alasan suami terkesan mengada-ngada atau
tidak terbukti, maka mahkamah dapat mencegah terjadinya perceraian, (6)
memungkinkan terjadinya pendataan sebabsebab terjadinya perceraian.
Dengan demikian, pemerintah memiliki data yang dapat dijadikan rujukan
dalam rangka pembinaan umat.38
Regulasi mengenai ini menunjukkan keseriusan pemerintahan Tunisia
dalam mengakomodir dan melindungi hak-hak perempuan. Di sini dapat
terlihat betapa pentingnya dilaksanakan urgensi untuk mencatatkan
perkawinan yang bukan hanya sekedar formalitas belaka. Ketentuan ini
sudah jelas diberlakukan bagi semua warga Negara. Selain berfungsi
sebagai tertib administrasi dan perlindungan hukum bagi warga Negara,
adanya asas legalitas ini juga mempermudah pihak-pihak terkait dalam hal
ini pemerintah dalam melakukan pengawasan dalam pelaksanaan undang-
undang perkawinan.39
b. Talak 3 (tiga)
Terobosan lain yang dilakukan MAS adalah terkait hukum ṭalāq tiga
(bain kubrā). Menurut MAS, ṭalāq tiga adalah penyebab larangan
pernikahan untuk selamanya (māni’ az zawaj al muabbad). Karena itu,
sepasang suami isteri yang telah bercerai dengan talak tiga, keduanya tidak
dapat rujuk lagi. Pasal 19 berbunyi :
قته ثالثاأن يتزوج مطلل يحجر على الرج
Artinya: “Suami tidak boleh menikah lagi (rujuk) dengan wanita yang ia
ceraikan dengan ṭalāq tiga”
Pasal ini ditentang keras oleh sejumlah kalangan di Tunisia karena
dinilai berseberangan dengan hukum Islam. Akan tetapi, para pendukung
MAS berdalih bahwa tujuan pasal ini adalah memberantas praktik
38
Dede Ahmad Permana, Majallah Al Akhwāl Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan
Hukum Keluargadi Tunisia, h. 12. 39
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam (Jakarta: Rajawali
Grafindo, 2005), h. 188.
58
pernikahan rekayasa (muḥallil) yang banyak terjadi di tengah masyarakat
Tunisia ketika itu.40
Suami yang menceraikan isterinya harus membayar denda (al-jirāyah
al-„umriyah) kepada mantan isterinya. Denda dibayarkan setiap bulan
sepanjang hayat mantan isteri, kecuali jika mantan isterinya itu telah
menikah lagi dengan pria lain atau meninggal dunia. Pasal 31 menyebutkan:
ما اعتاد تة من العيش يف ضل احليا ة الووجية مبا .....تدفع هلا بعد انقضاء العدة على قدرجتما عي بوواج جديد املسكن.... وتستمر اىل أن تويف املطلقة أو يتغري وضعها اال زلك يف
وفاة دينا على الرتكة يف حلة اجلراية. وىذه اجلراية تصبحعن أو ما تكون معو يف غىن يرلع دفعة واحدة مبلغهااء بتسديد ئذ بالرتاضي مع الوراشة أوعن طريق القضداملطلفى عن ريخ.ذلك التا
Artinya: “Jirāyah dibayarkan kepada mantan isteri setelah masa „iddah-nya
habis, ukurannya sesuai kewajaran sebagaimana saat masih dalam masa
pernikahan, termasuk di dalamnya biaya rumah…Jirāyah ini terus
berlangsung hingga mantan isteri meninggal dunia, atau jika ia telah
menikah lagi, atau jika telah merasa tidak memerlukannya lagi. Dalam hal
mantan suami meninggal, jirāyah diambil dari harta peninggalan suami,
dibayarkan atas kesepakatan para ahli waris, atau ditetapkan melalui
pengadilan dengan dibayarkan sekaligus, dengan mempertimbangkan usia
mantan isteri ketika itu”.
Al-jirāyah al- „umriyah dimaksudkan sebagai ganti rugi (ta‟wīḍ aḍ-
ḍarar) yang harus dibayarkan suami kepada mantan isterinya, sebagai
konsekuensi dari keputusannya untuk menceraikan isterinya itu. Al-jirāyah
ini harus ditetapkan melalui pengadilan agar memiliki daya ikat, sehingga
hak-hak isteri tetap terpenuhi. Dengan adanya jirāyah ini, mantan isteri –
selama menjanda - tetap bisa hidup dengan standar finansial yang sama
dengan saat ia masih berumah tangga. Konsep Al-jirāyah al- „umriyah tidak
dikenal dalam fikih. Para fuqahā hanya menetapkan adanya kewajiban
mantan suami memberikan nafkah kepada mantan isteri selama periode
masa tunggu („iddah) setelah perceraian, karena selama periode ini mantan
isteri masih berkewajiban tinggal di rumah suaminya. Jadi dapat dikatakan
40
Dede Ahmad Permana, Majallah Al Akhwāl Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan
Hukum Keluarga di Tunisia, h. 13.
59
bahwa konsep Al-jirāyah al- „umriyah ini murni sebagai ijtihād para
perumus MAS yang didasarkan pada pemenuhan hak-hak istimewa bagi
kaum wanita di Tunisia.41
41
Dede Ahmad Permana, Majallah Al Akhwāl Ash-Shakhshiyyah dan Pembaharuan
Hukum Keluarga di Tunisia, h. 14.
58
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF CERAI TALAK DI INDONESIA DAN
TUNISIA PERSPEKTIF HUKUM KELUARGA ISLAM
A. Analisis Cerai Talak Di Indonesia Dan Tunisia Persfektif Hukum Keluarga
1. Analisis Cerai Talak Di Indoesia
Perceraian adalah hal yang mutlak diatur dalam sistem hukum apapun
sepanjang manusia masih mengakui lembaga perkawinan. Perceraian hanya dapat
terjadi jika perkawinan telah terjadi secara sah, terutama menurut hukum agama,
terkhusus Islam. Dalam Islam, perceraian telah diatur sedemikian rupa
berdasarkan petunjuk Allah SWT dan RasulNya Muhammad SAW.
Adapun ayat yang menjadi dasar hukum cerai talak ini diantara nya adalah
surat al-Baqarah [2] ayat 229, yaitu:
ول يل لكم أن تأخذوا ما آت يتموىن فإمساك بعروف أو تسريح بإحسان الطلق مرتان جناح عليهما فيما فإن خفتم أل يقيما حدود اللو فل شيئا إل أن يافا أل يقيما حدود اللو
ومن ي ت عد حدود اللو فأولئك ىم الظالمون تلك حدود اللو فل ت عتدوىا اف تدت بو Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka
itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
Dalam surat yang lain Allah berfirman:
ة ل ترجوىن وات قوا اللو ربكم يا أي ها النب إذا طلقتم النساء فطلقوىن لعدتن وأحصوا العدومن ي ت عد حدود اللو ف قد وتلك حدود اللو من ب يوتن ول يرجن إل أن يأتني بفاحشة مب ي نة
لك أمرا ظلم ن فسو ل تدري لعل اللو يدث ب عد ذArtinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
59
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. (Q.S
Ath-Thalaaq 65:1)
Hadis Nabi,
الطلق اللو إل اللل أب غض وسلم عليو اللو صلى اللو رسول قال : قال عمر بن اللو عبد عن س نن و( يف ابوداود رواه)
Artinya: “Dari Abdullah bin Umar telah berkata bahwa Rasulullah Saw. telah
bersabda:“Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Majah).1
Perkawinan dapat putus akibat talak yang diucapkan oleh suami dan
keinginan suami sendiri. Dalam hal ini, Islam juga memperkenankan isteri
mengajukan perceraian dengan membayar iwad (tebusan) kepada suami. Dalam
hukum fikih, perceraian dengan otoritas perempuan dikenal dengan khulu'.
Secara garis besar perceraian yang diatur oleh KHI sebagai hukum matril
Peradilan Agama di Indonesia adalah cerai talak, cerai gugat, dan khulu'. Dalam
pasal 117 disebutkan, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan
Agama yang terjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Dalam Pasal 118 KHI dijelaskan bahwa,
Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk
selama isteri dalam masa iddah.
Dalam Pasal 119 KHI dijelaskan bahwa,
1. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
1Ibn Majah Abu Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majah, juz 6, Maktabah Syamilah, h.
175, atau lihat: Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, juz 6, Maktabah Syamilah, h. 91.
60
Dalam Pasal 120 KHI dijelaskan bahwa,
“Talak Ba`in Kubraa adalah talak yaang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.”
Dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi :
“Seorang suami yang akan menjatuhkan kepada istrinya mengajukan
permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.
Imam Syafi’i berkata , “kadang ada sesuatu yang disebutkan dalam al-
Qur’an lalu diharamkan dan diharamkan pula melalui lisan Nabi-nya,
sebagaimana penyebutan perempuan yang ditalak tiga, Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
ره فإن طلقها فل تل لو من ب عد حت ت نكح زوجا غي
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain.”
(Q.S Al-Baqarah (2): 230)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan melalui lisan Nabi-nya bahwa
perempuan yang telah ditalak harus dinikahi (dicampuri), baru setelah itu halal
bagi bekas suami untuk menikahinya.”
Dalam as-sunnah kita mendapati keterangan bahwa perempuan yang telah
ditalak harus dicampuri oleh suami barunya. Perempuan tersebut halal baginya
sebelum talak tiga dan haram bagi suami yang menalaknya sehingga perempuan
itu menikah lagi dengan laki-laki lain. Si istri tetap tidak halal bagi bekas suami
pertama sampai dia melakukan hubungan badan dengan suami barunya dan
bercerai darinya.
Perceraian yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat
dipastikan berdasar pada syariat Islam dan hukum-hukum fikih, baik klasik
maupun menurut kearifan lokal. Dalam pembaharuan hukum Islam, Indonesia
cendrung menempuh jalan kompromi antara syariah dan hukum sekuler. Hukum
keluarga di Indonesia dalam upaya perumusannya selain mengacu pada kitab-
61
kitab fikih klasik, fikih modern, himpunan fatwa, keputusan pengadilan
(yurisprudensi), juga ditempuh wawancara kepada seluruh ulama Indonesia.
2. Analisis Cerai Talak Di Tunisia
Pemerintah Tunisia di bawah kekuasaan presiden Habib Bourguiba,
memperbaharui konsep hukum keluarga yang berasaskan fikih mazhab Maliki
(mayoritas) dan fikih madzhab Hanafi (minoritas). Hukum keluarga terbaru
disahkan dengan penerbitan Code of Personal Status atau Majallah al
Ahwal as Syakhsiyyah (MAS) pada tanggal 13 Agustus 1956. Masyarakat
diwajibkan mentaati 213 pasal-pasal yang ada di dalamnya.
Salah satunya mengenai perceraian, Hukum Keluarga Tunisia berusaha
memperketat terjadi perceraian (ṭalak). Menurut MAS ṭalak tak dapat dijatuhkan
secara sepihak oleh suami, melainkan hanya dapat terjadi di pengadilan. Pasal 30
MAS menyebutkan :
لد اكحمكمة ول يكم بااطلق إألبعد أن يبذل قاىى األسرة جهدا ى احاول ل يقع الطلق إأل اصلح بني الزوجني ويعجز عن ذلك
Artinya: “Ṭalak tak dapat terjadi kecuali di pengadilan. Ṭalak tak dapat terjadi
kecuali jika hakim telah melakukan usaha mendamaikan kedua pihak, dan ia tak
mampu lagi”.
Berdasarkan pasal ini, MAS menghendaki agar talak tak lagi merupakan
otoritas tunggal suami, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Ṭalak,
menurut MAS, hanya dapat terjadi setelah melalui proses persidangan dengan
melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk isteri. Persetujuan isteri apakah ia siap
dicerai atau tidak, harus didengar oleh hakim sebelum menyatakan jatuhnya ṭalāq.
Terobosan lain yang dilakukan MAS adalah terkait hukum ṭalak tiga (bain
kubrā). Menurut MAS, ṭalak tiga adalah penyebab larangan pernikahan untuk
selamanya (māni’ az zawaj al muabbad). Karena itu, sepasang suami isteri yang
telah bercerai dengan talak tiga, keduanya tidak dapat rujuk lagi. Pasal 19
berbunyi :
.اثلث تويتزوج مطلق جل أنر ال رجحي ىلعArtinya: “Suami tidak boleh menikah lagi (rujuk) dengan wanita yang ia ceraikan
dengan ṭalak tiga”
62
Pasal ini ditentang keras oleh sejumlah kalangan di Tunisia karena dinilai
berseberangan dengan hukum Islam, seperti yang sudah dijelaskan dalam surah
Al-Baqarah [2] ayat 230 :
ره ي ا غ ح زوج ك ن ت ت د ح ع ن ب و م ل ل ل ت ا ف ه لق ن ط إ اح ف ن ل ج ا ف ه لق ن ط إ فا ع راج ت ن ي ا أ م ه ي ل للو ع ود ا د ا ح يم ق ن ي نا أ ن ظ ا إ ه ن ي ب للو ي ود ا د ك ح ل وت
ون م ل ع وم ي ق لArtinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),
maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.
(Q.S Al-Baqarah: 230).
Dalam hal ini harus ada perkawinan antara seorang perempuan yang di talak
tiga kemudian menikah dan bercerai dengan laki-laki lain. Dalam keadaan
demikian perempuan tersebut dikawin lagi oleh laki-laki bekas suami pertama.
Perkawinan seperti ini halal hukumnya, tetapi jika terjadi ada laki-laki yang
diupah oleh bekas suaminya pertama tadi agar menikah dengan bekas istrinya,
kemudian mentalaknya dan oleh karena sudah di talak oleh laki-laki yang diberi
upah itu, bekas suami pertama (yang mengubah) mengawini perempuan itu lagi.
Upaya-upaya tesebut tidak dibenarkan di dalam ajaran Islam. Akan tetapi, para
pendukung MAS berdalih bahwa tujuan pasal ini adalah untuk memberantas
praktik pernikahan rekayasa (muḥallil) yang banyak terjadi di tengah masyarakat
Tunisia ketika itu.
B. Komparatif Mekanisme Cerai Talak dalam Hukum Perkawinan Di
Indonesia Dan Tunisia
Berbagai peraturan yang menyangkut masalah yang berkaitan dengan sistem
keluarga mengalami perkembangan, mulai yang masalah perkawinan, perceraian,
dan hak asuh anak. Hukum keluarga yang berlaku antara satu negara dengan
negara lainnya tentu berbeda, termasuk hukum keluarga yang berlaku di beberapa
63
negara muslim. Seiring dengan perkembangan zaman, maka negara-negara
muslim kemudian melakukan pembaharuan hukum keluarga untuk mengakomodir
berbagai persoalan yang muncul.
Begitupun dengan Negara Indonesia dan Tunisia, di Negara Tunisia di
dalam Pasal 30 Code of Personal Status (CPS) atau Majallah al Ahwal as
Syakhsiyyah (MAS) sebuah perceraian yang dilakukan secara sepihak tidak
mengakibatkan jatuhnya talak. Perceraian hanya dapat kekuatan hukum dan
berlaku efektif apabila diputuskan oleh pengadilan. Demikian juga sebaliknya,
pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang diajukan oleh istri dengan alasan
suami telah gagal dalam memenuhi nafkah rumah tangga, atau karena kedua belah
pihak telah sepakat untuk melakukan perceraian. Pengadilan juga dapat
memutuskan perkawinan yang diajukan sepihak, dengan ketentuan pihak tersebut
wajib membayar ganti rugi kepada pihak lainnya. Putusan perceraian hanya akan
diberikan, dalam segala kondisi apabila upaya damai yang telah diusahakan oleh
pihak suami dan istri.
Sedangkan di Negara Indonesia masalah cerai talak telah disinggung dan di
jelaskan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Di dalam pasal 39 Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan
di depan Sidang Pengadilan yang berwenang”, Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 hanya memuat pengertian perceraian, yang terdiri dari cerai talak dan cerai
gugat. Ini berarti bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur lebih
lanjut bentuk-bentuk perceraian, yang dalam hukum Islam bentuk-bentuk
percerain itu justru lebih banyak pengaturan hukumnya.
Selanjutnya dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa, alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar untuk perceraian di persidangan :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
64
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Perceraian boleh dilakukan dengan satu alasan hukum saja di antara
beberapa alasan hukum yang ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Selanjutnya Cerai Talak Dalam PP No. 45 Tahun 1990 Perubahan Atas PP
No. 45 Tahun 1983, dalam Pasal 3 PP No. 45 Tahun 1990 secara khusus
mengatur mengenai perceraian Pegawai Negeri Sipil, Pegawai Negeri Sipil yang
ingin bercerai wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari
pejabat. Bagi Pegawai Negeri yang berkedudukan sebagai penggugat maupun
yang berkedudukan sebagai tergugat, untuk memperoleh izin atau surat
keterangan tersebut, maka harus mengajukan permintaan secara tertulis. Dalam
surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan perceraian untuk
mendapatkan surat keterangan, harus dicantumkan alasan yang lengkap yang
mendasarinya.
Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil
dalam lingkungannya, untuk melakukan perceraian, diwajibkan oleh Pasal 5 PP
No. 45 Tahun 1990 untuk memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada
Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan
terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
Selanjutnya dalam Pasal 19 Code of Personal Status (CPS) atau Majallah al
Ahwal as Syakhsiyyah (MAS) dikatakan bahwa, “Suami tidak boleh menikah lagi
(rujuk) dengan wanita yang ia ceraikan dengan ṭalāq tiga” Menurut MAS, ṭalāq
tiga adalah penyebab larangan pernikahan untuk selamanya (māni’ az zawaj al
muabbad). Karena itu, sepasang suami isteri yang telah bercerai dengan talak tiga,
65
keduanya tidak dapat rujuk lagi. Tujuan pasal ini adalah untuk memberantas
praktik pernikahan rekayasa (muḥallil) yang banyak terjadi di tengah masyarakat
Tunisia ketika itu.2
Sudah jelas bahwa tujuan pasal ini sifatnya kebaikan, tidak ada didalamnya
unsur-unsur kemudhorotan atau keburukan bagi suami ataupun istri. Oleh karena
itu pasal ini masuk kedalam maslahah mursalah, karena tujuan awal dari syari’at
yakni kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat, karena maslahat ini juga istri
dan suami bisa mewujudkan keluarga sakinah mawaddah warahmah. Pasal ini
bisa dikatagorikan sebagai maslahat mursalah, seperti yang dikatakan oleh Imam
Ar-Razi : “Maslahah ialah, perbuatan yang bermanfaat yang telah diperintahkan
oleh Musyarri’(Allah) kepada hamba-Nya tentang pemeliharaan agamanya,
jiwanya, akalnya, keturunanya, dan harta bendanya”.3
Dan Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut :
“Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.”4
Oleh karena dalam kenyataannya pasal 19 Majallah al Ahwal as
Syakhsiyyah lebih banyak mendatangkan kebaikan daripada kerusakan dalam
hidup bermasyarakat, maka melaksanakan pasal 19 Majallah al Ahwal as
Syakhsiyyah ini adalah suatu keharusan bagi mereka yang beragama Islam di
Tunisia, karena untuk mencegah terjadinya pernikahan muhallil (rekayasa).
Sejalan dengan pemikiran tersebut, di dalam pembagian maslahat; dharuriyyat,
hajiyyat, tahsiniyyat, apabila dilihat dari segi pentingnya hak-hak istri dalam
pernikahan, yang apabila pasal 19 Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah tidak
dilaksanakan maka akan berdampak luas terhadap hak-hak yang lainnya, misalnya
tidak ada jaminan hak istri terpenuhi, suami akan semena-mena, maka
pelaksanaan pasal 19 Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah di Tunisia dapat
dikategorikan sebagai maslahat dharuriyyat.
Kebutuhan dharuriyat ialah tingkatan kebutuhan yang harus ada
2Utang Ranuwijaya, Ade Husna, Pembaharuan Hukum Keluarga Islam, Jurnal Kajian
KeIslaman, Jurnal Kajian KeIslaman, h. 74. 3Chaerul Umam,dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung, Pustaka Setia, 1998), h.136
4Chaerul Umam,dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung, Pustaka Setia, 1998), h.136
66
sehingga disebut kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi,
akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk memelihara kelima unsur pokok (memelihara agama, jiwa, keturunan, harta
dan akal) inilah syariat Islam diturunkan. Semua perintah dan larangan syariat
bermuara kepada pemeliharaan lima unsur pokok ini.5
Didalam konsep Maqhasid al-Syari‟ah terdapat Saddu Dzari‟ah yaitu
menyumbat segala sesuatu yang menjadi jalan menuju kerusakan. Kaitannya
Saddu Dzari‟ah dengan pasal 19 (MAS) adalah apabila dilaksanakan dengan baik
maka akan banyak sekali kebaikan-kebaikan yang ditimbulkan. Diantaranya
menjaga hak isteri, menafkahi isteri, suami tidak semena-mena terhadap isteri,
dan dari segi keturunan. Anak-anak nya akan terjaga kebutuhannya. Tapi
sebaliknya jika passal 19 (MAS) ini tidak diterapkan dikhawatirkan akan terjadi
kemudharatan. Dengan adanya konsep Saddu Dzari‟ah ini bisa menjadi
dasar untuk melakukan larangan rujuk kembali setelah talak 3 di Tunisia, karena
jika melakukannya bisa menghilangkan kemudharatan atau keburukan, dan
jika tidak melakukannya dikhawatirkan akan terjadi kerusakan dan ke
mudharatan.
Peninjauan terhadap akibat suatu perbuatan, bukannya memperhitungkan
kepada niat si pelaku, akan tetapi yang diperhitungkan adalah akibat dan buah dari
perbuatannya. Jadi suatu perbuatan dipuji atau dicela tergantung pada akibatnya.
Ini dapat dimengerti mengapa Allah SWT melarang mencacimaki berhala,
padahal hal itu merupakan sikap penolakan terhadap sesuatu yang batil.
Sedangkan di Indonesia peraturan cerai talak 3 ada dalam Pasal Kompilasi
Hukum Islam (KHI), dalam Pasal 17 KHI talak adalah ikrar suami dihadapan
pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Sedangkan yang dimaksud dengan perceraian adalah:
1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada pengadilan agama,
yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat, kecuali
meninggal kan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
5Satria Effendi M. Zein, Ushul Fiqh, Cet. I; (Jakarta: Kencana, 2005), h. 235
67
2) Dalam hal gugat bertempat kediaman di luar negeri, ketua pengadilan agama
mem beritahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan
republik indonesia setempat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perceraian dengan jalan talak adalah permohonan cerai yang diajukan oleh
suami, sedangkan gugatan perceraian diajukan oleh pihak isteri atau kuasanya
kepada pengadilan agama. Adapun sebab-sebab perceraian adalah sebagaimana
yang diterangkan dalam hukum positif dimana terdapat beberapa sebab atau
alasan yang dapat menimbulkan perceraian, sebagaimana ditegaskan dalam
peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal
19.
Dalam Pasal 119 KHI dijelaskan bahwa,
1. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad
nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah :
a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atahu khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Dalam Pasal 120 KHI dijelaskan bahwa,
“Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini
tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila
pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.”
Perbandingan mekanisme cerai talak di Indonesia dan Tunisia
INDONESIA TUNISIA
Pasal 149 Seorang suami dapat merujuk
istrinya yang dalam masa iddah, kecuali
setelah talak tiga dan talak yang
dijatuhkan qobla ad-dukhul.
pasal 19 Majallah al Ahwal as
Syakhsiyyah “suami tidak boleh
menikah lagi (rujuk) dengan wanita
yang ia ceraikan dengan talak tiga”.
“kemudian jika suami mentalaknya
(setelah talak yang kedua), maka
68
perempuan itu tidak halal lagi baginya
hingga ia kawin dengan suami yang
lain”
Pasal 163 Seorang wanita dalam masa
iddah talak raj‟i berhak mengajukan
keberatan jika mantan suaminya hendak
rujuk, dan itu dilakukan di hadapan
Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua
orang saksi.
pasal 31 (MAS) diberikan kompensasi
kepada istri untuk kerusakan fisik
dengan biaya yang dibayarkan kepada
mereka setelah bercerai. Solusinya
adalah sebanyak mereka waktu 1
rumah hidup dalam kehidupan
perkawinan, termasuk rumah, dan
kebutuhan sehari-hari ini dapat ditinjau,
naik dan turunnya dengan keadaan
ekonomi di Negara.
48
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembaruan Perundang-Undangan Hukum keluarga, dalam hal ini yang
berkaitan dengan talak dan cerai, di Indonesia masih bertumpu pada ketetapan
yang ada dalam kitab-kitab fikih, sehingga masih perlu terus dikembangkan
sampai Undang-Undang tersebut benar-benar menjunjung hak-hak dan statusnya,
Sedangkan di Negara Tunisia dalam masalah cerai talak tiga melarang rujuk
kembali atas bekas mantan istri (Pasal 19 Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah),
tentu aturan ini berbeda dengan ketetapan dalam Nash dan kitab-kitab fikih. Di
dalam Regulasi Negara Indonesia (pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974)
dan Tunisia (Pasal 30 Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah) Perceraian hanya dapat
kekuatan hukum dan berlaku efektif apabila diputuskan oleh pengadilan.
Demikian juga sebaliknya, pengadilan dapat memutuskan perkawinan yang
diajukan oleh istri dengan alasan suami telah gagal dalam memenuhi nafkah
rumah tangga, atau karena kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan
perceraian. Selain itu semua proses perceraian harus dengan bukti-bukti pembenar
dan perceraian dihitung sejak dikeluarkannya surat cerai.
Di Negara Indonesia dalam Pasal 120 KHI dijelaskan bahwa Talak Ba`in
Kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas isteri, menikah degan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba`da al dukhul dan habis masa iddahnya. Sedangkan di Negara
Tunisia dalam pasal 19 Majallah al Ahwal as Syakhsiyyah (MAS) dijelaskan
bahwa Suami tidak boleh menikah lagi (rujuk) dengan wanita yang ia ceraikan
dengan ṭalak tiga secara mutlak, tentu aturan ini sangat berbeda dengan konsep
ajaran Islam, tetapi para pendukung MAS berdalih bahwa tujuan pasal ini adalah
untuk memberantas praktik pernikahan rekayasa (muḥallil) yang banyak terjadi di
tengah masyarakat Tunisia ketika itu.
49
B. Saran-saran
1. Mengenai aturan perceraian (talak) di Indonesia atau dalam hal ini aturan
perkawinan, pemerintah diharapkan bisa menampung semua aspirasi berbagai
pihak terutama pihak perempuan dan anak-anak.
2. Kehadiran pengadilan dalam proses perceraian sebagai penengah dan
pengawas diharapkan agar tidak melenceng dari ketentuan dan menghindari
kesewangwenangan terhadap salah satu pihak oleh pihak yang lain agar hak
masing-masing pihak lebih terjamin.
3. Masih banyak ungkapan talak yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya
yang dilakukan diluar sidang, dalam hal ini pemerintah dan pejabat yang
berwenang harus lebih mensosialisasikan aturan-aturan yang berlaku di
Indnesia, agar perceraian yang terjadi mendapatkan kekuatan hukum dan
pengakuan dari pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeven, T.Th.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 2004.
Abdurrahman. Perkawinan dalam Syariat Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992.
Abidin, Slamet. Fikih Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.
Agama RI, Departemen. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Kompilasi Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Al-Bugha, Mustafa, Dkk. Fikih Manhaj, Yogyakarta: Darul Uswah, 2012., Jilid I.
Al-Farran, Syaikh Ahmad bin Mustafa. Tafsir Imam Syafi’i, Jakarta: Almahira,
2006.
Al-Khin, Mustofa. Dkk. Kitab Fikah Mazhab Syafi’i Undang-Undang
Kekeluargaan, Kuala Lumpur: Prospecta Printers, 2005.
Al-Shiddieqi, Hasbi. Al-Quran dan Terjemahnya: Proyek Pengadaan Kitab
Suci Al-Quran, Jakarta: Depag RI, 1989.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad. Shahih Fiqih Wanita, Jakarta: Akbar Media,
T.Th.
Ali, Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Az-zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani Darul
Fikir, 2011.
Djalil, A. Basiq, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006.
Effendi, Satria, M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Jakarta: Kencana, 2004.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, Cet Ke-2, Jakarta: Premena Jaya, 2006
Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW. Poligami dalam
Islam vs Monogami Barat, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Hamid, Zahry. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang
Perkawinan Di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta, 1979.
Latief, Djamal. Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981.
Ibn Majah Abu Abdillah Muhammad, Sunan Ibnu Majah, juz 6, Maktabah
Syamilah.
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group,
2016.
„Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali, Jakarta: Lentera, 2011.
Mukhtar, Kamal. Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Yogyakarta:
Bulan Bintang, 1993.
Muzdhar, Atho‟ dan Khairuddin Nasution. Hukum Keluarga di Dunia Islam
Modern, Jakarta: Ciputat Press, 2003.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tariga. Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Jakarta, Kencana: Prenada Media, 2004.
Pengembangan, Bahasa, dan Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Prawiroharmidjojo, R. Soetojo, Saefuddin, Aziz. Hukum Orang dan Keluarga,
Bandung: Alumni, 1986.
Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Sumur
Bandung, 1981.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Bandung: Alma‟arif, 1990, Jilid 2.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, Bandung: Alma‟arif, 1990, Jilid 8.
Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
T.Th.
Shiddieqy, Nouruzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Cetakan
ke 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Simanjuntak, P.N.H. Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Pusaka
Djambatan, 2007.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UIP, 1986.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1985.
Sudarsono. Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Suma, Muhamad Amin. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004.
Supriyadi, Dkk, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam , Bandung:
Pustaka Al-Fikriis, 2009.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan,
(Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Yogyakarta:
Liberty, 1982.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Gema Insani, 1999.
Syarifuddin, Muhammad, Dkk. Hukum Perceraian, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Taqiyuddin. Kifayatul Akhyar, Bandung: Al-Haromain Jaya, 2005., Juz II.
Thalib, Sayuti. Hukum KeKeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam,
Jakarta: UI Press, 1986.
Tihami, H.M.A., dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah
Lengkap), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Poerwadarminta, W. J. S. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1986.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian; kuantitatif, kualitatif, dan penelitian
gabungan, Jakarta: Kencana Prenda Media, 2014.
Zuhayli, Wahbah. Fiqih Islam, Jilid 9, Penerjemah Abdul Hayyi Al –Kattani, dkk,
Jakarta: Gema Insani, 2011.
Artikel:
Ka‟bah, Rifyal, “Permasalahan Perkawinan”, Majalah Varia Peradilan, No. 271.
Latief, M. Nur, Hasan. ”Pembaruan Hukum Keluarga Serta Dampaknya Terhadap
Pembatasan Usia Minimal Kawin Dan Peningkatan Status Wanita”, Jurnal
Hukum Novelty Agustus 2016.
Azizah, Linda. Analisis Perceraian Dalam Kompilasi Hukum Islam, Al-„Adalah
Vol. X, No. 4 Juli 2012.
Rivlin, Benjamin. “ Tunisia”, In The Encyclopedia Americana: International
Edition Volume 27, .New York: Americana Corporation, 1972.
Sukandi, Ahmad. Politik Bourguiba Tentang Hukum Keluarga Di Tunisia, T.th.
Ranuwijaya, Utang, Husna, Ade. Pembaharuan Hukum Keluarga Islam Di
Indonesia Dan Tunisia, Vol.3 No.1 Januari – Juni 2016.
Permana, Dede Ahmad. Majallah Al Akhwāl Ash-Shakhshiyyah dan
Pembaharuan Hukum Keluargadi Tunisia, Jurnal Studi Gender dan Anak
Vol. 3 No. 1, Januari-Juni 2016.
Website:
Pembahasan Lengkap Mengenai Perceraian Talak Dalam Islam Pengertian Cerai
Talak Hukum Cerai Syarat Rukun Dalil Tentang Cerai Masa Iddah Macam
Macam Cerai Dll, MasukIslam.com.
Masa Iddah Dalam Islam, almanhaj.or.id.
Talak Menurut Hukum Islam Atau Hukum Negara, www.hukumonline.com.
Kompleksitas Hukum Keluarga Islam Di Republik Tunisia, www.academia.edu.
Recommended