View
239
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER
INDONESIA TENTANG NUSYŪZ DAN
PENYELESAIANNYA DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Annalia
1110034000089
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2017 M
i
ii
iii
Nama-Nama Tim Penguji
- Dr. M. Suryadinata, MA (Ketua)
- Dr. Mafri Amir, M.Pd (Penguji 1)
- Jauhar Azizy, MA (Penguji 2)
iv
v
ABSTRAK
Annalia
Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan
Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisā’:34
Studi ini membahas tentang nusyūz dan penyelesaiannya dalam surah al-
Nisā‟: 34, dengan membedah pemahaman ulama kontemporer Indonesia. Ulama
kontemporer Indonesia adalah ulama yang hadir di era sekarang dengan corak
pemikiran yang cenderung menggunakan latarbelakang sosio-kultur dalam
memahami ayat al-Qur„ān dan dengan spirit progresifitasnya juga berorientasi
pada perbaikan. Pembahasan nusyūz sendiri sudah pernah dibahas sebelumnya,
namun yang baru dari skripsi ini adalah penulis mencoba menghadirkan
pemahaman ulama kontemporer Indonesia dalam memaknai nusyūz dan
penyelesaiannya dengan melihat kondisi dan kebutuhan masyrakat pada saat ini.
Adapun pemahaman ulama kontemporer Indonesia yang penulis teliti di
antaranya: Quraish Shihab, Khuzaimah T. Yanggo, Zaitunah Subhan, Husein
Muhammad, dan Musdah Mulia. Selain itu fokus penelitian ini juga terkait
dengan penggunaan istilah. Di mana penulis memilih menggunakan istilah
“pemahaman ulama” bukan “penafsiran ulama”. Hal ini karena, terdapat
perbedaan penjelasan dan makna soal pemahaman dan penafsiaran.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi kualitatif dengan
mengandalkan sumber primer yang berasal dari buku-buku hasil pemahaman
ulama-ulama kontemporer Indonesia yang diteliti dan wawancara dengan ulama
terkait pemahaman yang ada dalam karya-karya mereka. Ulama-Ulama yang
diwawancara antara lain: Husein Muhammad, Zaitunah Subhan dan Musdah
Mulia. Data-data yang penulis hasilkan kemudian diolah dengan metode deskriptif
interpretatif.
Hasil dari penelitian ini, penulis menemukan bahwa dalam memaknai
nusyūz pada surah al-Nisā‟: 34, secara garis besar dapat dipahami bahwa ulama
kontemporer Indonesia memaknai nusyūz sebagai pelanggaran yang dilakukan
oleh istri kepada suami terhadap kewajibannya dalam berumah tangga, terkecuali
Musdah Mulia yang memaknai nusyūz sebagai pelanggaran pasangan suami istri,
artinya nusyūz bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Selanjutnya terkait
penyelesaian nusyūz itu sendiri ulama kontemporer Indonesia yang penulis teliti
cenderung menghilangkan pemukulan dan menggantinya dengan menyerahkan ke
pengadilan sebagai jalan terakhir (Husein Muhammad), memberikan nasehat
mendalam dengan pertimbangan psikologis (Musdah Mulia dan Zaitunah
Subhan), rekonsiliasi terkait peran suami istri (Huzaemah T, Yanggo) dan yang
terakhir Quraish Shihab, memberikan keleluasaan dalam memilih jalan yang
paling efektif dengan catatan menghindari KDRT.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, segala puji Tuhan semesta alam, Tuhan yang Maha indah,
Maha baik dan Maha kasih, atas segala limpahan rahmat dan nikmatNya-lah
maka penulis berkesempatan meneliti dan menyelesaikan Skripsi yang berjudul
“Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan
Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisā‟: 34” tak ada kata lain yang mampu
mewakili rasa syukur ini kecuali ungkapan bahwa tanpaMu Rabb penulis tak
berarti apa-apa.
Salawat beriring salām pun semoga senantiasa tercurah kepada Nabi
Agung Muhammad yang telah dianugrahkan agama raḥmatan li-al-‘ālamīn ini.
Semoga penulis senantiasa dapat mempelajari akan arti agama yang diajarkannya
dengan bijaksana. Karena sungguh hal yang tak mungkin jika seorang utusan
mengajarkan kepada umatnya berupa keburukan yang akan menjerumuskannya ke
dalam lembah hitam nan kelam.
Skripsi ini ditulis atas keinginan pribadi penulis yang berangkat dari
melihat berbagai permasalahan sosial yang melanda hingga saat ini, khususnya
kasus-kasus yang terjadi kaum perempuan, baik dari lingkungan publik maupun
domestik. Salah satu yang menjadi bahasan penulis yaitu adanya kekerasan yang
terjadi pada perempuan di dalam keluarga atau yang biasa dikenal dengan KDRT.
Dalam berbagai sumber yang penulis temukan baik dari buku, wawancara dan
berita lainnya salah satu pemicu terjadinya KDRT adalah berkaitan dengan ayat
al-Quran surah al-Nisā‟: 34 yang membolehkan pemukulan terhadap perempuan
vii
yang nusyūz. Maka dari itu penulis merasa perlu untuk mebeda tafsir khususnya
penafsiran-penafsiran ulama nusantara terkait interpretasi surah al-Nisā‟: 34
tersebut.
Akhirnya, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak
yang sudah membantu dalam penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Univesitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Lilik Umi Kultsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, Dra.
Banun Binaningrum, selaku Sekertaris Jurusan Tafsir Hadis. Terima kasih
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mencicipi indahnya
bangku kuliah.
4. Dr. Abd. Muqsith, M.Ag., selaku dosen pembimbing, terima kasih atas
ilmu yang sangat luar biasa yang bapak berikan, mengenal beliau adalah
satu kesyukuran tersendiri atas banyaknya pembelajaran yang diberikan
oleh beliau. Bukan saja sebagai dosen pembimbing tapi juga hadir sebagai
guru dan orangtua yang baik.
5. Jauhar Azizy, M.Ag., atas bimbingan dan pembelajaran terkait penulisan
skripsi yang baik dan benar.
6. Kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
terkhusus dosen-dosen Ushuluddin, terima kasih sudah mendidik penulis
dengan penuh kesabaran.
viii
7. Untuk kedua orangtua yang hebat Bapak Baharuddin B dan Ibu Hj. Hasna
yang sudah membesarkan, mendidik, membina dan mengajarkan nilai-nilai
kehidupan dan selalu sabar untuk setiap kesalahan yang anaknya lakukan.
Terima kasih untuk jasa-jasa kalian. Semoga anakmu bisa menorehkan
senyummu kelak. Amin Rabb. Terima kasih juga untuk adik penulis satu-
satunya M. Zaelani B.
8. Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih
terindah untuk terkasih Erwin Saputra Muhammad S.Sos., yang sudah
setia dan sabar dalam mendampingi dan membantu penulis dalam
menyusun skripsi ini.
9. Kepada Bapak Kusmana, Bunda Musdah Mulia, Bunda Zaitunah, Kiyai
Husain, Kiyai Nahe‟i, Ibu Badriyah dan segenap Narasumber yang sudah
penulis temui yang tidak penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas
ilmu yang diberikan kepada penulis.
10. Terima kasih penulis juga ucapkan kepada kedua abang non biologis Dani
Ramdhany dan Dwi Haryanto, terimakasih untuk setiap kebaikan kalian.
11. Kepada kawan terbaik Dzulfikri, kawan seperjuangan juga kawan bertukar
pikiran, ide dan juga kawan yang selalu membantu penulis sehingga
skripsi ini bisa selesai.
12. Kepada seluruh Keluarga Besar Kohati HMI cabang Ciputat terimakasih
untuk setiap pembelajaran yang sudah penulis dapatkan.
13. Kawan-kawan organisasi dari Keluarga Besar PIUSH, KOMFUF, IKAMI
sul-sel, FORMACI, terimakasih utuk support kalian.
ix
14. Untuk sahabatku Rana Hamdah, Adis Puji Astuti, Sintia Aulia Rahma,
Laila Nihayati, Eva Nurfadilah, Lusty dan segenap sahabat seperjuangan
terimakasih untuk setiap semangat kalian.
15. Adik seperjuangan Ulfiana, Ayu Alfiah Jonas, Anifah ayu, Laila Idayanty
Zul, Raudatul Jannah, Ariani, dan lain-lain yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
16. Teman-teman seperjuangan Tafsir Hadis angkatan 2010.
17. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah SWT
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka.
Amin.
Pada akhirnya kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Sang pencipta dan
pemilik alam semesta, penulis hanya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi
studi Ilmu Tafsir, masyarakat, dan tanah air beta nusantara.
Jakarta, Maret 2016
Annalia
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penulisan transliterasi aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin merujuk
kepada Turabian ala-lc-romanization-tables.
b = ب
t = ت
th = ث
j = ج
ḥ = ح
kh = خ
d = د
dh = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sy = ش
ṣ = ص
ḍ = ض
ṭ = ط
ẓ = ظ
ع = „
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Short: a = ´ ; i = ; u =
Long: a< = ا ; i> = ا ي ; ū = ا و
Diphthong: ay = ا ي ; aw = ا و
Konsonan Rangkap karena Syaddah ditulis Rangkap
ditulis „iddah عدة
Ta’ Marbutah
1. Bila dimatikan ditulis h
هبت
جسيت
ditulis
ditulis
hibah
jizyah
xi
(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke
dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila
dikehendaki lafal aslinya).
Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua itu terpisah,
maka ditulis dengan h.
‟ditulis Karāmah al-awliyā كرامت األولياء
2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah dan dammah
ditulis t.
ditulis Zakātul fitri زكاة الفطر
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................ ii
NAMA-NAMA PENGUJI ........................................................................................ iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................................ x
DAFTAR ISI .............................................................................................................. xii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................................... 9
C. Tujuan dan Mamfaat penelitian .............................................................. 9
D. Kajian Terdahulu/ Studi Pustaka ............................................................ 10
E. Metodologi Penelitian ............................................................................. 12
F. Sistematika Penulisan ............................................................................. 15
BAB II: RELASI SUAMI DAN ISTRI DALAM ISLAM
A. Kesetaraan Suami dan Istri ...................................................................... 20
B. Keadilan dalam Keluarga ........................................................................ 24
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri .............................................................. 25
BAB III: PEMAHAMAN ULAMA KLASIK DAN MODERN TENTANG
NUSYŪZ DAN PENYELESAIANNYA DALAM SURAH AL-NISĀ’:
34
A. Pemahaman Ulama Klasik ..................................................................... 35
B. Pemahaman Ulama Modern .................................................................... 46
BAB IV: PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA
TENTANG NUSYŪZ DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34
A. Pemahaman Ulama Kontemporer ........................................................ 56
1. Pemahaman Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbāh) ........................... 61
xiii
2. Pemahaman Huzaemah T. Yanggo (Hukum Keluarga dalam
Islam) .................................................................................................. 63
3. Pemahaman Zaitunah Subhan (Tafsir Kebencian) ........................... 65
4. Pemahaman KH. Husain Muhammad (Fiqh Perempuan) ............... 68
5. Pemahaman Musdah Mulia (Muslimah Reformis) ........................... 70
B. Analisis Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang nusyūz
dan penyelesaiannya Surah al-Nisā‟: 34 ............................................... 73
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 82
B. Saran ..................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 84
LAMPIRAN .............................................................................................................. 92
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan sebagai suami-isteri, untuk membentuk rumah tangga
(keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.1
Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa pernikahan adalah
akad yang sangat kuat atau disebut juga mīthāqan galīsān untuk mentaati perintah
yang bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,
dan rahmah.2 Oleh karena itu Islam mengatur masalah pernikahan dengan sangat
teliti dan terperinci, untuk membawa manusia kepada kehidupan yang lebih
terhormat, yang harus didasari pada norma etika dan syariat Islam yang benar.
Kehidupan rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah bisa diraih bila
antara suami-istri menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik sesuai
ketentuan yang berlaku dalam kehidupan rumah tangga, sebagai konsekuensi logis
dari adanya ikatan pernikahan.3 Suami mesti melaksanakan kewajibannya
terhadap istri dalam bentuk memenuhi kebutuhan istri baik lahir maupun batin
sesuai dengan kemampuan sang suami. Sedangkan kewajiban istri adalah berbakti
lahir dan batin kepada suami dalam batasan-batasan yang dibenarkan oleh hukum
Islam.
1Definisi perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974
2Kompilasi Hukum Islam, Pasal 2 dan 3, Lihat: Abdul Gani Abdullah. Pengantar
Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Gema Insani Pers. 1994). h. 78 3 Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Bisma Optima, 2014), h.
58-59
2
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hak dan kewajiban suami-istri ada tiga
macam, yaitu hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama. Masing-
masing dari hak tersebut bersifat kebendaan; seperti mahar dan nafkah.4 Selain
dari hak yang bersifat materi ada juga hak yang berupa hak kerohanian, seperti
bersikap adil, perlakuan baik, termasuk juga dalam hal menggauli istri.5ā
Bila hak dan kewajiban yang ada dalam rumah tangga terpenuhi sesuai
dengan porsinya masing-masing, maka akan tercipta keluarga yang baik serta
harmonis. Begitu pun sebaliknya apabila seorang istri atau suami tidak
melaksanakan kewajiban dalam rumah tangga, seperti suami tidak mau
mempedulikan istrinya, atau istri tidak mau mentaati suaminya, maka akan
menumbuhkan konflik yang dapat merongrong stabilitas keluarga tersebut.6 Al-
Qur„ān tidak saja menetapkan peraturan untuk melindungi keluarga dalam arti
untuk menjamin keselamatan dan kelestarian, tetapi al-Qur„ān juga menerapkan
peraturan-peraturan lainnya yang merupakan solusi untuk menyelesaikan
persoalan secara tuntas untuk mengatasi konflik dalam rumah tangga.
Konflik suami-istri menurut penjelasan al-Qur„ān disebut dengan nusyūz,
yang secara umum mempunyai pengertian perubahan sikap salah seorang di
antara suami atau istri. Nusyūz dari pihak suami terhadap istrinya biasanya
ditandai dengan berubahnya sifat lembut dan penuh ramah serta kasih menjadi
sikap acuh, kasar, bermuka masam serta hilangnya kasih sayang terhadap istrinya.
Sedangkan nusyūz istri terhadap suaminya biasanya ditandai dengan
4Yang dimaksud dengan nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal,
pengobatan istri, pembantu rumah tangga jika dibutuhkan. Memberi nafkah hukumnya wajib
menurut al-Quran, Sunnah, dan Ijma‟. 5Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Nor Hasanuddin (pen.), (Jakarta: Pena, Pundi Aksara,
2006), hal. 39-40 6 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟ān,
(Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1999), h. 92-93
3
ditinggalkannya kewajiban sebagai istri, seperti bersikap menantang, keluar
rumah tanpa izin suami, menolak berhubungan seks dan lain-lain yang
mencerminkan ketidakpatuhan.7 Namun pembahasan nusyūz dan penyelesaiannya
dalam Islam lebih banyak membahas nusyūz istri ketimbang suami, baik yang ada
dalam al-Qur„ān, kitab-kitab fiqh, dan penafsiran ulama-ulama secara umum.
Penjelasan nusyūz istridalam al-Qur„ān disebutkan di dalam surah al-
Nisā‟: 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari
harta mereka. Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah dan
memelihara dirinya (dari fitnah) ketika suaminya tidak ada, oleh karena
Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyūznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat
tidur mereka, dan pukulah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu,
maka janganlah kamu mencari cara untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”8
Penjelasan kata (arrijalu) adalah jama‟ dari (rajulun) yang secara bahasa
berarti laki-laki.9 Namun dalam al-Qur„ān, kata rijal memiliki beberapa makna,
di antaranya bermakna laki-laki, orang baik (baik laki-laki maupun perempuan),
7Lihat Ensiklopedia Islam, NAH-SYA, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), hal.
49-50; lihat juga, Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjemahannya,
(Surabaya: Mahkota, 1989), foot note no. 291 8Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Samara
Mandiri,1999),h. 55. 9 Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 479
4
atau nabi dan rasul, ada juga yang berarti budak.10
Sedangkan kata (qowwamūna)
berarti yang menanggung, bertanggung jawab, atau menjaga dan memelihara.
Departemen Agama menterjemahkannya dengan „pemimpin‟. Di sisi lain, masih
diragukan apakah kata qawâmah bisa diterjemahkan dengan „pemimpin‟ dalam
bahasa Indonesia, karena Yusuf Ali sebagaimana dikutip Nasaruddinuddin Umar
menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan: man are the protector and
maintainers of women (laki-laki adalah pelindung dan pemelihara perempuan).
Secara bahasa penjelasan kata وشوز berasal dari وشس yang berarti فقام قاعدا كان (duduk
lalu berdiri). Muhammad Ali al Sâyis, menjelaskan nusyūz secara bahasa االمكاوه
االعصیان dan maksud nusyūz dalam ayat di atas (tempat yang tinggi) االمرتفع
(durhaka). Sedangkan kata ضعر adalah masdar ضاعر yang berarti berpaling.11
Melihat arti secara kebahasaan terkait surahal-Nisā‟: 34 ini
memperlihatkan bahwa nusyūz istri adalah sebagai bentuk sikap tidak patuhan istri
terhadap suami. Hal ini bisa dilihat dalam kata (nusyūzahunna) yang berarti
nusyūz perempuan.
Para ulama berbeda pandangan dalam merumuskan nusyūz ke dalam
contoh konkretyang dilakukan istri. Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa
nusyūz istri adalah ketidakpatuhan istri terhadap suami, dengan keluarnya istri
tanpa seizin suaminya dan menutup diri bagi sang suami padahal ia tidak
mempunyai hak untuk melakukan demikian.12
Sedangkan menurut Imam Syafi‟I,
nusyūz adalah kedurhakaan istri terhadap suaminya dan pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan dari ketentuan-ketentuan yang diwajibkan Allah SWT
10
QS. al Zumar[39]: 29; 11
Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir….. h. 918 12
Johari, Ayat-Ayat Nusyūz (Tinjauan Psikologik Pedagogik), tesis pasca sarjana tidak
diterbitkan, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1995), h. 11-15
5
kepadanya.13
Menurut Imam Hanafi nusyūz adalah ketidakpatuhan, seperti keluar
dari rumah tanpa izin suami dan tidak mau melayani suami tanpa alasan yang
dibenarkan syar‟i. Sedang Imam Maliki menyatakan nusyūz istri adalah tidak taat
pada suami, menolak untuk digauli, pergi ke suatu tempat tanpa izin suami dan
mengabaikan kewajibannya kepada Allah. Imam Syafi‟i mengatakan, istri
dianggap nusyūz jika istri tidak mau mematuhi suaminya, tidak menjalankan
syari‟at agama, serta tidak memenuhi hak-hak suami. Imam Hambali menyatakan
istri dianggap nusyūz jika istri tidak memenuhi hak-hak suami yang wajib
dipenuhi akibat adanya perkawinan itu.14
Menurut ulama Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa mengatakan nusyūz istri
adalah istri tidak taat ketika diajak berhubungan intim, keluar rumah tanpa
seizinnya serta perbuatan lain yang mencerminkan ketidakpatuhan istri pada pada
suaminya (Ibnu Qudamah, t.t: 137). Selain itu Kompilasi Hukum Islam
menjelaskan nusyūz lebih merujuk pada nusyūz istri, bahwa seorang istri dianggap
nusyūz bila ia tidak melaksanakan kewajiban utama sebagai seorang istri yaitu
berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan
hukum Islam. Istri mesti menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.15
Menurut Departeman Agama RI dalam al Qur‟an dan Terjemahannya
memberikan definisi nusyūz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami-istri, nusyūz
dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. Nusyūz dari
13
Zainuddin ibn Najm al-Hanafi, Bahru ar-Ra‟iq, (Pakistan: Karachi, tt), cet. 3, h. 76 14
Zainuddin ibn Najm al-Hanafi, Bahru ar-Ra‟iq, (Pakistan: Karachi, tt), cet. 3, h. 76-77 15
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 dan Pasal 84.
6
pihak suami ialah bersikap keras terhadap istrinya, tidak mau menggaulinya, dan
tidak maumemberikan haknya.16
Selanjutnya setelah diketahui penafsiran tentang nusyūz istri maka al-
Qur„ān memberikan jalan keluar atas permasalahan tersebut.
Hal tersebut dijelaskan dalam surah al-Nisā‟:34
Artinya: Adapun perempuan-perempuan yang kalian khawatirkan akan
ketidaktaatannya maka nasihatilah mereka, dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur, dan pukulah mereka. Akan tetapi jika mereka sudah mentaati
kalian, maka janganlah kalian mencari cara untuk menyusahkan mereka.
Penjelasan dari pada ayat di atas: pertama, ( فعظوهن) yaitu memberikan
nasihat; dalam artian seorang istri diberikan bimbingan, petunjuk, dan peringatan
tentang ketakwaan kepada Allah SWTserta hak dan kewajiban suami dan istri
dalam rumah tangga. Kedua, (المضاجع في yaitu berpisah ranjang dan (واهجروهن
tidak bertegur sapa. Tahapan ini dilakukan bila tahap pertama tidak dapat
menyadarkan istri dari kesalahannya. Ketiga, ( واضربوهن) yaitu memukul dengan
pukulan yang tidak mencederainya.
Pemahaman atas penafsiran tentang hukum nusyūz istri dan
penyelesaiannya yang bersumber dari surah al-Nisā‟: 34 berbeda-beda. Sayangnya
tidak semua pemahaman atas penafsiran terkait nusyūz istri bersifat adil kepada
perempuan. Pemahaman masyarakat yang kurang tepat dalam memahami kajian
al-Qur„ān tentang nusyūz bisa mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah
16
Departemen Agama RI. al Qur‟an dan Terjemahannya. (Jakarta: Bumi Restu, 1977). h.
123
7
tangga (KDRT), dengan dalih istri yang tidak mentaati suaminya, padahal belum
dilakukannya tahapan-tahapan sebelumnya.
Adanya keragaman pemahaman tentang nusyūz istri menarik untuk diteliti,
terutama adalah pemahaman tentang nusyūz istri yang berlangsung pada masa
sekarang ini. Karena kondisi yang dialami perempuan dari waktu ke waktu
berbeda-beda, sehingga belum tentu pemahaman ulama terdahulu tentang nusyūz
istri relevan dengan kondisi perempuan sekarang ini. Contohnya pada masa lalu
ketika tugas utama mencari nafkah ada pada suami sedangkan hari ini mencari
nafkah banyak juga dilakukan oleh perempuan, apakah pemahaman ulama
terhadulu tentang hukum nusyūz ketika dihadapkan dengan contoh istri yang
mencari nafkah dapat mengakibatkan nusyūz istri? Karena bisa jadi dengan istri
yang menggantikan suami mencari nafkah bisa menggantikan pemegang otoritas
di dalam keluarga.17
Pemahaman ulama yang paling tepat dan penting untuk
diteliti dalam melihat nusyūz istri di masa sekarang ini adalah pemahaman ulama
kontemporer, yang lebih difokuskan lagi pada pemahaman ulama kontemporer
Indonesia.
Penentuan atau pemilihan ulama kontemporer Indonesia dimaksudkan
untuk melihat adakah pergeseran makna atau penafsiran ulang terhadap kata
nusyūz dari yang telah dilakukan oleh mufassir sebelumnya (klasik). Selain itu,
apakah penafsirannya juga dikaitkan dengan realitas sosial yang melingkupi
mufassir, khususnya konteks keindonesiaan, baik dalam pemaknaan kata nusyūz
17
Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga Dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet. 1,
h. 32-33
8
dan penyelesaiannya. Penulis juga akan menggunakan konsep Abdul Mustaqim18
dalam menentukan kriteria dan menilai penafsiran ulama kontemporer, khususnya
ulama kontemporer Indonesia. Kriteria tersebut antara lain: memposisikan al-
Qur'an sebagai petunjuk (hudan), bernuansa hermeneutis, kontekstual dan
mengacu ke spirit al-Qur'an, ilmiah dan non sektarian.19
Fokus penelitian ini juga terkait dengan penggunaan istilah. Di mana
penulis memilih menggunakan istilah “pemahaman ulama” bukan “penafsiran
ulama”. Hal ini karena, terdapat perbedaan penjelasan dan makna soal
pemahaman dan penafsiaran.Pemahaman dalam bahasa Inggris dikenal dalam
istilah understanding (the ability to understand something; comprehension),20
yang berarti kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Hal ini bisa di tandai dengan
membaca karya-karya ulama yang penulis angkat. Salah satunya Husein
Muhammad yang mencoba membahas nusyūz menggunakan pendekatannya
dalam memaknai kata nusyūz pada teks al-Qur„ān. Salah satu pendekatan dalam
karyanya yang berjudul Fiqih Perempuan adalah pemahaman feminisnya.
Berbeda dengan penafsiran yang dikenal dengan istilah interpretation (the action
of explaining the meaning of something)21
yang berarti usaha menjelaskan arti
sesuatu. Terkait penafsiran teks al-Qur„ānm, usaha yang dilakukan dengan
menggunakan pendekatan Fiqh, tasawuf, sastra dan bahasa.Hal ini bisa dilihat
melalui hasil karya Quraish Shihab misalnya ketika membahas nusyūz dalam
18
Abdul Mustaqim, lahir di Purworejo pada 4 desember 1972. Menyelesaikan pendidikan
dasarya di kota kelahiran dan melanjutkan studinya studinya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dengan mengambil konsentrasi Tafsir Hadits. 19
Mustaqim Abdul, “Epitimologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKIS, 2011), Cet
1, h. 59-63 20
Edward N Teall, Webster‟s World University Dictonary, (Washington D.c: Publishers
Company, 1965), h.1086 21
Edward N Teall, Webster‟s World University Dictonary, (Washington D.c: Publishers
Company, 1965), h. 505
9
tafsirnya al-Misbah, yang dimulai dengan pendekatan bahasa, fiqih dan sastra.
Selain itu ulama bisa dikatakan menghasilkan tafsir dengan memiliki kriteria, di
antaranya: mampu menafsirkan ayat al-Qur„ān dengan ayat al-Qur„ān yang lain,
dalam menafsirkan bersandar pada hadis, pendapat sahabat dan ulama, dan
menguasai ilmu bahasa arab.Melalui perbedaan pengertian pemahaman dan
penafsiran ini adalah ingin menjelaskan alasan penulis fokus pada pembahasan
pemahaman karena sumber yang berasal dari ulama yang akan penulis teliti
adalah buku-buku yang berasal dari proses pemikiran untuk mengetahui atau
mengerti suatu teks dalam al-Qur„ān, sedangkan penafsiran adalah menjelaskan
arti teks al-Qur„ān dengan menggunakan beberapa pendekatan.
Ulama kontemporer Indonesia yang akan penulis teliti pemahamannya
mengenai nusyūz istri ada 5 tokoh, diantaranya adalah Quraish Shihab (lahir
1944), Huzaemah T. Yanggo (lahir 1946), Zaitunah Subhan (lahir 1950), Husain
Muhammad (lahir 1953), dan Musdah Mulia (lahir 1958). Penetuan 5 ulama yang
akan penulis teliti ini karena para ulama ini menghasilkan pemahaman tentang
nusyūz yang ada dalam buku-buku mereka. Oleh karena itu judul skripsi ini adalah
“Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan
Penyelesaiannya dalam Surah Al-Nisā‟: 34”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pembatasan masalah
yang akan dibahas dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Membahas pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang penjelasan dan
penyelesaian nuzyus.
10
2. Ulama yang diangkat adalah ulama-ulama yang membahas nusyūz dan
penyelesaiannya, lebih dikerucutkan lagi pada ulama kontemporer Indonesia
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
“Bagaimana pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang nusyūz dan
penyelesaiannya berdasarkan Surah al-Nisā‟:43?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian:
a. Untuk mengetahui pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang
pejelasan nusyūz.
b. Untuk mengetahui pemahaman ulama kontemporer Indonesia tentang
penyelesain nusyūz.
2. Manfaat Penelitian:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
penggiat tafsir mengenai kajian nusyūz dan penyelesaiannya,khususnya
dalam literatur tafsir kontemporer Indonesia\
b. Menambah khazanah keilmuan di bidang tafsir dalam literatur tafsir
Indonesia dari kalangan ulamakontemporer.
D. Kajian Terdahulu/ Studi Pustaka
Telah cukup banyak studi sebelumnya yang membahas terkait konsep
nusyūz. Mulai dari pendapat para tokoh terkait nusyūz, tolak ukur atau batasan
nusyūz, dan bagaimana penyelesaian nusyūz itu sendiri. Karenanya penulis
melakukan penelitian baru dengan meneliti sisi lain tentang nusyūz beserta
11
penyelesaiannya dan menghadirkan pemahaman-pemahaman ulama kontemporer
Indonesia tentang nusyūz, sehingga dapat diketahui apakah ada perbedaan
pendapat dalam memahami konsep nusyūz dan penyelesaiannya khususnya oleh
ulama-ulama kontemporer Indonesia. Beberapa penelitian terdahulu yang
membahas konsep nusyūz di antaranya:
1. Skripsi dengan judul Kajian surah al-Nisā‟(4): 128 dalam tafsir al-Siraj al-
Munir karya Syeikh Muhammad al-Syarbini al-Khatib, yang ditulis oleh Rizki
Zulkarnaen, pada tahun 2007 sebagai persyaratan tugas akhir di Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas nusyūz
dalam surah al-Nisā‟:128 yang ada di dalam tafsir al-Siraj karya al-Syarbini
al-Khatib, namun dalam skripsi tidak dijelaskan penyelesaian dari nusyūz
tersebut.
2. Skripsi dengan judul Gender dalam al-Qur‟an dan Hadis: Studi atas Isu-Isu
Gender (Konsep Nusyūz) yang ditulis oleh Agustin Nailatul Izzah, pada tahun
2008 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini membahas nusyūz istri
melalui pendekatan gender.
3. Skripsi dengan judul Studi Analisis Pendapat Syeikh Muhammad Nawawi al-
Bantani Tentang Penyelesaian Nusyūz, yang ditulis oleh Amin Rois, pada
tahun 2009 di IAIN Walisongo, Semarang. Skripsi ini membahas tentang
pandangan syeikh Nawawi al-Bantany terkait penyelesaian nusyūz dengan
melakukan kajian terhadap kitab Uqud al-Jein terutama dalam bab pernikahan
dan khususnya pada pembahasan nusyūz.
4. Skripsi dengan judul Pendapat Musdah Mulia Terkait Nusyūz dalam Pasal 84
Kompilasi Hukum Islam, yang ditulis oleh Khoirul Anam pada tahun 2014 di
12
IAIN Walisongo, Semarang. Skripsi menulis tentang kritik yang dilakukan
oleh Musdah Mulia dalam melihat pembahasan nusyūz yang ada di dalam
KHI, yang cenderung membahas nusyūz pada istri tidak membahas nusyūz
yang terjadi pada suami.
Banyaknya kajian tentang nusyūz seperti disebutkan di atas, maka penulis
merasa perlu meneliti sisi lain terkait nusyūz dan penyelesaiannya, terutama
pemahaman atas penafsiran ulama kontemporer Indonesia, beberapa literatur
terkait pembahasan nusyūz dan penyelesainnya yang menjadi objek penelitian ini
di antaranya: Zaitunah Subhan dalam karyanya Tafsir Kebencian, Husein
Muhammad dalam karyanya al-Qur„ān Ramah Perempuan, dan Musda Mulia
dalam karyanya Muslimah Reformis.
E. Metodologi Penelitian
Untuk mendapatkan kajian yang bisa dipertanggung jawabkan secara
ilmiah, maka penelitian dalam skripsi ini menggunakan metodologi sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian dan subjek yang diteliti, studi ini
merupakan penelitian pustaka, yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai
sumber data utama, penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis
faktual karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang.22
22
Anton Bakar dan Ahmad Kharis Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Kanisius:
Yogyakarta, 1990), h. 136
13
Pendekatan yang digunakan oleh penulis juga berupa penelitian
kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari seorang tokoh.23
2. Sumber Data
Mengingat penelitian skripsi ini adalah penelitian kualitatif yang
sumber datanya adalah kepustakaan, maka untuk mencapai hasil yang optimal,
sumber data dibedakan sesuai dengan kedudukan data tersebut, yaitu sumber
data primer, sumber data sekunder, dan wawancara.
a. Sumber Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan
data penelitian secara langsung.24
Sumber data primer ini berbentuk
karangan yang langsung ditulis oleh ulama dan wawancara langsung
terhadap para ulama.
Sumber primer yang digunakan oleh penulis adalah: Quraish
Shihab Tafsir al-Misbah, Huzaemah T. Yanggo Hukum Keluarga Dalam
Islam, Zaitunah Subhan dalam karyanya Tafsir Kebencian, Husein
Muhammad dalam karyanya al-Qur„ān Ramah Perempuan, dan Musda
Mulia dalam karyanya Muslimah Reformis.
Kemudian sumber yang lain adalah Kemitrasejajaran antara Laki-
laki dan Perempuan karya Zaitunah Subhan, yang berusaha
menggambarkan relasi seimbang antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan rumah-tangga, Argumentasi Kesetaraan Gender dalam
23
Lexy S. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
1988), h. 34 24
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h. 117
14
Perspektif al-Qur„ān karya Nasaruddin Umar, yang mengungkap
penafsiran al-Qur„ān yang cenderung bias gender, Tafsir Gender karya
Hamka Hasan yang melakukan perbandingan terhadap tokoh Indonesia
dan Mesir dalam penafsiran Al-Qur„ān serta beberapa buku yang memiliki
pembahasan nusyūz dalam tafsir dan perkembangannya.
Dalam penelitian ini penulis juga melakukan wawancara terhadap
para uama kontemporer Indonesia yang peneliti angkat dalam skripsi ini,
di antaranya: Zaitunah Subhan, Husein Muhammad, dan Musdah Mulia.
b. Sumber Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang materinya secara tidak
langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan.25
Data ini
adalah sebagai pelengkap dari data primer yang berisi dengan kajian-
kajian pokok yang dikaji oleh penulis. Data ini berupa buku-buku, artikel,
majalah, atau media lain yang mendukungnya. Seperti buku Perempuan
karya Quraish Shihab, dengan mengambil pembahasan yang terkait
dengan penafsiran Al-Qur‟an (surah al-Nisā‟ ayat 34) dan seputar
problematika perempuan dan Fiqih Perempuan karya KH. Husein
Muhammad yang menghadirkan bagaimana kedudukan perempuan dalam
berbagai permasalahan dalam sudut pandang Islam.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan penelitian ini metode pengumpulan data yang penulis
gunakan adalah metode telaah dokumen dan wawancara lapangan. Dengan
cara membaca, memahami serta mengkaji buku-buku, baik berupa karya
25
Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1996), h. 217
15
tafsir, kajian tafsir oleh tokoh-tokoh tersebut di atas, juga melakukan
wawancara terhadap tokoh-tokoh kontemporer yang disebutkan dalam
penelitian ini yaitu Zaitunah Subhan, KH. Husein, dan Musdah Mulia.
4. Metode Analisis Data
Karena penelitian yang penulis lakukan berbentuk penelitian yang
mengkaji tentang pemikiran tokoh maka penulisan ini menggunakan metode
analisis sebagai berikut:
a. Metode Deskriptif Interpretatif
Penelitian ini menggunakan metode interpretasi.26
Yaitu dengan
melakukan tahap pemahaman terhadap pemikiran ulama-ulama
kontemporer Indonesia, mengenai pemahamannya dalam bidang al-
Qur‟an, khususnya dalam pemaknaannya terhadap QS. al-Nisā‟ ayat 34.
F. Sistematika Penulisan
Dalam mengkaji pokok permasalahan dalam penelitian ini, penulis akan
menguraikannya dalam lima bab bahasan, masing-masing bab diposisikan saling
memiliki korelasi yang berkaitan secara koheren. Pembahasan diawali dengan
“Pendahuluan” dalam bab pertama, dan diakhiri dengan “Kesimpulan” dalam bab
kelima.
Bab Pertama: Pendahuluan.Bab ini meliputi latarbelakang masalah untuk
memberikan penjelasan mengapa penulisan ini perlu dilakukan dan apa yang
melatarbelakangi penelitian ini. Perumusan masalah dimaksudkan untuk
mempertegas pokok-pokok masalah yang akan diteliti untuk menetapkan batasan
fokus masalah. Kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian
26
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Sarasin, 1996), h.
104
16
untuk menjelaskan tujuan dan urgensi dari penelitian ini. Studi pustaka dilakukan
untuk memberikan penjelasan di mana posisi penulis dalam hal ini, di mana letak
kebaharuan dan pembaruan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian maupun
karya dengan pembahasan yang sepadan. Kerangka teoritis merupakan tinjauan
mengenai pandangan atau pendapat para ulama kontemporer Indonesia terkait
konsep nusyūz dalam kajian al-Qur„ān surah al-Nisā‟ ayat 34 secara umum.
Adapun metodologi penelitian dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimna cara
yang dilakukan penulis dalam penelitian ini, pendekatan apa yang digunakan
menurut sistematika keilmuan serta tahapan-tahapan penelitian yang akan
dilakukan. Yang terakhir adalah sistematika pembahasan untuk memberikan
gambaran secara umum, sistematis, logis, dan korelatif mengenai kerangka
bahasan penelitian.
Bab Kedua: Tinjauan terhadap relasi suami dan istri dalam ajaran agama
Islam. Bab ini mencakup pemaparan konsep dari kesetaraan suami-istri dan
keadilan dalam rumahtangga, sampai pada pemaparan hak dan kewajiban suami
dan istri. Pembahasan relasi suami-istri pada bab 2 ini dimaksudkan untuk melihat
posisi yang ada pada suami dan istri, hak dan kewajibannya serta keadilan dalam
rumah tangga sehingga ada tolak ukur dalam melakukan kategorisasi nusyūz baik
nusyūz istri maupun suami.
Bab Ketiga: Pembahasan mengenai pandangan berbagai ulama dalam
memahami dan memaknai surah al-Nisā‟ ayat 34. Bagian ini akan menjelaskan
pandangan para ulama klasik dan modern untuk melihat perbandingan
pemahaman di luar pemahaman atas penafsiran surah al-Nisā‟: 34 oleh ulama
kontemporer Indonesia. Tentunya dalam bab ini penulis menghadirkan beberapa
17
ulama Timur Tengah dari periode klasik sampai modern. Adapun yang penulis
cantumkan adalah ulama-ulama yang secara khusus membahas nusyūz dan
penyelesaianya.
Bab Keempat: Analisis pemahaman ulama kontemporer Indonesia. Bab ini
mencoba menguraikan pandangan ulama kontemporer Indonesia dalam memaknai
konsep nusyūz dan penyelesaiannya serta menganalisis letak perbedaan dalam
pemahamannya. Selain itu penulis juga akan menguraikan latar belakang
penafsiran yang berbeda tersebut.
Bab Kelima: Penutup.Bab ini mencakupkesimpulan dan saran-saran yang
berkaitan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh penulis, diajukan sebagai
bentuk jawaban atas perumusan masalah.
Pada bagian akhir dari skripsi ini juga memuat hal-hal penting dan relevan
dengan penelitian terdiri atas daftar pustaka dan lampiran.
18
BAB II
RELASI SUAMI DAN ISTRI DALAM ISLAM
Keluarga adalah komunitas terkecil dalam sturuktur masyarakat, di
dalamnya ada suami, istri dan “buah” dari pernikahan keduanya, anak-anak.
Masing-masing dari mereka mempunyai peran berbeda dalam upaya mewujudkan
sebuah keluarga yang sakinah. Pembinaan keluarga diawali oleh sebuah
perjanjian yang sangat kuat (mīthāqan galīsān) yang disebut “akad” nikah, yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Ketika keduanya
telah mempunyai anak, maka perannya bertambah satu lagi, yaitu sebagai ayah
dan ibu.33
Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Satu bentuk
elaborasi dari perwujudan nilai-nilai tersebut adalah pengakuan yang tulus
terhadap kesetaraan dan kesatuan sesama manusia, melalui relasi yang baik antara
laki-laki dan perempuan, atau sebagai suami dan istri dalam keluarga. Seperti
yang dijelaskan dalam surah al-Nisā‟ (4): 1.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari unsur yang satu dan daripadanya Allah
menciptakan pasangannya; dan dari keduanya (perempuan dan laki-laki)
Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
33
Kementerian Agama Rl, Tafsir al-Qur‘ān Tematik; Peran Perempuan dalam Keluarga,
(Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur„ān, 2009), Cet. 2, h.133.
19
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan menggunakan nama-Nya
kamu saling meminta satu sama lain, dan periharalah hubungan
silaturahmi. “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.”34
Pembagian peran maupun tugas rumah tangga yang adil antara suami dan
istri terkadang masih dipengaruhi cara pandang masyarakat mengenai peran
gender yang cenderung memposisikan perempuan dalam peran domestik.
Karenanya, dalam “bahtera” rumah tangga selalu ada kemungkinan munculnya
„keretakan‟ dalam hubungan perkawinan. Keadaan seperti itu dapat merusak
kemaslahatan di antara suami istri. Kedamaian, ketentraman, kesejahteraan, kasih
sayang, dan keselamatan, merupakan nilai-nilai yang harus ada dalam setiap
rumah tangga. Namun terkadang timbul problematika atau konflik dalam rumah
tangga yang, jika tidak dapat teratasi, akan mengakibatkan percekcokan, sikap
pengabaian sepihak, hingga perceraian.35
Sehubungan dengan contoh permasalahan tersebut di atas, agar pasangan
suami istri dapat dapat membina keluarga sakinah yang diridhai oleh Allah, maka
pasangan tersebut harus menjaga etika dalam relasi yang dibangun sesuai dengan
ketetapan Al-Qur„ān, yang terwujud dalam bentuk hak dan kewajiban dalam be-
rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga harus mampu melaksanakan
tanggung jawabnya, masing-masing pasangan saling mencintai dan menyayangi,
saling pengertian, dan saling menghormati.
Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan relasi suai-istri, dengan
penjelasan tentang kesetaraan antara suami dan istri, keadilan dalam rumah
tangga, dan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam Islam.
34
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta Pusat: Lentera Hati, 2009), Cet. 1, h.397 35
Dyah Purbasari, “Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami Istri
Jawa dalam Jurnal Penelitian Humaniora, vol. 16, no. 1, Februari 2015, h. 1-14
20
A. Kesetaraan Suami dan Istri
Sesungguhnya semua manusia setara di hadapan Allah, hanya prestasi dan
kualitas takwa yang menjadi pembeda di antara mereka, dan hanya Allah yang
berhak untuk menilai, bukan manusia.36
Di dalam Al-Qur„ān disebutkan:
“Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di
antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya
Allah maha mengetahui dan maha mengenal.” (QS. Al-Hujurat (49) 13).
Ayat tersebut menerangkan tujuan penciptaan manusia dalam keadaan
yang begitu beragam, beragam jenis kelamin, beragam suku, dan bangsa
diperuntukkan agar manusia bisa saling mengenal dan saling memahami (mutual
understanding). Dari pemahaman tersebut maka manusia akan mudah memahami
perbedaan yang ada, dan akan saling menghormati dan menghargai manusia
sebagai makhluk bermartabat, ciptaan Tuhan, siapapun dia.37
Begitu pun posisi
perempuan sebagai istri dalam rumah tangga, sebagai seorang muslimah yang
qānitat memiliki kedudukan dan peran sederajat sebagai partner bagi suaminya.
Tidak disubordinasikan atau suami dianggap lebih superior daripadanya.38
36
S. Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Megawati Insitute,
2014), h. 32 37
Musdah Mulia, Kemuliaan Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Megawati Institute,
2014), Cet.1, h. 33-35. 38
Agus Nuryatno, “Examining Asghar Ali Engineer‟s Qur‟anic Interpretation Of Women
In Islam” dalam Al-Jāmi`ah, vol. 45, no. 2, 2007, h. 1-26. Lihat juga, Ahmad Parvez, Matalib Al-
Furqan Fi Durūs Al-Qur’an, (Lahore: 1979), h. 364
21
Bertemunya laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan akan
menambah relasi baru yang harus diperhatikan terkait dengan prilaku yang bisa
menjadikan hubungan suami istri tersebut harmonis. Menurut Quraish Shihab,
relasi suami istri ini merupakan janji untuk hidup bersama, sebagai pasangan dan
mitra berdampingan yang menyatu dan terhimpun dalam suka maupun duka.
Hal mendasar yang harus dibangun untuk membangun rumah tangga yang
ideal adalah memperhatikan relasi suami dan istri, dengan kedudukan yang sama
tanpa ada dominasi/tuntutan berlebihan dari satu pihak. Kesetaraan antara suami
dan istri dalam berumah tangga bukan berarti membalik posisi dari kondisi
berkuasa dan dominannya kaum pria (suami), lalu menjadikan perempuan (istri)
sebagai penguasa yang mendominasi pria (suami). Masalahnya bukan pada siapa
yang mendominasi atau sebaliknya siapa yang didominasi, tetapi justru
menghilangkan dominasi itu sendiri dalam tatanan berkeluarga, berumah tangga,
dan bermasyarakat. Siapa pun pelakunya, baik suami (laki-laki) maupun istri
(perempuan). Karena dominasi adalah sebuah sikap yang mana di dalamnya ada
penisbian hak, ada pengingkaran eksistensi, yakni hak dan eksistensi yang
didominasi. 39
Rumah tangga yang ideal disebutkan dalam Al-Qur„ān sebagai rumah
tangga dengan sifat mawaddah wa rahmah. Mawaddah, menurut Quraish Shihab
diambil dari kata wadadah yang artinya kelapangan dan kekosongan. Dengan
demikian, mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak
buruk. Pengertian tersebut menujukan perasaan cinta kasih antara yang satu
dengan yang lain, sehingga pintu-pintu hatinya tertutup dari keburukan lahir dan
39
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur‘ān,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. 1, h. 131.
22
batin, yang mungkin ada dalam diri pasangannya. Bahkan pakar Al-Qur„ān,
Ibrahim al-Biqa‟i, menafsirkan mawaddah sebagai cinta yang dampaknya akan
terlihat pada sikap dan perlakuan, sama seperti tampaknya kepatuhan karena
adanya rasa kagum dan hormat kepada seseorang.40
Kata Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati ketika
melihat ketidakberdayaan, sehingga mendorong seseorang untuk melakukan
pemberdayaan pada kondisi ketidakmampuan tersebut. Oleh karenanya, sifat
rahmah melahirkan kesabaran, murah hati, tidak cemburu, tidak bersikap angkuh,
tidak mencari keuntungan sendiri, tidak pemarah apalagi pendendam. Ia sanggup
menutupi kekurangan yang ada pada pasangannya, dan sabar menanggung
resikonya. Sedangkan mawaddah tidak mengenal batas dan tiada hentinya.41
Anjuran membangun relasi yang baik antara suami istri sangatlah penting.
Mengingat adanya perkembangan ilmu dan teknologi yang berpengaruh merubah
nilai dan persepsi. Di mana adanya anggapan awal bahwa perempuan memiliki
ruang hanya pada wilayah domestik, menjadi konco wingking yang kemudian
menempati posisi subordinat, inferior, dan banyak mendapat tekanan, menjadi
perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki.42
Suami adalah pasangan istri, dan istri adalah pasangan suami. Keduanya
saling melengkapi, tanpa salah satunya hidup menjadi tidak sempurna dan tidak
bermakna. Sebagaimana fiman Allah:
40
Ahmad Fatah, Jurnal Penelitian: Mendambakan Paradigma Kesetaraan dalam
Pernikahan, (Jawa tengah: 2014) vol. 8, no 2, h. 344. 41
Ahmad Fatah, Jurnal Penelitian: Mendambakan Paradigma Kesetaraan dalam
Pernikahan, (Jawa tengah: 2014) vol. 8, no 2, h. 344. 42
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian …, h. 68-72.
23
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka” (QS. Al-Baqarah 2:187)
Gambaran kesetaraan dalam relasi suami istri dilukiskan dalam Al-Qur„ān
surah al-Nisā‟ 4:19, yatu istri berhak mendapatkan perlakuan yang baik dan
menyenangkan dari suami, sebagaimana suami berhak mendapatkan perlakuan
yang sama dari istri.
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu menyerahkan
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari yang telah kamu berikan
kepadanya, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan
bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka (maka bersabarlah), karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang
banyak”.
Dalam sebuah Hadis juga disebutkan:
ثنا ثنا: قال كريب أبو حد د عن سليمان، بن عبدة حد و بن محم ثنا: قال عمر عن سلمة، أبو حد صلى للا رسول قال: قال هريرة أبي
خلقا، أحسنهم إيمانا المؤمنين أكمل: وسلم عليه للااس وابن عائشة، عن الباب وفي «لنسائهم خيركم وخيركم هذا هريرة أبي حديث».: عبصحيح حسن حديث
43
“Dan orang-orang yang paling baik di antara kamu adalah orang orang
yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidhi)
Semuanya itu bertujuan untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang
bahagia, sakinah yang dipenuhi mawaddah wa rahmah. Konsep pernikahan yang
sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam Al-Qur„ān, jelas mengutamakan cinta
kasih, kesetaraan, dan jauh dari sifat diskriminatif dan kekerasan.
B. Keadilan dalam Keluarga
43
Tirmidhi, Sunan Al-Tirmidhi, kitab Al-Raḍā`, bab Ma Jā’a Fi Ḥaqq Al-Mar’ah `ala
Zaujiha, (Riyadh: Bait Al-Afkār, 1420 H), h. 206, hadis nomor 1162.
24
Manusia menurut fitrahnya diciptakan sebagai makhluk sosial, di samping
sifat alaminya sebagai makhluk individu yang egois. Perilaku sosial dalam bentuk
terkecil adalah dalam sifat kekeluargaan yang diawali oleh sepasang laki-laki dan
perempuan. Sejarah tidak memberikan suatu bukti untuk teori bahwa manusia
pada suatu masa hidup tanpa keluarga. Dengan kata lain laki-laki dan perempuan
tidak pernah tepisah (hidup sendiri-sendiri). Dalam kehidupan berkeluarga, agama
Islam mempunyai falsafah khusus mengenai hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan, di mana laki-laki dan perempuan memilki hak dan kewajiban yang
sejajar. Hal ini sesuai dengan ungkapan Murthada Muthari bahwa dilihat dari
aspek sosiologi kehidupan laki-laki dan perempuan sudah masuk pada zaman
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.44
Nasaruddin Umar menyebutkan bahwa istilah pasangan di dalam Al-
Qur„ān, didasarkan pada sikap kasih sayang yang penuh rahmat.45
Hak dan
kewajiban bagi pasangan suami-istri pun harus dilakukan dengan rasa kasih
sayang, yang didasari prinsip keadilan sebagai tiang agama dan ketetapan syariat
Islam. Prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental yang melahirkan
keserasian antara pertimbangan akal dan ketetapan syariat Islam.
Dalam menelaah relasi suami dan istri dalam keluarga, penulis merujuk
kepada prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan yang telah digariskan oleh Al-
Qur„ān. Beberapa prinsip tersebut di antaranya:
44
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur‘ān,
(Yogyakarta: LKiS, 1999), Cet. 1, h. 134-135. 45
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Misbah dalam Disertasi Bidang
Ilmu Agama Islam, Konsentrasi Tafsir Hadis, Program PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2006, h. 142. Lihat juga: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-
Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 179
25
1. Perempuan (Istri) dan laki-laki (suami) diciptakan dari entitas (nafs) yang
sama (Al-Nisā‟4:1), karena itu kedudukan mereka sama dan sejajar, yang
membedakan hanyalah kualitas ketakwaan (Al-Ḥujurāt 49:31).
2. Suami maupun istri dtuntut untuk mewujudkan kehidupan yang baik (ḥayātan
Ṭayyibatan) dengan melakukan aktifitas yang positif `amalan ṣāliḥan (Al-
Naḥl 16:97). Untuk tujuan ini, diharapkan keduanya bisa saling membantu
satu dengan yang lainnya. (Al-Taubah 9:71)
3. Istri maupun suami memiliki hak yang sama untuk memperoleh apresiasi atas
aktifitas yang dilakukan. (Al-Aḥzāb 33:35)
4. Istri dan suami memiliki komitmen bersama dalam membangun kehidupan
yang tentram (sakinah) dan penuh cintah kasih (mawaddah warahmah) (Al-
Rūm 30:21), perlakuan yang baik antara suami istri (Al-Nisā‟ 4:19), dan selalu
bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan (Al-Baqarah 2:233, Ali
`Imrān 3:159, dan Al-Shurá 42:38).
C. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Kehidupan berkeluarga yang dibangun sepasang suami istri didasarkan
pada hubungan komunikasi yang baik antara keduanya. Menciptakan suasana
yang harmonis, yaitu dengan bersikap saling pengertian, saling menjaga, saling
menghormati, saling menghargai, dan saling memenuhi kebutuhan masing-
masing. Apabila suami istri melalaikan tugas dan kewajiban, maka akan terjadi
kesenjangan yang dapa berakibat timbulnya berbagai masalah, seperti
kesalahpahaman, perselisihan, dan ketegangan hidup berumah tangga.
Suami maupun istri harus selalu menjaga etika dalam berkeluarga, yaitu
selalu menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan baik secara
26
batiniyah dan lahiriah dengan melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing
yang disertai perasaan tolong menolong dan saling pengertian. Sehingga dapat
terwujud keluarga sakinah, seperti firman Allah suurah Al-Rūm (30): 21.
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung
dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa
kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir (QS. Al-Rūm (30):
21)”
Pada dasarnya prinsip dan tujuan perkawinan berdasarkan ayat tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Membina keluarga yang tenang dan bahagia
2. Hidup saling mencintai
3. Bertakwa kepada Allah SWT dan menjaga diri dari perbuatan maksiat,
terlebih penyelewengan seksual.
4. Membina hubungan kekeluargaan dan mempererat silaturahmi antar
keluarga.46
Adapun hak dan kewajiban yang harus diperhatikan oleh pasangan suami
istri adalah mengerti bahwa hak suami berarti kewajiban yang harus diberikan
oleh istrinya, demikian hak istri adalah kewajiban yang harus diberikan oleh
suaminya. Oleh karena itu, ada kewajiban yang harus dilakukan bersama-sama
antara suami istri, ada kewajiban yang khusus bagi istri dan ada pula kewajiban
yang khusus bagi suami.
46
Lihat: Depag RI, Peningkatan Kesejathteraan Ibu dan Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)
dalam Ajaran Islam, (Jakarta: Depag RI, 1993/1994), Cet.1, h. 78-79.
27
Sayyid Sabiq juga menjelaskan bahwa hak dan kewajiban suami istri ada
tiga macam, yaitu hak istri atas suami, hak suami atas istri, dan hak bersama.
Masing-masing dari hak tersebut bersifat kebendaan, seperti mahar dan nafkah47
;
ada yang berupa hak rohaniah, seperti bersikap adil, perlakuan baik, termasuk
juga dalam hal suami mendatangi istrinya.48
1. Kewajiban suami, di antara kewajiban suami adalah:
a. Menjadi pemimpin atau kepala rumah tangga yang baik dan mampu
mengarahkan keluarga dengan cara-cara yang benar.
b. Membayar mahar dan memberi nafkah, seperti makanan, pakaian, dan
tempat tinggal.
c. Menggauli istri dengan cara yang makruf (baik dan harmonis) serta adil.
d. Bergurau, dan menciptakan suasana romantis.
e. Tidak berlebihan dalam cemburu.
f. Memenuhi kebutuhan biologis istri demi menjaga kehormatannya.
g. Menasehati istri jika melakukan kesalahan.
h. Mendidik dan mengajari ilmu-ilmu agama yang ia butuhkan, khususnya
tentang kewajiban-kewajiban utama.49
2. Kewajiban istri, di antara kewajiban istri adalah:
a. Taat dan patuh kepada suaminya, selama itu tidak bertentangan dengan
perintah Allah.
b. Menjaga diri, kehormatannya, dan rumah tangga.
47
Yang dimaksud nafkah adalah memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal, pengobatan
istri, pembantu rumah tangga jika dibutuhkan. Memberi nafkah hukumnya wajib menrut Al-
Qur„ān, Sunnah, dan Ijma`. 48
Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Nor Hasanuddin (pen.), (Jakarta: Pena, Pundi Aksara,
2006), hlm. 39-40. 49
Depag RI, Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik, (Jakarta: Lajnah
Pentashihan Mushaf al-Qur„ān), Cet.1, h. 347-356.
28
c. Membantu suami dalam mengatur rumah tangga dan kesejahteraan serta
keharmonisan keluarga.
d. Melayani kebutuhan seksualitas suami dengan cara yang baik.
e. Memelihara harta suami serta rela atas rezeki dari Allah terhadapnya.
f. Menjaga dan mendidik anak-anaknya dari segi pengetahuan maupun
akhlak.
g. Menjaga diri serta teguh memegang amanah.
h. Bergaul dengan baik terhadap keluarga suaminya.
Selain dari hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri, ada hak
dan kewajiban yang harus ditunaikan bersama. Mengingat relasi suami-istri
adalah relasi yang dibangun di dalam keluarga sehingga ada beberapa hal yang
harus di penuhi bersama.
3. Hak dan kewajiban bersama (suami dan istri)
Wahbah al-Zuhaili dalam karya monumentalnya, al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu, memberikan analisis yang mendalam terhadap permasalahan
suami dan istri. Tidak terkecuali mengenai hak dan kewajiban suami dan istri.
Antara laki-laki dan perempuan ada rasa ketergantungan satu sama lain. Rasa
ketergantungan itu berupa perlindungan, kasih sayang, kepuasan hati,
kepuasan gairah seksual, dan masih banyak lagi hal yang menyebabkan
ketergantungan satu sama lain. Di dunia seorang laki-laki tak akan dapat
mengeyam kesempurnaan hidup jika tidak ada perempuan. Demikian juga
perempuan akan merasa bahwa dirinya serba kekurangan dan jauh dari
sempurna seandainya di duia ini tidak ada dijumpai seorang laki-laki. Maka
29
perempuan dan laki-laki adalah satu kesatuan yang saling melengkapi satu
sama lain. Kedua makhluk ini saling terikat pada ketergantungan.50
Hak-hak dan kewajiban masing-masing suami dan istri yang lain,
peraturannya diserahkan sesuai dengan kelaziman adat yang berlaku dan
berkembang dalam masyarakat tempat pasangan itu berdiam.
Suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang sama, serta saling
membutuhkan. Oleh karena itu tidaklah adil dan tidak maslahat, apabila pihak
dari suami atau istri berlaku sewenang-wenang terhadap yang lain.
Kebahagiaan baru bisa terwujud, jika masing-masing saling menghormati.51
Selain dari itu ada beberapa hal lain yang harus diupayakan suami dan
istri dalam membina rumah tangganya, antara lain sebagai berikut.
a. Setia, saling mencintai dan saling menyayangi.
b. Saling menghormati dan saling menghargai, saling mempercayai, saling
membantu, dan seiya sekata dalam memikul kerumahtanggaan.
c. Mengasuh dan mendidik anak menjadi tugas bersama.
d. Saling pengertian dan saling memahami.
e. Saling menghormati keluarga masing-masing.
f. Pasangan suami dan istri menjadi teladan bagi anak-anak dan keluarga
lainnya yang ada dalam rumah.
g. Suami istri hendaklah bermusyawarah dan transparan dalam segalah hal.
Jika ada suatu kesulitan hendaklah dibicarakan dengan hati terbuka, tidak
50
Kholilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Surabaya: Bintang Pelajar, tth),
Cet.1, hlm. 118. 51
Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid Al-Nur, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), Cet Ke-2, h. 387-388
30
segan meminta maaf jika merasa bersalah, karena yang demikian itu akan
menambah kekalnya hubungan cinta kasih.
h. Menyiapkan rumah yang memenuhi syarat kesehatan, agar anggota
keluarga merasa nyaman di rumah.
i. Menjadikan rumah dapat berperan untuk pembinaan generasi muda.
j. Menjadikan rumah tangga yang dapat mengelola keuangan keluarga
dengan baik, sesuai dengan pendapatan, tidak boros, dan tidak kikir.
k. Tidak egois dan dapat memahami kelemahan dan kekurangan masing-
masing.
l. Menghindarkan penghuni rumah dari hal-hal yang tidak berkenaan dengan
syariat, karena hal itu akan dipertanggung jawabkan pada hari kiamat.
Sesuai dengan perintah Allah dalam surah QS. Al-Tahrīm (66): 6.
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
adalah malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka
kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan kepada.” (QS. Al-Taḥrīm (66): 6).
m. Menghindari menghutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
n. Menghindari salah paham, seperti mengungkit-ungkit masa lalu, atau
mengeluarkan kata-kata yang kasar, atau menuduh tanpa bukti,
memojokkan dan lain-lain.
o. Menghindari pertengkaran agar tidak diketahui oleh orang lain dan
mencari solusi yang baik.
31
p. Mengomsumsi makanan yang halal dan baik, sebagaimana disebutkan
dalam surah Al-Baqarah (2): 168, Al-Mā‟idah (5): 88, dan Al-Naḥl (16):
144.
Dari uraian di atas dapat diambil disimpulkan bahwa suami istri pada
hakikatnya saling membutuhkan. Sehingga keduanya dituntut untuk
bekerjasama, saling membantu, melengkapi, dan menghormati. Di samping itu
suami dan istri dituntut supaya mewujudkan pergaulan yang serasi, rukun,
damai dan saling pengertian, menyayangi anak, memelihara, menjaga,
mengajarkan dan mendidiknya. Selain itu menghormati dan berbuat baik
kepada keluarga keduanya. Maka dengan ini akan tercipta keluarga sakinah,
mawaddah, dan warahmah.
32
BAB III
PEMAHAMAN ULAMA KLASIK DAN MODERN TENTANG NUSYŪZ
DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34
Al-Qur„ān seperti teks suci lainnya, sebagai sumber ajaran Islam juga
bersifat multiTafsīr, yang terbuka pada berbagai model penafsiran, termasuk
penafsiran yang bersifat mendukung patriarki.50
Bermacam kepentingan ataupun
kondisi sosial pun memengaruhi pemikiran mufasir. Bagaimana pun setiap
Muslim berhak menafsirkan al-Qur„ān, karena melalui cara tersebut kekuatan al-
Qur„ān sebagai petunjuk (al-huda) dapat ditampilkan.51
Tema pembahasan dalam QS Al-Nisā‟ ayat 34 yang berbunyi:
Diawali dengan penegasan kepemimpinan laki-laki atas perempuan,
karakteristik istri “ideal” (exhortation), permasalahan nusyūz (crisis), cara
mengatasi nusyūz (discipline), dan istri yang kembali taat (reconciliation).52
50
Asma Barlas, “The Qur‟an and Hermeneutics: Reading The Qur‟ān‟s Opposition To
Patriarchy” dalam Journal of Qur’anic Studies, vol. 3, no. 2, 2001, h. 1-25,
http://www.jstor.org/stable/25728036, diakses pada 23 November 2015, 12:14 UTC. 51
Islah Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia dari Hermenetik Hingga Ideologi,
(Yogyakarta: LkiS, 2013), h. 215-220 52
Mohamed Mahmoud, “To Beat Or Not To Beat: On The Exegetical Dilemma Over
Qur‟an 4:34” dalam Journal of The American Oriental Society, vol. 126, no. 4, Oktober-Desember
2006, h. 1-3, http://www.jstor.org/stable/20064542 diakses pada 23 November 2015, 12:13 UTC.
33
Dalam penelitian ini akan dibahas tema nusyūz dari sudut pandang pemahaman
ulama klasik dan modern sebagai dasar teoritis untuk memahami pemahaman
ulama kontemporer.
Terkait Asbāb al-Nuzūl surah Al-Nisā‟: 34, Fazlur Rahman mengatakan
bahwa ayat al-Qur„ān harus dipahami dengan mengetahui dan memahami konteks
turunnya ayat, kemudian dikomparasikan dan disintesakan dengan konteks
penggunaan ayat dalam konteks permasalahan kontemporer untuk mendapatkan
pemahaman ayat yang utuh.53
Untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat
diperlukan asbabun nuzul dalam bentuk keterangan riwayat/hadis yang
menjelaskan keadaan ketika ayat tersebut diwahyukan.
Turunnya ayat 34 dalam surah Al-Nisā‟ berkenaan dengan kasus Ḥabībah
bint. Zaid bin Abi Zuhair, istri sahabat dari kalangan Ansar, yang melaporkan
kepada Rasulullah SAW bahwa ia telah ditampar oleh suaminya, Sa`ad bin al-
Rabi`. Habibah mengadu kepada Rasulullah SAW bersama ayahnya. Saat
pertama, Rasulullah SAW membolehkan untuk meng-qisas suaminya. Namun
kemudian Habibah dipanggil kembali dan Rasulullah SAW bersabda malaikat
Jibril AS telah mewahyukan ayat ini (QS. Al-Nisā‟ ayat 34), kemudian bersabda:
“Kita menginginkan suatu, dan Allah menghendaki sesuatu, dan apa yang Allah
kehendaki adalah yang terbaik.”54
Al-Bukhari menyebutkan riwayat dari Muhammad ibn Muqatil, yang
dikabarkan dari Abdullah dari Hisham ibn al-`Urwah dari ayahnya mengabarkan
dari `Aisyah RA, “Seorang laki-laki berkata ia kurang menyukai istrinya dan ingin
53
Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition, (London:
University of Chicago Press, 1984), h. 130-164 54
Ali ibn Aḥmad al-Wāḥidi, Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān, `Aṣām bin `Abdul Muḥsin (ed),
(Dimām: Dār al-Iṣlāḥ, 1992), cet. Kedua, h. 152
34
bercerai, istrinya menjawab ia, “engkau boleh meninggalkanku tanpa
menceraikanku”, maka turunlah ayat ini.55
Riwayat ini juga dikemukakan oleh
Muslim, Abu Daud, dan Tirmidhi.
Abu Daud meriwayatkannya dengan matan yang berbeda;
“Saudah binti Zam‟ah, istri Rasulullah SAW yang telah berusia lanjut,
merasa khawatir dicerai oleh Rasulullah SAW maka ia menghadiahkan
“giliran”-nya kepada Aisyah RA”.56
Ayat 34 dan ayat 128 dalam surah al-Nisā‟, keduanya menjelaskan tentang
nusyūz. Pertama, perilaku nusyūz dilakukan oleh istri seorang sahabat dari
kalangan Ansar, QS al-Nisā‟ ayat 34 kemudian diwahyukan untuk menanggapi
jawaban Nabi SAW sebagai penangguh hukuman qisas. Kedua, tentang ayat 128
dalam riwayat dari Bukhari dan Muslim, menyebutkan perilaku laki-laki yang
dapat dikategorikan nusyūz karena perasaan kepada istrinya telah berkurang.
Dalam riwayat dari Abu Daud, perilaku nusyūz tidak terlihat, namun istri
Rasulullah SAW, Zam`ah, menutupi kekhawatirannya (atas kemungkinan nusyūz)
dengan memberikan “hadiah” kepada Nabi SAW. Dapat dipahami kedua ayat
tersebut menggambarkan hubungan suami-istri dalam rumah tangga, terkait
perilaku nusyūz yang berpotensi dilakukan antara keduanya.
Hadis-hadis yang digunakan dalam periwayatan QS Al-Nisā‟ ayat 34
tersebut dinilai mursal oleh Ibnu Jarir.57
Karena tidak memiliki „syahid’ sebagai
pendukung (muttabi`) jalur periyawatan lainnya. Maka dapat dikatakan benar
bahwa dengan melihat pemahaman terhadap ayat tersebut dan keterkaitannya
55
Muqbil ibn Hadi, Sahih Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān, Agung Wahyu (pen.), (Depok:
Meccah, 2006), h. 158-160. Riwayat tersebut diambil dari: Sahih Al-Bukhari, (Bairūt: Dār al-Fikr,
1420 ), h. 587 dan 1130, hadis nomor 2450 dan 4601. Bandingkan periwayatan yang berbeda dari
Hisyam dalam, Muslim, Sahih Muslim, (Bairūt: Dār al-Fikr, 2003), h. 1477, hadis nomor 3021. 56
Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Riyadh: Bait al-Afkār, 1420 H), h. 243, hadis nomor 2135. 57
Ali ibn Aḥmad al-Wāḥidi, Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān, h. 153-154
35
dengan penafsiran QS Al-Nisā‟ ayat 1 dari kalangan ulama klasik – perempuan
diposisikan berada di bawah dominasi laki-laki. Dalam versi lain, wanita
diciptakan dari tulang rusuk Adam AS yang didukung hadis-hadis Muttafaq
`Alaih.
Selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut terkait pemahaman surah Al-Nisā‟:
34, maka penulis menjelaskan atau melakukan pendekatan dengan memahami
pemahaman di luar pemahaman ulama kontemporer Indonesia yaitu pemahaman
ulama Timur Tengah dan Indonesia dari periode klasik dan modern.
A. Pemahaman Ulama Klasik
Selain periode klasik yang dimulai pada abad ke 16 sampai pada akhir
abad ke 19, ulama klasik juga bisa dilihat model pemahaman yang digunakan.
Ulama klasik dalam kitab-kitab Tafsīrnya menggunakan hadis sebagai sumber
penafsiran. Pada periode Tafsīr pertama dan periode Tafsīr kedua, penafsiran al-
Qur„ān cenderung mengambil bentuk Tafsīr bi al-ma‘thūr58
/bi al-riwayah dengan
mengambil hadis Nabi SAW maupun periwayatan dari para sahabat (aśar),
sebagai sumber utama.59
Penggunaan riwayat dan hadis yang demikian banyak ini menjadi ciri khas
dari Tafsīr-Tafsīr al-Qur„ān klasik. Dengan mendasarkan penafsiran secara literal
pada penjelasan yang sudah ada sebelumnya.
Penafsiran klasik yang akan dijadikan objek penelitian di sini antara lain
oleh: Muhammad ibn Jarīr al-Ṭabarī60
(w. 310 H) dalam karnyanya Jāmi` Al-
58
Menurut istilahnya, Tafsīr bi al-ma’thūr berarti “penafsiran Al-Quran dengan
menggunakan sumber dari Al-Quran, hadis, pendapat Sahabat, dan tabiin”. Khalid Abdurrahman
al-`Ak, Uṣūl Al-Tafsīr wa Qawā‘iduhu, (Damaskus: Dār al-Nafa‟is, 1986), h. 114 59
Husein Al-Dhahabī, Tafsīr Wa Al-Mufassirūn, (Mesir: Maktabah Wahbah, tt), h. 76-79 60
Abū Ja`far Muhammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, lahir tahun 225 H/839 M di Amol, Tabaristan
tahun. Wafat di Baghdad pada 310 H/923 M. Al-Ṭabari mempelajari hadis di Kufah, Suriah, dan
36
Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān, Mahmud ibn `Amr al-Zamakhsharī (w. 538 H) dalam
karyanya Al-Kashshāf `An Ḥaqāiq Ghawāmiḍ Al-Tanzīl, Muhammad ibn Umar
al-Razi (w. 606 H) dalam karyanya Mafātiḥ Al-Ghaib Tafsīr Al-Kabīr,
Muhammad ibn Ahmad al-Qurṭubī (w. 671 H) dalam karyanya Al-Jāmi` Li-
Aḥkām Al-Qur’ān Tafsīr Al-Qurṭubi, dan Nāṣir al-Dīn al-Baiḍawī (w. 685 H)
dalam karyanya Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl.
Kelima kitab Tafsīr tersebut memiliki coraknya tersendiri berdasarkan
pendekatan yang berbeda; corak bi-l-ma’thur dalam Jāmi` Al-Bayān; corak bi-l-
ra’yi dalam Al-Kashshāf dan Anwār Al-Tanzīl, Al-Kashshāf juga disebutkan
memiliki corak ishari; corak falsafí dalam Mafātiḥ Al-Ghaib, pendapat lain
mengatakannya termasuk dalam Tafsīr `ilmi, dan corak fiqhi karena
kecenderungannya menggunakan pendapat Mazhab Syafii; dan corak fiqhi dalam
Al-Jāmi` Li-Aḥkām Al-Qur’ān.61
Adapun alasan mengapa penulis memilih penafsiran yang telah disebutkan
sebelumnya, yaitu dikarenakan pertimbangan periode para ulama yang ada di
zaman klasik dan selain itu ke-lima ulama tersebut juga membahas tentang
permasalahan nusyūz dan penyelesaiannya.
Selanjutnya, meninjau penafsiran milik al-Ṭabari (w. 310 H), corak bi-l-
matśūr mudah dilihat dengan sangat banyaknya hadis yang digunakan sebagai
sumber penafsirannya.
Mesir, kemudian meneruskannya hingga wafat di Baghdad. Karyanya dalam bidang sejarah adalah
Tarīkh Al-Umam Wa Al-Mulūk dan Tarīkh Al-Rijāl. Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta:
Logos, 1997), h. 113-124 61
Hujair Sanaky, “Metode Tafsīr Perkembangan Metode Tafsīr Mengikuti Warna Atau
Corak Mufassirin” dalam Al-Mawarid edisi XVIII, tahun 2008, h. 1-22
37
Dikemukakan oleh al-Ṭabari, penafsiran ayat ini dibagi mengikuti batasan
pada lafaz/tema tertentu:
Tentang lafaz “wa al-latí takhāfūna nusyūzahunna”, al-Ṭabari (w. 310 H)
menerangkan perbedaan pendapat mengenai arti “khauf” antara bermakna
“mengetahui” (علم) sebagai keadaan yang telah pasti diketahui nusyūz-nya, atau
“prasangka” (ظه). Disebutkan tentang asal kata nusyūz bermakna “terangkat”
.secara istilah yaitu maksiat yang dilakukan pasangannya (al-zauj) ,(ارتفع)
Hadis dari `Ikrimah, jika perilaku nusyūz masih bersifat kemungkinan,
maka letak acuannya pada keadaan "إذا عصينكم في المعروف", ketidaktaatan dalam
hal makruf.62
Hadis dari rawi pertama al-Sadí, nusyūz artinya, “kebencian
istrinya” (بغضهه). Dari Ibnu Zaid artinya, “maksiat istri” (معصيتها). Dalam athar
dari Ibnu `Abbas artinya, “istri tersebut melakukan nusyūz” (تلك المرأة تنشز).
Riwayat yang bersumber dari Ibnu Waki`, disebutkan bahwa turunnya ayat ini
sebelumnya diiringi ayat QS. Ṭaha ayat 114.63
62
Al-Ṭabarī, Jāmi` Al-Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān, h. 84 63
Al-Ṭabarī, Jāmi` Al-Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān, h. 84
38
Mengatasi perilaku nusyūz, al-Ṭabarī (w. 310 H) menafsirkan kata
fa`iẓūhunna dengan “teguran yang berdasarkan ilmu Al-Qur„ān”. Berikutnya al-
Ṭabari menafsirkan kata wahjurūhunna dan perdebatan mengenainya dalam
penjelasan yang panjang; (1) dengan memisahkan ranjang dan tidak memberikan
nafkah batin, (2) memisahkan ranjangnya sampai ia (mau) kembali (taat)
seranjang dengan suami, (3) tidak mendekati tempat tidurnya, sampai (tabiat) ia
kembali menjadi istri yang disenangi suami, (4) menegurnya secara lisan “aku
akan memisahkan ranjangmu”. Diakhiri dengan cara memukul yang tidak
meninggalkan bekas.
Al-Zamakhshari (w. 538 H) memaknai nusyūz dengan kata nusyūṣ. Secara
harfiah berarti “tombak yang berdiri tegak” atau unta berpunuk besar. Maksud
istilahnya mendurhakai suami dan tidak menenangkan, dan membuatnya cemas
ketika di atas ranjang, al-murāqad sebagai bahasa kināyah64
dari kata jimak atau
seks. Diartikan pula pembacaan al-maḍāji` seperti al-maḍja`i (tempat tidur) atau
al-maḍṭaja`i.65
Untuk mengenali perilaku nusyūz ini al-Zamakhshari (w. 538 H)
mengartikan cara kedua (wahjurūhunna, “menegur”) dengan bersikap benci
terhadap perilaku nusyūz istri, dan bersabar terhadapnya. Dengan menambahkan
hadis dalam al-Bukhari, dan riwayat dari Asma‟ bint Abu Bakar.66
64
Al-Kināyah, berarti “penggunaan kata-kata yang tidak terang-terang”, dari kata kaná
Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir, h. 1235. Kata yang ditujukan untuk menunjukan .(كنى)
pengertian lazim sebagai makna asal, “mendatangkan hal-hal yang abstrak dalam bentuk yang
bersifat konkrit.” Ali al-Jarim, dan Mustafa Amin, Al-Balāghah Al-Wāḍiḥah, Mujiyo Nurkholis
dan Bahrun Abu Bakar (pen.), (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2011), Cet. Kesembilan, 173-187 65
Al-Zamakhshari, Al-Kashshāf, h. 506 66
Al-Zamakhshari, Al-Kashshāf, h. 508
39
Al-Rāzi (w. 606 H) menghubungkan kepemimpinan laki-laki dalam ayat
ini dengan QS. Al-Nisā‟ ayat 32.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah
kepada sebagian yang lain”67
Al-Rāzi (w. 606 H) menyebutkan, selain perempuan yang ṣāliḥāt, ada juga
perempuan yang nusyūz. Al-khauf sebagai ibarat/perumpamaan kondisi di dalam
hati atau perasaan dengan munculnya prasangka akan sesuatu yang tidak
disenangi di waktu yang akan datang. Dengan menyandarkan pada penjelasan
Imam Syafii.68
Nusyūz dapat berupa perkataan atau perbuatan. Dalam perkataan misalnya
ketika ia (istri) sedang bercakap-cakap kemudian berubah gaya bahasanya
(penuturannya). Dalam perbuatan, jika suami menginginkan istri berada di
ranjang, ia menolaknya. Jika semua tanda ini muncul maka bolehlah khawatir istri
bersikap nusyūz. Karena sikap demikian adalah maksiat atau mungkin juga
kekhilafan.69
Pada bagian lafaz cara-cara mengatasi nusyūz terdapat dua mas’alah.
Pertama, lagi dengan menyandarkan pada Imam Syafii al-Rāzi (w. 606 H)
menegaskan melakukan ketiga cara ini secara berurutan/bertahap.
Dimulai dengan al-wa`ẓu, adalah mengatakan kepada ia (istri):
“bertakwalah kepada Allah sesungguhnya aku memiliki hak kepadamu dan
67
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya Juz 30, (Solo: Qomari, 2007), h.
108. 68
Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 71 69
Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72
40
kembalilah (taat), dan ketahuilah menaatiku adalah ridha bagimu”. Tidak boleh
langsung dipukul.70
Jika tidak mengena, berpisahlah (jarak) dengannya di tempat tidur, dengan
cara tidak berbicara kepadanya dan diingatkan secara berulang 2 kali selama ia
masih nusyūz. Jika tidak dapat juga baru boleh dipukul, tidak melakukannya lebih
diutamakan. Al-Rāzi (w. 606 H) menambahkannya dengan pemaknaannya atas
riwayat dari Umar ibn Khattab Ra., “orang yang memukul istrinya tidak lebih baik
dari yang tidak memukul”.71
Pendapat lainnya mengatakan. Pukulah dengan “sapu tangan”, tidak boleh
dengan cemeti atau tongkat. Juga tidak boleh dengan cara menendang
(menggunakan kaki).72
Pada mas’alah kedua, disebutkan perbedaan pendapat para
Sahabat, salah satunya riwayat dari Ali ibn Abi Thalib yang menganjurkan cara
tersebut dilakukan secara bertahap/berurut (tartīb).
Jika sebelumnya al-Razi sering menyandarkan pendapatnya dari Imam
Syafii. Al-Qurṭubi (w. 671 H) menyebutkan terdapat sebelas mas’alah (bagian)
dalam ayat ini dengan penjelasan hukum dari berbagai mazhab.
Tentang makna nusyūz diambil dari beberapa periwayatan termasuk
penafsiran Ibnu `Abbas. Makna firman Allah Ta`ala fa`iẓūhunna, mengingatkan
istri atas perintah Allah Swt. supaya berperilaku menyenangkan dan
mempercantik diri untuk suaminya, berdasarkan matan hadis:
أحد أن يسجد ألحد ألمرت المرأة أن تسجد لزوجهالى أمرت
70
Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72 71
Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72 72
Al-Rāzi, Mafātiḥ Al-Ghaib, h. 72-73
41
Makna lafaz wahjurūhunna fi al-maḍāji`, diTafsīrkan dengan pendapat
Imam Malik memaknainya dengan uhjurhu fi-Allah, “pisahkan ia karena Allah”.
Seperti penafsiran sebelumnya, pada bahasan ini juga disebutkan riwayat tentang
pengaduan Asma‟ Ra. kepada ayahnya, Abu Bakr Ra., mengenai keadaan
pernikahannya yang merasa dididik lebih keras oleh Zubair daripada istrinya yang
lain.
Lafaz waḍribūhunna, al-Qurṭubi menjelaskan jika kedua cara sebelumnya
tidak berhasil maka dengan memukulnya (diharapkan) dapat memperbaikinya dan
mengembalikannya kepada (membuatnya menyadari) kesalahan (nusyūz)
sebenarnya. Al-Qurṭubi (w. 671 H) menerangkan bahwa Allah Swt. tidak
memerintahkan dalam Kitab-Nya “pukulan” yang nyata (ṣurāḥan/wāḍiḥan)
kecuali sebagai tujuan/kepentingan hukum. Karena maksiat istri sama dengan
dosa besar.73
Al-Baiḍawi (w. 685 H) menafsirkan mengenai makna nusyūz dengan,
sikap mengabaikan atau menyombongkan diri yang dilakukan istri dari menaati
suaminya.74
Al-Baiḍawi (w. 685 H) memaknai cara mengatasinya ketika „di
dalam „peraduan‟ untuk tidak berhubungan seks dengannya atau di bawah satu
selimut, atau jangan sekamar dengannya‟. Dan jika memukul jangan sampai
berbekas. Al-Baiḍawi (w. 685 H) dalam hal ini mendukung keberurutan sebagai
tahapan-tahapan (tartīb) dalam melakukan perkara-perkara tersebut.75
73
Muhammad ibn Ahmad al-Qurṭubī, Al-Jāmi` Li-Aḥkām Al-Qur’ān Tafsīr Al-Qurṭubi,
Ahmad & Ibrahim (tahqiq), (Mesir: Dār al-Kutub al-Miṣriyah, 1964), h. 173-174 74
Al-Baiḍawi, Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl, (Beirut: Dār Iḥyā‟ al-Turāth, 1418 H),
h. 73 75
Al-Baiḍawi, Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl, h. 73
42
Begitu pun al-Suyūṭi (w. 911 H) mengartikan fungsi suami untuk
mendidik istri (yu’addibūhunna), jika istrinya mulai melawan perintah suami
maka takutilah/ingatkan dia kepada Allah, dan pindah ke ranjang/kasur yang lain,
dan pukulah tanpa berbekas.76
Selain dari pemahaman ulama timur tengah tentang nusyūz yang telah
penulis sebutkan diatas, terdapat juga pemahaman yang dilakukan oleh ulama
Indonesia. Abdul Assingkili77
misalnya menuliskan dalam Tafsīrnya mengenai
nusyūz,
“...dan segala perempuan (istri) yang kamu takuti akan durhaka mereka itu
bagi kamu mereka takutilah oleh kamu mereka itu akan Allah Ta`ala dan
halangi oleh kamu mereka itu dari segala ketiduran dan pukul oleh kamu
mereka itu dengan pukul yang tiada memberi cedera apabila tiada mereka
itu kembali kepada taat dengan hilang itu (nusyūz)”.78
Secara singkat `Abdul Ra‟uf al-Sinkel (w. 1693) memaknai perilaku
nusyūz dengan kata “durhaka”. Abd. Rauf Assinkel menjelaskan bahwasanya
ketika ada “kekhawatiran” akan perbuatan nusyūz oleh perempuan (istri) maka
terlebih dahulu memberikan pengertian kepada perempuan yang nusyūz agar takut
kepada Allah dan menghimbau agar dia kembali dari nusyūznya. Adapun untuk
menetapkan nusyūz, Abdul Rauf Assinkel menggunakan kata “ketakuti” atau
diartikan kekhawatiran.
Setelah itu Abdul Rauf Assinkili melanjutkan pembahsannya dengan
pembahasan cara mengatasi nusyūz yaitu dengan pertama, menasehatinya agar
76
Jalāl al-Dīn al-Maḥalli dan Jalāl al-Dīn al-Suyūṭi, Tafsīr Al-Jalālain, (Mesir: Dār al-
Ḥadīth, tt), h. 106 77
Abdul Ra‟uf al-ibn Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkel, lahir tahun 1620 di Singkel, Fansur
Utara, Aceh. Wafat pada tahun 1693. Lebih dikenal karena kiprahnya dalam bidang tasawuf.
Terutama dalam pertentangannya dengan Al-Raniri soal paham wujūdiyah, ketika menjadi mufti
Sultan Safiatuddin Syah. P. Voorhoeve, “`Abd al-Ra‟uf ...”, dalam The Encyclopaedia of Islam,
(Leiden: E. J. Brill, 1986), vol. 1, h. 88 78
`Abdul Ra‟uf Al-Sinkel, Tarjumān Al-Mustafīd hal.85
43
takut kepada Allah Allah SWT, kedua, menakutinya dengan tidak mengajaknya
tidur, dan yang ketiga adalah memukul dengan tidak meninggakan cedera jika
nusyūz istri belum berubah.
Selanjutnya Abdul Rauf Assinkili menjelaskan ketika istri yang nusyūz
kembali taat pada suaminya, maka suami dianjurkan untuk tidak mencari-cari cara
untuk menyususahkan istri. Kemudian Abd. Rauf Assinkii menutup
pembahasannya dengan mengatakan “sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan
Maha Besar”.79
Selain itu, nusyūz juga dijelaskan oleh Nawawi al-Bantani adalah bentuk
pengabaian istri terhadap suami seperti menolak hubungan seksual dan keluar
rumah tanpa izin suami. Adapun penyelesaiannya Nawawi al-Bantani
membolehkan memukul dengan catatan untuk mendidiknya dan setelah upaya
menasehati dan pisah ranjang tidak berhasil menyadarkan istri dari nusyūznya.
Penjelasan dari beberapa penafsiran ulama kalangan klasik baik dari
kalangan ulama yang berasal dari Timur Tengah maupun Indonesia sebelumnya
memiliki kesimpulan yang hampir sama di mana nusyūz dimaknai sebagai
pelanggaran/ketidaktaatan istri terhadap suami. Adapun solusi atau
penyelesaiannya para ulama diatas memberikan syarat-syarat yang harus
ditempuh ketika melakukan ketiga macam cara mengatasi nusyūz dari pihak istri,
seperti menegur dengan dasar ilmu Al-Qur„ān (fa`iẓūhunna), memisahkan tempat
tidur atau memisah kamar sampai hati istrinya lunak kembali (wahjurūhunna fi al-
maḍāji`), dan memukul tanpa meninggalkan bekas (fisik) (waḍribūhunna).
79
Abdul Ra‟uf Al-Sinkel, Tarjumān Al-Mustafīd hal.85
44
Tabel Pemaknaan Nusyūz Menurut Ulama Klasik di Luar Indonesia
No Ulama Klasik Pemaknaan Nusyūz Penyelesaian
1. Muhammad ibn Jarīr
al-Ṭabarī
Nusyūz adalah ketidaktaan istri
dalam hal yang ma‟ruf. Selain
itu nusyūz juga bisa berarti
kebencian atau maksiat yang
dilakukan oleh istri.
Untuk penjelasan penyelesaian
Muhammad ibn Jarīr al-
Ṭabarī, memberikan solusi
memperingatkan secara lisan
sebagai langka awal bahwa
istri sedang nusyūz, memisahi
ranjang sampai dia tidaklagi
nusyuz, selanjutnya di pukul
namun tidak meninggalkan
bekas.
2. Mahmud ibn `Amr
al-Zamakhsharī
Nusyūz adalah perbuatan
mendurhakai suami, berbuat
tidak menyenangkan dan
menolak saat diajak
berhubungan seksual.
Memberikan teguran dan
menujukkan sikap benci
terhadap prilaku nusyuz istri
serta sabar terhadapnya.
Adapun untuk cara ketiga
Mahmud ibn `Amr al-
Zamakhsharī tidak
menjelaskan hal tersebut dan
memilih jalan bersabar.
3. Muhammad ibn
Umar al-Razi
Nusyūz adalah perumpamaan
kondisi di dalam hati atau
perasaan dengan munculnya
prasangka akan sesuatu yang
tidak disenangi di waktu yang
akan datang. Hal ini terlihat dari
perubahan sikap istri yang
biasanya lembut lalu berubah
menjadi kasar dan menolak saat
diajak berhubungan seksual.
Untuk langka pertama,
Muhammad ibn Umar al-Razi
menghimbau untuk taat
kepada Allah dan
mempertegas akan hak suami
terhadap istrinya, yang kedua,
berpisahlah (jarak) dengannya
di tempat tidur, dengan cara
tidak berbicara kepadanya dan
diingatkan secara berulang 2
kali selama ia masih nusyūz,
dan yang ketiga Jika tidak
dapat merubah sikapnya baru
boleh dipukul, namun tidak
melakukannya lebih
diutamakan. Untuk kasus
pemukulan sendiri Muhammad
ibn Umar al-Razi
menambahkan riwayat dari
Umar ibn Khattab Ra., “orang
yang memukul istrinya tidak
lebih baik dari yang tidak
memukul”.
45
4. Muhammad ibn
Ahmad al-Qurṭubī
Nusyūz adalah mengutip dari
pandangan Ibnu Abbas bahwa
nusyūz merupakan tindakan
tidak menyenangkan istri
terhadap suami. Biasanya
tercermin saat perempuan tidak
lagi tampil menarik dihadapan
suaminya.
Langka pertama, dengan
memperingatkan sikap nusyūz
istri, yang kedua, tidak tidur
dalam satu ranjang, dan yang
ketiga di pukul. Muhammad
ibn Ahmad al-Qurṭubī
menerangkan bahwa Allah
Swt. tidak memerintahkan
dalam Kitab-Nya “pukulan”
yang nyata (ṣurāḥan/wāḍiḥan)
kecuali sebagai
tujuan/kepentingan hukum.
5. Nāṣir al-Dīn al-
Baiḍawī
Nusyūz adalah sikap
mengabaikan atau
menyombongkan diri yang
dilakukan istri dari menaati
suaminya.
Adapun penyelesaiannya Nāṣir al-Dīn al-Baiḍawī mendukung
keberurutan dari penyelesaian
nusyūz tersebut. Dengan
memberikan nasehat sebgai
langka awal, kedua, tidak tidur
seranjang dengannya, dan
yang ketiga memukul namun
tidak memberikan bekas.
Dalam memaknai nusyūz ulama klasik yang penulis angkat dalam
penelitian ini memaknai nusyūz sebagai prilaku berupa pembangkangan,
penolakan dan kesombongan yang dilakukan oleh istri terhadap suami. Untuk
penyelesaiannya Ulama klasik mendukung keberurutan dalam menyelsaikan
permasalahan nusyūz tersebut, terkecuai pandangan Mahmud ibn `Amr al-
Zamakhsharī yang memilih jalan nasehat dan bersabar dalam menyelesaikan
nusyūz. Selanjutnya para ulama klasik yang penulis teliti memulai dari langka
yang paling awal adalah berupa peringatan dan nasehat untuk kembali dari prilaku
nusyūznya, yang kedua tidak tidur dalam satu ranjang, dan ketiga memukul namun
tidak meninggalkan bekas. Terkait pemukulan Muhammad ibn Umar al-Razi
menggunakan penekanan untuk tidak memukul. Umar al-Razi menambahkan
riwayat dari Umar ibn Khattab Ra., “orang yang memukul istrinya tidak lebih baik
dari yang tidak memukul”.
46
B. Pemahaman Ulama Modern
Ignaz Goldziher, melalui karyanya yang terkenal dalam terjemah bahasa
Indonesia, Mazhab Tafsīr, dengan judul asli Die Ricchatungen der Islamischen
Koranauslegung, telah mengulas berbagai karya Tafsīr klasik dengan cukup baik.
Meskipun tentunya banyak kekurangan di dalamnya secara objektif, terlepas dari
statusnya sebagai orientalis. Di almamater yang sama, J.J.G. Jansen melanjutkan
ulasan penafsiran al-Qur„ān pada masa modern. Dimulai dengan penafsiran
Muhammad Abduh (1845-1905) dan Rashid Ridha (1865-1935) pada abad ke-19,
dalam disertasinya berjudul The Interpretation of The Koran In Modern Egypt
pada tahun 1972.80
Menurut Ignaz Ide utama yang diusung Abduh adalah perlunya “ijtihad”
baru dalam dunia pemikiran umat Muslim. Ijtihad yang dimaksud tidak hanya
dalam permasalahan usul fikih, tetapi juga teologi, Tafsīr, studi hadis, dan
keilmuan lainnya. Karena ilmu-ilmu yang disebut terakhir, terlalu bersifat
“sempurna” menurut pandangan ulama terdahulu, dan menyusahkan pembaca dari
kalangan awam untuk memahami al-Qur„ān.81
Dari pengertian yang dikemukan oleh Ignaz Goldziher bisa disimpulkan
bahwa periode modern masuk pada akhir abad ke-19 sampai dengan sekarang.
Adapun pendekatan yang digunakan oleh ulama modern dalam melakukan
penafsiran ditandai menggunakan metodologis dengan memamfaatkan perangkat
80
Abu Bakar, “Pemikiran Tafsīr Modern J.J.G Jansen Telaah Atas Karya J.J.G Jansen The
Interpretation of The Koran In Modern Egypt” dalam Al-Ihkam vol. VI, 1 Juni 2011, h. 1-10 81
Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’ān Towards A Contemporary Approach, (New
York: Routledge, 2006), h. 116-117
47
keilmuan ilmiah, kemanusian, dan sosial, bahkan melalui pendekatan keilmuan
medis dan psikologis.82
Dalam pembahasan penafsiran ulama modern penulis meneliti penafsiran
Abduh dan Rasyid Ridha dalam karyanya Tafsīr al-Mana, Ibnu Ashur dalam
karyanya al-Tahrir wa al-Tanwir, Muhammad Ali al-Sabuni dalam karyanya
Wasail Mu’aalajah al-Shiqaq Baina al-Zaujain, Wahbah Zuhaili dalam karyanya
Tafsīr al-Munir.
Dimulai dari Muhammad Abduh dan Rashid Ridha menunjukan
penafsiran yang berbeda dalam Tafsīr Al-Manār83
dibandingkan dengan penafsiran
sebelumnya yang menunjukan banyak keunggulan sifat maupun kemampuan laki-
laki dibandingkan perempuan. Makna nusyūz, menurut Muhammad Abduh adalah
ketika “seorang perempuan (istri) keluar dari (memenuhi) hak-hak suaminya,
maka ia telah membangkang dan berusaha berdiri (ḥāwalat) di atas (melebihi
posisi) suaminya yang tidak sesuai dengan tabiatnya”.84
Abduh mengatakan, “... lima lam yaqul: wa al-latí yanshuzna ...”. makna
penggunaan lafaz khauf dalam ayat ini dimaksudkan sebagai hikmah
“kelembutan” (ḥikmatan laṭīfatan) dalam hal pengajaran Al-Qur„ān bagi
perempuan (istri). Maka harus didapati perbuatan yang jelas menunjukan sikap
nusyūz yang dilakukan istri. Suami harus memiliki cara dan penyikapan yang
82
Islah Gusmian, Khazanah Tafsīr Indonesia dari Hermenetik Hingga Ideologi, h. 2 83
Awalnya dibentuk dari tulisan keduanya dalam majalah dengan judul yang sama. Dalam
hal QS. Al-Nisā‟ ayat 34, ayat ini masih diTafsīrkan Muhammad Abduh sampai dengan ayat ke-
126. Setelahnya penafsiran dilakukan oleh Rashid Ridha, hingga QS. Yūsuf ayat 52.Uswatun
Hasana, “Model dan Karakteristik Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsīr
Al-Manar” dalam Hermeneutik, vol. 9, no. 2, Desember 2015, h. 1-22. Malik Madany, Tafsīr Al-
Manar (Antara al-Syaikh Muhammad „Abduh dan al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridha),
Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008, h. 1-19, http://digilib.uin-
suka.ac.id/337/, diakses pada 23.35 WIB. Lihat juga Rashid Ridha, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Ḥakīm
Tafsīr Al-Manār, (Mesir: al-Hai‟ah al-Miṣriyah al-`Āmmah, 1990), juz 12, h. 268 84
Rashid Ridha, Tafsīr Al-Qur’ān Al-Ḥakīm Tafsīr Al-Manār, (Mesir: al-Hai‟ah al-
Miṣriyah al-`Āmmah, 1990), juz 5, h. 55-56
48
lembut bagi istrinya, sehingga ia mau kembali melaksanakan tugas/haknya
sebagai istri pasangannya (ḥuqūq al-zaujiyyah).85
Cara yang pertama adalah dengan menasehati (al-wa`ẓu) yang membekas
di hatinya (aththiru), baik dengan peringatan/ancaman dari Allah Swt. dan
akibatnya terhadap nusyūz (ukhrawi), atau hal duniawi; seperti tidak memberikan
beberapa hal yang disenanginya semacam pakaian yang bagus atau perhiasan.
Menurut Abduh, terkadang istri melakukan nusyūz supaya keinginannya untuk
mendapatkan perhiasan (atau barang yang disenangi) dengan kerelaan dari
suami.86
Selanjutnya dengan cara memisahkan tempat tidurnya, atau secara kiasan
memisahkan kamarnya.
Perbedaan makna menurut para ulama, hakikatnya al-maḍāji` merupakan
tempat yang membangkitkan “rasa” (kecintaan) dalam hubungan pernikahan (al-
ladhí yuhayyiju shu`ūra al-zaujiyyah). Sehingga ada yang mengartikannya sebagai
tempat tidur (ranjang), kamar, atau rumah, yang intinya sebagai tempat terjadinya
hubungan jimak (bersenggama).87
Ibnu „Asyur(1879-1973) menyatakan tentang ayat ini sebagai penjelasan
hak-hak suami dan istri dalam hubungan rumah tangga atas ketetapan syariat,
terkait masalah `urf (kebudayaan) setempat (li-ta`līl shar`in khāṣṣin).88
Ibnu
„Asyurmenjelaskan nusyūz adalah kebalikan dari sikap yang baik/perbaikan (al-
85
Rashid Ridha, Tafsīr Al-Manār, h. 56-57 86
Rashid Ridha, Tafsīr Al-Manār, h. 59 87
Rashid Ridha, Tafsīr Al-Manār, h. 60 88
Muhammad Ṭāhir Ibn `Ashur al-Tunisy, Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr (Taḥrīr Al-Ma`ná Al-
Sadīd Wa Tanwīr Al-`Aql Al-Jadīd Min Tafsīr Al-Kitāb Al-Majīd), (Tunis: Dār al-Tūnisiyah, 1984
H), juz 5, h. 37
49
muḍāddati li-l-ṣalāḥ) atau kebencian kepada pasangan dan keburukan sikap
seorang istri. Secara bahasa berarti nuhūḍ.89
Menurut jumhur ulama, dikutip oleh Ibnu „Asyur(1879-1973) tentang
nusyūz, sikap istri ketika mengabaian pasangan dan menunjukan kebenciannya
tetapi bukan kebiasaan. Untuk mengatasinya, Ibnu „Asyur mengutarakan untuk
melaksanakan lafaz fa`iẓūhunna wahjurūhunna fi al-maḍāji` dan waḍribūhunna
secara bertahap. Yang dihubungkan dengan huruf “wau” `aṭaf.90
Selain itu Muhammad Ali Al-Ṣābūni91
menafsirkan tentang QS. al-Nisā‟
ayat 34, ini dengan judul “Wasā’il Mu`ālajah al-Shiqāq Baina al-Zaujain”92
, atau
menjelaskan “Cara-Cara Mengatasi Syiqaq”93
. Ayat yang menyebutkan tentang
syiqaq dijelaskan dalam QS. al-Nisā‟ ayat 35, kelanjutan dari nusyūz. Al-Ṣābūni
menyebutkan perempuan/istri yang nusyūz sebagai „jenis‟ istri selain dari yang
telah difirmankan Allah Swt, yaitu perempuan saleh.
Ketiga cara yang dijelaskan dalam ayat ini diTafsīrkan Al-Ṣābūni untuk
dilakukan secara berurutan, dengan mengatakan “jika tidak tercapai” (fa-in lam
yanjaḥ) cara sebelumnya dan mengutip penafsiran Ibnu `Abbas Ra.94
Al-Ṣābūni
89
Ibn `Ashur, Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr, juz 5, h. 41 90
Ibn `Ashur, Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr, juz 5, h. 41 91
Lahir pada Januari 1930, di Aleppo, Syria. Al-Ṣābūni telah banyak menuliskan karyanya
terkait ilmu-ilmu dan Tafsīr Al-Quran, di antaranya Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kathīr dan Ṣafwah Al-
Tafāsīr. Dalam kitab Ṣafwah Al-Tafāsīr, Ali Al-Ṣābūni menerangkan Tafsīran ayat perayat dengan
meringkas banyak penafsiran sebelumnya. Namun penafsirannya lebih rinci dituliskan secara utuh
dalam kitab Rawāi` Al-Bayān Tafsīr Ayāt Al-Aḥkām Min Al-Qur’ān. Tetapi tidak seluruh ayat
diTafsīrkan dalam kitab ini. Kitab ini ditulis dalam dua jilid dengan 70 pembahasan hukum dalam
Al-Quran. 92
Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Rawāi` Al-Bayān Tafsīr Ayāt Al-Aḥkām Min Al-Qur’ān,
(Beirut: Mu‟assasah Manāhil al-`Irfān, 1980), juz 1, h. 463 93
Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Terjemahan Tafsīr Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Mu‟ammal
Hamidy & Imron Manan (pen.), (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 403 94
Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Ṣafwah Al-Tafāsīr, juz 1, h. 251-252
50
kemudian menjelaskan lafaz wahjurūhunna fi al-maḍāji` adalah maksud dari
jimak/bersetubuh, seperti difimankan Allah Ta`ala dalam QS. Al-Nisā‟ ayat 43.95
Al-Ṣābūni juga mengatakan “pemukulan” perempuan dalam ayat ini
dijadikan sebagai argumentasi musuh-musuh Islam untuk mempertanyakan
kemuliaan al-Qur„ān daripada menghinakan perempuan dengan perintah
memukulnya? Harus dilihat bahwa konteks pemukulan dalam ayat ini sifatnya
“tidak berbekas”, dan hanya ketika istri “melakukan nusyūz”.96
Wahbah al-Zuhaili (1932-2015), seorang ulama terhormat bagi muslim
sunni maupun syiah yang baru saja meninggal dunia memiliki banyak tulisan dan
karya berpengaruh selama hidupnya. Salah satunya Tafsīr Al-Munīr.
Pada penjelasan mufradat Nusyūzahunna, Wahbah mengartikannya
dengan “sikap pembangkangan istri kepada kalian (suami) dan bersikap sombong
kepada pasangannya, dengan menunjukan amarahnya”.97
Dijelaskan dalam rumah tangga terdapat dua macam istri; yang taat
(ṣāliḥāt), dan yang suka melawan (nāshizāt). Istri yang nāshizāt adalah “yang
kamu (suami) sangka atau telah kamu ketahui bersikap sombong (taraffa`a)
melewati batasan hak dan kewajibannya (sebagai istri)”.98
Istri seperti ini boleh
diatasi dengan empat macam cara99
:
1. Al-wa`ẓu wa al-irshād idha athara fi nufūsihinna. Dengan si suami
mengatakan “bertakwalah kepada Allah, karena aku memiliki hak padamu,
95
Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Ṣafwah Al-Tafāsīr, juz 1, h. 254 96
Muhammad Ali Al-Ṣābūni, Ṣafwah Al-Tafāsīr, juz 1, h. 254-255 97
Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr fi Al-`Aqīdah wa Al-Sharī`ah wa Al-Manhaj,
(Damaskus: Dār al-Fikr, 2009), jilid 3, h. 55 98
Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr ..., h. 59 99
Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr Al-Munīr ..., h. 59-63
51
dan wajib menaatiku selama berhubungan dengan takut kepada Allah”, dan
semacamnya.
2. Al-hajarah wa al-i`rāḍ fi al-maḍaji` (al-muraqad). Yaitu meninggalkan istri
dari berhubungan jimak, atau bermalam (tidur) dengannya di atas kasur yang
sama, dan jangan menahan pembicaraan kepadanya lebih dari 3 hari.
3. Al-ḍarbu ghairu al-mubarriḥ. “Seperti pukulan ringan di bahunya sebanyak
tiga kali, atau dengan siwak, atau batang kayu tipis, dengan maksud
memperbaiki/mendidiknya”. Dengan dukungan riwayat dari Jabir, dan Aṭā‟
dikutip dari Tafsīr Al-Jaṣṣās juz 2 halaman 189. Jangan memukul pada satu
bagian tubuh saja ataupun dengan tongkat, karena pemukulan itu dimaksudkan
untuk mendidik pun tidak melakukannya masih lebih baik. Ditambahkan
dengan riwayat dari Ummu Kulthum binti Abu Bakar Ra, dan QS. al-Baqarah
ayat 229. Wahbah juga menambahkan perbedaan pendapat mengenai
periwayatan tersebut dengan sifat tartīb.
4. Al-Taḥkīm. Pada penjelasan ini, terkait QS. al-Nisā‟ ayat ke-35 Wahbah
menyebutkan penyelesaian terhadap nusyūz, yang telah berlanjut kepada
tahapan shiqāq, harus diselesaikan dengan cara mempertemukan masing-
masing ahli/keluarga dari suami maupun istri untuk mendapatkan jalan damai
bagi hubungan antara keduanya. Berikut dengan penjelasan dari fikih empat
mazhab.
Ulama modern dari kalangan Indonesia juga menafsirkan tentang nusyūz
surah AL-NISĀ‟‟: 34, salah satunya dijelaskan juga oleh Mahmud Yunus dalam
penafsirannya mengenai ayat ini.
52
“... Dalam ayat ini dijelaskan, kalau isteri durhaka dan membangkang
kepada suaminya, maka suami harus menghadapinya dengan hati sabar. Mula2
hendaklah diberi nasihat dengan perkataan yang lemah lembut. Kalau nasihat itu
tidak mempan, maka tinggalkan dia ditempat berbaringnya seorang diri. Kalau hal
itu tidak berhasil juga, boleh dipukul dengan pukulan yang tidak menyakiti
badannya. Kalau hal itu tidak juga berhasil, melainkan bertambah keras kepala,
sehingga tak dapat tercipta pergaulan yang damai dalam rumah tangga, maka
waktu itu bolehlah suami menjatuhkan talak kepada isterinya. Dengan demikian
teranglah, bahwa menjatuhkan talak adalah tindakan yang terakhir kali kalau tak
berhasil usaha2 perdamaian sebelum itu...”100
Selanjutnya Quraish Shihab juga memaparkan dengan penjelasan jika
kepemimpinan suami dihadapi dengan nusyūz istri, yang mana dalam hal ini
Quraish Shihab memaknai nusyūz sebagai “keangkuhan dan pembangkangan”
terhadap suami sebagai kepala rumah tangga. Maka telah disebutkan tiga macam
cara mengatasinya; memberikan nasehat, menghindari hubungan seks, dan
memukul. Ketiganya dihubungkan dengan huruf “wau” tetapi bukan bermakna
berurutan, dibolehkan misalnya untuk menghindari hubungan seks lebih dulu
sebelum menasehati istri yang nusyūz. Sesuai makna bahasa wahjurūhunna
menolak berhubungan seks dengan istri harus dimaksudkan untuk menunjukan
ketidaksenangan terhadap perlakuan nusyūz istri dan berusaha membuatnya
bersikap baik kembali. Penolakan seks ini tetap dibatasi di dalam kamar yang
100
Mahmud Yunus, Tafsīr Qur’an Karim, h. 114
53
sama, hanya saja suami tetap tidur bersama tanpa berhubungan seks, bercumbu,
ataupun kata-kata manis.101
Quraish Shihab juga mengungkapkan ketidaksetujuannya jika cara
“memukul” (meskipun dengan maksud mendidik) tidak relevan lagi pada masa
ini. Ia menyebutkan “...pakar-pakar pendidikan masih mengakuinya untuk kasus
tertentu, bahkan di kalangan militer...”. Sehingga bisa dipahami maksud
sebenarnya untuk membuat istri yang nusyūz jera.102
Tabel Pemeknaan Nusyūz Menurut Ulama Modern di Luar Indonesia
No Ulama Klasik Pemaknaan Nusyūz Penyelesaian
1. Abduh dan Rasyid
Ridha
Nusyūz adalah ketika prilaku
seorang perempuan (istri)
keluar dari memenuhi hak-
hak suaminya, maka ia telah
membangkang dan berusaha
berdiri (ḥāwalat) di atas
(melebihi posisi) suaminya
yang tidak sesuai dengan
tabiat seorang istri terhadap
suaminya.
Untuk penjelasan penyelesaian Abduh
dan Rasyid Ridha memberikan cara yang
pertama adalah dengan menasehati (al-
wa`ẓu) yang membekas di hatinya
(aththiru), baik dengan
peringatan/ancaman dari Allah Swt.
Kedua, dengan cara memisahkan tempat
tidurnya, atau secara kiasan memisahkan
kamarnya yang berarti tidak melakukan
hubungan hubungan jimak dengannya.
Ketiga memukul, namun disarankan
untuk tidak melakukan hal tersebut
dikarenakan ditakutkan akan menambah
kebencian istri.
2. Ibnu „Asyur Nusyūz adalah sikap istri
ketika mengabaian pasangan
dan menunjukan
kebenciannya tetapi bukan
kebiasaan. Contohnya
hilangnya sikap lemah
lembut yang biasanya ada
padanya.
Cara pertama adalah dengan
memberikan nasehat mendalam dan
memintanya untuk kembali dari nusyūz
nya. Cara yang kedua dengan tidak tidur
dalam satu ranjang dengannya. Ketiga
memukul namun dengan pukulan yang
tidak meninggakan bekas. Namun dalam
penjelasannya Ibnu „Asyur menyarankan
untuk dilakukan secara bertahap.
101
Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, vol. 2, h. 409-410 102
Quraish Shihab, Tafsīr Al-Mishbāh, vol. 2, h. 410-412
54
3. Muhammad Ali
Al-Ṣābūni
Nusyūz adalah prilaku istri
yang tidak lagi menghormati
suaminya dan tidak lagi
menjalankan kewajibannya
sebagai istri dan hal ini bisa
berlanjut pada prilaku syiqa.
Untuk langka pertama, Muhammad Ali
Al-Ṣābūni menganjurkan nasehat
kepada istri yang nusyūz, yang kedua,
berpisahlah (jarak) dengannya di tempat
tidur, dengan tidak melakukan hubungan
jimak, dan yang ketiga Jika tidak dapat
merubah sikapnya baru boleh dipukul,
namun tidak meninggakan bekas. Karena
Harus dilihat bahwa konteks pemukulan
dalam ayat ini sifatnya “tidak berbekas”,
dan hanya ketika istri “melakukan
nusyūz
4. Wahbah Zuhaili Nusyūz adalah sikap
pembangkangan istri kepada
kalian (suami) dan bersikap
sombong kepada
pasangannya, dengan
menunjukan amarahnya.
Langka pertama, Al-wa`ẓu wa al-irshād
idha athara fi nufūsihinna. Dengan si
suami mengatakan “bertakwalah kepada
Allah, karena aku memiliki hak padamu,
dan wajib menaatiku selama
berhubungan dengan takut kepada
Allah”, dan semacamnya.
Yang kedua, Al-hajarah wa al-i`rāḍ fi
al-maḍaji` (al-muraqad). Yaitu
meninggalkan istri dari berhubungan
jimak, atau bermalam (tidur) dengannya
di atas kasur yang sama, dan jangan
menahan pembicaraan kepadanya lebih
dari 3 hari. Ketiga Al-ḍarbu ghairu al-
mubarriḥ. Seperti pukulan ringan di
bahunya sebanyak tiga kali, atau dengan
siwak, atau batang kayu tipis, dengan
maksud memperbaiki/mendidiknya.
Dalam memaknai nusyūz ulama modern yang penulis angkat dalam
penelitian ini memaknai nusyūz sebagai prilaku berupa perubahan sikap istri
terhadap suaminya dan hilangnya tanggung jawab dalam dirinya sebagai seeorang
istri. Untuk penyelesaiannya 2 dari ulama modern yang penulis teliti menekankan
agar diakukan secara berurutan dan bertahap yaitu Ibnu Asyur dan Wahbah
Zuhaili. Selanjutnya para ulama modern yang penulis teliti memulai dari langka
yang paling awal adalah berupa peringatan dan nasehat untuk kembali dari prilaku
nusyūznya, yang kedua tidak tidur dalam satu ranjang, dan ketiga memukul namun
tidak meninggalkan bekas. Untuk cara yang ketiga menurut Muhammad Ali Al-
55
Ṣābūni mengatakan bahwa konteks pemukulan dalam ayat ini sifatnya “tidak
berbekas”, hal ini dimaksudkan untuk mendidik dan dilakukan hanya ketika istri
melakukan nusyūz.
56
BAB lV
PEMAHAMAN ULAMA KONTEMPORER INDONESIA TENTANG
NUSYŪZ DAN PENYELESAIANNYA DALAM SURAH AL-NISĀ’: 34
A. Pemahaman Ulama Kontempor
Kontemporer berarti pada masa kini, berhaluan ke arah perbaikan, keadaan
sekarang, dan juga suatu perkembangan yang terkontaminasi dengan
modernisasi.105
Di mana para ulama kontemporer berorientasi pada masa depan
dengan menunjukan pemikiran-pemikiran baru sebagai pembaruan pemikiran
terdahulu dan juga menyesuaikan dengan keadaan sekarang.106
Ulama Kontemporer dalam bahasa Abdullah Saeed, adalah kalangan
kontekstualis yang cenderung menggunakan latar belakang sosio-historis dalam
memahami ayat-ayat al-Qur„ān, dan memberikan perhatian pada perubahan sosial
yang terjadi.107
Jadi bisa disimpulkan bahwa ulama kontemporer adalah ulama yang hadir
di era sekarang dengan corak pemikiran yang cenderung menggunakan latar
belakang sosio-kultur dalam memahami ayat al-Qur„ān dan juga berorientasi pada
perbaikan.
Mengukur ulama kontemporer sebenarnya bisa dilakukan dengan dua cara,
yang pertama dari periodesasi dan yang kedua dari pemikiran. Berdasarkan uraian
Harun Nasution, ulama kontemporer berdasarkan periode adalah ulama yang hadir
selepas tahun 1800 M sampai sekarang. Namun yang dimaksud dalam
pembahasan ini bukan cara periodesasi melainkan membaca pemikiran ulama
105
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 790 106
Abdul Moqsith, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif ...”, h. 3-4 107
Abdullah Saeed, Interpreting The Qur‟an, h. 1-7
57
kontemporer yang ditandai dengan pemikiran yang progresif. Generasi ulama
kontemporer beranggapan bahwa teks sejatinya hidup dan bisa terus berkembang
sesuai perkembangan zaman.108
Dalam Epistomologi Tafsir Kontemporer karya Dr. Abdul Mustaqim
dijelaskan bahwa pemikiran-pemikiran yang muncul di era kontemporer tidak
dapat dilepaskan dengan perkembangan di masa modern. Paling tidak, gagasan-
gagasan yang muncul di era kontemporer sudah bermula sejak zaman modern
yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang sangat kritis melihat
pemahaman-pemahaman terhadap al-Qur„ān. Jadi bisa dikatakan bahwa
paradigma ulama kontemporer adalah model atau cara pandang, totalitas premis-
premis dan metodologis yang dipergunakan dalam pemahaman terhadap teks al-
Qur„ān di era kekinian.109
Untuk mengetahui karasteristik dari ulama kontemporer Abdul Mustaqim
menjelaskan dalam bukunya:
1. Memposisikan al-Qur„ān sebagai kitab petunjuk.
Dalam rangka mengembalikan al-Qur„ān sebagai kitab petunjuk, para
ulama kontemporer tidak lagi menjadikan al-Qur„ān sebagai wahyu yang
“mati” sebgaiamana yang dipahami oleh para ulama-ulama klasik-tradisionais.
Para ulama kontemporer menganggap wahyu yang berupa teks al-Qur„ān itu
sebagai sesuatu yang “hidup”. Dengan demikian mereka pun mengembangkan
model pembacaan dan penafsiran yang lebih kritis dan produktif, bukan
pembaca yang mati dan ideologis. Meminjam istilah Ali Harb, yang dimaksud
108
Saiful Amin Gofur “Profil Para Mufassir al-Qur„ān”, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), Cet. Vi, h. 26-27 109
Mustaqim Abdul, “Epitimologi Tafsir Kontemporer”, (Yogyakarta: LKIS, 2011), Cet
1, h. 59
58
pembacaan kritis menurutnya adalah pembacaan atas teks al-Qur„ān yang tak
tak terbaca dan ingin menyingkap kembali apa yang tak terbaca tersebut. 110
2. Bernuansa Hermeneutis
Terkait dengan hal ini, Roger Trigg menyatakan bahwa hermeneutika
merupakan suatu model pamahaman atau penafsiran terhadap teks tradisonalis
(klasik), di mana suatu permasalahan harus selalu diarahkan supaya teks selalu
dapat dipahami dalam konteks kekinian yang situasinya berbeda.111
Model
pembacaan hermeneutis rupaya menjadi trend di era kontemporer. Model
pendekatan hermeneutika ini akhirnya menjadi “menu alternatif” dalam kajian
ulama kontemporer sebagai rekonstruksi atas pendekatan pendekatan
pemahaman yang selama ini dianggap kurang memadai lagi untuk menjawab
tantangan zaman.
Kensekuensi dari digunakannya model pembacaan hermeneutis dalam
memahami al-Qur„ān adalah bahwa kita tidak lagi hanya mengandalkan
perangkat keilmuan klasik seperti yang digunakan oleh para ulama terdahulu,
seperti ilmu nahwu sharaf, ushul fiqh, dan balaghah, tetapi diperlukan juga
perangkat ilmu-ilmu lain seperti sosiolgi, antropologi, filsafat ilmu, dan
sejarah. Dengan demikian meminjam istilah Amin Abdullah-paradigma
interkoneksi-integrasi antara disiplin keilmuan dalam penafsiran menjadi suatu
hal yang niscaya.
3. Kontekstual dan Berorientasi pada Spirit al-Qur„ān
Salah satu karasteristik pemahaman al-Qur„ān di era kontemporer
adalah sifatnya yang kontekstual dan berorientasi pada semangat al-Qur„ān.
110 Ali Harb, Naqd an-Nashsh, (Bairut: al-Markaz ats-Tsaqafi, 1995), h. 2004-2005.
111 Dikutip dari Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 161)
59
Hal ini dilakukan dengan cara mengembangkan dan bahkan tidak segan-segan
mengganti metode dan paradigma penafsiran lama. Jika metode penafsiran al-
Qur„ān yang digunakan oleh para ulama klasik-tradisonal adalah metode
analitik yang bersifat parsial maka tidak demikian halnya dengan para ulama
kontemporer yang menggunakan metode tematik (mawdhu‟i). Tidak hanya
itu, mereka juga menggunakan pendekatan interdisipliner dengan
memamfaatkan perangkat keilmuan modern, seperti filsafat bahasa, semantik,
simiotik, antropologi, sosiologi, dan sains.
Salah satu pernyataan yang selalu menjadi jargon para ulama
kontemporer berbunyi: al-Qur„ān itu abadi, namun penyajiannya selalu
kontekstual sehingga meskipun ia turun di Arab dan menggunakan bahasa
Arab, tetapi ia berlaku universal, melampaui waktu dan tempat yang dialami
manusia.
Selain itu ulama kontemporer cenderung menegaskan bahwa nilai-nilai
universal yang mereka junjung adalah nilai kebebasan, kemanusiaan, keadilan,
dan kesetaraan. Nilai-nilai inilah yang ingin ditekankan oleh al-Qur„ān melalui
berbagai ayatnya. 112
Jika ayat-ayat al-Qur„ān itu dipahami secara literal,
parsial, dan sepotong-sepotong tentu saja nilai-nilai universal ini mustahil bisa
ditemukan, dan dimensi humanistik al-Qur„ān pun menjadi terabaikan.113
4. Ilmiah, Kritis, dan Non-Sektarian
Karasteristik lain dari pemikiran ulama kontemporer adalah
pemikirannya yang ilmiah, kritis, dan non-sektarian. Dikatakan ilmiah, karena
112
Lihat misalnya Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, ter. Farid
Wajdi dan Ciciek Farcha, (Yogyakarta: LSPPA, 1994) 113
Abdul Mustaqim dan Ahmad Baidlowi. “Paradigma Tafsir Kontemporer dan
Implikasinya dan Implikasinya terhadap Akseptabilitas Islam,” dalam Dinamika. Jurnal
Dialektika Peradaban Islam, No. 1, (Juli 2003), h. 8-9
60
produk pemikirannya dapat diuji kebenarannya berdasarkan konsistensi
metodologi yang dipakai oleh ulama dan siap menerima kritik dari komunitas
akademik. Dikatakan kritis dan non sektarian kerena umumnya para ulama
kontemporer tidak terjebak pada kunkungan mazhab. Mereka justru mencoba
bersikap kritis terhadap pendapat-pendapat ulama klasik maupun kontemporer
yang dianggap sudah tidak kompatibel dengan era sekarang. Inilah salah satu
implikasi dari digunakannya metode hermeneutis dalam memahami teks al-
Qur„ān maupun teks-teks lainnya.
Dalam tradisi pemahaman al-Qur„ān yang menggunakan metode
hermeneutis selalu terjadi dialog komunikatif yang berimbang antara dunia
teks (the world of teks), dunia penulis (the world of author), dan dunia
pembaca (the world of reader). Artinya antara teks, konteks, dan
kontekstualisasi selalu berdialektika secara sirkular. Paradigma hermeneutika
selalu melihat teks secara kritis dan memposisikannya sebagai suatu yang
harus dibaca secara produktif. Inilah yang oleh Nasr Hamid disebut dengan
pemahaman ulama yang berangkat dari realitas (al-waqi‟) untuk mengungkap
apa yang ditunjukkan oleh teks yang hadir di masa lalu, untuk kemudian
kembali membangun signifikansi.
Pada bab ini penulis membahas nusyūz berdasarkan pemahaman ulama-
ulama kontemporer Indonesia, diantaranya: Quraish Shihab, Huzaemah T.
Yanggo, Husein Muhammad, Zaitunah Subhan, dan Musdah Mulia. Penulis
memilih ulama-ulama tersebut dengan pertimbangan berdarakan pemikiran
mereka yang progresif dan mencirikan pemikiran-pemikiran yang lahir di era
sekarang. Selain itu para ulama yang penulis sebutkan adalah ulama-ulama yang
61
secara khusus membahas pembahasan nusyūz dalam karyanya seperti Quraish
Shihab dalam Tafsir Al-Misbah Kajian Surah an-Nisa‟:34, Husein Muhammad
dalam karyanya Fiqih Perempuan, Zaitunah Subhan dalam karyanya Tafsir
Kebencian, Musdah Mulia dalam karyanya Muslimah Reformis, dan Huzaemah T
Yanggo dalam karyanya Hukum Keluarga dalam Islam. Hal ini juga menguatkan
data penulis dikarenakan persoalan nusyūz yang penulis teliti adalah persoalan
nusyūz yang terkhusus cenderung menyudutkan perempuan. Dalam proses
penulisan skripsi ini, penulis juga melakukan wawancara kepada para ulama
tersebut untuk menguatkan argument mereka dalam pembahasan nusyūz yang
ditulis.
Berikut pemahaman para ulama kontemporer Indonesia terkait nusyūz dan
penyelesaiaanya.
1. Pemahaman Quraish Shihab
Quraish Shihab114
mengawali penafsirannya dalam ayat ini dengan
penjelasan singkat mengenai hubungannya dengan QS. al-Nisā‟ ayat 32, yaitu
tidak boleh berangan-angan pada keistimewaan atau kelebihan orang lain.
Karena Allah SWT menentukan fungsi masing-masing manusia dalam
masyarakat. Begitu pun ketentuan pembagian warisan yang telah dijelaskan
dalam al-Qur„ān.115
Tugas laki-laki untuk menafkahi perempuan telah menjadi kenyataan
umum dalam kehidupan masyarakat, yang ditunjukan dengan kata kerja
114
Dikenal sebagai seorang pelopor dalam bidang penafsiran Alquran era modern di
Indonesia. Karya-karyanya secara langsung terkait dengan pembahasan dalam Al-Qur„ān. Selain
Tafsir Al-Mishbāh, Al-Lubab, Tafsir Al-Qur„ān Al-Karim, Hidangan Ilahi Ayat-Ayat Tahlil,
Wawasan Al-Qur‟an, Perempuan, dan masih banyak lainnya. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir
Indonesia, h. 82, -87, dan 108-109 115
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur‟an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 2, h. 402
62
lampau anfaqū dalam ayat ini. Quraish Shihab juga mengutip pendapat Ibn
Ḥazm yang menyatakan hal seperti menyediakan makanan dan menjahit
bukan kewajiban istri sebagai ibu rumah tangga, suami yang harus memenuhi
nafkah pakaian dan makanan jadi.116
Jika kepemimpinan suami dihadapi dengan nusyūz istri, yang mana
dalam hal ini Quraish Shihab memaknai nusyūz sebagai “keangkuhan dan
pembangkangan” terhadap suami sebagai kepala rumah tangga. Maka telah
disebutkan tiga macam cara mengatasinya; memberikan nasehat, menghindari
hubungan seks, dan memukul. Ketiganya dihubungkan dengan huruf “wau”
tetapi bukan bermakna berurutan, dibolehkan misalnya untuk menghindari
hubungan seks lebih dulu sebelum menasehati istri yang nusyūz. Sesuai makna
bahasa wahjurūhunna menolak berhubungan seks dengan istri harus
dimaksudkan untuk menunjukan ketidaksenangan terhadap perlakuan nusyūz
istri dan berusaha membuatnya bersikap baik kembali. Penolakan seks ini
tetap dibatasi di dalam kamar yang sama, hanya saja suami tetap tidur bersama
tanpa berhubungan seks, bercumbu, ataupun kata-kata manis.117
Dalam pemaparan di atas jelas bahwa Quraish Shihab mencoba
menghadirkan makna nusyūz sebagai salah satu pelanggaran yang dilakukan
oleh istri terhadap suami dengan beberapa pertimbangan yang hari ini bisa
dikatakan sudah berubah. Artinya hukum nusyūz bisa saja berubah dan bisa
jatuh pada suami ataupun istri.
Quraish Shihab juga mengungkapkan ketidaksetujuannya jika cara
“memukul” (meskipun dengan maksud mendidik) tidak relevan lagi pada
116
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, vol. 2, h. 407-408 117
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, vol. 2, h. 409-410
63
masa ini. Ia menyebutkan “... pakar-pakar pendidikan masih mengakuinya
untuk kasus tertentu, bahkan di kalangan militer ...”. Sehingga bisa dipahami
maksud sebenarnya untuk membuat istri yang nusyūz jera.118
Hal ini justru
berbeda dengan kondisi sekarang di mana pemukuan bukan lagi cara tepat
untuk menyeesaikan persoalan rumah tangga, akan tetapi ruang dialog dan
penyeran ke pengadian menjadi alternatif baru. Bagaiamana pun al-Qur„ān
berusaha memberikan kemudahan bagi pembacanya dan menghilangkan
segala hal yang menyulitkan.
2. Pemahaman Huzaemah T. Yanggo
Khuzaemah menjelaskan surah al-Nisā‟: 34 terkait kedudukan laki-laki
yang lebih tinggi dari perempuan. Menurutnya, ayat ini mempertegas
pembagian tugas antara laki-laki selaku suami dan perempuan selaku isteri.
Tugas suami adalah melindungi, menjaga, membela, bertindak sebagai wali,
memberi nafkah, dll. Lain halnya dengan perempuan, ia justru mendapat
jaminan keamanan dan nafkah.
Sekilas terlihat kelebihan laki-laki dibanding perempuan. Namun
mereka tidak dibenarkan berlaku sewenang-wenang terhadap perempuan
(isteri). Begitu pula tidak dibenarkan bagi perempuan (isteri) meremehkan
kelebihan yang dimiliki laki-laki.
Masuk pada pembahasan nusyūz Huzaemah mengartikannya sebagai
pelanggaran terhadap perintah suami dalam konteks ajaran agama.119
118
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, vol. 2, h. 410-412 119
Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet.1,
h. 34
64
Contohnya melakukan atau memutuskan sesuatu secara sepihak, membakang
terhadap suami yang sebenarnya itu adalah tugas dan tanggung jawabnya. 120
Selanjutnya berkaitan dengan penjelasan nusyūz dalam surah al-Nisā‟
ayat 34 disebutkan bahwa Allah menyuruh memukul isteri dengan pukulan
yang tidak mencederai, jika dikhawatirkan nusyūz-nya. Bila masih tetap
nusyūz setelah dinasehati dan pisah ranjang atau tidak berbicara selama tiga
hari, menurut sebagian ulama yang dijadikan sebagai alasan salah satu dari
mazhab kedua yang mengatakan bahwa perempuan tidak sejajar dengan laki-
laki, Huzaemah berpendapat bahwa pada dasarnya Islam melarang memukul
perempuan. Di sini Allah memperbolehkan memukul yang tidak mencederai
karena darurat, yaitu untuk mendidik, sebagai cara untuk memperbaiki.
Apabila memukul itu membahayakan atau menyakiti, maka Islam tidak
memperbolehkan bahkan mengharamkannya. Memukul merupakan tahap
terkahir dari proses mendidik dan memperbaiki.
Adapun tahap pertama menasehati, yaitu mengingatkan tentang hak-
hak suami agar isteri takut kepada Allah SWT yang apabila berhasil, maka
suami tidak boleh meneruskan pada tahap yang kedua yaitu pisah tempat tidur
atau tidak menegur isteri selama tiga hari. Tahap pertama dan kedua ini
dilakukan agar isteri terdidik dan mengajarkannya sehingga isteri kembali
dewasa dan tidak melakukan Nusyūz lagi. Semua ini dilakukan demi
kemaslahatan isteri sehingga tidak terjadi talak. Apabila itu berhasil, maka
suami tidak boleh meneruskan pada tahap ketiga yaitu memukul. Memukul ini
merupakan alternative terkahir, yang menurut Syekh Abdullah ibn Ahmad al-
120
Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet.1,
h. 35
65
Jalali dalam kitabnya Syubuhat fi Thariq al-Mar‟ah al-Muslimah fi al-Islam
bahwa arti memukul dalam ayat tersebut bukan memukul dalam arti yang
sebenarnya, tetapi untuk menakut-nakuti dan tidak menyakitkan.121
Setelah isteri telah kembali dari nusyūznya maka suami tidak boleh
mencari-cari alasan untuk mempersulit isterinya. Khuzaemah juga mengutip
pendapat Syekh Muhammad Abduh bahwa laki-laki teladan tidak pernah
memukul isterinya kendatipun disaat darurat.122
Berdasarkan penjelasan Khuzaemah terkait Nusyūz dan penjelasannya
dapat disimpulkan bahwa dalam surah al-Nisā‟ ayat 34 tidak menunjukkan
ketidak sejajaran perempuan dan laki-laki, tetapi justru mengisyaratkan
kedudukan mereka yang sama. Kalaupun ada perbedaan itu hanya akibat dari
fungsi utama masing-masing jenis kelamin, yang artinya tidak dibenarkan
suami (laki-laki) berlaku sewenang-wenang kepada perempuan termasuk
dalam kondisi Nusyūz dan penerapan penyelesaiannya.
3. Pemahaman Zaitunah Subhan
Zaitunah Subhan123
mengatakan QS al-Nisā‟ ayat 34 tidak secara
spesifik menjelaskan masalah kepemimpinan laki-laki atas istri, melainkan
masalah kekerasan suami.
“... artinya justru ditegaskan di dalam ayat inilah menegaskan bahwa
tidak ada sedikit pun toleransi melakukan kekerasan dalam rumah tangga apa
pun bentuknya ...”124
121
Syekh Abdullah ibn Ahmad al-Jalali, Syubuhat fi Thariq al-Mar‟ah al-Muslimah fi al-
Islam, terj. Judian Wahyudi Asmin dan Umi Bararah, (Pustaka al-Kautsar, 1993), Cet. II, h. 62 122
Huzaemah T. Yanggo, “Hukum Keluarga dalam Islam”, (Palu: Yamiba, 2013), Cet.1,
h. 35 123
Lahir di Gresik, 10 Oktober 1950. Diketahui sebagai Staf Ahli Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan RI, dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Karyanya terkait
bidang tafsir Al-Qur„ān adalah Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟an.
66
Karenanya akan kurang tepat jika dijadikan sebagai dalil laki-laki
menguasai perempuan dan berwenang memukulnya. Seperti yang sering
terjadi dalam rumah tangga dengan konsep patriarki.
Menurut Zaitunah, istilah kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan
tergambarkan dalam ayat ini; laki-laki pemberi nafkah dan istri menjaga harta
milik suami. Karenanya, sejak awal pemakluman kepada otoritas suami secara
mutlak dalam konteks apa pun tidak dibenarkan. Akan terlalu berlebihan pula
menjadikan dasar hadis, “... Bangsa yang menyerahkan kepemimpinannya
kepada wanita tidak akan pernah mencapai kesejahteraan ...”.125
Terkait masalah nusyūz Zaitunah mengartikannya sebagai
“pembangkangan” istri terhadap suami yang ada kaitannya ada hubungan
manusia dengan Tuhannya. misalnya suami meminta istri untuk melakukan
hal-hal yang baik tapi istri menolak, seperti meminta sholat berpuasa dan lain-
lain. Adapun berhubungan penolakan seksual tidak bisa dijadikan alasan
penuh untuk menentukan istri nusyūz, dikarenakan hal ini bisa saja terjadi
dalam keadaan istri yang tidak memungkinkan. Adapun hubungannya dengan
isu gender, Zaitunah mengulang kembali pandangan bahwa istri objek nusyūz
adalah bagian dari budaya patriarki dalam sistem sosial masyarakat.126
“... Karena nusyūz merupakan salah-satu permasalahan gender.
Seringkali hanya dibebankan kepada perempuan padahal pada hakikatnya
laki-laki juga memiliki nusyūz. Nusyūz pada dasarnya adalah pembangkangan
istri terhadap perintah suami. Contoh istri disuruh sholat tidak mau. Namun
124
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta Selatan: el-
Kahfi, 2008), h. 96-104 125
Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur‟an,
(Yogyakarta: LkiS, 1999), h. 101-113 126
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 289-294
67
perlu dipahami pembangkangan disini adalah pembangkangan yang masih
dalam koridor agama, tidak dibenarkan perintah yang di luar perintah agama
...”127
Adapun penyelesaian nusyūz menurut Zaitunah Subhan adalah dengan
menasehati, jika nasehat tidak berefek baginya, maka tidak menggaulinya dan
yang terakhir adalah memukul. Meskipun begitu, dalam konteks nusyūz istri,
Zaitunah menegaskan untuk menghindari pemukulan terhadap istri dengan
melihat makna lain dari lafaz ḍaraba dengan menggunakan pemahaman
berbeda. Misalnya dengan lebih memahami watak atau tabiat (psikologis) istri,
sebelum melakukan pemukulan kepada istri yang nusyūz. Seperti diungkapkan
Hamka sebelumnya, perempuan/istri juga memiliki kepribadian yang berbeda-
beda, maka tidak pantas jika cara “memukul” harus di-generalisasikan untuk
semua perilaku nusyūz.
“... Kata ḍaraba dalam al-Qur„ān, itu memiliki banyak makna. Seperti
dalam ayat “waḍaraba mathalan kalimatan ṭayyibatan”, ayat lain “wayaḍribu
Allah amthāl”. Karena pada dasarnya kata dalam al-Qur„ān tidak „mono‟ akan
tetapi „multi‟-makna. Maka suami juga dituntut untuk memahami bagaimana
watak istrinya untuk menciptakan harmonisasi. Maka tidak akan terjadi
pemukulan . Hal lain yang seharusnya lebih ditekankan selain pemukulan
adalah mengajak istri untuk berdialog terutama mengenai peranan yang pas
dalam rumah tangga.”128
Dalam hal ini Zaitunah lebih menekankan bahwa ketika istri
mengalami nusyūz, salah satu yang harus menjadi pertimbangan untuk
127
Zaitunah Subhan, Wawancara, Ciputat, 2 agustus 2015 128
Zaitunah Subhan, Wawancara, Ciputat, 2 agustus 2015
68
menerapkan pemukulan terhadapnya adalah faktor psikologis. Hal ini
diharapkan menghindari adanya perubahan psikis pada istri yang seharusnya
bisa merubah prilakunya menjadi lebih baik justru sebaliknya.
4. Pemahaman KH. Husain Muhammad
Husein Muhammad129
menekankan permasalahan nusyūz yang muncul
selama ini karena pemahaman literal terhadapnya. Seperti “penolakan,
pembangkangan, durhaka, pelanggaran komitmen perjanjian”. Yang terkait
dalam pemahamannya dengan hubungan seks.
“... Adapun bentuk dari nusyūz perempuan atau laki-laki itu berbeda.
Orang lebih hafal dengan nusyūz perempuan. Ayatnya jelas yaitu ayat yang
ada kaitannya dengan kepemimpinan perempuan. Nusyūz perempuan adalah
penolakan istri terhadap suami, yang sebetulnya hanya terkait pada hubungan
seks. Tetapi konsep nusyūz ini kemudian dikembangkan bukan hanya
berkaitan dengan hubungan seks akan tetapi banyak hal lain seperti keluar
rumah harus dengan izin suami jika tidak mereka akan terkena nusyūz ...”130
Adapun pemaknaan nusyūz yang cenderung tertuju pada istri tersebut
dikarenakan adanya pemahaman yang tertanam dalam benak masyarakat dan
menghubungkannya dengan posisi perempuan sebagai istri dengan segala
perangkat dogma patriarki, sesuai dengan penjelasan penafsiran di
pembahasan sebelumnya yang memberikan pemaknaan nusyūz bukan saja
penolakan pada hubungan seksual tapi memiliki makna lain yaitu keluar
rumah tanpa izin suami, dan lain-lain.
129
Husain Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Daarut Tauhid Cirebon. Wawancara
dilakukan di Hotel Gatot Subroto Jakarta, 28 Juni 2016, 16:32 WIB 130
Husain Muhammad,Wawancara, Jakarta, 28 Juni 2016
69
Penolakan yang dimaksud oleh Husein Muhammad dalam pembahasan
nusyūz ini dikaitkan pada sikap-sikap yang tidak disenangi/mengecewakan
suami. Dimana saat hal ini terjadi istri mendapatkan perlakuan berupa dipisahi
dari tempat tidurnya, tidak diajak bicara, dan bisa menerima pukulan. Hal
inilah yang kemudian telah mengesampingkan peran perempuan yang
hakikatnya sejajar dengan suami.131
Hal lain yang diungkapkan oleh Husein Muhammad adalah
menjelaskan bahwa penyebab adanya dominasi suami dalam rumah tangga itu
dikarenakan peran menafkahi yang secara penuh diberikan kepada suami
sehingga dia berhak untuk mengatur istri bahkan sebagai pemilik istri. Hal ini
dijelaskan dalam wawancara dengannya :
“...Selanjutnya laki-laki difungsingkan sebagai orang yang akan
memenuhi nafkah dan mendikotomi ruang publik, dan perempuan adalah
pemegang domestik. Maka akan muncul konsekuensi ketika suami wajib
mencari nafkah seutuhnya maka istri berkewajiban memberikan tubuhnya.
Apabilah suami tidak memberi nafkah, maka suami nusyūz dan apabila istri
tidak memberikan tubuhnya maka istri nusyūz. karena bisa jadi suami akan
tunduk pada perempuan dikarenakan perempuan adalah pemilik seks atau
sebaliknya, uang yang mendominasi ....”132
Selanjutnya dalam menyelesaikan nusyūz Husein Muhammad
memberikan pandangannya bahwa ketika istri nusyūz, hal pertama yang
dilakukan adalah menasehati istri tersebut dengan cara yang baik, sembari
melakukuan rekonsiliasi terhadap peranan dalam rumah tangga, selanjutnya
131 Husain Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 7-11 132
Husain Muhammad,Wawancara, Jakarta, 28 Juni 2016
70
ketika hal tersebut belum memberikan dampak maka jangan diajak tidur
seranjang, yang dimaksudkan untuk menyadarkannya atau meberikan teguran
secara mendalam. Selanjutnya yang menjadikan penafsiran Husein
Muhammad berbeda dengan ulama Nusantara dari kalangan progresif yang
penulis bahsa sebelumnya adalah menolak pemukulan. hal tersebut
diungkapkan dalam wawancara.
“Dalam Hadis Nabi Saw. mengatakan (la taḍribu imā‟a Allah)
janganlah kamu memukul hamba-hamba Allah yang perempuan, dan sebaik-
sebaik laki-laki adalah yang tidak memukul istrinya. Pertanyaannya apakah
memukul hari ini masih efektif? kan tidak. Maka dari itu mendidik perempuan
hari ini tidak lagi dengan memukul. Maka alternatif yang saya tawarkan jika
terjadi nusyūz yang berkelanjutan adalah pengadilan ...”133
Menurutnya pemukulan hari ini tidak lagi efektif, dikarenakan kondisi
perempuan yang hari ini sudah maju, dan pengakuan masyarakat terhadap
peran perempuan dalam ruang publik yang akhirnya sama dengan keadaan
laki-laki pada umumnya. Sehingga tidak pas jika pemukulan tersebut
digeneralsir untuk semua perempuan atau istri. Karenanya Husein Muhammad
menawarkan solusi lainnya dalam bentuk pengajuan ke pengadilan untuk
menyikapi istri nusyūz setelah teguran nasihat tidak lagi diindahkan oleh istri
yang nusyūz.
5. Pemahaman Musda Mulia
Dalam membahas surah al-Nisā‟:34, Musdah mengawali pembahasan
tentang “Kepemimpinan Perempuan” dalam Muslimah Reformis, Musdah
133
Husain Muhammad, Wawancara, Jakarta, 28 Juni 2016
71
Mulia134
menuliskan catatan yang terjadi dalam Kongres Umat Islam
Indonesia ke-2, November 1998. Di dalamnya pernah dibahas pula perbedaan
pendapat tentang eksistensi perempuan sebagai pemimpin. Salah satu dalil
argumennya adalah QS. al-Nisā‟ ayat 34.135
Musdah berpandangan dalam kongres tersebut terlihat jelas
penggunaan/pemaknaan ayat al-Qur„ān yang ditafsirkan bias gender. Karena
istilah-istilah yang menyudutkan perempuan pun diungkapkan, seiring dengan
dalil al-Qur„ān dan hadis. Terlebih konteks pemanfaatannya jelas menomor-
duakan pendapat perempuan dalam kongres tersebut.136
Pada kritikannya tentang pasal 80 ayat 7, dan pasal 84 dalam
Kompilasi Hukum Islam. Musdah menegaskan.
“... Secara harfiah nusyūz adalah membangkang atau tidak tunduk pada
Tuhan. Di antara perintah Tuhan adalah keharusan untuk tidak menyakiti hati
sesama manusia, apalagi menyakiti hati pasangan yang pada prinsipnya
merupakan belahan jiwa kita. Karena itu menyakiti hati istri atau suami, baik
melalui ucapan maupun perbuatan adalah nusyūz ...”137
Nusyūz dalam pandangan Musdah Mulia bukan saja membangkang
terhadap perintah suami, melanggar aturan/larangan darinya seperti keluar
rumah tanpa izin suami, tidak mengerjakan pekerjaan rumah dan lain-lain.
Terlebih hanya sebatas pada permasalahan seksual yang kemudian terjadi
pemukulan dan akhirnya mengalami KDRT, namun nusyūz adalah prilaku
134
Siti Musdah Mulia, lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada 3 Maret 1958. Pernah
menjabat sebagai Ketua Indonesian Conference on Relgion and Peace (ICRP), dan Direktur LKAJ
(Lembaga Kajian Agama dan Jender). 135
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, (Bandung:
Misan, 2005), h. 292-294 136
Musdah Mulia, Muslimah Reformis, h. 298-301 137
Siti Musdah Mulia, Ketua IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016
72
yang menolak kepada ajakan pasangan untuk berbuat kebaikan. Contohnya:
menolak untuk diajak ibadah, dan kebaikan-kabaikan dalam ajaran agama.
Adapun dalam penyelesaian nusyūz menurut Musda adalah dengan Nasehat,
pisah ranjang dan yang terakhir adalah musyawarah antara suami istri. Musda
menghilangkan pemukulan dalam penyelesaian nusyūz, menurutnya hal ini
tidak efektif karena hanya akan menimbulkan masalah baru, contohnya
KDRT. Dalam wawancara Musda menjelaskan:138
“... Pertanyaannya, mengapa dipilih makna memukul, bukan makna
yang lain? Artinya, terjemahan ayat itu saja sudah mengandung bias
kepentingan. Kepentingan siapa yang dibela di sana? Itu yang harus kita
pahami ...”139
Kepentingan untuk menegaskan makna “memukul” sebagai hal yang
benar dalam menindak istri tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Musdah.
Pernyataan lain justru diungkapkan untuk menghindari makna pemukulan
tersebut dengan maksud menghindarkan kekerasan dalam rumah tangga.
“Kenapa kita tidak menghindari memukul yang nantinya akan
menimbulkan masalah baru. Berilah nasehat yang mendalam dengan jalan
musyawarah”140
Musyawarah dalam arti memperbaiki hubungan antara suami-istri
dengan tetap menjunjung prinsip keharmonisan dalam rumah tangga.
“... Satu hal yang ingin saya katakan ketika berbicara mengenai
nusyūz, bahwa kita tidak bisa memahami nusyūz dengan baik tanpa memahami
terlebih dahulu hakikat perkawinan dalam Islam. Kita harus memahami
138 Siti Musdah Mulia, Ketua IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016
139 Siti Musdah Mulia, Sekjen IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016
140 Siti Musdah Mulia, Sekjen IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 januari 2016
73
dengan baik hakikat perkawinan dalam Islam. Baru setelah itu, kita masuk
pada persoalan rumah tangga lainnya, seperti nusyūz ini ...”141
Menurut Musdah pembolehan pemukulan terhadap istri hanya
menimbulkan kerugian pada istri yang berujung pada kekerasan dalam rumah
tangga. yang jelas-jelas hal tersebut sangat berbeda dengan prinsip pernikahan
dengan dalam islam yang menjunjung tinggi musyawara sehingga
terbinanhnya rumah tangga yang mawaddah dan warahmah. Selain Itu hukum
pemukulan terhadap istri sudah dilarang oleh undang-undang PKDRT yang
berbunyi:
“Segala bentuk kekerasan, terutama kekeasan dalam rumah tangga,
merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusian serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.”142
Maka dari sini bisa disimpulkan bahwa Musda tidak sepakat dengan
adanya pemukulan dan memilih alternatif Musyawarah untuk menyelesaikan
setiap permasalahan rumah tangga.
B. Analisis Pemahaman Ulama Kontemporer Indonesia Tentang Nusyūz dan
Penyelesaiannya dalam Surah al-Nisā’: 34
Dalam memaparkan pandangan para ulama kontemporer di atas telah
memberikan deskripsi mengenai pemahaman mereka terkait pembahasan nusyūz
dan penyelesaiannya yang penulis angkat dalam penulisan skripsi ini.
Namun perlu diketahui bahwa hasil dari pemahaman mereka sangat
tergantung pada latar belakang pemikirian mereka sebagai ulama kontemporer
yang memiliki pola yang cenderung menginginkan perubahan atas tafsir-tafsir
141 Siti Musdah Mulia, Sekjen IRCP, Wawancara, Jakarta, 12 Januari 2016
142 Undang-undang PKDRT pasal 1 no 23 tahun 2014 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga.
74
sebelumnya dan berusaha menyajikan pemahaman teks sesuai dengan kondisi
masyarakat hari ini. Seperti dalam pemaparan Abdul Mustaqim terkait kriteria
dari ulama kontemper yang terdiri dari: menjadikan al-Qur „ān sebagai petunjuk,
bernuansa hermeneutis, kontekstual, dan berorientasi pada sprit al-Quran, ilmiah
dan non sektarian.
Masuk kepada pembahasan nusyūz, dimulai dari pemaknaan. Hampir dari
semua ulama kontemporer Indonesia yang penulis angkat, memaknai nusyūz
sebagai penolakan istri untuk melakukan hubungan seksual, bersikap sombong
dan berubahnya sikap istri dari yang lembut menjadi kasar atau semisalnya dan
hilangnya tanggung jawab dari seorang istri terhadap suaminya. sedangkan dia
dalam kondisi sehat walafiat dan mampu, seperti yang dijelakan oleh KH. Husein.
Namun hal lain juga terlihat dalam penafsiran Musdah Mulia dalam memaknai
nusyūz sebagai sikap melawan /tidak taat kepada Allah SWT yang itu bisa saja
terjadi pada pasangan suami maupun istri. Seperti menolak untuk diajak beribah
kepada Allah, menyakiti hati pasangan dan tidak menghargai satu sama lain.
Artinya nusyūz bisa terjadi pada pasangan suami maupun istri. 143
Hal ini sebanarnya berbeda dengan pemahaman ulama klasik-tradisionalis,
di mana ulama klasik memberikan definisi nusyūz sebagai pelanggaran istri
terhadap perintah suami, seperti menolak berhubungan seksual, keluar rumah
tanpa izin suami, menolak berhias dan lain-lain. Kemudian pembahasan nusyūz
biasanya cenderung ditujukan kepada istri. Maka dari itu para ulama kontemporer
mencoba memahami nusyūz dari perspektif lain dengan mempertimbangkan
kondisi saat ini. Contohnya larangan keluar rumah tanpa izin suami oleh ulama
143
Lihat penjelasan halaman 53-59
75
kontemporer Husein Muhammad, menghilangkan larangan tersebut dan
menganjurkan untuk mengkomunikasikan satu sama lain antara suami dan istri.
Hal ini dimaksudkan untuk menjembatani pemahaman teks agar bisa di terapkan
di era sekarang, dengan melihat kondisi perempuan yang hari ini telah memiliki
akses sama dengan laki-laki.
Selanjutnya, yang menjadi pembahasan dalam permasalahan nusyūz
adalah penyelesaian dari nusyūz itu sendiri. Di mana untuk kategorisasi dalam
penetapan istri nusyūz, secara keseluruhan ulama kontemporer Indonesia
menetapkan nusyūz, jika hal tersebut sudah terlihat jelas.
Untuk penyelesaian nusyūz, Seperti yang tertera dalam penjelasan teks al-
Qur„ān surah al-Nisā‟: 34, bahwa saat terjadi prilaku nusyūz oleh istri maka ada
tiga tahapan yang bisa ditempuh. Pertama, memberikan nasihat, kedua tidak tidur
satu ranjang, dan ketiga boleh dipukul. Kalangan ulama kontemporer mencoba
memberikan pemahaman lain terkait dharaba dengan memaknainya bukan hanya
pemukulan melainkan nasehat mendalam dan cenderung menghilangkan
pemaknaan boleh memukul dikarenakan di khawatirkan justru menimbulkan
masalah baru yaitu KDRT.
Misalnya Qurais shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa pemukulan
tidak lagi relevan, dan memberikan pilihan efektif dalam menyelesaikan
nusyūznya sesuai dengan cara yang relevan dengan catatan mampu memberikan
efek yang lebih baik dan tidak adanya KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Huzaemah T. Yanggo yang memberikan penjelasan bahwa daraba lebih tepat
untuk dimaknai sebagai contoh, artinya memberikan contoh kepada istri untuk
meruba sikap nusyūznya. Selanjutnya Husein Muhammad memberikan
76
rekomendasi untuk menyerahkan permasalahnnya ke pengadilan jika nasehat dan
pisah ranjang sudah tidak lagi bisa menyelesaiakan. Zaitunah dan Musdah Mulia
memilih untuk membuat rekonsiliasi terkait peran dan tanggung jawab dalam
berumahtangga sehingga peran masing-masing bisa dimengerti.
Pendekatan penafsiran kontekstual oleh ulama kontemporer, misalnya
Quraish Shihab yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk
menyelesaikan nusyūz istri dengan catatan tidak ada KDRT dan bisa
mendatangkan kemaslahatan. Huzaimah T. Yanggo memaparkan peran
perempuan yang sama dengan laki-laki, yang secara tidak langsung memiliki
otoritas dalam setiap keputusan dalam rumah tangga sama dengan laki-laki.
Begitu juga keleluasan dan pembagian peran yang merata antara istri dan
perempuan yang dihasilkan dari pembacaan terhadap fenomena dalam kehidupan
masyarakat kontemporer. Hal ini untuk meninjau perubahan kondisi yang terjadi
di masyarakat, dimana peran perempuan dan laki-laki sama dalam ruang domestik
dan publik.144
Hal ini dimaksudkan oleh agar perselisihan dalam rumah tangga
bisa diselesaikan dan kekerasan dalam rumah tangga bisa di hapuskan. Mengingat
hal ini sebanarnya sudah diatur dalam undang-undang PKDRT (Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Selanjutanya hal yang mencirikan pemahaman ulama kontemporer di sini
adalah pemahaman mereka yang ilmiah dan non sektarian. Hal ini jelas terlihat di
mana para ulama yang penulis teliti tidak terikat oleh satu golongan mazhab
tertentu.
144
Husain Muhammad, Fiqh Perempuan, h. 17-19
77
Tabel Pemahaman Ulama Kontemporer tentang Nusyūz dalam Surah al-Nisā’: 34
NO Nama Ulama Pemahaman Nusyūz Penyelesaiannya Nusyūz Karasteristik Pemahaman
1. Quraish Shihab Nusyūz adalah
keangkuhan dan
pembangkangan
terhadap suami sebagai
kepala rumah tangga.
Memberikan nasehat, menghindari
hubungan seks, dan Quraish Shihab
menyatakan ketidak setujuannya
terhadap opsi ketiga yaitu
pemukulan, karena dianggap sudah
tidak relevan lagi. Namun Quraish
Shihab menyerahkan cara opsi ketiga
ke masyarakat dengan catatan tidak
menimbukan kekerasan dalam rumah
tangga tentunya mendatangkan
kemaslahatan bersama serta bisa
memperbaiki hubungan suami istri.
- Bersifat memposisikan al-Qur„ān sebagai petunjuk
adalah Memberikan penjelasan mengenai maksud
nusyūz dalam al-Qur„ān, seperti memaknainya
dengan nusyūz adalah keangkuhan dan
pembangkangan terhadap suami sebagai kepala
rumah tangga.
- Bernuansa Hermeneutis adalah upaya Quraish
Shihab membaca perubahan sosiologis dari
perempuan dan laki-laki yang mana keduanya
memiliki ruang yang sama dalam kiprahnya di
pablik dan domestik sehingga permasalahan peran
rumah tangga bisa diselesaikan dengan
kesepakatan bersama.
- Kontekstual dan berorientasi pada spirit al-Qur„ān
termuat dalam penjelasan Quraish Shihab yang
memberikan keleluasaan dalam memilih
menyelesaikan nusyūz istri selama hal tersebut
relevan dan mampu memperbaiki hubungan suami
istri.
- Ilmiah dan non sektarian terlihat dalam
penjelasannya yang menggunakan ilmu bahasa
Arab dalam menjelaskan penyelesaian nusyūz
selain itu Quraish Shihab dalam memberikan
pemahaman tidak terikat dalam satu mazhab
tertentu.
2. Huzaemah T. Yanggo Nusyūz adalah Memberikan nasehat secara - Menjadikan al-Qur„ān sebagai petunjuk terlihat
dari pemaparan Huzaimah T. Yanggo yang
78
pelanggaran terhadap
perintah suami dalam
konteks ajaran agama.
Contohnya melakukan
atau memutuskan
sesuatu secara sepihak,
membakang terhadap
suami yang sebenarnya
itu adalah tugas dan
tanggung jawabnya.
Namun lebih lanjut
Huzaemah T. Yanggo
juga menjelaskan bahwa
pada dasarnya nusyūz
bisa terjadi bukan saja
kepada istri, akan tetapi
juga bisa terjadi kepada
suami yang tidak
menunaikan
kewajibannya.
mendalam, tidak tidur dalam satu
ranjang atau tidak mengajak
berbicara selama 3 hari dan yang
terakhir memukul, tapi dengan
catatan tidak secara fisik, namun
menggunakan alternatif lain.
Contohnya dengan berdialog
kembali tentang peran suami isteri.
menjelaskan makna nusyūz. Dia memaknai nusyūz
sebagai pelanggaran terhadap perintah suami
dalam konteks ajaran agama.
- Bernuansa Hermeneutis oleh Khuzaima T.
Yanggo di sini dijelaskan dalam pendekatannya
memahami kondisi peran suami dan istri yang
cenderung sama dalam wilayah publik dan
domestik, sehingga permasalahan rumah tangga
pun bisa diselesaikan dengan berdialog antara
suami dan istri.
- Kontekstual dan berorientasi pada semangat al-
Qur„ān terlihat dalam penjelasannya mengenai
setiap laki-laki memiliki kelebihan masing-
masing, namun bukan berarti hal ini dijadikan alat
untuk berlaku kesewenang-wenangan antara satu
sama lain. Dan saat nusyūz terjadi dianjurkan
untuk menghadirkan ruang dialog untuk
mebicarakan kembali tentang peran suami istri.
- Ilmiah dan non sektarian, di mana Huzaemah T.
Yanggo tidak terfokus pada satu mazhab dan
secara ilmiah menjelaskan bahwa memang
terdapat pembolehan dalam pemukulan akan tetapi
tidak boleh mencedarai artinya lebih tidak,
terlebih mengingatkondisi sosial terkait peran
suami dan istri yang sama dalam wilayah publik
dan domestik.
3. Zaitunah Subhan Nusyūz adalah
pembangkangan” istri
terhadap suami yang ada
kaitannya dalam
Menasehati, jika nasehat tidak ada
pengaruh baginya, maka tidak
menggaulinya dan yang terakhir
adalah memukul. Namun baginya
- Manjadikan al-Qur„ān sebagi petunjuk terlihat
dalam pandangan Zaitunah Subhan dalam
memaknai nusyūz sebagai pembangkangan” istri
terhadap suami yang ada kaitannya dalam
79
hubungan manusia
dengan Tuhannya.
Misalnya suami
meminta istri untuk
melakukan hal-hal yang
baik tapi istri menolak.
seperti meminta sholat,
berpuasa dan lain-lain.
memukul tidak lagi dianjurkan
dengan mempertimbangkan
psikologis istri.
hubungan manusia dengan Tuhannya. Misalnya
suami meminta istri untuk melakukan hal-hal yang
baik tapi istri menolak. Seperti meminta sholat,
berpuasa dan lain-lain.
- Bernuansa Hermenetius jelas dalam metode yang
digunakan oleh Zaitunah yang menerapkan
keilmuan psikologi dalam memprtimbangkan efek
yang terjadi pada perempuan jika dilakukan
pemukalan oleh suami terhadapnya.
- Berorientasi pada spirit al-Qur„ān jelas terlihat
saat Zaitunah Subhan menjelaskan bahwa
kedudukan suami dan istri memiliki derajat yang
sama di hadapan Allah.
- Ilmiah dan non sektarian terlihat dari caranya
menjelaskan bahwa nusyūz tidak hanya terjadi
pada perempuan akan tetapi suami juga demikian.
Selain itu Zaitunah Subhan tidak terpaku pada satu
mazhab dalam memaparkan pemahamannya
mengenai nusyūz.
4. Husein Muhammad Nusyūz adalah
penolakan istri terhadap
suami dalam hal
hubungan seksualitas.
Menasehati istri yang sedang nusyūz
dan kembali melakukan rekonsiliasi
terkait peran rumah tangga.
Selanjutnya Husein Muhammad
berpandangan bahwa memukul tidak
efektif lagi dilakukan. Maka jika
prilaku nusyūz istri masih berlanjut
maka serahkan penyelesainnya ke
pengadilan.
- Menjadikan al-Qur„ān sebagai petunjuk terlihat
saat Husein Muhammad menjelaskan ayat tentang
nusyūz.
- Bernuansa Hermeneutis di sini dijelaskan bahwa
metode yang digunakan oleh Husain Muhammad
dalam menjelaskan nusyūz perempuan yaitu sosio-
historis di mana pada zaman klasik perempuan
dikatakan nusyūz saat keluar rumah itu karna
peran yang diterimahnya masih seputar peran
domestik, namun sekarang berbeda. Di mana
perempuan dengan bebas mengambil perannya.
80
- Spirit al-Qur„ān tentunya termuat dalam
penjelasannya yang menginginkan kesetaraan
sesuai dengan pemberitaan al-Qur„ān bahwa laki-
laki dan perempuan sama di hadapan Allah SWT,
yang membedakan hanya amalannya. Hal itu pun
yang diterapkan saat melihat kedudukan suami
dan istri.
- Ilmiah, di mana Husein Muhammad melakukan
pendekatan feminism dalam melihat peranan
perempuan. adapun non sektarian, Husein
Muhammad tidak memaparkan pemahamannya
terhadap satu mazhad dan pada satu kajian tertentu
seperti kajian feminism yang dia geluti.
5. Musdah Muia Nusyūz adalah
membangkang atau tidak
tunduk pada Tuhan. Di
antara perintah Tuhan
adalah keharusan untuk
tidak menyakiti hati
sesama manusia, apalagi
menyakiti hati pasangan
yang pada prinsipnya
merupakan belahan jiwa.
Melakukan nasehat yang mendalam,
pisah ranjang dan yang terakhir
adalah musyawarah antara suami dan
istri.
- Menjadikan al-Qur„ān sebagai petunjuk terlihat
saat Musdah Mulia mencoba memaparkan maksud
nusyūz dari surah al-Nisā‟: 34.
- Bernuansa Hermenetius terkait dengan
pendekatannya yang cenderung menggunakan
teori feminism dalam memaparkan
pemahamannya terkait nusyūz dalam surah al-
Nisā‟: 34. Seperti memaknai nusyūz sebagai
pelanggaran terhadap Allah bukan terhadap
Suami.
- Kontekstual, terlihat dari pemahamannya yang
memaparkan sesuai dengan kondisi suami dan istri
di era sekarang, di mana laki-laki bukan lagi
sebagai pencari nafkah utama melainkan istri pun
mengemban hal itu. Artinya setiap kebijakan yang
dihasilkan dalam rumah tangga harus sesuai
keputusan kedua belah pihak suami dan istri.
81
Opsi ketiga, yaitu kata “daraba” diartikan dengan
berkomuniaksi yang sehat atau bermusaywarah
antara suami dan istri.
- Ilmiah dan non sektarian, menghadirkan
argumentasi bahwa pemukulan terhadap pasangan
yang sedang nusyūz harus dihilangkan
dikarenakan hadirnya Undang-Undang PKDRT
no.23 tahun 2004. Non sektarian, terlihat dari
pemahamannya yang tidak terpengaruh oleh satu
mazhab tertentu.
73
82
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan skripsi ini menunjukkan bahwa secara umum ulama
kontemporer Indonesia memiliki pemahaman yang sama tentang makna nusyūz.
Nusyūz dipahami dengan pelanggaran atau pembangkangan yang dilakukan oleh
istri kepada suami. Pemahaman seperti ini dikemukakan oleh Quraish Shihab,
Huzaemah T. Yanggo, Zaitunah Subhan, dan Husein Muhammad. Sedangkan
Musdah Mulia memahami nusyūz dengan pelanggaran dalam pernikahan yang
dilakukan oleh pasangan, baik istri maupun suami.
Penyelesaian nusyūz menurut kelima ulama kontemporer Indonesia
menunjukkan bahwa pemukulan bukanlah salah salah cara menyelesaikan nusyūz.
Lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
1. Quraish Shihab. Memberikan nasehat, menghindari hubungan seks, dan pada
dasarnya Quraish Shihab tidak lagi setuju dengan adanya pemukulan,
dikarenakan hal ini tidak lagi relevan diterapkan mengingat pemukulan hari
ini akan selalu berujung pada kekerasan dalam rumah tangga.
2. Huzaemah T Yango. Menyelesaikan nusyūz tiga tahapan, yang Pertama
Memberikan nasehat, nasehat yang diberikan adalah nasehat yang mendalam,
tidak tidur dalam satu ranjang atau tidak mengajak berbicara selama 3 hari dan
yang terakhir memukul, tapi dengan catatan tidak secara fisik, namun
menggunakan alternatif lain. Contohnya dengan berdialog kembali tentang
peran suami isteri.
83
3. Zaitunah Subhan. Menasehati, jika nasehat tidak ada pengaruh baginya, maka
tidak menggaulinya. Untuk alternatif berikutnya Zaitunah Menghindari
pemukulan dengan argumentasi kajian psikologis. Di mana banyak penelitian
yang menyebutkan bahwa pemukulan pada isteri tidak akan memperbaiki
keadaan dalam kasus-kasus tertentu, justru akan lebih memperburuk suasana
dan menimbulkan masalah. Maka jalan satu-satunya adalah duduk kembali
dan melakukan rekonsiliasi terkait peran antara suami dan isteri.
4. Husein Muhammad. Menasehati istri yang sedang nusyūz dan kembali
melakukan rekonsiliasi terkait peran rumah tangga. Selanjutnya Husein
Muhammad berpandangan bahwa memukul tidak efektif lagi dilakukan. Maka
jika perilaku nusyūz istri masih berlanjut maka serahkan penyelesaiannya ke
pengadilan.
5. Musdah Mulia. Melakukan nasehat yang mendalam, pisah ranjang dan yang
terakhir adalah musyawarah antara suami dan isteri.
B. Saran
Penulis menyarankan akademisi lainnya yang ingin meninjau
permasalahan nusyūz dalam lingkup pemahaman ulama kontemporer lebih
membahasnya dalam cakupan luas. Dimana menghadirkan dan membandingkan
pemahaman ulama Kontemporer yang berasal dari Indonesia dan juga pemahaman
ulama kontemporer yang berasal dari luar Indonesia. Selain itu membahas ayat-
ayat nusyūz lainnya selain surah al-Nisā’: 34, seperti al-Baqarah ayat 128.
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku Rujukan
Abdurrahman, Khalid al-`Ak. Uṣūl Al-Tafsīr wa Qawā`iduhu. Damaskus: Dār al-
Nafa‟is. 1986.
Al-Baiḍawi, Nāṣir al-Dīn. Anwār Al-Tanzīl Wa Asrār Al-Ta’wīl. Beirut: Dār Iḥyā‟
al-Turāth. 1418 H.
Bauer, Karen. Gender Hierarchy in The Qur’ān: Medieval Interpretations,
Modern Responses. New York: Cambridge University Press. 2015.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Sahih Al-Bukhari. Beirut: Dār al-Fikr. 1420
Al-Dhahabi, Husein. Tafsīr Wa Al-Mufassirūn. Mesir: Maktabah Wahbah. tt.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufasir al-Qur,an
Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermenetik hingga
Ideologi.Yogyakarta: LKIS. 2013.
Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Panjimas. 1983.
Hasan, Hamka. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah. 2008.
Koentjaraningrat. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Sarasin. 1996.
Lexy S, Moloeng. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya. 1988.
Al-Maḥalli, Jalāl al-Dīn, dan al-Suyūṭi, Jalāl al-Dīn. Tafsīr Al-Jalālain. Mesir:
Dār al-Ḥadīth. tt.
Marhijanto, Kholilah. Menciptakan Keluarga Sakinah. Surabaya: Bintang Pelajar.
Tth. Cetakan Pertama.
Mernissi, Fatima. Setara di Hadapan Allah. Yogyakarta: LSPPA. 2000.
Mufidah. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Malang.
2008.
Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang. 2001.
Mulia, Musdah. Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Jakarta: Megawati Institute.
2014. Cetakan Pertama.
_______. Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Bandung:
Misan. 2005.
80
Muqbil bin Hadi. Shohih Asbabun Nuzul. Agung Wahyu (pen.). Depok: Meccah.
2006.
Mustaqim, Abdul. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010.
Mustofa, Bisri. Al-Ibrīz Li-Ma`rifah Tafsīr Al-Qur’an Al-`Azīz. Kudus: Menara
Kudus. 1960.
Al-Naisaburi, Muslim ibn al-Ḥajjāj. Sahih Muslim. Beirut: Dār al-Fikr. 2003
Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. Penelitian Terapan.Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 1996.
Nawawi, Muhammad ibn Umar al-Bantani. Marāḥ Labīd li-Kashfi Ma`ná Al-
Qur’ān Al-Majīd, M. Amin al-Ṣanawi (muhaqqiq). Beirut: Dār al-Kutub
al-`Ilmiyah. 1417 H.
_______. Sharḥ `Uqūdu-l-Lujain Fi Bayān Ḥuqūq Al-Zaujain. Sangapura: Al-
Haramain. tt.
Parvez, Ahmad. Matalib Al-Furqān Fi Durūs Al-Qur’an. Lahore: 1979.
Al-Qurṭubi, Muhammad ibn Ahmad. Al-Jāmi` Li-Aḥkām Al-Qur’ān Tafsīr Al-
Qurṭubi. Ahmad & Ibrahim (tahqiq). Mesir: Dār al-Kutub al-Miṣriyah.
1964.
Rahman, Fazlur. Islam and Modernity Transformation of Intellectual Tradition.
London: University of Chicago Press. 1984
Al-Razi, Muhammad ibn Umar. Mafātiḥ Al-Ghaib Tafsīr Al-Kabīr. Beirut: Dār
Iḥyā‟ al-Turāth. 1420 H.
Rianse, Usman. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi. Bandung:
ALFABETA CV. 2008.
Ridha, Rashid. Tafsīr Al-Qur’ān Al-Ḥakīm Tafsīr Al-Manār. Mesir: al-Hai‟ah al-
Miṣriyah al-`Āmmah. 1990.
Al-Ṣābūni, Muhammad Ali. Ṣafwah Al-Tafāsīr. Mesir: Dār Al-Ṣābūni. 1417
H/1997
_______. Rawāi` Al-Bayān Tafsīr Ayāt Al-Aḥkām Min Al-Qur’ān. Beirut:
Mu‟assasah Manāhil al-`Irfān. 1980.
_______. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni, Mu‟ammal Hamidy &
Imron Manan (pen.). Surabaya: Bina Ilmu. 1983.
Saeed, Abdullah. Interpreting The Qur’ān Towards A Contemporary Approach.
New York: Routledge. 2006.
Salam, Abdul. Visi dan Paradigma Tafsir Kontemporer. Jawa Timur: AL IZZAH.
1997.
81
Shihab, M. Quraish. Membumikan Alquran. Bandung: Mizan. 1992
_______. Tafsir Al-Mishbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati. 2002.
Al-Sinkel, Abdul Ra‟uf. Tarjumān Al-Mustafīd. Beirut: Dār al-Fikr. Tt.
Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta Selatan:
el-Kahfi. 2008.
_______. Rekonstruksi Pemahaman Gender Dalam Islam. Jakarta Selatan: el-
Kahfi. 2002.
_______. Tafsir Kebencian : Studi Bias Gender dalam Tafsir Qur’an.
Yogyakarta: LkiS. 1999
Suharsini, Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta. 2002.
Sulaiman, Abu Daud Al-Sijistāni. Sunan Abi Daud. Riyadh: Bait al-Afkār. 1420
H
Al-Ṭabari, Muhammad Ibnu Jarīr. Jāmi` Al-Bayān Fi Ta’wil Al-Qur’ān. Ahmad
Shākir (muhaqqiq). ttp: Mu‟assasah al-Risalah. 2000.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1996.
Al-Tirmidhi, Muhammad ibn Isa. Sunan Al-Tirmidhi. Mesir: Muṣṭafa al-Babi al-
Ḥalabi. 1975.
Al-Tunisy, Muhammad Ṭāhir Ibn `Ashur. Al-Taḥrīr Wa Al-Tanwīr (Taḥrīr Al-
Ma`ná Al-Sadīd Wa Tanwīr Al-`Aql Al-Jadīd Min Tafsīr Al-Kitāb Al-
Majīd). Tunis: Dār al-Tūnisiyah. 1984 H.
Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. Jakarta
Selatan: Paramadina. 2001.
Ummi Kultsum, Lilik, dan Amir, Mafri. Literatur Tafsir Indonesia. (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011.
Al-Wāḥidi, Ali ibn Aḥmad. Asbāb al-Nuzūl Al-Qur’ān. `Aṣām bin `Abdul Muḥsin
(ed). Dimām: Dār al-Iṣlāḥ, 1992. Cetakan Kedua
Warson, Ahmad Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Ali Ma`shum & Zainal Abidin (ed.). Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.
Yunus, Mahmud. Tafsir Qur’an Karim, cetakan ke-73. Jakarta: Hidakarya Agung.
2004.
Al-Zuḥaili, Wahbah. Tafsīr Al-Munīr fi Al-`Aqīdah wa Al-Sharī`ah wa Al-Manhaj.
Damaskus: Dār al-Fikr. 2009.
82
Jurnal & Artikel
Bakar, Abu. “Pemikiran Tafsir Modern J.J.G Jansen Telaah Atas Karya J.J.G
Jansen The Interpretation of The Koran In Modern Egypt” dalam Al-Ihkam
vol. VI, 1 Juni 2011, h. 1-10
Fatah, Ahmad. Jurnal Penelitian: Mendambakan Paradigma Kesetaraan dalam
Pernikahan. Jawa tengah: 2014.Vol. 8, no 2. Halaman 344.
Hasana, Uswatun. “Model dan Karakteristik Penafsiran Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar” dalam Hermeneutik, vol. 9, no. 2,
Desember 2015, h. 313-334
Moqsith, Abdul, “Pandangan Ulama Konservatif dan Ulama Progresif tentang
Ayat Lā Ikrāh Fi al-Dīn” dalam Jurnal Studi Keislaman Islamica, vol. 1,
no. 8, September 2013, h. 219-240
Nirwana, Dzikri. “Peta Tafsir di Mesir Melacak Perkembangan Tafsir Al-Qur‟an
dari Abad Klasik Hingga Modern”, dalam Jurnal Falasifa, vol. 1, no. 1,
Maret 2010, h. 27-46
Nuryatno, Agus. “Examining Asghar Ali Engineer‟s Qur‟anic Interpretation of
Women In Islam” dalam Al-Jāmi`ah, vol. 45, no. 2, 2007, h. 389-413.
Purbasari, Dyah. “Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami
Istri Jawa” dalam Jurnal Penelitian Humaniora, vol. 16, no. 1, Februari
2015. Halaman 72-85
Sanaky, Hujair. “Metode Tafsir Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna
Atau Corak Mufassirin” dalam Al-Mawarid edisi XVIII, tahun 2008, h.
263-284.
Subhan, Zaitunah. “Gender dalam Tinjauan Tafsir”, Jurnal Ilmiah Kajian Gender,
h. 1-11.
Jurnal dan Artikel Online
Barlas, Asma. “The Qur‟an and Hermeneutics: Reading The Qur‟an‟s Opposition
To Patriarchy” dalam Journal of Qur’anic Studies, vol. 3, no. 2, 2001, h. 15-
38. http://www.jstor.org/stable/25728036
Madany, Malik. Tafsir Al-Manar (Antara al-Syaikh Muhammad „Abduh dan al-
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha), Perpustakaan Digital UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2008, h. 1-19. Http://digilib.uin-suka.ac.id/337/.
Mahmoud, Mohamed. “To Beat Or Not To Beat: On The Exegetical Dilemma
Over Qur‟an 4:34” dalam Journal of The American Oriental Society, vol.
126, no. 4, Oktober-Desember 2006. h. 537-550.
http://www.jstor.org/stable/20064542
83
Penelitian Tidak Diterbitkan
Anshori, Penafsiran Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Misbah. Disertasi Bidang
Ilmu Agama Islam, Konsentrasi Tafsir Hadis, Program PascaSarjana UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2006.
Bahri, Syamsul, Tasawuf Syaikh `Abd Al-Ra’uf Sinkel dan Paham Wujūdiyyah
Dalam Karyanya Kitab Tanbīh al-Māsyī, Tesis tidak diterbitkan, Program
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
Zuhdi, M. Nurdin, Tipologi Tafsir Al-Qur’an Mazhab Indonesia, Tesis tidak
diterbitkan, Program Pascasarjana Agama dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. 2011.
Publikasi Departemen
Departemen Agama RI. Etika Berkeluarga Bermasyarakat dan Berpolitik.
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran. Cetakan Pertama.
_______. Peningkatan Kesejathteraan Ibu dan Penggunaan Air Susu Ibu (ASI)
dalam Ajaran Islam. Jakarta: Depag RI. 1993/1994. Cetakan Pertama.
Kementerian Agama Rl. Tafsir Al-Quran Tematik; Peran Perempuan dalam
Keluarga. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Quran. 2009. Cetakan
Kedua.
_______. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‟an. 2012
Referensi Online
Http://citizen6.liputan6.com/read/2498306/istri-tolak-punya-anak-lagi-suami-
hajar-sampai-koma, diakses Kamis, 9 Juni 2016, 23.28 WIB
Http://news.liputan6.com/read/2147213/tak-diizinkan-beli-motor-suami-tega-
bakar-hidup-istrinya, diakses Jumat, 10 Juni 2016, 00.10 WIB
Http://regional.liputan6.com/read/2286410/tersinggung-ditegur-suami-bacok-
istri-hamil-2-bulan, diakses Kamis, 9 Juni 2016, 23.20 WIB
Http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/12/24/myb49q-kawin-
tidak-izin-istri-suami-dilaporkan-ke-polisi,
http://citizen6.liputan6.com/read/2313654/tak-angkat-telepon-suami-
hidung-istri-digigit-hingga-putus
91
Lampiran
1. Wawancara dengan prof. Zaitunah Subhan (Guru besar di UIN syarif Hidayatullah
JKT fakultas Syariah dan Hukum ) 2-8-15
Pengantar dari penulis: dalam skripsi ini penulis membahas tentang konsep Nusyūz yang
mana dalam pembahsan sebelumnya banyak yang sudah melakukan terkait konsep
nusyūz ini, namun dalam penelitian kali ini penulis melakukan pendekatan dengan
membandingkan tokoh-tokoh mufassir baik dari kalangan mufassir konservatif maupun
progresif, namun dibatasi hanya pada mufassir nusantara.
Keterangan:
A = Penulis
B = Tokoh
A: pandangan Ibu tentang konsep Nusyūz?
B: pertama ibu mau bicara masalah gender. Karna nusyūz merupakan sala-satu
permasalahn gender. Dimna nusyūz seringkali hanya dibebankan kepada perempuan
padahal pada hakikatnya laki-laki juga memiliki nusyūz. Oleh Karna itu harus disadari
bahwa adanya budaya patriarki dilingkungan masyarakat kita sudah cukup mendara
daging, sehingga perlu adanya kesadaran setiap orang terkait perannya sebagai makhluk
sosial yang sama satu sama lain, tanpa membedakan dia laki-laki atau perempuan.
sehingga diskriminasi tidak terjadi.
Nusyūz pada dasarnya adalah pembangkangan istri terhadap perintah suami. Contoh istri
disuruh sholat tidak mau, keluar rumah tanpa izin suami. Namun perlu di pahami bahwa
pembangkangan disini adalah pembangkangan yang masih dalam koridor agama, tidak
dibenarkan perintah yang di luar perintah agama.
A: berawal dari Mahar dan nafaqoh yang diterimah oleh istri sehingga menjadikannya
terikat oleh perintah suami, seperti yang Kiyai jelaskan sebelumnya, akan tetapi kondisi
tersebut
berubah, apakah konsep Nusyūz tadi bisa di pertimbangkan atau dihapuskan. Dan terjadi
tuntutan yang sama antara satu sama lain, contohnya ketika suami melarang istri keluar
tanpa izin suami maka istri juga menuntut hak yang sama, bagaimana tanggapan Kiyai?
92
B: sala-satunya tapi bukan faktor dominan.
A: bisa disimpulkan bahwa keterikatan istri dimulai dari mahar dan pemberian nafkah,
hanya itu ?
B: karna hari ini banyak laki-laki yang tidak memenuhi tugasnya memberi nafkah, justru
sebaliknya perepuan yang menjadi tulang punggung keluarga.
A: pada perinsipnya ada 3 tahap dalam penyelesaian Nusyūz tadi Kiyai juga sempat
menyinggung. Namun ada satu yang saya ingin perdalam dari Kiyai yaitu konsep
Pemukulan yang mana terindikasi pada kasus yang berujung pada KDRT, apakah
sebaiknya dilakukan reinterpretasi baru terhadap pemaknaan fadribuhunna ? gimana
tanggapan Kiyai ?
B: kata haraba dalam al-Quran , itu memiliki banyak makna. Seperti dalam ayat lain
wadharaba matsalan kalimatan thoyyibatan yang memiliki makna member contoh
dengan baik, ayat lain wayadribullahu amtsal yang artinya memberikan contoh, maka
dalam memaknai kata dalam al-Quran itu harus dengan melihat lain. Karna pada dasarnya
kata al-Quran tidak mono makna akan tetapi multi makna. Sama dengan dharaba kita
tidak bisa seenaknya memaknai dharaba itu hanya dengan memukul. Adapun tafsiran
untuk memukul. Misalnya dipukul dengan satu tangan, dipukul dengan tidak menyakiti.
Adapun dalam beberapa tafsir seperti Qurtubi suami dan istri diibaratkan seperti raja dan
rakyat. Posisi pimpinan dan bawahan, padahal secara logika pimpinan yang baik harus
memahami rakyatnya. Maka suami juga dituntut untuk memahami bagaimna watak
istrinya untuk menciptakan harmonisasi. Maka tidak akan terjadi pemukulan.
A: batasan dalam prilaku nusyūz ?
B: sebenarnya baik nusyūz laki-laki maupun perempuan tidak ada penjelasan batasan
dalam al-Quran. Ini dimulai dari melihat surah al-Nisa’ :34 (menafsirkan ) intinya
memaknai al-Quran tidak bisa hanya parsial tapi harus komperhensif. Untuk batasan
maka dilihat dari perspektif agama.
A: dari penelitian sementara penulis ada kesimpulan bahwa dikalangan ulama konservatif
ini masih mengamini penyelesaian nusyūz ini dengan menggunakan method lama yang
didalamnya masih ada pemukulan. Yang terkesan tidak ramah perempuan. apa yang
menyebabkan perbedaan penafsiran dikalangan ulama konservatif dan progresif ?
93
B: manyoritas pemahaman ulama terdahulu adalah dipengaruhi oleh ulama sebelumnya,
karna mereka beranggapan bahwa pendapat yang benar itu berumber dari nabi, sahabat
dan ulama.
A: pernikahan yang ideal menurut ibu?
B: saya menulis buku tentang kemitrasejajaran. Dimana disini saya menjelaskan bahwa
pernikahan yang ideal itu idealnya dibentuk adanya pemikiran yang saling menghormati
satu sama lain. Sehingga tidak ada justifikasi sepihak. Dan saling memehami satu sama
lain tanpa mempermasalahkan laki-laki atau perempuan.
2. Wawancara dengan prof. Musdah Mulia (ketua ICRP 2007) 12-01-16
Pengantar dari penulis: dalam skripsi ini penulis membahas tentang konsep Nusyūz yang
mana dalam pembahsan sebelumnya banyak yang sudah melakukan terkait konsep
nusyūz ini, namun dalam penelitian kali ini penulis melakukan pendekatan dengan
membandingkan tokoh-tokoh mufassir baik dari kalangan mufassir konservatif maupun
progresif, namun dibatasi hanya pada mufassir nusantara.
Keterangan:
A = Penulis
B = Tokoh
A: pandangan Bunda tentang konsep Nusyūz?
B: Nusyūz berarti pembangkangan atau ketidaktundukan. Dalam relasi suami isteri,
kebanyakan masyarakat memahami nusyūz sebagai ketidaktundukan isteri pada suami.
Hal ini dipertegas dengan aturan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadikan
nusyūz hanya dilekatkan kepada isteri yang melakukan pembangkangan terhadap suami.
Dampak dari pengertian ini, apabila isteri nusyūz maka gugurlah kewajiban suami, baik
lahir maupun batin (pasal 80 ayat (7) dan pasal 84 KHI). Padahal Al-Quran menyatakan
bahwa nusyūz bisa dilakukan oleh suami maupun isteri. (QS an-Nisa, 4: 34 dan
128).Secara harfiyah nusyūz adalah membangkang atau tidak tunduk pada Tuhan. Dalam
Islam, tidak ada ketundukan selain hanya pada Tuhan. Tapi sayangnya pemahaman di
masyarakat sudah salah. Nusyūz selalu dipahami sebagai pembangkangan isteri terhadap
suami. Lebih fatal lagi, istilah nusyūz sering dikaitkan dengan urusan seksual. Itu kan
sudah keliru banget. Semestinya nusyūz yang berasal dari akar kata al-nasyaz secara
94
lughawi adalah membangkang terhadap perintah Tuhan, jadi bukan terhadap suami. Di
antara perintah Tuhan adalah keharusan untuk tidak menyakiti hati sesama manusia,
apalagi menyakiti hati pasangan yang pada prinsipnya merupakan belahan jiwa kita.
Karena itu menyakiti hati isteri atau suami, baik melalui ucapan maupun perbuatan,
adalah nusyūz
A: pada perinsipnya ada 3 tahap dalam penyelesaian Nusyūz, pertama menasehati, pisah
ranjang dan terakhir pemukulan . komentar Bunda?
B: Apa yang dimunculkan dalam al-Quran adalah hasil rekaman yang bersifat khabariyah
dan bukan perintah. Itu merupakan rekaman sosiologis masyarakat Arab pada saat itu.
Pertanyaannya adalah apakah ayat-ayat yang sifatnya khabariyah seperti ini harus
diterapkan? Menurut saya tidak. Banyak ayat lain yang sifatnya khabariyah itu yang tidak
perlu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi menurut saya, ayat tersebut adalah
ayat khabariyah yang berarti bukan ayat perintah. Kedua, memang betul ada kalimat
perintah dalam ayat 34 an-Nisa: wadhribûhunna dari kata dharaba. Persoalannya,
mengapa kata itu diartikan “pukullah”, sementara dalam analisa semantik kata dharaba
tidak selamanya bermakna memukul. Kata itu memiliki banyak arti, antara lain:
“memberi contoh”, “mendidik”, bahkan juga dapat berarti “bersetubuh”. Pertanyaannya,
mengapa dipilih makna memukul, bukan makna yang lain? Artinya, terjemahan ayat itu
saja sudah mengandung bias kepentingan. Kepentingan siapa yang dibela di sana? Itu
yang harus kita pahami.
A : untuk makna fadribuhunna yang berarti pemukulan fisik ini Bunda sepakat ? jika
tidak ada alternative gak yang Bunda tawarkan ?
B: makna dharaba dalam al-Quran sangat banyak. Mulai dari teguran, berjalan dan
nasehat yang mendalam serta banyak lagi makna lainnya. Kenapa tidak kita menghindari
memukul yang nantinya akan menimbulkan masalah baru. Berilah nasehat yang
mendalam dengan jalan musyawarah.
A: dalam hubungan suami istri ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Contohnya
istri wajib melayani seksualitas suami, nah apakah suami juga memiliki kewajiban dalam
memenuhi hasrat seksualitas istri, karena pada dasarnya hubungan seksualitas itu hasrat
yang sifatnya manusiawi. Tanggapan Kiyai ?
95
B: pasti. Dalam hubungan suami istri harus ada kesalingan untuk pasangan suami istri.
Apa yang menjadi hak istri maka menjadi kewajiban suami, sebaliknya apa yang menjadi
hak suami maka menjadi kewajiban istri. Termasuk dalam hal memuaskan hasrat seksual.
A: dari penelitian sementara penulis ada kesimpulan bahwa dikalangan ulama konservatif
ini masih mengamini penyelesaian nusyūz ini dengan menggunakan method lama yang
didalamnya masih ada pemukulan. Yang terkesan tidak ramah perempuan. apa yang
menyebabkan perbedaan penafsiran dikalangan ulama konservatif dan progresif ?
B: Apa yang muncul dalam kitab-kitab fikih itu adalah upaya ijtihad secara optimal dari
para ulama di masa lampau dalam rangka merespon persoalan sosial yang mereka hadapi.
Tentu saja respon mereka dalam bentuk ijtihad itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-
historis dan sosio-politis pada masanya. Sekaligus juga merekam tatanan budaya pada
masa itu. Tentu saja kita sebagai generasi yang datang kemudian harus tetap respek pada
hasil ijtihad ulama terdahulu dalam bentuk pemikiran fikih tersebut. Namun, respek tidak
berarti kita harus menerima sepenuhnya, tanpa kritis sedikit pun. Buat saya, sejumlah
pandangan fikih, khususnya soal nusyūz dan relasi suami-isteri tidak relevan lagi untuk
diterapkan pada saat ini. Kita perlu ijtihad.
Satu hal yang ingin saya katakan ketika berbicara mengenai nusyūz, bahwa kita tidak bisa
memahami nusyūz dengan baik tanpa memahami terlebih dahulu hakikat perkawinan
dalam Islam. Kita harus memahami dengan baik hakikat perkawinan dalam Islam. Baru
setelah itu, kita masuk pada persoalan assesoris, seperti nusyūz ini.
A: pernikahan yang ideal itu seperti apa ?
B: Buat saya begini, setiap muslim harus memahami ajaran Islam dengan baik. Setiap
muslim harus memahami terlebih dahulu tujuan beragama itu apa? Bahwa agama datang
untuk memanusiakan manusia. Artinya, dengan menaati ajaran agama, menjadikan
manusia lebih jinak—dalam makna beradab—, tidak liar dan biadab. Yang tadinya mata
kita liar, pikiran kita liar, syahwat kita liar, lalu dengan taat beragama kita menjadi lebih
beradab. Indikasinya, mata, pikiran dan syahwat kita lebih terkendali. Itulah inti dari
hadis Nabi yang berbunyi: al-Muslimu man salima almuslimîna min lisânihi wa yadihi.
Artinya: Muslim sejati adalah seseorang yang dapat melindungi orang lain dari kejahatan
ucapan dan perilakunya. Sungguh indah ajaran Islam.
96
3. Wawancara bersama Kh. Husein (kominisioner Komnas Perempuan, Pengasuh
Pondok Pesantren Daruttauhid Cirebon)20-7-16
Pengantar penulis
Penelitian ini adalah kajian nusyūz dalam perspektif ulama nusantara baik dari kalangan
Konservatif maupun progresif.
Penulis : pandangan Kiyai terhadap konsep Nusyūz?
Narasumber : nusyūz itu secara leterlet adalah penolakan atau pembangkangan,
durhaka, pelanggaran, atas komitmen atau perjanjian, baik dari laki-laki ataupun
perempuan. adapun bentuk dari nusyūz laki-laki atau perempuan itu berbeda. Umumnya
kita mengenal nusyūz itu hanya ada pada perempuan. orang lebih hapal dengan nusyūz
perempuan. ayatnya jelas yaitu ayat yang ada kaitannya dengan kepemimpinan
perempuan. nusyūz perempuan adalah penolakan istri terhadap suami, yang sebetulnya
hanya terkait pada hubungan seks. Dengan alasan ketika suami mengajak istri
berhubungan seks kemudian istri menolak, maka itu disebut seks. Tetepi konsep nusyūz
ini kemudian dikembangkan bukan hanya berkaitan dengan hubungan seks akan tetapi
banyak hal lain seperti keluar rumah harus dengan izin suami jika tidak mereka akan
terkena nusyūz. Ini persoalannya karena adanya konsep bahwa istri adalah milik suami
dan untuk kesenangan suami. Dia harus ada setiap saat dirumahnya, maka apapun yang
akan dikerjakan perempuan termasuk keluar rumah harus mendaptkan izizn suaminya.
Sebab jika tidak aktivitas seks suami bisa saja terhambat dan akan terjadi nusyūz pada
perempuan.
Penulis : apakah konsep nusyūz hanya terbatas pada hubungan seksual saja ?
Narasumber : pada dasarnya memang terbatas sampai disitu, namun para ulama
mengembangkannya, dimana apapun bentuk pelanggaran atau penolakan yang dilakukan
oleh istri dikategorikan nusyūz. Bahkan sampai bermuka masam pun disebut sebagai
nusyūz. Jadi pada dasarnya hanya ada satu tolak ukur nusyūz yaitu penolakan seks.
Begitupulah di al-Quran mengenai nusyūz inipun adalah potongan dari ayat panjang.
(arrijalu ila akhiri beserta terjemahannya ) yang harus dibaca secara komplit. Dan
kemudian di perjelas oleh hadis nabi bahwa nusyūz adalah penolakan istri terhadap
ajakan suami untuk melakukan hubungan seks. Apabila suami melihat hal itu terjadi
maka suami menasehati, pisah ranjang dan terakhir memukul. Pukullah pun dijelaskan
97
bahwa pukul jangan wajah, jangan yang melukai, jgan dengan bahan yang keras,
walaupun banyak pendapat oleh para ulama.
Penulis : dalam tradisi pernikahan kita ada tradisi pemberian mahar dan nafaqoh
oleh suami kepada istri. Apakah menurut kiyai hal ini menjadi sala-satu faktor dominasi
laki-laki atas perempuan?
Narasumber : faktor yang paling mendasar adalah faktor yang menempatkan laki-laki
sebagai pemimpin, selanjutnya laki-laki difungsingkan sebagai orang yang akan
memenuhi nafkah dan mendikotomi ruang publik, dan perempuan adalah pemegang
domestik. Dan ini harus di lihat dari sejarah panjang bahwa perempuan adalah objek.
Objek seksualitas, objek kemarahan lelaki, maka perempuan memeng di benturkan oleh
kondisi sosial yang mana perempuan adalah objek seks yang menjadikan mereka tidak
bisa manusia merdeka seutuhnya. Maka akan muncul konsekuensi ketika suami wajib
mencari nafkah seutuhnya maka istri berkewajiban memberikan tubuhnya. Apabilah
suami tidak member nafkah, maka suami nusyūz dan apabila istri tidak memberikan
tubuhnya maka istri nusyūz. Maka disini terjadi pembagian peran. Maka pada dasarnya
ketika konsep dasar di terapkan maka posisi perempuan hanya berada di rumah sebagai
pelayan seks suaminya dan suami berkewajiban memenuhu sandang, pangan, dan papan
untuk istrinya. Maka nusyūz disini adalah pelanggaran atau pengabaian atas hak. Dalam
buku saya dijelaskan bahwa kuat mana antra seks dan uang ? karna bisa jadi suami akan
tunduk pada perempuan dikarenakan perempuan adalah pemilik seks atau sebaliknya,
uang yang mendominasi.
Penulis : bagaimna kiyai membaca kondisi sosial hari ini yang mana peranan laki-
laki dan perempuan sudah seimbang bahkan perempuan bisa lebih dominanan
perempuan?
Narasumber : ya tentu tidak bisa. Al inilah yang mendasari pemikiran saya bahwa
keadaan telah berubah, dimana perempuan sudah berpartisipasi aktif, perempuan sudah
bekerja, perempuan sudah menghasilkan ekonomi, sedangkan tekadang laki-laki tidak
mampu menghasilkan nafkah, bodoh, miskin, maka hal tidak adil jika masih menerapkan
konsep lama, harus ada pembaharuan pemikiran dimana hal ini harus diberikan titik
tengah. Maka untuk melihat kasus kasus hari ini harus di mulai dari membicarakan
konsep dasar atau filosofinya, apakah hal itu masih relevan hingga hari ini, dan kmudian
memunculkan pandangan yang relevan hingga hari ini. Maka dari itu keadilan harus
ditegakkan karna itu merupakan prinsip. Siapa yang menghasilkan maka dialah yang
98
mempin atau siapa yang pintar maka dia yang memimpin. Dan kemudian hal itu harus
dikomunikasikan sebaik mungkin terhadap pasangan. Diperbolehkan untuk melakukan
negoisasi. Namun hal ini tidak gampang untuk diterapkan di dalam lingkungan sosial
dengan kondisi budaya patriarkhi yang sudah mendara daging, dibutuhkan komunikasi
yang baik antara satu sama lain.
Penulis : dalam penyelesaian nusyūz dijelaskan ada tiga tahap dalam penyelesaian
nusyūz nasehat, pisah ranjang dan pukul. Pandangan Kiyai terhadap pembolehan
memukul ada tidak alternative lain?
Narasumber : harus dipahami bahwa tradisi Arabia sebelum ayat ini turun memiliki
tradisi yang apabila istri melanggar suami maka boleh dipukul, al-Quran turun untuk
menghentikan tradisi tersebut. Berbagai solusi ditawakan oleh al-Quran dengan langka-
langka yang terdiri dari nasehat, jika belum terjadi perubahan maka jangan diajak tidur
dulu, maka yang terakhir adalah pukullah, ini menandakan adanya dekonstruksi Arabia
dimana memukul adalah alternative yang terakhir. Dan kalaupun memukul maka diberi
catatan. Selain itu harus dilihat dari filosofi memukul yang dimaksud. Contohnya catatan
boleh memukul tidak boleh melukai, tidak boleh dengan alat yang berat, dan lain-lain.
Artinya pada dasarnya al-Quran tidak menghendaki adanya pemukulan, hanya saja di kias
dengan kata-kata lain. Karena pada dasarnya menghilangkan hukumnya secara langsung
tidak bisa dikarenakan tradisi arab pada zaman itu masih kental. Nabi pun menjelaskan
jangan pukul. Hal ini ada kaitannya dengan metodologi, dengan melihat perbandingan al-
Quran membolehkan sedangkan nabi melarang. Hadis nabi mengatakan (la tadribu
imaAllah) janganlah kamu memukul hamba-hamba Allah yang perempuan, dan sebaik-
sebaik laki-laki adalah yang tidak memukul istrinya. Lalu apa maksud dengan bolehya
memukul. Memukul disini dimaksudkan dengan mendidik, dan pertanyaannya apakah
memukul hari ini masih efektif ? kan tidak. Maka dari itu mendidik perempuan hari ini
tidak lagi dengan memukul. Maka alternative yang saya tawarkan jika terjadi nusyūz
yang berkelanjutan adalah pengadilan.
Penulis : kira-kira apa yang mempengaruhi penafsiran para ulama yang terkesan
tidak ramah perempan ?
Narasumber : pertama metodologi lama yang cenderung memaknai al-Quran secara
tekstual, ditambah mayoritas ulama sebelumnya mengatakan demikian, sehingga mereka
ikut dan mengadopsi pemahaman ulama sebelumnya.
99
Rekomendasi buku
-fikih perempuan
-islam ramah perempuan
- Ijtihad kiyai Husain
- perempuan islam dan negara
Penulis : konsep pernikahan ideal menurut Kiyai ?
Narasumber : kesalingan membagi cinta, kesalingan membantu, kesalingan
menghormati, tidak boleh ada dominasi, segala sesuatunya harus dimusyawarahkan,
termasuk kepemimpinan dalam rumah tangga, sesuai dengan ayat al-Quran yang
harusnya diterjemahkan secara baik. *wajaalna baina kuma mawaddah adanya
kesalingan. Selain itu ada ayat lain *wattaqullah tasaalna bihi walarham
Recommended