View
233
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
i
TRADISI CIUM HIDUNG
( STUDI ANTROPOLOGIS – TEOLOGIS TERHADAP BUDAYA DI PULAU SABU,
NUSA TENGGARA TIMUR )
Oleh
LILY CHRISTINE HUNGA DAKE
712008027
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian
Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi
Program Studi Teologi
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ii
iii
iv
v
vi
vii
viii
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES .................................................... iv
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................ v
MOTTO .............................................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... viii
ABSTRAK ......................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah .................................................................................................... 2
Rumusan Masalah .............................................................................................................. 3
Tujuan Penelitian ............................................................................................................... 3
Signifikansi atau Manfaat Penelitian ................................................................................. 3
Metode Penelitian .............................................................................................................. 4
Sistematika Penulisan ........................................................................................................ 4
GEREJA DAN KEBUDAYAAN
Gereja ................................................................................................................................. 5
Kebudayaan ........................................................................................................................ 7
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Tempat Penelitian ................................................................................. 9
Pemahaman masyarakat suku sabu terhadap tradisi cium hidung ..................................... 11
PENUTUP
Kesimpulan ........................................................................................................................ 18
Saran .................................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20
1
LILY CHRISTINE HUNGA DAKE
712008027
TRADISI CIUM HIDUNG
(Studi Antropologis - Teologis terhadap budaya di Pulau Sabu,
Nusa Tenggara Timur)
Abstrak
Cium Hidung atau Henge’dho dilakukan dalam setiap pertemuan keagamaan, ritual kematian, perdamaian
peperangan dan pertemuan adat suku sabu. Tujuannya agar terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan
semua orang. Dalam tulisan ini persoalan yang akan disoroti ialah bagaimana pemahaman tradisi cium hidung
bagi masyarakat Pulau Sabu. Berdasarkan kajian Antropologis – Teologis, maka tulisan ini menunjukan bahwa
Henge’dho bagi orang sabu yang dilakukan dengan cara dua orang yang saling berjabat tangan dan saling
menyentuhkan hidungnya ini adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup secara psikis maupun fisik yakni
mendapatkan rasa aman, nyaman bahkan terhindar dari seluruh bahaya yang mengancam. Dengan demikian
kehidupan mereka menjadi terarah juga relasi yang dibangun baik antar manusia dan Sang Pencipta. Henge’dho
dipahami sebagai suatu hasil dan cermin perilaku masyarakat pada suatu tempat, zaman dan waktu tertentu.
Dapat diartikan bahwa di dalam budaya suku orang sabu terdapat suatu upaya pelestarian agar bertahan hingga
ke masa yang akan datang. Ini disebut sebagai transformasi budaya sebab ia bekerja dalam alam pikir manusia
dan sulit dilihat atau diraba tetapi ia tampak dalam tindakan-tindakan yang terkadang tidak logis sekalipun.
Sikap perpaduan dimana Kristus di atas kebudayaan menunjukan hubungan timbal balik antara Gereja dengan
Kebudayaan. Sebab pada dasarnya masyarakat suku sabu memiliki pemahaman bahwa sebelum kekristenan
hadir di pulau sabu, mereka percaya kepada nenek moyang mereka yang telah lebih dulu melakukan tradisi ini
hingga melahirkan suatu budaya yang baik yang terjaga secara turun temurun hingga saat ini, yang mampu
membuat hidup mereka bersatu dengan memegang satu ikatan dasar yaitu saling mengasihi. Seluruh aktivis
Gereja juga terlibat yaitu setiap selesai melakukan pelayanan disetiap tempat selalu diakhiri dengan bejabat
tangan dan ciuman hidung, ini menjadi salah satu bentuk ungkapan penerimaan, rasa hormat, empati dan juga
kasih sayang bagi jemaat yang dilayaninya. Ini yang menjadi bentuk dari sikap perpaduan, Kristus di atas
kebudayaan.
Kata kunci : Cium Hidung, Kristus, Gereja dan Kebudayaan
2
I. PENDAHULUAN
Negara Indonesia merupakan negara majemuk. Dikatakan negara yang majemuk
karena negara Indonesia memiliki keberagaman kebudayaan yang terbentang dari Sabang
sampai Marauke. Kemajemukan budaya yang ada ini membuat setiap daerah di Indonesia
memiliki ciri khasnya. Kehidupan suku-suku serta keberagaman kebudayaannya yang ada di
Indonesia ini sudah bertumbuh sejak keberadaan nenek moyang hingga sekarang ini.1
Kebudayaan ini pula bukan baru ada ketika Indonesia sudah menjadi negara, namun
jauh ada ketika setiap daerah belum bergabung dengan negara Indonesia. Dengan kata lain,
setiap daerah atau suku bangsa di negara Indonesia memiliki kebudayaan aslinya sebelum
menjadi bagian dari Negara Indonesia. Dengan keberagaman budaya yang di miliki membuat
setiap daerah dalam negara Indonesia memiliki keunikan tersendiri.
Berbicara mengenai kebudayaan sudah tentu bahwa kebudayaan itu sangat lekat
dengan masyarakat.
Edward Burnett Tylor mengemukakan, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya mengandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang di dapat
seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soileman
Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan hasil cipta masyarakat.
Kebudayaan terdiri dari beberapa unsur, seperti system masyarakat, bahasa, seni,
teknologi, religi, ekonomi, dan ilmu pengatahuan.2
Kebudayaan yang beranekaragam ini juga terdapat di Provinsi bagian Timur Negara
Indonesia, yakni Provinsi NTT (Nusa Tenggara Timur). NTT adalah sebuah provinsi
Indonesia yang terletak di tenggara Indonesia. Provinsi ini terdiri dari beberapa pulau, antara
lain Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, Adonara, Solor dan Komodo. Ibukota NTT sendiri
terletak di Kupang, Timor Barat. Sementara bagian timur pulau tersebut adalah bekas
provinsi Indonesia yang ke-27, yaitu Timor Timur yang merdeka menjadi negara Timor Leste
pada tahun 2002. Kebudayaan - kebudayaan yang ada terlahir bersamaan dengan adanya
daerah tersebut menjadi satu kesatuan sistem budaya yang memiliki karakter dan ciri khas
yang sesuai dengan daerah tersebut.3
1 F. Ukur dan F. L. Cooley, Jerih dan Juang (Jakarta: Lembaga Penelitian Dan Studi-Studi, 1979), 28. 2Widiarto Tri, Pengantar Antropologi Budaya (Widya Sari Salatiga, 2007), 10.
3Wikimedia Project, „Wikipedia Ensiklopedia Bebas: Nusa Tenggara Timur‟, dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.00 WIB.
3
Begitu juga dengan kebudayaan yang ada di Pulau Sabu, Pulau ini selain disebut
pulau Sabu, juga disebut sebagai pulau Sawu, Sedangkan penduduk setempat menyebut pulau
ini dengan Rai Hawu (Pulau Hawu). Kebudayaan yang ada di dunia orang Sawu melingkupi
pandangan dan konsep – konsep mereka mengenai kepelbagian dan kebanyaksegian dunia
fisik, hidupnya (termaksud aktivitas dan hasil aktivitas itu), lingkungan sosial serta dunia gaib
sebagai suatu keteraturan yang lengkap.4 Hal ini sudah menjadi turun-temurun dari nenek
moyang mereka, Sehingga warisan ini dijaga dengan sebaik mungkin dan diturun alihkan
kepada generasi selanjutnya, agar tidak hilang. karena kebudayaan yang ada di pulau ini,
merupakan jati diri bagi suku mereka sendiri.
Pulau sabu memiliki berbagai macam budaya yang sejak dahulu sudah ada dan
sampai sekarang masih tetap dilestarikan, bahkan budaya tersebut masih dipercaya dan
diberlakukan di dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk upacara dan sebagainya. Salah
satu budaya di Pulau Sabu yaitu budaya Cium Sabu atau biasa di sebut dengan Cium Hidung
di mana tradisi ini biasa dilakukan dengan cara mencium dengan hidung di dalam setiap
pertemuan, entah itu di dalam pertemuan keagamaan di Gereja atau ibadah - ibadah, dalam
ritual kematian atapun di dalam ritual pernikahan yang ada dalam suku sabu. hal ini
dimaksudkan agar terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan semua orang, Sebab itu
sebagai ungkapan rasa rindu, sayang, empati kepada orang yang dianggap berhak
mendapatkan itu. Dengan latar belakang pemikiran di atas mendorong penulis untuk
mengadakan sebuah penelitian tentang : Tradisi Cium Hidung (Studi Antropologis - Teologis
Terhadap Budaya Di Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur )
Pertanyaan sentral yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman
tradisi cium hidung bagi masyarakat Pulau Sabu ? Tujuannya, untuk mendiskripsikan
pemahaman tradisi cium hidung bagi masyarakat Pulau Sabu. Adapun manfaat dari penelitian
ini adalah secara teoritis guna untuk memberikan kontribusi bagi Fakultas Teologi dalam
pengembangan keilmuan khususnya bagi Mata Kuliah Agama dan Budaya. Dan juga
memberikan sumbangan informasi atau pengetahuan tentang tradisi cium hidung serta
referensi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian dalam bidang antropologi. Kedua,
secara praktis memberikan informasi pada masyarakat luas tentang tradisi cium hidung yang
ada dalam kehidupan masyarakat pulau sabu.
4Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu (Jakarta: Sinar Harapan, Anggota IKAPI 1983), 11.
4
Metode Penelitian
Jenis penalitian yang dugunakan adalah jenis pendekatan Kualitatif. Untuk menjawab
rumusan masalah serta tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka penelitian ini
bersifat kualitatif dan metode penelitian yang dipakai adalah jenis Deskritif - analitis. Jenis
penelitian ini diarahkan untuk menggambarkan situasi, gejala, kelompok atau objek
penelitian secara menyeluruh sehingga dapat melakukan analisis yang mendalam guna
memperoleh jawaban yang dapat menjawab permasalahan.5 Penelitian ini bersifat deskritif
dengan maksud untuk menggambarkan, menggali, dan memahami tentang tradisi cium
hidung di pulau sabu.
Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan bahan atau data melalui kepustakaan dari
berbagai buku dan jurnal. Selain itu kepustakaan ini bermanfaat pula untuk menyusun
landasan teoritis yang akan menjadi tolak ukur dalam menganalisa data penelitian lapangan
guna menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.
Teknik ini menggunakan data primer yang dihimpun lewat wawancara dan observasi.
Wawancara adalah bentuk observasi langsung antara peneliti dan responden. Komunikasi
berlangsung dalam bentuk tanya-jawab dalam hubungan tatap muka, sehingga gerak dan
mimik responden merupakan pola media yang melengkapi kata-kata secara verbal.6
Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data dimana peneliti mencatat
informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Dalam penelitian ini yang
menjadi sasaran untuk mendapatkan informasi tentang tradisi cium hidung ini adalah
masyarakat Pulau Sabu, dan Penelitian ini berlangsung di Pulau Sabu.
Sistematika Penulisan
Penulisan tugas akhir ini mendiskripsikan dalam empat bagian yaitu yang pertama
berisi tentang garis besar latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penelitian yang digunakan. Pada
bagian kedua berisi tentang teori – teori yang akan digunakan untuk mengkaji dan
menganalisa yang diperoleh dari pendapat dan kajian pustaka yang mendukung penelitian.
Bagian ketiga, berisi tentang hasil penelitian dan analisa mengenai pembahasan garis besar
gambaran tradisi cium hidung dan pemahaman tradisi cium hidung bagi orang sabu. Pada
bagian empat, Berisi tentang penutupan meliputi kesimpulan dan saran.
5 Koentjaranigrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta : Gramedia, 1980), 30-37.
6 Gulo W, Metode penelitian (PT Grasindo, 2002), 119.
5
II. GEREJA DAN KEBUDAYAAN
Gereja
Istilah gereja yang dipakai dewasa ini diambil dari bahasa Portugis Igreja7 yang
diterjemahkan dari Alkitab Perjanjian Baru Ekklesia (Yunani) dan dalam Perjanjian Lama
Qahal (Ibrani) kata ini menunjukan pada persekutuan umat yang dipanggil Allah. Pengertian
Qahal dipakai pada ritus-ritus keagamaan dalam tradisi Israel. Istilah-istilah tersebut
mempunyai pengertian dan maksud yang dihimpunkan. Gereja sering juga dimengerti
sebagai tempat beribadah umat Kristen. Tapi sebenarnya Gereja bukan sekedar gedung
melainkan orang-orang yang bersekutu di dalam satu persekutuan dengan Tuhan.8 Calvin
menarik suatu perbedaan yang penting antara Gereja yang kelihatan dan yang tidak tidak
kelihatan. Pada suatu tahap, Gereja adalah perkumpulan dari orang-orang percaya, suatu
kelompok yang kelihatan. Namun, Gereja juga adalah persekutuan dari orang-orang kudus
dan persatuan dari orang-orang terpilih atau suatu kesatuan yang tidak kelihatan. Dalam
aspek ketidak kelihatannya, Gereja adalah perhimpunan dan orang terpilih, yang hanya
diketahui Allah; dalam aspek kelihatannya, Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya
di bumi.9
Selaku wujud eksistensial umat Kristen, gereja mempunyai hakikat yang unik sebagai
berikut : 10
Pertama, gereja itu dari Tuhan asalnya. Gereja bukan suatu lembaga buatan manusia,
sungguhpun manusia dipercaya menyelenggarakannya. Selama orang Kristen setia beriman
kepada Tuhan maka gereja akan tetap hadir didalam dunia, sebagaimana janji Tuhan sendiri
(Matius 16:18). Dan karena asalnya itu maka prinsip-prinsip dan norma-norma yang berlaku
didalamnya berasal dari Tuhan sendiri. Kekuasan tertinggi didalam gereja ada pada Kristus
(Kristokrasi), yang memerintah gereja dengan Firman dan Roh-Nya. Para pemimpin atau
pejabat di dalam gereja yang bekerja dalam berbagai pola struktur organisasi tidak lebih dari
pelaksana saja, yang sepenuhnya tunduk pada norma-norma yang diungkapkan dalam Kitab
Suci.
Kedua, gereja berada di dalam dan diutus kedalam dunia.Sungguhpun gereja tidak berasal
dari dunia ini, gereja tidak bisa terhubung dengan dunia dalam fungsi yang ditetapkan Tuhan,
yaitu menjadi garam atau terang dunia (Matius 5:14-16). Namun, sekalipun diutus ke dan
7 Tom Jacobs SJ, Gereja Menurut Perjanjian Baru (Kanisius: Yogyakarta, 1988), 55-154.
8 Ibid., 158.
9 Alister E, McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (BPK Gunung Mulia: Jakarta, 1997),
248-249. 10
Radius Prawiro, Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat (Pustaka Sinar Harapan, 1998), 10-11.
6
ditempatkan kedalam dunia, gereja tidak selalu disambut dengan ramah-tamah. Dunia
membenci gereja sebagaimana dunia menolak Tuhan Yesus (Yohanes 15). Gereja diutus
selaku domba diantara serigala (Lukas 10:3). Tetapi penolakan atau kebencian kepada gereja
sering pula karena kesalahan gereja sendiri dalam cara gereja menampilkan diri dan
kesaksiannya ditengah-tengah dunia.
Ketiga, panggilan gereja di dalam dan terhadap dunia adalah menjadi saksi Injil Kristus.
Pemahaman dan praktik mengenai pekabaran injil Kristus ini dijalankan gereja dalam
berbagai-bagai dimensinya.Yang paling lama dominan adalah paham dan praktik pekabaran
Injil sebagai pengkristenan. Tetapi dewasa ini pemahaman dan praktik pekabaran Injil telah
banyak bergeser kearah kesaksian sebagai pelayanan sosial-kemanusian dan melalui bentuk-
bentuk dialog dengan penganut agama-agama lain. Juga pemberitaan Injil bukan lagi
ditekankan pada soal keselamatan jiwa secara pribadi saja, melainkan pelayanan yang utuh
atas seluruh ciptaan. Visi dasar panggilan gereja mengenai pekabaran Injil Kristus dewasa ini
bersangkut paut dengan perjuangan untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan
ciptaan.
Gereja perlu meletakkan landasan panggilannya diatas kasih Kristus tanpa membatasi
diri sebab Gereja hadir bukan untuk kepentingan sendiri, melainkan demi kepentingan karya
Allah. Jadi Gereja mempunyai tanggung jawab untuk mentransformasikan nilai-nilai yang
baik untuk mewujudkan cinta kasih kita kepada Allah maupun sesama, sekaligus merupakan
wujud terima kasih kita akan kebaikan Allah yang lebih dahulu sudah mengasihi kita.11
Kebudayaan
Secara etimologis kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah merupakan
bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan
dapat diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.12
Berbicara mengenai kebudayaan
berarti kebudayaan itu tidak terlepas dari masyarakat, karena masyarakat adalah bagian dari
kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan timbul ketika makhluk-mahluk yang hidup di zaman
dahulu kala mulai berjuang melawan alam untuk mempertahankan hidup dan menambah
jumlah jenisnya dengan perkembang biakan.13
Kebudayaan menurut Edward B. Taylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
11
JB. Banawiratma SJ, Gereja dan Masyarakat (Panitia Misa Syukur Pesta Emas Republik Indonesia,
1995), 94. 12
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Aksara Baru: Jakarta, 1986), 181. 13
Mahjunir, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan (Bhratara Jakarta, 1967), 49.
7
adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota
msayarakat. Melville J. Herzkovist dan Bronislaw Malinowski juga menegaskan bahwa
kebudayaan sebagai cultural determinism, artinya bahwa segala sesuatu yang terdapat
didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu. 14
Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang superorganik, karena kebudayaan
berlangsung secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Meskipun orang-orang yang
menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti karena faktor kelahiran dan kematian
tetapi nilai-nilai budaya yang masih relevan tetap dipertahankan.15
Kebudayaan yang akan
lebih di tonjolkan di dalam tulisan ini adalah Kebudayaan Adat, yang di mana seperti yang
kita tahu bahwa manusia adalah makhluk yang berbudaya dan hampir semua hal yang
menyangkut tingkah laku manusia ditentukan oleh budaya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
antara manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisah-pisahkan.16
Dalam rangka berbudaya, manusia tidak berada sendiri, tetapi berada bersama
manusia lainnya. Dalam berada bersama manusia membentuk masyarakat, sehingga
masyarakat merupakan pokok budaya manusia. Tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan
begitu pula tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat. Suatu kebudayaan tidak akan bertahan
apabila kebudayaan tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan daripada anggota-anggota
masyarakatnya. Apabila kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan anggota masyarakat, maka
kebudayaan itu akan berfungsi dan ia akan selalu diperlukan dalam setiap anggota
masyarakat. Hingga beberapa jauh suatu kebudayaan dapat memenuhi kebutuhan anggota-
anggotanya. Hal ini hanya dapat diukur daripada nilai-nilai kebudayaan itu sendiri yaitu
dapat memenuhi segala kebutuhan anggotanya.17
Kebudayaan sangat bermakna bagi kehidupan manusia karena sifatnya yang mengikat
komunitas hidup bersama dalam masyarakat dan hidup sebagai satu kesatuan komunitas.
Setiap komunitas masyarakat mempunyai kebudayaan dan dengan bentuk-bentuk dan nilai-
nilai adat yang dianggap sakral. walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang
masing-masing berbeda satu dengan yang lainnya, namun setiap kebudayaan mempunyai
sifat hakekat dari kebudayaan tadi. Untuk itu, seperti yang sudah di katakan pada paragraf
sebelumnya bahwa kebudayaan adat merupakan salah satu wujud dari kebudayaan yang
14
Samuel Patty, Diktat Agama dan Kebudayaan (UKSW: Salatiga, 2004), 34. 15
Tri Widiarto dkk, Dasar-dasar Antropologi Budaya (Salatiga: FKIP, UKSW. 2000), 54-55. 16
Ibid., 33. 17
Samuel Patty, Diktat Agama dan Kebudayaan (UKSW: Salatiga, 2004), 41.
8
biasanya berfungsi sebagai tata laku yang mengatur, mengendalikan, dan memberikan arah
kepada sikap hidup dan perbuatan manusia dalam masyarakat.18
Adapun beberapa pembagian kebudayaan yang lihat dari sisi kebudayaan adat. Yaitu
dibagi dalam 4 (empat) tingkat antara lain :
1. Lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide –
ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan
masyarakat. Tingkat ini dapat kita sebut nilai budaya.
2. Tingkat adat yang lebih konkret adalah system norma. Norma-norma itu adalah
nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari
manusia dalam masyarakat.
3. Sistem hukum (hukum adat maupun tertulis)
4. Aturan-aturan khusus, yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan
terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat.19
Dalam pendekataan Gereja, peneliti memakai Teori oleh Reichard Neibhur yang
mengatakan bahwa bahaya yang paling besar mengancam gereja bukanlah berasal dari luar,
melainkan dari dalam gereja sendiri, yaitu bahwa Gereja menyesuaikan diri dengan struktu-
struktur kemasyarakatan yang ada. Di dalam bukunya ia mengungkapkan 5 (lima) pola sikap
Gereja terhadap kebudayaan. Seperti yang telah terjadi dalam sejarah, yaitu :
a. Sikap Radikal : Kristus menentang kebudayaan
b. Sikap Akomodasi : Kristus milik kebudayaan
c. Sikap Perpaduan : Kristus di atas kebudayaan
d. Sikap Dualis : Kristus dan kebudayaan dalam paradoks
e. Sikap Transformatif : Kristus memperbaharui Kebudayaan
Dalam kelima sikap yang diatas dapat dirangkum dalam dua sikap besar, yaitu konfirmasi
(pembenaran) dan konfrontasi (pengecaman). 20
Sedangkan, Dr. W. B Sidjabat memandang adat dari sudut sosiologi, mengatakan ada
3 (tiga) tingkatan atau matra (dimensi) pada adat, yaitu:21
1. Hukum adat, yaitu bagian adat yang paling formil dan tersusun. Di dalam hukum
adat terdapat segi Yuridis. Dengan perkataan lain, adat mempunyai sifat hukum,
18
Koentjaraningrat, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan (Jakarta: 1994), 5. 19
Ibid., 11-12. 20
Reichard Niebuhr, Christ and cultur (New York : Harper & Brothers, 1951), 6. 21
R.MS Gultom, Agama dan Adat : Suatu Pemikiran Tentang ” kehidupan beragama sekaligus
beradat” (Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khotbah agama Kristen Protestan, Dep. Agama
R.I), 13.
9
itulah yang dinamakan hukum adat. Fungsi hukum adat ialah mengatur hubungan,
memimpin dan mengontrol kelakuan dari pada orang-orang di dalam masyarakat.
Dari dulu hingga kini, hukum adat merupakan jenis kontrol sosial yang penting
dalam masyarakat.
2. Adat atau istiadat, yaitu segala keharusan untuk melakukan diri dengan cara-cara
tertentu yang berlaku bagi semua anggota masyarakat. Adat bersifat sakral dan
membawa sanksi - sanksi yang sama berat seperti hukum adat apabila dilanggar,
hanya pengenaan sanksi-sanksi itu lebih formil dibandingkan dengan pelaksanaan
sanksi atas pelanggaran hukum.
3. Adat-kebiasaan, yaitu adat yang ditinjau dari pelaksanaan sanksi lebih ringan,
tetapi merupakan bagian adat yang paling luas. Bagian ini disebut ‟manners and
customs‟ yang memberi gaya yang khas kepada cara hidup suatu masyarakat.
10
III. TRADIS CIUM HIDUNG MASYARAKAT PULAU SABU
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap 7 (tujuh) informan seperti orang Sabu penganut jingitiu yang dituakan (tokoh adat),
orang Sabu yang melakukan tradisi tersebut, Pendeta dan majelis yang berasal dari pulau
Sabu (data primer) serta data sekunder dari beberapa buku sebagai bahan acuan. Pembahasan
pada bagian yang diatur menajadi gambaran umum lokasi penelitian dan Tradis Cium Hidung
pulau Sabu.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Sawu adalah nama sebuah pulau yang terletak di sebelah selatan perairan Laut
Sawu, di sebelah timur Pulau Sumba dan sebelah barat Pulau Rote. Secara administratif,
pulau ini termasuk wilayah Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Indonesia. Luasnya adalah 414 km². Pulau ini selain disebut pulau Sawu, juga disebut
sebagai pulau Sabu. Sedangkan penduduk setempat menyebut pulau ini dengan Rai Hawu (
Pulau Hawu ). Pulau Sabu berjarak sekitar 445 mil (716,45 km) dari Kabupaten Kupang.
Daerah ini dapat dijangkau melalui pelayaran laut selama lebih kurang 15 – 18 jam dengan
menggunakan kapal fery dan sekitar 45 menit dengan menggunakan pesawat udara. Keadaan
iklim di Pulau Sabu dipengaruhi oleh letaknya yang berdekatan dengan Benua Australia
sehingga pada umumnya memiliki musim kemarau panjang dengan curah hujan yang rendah.
Pulau Sabu secara geografis terletak antara koordinat 100 25‟7,12”LS – 100 49‟45,83”LS dan
1210 16‟10,78”BT – 1220 0‟30,26”BT. Kabupaten Sabu Raijua memiliki kondisi wilayah
dengan topografi bergunung-gunung dan berbukit dengan derajat kemiringan sampai 450.
Permukaan tanah kritis dan gundul sehingga peka terhadap erosi. Topografi yang seperti ini
menimbulkan isolasi fisik, isolasi ekonomi dan isolasi sosial, apalagi oleh kurangnya
dukungan infrastruktur seperti jalan dan jembatan diberbagai kecamatan. Sementara
transportasi kepulau-pulau tertentu seringkali agak mahal karena rendahnya frekuensi sarana
perhubungan kebeberapa pulau, dimana hal tentunya juga mempengaruhi harga barang dan
jasa di kabupaten tersebut. 22
22
Info NTT, ‟Kliping Internet Provinsi NTT, Kabupaten Sabu Raijua‟. dalam
http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.html.. diunduh Tanggal 20 Juli
2015, Pukul 20.20 WIB.
11
Sistim Kekerabatan atau Kemasyarakatan
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pulau Sabu hidup dalam kekerabatan
keluarga (Ayah, ibu dan anak) disebut Hewue dara ammu. 23
Sedangkan “Hewue Kabba
‘Gati” artinya sekumpulan keluarga yang terdiri dari beberapa keluarga kecil yang bersatu
dalam membuat upacara-upacara adat dalam keluarga yang difokuskan dalam sebuah rumah
adat. Keluarga tersebut berasal dari turunan satu kakek yang disebut “Hedau Appu”. Dan
“Hewue Kerogo” yang merupakan kumpulan beberapa orang nenek beserta anak, cucu dan
cicitnya. Pemimpin sebuah Kerogo disebut “Kattu Kerogo” yang biasanya dipilih dari yang
tertua di antara mereka. Kumpulan yang paling besar disebut “Hewue Udu” yang dipimpin
oleh “Bangngu Udu”. Keturunan dalam Udu terdiri dari kumpulan beberapa buah Kerogo.24
Tradisi Cium Hidung Dalam Masyarakat Pulau Sabu
Masyarakat pulau sabu memiliki suatu tradisi unik sekaligus sedikit kurang lazim bagi
beberapa orang dan akan terlihat aneh jika dinilai oleh orang dari luar Provinsi NTT atau dari
budaya suku lain. Karena pada umumnya orang Nusa Tenggara Timur kurang lebih sudah
mengetahui makna dari cium hidung ini. Ini bisa dilihat dari jumlah penduduk yang sekitar
30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi, sehingga banyak orang sabu yang menyebar ke
seluruh pulau di NTT untuk mencari pekerjaan dan ada pula yang menetap disana.
Seperti yang pernah terjadi di NTT ketika bapak Presiden Jokowi berkunjung ke
Kupang dan di sambut dengan pemberian salam selamat datang oleh seorang ibu dengan cara
cium hidung, dan saat itu juga terlihat sekali bahwa presiden Jokowi sangat kaget dengan
tingkah sang ibu dikarenakan Presiden Jokowi belum mengetahui mengenai tradisi cium sabu
tersebut.25
Akan tetapi sebaliknya bila tradisi cium hidung ini tidak dilaksanakan maka
banyak pihak yang akan tersinggung, terutama keluarga dan kerabat dekat.
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 5 (lima) informan, maka
diketahui bahwa Tradisi cium sabu atau tradisi berciuman dengan saling menyentuhkan
hidung ini adalah sebagai ungkapan rasa rindu, sayang, persaudaraan, empati dan juga
23
Ahmad Kurnia Elqorni, „Indoculture Online: Suku Sabu‟, dalam
http://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.30 WIB. 24
El Shadday Community, „Anak Panah : Suku Sabu‟, dalam
http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.html.. diunduh Tanggal 20 Juli
2015, Pukul 20.40 WIB. 25
Joey Seputar NTT, „Presiden Jokowi Terkejut Dapat Cium Sabu di Kupang‟, dalam
http://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di
kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_source=other_multiline&action
_object_map=[641515425971589]&action_type_map=[%22og.comments%22]&action_ref_map=[].. diunduh
Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.00 WIB.
12
pemberian maaf yang tulus kepada orang yang dianggap berhak mendapatkan itu. Cium
hidung atau dalam bahasa Sabunya disebut Henge’do, bisa anda temui pada saat - saat
tertentu seperti pada saat adanya ritual – ritual seperti kematian, pernikahan dan dalam ibadah
– ibadah maupun pertemuan-pertemuan di dalam lingkup Gereja. dimana sang pemberi dan
penerima ciuman berusaha mengktualisasikan ekspresi dari hatinya. Misalnya karena
perasaan rindu sebab sudah lama tidak bertemu, pada saat merayakan hari – hari raya
keagamaan, pada saat menyampaikan ungkapan turut bersedih / belasungkawa pada saat
keluarga atau kerabat mengalami kedukaan atau kematian, atau memberikan ucapan selamat
karena suatu kejadian yang mendatangkan kebahagiaan dan suka cita seperti di dalam acara
pernikahan, pembaptisan, dan acara ucapan syukur lainnya, serta pada saat mengakhiri
pertentangan / perselisihan yang entah itu di dalam suatu pertemuan adat biasanya apabila
menghadapi kesalah pahaman dalam menentukan jumlah belis untuk kenoto (masuk minta
calon pengantin perempuan) yang akan di bawa oleh sang calon pengantin pria, serta
penentuan hari pernikahan. ataupun menentukan hak atas tubuh seseorang yang sudah
meninggal akan di taruh di rumah siapa serta tempat dan hari penguburan jenazah dari
keluarga yang meninggal, dan lain sebagainya.26
Sedangkan menurut Bapak RT (Pendeta GMIT, dari Loboae, desa Ledeana, Sabu
Barat), Henge’do dilakukan di dalam kalangan masyarakat orang sabu dengan tidak
mengenal umur, gender, profesi bahkan status sosial. Ciuman antar hidung ini dilakukan
dengan cara saling menyenggolkan hidung satu sama lain, baik itu antara sesama perempuan,
atau pun laki-laki yang sudah dianggap kerabat dan saudara dekat maupun saudara, bahkan
antara perempuan dan laki-laki. Henge’do dalam suku sabu ini mengandung makna sebagai
penghormatan bagi orang yang di 'salami'. Dengan cium hidung mereka mau menyatakan
bahwa mereka menerima seseorang dengan hati terbuka. Dalam keseharian masyarakat Sabu,
cium menciuman hidung menjadi tanda perdamaian. Konflik yang sehebat apa pun akan
berakhir dengan sendirinya setelah berciuman hidung. Sungguh besar dan dalam makna cium
hidung ini bagi masyarakat di Pulau Sabu. Henge’dho adalah nilai luhur yang diwariskan
oleh nenek moyang Orang Sabu yang mengandung makna yaitu betapa kita sebagai sesama
manusia harus bisa saling memberi dan menerima tanpa rasa pamrih dan juga bisa
mengaktualisasikan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu. Cium
Hidung dilakukan sebagai salah satu bentuk salam perkenalan, persahabatan, maupun sebagai
26
Hasil wawancara dengan Bapak JKL (37 tahun), 14 Agustus 2015; Ibu WL (76 tahun), 15 Agustus
2015; Bapak JRL (55 tahun), 15 Agustus 2015; Ibu FDR (38 tahun) dan Bapak AT (39 tahun), 16 Agustus 2015.
13
ungkapan kasih dalam sebuah ikatan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam kehidupan
sosial dan budaya kemasyarakatan. Secara tidak langsung ini menunjukan penghargaan
terhadap nilai-nilai sosial-budaya masyarakat setempat, dan kita pun secara resmi telah
diterima menjadi bagian dari kelompok tertentu. bagi masyarakat Sabu yang masih kental
dengan budayanya, cium hidung ini memiliki peran yang penting dalam penyelesaian
berbagai masalah, Entah itu perselisihan dalam hal perebutan tanah ataupun pertengkaran
dalam pernikahan. Bahkan didalam acara pernikahan yang masih ketat dengan belis (mahar)
yang besar dan berbagai tuntutan pada keluarga pria, bisa diselesaikan dengan “memberikan”
hidung kepada keluarga wanita yang hadir di acara tersebut sebagai tanda permintaan maaf
atas ketidakmampuannya untuk memenuhi permintaan belis dari keluarga wanita dan setelah
itu tidak ada lagi yang boleh mengungkit-ungkit belis dan lainnya dalam acara kenoto
(peminangan) tersebut. Contoh lain juga bisa kita lihat pada saat pemberkatan nikah di mana
setelah pasangan pengantin di berkati oleh Pendeta, pengantin pria akan membuka cadar
pengantin wanita dan mereka akan saling memberi hidung untuk dicium sebagai tanda bahwa
mereka telah resmi menjadi satu dalam kasih Kristus, karena dipercayai bahwa cium hidung
lambang kasih sayang dari suku sabu dan Kristus sebagai kepala keluarga yang mengajarkan
kasih.27
Cara mencium dalam budaya Sabu ada pesyaratannya, Seperti (1) harus tutup mulut, (2)
hanya di hidung saja, bukan di bagian lain dari wajah, (3) harus tahan nafas.28
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa Henge’dho adalah nilai luhur yang
diwariskan oleh nenek moyang orang sabu, untuk itu penulis akan melampirkan juga sedikit
gambaran mengenai leluhur orang sabu yaitu sebagai berikut :
Di Hurat (surat) satu tempat di India pada pantai Utara Bombay, berdiamlah
dua orang bersaudara anak laki – laki, yang sulung bernama Kika Ga dan
yang bungsu bernama Djape Ga. Di karenakan kedua orang tua mereka lebih
mengasihi Djape Ga daripada si sulung Kika Ga maka Kika Ga mengambil
keputusan untuk meninggalkan Surat dan dengan mengendarai seekor kuda
betina berwarna abu hitam mengembara ke luar negeri dan sampailah di
pulau Djawa Wawa yang sekarang bernama Raidjua. Disana Kika Ga tinggal
27
Hasil wawancara dengan bapak RT (52 tahun), 16 Agustus 2015. 28
Usman D. Ganggang, „Menyaksikan Panorama Nusa Sabu (Cium Ala Sabu)‟, dalam
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-sabu-1-cium-ala-sabu-
529341.html.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.20 WIB.
14
di sebuah pulau di atas batu laut besar bernama Wadu Mea (batu ini sampai
sekarang masih ada terdapat di laut pada pantai selatan pulau Sawu)
Di Raidjua, Kika Ga mengambil seorang istri bernama Mudji Rau yang
adalah saudara perempuan dari Dewa Mone Rau yang berdiam di pulau
Raidjua di sebuah tempat bernama Ketita, dan akhirnya mendapat seorang
anak laki-laki bernama Hu Kika. Setelah itu Kika Ga dan Mudji Rau beserta
Hu Kika berpindah ke Teriwu suatu tempat di pulau Sawu di sebelah timur
dari Ketita (Pulau Sabu dan Raidjua adalah dua pulau yang berbeda sebelum
menjadi kabupaten Sabu Raidjua seperti saat ini). Adapun keturunan yang di
dapatkan oleh Hu Kika yaitu sebagai berikut : Hu Kika mendapat anak Unu
Hu, Unu Hu mendapat anak AE Unu, AE Unu mendapat anak Rai AE, Rai AE
mendapat anak Ngara Rai, Ngara Rai mendapat anak Miha Ngara. 29
Dan Miha Ngara mendapatkan 3 orang anak laki – laki yaitu Hawu Miha,
Dida Miha dan IE Miha.30
Ketika Hawu Miha meninggal dan tidak mendapatkan keturunan maka para leluhur
memutuskan memakai nama Hawu Miha sebagai sebutan untuk Pulau Sawu, yang didalam
bahasa daerah Sawu tidak disebut pulau Sawu tetapi Hawu.31
Dan akhirnya Dida Miha serta
IE Miha sajalah yang melanjutkan melahirkan regenererasi keturunan-keturunan orang sabu
hingga saat ini hingga menjadi masyarakat yang mendiami pulau sabu.
Menurut bapak KLL (penganut Jingitiu, dari desa Kujiratu, Sabu Timur), Henge’dho
awal mula digunakan sebagai salam bagi sesama orang suku sabu. walaupun tradisi cium
hidung ini ada dan terjadi begitu saja dan tidak diketahui siapa yang memulai akan tetapi
seiring berjalannya waktu, Henge’dho mulai digunakan sebagai pendamaian antara kedua
belah pihak yang mengalami konflik atau kesalahpahaman, entah itu perang antara saudara
atau antara kampung yang saling memperebutkan batas tanah kekuasaan mereka. Cium
hidung juga sebagai benang merah pembentukan relasi pertama kali antara raijua dan sawu
yang dilandasi oleh asas struktural yang muncul dari berbagai situasi sehingga terjalinnya
kekerabatan di antara mereka satu dengan yang lainnya.32
29
Yakob Y. Detaq, Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sabu (Ende-Flores : 1973), 7. 30
Ibid., 9. 31
Ibid., 8. 32
Hasil wawancara dengan bapak KLL (98 tahun), 19 Agustus 2015, dari desa Kujiratu, Sabu Timur
(didampingi penerjemah bahasa oleh bapak JKL).
15
Dan setelah melihat tradisi cium hidung dalam budaya suku orang sabu maka dapat
disimpulkan bahwa adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang, serta menjadi
suatu kebiasaan didalam suatu masyarakat, baik berupa kata- kata atau suatu bentuk
perbuatan yang nyata. Menurut masyarakat sabu, adat adalah tradisi atau dengan kata lain
sudah merupakan budaya atau kebiasaan sejak dahulu kala. Adat adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat sabu, karena masyarakat memahami bahwa adat
merupakan tradisi dan salah satu warisan adat yang sudah ada sejak dahulu, yang diwariskan
oleh para leluhur, jauh sebelum agama masuk ke pulau sabu. Bagi masyarakat sabu
memahami bahwa tradisi cium hidung merupakan warisan adat dari para leluhur (tete-nene
moyang) kepada generasi berikutnya. Masyarakat memahami bahwa tradisi cium hidung ini
merupakan tradisi yang harus wajib dilakukan pada saat bertemu dengan siapapun yang
berasal dari sesama suku pulau sabu.
Beberapa teori yang mendukung untuk menganalisa lebih jelas tentang adat dalam
masyarakat Sabu agar hasil penelitian ini mampu memberikan pemahaman baru terhadap
penulisan Tugas Akhir ini, antara lain :
Koentjaraningrat, yang memaparkan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan ‘hal-hal yang bersangkutan dengan akal’.33
Jadi
kebudayaan menunjuk kepada berbagai aspek kehidupan. Kebudayaan adalah segenap
perwujudan dan keseluruhan hasil pikiran, kemauan, dan perasaan manusia, dalam rangka
kepribadiannya, perkembangan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa manusia yang melahirkan kebudayaan dan kebudayaan
dilahirkan oleh manusia untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya agar kehidupannya dapat
terarah.34
Melville J. Herzkovist dan Bronislaw Malinowski juga menegaskan bahwa
kebudayaan sebagai cultural determinism, artinya bahwa segala sesuatu yang terdapat
didalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
Kebudayaan dipandang sebagai sesuatu yang superorganik, karena kebudayaan berlangsung
secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Meskipun orang-orang yang menjadi
33
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: Aksara Baru, 1986), 181. 34
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 201.
16
anggota masyarakat senantiasa silih berganti karena faktor kelahiran dan kematian tetapi
nilai-nilai budaya yang masih relevan tetap dipertahankan.35
Selaras dengan pemaparan hasil yang ada dan penjelasan beberapa teori dari para ahli,
maka dapat dianalisa bahwa, tradisi cium hidung yang diterapkan di pulau sabu merupakan
salah satu kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sabu. Dikatakan demikian, karena jauh
sebelum agama masuk ke pulau sabu, masyarakat setempat sudah memiliki tradisi ini.
Bahkan tradisi ini merupakan hasil cipta, rasa dan karsa dari para leluhur (tete-nene moyang)
yang kemudian dirumuskan untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh masyarakat Pulau
Sabu. Kebutuhannya yaitu secara psikis maupun fisik yakni mendapatkan rasa aman, nyaman
bahkan terhindar dari seluruh bahaya yang mengancam, ketika hidup sebagai masyarakat
pulau sabu.
Selanjutnya tradisi ini dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang dapat menghindarkan
masyarakat setempat dari hal- hal yang tidak diinginkan, karena dapat menciptakan rasa
aman. Dengan demikian kehidupan seluruh masyarakat pulau sabu menjadi terarah juga relasi
yang dibangun baik antar manusia dan Sang Pencipta juga menjadi baik.
Hal lainnya, sesuai dengan teori yang dipaparkan oleh Melville J. Herzkovist dan
Bronislaw Malinowski, tentang cultural determinism, maka dapat dikatakan bahwa tradisi
cium hidung di sabu, merupakan sebuah warisan adat dan tradisi. Dikatakan demikian, karena
tradisi cium hidung telah diterapkan secara turun temurun. Dan secara tidak langsung kalo
dilihat berdasarkan cerita sejarah maka dipercaya bahwa nenek moyang orang sabu harus
melintasi laut dan samudera sebelum mencapai kepulauan sabu saat ini dan terdapat indikasi
kuat bahwa orang Sabu berasal dari rumpun bangsa Melayu yang berasal dari Hindia (Asia
Selatan) yang beremigrasi sekitar tahun 500 BC. Yang di mana bila hubungkan dengan
makna dari tradisi cium hidung ini sendiri di mana memiliki tujuan yang dimaksudkan agar
terjalin hubungan kekerabatan yang baik dengan semua orang. Henge’dho adalah nilai luhur
yang diwariskan oleh nenek moyang Orang Sabu yang mengandung makna yaitu betapa kita
sebagai sesama manusia harus bisa saling memberi dan menerima tanpa rasa pamrih dan juga
bisa mengaktualisasikan kasih sayang terhadap sesama tanpa pandang bulu.
Dan kalo dihubungkan dengan nenek moyang orang sabu yang dipercaya berasal dari
Hindia ini dan melihat makna dari tradisi cium hidung, bisa kita lihat bahwa adanya cerminan
hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus, ketika Dia melakukan pekerjaan pelayanannya ke
35
Tri Widiarto dkk, Dasar-dasar Antropologi Budaya (Salatiga: FKIP, UKSW, 2000), 54-55.
17
Hindia. Sebab, seperti yang diakatakan oleh Mahatma Gandhi, “dimana hukum kasih
dilaksanakan, disitulah agama Kristen berada‟‟.36
Sebab, Tidak semua orang yang memanggil
Aku, 'Tuhan, Tuhan,' akan menjadi anggota umat Allah, tetapi hanya orang-orang yang
melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga (Mat 7:21), dialah Kristen Sejati.37
Informasi dasar pulauan Sabu secara umum, dapat digambarkan dengan informasi
tentang pulauan Sabu yaitu nama asli Sawu atau Hawu. Dari latar belakang sejarah orang
Sabu menyebutnya Rai Hawu atau Tanah Sabu. Tentunya ketika adat ini dilakukan berulang-
ulang dan menjadi kebiasaan di dalam masyarakat sabu, maka dinamakan tradisi.
Ketika kebudayaan dipahami sebagai suatu hasil dan cermin perilaku masyarakat pada
suatu tempat, zaman dan waktu tertentu, maka pemahaman itu dapat diartikan bahwa di
dalam budayanya terdapat suatu upaya pelestarian agar bertahan hingga ke masa yang akan
datang. Inilah yang disebut sebagai transformasi budaya dan ini tidak mudah dilakukan,
karena butuh ketekunan dan usaha yang sungguh-sungguh. Secara spesifik, proses
transformasi budaya itu dinilai sebagai usaha pembelajaran di setiap sendi kehidupan. Terkait
dengan teori adat istiadat adalah wujud tertinggi dan terdalam dari kebudayaan. Sebab ia
bekerja dalam alam pikir manusia dan sulit dilihat atau diraba tetapi ia tampak dalam
tindakan-tindakan yang terkadang tidak logis sekalipun. Oleh karena itu. ketika adat ini
dilakukan berulang-ulang dan menjadi tradisi di dalam masyarakat setempat dan diwariskan
secara turun temurun oleh para leluhur, maka mau tidak mau, seharusnya masyarakat pulau
sabu haruslah mengerti bahwa terdapat sebuah tanggung jawab yang besar yang dititipkan
oleh para leluhur kepada generasi selanjutnya, untuk menjaga dan melestarikan warisan adat
tersebut. Sehingga adat tersebut bukan saja menjadi warisan adat, tetapi juga menjadi ciri
khas dari suku pulau sabu itu sendiri.
Di dalam masyarakat juga ada Gereja, dan Gereja bertumbuh dengan masyarakat
dalam suatu proses saling mempengaruhi sebagi mitra. Sehingga terasa penting melihat
kedudukan bagaimana pemahaman gereja terhadap adat ini. Richard Niebuhr juga
menawarkan 5 tipe dasar hubungan timbal balik antara Gereja dengan Kebudayaan. Lima
Tipe dasar ini lebih luas menjelaskan bagaimana seharusnya sikap gereja terhadap
kebudayaan yang hidup di sekitar gereja. maka tipe dasar yang sesuai dengan hasil penelitian
yang ada, adalah tipologi yang ke-3 yaitu sikap perpaduan dimana Kristus di atas
kebudayaan.
36
Anton Wessels, Memandang Yesus (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 133. 37
Ibid., 133.
18
Dikatakan Kristus diatas kebudayaan, karena pada dasarnya, masyarakat suku sabu
memiliki pemahaman bahwa sebelum kekristenan hadir di pulau sabu, mereka percaya
kepada nenek moyang mereka yang telah lebih dulu melakukan tradisi ini hingga melahirkan
suatu budaya yang baik yang terjaga secara turun temurun hingga saat ini, yang mampu
membuat hidup mereka bersatu dengan memegang satu ikatan dasar yaitu saling mengasihi.
Walaupun pada saat itu masih ada diantara mereka yang belum mengenal agama Kristen, dan
masih bisa dibilang hingga saat inipun masih ada 10% diantara mereka yang menganut aliran
dinamisme dan animisme, yang di dalam kepercayaan suku mereka, terdapat Sang Pencipta
yang dalam agama suku dikenal dengan Deo moro dee penyi (dewa mengumpulkan,
membentuk dan mancipta) atau yang biasa disebut dengan Deo Ama.
Akan tetapi didalam pelaksanaan tradisi ini, seluruh aktivis Gereja juga terlibat dan
bentuk keterlibatannya adalah pada saat setiap selesai melakukan pelayanan disetiap tempat
jemaatnya di manapun, selalu diakhiri dengan bejabat tangan dan ciuman hidung, yang
menjadi salah satu bentuk ungkapan penerimaan, rasa hormat, empati dan juga kasih sayang
bagi jemaat yang dilayaninya. Inilah yang menjadi bentuk dari sikap perpaduan, dimana
Kristus di atas kebudayaan.
Selanjutnya bahwa, gereja berusaha untuk tetap membuat pandangan, pikiran dan
perasaan masyarakat setempat agar tetap mengarah pada tanggung jawab mereka, yang mana
bukan saja sebagai masyarakat Adat tetapi juga sebagai warga Jemaat. Maksudnya agar
pandangan mereka tetap terarah pada Pribadi Yesus Kristus yang mereka sembah. Gereja
tidak berwenang menghapus adat yang ada di dalam suatu masyarakat adat, karena Gereja
hadir ditengah masyarakat sebagai mitra. Namun tugas Gereja adalah berperan sebagai
Garam dan Terang untuk menerangi, Gereja juga bertanggung jawab dalam visi Teologinya,
supaya jangan sampai ada hal-hal (adat) yang bertentangan dengan pemahaman bahwa Yesus
adalah tempat perteduhan, batu karang yang teguh (Mazmur : 11, Mazmur : 28).
19
V. PENUTUP
Kesimpulan
Kebudayaan merupakan sistem simbol yang dengannya bangsa Indonesia memberi
makna terhadap kehidupannya, sehingga manusia harus selalu berhubungan dengan alam
sekitarnya. Dengan perkembangan kebudayaan etnis akan semakin menjadikan masyarakat
Indonesia sebagai bangsa yang memiliki dan melestarikan berbagai budaya, yang juga
merupakan aset budaya bangsa dan akan timbul rasa bangga serta memiliki secara nasional.
Kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat sangatlah bermakna karena bersifat
mengikat dan hidup secara bersamaan dengan masyarakat. Setiap kebudayaan yang ada selain
bersifat mengikat juga memiliki ciri khas yang membedakan budaya yang satu dengan yang
lainnya. Seperti halnya yang terjadi bagi masyarakat Suku Pulau Sabu yang masih
melestarikan dan melaksanakan kebudayaan yang dimiliki, karena kehidupan orang sabu
adalah realisasi hakikatnya sebagai mahkluk sosial yang menjalin kekerabatan serta
kekeluargaan yang dilandasi dengan kasih sayang. Orang sabu juga menempatakan diri
sebagai seorang manusia yang senantiasa memelihara hubungannya bukan saja dengan
sesama manusia tapi juga dengan alam sekitar. itulah makna jelas kehidupan bagi orang sabu.
Saran
Begitu banyak kebudayaan yang ada dalam bangsa indonesia yang belum dikenal oleh
masyarakat indonesia sendiri, padahal begitu banyak hal positif yang terkandung di dalam
seluruh kebudayaan yang bangsa indonesia punya. tidak bisa dipungkiri bahwa kebudayaan
yang ada itu bisa menjadi identitasmu untuk saling menjalin kekerabatan dan persaudaraan di
antara sesama. Dengan adanya cium hidung atau Henge’dho adalah sebagai suatu jalan yang
baik bagi seluruh masyarakat NTT dan diharapkan juga bagi seluruh masyarakat indonesia
agar saling mengaktualisasikan diri ke dalam budaya ataupun tradisi yang sudah diturunkan
dari para leluhur kita. cintailah kebudayaanmu, maka alam, adat istiadat serta seluruh
kebudayaan akan melengkapi hidupmu menjadi sebuah bangsa yang kaya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Banawiratma SJ, JB. Gereja dan Masyarakat. Panitia Misa Syukur Pesta Emas
Republik Indonesia, 1995.
Detaq, Yakob Y. Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sabu. Ende-Flores :
1973.
dkk, Widiarto Tri. Dasar-dasar Antropologi Budaya. Salatiga: FKIP, UKSW. 2000.
Gultom, R.MS. Agama dan Adat : Suatu Pemikiran Tentang” kehidupan beragama
sekaligus beradat”. Jakarta: Proyek Penerangan, Bimbingan dan Da‟wah/Khotbah
agama Kristen Protestan, Dep. Agama R.I.
Kana, Nico L. Dunia Orang Sabu. Jakarta: Sinar Harapan, Anggota IKAPI 1983.
Koentjaraningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia, 1980.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru, 1986.
Koentjaraningrat. Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan. Jakarta: 1994.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
McGrath, Alister E. Sejarah Pemikiran Reformasi. BPK Gunung Mulia: Jakarta,
1997.
Mahjunir. Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan. Brahtara Jakarta,
1967.
Niebuhr, Reichard. Christ and cultur. New York : Harper & Brothers, 1951.
Prawiro, Radius. Pembinaan Gerejawi di Tengah Masyarakat. Pustaka Sinar Harapan,
1998.
Patty, Samuel. Diktat Agama dan Kebudayaa. UKSW: Salatiga, 2004.
SJ, Tom Jacobs. Gereja Menurut Perjanjian Baru. Kanisius: Yogyakarta, 1988.
Tri, Widiarto. Pengantar Antropologi Budaya. Widya Sari Salatiga, 2007.
Ukur, F. dan Cooley, F. L. Jerih dan Juang. Jakarta: Lembaga Penelitian Dan
Studi-Studi, 1979.
Wessels, Anton. Memandang Yesus. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
W, Gulo. Metode penelitian. PT Grasindo, 2002.
21
Website :
Wikimedia Project, „Wikipedia Ensiklopedia Bebas: Nusa Tenggara Timur‟, dalam
http://id.wikipedia.org/wiki/Nusa_Tenggara_Timur.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015,
Pukul 20.00 WIB.
Info NTT, ‟Kliping Internet Provinsi NTT, Kabupaten Sabu Raijua‟. dalam
http://infonusatenggaratimur.blogspot.com/2011/02/kabupaten-sabu-raijua.html..
diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.20 WIB.
Ahmad Kurnia Elqorni, „Indoculture Online: Suku Sabu‟, dalam
http://indoculture.wordpress.com/2008/11/29/suku-sabu/.. diunduh Tanggal 20 Juli
2015, Pukul 20.30 WIB.
El Shadday Community, „Anak Panah : Suku Sabu‟, dalam
http://elshaddaicommunity.blogspot.com/2012/05/sekilas-tentang-suku-sabu.html..
diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 20.40 WIB.
Joey Seputar NTT, „Presiden Jokowi Terkejut Dapat Cium Sabu di Kupang‟, dalam
http://www.seputar-ntt.com/presiden-jokowi-terkejut-dapat-cium-sabu-di
kupang/?fb_action_ids=994930213872686&fb_action_types=og.comments&fb_sourc
e=other_multiline&action_object_map=[641515425971589]&action_type_map=[%2
2og.comments%22]&action_ref_map=[].. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.00
WIB.
Usman D. Ganggang, „Menyaksikan Panorama Nusa Sabu (Cium Ala Sabu)‟, dalam
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2013/02/16/menyaksikan-panorama-nusa-
sabu-1-cium-ala-sabu-529341.html.. diunduh Tanggal 20 Juli 2015, Pukul 21.20
WIB.
Recommended