View
120
Download
4
Category
Preview:
DESCRIPTION
teori belajar bahasa indonesia
Citation preview
Pemerolehan Bahasa Kedua
PENDAHULUAN
Semua manusia termasuk mereka yang hidup didalam hutan rimba dan pulau-pulau terpencil
menggunakan bahasa untuk saling berkomunikasi. Apapun yang dilakukan oleh manusia ketika
berinteraksi dengan sesamanya, entah itu ketika bermain, berkelahi, bercinta atau melakukan transaksi jual
beli, mereka berbicara dengan tatap muka, terkadang juga kita berbicara melalui telepon. Terkadang kita
bicara dengan menggunakan kata-kata lisan, terkadang cukup dengan menggunakan fasilitas sms di
handpone kita. Singkat kata dalam kehidupan kita hampir tidak ada waktu berlalu tanpa kita berbicara,
bahkan dalam tidur pun terkadang kita masih berbicara. Sebagian dari kita malah berbicara kepada hewan
peliharaan, sebagian lagi malah senang berbicara sendiri. Kajian dan Fenomena Bahasa Kedua ini pertama
kali dilakukan oleh Thomas Mowbray setelah Raja Richard memindahkan dia dari Inggris ke Perancis.
Dalam perkataan Thomas Mowbray kita dapatkan kekhawatiran umum bagi yang harus meninggalkan
bahasa aslinya dan kebudayaan asli guna menyesuaikan ke dalam sekelilingnya dan menguasai bahasa
yang baru. Sebab periode itu Mowbray merasa tidak mampu untuk mengekspresikan dirinya dalam bahasa
baru seperti bahasa aslinya sendiri. Problem Mowbray ini bersifat umum. Mempelajari bahasa kedua
terjadi di seluruh dunia karena berbagai sebab seperti imigrasi, kebutuhan perdagangan dan ilmu
pengetahuan serta pendidikan. Belajar bahasa lain mungkin menjadi penting dalam aktivitas intelektual
manusia setelah menguasai bahasa ibu. Oleh karena itu tidaklah heran bahwa riset di bidang ini menjadi
sangat menarik dalam ilmu pengetahuan kognitif. Sebab begitu kompleksnya dalam penguasaan bahasa
kedua[1].
Sejak zaman dahulu, Negara inggris dikenal sebagai kerajaan dengan kesenian yang memiliki kebudayaan
dan kesenian yang menarik serta cara dan perilaku yang sopan dalam kehidupan sehari-harinya pada abad
ke XVI-XIX, pelatihan untuk berbagai tatacara serta etika hanya bisa didapatkan oleh kalangan tertentu
saja, teutama dikalangan para bangsawan inggris, sehingga terbentuk kesenjangan social yang sangat
mencolok antar kalangan atas dan kalangan menengah bawah. Pada abad ke XX barulah pelatihan etika
tersebut mulai oleh berbagai kalangan masyarakat inggris termasuk berbagai masyarakat yang berasal dai
kalangan menengah ke bawah[2].. Jika dilihat dari segi tatacara dan etika dalam kehidupan sehari-hari,
Negara kerajaan Inggris merupakan salah satu negara benua eropa yang diakui secara internasional
memiliki etika yang dianggap sebagai sifat sopan. Oleh karena itu banyak usaha dilakukan oleh berbagai
kalngan masyarakat dari berbagai Negara untuk mempelajari kebudayaan dan etika dari masyarakat
Negara kerajaan Inggris. Dalam hal ini, baik Inggris maupun Indonesia telah bertindak secara suka-suka
didalam membuat kesepakatan umum mengenai kata-kata penyebutan benda-benda hasil kebudayaan yaitu
table (meja) dan chair (kursi) didalam bahasanya masing-digunakan oleh manusia adalah faktor cuaca dan
budaya. Penggunaan bahasa dikalangan umat manusia merupakan suatu fenomena yang bersifat universal
dan jumlah bahasa yang digunakan sangat banyak, yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Perbedaan diantara bahasa-bahasa yang digunakan ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya karena
bahasa itu merupakan suatu convention (kesepakatan umum) yang bersifat arbitrary (suka-suka). Setiap
orang biasanya hanya mampu berbicara dengan menggunakan satu bahasa saja yaitu, bahasa yang ia
peroleh secara otomatis dan wajar karena biasa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh orang-
orang yang berada diluar lingkungan kelompok masyarakatnya. Ia tidak memahami bahasa-bahasa yang
digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang yang berada diluar lingkungan kelompok
masyarakatnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh seseorang didalam
lingkungan kelompok masyarakatnya, yang dia peroleh secara alamiah dan wajar sejak lahir disebut bahsa
ibu atau bahasa pertamaorang tersebut, sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkominikasi oleh
orang-orang di luar lingkungan kelompok masyarakatnya dinamakan bahasa asing yang apabila dipelajari
oleh orang tersebut akan menjadi bahasa keduanya. Istilah bahasa kedua atau second language digunakan
untuk menggambarkan bahasa-bahasa apa saja yang pemerolehannya/penguasaannya dimulai setelah masa
anak-anak awal (early childhood), termasuk bahsa ketiga atau bahasa-bahasa lain yang dipelajari
kemudian. Melihat keadaan dunia sekarang yang semakin go internasional dimana teknologi mengalami
perkembangan yang cukup pesat, sehingga banyak teknologi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.
Hal ini menyebabkan terjadinya interaksi antara Negara yang satu dan Negara lainnya semakin bebas dan
terbuka, maka akan lebih baik jika masyarakat mempelajari suatu hal yang bersifat diakui secara
internasional seperti halnya bahasa inggris yang digunakan dan dipelajari di setiap Negara yang bahasa
internasional, maka akan bermanfaat juga bagi masyarakat jika mempelajari kebudayaan serta etika yang
juga diakui secara internasional sebagai kepribadian yang sopan.
PEMBAHASAN
Pengertian Pemerolehan Bahasa Kedua
Sebelum membahas pengertian pemerolehan bahasa kedua, pertama-tama yang harus diketahui adalah
istilah pemerolehan. Menurut Dardjowidjojo[3] dalam bukunya “Psikolinguistik”, istilah pemerolehan
dipakai untuk menerjemahkan bahasa Inggris acquisition, yang diartikan sebagai proses penguasaan
bahasa secara alami dari seorang anak saat ia belajar bahasa ibunya (native language). Istilah ini berbeda
dari istilah pembelajaran yang dalam bahasa Inggris adalah learning. Dalam pengertian pembelajaran,
proses itu berada dalam suasana yang formal, belajar di kelas serta ada seorang guru yang mengajar.
Sehingga dapat dikatakan bahwa proses seorang anak belajar menguasai bahasa ibunya adalah
pemerolehan, sedangkan proses orang dewasa yang belajar di kelas adalah pembelajaran.
Menurut Wikipedia[4], pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang belajar bahasa kedua
disamping bahasa ibu mereka. Pemerolehan bahasa kedua merujuk kepada apa yang siswa lakukan dan
tidak merujuk kepada apa yang guru lakukan. Penelitian pemerolehan bahasa kedua mempelajari psikologi
dan sosiologi dari proses pembelajaran. Terkadang istilah “pemerolehan” dan “pembelajaran” tidak
diperlakukan sebagai sinonim tapi justru mengacu pada aspek sadar dan bawah sadar dari masing-masing
proses. Bahasa kedua atau B2 biasanya mengacu pada semua bahasa yang dipelajari setelah bahasa ibu
mereka, yang juga disebut bahasa pertama, B1.
Di Indonesia, bahasa pertama dari seorang anak yang tinggal di Jawa Tengah, bisa jadi bahasa daerahnya,
yaitu bahasa Jawa. Dalam bukunya “Sosiolinguistik”, Chaer dan Agustina[5] menulis bahwa pada
umumnya, bahasa pertama seorang anak Indonesia adalah bahasa daerahnya masing-masing karena bahasa
Indonesia baru dipelajari ketika anak masuk sekolah dan ketika ia sudah menguasai bahasa ibunya.
Menurut sebuah blog di dalam sebuah situs[6], elemen-elemen dari sebuah bahasa yang baru, seperti
perbendaharaan kata, komponen fonologi dan struktur tata bahasa dikembangkan serupa dengan tahap
pembelajaran yang bayi tempuh ketika memperoleh bahasa pertama: babbling (bababa), perbendaharaan
kata (milk lalu kemudian milk drink), penolakan (no play) dan membentuk pertanyaan ( where she go).
Pada usia 6 sampai 7 tahun ke atas, anak mulai membagi kedua bahasa tersebut. Dibandingkan dengan
pemerolehan bahasa pertama, proses pemerolehan bahasa kedua tidak linear, tapi lebih seperti jalan yang
zigzag. Menurut Krashen seperti yang dikutip oleh blog tersebut, untuk anak-anak ini, bahasa kedua adalah
hal yang dipelajari daripada diperoleh. Dalam beberapa kasus, bahasa kedua diajarkan lewat instruksi
formal dan dipelajari lewat proses sadar yang berakhir dengan “mengetahui tentang bahasa”. Di samping
itu, gangguan dari bahasa ibu seperti: fonologi, morfologi dan sintaks memengaruhi bahasa kedua mereka
dan menciptakan kesulitan. Mereka mungkin saja kesulitan mengenali beberapa suara dari bahasa baru
atau kesulitan menggerakkan mulut dan lidah mereka dalam cara yang tidak biasa (sehingga
mengakibatkan aksen yang berbeda). Lebih lanjut, kesadaran diri dan motivasi pelajar ketika mencoba
bahasa baru mungkin juga menjadi masalah dalam proses pemerolehan. Karena itu, untuk mencapai
pemerolehan, anak harus terus menerus mendapat penerapan bahasa kedua yang benar dalam banyak
konteks linguistik yang berguna bagi mereka.
Karakteristik Perkembangan Bahasa Anak Usia 0-6 tahun
Age Language Developments
Birth to 1 month Infant communicates by crying and recognizes sounds heard in
womb
1-6 months Infant coosv Infant recognizes familiar words
6-12 months Infant recognizes sounds in native languagev Infant babbles,
then imitates language sounds. Infant may say first words
12-18 months Toddler overextends word meanings
18-30 months Naming explosion takes placev First sentences are often
telegraphicv Child begins to engage in conversationsChild
overregularizes language rules
30-36 months Child learns new words almost dailyv Child combines three or
more words, and can say up to 1,000 wordsv Child uses past
tense
3-4 years Vocabulary, grammar and syntax are improving and more
complexv Emergent literacy skills are developingv Private
speech increases
5-6 years Speech is almost adultlike, and spoken vocabulary is about
2,600 wordsv Child understands about 20,000 wordsv Child
can retell plots
Karakteristik ini diambil dari Human Development[7].
Universal bahasa: nature dan nurture
Dalam perbincangan mengenai proses pemerolehan bahasa terdapat perdebatan sengit di kalangan ahli
bahasa mengenai sifat pemerolehan bahasa yaitu mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dan
yang kedua adalah pemerolehan bahasa yang bersifat nature. Menurut para ahli bahasa, pemerolehan
bahasa yang bersifat nurture berarti bahwa pemerolehan bahasa seseorang itu ditentukan oleh lingkungan
sekitar dimana ia berada, sedangkan pemerolehan bahasa yang bersifat nature berarti bahwa pemerolehan
bahasa itu pada dasarnya merupakan suatu bekal yang telah dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan ke
dunia. Para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nurture pada umumnya adalah para ahli bahasa
dari aliran behaviorisme sedangkan para pendukung pemerolehan bahasa yang bersifat nature umumnya
adalah mereka yang berasal dari aliran nativisme. Oleh karena itulah, pembahasan mengenai nurture dan
nature ini tidak terlepas dari kedua aliran tersebut. Kedua sifat pemerolehan bahasa tersebut diatas
merupakan topik yang cukup menarik bagi penulis untuk dibahas disini karena menurut beberapa pihak
masalah nature dan nurture ini masih merupakan suatu kontroversi yang belum ditemukan jalan keluarnya
sedangkan menurut pihak lain, keduanya telah menjadi sesuatu yang sesungguhnya sama-sama diperlukan
dalam pemerolehan bahasa. Pada bagian pembahasan dari tulisan ini akan dibagi ke dalam tiga bagian
utama, yang pertama adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut
pandang para ahli yang mendukungnya, bagian kedua adalah pembahasan mengenai pemerolehan bahasa
yang bersifat nature dari sudut pandang para ahli yang mendukungnya, dan bagian yang ketiga adalah
contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata sama-sama diperlukan dalam
proses pemerolehan bahasa seseorang.
Nurture
Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nurture dari sudut pandang beberapa ahli
yaitu Ivan Pavlov, John B. Watson dan B.F. Skinner. Pada intinya yang dimaksud dengan proses
pemerolehan bahasa yang bersifat nurture adalah bahwa proses pemerolehan bahasa seseorang itu
merupakan suatu kebiasaan yang dapat diperoleh melalui proses pengkondisian (Brown, 2000:34). Anak-
anak memberikan respon kebahasaan melalui pemberian stimuli yang terus diperkuat dan mereka belajar
memahami ujaran dengan cara memberikan respon terhadap ujaran tersebut dan dengan cara mendapat
penguatan atas respon yang diberikannya. Hal ini sejalan dengan pandangan para ahli behaviorisme yang
sangat meyakini bahwa anak-anak hadir di dunia disertai dengan sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis yang
bersih tanpa ada pemahaman sebelumnya atas dunia maupun atas bahasa, dan bahwa anak-anak tersebut
kemudian dibentuk oleh lingkungan mereka dan perlahan-lahan terkondisikan melalui beragam jadwal
penguatan (Brown, 2000:22).
Ivan Pavlov
Ivan Pavlov adalah seorang ahli psikologi dari Rusia yang melaksanakan serangkaian eksperimen yang
kemudian terkenal dengan sebutan classical conditioning. Dalam eksperimennya tersebut Pavlov
menggunakan anjing sebagai subyek. Pavlov kemudian memeroleh kesimpulan bahwa stimuli netral awal
yang berupa suara dari garpu yang dibunyikan menghasilkan kekuatan yang mendatangkan respon yang
berupa pengeluaran air liur anjing yang pada mulanya dihasilkan dari stimuli lain yaitu penglihatan atau
bau makanan anjing. Dengan demikian maka Pavlov telah membuktikan bahwa proses belajar itu terdiri
dari pembentukan beragam asosiasi antara stimuli dan respon refleksif (Brown, 2000:80).
John B. Watson
John B. Watson adalah seorang psikolog yang menemukan istilah behaviorisme dan sekaligus menemukan
suatu aliran ilmu psikologi baru yang menyatakan bahwa para psikolog seharusnya hanya terfokus pada
perilaku yang dapat diamati secara langsung. Lebih jauh, menurut Watson, pada dasarnya pernyataan-
pernyataan ilmiah dapat selalu diverifikasi (atau dibantah) oleh siapapun yang mampu dan bersedia untuk
melakukan observasi yang diperlukan. Namun kemampuan ini tergantung pada kegiatan untuk memelajari
hal-hal yang dapat diamati secara obyektif. Menurutnya proses kejiwaan bukan merupakan sebuah subyek
yang tepat bagi studi ilmiah karena proses kejiwaan merupakan peristiwa pribadi yang tidak ada
seorangpun yang dapat melihat atau menyentuhnya. Sedangkan perilaku merupakan respon atau aktifitas
yang jelas atau dapat diamati oleh sebuah organisme. Maka Watson menegaskan bahwa para psikolog
dapat memelajari apapun yang dilakukan atau dikatakan orang –berbelanja, bermain catur, makan, memuji
seorang teman- namun mereka tidak dapat memelajari secara ilmiah pikiran, harapan, dan perasaan yang
mungkin menyertai perilaku tersebut.
Berangkat dari pandangan barunya terhadap psikologi tersebut dan dengan berpegangan pada temuan
Pavlov yaitu dengan menggunakan teori classical conditioning maka Watson menyatakan bahwa
penjelasan atas segala bentuk pembelajaran adalah dengan melalui proses pengkondisian maka manusia
membentuk sejumlah hubungan stimuli-respon, dan perilaku manusia yang lebih kompleks dipelajari
melalui cara membangun serangkaian atau rantai-rantai respon (Brown, 2000:80).
Dengan demikian Watson mengambil posisi yang ekstrim terhadap salah satu pertanyaan psikologi yang
tertua dan paling mendasar yaitu masalah mengenai nature dan nurture. Watson menyatakan bahwa setiap
orang itu dibentuk menjadi apa adanya mereka kemudian dan bukan dilahirkan. Ia mengabaikan
pentingnya keturunan, dengan menyatakan bahwa perilaku ditentukan sepenuhnya oleh lingkungan.
Namun pandangan Watson tersebut tidak pernah mendapat kesempatan untuk diuji lebih lanjut. Meskipun
demikian tulisan-tulisannya memberikan sumbangan yang cukup besar bagi elemen lingkungan yang
seringkali dihubungkan dengan behaviorisme.
B.F. Skinner
Seorang ahli bahasa lain yang juga berkecimpung dalam teori behaviorisme dan mengikuti jejak dan tradisi
Watson adalah B.F. Skinner, seorang psikolog Amerika yang hidup pada tahun 1904 sampai dengan 1990.
Setelah memperoleh gelar doktor pada tahun 1931, Skinner menghabiskan sebagian besar karirnya di
Universitas Harvard tempat ia memeroleh kemasyuran atas penelitiannya terhadap pembelajaran pada
organisme rendah, sebagian besar pada tikus dan burung dara. Pada tahun 1950-an ia memperjuangkan
kembalinya pendekatan stimulus-respon milik Watson. Ia memiliki teori klasik yaitu Verbal Behavior
yang merupakan usaha lanjutan dari teori umum pembelajaran Skinner sendiri yang disebut dengan
pengkondisian operan (operant conditioning). Skinner melakukan eksperimen terhadap tikus dimana ia
melatih tikus untuk mendapatkan makanan dengan menekan pedal tertentu. Setelah tikus tersebut
mendapatkan pengetahuan bahwa jika ia ingin makan maka ia harus menekan pedal, kemudian proses
untuk memeroleh makanan dipersulit dengan menyalakan lampu dimana sebelum mendapatkan makanan
ia harus menekan pedal ketika lampu berkedi-kedip. Proses berikutnya adalah penekanan pedal sebanyak
dua kali ketika lampu berkedip-kedip yang juga dapat dipahami oleh tikus tadi (Dardjowidjojo, 2003:235).
Maka apa yang dimaksud dengan pengkondisian operan oleh Skinner adalah pengkondisian dimana
organisme (manusia) menghasilkan suatu respon, atau operan (sebuah kalimat atau ujaran atau aktifitas-
aktifitas yang beroperasi atas dasar lingkungan), tanpa adanya stimuli yang dapat diamati; operan tersebut
dijaga (dipelajari) melalui penguatan (reinforcement) (Brown, 2000:22-23). Teori Skinner ini
menerangkan bagaimana berbagai kecenderungan respon dicapai melalui pembelajaran. Jika respon diikuti
oleh konsekuensi yang menguntungkan atau disebut juga penguatan, maka respon tersebut menguat dan
jika respon menghasilkan konsekuensi negatif atau hukuman), maka respon tersebut akan melemah.
Melalui eksperimennya tersebut, Skinner menemukan bahwa pemerolehan pengetahuan, termasuk
pengetahuan mengenai bahasa merupakan kebiasaaan semata atau hal yang harus dibiasakan terhadap
subyek tertentu yang dilakukan secara terus-menerus dan bertubi-tubi (Dardjowidjojo, 2003:235).
Dalam bukunya Diluar Kebebasan dan Martabat (Beyond Freedom and Dignity) yang diterbitkan tahun
1971 Skinner menyatakan bahwa semua perilaku sepenuhnya diatur oleh rangsangan eksternal. Dengan
kata lain, perilaku manusia ditentukan oleh cara-cara yang dapat diprediksi oleh prinsip-prinsip hukum,
seperti halnya terbangnya anak panah yang diatur oleh hukum-hukum fisika. Maka, jika seseorang
meyakini bahwa tindakan-tindakannya merupakan hasil-hasil dari keputusan-keputusan secara sadar, maka
ia keliru. Menurut Skinner, semua manusia dikendalikan oleh lingkungannya, bukan oleh dirinya sendiri.
Selanjutnya, dengan mengikuti tradisi Watson, Skinner menunjukkan minat yang kecil terhadap apa yang
terjadi “di dalam” diri manusia. Ia menyatakan bahwa adalah sia-sia untuk berspekulasi terhadap proses-
proses kognitif pribadi yang tidak dapat diobservasi. Melainkan, ia memfokuskan pada bagaimana
lingkungan eksternal membentuk perilaku yang jelas. Ia menyatakan adanya determinisme, yang menilai
bahwa perilaku sepenuhnya ditentukan oleh stimuli lingkungan. Menurut pandangannya, orang cenderung
menunjukkan beberapa pola perilaku karena mereka memiliki kecenderungan-kecenderungan respon
(response tendencies) yang stabil yang mereka capai melalui pengalaman. Kecenderungan-kecenderungan
respon tersebut dapat berubah di masa mendatang, sebagai hasil dari pengalaman baru, namun mampu
terus bertahan untuk menciptakan tingkat konsistensi tertentu dalam perilaku seseorang.
Lebih lanjut, Skinner memandang pribadi seorang individu sebagai sebuah kumpulan kecenderungan-
kecenderungan respon yang terikat pada berbagai situasi stimuli. Sebuah situasi tertentu dapat
dihubungkan dengan sejumlah kecenderungan respon yang bervariasi dalam kekuatan tergantung pada
pengkondisian di masa lalu. Karena kecenderungan-kecenderungan respon secara konstan diperkuat atau
diperlemah oleh pengalaman-pengalaman baru, teori Skinner memandang perkembangan kepribadian
sebagai sebuah perjalanan yang berkelanjutan seumur hidup. Skinner tidak melihat alasan untuk membagi
proses perkembangan ke dalam beberapa tahap. Ia juga tidak memberikan importansi khusus pada
pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak.
Dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa, Skinner adalah seseorang yang mendukung nurture,
karena baginya, setiap ujaran yang diucapkan manusia sesungguhnya mengikuti satu bentuk yang bersifat
baik verbal maupun nonverbal dan perilaku bahasa semacam ini hanya dapat dipelajari manusia dari
lingkungan atau faktor-faktor eksternal yang ada di sekitarnya (Pateda, 1991:99). Dengan demikian ia
mempertegas dan memperjelas pandangan bahwa stimuli adalah hal yang terpenting dalam proses
pemerolehan bahasa karena pada dasarnya stimuli yang memengaruhi respon.
Dalam hubungannya dengan aliran behaviorisme sendiri, menurut Lyons (1977:122) terdapat prinsip atau
kecenderungan khusus yang menyatakan bahwa aliran ini cenderung memperkecil peran insting dan
dorongan-dorongan yang dibawa sejak lahir dan penekanan atas peran yang dimainkan oleh pembelajaran
dimana hewan dan manusia memperoleh pola-pola perilaku mereka; menekankan pada pemupukan
(nurture) dan bukan pada sifat alami (nature), lebih menekankan pada lingkungan ketimbang pada faktor
keturunan.
Selanjutnya Bell (1981:24) mengungkapkan pandangan aliran behaviorisme yang dianggap sebagai
jawaban atas pertanyaan bagaimanakah sesungguhnya manusia memelajari bahasa, yaitu:
1. Dalam upaya menemukan penjelasan atas proses pembelajaran manusia, hendaknya para ahli psikologi
memiliki pandangan bahwa hal-hal yang dapat diamati saja yang akan dijelaskan, sedangkan hal-hal yang
tidak dapat diamati hendaknya tidak diberikan penjelasan maupun membentuk bagian dari penjelasan.
2. Pembelajaran itu terdiri dari pemerolehan kebiasaan, yang diawali dengan peniruan.
3. Respon yang dianggap baik menghasilkan imbalan yang baik pula.
4. Kebiasaan diperkuat dengan cara mengulang-ulang stimuli dengan begitu sering sehingga respon yang
diberikan pun menjadi sesuatu yang bersifat otomatis.
Nature
Bagian ini membahas proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature dari sudut pandang beberapa ahli,
yaitu Noam Chomsky, Derek Bickerton dan David McNeill. Pada dasarnya yang dimaksud dengan proses
pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah bahwa proses pemerolehan bahasa ditentukan oleh
pengetahuan yang dibawa sejak lahir dan bahwa properti bawaan tersebut bersifat universal karena dialami
atau dimiliki oleh semua manusia (Brown, 2000:34).
Noam Chomsky
Sebagai wujud dari reaksi keras atas behaviorisme pada akhir era 1950-an, Chomsky yang merupakan
seorang nativis menyerang teori Skinner yang menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu bersifat nurture
atau dipengaruhi oleh lingkungan. Chomsky berpendapat bahwa pemerolehan bahasa itu berdasarkan pada
nature karena menurutnya ketika anak dilahirkan ia telah dengan dibekali dengan sebuah alat tertentu yang
membuatnya mampu memelajari suatu bahasa. Alat tersebut disebut dengan Piranti Pemerolehan Bahasa
(language acquisition device/LAD) yang bersifat universal yang dibuktikan oleh adanya kesamaan pada
anak-anak dalam proses pemerolehan bahasa mereka (Dardjowidjojo, 2003:235-236).
Skinner dipandang terlalu menyederhanakan masalah ketika ia menyama-ratakan proses pemerolehan
pengetahuan manusia dengan proses pemerolehan pengetahuan binatang, yaitu tikus dan burung dara yang
digunakan sebagai subyek dalam eksperimennya, karena menurut pendekatan nativis, bahasa bagi manusia
merupakan fenomena sosial dan bukti keberadaan manusia (Pateda, 1991:102). Selain itu ada pula alasan
lain mengapa pendekatan nativis merasa tidak setuju terhadap teori Skinner. Alasan tersebut berhubungan
dengan bahasa itu sendiri, yaitu menurut para nativis bahasa merupakan sesuatu yang hanya dimiliki
manusia sebab bahasa merupakan sistem yang memiliki peraturan tertentu, kreatif dan tergantung pada
struktur (Dardjowidjojo, 2003:236). Masih dalam kaitannya dengan bahasa, karena tingkat kerumitan
bahasa pula, maka kaum nativis berpendapat bahasa merupakan suatu aktivitas mental dan sebaiknya tidak
dianggap sebagai aktivitas fisik, inilah sebabnya mengapa pendekatan nativis disebut juga dengan
pendekatan mentalistik (Pateda, 1991:101).
Derek Bickerton
Pendukung lain dari proses pemerolehan bahasa yang bersifat nature adalah Derek Bickerton (Brown,
2000:35). Ia melakukan sejumlah penelitian mengenai bekal yang dibawa manusia sejak lahir (innateness)
dan mendapatkan beberapa bukti yang cukup signifikan. Bukti-bukti tersebut mengungkapkan bahwa
manusia itu sesungguhnya telah “terprogram secara biologis” untuk beralih dari satu tahap kebahasaan ke
tahap kebahasaan berikutnya dan bahwa manusia terprogram sejak lahir untuk menghasilkan sifat-sifat
kebahasaan tertentu pada usia perkembangan yang tertentu pula (Brown, 2000:35). Dengan demikian
pemerolehan bahasa tidak ditentukan oleh proses kondisi yang diberikan pada anak namun ditentukan oleh
proses yang berjalan dengan sendirinya sejak anak lahir ke dunia seiring dengan kematangan pengetahuan
bahasa dan usia anak tersebut.
David McNeill
Dalam Brown (2000:24) menyatakan bahwa LAD terdiri dari empat properti kebahasaan bawaan, yaitu:
1. Kemampuan untuk membedakan bunyi ujaran manusia (speech sounds) dari bunyi lain dalam
lingkungan
2. Kemampuan untuk mengorganisir data kebahasaan menjadi beragam kelas yang dapat diperhalus atau
diperbaiki di kemudian hari
3. Pengetahuan bahwa hanya jenis sistem kebahasaan tertentu yang mungkin untuk digunakan dan jenis
sistem lainnya tidak mungkin untuk digunakan
4. Kemampuan untuk melakukan evaluasi secara konstan terhadap sistem kebahasaan yang terus
berkembang sehingga dapat membangun sistem yang paling sederhana dari masukan kebahasaan yang ada.
Sebagai jawaban atas pertanyaan bagaimana manusia mempelajari bahasa, Bell (1981:24) juga berusaha
mengajukan beberapa pandangan Chomsky, yaitu:
1. Aktivitas yang terjadi di dalam pikiranlah, misalnya cara memproses, menyimpan dan mengambil
pengetahuan dari simpanan tersebut, yang merupakan pusat perhatian utama dan bukan perwujudan secara
fisik dari pengetahuan.
2. Pembelajaran merupakan masalah “penerimaan secara masuk akal” dari data yang diterima otak
melalui panca indera.
3. Kemampuan individu untuk merespon situasi baru dimana jika hanya berbekal kebiasaan stimuli-
respon semata tidak akan dapat membuat individu tersebut siap.
4. Pembelajaran merupakan suatu proses mental karena adalah lebih baik untuk mengetahui dan tidak
dapat mengungkapkannya dengan kata-kata daripada berkata-kata tanpa pemahaman.
Contoh Kasus Nature dan Nurture
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus yang menunjukkan bahwa baik nurture maupun nature ternyata
sama-sama diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa manusia.
1. Secara umum bayi memberikan reaksi dan menunjukkan aktivitas berbahasa terhadap lingkungan di
sekitarnya meskipun ia tidak menyadari aktivitas tersebut. Ia mencoba mengeluarkan sejumlah potensi
berupa bunyi bahasa atau kata dan secara teratur ia melakukan pengulangan. Jika tidak mendapat respon
berupa pengakuan dari lingkungannya, seperti ayah, ibu atau saudaranya, maka bayi mengubah potensi
tersebut dan mengulangi proses yang sama sampai ia mendapatkan pengakuan dari lingkungan (Pateda,
1991:102).
2. Di sebuah desa di Perancis, pada tahun 1800, ditemukan anak laki-laki berusia 11-12 tahun yang tinggal
di hutan dan sering menyusup ke desa untuk mencari makan. Ketika tertangkap dan dididik oleh direktur
Institut Tuna Rungu yaitu Dr. Sicard, anak tersebut tidak dapat berbicara seperti manusia lain. Kemudian
ia dididik oleh ahli lain, Jean-Marc-Gaspard Itard. Dibawah asuhan dan didikan yang baru ini, pola laku
kehidupan Victor, nama yang diberikan pada anak laki-laki tersebut, dapat berubah namun tetap tidak
mampu menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:236-237).
3. Di Los Angeles, pada tahun 1970, ditemukan seorang anak perempuan yang disekap oleh orang tuanya
di gudang belakang rumahnya. Selama 13 tahun ia tinggal dan sering disiksa ayahnya di dalam gudang
tersebut, dan hanya diberi makan namun tidak pernah diajak berbicara oleh orang tuanya. Setelah
diselamatkan, anak perempuan tersebut diberi nama Ginie kemudian dilatih agar dapat berbahasa selama 8
tahun, namun ternyata sama halnya dengan Victor pada kasus sebelumnya, ia tetap tidak mampu
menggunakan bahasa (Dardjowidjojo, 2003:237).
4. Di Ohio, seorang anak perempuan berusia 6,5 tahun, yaitu Isabelle, diasuh oleh ibunya yang tuna
wicara. Ia kemudian diasuh oleh Marie Mason, seorang pimpinan rumah sakit, dengan cara yang normal,
dan ternyata Isabelle mampu menggunakan bahasa seperti anak-anak normal lainnya (Dardjowidjojo,
2003:237). Pada contoh kasus pertama yang berhubungan dengan bayi pada umumnya, tampak bahwa
memang manusia mempunyai bekal bawaan atau nature untuk menguasai bahasa dan dengan dibantu
nurture maupun pengaruh dari lingkungan seperti orang tua atau saudaranya, bayi tersebut mampu
mengembangkan bekal bawaannya tersebut sampai akhirnya ia dapat menggunakan bahasa dengan
sempurna. Sedangkan pada contoh kasus kedua dan ketiga, meskipun Victor dan Isabelle juga memiliki
kemampuan bawaan untuk menguasai bahasa atau nature, namun karena tidak adanya pengaruh dari
lingkungan semenjak mereka dilahirkan atau nurture, Victor tinggal di hutan dan Ginie yang meskipun
tinggal dengan orangtuanya sendiri namun hanya disiksa dan tidak pernah diajak bicara, maka usaha yang
diupayakan ketika mereka telah berusia lebih dari 10 tahun agar kedua anak tersebut dapat menggunakan
bahasa menjadi sia-sia belaka. Untuk kasus keempat, yaitu Isabelle, proses pemerolehan bahasa yang
bersifat nurture yang diberikan di usia yang tergolong lebih muda daripada Victor dan Ginie, yaitu 6,5
tahun, ternyata memberikan bantuan yang cukup besar terhadap kemampuan bawaannya atau nature
sehingga ia mampu menggunakan bahasa. Dengan demikian tampak bahwa antara sifat pemerolehan
bahasa nature dan nurture ternyata yang satu tidaklah lebih penting dari yang lain karena tanpa satu sama
lain, pemerolehan bahasa tidak dapat berjalan dengan baik bahkan dapat menemui kegagalan.
Universal dalam pemerolehan bahasa
Pemerolehan bahasa seorang anak berkaitan dengan konsep universal. Ada tiga komponen yang universal,
yaitu: komponen fonologi, sintaksis dan semantik.
1. Universal pada komponen fonologi
Menurut Roman Jakobson, seperti yang dikutip oleh Dardjowidjojo, dalam hal vokal bunyi pertama yang
keluar waktu anak mulai berbicara adalah bunyi /a/, /i/, dan /u/. Hal ini dikarenakan ketiga bunyi ini
membentuk sistem vokal minimal (minimal vocalic system), sehingga bahasa manapun di dunia ini pasti
memiliki minimal tiga vokal ini. Dalam hal konsonan, yang pertama muncul adalah oposisi antara bunyi
oral dengan bunyi nasal (/p-b/ dan /m-n/) lalu bunyi bilabial dengan dental (/p/-/t/). Sistem ini dinamakan
sistem konsonantal minimal (minimal consonantal system).
Laws of Irreversible Solidarity yang diajukan Jakobson, seperti yang ditulis Dardjowidjojo, sebagai
berikut:
a. Bila suatu bahasa memiliki konsonan hambat velar, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat
dental dan bilabial. Contoh: bila bahasa X memiliki bunyi /k/ dan /g/, bahasa tersebut pasti memilki /t/-/d/
dan /p/-/b/.
b. Bila suatu bahasa memiliki konsonan frikatif, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan hambat. Contoh:
bahasa Y memiliki /f/ dan /v/, bahasa itu pasti memiliki /p/-/b/, /t/-/d/ dan /k/-/g/.
c. Bila suatu bahasa memiliki konsonan afrikat, bahasa tersebut pasti memiliki konsonan frikatif dan
konsonan hambat. Contoh: bahasa Z memiliki /c/-/j/, bahasa itu pasti memiliki /s/, /t/ dan /d/.
Bunyi yang dikuasai anak mengikuti urutan universal di atas. Karena /m/ dan /a/ lebih mudah, maka bunyi
ini akan keluar awal dari anak. Itulah sebabnya kata awal yang keluar dari anak adalah /mama/, yang
diartikan sebagai ayah dan ibu.
2. Universal pada komponen sintaktik dan semantik
Pada komponen sintaktik ada pola kalimat yang diperoleh secara universal. Dimanapun anak itu berada, ia
akan selalu mulai dengan ujaran satu kata, kemudian berkembang menjadi dua kata, setelah itu, tiga kata
atau lebih. Pada komponen semantik, macam kata yang dikuasai dan berapa jumlahnya tergantung pada
keadaan masing-masing anak. Anak petani di desa mungkin lebih awal menguasai kata cangkul dan sabit
dibandingkan kata komputer atau kamera. Jumlah kata yang akan dikuasai mungkin tidak sebanyak anak
perkotaan dari keluarga mampu yang dapat membelikan buku, mainan untuk anaknya. Urutan universal
dalam komponen ini adalah prinsip sini dan kini (here and now). Maksudnya, dimanapun juga kosakata
yang dikuasai anak adalah objek yang ada di sekelilingnya dan yang saat itu ada. Anak belum dapat
membayangkan benda yang tidak ada, atau peristiwa yang sudah atau belum terjadi. Anak juga mengikuti
prinsip universal yang disebut: penggelembungan makna (overextension). Jika ia diperkenalkan dengan
suatu benda yang bundar dan disebut bahwa itu bulan, maka sewaktu ia melihat jam atau gambar matahari,
ia akan menamakannya bulan.
Pemerolehan Bahasa Kedua dan Bilingual
Istilah bilingual erat kaitannya dengan pemerolehan bahasa kedua. Diebold, seperti dikutip oleh Chaer dan
Agustina, menyatakan bahwa bilingualisme pada tingkat awal atau disebut incipient bilingualism adalah
bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, atau lebih spesifiknya anak-anak, yang sedang mempelajari
bahasa kedua pada tahap awal. Pada tahap ini, walaupun bilingualisme masih sangat sederhana tapi tidak
dapat diabaikan karena pada tahap inilah letak dasar bilingualisme selanjutnya. Lebih lanjut diuraikan oleh
Chaer dan Agustina bahwa bilingualisme adalah rentangan bertahap yang dimulai dari menguasai B1
ditambah mengetahui sedikit akan B2, lalu penguasaan B2 meningkat secara bertahap, sampai pada
akhirnya menguasai B2 sama baiknya dengan B1. Menurut Perez & Torrez-Guzman, seperti yang dikutip
dalam sebuah blog yang ditulis oleh Beverly Clark[8], tidak ada dampak buruk bagi anak-anak yang
bilingual. Perkembangan pola bahasa mereka sama dengan anak-anak yang monolingual. Dikatakan lebih
lanjut bahwa anak-anak yang mengembangkan kecakapannya dalam menggunakan bahasa ibu mereka
untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, memecahkan masalah dan berpikir dapat dengan mudah
mempelajari bahasa kedua dalam cara yang sama.
Walaupun demikian ada beberapa variasi dalam seberapa baiknya dan seberapa cepatnya seseorang
menguasai bahasa kedua. Tidak ada bukti bahwa dalam mempelajari bahasa kedua, anak mendapat lebih
banyak keuntungan dibandingkan orang dewasa. Ketika seorang anak belajar bahasa kedua, ia akan tetap
kesulitan dalam pengucapan, tata bahasa, perbendaharaan kata dan mungkin saja tidak akan pernah benar-
benar fasih dalam bahasa tersebut. Tidak ada cara yang mudah untuk menjelaskan mengapa seseorang
dapat dengan mudah menguasai bahasa kedua dan mengapa yang lain tidak. Bialystok, menurut Clark,
menyatakan bahwa pendidikan, sosial, perbedaan individual, kepribadian, usia dan motivasi dapat
memengaruhi pembelajaran bahasa.
Linda M. Espinosa[9] dalam makalahnya, mengutip Bialystok, Genesee dan Hakuta & Pease-Alvarez,
menyatakan bahwa adanya peningkatan dalam penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, yang
memperlihatkan bahwa banyak anak mampu belajar dua bahasa dan kemampuan bilingual yang mereka
miliki memberi keuntungan dalam hal kognitif, budaya dan ekonomi.
Lebih lanjut Espinosa, yang masih mengutip pendapat Bialystok, menulis bahwa kemampuan bilingual
telah dikaitkan dengan kesadaran yang lebih besar dan kesensitivitasan pada struktur linguistik, sebuah
kesadaran yang ditransfer dan digeneralisasi pada literasi awal dan kemampuan nonverbal. Anak-anak
yang mempunyai kesempatan untuk bicara dua bahasa harus didukung untuk tetap menjaga keduanya,
sehingga mereka dapat menikmati keuntungan status bilingual. Anak-anak yang di rumahnya tidak
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu harus didukung untuk mengolah bahasa rumah mereka
sebaik bahasa Inggris. Menjaga bahasa rumah bukan hanya penting untuk akademik dan perkembangan
kognitif anak di masa mendatang, tapi juga kemampuan anak untuk menciptakan identitas budaya yang
kuat, mengembangkan dan melanjutkan ikatan yang kuat dengan keluarga, dan maju dalam dunia yang
multilingual dan global ini.
Simultaneous vs. Sequential dalam Pemerolehan Bahasa Kedua
Barry McLaughlin, seperti yang dikutip Espinosa, telah membuat perbedaan antara anak yang belajar
bahasa kedua simultaneously or sequentially. Ketika seorang anak belajar dua bahasa simultaneously,
contohnya: sebelum usia tiga tahun, jalur perkembangan mirip dengan bagaimana anak monolingual
memperoleh bahasa. Tetapi, ada beberapa ketidaksetujuan dalam literatur tentang hasil kemampuan
bilingual yang lebih rendah dalam perkembangan kosakata, dibandingkan anak yang mempelajari bahasa
tunggal. Ketika anak memeroleh dua bahasa dan menjadi bilingual, salah satu bahasa mendominasi yang
lainnya. Ini adalah hal yang normal. Hal yang jarang terjadi ketika kedua bahasa menjadi seimbang di
dalam perkembangannya.
Perkembangan bahasa dari anak yang mempelajari bahasa kedua setelah usia tiga tahun, atau sequentially,
mempunyai tahapan-tahapan yang berbeda dan sangat tergantung dengan karakteristik serta lingkungan
belajar bahasa anak. Pada tingkat perkembangan ini, dasar-dasar bahasa pertama telah anak kuasai. Mereka
mengetahui struktur dari satu bahasa, tapi sekarang mereka harus mempelajari tata bahasa, perbendaharaan
kata, dan sintaks yang spesifik dari sebuah bahasa yang baru. Menurut Tabors dan Snow seperti yang
ditulis Espinosa, sequential pemerolehan bahasa kedua mengikuti perkembangan empat tahapan yang
berkesinambungan:
1. Penggunaan bahasa rumah
Ketika seorang anak telah menjadi kompeten dalam satu bahasa dan diperkenalkan pada sebuah suasana
dimana semua orang berbicara dalam bahasa yang berbeda, misalnya seorang anak yang sedang belajar
bahasa Inggris (English Language Learner) memasuki kelas pra-sekolah yang didominasi oleh anak-anak
yang berbahasa Inggris, anak tersebut akan sering menggunakan bahasa rumahnya walaupun yang lain
tidak mengerti. Periode ini bisa pendek atau dalam beberapa kasus, anak tersebut akan terus berusaha
membuat yang lain mengerti apa yang dia bicarakan untuk beberapa bulan ke depan.
a. Periode nonverbal
Setelah anak menyadari bahwa berbicara dalam bahasa rumahnya tidak akan berguna, mereka memasuki
sebuah periode dimana mereka jarang berbicara dan menggunakan cara nonverbal untuk berkomunikasi.
Ini adalah periode pembelajaran bahasa aktif untuk anak tersebut; ia sibuk mempelajari suara dan kata-kata
bahasa baru (receptive language) tapi tidak secara verbal menggunakan bahasa yang baru untuk
berkomunikasi. Ini adalah tahap yang paling penting dari pembelajaran bahasa kedua yang mungkin
bertahan lama atau sebentar. Asesmen bahasa manapun yang dilakukan pada tahap perkembangan ini
dapat menghasilkan informasi menyesatkan yang merendahkan kapasitas kemampuan bahasa anak
sesungguhnya.
b. Telegraphic and Formulaic Speech
Sekarang anak siap untuk menggunakan bahasa baru dan melakukannya lewat telegraphic speech yang
melibatkan penggunaan formula. Ini mirip dengan anak monolingual yang sedang mempelajari kata-kata
atau frase yang mudah untuk mengungkapkan keseluruhan pemikirannya. Misalnya saja, seorang anak
mungkin saja mengatakan, “me down” mengindikasikan bahwa ia ingin turun ke bawah. Formulaic speech
merujuk pada potongan kata-kata yang belum dianalisa atau bahkan terkadang suku kata yang dirangkai
yang merupakan pengulangan yang telah didengar anak. Misalnya saja, Tabors (1997) melaporkan bahwa
anak English Language Learner (ELL) dalam sebuah Kelompok Bermain, yang ia sering amati,
menggunakan frase “Lookit” untuk mengajak anak yang lain bermain. Ini adalah frase yang anak-anak
dengar dari orang lain yang membantu tercapainya tujuan sosial mereka, walaupun anak-anak tersebut
tidak mengerti arti dari kata2 tersebut.
c. Bahasa yang produktif
Sekarang anak sudah mulai meninggalkan telegraphic atau formulaic utterances untuk menciptakan frase
dan pemikiran mereka sendiri. Anak dapat menggunakan tata bahasa yang paling mudah seperti “I wanna
play”, tapi setelah itu ia akan memperoleh kontrol pada struktur dan perbendaharaan kata dari bahasa baru.
Kesalahan penggunaan bahasa adalah hal yang biasa dalam periode ini karena anak-anak sedang
bereksperimen dengan bahasa baru mereka dan mempelajari aturan dan strukturnya.
Seperti perkembangan manapun yang berkesinambungan, tahapan2 ini fleksibel dan tidak mengikat.
McLaughlin dkk (McLaughlin, Blanchard, Osanai, 1995) memilih untuk mendeskripsikan proses ini
seperti gelombang, “….bergerak ke dalam dan ke luar, umumnya bergerak menuju satu arah, tapi
melambat, lalu kemudian bergerak maju lagi.
Anak-anak sequential bilingual dapat mempunyai pola perkembangan yang berbeda dibandingkan
monolingual dalam beberapa aspek perkembangan bahasa. Ini termasuk perbendaharaan kata, kemampuan
membaca serta menulis dan komunikasi interpersonal. Anak ELL (English Language Learner) biasanya
mempunyai perbendaharaan kata yang lebih sedikit dalam bahasa Inggris dan bahasa rumah mereka
dibandingkan anak yang monolingual. Ini mungkin saja terjadi karena kapasitas memori mereka yang
terbatas. Jika mereka menggunakan bahasa ibu di rumah dan menggunakan bahasa Inggris di sekolah, anak
mungkin mengetahui beberapa kata dalam bahasa yang satu tapi tidak di bahasa lainnya. Misalnya,
seorang anak mungkin mempelajari kata-kata: chalk, line, recess, dsb. dalam bahasa Inggris di sekolah,
tapi tidak mengetahui padanan katanya dalam bahasa Indonesia karena di rumah tidak pernah
membicarakan hal itu. Tapi ketika total seluruh kata dalam kedua bahasa dijadikan satu, ini dapat jadi
sama dengan jumlah kata yang anak-anak monolingual ketahui.
Code Switching dan Language Mixing
Penting diketahui oleh para pendidik bahwa code switching (mengganti bahasa dalam satu kalimat ke
kalimat lain) dan language mixing (memasukkan satu kata dalam bahasa lain ketika berbicara dalam
bahasa yang lain) adalah normal dalam pemerolehan bahasa kedua. Ini tidak berarti anak tidak dapat
membedakan kedua bahasa, tapi karena anak mungkin saja kekurangan kata dalam bahasa yang satu atau
kedua-duanya sehingga sulit untuk mengungkapkan apa yang ingin mereka ucapkan. Penelitian
menunujukkan bahwa orang dewasa mencampurkan kedua bahasa untuk memperlihatkan dan menekankan
identitas kebudayaan mereka. Code switching dan language mixing adalah hal yang normal dan alami
dalam pemerolehan bahasa kedua sehingga orang tua maupun pendidik tidak perlu khawatir tentang hal
ini. Yang ditekankan disini bukanlah tentang aturan bahasa yang kaku tapi tentang bagaimana
meningkatkan komunikasi dalam bahasa-bahasa tersebut.
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa:
Istilah pemerolehan berbeda dari pembelajaran, tetapi hal ini harus dilihat dari beberapa hal seperti:
suasana belajar, usia anak sewaktu memeroleh bahasa kedua dan kesadaran anak akan pembelajaran. Baik
nature maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama penting karena yang satu mendukung
keberadaan yang lain. Memiliki kemampuan bawaan sejak lahir untuk memelajari bahasa atau nature
semata tidak banyak bermanfaat jika tidak ada nurture atau pengaruh dari lingkungan. Sebaliknya, tanpa
nurture atau pengaruh dari lingkungan semata juga tidak akan berpengaruh jika manusia tidak dibekali
dengan kemampuan pribadi untuk memeroleh bahasa. Namun tentunya kenyataan bahwa baik nature
maupun nurture merupakan dua hal yang sama-sama memiliki peranan penting dalam pemerolehan bahasa
manusia sebaiknya memerlukan lebih banyak lagi pembuktian baik melalui penelitian maupun eksperimen
terhadap manusia, khususnya terhadap bagaimana manusia memelajari bahasa yang merupakan salah satu
ciri yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Perkembangan bahasa anak yang bilingual
tidak jauh berbeda dari yang monolingual. Tapi mereka harus tetap didorong untuk menjaga kefasihan
kedua bahasa tersebut. Anak yang belajar dua bahasa simultaneously, jalur perkembangannya mirip
dengan anak monolingual memperoleh bahasa. Sedangkan perkembangan bahasa dari anak yang
mempelajari bahasa kedua sequentially, mempunyai tahapan-tahapan yang berbeda dan tergantung dengan
karakteristik serta lingkungan belajar bahasa anak.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
http://ceep.crc.uiuc.edu/pubs/katzsym/clark-b.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Second_language_acquisition
http://sccac.lacoe.edu/cpin/network_meetings/2007Jan18/From%20Caterpillar%20to%20Butterfly/SecondLanguageAcquisitionLEspinosa.pdf
http://www.best4future.com/blog/how-children-acquire-second-languages
[1] http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/05/sebuah_paradigma_kajian_bahasa_kedua.pdf.
[2] http://www.learnenglish.de/britishnutre/formemanner
[3] Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Second_language_acquisition
[5] Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
[6] http://www.best4future.com/blog/how-children-acquire-second-languages
[7] Papalia, D. E., Olds, S. W., Feldman, R.D. 2008. Human Development. New York: McGraw-Hill
[8] http://ceep.crc.uiuc.edu/pubs/katzsym/clark-b.html
[9] http://sccac.lacoe.edu/cpin/network_meetings/2007Jan18/From%20Caterpillar%20to%20Butterfly/SecondLanguageAcquisitionLEspinosa.pdf
Dari website : http://abdiplizz.wordpress.com/2011/03/04/pemerolehan-bahasa-kedua/
Recommended