View
32
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN
ASMA AL-HUSNA SEBAGAI PENUTUP AYAT
DALAM SURAH AL-NISĀ’ MENURUT AL-
MARᾹGHI Tesis
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Agama (M. Ag)
Oleh:
Hasiolan
NIM: 21160340000005
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441H./2020M.
vi
ABSTRAK
Hasiolan, Munasabah Kandungan Ayat Dengan Asma Al-
Husna Sebagai Penutup Ayat Dalam Surah Al-Nisā’ Menurut
Al-Marāghi, 2019.
Para ulama sepakat mengenai kemukjizatan kitab suci al-
Qur’an namun mereka berbeda pendapat dalam hal pemaparan
kemukjizatan al-Qur’an secara rinci, bagian demi bagian. Salah
satu aspek kemukjizatan al-Qur’an adalah mengenai kesatuan al-
Qur’an, untuk mencari jawaban akan hal tersebut muncullah ilmu
munasabah seperti yang dibahas dalam tesis ini.
Tesis ini menjawab pertanyaan bagaimana penggunaan
munasabah oleh Ahmad Musthafa al-Marāghi dalam menafsirkan
kandungan ayat al-Qur’an dengan asma al-husna sebagai penutup
ayat dalam surah al-Nisâ’? Dengan menggunakan metode
diskriptif-analitis, penulis menjawab pertanyaan penelitian
tersebut melalui pencarian data kepustakaan, lebih khusus kitab
Tafsir Al-Marāghi. Selain itu, penulis juga mencari kitab tafsir,
buku, dan artikel yang relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya,
penulis menafsir data-data yang terkumpul secara analitis
menggunakan pengumpulan sejumlah unit-unit pada analisis.
Tesis ini menemukan beberapa poin: Temuan pertama: al-
Marāghi tidak menggunakan klasifikasi munasabah yang
ditawarkan oleh al-suyuti atau al-Zarkasy dalam menghubungkan
pembuka dan asma al-husna sebagai penutup ayat. Dalam
menjelaskan hubungan kandungan ayat dengan asma al-husna
sebagai penutup ayat, al-Marāghi menggunakan metode
maknawiyyah/tafsiriyyah bukan uslūbiyyah. Temuan Kedua:
Untuk memahami asma al-husna pada penutup ayat adakalanya
cukup melihat hubungannya dengan ayat yang sama dan ada juga
dengan beberapa ayat sebelumnya untuk memahami maksud
asma tersebut.
Kata Kunci: Tafsīr al-Marāghi, Munasabah.
vii
ABSTRACT
Hasiolan, Munasabah Ingredients Verses With Asma Al-Husna
As Closing Verses In Surah Al-Nisā’ According To Al-Marāghi's
Tafsīr, 2019.
The scholars agreed on the miracles of the Holy Qur'an but
they differed in their presentation of the miracles of the Qur'an in
detail, section by section. One aspect of the miracle of the Koran
is the unity of the Koran, to find answers to it, the science of
munasabah appears as discussed in this thesis.
This thesis answers the question how is the use of
munasabah by Ahmad Musthafa al-Marāghi in interpreting the
contents of the Qur'anic verses with Asma al-Husna as the closing
verses in Surah al-Nisā'? By using a descriptive-analytical
method, the author answers the research question through
searching library data, more specifically the Tafsir Al-Marāghi.
In addition, the writer also looks for commentaries, books and
articles that are relevant to this research. Furthermore, the authors
interpret the data collected analytically using the collection of a
number of units in the analysis.
This thesis finds several points: First finding: al-Marāghi
does not use the munasabah classification offered by al-suyuti or
al-Zarkasy in linking the opening and asma al-husna as the
closing verse. In explaining the relationship of the verse content
with asma al-husna as the closing verse, al-Maragghi uses the
method of maknawiyyah/tafsiriyyah not uslūbiyyah. Second
Findings: To understand asma al-husna at the end of the verse
sometimes it is enough to see the relationship with the same verse
and there are also some previous verses to understand the purpose
of the asma.
Key Word: Tafsīr al-Marāghi, Munasabah.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, penulis haturkan kepada Allah Swt.
Tuhan semesta alam yang telah memberikan rahmat serta kasih
sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
Rasulullah Muhammad Saw, pembawa kebenaran dan petunjuk
bagi umat manusia. Al-Hamd li Allâh, dengan berbagai kesulitan
yang penulis hadapi dalam penyelesaian tesis ini, akhirnya berkat
ridha dan inayah Allah Swt, semua kesulitan tersebut dapat
penulis lalui.
Dengan penuh ketulusan hati, penulis ucapkan terimakasih
kepada banyak pihak yang telah membantu serta ikut andil dalam
penyelesaian tesis ini baik partner diskusi, motivator serta pihak-
pihak lainnya.
Pertama, penulis mengucapkan rasa terimakasih kepada
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany
Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., kepada Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Yusuf Rahman, M.A.,
Ph.D., kepada jajaran pimpinan serta para dosen pengajar
Magister Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Haji Said Agil Husin Al Munawar,
MA, Prof. Hamdani Anwar, MA, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA,
Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm, dan beberapa dosen yang lain.
Kedua, dengan penuh rasa hormat, penulis sampaikan rasa
terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Dr. Faizah Ali Sibromalisi. MA dan Dr. Suryadinata. MA selaku
pembimbing yang dengan kesabaran dan ketelitiannya banyak
sekali memberikan masukan-masukan yang berharga kepada
penulis demi berkualitasnya karya ini.
Ketiga, penulis juga berkewajiban mengucapkan
terimakasih yang setelus-tulusnya kepada ayahanda Ali Ramlan
Nasution, serta Ibunda tercinta Yusro, yang tak pernah letih
memberikan motivasi serta kasih sayang yang tulus kepada
penulis. Selain itu, kepada kakak tersayang Eni Puspita S.Pd dan
Tulistini Nasution. M.Pd yang menyertai terselesainya karya ini.
Akhirnya, seraya mengharap ridha Allah, penulis
persembahkan karya ini kepada mereka yang memiliki perhatian
terhadap kajian keislaman, disertai harapan semoga dengan
ix
hadirnya karya ini dapat memberikan kontribusi dan manfaat
dalam memperkaya wawasan intelektual, khususnya bagi
perkembangan khazanah Ulûm al-Qur’ân.
Jakarta, 22 Januari 2020
Hasiolan
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ……………………. ............................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING…………….. .......... iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………….. .. .......... v
ABSTRAK………………………………………………… ........... vi
KATA PENGANTAR……………………………………. ............ viii
DAFTAR ISI .................................................................................... x
TRANSLITERASI .......................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Identifikasi Masalah ..................................................... 7
C. Rumusan, dan Pembatasan Masalah ............................ 8
D. Tinjauan Pustaka .......................................................... 8
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................. 11
F. Metode Penelitian......................................................... 11
G. Sistematika Penulisan .................................................. 14
BAB II MUNASABAH ................................................................. 15
A. Sejarah Munasabah ...................................................... 15
B. Pengertian Munasabah ................................................. 17
C. Macam-Macam Munasabah ......................................... 18
D. Pendapat Ulama Mengenai Munsabah ......................... 33
E. Manfaat Ilmu Munasabah ............................................ 38
BAB III SURAH AL-NISᾹ’ DAN ASMA AL-HUSNA ................. 39
A. Profil Surah al-Nisa ...................................................... 39
B. Kandunga Surah al-Nisa .............................................. 42
C. Penjelasan asma al-husna ............................................ 44
BAB IV AHMAD MUSTAFA AL-MARᾹGHI DAN TAFSIR
AL-MARᾹGHI ................................................................. 65
D. Riwayat Hidup Ahmad Mustafa Al-Marāghi .............. 65
E. Karya Ahmad Mustafa Al-Marāghi ............................. 67
F. Tafsir Al-Marāghi ........................................................ 68
1. Sejarah Penulisan Tafsir .......................................... 68
2. Metode Penulisan Tafsir Al-Marāghi ...................... 73
3. Rujukan Tafsir Al-Marāghi ..................................... 77
4. Metodologi dan Corak Tafsir Al-Marāghi............... 78
G. Pandangan Ulama/Sarjanawan Terhadapa Ahmad
Mustafa Al-Marāghi ..................................................... 84
xi
BAB V MUNASABAH KANDUNGAN AYAT DENGAN
ASMA AL-HUSNA SEBAGAI PENUTUP AYAT
DALAM TAFSIR AL-MARᾹGHI ................................. 87
A. Tamkīn: Munasabah kandungan ayat dengan asma
al-husna dalam satu ayat .............................................. 87
1. Hukum .................................................................... 87
2. Sosial ...................................................................... 92
3. Akidah .................................................................... 95
4. Ibadah ..................................................................... 96
B. Tafsīr: Munasabah asma al-husna dengan
kandungan beberapa ayat sebelumnya ….. .................. 99
1. Hukum .................................................................... 99
2. Sosial ...................................................................... 103
3. Akidah .................................................................... 106
4. Ibadah ..................................................................... 109
BAB VI PENUTUP ....................................................................... 113
A. Kesimpulan .................................................................. 113
B. Saran ............................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 115
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam
aksara latin:
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B be ب
T te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis di bawah ص
D de dengan garis di bawah ض
T te dengan garis di bawah ط
Z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ’ ء
Y Ye ي
xiii
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,
terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U Dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya
adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي…
Au a dan u و…
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi di ـآ
atas
Î i dengan topi di ـي
atas
Û u dengan topi di ـو
atas
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab
dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf
/l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh:
al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
xiv
tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah, demikian (الضرورة)
seterusnya.
6. Tâ’ Marbûtah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf tâ’ marbûtah
terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal
yang sama juga berlaku jika tâ’ marbûtah tersebut diikuti oleh
kata sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Tarîqah طريقة 1
al-jâmî’ah al-islâmiyyah الجامعة اإلسالمیة 2
wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak
dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga
digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama
diri, dan lain-lain. Jika nama diri didahului oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû
Hâmid al-Ghazâlî bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan
Al-Kindi.
Beberapa ketentuan lain dalam EBI sebetulnya juga dapat
diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai
huruf cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut
EBI, judul buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dalam alih aksaranya, demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh
yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab.
Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad
al-Palimbânî; Nuruddin al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânîrî.
xv
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism), maupun
huruf (harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa
contoh alih aksara atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab,
dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab Alih Aksara
dzahaba al-ustâdzu ذ ھ ب األ ست اذ
tsabata al-ajru ث ب ت األ جر
ك ة الع صر ی ة al-harakah al-‘asriyyah ال حر
د أ ن ال إ لھ إ ال هلل asyhadu an lâ ilâha illâ Allâh أشھ
ال ح ل ك الص وال ن ا م Maulânâ Malik al-Sâlih م
ك م هلل ث ر yu’atstsirukum Allâh ی ؤ
al-mazâhir al-‘aqliyyah المظ اھ ر الع قل ی ة
Penulisan nama orang harus sesuai dengan tulisan nama diri
mereka. Nama orang berbahasa Arab tetapi bukan asli orang Arab
tidak perlu dialihaksarakan. Contoh: Nurcholish Madjid, bukan
Nûr Khâlis Majîd; Mohamad Roem, bukan Muhammad Rûm;
Fazlur Rahman, bukan Fadl al-Rahmân.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an adalah kitab suci terakhir yang diturunkan oleh
Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad Saw untuk
dijadikan sebagai pedoman hidup manusia sebagai khalifah di
bumi.1 Muhsin Qiraati dalam bukunya Lesson from al-Qur’an
menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah sebuah kitab yang di satu
sisi sangat sederhana dan sangat mudah dipahami, dan di sisi lain
begitu bertenaga dan sangat efektif.2
Al-Qur’an tidak cukup hanya dibaca saja, namun hendaknya
diikuti dengan perenungan dan pengamalan. Quraish Shihab
menekankan bagaimana pentingnya membaca al-Qur’an dengan
disertai kesadaran akan keagungan al-Qur’an, dalam bentuk
tadzakkur dan tadabbur.3 Hal tersebut sesuai dengan pesan al-
Qur’an tersendiri, yaitu
رون ٱلقرءان أم على قلوب أقفالها أفلا يتدب Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-
Quran ataukah hati mereka terkunci.4
Al-Qur’an memiliki banyak aspek kemukjizatan di
antaranya dari segi bahasa.5 Bahasa al-Qur’an menurut Abdel
1 Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas
Ayat-ayat Hukum Dalam al-Qur’an, cet. V (Jakarta: Penamadani, 2008), xix. 2 Muhsin Qiraati, Lesson From al-Qur’an diterjemahkan oleh M MJ.
Bafaqih dan Dede Azwar Nurmansyah (Bogor: Cahaya, 2004), 225-229. 3 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, cet. II (Hidup Bersama
al-Qur’an) (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), 21-22 4 Lihat QS. Muhammad [47]: 24 5 Manna al-Qattan dalam bukunya Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an
menerangkan bahwa selama ini, ahli-ahli bahasa telah terjun ke dalam medan
festival bahasa dan mereka memperoleh kemenangan, tetapi tidak seorang pun
di antara mereka yang berani menyatakan dirinya menantang al-Qur’an,
melainkan ia hanya akan mendapat kehinaan dan kekalahan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa dalam catatan sejarah, kelemahan bahasa ini terjadi justru
pada masa kejayaan dan kemajuan ketika al-Qur’an diturunkan. Saat itu,
bahasa Arab telah mencapai puncaknya dan memiliki unsur-unsur
kesempurnaan dan kehalusan di lembaga-lembaga dan pasar bahasa. Al-
Qur’an berdiri tegak untuk menantang mereka dalam berbagai volume
tantangan yang terus-menerus menjadi lebih ringan. Lihat: Manna Khalil al-
2
Haleem, dalam bukunya Memahami al-Qur’an, memiliki gaya
bahasa yang khas.6 Misalnya pada banyak surah al-Qur’an
mencampurkan pembahasan hukum dengan keimanan, ibadah dan
moral sebagai penguat hukum tersebut, dan lain-lain.7Kedua:
terletak pada pola susunannya.8
Keunikan bahasa al-Qur’an menarik banyak orang untuk
mengkajinya ketika mereka dihadapkan dengan teks tersebut.
Muhammad Hasan Qadardan menyebutkan bagaimana klaim
relativistik yang dikemukakan dalam hermeneutika bahwa semua
teks, termasuk al-Qur’an, tidak mengungkapkan apa-apa (bisu).9
Memang teks adalah sesuatu yang mati yang berada dalam
lembaran-lembaran buku. Teks tersebut akan hidup jika ada yang
meneliti dan memahaminya sehingga membuat teks tersebut bisa
berinteraksi langsung dengan realitas.10
Dalam buku Memahami al-Qur’an karya Muhammad Abdel
Haleem, beliau menyebutkan bahwa pendekatan yang paling
relevan untuk memahami al-Qur’an adalah dengan menggunakan
Qattan, Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an diterjemahkan oleh Muzakir, cet. xviii
(Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), 382-383. 6 Issa J. Boullata mengungkapkan bahwa satu huruf dalam tempatnya
di dalam al-Qur’an adalah mukjizat. Huruf itu memegang kata pada tempat ia
berada, melalui kata ia memegang ayat, kemudian dari ayat menggandeng
ayat-ayat lain. Semua susunan itu berada di atas kemampuan dan hasil usaha
manusia. Satu hal yang paling menakjubkan menurutnya terkait dengan
perasaan yang tampil dalam kata-kata al-Qur’an adalah bahwasanya ia tidak
boros dan tidak menguras energi jiwa, tetapi hemat dalam mengeluarkan
segala jenis pengaruh, hingga jiwa tidak merasa sesak, tidak lari dan juga tidak
bosan. Di sisi lainnya, al-Qur’an terus menyuapi dengan kelezatannya, dan
menghibur dengan gaya dan metodenya. Lihat Issa J. Boullata, I’Jaz al-Qur’an
al-Karim ‘Abra al-Tarikh diterjemahkan oleh Bachrum (Tangerang: Lentera
Hati, 2008), 265 & 277. 7 Muhammad Abdel Haleem, Understanding Quran: Themes and
Style diterjemahkan oleh Rofik Suhud, cet. I (Tebuireng: Marja’, 2002), 24-25. 8 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūn al-Nas Dirāsah fi Ulūm al-Qur’an
dialihbahasakan oleh Khoiron Nahdliyyin, cet. IV (Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2005), 186-187. 9 Muahammad Hasan Qadrdan, al-Qur’an wa Sekulorizm
diterjemahkan oleh Ammar Fauzi Heryadi (Jakarta: Sadra International
Institute, 2011), 79. 10 Muhammad Syafii Maarif, al-Qur’an dan Realitas Umat (Jakarta:
Republika, 2010), 1-2.
3
dua konsep kunci yaitu; Pertama: konteks.11 Kedua: hubungan
internal—konsep ini tergambarkan dalam sebuah teori “al-Qur’an
yufassir ba’ḏuhu ba’dan” dalam artian jika bagian-bagian al-
Qur’an itu saling menjelaskan antara satu dan yang lainnya, dalam
ilmu modern disebutkan dengan “intertekstualitas” yang
dimaksud sebagai susunan isi al-Qur’an yang diketengahkan
menjadi sebuah metode paling tepat dalam memahami al-
Qur’an.12
Nasir Hamid menyebutkan bahwa antar ayat dan surat-surat
al-Qur’an merupakan struktural yang bagian-bagiannya saling
berkaitan. Tugas mufassir selanjutnya adalah menemukan
hubungan-hubungan tersebut. Mengungkapkan hubungan antar
bagian dari al-Qur’an bukan berarti menjelaskan hubungan-
hubungan yang memang ada secara inherent dalam teks, tetapi
membuat hubungan antara akal mufassir dengan teks.13Bahkan al-
Zarqani menambahkan bahwa anggapan yang menyatakan jika
terdapat pertentangan antara bagian al-Qur’an muncul dari
musuh-musuh Islam yang mempunyai tujuan untuk mendorong
umat Islam meyakini jika al-Qur’an tersebut tunduk kepada waktu
dan keadaan yang berbeda.14
Melihat hubungan dan kesatuan al-Qur’an, para ulama
ulumul Qur’an membuat poin tersendiri yang dikenal dengan ilmu
munasabah.15
11 Para muafassir dan pengkaji al-Qur’an mulai dari zaman klasik
telah menekankan akan pentingnya konteks dalam memahami ayat-ayat al-
Qur’an 12 Muhammad Abdel Haleem, Understanding Quran: Themes and
Style, 212. 13 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūn Al-Nas Dirāsah fi ‘Ulūm al-
Qur’an, 199. 14 Muhammad Abdul Adzhim al-Zarqani, Manahil Urfan fi ‘Ulūm al-
Qur’an (‘Isya Al-Baby al-Halby), 206. 15 Hasani Ahmad Said menerangkan dalam bukunya Studi Islam 1
bahwa ulum al-Qur’an Sebagai metode tafsir sudah terumuskan secara mapan
sejak abad 7-9 H, yaitu bertepatan pada saat munculnya dua kitab yang paling
berpengaruh, yakni al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an karya Badruddin al-
Zarkasyi (w. 794 H) dan al-Itqān fi Ulūm al-Qur’an karya Jalaluddin al-
Suyuthi (w. 911 H). beliau melanjutkan bahwa Ilmu Munasabah adalah ilmu
tentang keterkaitan antara satu surat /ayat dengan surat /ayat lain merupakan
bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini mempunyai posisi yang cukup urgen
dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan
yang utuh (holistik). Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada
4
Menurut Abdel, mereka yang tidak memahami keterkaitan
al-Qur’an beserta tujuannya, akan cenderung mengkritik al-
Qur’an sebagai kitab yang “simpangsiur”. al-Qur’an memang
tidak ditulis dalam bentuk sebuah naskah tapi karena
kesinambungan ayat-ayatnya, al-Qur’an dapat dengan mudah
untuk dipahami. al-Qur’an bukanlah sebuah karya ilmiah
akademik melainkan sebuah kitab petunjuk bagi manusia yang
sudah tentu memiliki cara tersendiri dalam menyampaikan
pesannya.16
Dalam The Unity of al-Qur’an yang ditulis oleh Amir Faisol
Fath dijelaskan bahwa ada ulama yang mencoba mencari kesatuan
al-Qur’an secara komprehensif seperti al-Biqa’i (Damaskus.
1406-1480 M) yang menulis Nazm al-Durār fi al-Tanāsuq al-Ayi
Wa al-Suwār. Yang di dalamnya diterangkan hubungan antar
ayat-ayat al-Qur’an, hubungan antara bagian awal dan akhir
surah,membahas kesatuan tematik dalam satu surah, serta
kesatuan tematik antara surah-surah al-Qur’an. Selain al-Biqai
hadir Sa’id Hawa (Suriah 1935-1987 M) dengan karyanya al-Asas
fi al-Tafsîr yang membahas hubungan ayat-ayat al-Qur’an,
hubungan antara frase dalam satu surah, hubungan antara empat
bagian al-Qur’an yaitu bagian panjang, sedang, agak pendek dan
pendek.17Ketika berbicara tentang penutup ayat maka al-Suyuti
membaginya dalam empat macam yaitu tamkīn, tasdīr, tausyīkh
dan al-īghal.18 Dari keempat bagian tersebut hanya tamkīn yang
bisa mewakili munasabah kandungan ayat dengan penutup ayat
masalah munasabah adalah Syaikh Abu Bakar Abdullah Ibn al-Naisaburi (w.
324 H), berdasarkan pendapat al-Zarkasyi. Kemudian kajian ini dilanjutkan
oleh ulama ahli tafsir seperti Abu Ja'far bin Zubair dalam kitab Tartīb al-
Suwār al-Qur’an, juga Syaikh Burhanuddin al-Biqa'I dengan buku Nazm al-
Durār fi Tanāsub al-Ayāt wa al-Suwār, dan al-Suyuthi dalam kitab Asrār al-
Tartīb al-Qur’an. Belakangan ini dilanjutkan oleh Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Muhammad Syalthut dan sebagainya. Lihat: Hasani Ahmad Said, Studi
Islam: Kajian Islam Kontemporer (jakarta : Rajawali Pers, 2016), 3. 16 Muhammad Abdel Haleem, Understanding Quran: Themes and
Style diterjemahkan oleh Rofik Suhud, cet. 1 (Tebuireng: Marja’, 2002), 24-
25. 17 Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur’an diterjemahkan
Naisiruddin Abbas, cet.1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), 112-113 & 228-
229. 18 Al-Suyuti, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 460.
5
sedangkan yang lain lebih kepada hubungan kalimat yang terdapat
pada pembuka ayat dengan kalimat yang ada pada penutup ayat.
Lebih jauh, tamkīn yang digagas oleh al-Suyuti mesih
menyisakan ruang permasalahan dengan kanyataan bahwa ada
ayat yang kandungannya tidak bisa berhubungan dengan penutup
ayat kecuali harus melihat kepada beberapa ayat sebelumnya,
seperti dalam ayat berikut;
حيما ه كان غفورا ر ه إن ٱلل وٱستغفر ٱلل Artinya: dan mohonlah ampun kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.19
Ayat di atas ditutup dengan sifat Ghafūran menunjukkan
Allah sebagai yang Maha Pengampun dan Rahīman, Allah
sebagai yang Maha Penyayang. Sifat Ghafūran sebagai dorongan
untuk umat manusia supaya senang meminta ampun kepada Allah
yang sempurna pengampunan dan rahmat-Nya. Padahal melihat
dari struktur kalimat maka didapati jika kalimat istaghfir adalah
bentuk fi’il amar yang failnya adalah dhamiīr mustatir dalam
bentuk huwa yang merujuk kepada tunggal, sehingga kurang tepat
jika ditujukan kepada umat manusia secara kaidah kebahasaan.
Masalah seperti yang terdapat dalam ayat di atas akan menjadi
fokus dari penelitian ini.
Lebih dari itu, Amir Faishol menuturkan bahwa salah
seorang ulama yang sangat memperhatikan tentang kesatuan al-
Qur’an adalah Ahmad Mustafa al-Marāghi. al-Marāghi
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah satu kesatuan yang kokoh
dan kuat. Setiap kalimat yang membentuk ayat-ayatnya dipilih
oleh Allah dengan bijaksana. Semuanya berada dalam pucuk
keserasian dan kepaduan, diletakkan dalam posisi yang paling
tepat. Demikian juga halnya dengan ayat-ayat yang membentuk
surah serta susunan surah secara keseluruhan. al-Marāghi juga
menjelaskan al-Qur’an mempunyai redaksi kalimat yang teliti dan
akurat dalam menyingkap berbagai kebenaran. Sehingga apabila
redaksi dan ungkapan tersebut diganti, maka akan hancur cita rasa
sastranya.20
19 Lihat, QS. Al-Nisā’ (4): 106. 20 Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur’an, 112-113 & 228-229.
6
Tesis ini akan mengupas pandangan Ahmad Mustafa al-
Marāghi (w. 1952 M) terkait munasabah kandungan ayat dan
asma al-husna sebagai penutup ayat di dalam karya
monumentalnya yang dikenal dengan Tafsîr al-Marāghi.21 Kitab
ini beliau tulis karena banyaknya pertanyaan dari muridnya.
Mereka bertanya tentang kitab Tafsir yang mudah dipelajari dan
memberikan manfaat yang banyak dalam waktu yang singkat.
Beliau terdiam karena dalam pandangan beliau setiap kitab Tafsir
pasti mempunyai banyak manfaat. Dari sini lah muncul keinginan
beliau untuk menulis kitab Tafsir yang bisa memenuhi kebutuhan
manusia modern., baik gaya tutur, susunan redaksi, mudah
dipahami dan dimengerti maknanya, yang sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan argumentasi yang kokoh, dan sesuai penelitian.22
Sebagai seorang ulama yang cukup masyhur maka al-
Marāghi menjadi salah satu objek kajian akademik baik
pemikirannya maupun karyanya. Misalnya, penelitian Mu’min
Rauf dengan tema Pendekatan Ta’wil al-Marāghi Terhadap Ayat-
ayat Mutasyābihat23 dan A. Baidowi dengan judul Konsep
Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian Atas Tafsīr al-
Marāghi.24
Al-Marāghi adalah seorang pakar di dalam bidang Tafsir
yang peduli tentang aspek munasabah dalam menafsirkan Al-
Qur’an. Bentuk kepedulian al-Marāghi terhadap munasabah bisa
dibuktikan dengan penelitian yang terkait dengan munasabah di
dalam Tafsirnya, seperti sebuah disertasi yang ditulis oleh
Lukmanul Hakim dengan judul Analisis Tentang Aspek
Munasabah Dalah Kitab Tafsîr al-Marāghi. Lukmanul Hakim
meneliti pola munasabah antar surat dan pola munasabah antar
ayat, juga analisis perbandingan terhadap pola dan pendekatan.25
Karena cakupan munasabah dalam dalam Tafsîr al-
Marāghi sangat luas maka tesis ini berusaha meneliti munasabah
21 Ahmad Mustafa al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 1 (Bairut:
Darul Fikr, 1974), 3. 22 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 3. 23 Mu’min Rauf, Pendekatan Ta’wil al-Marāghi Terhadap Ayat-ayat
Mutasyabihat, (Tesis: UIN Jakarta, 2007) 24 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian atas
Tafsir al-Marāghi), (Tesis: UIN Jakarta, 2003) 25 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalah Kitab
Tafsir al-Marāghi, (Disertasi: UIN Jakarta, 2006) hal 208-264
7
kandungan dan asma al-husna sebagai penutup ayat dalam surah
al-Nisa. Surah al-Nisa adalah sebuah surah yang berbicara
mengenai tema yang sangat sensitif yaitu perempuan.26 Seringkali
para penafsir mendiskreditkan kaum perempuan, padahal salah
satunya cita-cita al-Qur’an adalah mengangkat derajat kaum
perempuan, misalnya jika sebelum Islam datang perempuan tidak
mendapat bagian harta warisan maka setelah Islam perempuan
mendapatkan bagian tertentu. Bahkan Nabi pernah bersabda
“Orang yang mengusahakan bantuan bagi para janda dan orang-
orang miskin seolah-olah dia adalah orang yang berjihad di jalan
Allah” (Bukhari, 6007).27
Begitu juga dengan posisi asma al-husna sebagai penutup
ayat seringkali terabaikan di dalam beberapa kitab Tafsir dan
tidak mendapat ruang penafsiran yang layak, seakan-akan penutup
ayat tersebut hanya sebagai pelengkap semata. Padahal menurut
al-Marāghi menyebut nama Allah memiliki banyak manfaat
seperti memberi makanan iman, menyatakan rasa takut kepada
Allah, menimbulkan rasa harap hanya kepadanya, memandang
enteng kepada segala penderitaan di dunia dan agar tidak terlalu
memperdulikan kenikmatan dunia yang tidak sempat diperoleh.28
Manfaat lain adalah sebagai sebuah bentuk usaha termulia yang
dilakukan oleh setiap jiwa dan sebaik-baik apa yang diraih oleh
orang-orang yang memiliki kecerdasan akal dan petunjuk. Bahkan
ilmu ini merupakan puncak yang diperebutkan oleh manusia dan
akhir dari yang diperlombakan, karena ilmu ini adalah pondasi
jalan menuju Allah dan jalan yang lurus dalam meraih kecintaan
dan keridhaan-Nya.29
B. Identifikasi Masalah
Dari judul di atas bisa diidentifikasi beberapa masalah, di
antaranya;
1. Apakah ada munasabah dalam kitab suci al-Qur’an.
26 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Pisangan: Lentera Hati, 2012)
jilid 2, hal 393 27 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
(Kairo: Al-Quddus, 2014), hal 1220 28 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 9, hal 217 29Abdulrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad Al-Badr, Fiqh Asma al-
Husna, diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib, (Jakarta: Darus Sunnah,
2018) cet 21, hal 21-24
8
2. Siapa pelopor kemunculan munasabah.
3. Bagaimana pandangan ulama mengenai pentingnya
munasabah dalam menafsirkan al-Qur’an.
4. Bagaimana pandangan al-Marāghi tentang munasabah.
5. Bagaimana penerapan munasabah dalam Tafsîr al-Marāghi.
6. Bagaimana cara al-Marāghi menghubungkan antara
kandungan ayat dan penutupnya.
7. Bagaimana munasabah kandungan ayat dengan nama-nama
Allah yang ada di penutup ayat tersebut.
8. Berapa jumlah asma al-husna.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari banyaknya masalah yang timbul terkait judul ini, maka
tentu diperlukan pembatasan masalah supaya penelitian tersebut
fokus dan mendalam, juga mempunyai tujuan yang jelas.
Masalah tersebut dibatasi pada munasabah kandungan ayat dan
asma al-husna pada penutup ayat dalam surah al-Nisā’.
Surah al-Nisā’ termasuk dalam kumpulan Sab’ah al-Tiwāl
(tujuh surah panjang), sehingga tidak mungkin untuk diteliti
setiap ayat mengingat singkatnya waktu dan panjangnya
pembahasan. Maka dari itu, peneliti membatasi pada ayat-ayat
yang terdapat asma al-husna pada penutup ayat yang berjumlah
58 ayat kemudian diklasifikasi ayat sesuai dengan kandunganya,
seperti terkait hukum sebanyak 35 ayat, sosial 10 ayat, akidah 5
ayat, ibadah berjumlah 8 ayat. Kemudian peneliti mengangkat
satu contoh dari setiap kandungan tersebut.
2. Perumusan Masalah
Masalah-masalah yang bisa dirumuskan dari penelitian ini,
setelah melihat identifikasi masalah dan pembatasan masalahnya
adalah bagaimana munasabah kandungan ayat dengan nama
Allah yang menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’ menurut
Tafsîr al-Marāghi, ini lah yang akan digali dan sekaligus
menjadi judul dari penelitian ini.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam percarian penulis terhadap penelitian sebelumnya,
atau buku-buku yang terkait dengan judul ini, ada beberapa yang
mempunyai beberapa kesamaan dari salah satu aspek tetapi
9
mempunyai perbedaan pada bagian yang lainnya, dan hal ini
pulalah yang menjadikan penelitian ini berbeda dari penelitian-
penelitian yang telah ada, seperti;
1. Lukmanul Hakim yang menulis penelitian dalam bentuk
Disertasi yang berjudul “Analisis Tentang Aspek Munasabah
Dalam Tafsîr al-Marāghi” pada tahun 2006. Adapun
permasalahan yang ingin diteliti oleh Lukmanul Hakim
adalah sebagai berikut; Pertama: bagaimana al-Marāghi
mendeskripsikan munasabah surah dengan surah dan ayat
dengan ayat serta pendekatan yang digunakan dalam
mempertahankan kesatuan ayat. Kedua: apakah deskripsi
munasabah yang ditawarkan oleh al-Marāghi merupakan
sebuah pemikiran orisinil dari beliau atau lebih besar
pengaruhnya dari para pakar lain sebelumnya. Fokus dari
peneliti adalah pencarian pola dan pendekatan yang
digunakan oleh al-Marāghi.30Disertasi ini kelihatan hampir
mirip dengan apa yang ada dalam penelitian ini, tetapi
perbedaannya adalah penelitian ini fokus pada hubungan atau
munasabah kandungan ayat dan penutup ayat, sedangkan
disertasi tersebut membahas pola munasabah yang digunakan
oleh al-Marāghi secara umum di dalam Tafsîr nya.
2. Endad Musaddad dengan tesis dengan tema “Munasabah
Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, pada tahun 2005, yang ingin
meneliti dalam dua aspek kajian. Pertama: bagaimana
penggunaan munasabah yang dilakukan oleh Fakhrudin Ar-
Razi berkaitan dengan penafsiran yang dilakukannya dalam
kitab Tafsīr Mafatih Al-Ghaib. Kedua: bagaimana jenis-jenis
munasabah yang terdapat dalam Tafsîr Mafatih al-Ghaib.31
Penelitian ini sangat berbeda dengan apa yang akan penulis
teliti, meskipun sama-sama meneliti tentang munasabah al-
Qur’an tetapi di sini terdapat perbedaan tokoh yang dikaji
juga aspek kajiannya. Yang dalam penelitian ini hanya
berfokus pada kesesuaian kandungan ayat dengan Asma
Allah yang menjadi penutup dari ayat tersebut dalam surah al-
Nisa.
30 Lukmanul Hakim, Analisis tentang aspek Munasabah Dalam tafsir
al-Marāghi, (Disertasi: UIN Jakarta, 2006) 31 Endad Musaddad, Munasabah Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib,
(Tesis: UIN Jakarta, 2005), 15.
10
3. Sedangkan penelitian terkait tentang tokoh mufassir dalam
hal ini al-Marāghi sudah sangat banyak ditemukan seperti
penelitian yang berjudul “Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an
(suatu kajian atas Tafsîr al-Marāghi) ditulis oleh A. Baidowi
pada 2003 dalam bentuk tesis32 dan “Pendekatan Takwil al-
Marāghi Terhadapa Ayat-ayat Mutasyabihat” karya Mu’min
Rauf pada tahun 2006 juga dalam bentuk tesis.33Kedua karya
ilmiah ini mengemukakan bagaimana pandangan al-Marāghi
terhadapa masalah mereka masing-masing tentu saja sangat
jauh berbeda dengan penelitian ini.
4. Hasan Zaini dengan disertasi pada tahun 1995 dengan judul
“Corak Pemikiran Kalam al-Marāghi, dari judul ini bisa
diketahui bahwa kajian ini mempunyai persamaan dalam sisi
tokohnya yaitu al-Marāghi, sedangkan sisi lainnya berbeda,
karena penelitian tersebut fokus pada masalah-masalah kalam
dalam pemikiran al-Marāghi.34Disertasi lainnya yang berjudul
“Tafsîr al-Marāghi dan Tafsîr al-Nur (sebuah studi
perbandingan)” ditulis oleh Abdul Djalal pada tahun 1985,
Disertasi ini tidak jauh berbeda dengan Disertasi
sebelumnya.35Disertasi Berikutnya yang berjudul “Telaah
Kritis Atas Riwayat Asbab al-Nuzul Dalam Tafsîr al-Maragi
(Studi Analisis Ilmu Kritik Hadis), karya Wajidi Sayadi,
Disertasi ini juga hanya memiliki kesamaan dalam
pembahasan tokohnya saja.36Selanjutnya Tesis yang berjudul
“Pendekatan Takwil al-Marāghi Terhadap Ayat-ayat
Mutasyabihat, penelitian Mu’min Rauf pada tahun
2007.37Kemudian karya Hasani Ahmad Said dengan judul
32 A. Baidowi, Konsep syafaat Dalam al-Qur’an (suatu kajian atas
tafsir al-Marāghi), (UIN Jakarta: Tesis, 2003), 7. 33 Mu’min Rauf, Pendekatan Takwil al-Marāghi Terhadapa Ayat-
ayat Mutasyabihat (Tesis: UIN Jakarta, 2006), 18. 34 Hasan Zaini, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Marāghi, (IAIN
Jakarta: Disertasi, 1995), 15. 35 Abdul Djalal, Tafsir al-Marāghi dan al-Nur (Sebuah Studi
Perbandingan), (IAIN Jakarta: Disertasi, 1985) 36 Wajidi Sayadi, Telaah Kritis Atas Riwayat Asbab al-Nuzul Dalam
tafsir al-Marāghi (Studi Analisis Ilmu Kritik Hadis), (UIN Jakarta: Disertasi,
2006) 37 Mu’min Rauf, Pendekatan Takwil al-Marāghi Terhadap Ayat-ayat
Mutasyabihat, (UIN Jakarta: Tesis, 2007)
11
“Diskurs Munasabah al-Qur’an: Kajian atas Tafsîr al-
Mishbah, pada tahun 2011.38
5. Amir Faishol Fath menulis buku yang bertema “The Unity of
al-Qur’an” karya ini mulanya merupakan sebuah disertasi
yang diajukan untuk meraih geral Ph. D bidang Tafsir dan
Ulumul Qur’an, di International Islamic University
Islamabad, dengan judul aslinya “Nadzariyatul Wihdah al-
Qur’aniyah ‘Inda ‘Ulamaail Muslimiin wa Dawruhaa fil
fikril islami” (Konsep Kesatuan al-Qur’an di mata ulama
Islam, dan Pengaruhnya dalam pemikiran Islam). Disertasi
tersebut menjelaskan bahwa al-Qur’an dalam pandangan
umat Islam adalah satu kesatuan sehingga tidak bisa dipahami
secara parsial.39
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Ada beberapa tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dari
adanya penelitian ini, di antaranya;
1. Tujuan Penelitian
a. Melihat kaitan asma al-husna sebagai penutup ayat
dengan kandungan ayat.
b. Melihat bentuk munasabah yang digunakan oleh al-
Marāghi dalam menghubungkan kandungan ayat dengan
asma al-husna sebagai penutup ayat di dalam surah al-
Nisā’.
2. Manfaat Penelitian
a. Mengemukakan contoh dari bentuk munasabah
kandungan dan penutup ayat yang digagas oleh al-Suyuti.
b. Membuktikan bahwa al-Qur’an adalah satu kesatuan,
antara satu bagian dan yang lainnya saling terkait atau
menguatkan.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Melihat dari jenis penelitian tentang munasabah maka
penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian kualitatif. Objek
dari penelitian ini adalah teks al-Qur’an—yaitu setiap ayat dalam
38 Hasani Ahmad Said, Diskurs Munasabah al-Qur’an (Kajian Atas
Tafsir al-Mishbah), (UIN Jakarta: Disertasi, 2011) 39 Amir Faishol Fath, The Unity of al-Qur’an, 1
12
surah al-Nisā’ yang terdapat asma al-husna pada penutup ayatnya
dan Tafsīr al-Marāghi.
2. Teknis Pengumpulan data
a. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan atau
Library Research sebagai teknis pengumpulan data. Metode ini
digunakan untuk mencari literatur terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini. Cresswel mengatakan bahwa prosedur penelitian
kualitatif memiliki ciri-ciri induktif dalam mengumpulkan dan
menganalisi datanya. Pengalaman peneliti sangat berpengaruh
dalam cara mengumpulkan dan menganalisis data tersebut.40
Melihat dari objek kajiannya, maka ada dua macam data
yang akan dikumpulkan yaitu data primer dan sekunder;
1. Data Primer
Dikarenakan penelitian ini menyangkut ayat-ayat al-Qur’an
dan Tafsīr al-Marāghi maka tentu saja sumber primernya adalah
al-Qur’an itu sendiri dan Tafsīr al-Marāghi karya Ahmad
Mustafa al-Marāghi terutama jilid 4, 5 dan 6, karena surah al-
Nisa dibahas dalam jilid-jilid tersebut meski tidak menutup
kemungkinan jilid yang lainnya jika dibutuhkan.
2. Data Sekunder
Adapun sumber-sumber pendukung dalam masalah kajian
ini adalah sebagai berikut;
a. Buku-buku dan penelitian-penelitian yang terkait dengan
kajian ke-al-Qur’anan terutama yang berkaitan dengan ulumul
Qur’an dan Tafsir , seperti al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an karya
al-Suyuti begitu juga dengan al-Burhan fi ‘Ulūm al-Qur’an
karya dari al-Zarkasyi.
b. Kamus-kamus bahasa Arab yang menjelaskan ayat-ayat al-
Qur’an atau kajian kata al-Qur’an untuk memudahkan
menemukan posisi ayat-ayat al-Qur’an.
c. Buku-buku yang membantu dalam proses analisis, baik itu
sejarah, kebahasaan maupun psikologi, hadis dan sebagainya.
d. Demikian juga dengan buku-buku yang membantu dalam
proses pengolahan seperti metodologi penelitian.
40 Eva Nugraha, Komodisfikasi Dan Preservasi Kitab Suci, cet. I
(Ciputat: Hipius, 2019), 30.
13
b. Teknis Analisis dan Pengumpulan data Dalam memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian
ini maka peneliti menggunakan teknik pengumpulan data berupa
“menyalin atau mengutip”, hal ini dikarenakan data tersebut telah
tersedia dalam dokumen-dokumen atau tulisan-tulisan. Adapun
langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti adalah;
1. Mengumpulkan data mentah yang diambil dari al-Qur’an
berupa surah al-Nisā’.
2. Pemilahan data untuk memudahkan analisis seperti
memisahkan ayat yang terdapat asma al-husna pada penutup
ayat dalam surah al-Nisā’.
3. Membaca data secara keseluruhan supaya bisa diambil topik
dan tema besar sebagai alat koding.
4. Pemberian kode pada data yang telah dibaca. Peneliti membuat
kode kandungan ayat, bentuk asma al-husna, dan mukhatab
ayat.
5. Mengklasifikasikan ayat yang terdapat asma al-husna asma al-
husna yang sama pada penutup ayat dan mukhatab ayat yang
sedang diteliti.
6. Interpretasi konsistensi hubungan asma al-husna dengan
kandungan ayat yang terdapat dalam data yang sudah
terkumpul dalam klasifikasi.
c. Teknik Penulisan
Penulisan tesis ini mengacu pada buku Panduan Penulisan
Proposal Tesis/Disertasi yang dikeluarkan oleh Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta pada tahun 2017, sesuai dengan
keputusan rektor UIN Jakarta nomor: 507.
3. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan teori munasabah itu sendiri. Munasabah
sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Suyuti dalam bukunya al-
Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an bahwa munasabah adalah muqarabah
(kedekatan) atau musyakalah (kesesuaian atau kecocokan),
tempat kembalinya ayat dan semisalnya dengan makna yang
terkait di antaranya, entahkah dengan alasan umum dan
khususnya, sabab dan musababnya, ilat dan ma’lum-nya atau
kesamaan dan keberlawanannya. Khususnya mengenai hubungan
14
kandungan ayat dengan penutupnya. Al-Suyuti membaginya
dalam 4 macam yaitu: tamkīn, tasdir, tausīkh dan al-īghal.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika tesis ini akan ditulis dalam lima bab,
adapun rinciannya adalah sebagaimana yang akan diuraikan
dibawah ini:
Bab pertama merupakan dasar pijakan dari penelitian ini
baik secara konsepsual maupun operasional. Hal yang dilakukan
dalam bab ini adalah membuat rumusan masalah, menetapkan
tujuan penelitian, memilih metode penelitian yang relevan dan
membuat sistematika penulisan supaya peneliti bisa lebih terarah
dan tepat sasaran.
Bab dua memfokuskan pada kajian teoritis mengenai aspek
munasabah yang diperoleh dari kitab-kitab Ulumul Qur’an.
Dalam bab ini peneliti beberapa pandangan ahli seperti al-
Suyuthi, al-Zarkasy, dan lain-lain juga para pakar yang
refresentatif dalam masalah munasabah.
Bab tiga menitik beratkan pada profil dan kandungan surah
al-Nīsa’ dan penjelasan terkait asma al-husna.
Bab empat mengulas tokoh yang diteliti yaitu Ahmad
Mustafa al-Marāghi sebagai tokoh sentral dalam penelitian ini.
Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang kehidupan,
pendidikan dan karya dari al-Marāghi, khususnya Tafsīr al-
Marāghi.
Bab lima adalah inti dari penelitian ini yang mengkaji
munasabah kandungan ayat dan asma al-husna sebagai penutup
ayat dalam ayat yang sama dan berbeda dalam surah al-Nisa’.
Sekaligus melihat konsep munasabah tersebut menurut al-
Marāghi dalam Tafsîr nya.
Bab enam merupakan penutup memuat temuan-temuan
sebagai jawaban dari rumusan masalah. Selain itu juga terdapat
saran-saran sebagai pijakan penelitian selanjutnya.
15
BAB II
MUNASABAH
A. Sejarah Ilmu Munasabah
Sejumlah pengamat barat memandang kitab suci al-
Qur’an sebagai sebuah kitab suci yang sulit dipahami karena
bahasa, gaya dan aransemen kitab ini pada umumnya menjadi
masalah khusus bagi mereka, demikian pernyataan Montgomery
menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Acep Hermawan dalam
bukunya Ulumul Qur’an. Beliau menambahkan bahwa kaum
muslim sendiri masih membutuhkan banyak kitab tafsir untuk
memahami kitab al-Qur’an dan hal itu masih menyisakan banyak
persoalan.1
Ziyad al-Tubany memaparkan dalam bukunya Membaca
dan Memahami Konstruksi al-Qur’an bahwa mempelajari al-
Qur’an ibaratkan mempelajari alam semesta beserta isinya. Tidak
akan pernah habis dan selalu memunculkan hal-hal baru, dan ini
juga lah yang menjadi sebuah keistimewaan al-Qur’an atau sering
disebut dengan kemukjizatan al-Qur’an.2
Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang terdiri dari 6236
ayat menurut ulama kufah,3 dalam 114 surat, 30 juz. 4
Salah satu cara untuk memahami al-Qur’an adalah dengan
menggunakan pendekatan Ilmu Munasabah. Dalam kitab al-
Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an dijelaskan oleh al-Zarkasyi (w. 794
H) yang mengambil pendapat dari Abu Hasan al-Syahrabani (w.
324 H) bahwa orang yang pertama memunculkan ilmu
munasabah adalah Syaikh Imam Abu Bakar al-Naysaburi di
Baqdad, dan belum pernah beliau dengar dari selainnya. Hal ini
dibuktikan ketika dibacakan al-Qur’an kepada al-Naysaburi maka
beliau akan bertanya kenapa ayat ini berada di samping ayat ini?
1 Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, cet. III (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2016), 137. 2 Ziyad al-Tubany, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an,
(Jakarta: Indomedia Group, 2006), 23. 3 Ulama yang tinggal di Kufah 4 Ziyad al-Tubany, Membaca dan Memahami Konstruksi al-Qur’an,
86-91.
16
Atau kenapa surah ini terletak setelah surah ini.5 Tapi belum
disebutkan mengenai karangan dari al-Naysaburi ini.
Sedangkan pelopor pertama yang menulis tentang ilmu
munasabah menurut Abdul Wahid adalah Abu Ja’far Ibnu Zubeir,
dimulai pada abad ketiga hijriah dengan kitabnya al-Burhān fi
Munāsabat Tartīb Suwār al-Qur’an. Pada tahap berikutnya, ilmu
ini dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi dalam tafsir Mafātīh al-
Ghaib—kitab besar yang banyak menguraikan tentang
munasabah. Estapet ini dilanjutkan lagi oleh Jalaluddin al-Suyuti
dengan tiga karyanya Tanāsuq al-Durar fi Tanāsub al-Suwār,
Marāsid al-Matāli’ fi al-Maqāti’ dan Asrar al-Tanzīl.6 Barulah
ilmu ini disusun secara mendetail dan sistematis oleh Ibrahim
ibnu Umar al-Biqa’i (w. 885 H) dengan kitabnya Nazm al-Durar
fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwār yang secara khusus membahas
tentang keterkaitan antara satu ayat dengan ayat atau surat dengan
surat lainnya, metode ini pula lah yang menjadi landasan ulama-
ulama tafsir pada masa berikutnya.7 Masa belakangan
termasuklah Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha,
juga Muhammad Syalthut di dalam tafsir mereka.8
Hasani Ahmad Said menjelaskan bahwa ulum al-Qur’an
sebagai metodologi tafsir telah dirumuskan secara mapan sejak
abad ke-7-9 Hijriyah, yaitu pada saat munculnya dua kitab ulum
al-Qur’an yang sangat berpengaruh dan menjadi landasan utama
dalam kajian tafsir sampai saat ini, yakni al-Burhān fi ‘Ulūm al-
Qur’an karya Badruddin al-Zarkasy (w. 794 H) dan al-Itqān fi
‘Ulūm al-Qur’an karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H). Hasani
Ahmad Said melanjutkan bahwa ilmu munasabah memiliki posisi
yang sangat penting dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an
karena dengannya, seorang pengkaji al-Qur’an bisa melihat
pandangan al-Qur’an secara holistic (menyeluruh) bukan secara
atomistic (sepotong-sepotong).9 Bagaimana pun ayat al-Qur’an
itu mempunyai suatu keterkaitan antara yang satu dan yang
5 Badruddin Muhammad bin Abdillah al-Zarkasyi, al-Burhān fi
‘Ulūm al-Qur’an, jilid 1 (Cairo: Al-Quddus, 2016), 35. 6 Jalaludin al-Suyutiy, Al-Itqān fi Ulum al-Qur’an, 470. 7 Abdul Wahid dan Muhammad Zaini, Pengantar ‘Ulumul Qur’an &
‘Ulumul Hadis, cet.I (Banda Aceh: Yayasan PeNA, 2016), 97-98. 8 Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1: Kajian Islam Kontemporer, cet.
I (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 6. 9 Hasani Ahmad Said, Studi Islam 1, 3.
17
lainnya seperti sebuah ungkapan bahwa al-Qur’an itu saling
menjelaskan antara satu dan yang lainnya (al-Qur’an yufassiru
ba’duhu ba’dan).
B. Pengertian Munasabah
Secara bahasa/etimologi munasabah menurut al-Suyutiy
bermakna muqārabah (saling berdekatan) atau musyākalah
(saling menyamai bentuk/keserupaan).10
Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh ulama-ulama ulumul Qur’an berikut;
a. Keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lainnya dari
sisi makna baik umum, khusus, hissy (inderawi), ‘Aqly
(logika), maupun Khayaly (abstraksi) dan sisi al-talazum al-
zinny (sebuah keniscayaan dalam logika) semisal sebab atau
alasan adanya atau terjadinya sesuatu, pasangan atau lawan,
sinonim atau antonim, demikian diungkapkan oleh al-
Suyuti.11
b. Al-Zarkasyi mendefinisikan munasabah sebagai ilmu akal,
tatkala dihadapkan pada akal maka akal tersebut akan
menerimanya. Munasabah yaitu keterkaitan antara awal ayat
dan penutupnya baik dari segi keumuman atau
kekhususannya, sebab dan musababnya atau illah dan
ma’lulnya.12
c. Al-Biqa’i sebagaimana dikutip oleh Juhana Nasrudin yang
mengemukakan bahwa munasabah adalah suatu ilmu yang
mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan al-ayat
dan surah al-Qur’an, baik itu mengenai ayat maupun
suratnya.13
d. Menurut Manna al-Qattan munasabah adalah sisi keterkaitan
antara beberapa ungkapan dalam satu ayat yang sama, antar
beberapa ayat atau antar surah di dalam al-Qur’an.14
10 Jalaludin al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 471. 11 Jalaludin al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 471. 12 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, (Kairo: Dar Al-Turas,
tt), 35. 13 Juhana Nasrudin, Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, cet. I
(Yogyakarta: Deepublish, 2012), 245. 14 Manna al-Qattan, Mabahīs fi ‘Ulūm al-Qur’an, cet. III (Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’,2000), 96.
18
e. Rosihon Anwar menjelaskan munasabah adalah format
hubungan antara beberapa kalimat dalam satu ayat yang sama
atau antara ayat dan ayat dalam satu surat. 15
f. Acep Hermawan mengenai definisi munasabah yaitu
pengetahuan tentang berbagai hubungan unsur-unsur dalam
al-Qur’an seperti hubungan antara jumlah dengan jumlah
dalam satu kalimat, ayat dengan ayat pada suatu surah, surah
dengan surah pada sekumpulan surah termasuk hubungan
antar nama surah dan isi atau tujuan surah, awal surat dan
akhir surat.16
g. Damanhuri juga menjelaskan dalam bukunya Ijtihad
Hermeneutis bahwa munasabah adalah kesepadanan antara
satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya.17
Dapat diambil kesimpulan dari pendapat-pendapat yang
dikemukakan oleh para pakar ulumul Qur’an di atas bahwa ilmu
munasabah adalah sebuah ilmu mulia yang mempunyai tujuan
untuk memahami kesatuan al-Qur’an.
C. Macam-Macam Munasabah
Sebagai sebuah ilmu, munasabah mempunyai ragam
tersendiri karena beragam objek yang dimaksud. Quraish Shihab
menjelaskan secara garis besar munasabah itu berorientasi pada
dua hal, yaitu hubungan ayat dengan ayat dan surat dengan surat
yang digambarkan dalam tujuh poin berikut. Hubungan ayat
dengan ayat meliputi;
a. Hubungan kalimat dengan kalimat dalam ayat.
b. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat.
c. Hubungan penutup ayat dengan kandungan ayatnya.
Sedangkan hubungan surat dengan surat meliputi;
a. Hubungan awal uraian surat dan akhir uraian surat.
b. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya.
c. Hubungan surat dengan surat sebelumnya.
d. Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat
berikutnya.18
15 Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, (Bandung: Pustaka
Setia, 2009), 136. 16 Acep Hermawan, Ulumul Qur’an, 138-139. 17 Damanhuri, Ijtihad Hermeneutis, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2016),
77.
19
Berikut penjelasan mengenai bagian-bagian dari macam-
macam munasabah tersebut sebagaimana yang bisa didapati
dalam banyak buku Ulum al-Qur’an;
1. Hubungan kalimat dan kalimat dalam ayat
Jika ditinjau dari segi sistematiknya maka munasabah
terbagi menjadi dua menurut al-Zarkasy:
a. Ma’tufah
Al-Zarkasi menjelaskan bahwa secara umum dapat
dikatakan bahwa dengan adanya huruf ‘ataf ini mengisyaratkan
adanya hubungan pembicaraan19 seperti:
ۥ أضعافا كثيرة ه قرضا حسنا فيضعفهۥ له ن ذا ٱل ذي يقرض ٱلل م ط وإليه ترجعون
ه يقبض ويبص وٱلل
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-
lah kamu dikembalikan.20
Huruf ‘ataf yang menghubungkan kata yaqbid dan yabsut
yang mengindikasikan bahwa kedua kata tersebut memiliki
hubungan dalam bentuk kata yang berlawanan yaitu antara
menyempitkan dan melapangkan.21
1. Al-Mudādah
Al-Mudādah adalah perlawanan/bertolak belakang antara
suatu kata dengan kata lain seperti kata yaqbidu dan yabsutu
dalam surah al-Baqarah ayat 245.22
18 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Pisangan: Lentera Hati, 2013),
243-245. Lihat juga: Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 38. Lihat juga:
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, 136. Lihat juga Juhana Nasrudin,
Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis,cet. I (Yogyakarta: Deepublish, 2017),
245-259. Hamdani Anwar, Pengantar Ilmu Tafsir: Bagian Ilmu Tafsir, cet. I
(Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), 127-146. 19 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 38. 20 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 245. 21 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 38. 22 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 46.
20
ۥ أضعافا كثيرة ه قرضا حسنا فيضعفهۥ له ن ذا ٱل ذي يقرض ٱلل م ط وإليه ترجعون
ه يقبض ويبص وٱلل
Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan
Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-
lah kamu dikembalikan.23
2. Al-Istidrād
Al-Istidrād adalah pindah ke kata lain yang ada
hubungannya atau penjelasan lebih lanjut.24 Misalnya;
اس وٱلحج قل هي يسئلونك عن ٱلأهل ة يس ٱلبر بأن موقيت للن ول ٱلبيوت من ظهورها و قى تأتوا ٱلبيوت من وأتو لكن ٱلبر من ٱت ا
كم تفلحون أبوبها ه لعل قوا ٱلل وٱت Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.
Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi
kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.25
Kaitan antara kata al-‘ahillah dengan memasuki rumah dari
belakang. Pada musim haji, kaum Anshar mempunyai kebiasaan
tidak memasuki pintu rumah dari depan. Ayat ini menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan al-birru adalah takwa kepada
Allah dengan menjalankan apa yang telah Allah tentukan dalam
berhaji. Mereka telah melupakan masalah al-‘ahillah tadi karena
beralih ke soal memasuki rumah dari belakang dalam kaitannya
dengan ibadah haji.26
23 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 245. 24 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 39. 25 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 189. 26 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 39.
21
3. Al-Takhallus
Al-Takhallus adalah melepaskan kata satu ke kata lain yang
masih berkaitan.27 Misalnya;
ء كيف رفعت ما بل كيف خلقت وإلى ٱلس أفلا ينظرون إلى ٱلإArtinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta
bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan?.28
Ayat 17 di takhallus ke ayat 18. Orang Arab mempunyai
kebiasaan menggantungkan penghidupan mereka pada unta al-
ibli. Al-Ibil tidak bermanfaat apa-apa kecuali menggantungkan
hidup dari air, dan air itu dari hujan sedangkan hujan itu turun
dari langit.29
4. Tamsil dari keadaan
Contoh tamsil dari keadaan adalah dalam surah al-Isra ayat
1 dan 2. Peristiwa Isra Nabi Muhammad Saw dari Mekah ke
Palestina sebanding dengan Isra Nabi Musa a.s. dari Mesir ke
Palestina.30
سبحن ٱل ذي أسرى بعبدهۦ ليلا م ن ٱلمسجد ٱلحرام إلى ٱلمسجد ميع ٱلس هۥ هو يهۥ من ءايتنا إن ا حولهۥ لنر ٱلأقصا ٱل ذي بركن
هدى ل ب وءاتينا موسى ٱل كتب وجعلنه ا ٱلبصير ءيل أل ني إسرخذوا من دوني وكيلا تت
Artinya: Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan
hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Dan Kami berikan
kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat
itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah
kamu mengambil penolong selain Aku.31
27 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 41. 28 Lihat QS. Al-Ghasyiyah [88]: 17-18. 29 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 43. 30 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 39-40. 31 Lihat: QS. Al-Isra [17]: 1-2
22
b. Tidak ada ma’tufah
1. Al-Tanzīr
Al-Tanzīr adalah berhampiran atau berserupaan.32
Contohnya;
هم ومغفرة هم درجت عند رب ا ل ولئك هم ٱلمؤمنون حق ورزق أ يم يقا م ن ٱلمؤمنين كر وإن فر ب ك من بيتك بٱلحق كما أخرجك ر
ل كرهون Artinya: Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-
benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki
(nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu
pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal
sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu
tidak menyukainya.33
Huruf kaf pada ayat 5 berfungsi sebagai pengingat dan sifat
bagi fi’il yang bersembunyi. Hubungan itu tampak dari jiwa
kalimat tersebut. Maksud ayat tersebut adalah Allah menyuruh
untuk mengerjakan urusan harta rampasan, seperti yang telah
kalian lakukan ketika Perang Badar meskipun kaummu
membenci cara demikian. Allah menurunkan ayat ini agar kaum
Nabi Muhammad mengingat nikmat yang telah diberikan Allah
dengan diutusnya rasul dari kalangan mereka.34
2. Al- Istidrād35
3. Al-Mudādah36
2. Hubungan ayat dengan ayat dalam satu surat
Munasabah antar ayat dalam satu ayat bisa diketahui
dengan beberapa kategori berikut, yaitu;
32 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 44. 33 Lihat QS. Al-Anfal [8]: 4-5. 34 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 44. 35Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 46-47. Lihat halaman
sebelumnya mengenai penjelasan al- Istidrād. 36 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 46. Lihat juga halaman
sebelumnya mengenai penjelasan al-Mudadah.
23
a. Tafsir
Munasabah yang menggunakan pola tafsīr, yaitu apabila
satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan maknanya oleh ayat
atau bagian ayat sampingnya. Contohnya;
قين لا ريب فيه ذلك ٱل كتب ٱل ذين يؤمنون هدى ل لمت ا رزقنهم ينفقون لو ة ومم يقيمون ٱلص بٱلغيب و
Artinya: Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (yaitu) mereka yang
beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepada mereka.37
Kata lil muttaqīn pada ayat kedua ditafsirkan maknanya
oleh ayat ketiga, sehingga kesimpulannya mereka yang bisa
disebut bertakwa adalah mereka yang beriman dengan yang gaib,
mengerjakan shalat dan seterusnya.
b. Tasydid
Cara untuk melihat munasabah antar ayat yang jelas yaitu
dengan pola tasydid apabila satu ayat atau bagian ayat
mempertegas arti ayat yang terletak di sampingnya. Seperti;
ٱهدنا ٱلص رط ٱلمستقيم صرط ٱل ذين أنعمت عليهم غير ٱلمغضوب ل ين ا عليهم ولا ٱلض
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka,
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat.38
Pernyataan al-sirat al-mustaqīm pada ayat enam dipertegas
oleh ungkapan yang terdapat pada ayat ketujuh sirat al-lazīna
terkadang untuk contoh seperti ini diperkuat dengan adanya huruf
‘ataf dan adakalanya juga tidak dicantumkan.
c. I’tirad
Cara berikutnya yaitu dengan menggunakan i’tirād apabila
pada suatu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam
i’rāb (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau antara
dua kalimat yang berhubungan maknanya. Misalnya;
37 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 2-3. 38 Lihat QS. Al-Fatihah [1]: 6-7.
24
ا يشتهون ه ٱلبنت سبحنهۥ ولهم م ويجعلون لل Artinya: Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak
perempuan. Maha Suci Allah, sedang untuk mereka sendiri
(mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak
laki-laki).39
Kata subhanahu pada ayat di atas merupakan bentuk i’tirad
dari dua ayat yang mengitarinya. Kata itu merupakan bantahan
bagi anggapan orang-orang kafir yang menetapkan anak
perempuan bagi Allah Swt.
d. Ta’kid
Munasabah antar ayat yang menggunakan pola ta’kid yaitu
apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat
atau bagian ayat yang terletak di sampingnya.40 Contohnya;
حيم حمن ٱلر ه ٱلر ه رب ٱلعلمين بسم ٱلل مد لل ٱلحArtinya: Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah,
Tuhan semesta alam.41
Ungkapan Rabb al-‘alamīn pada ayat kedua memperkuat
kata al-Rahmān al-Rahīm pada ayat pertama.
3. Hubungan penutup dan kandungan ayat
Al-Zarkasyi menyebutkan bahwa terdapat keselarasan
antara penutup ayat dengan kandungan ayat, dan selalu seperti
demikian meski tidak terlihat secara langsung melainkan dengan
penelitian yang cerdas. Bentuk hubungan tersebut terbagi dalam
empat macam yaitu: Tamkīn, Tasdir, Tausikh dan al-Īghal.42
a. Tamkīn
Tamkīn yang dimaksud di sini mempunyai arti
memperkokoh atau mempertegas pernyataan. Dengan kata lain,
penutup ayat memperkokoh pernyataan yang tersebut dalam
kandungan ayat. Maksud dari penutup ayat di sini berkaitan
langsung dengan apa yang dimaksud ayat tersebut, seandainya
penutup ini tidak ada maka kandungan ayat tersebut belum bisa
39 Lihat QS. An-Nahl [16]: 57. 40 Al-Zarkasy, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, jilid 1, 38. 41 Lihat QS. Al-Fatihah [1]: 1-2. 42 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67.
25
memberi arti lengkap, dan boleh jadi menimbulkan kekeliruan,43
contohnya dalam surah berikut:
ء فتصبح ٱلأرض ء ما ما ه أنزل من ٱلس أن ٱلل ألم تر ة إن مخضر ه لطيف خبير موت وما في ٱلل ه لهو ٱلأرض ل هۥ ما في ٱلس وإن ٱلل
مي ا في ٱلأرض وٱلفلك تجري د ٱلغني ٱلح ر ل كم م ه سخ ألم تر أن ٱلل ا بإذنه ء أن تقع على ٱلأرض إل ما مسك ٱلس ۦ في ٱلبحر بأمرهۦ وي
اس لرءوف ه بٱلن إن ٱلل حيم ر Artinya: Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah
menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau?
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan segala
yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
Maha Kaya lagi Maha Terpuji. Apakah kamu tiada melihat
bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di
bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-
Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi,
melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-
benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
Manusia.44
Ayat pertama di atas ditutup dengan lafadz Latīfun Khabīrun
yang bermakna Allah Maha Halus dan juga Maha Mengetahui
yang menunjukkan bahwa Allah terlebih dahulu mengetahui
manfaat hujan yang diturunkan dari langit sebagai sumber
penghidupan dan rahmat. Ayat berikutnya ditutup dengan lafadz
al-Ghaniy al-Hamīd yang berarti Maha Kaya lagi Terpuji
mempertegas pernyataan sebelumnya bahwa Allah adalah
pemilik segala apa yang ada di langit dan di bumi dan tidak
membutuhkan semua itu. Maka sudah sepantasnya Ia dipuji
karena Allah telah bermurah hati memberikan kekayaannya
kepada para makhluk. Sedangkan ayat yang terakhir ditutup
dengan la Raūfun Rahīm sifat Allah yang Maha Santun dan
Penyayang menunjukkan kepada manusia bahwa Allah telah
memberikan nikmat kehidupan di dunia ini berupa tempat
43 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 460. 44 Lihat QS. Al-Hajj [22]: 63-65.
26
berusaha baik di darat maupun di laut dengan bentangan langit
yang memayunginya.45
b. Tasdir
Kalimat yang menjadi penutup ayat sudah dimuat di
permulaan, pertengahan atau di akhir kalimat, 46 seperti:
يكم ءايتي فلا تستعجلون من عجل خلق ٱلإنسن ور سأArtinya: Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa.
Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-
Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku
mendatangkannya dengan segera.47
Kata tasta’jilūn sudah dimuat di dalam ayat tersebut dengan
lafadz ‘ajal.48 c. Tausīkh
Tausīkh adalah kandungan penutup ayat sudah tersirat di
dalam rangkaian kalimat sebelumnya dalam ayat, atau jiwa
kalimat tersebut menunjukkan maksud dari penutup ayat,49
seperti;
شوا فيه وإذ يخطف أبصرهم يكاد ٱلبرق ء لهم م ما أضا ا أظلم كل عليهم قاموا لذه ه ٱلل ء على ب بسمعهم وأبصرهم ولو شا ه إن ٱلل
شيء قدير كل Artinya: Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan
mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka
berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa
mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki,
niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan
mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala
sesuatu.50
Kata Qadīrun menegaskan bahwa Allah bisa dan berkuasa
untuk melakukan sesuatu bila Ia kehendaki, apalagi hanya untuk
menghilangkan pendengaran dan penglihatan manusia.51
45 Al-Suyutiy, al-Itqān fi Ulum al-Qur’an, 460. 46 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67. 47 Lihat QS. Al-Anbiya [21]: 37. 48 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 80. 49 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67. 50 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 20. 51 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 81.
27
d. Al-Iqhal
Al-Īghal adalah tambahan keterangan terhadap kandungan
ayat yang sudah ada sebelum penutupnya, seandainya penutup
ayat tersebut tidak ada maka maksud ayat sudah lengkap52.
Contonya:
ة ه حكما ل قوم يوقنون يبغون أفح كم ٱلجهلي ومن أحسن من ٱلل Artinya: Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum)
Allah bagi orang-orang yang yakin.53
Ayat tersebut sudah sempurna jika sampai pada lafadz
hukman saja, akan tetapi ditambah penutupnya yang berbunyi
liqaumi yū qinūn.54
4. Hubungan awal uraian dengan akhir uraian surat
Al-Suyuti memberikan contoh hubungan awal uraian dan
akhir uraian surat yaitu terlihat dalam surah al-Mu’minun. Surah
ini membuat pernyataan pemula dengan ungkapan berikut;
قد أفلح ٱلمؤمنون Artinya; Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang
beriman,55
Pernyataan di atas adalah sebuah pernyataan bahwa kaum
mukmin akan menang dan pasti menang, sedangkan pada akhir
surat yang sama mengandung pernyataaan berikut;
هۥ لا يفلح ٱل كفرون إن Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada
beruntung.56
Pernyataan lā yuflih al-kāfirūn dalam ayat di atas
menjelaskan tanda sebaliknya bahwa mereka yang kafir tidak
akan memperoleh kemenangan.57Kedua pernyataan di atas
berbentuk pernyataan yang saling bertolak belakang, yang mana
nasib orang mukmin adalah kebalikan yang akan diterima oleh
52 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 67. 53 Lihat QS. Al-Maidah [5]: 50. 54 Al-Zarkasyi, al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 81-82. 55 Lihat: QS. Al-Mu’minun [23]: 1 56 Lihat: QS. Al-Mu’minun [23]: 117 57 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 475. Lihat juga: Rachmat
Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 48.
28
orang-orang kafir, meski terkadang sebagiannya berlaku di
akhirat nanti.
5. Hubungan nama surat dengan tujuan turunnya
Hubungan nama surah dengan tujuan turunnya adalah
adanya hubungan yang erat antara nama surah dengan tema
sentral ataupun berbagai pembahasan yang menonjol dalam ayat-
ayat yang terdapat dalam surah tersebut.58
Contohnya yaitu seperti terlihat pada surah al-Baqarah,
yang kata tersebut terambil dari kata yang terdapat dalam surah
tersebut pada ayat 67-71.
قالوا بقرة يأمركم أن تذبحوا ه ۦ إن ٱلل وإذ قال موسى لقومه أ ه خذنا هزوا قال أعوذ بٱلل قال إن هۥ —ٱلجهلين ن أكون من أتت
ا مة ل ا ذلول تثير ٱلأرض ولا تسقي ٱلحرث مسل ها بقرة ل يقول إن فذبحو ن جئت بٱلحق ها وما كادوا يفعلون شية فيها قالوا ٱل
Artinya: Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada
kaumnya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyembelih seekor sapi betina". Mereka berkata: "Apakah
kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?" Musa
menjawab: "Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil".—Musa
berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina
itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman,
tidak bercacat, tidak ada belangnya". Mereka berkata:
"Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina
yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan
hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.59
Ayat-ayat tersebut memuat kisah al-Baqarah yang berkaitan
dengan kisah Nabi Musa a.s. dan kaumnya. Perintah Tuhan
kepada Musa a. s. kepada kaumnya untuk menyembelih Baqarah
itu lah yang menjadi tema utama dari surah ini berkenaan dengan
keimanan. Kata al-Baqarah sendiri adalah sebuah nama yang
mengejutkan masyarakat Arab pada masa itu. Menurut riwayat
58 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 579. 59 Lihat: QS. Al-Baqarah [2]: 67-71
29
dari Ibn Abbas, pada masa itu, ada seseorang yang membunuh
kerabatnya untuk memperoleh warisan. Mayat digeletakkan saja
di jalan dan Nabi Musa a.s. tidak berhasil menyingkap siapa
pembunuhnya. Lalu kaumnya melecehkan Nabi Musa a.s. agar
supaya menanyakan kepada Tuhannya. Karena itu lah, Allah
berfirman agar Musa a.s. menyembelih sapi sebagai penebus
peristiwa tersebut, tetapi watak kaumnya memang demikian yang
selalu melecehkan apa yang Musa a.s. sampaikan seperti dengan
mempermasalahkan warna, jenis dan berbagai hal yang tidak
terkait dengan substansi perintah.60
6. Hubungan surat dengan surat sebelumnya
Diungkapkan oleh al-Suyuti bahwa sebagian ulama
meyakini bahwa tiap-tiap surat mempunyai kaitan pasti dengan
surat sebelumnya. Kaitan itu kadangkala nampak jelas dan ada
kalanya tidak. Setidaknya ada empat cara untuk mengetahui
hubungan tersebut, yaitu;
a. Dilihat melalui huruf awal surah, misalnya surat-surat yang
dimulai dengan alif lām mīn dan alif lām rā’ yang tersusun
berurutan.
b. Adanya persesuaian antara akhir suatu surat dengan permulaan
surat berikutnya, misalnya akhir surah al-Fatihah dengan
permulaaan surat al-Baqarah.
c. Dapat dilihat dari wazan dalam lafadznya. Misalnya, akhir
surah al-Lahab dengan awal surah al-Ikhlas.
d. Adanya kemiripan dalam bilangan ayat dalam ayat dalam
suatu surah berikutnya. Seperti, bilangan surat al-Duha dan al-
Insyirah.61
Contoh lainnya yang dikemukakan oleh Rosihon Anwar
dalam bukunya Pengantar Ulumul Qur’an, seperti korelasi antara
ayat 2 dari surah al-Baqarah dengan ayat 3 surah Al Imran. Jika
di dalam surah al-Baqarah ditegaskan mengenai kedudukan al-
Kitab tersebut:62
60 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 49-50. 61 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’an, 476. 62 Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an, 137-138.
30
قين هدى ل لمت ذلك ٱل كتب لا ريب فيهArtinya: Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa.63
Maka dalam surah Al Imran dijelaskan mengenai salah
satu tujuan diturunkannya al-Kitab tersebut;
ورى ة وأنزل ٱلت قا ل ما بين يديه مصد ل عليك ٱل كتب بٱلحق نز وٱلإنجيل
Artinya: Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu
dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah
diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.64
7. Hubungan penutup surat terdahulu dengan awal surat
berikutnya
Al-Suyuti menyebutkan bahwa adanya hubungan awal
dengan akhir surat sebelumnya merupakan rahasia yang akan
menunjukkan juga hubungan lafadznya. Sebagai contohnya pada
surah al-Quraisy65 dengan akhir surah al-Fīl66. Dalam surah al-
Fīl menceritakan kehancuran tentara gajah di bawah pimpinan
Abrahah, gubernur Yaman yang hendak menghancurkan Ka’bah.
Pada akhir surah tersebut dijelaskan bahwa pasukan Abrahah
hancur dimakan ulat karena bertindak menentang Allah. Awal
surah al-Quraisy menerangkan kebiasaan orang Arab bepergian
di musim dingin dan musim panas. Ini semua dapat mereka
nikmati berkat anugerah dari Allah. Oleh karena itu, sembahlah
Allah dan jangan mengingkari-Nya. Bila manusia terus
mengingkari Allah mereka dapat juga menemui kehancuran
seperti halnya tentara gajah.67
8. Munasabah antara huruf fawātih al-suwār dengan huruf yang
ada dalam surah tersebut.
63 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 2. 64 Lihat QS. Al Imran [3]: 3. 65 Lihat: QS. Al-Quraisy [106]: 1-4 66 Lihat: QS. Al-Fīl [105]:1-5 67 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulum al-Qur’an, 479. Lihat juga: Rachmat
Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 51-52.
31
Al-Suyuti menambah satu poin lagi dalam macam-macam
munasabah yaitu munasabah antara huruf fawātih al-suwār
dengan huruf yang ada dalam surah tersebut. Yang dimaksud
dengan hal tersebut adalah bila suatu surah diawali dengan al-
hurūf al-muqata’ah maka huruf-huruf dalam surah tersebut akan
didominasi oleh huruf-huruf tersebut. Sebagai contoh dalam
surah Yunus, kata-kata yang terdiri dari huruf alif, lam, dan ra’,
terulang sebanyak 220 kali lebih, sehingga surah ini dimulai
dengan huruf-huruf tersebut sebagai pembuka surah.68
Munasabah yang dicari adalah bentuk munasabah yang
jelas. Hubungan tersebut bisa berupa penggalan ayat dengan
lanjutan penggalannya, bisa juga antara ayat dengan ayat
berikutnya. Berbagai bentuk hubungan yang ditemukan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Quraish Shihab dalam
bukunya Kaidah Tafsir.69Bentuk munasabah tersebut bisa juga
dari keterkaitan maknawi, seperti kemungkinan adanya
keterkaitan antara tema-temanya, kalimat umum dan khsusunya
atau keterkaitan makna yang terjadi karena adanya keterkaitan
kausalitas demikian jelas Abdul Wahid.70
Harus diakui bahwa bahasan tentang hubungan itu sangat
mengandalkan pemikiran, bahkan imajinasi atau kenyataan yang
terjadi. Karena itu, bisa saja ada banyak ragam hubungan yang
dikemukakan oleh para mufasir, bahkan bisa jadi seorang mufasir
menghidangkan dua tiga hubungan buat satu ayat yang
dibahasnya. Bisa juga munasabah yang dikemukakan atau
ditampilkan oleh ulama atau pemikir A namun tdak diterima baik
oleh ulama dan pemikir yang lain, demikian tutur Quraish
Shihab.71
Dilanjutkan oleh Quraish Shihab bahwa para ulama yang
mendukung adanya munasabah menyatakan bahwa tidak semua
ayat atau bagiannya harus dicarikan munasabahnya dalam
beberapa kondisi karena munasabahnya sudah sangat jelas.
Sedangkan yang dicari munasabahnya adalah yang masih belum
68 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 477. Lihat juga: Hamdani
Anwar, Ulumul Qur’an, 146-147. 69 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 247-250. 70 Abdul Wahid, dkk, Pengantar ‘Ulumul Qur’an & ‘Ulumul Hadis,
96. 71 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 245-246.
32
jelas hubungannya.72 Yang tidak dicari munasabahnya seperti
berikut ini;
1. Ayat yang disusul oleh pengecualiaanya73 seperti;
لحت ا ٱل ذين ءامنوا وعملوا ٱلص وٱلعصر إن ٱلإنسن لفي خسر إل بر وتواصوا بٱلص وتواصوا بٱلحق
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-
benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya
menetapi kesabaran.74
2. Kandungan ayat yang menguatkan kandungan sebelumnya.75
Misalnya;
ب وتول ى ق ولا صل ى ولكن كذ فلا صد Artinya: Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan al-
Quran) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia
mendustakan (Rasul) dam berpaling (dari kebenaran).76
3. Tidak juga dibahas antara sepenggal ayat dengan bagian yang
lain, atau satu ayat dengan ayat yang lain bila disela atau
bagian ayat tersebut ada jumlah mu’taridah.77 Seperti;
ار ٱل تي وقودها ٱلن قوا فٱت م تفعلوا ولن تفعلوا فإن ل اس وٱلحجارة ٱلن ين ت لل كفر عد أ
Artinya: Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) -- dan
pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah
dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu,
yang disediakan bagi orang-orang kafir. Bagian yang
menjadi jumlah muta’aridah dalam ayat tersebut adalah
(dan pasti kalian tidak akan dapat melakukannya sampai
kapan pun).78
72 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 73 Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 74 Lihat QS. Al-Ashr [103]: 2-3. 75 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 76 Lihat QS. Al-Qiyamah [75]: 31-32. 77 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 246. 78 Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 24.
33
D. Pendapat Ulama Mengenai Munasabah Rachmat Syafe’i menjelaskan bahwa ilmu munasabah
adalah sebuah kajian yang berbentuk ijtihadi, hal ini lah yang
menyebabkannya timbul hubungan logis bagi masing-masing
ahli. Maka timbullah dua aliran yaitu aliran yang meyakini bahwa
semua ayat/surat memiliki hubungan dan kelompok sebaliknya
yang meyakini bahwa tidak semua ayat/surat memiliki
hubungan.79
Ilmu munasabah ini memiliki kaitan erat dengan
penyusunan surat-surat dalam mushaf al-Qur’an, apakah
penyusunan ini dari Nabi Muhammad Saw langsung yang dikenal
dengan istilah tawqīfi atau berdasarkan ijtihad para sahabat yang
dikenal pula dengan ijtihādi.
Faktanya susunan mushaf yang dapat disaksikan sekarang
ini tidak sesuai dengan susunan turunnya ayat atau memiliki
susunan tersendiri, tentu ada alasan-alasan filosofis yang bisa
dikaji, karena setiap sesuatu yang telah tersusun pasti mempunyai
alasan kenapa susunannya seperti demikian. Masalah berikutnya
adalah kenyataannya para ulama berbeda pendapat mengenai hal
ini, ada yang menganggap susunan tersebut langsung dari Nabi
atau hanya ijtihad para sahabat.
Pendapat pertama mayoritas ulama berpendapat bahwa
surat-surat al-Qur’an disusun berdasarkan tawqīfi. Pelopor
pendapat ini adalah Abu Ja’far ibn Nuhas (w. 338 H), al-Kirmani,
Ibn al-Hasar (w. 611 H), Abu Bakar al-Anbari (w. 271-328 H)
dan al-Baghawi (w. 286 H). Misalnya pendapat dari al-Bagawi
dalam Syarh al-Sunnah seperti dikutip oleh Lukmanul Hakim
yang menjelaskan bahwa para sahabat menulis ayat-ayat al-
Qur’an seperti yang mereka dengar dari Rasulullah Saw tanpa
mendahulukan atau mentakhirkan dan susunan tersebut tidak
ditambah maupun dikurangi, karena tugas para sahabat hanyalah
mengumpulkan dalam satu tempat, bukan menetapkan
susunannya dan al-Qur’an ditulis di Lauh Mahfuz yang
susunannya sama dengan mushaf al-Qur’an yang diturunkan ke
langit dunia kemudian dilanjutkan secara berangsur-angsur sesuai
kebutuhan kepada Nabi Muhammad Saw.80
79 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 36. 80 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam
Tafsir al-Maraghi, 31-32.
34
Pendapat kedua, penyusunan surat-surat dalam al-Qur’an
didasarkan pada ijtihad para sahabat. Penganut pendapat ini
adalah Imam Malik dan Abu Bakr al-Tib al-Baqilani. Imam
Malik berkata bahwa para sahabat menyusun al-Qur’an sesuai
dengan apa yang mereka dengar dari Nabi Saw dan penyusunan
surat-surat tersebut berdasarkan pendapat mereka.81
Pendapat ketiga yaitu yang mengatakan bahwa penyusunan
surat-surat al-Qur’an sebagiannya adalah tawqīfi dan sebagian
yang lain adalah ijtihadi para sahabat. Ulama yang berpendapat
seperti di atas, di antaranya adalah al-Qadi Abu Muhammad ibn
‘Atiyyah, al-Baihaqi dan Ibn Hajar al-Asqalani. Misalnya
pendapat al-Baihaqi dan Ibn Hajar yang sependapat mengatakan
bahwa penyusunan surat-surat al-Qur’an adalah tawqīfi kecuali
pada surah al-Anfal dan Bara’ah.82
Jika dicermati dari semua pendapat ulama tersebut bisa
disimpulkan bahwa tak seorang pun ulama yang menafikan
petunjuk penyusunan surat-surat al-Qur’an oleh Nabi Saw. Hanya
dua surat saja yang diragukan yaitu al-Anfal dan Bara’ah, itu pun
pada masalah apakah di antara kedua surah tersebut terdapat
basmalah atau tidak, sedangkan susunan al-Anfal lebih dahulu
disetujui oleh semua ulama. Landasan ini karena surat-surat
tersebut sudah dibaca berulang-ulang pada masa Nabi, seperti
sedang shalat. Istilah penyusunan surat seperti tawasin, hawamim
dan al-musabbahat sudah sangat populer dikalangan para
sahabat. Maka kemungkinan yang disebut dengan ijtihadi para
sahabat adalah mengenai penyusunan surat-surat al-Qur’an dalam
satu mushaf, Karena Nabi tidak pernah memerintahkan akan hal
tersebut, demikian juga dipaparkan oleh Lukmanul Hakim.83
Dijelaskan oleh Rachmat Safe’i bahwa terdapat dua aliran
mengenai apakah perlu ilmu munasabah ini dalam memahami al-
Qur’an ini:
1. Pihak yang mengatakan secara pasti tentang adanya pertalian
yang erat antar komponen al-Qur’an, seperti ayat dengan ayat
81 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam
Tafsir al-Maraghi, 32. 82 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam
Tafsir al-Maraghi, 32-38. Lihat Juga: Rosihon Anwar, Pengantar Ulum al-
Qur’an, 134. 83 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam
Tafsir al-Maraghi, 38-39.
35
dan surat dengan surat. Pihak yang mendukung pendapat ini
salah satunya adalah;
a. Izz Addin Ibn ‘Abd al-Salam (577-600 H) seperti
pendapatnya sebagaimana dikutip oleh Rachmat Safe’i
bahwa al-Qur’an diturunkan dalam masa lebih dari dua
puluh tahun, al-Qur’an memuat berbagai hukum dengan
sebab yang berbeda, maka apakah tidak ada peraturan satu
sama lainnya? 84
b. Fakhruddin al-Razi yang menyebutkan bahwa sebagian
besar keindahan al-Qur’an itu terletak pada tertib susunan
ayat dan surahnya, serta adanya keterikatan antara satu
dengan yang lainnya, demikian yang dikemukakan oleh al-
Suyutiy dalam kitabnya al-Itqan fi ‘Ulūm al-Qur’an.85
c. Muhammad Izah Darwazah menyebutkan sebagaimana
dikutip oleh Masyfuk Zuhdi bahwa semula orang mengira
tidak ada hubungan antara satu ayat dengan ayat lain, atau
antara satu surah dengan surah lain. Tetapi kemudian
ternyata bahwa sebagian besar antara satu ayat atau surah
dengan lainnya itu terdapat hubungan satu sama lainnya
demikian dijelaskan oleh Hamdani Anwar.
d. Al-Zarkasy menurut Hamdani Anwar, menjelaskan dalam
al-Burhān bahwa sebagian ulama muhaqqiqin menegaskan
bahwa orang yang menyatakan tidak harus ada munasabah
antara ayat-ayat al-Qur’an karena ayat-ayat tersebut
diturunkan sesuai dengan peristiwa yang mendahuluinya,
yang masing-masing terpisah dari yang lain adalah tidak
benar. Mereka berada dalam ketidak pastian karena al-
Qur’an merupakan wujud suhuf yang isinya sama persis
seperti yang terdapat di Lauh Mahfuz. Oleh sebab itu,
penting kiranya dicari setiap ayat, apakah ayat tersebut
merupakan penyempurnaan bagi ayat sebelumnya? Atau
berdiri sendiri? Jika berdiri sendiri maka dicari pula;
adakah segi munasabah dengan ayat sebelumnya?.
Demikian lah cara untuk melihat keterkaitan antara bagian-
bagian dari al-Qur’an tersebut.86
84 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 53. 85 Al-Suyuti, al-Itqān fi Ulumil Qur’an, 470. 86 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 148-150.
36
2. Pihak yang mengatakan bahwa tidak perlu adanya munasabah
dengan alasan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut saling
berlainan dan juga al-Qur’an disusun dan diturunkan serta
diberi hikmah secara tauqīfi dan tersusun atas petunjuk
Allah.87Di antara para ulama yang menganggap tidak perlu
adanya munasabah adalah;
a. Subhi Shalih memaparkan bahwa mencari hubungan antara
satu surah dengan surah yang lain merupakan perkara yang
sulit, bahkan nyaris seperti sesuatu yang dicari-cari tanpa
ada pedoman dan petunjuk kecuali hanya tertib surah yang
tauqifi. Padahal susunan surah yang tauqīfi tidak lah harus
memiliki hubungan satu bagian dan bagian lainnya.
Dilanjutkan oleh beliau bahwa yang masih mungkin adalah
biasanya setiap surah mempunyai topik atau tema
pembicaraan yang menonjol dan bersifat umum.
Berdasarkan tema tersebutlah kemudian tersusun bagian
surah atau ayat yang berhubungan. Meski begitu, kesamaan
topik yang ada pada tiap-tiap surah tersebut tidak lah berarti
ada kesamaan topik pada setiap surah al-Qur’an. Sementara
kesimpulan yang diambil oleh para ulama tafsir tidak
sampai sejauh itu, karena mereka hanya menunjukkan
adanya hubungan antara ayat terakhir dengan ayat pertama
dalam surah berikutnya. Seolah-olah hubungan kedua surah
tersebut terjadi langsung antara kedua ayat tersebut jika
tidak dipisahkan oleh basmalah. Dengan artian, hubungan
kedua surah tersebut tidak berarti adanya hubungan secara
keseluruhan, demikian yang dikutip oleh Hamdani Anwar.
b. Syaikh ‘Izzudin Abdissalam juga meyatakan sebagaimana
yang dikutip oleh Hamdani Anwar, bahwa Ilmu munasabah
itu sebenarnya ilmu yang baik dengan segala keindahan
hubungan yang dibicarakan tersebut. Namun ditambahkan
oleh beliau jika siapapun yang hanya mencari-cari
hubungannya, maka sebenarnya ia hanya membebani
dirinya dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya,
karena hasil yang ditemukan hanyalah hubungan yang
lemah dan sepintas, yang hanya menunjukkan kepada
keindahan susunan kalimat ketimbang hubungan yang
mempunyai arti lebih mendalam. Hal ini tidak lepas dari
87 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 53.
37
masa turunnya al-Qur’an dalam jangka waktu lebih dari 20
tahun, sehingga ayat-ayatnya membicarakan hukum yang
berbeda disertai dengan sebab turun yang berbeda pula.88
Pendapat di atas yang menolak adanya munasabah dengan
dalil bahwa ayat-ayat al-Qur’an turun dalam masa yang berbeda-
beda dan tidak mungkin ada kaitan antara uraian masa lalu dan
masa kemudian. Quraish Shihab membantah dan berkata bahwa
tidak sepenuhnya pendapat tersebut benar dengan alasan bahwa
karena setiap ayat yang turun, Rasul Saw menjelaskan kepada
penulis wahyu di mana ayat itu ditempatkan. Memang
penempatan sesuatu katakanlah seperti tamu undangan tidak
harus berdasar masa kehadirannya. Presiden yang datang paling
akhir menempati tempat paling depan. Yang mendampingi beliau
pun bisa berbeda antara satu acara dengan acara yang lain. Sekali
menteri ini dan menteri yang lain pada kesempatan lain sesuai
dengan acara yang diselenggarakan. Contoh lain yang
dikemukakan oleh Quraish Shihab bahwa Jika seseorang ditanya
tentang siapa saja saudara kandung anda maka anda dapat
memulainya dengan yang sulung atau urutannya dapat berbeda
sesuai tujuan anda menyampaikan jawaban. Jika maksud anda
hendak menjelaskan siapa yang paling pandai urutan
penyebutnya berbeda dengan jika maksud anda menjelakan siapa
yang paling butuh dibantu.89
Demikian lah sedikit dari sekian banyak pernyataan ulama
mengenai ilmu munasabah, ada yang setuju dan ada pula yang
kontra. Namun tetap harus diberikan apresiasi khusus bagi para
ulama yang telah memulai kajian ini sehingga bisa memudahkan
umat muslim dalam mempelajari kitab suci al-Qur’an, seringkali
ilmu munasabah ini sangat membantu dalam penafsiran al-Qur’an
dan melupakan ilmu ini sama sekali belum bisa juga dikatakan
sebuah langkah yang benar atau baik.
Dilanjutkan oleh Rachmat Safe’i bahwa terlepas dari dua
kelompok di atas, munasabah adalah sebuah ilmu yang tak
terpisahkan dari Ulum al-Qur’an.90 Hamdani Anwar dalam
bukunya Ulumul Qur’an menjelaskan bahwa menurut sebagian
ulama suatu pembicaraan itu akan tampak indah jika antara
88 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 150-151. 89 Quraish Shihab, Kaidah tafsir, 244-245. 90 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 53.
38
kalimat-kalimatnya saling terkait sehingga tidak kelihatan akan
adanya keterputusan atau keterpisahan antara satu kalimat dengan
kalimat lainnya.91
E. Manfaat Ilmu Munasabah
Dalam mendalami pemahaman tentang ayat-ayat al-Qur’an
maka mengetahui ilmu munasabah adalah sebuah keharusan.
Dengan mengetahui ilmu tersebut bisa memungkinkan untuk
memahami ayat-ayat tersebut dengan baik dan benar.
Adapun beberapa manfaat yang akan diraih jika mengetahui
ilmu munasabah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjadikan tema-tema dalam al-Qur’an yang tampak terpisah
menjadi satu kesatuan. Sehingga satu ayat atau satu surah
dengan lainnya menjadi saling terkait. Dari sini juga bisa
didapat sebuah pengertian bahwa ayat atau surah dengan yang
lainnya itu saling menguatkan ibarat seperti sebuah bangunan.
2. Ilmu munasabah bahkan bisa menjadi sebuah ilmu pengganti
ilmu asbab al-nuzul dalam memahami al-Qur’an. Ilmu
munasabah bisa menjadi sebuah peta bagi pembaca al-Qur’an
sehingga kelihatan arah yang sedang ia tempuh.92
3. Dari sisi balaghah, korelasi antara ayat dengan ayat
menjadikan keutuhan yang indah dalam tata bahasa al-Qur’an,
jika dipenggal maka keserasian, kehalusan keindahannya akan
hilang.93
4. Ilmu munasabah akan mempermudah dalam memahami dan
menafsirkan al-Qur’an sehingga mudah pula untuk mengambil
hukum maupun penjelasannya.94
91 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 150. 92 Hamdani Anwar, Ulumul Qur’an, 152-153. 93 M. Taqiyuddin, Ulumul Qur’an, cet. 1 (Bengkulu: LP2 Stain
Curup, 2010), 129. 94 Shalahuddin Hamid, Study Ulumul Qur’an, (Jakarta: PT Intimedia
Ciptanusantara, tt), 298.
39
BAB III
SURAH AL-NISᾹ’ DAN ASMA AL-HUSNA
A. Profil Surah Al-Nisā’
Nama surah al-Nisā’ sudah dikenal sejak masa Nabi Saw.
Nama lain dari surah ini adalah al-Nisā’ al-Kubra atau al-Nisā’
al-Tula. Di namai dengan surah al-Nisâ’ dari segi makna berarti
“perempuan” karena ia banyak membahas ketetapan hukum
tentang wanita seperti pernikahan, anak-anak wanita, kemudian
ditutup dengan ketentuan hukum tentang perempuan demikian
dijelaskan oleh al-Suyuti.1 Penjelasan yang sama dikemukakan
oleh al-Shabuni dalam tafsir Safwah al-Tafāsir2 dan Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Misbah.3
Surah al-Nisā’ adalah surah yang keempat dari susunan
Mushaf al-Qur’an.4 Al-Marāghi memaparkan bahwa surah ini
terdiri dari 176 ayat. Turun setelah surah al-Mumtahanah.5
Pendapat ini juga disetujui oleh Muhammad Izzat Darwazah
(1305-1404H) dalam kitab Tafsir al-Hadis6 dan Quraish Shihab
dalam Tafsir al-Misbah.7 Sekalipun para ulama sepakat jika surah
al-Nisā’ turun setelah surah al-Baqarah dan mayoritas ulama
mengatakan setelah surah ali Imran.8 Semua pendapat di atas bisa
disatukan jika melihat kitab Tafsīr al-Hadīts yang berisi susunan
surah al-Qur’an sesuai waktu turunnya maka akan didapati jika
surah al-Nisā’ berada setelah surah al-Baqarah, Al Imran dan al-
Mumtahanah.
1 Al-Suyuti, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 87. 2 Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafāsir, Jilid. I (Kairo: Dar Al-Shabuni,
1399 H), 249-250. 3 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 2, 393. 4 Jamaluddin Muhammad Syarif, al-Qiraah al-‘Asyirah al-
Mutawatirah min Thariq al-Syatibiiyah wa al-Dhurah, Cet. V (Darr al-
Shahabah, 2016), 77. 5 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 173. 6 M. Izzat Darwazah, Tafsīr al-Hadīts, Jilid. VI, Cet. I (kairo: Darr al-
Qarbu al-Islami, 200), 5. Tafsīr al-Hadīts adalah sebuah kitab tafsir yang
membahas ayat al-Qur’an dari segi turunnya. 7 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 2, 393. 8 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, jilid 13, 580.
40
Al-Marāghi menjelaskan bahwa surah al-Nisā’ termasuk
dalam kelompok surah Madaniyyah9berdasarkan sebuah riwayat
Imam Bukhari dari ‘Aisyah r.a yang pernah berkata:
ه عليه وسلم ما نزلت سورة النساء الا وانا عند رسول الل ه صلى الل Artinya: Surah al-Nisā’ tidak diturunkan kecuali aku selalu
berada di sisi Rasullullah Saw. 10
Al-Marāghi memahami hadis di atas jika Nabi Muhammad
membangun rumah tangga bersama ‘Aisyah r.a11setelah Hijrah ke
Madinah pada bulan kedelapan tepatnya bulan syawal tahun
pertama hijriah.12Pendapat ini juga disepakati oleh Ibn Katsīr13
dan al-Suyuti dalam tafsir mereka.14
Tujuan turun surah al-Nisā’ adalah mengenai persoalan
tauhid yang diuraikan dalam surah Al Imran, serta ketentuan yang
digariskan dalam surah al-Baqarah dalam rangka melaksanakan
ajaran agama yang telah terhimpun dalam surah al-Fatihah,
sambil mencegah kaum muslimin supaya tidak jatuh ke dalam
jurang perpecahan demikian papar al-Biqai.15
9 Surah Madaniyyah adalah surah yang turun setelah Rasulullah Saw
hijrah meski turunnya dikota Makkah seperti pada saat Fath Makkah, Haji
Wada’, dll. Lihat: Al-Suyuti, al-Itqān Fi ‘Ulūm al-Qur’an, 19. 10 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 473. 11 Nabi Saw menikahi Aisyah pada saat belum hijrah ke Madinah
bersamaan dengan perkawinan Nabi Saw dengan istrinya yang bernama
Saudah r.a. Aisyah r.a adalah putri dari Abu Bakar al-Shiddiq dari pasangan
Ummu Ruman binti ‘Amiral-Kinaniyah. Aisyah lahir pada tahun keempat
kenabian dan menikah dengan Nabi pada tahun kesepuluh kenabian, baru
hidup layaknya suami isteri pada tahun pertama hijrah di kala usianya
mencapai 12 tahun, demikian riwayat populer menurut Quraish Shihab. Lihat
M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw Dalam Sorotan al-
Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, Cet. IV (Ciputat: Lentera Hati, 2014), 526-
527. 12 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 473. 13 Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Azim, Jilid. II (Jepang: Maktabah
al-Walad al-Syaikh li al-Turas, 200), 331. 14 Al-Suyuti, Dur al-Mansyūr fi Tafsīr al-Ma’sūr, Jilid II (Libanon:
Darr al-Fikr, 2011) 15 Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim Umar Al-Biqai, Nazm al-Durār fi
Tanāsub al-Ᾱyah wa al-Suwār, Jilid 5, 169.
41
Al-Marāghi menjelaskan bahwa surah al-Nisā’ memiliki
munasabah dengan surah Al Imran sebagai berikut; 16
1. Kandungan surah Al Imran diakhiri dengan perintah untuk
bertakwa, dan ini menjadi awal pembicaraan dalam surah al-
Nisā’.
2. Dalam surah Al Imran diceritakan mengenai perang Uhud maka
dalam surah al-Nisā’ diuraikan kelanjutan peristiwa perang
tersebut:
يدون أن ه أركسهم بما كسبوا فما ل كم في ٱلمنفقين فئتين وٱلل أتر ه لن تجد لهۥ سبيلا تهدوا من أضل ٱلل ه ف ومن يضلل ٱلل
Artinya: Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua
golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik,
padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran,
disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu
bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang
telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah,
sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi
petunjuk) kepadanya.17
3. Dalam kedua surah ini sama-sama menjelaskan tentang
peperangan yang terjadi setelah perang Uhud yakni perang
Hamraul Asad pada tahun ke-3 Hijriah. Berikut bunyi
ayatnya;
سول من ب وٱلر ه ذين عد ما أصابهم ٱلقرح ٱل ذين ٱستجابوا لل ل لقوا أجر عظيم أحسنوا منهم وٱت
Artinya: (Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah
dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam
peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat
kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala
yang besar.18
ء ٱلقوم ولا ته هم يألمون كما نوا في ٱبتغا إن تكونوا تألمون فإن ه م تألمون وترج ه عليما حكيما ا لا يرجون ون من ٱلل وكان ٱلل
16 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 173. 17 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: ayat 88. 18 Lihat: QS. A-Nisā’ [4]: ayat 172.
42
Artinya: Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar
mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka
sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula),
sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap
dari pada Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan
adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.19
B. Tema-Tema Ayat Yang Dibahas Dalam Surah Al-Nisā’
Sebelum membahas surah al-Nisā’, al-Marāghi terlebih
dahulu menjelaskan kandungan surah al-Nisā’, seperti berikut ini;
1. Perintah agar bertakwa kepada Allah baik secara sembunyi
maupun terang-terangan.
2. Mengingatkan orang yang diajak bicara bahwa mereka
berasal satu jiwa.
3. Hukum-hukum pertalian kerabat dan bersemenda.
4. Hukum-hukum yang menyangkut masalah pernikahan dan
pembagian waris.
5. Hukum-hukum mengenai peperangan.
6. Sebagian berita yang menelanjangi perilaku orang-orang
munafik.
7. Pembicaraan dengan kaum ahli kitab sampai batas tiga ayat
sebelum akhir surat.20
Ali al-Sabūni menambahkan dalam tafsirnya mengenai
kandungan surah al-Nisā’, seperti:
1. hak-hak perempuan dan anak yatim (khususnya anak yatim
perempuan)
2. memuliakan kaum wanita, menjaga esensinya, mentaati
hukum-hukum yang telah Allah tetapkan atas mereka seperti
mahar, waris dan mempergauli mereka dengan sangat baik.
3. Bersikap toleransi, adil, amanah di dalam bermasyarakat dan
tidak bersikap nepotisme.
4. Mengatur hubungan umat muslim dan umat lainnya.21
Muhammad Izzat menjelaskan lebih detail tentang tema
yang dibahas dalam surah al-Nisā’ seperti: yang halal dan yang
haram dinikahi, ketentuan tentang waris, hak perorangan,
kewajiban manusia dalam menghormati yang lain, memelihara
19 Lihat: QS. Al-Nisâ’ [4]: ayat 104. 20 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 473. 21 Ali al-Shabuni, Safwah al-Tafāsir, jilid 1, 249-250.
43
hak orang yang lemah dan membantunya, tayamum, hukum
shalat dalam keadaan junub, larangan shalat dalam keadaan
mabuk, memperkuat keimanan tentang Nabi sebagai pemimpin
umat muslimin, menetapkan al-Qur’an dan sunnah sebagai
landasan utama ketika terjadi perselisihan dalam kehidupan,
memberikan kewenangan ijtihad kepada yang memiliki kapasitas
tentangnya, perintah untuk selalu waspada dan mempersiapkan
pertahanan menghadapi musuh, jihad membela orang-orang yang
terzalimi, menjaga persatuan sesama umat muslim, mengatur
politik umat Muslim dengan selainnya, hukum tentang
membunuh karena sengaja dan tidak sengaja, kaharusan
membantu umat manusia, tidak menjadikan jihad sebagai sarana
untuk meraih harta kekayaan, shalat khauf, kewajiban hakim
untuk selalu berlaku adil, menentang orang-orang munafik,
meningkatkan keimanan kepada semua Nabi dan Rasul,
penjelasan tentang pengutusan Rasulullah, penjelasan tentang
Nabi Isa a. s dan membantah anggapan kaum Yahudi dan Nasrani
dan menyeru semua manusia untuk menerima kebenaran Islam.22
Jika dilihat dari ketiga pendapat di atas maka dapat
disimpulkan jika al-Marāghi hanya menyebutkan kandungan
besar saja yang berbeda dengan Muhammad Izzat yang lebih
detail. Meskipun jika melihat dari makna surah maka pendapat al-
Sabūni lebih mewakili mengenai kandungan yang dimaksud
karena lebih banyak mengangkat tema perempuan. Misalnya awal
surah yang dimulai dengan bagaimana memperlakukan
perempuan yatim pada ayat 3;
ا تقسطوا في ٱليتمى فٱنكحوا ما طاب ل كم م ن أل وإن خفتم أو ما ا تعدلوا فوحدة أل بع فإن خفتم لث ور ء مثنى وث ٱلن سا
ا تعولوا مل كت أ يمنكم ذلك أدنى أل Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
22 Muhammad Izzat Darwazah, Tafsīr al-Hadīts, jilid 8, 7.
44
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.23
Kemudian surah al-Nisā ditutup dengan pembagian harta
warisan yang berbentuk kalalah, masih berkaitan dengan
perempuan;
إن ٱمرؤا هلك ليس لهۥ ولد ه يفتيكم في ٱلكللة يستفتونك قل ٱلل فإن ها ولد م يكن ل وهو يرثها إن ل لها نصف ما ترك ۥ أخت ف وله
ا ترك لثان مم لهما ٱلث ء كانتا ٱثنتين ف ر جالا ونسا وإن كانوا إخوة شيء ه بكل وا وٱلل ه ل كم أن تضل بي ن ٱلل ٱلأنثيين ي مثل حظ لذ كر ل ف
عليم Artinya: Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang
kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan
ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal.
Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara
laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu
tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.24
Melihat pembahasan awal dan penutup surah, maka dapat
disimpulkan jika surah al-Nisā’ sangat dominan berbicara tentang
perempuan sesuai dengan penamaan surahnya.
C. Pengertian Asma Al-Husna
Ungkapan sifat-sifat Allah di dalam al-Qur’an disebut
dengan al-Asma al-husna. Menurut penulis al-Mu’jam al-
Mufarras li Alfāz al-Qur’an al-Hakīm menyebutkan bahwa asma
23 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 3 24 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 176
45
al-husna diulang sebanyak empat kali di dalam al-Qur’an, 25 yaitu
terdapat pada surat al-A’raf [7]: 180;
ء ٱلحسنى فٱدعوه بها وذروا ٱل ذين ه ٱلأسما لحدون في أسمئهۦ ولل ي سيجزون ما كانوا يعملون
Artinya: Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang
dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti
mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.26
Kata asma al-husna juga terdapat dalam surah al-Isra;
حمن قل ٱدعوا ٱلل ه أو ٱدعوا ٱلر ا تدعوا ف ا م ء ٱلحسنى أي ٱلأسما له ولا تجهر بصلاتك ولا تخافت بها وٱبتغ بين ذلك سبيلا
Artinya: Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-
Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik)
dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu
dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan
tengah di antara kedua itu".27
Selanjutnya kata asma al-husna juga ditemukan dalam
surah Taha;
ؤا عليها وأهش بها على غنمي ولي فيها م رب أقال هي عصاي أتوك أخرى
Artinya; Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku
bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk
kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain
padanya".28
Terakhir kata asma al-husna terdapat dalam surah al-Hasyr;
25 Muhammad Fuad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufarras li Alfaz al-
Qur’an al-Hakīm, (Kairo: Dar al-Hadis, 2007), 249. 26 Lihat: QS. Al-A’raf [7]: 180 27 Lihat: QS. Al-Isra [7]: 110 28 Lihat: QS. Taha [7]: 180
46
ه ٱل ٱلل ء هو ٱلأسما له ا في يسب ح لهۥ م ٱلحسنى خلق ٱلبارئ ٱلمصو رموت وٱلأرض يز ٱلحكيم ٱلس وهو ٱلعز
Artinya: Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang
Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit
dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.29
Al-Marāghi menjelaskan bahwa Asma al-Husna adalah
nama yang menunjukkan arti yang terbaik dan sifat yang paling
sempurna, maka panggillah Dia dengan mengucapkan nama-
nama tersebut.30Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa
redaksi al-asma al-husna terdiri dari dua kata. Pertama: kata al-
Asma adalah bentuk jamak dari kata al-ism yang biasa diartikan
dengan nama. Sedangkan kata asalnya adalah as-sumuww yang
berarti ketinggian atau as-simah yang bermakna tanda. Karena
nama merupakan tanda sesuatu dan harus dijunjung tinggi. Allah
memiliki apa yang dinamai-Nya sendiri dengan al-Asma al-
Husna.31
Al-Marāghi memaparkan bahwa nama-nama Allah itu
banyak, yang semuanya indah-indah, agar tiap-tiap nama itu
menunjukkan betapa maha sempurnanya makna yang terkandung
padanya, dan bahwa tiap nama itu lebih dari sekedar nama yang
dinisbatkan kepada makhluknya seperti al-Rahmān, al-Hakīm,
dan lain-lain.32 Jumlah nama-nama Allah itu berjumlah 99 bentuk
seperti riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a, hadis nomor
2736;
ان لل ه تسعة الجنة ل ن أحصاها دخالا واحدا م وتسعين اسما مائة Artinya: Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh
sembilan nama yakni seratus kurang satu, siapa
menghitungnya maka ia masuk surga.33
Al-Tirmidzi meriwayatkan nama-nama Allah tersebut,
dalam hadis ke 3507;
29 Lihat: QS. Al-Hasyr [7]: 24 30 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 9, 216-217. 31 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, xxxvii. 32 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 9, 218. 33 Al-Bukhari, Sahih Bukhari, 557.
47
ب ثنا إ جور حد ثنا راهيم ب ن يع قوب ال ثنا صف وان ب ن صالح حد جاني حد عن ثنا شعي ب ب ن أبي حم زة لم حد أبي الز ناد عن ال وليد ب ن مس
ي رة قال م إن ال أع رج عن أبي هر ه علي ه وسل ه صل ى الل قال رسول الل ة ن ج صاها دخل ال ما مائة غي ر واحد من أح عة وتس عين اس ه تعالى تس لل
ه ال ذي لا إله الل لام هو وس الس ال ملك ال قد حيم من الر ح الر ا هو إل ار ال غف ال مصو ر الق ال بارئ خ ال ال متكب ر ار ب ج ال يز ال مؤ من ال مهي من ال عز
اح ال عليم ال قابض ال ب اق ال فت ز اب الر ار ال وه افع ال قه افض الر خ اسط ال ليم ح ال بير خ طيف ال ل الل حكم ال عد ال ميع ال بصير ال معز ال مذل الس ليل ج حسيب ال حفيظ ال مقيت ال كور ال علي ال كبير ال ال عظيم ال غفور الش
قيب ال مجيب الر يم كر ال ودود ال مجيد ال باعث ال حكيم ال واسع ال صي ال مب دئ ميد ال مح ح حق ال وكيل ال قوي ال متين ال ولي ال هيد ال الش مد وم ال واجد ال ماجد ال واحد الص حي ال قي يي ال مميت ال ال معيد ال مح
ال باطن ال والي ال ق اهر الظ ل ال آخر ال أو ال مؤخ ر م ال مقد تدر ال مق ادرلال ج ءوف مالك ال مل ك ذو ال اب ال من تقم ال عفو الر و ال متعالي ال بر الت
امع ال غني ال م ج سط ال ور وال إك رام ال مق افع الن ار الن غ ني ال مانع الض بور شيد الص ال هادي ال بديع ال باقي ال وارث الر
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin
Ya'qub al-Jurjani telah menceritakan kepada kami Safwan
bin Shalih telah menceritakan kepada kami al-Walid bin
Muslim telah menceritakan kepada kami Syu'aib bin Abu
Hamzah dari Abu al-Zinad dari al-A'raj dari Abu Hurairah
ia berkata; Rasulullah Saw bersabda: "Sesungguhnya Allah
Swt memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus
kurang satu. Barang siapa yang hafal, mengamalkan dan
membenarkannya akan masuk Surga. Yaitu; Allah yang
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia al-
Rahmān, al-Rahīm, al-Malīk, al-Quddūs, al-Salām, al-
48
Mukmīn, al-Muhaimin, al-'Azīz, al-Jabbar, al-Mutakabbir,
al-Khaliq, al-Bari-u, al-Mushawwir, al-Ghaffar, al-
Qahhar, al-Wahhab, al-Razzaq, al-Fattah, al-'Alīm, al-
Qabid, al-Basit, al-Khafid, al-Mu'īz, al-Muzill, al-Sami', al-
Bashīr, al-Hakam, al-'Adlu, al-Latīf, al-Khabīr, al-Halīm,
al-'Azīm, al-Qhafūr, al-Syakūr, al-'Aliyy, al-Kabīr, al-Hafiz,
al-Muqit, al-Hasīb, al-Jalīl, al-Karīm, al-Raqīb, al-Mujīb,
al-Wasi', al-Hakīm, al-Wadūd, al-Majīd, al-Ba'its, al-
Syahīd, al-Haqq, al-Wakīl, al-Qawiyy, al-Matīn, al-Waliyy,
al-Hamīd, al-Muhshi, al-Mubdi`, al-Mu'īd, al-Muhyi, al-
Mumīt, al-Hayy, al-Qayyum, al-Wajīd, al-Majīd, al-Wahīd,
al-Samad, al-Qadīr, al-Muqtadir, al-Muqaddim, al-
Muakhkhir, al-Awwal, al-Akhir, al-Zahīr, al-Batīn, al-Wali,
al-Muta'āli, al-Barr, al-Tawwab, al-Muntaqim, al-
Ghafuww, al-Rauf, Mālikul Mulk, Zul Jalāl wal Ikrām, al-
Muqsit, al-Jami', al-Ghani, al-Mani', al-Dharr, al-Nāfi', al-
Hādi, al-Badi', al-Bāqi, al-Warits, al-Rasyīd, al-Shabūr."34
Al-Tirmidzi (w 279H) mengomentari hadis di atas sebagai
hadis gharib. Telah menceritakan kepada kami dengan hadis
tersebut lebih dari satu orang dari Safwan bin Salih dan kami
tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Safwan bin Salih, dan ia
adalah orang yang tsiqah menurut ahli hadis. Hadits ini telah
diriwayatkan lebih dari satu jalur dari Abu Hurairah dari Nabi
Saw, dan kami tidak mengetahui kebanyakan riwayat-riwayat
tersebut memiliki sanad yang shahih yang menyebutkan nama-
nama kecuali hadits ini. Dan Adam bin Abu Iyas telah
meriwayatkan hadits ini dengan sanad selain ini dari Abu
Hurairah dari Nabi Saw, dan padanya ia menyebutkan nama-
nama tersebut, dan tidak memiliki sanad yang shahih.35
Komentar al-Marāghi mengenai hadis di atas adalah terjadi
perselisihan mengenai penyusunan nama-nama Allah tersebut.
Apakah marfu’ ataukah mudraj (disisipkan) saja dalam hadis oleh
sementara perawi. Al-Marāghi menyetujui pendapat kedua yang
mengatakan bahwa nama tersebut hanyalah sisipan sehingga
hadis ini tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim karena
hanya al-Walid sendiri yang meriwayatkannya dan dimungkinkan
34 Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
(kairo: Al-Quds, 2009), 219-220. 35 Muhammad bin Isa bin Surah al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi,
(kairo: Al-Quds, 2009), 219-220.
49
terjadi penyisipan sebagaimana dikatakan oleh al-Hafiz Ibnu
Hajar.36
Jika melihat dari riwayat al-Bukhari maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa nama Allah tersebut berjumlah 99 nama meski
secara penyusunannya masih terjadi perbedaan pendapat. Namun
asma al-husna pada ayat tersebut belum lah mencakup semua
asma al-husna yang ada, misalnya dalam al-Qur’an disebut salah
satu asma Allah dengan al-Nasīr, Allah Yang Maha Menolong.
Sehingga dapat disimpulkan jika maksud dari angka 99 dalam
hadis riwayat Imam al-Bukhari adalah sebagai gambaran bahwa
asma al-husna itu banyak jumlahnya.
Abdulrazzaq juga mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah37:
“Di dalam al-Qur’an penyebutan tentang nama, sifat dan
perbuatan Allah lebih banyak dari pada penyebutan tentang
makanan, minuman serta surga. Bahkan Rasul pernah bersabda
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam
shahihnya, terdapat dalam hadis yang ke 7375 dalam bab tauhid,
tentang hal ini:
بى عن عائشة ة -صلى الل ه عليه وسلم -أن الن ي بعث رجلا على سرا ه أحد ( فلم تم ب ) قل هو الل ته فيخ حابه فى صلا رأ لأص ، وكان يق
بى » فقال -صلى الل ه عليه وسلم -رجعوا ذكروا ذلك للن سلوه لأى نع ذلك ش ء يص من ، وأنا أحب « . ى ح ها صفة الر فسألوه فقال لأن
بى ه » -صلى الل ه عليه وسلم -أن أق رأ بها . فقال الن أخ بروه أن الل ه «يحب
Artinya: Dari Aisyah bahwa Nabi Saw pernah mengutus
seorang laki-laki dalam sebuah ekspedisi militer, lantas
laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam
shalatnya dengan Qul huwa al-Allah Ahad (Surah al-Ikhlas)
dan menutupnya juga dengan surat itu. Di kala mereka
pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi Saw,
Lantas Nabi Saw bersabda: tolong tanya dia, mengapa dia
berbuat demikian? Mereka pun menanyainya, dan sahabat
36 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 9, 221. 37 Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abbās Taqi al-Dīn Ahmad bin ‘Abd
al-Salām bin Abd Allah Ibn Taimiyah al-Harani, wafat 1328 M.
50
tadi menjawab, karena surat itu adalah menggambarkan
sifat al-Rahman, dan aku sangat menyukai membacanya.
Sepontan Nabi Saw bersabda: Beritahukanlah kepadanya
bahwa Allah menyukainya. (HR. Bukhari)38
Al-Marāghi memaparkan bahwa sangat banyak faedah dari
menyebut nama Allah seperti memberi makanan iman,
menyatakan rasa takut kepada Allah, menimbulkan rasa harap
hanya kepadanya, memandang enteng kepada segala penderitaan
di dunia dan agar tidak terlalu memperdulikan dengan
kenikmatan dunia yang tidak sempat diperoleh.39 Manfaat lain
dari mempelajari ilmu tentang asma al-husna adalah sebuah
usaha termulia yang dilakukan oleh setiap jiwa dan sebaik-baik
apa yang diraih oleh orang-orang yang memiliki kecerdasan akal
dan petunjuk. Bahkan ilmu ini merupakan puncak yang
diperebutkan oleh manusia dan akhir dari yang diperlombakan,
karena ilmu ini adalah pondasi jalan menuju Allah dan jalan yang
lurus dalam meraih kecintaan dan keridhaan-Nya. Sebagai
pondasi dari bangunan amal manusia maka sedikitnya dapat
terbagi dalam dua hal, Pertama: mengenal Allah, perintah, nama
serta sifat-sifatnya dengan baik. Kedua: tunduk dan patuh kepada
Allah dan rasul-Nya. Sehingga tidak mustahil jika ditemukan
hampir semua ayat al-Qur’an tidak terlepas dari penyebutan nama
dan sifat-Nya, demikian yang dikemukakan oleh Abdulrazzaq bin
Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr.40
1. Raqîban
Sifat Raqīban sebagai penutup ayat hanya terdapat pada
ayat pertama dalam surah al-Nisā’. Al-Marāghi memahami al-
Raqīb dengan Dzat Yang Mengawasi dari tempat yang tinggi.
Kata al-marqab yang memiliki akar yang sama dengan al-Raqīb
dipahami dengan nama tempat seseorang yang bertugas
mengawasi orang-orang yang ada di bawahnya.41Sedangkan Ibn
Faris dalam kitab Maqāyis al-Lughah menambahkan, kata Raqīb
38Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih Bukhari,
(Kairo: Dar al-Atrak), 1474. 39 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 9, 217. 40Abdulrazzaq bin Abdul Muhsin al-‘Abbad al-Badr, Fiqh Asma al-
Husna, diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib, Cet. 21 (Jakarta: Darus
Sunnah, 2018), 21-24. 41 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 174.
51
berasal dari perpaduan huruf ra’, qaf, dan ba’ yang memiliki
makna dasar tampil tegak lurus untuk memelihara sesuatu.
Sehingga pengawas disebut juga dengan Raqīb karena ia tampil
untuk memerhatikan dan mengawasi demi memelihara yang
diawasi.42
Lebih jauh, Imam al-Ghazali memahami Raqīb dengan
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Memelihara. Siapa yang
memelihara sesuatu, maka tidak akan lengah terhadapnya dan
memperhatikannya dengan perhatian berkesinambungan.
Sehingga menjadikan yang disaksikan, bila dilarang melakukan
sesuatu, tidak akan melakukannya, maka itulah yang dinamai
Raqīb.43 Namun Quraish Shihab menyebutkan bahwa pengawasan
ini bukan bertujuan mencari kesalahan atau menjerumuskan yang
diawasi. Karena itu, para malaikat pengawas yang menjalankan
tugasnya mencatat amal-amal manusia atas perintah Allah,
tidak/belum mencatat niat buruk seseorang sebelum niat itu
terwujudkan dalam bentuk perbuatan. Sebaliknya berbeda dengan
niat baik seseorang yang akan dicatat sebagai kebaikan walaupun
belum diwujudkan atau dilaksanakan.44
2. Hasīban
Sifat Hasīban sebagai penutup ayat dalam surah al-Nisā’
diulang sebanyak dua kali yaitu pada ayat 6 dan 86. Menurut al-
Marāghi al-Hasīb memiliki makna yang sama dengan al-Ragīb
yaitu Allah sebagai Yang Maha Mengawasi.45Sedangkan Ibn
Faris menyebut kata Hasīban yang akar katanya terdiri dari huruf
ha’, sin, dan ba’ mempunyai empat kisaran makna, yakni
menghitung, mencukupkan, bantal kecil dan penyakit yang
menimpa kulit sehingga memutih. Tentu saja dapat disimpulkan
bahwa makna ketiga dan keempat tidak layak disematkan atau
dikaitkan dengan Allah Swt. Kata Hasīb sering didahului dengan
42 Ahmad bin Faris bin Zakaria bin Muhammad bin Habib Abu
Husain al-Razi al-Qazwaini, Maqāyis al-Lughah, (Kairo: Dar al-Ifaq al-
Arabiyyah, 2017), 375. 43 Abi Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Maqsad al-
Asna (Syarh Ma’ani al-Asma al-Husna, Cet. I (Cyprus: Dar Ibn Hazm, 2003),
117. 44 M. Quraish Shihab, Menyingkap tabir Ilahi, 216. 45 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 190.
52
kata kafa yang berarti cukup sehingga bisa dipahami maknanya
menjadi Yang Memberi Kecukupan.46
Lain lagi dengan penjelasan Imam al-Ghazali yang
menyatakan bahwa makna al-Hasīb adalah “Dia yang mencukupi
siapa yang mengandalkannya”. Sifat ini tidak dapat disandang
kecuali Allah sendiri, karena hanya Allah saja yang dapat
mencukupi lagi diandalkan oleh setiap makhluk. Makna lainnya
adalah al-Hasīb sebagai Yang Maha Menghitung maka Allah
yang melakukan perhitungan amal baik dan buruk manusia secara
teliti dan amat cepat. Seseorang yang meyakini bahwa Allah
adalah al-Hasīb maka hidupnya akan tenteram, tidak terusik oleh
gangguan, tidak kecewa ketika kehilangan materi atau
kesempatan karena selalu merasa cukup dengan Allah. Jangan
pernah menduga bahwa bayi yang membutuhkan ibu yang
menyusukan dan memeliharanya, jangan pula menduga bahwa
bukan Allah yang mencukupinya karena Allah menciptakan
ibunya, serta air susu yang dihisapnya, Allah pula yang
mengilhami bayi tersebut untuk menghisap serta menciptakan
rasa kasih sayang di kalbu ibu kepadanya.47
3. ‘Alīman
Sifat ‘Aliman sebagai penutup ayat dalam surah al-Nisā’
diulang sebanyak 16 kali. Sifat ‘Alīman bediri sendiri terdapat
pada lima tempat yaitu ayat 33, 39, 70, 127 dan 176. Satu tempat
bergandengan dengan sifat Khabīran pada ayat 35, dengan sifat
Syākīran satu kali pada ayat 147 dan satu kali dengan sifat
Samīan pada ayat 148. ‘Alīman juga bergandengan dengan sifat
Hakīman pada 8 tempat yaitu pada ayat 11, 17, 24, 26, 92, 104,
111 dan 170.
Sifat ‘Alīman menurut Ibn Faris terambil dari kata ‘ilm
yang mempunyai makna menjangkau sesuatu sesuai dengan
keadaannya yang sebenarnya. Bahasa Arab menggunakan semua
kata yang tersusun dari huruf-huruf ‘ain, lām, dan mim dalam
berbagai bentuknya bermakna untuk menggambarkan sesuatu
yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan.48
46 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 226-227. 47 Al-Ghazali, Al-Maqsad Al-Asna, 113-116. 48 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 636.
53
Allah Swt dinamai al-‘Alīm karena pengetahuan-Nya yang
amat jelas sehingga terungkap bagi-Nya hal-hal sekecil apa pun.
Perbedaan ilmu Allah dan ilmu manusia adalah
1. Dalam hal objek pengetahuan. Allah mengetahui segala
sesuatu, manusia tidak mungkin dapat mendekati pengetahuan
Allah.
2. Kejelasan pengetahuan manusia tidak mungkin dapat
mencapai kejelasan ilmu Allah.
3. Ilmu Allah bukan hasil dari sesuatu tetapi melainkan sesuatu
itu lah yang merupakan hasil dari ilmu-Nya, sedangkan ilmu
manusia dihasilkan dari adanya sesuatu.
4. Ilmu Allah tidak berubah dengan berubahnya objek yang
diketahuinya.
5. Allah mengetahui tanpa menggunakan alat sedangkan manusia
meraih ilmunya dengan bantuan alat seperti pancainderanya.
6. Ilmu Allah kekal, tidak hilang dan tidak pula dilupakan-Nya.49
4. Hakīman
Sifat Hakīman bergandengan dengan sifat ‘Alīman dalam
surah al-Nisā’ yaitu pada 8 tempat, pada ayat 11, 17, 24, 26, 92,
104, 111 dan 170. Bergandengan dengan sifat ‘Azīzan pada ayat
56, 158 dan 165. Satu kesempatan bergandengan dengan sifat
Wāsī’an pada ayat 130. Sifat Hakīman terambil dari kata hakama,
kata ini menggunakan susunan huruf ha’, kāf dan mīm yang
maknanya berkisar pada menghalangi atau mencegah, seperti kata
“hikmah” yang terambil dari asal yang sama memiliki makna
mencegah dari kejahilan atau kebodohan, demikian dijelaskan
oleh Ibn Faris.50
Al-Hakam yang menjadi sifat Allah dengan makna bahwa
Dia yang melerai dan memutuskan kebenaran dari kebatilan,
menetapkan siapa yang taat dan siapa yang durhaka, serta
memberi balasan setimpal bagi setiap usaha, semuanya
berdasarkan ketetapan yang ditetapkannya. Dengan demikian
qada dan qadar–Nya dikandung oleh sifat al-Hakām. Bahkan
sifat-Nya ini menyangkut segala sesuatu di dunia dan di akhirat,
lahir dan batin, termasuk hukum-hukum syariat yang ditetapkan-
49 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 87. 50 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 240.
54
Nya, bahkan Dia adalah al-Hakām, sebelum Dia menetapkan
sesuatu.51
5. Halīmun
Sifat Halimun hanya sekali menjadi penutup ayat dalam
surah al-Nisā’ yaitu pada ayat 12.
Sifat Halīmun menurut Ibn Faris terambil dari akar kata
yang terdiri-dari huruf ha’, lām dan mīm mempunyai tiga makna
yaitu tidak bergegas, lubang karena kerusakan dan mimpi.52
Sedangkan Imam al-Ghazali menyatakan bahwa sifat al-Halīm
yang disandangkan kepada Allah sebagai Dia yang menyaksikan
kedurhakaan para pendurhaka, melihat pembangkangan mereka,
tetapi kemarahan tidak mengundangnya untuk bertindak, tidak
juga ia disentuh oleh kemurkaan atau didorong untuk bergegas
menjatuhkan sanksi—padahal ia amat mampu dan kuasa.
Manifestasi dari sifat Ilahi ini, tercermin dari penangguhan siksa
terhadap yang bergelimang dalam dosa, atau terhadap yang tak
mau tahu dan melecehkan tuntunan-Nya, walau demikian rezeki-
Nya tidak diputus buat mereka.53
6. Tawwāban
Sifat Tawwāban selalu bergandengan dengan sifat Rahīman
menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’ pada dua tempat yaitu
pada ayat 38 dan 39.
Menurut Ibn Faris Tawwāban yang akar katanya terdiri-dari
ta’, wauw dan ba maknanya cuma satu yaitu kembali.54 Kata ini
mengandung makna bahwa yang kembali pernah berada pada
satu posisi—baik tempat maupun kedudukan—kemudian
meninggalkan posisi itu, selanjutnya dengan kembali maka ia
menuju pada posisi semula. Yang dimaksud dengan Allah
sebagai al-Tawwāb adalah sebagai penerima taubat. Dijelaskan
oleh Imam al-Ghazali bahwa Dia (Allah) yang kembali berkali-
kali menunjukkan cara yang memudahkan taubat untuk hamba-
hamba-Nya, dengan jalan menampakkan tanda-tanda kebesaran-
Nya, menggiring kepada mereka peringatan-peringatan-Nya,
serta mengingatkan akan ancaman-ancaman-Nya sehingga bila
51 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 92. 52 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 241. 53 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 103-104. 54 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 144.
55
mereka telah sadar dengan perbuatan buruk yang mereka lakukan
dan merasa takut maka mereka akan kembali kepada Allah dan
Allah pun kembali kepada mereka dengan pengabulan.55
7. Rahīman
Sifat Rahīman menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada 11 tempat yaitu pada ayat 40 berdiri sendiri. Bergandengan
dengan sifat Tawwāban pada ayat 38 dan 39. Bergandengan
dengan sifat Ghafūran pada 8 tempat yaitu pada ayat 23, 25, 96,
100, 106, 110, 129 dan 152.
Sifat Rahīman menurut Ibn Faris berasal dari susunan ra,
ha dan mīm. Makna kata ini berkisar pada kasih sayang,
kehalusan dan kelemahlembutan.56 Sehingga silaturrahim adalah
hubungan kasih sayang. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa jika
kata al-Rahmān hanya khusu menunjuk Allah, sedangkan kata al-
Rahīm bisa disandang oleh Allah dan selain-Nya.57 Seringkali
didapati penyebutan al-Rahīm setelah al-Rahmān seperti dalam
surah al-Fatihah ayat 3, tujuannya menurut Quraish Shihab
adalah untuk menjelaskan bahwa anugerah Allah apa pun
bentuknya, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau
sesuatu yang mengandung pamrih, tetapi semata-mata lahir dari
sifat rahmat, Allah sebagai pencurah dan al-Rahīm, Allah sebagai
kasih sayang yang telah melekat pada diri-nya.58
8. Ghafūran
Sifat Ghafūran bergandengan dengan sifat Rahīman
menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’ pada 8 tempat yaitu
pada ayat 23, 25, 96, 100, 106, 129 dan 152 dan bergandengan
dengan sifat ‘Afuwwan pada dua tempat yaitu pada ayat 43 dan
99.
Sifat Ghafūr menurut Ibn Faris Ghafūran ditinjau dari akar
katanya yaitu ghafara yang berarti menutup, huruf asalnya adalah
huruf ghain, fa dan ra.59Perbedaan antara al-Ghaffar dan al-
Ghafūr adalah al-Ghaffar yang menutupi aib atau kesalahan di
dunia sedangkan al-Ghafūr menutupi aib di akhirat, demikian
55 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 139. 56 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 404. 57 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 84. 58 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 22. 59 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 741.
56
penjelasan perbedaannya menurut Ibnu al-Arabi sebagaimana
yang dikutip oleh Quraish Shihab.60
9. Syahīdan
Sifat Syahīdan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada tiga tempat yaitu pada ayat 33, 79 dan 166 yang berdiri
sendiri.
Dikemukakan Ibn Faris bahwa Syahīdan yang bermakna
Yang Maha Menyaksikan yang terambil dari akar kata yang
terdiri dari huruf-huruf syin, ha’, dan dal, yang makna dasarnya
berkisar pada kehadiran, pengetahuan, informasi dan kesaksian.61
Selain menunjukkan pada sifat Allah juga menunjukkan kepada
para nabi, malaikat pemelihara, umat Nabi Muhammad Saw yang
gugur di jalan Allah, yang menyaksikan kebenaran atas makhluk
Allah, teladan dan sekutu. Patron kata syahīd dapat berarti objek
yang bermakna disaksikan/teladan atau menjadi subjek sehingga
bermakna menyaksikan. Allah sebagai Syahīd berarti Dia hadir,
tidak gaib dari segala sesuatu serta menyaksikan segala sesuatu.
Pendapat dari Imam al-Ghazali yang menyebutkan bahwa sifat
Allah sebagai Syahīd adalah pengetahuan Allah mengenai hal-hal
yang nyata sedangkan untuk hal-hal yang ghaib Allah menyetahui
dengan sifat al-Khabīr-Nya, adapun sifat ‘Alīm bermakna
pengetahuan Allah mengenai hal ghaib dan nyata. Mereka yang
meneladani sifat ini maka mereka harus menyadari bahwa Allah
mengetahui segala yang tersembunyi dan segala yang
ditampakkan oleh makhluk-Nya.62
10. ‘Aliyyan
Sifat Aliyyan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 34 yang bergandengan dengan sifat Kabīran. Kata
‘Aliyyan tersusun dari huruf ‘ain, lām dan mu’tal ya’ atau wauw,
menunjuk pada makna ketinggian atau lawan dari kerendahan,
baik yang bersifat material maupun sebaliknya. Allah Maha
Tinggi karena tidak ada yang melebihi ketinggian kedudukannya
demikian yang diungkapkan oleh Ibn Faris.63
60 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 176-177. 61 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 494. 62 Al-Ghazali, Al-Maqsad Al-Asna, 126. 63 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 637.
57
Al-Ghazali berpendapat bahwa memang pada mulanya
manusia memahami ketinggian dari segi tempat, hal ini karena
dikaitkan dengan mata kepala tetapi dengan disadarinya bahwa
ada juga pandangan mata akal atau batin yang berbeda dengan
pandangan yang bersifat inderawi. Contoh dalam kehidupan
ketika seseorang mengembalikan keputusan kepada Allah maka
ia akan berkata “terserah yang di atas” sambil menunjuk ke
langit. Itu bukan berarti ia menunjuk kepada Tuhan karena Allah
ada di mana-mana, Allah Maha Tinggi maka tidak ada yang bisa
mencapai ketinggiannya kecuali diri-Nya sendiri.64
11. Kabīran
Sifat Kabīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 34 yang bergandengan dengan sifat Aliyyan. Sifat
Kabīran atau al-Kabīr yang tersusun dari huruf kaf, ba’ dan ra’
yang berarti antonim dari kecil papar Ibn Faris.65
Dijelaskan oleh al-Ghazali bahwa kebesaran adalah
kesempurnaan dzat, yang dimaksud dengan dzat adalah wujud-
Nya sehingga kesempurnaan Dzat-Nya adalah kesempurnaan
wujud-Nya. Kesempurnaan wujud ditandai dengan keabadian dan
sumber wujud. Allah kekal abadi, Dia awal yang tanpa
permualaan dan akhir yang tanpa akhir. Sifat al-Khabīr ini, juga
mencakup makna ketiadaan kebutuhan sehingga pada akhirnya
tiada yang maha besar kecuali Allah Swt.66
12. Khabīran
Sifat Khabīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada 3 tempat yaitu pada ayat 35, 94, 128, 135 dan yang
bergandengan dengan sifat ‘Alīman pada ayat 35. Menurut Ibn
Faris khabīran yang huruf asalnya adalah kha, ba dan ra
memiliki makna yang terkait dua hal yaitu ilmu dan kelembutan.
Menurut imam al-Ghazali Khabīr adalah yang tidak
tersembunyi bagi-Nya hal-hal yang sangat dalam dan yang
disembunyikan, serta tidak terjadi sesuatu pun dalam kerajaan-
Nya di dunia maupun di alam raya kecuali diketahui-Nya. Tidak
bergerak atau diam suatu benda, tidak bergejolaknya jiwa kecuali
ada beritanya di sisi-Nya.
64 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 106-108. 65 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 851. 66 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 109.
58
Quraish Shihab berpendapat jika Khabīr memiliki
perbedaan dengan kata ‘Alīm. Al-‘Alīm adalah yang mencakup
pengetahuan Allah tentang segala sesuatu dari sis-Nya,
sedangkan al-Khabīr adalah Dia yang pengetahuan-Nya
menjangkau sesuatu yang diketahui. Penekanannya terletak pada
sesuatu yang diketahui itu.67
13. ‘Afūwwan
Sifat Afuwwan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 149 bergandengan dengan sifat Qadīran dan yang
bergandengan dengan sifat Ghafūran pada ayat 43 dan 99.
Sifat ‘Afuwwan dalam penutup ayat di atas menurut al-
Marāghi adalah kelapangan dan kemudahan, sedangkan Ibn Faris
menjelaskna bahwa ‘Afuwwan terambil dari susunan huruf ‘ain,
fa’ dan wauw yang menunjukkan kepada dua hal yaitu
meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini lahirlah kata
‘Afwu yang berarti meninggalkan sanksi terhadap yang bersalah
(memaafkan). Jangan menduga bahwa pemaafan Allah hanya
tertuju kepada mereka yang bersalah secara tidak sengaja, atau
melakukan kesalahan karena tidak tahu. Juga jangan menduga
bahwa Dia selalu menunggu yang bersalah untuk meminta maaf.
Tidak! Sebelum manusia meminta maaf maka Allah sudah
memaafkannya, tidak hanya untuk orang-orang baik saja tetapi
Allah juga memaafkan mereka yang durhaka.68
Allah adalah al-‘Afuww yakni Dia yang menghapus
kesalahan hamba-hamba-Nya, serta memaafkan pelanggaran-
pelanggaran mereka. Imam al-Ghazali menyatakan bahwa
pemaafan Allah lebih tinggi dari maghfiī. Jika ghafūr bermakna
menutupi, yang berarti sesuatu yang ditutupi pada hakikatnya
tetap wujud hanya saja tidak terlihat sedangkan sesuatu yang
dihapus atau ‘afwu pasti hilang, kalaupun ada tersisa maka itu
hanyalah bekas-bekasnya saja. Pemaafan Allah terbuka bagi
semua makhluk-Nya.69 Dilanjutkan oleh Quraish Shihab bahwa
selama penelitiannya, ia belum menemukan perintah dalam al-
Qur’an untuk meminta maaf yang ada hanyalah perintah untuk
memberi maaf. Hal ini bukan berarti bahwa yang bersalah tidak
harus meminta maaf. Tetapi ia wajib meminta maaf kepada yang
67 Quraish Shihab, Menyingkap tabir Ilahi, 164. 68 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 615. 69 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 140.
59
telah ia sakiti, hal yang jauh lebih penting dari itu adalah
menuntun manusia agar berbudi luhur sehingga tidak menunggu
atau membiarkan yang bersalah datang mengeruhkan air
mukanya dengan suatu permintaan—walaupun permintaan itu
adalah pemaafan.70
14. Waliyyan
Sifat Waliyyan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 45, 123 dan 173 yang selalu bergandengan dengan sifat
Nasīran.
Waliyyan kata akarnya terdiri dari huruf wauw, lām dan ya’
makna dasarnya adalah dekat, demikian penjelasan Ibn
Faris.71Dari sini berkembanglah makna-makna baru seperti
pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, lebih utama,
dll, yang kesemuanya diikat oleh makna kedekatan. Kedekatan
Allah kepada makhluk-Nya dapat berarti pengetahuan tentang
mereka dan dapat juga berarti cinta, pembelaan dan bantuan-Nya.
Kesimpulannya adalah dukungan dan perlindungan positif dari
siapa pun, bersumber dari Allah dan atas izin-Nya, demikian
penjelasan al-Ghazali.72
15. ‘Azīzan
Sifat Azīzan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 56, 158 dan 165 yang selalu bergandengan dengan sifat
Hakīman. Ibn Faris menjelasakan bahwa‘Azīzan terambil dari
akar kata yang terdiri dari ‘ain dan zai yang maknanya adalah
kekukuhan, kekuatan dan kemantapan, tidak ada yang dapat
menandinginya dalam hal tersebut.73 Allah sebagai al-‘Azīz berarti
Yang Maha Mengalahkan siapa pun yang melawan-Nya dan
tidak terkalahkan oleh siapa pun. Ada tiga syarat bagi yang layak
menyandang sifat ini menurut al-Ghazali yaitu; a). Peranan yang
sangat penting lagi sedikit sekali wujud yang sama dengannya,
b). sangat dibutuhkan, c). sulit untuk diraih/disentuh.74
Dilanjutkan oleh Quraish Shihab bahwa Allah adalah wujud
yang paling al-‘Azīz/mulia karena tidak ada wujud yang sama
70 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 378-381. 71 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 1029. 72 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 141. 73 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 608. 74 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 73.
60
dengan-Nya. Jika kemuliaan adalah milik Allah maka Allah pula
yang menganugerahkannya kepada siapa yang dikehendakinya.
Ini berarti bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada
kekayaan atau kedudukan sosialnya, tetapi pada nilai
hubungannya dengan Allah.75
16. Samī’an
Sifat Samīan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 148 yang bergandengan dengan sifat ‘Alīman. Pada
ayat 58 dan 134 yang bergandengan dengan sifat Basīran.
Samī’an atau al-Samī’ yang terambil dari kata samī’an yang
bermakna mendengar. Ini dapat berarti menangkap suara/bunyi,
dapat juga berarti mengindahkan atau mengabulkan demikian
tutur Ibn Faris.76
Allah Maha Mendengar dalam arti tidak ada sesuatu pun
yang tidak dapat didengar, walau sangat halus, yang tidak
tertangkap oleh-Nya atau luput dari jangkauan-Nya. Dia
mendengar jejak semut hitam yang berjalan di atas batu yang
halus di malam yang gelap, bahkan Allah mendengar itu di
tengah sorak-sorai kebisingan yang memecahkan anak telinga
seluruh makhluk. Dia mendengar pujian yang memuji-Nya maka
diberinya ganjaran. Dia mendengar tanpa telinga, sebagaimana
halnya makhluk, Dia melakukan sesuatu tanpa anggota badan,
demikian dijelaskan oleh al-Ghazali.77 Diteruskan oleh Quraish
Shihab bahwa pada umumnya penyebutan sifat tersebut disertai
dengan sifat-Nya yang lain seperti ‘Alīm, Bashīr dan Qarīb.78
17. Basīran
Sifat Basīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 58 dan 134 yang keduanya bergandengan dengan sifat
Samī’an.
Sifat kedua yaitu Bashīran, Quraish Shihab mengemukakan
bahwa Basiran atau al-Basīr terambil dari akar kata bashara
yang tersusun dari huruf ba’ sad dan ra’ yang memiliki dua
makna, pertama ilmu atau pengetahuan tentang sesuatu dan
kedua kasar atau berarti batu (tetapi yang lunak dan mengandung
75 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 59-62. 76 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 448. 77 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 90. 78 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 140.
61
warna keputih-putihan. Salah satu kota di Iraq dinamakan dengan
Basrah karena sifat tanah dan batu-batunya demikian.79
18. Wakīlan
Sifat Wakīlan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 81, 123 dan 171 yang selalu berdiri sendiri. Kata
wakīlan terambil dari akar kata wakala yang pada dasarnya
bermakna pengandalan pihak lain tentag urusan yang
seharusnya ditangani oleh yang mengandalkan, demikian
penjelasan Ibnu Faris.80
Yang diwakilkan boleh jadi wajar untuk diandalkan karena
adanya sifat-sifat dan kemampuan yang dimiliki, sehingga yang
mengandalkannya menjadi tenang dan sebaliknya boleh jadi yang
diandalkan itu tidak sepenuhnya memiliki kemampuan, bahkan
dia sendiri pada dasarnya masih memerlukan pihak lain untuk
diandalkan. Allah adalah Wakīl yang paling dapat diandalkan
karena Dia Maha Kuasa atas segara sesuatu. Menjadikan Allah
sebagai Wakīl dengan makna yang digambarkan di atas berarti
menyerahkan kepada-Nya segala persoalan. Dialah yang
berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia
yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya. Satu hal yang
wajib disadari menurut Quraish Shihab adalah seperti halnya sifat
Rahmān dan Rahīm yang bisa disandang oleh manusia tetapi
sifat yang ada pada Allah berbeda dengan apa yang ada di dalam
diri manusia. Pada hakikatnya manusia mewakilkan kepada yang
Maha Kuasa yang memiliki pengetahuan yang jauh lebih banyak
dari pada manusia itu sendiri sehingga dengan pengetahuannya
yang diwakilkan tidak langsung menyetujui/membatalkan
tindakan dari yang mewakilkan karena Allah Maha Tahu dan
manusia tidak mengetahui.81
Jika manusia mewakilkan urusannya kepada Allah maka si
manusia tersebut masih diharuskan berusaha dan ini berbeda jika
mewakilkan kepada manusia biasa lainnya—yang mewakilkan
menyerahkan urusan sepenuhnya dan tidak terlibat lagi kepada
yang diwakilkan. Quraish Shihab menjelaskan bahwa seorang
muslim dituntut untuk berusaha, tetapi pada saat yang sama ia
79 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 144. 80 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 1027. 81 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 250-253.
62
dituntut pula untuk berserah diri kepada Allah. Anda boleh
berusaha dalam batas-batas yang dibenarkan disertai dengan
ambisi yang meluap-luap untuk meraih sesuatu, tetapi jika anda
gagal meraihnya maka jangan anda meronta atau berputus asa
serta melupakan anugerah Tuhan yang selama ini telah anda
capai.82
19. Muqītan
Sifat Muqītan menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 85 yang berdiri sendiri. Dijelaskan oleh Quraish Shihab
bahwa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai
makna kata tersebut sebagai sifat Allah. Ada yang memahaminya
sebagai Pemberi Rezeki sehingga memelihara jiwa raga
makhluknya—baik rezeki jasmani maupun rohaninya. Perbedaan
pada sifat Allah al-Razāq adalah bahwa sifat al-Muqīt terdapat
penekanan dalam sisi jaminan rezeki baik banyak maupun sedikit
sedangkan dengan sifat al-Razāq memiliki tekanan pada terulang
dan banyaknya penerima rezeki. Kemudian ada juga yang
memahami makna al-Muqīt sebagai Yang Maha Kuasa memberi
rezeki yang mencukupi makhluknya, pendapat ini
menggabungkan dua makna dari akar kata ini yaitu makanan dan
kekuasaan. Pendapat lainnya yaitu yang memahaminya sebagai
Yang Memelihara dan Menyaksikan karena siapa yang memberi
makan sesuatu, maka ia telah memeliharanya dari rasa lapar
sekaligus menyaksikannya.83
Kata ini menurut Imam al-Ghazali memiliki dua
kemungkinan arti. Pertama: Pencipta, Pemberi serta Pengantar
makanan ke jasmani dan rohani. Kata al-Razāq memiliki makna
rezeki secara umun seperti pakaian dan kedudukan sedangkan al-
Muqīt khusus pada makanan jasmani dan rohani. Kedua: Yang
Menggenggam, Menguasai, Lagi Mampu. Menguasai menuntut
adanya ilmu dan kuasa maka al-Muqīt mencakup keduanya—
Kuasa dan Ilmu.84
82 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 253-254. 83 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 200-202. 84 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 113.
63
20. Wāsī’an
Sifat Wāsian menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 130 yang bergandengan dengan sifat Hakīman.
Wasī’an terambil dari kata yang menggunakan huruf wauw, sin
dan ‘ain yang maknanya menurut Ibn Faris berkisar pada
antonym dari kesempitan dan kesulitan.85
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kata ini sekali
berkaitan dengan ilmu Ilahi yang meliputi segala sesuatu, dikali
lain berkaitan dengan limpahan karunia-Nya. Allah sebagai al-
Wasī’ dalam arti ilmu-Nya mencakup segala sesuatu dan rahmat-
Nya pun wasī’ dengan keaneka ragamannya. Yang luas dalam
ilmu tidak akan keliru, tidak juga salah bahkan memberi ilmu
melalui pencarian atau tanpa usaha. Yang luas dalam kekuasaan
tidak akan berlaku aniaya, tidak juga tergesa-gesa, bahkan akan
memberi kekuasaan.86
21. Ghaniyan Hamidan
Sifat Ghanīyyan Hamīdan menjadi penutup ayat dalam
surah al-Nisā’ pada ayat 131 yang keduanya bergandengan.
Menurut Ibn Faris Ghaniyyan terambil dari kata yang terdiri dari
huruf ghain, nun dan ya’ yang maknanya berkisar pada dua hal,
pertama yaitu kecukupan, baik menyangkut harta maupun
selainnya. Makna yang kedua adalah suara, dari sini lahir lah
kata mughanni dalam arti penarik suara atau penyanyi.87
Sedangkan Hamīdan yang asal katanya adalah ha, ma dan
dal memiliki makna antonim dari celaan.88Dalam bahasa al-
Qur’an kata “kekayaan” tidak selalu diartikan banyaknya harta
benda. Memperhatikan keadaan Rasul Saw sejak kecil hingga
kemudian berhasil mengislamkan jazirah Arab, sejarah tidak
menginformasikan bahwa suatu ketika beliau pernah memiliki
kekayaan yang melimpah, demikian diangkat oleh al-Ghazali.89
22. Qadīran
Sifat Qadīran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 133 berdiri sendiri dan bergandengan dengan ‘Afuwwan
85 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 1017. 86 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 119. 87 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 746. 88 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 243. 89 Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 144.
64
pada ayat 149. Ibn Faris menuturkan bahwa kata Qadīran akar
katanya terambil dari qaf, dal dan ra’, yang artinya adalah batas
akhir dari sesuatu. Bila dikatakan qadar maka itu berarti telah
dijelaskan batas akhir mutunya.90
Quraish Shihab menjelaskan bahwa sifat Qadīr yang
menunjuk kepada Allah semuanya dikemukakan dalam konteks
kecaman dan peringatan tentang kekuasaan Allah kepada yang
membangkang. Namun ada juga kata Qadīr yang menunjukkan
kepada manusia-manusia durhaka yang bermaksud menggunakan
kekuasaannya untuk menindas yang lemah serta menduga
kekuasaan dan kemampuannya dapat mengalahkan kekuasaan
Allah Swt.91
23. Syākiran
Sifat Syākiran menjadi penutup ayat dalam surah al-Nisā’
pada ayat 147 yang bergandengan dengan sifat ‘Alīman. Syakîran
terambil dari kata syakara yang maknanya berkisar antara lain
pada pujian atas kebaikan, serta penuhnya sesuatu, demikian
menurut Ibn Faris.92
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali bahwa dalam al-
Qur’an kata Syukur biasa dihadapkan dengan kata kufūr. Pakar-
pakar bahasa juga mengungkapkan bahwa tumbuhan yang
tumbuh walau dengan sedikit air dinamai dengan Syakūr. Dengan
demikian Allah yang bersifat al-Syakūr adalah Dia yang
mengembangkan walau sedikit dari amalam hamba-Nya dan
melipat gandakan ganjarannya.93
90 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 813. 91 Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi, 329-330. 92 Ibn Faris, Maqāyis al-Lughah, 489. 93 Iman al-Ghazali juga berpendapat bahwa Allah yang memberikan
balasan yang banyak terhadap pelaku kebaikan yang sedikit. Maka barang
siapa yang membalas kebajikan dengan berlipat ganda maka dia dinamai
mensyukuri kebajikan itu. Seorang sufi pernah bertanya kepada seseorang:
Bagaimana syukur menurut anda? Kalau kami memperoleh kenikmatan kami
memuji-Nya dan bila tidak kami bersabar. Sang sufi berkomentar: buat kami
tidak demikian, jika kami mendapat nikmat kami dahulukan orang lain atas
diri kami sehingga kami memberinya dan bila kami tidak mendapat nikmat
kami tetap bersyukur karena dalam petaka pun kami tidak luput dari nikmat-
Nya. Al-Ghazali, al-Maqsad al-Asna, 105-106.
65
BAB IV
AHMAD MUSTAFA AL-MARᾹGHI DAN TAFSIR AL-
MARᾹGHI
A. Riwayat Hidup Ahmad Mustafa Al-Marāghi
Nama lengkap dari al-Marāghi adalah Ahmad Mustafa bin
Muhammad bin Abdul Mun’im al-Marāghi, beliau lahir di wilayah
al-Marāgha sebuah perkampungan yang berada di pinggiran
sungai Nil, sekitar 70 km ke arah selatan kota Kairo di Mesir pada
tahun 1300 H/1883 M dan wafat pada tahun 1371 H/1952 M.
Selain ahli tafsir beliau juga merupakan seorang ahli fiqh.1Jika
melihat dari keluarganya maka dapat disimpulkan bahwa Ahmad
Mustafa al-Marāghi berasal dari keluarga ulama, hal ini berangkat
dari kenyataan bahwa lima dari delapan bersaudara, anak dari
Mustafa al-Marāghi adalah ulama besar yang cukup terkenal,
seperti;
1. Syeikh Muhammad Mustafa al-Marāghi (pernah menjadi
syeikh al-Azhar dua periode yaitu pada tahun 1928-1930 dan
1935-1945).
2. Syeikh Ahmad Mustafa al-Marāghi (Penulis Tafsir al-
Marāghi).
3. Syeikh Abdul Aziz al-Marāghi (Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas al-Azhar dan Imam Raja Faruq).
4. Syeikh Abdullah Mustafa al-Marāghi (Inspektur Umum pada
Universitas al-Azhar).
5. Syeikh Abdul Wafa Mustafa al-Marāghi (Sekretaris Badan
Penelitian dan Pengembangan Universitas al-Azhar).2
Empat dari anaknya pun adalah para hakim, seperti;
1. M. Aziz Ahmad al-Marāghi, Hakim di Kairo.
2. A. Hamid al-Marāghi, Hakim dan Penasehat Menteri
Kehakiman di Kairo.
3. Asim Ahmad al-Marāghi, Hakim di Kuwait dan Pengadilan
Tinggi di Kairo.
1Iyazi Muhammad Ali, al-Mufassirūn (hayātuhum wa manhājuhum),
(Taheran; 1414), 358. 2 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 179.
66
4. Ahmad Midhat al-Marāghi, Hakim di Pengadilan Tinggi Kairo
dan Wakil Menteri Kehakiman di Kairo.3
Al-Marāghi tumbuh besar bersama delapan saudaranya di
bawah naungan rumah tangga yang sarat akan pendidikan agama.
Beliau telah menghafal al-Qur’an pada usia 13 tahun dari
kampungnya dan yang menjadi guru pertamanya adalah ayahnya
sendiri, kemudian beliau melanjutkan menuntut ilmu di al-Azhar
dan Darul Ulum pada tahun 1314 H/1897 M-1909 M dan berguru
pada grand syeikh al-Azhar seperti Muhammad Abduh,
Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi, dll.
Guru-guru tersebutlah yang banyak mempengaruhi pemikiran al-
Marāghi dalam bidang keagamaan. Setelah selesai dari dua
universitas tersebut, al-Marāghi mulai mengabdikan diri di
beberapa madrasah. Tak lama berselang beliau diangkat menjadi
Direktur Madrasah Mu’allimim di Fayum, sebuah kota yang
terletak sekitar 300 KM arah barat daya kota Kairo.4
Tahun 1916-1920, beliau didaulat sebagai dosen tamu di
Fakultas Filail Universitas al-Azhar, di Khartoum, Sudan.
Selanjutnya beliau juga diangkat menjadi dosen Bahasa Arab di
Universitas Darul Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan
Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar.
Madrasah lainnya tempat ia mengabdi adalah Madrasah Usman
Basya di Kairo. Selanjutnya al-Marāghi menetap di kota satelit
bernama Hilwan, terletak sekitar 25 KM sebelah selatan Kota
Kairo hingga wafat dalam usia 69 tahun, 1371 H/1952 M. Nama
beliau diabadikan sebagai nama salah satu jalan di kota tersebut
berkat jasa-jasanya demikian yang ditulis oleh Saiful Amin
Ghofur.5
Dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah
yang ditulis oleh Muhammad Sa’id Mursi diungkapkan bahwa al-
Marāghi juga meraih sertifikat international pada tahun 1904 M
dan termasuk yang termuda pada levelnya. Beliau juga pernah
menjabat sebagai ketua pengadilan Syariah dan menjadi Hakim
Agung di Sudan. Pada Tahun 1928, beliau sempat terpilih sebagai
Syaikh al-Azhar meski setahun kemudian diturunkan oleh Perdana
3 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 179. 4 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008), 151-152. 5 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 151-152.
67
Menteri Muhammad Mahmud Basya melalui peraturan
pemerintah. Peraturan tersebut ditolak oleh dewan penasehat al-
Azhar dan mengangkat kembali al-Marāghi sebagai Syaik al-
Azhar. Langkah-langkah besar yang digaungkan oleh al-Marāghi
adalah memimpin gerakan dakwah yang menyuarakan pintu
ijtihad terbuka lebar dan penyatuan mazhab untuk menyatukan
umat dan mengurangi konflik antar pengikut mazhab.
Memperketat aturan Majelis Ulama dalam merekrut anggotanya.
Memonitor buku-buku yang menghujat Islam. Mengawasi kajian-
kajian peradaban Islam. 6
Dalam disertasinya, Lukmanul Hakim menyebutkan
beberapa bekas mahasiswa dari Mustafa Al-Marāghi seperti
Syeikh Ahmad Hasan al-Baquri, Syeikh Abdul Muhaimin Al-
Faqih, Dr. Ahmad al-Sinbat dan Dr. Fathi Usman. Selain itu, ada
juga beberapa mahasiswa yang berasal dari Indonesia seperti Prof.
Dr. H. Bustami Abdul Gani (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta), Prof. Dr. Mukhtar Yahya (Guru Besar UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta), H. Mastur Djahri, MA (UIN Antasari
Banjar Masin), H. Ibrahim Abdul Halim (UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta) dan H. Abdul Razaq al-Amudy (UIN Sunan Ampel
Surabaya).7
B. Karya Ahmad Mustafa Al-Marāghi
Al-Marāghi merupakan potret ulama yang mengabdikan
hampir seluruh waktunya untuk kepentingan ilmu, meski beliau
sangat sibuk mengajar namun beliau juga menyempatkan diri
untuk menulis.8
Sebagai seorang mufassir pada masanya tentu tidak
mengherankan jika beliau banyak menulis karya-karya
monumental. Dengan buku-buku yang telah berhasil beliau tulis
itu pula lah yang membuat namanya harum sampai saat ini
sehingga banyak para mahasiswa yang mengkaji pemikirannya
6 Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah (diterjemahkan oleh: Khoirul Amru Harahap, dkk), (Jakarta Timur,
Pustaka al-Kautsar, 2007), 389. Dalam buku ini disebutkan bahwa beliau lahir
pada tahun 1881 M. 7 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi,183. 8 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 152.
68
terutama dalam hal tafsir al-Qur’an. Berikut karya-karya yang
beliau tulis pada masa hidupnya9, yaitu;
1. Tafsir Al-Marāghi
2. Al-husbah fi al-Islam
3. Al-Wajiz fi al-Ushul al-Fiqh
4. ‘Ulum al-Balaghah
5. Muqaddimah al-Tafsir
6. Al-Diyanah wa al-Akhlaq
7. Tafsir Juz Tabarak
8. Tafsir Surah al-Hujarat
9. Al-Durus al-Diniyah
10. Al-Auliya wa al-Mahjurun (sebuah kitab dalam ilmu fiqih)
11. Hidayah al-Thalib
12. Al-Taudhih
13. Buhuts wa Ara fi Funun al-Balaghah
14. Tarikh ‘Ulum al-Balaghah wa Ta’rif bi Rijalihi
15. Mursyid al-Thullab
16. Al-Mujaz fi al-Adab al-Arabi
17. Al-Mujaz fi ‘Ulum al-Ushul
18. Syarh Tsalatsin Haditsan
19. Tafsir Juz Innama al-Sabil
20. Risalah fi Zaujat al-Nabi
21. Risalah Isbat Ru’yat al-Hilal fi Ramadhan
22. Al-Khutbah wa al-Khuthaba fi Daulah al-Umawiyah wa al-
Abbasiyah
23. Al-Muthala’ah al-Arabiyah li al-Madaris al-Sudaniyyah.10
C. Tafsir Al-Marāghi
1. Sejarah Penulisan Tafsir
Proses penulisan tafsir al-Marāghi ini memakan waktu
kurang lebih 10 tahun lamanya, sejak tahun 1940-1950 M. ketika
menulis tafsirnya ini al-Marāghi hanya beristirahat selama 4 jam
sehari, 20 jam ia habiskan untuk mengajar dan menulis. Ketika
malam telah bergeser pada paruh waktu terakhir kira-kita pukul
03:00, al-Marāghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajud dan
hajat. Dalam shalat ini lah ia memanjatkan doa agar diberikan
petunjuk oleh Allah Swt, kemudian melanjutkan kegiatan
9 Iyazi Muhammad Ali, Al-Mufassirūn, 358. 10 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 19.
69
menulisnya ayat demi ayat. Sepulang dari mengajar ia tidak
langsung istirahat melainkan melanjutkan agenda menulisnya
yang sempat terhenti.11
Al-Marāghi menulis kitab Tafsirnya ini dengan
menggunakan bahasa yang ringan dan mengalir lancar, pada
beberapa bagian penjelasannya cukup global namun di bagian
yang lain penjelasannya sangat mendetail, tergantung kondisi.
Beliau berusaha menyatukan riwayat dan penalaran logis sebagai
sumber utama dari tafsirnya. Tafsir ini beliau tulis dalam rangka
memenuhi tanggungjawabnya terhadap masyarakat yang
mengalami banyak masalah namun belum menemukan solusi yang
berdasarkan al-Qur’an maka muncul lah Tafsir al-Marāghi,
demikian penjelasan dari Saiful Amin Ghofur.12
Dalam Muqaddimah tafsirnya, al-Marāghi menyampaikan
alasan penulisan dari Tafsir al-Marāghi ini. Beliau menyampaikan
bahwa perhatian masyarakat terhadap cakrawala keagamaan
semakin meningkat hari demi hari, terutama dalam bidang tafsir
al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sehingga banyak bermunculan
pertanyaan kepada beliau mengenai masalah tafsir seperti tafsir
apakah yang paling mudah dan bermanfaat bagi para pembaca,
serta tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk
mempelajarinya.13
Al-Marāghi merasa kesulitan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan dari muridnya tersebut karena menurut beliau
meskipun kitab tafsir itu berusaha untuk menyingkap pemahaman
mengenai agama dan kepelikannya tetapi tafsir itu sendiri juga
sudah dirasuki oleh ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Balaghah, Nahwu,
Sharaf, Figh, Tauhid, dll. Semua ilmu itu terkadang malah menjadi
hambatan bagi para pembaca untuk memahami al-Qur’an melalui
kitab-kitab tafsir. Ditambah lagi dengan banyaknya ilustrasi
cerita-cerita yang bertentangan dengan fakta dan kebenaran
bahkan terkadang dengan akal dan fakta ilmu pengetahuan yang
bisa dipertanggungjawabkan.14
Meski begitu, ada juga kitab tafsir yang berusaha
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan fakta-fakta ilmiah—
meski tidak salah karena memang banyak juga ayat al-Qur’an yang
11 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 153. 12 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an, 153. 13 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 3. 14 Al-Marāghi, Tafsir all-Marāghi, jilid 1, 3.
70
menjelaskan tentang perlunya yang demikian. Bahayanya adalah
bahwa fakta ilmiah terkadang hanya berlaku pada masa tertentu
saja sedangkan al-Qur’an adalah mutlak kebenarannya sepanjang
waktu.15
Pada masa dulu, penulis tafsir meskipun dengan bahasa yang
rumit tetapi tetap menjadi kebanggaan tersendiri dari penulis
tersebut tetapi masa terus berkembang, penulisan tafsir dengan
bahasa yang rumit hanyalah menghasilkan pemborosan waktu,
padahal ilmu-ilmu yang lain juga harus dipelajari, tambah beliau.
Tak jarang juga hal itu membuat masyarakat merasa berat untuk
memahami kitab tafsir sehingga muncullah metode baru penulisan
tafsir sesuai dengan kebutuhan masyarakat yaitu penulisan tafsir
dengan bahasa yang ringan, penggunaan bahasa yang efektif dan
mudah dimengerti, disusun dengan sistematis, disamping tetap
mengemukakan fakta ilmiah sebagai penguat argumentasi dan
mengesampingkan cerita-cerita dari mufassir terdahulu yang
bertentangan dengan kebenaran.16
Kondisi politik pada masa hidup al-Marāghi sangat dinamis
dalam usaha dari masyarakat Mesir untuk terbebas dari negara
penjajah yaitu Inggris. Mesir yang sedang berevolusi dari negara
Islamis Mesir menjadi negara sekuler pada rentang tahun 1882-
1952.17
Tokoh-tokoh yang berperan penting bagi modernisme Islam
di Mesir adalah Jamaluddin al-Afgani (1839-1897) dan
Muhammad Abduh (1849-1905). Al-Afgani berusaha untuk
menyadarkan umat muslim Mesir dari dominasi bangsa Eropa dan
menantang penguasa-penguasa Muslim yang bersekongkol dengan
intervensi pihak kristen. Sebagai seorang filosof yang sangat
berpengaruh dan keberadaannya selalu dicurigai oleh pihak lawan.
Karir politiknya ibarat kutu loncat yang selalu berpindah dari satu
negara ke negara lain seperti India, Perancis, Inggris, Mesir,
Afganistan dan Istanbul tempat ia meninggal dunia.18
Misi modernisme menjadi berbeda ketika berada di tangan
Muhammad Abduh. Ketika diangkat menjadi mufti pada tahun
15 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 3. 16 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 4. 17 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 150. 18 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 152.
71
1889-1905 M, Abduh mengupayakan pada pemodrenan hukum
Islam dan perbaikan kurikulim al-Azhar dengan memasukkan
pelajaran sejarah dan geografi modern. Sebuah model yang
diterapkan oleh Abduh sebagai sebuah usaha bagi umat Islam
untuk memisahkan antara yang esensial dan nonesensial,
mempertahankan aspek fundamental dan meninggalkan aspek
aksidental juga menyatakan bahwa al-Qur’an dan hadis adalah
petunjuk Tuhan namun pemikiran adalah unsur utama mengenai
masalah yang tidak tercantum dalam keduanya.19
Jika al-Afgani menekankan kebutuhan pragmatis terhadap
solidaritas sosial sementara Abduh menegaskan pada tujuan yang
sama dengan titik tekan pada pendidikan hukum dan reformasi
spritual. Tokoh lain yang sangat berpengaruh adalah Mustafa
Kamil dengan gagasannya tentang kesatuan bangsa, semangat
politik, semangat kebencian terhadap pemerintahan asing,
pembentukan sebuah pemerintahan konstitusional dan pendidikan
model Barat.20
Kondisi politik Mesir yang demikian dinamis dan panas dari
tahun 1920-1950 M, karena belum terdistribusinya kemakmuran
dan keadilan secara merata. Kondisi ini pula lah yang mengilhami
para ilmuan Mesir untuk memberikan sumbangsih kepada
masyarakat Mesir untuk memajukan bangsa Mesir dan termasuk
juga lah di dalamnya Mustafa al-Marāghi dengan caranya sendiri
sesuai kapasitas keilmuannya. Masa kehidupan al-Marāghi juga
dipenuhi dengan tantangan dan peperangan besar seperti perang
dunia I dan II.21
Kondisi sosial budaya pada abad ke-20, tidak bisa lepas dari
akhir abad ke-19, karena pada masa ini lah titik awal dari proses
intelektual dan akademis menuju era kebebasan. Era kebebasan ini
adalah sebuah era rasionalisme dalam memahami sumber-sumber
ajaran Islam termasuk di dalam memahami al-Qur’an secara
19 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 153. 20 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 153. 21 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 154.
72
rasional. Semangat yang dibangun adalah semangat untuk
mengadakan ijtihad dan melepaskan diri dari belenggu taqklid.22
Nampaknya hal tersebut dipengaruhi juga oleh
perkembangan liberalisme yang terjadi di Turki dan dipelopori
oleh Mustafa Kemal al-Taturk. Muhammad Abduh pun membuka
sebuah terobosan baru dengan mendirikan sebuah institusi
pendidikan diluar al-Azhar yang diberi nama Madrasah al-Qada
al-Syar’iy, memiliki tujuan untuk memperkenalkan kepada calon
hakim tentang gagasan pemikiran Barat modern, namun tidak
mengabaikan sumber-sumber tradisional Islam ortodoks. Dari
madrasah ini pula banyak melahirkan tokoh-tokoh besar seperti
Qasim Amin dengan karyanya Tahrir al-Mar’ah (kebebasan
wanita) dan al-Mar’ah al-Jadidah. Ali Abdurraziq dengan buku
al-Islam wa Usul al-Hukmi (Islam dan Dasar-Dasar Pemerintahan)
salah satu pandangannya adalah bahwa kekhalifahan bukanlah
pengganti Nabi dan nabi tidak pernah membuat sebuah sistem
pemerintahan sendiri karena Nabi tidak pernah menjadi pemimpin
negara, demikian papar Amin al-Khuliy dan beberapa tokoh lain,
demikian pemaparan Lukmanul Hakim.23
Lukmanul Hakim melanjutkan jika mencermati masa
kebebasan berpikir tersebut maka setidaknya ada tiga buah
kecenderungan pemikiran islam yaitu golongan Islamis tokohnya
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, golongan sintesis dengan
tokohnya Qasim Amin dan Ali Abdurraziq dan golongan rasionalis
ilmiah dan liberal yang diwakili Lutfi Syayyid dengan pemikiran
bahwa kebebasan adalah sebuah basis dasar bagi masyarakat.24
Kondisi perkembangan penafsiran pada saat Tafsīr al-
Marāghi ditulis oleh al-Marāghi juga tumbuh subur pada rentang
waktu tersebut, misalnya Tafsīr al-Jawāhir fi Tafsīr al-Qur’an
karya Tantawi Jauhari dan al-Manār karya Rasyid Ridha, Fi Zilālil
Qur’an karya Sayyid Qutb, al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur’an al-
Karīm karya Bint al-Syati’ isteri dari Amin al-Khuli, dan tawaran
22 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 160. 23 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 160-164. 24 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 165-168.
73
tafsir maudhu’i oleh Mahmud Syaltut. Al-Marāghi adalah murid
dari Muhammad Abduh selain Muhammad Rasyid Ridha.25
Al-Marāghi memang tidak sepopuler Rasyid Ridha dalam
bidang pembaharuan namun tidak dalam bisang tafsir. Ide-ide
pembaharuan yang dikemukakan oleh al-Marāghi terilhami
langsung dari gurunya Muhammad Abduh, karena keduanya
memiliki kedekatan secara akademis. Dari uraian tersebut dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa al-Marāghi merupakan seorang
tokoh yang sangat dekat dengan sumber pembaharuan di Mesir,
karena beliau adalah murid dari Muhammad Abduh langsung
demikian paparan Lukmanul Hakim.26
Tafsir ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit al-Musthafa
al-Baby al-Halaby, Kairo tahun 1369 H/1950 M. Kemudian
diterbitkan kembali oleh Dar Ihya’ al-Turats al-Arabi, Bairut tahun
1985 M. Al-Marāghi berkata seperti yang dikutip oleh Husnul
Hakim bahwa jika akal fikiran mampu menyingkap proses awal
penciptaan manusia, maka akan lebih mudah untuk memahami
keniscayaan adanya hari kebangkitan. Sebab proses penciptaan
manusia sejatinya berasal dari bahan yang bermacam-macam yang
tersebar di alam raya. Misalnya, air mani berasal dari makanan
yang dikonsumsi oleh manusia, yang dikumpulkan oleh Allah ke
tempatnya masing-masing. Kemudian bapak ibu melakukan
hubungan, maka bertemu keduanya, yaitu air sperma dan sel telur
di satu tempat. Kemudian Dia menciptakan dari padanya seorang
anak.27
Kitab tafsir karya al-Marāghi adalah sebuah kitab tafsir yang
sangat mudah dipahami, memiliki sasaran yang jelas sesuai dengan
kebutuhan mereka yang membaca serta sesuai dengan
perkembangan zaman. 28
2. Metode Susunan Penulisan Tafsir Al-Marāghi Setiap mufassir pasti menggunakan cara tersendiri dalam
menyampaikan tafsirnya baik dari segi penulisan ataupun dari segi
25 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 168. 26 Lukmanul Hakim, Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalam Kitab
Tafsir al-Marāghi, 170-178. 27 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an, (Jakarta:
el-SiQ, 2013), 170-174. 28 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an, 175.
74
penggunaan bahasa sesuai dengan selera penulis. Muhammad
Mustafa al-Marāghi menggunakan metode sendiri dalam menulis
tasirnya, yaitu:
a. Menyampaikan ayat-ayat di awal pembahasan.
Ayat-ayat yang ingin ditasirkan dikumpulkan menjadi satu
sehingga ada yang terdiri dari satu, dua, tiga, atau lebih dalam satu
kelompok berdasarkan pengertian yang masih menyatu. 29
b. Penjelasan kata-kata.
Penulis tafsir kemudian menyertakan penjelasan kata-kata
yang sulit dalam ayat-ayat tersebut sehingga menjadi mudah
dipahami.30
c. Pengertian ayat secara global.
Beliau menyebutkan pengertian ayat yang telah
dikelompokkan secara global sehingga sebelum pembaca
memasuki tafsir ayat-ayat tersebut sudah memahami pengertian
secara global terlebih dahulu dan ini diharapkan bisa lebih
memudahkan para pembaca.31
d. Asbab Al-Nuzul.
Menyebutkan asbab al-nuzul jika ayat-ayat tersebut
memiliki asbab al-nuzul yang bersumber dari riwayat shahih dan
dari hadis yang menjadi pegangan para mufassir.32
e. Mengesampingkan istilah-istilah yang berhubungan dengan
kebahasaan.
Dalam tafsir ini beliau menjelaskan bahwa gaya
penulisannya sengaja mengesampingkan istilah-istilah yang
berhubungan dengan ilmu kebahasaan. Misalnya Ilmu Saraf,
Nahmu, Balaghah dan lainnya. Hal ini berdasarkan pengamatan
beliau bahwa masuknya istilah ilmu-ilmu tersebut yang memang
sudah biasa ditengah penulisan tafsir tetapi malah menjadi
penghambat bagi para pembaca sehingga perlu mencari solusi
baru. Para pembaca kitab tafsir banyak yang tidak mendapatkan
jawaban apa yang dicarinya karena lebih dahulu menghabiskan
banyak waktu untuk memahami istilah-istilah tersebut.33
29 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 15. 30 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 15. 31 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 15. 32 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 16. 33 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 16.
75
f. Gaya Bahasa
Di dasari dengan kenyataan mengenai tafsir-tafsir terdahulu
yang disusun dengan gaya bahasa yang sesuai dengan para
pembaca saat itu. Mereka sudah pasti sangat mengerti dengan
bahasa yang digunakan pada masanya. Sehingga banyak para
mufassir yang menyajikan tafsirannya dengan ringkas.34
Pergantian masa selalu diwarnai dengan ciri-ciri tertentu,
baik dalam bidang bahasa, tingkah laku, kerangka berpikir
masyarakat, sehingga sudah menjadi kewajiban pula bagi para
mufassir untuk menyajikan dengan mempertimbangkan kondisi
masyarakatnya. Tafsir al-Marāghi pun berusaha menjadi jawaban
terhadap masalah tersebut sehingga lahirlah sebuah tafsir yang
mudah dicerna oleh para pembaca saat ini pula. Hal yang tak kalah
penting adalah al-Marāghi selalu mengaitkan hasil pemikiran
dengan ilmu pengetahuan dalam sebuah pendapat. Beliau banyak
sekali melakukan konsultasi dengan para dokter medis, astronom,
sejarawan untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka sesuai
ahlinya mereka masing-masing. Nilai positif lainnya menurut al-
Marāghi adalah dengan adanya diskusi tersebut sehingga beliau
bisa melihat perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Dengan
mendiskusikan pemahaman yang membutuhkan ilmu lain sangat
penting supaya bisa meraih pemahaman yang orisinil dan otentik.35
g. Pesatnya sarana komunikasi di masa modern.
Al-Marāghi menjelaskan bahwa pada masa sekarang ini,
para pembaca atau masyarakat memiliki cara dan kecenderungan
tersendiri seperti pemilihan gaya bahasa sederhana yang dapat
dimengerti maksud dan tujuannya, terutama ketika bahasa
digunakan sebagai alat komunikasi sehingga melahirkan kejelasan
pengertian. Al-Marāghi melanjutkan bahwa sebelum menulis kitab
tafsir ini, beliau lebih dahulu membaca hampir seluruh kitab tafsir
dan memahaminya kemudian meyajikannya dengan bahasa yang
sederhana sehingga bisa dipahami oleh para pembaca.36
Alasan al-Marāghi menggunakan cara baru, yang tidak
digunakan oleh para penafsir sebelumnya berangkat dari
kenyataan bahwa kebanyakan orang enggan untuk membaca kitab
tafsir yang sudah ada ditangannya karena kitab-kitab tafsir tersebut
sulit untuk dipahami, dan dicampuri pula oleh istilah-istilah yang
34 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17. 35 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17. 36 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17.
76
hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang membidangi ilmu
tersebut. Dengan adanya tafsir ini, Al-Marāghi mengharapkan
bahwa banyak para pembaca yang tertarik untuk memahami
rahasia-rahasia yang terkandung dalam Al-Qur’an tanpa harus
menghabiskan banyak energi dalam memahaminya.37
h. Seleksi terhadap kisah-kisah yang ada dalam kitab tafsir
Al-Marāghi menjelaskan bahwa kebanyakan mufassir
terdahulu menyampaikan sejarah umat-umat terdahulu sebelum
kenabian Nabi Muhammad Saw yang tertimpa azab Allah adalah
akibat perbuatan dosa dan noda. Para mufassir juga
menggambarkan bagaimana proses kejadian langit dan bumi
padahal bangsa Arab ketika itu belum ada yang berkemampuan
untuk memberikan interpretasi terhadap masalah-masalah umum
seperti yang disiggung oleh al-Qur’an karena mereka adalah kaum
yang hidup secara terisolasi di gurun sahara, jauh dari informasi—
bahkan kebanyakan mereka masih buta huruf.38
Dijelaskan oleh al-Marāghi bahwa sudah menjadi fitrah
manusia yang selalu ingin mengetahui hal-hal yang masih samar,
sehingga berupaya menafsirkan hal-hal yang masih dianggap sulit
untuk dipahami. Terdesak dengan kebutuhan tersebut, mereka
justru mengidentifikasi masalah-masalah tersebut kepada ahli
kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani. Lebih-lebih
kepada ahli kitab yang sudah memeluk agama Islam seperti
Abdullah bin Salam, Kaab bin al-Ahbar dan wahab bin munabbih.
Mereka bertiga menceritakan kepada umat Islam mengenai kisah
yang dianggap sebagai tafsiran dari ayat-ayat al-Qur’an yang sulit
dipahami.39
Husnul Hakim menjelaskan bahwa karakteristik dari kitab
Tafsīr Al-Marāghi adalah berusaha menghindar dari riwayat yang
tidak jelas kesahihannya atau bertentangan dengan ilmu
pengetahuan.40
i. Jumlah Juz tafsir al-Marāghi.
Kitab tafsir ini ditulis oleh al-Marāghi dalam 30 jilid. Setiap
jilid terdiri-dari satu juz al-Qur’an. Hal ini agar memudahkan para
pembaca, di samping mudah juga dibawa ke mana-mana, baik
37 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 17. 38 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 18. 39 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 18. 40 Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an, 172.
77
ketika berada di satu tempat atau dilain tempat. Munculnya kitab
tafsir ini dimulai pada tahun baru hijriyah 1365 H.41
Sesuai dengan tujuan penulisan dari kitab tafsir ini yaitu
usaha penulis memenuhi kewajibannya terhadap kitabullah dengan
cara mengupas masalah-masalah yang rumit dan menyingkap
berbagai rahasia yang terdapat di dalamnya dengan bahasa yang
mudah dipahami oleh masyarakat umum yang ingin mempelajari
al-Qur’an dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
3. Rujukan Tafsir al-Marāghi
Dalam menulis tafsirnya, ada beberapa kitab yang menjadi
rujukan utama al-Marāghi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
seperti yang ditulis di Muqaddimah Tafsirnya:42
1. Tafsīr Abi Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Tabari (w. 310 H)
2. Abul Qasim Jarullah al-Zamakhsyari (w. 538 H), Tafsir al-
Kasysyaf al-Haqaiqit-Tanzil.
3. Hasyiah Syarafuddin al-Hasan Ibnu Muhammad al-Tiby (w.
713 H). Hasyiah ini membahas Tafsir al-Kasysyaf.
4. Qadhi Nashiruddin Abdullah Ibnu Umar al-Baidawy (w. 692
H) Anwārul al-Tanzil.
5. Al-Raqib al-Asfani (w. 500 H). Tafsir Abil-Qasim al-Husain
Ibnu Muhammad.
6. Imam Abil Hasan al-Wahidi al-Naisabury (w. 468 H). Tafsir
al-Basit.
7. Imam Fakhruddin al-Razy (w. 610 H). Mafātih al-Gaib.
8. Kitab Tafsir Karya al-Hasain Ibnu Mas’ud al-Baqawy (w. 516
H).
9. Nizamuddin Al-Hasan Ibnu Muhammad al-Qummy.
Ghara’ibul Qur’an.
10. Al-Hafiz ‘Imaduddin Abil-Fida Ismail Ibnu Kasir al-Qurasyi
al-Damasyqy (w. 774 H). Tafsir Ibnu Katsir.
11. Asiruddin Abi Hayyan Muhammad Ibnu Yusuf al-Andalusy
(w. 745 H). Bahru al-Muhit.
12. Burhanuddin Ibrahim Ibnu Umar al-Biqa’iy (w. 885 H). Tafsir
Nazhmu al-Durar fi Tanasubil Ayi wa al-Suwar.
13. Tafsir Abi Muslim al-Ashfahany (w. 495 H).
14. Tafsir al-Qadi Abi Bakar al-Baqilany.
41 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 19. 42 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 1, 20-21.
78
15. Tafsir al-Katib al-Syarbiny, yang diberi nama al-Sijar al-
Munir.
16. Al-Allusy, Ruh al-Ma’any.
17. Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar.
18. Tantawi Jauhari, Tafsir al-Jawahir.
19. Sirah Ibnu Hisyam.
20. Imam al-Bukhari, Kitab Syarah al-Alamah Ibnu Hajar.
21. Imam al-Bukhari, Kitab Syarah al-Alamah al-Aini.
22. Fairuszabadi (w. 816 H). Syarah al-Qamus.
23. Ibnu Mansur al-Afriqy (w. 711 H). Lisan al-Arab.
24. Imam al-Zamakhsyari, Kitab Asas al-Balagah.
25. Diya’ al-Maqdisy, al-Hadis al-Mukhtarah.
26. Imam al-Subuki, Tabaqat al-Syafi’iyyah.
27. Ibnu Hajar, Kitab al-Zawajir.
28. Imam Al-Subuki, I’lam al-Muwaqqi’in.
29. Al-Alamah al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an.
30. Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun.
4. Metodologi dan Corak Tafsir Al-Marāghi
Anshori menjelaskan bahwa corak tafsir bisa diartikan
sebagai kecenderungan atau spesifikasi keilmuan seorang
mufassir. Hal ini karena para mufassir memiliki latar belakang
pendidikan, lingkungan bahkan akidah yang berbeda. Misalnya
jika seorang mufassir itu adalah seorang ahli bahasa maka sudah
tentu kemungkinan besar ia akan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan pendekatan analisis kebahasaan atau corak lughawi.43
Muhammad Amin Suma dalam bukunya Ulumul Qur’an
menyebutkan bahwa Tafsir al-Marāghi bercorak
ahkam/fiqhi.44Meski jika melihat cara penafsirannya langsung
maka tafsir ini bercorak al-Adabi al-Ijtima’i, hal ini juga disetujui
43 Anshori, Ulumul Qur’an, 21. 44 Corak tafsir dengan corak fiqhi yang kemudian lebih populer dengan
sebutan tafsir ayat al-ahkam adalah sebuah tafsir yang beriontasi pada ayat-ayat
hukum dalam al-Qur’an. Keberadaam tafsir dengan corak ini sepakat diterima
oleh semua ulama tafsir, berbeda dengan corak ilmi dan falsafi. Tafsir seperti
ini sudah memiliki usia yang sudah sangat tua karena lahir seiring dengan
lahirnya tafsir al-Qur’an pada umumnya, demikian dijelaskan oleh Muhammad
Amin Suma. Lihat Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, 399.
79
oleh Fitrotin di dalam jurnal al-Furqan.45 Corak ini bisa kita lihat
ketika menafsirkan ayat berikut;
ما ٱلر جال قو ه بعضهم على بعض وب ل ٱلل ما فض ء ب مون على ٱلن سام ه من أمول أنفقوا ظت ل تت حف حت قن ل فٱلص ما لغيب ب
ه ظ ٱلل حف ظوهن وٱهجروهن ف يوٱل تي تخافون نشوزهن فعبوهن ي فإن أطعنكم فلا ٱلمضاجع وٱضر ن سب ه لاتبغوا عليه إن ٱلل
يرا ا كب ي كان علArtinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang
taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-
wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.46
Allah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan
perempuan dengan tugasnya masing-masing. Dalam pembuka ayat
di atas, al-Marāghi menjelaskan bahwa di antara tugas kaum laki-
laki adalah memimpin kaum wanita sehingga laki-laki diwajibkan
berperang sebagai bentuk perlindungan sementara wanita tidak
dan laki-laki mendapat bagian dari harta pusaka lebih besar dari
perempuan karena berkewajiban memberi nafkah. Kewajiban
tersebut khusus bagi laki-laki karena Allah memberi kekuatan dan
kemampuan memberi nafkah yang tidak diberikan kepada kaum
perempuan. Mahar sebagai suatu pengganti bagi kaum wanita atas
kepemimpinan laki-laki yang diungkap dengan lafadz al-qiyam
dengan maksud orang yang bertindak sesuai dengan kehendak
pemimpin atau dengan makna lain, bimbingan dan pengawasan di
45 Fitrotin, Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa
al-Marāghi Dalam Kitab Tafsir al-Marāghi, Vol 1, 117. 46 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 34
80
dalam melaksanakan apa-apa yang ditunjukkan oleh suami, seperti
menjaga rumah dan menentukan nafkah di dalam rumah.47
Kandungan selanjutnya adalah mengenai tatacara
memperlakukan isteri dalam berbagai kondisi yang dibagi oleh al-
Marāghi dalam dua perkara. Pertama: wanita shalihah yaitu yang
taat kepada suami dan menjaga hubungan-hubungan yang biasa
berlaku di antara mereka ketika bersama juga urusan-urusan
khusus yang berkenaan dengan suami isteri. Wanita shalihah
menurut al-Marāghi selain yang disebutkan di atas adalah mereka
yang tidak mengizinkan seorang laki-laki pun untuk melihat
kepadanya meski ia hanya kerabat. Hendaknya ia memelihara
kehormatan dari jamahan tangan, pandangan mata, atau
pendengaran telingan yang khianat. Dalam pembuka ayat di atas
juga terdapat nasehat yang sangat agung supaya wanita terus
menjaga rahasia-rahasia suami-isteri. Terhadap wanita seperti ini,
maka suami tidak mempunyai kekuasaan untuk mendidiknya
karena tidak ada hal yang mengharuskan.48
Kedua: wanita-wanita yang dikawatirkan akan bersikap
sombong dan tidak menjalankan hak-hak suami isteri menurut cara
yang kalian ridhai maka lakukanlah dengan cara berikut;
1. Memberi nasehat yang dapat menyentuh hati mereka.
2. Memisahkan diri dari tempat tidur dengan sikap berpaling,
sehingga isteri menyadari dengan perubahan suaminya.
3. Suami boleh memukul dengan syarat tidak mencederai.
Langkah di atas hendaknya dilakukan secara bertahap. Al-
Marāghi mengkritik sikap umat muslim dewasa ini yang mengikuti
tradisi Prancis yang enggan menerima syariat memukul isteri yang
berbuat nusyuz, namun perbuatan nusyuz tidak pula mereka sukai
dari isterinya. Dalam kondisi seperti ini, suami sebenarnya sebagai
kepala keluarga diinjak dan telah dipimpin. Nasehat pun sudah
tidak memberi pengaruh di dalam jiwa isterinya. Padahal orang
Perancis sendiri memukul isteri mereka yang berpendidikan dan
terpelajar, perbuatan tersebut juga dilakukan oleh orang-orang
yang bijaksana, kaum cendekia dan para raja. Memukul isteri pada
kondisi yang mengharuskan adalah anjuran agama yang sangat
penting bagi masyarakat sebagai langkah terakhir.49
47 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 27. 48 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 27-39. 49 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 29-30.
81
Catatan penting menurut al-Marāghi adalah jika salah satu
cara tersebut bisa membuat perempuan taat maka jangan pula
berbuat aniaya dan melampaui batas.50
Contoh lainnya yang menggambarkan corak penafsiran al-
Adabi al-Ijtima’I dalam Tafsir al-Marāghi. yaitu pada ayat
berikut;
ه كان على وها إن ٱلل أحسن منها أو رد وا ب ي ة فح ي تح يتم ب وإذا حي شيء حسيبا كل
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu
dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu.51
Al-Marāghi menjelaskan kandungan pembuka ayat di atas
terkait ajaran Allah terkait hubungan antar manusia dalam bentuk
memberikan ucapan selamat. Apabila seseorang mengucapkan
selamat kepada kalian dengan suatu ucapan selamat maka balaslah
dengan ucapan yang serupa atau yang lebih baik, seperti misal jika
ada yang mengucapkan Assalāmu’alaikum, ucapkanlah
Wa’alaikum al-salam atau ditambah wa rahmatullah.52Hal ini juga
disepakati oleh Muhammad Abduh, namun Muhammad Abduh
menyebutkan, bentuk ucapan tersebut sangat banyak seperti
as’ada Allah sabāhukum wa masā’ukum kemudian dijawab
dengan as’ada Allah jami’a auqātikum, maka sudah dianggap
menjawab dengan yang lebih baik dari salam yang diucapkan.53
Al-Marāghi melanjutkan bahwa balasan ucapan selamat
tidak selamanya hanya dengan ucapan saja tapi bisa juga seperti
membalas perbuatan orang yang berbuat baik dengan yang lebih
baik. Kesimpulannya adalah bahwa ada dua tingkatan dalam
menjawab ucapan selamat yaitu yang paling rendah adalah
menjawab dengan ucapan yang serupa dan yang paling tinggi
50 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 5, 30. 51 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 86 52 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 53 Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, jilid 5, cet. II
(Kairo: Dar al-Manār, 1947), 311.
82
adalah dengan memberikan jawaban yang lebih baik, dan orang
yang menjawab bebas memilih antara keduanya tersebut.54
Kritik al-Marāghi terkait sikap umat muslim dewasa ini yang
tidak suka bila ada kaum lain yang mengucapkan selamat kepada
mereka dengan al-salam, terlebih untuk menjawab salam mereka.
Menurut al-Marāghi bahwa kaum muslimin lupa tentang adab-
adab islami yang telah diajarkan. Sebuah hadis yang diriwayatkan
oleh Hakim yaitu;55
Dari penafsiran ayat di atas dapat dilihat jika al-Marāghi
merespon kondisi lingkungan sekitar di dalam menjelaskan ayat
al-Qur’an. Cara penafsiran yang demikian termasuk dalam corak
penafsiran al-Adabi al-Ijtima’i.
Corak tafsir dengan adab ijtima’i yaitu penafsiran yang
bernuansa sosial kemasyarakatan. Corak ini memiliki dua model
seperti yang dijelaskan oleh Anshori dalam buku Ulumul
Qur’annya;
a. Seorang mufassir berusaha menafsirkan al-Qur’an yang terkait
dengan masalah kemanusiaan baik pada ruang lingkupnya,
peranannya dan perbedaan keadaan mereka seperti mulia dan
hina, ilmu dan kebodohan, iman dan kafir atau kuat dan lemah.
Dalam hal ini seorang mufassir cenderung untuk mengetahui
sosial dan sejarah.56
b. Tafsir sosial yaitu tafsir yang dilakukan untuk memahami
keadaan sosial dan kebutuhan masa kini, seorang mufassir
akan berusaha untuk menggabungkan tujuan agama di dalam
al-Qur’an dengan tujuan sosial. Dengan kata lain adalah salah
satu upaya pelaksanaan ajaran al-Qur’an di kancah realitas
sosial atas dasar prinsip-prinsip al-Qur’an.57
Rachmat Syafe’i menjelaskan dalam bukunya Pengantar
Ilmu Tafsir bahwa meskipun Muhammad Abduh tidak
memberikan label khusus bagi tafsir yang dipeloporinya, tetapi
para peneliti kemudian menganggap bahwa beliau beserta
muridnya Muhammad Rasyid Ridha sebagai perintis corak tafsir
Adabi Ijtima’i. Muhammad Abduh yang lahir pada tahun 1849-
1905 M adalah seorang pelopor pembaharu di Mesir dalam tiga
bidang; keagamaan, bahasa dan politik. Pembaharuannya dalam
54 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 55 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 56 Anshori, Ulumul Qur’an, 220. 57 Anshori, Ulumul Qur’an, 220-221.
83
bidang keagamaan lah yang kemudian dituangkan dalam tafsirnya
baik dalam bentuk tulisan maupun lisan (ceramah, pengajaran,
dakwah, dan lain-lain).58
Prinsip-prinsip pokok dalam tafsir yang bercorak adabi
ijtima’i menurut Rachmat Syafe’i seperti yang dilakukan oleh
Muhammad Abduh dalam tafsirnya adalah;
1. Menganggap bahwa setiap surah dalam al-Qur’an sebagai satu
kesatuan yang serasi. Konsekuensi dari prinsip ini adalah
bahwa dengan sendirinya tidak mengikuti cara penafsiran
terdahulu yang memisahkan satu ayat dengan ayat lainnya.59
2. Al-Qur’an bersifat umum dalam artian petunjuk al-Qur’an
selalu refresentatif dan berkelanjutan sampai hari kiamat.
Ajaran-ajarannya, janji dan ancamannya, serta berita baik dan
buruknya ditujukan pada individu-individu, namun bersifat
universal, seperti kaidah al-‘ibrah bi ‘umum al-lafzi la bi
khusussh al-sabāb.60
3. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dari akidah dan syariat
Islam. Adapun pendapat para ulama dan madzhab-madzhab
tertentu dalam Islam, baik dalam akidah maupun syariat tidak
dapat dipegang secara mutlak. Bahkan sebaliknya, pandangan-
pandangn tersebut lah yang harus tunduk kepada al-Qur’an
sebagai sumber utama.61
4. Memerangi dan memberantas taklid, dan membuka pintu
ijtihad seluas-luasnya untuk mendukung semangat dinamis
terhadap perkembangan Islam dalam segala aspeknya. Ada dua
poin yang menjadi perhatian besar dari Abduh yaitu
pembebasan akal dari belenggu taklid, memahami agama
sesuai dengan cara kaum salaf sebelum datangnya kaum khalaf
serta kembali pada sumber utamanya yaitu al-Qur’an dan yang
kedua yaitu pembaharuan terhadap uslub-uslub bahasa Arab
baik dalam kondisi formal atau informal.62
58 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. II (Bandung: Pustaka
Setia, 2012), 257. 59 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 259. 60 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 260. 61 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 261. 62 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, 262.
84
5. Berpegang teguh pada kekuatan akal dan menjadikannya
sebagai penentu (tahkim) dalam memahami ayat-ayat al-
Qur’an.63
Jika melihat dari metode penulisan dari Tafsir al-Marāghi
maka tafsir bisa disimpulkan bahwa tafsir tersebut menggunakan
metode tafsir tahlili64 yaitu sebuah penulisan tafsir yang
menyeluruh secara urut dari awal surah hingga akhir dan
menjelaskan dari segala aspek ayat tersebut.
D. Pandangan ulama/sarjanawan terhadap Ahmad Mustafa
Al-Maragi
Banyak komentar-komentar para sarjanawan mengenai
Ahmad Mustafa al-Marāghi dalam berbagai sisi, seperti;
1. Muhammad Hasan Abdul Malik (dosen fakultas syariah
Universitas Ummul Qura Madinah) menilai bahwa Ahmad
Mustafa al-Marāghi adalah seorang yang mengambil faedah
tafsir dari orang sebelumnya, dan mengembangkannya
sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang. Al-
Marāghi adalah seorang pembaharu dalam bidang tafsir, baik
dari segi sistematika maupun bahasa. Ia menuangkan ide-ide
baru dalam tafsirnya dan tidak hanya mengutip pendapat
gurunya Muhammad Abduh dalam bidang filsafat,
kemasyarakatan dan politik.65
63 Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. II (Bandung: Pustaka
Setia, 2012), 257-263. 64 Ada empat metode penulisan tafsir yang berkembang yaitu tahlili,
ijmali, maudhui dan muqarran. Tahlili adalah metode tafsir yang menjelaskan
kandungan ayat al-Qur’an dari segala aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam
al-Qur’an seperti asbab al-nuzul, kosa kata dan munasabah. Metode Ijmali
adalah metode yang menjelaskan ayat al-Qur’an secara global atau general
berdasarkan urutan bacaan ayat al-Qur’an. Metode maudhui adalah metode yang
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah tertentu dari
berbagai surah al-Qur’an kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh
ayat tersebut sebagai jawaban dari permasalahan, demikian salah satu definisi
yang diangkat oleh Anshori. Metode muqaran (komparasi) adalah
membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan dan kemiripan
redaksi yang berbicara mengenai masalah yang sama atau berbeda dan yang
memiliki redaksi yang berbeda terhadap masalah yang sama. Lihat Ansori,
Ulumul Qur’an (Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan), Cet. III (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2016), 207-216. 65 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian atas
Tafsir al-Marāghi), (UIN Jakarta: Tesis, 2003), 21.
85
2. Abdul Rahmad Hasan Habannaka—dosen tafsir dan ulumul
Qur’an pada dirasah ‘Ulya (pascasarjana) Universitas
Ummul Qura Mekkah—menyampaikan bahwa Mustafa al-
Marāghi adalah termasuk Ulama al-Azhar yang modern dan
dapat menyajikan pendapat-pendapat sesuai dengan
zamannya, ia memiliki pemikiran-pemikiran baru mengenai
tafsir yang berbeda dengan pendapat-pendapat ulama
terdahulu, karena ia telah memenuhi syarat menjadi seorang
mufassir.66
3. Muhammad Tanthawi—ketua jurusan Tafsir dan dosen
Tafsir/Ulumul Qur’an pada Pascasarjana Universitas Islam
Madinah—menilai bahwa Ahmad Mustafa al-Marāghi
adalah seorang ahli dan menguasai ilmu-ilmu syariat dan
bahasa Arab. Selain ia mempunyai banyak karya dalam
bidang tafsir dan bahasa Arab, ia juga memiliki pemikiran-
pemikiran baru tapi tidak menyimpang dari syariat.67
4. Muhammad Jum’ah—ketua jurusan tafsir pada Fakultas al-
Qur’an al-Karim Universitas Islam Madinah—memandang
bahwa Muhammad Mustafa al-Marāghi adalah seorang ahli
dan menguasai bahasa Arab, balaghah, nahwu, sharaf,
tafsir, al-Qur’an, hadis, hukum-hukum syariat dan ilmu-
ilmu lain yang diperlukan untuk menafsirkan al-Qur’an.
Selain itu, beliau juga memenuhi syarat sebagai seorang
mufassir. Al-Marāghi juga mengikuti jalan yang ditempuh
oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang
menggabungkan metode bi al-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi.68
5. Abdul Mun’in M. Hasanin—guru besar Tafsir dan Ulum al-
Qur’an pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar—
mengatakan Mustafa al-Marāghi adalah seorang ulama yang
ahli dan banyak menulis berbagai bidang ilmu agama seperti
tafsir, nahwu, sharaf, balaghah, akhlak dan lain-lain. Ia
tidak mempunyai keahlian khusus sebagaimana yang terjadi
pada zaman sekarang. Tetapi sebaliknya ia ahli dan
menguasai berbagai bidang ilmu agama. Ia adalah seorang
pembaharu, namun pemikiran pembaharuannya tidak ada
yang bertentangan dengan syariat sebagaimana yang
66 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 21. 67 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 22. 68 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 22.
86
termaktub dalam al-Qur’an dan hadis-hadis yang qath’i. Al-
Marāghi telah memenuhi syarat menjadi seorang mufassir.69
6. Syekh Zaki Ismail al-Marāghi—Inspektur Ma’ahid al-
Diniyah al-Azhar—memandang bahwa Mustafa al-Marāghi
telah memenuhi syarat sebagai seorang mufassir, karena ia
telah menelaah semua kitab-kitab tafsir dan pendapat-
pendapat para mufassir. Ia seorang pembaharu yang berpikir
bebas dan tidak menganut mazhab tertentu, ia bukan
penyempurna pendapat mufassir terdahulu tetapi ia
menempuh jalannya sendiri, meski banyak dipengaruhi oleh
Tafsir al-Manār, karya dari gurunya.70
7. Ahmad Yusuf Sulaiman Syahin—dosen tafsir dan ‘Ulum al-
Qur’an pada Fakultas Dar al-‘Ulum Universitas Kairo—
menilai bahwa Ahmad Mustafa al-Marāghi telah memenuhi
syarat mufassir. Ilmu-Ilmu yang seharusnya dimiliki oleh
seorang mufassir telah dikuasainya seperti asbab al-nuzul,
dll. Beliau seorang pembaharu karena dipengaruhi oleh
gurunya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.
Selain itu, perkembangan politik dan masyarakat Mesir juga
mempengaruhi pemikirannya, terutama untuk memecahkan
problema-problema yang timbul akibat penjajahan di negara
Mesir.71
8. Abdullah Syahathah—ketua jurusan Tafsir al-Qur’an pada
Fakultas Dar al-‘Ulum Universitas Kairo—memandang
bahwa Ahmad Mustafa al-Marāghi adalah seorang mufassir
yang menafsirkan al-Qur’an secara lengkap dari awal sampai
akhir. Ia banyak mengutip pendapat gurunya dan syarat
untuk menjadi mufassir telah ia penuhi.72
Setelah mencermati dari berbagai pendapat ulama di atas
maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Ahmad Mustafa al-
Marāghi adalah seorang mufassir yang sangat kompeten, juga
seorang pembaharu yang lurus dan tidak melenceng dari syariat.
Selain itu, ia juga sangat memahami masalah dan kondisi pada
zamannya, sehingga ia berusaha untuk memberikan solusi kepada
masyarakat Mesir yang pada saat itu sedang dijajah.
69 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 22-23. 70 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 23. 71 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 23-24. 72 A. Baidowi, Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an, 23.
87
BAB V
MUNASABAH KANDUNGAN PEMBUKA AYAT DENGAN
ASMA AL-HUSNA SEBAGAI PENUTUP AYAT DALAM
SURAH AL-NISÂ’ MENURUT AL-MARᾹGHI
Dalam surah al-Nisā’ terdapat 58 ayat yang pada
penutupnya terdapat asma al-husna, yang terdiri dalam 25
bentuk, dengan rincian 10 yang berdiri sendiri dan 15 asma yang
bergandengan. Semua ayat tersebut berbicara kepada umat
manusia, orang-orang beriman, orang-orang kafir dan munafik
terkait hukum, sosial, akidah dan akhlak.
Al-Suyuti dalam kitabnya al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an
membagi bentuk munasabah kandungan dan penutup ayat dalam
empat kategori, yaitu tamkīn (dari segi pemahaman keseluruhan
teks), tasdīr (dari segi pemahaman bagian teks), tausīkh (dari segi
pemahaman bagian makna), al-Īghal (pemahaman struktur
kalimat).1 Dari klasifikasi tersebut hanya tamkīn yang murni
mewakili munasabah kandungan pembuka ayat dan penutupnya.
Namun, ketika melihat ayat-ayat al-Qur’an terutama yang tedapat
asma al-husna dalam surah al-Nisā’, terdapat dua kondisi
teks/munasabah yang wajib diperhatikan yaitu;
Memahami munasabah kandungan ayat dengan asma al-
husna yang terdapat pada penutup ayat adakalanya dapat
dipahami dalam satu ayat, namun dalam kesempatan lain dituntut
untuk melihat ayat-ayat sebelumnya karena tidak dapat dipahami
jika hanya melihat dalam satu ayat saja.
A. Tamkīn: Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-
Husna dalam Satu Ayat
Munasabah asma al-husna dengan kandungan ayat bisa
dilihat dalam satu ayat, berikut contohnya dalam ayat-ayat yang
berbicara terkait hukum, sosial, akidah dan akhlak, seperti:
1. Hukum
Bentuk pertama—munasabah kandungan ayat dengan asma
al-husna dalam satu ayat—bisa dilihat dalam ayat hukum, seperti
1 Al-Suyutiy, al-Itqān fi ‘Ulūm al-Qur’an, 460.
88
ayat berikut yang berbicara mengenai wasiat Allah terkait
pembagian harta warisan;
ء ٱلأنثيين فإن كن نسا لذ كر مثل حظ ه في أولدكم ل يوصيكم ٱلل لثا لهن ث لها ٱلن صف فوق ٱثنتين ف ف ما ترك وإن كانت وحدة
ا ترك إن كان لهۥ ولد فإن دس مم وحد م نهما ٱلس لكل يه ولأبوۥ إخوة لث فإن كان له ٱلث فلأم ه ۥ أبواه م يكن ل هۥ ولد وورثه ل
ؤكم فلأم ه ة يوصي بها أو دين ءابا دس من بعد وصي ٱلس ه إن م ن ٱلل يضة هم أقرب ل كم نفعا فر ؤكم لا تدرون أي وأبنا
ه كان عليما حكيما ٱلل Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang pembagian
pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika
anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, masing-
masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga. Jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam. Pembagian-pembagian tersebut di
atas, sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau sesudah
dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.2
Asbāb al-Nuzūl ayat di atas adalah mengenai kunjungan
Rasulullah yang ditemani oleh Abu Bakar untuk menjenguk Jabir
bin Abdillah dengan berjalan kaki sewaktu Jabir sakit keras
2 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 11
89
dikampung Bani Salamah. Ketika didapatkannya Jabir tidak
sadarkan diri, Rasulullah meminta air untuk berwudhu dan
memercikkan air kepada Jabir, sehingga sadar. Lalu Jabir
berkata: apa yang tuan perintahkan kepadaku tentang hartaku?
Maka turunlah ayat di atas sekaligus ayat yang kedua belas
sebagai pedoman dalam pembagian harta waris. Riwayat ini
diriwayatkan oleh imam yang enam.3
Seseorang yang meninggal dunia kadangkala meninggalkan
harta yang banyak, seringkali menimbulkan permusuhan dan
ketidakadilan. Pembuka ayat di atas menjadi pedoman dalam
membagikan harta warisan tersebut, seperti yang dijelaskan oleh
al-Marāghi terkait rincian pembagian harta warisan. Anak laki-
laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian perempuan—
kecuali ada penghalang untuk bisa mewarisi seperti anak tersebut
kafir, membunuh salah satu anggota keluarganya, budak belian
dan mewaris dari Nabi—hikmahnya adalah karena laki-laki akan
menafkahi dirinya dan keluarganya di masa depan. Perintah ini
sekaligus membatalkan perilaku jahiliyah yang melarang kaum
wanita mewarisi,4 pendapat ini juga disetujui oleh Ibn Katsir.5
Kemudian al-Marāghi melanjutkan bahwa bagian dua
pertiga diberikan kepada anak perempuan yang terdiri dari dua
orang atau lebih jika tidak ada anak laki-laki. Jika hanya satu
anak perempuan maka ia mendapatkan setengah. Namun jika
hanya satu anak laki-laki maka ia bisa mewarisi semuanya. Orang
tua si mayit mendapatkan seperenam bagian, demikian juga jika
si mayit memiliki seorang anak atau lebih.6Al-Razi mengutip
pendapat al-Zujāj terkait yang dimaksud dengan kata yūsīkum
adalah yafradu ‘alaikum.7Hukum mengenai pembagian harta
warisan yang disebutkan dalam ayat di atas harus dibagi dengan
adil, dan hamba-Nya tidak boleh menyalahi ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah, demikian papar Ma’mūn.8
3 Jalaluddin Abi Abdirrahman al-Syuyuthi, Asbāb al-Nuzūl (Al-
Musamma-Lubab al-Nuqul fi Asbāb al-Nuzūl), cet. I (Bairut: Muassah al-
Kutub al-Tsaqafiyah, 2002), 71. 4 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 195-197. 5 Ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’an al-‘Azim, Jilid 3, 368. 6 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 197-198. 7 Muhammad al-Razi Fakhr al-Dīn Ibn al-‘Allāmah Diyā’ al-Dīn
‘Umar, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 9, cet. I (Bairut: Dar al-Fikr, 1981), 209. 8 Ma’mūn Hammūs, Tafsir Ma’mūn, Jilid 2, cet. I (Suriah: tp, 2007),
193.
90
Bagian selanjutnya yaitu jika si mayit tidak memiliki
keturunan maka ibu si mayit mendapatkan sepertiga dan sisanya
untuk sang ayah. Apabila si mayit memiliki saudara baik laki-
laki atau perempuan maka sang ibu hanya mendapatkan
seperenam. Sebuah catatan penting diberikan oleh al-Marāghi
yaitu semua wasiat tentang warisan tersebut baru bisa
dilaksanakan setelah dilunasinya hutang-hutang si mayit.9
Allah menutup ayat di atas dengan ungkapan;
ه كان عليما حكيم اإن ٱلل Artinya: Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana.10
Penutup ayat di atas dijelaskan oleh al-Marāghi sebagai
berikut;
أى إنه تعالى لعلمه بشئونكم ولحكمته العظيمة لا يشرع ل كم إلا مافيه المنفعة ل كم. إذ لا تخفى عليه خافية من وجوه المصالح
إلى أنه منزه عن الغرض والهوى اللذين من شأنهما أن —والمنافعيمنعا من وضع الشيء فى غير موضعه ومن إعطاء الحق لمن
يستحقه.Artinya: Sesungguhnya Allah Swt, berkat pengetahuan
tentang urusan-urusan kalian dan kebijaksanaan-Nya yang
agung. Dia tidak sekali-kali mensyariatkan suatu hukum
kepada kalian kecuali hal itu mengandung manfaat bagi
kalian. Sebab, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi daan
samar dari pengetahuan-Nya. Juga Dia Maha Suci dari
tujuan dan keinginan, yang keduanya dapat mencegah hal
meletakkan sesuatu pada bukan tempatnya, dan mencegah
dari memberikan kewajiban kepada orang yang berhak
menerimanya.11
Kandungan pembuka ayat menurut al-Marāghi adalah
ketentuan Allah terkait harta warisan untuk anak dan orang tua.
Kemudian ayat ditutup dengan dua sifat Allah yaitu ‘Alīman dan
Hakīman.
9 Al-Marāghi, Tafsīr al-Marāghi, Jilid 4, 199. 10 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 11 11 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, Jilid 4, 202.
91
Dalam surah al-Nisā’, sifat Alīman Hakīman menjadi
penutup pada 8 ayat yaitu pada ayat 11, 17, 24, 26, 92, 104, 111
dan 170. Tiga ayat berbicara kepada umat manusia yaitu ayat 11,
17 dan 170. Satu kepada kaum munafik dalam ayat 111 dan
empat kepada masyarakat mukmin pada ayat 24, 26, 92 dan 104.
Kandungan dari kedelapan ayat tersebut terdiri dari 4 ayat terkait
hukum, tiga terkait ibadah dan satu terkait adab.
Al-Marāghi menghubungkan sifat ‘Alīman yang terdapat
pada penutup ayat yang menunjukkan Allah sebagai Yang Maha
Mengetahui terkait ketentuan terbaik bagi hamba-Nya. Hal
tersebut mengindikasikan juga bahwa penetapan bagian harta
warisan di dalam pembuka ayat di atas adalah ketentuan terbaik
yang mengandung kemaslahatan bagi para hamba sesuai dengan
pengetahuan-Nya. Demikian juga menurut al-Biqā’i yang
menghubungkan sifat ‘Alīman sebagai Allah Yang Maha
Mengetahui, maka sifat tersebut menunjukkan pengetahuan Allah
terkait hukum-hukum yang disebutkan dalam ayat.12
Sedangkan sifat Hakīman dihubungkan oleh al-Marāghi
bahwa Allah bebas dari tujuan dan keinginan sehingga
menghalangi untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Penetapan takaran dari harta warisan bukanlah keinginan untuk
melebihkan kaum laki-laki dengan bagian yang lebih besar dan
merendahkan perempuan dengan bagian yang lebih kecil, namun
pembagian tersebut memiliki tujuan untuk membuat hamba-Nya
bisa menjalani fungsinya sebagai khalifah dengan baik.
Sedangkan menurut al-Biqā’i, Allah Maha Bijaksana dalam
menetapkan hukum tersebut.13Selamanya dan tidak pernah
berubah bahwa Allah selalu ‘Alīman dan Hakīman.14
Munasabah asma al-husna dengan kandungan ayat bisa
dilihat dalam satu ayat di atas yaitu ‘Alīman menunjukkan bahwa
Allah menetapkan hukum yang ada pada pembuka ayat, sesuai
dengan pengetahuan-Nya dan sifat Hakīman yang
mengindikasikan jika hukum tersebut adalah yang terbaik sesuai
dengan kebijaksanaan-Nya pula. Melihat klasifikasi munasabah
12 Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar al-Biqā’i, Nazm al-
Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5, (Kairo: Darr Kitāb al-Islāmi,
tt), 208. 13 Al-Biqā’i, Nazm al-Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5,
208. 14 Ma’mūn Hammūs, Tafsir Ma’mūn, Jilid 2, 197-198.
92
yang dipaparkan oleh al-Suyuti maka Posisi sifat Allah yang ada
pada penutup ayat menjadi penguat langsung dari kandungan ayat
sehingga disebut dengan tamkīn. Tamkīn adalah penutup ayat
yang menjadi penguat dari kandungan ayat.
2. Sosial Contoh berikutnya munasabah kandungan pembuka ayat
dan asma al-husna dalam satu ayat, juga terdapat dalam ayat-ayat
yang berbicara terkait sosial masyarakat, seperti;
وا بأ ي ة فح وها وإذا حي يتم بتحي ه كان على حسن منها أو رد إن ٱلل شيء حسيبا كل
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan
yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan
itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu.15
Al-Marāghi menjelaskan kandungan pembuka ayat di atas
terkait ajaran Allah terkait hubungan antar manusia dalam bentuk
memberikan ucapan selamat. Apabila seseorang mengucapkan
selamat kepada kalian dengan suatu ucapan selamat maka
balaslah dengan ucapan yang serupa atau yang lebih baik, seperti
misal jika ada yang mengucapkan Assalāmu’alaikum, ucapkanlah
Wa’alaikum al-salam atau ditambah wa rahmatullah.16Hal ini
juga disepakati oleh Muhammad Abduh, namun Muhammad
Abduh menyebutkan, bentuk ucapan tersebut sangat banyak
seperti as’ada Allah sabāhukum wa masā’ukum kemudian
dijawab dengan as’ada Allah jami’a auqātikum, maka sudah
dianggap menjawab dengan yang lebih baik dari salam yang
diucapkan.17
Pada mulanya, menurut al-Qāsimy, masyarakat Arab ketika
bertemu antar sesama mereka mengucapkan hayyāka Allah,
kemudian perilaku ini menjadi syariat di dalam Islam dengan
mengganti redaksinya menjadi assalām, atau yang lebih
15 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 86 16 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 17 Muhammad ‘Abduh, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, jilid 5, cet. II
(Kairo: Dar al-Manār, 1947), 311.
93
sempurna.18 Hal tersebut sesuai dengan dua ayat al-Qur’an
berikut;
ت تجري من تحتها لحت جن وأدخل ٱل ذين ءامنوا وعملوا ٱلص تهم فيها سلم هم تحي ب ٱلأنهر خلدين فيها بإذن ر
Artinya: Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman
dan beramal saleh ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan
seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam
surga itu ialah "salaam".19
يما لقونهۥ سلم وأعد لهم أجرا كر تهم يوم ي تحي Artinya: Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang
mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam;
dan Dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.20
Al-Marāghi melanjutkan bahwa balasan ucapan selamat
tidak selamanya hanya dengan ucapan saja tapi bisa juga seperti
membalas perbuatan orang yang berbuat baik dengan yang lebih
baik. Kesimpulannya adalah bahwa ada dua tingkatan dalam
menjawab ucapan selamat yaitu yang paling rendah adalah
menjawab dengan ucapan yang serupa dan yang paling tinggi
adalah dengan memberikan jawaban yang lebih baik, dan orang
yang menjawab bebas memilih antara keduanya tersebut.21
Kritik al-Marāghi terkait sikap umat muslim dewasa ini
yang tidak suka bila ada kaum lain yang mengucapkan selamat
kepada mereka dengan al-salam, terlebih untuk menjawab salam
mereka. Menurut al-Marāghi bahwa kaum muslimin lupa tentang
adab-adab islami yang telah diajarkan. Sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Hakim yaitu;22
أفشوا السلام تسلموا Artinya: Sebarkanlah salam, niscaya kalian selamat.
Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah Swt;
18 Muhammad Jamāl al-Dīn al-Qāsimy, Tafsīr al-Qāsimy: Mahāsin
al-Ta’wīl, Jilid I, cet. I (tt: Dar al-Hayā’ al-Kitāb al-‘Arabiyyah, 1957) 1423 19 Lihat: QS. Ibrahim [14]: 23 20 Lihat: QS. Al-Ahzab [33]: 44 21 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111. 22 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111.
94
شيء حسيبا ه كان على كل إن ٱلل Artinya: Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala
sesuatu.23
Penjelasan al-Marāghi terkait penutup ayat di atas;
بينكم بالتحية أي إنه تعالى رقيب عليكم في مراعاة هذه الصلة .ويحاسبك على ذلك ، وفي هذا إشارة إلى تأكيد أمر هذه الصلة
. بين الناس ، ووجوب رد التحية على من يسلم علينا و يحييناArtinya: Sesungguhnya Allah mengawasi kalian di dalam
memelihara hubungan di antara kalian dengan saling
mengucapkan salam dan memperhitungkan perbuatan
kalian. Ayat di atas menunjukkan kepada penekanan
perintah mengadakan hubungan ini di antara manusia dan
kewajiban membalas penghormatan kepada orang yang
mengucapkan salam dan penghormatan kepada kita.24
Dalam surah al-Nisā’, sifat Hasīban menjadi penutup ayat
sebanyak dua kali yaitu pada ayat 6 dan 86. Jika pada ayat 6
berbicara terkait memperlakukan anak yatim dengan baik maka
dalam hal ini terkait cara membalas perbuatan baik seseorang.
Al-Maraghi menghubungkan asma al-husna yang ada pada
penutup ayat berupa Hasīban sebagai Allah Yang Maha
Mengawasi dengan kandungan ayat yang berbicara tentang
keharusan untuk memelihara hubungan silaturrahim dengan siapa
pun seperti dalam bentuk membalas ucapan salam yang
disampaikan kepada kalian dengan balasan yang lebih baik—
menurut al-Marāghi—meski dari orang yang bukan Islam
sekalipun.
Hubungan antara asma al-husna dengan kandungan ayat di
atas dapat dipahami dari dalam satu ayat tersebut bahwa yang
Allah awasi adalah perihal yang disebutkan di dalam ayat. Bentuk
munasabah kandungn ayat dan penutup ayat seperti ayat di atas
menurut al-Sayuti, disebut dengan tamkīn, karena posisi sifat
Allah yang ada pada penutup ayat menjadi penguat langsung dari
kandungan dalam satu ayat langsung.
23 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 86 24 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 111.
95
3. Akidah Munasabah kandungan pembuka ayat dengan asma al-
husna dalam satu ayat juga bisa terlihat dalam ayat-ayat akidah
seperti berikut;
ه يذهبكم أي ين إن يشأ اس ويأت باخر على ذلك ا ٱلن ه وكان ٱلل قديرا
Artinya: Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan
kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain
(sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa
berbuat demikian.25
Al-Maraghi menjelaskan kandungan pembuka ayat
mengenai kemampuan Allah untuk memusnahkan umat manusia
dan menggantikannya dengan umat yang lain dalam menjalankan
hukum dan bertindak sesuai dengan hukum tersebut. Allah
membiarkan kalian tetap berada dalam kedurhakaan tidak lain
karena Allah benar-benar tidak membutuhkan ketaatan kalian,
papar al-Marāghi. Allah belum memusnahkan kalian disebabkan
oleh suatu hukum dan maslahat atas kehendak-Nya, bukan
disebabkan oleh kelemahan Allah untuk memusnahkan hal
tersebut. Di samping itu, terdapat peringatan bagi manusia supaya
merenungi sunah-sunah Allah yang berlaku di dalam kehidupan
dan kematian umat, apabila sunah tersebut telah berkaitan dengan
kehendak Allah maka tidak mustahil hal tersebut pasti terjadi.26
Bahkan al-Sya’rawi mengkritik orang filsafat sebagai orang
yang hilang akalnya, karena mereka mengatakan bahwa benar
Allah telah menciptakan umat manusia pada awalnya namun
manusia sebagai makhluknya sudah tidak terikat lagi dengan
hukum-hukumnya. Menurut al-Sya’rawi, Allah mampu
menggantikan umat manusia dengan makhluk lainnya, jika Ia
menghendaki, sebagai bukti jika Allah terus mempunyai kuasa
atas manusia atau makhluk lainnya sampai kapan pun.27
25 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 33 26 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 5, 176-177 27 Muhammad Mutawally al-Sya’rāwi, Tafsīr al- Sya’rāwi, Jilid 5, (tt:
Akhbār al-Yaum, 1991) 2702.
96
Ayat di atas ditutup dengan firman Allah berikut;
ه على ذلك قديرا وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian.28
Al-Marāghi menjelaskan penutup ayat di atas sebagai
berikut;
آخر إذ بيده خلق أى وكان الل ه قديرا على ذلك الإفناء وإيجاد مل كوت كل شيء, ل كنه لحكم يعلمها لم تتعلق إرادته بذلك.
Allah Maha Kuasa untuk membinasakan dan mengadakan
makhluk lain, karena Dia menguasai kerajaan segala
sesuatu. Akan tetapi, karena hikmah-hikmah yang
diketahui-Nya, maka Dia tidak menghendaki kebinasaan
itu.29
Dalam surah al-Nisā’, sifat Qadīran hanya menjadi penutup
ayat di atas yang berbicara tentang kekuasaan Allah Swt.
Kandungan pembuka ayat di atas terkait Allah kuasa mengganti
makhluk lain untuk menggantikan manusia, jika Ia
menginginkannya seperti penjelasan al-Maraghi. Ayat di atas
ditutup dengan sifat Qadīran yang menunjukkan kemahakuasaan
Allah untuk menggantikan makhluknya. Sifat Qadīran menjadi
penguat kandungan ayat di atas. Munasabah seperti yang
dilakukan oleh al-Marāghi tersebut dinamakan dengan tamkīn,
jika merujuk ke klasifikasi munasabah menurut al-Sayuti.30
Hubungan antara pembuka kandungan dan penutup ayat di
atas bisa dilihat dalam satu ayat di atas. Sifat Allah Qadīran pada
penutup ayat terkait langsung dengan kandungan pembuka ayat
berupa kemampuan Allah untuk mengganti umat dengan umat
yang lain.
4. Ibadah Munasabah kandungan pembuka ayat dengan sifat Allah
pada ayat yang sama bisa juga terlihat lihat pada ayat yang
berbicara tentang ibadah untuk selalu melakukan perdamaian
ketika terjadi permasalahan dalam rumah tangga seperti dalam
ayat berikut;
28 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 133 29 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 176.
97
وإن ٱمرأة خافت من بعلها نشوزا أو إعراضا فلا جناح عليهما أن يصلحا بينه لح خ ح و يرما صلحا وٱلص أحضرت ٱلأنفس ٱلش
ه كان بما تعملون خبيرا قوا فإن ٱلل وإن تحسنوا وتت Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz
atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-
benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka)
walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara
dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.31
Al-Marāghi menjelaskan kandungan pembuka ayat di atas
terkait kekawatiran isteri terhadap suaminya yang berbuat nusyuz
dan kesombongan suami terhadapnya, terlihat dari tanda-tanda
yang ada seperti tidak memberi nafkah, tidak mencampuri, tidak
mendapat kasih sayang sebagaimana mestinya, dll. Maka isteri
harus melihat dengan teliti kenapa suami berbuat demikian boleh
jadi karena permasalahan ekonomi atau agama dan lainnya
hendaklah diberi uzur.32 Hamka menjelaskan bahwa ayat di atas
terkait suami yang berlaku nusyuz setelah pada ayat 34 dalam
surah yang sama dijelaskan terkait isteri yang berbuat nusyuz.33
Dilanjutkan oleh al-Marāghi jika berdamai itu jauh lebih
baik dari pada bercerai karena ikatan suami-isteri adalah ikatan
yang agung, paling berhak untuk dipelihara, dan janji setianya
merupakan janji setia yang paling kuat. Namun sudah menjadi
perkara alami akan terjadinya perselisihan di dalam hubungan
tersebut maka cara yang diajarkan oleh Islam adalah tentang
persamaan antara suami dan isteri dalam segala hal kecuali dalam
hal memimpin rumah tangga yang menjadi hak laki-laki karena
lebih kuat dari pada isteri dari segi badan dan akal.34Dilanjutkan
oleh Hamka bahwa kedua pasangan tersebut harus saling
mengalah supaya perdamaian bisa diraih bukan malah sebaliknya
31 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 128 32 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 174. 33 Abdulmalik Abdulkarim Amrullah, Tafsir al-Azhar, jilid 2,
(Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1989),1453. 34 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 174.
98
saling menyalahkan. Suami menyalahkan isterinya sebagai isteri
yang tidak mampu menunaikan kewajibannya, begitupun isteri
yang menuduh suaminya tidak pernah memenuhi kewajibannya
sebagai kepada rumah tangga.35
Isteri yang kawatir suaminya akan memisahkan atau
menceraikannya karena ia sudah tua dan tidak mampu lagi untuk
melayani suaminya maka dibolehkan memberikan kemudahan
kepada suaminya seperti mengizinkannya untuk menikah lagi
atau membebaskan suaminya dari menafkahinya ketika suami
merasa berat untuk menghidupi dua orang isteri. Hal tersebut
dilakukan demi terjaganya rumah tangga atau tidak terjadi
perceraian, demikian tutur ‘Abd al-Qādir.36
Kemudian dalam pembuka ayat di atas juga terdapat
peringatan terkait tabiat manusia yang kikir. Di satu sisi, isteri
membutuhkan nafkah yang tercukupi namun di sisi yang lain
suami sangat tamak pada hartanya sehingga berbuat kikir. Maka
keduanya hendaklah saling toleransi, karena telah ada ikatan kuat
dengan perjanjian agung yang menyatukan keduanya dulu.37
Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah;
ه كان بما تعملون خبيرا فإن ٱلل Artinya: Maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.38
Penafsiran al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;
أى و إن تحسنوا العشرة فيما بينكم وتتقوا أسباب النشوز والإعراض ومايترتب عليهما من الشقاق ، فإن الل ه كان خبيرا بذالك لايخفى عليه شيء منه ، فهو يجازى من أحسن الحسنى و
. يثيبه على ذلكArtinya: Sekiranya kalian bergaul dengan baik dan
menghindarkan sebab-sebab nusyuz, ketidakacuhan dan
implikasinya yang berupa perpecahan, sesungguhnya Allah
35 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 2, 1455. 36 ‘Abd al-Qādir bin Syaibah al-Hamdi, Tahzib al-Tafsīr wa Tajrīd al-
Ta’wīl, jilid 4, cet. I (Riyad: Maktabah al-Ma’ārif li Nasr wa al-Tauzī’, 1993),
8-9. 37 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 173. 38 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 128
99
Maha Mengetahui tentang hal itu. Dia akan memberikan
pahala kepada orang-orang yang melakukan kebaikan.
Dalam surah al-Nisā’, sifat Khabīran menjadi penutup
pada 4 ayat yaitu pada ayat 35, 94, 128 dan 135. Semua ayat yang
berakhiran dengan Khabīran berbicara terkait hukum.
Al-Marāghi menghubungkan sifat Khabīran sebagai Allah
Yang Maha Mengetahui dengan kandungan pembuka ayat yang
berbicara terkait isteri yang kawatir jika suaminya berbuat nusyuz
dan anjuran untuk mencari jalan perdamaian dalam setiap
masalah yang terjadi dalam rumah tangga. Hubungan tersebut—
antara pembuka dan penutup ayat—bisa terlihat dalam satu ayat
di atas.
Sifat Allah yang ada pada penutup ayat memiliki kaitan
langsung dengan kandungan pada pembuka ayat. Posisi sifat
Allah yang ada pada penutup ayat menjadi penguat langsung dari
kandungan ayat sehingga disebut dengan tamkīn. Al-Sayuti
mengklasifikasi munasabah tamkīn sebagai penutup ayat yang
menjadi penguat dari kandungan ayat.
B. Tafsīr: Munasabah Asma Al-Husna dengan Kandungan
beberapa Ayat
Melihat munasabah kandungan ayat dengan asma al-husna
yang terdapat pada penutup ayat pada beberapa tempat tidak bisa
dipahami hanya dalam satu ayat saja, melainkan harus melihat
kandungan ayat atau beberapa ayat sebelumnya, contohnya:
1. Hukum Dalam ayat yang berbicara terkait hukum juga bisa dilihat
bagaimana untuk memahami asma al-husna pada penutup ayat
tersebut harus melihat ayat-ayat sebelumnya seperti pada ayat
berikut;
ه أن يعفو عنهم فأولئك عس ا غفورا ى ٱلل ه عفو وكان ٱلل Artinya: Mereka itu, mudah-mudahan Allah
memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.39
Penjelasan al-Marāghi terkait pembuka ayat di atas
berkaitan dengan orang-orang tertindas sehingga tidak mampu
39 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 99
100
berhijrah karena kelemahan dan tidak mempunyai jalan untuk itu
sehingga mereka berharap, Allah tidak menyiksa mereka dan
mengampuni mereka karena tetap tinggal di negeri
kafir.40Penyebutan kata anak-anak di dalam ayat, menurut
Quraish Shihab, untuk menggambarkan betapa hijrah merupakan
sesuatu hal yang sangat penting. Orang tua dianjurkan untuk
membawa anak-anak mereka ketika berhijrah, guna
menyelamatkan mereka dan agar mereka mendapatkan
lingkungan yang sesuai dengan pendidikan mereka. Masih
menurut Quraish Shihab, ulama sepakat bahwa kewajiban hijrah
dari Mekah ke Madinah sudah gugur setelah dikuasainya kota
tersebut oleh Nabi Saw dan hancurnya rezim kekufuran. Kendati
demikian, para ulama mengambil kesimpulan berkaitan dengan
kewajiban meninggalkan lokasi kekufuran, yang jika tinggal pada
negeri tersebut mengharuskan ia tunduk kepada hukum-hukum
yang bertentangan dengan hukum Allah, meski pendapat ini tidak
direstui banyak ulama.41
Dalam pembuka ayat di atas, menurut al-Marāghi
terkandung isyarat bahwa ampunan Allah adalah sesuatu yang
diharapkan bukan sesuatu yang dimestikan. Catatan penting
berikutnya adalah bahwa orang yang terkena beban untuk hijrah
tersebut tidak memandang sesuatu yang bukan penghalang
menjadi sebuah penghalang. Dalam pembuka ayat di atas juga
terkandung kesan supaya mengagungkan perintah hijrah dalam
ayat sebelumnya dan yang melanggarnya akan mendapatkan dosa
besar.42
Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah berikut;
ا غفورا ه عفو وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun.43
40 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 134. 41 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid 2, 683-684. 42 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 134. 43 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 99.
101
Penafsiran al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;
لها أعذار صحيحة أى وكان شأن الل ه تعالى العفو عن الذنوب التى بعدم المؤاخذة عليها، ومغفرتها بسترها وعدم فضيحة صاحبها في
الآخرةArtinya: Allah memaafkan dosa-dosa yang mempunyai
uzur yang benar dengan tidak menjatuhkan siksaan
karenanya, serta mengampuni dosa-dosa itu dengan
menutupinya dan tidak membukakan aib pelakunya di
akhirat kelak.44
Dalam surah al-Nisā’, sifat ‘Afuwwan Ghafūran menjadi
penutup pada ayat 43 dan 99. Kedua ayat tersebut berbicara
terkait hukum kepada orang-orang yang beriman.
Al-Marāghi dalam tafsirnya mengaitkan sifat ‘Afuwwan
sebagai Allah yang Maha Pemaaf kepada orang-orang yang tidak
berhijrah karena berbagai uzur yang dibenarkan dalam ayat
sebelumnya. Sedangkan sifat Ghafūran berhubungan dengan
dosa tersebut akan Allah tutupi dengan tidak membukanya
diakhirat kelak untuk diadili.
Dari penafsiran al-Marāghi bisa dilihat bahwa untuk
memahami sifat ‘Afuwwan Ghafūran tersebut harus memahami
juga ayat sebelumnya yang berbicara terkait orang-orang yang
berhijrah dan orang-orang yang tidak berhijrah, seperti dalam
ayat berikut;
رر وٱلمجهدون في ل ا يستوي ٱلقعدون من ٱلمؤمنين غير أولي ٱلض ه ٱلمجهدين بأمولهم بأمولهم وأنفسهم سبيل ٱلل ه ل ٱلل فض
وأنفسه م على ٱلقعدين درجة ٱوك ه ه لحسنى ل ا وعد ٱلل ل ٱلل وفض ٱلمجهدين على ٱلقعدين أجرا عظيما درجت م نه ومغفرة ورحمة
حيماوك غفورا ر ه ظالمي أن ان ٱلل ىهم ٱلملئكة فسهم إن ٱل ذين توف كنتم فيم كن قالو قالوا ألم تكن ا مستضعفين في ٱلأرض ا قالوا
ه فيهاأرض ٱلل فتهاجروا فأو وسعة م ءت لئك مأوىهم جهن وسا
44 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 134.
102
ء وٱلولدن لا يستطيعو ا ٱلمستضعفين من ٱلر جال وٱلن سا ن مصيرا إل حيلة ولا يهتدون سبيلا
Artinya: Tidaklah sama antara mukmin yang duduk—yang
tidak ikut berperang—yang tidak mempunyai 'uzur dengan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang
duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah
menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-
orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala
yang besar, yaitu beberapa derajat dari pada-Nya, ampunan
serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Sesungguhnya orang-orang yang
diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri
sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "Dalam
keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab:
"Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri
(Mekah)". Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu
luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". Orang-
orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang
tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang
tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan
(untuk hijrah).45
Dari ayat di atas bisa dipahami bahwa mereka yang
dimaafkan oleh Allah adalah mereka yang tertindas baik laki-laki
atau wanita, anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan
tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Dan mereka juga lah yang
akan mendapatkan ampunan dari Allah Swt dengan sifat
Ghafūran-Nya.
Melihat penjelasan di atas, dapat diketahui jika munasabah
sifat Afuwwan Ghafūran dalam ayat 99 harus melihat kandungan
dari ayat 95. Munasabah seperti di atas dinamai dengan
munasabah tafsīr.
45 Lihat: QS. Al-Nisā [4]: 95-98.
103
2. Sosial Memahami asma al-husna pada penutup ayat namun harus
melihat kepada beberapa ayat sebelumnya, bisa terlihat pada ayat
yang berbicara tentang sosial yang berkaitan dengan hubungan
suami-isteri, seperti berikut;
قا يغن ه كل ا م ن سعتهۦ وإن يتفر ه وسعا حكيما ٱلل وكان ٱلل Artinya: Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi
kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan
karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha Bijaksana.46
Al-Maraghi menjelaskan kandungan pembuka ayat
mengenai keterangan dari Allah bahwa terkadang perceraian
mengandung kebaikan, jika perdamaian dan keharmonisan tidak
bisa dicapai. Apabila terjadi perceraian antara suami isteri karena
takut tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, seperti suami
tidak suka kepada isterinya karena jelek atau sombong, suami
ingin menikah lagi atau suami memiliki dua isteri namun tidak
bisa berbuat adil. Sebagai contoh Allah menundukkan lelaki lain
kepada wanita yang dicerai yang lebih dari pada suaminya dan
sebaliknya.47Demikian pula menurut al-Razi yang berpendapat
bahwa kebolehan berpisah yang disebutkan dalam ayat di atas
disebut setelah anjuran untuk melakukan perdamaian antara
pasangan suami isteri tersebut.48
Kandungan selanjutnya menurut al-Maraghi adalah
mengenai keadaan suami isteri yang bercerai maka Allah akan
mencukupkan masing-masing di antara mereka dengan karunia
yang luas dan kebaikan yang banyak.49
Allah menutup firman-Nya di atas dengan ungkapan;
ه وسعا حكيما وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi
Maha Bijaksana.50
Al-Maraghi menjelaskan penutup ayat di atas sebagai
berikut;
46 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 130 47 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 5, 174. 48 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 69. 49 Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid 5, 174. 50 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 130
104
أى وكان الل ه ولا يزال واسع الفضل والرحمة, حكيما فيما شرعه من الأحكام التى جعلها وفق مصالح العباد.
Artinya: Allah tetap dan senantiasa Maha Luas karunia dan
rahmat-Nya, dan Maha Bijaksana dalam mensyariatkan
hukum-hukum yang sesuai dengan berbagai maslahat
hamba.51
Sifat Wāsī’an Hakīman dalam surah al-Nisā’ menjadi
penutup pada ayat di atas saja yang berbicara kepada orang yang
sudah tidak mungkin untuk mempertahankan rumah tangganya.
Al-Maraghi menjelaskan pembuka ayat di atas terkait suami isteri
yang berpisah karena sudah tidak mungkin lagi bersama. Sifat
Wasī’an sebagai Yang Maha Luas karunianya akan selalu
melimpahkan karunia kepada hambanya yang telah berpisah.
Ketetapan tersebut sesuai dengan sifat Hakīman sebagai Yang
Maha Bijaksana dalam menetapkan ketetapan sesuai dengan
kemaslahatan hamba-Nya.
Mengetahui ayat di atas berbicara terkait hubungan suami
isteri harus melihat ayat-ayat sebelumnya yang berbicara tentang
hubungan yang ada dalam rumah tangga, apalagi jika melihat
huruf waw yang ada di awal ayat adalah huruf ‘ataf,52merujuk
seperti dalam ayat berikut;
ن بعلها نشوزا أو إعراضا فلا جناح عليهما أ وإن ٱمرأة خافت من لح خير و يصلحا بينهما صلحا ح وٱلص وإن أحضرت ٱلأنفس ٱلش
أن كان بما تعملون خبيرا ولن تستطيعوا ه فإن ٱلل قوا وتت تحسنوا بين تع دلوا ء ولو حرصتم كل ٱلميل ٱلن سا ميلوا فتذروها فلا ت
قة حيما كٱلمعل ه كان غفورا ر قوا فإن ٱلل وإن تصلحوا وتت Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi
keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun
manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul
51 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 174. 52 Muhammad ‘Ali Taha al-Durrah, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa
I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, cet. I (Beirut: Dar Ibn Kasir, 2009), 644.
105
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.53
Setelah melihat ayat-ayat di atas maka dapat diketahui
bahwa dalam ayat 130 itu berbicara tentang suami isteri sebagai
mana menurut Ibn ‘Atiyyah bahwa damir pada lafaz yatafarraqā
merujuk kepada pasangan sebagaimana yang telah disebutkan
pada ayat terdahulu54 dengan makna talak55. Ketika terjadi
permasalahan dalam rumah tangga seperti suami yang tidak
menjalankan kewajibannya atau isteri yang mengabaikan
kewajibannya pula sehingga usaha perdamaian sudah tidak bisa
dicapai maka tidak mengapa keduanya berpisah.
Berpisahnya kedua insan tersebut tidak akan lepas dari
keluasan rahmat Allah, bisa jadi dengan berpisah mereka bisa
menemukan pasangan baru yang lebih bisa mengerti atau lebih
baik dari pasangan sebelumnya, mengganti kehidupan yang jauh
lebih baik dari kehidupan sebelumnya56 sehingga tujuan sakinah,
mawaddan dan warahmah dalam rumah tangga tersebut bisa
tercapai.
Hubungan sifat Wāsi’an Hakīman pada penutup ayat
menjadi penjelas dari beberapa ayat sebelumnya sehingga
munasabah dinamakan dengan munasabah tafsīr. Sifat Wāsi’an
Hakīman pada penutup ayat tidak hanya terkait dengan pembuka
53 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 128-129 54 Abi Muhammad Abdul al-Haq bin Ghālib bin ‘Atiyyah al-
Andalusi, al-Muharrar al-Wajiz, jilid 2, cet. I (Bairut: Dar al-Kutub al-
‘Alamiyyah, 2001), 121. 55 ‘Abd al-Rahmān bin Kamāl Jalal al-Dīn al-Suyuti, Al-Dur mansur
fi al-Tafsī al-Ma’sūr, Jilid 2, (Beirūt: Dar al-Fikr, 2011) 714. 56 Abu al-Qāsim Jar Allah Mahmūd bin ‘Umar al-Zamakhsyary al-
Khawārizmi, Tafsīr al-Kasyāf, cet III (Beirut: Dar al-Marefah, 2009), 271.
106
ayat saja namun juga terkait erat dengan kandungan ayat-ayat
sebelumnya.
3. Akidah Dalam ayat yang berbicara terkait akidah juga bisa dilihat
bagaimana untuk memahami asma al-husna pada penutup ayat
tersebut harus melihat ayat-ayat sebelumnya seperti pada ayat
berikut;
ه إليه فعه ٱلل يزا حكيما بل ر ه عز وكان ٱلل Artinya: Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat
Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.57
Penjelasan al-Marāghi terkait pembuka ayat di atas
mengenai Nabi Isa diangkat oleh Allah kesuatu tempat yang tidak
dikuasai oleh hukum kecuali hukum Allah,58 disepakati juga oleh
al-Biqā’i59 sedang menurut al-Razi Nabi Isa diangkat dari dunia ke
langit,60 hal ini disetujui juga oleh Ibn Jauzi dengan dalil hadis
tentang isra’ mi’rajnya Nabi Muhammad Saw yang bertemu Nabi
Isa di langit kedua,61 hal ini menurut al-Alusy juga menjadi
pengingkaran terhadap terbunuhnya Nabi Isa dan sekaligus
menjadi penguat akan diangkatnya Nabi Isa ke sisi Allah.62
Imam al-Tabari dalam tafsirnya mengutip pendapat dari
Abu ja’far bahwa maksud lafaz bal rafa’ahu Allahu ilaihi adalah
diangkatnya Nabi Isa ke sisi Allah dan beliau tidak dibunuh
maupun disalib, tetapi Allah mengangkat Nabi Isa ke sisi-Nya
untuk mensucikannya dari orang-orang kafir.63
Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah Swt;
57 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 158 58 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 6, 14. 59 Al-Biqā’i, Nazm al-Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5,
467. 60 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 104. 61 Abi Faraj Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin ‘Ali bin Muhammad
al-Jauzi al-Qursy al-Baghdādi, Zād al-Masīr fi ‘Ilmi Tafsīr, jilid 2, (tt: al-
Maktāb al-Islāmi, tt), 246. 62 Abi Fadl Syihābuddin Mahmud al-Alusi al-Bagdadi, Rauh al-
Ma’āni, jilid 6, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi). 12. 63 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin Ghalib al-
Amali al- Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wīl al-Qur’an, jilid 9, cet. II (Kairo:
Maktabah ibn Taimiyah, tt), 378.
107
يزا حكيما ه عز وكان ٱلل Artinya: Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.64
Penafsiran al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;
يغلب ولا يغلب، وبهذه العزة أنقذ عبده .أي إن الل ه عزيزورسوله من اليهود الماكرين وحكام الروم الظالمين و بحكمته .جازی كل عامل بعمله ، ومن ثم أحلى باليهود ما أحل بهم من
وسيوفهم جزاءهم يوم .الذلة والمسكنة والتشريد في الأرض .يوم لا تملك نفس لنفس شيئا والأمر يومئذ لل ه»القيامة
Allah Maha Perkasa yakni Maha Menang dan tak
terkalahkan. Dengan keperkasaan tersebut Dia
menyelamatkan hamba dan Rasul-Nya dari rombongan
kaum Yahudi yang berbuat makar, dan dari penguasa
Romawi yang zalim. Allah Maha Bijaksana, yang dengan
kebijaksanaan-Nya itu Dia memberi balasan kepada siapa
pun sesuai dengan amal perbuatan.65
Dalam surah al-Nisā’, sifat Alīman Hakīman menjadi
penutup pada 8 ayat yaitu pada ayat 11, 17, 24, 26, 92, 104, 111
dan 170. Tiga ayat berbicara kepada umat manusia yaitu ayat 11,
17 dan 170. Satu kepada kaum munafik dalam ayat 111 dan empat
kepada masyarakat mukmin pada ayat 24, 26, 92 dan 104.
Kandungan dari kedelapan ayat tersebut terdiri dari 4 ayat terkait
hukum, tiga terkait ibadah dan satu terkait adab.
Sifat ‘Azīzan dihubungkan oleh al-Marāghi dengan
keputusan Allah yang mengangkat Nabi Isa ke sisi-Nya
sedangkan menurut al-Razi yang dimaksud ‘Azīzan dalam ayat di
atas adalah sempurna kekuasaannya.66 Sedangkan sifat Hakīman
sebagai Allah Yang maha Bijaksana menurut al-Razi sempurnya
ilmu-Nya,67maka dia akan memberikan balasan kepada mereka
yang sudah berbuat anianya kepada Nabi Isa.
64 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 158 65 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 6, 15. 66 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 104. 67 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 104.
108
Dalam ayat di atas tidak disebutkan mengenai pengangkatan
Nabi Isa tersebut, sehingga harus merujuk kepada ayat
sebelumnya—yang diindikasikan oleh kalimat bal pada awal ayat
sebagai huruf ‘ataf68—sebagai berikt;
بغير فبما نقضهم م يثقهم وكفرهم بايت ء وقتلهم ٱلأنبيا ه ٱلل ا ه عليها بكفرهم فلا يؤمنون إل بنا غلف بل طبع ٱلل حق وقولهم قلو
ليلا وبكفرهم وقولهم على بهتنا عظيما ق يم ا قتلنا مر وقولهم إن وما ص ٱ وما قتلوه ه رسول ٱلل يم ولكن لمسيح عيسى ٱبن مر لبوه
لهم شب ه وإن ٱل ذين ٱختل فيه لفي شك م نه ما لهم بهۦ من علم فواباع ٱل ا ٱت ن إل ا ظ وما قتلوه يقين
Artinya: Maka (Kami lakukan terhadap mereka beberapa
tindakan), disebabkan mereka melanggar perjanjian itu, dan
karena kekafiran mereka terhadap keterangan-keterangan
Allah dan mereka membunuh nabi-nabi tanpa (alasan) yang
benar dan mengatakan: "Hati kami tertutup". Bahkan,
sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena
kekafirannya, karena itu mereka tidak beriman kecuali
sebagian kecil dari mereka. Dan karena kekafiran mereka
terhadap Isa dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan
kedustaan besar zina, dan karena ucapan mereka:
"Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra
Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak
membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang
mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi
mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham
tentang pembunuhan Isa, benar-benar dalam keragu-raguan
tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai
keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali
mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin
bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.69
Pemahaman bahwa ayat tersebut berbicara terkait Nabi Isa
setelah melihat ayat sebelumnya di atas. Hubungan antara sifat
68 Muhammad ‘Ali Taha al-Durrah, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa
I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, 685. 69 Lihat QS. Al-Nisa [4]: 155
109
‘Azīzan Hakīman tersebut berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya,
yang munasabah seperti demikian dinamai dengan tafsīr. Sifat
‘Azīzan Hakīman memiliki kaitan erat tidak hanya pada pembuka
ayat di atas namun juga dengan kandungan beberapa ayat
sebelumnya.
4. Ibadah Munasabah asma al-husna dengan kandungan beberapa
ayat sebelumnya seperti untuk memahami sifat Ghafūran
Rahīman harus melihat beberapa ayat sebelumnya seperti contoh
ayat berikut;
ه حيما وٱستغفر ٱلل ه كان غفورا ر إن ٱلل Artinya: dan mohonlah ampun kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.70
Asbāb al-Nuzūl ayat di atas sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Ibn jarīr dari Qatadah, terkait Tu’mah bin
Ubairiq, seorang laki-laki dari kaum Ansar dan termasuk anggota
Bani Zafar, yang mencuri baju besi pamannya yang dititipkan
kepadanya. Tu’mah menuduh bahwa pencurinya adalah seorang
Yahudi bernama Zaid bin Samin yang pernah menipu mereka.
Orang Yahudi itu kemudian datang kepada Nabi Saw. Ketika
kaumnya (Tu’mah bin Ubairiq), Bani Zafar, melihat hal itu,
mereka segera datang kepada Nabi Saw, untuk memberikan uzur
temannya. Nabi Saw pun hampir menerima uzurnya itu. Sehingga
Allah Swt menurunkan surah al-Nisā’ ayat 105, Tu’mah
menuduh pencurian itu kepada orang yang tidak bersalah. Ketika
Allah menjelaskan keadaan Tu’mah, dia munafik dan bergabung
dengan kaum musyrikin di Makkah. Maka Allah menurunkan
ayat;
سبيل بع غير ٱلهدى ويت سول من بعد ما تبي ن له ومن يشاقق ٱلر ءت مصيرا م وسا ٱلمؤمنين نول هۦ ما تول ى ونصلهۦ جهن
Artinya; Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
70 QS. Al-Nisā’ [4]: 106.
110
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.71
Al-Marāghi menjelaskan kandungan ayat di atas tekait
perintah untuk memohon ampun kepada Allah di dalam
memutuskan perkara manusia karena kecenderungan kamu
terhadap orang-orang yang lebih pandai mengemukakan
hujjahnya, atau cenderung kepada seorang muslim karena berbaik
sangka kepada keislamannya. Al-Marāghi menyebutkan seorang
yang melakukan dosa dengan secara tidak sengaja tetap wajib
memohon ampun kepada Allah.72
Dalam ayat di atas, menurut al-Marāghi terkandung pula
isyarat agar meningkatkan perhatian terhadap kebenaran,
meskipun hanya sekedar berpaling kepada orang yang hendak
memperdaya. Keyakinan pribadi dan agamis tidak boleh
mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam memutuskan
perkara dengan adil.73
Al-Marāghi melanjutkan bahwa sebelum ayat ini
diturunkan Nabi Saw mengamalkan sesuatu sesuai dengan
keyakinannya sehingga beliau selalu berbaik sangka terhadap
suatu perkara yang pada hakikatnya telah Allah jelaskan secara
gaib.74Perintah istigfar dalam ayat di atas terkait dengan dosa
pada ayat sebelumnya75 yaitu ketika terdetik dalam hati Rasul
untuk membela Tu’mah bin Ubayriq yang disebut dalam asbāb
al-nuzūl di atas,76 namun menurut Abu Hayyan, Nabi
diperintahkan untuk istigfar karena dosa umatnya yang membela
kaum kaum munafik.77
71 QS. Al-Nisā’ [4]: 115. 72 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 73 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 74 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 75 Al-Razi, Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 11, 69 76 Sabuni, Safwah al-Tafāsīr, jilid I 290. 77 Muhammad bin Yusuf al-Sayyid bi abi Hayyān al-Andalusi, al-
Bahr al-Muhīt, jilid 3, cet. III (Beirut: Dar al-Kutub al-Islami, 1993), 381.
111
Kemudian ayat di atas ditutup dengan firman Allah Swt;
حيما ه كان غفورا ر إن ٱلل Artinya; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.78
Penjelasana al-Marāghi terkait penutup ayat di atas adalah;
.أى إنه تعالى مبالغ فى المغفرة والرحمة لمن استعفرهArtinya: Sesungguhnya Allah Maha Sempurna
pengampunan dan rahmat-Nya bagi orang-orang yang
meminta ampun kepada-Nya.79
Kemudian ayat di atas ditutup dengan sifat Ghafūran
menunjukkan Allah sebagai yang Maha Pengampun dan
Rahīman, Allah sebagai yang Maha Penyayang. Al-Marāghi
menafsirkan sifat Ghafūran sebagai dorongan untuk umat
manusia supaya senang meminta ampum kepada Allah yang
sempurnya pengampuna dan rahmat-Nya.
Padahal melihat dari struktur kalimat maka didapati jika
kalimat istaghfir adalah bentuk fi’il amar yang failnya adalah
dhamiīr mustatir dalam bentuk huwa yang merujuk kepada
tunggal, sehingga kurang tepat jika ditujukan kepada umat
manusia secara kaidah kebahasaan, begitu juga jika merujuk
kepada huruf waw pada awal kalimat adalah huruf ‘ataf,80
sehingga harus merujuk ke ayat sebelumnya.
ا أنزلنا ين ٱ إن لتحكم ب إليك ٱل كتب بٱلحق ه اس بما أرىك ٱلل لن ين خصيما ن ئ ولا تكن ل لخا
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab
kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi
penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang yang khianat.81
78 Lihat: QS. Al-Nisā’ [4]: 106. 79 Al-Marāghi, Tafsir al-Marāghi, jilid 5, 148. 80 Muhammad ‘Ali Taha al-Durrah, Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa
I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, 106. 81 QS. Al-Nisā’ [4]: 105
112
Ayat di atas menurut Quraish Shihab, ditujukan kepada
Nabi Muhammad Saw yang telah diturunkan kepadanya sebuah
kitab yang amat sempurna yang mengandung tuntunan yang
sesuai lagi haq dalam segala aspeknya supaya Nabi mengadili
perkara ditengah umat manusia sesuai dengan yang telah Allah
wahyukan. Ayat di atas juga sebagai sebuah larangan kepada
Nabi Saw supaya tidak menjadi penantang orang yang bersalah
karena membela pengkhiatan.82
Dengan melihat ayat 105 di atas maka dapatlah diketahui
bahwa perintah istaghfir merujuk kepada Nabi Saw sehingga
Allah Maha Pengampun dan Penyayang ketika Nabi meminta
ampun kepada Allah karena sempat terlintas dalam benak Nabi
niat untuk membela orang-orang yang berkhianat, meski hal itu
berdasarkan ketidaktahuan dan sangkaan baik beliau kepada
sesama muslim.
Hubungan asma al-husna di atas tidak hanya berkaitan
dengan ayat tersebut namun juga menjadi penjelas dari ayat
sebelumnya sehingga munasabah demikian dinamakan dengan
munasabah tafsīr.
82 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 2, 699-700
113
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Temuan yang dihasilkan dari penelitian yang berjudul
“Munasabah Kandungan Ayat dengan Asma Al-Husna sebagai
Penutup Ayat Dalam Surah Al-Nisā’ Menurut Al-Marāgi”
sebagai berikut;
Al-Maraghi mengungkapkan munasabah antara kandungan
ayat dan asma al-husna sebagai penutup ayat tidak secara
langsung sebagaimana ketika ia menjelaskan munasabah antar
surat dan antar kelompok ayat, namun munasabah tersebut bisa
diteliti dengan melihat indikasi-indikasi yang menunjukkan
tentang adanya munasabah. Al-Marāghi juga tidak menggunakan
klasifikasi munasabah—tamkīn, tausīkh, tashdīr dan al-ighal—
antara kandungan dan penutup ayat seperti yang telah digagas
oleh pakar ‘Ulum Al-Qur’an seperti al-Suyuti dan al-Zarkasy.
Boleh jadi hal tersebut menunjukkan bentuk komitmen al-
Maraghi yang berusaha untuk menggali hidayah yang terdapat
pada al-Qur’an dengan tidak memperumit para pembaca
mengenai uraian yang rumit dan berbelit. Komitmen tersebut
beliau sampaikan pada permulaan penulisan Tafsīr Al-Marāghi
Corak munasabah yang dikemukakan oleh al-Marāghi
terkait munasabah kandungan ayat dan asma al-husna sebagai
penutup ayat adalah ijtihadiyyah—hasil dari pemahaman beliau
sendiri mengenai teks. Dalam mengungkapkan munasabah
kandungan ayat dan asma al-husna sebagai penutup ayat, al-
Marāghi menggali dari segi maknawiyyah bukan uslūbiyyah.
Temuan di atas semakin menguatkan tentang adanya
munasabah dalam kitab suci al-Qur’an terutama dalam hubungan
kandungan dan asma al-husna yang terdapat pada penutup ayat.
Selain itu, ada juga temuan lainnya berupa asma al-husna
pada penutup ayat adakalanya berhubungan dengan kandungan
ayat yang terlihat dalam satu ayat ada juga yang berhubungan
dengan beberapa ayat sebelumnya dalam memahami maksud
asma tersebut.
114
B. Saran-Saran
Mengakhiri tulisan ini, penulis menyarankan untuk peneliti
selanjutnya yaitu;
1. Kesatuan al-Qur’an adalah sebuah tema yang menarik
dibahas mengingat al-Qur’an tidak disusun berdasarkan
kronologis turunnya sehingga menimbulkan pertanyaan
filosofis terkait alasan penyusunan mushaf seperti yang kita
saksikan dewasa ini.
2. Penelitian mengenai aspek-aspek penafsiran yang
menggunakan teori-teori Ulumul Qur’an masih kurang masif
dikalangan ilmuan muslim. Untuk itu diharapkan para
pemerhati ilmu-ilmu al-Qur’an untuk mengarahkan
penelitiannya pada aspek yang disebutkan.
3. Penelitian yang penulis lakukan masih berupa bagian kecil
dari besarnya ilmu ulumul Qur’an yang telah ditulis oleh para
ulama, sehingga peneliti selanjutnya bisa mempertajam hasil
dari penlitian ini.
115
DAFTAR PUSTAKA
‘Abduh, Muhammad. Tafsir al-Qur’an al-Hakim, jilid 5, cet. II,
Kairo: Dar al-Manār, 1947.
al-Andalusi, Abi Muhammad Abdul al-Haq bin Ghālib bin
‘Atiyyah. al-Muharrar al-Wajiz, jilid 2, cet. I Bairut: Dar
al-Kutub al-‘Alamiyyah, 2001.
al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf al-Sayyid bi abi Hayyān. al-
Bahr al-Muhīt, jilid 3, cet. III, Beirut: Dar al-Kutub al-
Islami, 1993.
Ali, Iyazi Muhammad. al-Mufassirun (hayatuhum wan
manhajuhum), Taheran; 1414.
Amrullah, Abdulmalik Abdulkarim. Tafsir al-Azhar, jilid 2,
Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 1989.
Ansori. Ulumul Qur’an (Kaidah-kaidah Memahami Firman
Tuhan), Cet. III Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2016.
Anwar, Hamdani. Pengantar Ilmu Tafsir: Bagian Ilmu Tafsir, cet.
I Jakarta: Fikahati Aneska, 1995.
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka
Setia, 2009.
Baidowi, A. Konsep Syafaat Dalam al-Qur’an (Suatu Kajian atas
Tafsir al-Marāghi), Tesis: UIN Jakarta, 2003.
Baqi’, Muhammad Fuad Abdul. Mu’jam Mufarras li Alfaz al-
Qur’an al-Hakīm, Kairo: Dar al-Hadis, 2007.
Boullata, Issa J. I’Jaz al-Qur’an al-Karim ‘Abra al-Tarikh
diterjemahkan oleh Bachrum Tangerang: Lentera Hati,
2008.
al-Badr, Abdulrazzaq bin Abdul Muhsin Al-‘Abbad. Fiqh Asma
Al-Husna, diterjemahkan oleh Abdurrahman Thayyib,
Jakarta: Darus Sunnah, 2018.
al-Bagdadi, Abi Fadl Syihābuddin Mahmud al-Alusi. Rauh al-
Ma’āni, jilid 6, Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi.
al-Baghdādi, Abi Faraj Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahmān bin ‘Ali bin
Muhammad al-Jauzi al-Qursy. Zād al-Masīr fi ‘Ilmi Tafsīr,
jilid 2, tt: al-Maktāb al-Islāmi, tt.
116
al-Biqā’I, Burhanuddin Abi Hasan Ibrahim bin ‘Umar. Nazm al-
Durar fi Tanāsub al-Ayat wa al-Suwar, Jilid 5, Kairo: Darr
Kitāb al-Islāmi, tt.
al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Sahih Bukhari,
Kairo: Dar al-Atrak, tt.
-------, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari,
Kairo: Al-Quddus, 2014.
Damanhuri. Ijtihad Hermeneutis, Yogyakarta: IRCiSoD, 2016.
Darwazah, M. Izzat. Tafsir al-Hadis, Jilid. VI, Cet. I kairo: Darr
al-Qarbu al-Islami, 2000.
Djalal, Abdul. Tafsir al-Marāghi dan al-Nur (Sebuah Studi
Perbandingan), IAIN Jakarta: Disertasi, 1985.
al-Durrah, Muhammad ‘Ali Taha. Tafsīr al-Qur’an al-Karīm: wa
I’rābuhu wa Bayānuhu, jilid 2, cet. I, Beirut: Dar Ibn Kasir,
2009.
Fath, Amir Faishol. The Unity of al-Qur’an diterjemahkan
Naisiruddin Abbas, cet.1 Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2010.
Fitrotin, Metodologi dan Karakteristik Penafsiran Ahmad Mustafa
al-Maraghi Dalam Kitab Tafsir al-Maraghi, Vol 1, 117.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an,
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008.
al-Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Maqsad
al-Asna (Syarh Ma’ani al-Asma al-Husna, Cet. I Cyprus:
Dar Ibn Hazm, 2003.
Hakim, Husnul. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir al-Qur’an,
Jakarta: el-SiQ, 2013.
Hakim, Lukmanul. Analisis Tentang Aspek Munasabah Dalah
Kitab Tafsir al-Marāghi, Disertasi: UIN Jakarta, 2006.
Haleem, Muhammad Abdel. Understanding Quran: Themes and
Style diterjemahkan oleh Rofik Suhud, cet. I, Tebuireng:
Marja’, 2002.
Hamid, Shalahuddin. Study Ulumul Qur’an, Jakarta: PT Intimedia
Ciptanusantara, tt.
Hammūs, Ma’mūn. Tafsir Ma’mūn, Jilid 2, cet. I, Suriah: tp, 2007.
Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an, cet. III Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset, 2016.
al-Hamdi, ‘Abd al-Qādir bin Syaibah. Tahzib al-Tafsīr wa Tajrīd
al-Ta’wīl, jilid 4, cet. I, Riyad: Maktabah al-Ma’ārif li Nasr
wa al-Tauzī’, 1993.
117
Katsir, Ibn. Tafsīr al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid. II Jepang: Maktabah
al-Walad al-Syaikh li al-Turas, 2000.
al-Khawārizmi, Abu al-Qāsim Jar Allah Mahmūd bin ‘Umar al-
Zamakhsyary. Tafsīr al-Kasyāf, cet III Beirut: Dar al-
Marefah, 2009.
Maarif, Muhammad Syafii. al-Qur’an dan Realitas Umat, Jakarta:
Republika, 2010.
Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah (diterjemahkan oleh: Khoirul Amru Harahap, dkk),
Jakarta Timur, Pustaka Al-Kautsar, 2007.
Musaddad, Endad. Munasabah Dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib,
Tesis: UIN Jakarta, 2005.
al-Marāghi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Marāghi, Jilid 1 Bairut:
Darul Fikr, 1974.
Nasrudin, Juhana. Kaidah Ilmu Tafsir al-Qur’an Praktis, cet. I
Yogyakarta: Deepublish, 2012.
Nugraha, Eva. Komodisfikasi Dan Preservasi Kitab Suci, cet. I
Ciputat: Hipius, 2019.
Qadrdan, Muahammad Hasan. al-Qur’an wa Sekulorizm
diterjemahkan oleh Ammar Fauzi Heryadi Jakarta: Sadra
International Institute, 2011.
Qiraati, Muhsin. Lesson From al-Qur’an diterjemahkan oleh M
MJ. Bafaqih dan Dede Azwar Nurmansyah, Bogor:
Cahaya, 2004.
al-Qāsimy, Muhammad Jamāl al-Dīn. Tafsīr al-Qāsimy: Mahāsin
al-Ta’wīl, Jilid I, cet. I, tt: Dar al-Hayā’ al-Kitāb al-
‘Arabiyyah, 1957.
al-Qattan, Manna Khalil. Mabāhis fi Ulūm al-Qur’an
diterjemahkan oleh Muzakir, cet. xviii, Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2015.
al-Qattan, Manna. Mabahīs fi ‘Ulūm al-Qur’an, cet. III, Riyadh:
Maktabah al-Ma’arif li al-Nasyr wa al-Tauzi’,2000.
al-Qazwaini, Ahmad bin Faris bin Zakaria bin Muhammad bin
Habib Abu Husain al-Razi. Maqāyis al-Lughah, Kairo: Dar
al-Ifaq al-Arabiyyah, 2017.
Rauf, Mu’min. Pendekatan Ta’wil al-Marāghi Terhadap Ayat-
ayat Mutasyabihat, Tesis: UIN Jakarta, 2007.
Said, Hasani Ahmad. Diskurs Munasabah al-Qur’an (Kajian Atas
Tafsir al-Mishbah), UIN Jakarta: Disertasi, 2011.
116
------, Hasani Ahmad. Studi Islam 1: Kajian Islam Kontemporer,
cet. I Jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Sayadi, Wajidi. Telaah Kritis Atas Riwayat Asbab al-Nuzul Dalam
tafsir al-Marāghi (Studi Analisis Ilmu Kritik Hadis), UIN
Jakarta: Disertasi, 2006.
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, Pisangan: Lentera Hati, 2013.
--------, M. Quraish. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw Dalam
Sorotan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, Cet. IV
Ciputat: Lentera Hati, 2014.
-------, M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-
Qur’an, cet. II Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah, Pisangan: Lentera Hati, 2012.
Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik Atas
Ayat-ayat Hukum Dalam al-Qur’an, cet. V, Jakarta:
Penamadani, 2008.
Syafe’I, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir, Cet. II, Bandung:
Pustaka Setia, 2012.
Syarif, Jamaluddin Muhammad. al-Qiraah al-‘Asyirah al-
Mutawatirah min Thariq al-Syatibiiyah wa al-Dhurah,
Cet. V Darr al-Shahabah, 2016.
al-Sabuni, Ali. Safwah al-Tafāsir, Jilid. I Kairo: Dar Al-Shabuni,
1399 H.
al-Suyuti, ‘Abd al-Rahmān bin Kamāl Jalal al-Dīn. Al-Dur
mansur fi al-Tafsī al-Ma’sūr, Jilid 2, Beirūt: Dar al-Fikr,
2011.
--------, Dur al-Mansyur fi Tafsīr al-Ma’sur, Jilid II Libanon: Darr
al-Fikr, 2011.
al-Sya’rāwi, Muhammad Mutawally. Tafsīr al- Sya’rāwi, Jilid 5,
tt: Akhbār al-Yaum, 1991.
al-Syuyuti, Jalaluddin Abi Abdirrahman. Asbāb al-Nuzūl (Al-
Musamma-Lubab al-Nuqul fi Asbāb al-Nuzūl), cet. I
Bairut: Muassah al-Kutub al-Tsaqafiyah, 2002.
Taqiyuddin, M. Ulumul Qur’an, cet. 1 Bengkulu: LP2 Stain Curup,
2010.
al- Tabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kasir bin
Ghalib al-Amali. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wīl al-Qur’an,
jilid 9, cet. II Kairo: Maktabah ibn Taimiyah, tt.
al-Tirmidzi, Muhammad bin Isa bin Surah. Sunan al-Tirmidzi,
kairo: Al-Quds, 2009.
119
al-Tubany, Ziyad. Membaca dan Memahami Konstruksi al-
Qur’an, Jakarta: Indomedia Group, 2006.
‘Umar, Muhammad al-Razi Fakhr al-Dīn Ibn al-‘Allāmah Diyā’
al-Dīn. Tafsir Mafātih al-Ghaib, Jilid 9, cet. I, Bairut: Dar
al-Fikr, 1981.
Zaid, Nasr Hamid Abu. Mafhūn Al-Nas Dirāsah fi Ulūm al-Qur’an
dialihbahasakan oleh Khoiron Nahdliyyin, cet. IV,
Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.
Zaini, Abdul Wahid dan Muhammad. Pengantar ‘Ulumul Qur’an
& ‘Ulumul Hadis, cet.I, Banda Aceh: Yayasan PeNA,
2016.
Zaini, Hasan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Marāghi, IAIN
Jakarta: Disertasi, 1995.
al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin Abdillah. al-Burhān fi
‘Ulūm al-Qur’an, jilid 1 Cairo: Al-Quddus, 2016.
al-Zarkasyi. al-Burhān fi ‘Ulūm al-Qur’an, Kairo: Dar Al-Turas,
tt.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Hasiolan. M.Ag lahir di Dusun Payo
Kumbang, Desa Muara Cuban, Kec.
Batang Asai, Kab. Sarolangun, Jambi.
Tepat pada tanggal 25 September
1993.
Riwayat pendidikan di mulai di
Sekolah Dasar (SD) 227 Muara Sungai
Pinang, 1999- 2005, dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) 1999-2005. Sekolah
Menengah Pertama (SMP), 2005-
2008. Madrasah Aliyah (MA), 2008-
2011. Pesantren Al-Irsyadiyah, Mensango-Tabir Lintas, 2008-
2011. Institut PTIQ Jakarta, 2011-2015. Dan Pesantren Nurul
Qur’an, 2012-2015. Pare, 2015-2016. STIS Al-Manar, 2017-
2018. Magister UIN Jakarta, 2016-2020.
Semasa sekolan dan kuliah penulis aktif sebagai peserta dalam
event MTQ baik kota atau provinsi, pada saat ini, penulis
diamanahi menjadi Pembina organisasi daerah KMA Jambi dan
turut serta mengisi dakwah-dakwah keislaman seperti pengajian
rutin, dll. Kesibukan sehari-hari dipercaya untuk menjadi Imam
Masjid Al-Bilal Cempaka Baru, Kemayoran Jakarta Pusat.
Recommended