View
21
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Republik Indonesia
tentang Pembentukan Wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi
Dessy Eko Prayitno dan Haryani Turnip
2018
Pernyataan
Naskah ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional
Amerika Serikat (USAID). Isi dari naskah ini adalah tanggung jawab penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
DAFTAR ISI
_Toc36826617 BAB I: PENDAHULUAN ....................................................................................................................................................... 1
LATAR BELAKANG .......................................................................................................................................................... 1 IDENTIFIKASI MASALAH ................................................................................................................................................ 2
A. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik ................................................................ 2 B. Metode .................................................................................................................................................................... 2
BAB II: KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS ................................................................................................... 3 A. Perspektif Sejarah ................................................................................................................................................. 3 B. Pembentukan KPH ............................................................................................................................................... 3
BAB IV: JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP ........................................................ 14 A. KPH Memecahkan Persoalan Kelembagaan ................................................................................................. 14 B. Kriteria Umum dan Kunci Sukses KPH ......................................................................................................... 16 C. Wilayah Kelola KPH .......................................................................................................................................... 18
1
BAB I: PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan merupakan mandat Pasal 12 jo Pasal 17 Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Wilayah pengelolaan hutan dibentuk ditingkat provinsi, kabupaten/kota, dan
unit pengelolaan. Khusus untuk unit pengelolaan, yang lebih dikenal dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan
(KPH) dibentuk dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi DAS, sosial
budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat, dan batas administrasi pemerintahan. Penjelasan Pasal
17 kemudian merinci jenis-jenis KPH, yaitu: Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Hutan
Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan
Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai (KPDAS).
Hingga tahun 2018, capaian penetapan wilayah KPH Konservasi adalah seluas 97,4 juta ha pada 38 Taman
Nasional dan 109 Non Taman Nasional.1 Tantangan utama untuk mewujudkan pembentukan (dan
operasionalisasi) KPHK adalah belum adanya norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) pembentukan
wilayah dan operasionalisasi KPHK. Satu-satunya peraturan yang menjadi rujukan pembentukan wilayah
KPHK adalah Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No.
P.3/KSDAE/SET/KSA.1/7/2016 tentang Petunjuk Teknis Operasional Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (Perdirjen P.3/2016) serta dua kebijakan Dirjen KSDAE berupa Surat Edaran Direktur Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. S.502/KSDAE-PIKA/2015 mengenai Penyusunan Rancang
Bangun KPHK Non-TN dan Surat Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No.
S.544/KSDAE-PIKA/2015 mengenai Rancang Bangun Pembentukan KPHK Tahun 2015. Namun demikian,
Perdirjen P.3/2016 dan dua kebijakan ini belum efektif dalam memastikan pengelolaan KPHK.
Lampiran bidang kehutanan pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU
23/2014) menyebutkan pelaksanaan pengelolaan Taman Hutan Raya (Tahura) dalam satu wilayah
kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota, sedangkan untuk wilayah Tahura
yang berada lintas daerah menjadi tanggung pemerintah daerah provinsi. Pemerintah pusat hanya memiliki
kewenangan dalam hal penetapan wilayah Tahura. Penegasan pembagian kewenangan dalam pengelolaan
Tahura belum menjamin penyederhanaan koordinasi pengelolaan kawasan konservasi karena Peraturan
Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004) dan Peraturan Menteri
Kehutanan No. 6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH (Permenhut 6/2009) menyatakan
bahwa hutan konservasi dan/atau hutan lindung dan/atau hutan produksi yang tidak layak untuk dikelola
menjadi satu unit pengelolaan hutan, maka pengelolaannya disatukan dengan unit pengelolaan hutan
terdekat, tanpa mengubah fungsi pokoknya. Hal ini dalam prakteknya mungkin akan terjadi hambatan akibat
adanya kewenangan yang berbeda-beda dalam satu unit KPH.
1 Tabel Data dan Informasi KPH, http://kph.menlhk.go.id , diakses pada tanggal 24 Oktober 2018.
2
IDENTIFIKASI MASALAH
Naskah akademik ini mengidentifikasi beberapa permasalahan dalam kaitannya dengan pembentukan wilayah
KPHK, antara lain:
1. urgensi pembentukan KPHK untuk menjawab permasalahan pengelolaan hutan konservasi
2. kriteria dan indikator pembentukan KPHK
3. desain wilayah KPHK, termasuk apabila calon wilayah berdekatan atau didalam hutan produksi atau
hutan lindung atau Tahura dan memiliki potensi untuk disatukan dengan wilayah KPHK;
4. hal-hal lain yang perlu diperhatikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam tahapan
pembentukan wilayah KPHK, misalnya mekanisme pembentukan KPHK, organisasi KPHK dan
koordinasi antar Direktorat Jenderal didalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk
pengelolaan KPH.
A. TUJUAN DAN KEGUNAAN KEGIATAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK
1. Tujuan
Tujuan utama penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan untuk memberikan landasan pemikiran akademik
dalam menyusun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan Pembentukan Wilayah
KPHK.
2. Kegunaan
Naskah Akademik ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam menyusun Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan Pembentukan Wilayah KPHK. Selain itu, Naskah akademis
merupakan satu kesatuan dokumen rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait
dengan Pembentukan Wilayah KPHK
B. METODE
Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik ini adalah yuridis-empiris, yaitu dengan
melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan KPH, yang kemudian
dibandingkan dengan penerapan peraturan perundang-undangan dalam pengelolaan KPHK.
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptis-analitis, yaitu dengan memaparkan realitas empiris
pengeloaan KPHK.
Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka
terhadap peraturan perundang-undangan dan literatur, yang mencakup:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma (dasar) atau
kaidah dasar serta norma yang yang terkait dengan isu kehutanan, KPH, dan pemerintah daerah.
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, tesis,
disertasi, jurnal dan seterusnya.
3. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, dan seterusnya.
Sedangkan data primer diperoleh melalui diskusi dengan berbagai pihak dan narasumber yang berkompeten
3
BAB II: KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. PERSPEKTIF SEJARAH
Pada umumnya, kawasan konservasi di Indonesia berasal dari kawasan hutan yang telah ditunjuk pada masa
kolonial Belanda. Kawasan konservasi tersebut dapat berasal dari hutan cadangan botani yang dikelola oleh
Dinas Kehutanan dan yang dikelola oleh Kebun Raya Negara Bogor, serta monumen alam yang dikelola oleh
pihak swasta. Pasca terbitnya Undang-Undang Monumen Alam, kawasan konservasi tersebut kemudian
ditetapkan menjadi monumen alam. Selain itu, banyak kawasan yang kemudian ditetapkan sebagai wilayah
tempat melindungi jenis-jenis satwa yang hidup di dalamnya, khususnya dari kegiatan perburuan yang marak
terjadi saat itu. Oleh karena itu, kemudian diterbitkan berbagi ordonansi untuk menertibkan kegiatan
perburuan.
Dalam perkembangannya, upaya perlindungan alam serta jenis satwa semakin meluas dengan semakin banyak
ditetapkannya penyisihan kawasan hutan sebagai natuurmonumenten dan wildreservaat. Sejalan dengan
perkembangan upaya konservasi alam dan satwa, kemudian diterbitkan Ordonansi Perlindungan Alam.
Namun demikian, dengan pendudukan Jepang pada tahun 1942, kegiatan perlindungan alam dan jenis-jenis
satwa tidak berjalan. Upaya konservasi baru kembali dilakukan setelah masa kemerdekaan, yaitu dengan
terbitnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU 5/1967).
Berdasarkan UU 5/1967, Menteri menetapkan hutan negara, diantaranya sebagai hutan suaka alam dan hutan
wisata. Menurut Pasal 3 ayat (3) UU 5/1967, hutan suaka alam merupakan kawasan hutan yang karena
sifatnya yang khas diperuntukkan secara khusus untuk perlindungan alam hayati dan/atau manfaat-manfaat
lainnya, seperti perlindungan hewan dan tumbuhan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Kemudian Pasal 3
ayat (4) UU 5/1967 mengatur bahwa hutan wisata diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara
guna kepentingan pariwisata dan wisata buru. Sejak saat itu, semua kawasan natuurmonumenten dan
wildreservaat ditetapkan sebagai cagar alam dan suaka margasatwa. Dan pada akhir tahun 1970an hingga
awal 1980an, banyak kawasan konservasi ditetapkan secara parsial dengan keputusan Menteri Pertanian.
Pada tahun 1982, dengan bantuan Food And Agriculture Organization (FAO), World Wildlife Fund (WWF),
Indonesia menyusun National Conservation Plan (NCP). Dalam NCP tersebut dimasukkan semua kawasan
konservasi yang telah ditetapkan serta usulan-usulan baru yang didasarkan pada potensi ekologi kawasan.
Kemudian pada tahun 1990 lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU 5/1990). Lahirnya UU 5/1990 memberikan dasar bagi penunjukan dan
pengelolaan kawasan konservasi. Berdasarkan UU 5/1990, penunjukkan dan penetapan konservasi
selanjutnya dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan NCP yang telah disusun dan berdasarkan usulan-
usulan baru dari berbagai pihak.
B. PEMBENTUKAN KPH
Pembentukan KPH pertama kali diamatkan dalam UU 5/1967, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (UU 41/1999), Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP
44/2004), Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (PP 6/2007). Dalam beberapa peraturan tersebut
memandatkan pembentukan KPH yang terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan
KPH Produksi (KPHP). Namun demikian, jika menilik dari Penjelasan Pasal 17 ayat (1), masih ada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).
4
Khusus terkait dengan KPHK. Isu konservasi merupakan isu global yang menjadi perhatian dunia. Oleh
karena itu, pembentukan KPHK dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai konvensi internasional,
seperti CBD, IUCN, dll.
Pembentukan KPHK merupakan suatu proses untuk menggabungkan kawasan konservasi. Kawasan-kawasan
konservasi yang telah dievaluasi akan memberikan peluang untuk dilakukan penggabungan atau nested menjadi unit KPHK. Pembentukan KPHK akan memperhatikan berbagai aspek, yaitu: biologi, physiografi,
luas kawasan konservasi, target konservasi, kondisi tutupan lahan, dll.
P.6/2009 secara umum mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH, yang meliputi: KPHK,
KPHL, dan KPHP. Secara prinsip, KPH ditetapkan dengan ketentuan:\
1. Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas
wilayah administrasi pemerintahan.
2. Jika KPH terdiri dari atas lebih dari satu fungsi pokok hutan, maka penetapan KPH didasarkan
kepada fungsi pokok hutan yang luasnya dominan.
P.6/2009 mengatur bahwa pembentukan wilayah KPH harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Karakteristik lahan.
2. Tipe hutan.
3. Fungsi hutan.
4. Kondisi daerah aliran sungai.
5. Kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat.
6. Kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat hukum adat.
7. Batas administrasi pemerintahan.
8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan.
9. Batas alam atau buatan yang bersifat permanen.
10. Penguasan lahan.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka kriteria pembentukan wilayah KPH meliputi: kepastian wilayah
kelola, kelayakan ekologi, kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan, dan kelayakan
pengembangan pemanfaatan hutan. Sedangkan indikatornya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Indikator kepastian wilayah kelola meliputi:
• Berada dalam kawasan hutan tetap setelah tahap penunjukan atau penataan batas, atau
penetapan kawasan hutan.
• Mempunyai letak, luas, dan batas yang jelas dan relatif permanen.
• Setiap areal unit pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan wajib meregister arealnya dalam
wilayah KPH.
• Batas wilayah KPH sejauh mungkin mengikuti batas-batas alam.
2. Indikator kelayakan ekologi meliputi:
• Posisi dan letak wilayah KPH mempertimbangkan kesesuaian terhadap DAS atau sub-DAS.
• Mempertimbangkan homogenitas geomorfologi dan tipe hutan.
• Bentuk areal mengarah ke ideal dari aspek ekologi, yaitu areal yang kompak lebih baik dari pada
bentuk terfragmentasi dan bentuk membulat lebih baik daripada bentuk memanjang.
3. Indikator kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan meliputi:
• Luas wilayah KPH dalam batas rentang kendali yang optimum.
• Luas wilayah KPH mempertimbangkan intensitas pengelolaan dari aspek produksi.
• Mempertimbangkan keutuhan batas izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
serta lembaga pengelolaan hutan lain yang telah ada.
4. Indikator kelayakan pengembangan pemanfaatan hutan meliputi:
• Mempertimbangkan kemungkinan pemanfaatan potensi sumber daya hutan.
5
• Merupakan areal yang kompak atau memiliki tingkat fragmentasi areal yang rendah.
• Memiliki tingkat aksesibilitas yang memadai.
P.6/2009 juga mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH yang dilakukan melalui tahapan:
rancang bangun KPH, arahan pencadangan KPH, usulan penetapan KPH, dan penetapan wilayah KPH.
Rancang bangun KPH dilakukan dengan tahapan: mengidentifikasi kawasan hutan, mendelineasi wilayah KPH
dalam bentuk peta dengan memberikan batas luar wilayah KPH dan penamaan KPH sesuai fungsi pokok
hutan yang luasannya dominan, mendeskripsikan secara lengkap peta delineasi wilayah KPH dalam bentuk
buku (dokumen rancang bangun KPH).
Kewenangan melakukan rancang bangun KPH, dibagi sebagai berikut:
1. Untuk KPHK, maka rancang bangun disusun oleh Kepala UPT Konservasi
Sumberdaya Alam dengan dukungan data dan informasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan
pemangku kepentingan. Rancan bangun KPHK ini kemudian disampaikan kepada Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Dirjen PHKA kemudian menyampaikan
rancang bangun KPHK kepada Menteri untuk mendapatkan arahan pencadangan.
2. Untuk KPHL dan KPHP, maka rancang bangun disusun oleh Kepala Dinas yang
membidangan urusan kehutanan di provinsi dengan mempertimbangkan pertimbangan bupati/walikota.
Rancang bangun KPHL dan KPHP kemudian disampaikan kepada gubernur untuk mendapatkan
persetujuan. Gubernur kemudian menyampaikan rancang bangun KPHL dan KPHP kepada Menteri
untuk mendapatkan arahan pencadangan.
Arahan pencadangan dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen Planologi Kehutanan untuk
menyusun arahan pencadangan KPHK yang berasal dari rancang bangun KPHK yang diusulkan Dirjen PHKA,
dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP yang berasal dari rancang bangun KPHL dan KPHP yang diusulkan
gubernur. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyusun arahan pencadangan KPH melalui pembahasan dan
penelaahan terhadap usulan rancang bangun KPHK, KPHL, dan KPHP dengan melibatkan Eselon I terkait. 3)
Dalam hal terdapat kawasan konservasi di dalam rancang bangun KPHL dan KPHP, maka Dirjen Planologi
Kehutanan meminta pertimbangan Dirjen PHKA. 4) Arahan pencadangan KPHK disampaikan kepada
Menteri sebagai dasar penetapan wilayah KPHK dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP disampaikan
kepada gubernur.
Usulan penetapan dilakukan dengan tahapan: 1) gubernur menugaskan Dinas yang membidangi urusan
kehutanan di provinsi untuk menelaah dan menyempurnakan rancang bangun KPHL dan KPHP berdasarkan
arahan pencadangan. 2) Penyempurnaan kembali rancang bangun KPHL dan KPHP dilaksanakan melalui
pembahasan dengan instansi terkait di daerah dan mendapat dukungan data dan informasi dari Balai
Pemantapan Kawasan Hutan. 3) Berdasarkan hasil penyempurnaan, gubernur menyampaikan usulan
penetapan wilayah KPHL dan KPHP kepada Menteri.
Penetapan wilayah KPHK, KPHL, dan KPHP dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen
Planologi Kehutanan untuk menyusun konsep Keputusan Menteri dan peta penetapan wilayah KPH melalui
pembahasan dengan Eselon I. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyampaikan konsep keputusan kepada
Menteri untuk ditetapkan.
BAB III: EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Bab ini menguraikan mengenai tinjauan hukum atas peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
KPHK, yaitu:
• Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya (UU 5/1990)
6
UU 5/1990 mengatur bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui
kegiatan: a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya; dan c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.
Untuk mewujudkan perlindungan sistem penyangga kehidupan, UU 5/1990 memandatkan Pemerintah
(Pusat) untuk menetapkan: a) wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;2
b) pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; dan c) pengaturan cara
pemanfaatan wilayah perlindnngan sistem penyangga kehidupan.
Wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan ini dibagi menjadi dua, yaitu: Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam. Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat
maupun di perairan yang mempunyai tugas pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan
Suaka Alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa. Di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan
untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang
menunjang budidaya. Sedangkan di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata terbatas, kegiatan lainnya yang
menunjang budidaya.
Sedangkan Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di
perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kawasan Pelestarian Alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam yang
pengelolaannya dilaksanakan oleh Pemerintah (Pusat). Namun demikian, dalam rangka pelaksanaan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, Pemerintah (Pusat) dapat menyerahkan sebagian
urusan kepada Pemerintah Daerah.
Di dalam Kawasan Pelestarian Alam, baik di taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dapat
dilakukan kegiatan yang tidak mengurangi fungsi pokok masing-masing kawasan, yaitu untuk kepentingan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan lainnya yang menunjang budidaya, budaya, dan wisata
alam. UU 5/1990 juga mengatur bahwa kawasan taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri
dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai dengan keperluan. Di dalam zona inti tidak boleh
dilakukan kegiatan yang dapat mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
• Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU 41/1999)
Pasal 17 UU 41/1999 mengatur bahwa pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat
provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan.3 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan ditingkat unit
pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi
daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat
hukum adat dan batas administrasi pemerintahan.
Pasal 17 inilah yang memandatkan dibentuknya unit pengelolaan yang merupakan kesatuan pengelolaan hutan
(KPH) terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya. Jenis-jenis KPH yang dimandatkan antara lain:
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (KPHKM), Kesatuan Pengelolaan
Hutan Adat (KPHA), dan Kesatuan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (KPDAS).4
2 Wilayah Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan inilah yang saat ini lebih dikenal dengan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK).
3 Unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya.
4 Lihat Penjelasan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
7
Selain mempertimbangkan fungsi pokok dan peruntukan hutan, pembentukan KPH juga harus
mempertimbangkan hubungan antara masyarakat dengan hutan, aspirasi, dan kearifan tradisional
masyarakat.5
• Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007)
UU 26/2007 mengatur bahwa salah satu klafisikasi penataan ruang dilakukan berdasarkan fungsi utama
kawasan yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya. Yang termasuk di dalam kawasan lindung
adalah:
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara lain kawasan hutan lindung,
kawasan bergambut, dan kawasan resapan air.
b. Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan sekitar
danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.
c. Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan
perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata
alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
d. Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan
gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan
banjir.
e. Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan perlindungan plasma nutfah,
kawasan pengusian satwa, dan terumbu karang.
Sedangkan yang termasuk kawasan budi daya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan
peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, perikanan, pertambangan, permukiman, industri,
pariwisata, tempat ibadah, pendidikan, dan pertahanan keamanan.
• Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU 23/2014)
Lahirnya UU 23/2014 membawa perubahan baru berupa penyederhanaan sub-sub bidang kewenangan
pemerintah yang berdampak pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Khusus terkait dengan kewenangan kehutanan yang merupakan salah satu urusan pemerintahan pilihan atau
urusan pemerintahan di daerah yang disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah.6
Kemudian, berdasarkan Lampiran UU 23/2014, kewenangan pemerintah pusat terdiri atas sembilan belas
sub-bidang, sedangkan pemerintah provinsi memiliki empat belas sub-bidang, dan pemerintah
kabupaten/kota hanya memiliki satu sub-bidang kewenangan, yaitu mengelola taman hutan raya (tahura).7
Tahura dalam kenyataannya tidak terdapat disetiap wilayah kabupaten/kota, sehingga berdampak pada
hilangnya kewenangan kehutanan di beberapa kabupaten/kota yang tidak memiliki wilayah tahura.
Tabel
Kewenangan Kehutanan dalam UU 23/2014
Urusan Urusan Pemerintahan
Pusat Pro
v Kab Keterangan
Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan √
Penyelenggaraan Pengukuhan Hutan √
Penyelenggaraan Penatagunaan Kawasan Hutan √
5 Ibid., Penjelasan Pasal 17 ayat (2).
6 Lihat Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
7 Ibid., Pasal 14 ayat (2).
8
Urusan Urusan Pemerintahan
Pusat Pro
v Kab Keterangan
Penyelenggaraan Inventarisasi Hutan √
Penyelenggaraan Pembentukan Wilayah Pengelolaan
Hutan
√
Penyelenggaraan Rencana Kehutanan Nasional √
Penyelenggaraan Tata Hutan √ √ Provinsi tidak memiliki
kewenangan pada KPHK.
Penyelenggaraan Rencana Pengelolaan Hutan √ √ Provinsi tidak memiliki
kewenangan pada KPHK.
Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan √ √
Penyelenggaraan Perlindungan Hutan √ √
Penyelenggaraan Pengolahan dan Penatausahaan Hasil
Hutan
√ √
Penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan Hutan dengan
Tujuan Khusus
√ √ Provinsi berwenang mengelola
KHDTK yang ditujukan untuk
kepentingan keagamaan.
Penyelenggaraan Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam
√ √ √ • Pelaksanaan perlindungan,
pengawetan, dan
pemanfaatan Tahura lintas
kabupaten/kota;
• Kawasan Ekonomi Esensial
dan daerah penyangga
kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam.
Penyelenggaraan Konservasi Tumbuhan dan Satwa Liar √ √
Penyelenggaraan Pemanfaatan Secara Lestari Kondisi
Lingkungan Kawasan Pelestarian Alam
√ √
Penyelenggaraan Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar
√ √
Pendidikan daan Pelatihan, Penyuluhan dan
Pemberdayaan Masyarakat di Bidang Kehutanan
√ √
Pengelolaan DAS √ √
Pengawasan Kehutanan √
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (PP 44/2004)
PP 44/2004 mengatur pembentukan wilayah pengelolaan hutan dengan tujuan untuk mewujudkan
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk
tingkat: provinsi, kabupaten/kota, dan unit pengelolaan. Unit pengelolaan hutan terdiri dari:
1. Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi pada hutan konservasi;
2. Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung pada hutan lindung;
3. Keatuan Pengelolaan Hutan Produksi pada hutan produksi.
Prosedur pembentukan KPHK dilakukan melalui tahapan: 1) pengusulan kepada Menteri mengenai rancang
bangun KPHK yang dilakukan oleh Instansi Kehutanan Pusat di daerah; 2) berdasarkan usulan rancang
bangun KPHK, Menteri menetapkan arahan pencadangan wilayah KPHK; dan 3) Menteri menetapkan KPHK
berdasarkan arahan pencadangan wilayah KPHK.
Prosedur pembentukan KPHL dan KPHP dilakukan melalui tahapan: 1) gubernur menyusun rancang bangun
KPHL dan KPHP berdasarkan pertimbangan bupati/walikota; 2) gubernur mengusulkan rancang bangun
KPHL dan KPHP kepada Menteri; 3) berdasarkan usulan rancang bangun KPHL dan KPHP, Menteri
menetapkan arahan pencadangan wilayah KPHL dan KPHP; 4) berdasarkan arahan pencadangan KPHL dan
KPHP, gubernur membentuk KPHL dan KPHP; dan 5) Pembentukan KPHL dan KPHP disampaikan kepada
Menteri untuk ditetapkan sebagai KPHL dan KPHP.
KPHK terdiri dari satu atau kombinasi dari Hutan Cagar Alam, Hutan Suaka Margasatwa, Hutan Taman
Nasional, Hutan Taman Wisata Alam, Hutan Taman Hutan Raya, dan Hutan Taman Buru. Kemudian KPHL
9
merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya merupakan hutan lindung. Sedangkan KPHP
merupakan kesatuan pengelolaan yang fungsi pokoknya merupakan hutan produksi.
Pembentukan unit pengelolaan hutan dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) karakteristik lahan; 2) tipe
hutan; 3) fungsi hutan; 4) kondisi daerah aliran sungai; 5) kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat; 6)
kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat; 7) batas administrasi pemerintahan; 8)
hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan; 9) batas alam atau buatan yang bersifat permanen;
dan 10) penguasaan lahan.
PP 44/2004 juga mengatur bahwa dalam hal terdapat hutan konervasi dan/atau hutan lindung dan/atau hutan
produksi yang tidak layak untuk dikelola menjadi satu unit pengelolaan hutan, maka pengelolaannya
disatukan dengan unit pengelolaan hutan yang terdekat tanpa mengubah fungsi pokoknya.
Untuk melakukan pengelolaan hutan di setiap unit, maka harus dibentuk institusi pengelola yang
bertanggungjawab untuk melakukan: perencanaan pengelolaan, pengorganisasian, pelaksanaan pengelolaan,
dan pengendalian dan pengawasan. Terhadap pelaksanaan rencana kehutanan dilakukan evaluasi dan
pengendalian, yaitu:
1. pada KPHK dilaksanakan oleh Menteri;
2. pada KPHL dan KPHP di dalam kabupaten/kota dilaksanakan oleh bupati/walikota;
3. pada KPHL dan KPHP lintas kabupaten/kota dilaksanakan oleh gubernur;
4. pada KPHL dan KPHP lintas provinsi dilaksanakan oleh Menteri.
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan (PP 6/2007)
PP 6/2007 mengatur bahwa kawasan hutan memiliki tiga fungsi pokok, yaitu: konservasi, lindung, dan
produksi. Kawasan hutan yang berfungsi konservasi, lindung, dan produksi tersebut dibagi dalam KPH yang
menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
KPH terdiri dari KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), dan KPH Produksi (KPHP). KPH dapat
ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas wilayah
administrasi pemerintahan. Namun demikian, dalam hal satu KPH terdiri dari satu fungsi pokok hutan, maka
penetapan KPH didasarkan pada fungsi yang luasnya dominan. Penetapan luas wilayah KPH dilakukan dengan
memperhatikan efisiensi dan efektifitas pengelolaan hutan dalam satu wilayah DAS.
Organisasi KPH ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau pemeritah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya masing-masing, yaitu:
1. Pemerintah (Pusat) berwenang menetapkan organisasi KPH yang meliputi: KPHK dan KPHL atau
KPHP yang wilayah kerjanya lintas provinsi.
2. Pemerintah provinsi berwenang menetapkan organisasi KPH yang meliputi: KPHL dan KPHP yang
wilayah kerjanya lintas kabupaten/kota.
3. Pemerintah kabupaten/kota berwenang menetapkan organisasi KPH yang meliputi: KPHL dan KPHP
yang wilayah kerjanya dalam wilayah kabupaten/kota.
Organisasi KPH memiliki tugas dan fungsi:
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan
perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk
diimplementasikan.
10
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan, serta pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Anggaran pembangunan KPH bersumber dari APBN, APBD, dan/atau sumber lain yang tidak mengikat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (PP 26/2008)
PP 26/2008 mengatur tiga kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang, yaitu kebijakan dan strategi
pegembangan kawasan: lindung, budi daya, dan strategis nasional. Kebijakan dan strategi pegembangan
kawasan lindung mencakup pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Kebijakan dan strategi pegembangan kawasan budi daya mencakup perwujudan dan peningkatan
keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budi daya dan pengendalian perkembangan kegiatan budi daya
agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan. Sedangkan kebijakan dan strategi
pegembangan kawasan strategis nasional mencakup: pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan
keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan
keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional, peningkatan fungsi kawasan untuk
pertahanan dan keamanan negara, pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan
perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional,
pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa, pelestarian dan peningkatan nilai kawasan
lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar, dan pengembangan kawasan
tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan.
Kawasan lindung nasional terdiri atas:
1. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, yang terdiri atas hutan
lindung, gambut, dan resapan air.
2. Kawasan perlindungan setempat, yang terdiri atas sempadan pantai, sempadan sungai, kawasan
sekitar danau atau waduk, dan ruang terbuka hijau kota.
3. Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, yang terdiri atas kawasan suaka alam,
kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut, cagar
alam dan cagar alam laut, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional dan taman nasional laut,
taman hutan raya, taman wisata alam dan taman wisata alam laut, dan kawasan cagar budaya dan
ilmu pengetahuan.
4. Kawasan rawan bencana alam, yang terdiri atas kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan
gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir.
5. Kawasan lindung geologi, yang terdiri atas kawasan cagar alam geologi, kawasan rawan bencana alam
geologi, dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
6. Kawasan lindung lainnya, yang terdiri atas cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan
plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa
atau biota laut yang dilindungi.
PP 26/2008 juga mengatur mengenai luasan wilayah sebaran kawasan lindung yang termasuk dalam kawasan
suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya, cagar biosfer, ramsar, taman buru, kawasan perlindungan plasma
nutfah, kawasan perlindungan satwa, terumbu karang, dan kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut
dilindungi, yaitu seluas paling sedikit 1000 hektar. Sedangkan untuk luasan kurang dari 1000 hektar dan
untuk sebaran kawasan lindung yang termasuk dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, dan kawasan rawan bencana alam ditetapkan sesuai
11
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, PP 26/2008 juga mengatur secara rnci
mengenai kriteria kawasan lindung nasional.
Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (PP 18/2016)
PP 18/2016 merupakan turunan dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU
23/2014) yang secara umum mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal yang diatur dalam UU 23/2014. Terkait
dengan pembagian kewenangan, termasuk kewenangan bidang kehutanan, PP 18/2016 mengatur mengenai
indikator pemetaan intensitas urusan pemerintahan daerah dan penentuan beban kerja perangkat daerah.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan Wilayah
Kesatuan Pengelolaan Hutan (P.6/2009)
P.6/2009 secara umum mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH, yang meliputi: KPHK,
KPHL, dan KPHP. Secara prinsip, KPH ditetapkan dengan ketentuan:
1. Ditetapkan dalam satu atau lebih fungsi pokok hutan dan satu wilayah administrasi atau lintas
wilayah administrasi pemerintahan.
2. Jika KPH terdiri dari atas lebih dari satu fungsi pokok hutan, maka penetapan KPH didasarkan
kepada fungsi pokok hutan yang luasnya dominan.
P.6/2009 mengatur bahwa pembentukan wilayah KPH harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Karakteristik lahan.
2. Tipe hutan.
3. Fungsi hutan.
4. Kondisi daerah aliran sungai.
5. Kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat.
6. Kelembagaan masyarakat setempat, termasuk masyarakat hukum adat.
7. Batas administrasi pemerintahan.
8. Hamparan yang secara geografis merupakan satu kesatuan.
9. Batas alam atau buatan yang bersifat permanen.
10. Penguasan lahan.
Dengan berbagai pertimbangan di atas, maka kriteria pembentukan wilayah KPH meliputi: kepastian wilayah
kelola, kelayakan ekologi, kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan, dan kelayakan
pengembangan pemanfaatan hutan. Sedangkan indikatornya dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Indikator kepastian wilayah kelola meliputi:
• Berada dalam kawasan hutan tetap setelah tahap penunjukan atau penataan batas, atau
penetapan kawasan hutan.
• Mempunyai letak, luas, dan batas yang jelas dan relatif permanen.
• Setiap areal unit pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan wajib meregister arealnya dalam
wilayah KPH.
• Batas wilayah KPH sejauh mungkin mengikuti batas-batas alam.
2. Indikator kelayakan ekologi meliputi:
• Posisi dan letak wilayah KPH mempertimbangkan kesesuaian terhadap DAS atau sub-DAS.
• Mempertimbangkan homogenitas geomorfologi dan tipe hutan.
• Bentuk areal mengarah ke ideal dari aspek ekologi, yaitu areal yang kompak lebih baik dari pada
bentuk terfragmentasi dan bentuk membulat lebih baik daripada bentuk memanjang.
3. Indikator kelayakan pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan meliputi:
• Luas wilayah KPH dalam batas rentang kendali yang optimum.
• Luas wilayah KPH mempertimbangkan intensitas pengelolaan dari aspek produksi.
12
• Mempertimbangkan keutuhan batas izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
serta lembaga pengelolaan hutan lain yang telah ada.
4. Indikator kelayakan pengembangan pemanfaatan hutan meliputi:
• Mempertimbangkan kemungkinan pemanfaatan potensi sumber daya hutan.
• Merupakan areal yang kompak atau memiliki tingkat fragmentasi areal yang rendah.
• Memiliki tingkat aksesibilitas yang memadai.
P.6/2009 juga mengatur mengenai tata cara pembentukan wilayah KPH yang dilakukan melalui tahapan:
rancang bangun KPH, arahan pencadangan KPH, usulan penetapan KPH, dan penetapan wilayah KPH.
Rancang bangun KPH dilakukan dengan tahapan: mengidentifikasi kawasan hutan, mendelineasi wilayah KPH
dalam bentuk peta dengan memberikan batas luar wilayah KPH dan penamaan KPH sesuai fungsi pokok
hutan yang luasannya dominan, mendeskripsikan secara lengkap peta delineasi wilayah KPH dalam bentuk
buku (dokumen rancang bangun KPH).
Kewenangan melakukan rancang bangun KPH, dibagi sebagai berikut:
1. Untuk KPHK, maka rancang bangun disusun oleh Kepala UPT Konservasi Sumberdaya Alam dengan
dukungan data dan informasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan pemangku kepentingan.
Rancan bangun KPHK ini kemudian disampaikan kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (Dirjen PHKA). Dirjen PHKA kemudian menyampaikan rancang bangun KPHK
kepada Menteri untuk mendapatkan arahan pencadangan.
2. Untuk KPHL dan KPHP, maka rancang bangun disusun oleh Kepala Dinas yang membidangan urusan
kehutanan di provinsi dengan mempertimbangkan pertimbangan bupati/walikota. Rancang bangun
KPHL dan KPHP kemudian disampaikan kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan.
Gubernur kemudian menyampaikan rancang bangun KPHL dan KPHP kepada Menteri untuk
mendapatkan arahan pencadangan.
Arahan pencadangan dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen Planologi Kehutanan untuk
menyusun arahan pencadangan KPHK yang berasal dari rancang bangun KPHK yang diusulkan Dirjen PHKA,
dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP yang berasal dari rancang bangun KPHL dan KPHP yang diusulkan
gubernur. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyusun arahan pencadangan KPH melalui pembahasan dan
penelaahan terhadap usulan rancang bangun KPHK, KPHL, dan KPHP dengan melibatkan Eselon I terkait. 3)
Dalam hal terdapat kawasan konservasi di dalam rancang bangun KPHL dan KPHP, maka Dirjen Planologi
Kehutanan meminta pertimbangan Dirjen PHKA. 4) Arahan pencadangan KPHK disampaikan kepada
Menteri sebagai dasar penetapan wilayah KPHK dan arahan pencadangan KPHL dan KPHP disampaikan
kepada gubernur.
Usulan penetapan dilakukan dengan tahapan: 1) gubernur menugaskan Dinas yang membidangi urusan
kehutanan di provinsi untuk menelaah dan menyempurnakan rancang bangun KPHL dan KPHP berdasarkan
arahan pencadangan. 2) Penyempurnaan kembali rancang bangun KPHL dan KPHP dilaksanakan melalui
pembahasan dengan instansi terkait di daerah dan mendapat dukungan data dan informasi dari Balai
Pemantapan Kawasan Hutan. 3) Berdasarkan hasil penyempurnaan, gubernur menyampaikan usulan
penetapan wilayah KPHL dan KPHP kepada Menteri.
Penetapan wilayah KPHK, KPHL, dan KPHP dilakukan dengan tahapan: 1) Menteri menugaskan Dirjen
Planologi Kehutanan untuk menyusun konsep Keputusan Menteri dan peta penetapan wilayah KPH melalui
pembahasan dengan Eselon I. 2) Dirjen Planologi Kehutanan menyampaikan konsep keputusan kepada
Menteri untuk ditetapkan.
Beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan dalam konteks hutan konservasi atau KPHK, yaitu:
1. Dalam hal hutan konservasi akan dimasukkan dalam wilayah KPHL atau wilayah KPHP, maka perlu
mendapat pertimbangan teknis dari Dirjen PHKA.
13
2. Dalam hal hutan produksi dan hutan lindung akan dimasukkan ke dalam wilayah KPHK, perlu
mendapat rekomendasi dari gubernur.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur
dan Kriteria Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Pada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
(P.6/2010)
P.6/2010 merupakan Peraturan Menteri yang mengatur lebih lanjut ketentuan dalam P.6/2009, yang secara
lebih lanjut mengatur mengenai tugas dan fungsi KPHL dan KPHP, yaitu:
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan
perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk
diimplementasikan.
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan, serta pengendalian.
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya.
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan.
Selain mengatur tugas KPHL dan KPHP, P.6/2010 juga mengatur mengenai tata cara bagi KPHL dan KPHP
untuk melaksanakan: tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan
kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
14
BAB IV: JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP
Rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pembentukan Kesatuan Pengelolaan
Hutan Konservasi (KPHK) diharapkan akan mengatur mengenai kriteria dan mekanisme pembentukan
wilayah KPHK, pembentukan organisasi KPHK, dan pembagian kewenangan antara Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Pemerintah Daerah.
A. KPH MEMECAHKAN PERSOALAN KELEMBAGAAN
Semakin hari semakin terlihat bahwa keberadaan Kementerian/Lembaga diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan nyata masyarakat, maka perbaikan fakta-fakta di lapangan sangat diperlukan. Itu berarti evaluasi
program dan kegiatan tidak lagi hanya bisa mengandalkan laporan keuangan maupun hal-hal yang terkait
dengan pekerjaan administrasi (output) semata. Program dan kegiatan harus dapat menopang terwujudnya
hasil-hasil (outcome) yang dapat dirasakan manfaatnya secara nyata oleh masyarakat. Untuk mewujudkan
outcome tersebut, hal-hal baru harus dikerjakan, bahkan yang sama sekali belum pernah dikerjakan
sebelumnya; tidak lain yaitu menjalankan program yang terkait langsung dengan upaya tercapainya outcome,
dengan cara kerjasama dengan semua pihak, terlepas dari spesialisasi lembaga-lembaga atas perbedaan:
geografi, tugas, klien, maupun proses-prosesnya (Lihat Gambar 1).
Gambar 1. Masalah Pendekatan Administrasi untuk Mewujudkan Outcome.
Dalam gambar tersebut, karena semua lembaga pemerintah tidak bekerja berdasarkan capaian outcome atau
perbaikan pada dunia nyata, tetapi lebih mementingkan output administrasi, maka integrasi kapasitas
lembaga-lembaga pemerintahan untuk mencapai outcome tidak terjadi. Untuk itulah KPH diperlukan, bukan
menambah pekerjaan administrasi, tetapi berfungsi mengelola sumberdaya hutan secara langsung di tingkat
tapak, agar program-program lembaga negara ssuai kenyataan di lapangan.
15
Tantangan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga negara pada umumnya adalah menyatukan tugas-tugas atau
mengkoordinasikan fungsi-fungsi untuk mewujudkan outcome bersama itu. Misalnya dalam pelaksanaan
perhutanan sosial, tidak cukup KLHK memberikan izin atau hak atas suatu kawasan hutan—seperti untuk
usaha besar, tetapi masyarakat juga memerlukan akses terhadap modal, keterampilan, infrastruktur
ekonomi, pasar, maupun kekuatan menegosiasikan harga, upah tenaga kerja, bahkan termasuk akses
terhadap pendidikan, kesehatan, serta layanan pemerintahan desa yang dapat mendukung akses-akses itu.
Mengapa hal itu menjadi tantangan, karena saat ini tanpa kerjasama, mengerjakan tugas pokok dan fungsi
sendiri-sendiri sudah dianggap “benar” dari perspektif administrasi dan keuangan. Sebab perspektif ini belum
menggunakan outcome sebagai tolok ukur atas suatu hasil kerja, melainkan capaian output melalui
pertanggungjawaban administrasi. Tantangan itu menjadi tantangan nasional karena struktur secara nasional
masih mendorong berkerja sendiri-sendiri seperti itu.
Paradigma yang lambat berubah misalnya dalam pelaksanaan tanaman-menanam dikatakan hal paling penting
yaitu pengadaan bibit. Bahwa bibit dalam jumlah dan kualitas yang cukup serta tepat waktu datangnya sesuai
dengan musim tanam, menjadi faktor penentu. Pandangan itu didukung oleh suatu kenyataan bahwa bibit
berkualitas yang ditanam akan hidup menjadi pohon “dengan sendirinya”. Kenyataan itu sangat mudah
dijumpai apabila bibit tersebut ditanam di halaman rumah. Ironinya, pandangan demikian itu terbawa sampai
menjadi dasar penetapan kebijakan nasional. Perhatian bahkan anggaran terbesar dalam pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan, misalnya, dialokasikan pada pembangunan persemaian dan pengadaan bibit.
Apakah pandangan demikian itu ada keganjilannya? Bisa tidak ada, bisa ada. Tidak ada keganjilannya apabila
bibit berkualitas tersebut ditanam di atas tanah yang ada pengelolanya. Apabila tidak demikian, pandangan
tersebut menjadi ganjil. Dalam kondisi lokasi tempat tumbuh bibit itu tidak jelas kepemilikannya atau tidak
jelas siapa yang akan memelihara dan melindunginya, maka besar kemungkinan bibit tidak akan pernah
menjadi pohon.
Banyak hal, misalnya dalam pertumbuhan pohon, pertumbuhan populasi satwa, perubahan-perubahan
ekosistem, maupun perubahan kehidupan masyarakat dipahami seolah-olah dapat berjalan “dengan
sendirinya”. Maka tidak perlu mencari apa atau siapa yang menentukannya dan oleh karena itu tidak ada
upaya dengan mengeluarkan ongkos atau pengorbanan bahkan hanya memberikan perhatian sekalipun
terhadap apa atau siapa penentunya. Orang lupa bahwa bibit tumbuh menjadi pohon di pekarangan rumah,
karena ada rumah dan penghuninya. Fungsi keberadaan rumah dan penghuninya tiba-tiba dapat diabaikan.
Dalam hal ini, rumah dan penghuninya adalah kelembagaan yang menentukan siapa,kapan dan untuk apa
orang lain bisa memasuki pekarangan rumah tersebut. Rumah dan penghuninya bukanlah sesuatu yang
“dengan sendirinya” ada. Ia harus diadakan dan sangat mungkin ongkos dan perhatian untuk mengadakannya
jauh lebih mahal dari harga bibit yang ditanam di pekarangan.
Ketidak-berhasilan pengelolaan hutan di Indonesia pada umumnya justru disebabkan oleh ketiadaan atau
kelemahan “rumah dan penghuninya” yaitu pengelola hutan di tingkat tapak atau KPH. Ketiadaan atau
kelemahan siapa yang dari waktu ke waktu mengetahui dan memperhatikan perkembangan sumberdaya
hutan di lapangan, memelihara dan menjaga hasil-hasil penanaman di lahan kritis, mengetahui batas-batas
kawasan yang berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat yang paling terkait dan memerlukan manfaat
sumberdaya hutan, dan lain-lain. Ketiadaan pengelola hutan di tingkat tapak, dengan demikian, menjadi
penyebab utama kegagalan melaksanakan pengelolaan hutan dan terputusnya informasi antara apa yang
sesungguhnya terjadi di lapangan dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di tingkat Pemerintah
Kabupaten/Kota, Pemerintah Propinsi maupun Pemerintah.
Saat ini, dalam tataran yang lebih luas, semakin banyak kondisi yang memerlukan perhatian besar untuk
menjalankan koordinasi, yaitu dengan munculnya jenis khusus masalah kebijakan yang terkait dengan
peningkatan orientasi kepada masyarakat dan fokus pada pemberian layanan atau outcome di atas. Misalnya
yang terkait dengan isu-isu lintas sektoral yang memerlukan kebijakan integrasi horizontal seperti
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, perlindungan lingkungan, penguatan hak minoritas yang terkait dengan
16
kelompok tertentu seperti masyarakat adat, lansia, orang cacat, pengangguran, dll. Masyarakat kontemporer
saat ini menghadapi berbagai macam “masalah kompleks” atau disebut sebagai “masalah keji” (wicked problems) dan hanya bisa diselesaikan dengan cara usaha bersama dari berbagai lembaga, lapisan pemerintah,
maupun sektor.
Tiga karakteristik masalah seperti itu yaitu, pertama, tidak terstruktur karena tidak menunjukkan hubungan
sebab-akibat yang cukup jelas atau setiap masalah disebabkan oleh banyak faktor. Kedua, bersifat lintas
sektoral, karena mempunyai elemen-elemen yang berada di arena berbeda dan oleh aktor kebijakan yang
berbeda, sehingga tidak dapat ditangani oleh satu unit kerja saja. Ketiga, adanya masalah tanpa henti, dalam
arti hampir tidak dapat dipecahkan, tetapi mempunyai konsekuensi langsung atau tidak langsung terhadap
tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Dari pengamatan di lapangan juga terdapat sejumlah penyebab terjadinya masalah kompleks tersebut yaitu,
pertama, regulasi tidak membolehkan solusi dilaksanakan walau solusi itu benar. Kedua, kebenaran regulasi
sering dibangun hanya di dalam pikiran, tanpa ada verifikasi lapangan yang memadai. Ketiga, kegiatan sebagai
solusi, walau benar, tetapi bukan tugas pokok dan fungsinya. Disini ada pertanyaan, apakah tupoksi itu
membagi habis semua masalah? Keempat, walaupun masalah dan solusi terkait fungsi dan tugasnya, tetapi
jikapun diselesaikan tidak menyebabkan prestasi kerjanya lebih baik, sebab prestasi kerja diukur dari hal yang
lain. Kelima, instruksi prioritas kerja di lembaga dimana seseorang bekerja lebih melayani kepentingan
internal lembaga itu sendiri, dan tidak berhubungan dengan kepentingan masyarakat untuk menyelesaikan
masalah mereka. Keenam, alokasi anggaran untuk kegiatan yang penting bagi masyarakat menjadi soal politik.
Berada di luar jangkauan. Walaupun alasan-alasan teknis urgensi suatu kegiatan disampaikan, tetapi bukan
alasan itu yang dipakai.
Itu berarti bahwa yang diharapkan menyelesaikan masalah juga mempunyai masalah. Penyelesaian masalah
iitu seringkali berkonsentrasi menyelesaikan masalah lembaga, masalah administrasi, dan masalah politik; dan
tidak selalu terkait dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu sebagai akibatnya,
perencanaanpun bisa dibuat di atas meja dan diselesaikan melalui lobi-lobi.
Terhadap masalah kompleks tersebut, program dan kegiatan biasanya hanya dapat mengatasi sebagian dari
masalah dan hanya bisa mengurangi intensitasnya dan setelah itu masalah dapat timbul kembali. Misalnya
persoalan kemiskinan di dalam dan di pinggir kawasan hutan, illegal logging, pertambangan rakyat di dalam
kawasan hutan, korupsi perizinan, state capture tata ruang, dll. Contohnya lainnya pada cakupan yang lebih
luas, termasuk penyalah-gunaan narkoba, masalah keamanan, mengurangi konflik kepentingan dan korupsi,
dll, sebagai masalah sosial yang sangat kompleks.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, KPH yang menjadi tambahan organisasi adalah solusi atas krisis
kelembagaan sebagaimana diuraikan di muka. Orientasi lembaga negara, pusat maupun daerah, selama ini
masih fokus pada penanganan administrasi, sedangkan fungsi manajemen pengelolaan sumber daya hutan
kurang mendapat penguatan kapasitas, misalnya pada hutan lindung dan konservasi, atau bahkan diserahkan
kepada swasta pada hutan produksi. Akibatnya pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan secara
common sense daripada berdasarkan fakta lapangan. Krisis kelembagaan tersebut juga ditandai meskipun ada
komitmen kuat perbaikan pengelolaan hutan oleh Pemerintah namun sangat lamban bisa diimplementasikan
di tingkat tapak.
B. KRITERIA UMUM DAN KUNCI SUKSES KPH
Untuk kepentingan pengelolaan hutan agar terwujud keberlangsungan fungsi ekonomi, lingkungan dan sosial,
seluruh kawasan hutan akan dibagi menjadi unit-unit kewilayahan dalam skala manajemen dalam bentuk KPH
(Pasal 17 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999) dengan organisasi pengelola yang:
17
1. Merupakan perpaduan antara Pusat, provinsi dan kabupaten/kota, yang natara lain tercermin dari
Prosedur pembentukan organisasi KPH, Sumberdaya Manusia (SDM) organisasi KPH dan Pembiayaan
organisasi KPH.
2. Memiliki kompetensi untuk melayani keragaman penyelenggaraan kegiatan pengelolaan hutan sesuai
dengan tipologi wilayah setempat.
3. Mempunyai struktur organisasi yang fleksibel (elastis) yang dapat menampung keragaman tipologi
wilayah sehingga dapat memberikan ruang bagi upaya menggali potensi wilayah secara profesional untuk
meningkatkan daya saing (kompetitif) dan keunggulan komparatif wilayah yang lebih tinggi.
4. Mempunyai mekanisme pengendalian agar perbedaan arah/tujuan yang spesifik dari masing-masing
wilayah sebagai akibat keragaman tipologi tetap berada pada kerangka strategi pembangunan kehutanan
nasional.
5. Mampu menampung implementasi peran Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan strategi pembangunan kehutanan yang ditetapkan dalam mewujudkan
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari.
6. Mempunyai hirarki yang memungkinkan terselenggaranya pengendalian bagi sinkronisasi pengelolaan
hutan di tingkat tapak oleh masing-masing KPH yang secara bersama-sama (agregat) mencapai target-
target pembangunan kehutanan tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional serta pemenuhan
tuntutan peran global.
7. Karena kekhasan jenis kegiatan pengelolaan hutan yang harus dilakukan di tingkat tapak, maka struktur
organisasi KPH dituntut dapat memberikan pelayanan sesuai dengan jenis kegiatan pengelolaan dan
pelayanan berdasarkan kewilayahan (pembagian wilayah ke dalam sub unit pelayanan).
8. Mempunyai tupoksi penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak yang merupakan implementasi
dari strategi pembangunan kehutanan nasional dan provinsi yang sekaligus menampung kebutuhan
pembangunan lokal.
9. Mempunyai SDM organisasi berasal dari PNS Pusat, PNS Daerah (provinsi dan kabupaten/kota).
10. Mempunyai mekanisme pembinaan personel untuk peningkatan dan pemeliharaan kompetensi, pola
karir (al. sistem alih tugas dan alih jabatan) dalam skala nasional.
11. Mempunyai tata kerja internal dan eksternal agar pelaksanaan tupoksi Organisasi KPH dapat efektif dan
meminimumkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih dengan Tupoksi unit oragnisasi lainnya.
12. Mempunyai sumber dana yang dapat berasal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN);
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD); dan atau dana lain yang tidak mengikat sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Dimungkinkan secara langsung memanfaatkan sebagian PNBP yang diperoleh untuk kegiatan
pengelolaan hutan di wilayah kerjanya
Organisasi KPH diharapkan mampu sebagai penyelenggara kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Beberapa kunci sukses KPH yang harus dipersiapkan adalah:
1. Kehadiran personel kehutanan dekat dengan hutan dan masyarakat;
2. Ukuran/luas KPH sesuai dengan kemampuan manajemen organisasi;
3. Pendidikan dan latihan yang berkelanjutan untuk menuju profesional;
4. Internal dan eksternal komunikasi dan kerjasama, koordinasi, penghubung (liasion), supervisi;
5. Kejelasan tanggung jawab dan pelimpahan wewenang;
6. Berorientasi pada pelayanan;
7. Pemisahan antara administrasi (administration/authority) dan pengelolaan (management); 8. Perencanaan jangka panjang disusun berdasarkan hasil assessment/ inventarisasi dan berbasis
spasial;
9. Pendidikan lingkungan bagi masyarakat secara berkelanjutan.
Untuk itu KPHK bukan semata-mata menjadi tambahan administrasi dan organisasi, tetapi harus dikaitkan
dengan masalah-masalah apa yang hendak dipecahkan dengan adanya KPH. Kelengkapan kerja dan fungsi
KPH antara lain berupa:
18
1. Baseline informasi terkait dengan persoalan pokok pengelolaan Kawasan yang harus diselesaikan,
seperti perlindungan Kawasan, pengelolaan flora dan fauna, ekonomi Kawasan, tipologi kawasan,
masyarakat dalam dan disekitar Kawasan.
2. Perlindungan kawasan
3. Hubungan masyarakat
4. Pengelolaan flora dan fauna
5. Ekonomi kawasan
6. Umpan balik manajemen, dalam artian, KPHK harus diberikan keleluasan untuk memberikan umpan
balik manajemen kepada organisasi di atasnya, misalnya terkait dengan penetapan IKK.
C. WILAYAH KELOLA KPH
Isu pokok yang seringkali mengemuka yaitu mengenai batas wilayah suatu KPH yang dikaitkan dengan
kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Asumsi yang selalu digunakan adalah bahwa batas
yurisdiksi suatu kewenangan identik dengan batas wilayah, padahal yang dimaksud tidak demikian. Pengertian
kewenangan itu sendiri lebih diartikan sebagai kumpulan hak dan kewajiban, sehingga dapat dibagi-bagi.
Misalnya seseorang dapat menjual lahan yang dimilikinya, tetapi bagi penjual maupun pembeli tidak dapat
mengubah fungsinya, karena lahan yang dimaksud terletak di kawasan lindung atau sebagai lahan pertanian
pangan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan UU No 41/2009 mengenai LP2B.
KPH, sesuai fungsinya, hanya mengelola hutan menjadi bagian-bagian yang akan dimanfaatkan, dikonservasi,
direhabilitasi, dlsb, serta memanfaatkan hutan pada areal tertentu, sedangkan kewenangan menentukan
kebijakan dan pelaksanaannya oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Misalnya, Tahura dapat menjadi
bagian dari KPH tertentu—dapat KPHK, KPHP, KPHL sesuai luasan fungsi hutan yang ada di dalamnya—
tetapi kewenangan memanfaatkannya ada di Pemerintah Kabupaten.
Pembentukan wilayah KPH lintas wilayah administrasi itu untuk menyatukan yurisdiksi atau otoritas
pengelolanya; karena jika dibagi-bagi per wilayah administrasi akan terpisah-pisah keputusan manajemen
pengelolaannya. Bukan hanya KPHK, KPHP dan KPHL juga tidak perlu memperhatikan batas administrasi.
Bahwa saat ini KPHP ikut batas administrasi itu karena kesalahan (kegagalan penetapan rancang bangun
sesuai DAS). Yaitu mengikuti kewenangan Bupati (saat itu) yang akibatnya terfragmentasi.
Dengan demikian, apabila di dalam KPHK tercakup Tahura yang dikelola oleh kabupaten, maka tujuan KPHK
bukanlah melakukan intervensi terhadap pengelola Tahura, tetapi dapat membantu peningkatan kapasitas
Tahura dalam melakukan pengelolaan. Hal itu serupa dengan KPHP, yang di dalam wilayahnya terdapat
IUPHHK. Dalam pembuatan manajemen pengelolaannya, IUPHHK atau Tahura dijadikan blok tersendiri.
Dalam kasus lainnya, apabila di dalam KPHK terdapat HL dan HP, hal itu tidak mengurangi kewenangan
Gubernur mengelola Hl dan HP tersebut. KPHK yang di dalamnya ada HL dan HP akan memudahkan
pelaksanaan pengelolaan dan kontrol atas semua jenis fungsi hutan tersebut, yang mana seperti dalam
pengelolaan DAS, bisa disebut sebagai “one plan, one management”. Dalam pengelolaan DAS bahkan ada
berbagai status pemilikan lahan dan berbagai fungsi lahan. Kerangka kerja ini akan berhasil apabila tolok ukur
kinerja berdasarkan outcome bukan output/administrasi, sebagaimana disebut di muka.
Terkait dengan kasus Tahura Bunder, karena rekonstruksi cakupan wilayah KPH semestinya dilakukan oleh
Menteri, maka perlu dikembalikan kepada pembentuknya, yaitu Menteri. Dalam hal ini, KLHK akan
mempertimbangkan dasar argumen masuknya KPH tersebut ke Tahura Bunder.
Mekanisme Integrasi Ragam Fungsi Hutan ke Dalam KPH
Dalam pelaksanaan integrasi ragam fungsi hutan ke dalam KPH, kata-kata “tanpa mengubah fungsi” harus
diartikan pula sebagai “tanpa mengubah kewenangan”. Persoalan integrasi itu biasanya terganjal akibat tarik-
menarik kewenangan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Semua hal mengenai KPH akan menjadi berguna
19
apabila ukuran kinerja kehutanan bukan hanya output/administrasi, tetapi juga dampak akhir/outcome.
Misalnya kerusakan hutan atau berkurangnya tutupan HP, HL dan KK menjadi ukuran kinerja (outcome).
Apabila hal itu yang diterapkan, maka KLHK, Pemda, dan Mendagri tidak bersaing, tetapi cenderung
kerjasama, untuk mencapai target yang sama. Saat ini K/L dan Pemda itu lebih mempersoalkan kewenangan
karena hilangnya kewenangan adalah hilangnya anggaran. Di sini persoalannya menjadi rebutan fungsi
administrasi, tetapi melupakan outcome. Padahal KPH dibentuk untuk outcome, bukan administrasi. Ini yang
membedakan KPH dan Dinas.
Prinsip yang benar KPH (manajemen tapak hutan) dan Dinas (administrasi pemerintahan) itu terpisah
fungsinya. KPH semestinya bertanggungjawab ke semua Dinas, bukan hanya Dinas Kehutanan yang selama ini
berjalan. Potensi Tahura yang berbeda: wisata, pendidikan, konservasi spesies, bisa menjadi landasan
sebaiknya KPHK Tahura itu berada dibawah dinas yang sesuai dengan potensi Tahura yang dikembangkan.
Recommended