View
255
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
1/194
[ P u s t a k a N U O n l i n e ]
METAMORFOSIS NU DANPOLITISASI ISLAM DI INDONESIA
A. Gaffar Karim
ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu,
mendudukkanmu di depan cermin,
dan membuatmu bertanya,
"tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?"
ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu,
menimbang-nimbang hari lahirmu,
mereka-reka sebab-sebab kematianmu.
ada yang sedang diam-diam berobah jadi dirimu
(Sapardi Djoko Damono, METAMORFOSIS, 1981)
Dterbitkan oleh:LKiS
Bekerjasama denganPenerbit Pustaka Pelajar
http://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/buku4/utama.htm
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
2/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
2
Daftar Isi
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo – Egypt
DAFTAR ISI
METAMORFOSIS NU DAN POLITISASI ISLAM
DI INDONESIA
A. Gaffar Karim PENGANTAR
Dr. Afan Gaffar, MA
Pengantar
Iftitah
Bab I
Pendahuluan
Bab II
Wajah NU: 1926 - 1984
Bab III
Abdurrahman Wahid: Pemikiran dan Determinasi
Bab IV
http://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/daftar_isi.htmhttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/daftar_isi.htmhttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/antar.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/antar.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/iftitah.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/iftitah.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/iftitah.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/antar.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/daftar_isi.htm
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
3/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
3
Implementasi Khittah: Dinamika Internal
Bab V
Implementasi Khittah: Dinamika Eksternal
Bab VI
Prospek NU
Bab VII
Poskripsi
Pustaka
Biodata
Catatan Penerbit
http://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/pustaka.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/pustaka.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/biodata.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/biodata.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/notice.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/notice.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/notice.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/biodata.txthttp://c/Users/Asus/Downloads/Compressed/pustaka.txt
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
4/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
4
METAMORFOSIS
NU DAN POLITISASI ISLAM INDONESIA
Copyright 1995 A. Gaffar Karim
PENERBIT
Pustaka Pelajar
Bekerjasama dengan
LKiS Yogyakarta
CETAKAN
September 1995
RANCANGAN SAMPUL
Haitamy el-Jaid
SAMPUL BELAKANG
Dikutip dari
Sapardi Joko Damono
Hujan Bulan Juni
Grasindo, 1994
SETTING/LAYOUT
Arief
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
5/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
5
DICETAK
Pustaka Pelajar Offset
Glagah UK IV/343
Copyright 0274-564306
Yogyakarta
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
6/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
6
Iftitah
Nun, demi pena dan apa yang diguratkannya
Al-Qalam : 1
KETIKA mendengar kata "NU", barangkali yang segera tergambar di benak orang
pada umumnya adalah sosok bersarung dan berpeci, yang berjalan menunduk sambil satu
tangannya memegang kitab kuning, sementara satu tangan lainnya menggenggam untaian
tasbih. Atau jika tidak, NU bagi sementara orang tak lebih dari salat dengan usalli , doa qunut,
tarawih 23 rakaat, tawassul kepada para wali, dan seterusnya. Mungkin tak banyak yang
memperhatikan bahwa di luar semua gambaran stereotip di atas, NU sebenarnya adalah salah
satu denyut terpenting dalam totalitas kehidupan negeri ini. Dengan keteguhannya (yang
diimbangi dengan fleksibilitas) dalam memegang apa yang dengan nada sedikit minor disebut
sebagai "tradisionalisme", dan dengan segala kekhasan dalam gaya berpolitiknya, NU telah
banyak mewarnai bukan saja wacana keagamaan, tapi juga setting sosial kemasyarakatan,
bahkan politik dan ideologi bangsa.
Tapi rasanya telah menjadi keluhan yang klasik bahwa NU dalam kurun waktu yang
cukup lama telah begitu saja terabaikan dalam kajian ilmiah yang serius, terutama karena
kebanyakan pengamat telah sejak dini tersilaukan oleh "modernisme" dan "kaum modernis",
sementara NU pada umumnya dianggap tidak dapat digolongkan ke situ. Martin van
Bruinessen, baru-baru ini menulis kajian paling komprehensif dan tak memihak mengenai
NU untuk saat ini. Ia menguraikan dengan cukup terinci keterabaian itu. Ia menyesalkan
betapa NU kerap hanya disebut secara sambil lalu, ketika sebuah kajian mestinya
memberikan proporsi perhatian yang lebih pada NU (Martin van Bruinessen, NU, Tradisi,
Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994).
Namun untunglah, setidaknya selama satu dasawarsa terakhir perhatian ilmiah
terhadap NU telah berangsur-angsur dipulihkan. Di perpustakaan Lakpesdam NU di Jakarta,
saya mendapati rak-rak besar yang dipenuhi dengan karya-karya skripsi, tesis, bahkan
disertasi tentang NU, terutama yang ditulis setelah 1985. Sangat menggembirakan, meski
tetap dapat disayangkan bahwa semua tulisan itu (kecuali beberapa yang juga dipublikasikan)
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
7/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
7
akhirnya hanya akan dibaca oleh kalangan yang sangat terbatas. Wacana tentang NU bagi
masyarakat luas memang masih relatif kurang. Buku ini, dengan demikian, dimaksudkan
untuk turut mengisi celah tersebut, meski tak diragukan lagi bahwa Choirul Anam (1985),
Kacung Marijan (1992), Martin van Bruinessen (1994), dan Ali Haidar (1995) telahmelakukannya jauh lebih baik.
Buku ini diangkat dari karya skripsi yang saya pertahankan di Jurusan Ilmu
Pemerintahan FISIPOL UGM, dengan judul NU Setelah Kembali ke Khittah 1926: Sebuah
Studi Historis tentang Kelompok Kepentingan Islam di Pentas Orde Baru 1984-1993 .
Penelitian bagi skripsi tersebut saya kerjakan selama kurun waktu 17 bulan sejak Mei 1993.
Sebagian penelitian itu bersifat kepustakaan, yang saya lakukan di beberapa perpustakaan di
Yogyakarta dan Jakarta. Hasil penelitian pustaka itu juga diperkaya dengan hasil serangkaianwawancara dan diskusi.
Skripsi saya, dan dengan demikian juga buku ini, tidak akan dapat disusun tanpa
bimbingan yang intensif dari Drs. Haryanto, MA. Skripsi itu juga telah mengalami perbaikan
yang cukup berarti dengan serangkaian revisi yang diagendakan oleh Drs. Mashuri Maschab,
SU dan Dr. Afan Gaffar, MA. Untuk yang disebut terakhir ini, saya malahan merasakan
hutang budi yang tak kecil, karena dialah yang telah mendorong saya untuk menjajagi
kemungkinan diterbitkannya buku ini. Betapa pun, tanggung jawab atas semua isi buku ini
sepenuhnya berada di tangan saya.
Banyak orang, jauh lebih banyak dari yang dapat saya sebutkan, patut memperoleh
ucapan terima kasih karena bantuan mereka, langsung maupun tak langsung, bagi
terselesaikannya buku ini. Beberapa yang dapat saya sebutkan adalah: Drs. Kacung Marijan,
staf pengajar Ilmu Politik FISIP Unair yang intens mengamati NU, yang telah memberikan
beberapa saran penting di tahap terawal penulisan skripsi saya; Drs. Muhammad Najib,
Sekretaris LKPSM NU DIY; dan Dra. Maria Ulfah Anshar, Koordinator Program
Dokumentasi dan Informasi Lakpesdam NU Jakarta, yang telah bersedia menerbitkan buku
ini. HM Ichwan Sam dan Ir. H Musthafa Zuhad Mughni; berturut-turut adalah Sekjen dan
Wakil Sekjen PB NU 1989-1994, yang telah bersedia memenuhi permintaan wawancara dari
saya; keluarga pamanda Drs. HM Hasan Asj'ari yang banyak membantu ketika saya
melakukan akumulasi data di Jakarta; seluruh teman-teman di Ilmu Pemerintahan UGM '89,
khususnya mereka yang dengan "bangga" menyebut dirinya IMS; teman-teman di Interfidei
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
8/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
8
dan LKiS: Ahmad Suaedy, Hairussalim, M Imam Aziz, M Jadul Maula, Sastro, Fikri, dan
seterusnya; dan sekali lagi LkiS yang telah bersedia menerbitkan buku ini.
Rasa terima kasih yang khusus kiranya ingin saya tujukan kepada semua guru-guru
saya, terutama Drs. Josef Riwukaho, MPA, yang begitu berjasa membentuk sikap disiplin
saya, serta Drs. Cornelis Lay, MA, dari siapa saya banyak belajar tentang cara menghargai
pendapat orang.
Dan akhirnya, buku ini saya peruntukkan bagi orang-orang tercinta: Ibunda Hj
Aminatussuhriyah dan Ayahanda H Abdul Karim, adik-adik saya (Ading, Wiwik, Nunung,
dan Fatim), serta Miming. Semua berhak atas rasa terima kasih tiada terhingga yang hanya
dapat saya muarakan pada Dia Yang Esa: Rabbana ma khalaqta hadza bathila. Subhanaka
faqina 'adzabannar.
Di atas semua ini, saya mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang
telah memberi segala yang saya ingin dan angankan, serta telah memperkenankan saya
mencelupkan tangan ke dalam samudera ilmu-Nya yang maha luas itu.
Saya berharap, buku ini bisa bermanfaat bagi setiap pembacanya. Tentu saja saya
tidak berpretensi bahwa argumen-argumen dalam buku ini telah bersiratkan kebenaran yang
mutlak. Semuanya saya anggap sebagai thesa-thesa yang harus segera berbenturan, atau
dibenturkan, dengan antitesa-antitesa, untuk bisa melahirkan suatu sintesa, dan seterusnya,
dalam pola dialektik. Rasanya lebih tepat untuk menerima buku ini sebagai sebuah catatan
pembuka guna mengawali diskusi kita. Mengapa tidak?
Dan kepada-Nya kita semua berserah diri.
Nologaten, Juli 1995
A Gaffar Karim
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
9/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
9
NU, Sebuah Fenomena Politik
Dr. Afan Gaffar, MA
PEMBICARAAN tentang NU sebenarnya sangat menarik, meskipun dalam
kenyataannya ia pernah begitu terabaikan oleh insan-insan akademis. Dalam segi-segi
tertentu NU adalah fenomena. Lihatlah bagaimana NU pernah tampil sebagai satu-satunya
partai yang mampu melintasi tiga tahapan kepolitikan Indonesia era Demokrasi Liberal, era
Demokrasi Terpimpin dan era Orde Baru dengan prestasi yang relatif stabil, setidaknya
dilihat dari prosentase perolehan suaranya dalam pemilu. Masyumi, yang merupakan partai
Islam terbesar pada masanya, "gugur" sebagai korban penyederhanaan kepartaian Soekarno,
di mana keterlibatan tokoh-tokohnya dalam PRRI terpilih sebagai alasan. Sementara partai-
partai lain akhirnya kalang-kabut menghadapi taktik buldozer Golkar di masa awal Orde
Baru. Praktis, NU-lah yang tetap bertahan, sampai akhirnya fusi 1973 memaksanya lebur
dalam PPP.
Sejak fusi 1973, hingga kurun 11 tahun selanjutnya, NU berada dalam tahapan yang
paling suram dalam catatan biografinya. Betapa tidak, masa kejayaan politiknya telah berakhir, sementara untuk mengepakkan sayap di bidang lain masih banyak belenggu yang
menghambat NU. Halangan terbesar adalah image oposan yang melekat pada NU dan
kebanyakan orpol Islam pada umumnya, yang sebenarnya berpangkal pada gaya politik Orde
Baru saat itu yang sedemikian rupa sehingga memaksa partai-partai Islam mengambil posisi
defensif. NU di era ini begitu tersudut: NU hanya bisa berpolitik via PPP, dan, selanjutnya,
PPP adalah sebuah "partai oposisi", terlepas dari persoalan bahwa orang-orang NU di sana
juga punya kontribusi terhadap karakteristik oposan tersebut.
Jadi kedua hal itulah (kepolitikan Orde Baru dan keberadaan NU dalam PPP) yang
begitu membatasi gerak organisasi para ulama ini. Dengan demikian, langkah reorientasi
politik NU di tahun 1951 yang sekaligus membawanya keluar dari PPP pada dasarnya tidak
akan terlalu berarti banyak, jika saja pada saat yang hampir bersamaan tidak terjadi
perubahan pada langgam kepolitikan nasional. Dengan kata lain,"Kembali ke Khittah 1926"
menjadi sedemikian rupa signifikan bagi NU oleh karena hal itu dilakukan dalam momentum
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
10/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
10
yang tepat. Momentum ini adalah apa yang saya sebut sebagai politik akomodasi antara Islam
dan negara di Indonesia.
Kecenderungan ini mulai sangat terasa ketika dekade 80-an telah memasuki paruh
keduanya. Tampak jelas telah terjadi pergeseran dari model hubungan yang antagonistik
antara Islam dan negara menuju politik akomodasi yang saling mengisi satu sama lain.
Antagonisme diminimalisir, bahkan konflik cenderung dieliminir. Kita akan melihat
indikatornya dalam policy pemerintah di bidang pendidikan dan keagamaan di satu sisi, serta
di sisi lain kecenderungan politik umat Islam di mana NU merupakan salah satu
komponennya. Disahkannya UU Sistem Pendidikan Nasional yang begitu toleran terhadap
persoalan-persoalan essensial umat Islam serta diijinkannya siswi SLTP dan SLTA
mengenakan jilbab di sekolah adalah sebagian contoh. Lalu dibentuknya Yayasan AmalBhakti Muslim Pancasila oleh Presiden Soeharto, disahkannya UU Peradilan Agama, dan
akhirnya didirikannya ICMI adalah contoh-contoh lain yang juga perlu disebutkan. Lalu
mengapa kecenderungan yang akomodatif itu muncul?
Pada sisi pemerintah, politik akomodasi terhadap umat Islam adalah satu-satunya
pilihan untuk tidak menempatkan Islam sebagai kelompok yang berada di luar sama sekali.
Pemerintah tampaknya menyadari bahwa umat Islam merupakan kelompok politik yang
sangat potensial jika mereka bisa mengorganisir diri sedemikian rupa. Itulah pasalnya.
Sehingga kalau umat Islam diletakkan di luar sama sekali, konflik akan sulit dihindari.
Ujung-ujungnya adalah efek yang begitu besar terhadap proses pemeliharaan negara
kesatuan. Jelas, ini harga yang terlalu mahal.
Di samping itu, di kalangan pemerintah kini terdapat sejumlah figur yang tidak
mengidap " islamophobia ". Beberapa di antara mereka malahan memiliki dasar dan latar
belakang keislaman yang kuat. Sebut saja Mar'ie Muhammad, BJ Habibie, Emil Salim, atau
Akbar Tanjung. Nama-nama ini sangat berperan dalam membantu sikap politik pemerintah
yang tidak memusuhi Islam. Aksentuasi kita lebih pada pejabat dari kalangan sipil daripada
pejabat dari kalangan militer maupun perwira ABRI sendiri. Sekalipun Try Sutrisno dan R.
Hartono tidak dapat diabaikan dalam konteks ini, saya masih meragukan apakah sikap yang
kurang favorable terhadap umat Islam sebagai akibat pengalaman masa lain yang tidak
mengenakkan sudah benar-benar hilang dari kalangan militer. Mereka pernah mengalami
kesukaran yang tidak ringan saat harus bertempur menghadapi kelompok-kelompok Islam
separatis.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
11/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
11
Faktor lain, di kalangan umat Islam terjadi perubahan persepsi, sikap, dan orientasi
politik. Pada awalnya, umat Islam sangat menaruh harapan bahwa kelahiran Orde Baru akan
mendorong terwujudnya proses politik yang demokratis di negeri ini. Namun yang terjadi
adalah jauh dari yang diharapkan. Akibatnya umat Islam terdesak pada posisi yangmemaksanya bersikap sangat kritis bahkan mengarah pada sikap oposan.
Kebanyakan politisi Islam meyakini bahwa demokrasi adalah cara terbaik bagi
penyelenggaraan negara. Demokrasi dipandang sebagai cara yang paling efektif untuk
mewujudkan cita-cita politik Islam. Kita lihat bahwa ketika mekanisme politik berlangsung
secara demokratik, kekuatan Islam memainkan peran yang sangat menentukan di dalamnya,
seperti yang tejadi pada masa-masa menjelang kemerdekaan. Bagi kalangan Islam, Orde Baru
menjadi tumpuan harapan bagi terwujudnya demokrasi yang gagal dibangun oleh Orde Lama.Akan tetapi ternyata agenda utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan pembangunan
ekonomi yang bersendikan peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Akibatnya, stabilitas
politik dan keamanan nasional lain menjadi preferable daripada demokrasi. Tidak heran jika
para politisi dan intelektual Muslim tampil dengan kritikan kerasnya terhadap kebijakan
pemerintah, yang selanjutnya membawa akibat, oleh karena pemerintah masih sulit menerima
interaksi politik seperti itu — Islam tergeser pada posisi marginal dalam konstelasi politik
nasional dibandingkan dengan kalangan-kalangan Kristen, Katolik, non-pribumi danseterusnya.
Namun dalam sepuluh tahun terakhir rupanya telah terjadi perubahan sikap politik
Islam yang cukup berarti. Perubahan itu berkaitan dengan posisi penetratif seperti yang
dilakukan kalangan minoritas. Dengan sikap politik yang penetratif, usaha pencapaian tujuan
dan cita-cita politik Islam menemukan cara yang lebih efektif. Inilah kiranya yang turut
menjadi faktor penentu terjadinya hubungan yang akomodatif antara Islam dan negara.
NU dengan "kembali ke Khittah 1926" dan segala implikasi politiknya, dapat
diletakkan dalam konteks faktor yang disebut terakhir di atas. Dengan demikian NU telah
memberi kontribusi bagi lahirnya hubungan yang akomodatif antara Islam dan pemerintah,
sekaligus mengambil manfaat dari suasana baru ini untuk memberi makna yang sangat berarti
bagi keputusan untuk kembali ke khittah itu, meski di sana-sini ganjalan sudah pasti ada.
Dalam bidang-bidang pendidikan, dakwah, pengembangan sumber daya manusia, dan
aspek-aspek sosial-keagamaan lainnya, NU pasca khittah telah berhasil membuat capaian-capaian positif yang begitu mengesankan Hal ini terutama bermanfaat bagi warga NU di
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
12/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
12
tingkat bawah. Di sini, khittah telah menjadi dorongan yang sangat positif untuk mengoreksi
kesalahan-kesalahan di masa lalu. Namun di bidang politik, kita akan mendapati bahwa
khittah kerapkali hanya menjadi sumber inspirasi baru bagi kontroversi demi kontroversi
yang muncul pada tingkat elit NU. Kerap kali terjadi pendapat-pendapat yang satu sama lainsaling berbeda, bahkan saling bertentangan semuanya menyatakan sebagai didasari oleh
semangat khittah . Contoh terakhir adalah yang terjadi menjelang dan setelah Muktamar PPP
1994, ketika sejumlah tokoh NU begitu berambisi untuk memperoleh jabatan di partai itu,
dan tokoh-tokoh NU lainnya mengecam mereka. Kita dapat mengikuti perang statement
antara mereka di media massa, di mana kata " khittah " adalah yang paling sering disebut-
sebut. Sekalipun ambisi untuk mendapatkan kursi ketua umum partai gagal, dan Ismail Hasan
Metareum terpilih kembali seperti yang saya prediksikan (bukan saya "kampanyekan" seperti
tuduhan sementara orang), namun fenomena ini sangat penting untuk dicatat. Sebabnya
adalah pertama, karena hal itu menggambarkan betapa khittah masih belum mampu
menyeragamkan orientasi politik orang-orang NU. Bahwa mereka bebas memilih saluran
aspirasi politiknya masing-masing, jelas telah dijamin oleh khittah . Tapi masalahnya, tokoh-
tokoh ini selalu membawa-bawa nama NU dalam manuver-manuver politiknya, yang
menyebabkan netralitas NU masih kerap dipertanyakan. Kedua, peringatan akan terjadinya
penggembosan kembali PPP turut mewarnai kekecewaan terhadap formasi kepengurusan
baru yang dinilai tidak mencerminkan realitas massa pendukung partai. Bukan mustahil orang
akan jadi bertanya-tanya, mengapa NU seolah-olah masih belum bisa lepas sama sekali dari
PPP? Benarkah akan terjadi penggembosan kembali?
Namun persoalan yang lebih penting adalah mengapa masih terjadi pertentangan
pendapat di seputar implikasi politik khittah? Rupa-rupanya komitmen untuk menjaga
netralitas NU, serta untuk tidak menjadikannya sebagai orpol, masih sangat lemah terutama
di kalangan politisi NU. Tampaknya hanya Abdurrahman Wahid yang masih memiliki
komitmen murni sebagaimana yang dikehendaki oleh Deklarasi Situbondo 1984. Bahkan
sebagian tokoh NU masih ada yang menginginkan organisasi itu kembali menjadi partai
politik. Sebagian yang lain masih mencoba mendominasi kembali PPP dengan alasan jumlah
massa NU yang sangat besar adalah pendukung potensial partai itu. Klaim ini jelas sangat
tergesa-gesa, sebab warga NU kini sudah sangat beragam orientasi politiknya. Setidaknya
terdapat empat kelompok dalam NU yang memiliki orientasi berbeda-beda. Pertama,
kalangan yang masih setia kepada PPP dan tetap bertahan di sana. Orang seperti Hamzah Haz
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
13/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
13
tampak begitu setia dan peduli terhadap semua persoalan PPP terutama ketika partai ini
menghadapi berbagai macam tantangan.
Kedua, kalangan NU yang telah melakukan eksodus dari PPP menuju ke Golkar atau
PDI dan mengembangkan karier politik mereka di sana. Alasannya bisa karena mereka
mempunyai cita-cita yang berbeda dengan prioritas agenda politik PPP. Bisa juga karena
secara rasional mereka melihat bahwa PDI atau Golkar lebih menjanjikan prospek yang lebih
baik bagi karier politik mereka dibandingkan PPP. Atau pula karena alasan yang teramat
pragmatis dan oportunis: karena mereka akan memperoleh fasilitas yang lebih baik jika
bergabung dengan Golkar. Kita tidak berbicara tentang soal baik dan buruk, karena ini adalah
bagian dari rasionalitas politik.
Ketiga, tokoh-tokoh NU yang kecewa terhadap kepemimpinan PPP. Naro ketika itu,
dan oleh karenanya meninggalkan partai itu dengan penuh rasa kecewa dan sedikit dendam.
Kalangan inilah yang di tahun 1987 melakukan penggembosan terhadap PPP sehingga
perolehan suaranya menurun drastis. Kita dapat menyebut nama KH Jusuf Hasyim dan
Mahbub Djunaedi dalam kelompok ketiga ini.
Dan keempat adalah orang-orang yang masih memiliki komitmen terhadap khittah
dan bertekad untuk mempertahankannya. Kalangan ini mempunyai orientasi politik dalamtingkat lobi dan bukan melalui lembaga legislatif, dengan pertimbangan efektivitas
mengingat konfigurasi politik nasional dewasa ini. Bagi mereka, sebut saja Gus Dur dan
kelompoknya, berpolitik sebagaimana parpol bahkan bisa merugikan NU sendiri.
Dan berbicara tentang penggembosan, rasanya hal itu sulit terjadi. Saya melihat
bahwa kelompok ketiga dalam kategori di atas memang potensial untuk kembali melakukan
penggembosan. Akan tetapi jika mereka mau melakukan kontemplasi, akan jelas ini bahwa
penggembosan hanya bakal menjadi counter productive . Jika itu terjadi, citra NU akan
memburuk. Orang akan mencap NU telah bermain di luar sistem yang ada, dan ini akan
menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat. Akibatnya peluang orang-orang NU untuk
memimpin partai akan kian kecil, kecuali partai itu bernama NU.
Di samping itu, masa rekrutmen calon legislatif untuk Pemilu 1987 adalah masa yang
sangat krusial, berkaitan dengan isu suksesi nasional saya yakin bahwa Buya Ismail tidak
akan gegabah meninggalkan orang-orang NU, bahkan ia akan mengakomodasi dengan lebih
baik daripada muktamar lain. Ia tentu tidak akan mengulangi kesalahan Naro di waktu lalu.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
14/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
14
Bahkan sangat mungkin ia akan terus membenahi kesalahan itu dengan memperhatikan
aspirasi NU di daerah-daerah yang merupakan basis NU.
Dan akhirnya, bagaimana pun PPP masihlah rumah politik yang paling baik bagi para
Nahdliyyin daripada partai politik lainnya. Di Golkar sudah penuh sesak dengan beragam
kalangan Islam, terutama yang belum dan memiliki ikatan kepentingan dengan ICMI. Orang
pasti masih ingat akan kritik Gus Dur tentang ICMI, dan di samping itu memperkuat Golkar
yang sudah sedemikian besar tentu tidak sejalan dengan visi Ketua Umum PBNU yang punya
komitmen tinggi terhadap demokrasi itu. Sementara dengan PDI, terdapat hambatan-
hambatan kultural yang tidak memungkinkan orang-orang NU aktual di sana. NU tidak akan
begitu saja bisa bersanding, apalagi berbagi program dan agenda kerja dengan mesra dengan
kalangan sekuler yang begitu dominan di PDI, demikian pula dengan sayap-sayap Kristendan Katolik di sana. Barangkali sangat jitu ucapan KH Alawy Muhammad bahwa beliau akan
bergabung dengan PDI jika partai itu mempunyai program yang islami. Dan saya meragukan
lahirnya program yang islami itu.
NU setelah kembali ke Khittah 1926 memang sangat menarik dan penuh dengan
dinamika yang hampir-hampir tidak dapat diprediksikan sebelumnya. Barangkali itulah
sebabnya selama sepuluh tahun terakhir ini kajian-kajian ilmiah tentang NU meningkat pesat
baik di segi kualitas maupun terlebih lagi kuantitas. Kajian-kajian itu lahir baik dari tangan
pengamat-pengamat asing yang begitu intens meneliti NU atau gerakan Islam di Indonesia
pada umumnya (seperti Nakamura, Feillard, dan Van Bruinessen), maupun dari para analis di
dalam negeri sendiri. Di dalam negeri para pengamat NU dapat dibagi dua, yakni mereka
yang berasal dari kalangan non-NU (seperti Mahrus Irsyam) bahkan non-muslim (seperti
Einar Martahan Sitompul), dan mereka yang berlatar belakang NU terutama generasi
mudanya yang kian banyak menimba ilmu di luar pesantren. Generasi muda NU yang
mempelajari antropologi, sosiologi, atau ilmu politik kerap menghasilkan karya ilmiah yang
cukup menarik tentang NU karena itu dilakukan dengan ketertarikan yang mendalam
terhadap akar kultural mereka itu. Buku karya Abdul Gaffar Karim ini lahir dalam
kecenderungan tersebut.
Poin terpenting buku ini adalah usahanya untuk melihat NU dalam kerangka sebagai
kelompok kepentingan, dan tampaknya ini adalah buku pertama yang menyoroti NU dari
sudut pandang itu. Definisi Almond yang lazim dipakai mengatakan bahwa kelompok
kepentingan adalah setiap kelompok yang berusaha mempengaruhi kebijakan publik tanpa
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
15/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
15
pada saat yang sama berkeinginan untuk memperoleh jabatan publik. Dengan ini dapat
dibuatkan bingkai penjelasan yang paling pas bagi kepolitikan NU pasca khittah, yang dalam
buku ini disebutkan telah terjadi reorientasi dari kuantitas ke kualitas politik. Dalam titik
berat pada kualitas politik, NU terus berupaya untuk tetap ambil bagian dalam proses pembuatan kebijakan nasional, tanpa mempersoalkan kursi jabatan publik yang didapatnya.
Secara ideatif, hal yang disebut terakhir ini diserahkan pada masing-masing individu
warganya.
Selain sebagai kelompok kepentingan buku ini juga mengupas NU sebagai penganut
paham Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Sehingga di sini dapat ditemui keterpaduan antara
pendekatan kultural dan pendekatan struktural, termasuk ketika menjelaskan kepolitikan Orde
Baru sebagai konteks makro di mana NU berada. Sekalipun isi dan uraiannya tidaklah asinglagi bagi mereka yang selalu mengikuti perkembangan NU, namun buku yang diangkat dari
karya skripsi ini jelas telah menyajikan pendekatan baru dalam mengamati NU.
Bahwa di sana-sini terasa ada bias NU, tapi itu tidak mengurangi makna kontributif
buku ini bagi kajian NU dan analisis politik pada umumnya. Bagaimana pun unsur
subjektivitas dalam suatu karya ilmiah kerap sulit dihindari, dan itu tidaklah terlalu tabu
sejauh tidak mengalahkan unsur objektivitasnya. Terlebih lagi dalam lingkup ilmu sosial, kita
harus mengakui bahwa objektivitas yang 100% murni memang sulit dibangun.
Yogyakarta, Mei 1995
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
16/194
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
17/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
17
Dan kukuh-teguhlah kalian dalam ikatan Tali Allah, sebagai satu jamaah,
dan jangan tercerai-berai
-Ali Imran: 103 -
Dan janganlah kalian saling bertikai
hingga menjadi lemah
dan hilang wibawa kalian
-Al Anfal: 46-
Kudedikasikan sebagai tanda kekaguman kepada
sang progressor NU, KH Abdurrahman Wahid.
Dan kuperuntukkan
bagi orang-orang tercinta
ibu dan bapakku,
adik-adikku,
dan Miming
serta untuk mereka yang
mencintai ilmu politik.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
18/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
18
BAB I
PENDAHULUAN
DISKUSI tentang sistem kepartaian di Indonesia seringkali menghasilkan kesimpulan
yang kurang tuntas. Klasifikasi sistem kepartaian yang lazim dikenal, yang antara lain
dikemukakan oleh Maurice Duverger, tidak dapat secara pas membingkai sistem kepartaian
Indonesia saat ini. Dalam klasifikasi "konvensional" itu (berdasarkan jumlah partai yang ada
dan pola interaksi antara mereka), terdapat tiga sistem kepartaian: sistem partai tunggal ( one-
party system ), sistem dua partai ( two-party system ), dan sistem multi partai ( multy-party system ).1 Terminologi "partai tunggal" dan "dua partai" tidaklah selalu berarti bahwa dalam
suatu sistem politik hanya terdapat satu atau dua parpol saja. Sebab istilah itu mengacu pada
jumlah parpol yang terus-menerus mendominasi semua porsi peran dalam pentas politik yang
ada. Dalam sistem satu partai, boleh jadi terdapat dua atau lebih partai politik. Namun
suasana kepartaian yang ada sangat tidak kompetitif: partai-partai politik yang ada harus
menerima pimpinan dari partai yang dominan dan sama sekali tidak diperkenankan bersaing
secara bebas melawan partai itu. Pemilihan umum, dengan demikian, tidak diperlukan dalam
sistem kepartaian ini. Dalam sistem dua partai pun, bisa saja terdapat tiga atau lebih parpol,
tapi peran dominan selalu dipegang oleh dua parpol tertentu. Jika salah satu dari keduanya
berkuasa (karena menang mutlak dalam pemilu), maka yang lain tampil sebagai partai
oposisi. Demikian secara bergiliran. Amerika Serikat adalah contoh paling jelas bagi sistem
dua partai. Sementara dalam sistem multi partai, terdapat banyak parpol dengan kekuatan
kurang lebih imbang, serta terdapat pola kompetisi yang maksimal dan terbuka di antara
mereka. Salah satu kesulitan yang sering muncul dalam sistem kepartaian ini adalah tidak
adanya parpol yang menang mutlak (50% tambah satu suara) dalam pemilu, sehingga
pemerintahan yang terbentuk kerapkali merupakan koalisi dari beberapa parpol. Tak jarang
koalisi itu demikian longgar, sehingga pemerintah bisa sewaktu-waktu jatuh karena partai
tertentu menarik dukungannya dari koalisi.
Di manakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletakkan dalam klasifikasi
tersebut? Tidak ada jawaban yang persis tepat. Sistem kepartaian Indonesia jelas bukan
1 Lihat misalnya, Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 167-170.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
19/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
19
sistem dua partai. Sementara untuk menggolongkannya sebagai sistem satu atau multi partai
pun terdapat banyak ganjalan. Sekalipun Golkar sepanjang sejarah Orde Baru selalu tampil
mendominasi pentas kepartaian nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI, bukan tidak
memiliki peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang ada pun tetap tampakterutama menjelang pemilu setiap lima tahun. Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini.
Namun ciri sistem multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai politik
sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan parpol lain, juga tak terpenuhi. PPP
dan PDI, bahkan dengan menggabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu
menandingi kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jelas kurang
memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk mengamati sistem kepartaian
Indonesia.
Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu agaknya dapat diambil dari Dr
Afan Gaffar 2 yang mengidentifikasi sistem kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem
kepartaian hegemonik ( hegemonic party system ), istilah yang diperkenalkan pertama kali
oleh La Palombara dan Weiner. 3 Ciri sistem kepartaian ini adalah, Golkar sebagai partai
hegemonik terus-menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya
secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik
itu.4
Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa faktor yang telah dirancang dengan baik, yaitu: (1) Penciptaan aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga
kelangsungan tertib politik di dalam negeri; (2) Proses depolitisasi massa untuk sepenuhnya
diarahkan pada kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi; (3) Restrukturisasi partai-partai
politik yang ada; dan (4) Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang dapat
menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu. 5
Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI praktis sangat sedikit.
Akses mereka terhadap kekuasaan hanya sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika
berhadapan dengan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang ( floating mass ) telah
memotong akar mereka pada lapisan masyarakat bawah. Akibatnya, partai-partai politik itu
2 Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System (Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press, 1992).3 Ibid. , h. 36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multipartai padamasa Demokrasi Liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namuntidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode Demokrasi Terpimpin, yang muncul adalah apayang disebutnya 'No-party System ". Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah. Mereka hanya menjadi pemeranpembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan ketiga
adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam Pemilu 1971. Ibid , h. 35-36.4 Ibid , h. 51-61.5 Ibid., h. 37-38.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
20/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
20
mengalami kesulitan kaderisasi dan rekrutmen aktivis yang cakap. Sementara aparat
pemerintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar.
Kondisi kepartaian demikian, ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa
dalam polifik pengambilan keputusan ( the politics of policy making ) hubungan yang bersifat
pribadi ( personal linkage ) lebih menonjol daripada institutional linkage ,6 memungkinkan
lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih berarti daripada parpol.
Kelompok-kelompok kepentingan, misalnya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi
masyarakat untuk dapat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem politik
yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab elit kelompok kepentingan selalu
membawa citra tanpa pamrih atau ikhlas, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai
karakter positif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya, seperti selalumementingkan kepentingan pribadi, terlampau banyak politicking , berpamrih dan lain-lain. 7
Dalam konteks inilah maka Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai salah satu kelompok
kepentingan ( interest group ) terbesar di Indonesia perlu memperoleh perhatian lebih serius
dalam kajian tentang kepolitikan Indonesia kontemporer. Selama ini, Nahdhatul Ulama 8 yang
dianggap "sayap tradisionalis" umat Islam Indonesia kurang memperoleh perhatian ilmiah
yang memadai dari para pengamat politik, dibandingkan dengan Muhammadiyah, yang
dianggap "sayap modernis" umat Islam Indonesia. Ward 9 misalnya mengeluh bahwa NU
adalah yang paling sedikit memiliki kelemahan internal dan paling sedikit mengalami
perpecahan internal, ironisnya, NU juga “ partai yang paling kurang dipahami dan paling
sedikit teramati." Hal yang sama dikemukakan Anderson. 10 Ia melihat bahwa sedikit sekali
kalangan akademisi yang mengetahui tentang NU; belum ada disertasi doktor yang pernah
ditulis tentang NU, dan dia meragukan apakah akan segera ada disertasi tentang NU, padahal
NU merupakan kekuatan sosial, kultural, keagamaan, dan politik yang sangat berpengaruh di
Indonesia selama bertahun-tahun. Keluhan Ward dan Anderson itu memang dilontarkan
beberapa tahun lampau, namun relevansinya belum hilang sampai sekarang.
6 Afan Gaffar, "Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional," dalam A. Zaini Abar (ed.), Beberapa AspekPembangunan Orde Baru (Solo: CV Ramadhani), h. 21.7 Ibid. , h. 22.8 Nahdhah al-Ulama. Nahdhah berarti bangkit atau bergerak; ulama adalah bentuk plural dari kata 'alim yang secarakhusus berarti orang yang menguasai ilmu agama (Islam) secara mendalam. Jadi harfiah, Nahdhatul Ulama berarti“kebangkitan ulama”. Selanjutnya disebut “NU” saja. 9 Ken Ward, The 1971 Election in Indonesia (CSAS, Monash University Press, 1974), sebagaimana dikutip dalam Heri Wasito,
NU dalam Pemilu 1971 (Skripsi FISIPOL-UGM, 1989), h. 3.10 Benedict R.O'G. Anderson, Religion and Social Ethos in Indonesia (Clayton, Victory: Monash University, 1977),sebagaimana dikutip dalam Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES), h. 4.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
21/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
21
Sebuah ironi, mengingat bahwa NU adalah kelompok kepentingan dengan jumlah
anggota yang sangat besar, barangkali yang terbesar, di Indonesia hingga saat ini. Berapa
besar massa NU? Inilah estimasi Zamakhsyari Dhofier:
Dari hasil PEMILU tahun 1955 pemilih NU sebesar 18,4% dan pada PEMILU 1971 persentase naik menjadi 18,7%. Persentase sebesar itu terhadap jumlah penduduk Indonesiasekarang yang diperkirakan sebesar 180 juta maka jumlah pendukung NU dapat diperkirakansebesar 33 juta orang. 11
Perkiraan di atas memang didasarkan pada logika yang sangat sederhana, namun
angka yang disebutkan tentulah tidak jauh bergeser dari angka riilnya. Dengan demikian, NU
tidak sepatutnya mengalami nasib terabaikan, dan hanya memperoleh perhatian yang minim,
dalam kajian-kajian ilmiah politik dengan 30 juta lebih massa dalam naungannya itu.
Latar Belakang
NU didirikan di Surabaya tahun 1926 dengan sebuah pola dasar perjuangan yang
dikenal dengan "Khittah 1926". Pada awal berdirinya NU bukan merupakan partai atau
organisasi politik, melainkan sebuah jam'iyah diniyah atau organisasi sosial-keagamaan.
Namun, walaupun bukan organisasi politik, dimensi politik dalam aktivitas NU tidak kecil,
terutama karena dalam tujuan pendiriannya sejak awal telah terkandung muatan politik, yaitu
penggalangan nasionalisme di tengah iklim kolonial saat itu. 12 Setelah beberapa tahun
bergerak semata-mata dalam kegiatan sosial-keagamaan, bergabungnya NU ke dalam MIAI
(Majlisul Islam A'la Indonesia) menandai mulai manifesnya orientasi politik organisasi ini.
Di dalam MIAI, NU bersama GAPI (Gabungan Politik Indonesia) turut aktif menyuarakan
tuntutan Indonesia berparlemen. 13 MIAI, setelah melalui tahap-tahap metamorfosis, menjadi
cikal bakal Partai Masyumi di mana NU bergabung dan menyalurkan aspirasi politiknya di
masa awal kemerdekaan.
11 Zamakhsyari Dhofier, "Beberapa Aspek yang Menjadi Dasar Kekuatan dan Pengaruh NU," dalam S. Sinansari Ecip (ed.)NU dalam Tantangan (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1989), h. 47.12 Lihat Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdhatul Ulama (Sala: Jatayu, 1985), h. 24-33. Lihat jugaManfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1986), h. 64-65.13 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980), h. 289-290.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
22/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
22
Tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menyatakan diri sebagai partai politik
tersendiri, menyusul munculnya serangkaian kekecewaan NU terhadap Masyumi yang
berkaitan dengan masalah distribusi kekuasaan dalam struktur pimpinan partai federasi itu. 14
Keluarnya NU dari Masyumi memungkinkan organisasi ini untuk lebih mengaktualisasikandiri. Prestasi spektakulernya yang pertama diukir dalam Pemilu 1955. Walaupun dengan
masa persiapan yang lebih singkat dibandingkan partai-partai politik lain, NU mampu
menempati peringkat ketiga perolehan suara setelah PNI dan Masyumi. NU meraih 18,4%
suara dan 45 kursi di parlemen. 15
Perkembangan selanjutnya membawa NU terlibat secara langsung dalam pasang-surut
kepolitikan nasional. Pada Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru dan pemilu
kedua dalam sejarah Indonesia merdeka, NU memperbaiki prestasinya dengan menempatiurutan kedua setelah Golkar, dengan meraih 18,67% suara dan 58 kursi di parlemen. 16 Dua
tahun setelah Pemilu 1971 dilakukan penyederhanaan kepartaian di Indonesia. Sembilan
partai politik yang ada disederhanakan sehingga hanya menjadi dua partai politik saja, di
samping Golkar. NU, bersama Parmusi, PSII, Perti, bergabung dalam PPP. Sementara PNI,
IPKI, Murba, Partai Katolik, dan Parkindo, berfusi dalam PDI. 17
Baik PPP maupun PDI sebenarnya merupakan buah dari fusi yang tidak pernah
tuntas. PDI tersusun dari unsur-unsur yang masing-masing memiliki asas yang berlainan:
nasionalis, sosialis, Katolik, dan Kristen. Benang merah yang menyatukan keanekaragaman
asas itu sebenarnya rapuh dan mustahil dapat terikatkan tanpa adanya rekayasa pemerintah.
Begitu pula PPP. Sekalipun semua unsurnya berasaskan Islam, tapi masing-masing
memandang dan mempersepsikan asas itu dalam visi yang berbeda. Setidak-tidaknya,
terdapat dua aliran pemikiran utama dalam PPP, yaitu kelompok modernis yang secara
longgar terdapat dalam MI dan SI, serta kelompok tradisionalis dalam NU dan Perti. 18
Fusi yang tidak tuntas itu menyebabkan perkembangan kedua partai tersebut selalu
diwarnai oleh konflik internal antar unsur yang seakan tidak pernah usai. Bahkan akhir-akhir
ini (1993), konflik dalam tubuh PDI telah melibatkan kekerasan fisik, sehingga tidak kurang
dari Kwik Kian Gie, seorang tokoh PDI, dalam otokritiknya menyayangkan kiprah partai
14 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 1987), h. 80-86.15 Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1966), Tabel 2, h.434.16 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-surut (Jakarta: CV Rajawali, 1983), h. 170.
Sebuah penelitian tentang NU dalam Pemilu 1971 pernah dilakukan oleh Heri Wasito. Lihat Wasito, op. cit. 17 Karim, ibid., h. 172.18 Syamsudin Haris, PPP dan Politik Orde Baru (Jakarta: PT Grasindo, 1991), h. 9.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
23/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
23
banteng ini yang tampak seperti "partai kampungan yang bisanya cuma berkonflik." 19
Sementara dalam PPP, konflik internal tampak terpola sebagai pertentangan antara kalangan
modernis dan kalangan tradisionalis, terutama antara MI dan NU. Pada mulanya konflik itu
memang relatif laten, namun memasuki era 1980-an konflik NU-MI kian nyata, yang antaralain menyangkut kedudukan dalam partai dan DPR. Sementara campur tangan pemerintah
dalam konflik internal itu semakin menguatkan MI vis a vis NU, maka kronologis keluarnya
NU dari Masyumi seolah terulang lagi. NU yang memendam kekecewaan terhadap PPP,
mulai menjelang Pemilu 1982 telah mengancam akan keluar dari partai itu. Ancaman ini
kemudian ternyata tidak main-main.
Pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo 1983 membuahkan keputusan yang
mengejutkan, yaitu bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal, mendahuluiorganisasi massa mana pun. 20 Keputusan itu ditegaskan kembali dalam Muktamar NU ke-27
tahun berikutnya di kota yang sama. Muktamar ini merupakan titik balik sejarah NU, sebab di
sini dilahirkan keputusan penting NU untuk kembali ke Khittah 1926. 21 Salah satu makna dan
konsekuensi yang dibawa dalam keputusan ini adalah bahwa NU tidak lagi terikat dalam
PPP. Terlebih dengan diputuskannya kemudian tentang pelarangan perangkapan jabatan
antara pengurus NU dengan pengurus orpol, termasuk PPP, khususnya pengurus harian.
Keluarnya NU dari PPP kemudian disusul oleh aksi "penggembosan" NU terhadap PPPmenjelang Pemilu 1987. Dalam pemilu ini PPP mengalami kemerosotan perolehan suara
yang sangat drastis dibandingkan pemilu sebelumnya. 22 Untuk menyimpulkan bahwa
kemerosotan perolehan suara PPP disebabkan oleh aksi penggembosan NU barangkali terlalu
tergesa-gesa. Tapi bahwa fenomena yang disebut pertama muncul setelah adanya fenomena
yang disebut belakangan, jelas tidak dapat dipungkiri.
Kembali kepada produk Muktamar 1984, dalam keputusan kembali ke Khittah 1926
pada umumnya dipandang terdapat makna bahwa NU memutuskan untuk tidak lagi
berpolitik. Konsekuensinya adalah adanya pemisahan tegas antara kegiatan-kegiatan politik
19 Wawancara TPI dengan Kwik Kian Gie, disiarkan di TPI dalam acara Selamat Pagi Indonesia , 23 Juli 1993. 20 Tentang penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU, lihat Einar M Sitompul, NU dan Pancasila (Jakarta: PustakaSinar Harapan, 1989), h. 160-187.21 Mengenai kronologis lahirnya keputusan kembali ke Khittah 1926, lihat antara lain, Kacung Marijan, Quo Vadis NUSetelah Kembali ke Khittah 1926 (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), h. 110-156.22 Lihat Haris, op. cit, tabel 4, h. 121.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
24/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
24
dan kegiatan-kegiatan non-politik. Dan NU mencurahkan perhatiannya pada kegiatan-
kegiatan non-politik (praktis), sosial-keagamaan, sebagaimana semangat tahun 1926. 23
Tetapi benarkah NU mampu memusatkan perhatian dan mengarahkan aktivitas-
aktivitasnya semata-mata di bidang sosial-keagamaan dan sama sekali memalingkan muka
dari aktivitas politik? Kenyataan yang teramati memberikan jawaban negasi bagi pertanyaan
tersebut.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan sebelum menapaki kenyataan yang ada itu lebih
jauh. Pertama, sebagaimana disebutkan pada beberapa paragraf di muka, dalam tujuan
pendirian NU sejak awal pun telah terkandung muatan-muatan politik. Kalaupun gerakan NU
pada tahap-tahap awalnya tidak menonjolkan orientasi politiknya, itu hanya soal waktu.
Ketika orientasi politik yang embrional itu mulai meronta dan menuntut agar dirinya segera
dilahirkan dalam tindakan-tindakan riil dan tidak hanya tersimpan laten, maka bentuk
organisasional NU yang waktu itu masih murni jam'iyah diniyah tidak kuasa
membendungnya. Bentuk organisasilah yang kemudian menyesuaikan diri dengan orientasi
gerakan NU, dan bukan sebaliknya. Dalam catatannya tentang fenomena keluarnya NU dari
Masyumi untuk berdiri sebagai parpol tersendiri, Bambang Santoso Haryono menilai bahwa
tindakan yang juga merupakan upaya adaptasi terhadap orientasi politik yang kian kasat mata
itu sekadar merupakan perluasan wawasan yang harus dimainkan dalam rangka mencapai
tujuan (awal) keorganisasiannya, yaitu menegakkan syariat Islam secara murni berdasarkan
paham Ahlussunnah wal Jamaah yang dianutnya. 24 Penilaian ini cukup beralasan, sebab bagi
NU, fungsi organisasi hanyalah sekadar alat untuk mencapai tujuan. Itu berarti, bentuk
organisasi semata-mata bukanlah merupakan tujuan, apalagi tujuan akhir. 25 Apapun bentuk
organisasi yang disandang NU dalam kala tertentu, hal itu terutama sekali haruslah dipandang
sebagai adaptasi diri terhadap konteks, yang setiap saat sangat dimungkinkan untuk berubah
sepanjang usaha pencapaian tujuan yang terkandung dalam nilai-nilai Ahlussunnah wal
Jamaah menghendaki begitu. Jadi, terlalu tergesa-gesa untuk mengestimasi bahwa
berubahnya bentuk organisasi NU kembali ke wujud organisasi sosial-keagamaan serta merta
akan melunturkan orientasi politiknya, betapapun secara formal telah ditetapkan untuk tidak
lagi berpolitik (praktis).
23 Kacung Marijan, "Respons NU terhadap Pembangunan Politik Orde Baru," dalam Jurnal Ilmu Politik No. 9, h. 53.24 Bambang Santoso Haryono, Persepsi Warga NU terhadap Keputusan Politik Muktamar 1984 (Tesis S-2, Fakultas Pasca
Sarjana UGM, 1990), h. 40.25 Nilai ini tersirat, misalnya, dalam ungkapan seorang tokoh NU, KH Wahid Zaini: "kalau organisasi NU bubar, NU --secarakultural-- masih ada." Lihat Marijan, Vadis, op cit ., h. 190.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
25/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
25
Kedua, politik tampaknya telah telanjur menjadi sebuah elan NU, yang telah terasah
tajam sepanjang pergulatannya secara langsung dalam politik praktis selama kurun waktu tak
kurang dari 32 tahun (1952-1984). Karena itu, mustahil untuk memaksa NU sepenuhnya
meninggalkan arena politik dan diam menjadi penonton pasif. Hal ini tentu saja disadari oleh para elit NU, termasuk mereka yang menandatangani keputusan untuk kembali ke Khittah
1926. Tampaknya dilandasi oleh kesadaran inilah, maka pada konsideran Keputusan Munas
Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 Tentang Pemulihan Khittah NU 1926, yang
kemudian dikukuhkan dengan keputusan Muktamar NU No. 01/MNU-27/1984, antara lain
disebutkan bahwa:
Dalam kurun waktu yang cukup lama, secara tidak disadari Nahdhatul Ulama telahmenjadi kurang peka dalam menanggapi perkembangan keadaan, khususnya yangmenyangkut kepentingan umat dan bangsanya. Salah satu sebab ialah keterlibatan yang
berlebihan dalam kegiatan politik praktis ... 26
Pemakaian kata "berlebihan" dalam konsideran di atas tentu bukannya tanpa makna.
Agaknya, yang dimaksud oleh para perumus keputusan tersebut dengan "pemulihan Khittah
1926" bukanlah sama sekali turun dari pentas politik, melainkan meminimalkan keterlibatan
"yang berlebihan" dalam politik itu, yang menyebabkan tokoh-tokoh NU akhirnya hanya
memikirkan kepentingan dan ambisi politik pribadinya saja, sementara kepentingan
umat/warga NU terabaikan. Keterlibatan dalam politik dengan demikian tetap ditolerir,
sejauh tidak berlebihan, dan didedikasikan kepada "kepentingan umat dan bangsanya ”.
Hampir tidak ada, atau sedikit sekali, kalangan ulama/kiai NU yang berpandangan
demikian. Tidak kalah cerobohnya adalah kebanyakan pengamat yang serta-merta
menafsirkan bahwa dengan kembali ke Khittah 1926 NU akan meninggalkan gelanggang politik sama sekali. Sementara kelompok politisi NU ternyata masih menginginkan
kepolitikan praktis bagi NU. Salah satu tokoh yang cukup vokal adalah Mahbub Djunaedi,
salah seorang Ketua PB Tanfidziyah NU (1984-1989) dan anggota Mustasyar (1989-1994).
Menjelang Munas Alim Ulama NU 1987, Mahbub melontarkan gagasan agar NU kembali
berpolitik praktis, walaupun telah menyatakan diri kembali ke Khittah 1926. Gagasan ini
kemudian dikenal sebagai "Khittah Plus." 27 Menurutnya, dengan jumlah massa yang begitu
26 Lihat Sitompul, op, cit , Lampiran 2, h. 209. Cetak miring dari Penulis.27 Mahbub Djunaedi, "Khittah Plus," Tempo, 7 Nopember 1987.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
26/194
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
27/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
27
sudah mendekati pemilu, 30 angka di atas jadi berbicara lain. Di tengah kontroversi akan
makna yang dikandungnya, Rapat Akbar itu secara atraktif telah membuktikan kapasitas
seorang Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB NU. Ia bukan saja mampu menunjukkan
besarnya dukungan warga NU terhadapnya namun juga telah menempatkan pemerintah pada pilihan yang sulit dan dilematis. Untuk tidak memberi izin pelaksanaan rapat akbar
pemerintah terbentur pada isu keterbukaan yang telah turut digembar-gemborkannya,
sementara untuk begitu saja mengizinkan terasa begitu riskan. Rapat Akbar NU 1992, yang
meskipun disangkal sebagai politik praktis namun oleh Sekjen PB NU Ichwan Syam diakui
sebagai sebuah langkah politik, 31 tentu mengagetkan banyak pengamat yang telah terlanjur
mapan dalam kesimpulan bahwa kembali ke khittah berarti surutnya kepolitikan NU.
Mozaik NU pasca 1984 memang tampak rumit. Warna-warni yang kian beraneka-ragam yang muncul dalam aktivitasnya dapat menyilaukan mata para pengamat, jika mereka
tidak berdiri dalam sudut pandang yang tepat serta dengan kacamata yang tepat pula dalam
menganalisis NU. Andree Feillard, 32 menyadari betul hal itu. Penilaiannya tentang NU
dikutip agak panjang di sini:
NU telah memilih untuk melaksanakan hijrah dengan caranya sendiri, dalam suatu bentuk yang lunak. Yaitu: meninggalkan pertarungan kekuatan dalam PPP, dan memusatkandiri dalam upaya membangun kembali (konsolidasi) kekuatannya telah sangat melemahsetelah bertahun-tahun bertarung dengan pemerintah, namun tetap memasuki sistem yang adasekarang. Ketimbang meminta PPP untuk bertarung untuk kepentingannya, NU mencobamempertahankan kepentingannya lewat siapa saja yang menawarkan diri: bisa jadi ituGolkar, tapi sering pula melalui Presiden sendiri. NU tahu bahwa DPR, yang meniru model
parlementer ala Barat, telah kehilangan pengaruhnya dalam lobi politik, sebagaimanakebanyakan kasus di negara-negara Dunia Ketiga. NU setengahnya menolak sistem ini, tetapi
juga mengeksploitasinya dengan lebih cerdik lagi. Ambiguitas ini tampak dalam semualangkah yang diambil NU: bahkan sejak Situbondo (kembali ke khittah ), dan akan selalu
mewarnai pertanyaan yang berkisar seputar khittah.33
Di bagian lain, Feillard juga mengingatkan bahwa pada saat ini,
30 Editor No. 25, 7 Maret 1992, h. 13.31 Ibid., h. 1632 Andree Feillard, "Isyarat Politik setelah Situbondo," dalam ibid. , h. 30-31.33 Ibid. , h. 32.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
28/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
28
NU mungkin bukan suatu gerakan politik ..., tetapi ia tetap suatu kekuatan politik.Dengan demikian, ia tidak bisa menjauh dari politik sama sekali. 34
Jika asumsi Feillard ini dapat disetujui, dan tampaknya memang demikian, makaagenda NU adalah mencari model kepolitikan yang tepat dalam kapasitasnya saat ini. Pada
era sebelum 1984, ketika NU masih berupa partai politik maupun ketika bergabung dalam
PPP, model kepolitikan itu cukup jelas dan tidak terlalu menjadi persoalan. Lepas dari
masalah efektivitas, kepentingan dan aspirasi politik warganya dapat secara langsung
tersalurkan melalui badan legislatif di mana NU turut memiliki kursi. Namun setelah 1984,
model kepolitikan NU jelas memerlukan formulasi baru. Dan ini bukan merupakan persoalan
yang dapat dikatakan mudah, mengingat masih ada perbedan pendapat di kalangan elit NU
sendiri akan makna kembali ke khittah itu dalam implikasi politiknya. Berdasarkan semua
uraian-uraian di atas, maka buku ini akan mencoba menjawab beberapa permasalahan tentang
dinamika NU dalam implementasi keputusan untuk kembali ke Khittah 1926, arah dinamika
itu, dan model kepolitikan NU berkaitan dengan implementasi Khittah.
Kerangka Konseptual
Salah satu "keuntungan" dalam mempelajari NU adalah tersedianya seperangkat
kerangka nilai yang telah "terkodifikasi" dan secara konsisten menjadi acuan jam'iyah ini
dalam hampir semua perilakunya, dan karenanya dapat menjadi salah satu penjelas perilaku-
perilaku itu. Namun untuk setidaknya dua alasan: pertama, sangat kontekstualnya pola
aplikasi kerangka nilai itu, baik menurut konteks "siapa" yang melaksanakannya maupun
konteks "kapan" nilai itu diaplikasikan, 35 dan kedua, bahwa sebagai kelompok kepentingan
NU merupakan infrastruktur yang hidup dalam sistem politik Indonesia, maka kajian tentang
NU pertama sekali harus dilakukan dengan meletakkannya dalam konteks makro kenegaraan
Indonesia, khususnya Orde Baru.
Orde Baru: Perspektif Kul tur al
34 Ibid. 35 Wawancara penulis dengan Drs. Kacung Marijan di FISIP Unair, Surabaya, 22 Juni 1993.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
29/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
29
Pada pokoknya terdapat dua pola umum dalam memandang kepolitikan Orde Baru,
yaitu pandangan yang cenderung memakai pendekatan kultural dan yang menekankan
pendekatan struktural. Dalam pendekatan terakhir, biasanya ekonomi dan organisasi negara
menjadi variabel penting. Para penganut perspektif kultural meyakini adanya kontinuitassejarah: banyak sekali karakteristik kepolitikan Indonesia modern yang merupakan
"reinkarnasi" tradisi politik Jawa sejak era pra-kolonial. Benda, 36 misalnya, menilai
otoriterisme di Indonesia jauh berakar dalam sejarah bangsa ini. Karena itu, Demokrasi
Konstitusional, demokrasi "asing" yang pernah dicoba penerapannya di Indonesia pada 1950-
an, akhirnya gagal.
Sementara penganut perspektif kultural lain, seperti Anderson 37 dan Fachry Ali, 38
secara lebih eksplisit membuktikan banyaknya paham dan budaya poiitik Jawa yangterefleksi pada karakteristik baik rezim Demokrasi Terpimpin maupun Orde Baru. Bukan
kompetensi kajian ini untuk melihat refleksi itu dalam detil. Namun tetap perlu untuk setidak-
tidaknya melakukan overview terhadap beberapa aspek yang menonjol dalam konsep Jawa
tradisional tentang kekuasaan. Mengacu pada Anderson, aspek-aspek itu meliputi empat hal. 39
Kekuasaan itu konkret. Lepas dari persoalan siapa yang menggunakan, yang pasti
kekuasaan itu ada. Lebih dari sekadar anggapan teoritik, maka kekuasaan sebenarnya adalah
suatu "kenyataan eksistensial yang terwujud". Kekuasaan adalah energi yang tak teraba,
misterius, bersifat agung, serta termanifestasi dalam setiap aspek dunia alamiah: dalam batu,
kayu, awan dan api, dan terutama dinyatakan dalam misteri kehidupan yang terpokok, yaitu
proses generasi dan regenerasi. Dalam alam pikiran tradisional Jawa tidak ada pemisahan
yang tajam antara zat-zat organis dan anorganis, karena semuanya ditopang oleh kekuatan tak
terlihat yang sama.
Kekuasaan itu homogen. Semua kekuasaan mempunyai jenis yang sama serta berasal
dari sumber yang sama. Kekuasaan di tangan individu atau kelompok tertentu adalah identik
dengan kekuasaan di tangan individu atau kelompok lain mana pun.
Besarnya kekuasaan di alam semesta adalah konstan. Alam semesta tidaklah
mengendor atau mengerut. Jadi jumlah kekuasaan di dalamnya pun tidak berubah, meskipun
36 Harry J. Benda, "Democracy in Indonesia: A Review Article," dalam Journal of Asian Studies , 23, 3 (May 1964), sepertidikutip dalam Mohtar Mas'oed, Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 1989), h.2.37 Benedict R.O’G. Anderson, "The Idea of Power in Javanese Culture," dalam Claire Holt (ed.), Culture and Politics in
Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1972).38 Fachry Ali, Refleksi Paham "Kekuasaan Jawa" dalam Indonesia Modern ( Jakarta: PT. Gramedia, 1986).39 Anderson, op.cit. h.7-8.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
30/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
30
pembagian kekuasaan itu barangkali bisa berubah. Itu berarti, terputusnya kekuasaan di satu
pihak mengharuskan pengurangan kekuasaan di tempat lain.
Dalam kerangka inilah agaknya dapat dijelaskan, di samping penjelasan-penjelasan
lain, mengapa fusi partai-partai politik di tahun 1973 menjadi penting untuk dilakukan:
semakin sedikit jumlah parpol semakin sederhana pola distribusi kekuasaan yang ada, dan itu
berarti semakin mudah kekuasaan dipusatkan. Sebab berkaitan dengan sifat kekuasaan yang
jumlahnya konstan, maka indikator utama adanya kekuasaan di tangan seseorang adalah
kemampuannya untuk memusatkan: memusatkan kekuasaannya sendiri, menyerap kekuatan
dari luar, dan memusatkan dalam dirinya apa yang tampaknya bertentangan. 40 Sukarno
pernah mencoba menegaskan kekuasaannya dengan melakukan sintesa ideologis terhadap
nasionalisme, agama dan komunisme, dalam Nasakom. Tapi Suharto lebih berhasil ketikamengharuskan semua orpol dan ormas menerima Pancasila sebagai asas tuntutan dan
melepaskan ideologi khas masing-masing.
Kekuasaan tidak mempersoalkan keabsahan. Karena semua kekuasaan berasal dari
satu sumber tunggal yang homogen, maka kekuasaan itu sendiri mendahului persoalan baik
dan buruk. Kekuasaan itu terlepas dari persoalan sah dan tidak sah, sebab yang penting:
kekuasaan itu ada. Dalam dasar pemikiran tentang kekuasaan yang keempat di atas,
pengertian yang implisit dibawa di situ adalah bahwa legitimasi kekuasaan adalah hal yang
inheren dalam eksistensinya. Artinya, jika suatu kekuasaan telah nyata ada, maka faktor
kedua yang secara bersamaan pasti ada ialah legitimasi bagi kekuasaan itu. Tidak jadi soal
apakah kekuasaan itu diperoleh melalui paksaan kekuatan fisik, seperti kudeta. Jika pelaku
kup itu berhasil mengambil alih kekuasaan, itu berarti ia memang memiliki legitimasi untuk
berkuasa. Sebab jika tidak, ia pasti gagal. Tentu saja suatu regim tidak dapat semata-mata
mendasarkan kekuasaannya pada legitimasi otomatis minimal itu, melainkan diperlukan
faktor-faktor lain sebagai penguat legitimasi tersebut.
Dalam kasus Orde Baru pun dapat diamati beberapa hal yang secara kultural
menguatkan pengabsahan kekuasaan regim ini setidak-tidaknya dalam alam bawah sadar
pemikiran Jawa tradisional dalam jumlah yang sama.
Pertama adalah berkaitan dengan identifikasi utama Orde Baru sebagai "regim
militer". Jika dalam pandangan Barat sebuah regim militer barangkali mempunyai cap negatif
40 Ibid . h.13
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
31/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
31
tertentu, maka tidak demikian halnya dalam pandangan kekuasaan Jawa tradisional. Sejak
dahulu dalam kerajaan-kerajaan Jawa, tentara memiliki kedudukan penting. Sedemikian
pentingnya kedudukan militer itu dapat terlihat dalam kenyataan bahwa raja-raja Jawa yang
besar pertama-tama adalah seorang jenderal (panglima perang) yang besar pula.41
Raja adalahnegarawan, manipulator simbol-simbol kerajaan dalam konotasi agama, pemilik kerajaan
yang mengandung potensi perlawanan, dan, tak jarang, pembaharu sastra. Variasi raja
berbakat itu tidak akan muncul tanpa keterampilan militer. Dan tanpa itu, seorang raja tidak
akan mampu mengontrol daerah-daerahnya yang relatif jauh, yang biasanya otonom.
Konsolidasi wilayah kerajaan pun pada umumnya dilakukan dengan kekuatan bersenjata.
Karena itulah kedudukan militer menjadi sangat penting dalam kerajaan-kerajaan Jawa
tradisional. Dari sini dapat dipahami mengapa Sukarno di masa kekuasaannya selalu
menonjolkan kapasitasnya sebagai Panglima Tertinggi ABRI belakangan juga Penguasa
Perang Tertinggi (Peperti), dan dalam setiap penampilan resminya selalu mengenakan
uniform militer lengkap. Suharto, tentu tidak perlu sampai bersusah payah seperti
pendahulunya itu.
Penguatan keabsahan berikutnya sedikit-banyak berkaitan dengan konsep Ratu Adil:
munculnya raja yang adil dan bijaksana sesudah masa kekacauan dan kemerosotan moral
yang parah. Legitimasi kultural terhadap Orde Baru adalah karena Suharto, figur sentralnya,dipandang telah memperoleh pulung untuk berkuasa. Inilah cara pengesahan yang paling
mengesankan bagi budaya Jawa. Pulung, adalah cahaya suci yang memberi seseorang
kekuatan untuk berkuasa. Ia juga merupakan sarana transformasi kekuasaan: wahyu
meninggalkan seorang raja yang tutup usia, atau yang telah pasti keruntuhannya, dan beralih
kepada calon penguasa baru. 42
Naiknya militer ke puncak kekuasaan di masa Orde Baru di samping memiliki
legitimasi kultural yang kuat juga membawa agenda permasalahan kultural, khususnya bagi
kekuatan politik Islam. Menurut Emmerson 43, problematika Orde Baru sebenarnya berakar
pada pembagian kultural masyarakat Indonesia atas santri, abangan, dan priyayi 44, sehingga
41 Peter Britton, Military Professionalism in Indonesia: Javanese and Western Military Tradition in The Anny Ideology (MAThesis, Monash University,1983), sebagaimana dikutip dalam Fachry Ali, op. cit ., h. 170.42 Mengenai konsep pulung ini, Iihat ibid. , h. 66-68; lihat juga Anderson, op. cit ., h. 25-28.43 Donald K. Emmerson, Indonesia's Elite: Political Culture and Cultural Politics (lthaca Cornell University Press, 1976),sebagaimana dikutip dalam Haris, op. cit. , h. 2644 Pembagian ini mengacu pada pendapat Geertz, yang telah memperkenalkan terminologi tradisional Jawa tersebut ke
dalam ilmu sosial Barat. Kata santri mengacu pada komunitas kaum muslim yang berpegang teguh pada hukum dan tata-kebiasaan Islam. Kelompok ini terkadang berselisih paham dengan orang-orang yang secara nominal Islam namunmenekankan pada sinkretisme dari kepercayaan animisme dan mistik dengan polesan Islam dan Hinduisme yang disebut
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
32/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
32
ketika militer yang mewakili tradisi abangan dan priyayi tampil ke puncak panggung
kekuasaan, dengan sendirinya golongan (kekuatan politik) Islam tersingkir. Senada dengan
Emmerson, Jenkins 45 membuat catatan bahwa:
...usaha-usaha untuk menyusun doktrin militer yang koheren berlangsung pada saatsedang bertumbuhnya kerenggangan antara tentara dan kekuatan Islam politik, sebuahkerenggangan yang kurang-lebih merupakan latar belakang kepolitikan Indonesia selamatahun 1975-82. Perbedaan-perbedaan antara tentara dan Islam politik memiliki akar dalam
basis perpecahan yang terdapat antara dua orientasi budaya Jawa yaitu antara santri, ... danabangan, ... Perbedaan-perbedaan ini, yang dipertajam selama revolusi oleh bentrokan antaraunit-unit tentara reguler dengan laskar-laskar gerilya yang berorientasi pada kelompok-kelompok politik muslim, tanpa terkecuali telah mengarahkan kedudukan agama dalamnegara. 46
Kerenggangan antara pemerintah dengan kekuatan politik Islam selama kurun waktu
tertentu pernah sedemikian parah, sehingga terkesan bahwa penyakit " Islamo-phobia " telah
menjangkiti para penguasa. Tentang ini, Jenkins mendeskripsikannya dengan agak dramatis:
Dua dari empat anggota kelompok inti ini --Ali Murtopo dan Yoga Sugama-- adalahorang Jawa abangan dari propinsi asal Suharto di Jawa Tengah. Sementara yang lainnya – Sudomo dan Murdani-- adalah Kristen Jawa. Hal ini merupakan faktor yang mempengaruhiapa yang dikenal dengan " Islam-phobia " dari kelompok yang berkuasa. (Di masa Pemilu1977, Suharto menerima I.J. Kasimo, Frans Seda, dan beberapa pimpinan Partai Katolik dulu.Sebelum kelompok ini dipersilahkan duduk, dikisahkan bahwa Presiden menyatakan: "Lawankita bersama adalah Islam"). 47
Salah satu warisan sejarah bagi negara Indonesia modern adalah teralienasinya lslam
dan kekuasaan, siapa pun yang berkuasa. Kuntowijoyo 48 menyebutkan bahwa alienasi dan
oposisi Islam terhadap pemerintah dan birokrasi memiliki akar sejarah yang panjang hingga
ke jaman Kerajaan Mataram di abad XVlll. Perkembangan sejarah mematangkan kondisi ini
sehingga akhirnya memunculkan mitos tentang pembangkangan Islam terhadap penguasa.
kaum abangan. Varian lain, priyayi, yang pada mulanya menunjuk pada kalangan aristokrasi, adalah kelompok yangmenekankan nilai-nilai Hinduisme yang berakar pada Kraton Hindu Jawa terdahulu. Lihat Cliffort Geertz, Abangan, Santri,Priyayi dalam Masyarakat Jawa , alih bahasa Aswab Mahasin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 6-9.45 David Jenkins, Suharto, and His General lndonesian Military Politics 1975-1983 (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project,1984)46 Ibid. , h. 647 Ibid., h. 948 Kuntowijoyo, Paradigma Islam (Jakarta: Penerbit Mizan, 1991) khususnya Bab IV (Serat Cebolek dan MitosPembangkangan Islam) dan Bab V (Agama, Negara dan Formasi Sosial), h. 123-156.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
33/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
33
Mitos ini seolah tak hendak padam ketika sebagian besar pemberontakan separatis pasca-
kemerdekaan selalu membawa label Islam. Pemberontakan Dl/TII pimpinan Kartosuwiryo
dengan pendukung utama laskar Hizbullah, yang nota bene berafiliasi ke NU, dan laskar
Sabilillah di Jawa Barat49
, serta keterlibatan sejumlah pimpinan Masyumi dalam pemberontakan PRRI, yang telah menewaskan banyak prajurit TNI 50, adalah dua contoh
penting gerakan separatisme yang mengikuti alur mitos di atas. 51 Militer tentulah pihak yang
paling banyak merasakan kesusah-payahan fisik akibat semua pemberontakan itu. Antipati
militer terhadap kekuatan politik Islam yang secara pelan tapi pasti terus terbentuk. Dan
ketika mereka (militer) berhasil naik ke puncak kekuasaan, mereka tidak ragu lagi untuk
menerapkan kontrol ketat terhadap kekuatan politik Islam. Bahkan tema utama penolakan
Suharto terhadap upaya rehabilitasi Masyumi adalah keterlibatan yang telah disebut di atas.
Ditegaskan bahwa, "Faktor-faktor hukum, politik dan psikologis telah mendorong ABRI
berpendapat, tidak dapat menerima rehabilitasi bekas partai politik Masyumi." 52 Tidak terlalu
meleset untuk menyimpulkan bahwa, selama kurun waktu tertentu pemerintah (ABRI) dan
Islam hidup dalam suasana yang kurang harmonis sehingga membawa kekuatan politik Islam
pada posisi defensif.
Namun memasuki era 1990-an, realitas baru telah muncul dan seolah-olah
menggambarkan perubahan wacana politik Indonesia. Semakin menguatnya kedudukan kelasmenengah Muslim, dari kalangan akademisi, usahawan, profesional, bahkan birokrat di
tengah kehidupan bangsa telah mengubah sosiologi dan politik umat Islam Indonesia.
Terbentuknya ICMI dengan demikian dapat dipandang sebagai konsekuensi logis dari
menguatnya kelas menengah tersebut. Salah satu implikasi penting yang dibawa oleh
fenomena ini adalah mulai runtuhnya mitos pembangkangan kaum santri. 53 Berangkatnya
Presiden Suharto sekeluarga ke Tanah Suci tak kurang turut memberi makna simbolis yang
penting bagi umat Islam dalam kepolitikan nasional.
49 Lihat antara lain, Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 , alih bahasa Hassan Basari Jakarta (LP3ES, 1988),h. 77-78.50 Tentang keterlibatan ini, lihat Suswanto, Masyumi dan PRRI, Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh Masyumi dalamPemerintah Revolusioner Republik Indonesia (Skripsi Fisipol- UGM, 1977)51 Tidak semua kalangan, tentu, setuju begitu saja dengan anggapan minus tersebut. Nurcholish Madjid, misalnya. Iamenilai bahwa beberapa poin yang seolah menandai kesenjangan antara Islam dan pemerintah adalah sekadar peristiwakesejarahan insidental, dan bukan refleksi pandangan keagamaan yang esensial. Tentang gerakan-gerakan separatismeyang berlabelkan Islam, ia mempertanyakan: "Sampai di mana gerakan mereka merupakan hasil renungan ideologisberdasarkan Islam, dan sampai di mana pula merupakan bentuk reaksi mereka dalam situasi revolusioner karenaperkembangan atau perubahan politik praktis tertentu yang, kebetulan mereka tidak setuju atau merasa dirugikan
olehnya?" Lihat Nurcholish Madjid , Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. xclx52 Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia , alih bahasa TH Sumartana (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1986), h. 292.53 Tentang munculnya penambahan ini, lihat A. Munir Mulkhan, Runtuhnya Mitos Politik Santri (Yogyakarta : Sipress, 1991).
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
34/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
34
Bagaimanakah fenomena ini seharusnya dipersepsikan? Apakah serta-merta dapat
disimpulkan bahwa cultural cleavage santri versus abangan/priyayi yang sebelumnya jelas
terefleksi dalam kesenjangan antara Islam dan pemerintah telah berakhir? Di sini, sudah pasti
bahwa argumen-argumen kultural kurang mampu untuk memberikan penjelasan yangmemuaskan. 54 Untuk itu diperlukan adanya imbangan penjelasan alternatif dalam perspektif
struktural.
Orde Baru : Perspekti f Struk tur al
Orde Baru lahir sebagai sebuah grand coalition yang meliputi hampir semuakelompok-kelompok sosial yang tersingkir di masa Demokrasi Terpimpin. Koalisi ini
sebenarnya sangat heterogen, yang disatukan semata-mata oleh kesamaan tujuan tertentu, itu
pun sangat bersifat insidental. Tak heran, ketika tujuan yang mempersatukan itu tercapai,
angin sejarah selama beberapa waktu telah merontokkan sebagian eksponen koalisi itu satu
per satu pada setiap aliran masing-masing. Yang tersisa kemudian hanyalah beberapa
eksponen kuat tertentu, terutama militer yang merupakan satu-satunya aktor politik yang
tetap survive di antara tiga aktor dalam segitiga kekuasan Demokrasi Terpimpin, setelah dua
yang lain, Sukarno dan PKI, tersingkir dalam masa transisi 1966-1967. Eksponen lain adalah
para teknokrat yang merupakan mitra utama militer dalam koalisi tersebut.
Permasalahan yang segera dihadapi oleh Orde Baru adalah warisan krisis dari regim
sebelumnya meliputi ambruknya perekonomian nasional dan, tak kalah peliknya, instabilitas
politik yang parah sebagai epilog dari percobaan kudeta yang gagal oleh G-30-S, yang oleh
sementara kalangan disebut-sebut sebagai didalangi oleh PKI. 55 Regim baru itu tak pelak lagi
telah berhadapan dengan pilihan-pilihan politik dan ekonomi yang sulit dalam upaya pembenahan itu, sementara sumber penghasilan negara masih sangat terbatas. Pilihan yang
paling masuk akal bagi para pimpinan Orde Baru akhirnya adalah: Strategi yang
memungkinkan perusahaan-perusahaan swasta memainkan peran aktif --kendatipun masih
berada di bawah pengarahan pemerintah-- di dalam sistem pasar bebas dan yang
54 Mohtar Mas'oed telah menginventarisir beberapa kelemahan mendasar argumen kultural. Lihat Mohtar Mas'oed, op.cit ., h. 3-6.55 Tidak pernah benar-benar terungkap secara ilmiah siapa sebenarnya dalang utama pengkhianatan G-30 S itu. Para
pengamat dan ilmuwan mempunyai dugaan yang beraneka ragam dan seringkali satu sama lain saling bertentangan.Terlalu banyaknya fakta yang masih tertutup kabut hingga saat ini membuat semua perkiraan itu tampak sama-samamungkin dan sama-sama mustahilnya. Tentang dugaan dan penafsiran para pengamat itu, lihat Crouch , op. cit . h. 112-134.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
35/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
35
memungkinkan pemanfaatan modal asing. Strategi ini menjanjikan hasil-hasil yang lebih
cepat tanpa memerlukan perombakan ekonomi yang mahal. 56
Sementara dalam penerapannya digunakan strategi yang "berorientasi ke luar",
betapapun pada awalnya sempat muncul pertentangan pendapat sehubungan dengan adanya
pula keinginan untuk menggunakan strategi yang "berorientasi ke dalam". 57 Segala
problematika yang dihadapi Orde Baru berikut solusi yang --mau tak mau harus-- dipilihnya
memunculkan karakteristik otoriterisme birokratik dari regim ini. 58 Di samping itu, kenyataan
bahwa saat ini Orde Baru sedang mengupayakan industrialisasi besar-besaran telah
mengakibatkan perubahan struktur sosial baik pada tingkat elit maupun pada tingkat massa.
Mengacu pada O'Donnel, adanya political tensions akibat industrialisasi dan perubahan
struktur sosial baik pada level elit maupun level massa pada gilirannya juga mendorongmunculnya proses transformasi politik ke arah otoriterisme-birokratik. 59 Dalam sistematika
yang dibuat oleh Mohtar Mas'oed 60 dengan menyesuaikannya terhadap konteks Orde Baru,
karakteristik mendasar regim otoriterisme birokratik menurut O'Donnel adalah: 1.
Pemerintahan dipegang oleh militer, yang --sebagai suatu lembaga-- bekerjasama dengan
teknokrat sipil. 2. Ia didukung oleh enterpreneur oligopolistik yang --bersama negara-
berkolaborasi dengan masyarakat bisnis internasional. 3. Pengambilan keputusan dalam
regim OB bersifat birokratik-teknokratik, sebagai lawan pendekatan politik dalam pembuatan kebijaksanaan yang memerlukan proses bargaining yang lama di antara berbagai
kelompok kepentingan. 4. Massa didemobilisasikan. 5. Untuk mengendalikan oposisi,
pemerintah melakukan tindakan-tindakan represif.
Sendi terpenting munculnya kepolitikan otoriterisme-birokratik dengan demikian
adalah dukungan dan keterlihatan penuh militer dalam aktivitas pengelolaan regim baru ini.
Militer tak diragukan lagi adalah kelompok yang paling memenuhi persyaratan dan memiliki
kapabilitas untuk memikul beban berat yang·mesti diemban oleh Orde Baru. Sebagai salah
satu kekuatan politik yang tangguh sejak Demokrasi Terpimpin militer pastilah telah bersiap-
siap untuk melibatkan diri secara langsung dalam politik. Bahkan Dwi Fungsi ABRI yang
menjadi raison d'etre keterlibatan langsung itu telah dimatangkan dalam proses yang tidak
56 Mohtar Mas'oed, op. cit, h. 61.57 Ibid .58 Mohtar Mas'oed menyebutkan bahwa munculnya regim-regim OB di negara-negara berkembang seperti Indonesiabersumber pada krisis-krisis ekonomi dan politik yang diwarisi dari regim sebelumnya dan yang diciptakan olehkebijaksanaan pemerintah 'membuka' ekonomi terhadap kapitalisme internasional. Lihat ibid. , h. 16.59 Guillermo O'Donnel, seperti yang diikhtisarkan dalam David Collier,"Overview of The Bureaucratic-Authoritarian Model",dalam David Collier (ed.), the New Authoritarianisme in Latin America (Princeton: Princeton University Press, 1979), h. 25.60 Mohtar Mas'oed, op. cit., h. 10.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
36/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
36
bisa dibilang singkat sejak 1958. 61 Namun berkaitan dengan profesionalisme militer itu
sendiri, maka seperti yang dikatakan oleh Yahya Muhaimin 62 dalam diri militer secara
inheren terdapat semacam " technical inability to administrate ", di samping sebenarnya juga
"lack of legitimacy to govern ", mengingat kehidupan sosial lebih kompleks daripadakehidupan militer. Karena itu militer akhirnya tetap merasa perlu untuk berkolaborasi dengan
kalangan sipil tertentu untuk menutupi celah di atas. Dan mengapa teknokrat yang dipilih,
maka tidaklah sulit untuk menemukan sebabnya. Di samping ketidakpuasan terhadap
kalangan politisi sipil yang sebelumnya telah kedodoran dalam mengelola politik dan
ekonomi negara, penyebab lain adalah karena baik militer maupun teknokrat mempunyai
orientasi yang sama dalam upaya memecahkan masalah sosial dengan cepat dan secara
politik netral. 63
Sendi penting lain, berkaitan dengan karakteristik keempat di atas serta sedikit banyak
karakteristik kelima, adalah berlangsungnya mekanisme political exclusion (penyingkiran
politik). Menurut O'Donnel, salah satu kriteria penting regim OB adalah:
Apakah tindakan pemerintah ditujukan untuk menyingkirkan sektor populer kota yangtelah aktif sebelumnya ··· dari area politik nasional. Penyingkiran ini berarti pemerintah
secara konsisten menolak untuk memenuhi tuntutan-tuntutan politik yang dibuat oleh para pimpinan sektor ini. Ia juga berarti penghalangan akses sektor ini beserta pimpinannyaterhadap posisi dalam kekuasaan politik yang memungkinkan mereka mempengaruhi secaralangsung keputusan bagi kebijaksanaan nasional. Menyingkirkan politik dapat dilaksanakandengan kekerasan secara langsung dan/atau dengan menutup saluran akses politik melalui
pemilu.... menyingkirkan para aktor politik melibatkan suatu keputusan yang disengaja untukmengurangi jumlah orang yang memiliki pengaruh penting dalam menentukan apa yangterjadi pada level kepolitikan nasional. 64
Partai-partai politik secara mencolok telah menjadi obyek terpenting mekanisme political exclusion di masa Orde Baru. Anggota inti koalisi Orde Baru, khususnya kalangan
perwira Angkatan Darat dan kelompok intelektual pembaharu, pada dasarnya memiliki
perasaan anti-partai yang mendalam. Di masa terdahulu, baik masa Demokrasi Liberal
maupun Demokrasi Terpimpin, parpol selalu merupakan pemegang saham terbesar dalam
setiap langkah ke arah instabilitas politik.
61 Tentang perkembangan rumusan dwi fungsi ini, lihat misalnya, Sundhaussen, op. cit., h. 219, passim .62 Dr. Yahya A. Muhaimin, dalam kuliahnya (Militer di Negara Berkembang) di Fisipol UGM, tanggal 2 dan 9 Mei 1993.63 R.S. Milne, "Teknokrat dalam Politik di Negara-negara Asia Tenggara", dalam Prisma No. 3, 1984, h. 40.64 Guillermo O'Donnel, Modernization and Bureaucratic-Authoritarianism (Berkeley: Institute of International Studies,University of California, 1979), h. 51-52.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
37/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
37
Perasaan anti-partai di kalangan para pendukung Orde Baru berimpit dengan perasaan
"anti-ideologi" mereka. Konflik ideologis dipandang sebagai dosa masa lalu yang tidak boleh
terulang lagi. Heterogenitas bangsa di masa sebelumnya telah sangat dipertajam oleh sekat-
sekat ideologis yang --sengaja atau tidak-- telah dibuat. Parpol, lagi-lagi, adalah pemegangsaham terbesar di sini.
Upaya menciptakan masyarakat yang bebas dari sekat ideologis itu berjalan simultan
dengan upaya menyingkirkan parpol ke posisi marjinal dalam sistem politik. Berbeda dengan
Sukarno, yang juga cenderung tidak menyukai partai politik tapi tetap memandang bahwa
ideologi adalah penting bagi kelangsungan revolusi, maka regim Orde Baru berusaha
meminimalkan kekuatan partai-partai politik dengan memaksa mereka melepaskan ideologi
khas masing-masing dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal, di samping upaya laindengan jalan memotong akar parpol terhadap massa tradisional mereka.
Sikap anti-ideologis ini, dibarengi dengan munculnya sikap pragmatisme Orde Baru
untuk lebih memusatkan perhatian pada perbaikan dan pembangunan ekonomi, disadari atau
tidak telah menumbuhkan ideologi baru: ideologi pembangunan/modernisasi. 65
Dalam kepolitikan OB, negara mempunyai tugas penting untuk melakukan kontrol
(pengawasan). Pelaksanaan peran ini dapat mengambil dua bentuk: tindakan represif yangmenekan sektor populer dalam masyarakat yang kadangkala dilakukan secara berlebih-
lebihan, atau berupa tindakan preventif untuk mengeliminir kondisi-kondisi yang dapat
memunculkan kembali pemimpin, organisasi, serta tuntutan dari sektor-sektor populer
terhadap kebijaksanan politik (juga ekonomi) exclusion yang dijalankan negara. 66
Pergeseran dalam pola hubungan antara pemerintah dengan umat dan ormas Islam
yang belakangan muncul tampaknya mengikuti alur perubahan bentuk pengawasan dalam
kepolitikan OB itu. Mengendornya ketegangan dalam hubungan itu dimungkinkan oleh mulai
dikuranginya bentuk kontrol represif terhadap sektor-sektor populer Islam untuk digantikan
dengan bentuk kontrol yang lebih bersifat preventif.
65 Mohtar Mas'oed, op. cit ., h. 132. Ideologi di sini harus dipandang dalam makna luasnya, yang dapat dipandang sebagai"belief system ". Hagopian menyebutkan bahwa ideologi dalam makna longgarnya adalah " set of political beliefs thatcharacterized any individual, group, political party, government, social class, or entire nations." Lihat Mark N. Hagopian,
Regimes, Movements, and Ideologies (NY-London: Longman Inc., 1978), h. 390.66 Guillermo O'Donnel, "Corporation and The Question of The State", dalam James Malloy (ed.), Authoritarianism andCorporatism in Latin America (Pittsburgh: University of Pittsburgh Press, 19T7), h. 69.
8/20/2019 Metamorfosis NU Dan Politisasi Islam Di Indonesia
38/194
Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia
38
Di samping karakteristik OB di atas, regim Orde Baru juga menunjukkan ciri
korporatik dalam pengorganisasian negara dan masyarakat. Kenyataan bahwa proses
politisasi massa pada masa sebelumnya pernah mencapai tingkat intensitas yang begitu tinggi
menyebabkan negara tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan politik yang represif begitu saja terhadap massa. Maka jika di satu sisi regim Orde Baru giat melakukan
depolitisasi besar-besaran, di sisi lain negara tetap membutuhkan mobilisasi rakyat sebagai
sumber daya penggerak ekonomi. Sementara itu pertumbuhan ekonomi yang pesat sangat
mungkin memunculkan kelompok-kelompok besar baru dengan kepentingannya sendiri yang
membawa tuntutan baru terhadap pemerintah, di samping kelompok-kelompok yang frustrasi
dan dapat menimbulkan masalah besar bagi regim. Terhadap kelompok-kelompok besar
dalam masyarakat, regim mesti dapat mengakomodasikannya tanpa menganggu keutuhan
regim, sementara terhadap kelompok-kelompok yang disebut belakangan, regim harus siap
mengendalikannya dengan cara memanipulasi saluran-saluran perwakilan. 67 Mekanisme
eksklusi yang terdapat dalam kepolitikan Orde Baru diterapkan dengan jalan korporatisasi
negara sebagai suatu jaringan besar, sehingga dengannya kon
Recommended