View
232
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease)
Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit obstruksi saluran nafas kronis dan
progresif yang dikarakterisasi oleh adanya keterbatasan aliran udara yang bersifat ireversibel, yang
disebabkan oleh bronkitis kronis, emfisema, atau keduanya. Gangguan yang bersifat progresif ini
disebabkan oleh inflamasi kronik akibat paparan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu
lama dengan gejala utama sesak nafas, batuk dan produksi sputum. Beberapa penelitian terakhir
menemukan bahwa PPOK sering disertai dengan kelainan ekstra paru yang disebut sebagai efek sistemik
pada PPOK.
Sementara itu, menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan WHO, COPD
didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang progresif dan tidak
sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan udara ini biasanya bersifat progresif dan berkaitan
dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling
umum yang menyebabkan COPD adalah bronkhitis kronis dan emfisema.
1. Bronkhitis Kronis
Bronkhitis kronis berhubungan dengan sekresi berlebih mukus kronik atau berulang ke dalam
cabang bronkus dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama paling tidak 3 bulan dalam
setahun, dan hal ini berlangsung paling tidak dalam 2 tahun, serta tidak disebabkan penyakit
lainnya.
2. Emfisema
Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran permanen yang abnormal dari ruang udara pada
posisi distal terhadap bronkhiol terminal, disertai dengan kerusakan dinding, tetapi tanpa
fibrosis yang jelas. Emfisema juga didefinisikan sebagai suatu kelainan anatomi paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal yang disertai dengan kerusakan
pada dinding alveoli.
Pada praktiknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda
emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan nafas yang tidak reversibel
penuh, dan memenuhi kriteria PPOK. Menurut WHO, PPOK merupakan salah satu penyebab kematian
tertinggi di dunia. Penyakit ini bersaing dengan HIV/AIDS untuk menempati tempat ke-4 atau ke-5
setelah penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler, dan infeksi saluran akut.
Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang sangat mempengaruhi
kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama yang berperan dalam keterbatasan aktivitas
penderita PPOK. Inflamasi sistemik, penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular,
osteoporosis, dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK. Efek sistemik ini penting dipahami
dalam penatalaksanaan PPOK sehingga didapatkan strategi terapi baru yang memberikan kondisi dan
prognosis lebih baik untuk penderita PPOK.
Prevalensi
Prevalensi terjadinya penyakit ini lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan meningkat
dengan bertambahnya usia. PPOK lebih sering terjadi pada orang yang masih aktif merokok dan bekas
perokok serta meningkat dengan banyak jumlah rokok yang dikonsumsi. Suatu penelitian yang dilakukan
pada penderita PPOK di RSUP H. Adam Malik Medan menyatakan bahwa prevalensi PPOK berdasarkan
usia, paling banyak terdapat pada kelompok usia lebih dari 70 tahun, yaitu sebanyak 51 penderita
(37,5%). Sementara itu, berdasarkan jenis kelamin, laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu 104
penderita (76.5%). Kemudian, berdasarkan riwayat merokok, yang terbanyak dengan riwayat merokok
yaitu 105 penderita (77,2%), sedangkan berdasarkan status perokok, terbanyak pada bekas perokok
yaitu 57 penderita (54,3%). Berdasarkan hasil penelitian ini, merokok merupakan salah satu faktor risiko
utama yang menyebabkan terjadinya PPOK.
Dari berbagai literatur, dapat dirangkum prevalensi terjadinya PPOK sebagai berikut :
1. Jenis kelamin
Pasien pria lebih banyak daripada wanita. Hal ini dikarenakan perokok pria lebih banyak 2 kali
lipat daripada wanita.
2. Usia
Semakin dewasa usia seseorang, semakin tinggi pula kemungkinan terkena penyakit ini. Hal ini
berhubungan dengan lamanya seseorang merokok, serta berapa banyak bungkus rokok yang
telah dihabiskan.
Faktor yang berperan dalam peningkatan prevalensi penyakit ini adalah :
1. Kebiasaan merokok yang masih tinggi
Pada perokok berat, kemungkinan untuk mengidap PPOK menjadi lebih tinggi. WHO
menyatakan hampir 75% kasus bronkitis kronik dan emfisema diakibatkan oleh rokok. Suatu
penelitian menyatakan bahwa seorang perokok 45% lebih beresiko untuk terkena PPOK
dibanding yang bukan perokok. Secara umum telah diketahui bahwa merokok dapat
menyebabkan gangguan pernafasan. Terdapat beberapa alasan yang mendasari pernyataan ini.
Pertama, salah satu efek dari penggunaan nikotin akan menyebabkan konstriksi bronkiolus
terminal paru, yang meningkatkan resistensi aliran udara ke dalam dan ke luar paru. Kedua, efek
iritasi asap rokok menyebabkan peningkatan sekresi cairan ke dalam cabang-cabang bronkus
serta pembengkakan lapisan epitel. Ketiga, nikotin dapat melumpuhkan silia pada permukaan
sel epitel pernafasan yang secara normal terus bergerak untuk memindahkan kelebihan cairan
dan partikel asing dari saluran pernafasan. Akibatnya, lebih banyak debris berakumulasi dalam
jalan nafas dan kesukaran bernafas menjadi semakin bertambah. Hasilnya, semua perokok baik
berat maupun ringan akan merasakan adanya tahanan pernafasan dan kualitas hidup yang
berkurang.
2. Polusi udara, terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
Polutan adalah bahan-bahan yang ada di udara yang dapat membahayakan kehidupan manusia.
Polutan dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu senyawa-senyawa di dalam udara murni (pure air)
yang kadarnya dia atas normal, molekul-molekul (gas-gas) selain yang terkandung dalam udara
murni tanpa memperhitungkan kadarnya dan partikel.
3. Pekerjaan
Pekerja tambang yang bekerja di lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK.
Pekerja yang pada pekerjaannya terpapar aluminium, selama bekerja 30 tahun dengan
terpaparnya partikel tersebut sama saja dengan perokok yang merokok 75 gram/minggu.
4. Pertambahan penduduk
5. Meningkatnya usia harapan hidup rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an
menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
6. Industrialisasi
Epidemiologi
Data yang ada mengenai prevalensi dan morbiditas PPOK diperkirakan dibawah dari angka yang
sebenarnya, hal ini disebabkan PPOK tidak selalu dikenal dan didiagnosis sebelum tanda klinik muncul.
WHO memperkirakan, 600 juta orang menderita PPOK di seluruh dunia dan ini diperkirakan akan terus
meningkat. Jumlah penderita PPOK di Amerika Serikat 12,1 juta orang dan di Asia Pasifik sebanyak 56,7
juta orang. Pada tahun 2006, The Asia Pacific CPOD Roundtable Group memperkirakan jumlah penderita
PPOK sedang hingga berat di Asia Pasifik mencapai 56,6 jutapenderita dengan angka prevalensi 5,6%.
Sementara itu, di Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat 4,8 juta (5,6%) penderita PPOK. Kejadian ini
akan terus meningkat yang salah satunya disebabkan oleh banyaknya jumlah perokok karena 90%
penderita PPOK disebabkan oleh current smoker atau ex-smoker. Di level global, PPOK adalah masalah
kesehatan masyarakat yang signifikan dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab penyakit
dan kematian di dunia, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga sebagai
penyebab kematian tertinggi di dunia. Kejadian ini akan terus meningkat dengan semakin meningkatnya
jumlah perokok, karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok.
Etiologi
Berbagai faktor berperan penting terhadap perjalanan penyakit PPOK, antara lain faktor risiko
seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi, genetik, dan perubahan cuaca.
Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok di lingkungan, tetapi paparan kronik lain
dapat pula menyebabkan COPD. Penghirupan partikel asing dan gas akan menstimulasi pengaktifan
neutrofil, makrofag, dan limfosit CD8+, yang membebaskan sejumlah mediator kimia, termasuk tumor
necrosis factor (TNF), IL-8, dan leukotrien B4. Sel inflamasi dan mediator ini akan menyebabkan
perubahan destruktif meluas pada jalan udara, pembuluh pulmonar, dan parenkim paru-paru.
Proses patofisiologi lainnya adalah akibat terjadinya stres oksidatif dan ketidakseimbangan
antara sistem pertahanan protektif dan agresif di paru-paru (protease dan antiprotease). Peningkatan
oksidator yang berasal dari asap rokok dapat bereaksi dan merusak berbagai protein dan lipid, yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan
memperparah ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan menginhibisi aktivitas antiprotease.
Antiprotease protektif alfa1-antitripsin (AAT) menghambat sejumlah enzim protease, termasuk elastase
neutrofil. Dengan adanya aktivitas AAT yang tidak berantagonis, elastase menyerang elastin, yang
merupakan komponen utama dari dinding alveolus. Defisiensi turunan AAT menyebabkan peningkatan
risiko perkembangan emfisema prematur. Pada penyakit yang diturunkan, terdapat suatu defisiensi AAT
absolut. Pada emfisema yang disebabkan merokok, ketidakseimbangan ini berhubungan dengan
peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel inflamasi yang teraktivasi
membebaskan protease yang lain, termasuk katepsin dan metalloproteinase (MMP). Selain itu, stres
oksidatif juga mengurangi aktivitas antiprotease.
Suatu eksudat inflamasi sering ditemui pada jalan udara yang menyebabkan suatu peningkatan
jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mukus. Sekresi mukus meningkat, dan motilitas siliar
mengalami kerusakan. Terdapat penebalan otot polos dan jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi
kronik menyebabkan pembentukan parut dan fibrosis. Penyempitan jalan udara yang meluas terjadi dan
lebih parah pada jalan udara periferal yang berukuran kecil. Perubahan parenkimal mempengaruhi unit
penukar gas paru-paru (alveoli dan kapiler pulmonar). Penyakit yang terkait dengan merokok paling
umum menyebabkan emfisema sentrilobar yang terutama mempengaruhi bronkiol respirasi. Emfisema
panlobar dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas sampai ke duktus dan kantung alveolus. Perubahan
vaskular termasuk penebalan pembuluh pulmonar yang dapat menyebabkan disfungsi endotel arteri
pulmonar. Selanjutnya, perubahan struktural akan meningkatkan tekanan pulmonar, terutama setelah
latihan fisik.
Etiologi penyakit ini yang lainnya berkaitan dengan pekerjaan. Pekerja yang sering terpapar
debu dapat berisiko tinggi terkena penyakit ini. Hal ini akan memberikan kesempatan lebih banyak
untuk masuknya debu ke saluran pernafasan. Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernafasan
dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang berukuran 5 μm atau lebih akan mengendap di
hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2 μm akan
berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 μm biasanya
tidak sampai mengendap di saluran pernafasan akan tetapi akan dikeluarkan lagi. Apabila terdapat debu
yang masuk ke sakkus alveolus, makrofag yang ada di dinding alveolus akan memfagositosis debu
tersebut. Akan tetapi, kemampuan fagositik makrofag terbatas, sehingga tidak semua debu dapat
difagositosis. Debu yang ada di dalam makrofag sebagian akan dibawa ke bulu getar yang selanjutnya
akan dibatukkan dan sebagian lagi tetap tertinggal di interstisium bersama debu yang tidak sempat di
fagositosis. Debu organik dapat menimbulkan fibrosis sedangkan debu mineral (inorganik) tidak selalu
menimbulkan fibrosis jaringan. Reaksi tersebut dipengaruhi juga oleh jumlah dan lamanya pemaparan
serta kepekaan individu untuk menghadapi rangsangan yang diterima. Makrofag yang sedang aktif akan
mempengaruhi keseimbangan protease-antiprotease melalui beberapa mekanisme, yaitu meningkatkan
jumlah elastase, mengeluarkan faktor kemotaktik yang dapat menarik neutrofil dan mengeluarkan
oksidan yang dapat menghambat aktivitas AAT .
Selain itu, etiologi penyakit ini juga dapat bersumber dari faktor genetik, dimana terdapat
inhibitor protease yang rendah. Inhibitor adalah sekelompok protein atau peptida yang menunjukkan
sifat menghalangi kerja enzim proteolitik. Fungsi inhibitor protease adalah untuk mengontrol protease
yang selalu berperan dalam berbagai proses biologis. Keenam antiprotease tersebut adalah alfa-1-
antitripsin (AAT), alfa-1-antikimotripsin (A1X), antitrombin III (AT III), CI inaktivator (CI Ina) dan alfa-2-
makroglobulin (A2M). Dari keenam inhibitor protease (IP) tersebut yang berhubungan langsung dengan
jaringan paru adalah AAT dan A2M. Akan tetapi peran AAT lebih besar daripada A2M. AAT sangat
penting sebagai perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami, dan kekurangan
antiprotease ini memiliki peranan penting dalam patogenesis emfisema. Protease dihasilkan oleh
bakteri, PMN, monosit, dan makrofag sewaktu proses fagositosis berlangsung dan mampu
memecahkan elastin dan makromolekul lain pada jaringan paru. Pada orang yang sehat, kerusakan
jaringan paru dicegah oleh kerja antiprotease, yang menghambat aktivitas protease. Sementara itu,
pada perokok aktif, aktivitas merokok dapat mengakibatkan respon peradangan sehingga menyebabkan
pelepasan enzim proteolitik (protease). Bersamaan dengan itu, agen oksidator pada asap akan
menghambat AAT.
Etiologi lainnya adalah akibat infeksi saluran pernafasan. Infeksi pada saluran nafas merupakan
faktor resiko yang berpotensi untuk perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa. Infeksi
saluran pernafasan pada anak-anak juga dipercaya berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan
PPOK. Walaupun infeksi saluran pernafasan adalah salah satu penyebab penting terjadinya eksaserbasi
PPOK, hubungan infeksi saluran pernafasan dewasa dan anak-anak dengan perkembangan PPOK masih
belum bisa dibuktikan.
Patofisiologi
COPD merupakan penyakit yang terjadi pada saluran pernafasan. Secara umum, sistem respirasi
berfungsi untuk menyediakan permukaan yang luas untuk terjadinya pertukaran gas di antara udara dan
darah yang bersirkulasi, menggerakkan udara ke dan dari permukaan paru-paru sepanjang saluran
respirasi, dan melindungi permukaan respirasi dari dehidrasi, perubahan temperatur, atau variasi
lingkungan lain serta mempertahankan sistem repirasi dan jaringan lainnya dari invasi berbagai patogen.
Respirasi melibatkan empat proses, yaitu sebagai berikut.
Ventilasi : pergerakan udara keluar masuk paru-paru.
Respirasi eksternal : pertukaran gas antara darah dan ruang paru-paru yang terisi udara.
Transpor gas respirasi di dalam darah : transpor O2 dan CO2 antara paru-paru dengan sel
jaringan.
Respirasi internal : pertukaran gas antara darah sistemik dengan sel jaringan.
Sistem respirasi dan kardiovaskular terlibat dalam respirasi. Organ sistem respirasi secara
fungsional dibagi menjadi struktur-struktur zona penghubung (hidung sampai bronkhiol) dan struktur-
struktur zona respirasi (bronkhiol respirasi sampai alveoli), tempat berlangsungnya pertukaran gas.
Gambar 1. Anatomi sistem respirasi normal
Gambar 2. Jalur penghubung pernafasan dan zona respirasi
COPD dikarakterisasi dengan inflamasi kronis yang akan memicu kerusakan dan perkembangan
keterbatasan jalan udara yang bersifat kronis. Proses inflamasi bersifat luas dan tak hanya melibatkan
jalan udara tetapi juga meluas ke pembuluh pulmonar dan parenkim paru-paru. Inflamasi pada COPD
seringkali disebabkan oleh neutrofil pada dasarnya, tetapi makrofag dan limfosit CD8+ juga memainkan
peranan penting. Sel-sel inflamatori ini melepaskan berbagai macam mediator kimia, diantaranya tumor
necrosis factor-α (TNF-α), interleukin (IL-8), dan leukotrien (LT) B4 memainkan peran utama. Aksi sel-sel
ini dan juga mediator saling melengkapi dan berlebihan sehingga memicu perluasan kerusakan. Stimulus
untuk mengaktivasi sel infalamatori dan mediator yaitu paparan terhadap partikel dan gas asing melalui
inhalasi. Faktor penyebab paling umum adalah paparan terhadap asap rokok, juga paparan terhadap zat
asing lainnya seperti polutan udara maupun zat-zat kimia.
Gambar 3. Patogenesis COPD terkait asap rokok
Proses lain yang menjadi patogenesis COPD adalah stres oksidatif dan ketidakseimbangan antara
sistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (protease dan antiprotease). Interaksi yang
berubah antara oksidator dan antioksidan yang terdapat pada jalan udara bertanggung jawab dalam
peningkatan stres oksidatif pada COPD. Peningkatan marker oksidator (seperti hidrogen peroksida dan
nitrit oksida) terdeteksi pada cairan lapisan epitel. Peningkatan oksidator ini dihasilkan oleh asap rokok
yang bereaksi dengan berbagai protein dan lipid dan merusaknya, memicu kerusakan sel dan jaringan.
Oksidator juga memudahkan timbulnya inflamasi secara langsung dan memperburuk
ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan cara menghambat aktivitas antiprotease. Selain itu,
stress oksidatif juga menyebabkan hipersekresi mukus, merusak epitel alveoli, pemodelan kembali
matriks, dan apoptosis sel.
Gambar 4. Patogenesis COPD
Ketidakseimbangan protease dan antiprotease di paru-paru dikaitkan dengan defisiensi
antiprotease protektif AAT (α1-antitripsin) secara genetik yang mana meningkatkan risiko
berkembanganya emfisema secara prematur. Enzim AAT bertanggung jawab untuk menghambat
sejumlah enzim protease, termasuk elastase neutrofil. Dengan ketiadaan aktivitas AAT sebagai
antagonis, terjadi hipersekresi elastase dan defisiensi AAT. Elastase akan menyerang elastin, komponen
utama dinding alveoli, terjadi proteolisis enzimatik, perusakan komponen matriks selular (elastin),
inaktivasi sistem AAT dan perusakan sel yang mensintesis matriks sel.
Pada kasus emfisema yang diturunkan, terjadi defisiensi AAT secara absolut. Pada emfisema
yang disebabkan oleh asap rokok, ketidakseimbangan dikaitkan dengan peningkatan aktivitas protease
atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel inflamatori yang teraktivasi melepas beberapa protease
lain dibanding AAT, meliputi katepsin dan metalloproteinase (MMP) yang mampu menginduksi
apoptosis sel epitel alveoli dan limfosit CD4 menginduksi respon autoimun terhadap jaringan paru.
Inflamasi pada COPD menginduksi perubahan yang mempengaruhi kualitas hidup progresi
COPD. Patofisiologi COPD secara umum adalah sebagai berikut.
1) Pertama, proteolisis elastin menyebabkan reduksi tekanan recoil elastin di paru-paru. Karena
integritas dan pergerakan udara di bronkhiol terutama bergantung pada tekanan coil elastik
yang diinduksi oleh jaringan elastic sekitarnya, kerusakan elastin pada COPD menyebabkan
penyempitan jalan udara secara signifikan dengan mengurangi aliran udara ke bronkhiol dan
terjadi penjeratan udara di paru-paru.
2) Kedua, terjadi pembentukan kembali (remodeling) fibrotic pada jalan udara menghasilkan
penyempitan jalan udara yang tetap menyebabkan peningkatan resistensi jalan udara yangmana
tidak sepenuhnya dapat pulih kembali walau dengan bronkodilator.
3) Ketiga, terjadi apoptosis sel epitel alveoli dan bronkiol serta kapiler pulmonar pada fitur
histologic seperti emfisema dan fitur fisiologik seperti penurunan luas permukaan alveoli untuk
pertukaran gas dan ventilasi yang tidak sebanding (V/Q).
Sangat berguna untuk membedakan inflamasi karena COPD atau karena asma karena respon
terhadap terapi antiinflamatori juga berbeda. Sel-sel inflamatori yang menonjol berbeda pada 2 kondisi
tersebut, dimana neutrofil memainkan peran utama pada COPD, sementara eosinofil dan sel mast pada
asma. Mediator inflamasi juga berbeda, dimana LTB4, IL-8, da TNF-α dominan pada COPD, sementara
LTD4, IL-4, dan IL-5 diantara sejumlah mediator lainnya memodulasi inflamasi pada asma.
Gambar 5. Skema patogenesis COPD
Perubahan patologik COPD bersifat luas, mempengaruhi jalan udara besar dan kecil, parenkim
paru-paru, dan pembuluh pulmonar. Eksudat inflamatori sering muncul dan memicu peningkatan jumlah
dan ukuran sel-sel goblet dan kelenjar mukus. Sekresi mukus meningkat, dan motilitas siliari lemah.
Terdapat juga penebalan otot polos dan jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi terjadi baik pada jalan
udara sentral dan perifer.
Jalan udara sentral (trakea dan bronkus dengan diameter lebih besar dari 2 mm), sel inflamatori
menerobos epitel dan terjadi hipertrofi kelenjar pensekresi mukus dan peningkatan sejumlah sel
goblet yang berkaitan dengan hipersekresi mukus.
Jalan udara perifer (bronkiol dan bronkus dengan diameter kurang dari 2 mm), inflamasi kronis
menyebabkan siklus agregasi dan perbaikan dinding bronkiol yang berulang. Proses perbaikan
menyebabkan remodeling dinding jalan udara, dengan peningkatan kandungan kolagen dan
pembentukan jaringan ciatriceal, memicu penyempitan lumen dan obstruksi jalan udara
ireversibel.
Inflamasi kronis diakibatkan oleh luka berulang dan proses perbaikan yang memicu luka parut
dan fibrosis. Jalan udara menjadi sempit, dominan terjadi pada jalan udara perifer yang lebih kecil.
Pengurangan FEV1 menggambarkan terdapatnya inflamasi pada jalan udara sementara abnormalitas gas
pada darah dihasilkan oleh transfer gas yang tidak tepat karena kerusakan parenkim paru.
Gambar 6. Pengurangan volume dan aliran udara karena penyempitan jalan udara
Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukar gas pada paru-paru, mencakup kapiler
pulmonar dan alveoli. Distribusi perubahan destruktif bervariasi bergantung pada etiologi. Paling umum,
penyakit yang disebabkan asap rokok menyebabkan emfisema centrilobural yang umum mempengaruhi
bronkiol respirasi. Emfisema panlobular dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas ke duktus dan kantung
alveoli.
Perubahan vaskular pada COPD meliputi penebalan pembuluh pulmonar dan sering tampak
pada awal muncul penyakit. Peningkatan tekanan pulmonar pada awal penyakit disebabkan oleh
vasokontriksi hipoksia dari arteri pulmonar menyebabkan disfungsi endotel arteri pulmonar.
Selanjutnya, perubahan struktur memicu peningkatan tekanan pulmonar, terutama selama
latihan/olahraga. Pada COPD parah, hipertensi pulmonar sekunder memicu berkembangnya gagal
jantung sisi kanan.
Akhir-akhir ini, overinflasi toraks juga dikaitkan dengan patofisiologi COPD. Obstruksi jalan udara
kronis memicu penjeratan udara sehingga menyebabkan hiperinflasi toraks yang dapat dideteksi pada
radiografi dada. Masalah ini menimbulkan perubahan dinamik di dada, termasuk meratakan otot
diafragma. Akibatnya, otot diafragma menjadi kurang efisien untuk memungkinkan ventilasi udara,
dibutuhkan kerja lebih sehingga otot menjadi lelah. Selain itu, pasien COPD dengan hiperinflasi toraks
menunjukkan peningkatan kapasitas residual fungsional sehingga jumlah udara yang tertinggal di paru-
paru setelah ekshalasi meningkat. Oleh sebab itu, pasien bernafas pada volume paru yang lebih tinggi.
Hal ini juga membatasi kapasitas cadangan inspirasi, yaitu jumlah udara yang dapat pasien hirup untuk
mengisi paru-paru. Peningkatan kapasitas residual fungsional juga membatasi durasi inhalasi sehingga
menyebabkan dyspnea.
Gambar 7. Emfisema dan bronkitis kronis pada COPD
COPD secara alamiah dikarakterisasi dengan eksaserbasi berulang yang berhubungan dengan
peningkatan gejala dan penurunan status kesehatan secara keseluruhan. Eksaserbasi didefinsikan
sebagai perubahan pada gejala dasar pasien (dyspnea, batuk, atau produksi sputum) yang bervariasi dari
hari ke hari sehingga perlu perubahan dalam penanganan penyakit.
Faktor Resiko
Faktor risiko dapat dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan. Secara umum, faktor
lingkungan berikut dapat menjadi faktor risiko COPD, yaitu asap rokok, zat kimia dan partikel terkait
pekerjaan, dan polusi udara. Faktor lingkungan tersebut merupakan faktor yang sebenarnya dapat
dimodifikasi sehingga bila dihindari dapat menurunkan risiko berkembangnya COPD. Faktor host yang
berperan menjadi faktor risiko COPD yaitu kecenderungan genetik (AAT), hiperrensponsif jalan udara,
dan pertumbuhan paru yang tidak tepat. Interaksi antara faktor host dan faktor lingkungan juga dapat
memicu ekspresi COPD. Berikut adalah faktor risiko yang memungkinkan terjadinya COPD.
Genetik
Individu yang terpapar faktor risiko dari lingkungan yang sama belum tentu memiliki peluang
yang sama untuk berkembang menjadi COPD, dalam hal ini faktor host memainkan peranan
penting pada patogenesis COPD. Hingga saat ini, faktor risiko karena genetik yang paling dapat
dijelaskan secara baik terkait COPD adalah terkait gen SERPINA1 yang mengkode inhibitor serin
protease, yaitu α1-antitripsin (AAT). Gangguan pada gen SERPINA 1 memicu defisiensi AAT-1,
menyebabkan aksi protease tidak terhambat dan berkembang menjadi emfisema. Alel S
berkaitan dengan AAT normal, sementara alel Z homozigot (ZZ) berperan pada defisiensi AAT
dimana level AAT hanya 10% dari individu normal. Pasien dengan defisienasi AAT mengalami
perkembangan COPD pada usia awal (20-50 tahun). Bagaimanapun, hanya 1-2% populasi yang
menunjukkan anomali SERPINA 1, hal ini berarti banyak variasi genetik lain yang bertanggung
jawab pada perkembangan C. Pemahaman terbaru adalah bahwa COPD merupakan penyakit
poligenik yang melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai polimorfisme gen.
Tabel 1. Gen-gen terkait perkembangan COPD
Paparan terhadap partikel
Asap rokok (10 pak setahun, 50% perokok berkembang menjadi COPD)
Faktor risiko paling utama COPD, terjadi hampir 85-90% kasus COPD, sisanya 15% kasus
diklasifikasikan sebagai COPD tak terkait rokok. Laju hilangnya fungsi paru-paru ditentukan
terutama oleh status merokok dan sejarah. Anak-anak yang hidup di lingkungan perokok
dapat meningkatkan risiko berkembangnya disfungsi pulmonary dengan mengisap asap
rokok secara pasif, ini disebut juga environmental tobacco smoke atau secondhand smoke.
Polusi udara dari dalam ruangan dari proses memanaskan dan memasak dengan bahan
bakar biomasa di rumah yang kurang ventilasi (sekurang-kurangnya 25 tahun pemaparan).
Di negara berkembang seperti India, COPD karena bukan rokok terhitung 30-50% dari semua
kasus COPD. Pembakaran bahan bakar biomasa seperti kayu, pupuk kandang, dan residu
panen memicu pelepasan polutan udara seperti SO2, CO, NO2, formaldehid, dan partikulat
yang lebih kecil ukurannya dari 10 mikron. Hal ini menjadi risiko yang nyata dimana 70%
rumah tangga di India bergantung pada bahan bakar biomasa untuk tujuan domestik seperti
memasak dan memanaskan.
Partikel yang terkait pekerjaan, organik ataupun anorganik (risiko 15% pada populasi
Amerika)
Misalnya :
Perusahaan tekstil, pertambangan, karet, pupuk, mesin kendaraan, pewarna organik
terklorinasi, paparan amonia, butir padi, kulit, dan otomotif.
Paparan terhadap silika pada industri semen, batu, keramik, pasir silica, granit, tambang
emas, besi, dan baja.
Polusi udara outdoor
Hal ini masih belum jelas apakah polutan udara sendiri merupakan faktor risiko yang
signifikan untuk berkembangnya COPD pada perokok maupun bukan perokok.
Bagaimanapun, seseorang dengan disfungsi pulmonar yang sebelumnya telah ada, polutan
udara secara signifikan memeperparah gejala.
Pengurangan volume paru, karena
Pertumbuhan dan perkembangan paru
Sebelumnya TBC (26-68% kasus setelah diobati TB, 2,9-6,6 kali lipat risiko meningkat)
Infeksi Reccurent Lower Repiratory pada masa kanak-kanak awal (2-3 kali lipat risiko
meningkat menjadi COPD ketika dewasa)
Nutrisi yang buruk
Jenis kelamin wanita (alasan tidak diketahui)
Usia tua (fungsi fisiologi paru berkurang)
Status sosioekonomi rendah (multikomponen)
Orang yang diobati asma tidak baik dapat menjadi faktor risiko untuk berkembang menjadi
obstruksi jalan udara ireversibel, ciri COPD.
Klasifikasi
Tingkat keparahan COPD sangat penting diketahui karena berorientasi untuk pengobatan
penyakit. Tingkat keparahan COPD berdasarkan pada intensitas gejala, abnormalitas spirometri, dan
keberadaan komplikasi. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) mengklasifikasikan
COPD sebagai berikut.
Tingkat 1 (Mild COPD)
COPD ringan dikarakterisasi dengan pembatasan aliran udara yang sifatnya ringan (FEV ˃80%,
FEV1/FVC ˂70%). Gejala yag muncul yaitu batuk kronis dan produksi sputum, tetapi tidak selalu
ada. Pada tingkat ini, pasien biasanya tidak menyadari bahwa fngsi parunya abnormal.
Tingkat 2 (Moderate COPD)
COPD sedang diakarakterisasi dengan memburuknya pembatasan aliran udara (50% ˂ FEV1
˂80%, FEV1/FVC ˂70%), dengan pemendekan nafas sehingga membutuhkan usaha lebih, batuk,
dan produksi sputum. Ini merupakan tahap dimana pasien secara khas mencari perhatian medik,
karena gejala respirasi kronis atau eksaserbasi penyakit.
Tingkat 3 (Severe COPD)
COPD parah dikarakterisasi dengan memburuknya pembatasan aliran udara yang lebih jauh
(30% ˂ FEV1 ˂50%, FEV1/FVC ˂70%), pemendekan nafas yang jauh lebih besar, pengurangan
kapasitas latihan, lelah, dan eksaserbasi berulang yang hampir selalu berpengaruh pada kualitas
hidup pasien.
Tingkat 4 (Very severe COPD)
COPD sangat parah dikarakterisasi dengan pembatasan aliran udara yang parah (FEV1 ˂30%
atau FEV1 ˂50% dengan keberadaan gagal respirasi kronis dan gagal jantung sebelah kanan;
FEV1/FVC ˂70%). Pasien dapat saja mencapai tingkat 4, COPD sangat parah bahkan bila FEV1
˃30%, kapanpun komplikasi ini ada. Pada tingkat ini, kualitas hidup sangat dipengaruhi dan
eksaserbasi dapat mengancam hidup.
Untuk kasus pasien dengan eksaserbasi akut COPD terdapat pengelompokkan lain, yakni sebagai
berikut.
Tipe 1 (Mild)
Pada tipe ini, terdapat satu gejala kardinal* ditambah sekurang-kurangnya satu dari berikut :
Upper Respiratory Tract Infection (URTI) selama 5 hari, demam tanpa sebab yang jelas,
peningkatan wheezing, batuk, dan laju jantung atau respirasi ˃20% di atas baseline.
Tipe 2 (Moderate)
Pada tahap ini terdapat dua gejala cardinal*.
Tipe 3 (Severe)
Pada tahap ini terdapat tiga gejala kardinal*.
*Gejala kardinal meliputi kondisi yang memperparah dyspnea, peningkatan volume sputum, dan
peningkatan purulensi sputum.
Manifestasi Klinis
Gejala awal COPD termasuk batuk kronik dan produksi sputum, pasien dapat mengalami gejala
ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya dyspnea. Pada tahap ini, pasien biasanya tidak
sadar akan penyakitnya sampai dyspnea berkembang secara signifkan. Menurut American Thoracic
Society, terdapat 5 kategori dyspnea yakni sebagai berikut.
Grade 0 (No dyspnea) : tidak ada masalah kesulitan bernafas kecuali saat latihan berat.
Grdae 1 (Slight dyspnea) : bermasalah dengan pemendekan nafas ketika terburu-buru pada jalan
datar atau berjalan pada tanjakan ringan.
Grade 2 (Moderate dyspnea) : berjalan lebih lambat dari normal berdasar usia pada jalan datar
karena kesulitan nafas atau harus berhenti bernafas ketika berjalan pada jalan datar.
Grade 3 (Severe dyspnea) : berhenti bernafas setelah berjalan 100 yard atau setelah beberapa
menit pada jalan datar.
Grade 4 (Very severe dyspnea) : terlalu sulit bernafas untuk meninggalkan rumah atau menjadi
sulit bernafas ketika memakai pakaian atau membuka pakaian.
Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada pada tahap COPD yang
lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami gejala sebagai
berikut.
Sianosis membran mukosa
Barrel chest karena pengembangan paru-paru yang berlebihan (hiperinflasi paru)
Peningkatan laju respirasi istirahat
Nafas yang dalam (dangkal)
Perubahan mekanisme bernafas seperti memonyongkan mulut untuk membantu ekspirasi dan
penggunaan pelengkap otot repirasi.
Bangun pada malam hari karena kesulitan bernafas
Pasien dengan COPD yang memburuk (eksaserbasi COPD) mengalami gejala sebagai berikut.
Peningkatan volume sputum
Dyspnea akut yang lebih parah
Kerapatan dada (dada menyempit/chest tightness)
Keberadaan kandungan nanah pada sputum
Peningkatan kebutuhan akan bronkodilator
Tidak enak badan (malaise), lelah (fatigue)
Penurunan toleransi latihan fisik
Anoreksia dan kehilangan berat badan
Pemeriksaan fisik pada pasien eksaserbasi COPD menunjukkan adanya demam, wheezing, dan
penurunan bunyi nafas.
Diagnosa
Untuk mendiagnosa COPD, perlu diketahui dulu gejala dengan dilakukan pemeriksaan. Selain
itu, dokter juga akan menanyakan sejarah kesehatan. Jika dokter berpikir bahwa pasien memiliki COPD,
ia akan menanyakan pada pasien tentang masalah yang dirasakan pada dada dan berapa lama masalah
itu terjadi. Dokter biasanya memeriksa dada pasien dengan stetoskop, mendengarkan suara seperti
wheezing dan crackles. Berikut adalah cara mendiagnosa COPD umum (tidak dengan eksaserbasi).
Spirometri dengan uji reversibilitas
Uji ini dilakukan dengan cara pasien harus mengalirkan udara ke dalam alat dimana akan terukur
seberapa banyak dan seberapa cepat pasien dapat menggerakkan udara keluar dari paru-paru.
Masalah paru berbeda akan menghasilkan hasil yang berbeda pula sehingga penting untuk
memisahkan COPD dari penyakit dada lain seperti asma. Tes spirometri dapat mengkonfirmasi
adanya keterbatasan jalan udara Spirometri mewakili penilaian yang komprehensif volume dan
kapasitas paru. Pokok COPD yaitu perbandingan FEV1/FVC ˂70% yang mengindikasikan adanya
obstruksi jalan udara, dan postbronkodilator FEV1 ˂80% menunjukkan adanya keterbatasan
jalan udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Reversibilitas pembatasan jalan udara diukur
dengan bronkodilator.
Radiografi dada
Penyinaran dengan sinar X dilakukan untuk melihat bila paru-paru menunjukkan tanda COPD,
dan untuk meniadakan penyakit lain.
Arterial blood gas (tidak rutin)
Uji ini dilakukan untuk mendiagnosa adanya anemia atau gejala infeksi.
CT (computed tomography) scan
Dilakukan untuk menggambarkan gambaran 3 dimensi paru-paru.
ECG (electrocardiogram)
Dilakukan untuk mengukur impuls elektrik dari jantung untuk mengecek bila pasien memiliki
penyakit jantung atau paru-paru.
Echocardiogram
Dilakukan untuk melihat sebarapa baik jantung bekerja.
Oksimeter pulsa
Dilakukan untuk memonitor jumlah oksigen di darah untuk melihat bila pasien memerlukan
terapi oksigen.
Daftar Pustaka
Brashier, Bill B., Kodgule, Rahul. 2012. Risk Facor and Pathophysiology of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (COPD), volume 60. India : Association of Physicians . Hal. 17-19.
Dipiro, Joseph T, dkk. 2008. Pharmacotherapy, A Phatophysiology Approach, 7th edition. New York : Mc
Graw Hil. Hal. 497-501.
Lampiran
Terminologi medik
Dyspnea : istilah untuk menggambarkan pemendekan nafas, diikuti dengan sensasi yang membutuhkan
peningkatan usaha untuk bernafas, bicara terengah-engah atau sulit, dan kesulitan bernafas, pada awal
terjadi dirasakan dyspnea hanya ketika melakukan latihan fisik, tetapi seiring berkembangnya dyspnea,
dapat dirasakan pula ketika istirahat.
Sputum : mukus atau dahak, merupakan bahan protektif yang dihasilkan oleh patu-patu untuk
membantu menjerat dan menghilangkan partikel asing.
Wheezing : suara/bunyi siulan yang terdengar selama inhalasi dan atau ekshalasi, disebbakan oleh
penyempitan atau blokade jalan udara, dapat diikuti atau tudak dengan bunyi abnormal yang terdengar
di stetoskop.
Chest tightness : perasaan tekanan dalam dinding dada yang membuat kesulitan bernafas otomatis,
terjadi ketika terdapat infeksi paru sehingga menyebabkan nyeri nafas dalam, dan respirasi menjadi
pendek dan dalam.
Malaise : perasaan yang tidak menentu berupa tubuh yang tidak nyaman dan lelah.
Fatigue : lelah dan lemas.
Anoreksia : tidak ada atau kehilangan selera terhadap makanan.
FEV1 (Forced Expiratory Volume 1) : volume ekspirasi yang dikeluarkan pada detik pertama ekspirasi.
FVC (Forced Vital Capacity) : kapasitas vital paru.
Recommended