View
8
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PEMIKIRAN SAADOE’DDIN DJAMBEK DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT, ARAH KIBLAT, DAN AWAL BULAN QAMARIAH DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
MIQDAD RIKANIE NIM. 1112044100056
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H / 2019 M
v
ABSTRAK
Miqdad Rikanie. NIM 1112044100056. PEMIKIRAN SAADOE’DDIN DJAMBEK DALAM PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT, ARAH KIBLAT, DAN AWAL BULAN QAMARIAH DI INDONESIA. Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.
Dalam hukum Islam, banyak ibadah yang keabsahannya bergantung pada perjalanan waktu yang didasarkan pada peredaran matahari dan peredaran bulan. Ilmu Falak merupakan sains yang telah dikembangkan oleh umat Islam dan mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan sains. Saadoe’ddin Djambek merupakan salah seorang tokoh Falak Indonesia yang karya-karyanya masih dapat diguanakan sampai saat ini.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui secara mendalam tentang pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang metode penentuan awal waktu shalat, penentuan arah kiblat dan penentuan awal bulan qamariah serta relevansinya dalam bidang ilmu Falak di Indonesia pada era sekarang ini. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan dokumen yang memiliki keterkaitan dengan pemikiran Saadoe’ddin Djambek serta relevansinya pada saat ini. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), karena teknis penekanan analisisnya lebih menggunakan pada kajian teks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang perhitungan awal waktu shalat dapat digolongkan sebagai metode kontemporer, mengingat dalam proses perhitungannya dengan mempertimbangkan ketinggian tempat, refraksi dan dip, sehingga berpengaruh terhadap perhitungan terbit dan terbenam matahari. 2) Pemikiran arah kiblat yang digagas oleh Saadoe’ddin Djambek merupakan suatu metode yang dirancang dan diterapkan secara sistematis, yang memadukan antara pesan normativ dengan pesan ilmiah. Metode tersebut dapat memberikan pencerahan karena akurat, tepat dan applicable. 3) Pemikiran Saadoe’ddin Djambek merupakan perpaduan antara kalangan ahli hisab dan astronom. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang perhitungan awal bulan qamariah mempunyai teori yang diberi nama ijtima’ dan ufuk mar’i, terkait penentuan awal bulan qamariah yang berlaku untuk semua daerah. Konsistensi pemikiran Saadoe’ddin Djambek dalam perhitungan awal waktu shalat, arah kiblat dan awal bulan qamariah, menjadikan pemikiran tersebut tetap relevan sampai saat ini dan dapat dijadikan pedoman dalam pengembangan Ilmu falak dalam konteks kekinian. Hal ini terlihat dari kesadarannya terhadap realitas adanya problem-problem yang muncul dengan adanya peningkatan kecerdasan umat sehingga ia memunculkan pemikiran baru dalam dunia Ilmu Falak.
Kata kunci : Hisab, Saadoe’ddin Djambek
Dosen Pembimbing : Drs. H. Wahyu Widiana, MA
Bahan Pustaka : 1957 s.d. 2012
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi. Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada
junjungan kita baginda Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, para
sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis memiliki banyak kendala dan
hambatan yang terus menerus datang silih berganti, baik secara akademis maupun
non akademis. Tetapi, penulis tetap semangat dan tidak pantang menyerah. Berkat
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan
tersebut dapat diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud
yang berbeda-beda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat dan dukungan yang
diberikan oleh keluarga dan teman-teman penulis.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril
maupun materil sehingga terselesaikannya skripsi ini. Tentunya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., SH., MH., MA., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
serta pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Hj. Mesraini, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga serta
Ahmad Chairul Hadi, MA., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga
yang telah bekerja dengan maksimal.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
periode 2015-2019 serta Indra Rahmatullah, MH., selaku Sekertaris Program
Studi Hukum Keluarga periode 2015-2019 yang telah bekerja dengan
maksimal.
4. Drs. H. Wahyu Widiana, MA., selaku dosen pembimbing skripsi penulis, yang
telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis
dalam proses penyusunan skripsi ini.
vii
5. Dr. Hj. Azizah, MA., selaku dosen penasehat akademik penulis yang telah
sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam
merumuskan desain judul skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu
yang tak ternilai harganya, seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dan bagian tata usaha Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pelayanan yang terbaik.
7. Teristimewa terima kasih untuk kedua orang tua penulis, yaitu ayahanda
Muhammad dan ibunda Siti Maryani yang telah memberikan motivasi serta
arahan yang tak pernah jenuh serta tiada henti mendoakan penulis dalam
menempuh pendidikan. Juga kepada adik-adik penulis Silva Kamilah, Husni
Mubarok, dan Fahmi Mubarok serta keluarga penulis baik saudara sepupu,
paman, bibi, kakek dan nenek yang selalu memberikan doa, dukungan dan
semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang tiada tara. Juga
kepada paman saya Husni Alhan yang membantu membimbing penulis
menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat-sahabatku yang terbaik Cepi Jaya Permana, Faishal Kamal, Ricky A.
Faisal, M. Zainudin, M. Zaenuri, Humaidi, A. Fikri Habibi, Chairil Izhar, Alif
Rahmat, Abd. Wahid Hasyim, Asep Awaludin, Yuliansyah, Reza Fakhlepi,
Akbarudin Noor, Eka Yulyana Sari, Sarifah Nurfadhilah, Siti Hannah, Indira
Awaliyah, Atiqoh Fathiyah, Husnul Alfia, Ulfah Abdullah, selalu memberikan
doa, dukungan dan semangat dengan penuh keikhlasan dan kesabaran yang
tiada tara. Serta teman-teman progam studi Peradilan Agama Angkatan 2012
yang telah memberikan saran dan motivasi kepada penulis.
9. Kakanda dan adinda yang berkecimpung dalam organisasi IKPA BBPP
BAZIS Prov. DKI Jakarta, terimakasih atas masa-masa indah yang kita lalui di
BAZIS, serta seluruh kader yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Tetaplah semangat berproses.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak
yang perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis
viii
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan setiap pembaca umumnya serta menjadi amal baik di
sisi Allah SWT. Semoga setiap bantuan, do’a, motivasi, dan semangat yang telah
diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Jakarta, 04 Maret 2019
Miqdad Rikanie
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi menggunakan System Library of Congress. Secara garis
besar uraian sebagai berikut:
b = ب
t = ت
ts = ث
j = ج
h = ح
kh = خ
d = د
dz = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sy = ش
s = ص
d = ض
t = ط
z = ظ
ع = ‘
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
h = ه
w = و
y = ي
Vokal Pendek Vokal Panjang
<>>>a () = a = ___ آ ___
<i () = i = ___ إ ___
<u () = u = ___ أ ___
Diftong Pembauran
al = (ال) aw (او)
al-sh = (الش) ay (اى)
-wa al = (وال)
Ketentuan penulisan kata sandang al (alif lam), baik alif lam qamariyyah maupun
alif lam syamsiyah ditulis apa adanya (al) contoh:
Al-tafsir = التفسٮر الحدٮث = Al-hadith
Ta’Marbutah di akhir kata
x
1. Bila dimatikan ditulis “h”,
حكمة = hikmah
Ketentuan ini tidak berlaku pada kosakata Bahasa Arab yang sudah
terserap ke dalam Bahasa Indonesia seperti zakat, salat dan lain-lain
kecuali memang dikehendaki sesuai lafal aslinya.
2. Bila dihidupkan karena berangkaian dengan kata lain, ditulis “t”
نعمة الله = ni’matullah
زكاة الفطر = zakat al-fitri
Istilah keislaman (serapan) : istilah keislaman ditulis dengan berpedoman kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur’an Alquran
2 Al-Hadith Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nas Nas
5 Tafsir Tafsir
6 Sharh Syarah
7 Matn Matan
8 Salat Salat
9 Tasawwuf Tasawuf
10 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
Catatan:
Jenis Font yang digunakan untuk transliterasi Arab-Indonesia menggunakan
Times New Arabic dengan ketentuan ukuran Font 12 pt untuk tulisan pada
artikel dan daftar Pustakanya, ukuran 10 pt untuk catatan kaki.
1. Untuk membuat titik di bawah:
a. Huruf Kapital (H) dengan menekan tombol “H” diikuti
b. Huruf kecil (h) dengan menekan tombol “h” diikuti
xi
2. Untuk membuat garis di atas huruf:
a. Huruf kapital (A) dengan menekan “A” diikuti
b. Huruf kecil (a) dengan menekan “a” diikuti
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN . .............................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iv
ABSTRAK ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi
PEDOMAN LITERASI . .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 6
C. Pembatasan Masalah .................................................................. 6
D. Rumusan masalah ...................................................................... 7
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 7
F. Studi Review Terdahulu ............................................................. 8
G. Metode Penelitian ....................................................................... 10
H. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG AWAL WAKTU SHALAT,
ARAH KIBLAT, DAN AWAL BULAN QAMARIAH
A. AWAL WAKTU SHALAT
1. Pengertian Shalat .................................................................. 14
2. Dasar Hukum Penentuan Awal Waktu Shalat Wajib ........... 17
3. Pendapat Ulama tentang Penentuan Awal Waktu Shalat ..... 18
B. ARAH KIBLAT
1. Pengertian Kiblat .................................................................. 22
2. Dasar Hukum Menghadap Kiblat ......................................... 24
3. Pendapat Ulama tentang Menghadap Arah Kiblat ............... 26
C. AWAL BULAN QAMARIAH
xiii
1. Pengertian Bulan Qamariah ................................................. 28
2. Dasar Hukum Penentuan Awal Bulan Qamariah ................. 29
3. Pendapat Ulama tentang Penentuan Awal Bulan Qamariah 31
BAB III BIOGRAFI SAADOE’DDIN DJAMBEK
A. Pendidikan dan Aktivitasnya ...................................................... 36
B. Latar Belakang Keluarga dan Masyarakat ................................. 40
C. Karya-karya Ilmiahnya ............................................................... 41
BAB IV METODE PEMIKIRAN SAADOE’DDIN DJAMBEK
TENTANG PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT, PENENTUAN ARAH KIBLAT, DAN PENENTUAN AWAL BULAN QAMARIAH
A. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang Perhitungan Awal
Waktu Shalat ............................................................................. 44
B. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang Perhitungan Arah Kiblat ................................................................................ 49
C. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang Perhitungan Awal Bulan Qamariah. ............................................................... 54
D. Konsistensi Pemikiran Saadoe’ddin Djambek dalam Perhitungan Awal Waktu Shalat, Arah Kiblat dan Awal Bulan Qamariah. ............................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................. 63
B. Saran-saran ................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Islam, banyak ibadah yang keabsahannya digantungkan
pada perjalanan sang waktu yang didasarkan pada peredaran matahari dan
peredaran bulan. Hal ini berdasarkan firman Allah QS. Yunus ayat 5 yang
berbunyi:
نین والحساب م ره منازل لتعلموا عدد الس ا ھو الذي جعل الشمس ضیاء والقمر نورا وقدل الآیات لقوم یعلمون ذلك إلا بالحق یفص خلق الله
Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menjadikan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5).
Pada ayat tersebut dapat dipahami bahwa agar manusia mengetahui apa-
apa yang telah disebutkan tentang sifat-sifat cahaya dan ketentuan tempat
edarnya, hitungan waktu baik bulan maupun matahari untuk menentukan
waktu beribadah, ekonomi dan sosial. Dengan adanya keteraturan alam,
sampailah pada Ilmu Pengetahuan Alam. Dan manusia dituntut untuk belajar
guna mengetahui perhitungan tahun dan bulan.
Ilmu Falak merupakan sains yang telah dikembangkan oleh umat Islam.
Ilmu Falak mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan sains.
Dalam sains kebenaran suatu teori itu bersifat relatif. Sebuah teori itu
dianggap benar sampai datang teori baru yang meruntuhkannya. Sehingga
teori yang lama digantikan dengan teori yang baru. Teori yang baru inipun
akan bertahan sampai datang teori yang dapat meruntuhkannya dan
seterusnya. Begitulah perkembangan sains.
Sejarah perkembangan ilmu Falak di Indonesia bersifat dinamis. Saat
dunia Islam memasuki periode modernnya pada awal abad ke-20, Ilmu Falak
pun bersentuhan dengan kemodernan; ilmu pengetahuan yang berasal dari
Barat. Teori-teori lama yang sudah out of date mulai dipertanyakan
2
keabsahannya dan lalu ditinggalkan, lalu digantikan dengan penemuan baru
yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu Falak sebagai bagian sains yang berkembang di kalangan umat Islam
mengalami hal yang serupa.
Perkembangan ilmu Falak di Indonesia tidak selalu bersifat linier dengan
perkembangan sains pada masanya. Perkembangan ilmu Falak sekarang telah
berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Namun praktik yang terjadi di lapangan, di tengah-tengah
masyarakat sering kita temui masih mengamalkan atau berpegang pada teori
yang sudah out of date, kurang atau tidak sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, dan ketetapan syara’.
Pada dasarnya, sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya
adalah sejarah aliran, madzhab, atau firqah.1 Sejarah fiqih hisab rukyat
(termasuk penetapan awal bulan qamariah) juga tidak bisa dilepaskan dari
persoalan aliran pemikiran tersebut. Dalam wacana pemikiran Islam, aliran
pemikiran itu biasanya disebut madzhab. Kata madzhab biasanya digunakan
dalam terminologi fiqih, yaitu suatu cabang ilmu keislaman yang mempelajari
tentang hukum-hukum agama atau, meminjam istilah Nurcholis Madjid,
disebut bidang jurisprudensi Islam. Jika dilihat secara teliti dalam kamus fiqih,
istilah itu sebenarnya terfokus hanya pada istilah empat madzhab yang ada
dalam sejarah Islam.
Penetapan bulan qamariah merupakan salah satu lahan ilmu hisab rukyat
yang lebih kerap diperdebatkan dibanding dengan lahan-lahan lain seperti
penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat. Menurut Ibrahim Husein,
persoalan ini dikatakan sebagai persoalan “klasik” yang senantiasa “aktual”.
Klasik, karena persoalan ini semenjak masa-masa awal Islam sudah
mendapatkan perhatian dan pemikiran yang cukup mendalam dan serius dari
para pakar hukum Islam. Mengingat hal ini berkaitan erat dengan salah satu
kewajiban (ibadah), sehingga melahirkan sejumlah pendapat yang bervariasi.
1 Ali Abdul Wahdi Wafi, Perkembangan Madzhab dalam Islam, (Jakarta: Minaret, 1987),
h. 50.
3
Dikatakan aktual karena hampir di setiap tahun terutama menjelang bulan
Ramadhan, Syawal, serta Dzulhijjah, persoalan ini selalu mengundang
polemik berkenaan dengan pengaplikasian pendapat-pendapat tersebut,
sehingga nyaris mengancam persatuan dan kesatuan umat.2
Dalam sejarah perkembangan modern ilmu Falak di Indonesia pada awal
abad ke-20, ditandai dengan penulisan kitab-kitab oleh para ulama ahli Falak
Indonesia. Seiring kembalinya para ulama yang telah berguru di Mekkah pada
awal abad ke-20, ilmu Falak mulai tumbuh dan berkembang di tanah air.
Ketika berguru di tanah suci, mereka tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu
agama seperti tafsir, hadits, fiqih, tauhid, tasawuf, dan pemikiran yang
mendorong umat Islam yang pada masa itu rata-rata di bawah belenggu
kolonialisme untuk membebaskan diri, melainkan juga membawa catatan
tentang ilmu Falak. Kemudian proses transfer knowledge ini berlanjut kepada
para murid mereka di tanah air.3
Dengan semangat menjalankan dakwah Islamiah, di antara para ulama ada
yang berdakwah ke berbagai daerah yang baru. Pada dekade itu misalnya,
Syekh Abdurrahman ibn Ahmad Al-Mishra (berasal dari Mesir) pada tahun
1314 H/1896 M datang ke Betawi. Ia membawa Zij (tabel astronomi) Ulugh
Beik (w. 1449 M) yang masih mendasarkan teorinya pada teori Geosentris. Ia
kemudian mengajarkannya kepada para ulama di Betawi pada waktu itu. Di
antara muridnya adalah Ahmad Dahlan As-Simarani atau At-Tarmasi (w.
1329 H/1911 M) dan Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya yang
dikenal dengan Mufti Betawi.
Lalu Ahmad Dahlan As-Simarani atau At-Tarmasi mengajarkannya di
daerah Termas (Pacitan) dengan menyusun buku Tadzkirah Al-Ikhwan fi Ba’di
Tawarikhi A’mal Al-Falakiyah bi Samarang yang selesai ditulis pada 1321
H/1903 M. Sedang Habib Usman ibn Abdillah ibn ‘Aqil ibn Yahya tetap
2 Ibrahim Husein, “Tinjauan Hukum Islam terhadap Penetapan Awal Bulan Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah”, dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 6, th. III, 1992, h. 1-3.
3 Muhyidin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. (Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008), h. 28-29.
4
mengajar di Betawi. Ia menulis buku Iqazu An-Niyam fima Yata’allaq bi
Ahillah wa As-Siyam dicetak pada 1321 H/1903 M. Sementara tokoh Falak
yang menonjol di daerah Sumatera adalah Thahir Djalaludin Azhari dan
Syaikh Muhammad Djamil Djambek atau yang dikenal dengan Syaikh
Djambek yang merupakan ayah dari tokoh Falak yang terkenal sampai saat ini
yaitu Saadoe’ddin Djambek.
Saadoe’ddin Djambek merupakan salah seorang tokoh Falak yang telah
diketahui keahliannya, karena kemampuannya di bidang Falak yang terbukti
dari hasil kinerjanya. Ia diberikan kepercayaan untuk menjadi salah satu dari
lima anggota tim perumus Lembaga Hisab dan Rukyat Departemen Agama.
Pada tanggal 16 Agustus 1972 dikeluarkanlah SK Menteri Agama No. 76
Tahun 1972 tentang Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama dengan
beberapa diktum. Ia pun menduduki jabatan sentral sebagai ketua Badan
Hisab dan Rukyat Departemen Agama.4
Guna mengembangkan kemampuannya di bidang ilmu Falak Saadoe’ddin
Djambek mengikuti berbagai kegiatan penunjang keahliannya, seperti
mengikuti kursus Legere Akte ilmu pasti di Yogyakarta, menghadiri
konferensi Mathematical Education di India dan First World Conference on
Muslim Education di Mekkah, mengembangkan penelitian ilmu Hisab Rukyat
dan kehidupan sosial di Mekkah, serta mempelajari sistem Comprehensive
School di berbagai negara yakni Thailand, Belgia, Inggris, Swedia, Amerika
Serikat, dan Jepang.5 Berbagai ilmu yang telah ia peroleh, ia ajarkan di
Indonesia.6 Hal ini menunjukkan peran Saadoe’ddin Djambek dalam keilmuan
Falak di Indonesia.
Dengan ilmu yang diperolehnya itu Saadoe’ddin berusaha
mengembangkan sistem baru dalam perhitungan hisab dengan mengenalkan
teori Spherical Trigonometry (segitiga bola). Menurutnya teori itu dibangun
4 Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Badan Peradilan Agama Islam,
h. 25. 5 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Selayang Pandang Hisab
Rukyat, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004), h. 42. 6 Ibid, h. 41.
5
untuk menjawab tantangan zaman. Artinya dengan meningkatnya kecerdasan
umat di bidang ilmu pengetahuan maka teori-teori yang berkaitan dengan ilmu
hisab perlu didialogkan dengan ilmu astronomi modern sehingga dapat dicapai
hasil yang lebih akurat.7
Dengan menggunakan teori-teori yang terdapat dalam Spherical
Trigonometry Saadoe’ddin mencoba menyusun teori-teori untuk menghisab
arah kiblat, menghisab terjadinya bayang-bayang kiblat, menghisab awal
waktu shalat dan menghisab awal bulan qamariah. Karena sistem ini
dikembangkan oleh Saadoe’ddin maka sistem ini juga dikenal dengan istilah
sistem hisab Saadoe’ddin Djambek.8
Sistem yang dikembangkan Saadoe’ddin relatif lebih mudah dan modern.
Apalagi setelah prosedur perhitungannya dapat menggunakan kalkulator.
Dengan kalkulator tersebut mahasiswa yang tidak mempunyai basic ilmu pasti
dengan mudah dapat mencari fungsi-fungsi geometris sudut tumpul, sudut
negatif, dan sebagainya. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam proses
menghitung perkalian atau pembagian bilangan-bilangan pecahan sampai 4
desimal atau lebih.
Karya pertama Saadoe’ddin Djambek terbit pada tahun 1952 yakni Waktu
dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan dan
Matahari. Setelah itu, muncul pula karya lainnya, yaitu Alamanak Djamilijah,
Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, Menghisab Awal Waktu Shalat,
Arah Qiblat dan Tjara Menghitungnja dengan Djalan Ilmu Ukur Segitiga
Bola, Shalat dan Puasa di Daerah Kutub dan Hisab Awal Bulan yang menjadi
karya monumentalnya. Saadoe’ddin Djambek yang dikenal dengan Djamil
Djambek ini menjadi maestro Falak asal Minangkabau karena karya-karyanya.
Dari beberapa karya yang dibuatnya, penulis akan membahas tentang
bagaimana pemikiran Saadoe’ddin Djambek secara khusus mengenai metode
penentuan awal waktu shalat, penentuan arah kiblat, dan penentuan awal bulan
7 Saadoe’ddin Djambek. Arah Qiblat dan Cara Menghitungnya dengan Jalan Jalur Ilmu
Ukur Segitiga, cet. II (Jakarta: Tintamas, 1956), h. 3. 8 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Selayang Pandang Hisab
Rukyat, h. 41.
6
qomariyah menurut astronomi modern yang di mana tiga topik ini juga
merupakan masalah-masalah yang selalu aktual. Inilah kiranya hal yang
melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian terhadap hasil karya sang
tokoh fenomenal ini dengan judul penelitian Pemikiran Saadoe’ddin
Djambek Dalam Penentuan Awal Waktu Shalat, Arah Kiblat, dan Awal
Bulan Qamariah Di Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana konsep penentuan awal waktu shalat, penentuan arah kiblat
dan penentuan awal bulan qamariah menurut Islam?
2. Bagaimana konsep penentuan awal waktu shalat, penentuan arah kiblat
dan penentuan awal bulan qamariah menurut pemikiran Saadoe’ddin
Djambek?
3. Apakah kecenderungan pemikirannya menganut kepada suatu madzhab?
4. Apabila pemikirannya cenderung berpihak kepada suatu madzhab, apakah
kita dapat mengatakan bahwa Saadoe’ddin Djambek pengikut madzhab
tersebut?
5. Sebagai salah seorang tokoh muslim yang dilahirkan di Indonesia dan
hidup di Indonesia, apakah ada faktor sosiologis keIndonesiaan yang
mempengaruhi pemikirannya terhadap metode-metode penghitungannya
tersebut?
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas
dan terarah sesuai yang diharapkan penulis. Di sini penulis hanya akan
membahas tentang bagaimana pemikiran Saadoe’ddin Djambek mengenai
metode penentuan awal waktu shalat, penentuan arah kiblat, dan penentuan
awal bulan qamariah yang di mana tiga topik ini merupakan masalah-masalah
yang selalu aktual serta membahas bagaimana relevansi pemikiran
Saadoe’ddin Djambek sebagai sosok pembaharu dalam bidang ilmu Falak di
Indonesia.
7
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana metode penentuan awal waktu shalat menurut pemikiran
Saadoe’ddin Djambek?
2. Bagaimana metode penentuan arah kiblat menurut pemikiran Saadoe’ddin
Djambek?
3. Bagaimana metode penentuan awal bulan qamariah menurut pemikiran
Saadoe’ddin Djambek?
4. Bagaimana relevansi metode-metode pemikiran Saadoe’ddin Djambek
dalam bidang ilmu Falak di Indonesia pada era sekarang?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui metode penentuan awal waktu shalat menurut
pemikiran Saadoe’ddin Djambek.
2. Untuk mengetahui metode penentuan arah kiblat menurut pemikiran
Saadoe’ddin Djambek.
3. Untuk mengetahui metode penentuan awal bulan qamariah menurut
pemikiran Saadoe’ddin Djambek.
4. Untuk mengetahui relevansi metode-metode pemikiran Saadoe’ddin
Djambek dalam bidang ilmu Falak di Indonesia pada era sekarang.
Selain dari tujuan yang di atas, manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Masyarakat
Untuk memberikan informasi mengenai metode-metode pemikiran
Saadoe’ddin Djambek dalam bidang ilmu Falak di Indonesia.
2. Fakultas
Memberikan sumbangsih hasil penelitian guna memperkaya khazanah
kemajemukan mengenai metode-metode pemikiran Saadoe’ddin Djambek
dalam bidang ilmu Falak di Indonesia kepada Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta menambah literatur
kepustakaan mengenai Saadoe’ddin Djambek.
8
3. Penulis
Untuk menambah wawasan ataupun pengetahuan mengenai metode-
metode hisab menurut pandangan Saadoe’ddin Djambek dan juga sebagai
syarat memperoleh gelar sarjana pada tingkat Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
F. Studi Review Terdahulu
Sebelum penentuan judul bahasan dalam skripsi ini, penulis melakukan
kajian review terdahulu yang berkaitan dengan judul yang akan penulis bahas.
Sebanyak penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap berbagai kajian
review yang telah ada, terdapat cukup banyak penelitian yang berkaitan
dengan pembahasan ini. Kalaupun ada penelitian lain yang sejenis tidak akan
mencapai titik substansi yang sama, demi menghindari adanya plagiasi, maka
penulis mencatumkan berbagai penelitian yang telah ditemukan. Kajian
review terdahulu yang berkaitan dengan penulis di antaranya:
1. Skripsi Elly Uzlifatul Jannah, Analisis Pemikiran Saadoe’ddin Djambek
tentang Penentuan Waktu Shalat di Daerah Kutub dalam Perspektif
Astronomi dan Fikih. Program Studi Ilmu Falak Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Negeri Walisongo Semarang 2014,9 yang mengkaji
pemikiran Saadoe’ddin tentang penentuan awal waktu shalat di daerah
kutub melalui tinjauan astronomi dan fikih. Hasil penelitian ini
menunjukkan; Pertama, Saadoe’ddin tetap berpedoman bahwa waktu
shalat suatu daerah tidak bisa mengikuti daerah lainnya karena berbeda
lintang. Salah satu usaha Saadoe’ddin untuk menengahi permasalahan
tersebut adalah dengan menganalogikan daerah yang tidak teridentifikasi
waktu shalatnya dengan keadaan orang pingsan atau pun tertidur, sehingga
kewajiban shalat tetap harus dilakukan meski waktu shalatnya berbeda
dengan waktu normal sekitar khatulistiwa. Pendapat tersebut dianalisis
sebagai salah satu usaha Saadoe’ddin untuk memadukan perhitungan
9 Elly Uzlifatul Jannah, Analisis Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang Penentuan Waktu Shalat di Daerah Kutub dalam Perspektif Astronomi dan Fikih. Skripsi: Ilmu Falak Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang 2014.
9
astronomi waktu shalat dengan ketentuan waktu shalat dalam syariat
Islam. Kedua, Ditinjau dari ilmu astronomi, data-data dan ketentuan untuk
mengetahui posisi Matahari di suatu daerah yang digunakan oleh
Saadoe’ddin adalah benar dan juga memudahkan untuk mengidentifikasi
ada atau tidaknya waktu shalat di daerah-daerah tertentu, namun perlu
diperhatikan lagi untuk perhitungan ketinggian Matahari saat terbit dan
terbenam juga untuk menggunakan waktu daerah bukan menggunakan
mean time.
2. Skripsi Umi Laely Rizkiyani Analisis Pemikiran Saadoe’ddin Djambek
Tentang Penentuan Awal Bulan Kamariah. Jurusan Ilmu Falak Fakultas
Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang 2014.10
Penelitian ini yang mengemukakan tentang pemikiran Saadoe’ddin tentang
awal bulan kamariah. Hasil penelitiannya menunjukkan dua hal, pertama,
Algoritma hisab Saadoe’ddin Djambek meliputi cara menghitung waktu
terbenam Matahari, data-data Bulan, tinggi Bulan, dan seterusnya,
Hisabnya tidak menawarkan perhitungan ijtimak sebagaimana kebanyakan
hisab meskipun ia memang membahas tentang konsep ijtimak.
Penyelesaian perhitungan dengan kaidah logaritma yang sebelumnya
menggunakan tabel logaritma 4 desimal atau 5 desimal, saat ini dapat pula
diterapkan pada kalkulator, sehingga perhitungan menjadi lebih mudah.
Output data yang dihasilkan hanya sedikit dan rumusnya lebih ringkas
dibandingkan hisab yang berkembang saat ini, karena rumus hisabnya
menyesuaikan dengan kalkulator pada masanya yang masih sederhana.
Kedua, Perbedaan hasil perhitungan awal bulan kamariah antara hisab
Saadoe’ddin Djambek yang menggunakan data Almanak Nautika dengan
sistem Ephemeris Win Hisab yakni dalam kisaran detik busur hingga 15’
dan selisih tertinggi mencapai 16’-21’ (menit busur) dalam tinggi bulan
mar’i. Meskipun demikian, model hisab Djambek ini masih dapat
dianggap akurat.
10 Umi Laely Rizkiyani Analisis Pemikiran Saadoe’ddin Djambek Tentang Penentuan Awal Bulan Kamariah. Skripsi: Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang 2014.
10
3. Skripsi Asma’ul Fauziyah, IAIN Walisongo Semarang, yang berjudul
“Studi Analisis Hisab Awal Waktu Shalat dalam Kitab Natijah Al-Miqaat
Karya Ahmad Dahlan Al-Simarani”, mengkaji mengenai pemikiran
Ahmad Dahlan Al-Siramani mengenai konsep hisab dalam karyanya itu.11
Penelitian mengenai pemikiran hisab awal waktu shalat Ahmad Dahlan
Al-Siramani ini dapat memberikan gambaran untuk memahami bagaimana
pemikirannya dalam sub bahasan lainnya, yaitu mengenai tema awal
waktu shalat yang akan penulis teliti dengan tokoh yang berbeda.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu,
pada penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap hisab penentuan awal
waktu shalat, awal bulan qamariah dan penentuan arah kiblat berdsarkan
pemikiran Saadoe’ddin Djambek, serta mengkaji relevansi pemikiran tersebut
dengan perkembangan ilmu falak di Indonesia pada era kekinian.
G. Metode Penelitian
Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan terencana, dilakukan
dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna
membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran dari suatu gejala.12
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Analisis Kualitatif
pada dasarnya lebih menekankan pada proses deduktif dan induktif serta
pada analisis terhadap dinamika antar fenomena yang diamati, dengan
menggunakan logika ilmiah.13 Di mana penelitian ini terjadi secara
alamiah, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan
11 Asma’ul Fauziyah, “Studi Analisis Hisab Awal Waktu Shalat dalam Kitab Natijah Al-
Miqaat Karya Ahmad Dahlan Al-Siramani”, Skripsi Sarjana, Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, 2012.
12 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 2.
13 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-5, 2004), h. 5.
11
kondisinya, menekankan pada deskriptif alami. Pengambilan data atau
penjaringan fenomena dilakukan dari keadaan yang sewajarnya ini dikenal
dengan sebutan “pengambilan data secara alami atau natural”.
Berdasarkan tempat penelitiannya, maka penelitian yang penulis
lakukan termasuk pada penelitian kepustakaan (library research); yaitu
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan literatur (kepustakaan),
baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dari peneliti
terdahulu.
2. Jenis Data Penelitian
Dalam melakukan penelitian ilmiah ini, penelitian menyusun
berdasarkan sumber data yang terbagi dalam dua kriteria, yaitu sumber
data utama (primer) dan sumber data tambahan (sekunder) ialah:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
diperoleh dari buku-buku karya Saadoe’ddin Djambek yakni buku
yang berjudul Menghisab Awal Waktu Shalat, Arah Qiblat dan Tjara
Menghitungnja dengan Djalan Ilmu Ukur Segitiga Bola, dan Hisab
Awal Bulan.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini yaitu diperoleh dari buku-buku,
makalah seminar, jurnal-jurnal, laporan penelitian, artikel, majalah,
situs, testimoni, blog dan lain yang berhubungan dengan permasalahan
yang menjadi pokok bahasan dalam skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi
kepustakaan (Library Research) yaitu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan serta menganalisa data yang diperoleh dari literatur-
literatur yang berkenaan dengan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini berupa buku, artikel, dan sebagainya.
12
4. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data ini adalah metode
kualitatif. Menurut Tatang Amrin analisis kualitatif pada dasarnya
menggunakan pemikiran logis, analisis dengan logika induksi, analogi,
komparasi dan sejenisnya. 14 Lihat Hal ini dikarenakan data-data yang akan
dianalisis merupakan data yang diperoleh dengan cara pendekatan
kualiatif.
Analisis data yang akan dilakukan terdiri atas deskripsi dan analisis
isi. Deskripsi penulis akan memaparkan data-data atau hasil penelitian
melalui teknik pengumpulan data yang telah disebutkan di atas. Dari situ
akan diketahui bagaimana konsep hisab yang dimiliki oleh Saadoe’ddin
Djambek dalam menentukan awal waktu shalat, arah kiblat, dan awal
bulan qamariah.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Teknik penulisan skripsi ini mengacu kepada Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
H. Sistematika Penulisan
Secara garis besar, skripsi ini terbagi menjadi beberapa sistematika
pembahasan. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pembahasan dalam
penulisan. Maka dari itu sistematika pembahasan dalam penelitian ini terbagi
menjadi lima bab, yaitu:
Bab I, bab satu merupakan bagian pendahuluan yang berisi tentang latar
belakang yang menjadi dasar mengapa penulisan ini diperlukan, identifikasi
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, bab ini sebagai kajian teoritis tentang awal waktu shalat, arah kiblat dan
awal bulan qamariah menurut Islam. Landasan teori mengenai awal waktu
14 Tatang Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
h. 95.
13
shalat, arah kiblat, dan awal bulan qamariah akan diuraikan secara jelas pada
bab ini yang terdapat berbagai sub pembahasan, yaitu tentang pengertian
shalat, dasar hukum awal waktu shalat, waktu-waktu shalat wajib, pendapat
ulama tentang waktu shalat; pengertian kiblat, dasar hukum menghadap kiblat,
pendapat ulama tentang arah kiblat; serta tentang pengertian bulan qamariah,
dasar hukum awal bulan qamariah, pendapat ulama tentang awal bulan
qamariah.
Bab III, bab tiga adalah profil tokoh yang akan dikaji pemikirannya, yang
berisikan biografi Saadoe’ddin Djambek. Kajian materi pada bab ini mengenai
biografi Saadoe’ddin Djambek yang mencakup pendidikan dan aktivitas
semasa hidupnya, latar belakang keluarganya dan karya-karyanya.
Bab IV, bab empat merupakan hasil penelitian yang menguraikan metode
pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang penentuan awal waktu shalat,
penentuan arah kiblat, dan penentuan awal bulan qamariah. Pada bab inilah
yang merupakan pokok pembahasan dari skripsi ini, yang mengemukakan
tentang analisis metode pemikiran dan juga relevansi yang terdapat pada buku
karya Saadoe’ddin Djambek.
Bab V, bab lima sebagai bagian penutup dari skripsi ini yang merupakan bab
terakhir yang berisi kesimpulan, saran-saran dan penutup.
14
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG AWAL WAKTU SHALAT, ARAH
KIBLAT, DAN AWAL BULAN QOMARIYAH
A. Awal Waktu Shalat
a. Pengertian Shalat
Shalat merupakan salah satu kewajiban bagi kaum muslimin yang sudah
mukallaf dan harus dikerjakan baik bagi mukimin maupun dalam perjalanan.
Shalat merupakan rukun Islam kedua setelah syahadat. Islam didirikan atas
lima sendi (tiang) salah satunya adalah shalat, sehingga barang siapa
mendirikan shalat, maka ia mendirikan agama (Islam), dan barang siapa
meninggalkan shalat, maka ia meruntuhkan agama (Islam).
Shalat harus didirikan dalam satu hari satu malam sebanyak lima kali,
berjumlah 17 rakaat. Shalat tersebut merupakan wajib (maktubah) yang harus
dilaksanakan tanpa kecuali bagi muslim mukallaf baik sedang sehat maupun
sakit. Selain shalat wajib ada juga shalat–shalat sunah. Untuk membatasi
bahasan penulisan dalam permasalahan ini, maka penulis hanya membahas
tentang shalat wajib (maktubah) kaitannya dengan kehidupan sehari–hari.
Secara etimologi shalat berarti do’a dan secara terminologi atau istilah,
para ahli fiqih mengartikan secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat
berarti beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan
diakhiri dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut
syarat–syarat yang telah ditentukan.1
Arti shalat secara bahasa tersebut, sebagaimana terdapat dalam Al-Quran
Surat At-Taubah, Allah SWT berfirman:
وصل علیھم
Artinya “Dan berdoalah untuk mereka” (QS. At-Taubah: 103)
Maksud dari kata shalat pada ayat tersebut yakni berdoalah untuk
kebaikan mereka.
1Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan BIntang, 1975), h. 88.
15
Adapun secara hakikinya ialah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah,
secara yang mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam
jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya” atau
“mendahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah
dengan perkataan dan pekerjaan atau dengan kedua–duanya”.2
Dalam pengertian lain shalat ialah salah satu sarana komunikasi antara
hamba dengan Tuhannya sebagai bentuk, ibadah yang di dalamnya
merupakan amalan yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan yang
dimulai dengan takbiratul ikhram dan diakhiri dengan salam, serta sesuai
dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan syara’.3
Sedangkan menurut istilah agama (Islam), shalat adalah ucapan-ucapan
dan perbuatan-perbuatan yang dibuka (dimulai) dengan ucapan takbir (Allahu
Akbar) dan ditutup (diakhiri) dengan salam (Assalamu’alaikum
Warahmatullah) dengan syarat-syarat yang khusus. Definisi ini tidak meliputi
shalatnya orang bisu, karena mayoritas manusia itu bisa berbicara.
Shalat ini diwajibkan pertama kali pada malam Isra’ Mikraj satu setengah
tahun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah. Namun, ada sebagian orang
yang berpendapat bahwa diwajibkannya itu setahun sebelum hijrah, dan ada
pula yang mengatakan enam bulan atau setengah tahun sebelum hijrah.
Pertama kali, shalat ini diwajibkan sebanyak lima puluh (50) kali kemudian
dikurangi hingga menjadi lima (5) kali (sehari semalam). Tentang hal ini,
Anas bin Malik RA meriwayatkan:
فرض الله تعالى على الأمة الإسلامیة خمس صلوات فى الیوم واللیلة خلال رحلة النبي فى الإسراء والمعراج، وكانت فى أول الأمر خمسین (صلى الله علیھ وسلم)محمد صلاة فى الیوم واللیلة ولكن نبینا الكریم سأل الله تعالى التخفیف عن أمتھ فى أمر
الفریضة حتى أصبحت خمس صلوات بأجر خمسین صلاة
Artinya: Pada malam Isra diwajibkan kepada Nabi SAW shalat sebanyak
lima puluh kali, kemudian dikurangi hingga menjadi lima kali. Lalu beliau
SAW diseru: “Ya Muhammad, sesungguhnya keputusan ini tidak dapat
2 Hasby Ash-Shidiqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 59. 3 Imam Bashori Assuyuti, Bimbingan Shalat Lengkap, (Jakarta: Mitra Umat, 1998), h. 30.
16
diubah lagi dan sesungguhnya yang lima ini sama nilainya dengan yang lima
puluh itu.””(HR. Syaikhani, Tirmidzi, dan An-Nasa’i)
Shalat mempunyai kedudukan yang penting, bahkan ibadah yang utama
dalam ajaran Islam. Ungkapan hadits “shalat adalah tiang agama”
memberikan isyarat bahwa shalat merupakan ukuran kualitas seseorang,
bahkan ciri keislaman seseorang adalah shalatnya. Kualitas Islam seseorang
dapat dilihat dari sikap mereka tentang shalat. Hal yang membedakan orang
kafir dan muslim adalah shalat. Hal yang membedakan antara orang yang
munafiq dan mukmin sejati adalah shalat juga. Oleh karena itu, Islam
memposisikan shalat sebagai sesuatu yang khusus dan fundamental, yaitu
shalat menjadi salah satu rukun Islam yang harus ditegakkan, sesuai dengan
waktu-waktunya, kecuali ketika dalam keadaan khusus dan tidak aman.4 Hal
ini telah disyariatkan dalam surat An-Nisa’ ayat 103:
لاة كانت على المؤمنین كتابا موقوتا لاة إن الص فإذا اطمأننتم فأقیموا الصArtinya:“Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nisa’: 103).
Maksud ayat tersebut adalah anjuran untuk melaksanakan shalat sesuai
dengan waktunya. Hal ini berarti kita tidak boleh menunda dalam
menjalankannya sebab waktu-waktunya telah ditentukan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa shalat adalah
merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan dengan perbuatan yang
diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun
yang telah ditentukan syara’. Juga shalat merupakan penyerahan diri (lahir
dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon ridho-Nya.
b. Dasar Hukum Penentuan Awal Waktu Shalat Wajib
4 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, cet: I. (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 173.
17
Adapun dasar hukum shalat dan ketentuan waktu-waktunya, baik dalam
Al-Qur’an adalah sebagai berikut:
Allah SWT berfirman:
ی ت یذھبن ٱلس ن ٱلیل إن ٱلحسن لوة طرفي ٱلنھار وزلفا م لك ذكرى ٴ وأقم ٱلص ات ذكرین للذ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada bagian dari pada permulaan itu menghapus (dosa) perbuatan-
perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” (QS.
Hud: 114).
لوة لدلوك ٱلشمس إلى غسق ٱلیل وقرءان ٱلفجر إن قرءان ٱلفجر كان مشھودا أقم ٱلص Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah shalat) shubuh. Sesungguhnya shalat itu disaksikan
(oleh malaikat).” (QS. Al-Isra’: 78).
Dasar hukum shalat, baik yang berkaitan dengan shalat sebagai suatu
kewajiban maupun tentang waktu-waktu shalat, yang berasal dari hadits Nabi
Muhammad SAW adalah sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasa’i, At-Turmudzi,
dari Jabir ibn Abdullah r.a. sebagai berikut:
ان النبي صلى الله علیھ و سلم جاءه جبریل علیھ السلام فقال لھ : قم فصلھ, فصلى الظھر
حین زالت الشمس. ثم جاءه العصر فقال : قم فصلھ, فصلى العصر حین صار ظل كل شيء
فصلي المغرب حین وجبت الشمس ثم جاءه العشاء مثلھ. ثم جاءه المغرب فقال : قم فصلھ,
فقال : قم فصلھ, فصلى العشاء حین, غاب الشفق. ثم جاءه الفجر فقال : قم فصلھ فصلي
الفجر حین برق الفجر أوقأل سطع الفجر
Artinya: “Bahwasanya Jibril a.s. datang kepada Nabi saw, lalu berkata kepadanya: Bangun dan bershalatlah, maka Nabi pun bershalat dzuhur ketika telah tergelincir matahari. Kemudian Jibril datang pula kepada Nabi pada waktu ashar, lalu berkata: Bangun dan bershalatlah, maka Nabi bershalat ketika bayangan segala sesuatu itu menjadi sepanjang dirinya. Kemudian Jibril datang pula kepada Nabi pada waktu maghrib, lalu berkata:
18
Bangun dan bershalatlah maka Nabi bershalat maghrib, di waktu telah terbenam matahari. Kemudian Jibril datang lagi pada waktu isya serta berkata: Bangun dan bershalatlah maka Nabi bershalat isya di waktu telah hilang mega-mega merah. Kemudian Jibril datang pula pada waktu shubuh, lalu berkata: Bangun dan shalatlah, maka Nabi bershalat shubuh ketika fajar telah cemerlang.”
Dalam Hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Nasa’i,
dan Imam Turmudzi r.a sebagai berikut:
ثم جاءه من الغد للظھر فقال : قم فصلھ, فصلى الظھر حین صار ظل كل شیىء مثلھ. ثم
جاءه العصر فقال : قم فصلھ, فصلى العصر حین صار ظل كل شي العصر حین صار ظل
ل عنھ ثم جاءه العشاء حین ذھب نصف كل شیىء مثلیھ. ثم جاءه المغرب وقتا واحدا لم یز
اللیل أوقال ثلث اللیل, فصلى العشاء. ثم جاءه حین اسفر جدا فقال : قم فصلھ, فصلى الفجر,
ثم قال ما بین ھذین الوقتین وقت
Artinya: “Kemudian Jibril a.s. datang lagi kepada Nabi pada waktu dzuhur. Jibril berkata: Bangun dan bershalatlah, maka Nabi bershalat dzuhur ketika bayangan segala sesuatu telah menjadi sepanjang dirinya. Kemudian Jibril datang lagi ketika telah jadi bayangan segala sesuatu dua kali sepanjang dirinya. Kemudian Jibril datang lagi pada waktu maghrib sama seperti waktu beliau datang kemarin. Kemudian datang lagi pada waktu isya ketika telah berlalu separuh malam, atau sepertiga malam, maka Nabi pun shalat isya’. Kemudian Jibril datang lagi di waktu fajar telah bersinar benar, lalu berkata: Bangun dan bershalatlah, maka Nabi pun bangun dan bershalat shubuh. Sesudah itu Jibril berkata: Waktu-waktu di antara kedua waktu ini, itulah waktu shalat.” (HR. Imam Ahmad, Imam Nasa’i, dan Imam Turmudzi). c. Pendapat Ulama tentang Penentuan Awal Waktu Shalat
Waktu dzhuhur bermula dari tergelincirnya matahari hingga bayang-
bayang suatu benda menjadi sama panjang dengannya. Ini adalah pendapat
dua orang sahabat Abu Hanifah dan juga pendapat tiga imam yang lain.
Pendapat ini juga merupakan pendapat yang difatwakan dalam madzhab
Hanafi.5
5 Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet: I. (Jakarta: Gema Insani, 2010), Jilid
1, h. 552.
19
Mulainya waktu ashar adalah dari masa berakhirnya waktu zhuhur dan
waktu ashar berakhir dengan tenggelamnya matahari. Artinya, waktu ashar
bermula ketika bayang-bayang suatu benda bertambah dari panjang asalnya,
yaitu pertambahan yang paling minimal, menurut jumhur. Adapun menurut
Abu Hanifah, ia bermula dari masa bertambahnya bayangan dua kali lipat
dari benda asalnya.6
Waktu maghrib bermula dari terbenamnya matahari. Ini disepakati oleh
seluruh ulama. Menurut jumhur (ulama Hanafi, Hambali, dan qaul qadim
madzhab Syafi’i) ia berlangsung hingga hilang waktu syafaq (muncul cahaya
merah).7
Adapun waktu isya menurut para madzhab bermula dari hilangnya syafaq
ahmar (cahaya merah) hingga munculnya fajar shadiq. Maksudnya adalah
beberapa saat sebelum muncul fajar. Hal ini berdasarkan kata-kata Ibnu
Umar, yaitu “Syafaq merah, apabila syafaq itu hilang, maka wajib shalat
(Isya).”8
Waktu shubuh bermula dari naiknya fajar shadiq hingga naiknya
matahari. Fajar shadiq adalah cahaya putih yang tampak terang yang berada
sejajar dengan garis lintang ufuk. Ia berlainan dengan fajar kadzib yang naik
bentuknya memanjang mengarah ke atas di tengah-tengah langit seperti
seekor srigala hitam. Hukum-hukum syara’ banyak bergantung kepada fajar
shadiq, yaitu dalam menentukan permulaan puasa, permulaan waktu shubuh,
dan berakhirnya waktu isya’. Sebaliknya hukum-hukum syara’ tidak
bergantung kepada fajar kadzib. Hadits Abdullah bin Amru yang terdapat
dalam Shahih Muslim menyebutkan bahwa waktu shalat shubuh bermula dari
naiknya fajar dan berlangsung hingga matahari belum naik. Waktu antara
naiknya matahari hingga waktu zhuhur dianggap sebagai waktu yang tidak
ada hubungannya dengan kewajiban shalat.9
6 Ibid, h. 553. 7 Ibid, h 554. 8 Ibid, h. 555. 9 Ibid, h. 551.
20
Berdasarkan batasan-batasan waktu shalat sebagaimana yang telah
ditentukan dalam Al-Qur’an, dalam hadits dan pendapat para ulama, yaitu
sebagai berikut:
a) Waktu Shalat Dzuhur
Waktunya dimulai dari tegak lurusnya bayangan matahari sampai
panjang bayangan, setinggi tongkat yang didirikan.10 Waktu dzuhur
dimulai sejak matahari tergelincir, yaitu sesaat setelah seluruh bundaran
matahari meninggalkan titik kulminasi dalam peredaran hariannya.
Biasanya waktu dzuhur dimulai sekitar 2 menit setelah titik istiwa’ (ketika
matahari pada titik meridian langit) serta berakhir sampai awal waktu
ashar tiba.
Dalam hadits tersebut di atas dikatakan bahwa suatu hari Nabi
Muhammad saw melakukan shalat dzuhur ketika “matahari tergelincir”
sedangkan pada kesempatan yang lain beliau melakukan shalat dzuhur
ketika “bayang-bayang sama panjang dengan dirinya”. Hal ini dalam
analisis ahli hisab tidaklah bertentangan. Menurut mereka, konteks daerah
Saudi Arabia yang berlintang sekitar 20º-30º (LU) memungkinkan
panjang baying-bayang pada saat matahari tergelincir sama panjang
dengan bendanya atau bahkan lebih, yaitu ketika matahari berada pada
jauh di selatan daerah Saudi Arabia, misalnya saat matahari berdeklinasi -
23º (LS).11
b) Waktu Shalat Ashar
Waktunya dimulai dari panjangnya bayangan setinggi tongkat yang
didirikan, sampai memanjang dua kali tinggi tongkat (kedua waktu shalat
tersebut habisnya sampai terbenamnya matahari). Untuk yang
berkehendak menggabungkan shalat ashar dengan shalat dzuhur, maka
diharuskan baginya untuk tetap mengakhirkan ashar baik dalam bepergian
maupun tidak.12
10 Muhammad Taufiq Ali Yahya. Sholat: Hikmah, Syariat dan Wirid-wiridnya, cet: II.
(Jakarta: Penerbit Lentera, 2006), h. 270. 11 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 180. 12 Muhammad Taufiq Ali Yahya. Sholat: Hikmah, Syariat dan Wirid-wiridnya, h. 270.
21
Dalam hadits di atas disebutkan bahwa Nabi SAW melakukan shalat
ashar pada saat “panjang bayang-bayang sepanjang dirinya”, dan juga
disebutkan pada saat “panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya”.
Kedua waktu tersebut dapat dikompromikan, yakni pertama, Nabi SAW
melakukan shalat ashar pada saat panjang bayang-bayang sepanjang
dirinya. Ini terjadi ketika saat matahari kulminasi setiap benda tidak
mempunyai bayang-bayang. Kedua, Nabi SAW melakukan shalat ashar
pada saat panjang bayang-bayang dua kali panjang dirinya. Ini terjadi
ketika matahari kulminasi, panjang bayang-bayang sama dengan panjang
dirinya.13
c) Waktu Shalat Maghrib
Waktunya dimulai dari terbenamnya matahari ditandai dengan
hilangnya mega merah di ufuk timur sampai hilangnya mega merah
tersebut dari ufuk barat.14
Waktu maghrib dimulai sejak matahari terbenam sampai tibanya
waktu isya’, yaitu sejak terbenamnya matahari sampai hilangnya mega
merah. Matahari dinyatakan terbenam jika piringan matahari yang sebelah
atas sudah berhimpit dengan ufuk mar’I (ufuk yang terlihat).15
d) Waktu Shalat Isya’
Waktunya dimulai dari terbenamnya mega merah sampai beberapa
saat menjelang pertengahan malam. Adapun habisnya waktu maghrib
adalah sebelum pertengahan malam tiba, sedang habisnya waktu isya’
dengan tibanya pertengahan malam, shalat di luar waktu yang telah
ditentukan, shalatnya dianggap qadha’. Untuk menggabungkan kedua
shalat tersebut, shalat isya’ dilakukan setelah shalat maghrib
(sebagaimana cara penggabungan shalat ashar dengan dzuhur).16
Waktu isya’ dimulai sejak apabila mega warna merah di ufuk barat
sudah hilang. Artinya waktu isya’ itu mulai masuk apabila gelap malam
13 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 182. 14 Muhammad Taufiq Ali Yahya. Sholat: Hikmah, Syariat dan Wirid-wiridnya, h. 270. 15 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 184. 16 Muhammad Taufiq Ali Yahya. Sholat: Hikmah, Syariat dan Wirid-wiridnya, h. 270-271.
22
sudah sempurna karena tidak ada lagi pantulan cahaya matahari pada
awan atau mega yang dapat ditangkap oleh mata.17
e) Waktu Shalat Shubuh
Waktunya dimulai dari terlihatnya cahaya melintang pada ufuk timur
(fajar shadiq) sampai terbitnya matahari.18
Waktu shubuh dimulai sejak terbit fajar shadiq. Diketahui bahwa
fajar pagi hari ada dua macam, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar
kadzib (fajar yang dusta) adalah fenomena pantulan sinar matahari
menjelang pagi hari menjelang pagi hari yang membentuk suasana berkas
sinar terang yang memanjang ke atas. Dikatakan kadzib karena seberkas
terang itu tidak menunjukkan datangnya waktu shubuh yang sebenarnya.
Adapun fajar shadiq merupakan fenomena fajar seberkas sinar terang
menjelang pagi yang melebar di ufuq timur dari utara ke selatan. Fajar
inilah yang menunjukkan awal waktu shubuh yang sebenarnya.19
B. Arah Kiblat
a. Pengertian Kiblat
Secara bahasa, kiblat disebut juga jihah atau syathrah dan kadang-
kadang disebut juga dengan qiblah yang berasal dari kata qabbala yaqbulu
yang artinya mengahadap. Kiblat diartikan juga dengan arah ke ka’bah di
Mekkah (pada waktu shalat) sedangkan dalam bahasa latin disebut juga
dengan Azimuth.20 Dalam wacana Ilmu Falak, azimuth diartikan sebagai arah
yang posisinya diukur dari titik utara sepanjang lingkaran horizon searah
jarum jam.21 Dengan demikian dari segi bahasa kiblat berarti menghadap ke
ka’bah ketika shalat.22
Adapun kata kiblat menurut istilah (terminologis), para ulama bervariasi
memberikan definisi tentang arah kiblat, antara lain:
17 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 185. 18 Muhammad Taufiq Ali Yahya. Sholat: Hikmah, Syariat dan Wirid-wiridnya, h. 271. 19 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 186. 20 Maskufa, Ilmu Falaq, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), h. 124. 21 Moh. Murtadho,Ilmu Falak Praktis, h. 123-124. 22 Maskufa, Ilmu Falaq, h. 124.
23
a. Abdul Aziz Dahlan mendefinisikan kiblat sebagai bangunan ka’bah atau
arah yang dituju kaum muslimin dalam melaksanakan sebagian ibadah.
b. Harun Nasution mengartikan kiblat sebagai arah untuk menghadap pada
waktu shalat.
c. Mochtar Effendy mengartikan kiblat sebagai arah shalat, arah ka’bah di
kota Makkah.
Sementara itu terdapat ahli falak yang mengaitkan pengertian arah kiblat
dengan paradigma bumi sebagai planet yang bulat sehingga seseorang yang
menghadap kiblat hendaknya mengambil arah yang paling dekat. Hal ini
didasarkan pada teori bumi bulat yang implikasinya antara “menghadap” dan
“membelakangi” itu sama, yang membedakan hanyalah jarak tempuhnya.
Pengertian arah kiblat yang mengaitkan dengan jarak tempuh dapat
dilihat pada rumusan beberapa ulama, antara lain:
a. Slamet Hambali memberikan definisi arah kiblat yaitu arah menuju
ka’bah (Mekkah) lewat jalur terdekat yang mana setiap muslim dalam
mengerjakan shalat harus menghadap ke arah tersebut.
b. Muhyiddin Khozin yang mendefinisikan arah kiblat adalah arah atau
jarak terdekat sepanjang lingkaran besar yang melewati ka’bah (Mekkah)
dengan tempat kota yang bersangkutan.
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kiblat adalah arah
terdekat dari seseorang menuju ka’bah dan setiap muslim wajib menghadap
ke arahnya saat mengerjakan shalat.23 Para ulama sepakat bahwa bagi orang-
orang yang melihat ka’bah wajib menghadap ‘ain ka’bah dengan penuh
keyakinan. Sementara itu, bagi mereka yang tidak bisa melihat ka’bah maka
para ulama berbeda pendapat. Pertama, jumhur ulama selain Syafi’iyah
berpendapat cukup dengan menghadap jihah ka’bah. Kedua, Syafi’iyah
berpendapat bahwa diwajibkan bagi yang jauh dari Mekkah untuk mengenai
‘ain ka’bah yakni wajib menghadap ka’bah sebagai mana yang diwajibkan
pada orang-orang yang menyaksikan ‘ain ka’bah.24 Dengan kata lain, arah
23 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 125-126. 24 Maskufa, Ilmu Falaq, h. 128.
24
kiblat adalah suatu arah yang wajib dituju oleh umat Islam ketika melakukan
ibadah shalat dan ibadah-ibadah yang lain. Arah kiblat adalah arah ka’bah
atau wujud ka’bah, maka orang yang berada di dekat ka’bah tidak sah
shalatnya kecuali menghadap wujud ka’bah (‘ain ka’bah), dan orang yang
jauh dari ka’bah (tidak melihat) maka baginya wajib berijtihad untuk
menghadap kiblat (ke arah kiblat). Dengan demikian yang dimaksud dengan
kiblat secara istilah (terminologi) adalah sesuatu yang wajib dituju oleh umat
Islam ketika melaksanakan ibadah shalat.
b. Dasar Hukum Menghadap Kiblat
Para ulama sepakat bahwa menghadap kiblat dalam melaksanakan shalat
hukumnya adalah wajib karena merupakan salah satu syarat sahnya shalat.
Sebagaimana yang terdapat dalam dalil-dalil syara’. Bagi orang yang berada
di Mekkah dan sekitarnya, persoalan tersebut tidak ada masalah, karena
mereka lebih mudah dalam melaksanakan kewajiban itu. Namun, hal ini
menjadi persoalan bagi orang yang jauh dari Mekkah. Kewajiban seperti itu
merupakan hal yang berat, karena mereka tidak pasti bisa mengarah ke
ka’bah secara tepat. Apalagi para ulama berselisih mengenai arah yang
semestinya sebab mengarah ke ka’bah yang merupakan syarat sahnya shalat
adalah menghadap ka’bah yang haqiqi (sebenarnya).25
Oleh karena menghadap kiblat itu berkaitan dengan ritual ibadah yakni
shalat, maka ia baru boleh dilakukan setelah ada ketetapan atau dalil yang
menunjukan bahwa menghadap kiblat itu wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah
fiqhiyyah: “al-ashlu fi al-ibadah al-buthlan hatta yaquuma al-daliilu ‘ala al-
amri, hukum pokok dalam lapangan ibadah itu adalah bathal sampai ada dalil
yang memerintahkan”. Ini berarti bahwa dalam lapangan ibadah, pada
hakikatnya segala perbuatan harus menunggu adanya perintah.26
25 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 126-127. 26 Maskufa, Ilmu Falaq, h. 125.
25
Para ulama telah membuat ijma’ yang menetapkan ka’bah sebagai arah
atau kiblat bagi seluruh umat Islam dalam melaksanakan ritual ibadah shalat,
dengan berdasarkan kepada firman Allah SWT dan sabda Rasulullah SAW.27
Ada beberapa nash yang memerintahkan kita untuk menghadap kiblat
dalam shalat, baik nash Al-Qur’an maupun Hadits. Adapun nash Al-Qur’an
adalah sebagai berikut:
قد نرى تقلب وجھك في ٱلسماء فلنولینك قبلة ترضٮھا فول وجھك شطر ٱلمسجد
ب لیعلمون أنھ ٱلحق ٱلحرام وحیث ما كنتم فولوا وجوھكم شطرهۥ وإن ٱلذین أوتوا ٱلكت
ا یعملون فل عم بغ بھم وما ٱللہ من ر“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamy ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 144).
Juga terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 150:
ٱلحرام وحیث ما كنتم فولوا وجوھكم ومن حیث خرجت فول وجھك شطر ٱلمسجد
ة إلا ٱلذین ظلموا منھم فلا تخشوھم وٱخشوني و لأتم شطرهۥ لئلا یكون للناس علیكم حج
نعمتي علیكم ولعلكم تھتدون “Dan dari mana saja kamu keluar (datang) maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram, dan di mana saja kamu berada maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atas kamu, dan supaya kamu dapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 150).
Di samping dasar hukum menghadap kiblat yang tertuang dalam Al-
Qur’an, ada juga hadits yang berkaitan dengan sikap, sabda, dan perbuatan
Rasulullah saw sebagai penjelasan dan aplikasi perintah menghadap kiblat
dalam Al-Qur’an. Di antara hadits yang berkaitan dengan penjelasan dan
27 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 128.
26
dasar menghadap kiblat adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dari sahabat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:
استقبل القبلة وكبر
“Menghadaplah ke kiblat lalu takbirlah.” (HR. Bukhari).
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat
Jabir ra, yang menjelaskan bahwa:
الله صلى الله علیھ وسلم یصلي على راحلتھ حیث توجھت فاذأ أراد الفریضة نزل كان رسول
فاستقبل القبلة
Artinya: “Ketika Rasulullah saw shalat di atas kendaraan (tunggangannya)
beliau menghadap ke arah sekehendak tunggangannya, dan ketika beliau
hendak melakukan shalat fardhu beliau turun kemudian menghadap Kiblat.”
(HR. Bukhari).
c. Pendapat Ulama tentang Menghadap Arah Kiblat
Meskipun para ulama telah sepakat tentang ka’bah sebagai kiblat seluruh
umat Islam dalam melakukan ibadah shalat, akan tetapi dalam tataran teknis
dan tata laksana menghadap kiblat terdapat varian perbedaan pendapat,
terutama pada teritorial daerah yang jauh dari ka’bah. Sebaliknya, pada
daerah yang jauh hingga tidak tampak bentuk fisik ka’bah para ulama masih
berbeda pendapat tentang teknis menghadap kiblatnya.28
Para fuqoha juga sependapat bahwa seseorang yang dapat melihat ka’bah
diwajibkan menghadap tepat ke bangunan ka’bah tersebut dengan yakin.
Begitu juga, wajib menghadap ke arah ka’bah dengan tepat bagi penduduk
kota Mekkah atau ada sesuatu yang menghalangi antara mereka dengan
ka’bah seperti dinding. Pendapat terakhir ini adalah pendapat ulama Hambali.
Menurut pendapat jumhur (kecuali ulama madzhab Syafi’i), orang yang tidak
28 Moh. Murtadho, Ilmu Falak Praktis, h. 132.
27
dapat melihat ka'ba’ juga diwajibkan menghadap ke arah Ka’bah. Ini
berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
ما بین المشرق والمغرب قبلة
“Di antara timur dengan barat adalah kiblat.”29
Hadits tersebut menunjukkan bahwa semua bagian di antara timur
dengan barat adalah kiblat. Ini disebabkan kalau diwajibkan menghadap tepat
ke ka’bah, niscaya tidak sah shalat orang yang berada dalam barisan (shaff)
yang panjang dan lurus. Dan tidak sah juga shalat sendirian yang dilakukan
dua orang yang berjauhan tempat dan keduanya menghadap ke arah kiblat.
Karena, dalam satu barisan yang panjang tidak mungkin dapat menghadap
tepat ke arah ka’bah kecuali sekadar ukuran searah ka’bah saja.30
Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm, “Orang yang berada di
luar Mekkah diwajibkan tepat menghadap ke ka’bah, karena perintah nash
ada yang mewajibkan menghadap kiblat. Artinya, diwajibkan menghadap
tepat ke ka’bah sebagaimana sebagaimana penduduk Mekkah juga wajib
menghadap tepat ke ka’bah.”31 Ini berdasarkan firman Allah SWT,
… طرهوحیث ما كنتم فولوا وجوھكم ش … “… Dan di mana saja engkau berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu…” (QS. Al-Baqarah: 144).
Yang diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah. Ini berarti
diwajibkannya menghadap tepat ke ka’bah sebagaimana juga orang yang
dapat melihat ka’bah.32
Apa yang dimaksudkan oleh para imam madzhab dengan menghadap ke
arah ka’bah adalah menghadapkan tubuh dan pandangan seseorang yang
shalat ke arah ka’bah. Maksudnya, hendaklah sebagian dari mukanya terus
mengarah ke ka’bah, atau ruang udara di atas ka’bah, menurut pendapat
jumhur (kecuali ulama Maliki). Yaitu, jika dipanjangkan garis lurus ke depan
29 Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 631. 30 Ibid, h. 631-632. 31 Ibid, h. 632. 32 Ibid, h. 632.
28
dari tengah-tengah mukanya, niscaya akan mengenai ka’bah atau ruang udara
di atasnya. Ka’bah berada dari bumi ke tujuh hingga ke Arsy. Oleh sebab itu,
boleh melakukan shalat di atas bukit yang tinggi dan telaga yang dalam,
sebagaimana juga boleh melakukan shalat di atas atap ka’bah dan di
dalamnya. Jika seandainya dinding ka’bah roboh, niscaya sah juga shalat
dengan menghadap kea rah tempat asal bangunan dinding ka’bah tersebut.33
Menurut pendapat ulama Maliki, yang diwajibkan adalah menghadap ke
arah bangunan ka’bah. Oleh sebab itu, tidaklah cukup jika menghadap ke
langit arah ruang udara di atas ka’bah.34
Sebagai pedoman arah kiblat untuk umat Islam di Indonesia, Komisi
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai arah
kiblat, yaitu fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 menyatakan bahwa kiblat umat
Islam Indonesia menghadap ke arah barat dan diperjelas dengan fatwa MUI
No. 05 Tahun 2010 menyatakan bahwa kiblat umat Islam Indonesia
menghadap ke arah barat laut. Sehingga dengan demikian penentuan arah
kiblat menjadi lebih diperjelas dan dimengerti untuk dipraktikan.
C. Awal Bulan Qamariah
a. Pengertian Bulan Qamariah
Dalam bahasa Arab istilah bulan diartikan dengan kata asy-syahr. Kata
asy-syahr memiliki arti tanggal, bulan, kata syahr lebih dijelaskan bermakna
bulan: bagian dari tahun. Adapun kata al-qamar dalam bahasa Indonesia
memiliki dua arti, pertama berarti bulan dan kedua qamar yang berarti
satelit.. Adapun kata al-qamariyah dalam kamus Al-Munawwir diartikan al-
muta’alaqu bil qamar yakni berkaitan dengan piringan bulan (benda langit).35
Istilah Qamar yang diartikan sebagai pringan Bulan memiliki dua gerak
peredaran yakni rotasi dan revolusi. Selain itu terdapat pula peredaran Bulan
dan Bumi bersama-sama mengelilingi Matahari. Peredaran benda langit
33 Ibid, h. 632. 34 Ibid, h. 632. 35 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 748.
29
tersebut menciptakan sebuah system perhitungan waktu. Bulan qamariah
dapat diartikan sebagai sebuah perhitungan waktu yang didasarkan pada
peredaran Bulan mengelilingi Bumi dan peredaran kedua benda langit itu
dalam mengelilingi Matahari. Umur Bulan qamariah didasarkan pada waktu
di antara dua ijtimak dengan rata-rata selama 29 hari 12 jam 44 menit 2,8
detik. Jangka waktu perjalanan Bulan ini disebut bulan sinodis atau syahr
iqtironi.36
Satu dua hari sejak terjadinya ijtimak merupakan fase Bulan berawal di
mana Bulan berbentuk sabit (hilal atau crescent). Setelah tujuh hari
berlangsung Bulan tampak berbentuk setengah lingkaran yang disebut Bulan
Perbani (tarbi awwal atau first quarter). Pada malam ke-15 Bulan terlihat
dengan bentuk lingkaran penuh yang dikenal sebagai Bulan Purnama (badr
atau full moon). Saat itu Bulan dan Matahari memiliki selisih bujur 180º.
Posisi ini disebut Bulan sedang beroposisi (istiqbal).37
Rupa semu Bulan semakin mengecil hingga pada hari ke-22 menjadi
setengah lingkaran kembali yang disebut sebagai perempat kedua (last
quarter atau tarbi tsani). Pada hari ke-29 wajah Bulan tidak Nampak lagi
karena tidak mendapat cahaya Matahari disebut dengan Bulan mati (New
moon). Bulan kembali pada posisi ijtimak dan memliki selisih bujur
astronomis dengan Matahari sebanyak +0º. Setelah itu, Bulan akan kembali
pada fase awal sebagai tanda memasuki Bulan qamariah baru.
Secara sederhana dapat dipahami bahwasanya awal bulan qamariah
ditandai dengan munculnya Bulan baru yang disebut hilal atau Bulan sabit.
b. Dasar Hukum Penentuan Awal Bulan Qamariah
Adapun dasar hukum tentang awal bulan qamariah, baik dalam Al-
Qur’an di antaranya adalah sebagai berikut:
36 Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, (Jakarta: Badan Peradilan Agama Islam,
2007), h. 110. 37 Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, (Jawa Timur: Bismillah Publisher, 2012), h.
224.
30
ت وٱلأرض و م یوم خلق ٱلس ب ٱللہ ٱثنا عشر شھرا في كت ھور عند ٱللہ إن عدة ٱلش
ین ٱلقیم فلا تظلموا فیھن أن لك ٱلد تلوا ٱلمشركین كافة كما منھا أربعة حرم ذ فسكم وق
مع ٱلمتقین تلونكم كافة وٱعلموا أن ٱللہ یق“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi.” (QS. At-Taubah: 36)
ٱلشمس وٱلقمر بحسبان “Matahari dan bulan itu (beredar) menurut perhitungan.” (QS. Ar-Rahman:
5)
نین وٱلحساب ما ھو ٱلذي جعل ٱلشمس ضیاء وٱلقمر نورا وقدرهۥ منازل لتعلموا عدد ٱلس
ت لقوم یعلمون ل ٱلأی لك إلا بٱلحق یفص ذ خلق ٱللہ“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
Dasar hukum penentuan awal bulan qamariah yang berasal dari hadits
Nabi Muhammad saw. yang berbunyi sebagai berikut:
عن أبي ھریرة رضى الله عنھ قال قل النبى صلى الله علیھ و سلم : صو موا لرؤیتھ
وأفطروا لرؤیتھ فان غبي علیكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثین
Artinya: “Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Nabi saw bersabda: Berpuasalah kamu ketika melihat hilal dan beridulfitrilah ketika melihat hilal pula; jika hilal di atasmu terhalang awan, maka genapkanlah bilangan bulan Sya’ban tiga puluh hari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Ibn ‘Umar r.a., Rasulullah saw bersabda:
عن عبد الله بن عمر رضى الله عنھما ان رسول الله صلى الله علیھ و سلم ذكر
ى تروه فان غم علیكم رمضان فقال لا تصوموا حتى تروا الھلال ولا تفطروا حت
فاقدروا لھ“Dari Ibn ‘Umar r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah menyebut-nyebut Ramadhan, dan berkata: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal
31
dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika hilal di atasmu terhalang awan, maka estimasikanlah.” (HR. Bukhari dan Muslim) c. Pendapat Ulama tentang Penentuan Awal Bulan Qamariah
Pendapat para fuqoha tentang cara memastikan kemunculan hilal berkisar
di antara tiga kemungkinan, yaitu dengan terlihatnya hilal oleh khalayak
ramai, oleh dua Muslim yang adil (berperangai baik), dan oleh satu pria yang
adil.38
Ulama madzhab Hanafi berpendapat, jika langit cerah, untuk menetapkan
tibanya bulan Ramadhan dan hari Idul Fitri, hilal harus terlihat oleh khalayak
ramai. “Khalayak ramai” adalah sejumlah orang yang dapat memberi
informasi secara pasti (atau hamper pasti). Pengukuran jumlah mereka
diserahkan kepada pemimpin Negara (menurut pendapat paling shahih).
Syarat terlihatnya hilal oleh khalayak ramai adalah karena mathla’ hanya satu
di kawasan itu, sementara tidak ada penghalang (mendung, misalnya), mata
semua orang sehat, dan mereka semua berkeinginan untuk melihat hilal.
Sehingga, dalam kondisi seperti ini, jika hanya satu orang di antara khalayak
yang melihat hilal, ini jelas menunjukkan kekeliruan penglihatannya. Pada
waktu menyampaikan kesaksian, masing-masing dari khalayak ini mesti
mengucapkan “Aku bersaksi”.39 Adapun jika langit tidak cerah karena
mendung atau badai debu misalnya, maka terlihatnya hilal cukup dipastikan
dengan persaksian seorang Muslim yang adil (berbudi luhur), berotak waras,
dan baligh (“orang yang adil” adalah orang yang kebaikannya lebih banyak
daripada keburukannya); atau persaksian seorang Muslim yang tidak
diketahui budi pekertinya (menurut pendapat yang shahih), baik dia laki-laki
maupun perempuan, merdeka ataupun hamba sahaya; sebab ini adalah
perkara keagamaan, sehingga ia mirip dengan periwayatan hadits. Dalam
kondisi ini tidak disyariatkan orang tersebut mengucapkan “Aku bersaksi”. Di
38 Wahbah Az-Zuhaili. Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet: I. (Jakarta: Gema Insani, 2011),
Jilid 3, h. 50. 39 Ibid, h. 50.
32
kota, persaksian ini diutarakan di hadapan hakim, sedangkan di desa
diutarakan di tengah orang banyak di dalam masjid.40
Ulama madzhab Maliki berpendapat bahwa hilal dipastikan
kemunculannya melalui ru’yah dengan tiga cara berikut41:
Pertama, hilal terlihat oleh khalayak ramai, meskipun mereka tidak
berbudi luhur. “Khalayak ramai” adalah orang-orang dalam suatu jumlah
yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta. Mereka tidak
disyaratkan harus laki-laki, merdeka, atau berbudi luhur; Kedua, hilal
terlihat oleh dua orang atau lebih yang berbudi luhur. Persaksian mereka
memastikan tibanya hari puasa dan hari Idul Fitri, baik pada waktu
mendung maupun cuaca cerah. “Orang yang berbudi luhur” adalah laki-
laki merdeka, baligh, dan berotak waras, yang tidak pernah melakukan
dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil, serta tidak
melakukan perkara yang mengurangi kewibawaan. Dengan demikian,
tidak wajib puasa pada waktu cuaca mendung jika yang melihat hilal
hanya satu laki-laki yang berbudi luhur, atau satu perempuan, atau dua
perempuan (menurut pendapat yang mahsyur), tapi orang yang melihat
hilal itu sendiri wajib berpuasa. Boleh memberi kesaksian berdasarkan
kesaksian dua laki-laki berbudi luhur, apabila berita kedua laki-laki
tersebut dinukil oleh dua orang dari masing-masing mereka, tidak cukup
jika yang menukil hanya satu orang. Dalam pernyataan yang disampaikan
oleh dua laki-laki berbudi luhur atau oleh orang yang menukil pernyataan
mereka, tidak harus dipakai ungkapan “Aku bersaksi”. Ketiga, hilal terlihat
oleh satu orang yang berbudi luhur. Jika demikian, hari puasa dan Idul
Fitri sudah pasti bagi orang ini. Begitu pula bagi orang yang diberitahunya
yang tidak berkepentingan dengan penglihatan hilal. Sedangkan bagi orang
yang berkepentingan dengan urusan penglihatan hilal, dia tidak wajib
berpuasa berdasarkan informasi terlihatnya hilal oleh satu orang ini. Begitu
pula dia tidak boleh menghentikan puasa (berhari raya Idul Fitri)
40 Ibid, h. 50. 41 Ibid, h. 51-52.
33
berdasarkan informasi tersebut. Dengan demikian, penguasa tidak boleh
menetapkan kemunculan hilal berdasarkan penglihatan satu orang saja
yang berbudi luhur. Orang ini tidak disyaratkan harus laki-laki dan tidak
pula harus merdeka. Adapun jika orang yang melihat hilal tersebut adalah
si penguasa sendiri, maka wajib berpuasa dan berhari raya Idul Fitri (bagi
semua orang). Satu atau dua orang yang berbudi luhur berkewajiban
melapor kepada penguasa bahwa dia/mereka telah melihat hilal agar
dilaksanakan acara penyampaian kesaksian, sebab mungkin saja si
penguasa termasuk orang yang berpendapat bahwa kemunculan hilal bisa
dipastikan berdasarkan kesaksian satu orang yang berbudi luhur.
Ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa kemunculan (untuk
Ramadhan, Syawwal, maupun bulan yang lain) dipastikan dengan
penglihatan satu orang yang berbudi luhur, meskipun orang ini tidak dikenal,
baik langit cerah ataupun tidak, dengan syarat bahwa orang yang melihat
tersebut berbudi luhur, Muslim, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, dan
mengucapkan kalimat “Aku bersaksi”. Jadi, hilal tidak dapat dipastikan
kemunculannya berdasarkan penglihatan orang fasik, anak kecil, orang gila,
budak, dan perempuan. Dalil mereka: Suatu ketika Ibnu Umar r.a. melihat
hilal lalu dia melapor kepada Rasulullah saw., kemudian Rasulullah berpuasa
dan memerintahkan orang-orang berpuasa42.
Dipastikannya kemunculan hilal berdasarkan informasi satu orang adalah
untuk ihtiyath puasa. Adapun bagi orang yang melihat hilal itu sendiri, dia
wajib berpuasa meskipun dia bukan orang yang berbudi luhur (yakni dia
orang fasik), atau dia anak kecil, perempuan, atau orang kafir, atau dia tidak
mengucapkan kesaksian di hadapan qadhi (hakim), atau dia sudah bersaksi
tapi kesaksiannya tidak diterima. Puasa juga wajib atas orang yang
membenarkan informasinya dan percaya kepada kesaksiannya.43
Menurut ulama madzhab Hambali untuk memastikan hilal Ramadhan,
dapat diterima perkataan seorang mukalaf yang berbudi luhur, secara zahir
42 Ibid, h. 52. 43 Ibid, h. 53.
34
dan batin, baik dia laki-laki maupun perempuan, merdeka maupun budak,
meskipun dia tidak mengucapkan “Aku bersaksi bahwa aku sudah melihat
hilal.” Jadi, tidak dapat diterima perkataan seorang mumayiz dan orang yang
tidak diketahui perangainya. Sebab, ucapannya tidak bisa diyakini
kebenarannya, baik dalam cuaca mendung maupun cerah, meskipun orang
yang melihat itu berada di kerumunan orang banyak dan hanya dia seorang
yang melihat hilal. Dalil mereka adalah hadits terdahulu bahwa Nabi saw.
memerintahkan orang-orang berpuasa berdasarkan laporan Ibnu Umar, juga
hadits terdahulu bahwa Nabi saw. menerima laporan laki-laki Badui yang
mengaku telah melihat hilal. Lebih dari itu, pengakuan telah melihat hilal
adalah laporan mengenai urusan keagamaan, dan menerimanya berarti
ihtiyath; di samping tidak adanya kecurangan dalam pengakuan melihat hilal
Ramadhan ini, berbeda dengan pengakuan melihat hilal pada akhir bulan
puasa. Juga karena kondisi orang yang melihat (begitu pula kondisi hilal yang
terlihat) itu berbeda-beda. Karena itu, jika penguasa menetapkan suatu
keputusan berdasarkan kesaksian satu orang, keputusan itu wajib
dilaksanakan masyarakat. Untuk wajibnya puasa, tidak harus menggunakan
lafal “aku bersaksi,” dan tidak pula khusus bagi penguasa. Jadi, siapa pun
yang mendengarnya dari mulut seseorang yang berbudi luhur, maka dia harus
berpuasa. Orang yang melihat hilal tidak wajib memberitahukannya kepada
orang-orang atau melapor kepada qadha atau pergi ke masjid. Wajib puasa
atas orang yang tidak diterima kesaksiannya akibat kefasikan atau faktor lain.
Tapi, dia tidak boleh mengakhiri puasa Ramadhan (berhari raya Idul Fitri)
kecuali bersama khalayak ramai. Sebab, tibanya hari raya Idul Fitri tidak bisa
dipastikan kecuali dengan kesaksian dua orang yang berbudi luhur. Jika dia
melihat hilal Syawwal sendirian, dia tidak boleh berhari raya Idul Fitri.44
Dalilnya adalah hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sebagai
berikut;
الفطر یوم یفطرون والاضحى یوم یضحون
44 Ibid, h. 53.
35
Artinya “Hari Idul Fitri adalah hari ketika kaum Muslimin mengakhiri puasa Ramadhan, dan hari Idul Adha adalah hari ketika mereka menyembelih hewan kurban.”
Selain itu, ada kemungkinan dia keliru; juga bisa dia dicurigai ingin
cepat-cepat mengakhiri puasa. Jadi, wajib ber-ihtiyath. Untuk memastikan
awal bulan lain seperti Syawwal (untuk hari raya Idul Fitri) dan lainnya, tidak
dapat diterima kecuali perkataan dua laki-laki yang berbudi luhur.45
Jadi kesimpulannya untuk memastikan kemunculan hilal Ramadhan dan
Syawwal, madzhab Hanafi mensyaratkan terlihatnya hilal oleh khalayak
ramai apabila cuaca cerah, tapi cukup hanya terlihat oleh satu orang yang
berbudi luhur apabila cuaca mendung dan sejenisnya. Sedangkan madzhab
Maliki, mengharuskan terlihatnya hilal oleh dua orang atau lebih yang
berbudi luhur. Mereka berpendapat pula bahwa terlihatnya hilal oleh satu
orang yang berbudi luhur cukup bagi orang yang tidak berkepentingan
dengan urusan kemunculan hilal. Sementara menurut madzhab Syafi’i dan
Hambali, terlihatnya hilal oleh satu orang yang berbudi luhur adalah cukup,
meskipun orang itu tidak diketahui perangainya (menurut madzhab Syafi’i),
tapi tidak cukup jika orang itu tidak diketahui perangainya (menurut madhzab
Hambali). Di samping itu, menurut madzhab Hambali dan Maliki, untuk
memastikan tibanya Idul Fitri, hilal Syawwal harus terlihat dua orang yang
berbudi luhur. Menurut madhzab Hanafi dan Hambali, kesaksian perempuan
dapat diterima; tapi menurut madzhab Maliki dan Syafi’i, kesaksiannya tidak
dapat diterima.46
45 Ibid, h 54. 46 Ibid, h. 55-56.
36
BAB III
BIOGRAFI SAADOE’DDIN DJAMBEK
A. Pendidikan dan Aktivitasnya
Saadoe’ddin Djambek adalah tokoh muslim Indonesia yang oleh banyak
kalangan disebut-sebut sebagai mujaddid al-hisab (pembaharu pemikiran hisab).1
Nama lengkapnya adalah H. Saadoe’ddin Djambek alias Datuk Sampono Radjo,
dilahirkan di Bukittinggi pada tanggal 29 Rabi’ul Awal 1329 H yang bertepatan
pada tanggal 24 Maret 1911 M adalah putera dari Syaikh Muhammad Djamil
Djambek (1860-1957). Kakeknya bernama Muhammad Saleh Datuk Maleka,
kepala nagari Kurai.2 Beliau dilahirkan pada saat ranah Minang sedang terjadi
pergolakan kebangkitan yang disebut Kaum Muda. Gerakan ini berbeda dengan
gerakan kebangkitan yang terjadi sebelumnya, seperti gerakan Paderi (1803-
1838), di mana gerakan Paderi tersebut lebih menekankan semangat militerisasi.
Gerakan kaum muda lebih bersifat pembaharuan pemikiran, yang ditandai
dengan munculnya berbagai media publikasi, sekolah serta organisasi yang
dikelola secara modern.3 Gerakan kaum muda ini pula yang mengilhami
berdirinya lembaga pendidikan Thawalib School, suatu lembaga pendidikan yang
dikelola secara modern, baik dari segi manajemennya maupun dari segi
kurikulumnya.4
Saadoe’ddin memperoleh pendidikan formal pertama di HIS (Hollands
Inlandsche School) hingga tamat pada tahun 1924. Kemudian ia melanjutkan
studinya ke sekolah pendidikan guru, HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool)
1 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Selayang Pandang Hisab
Rukyat, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004). h. 40. 2 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet: III. (Jakarta: LP3ES,
1985), h. 42-44. 3 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Panjimas, 1990), h. 23-24. 4 Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung,
1985), h. 73.
37
di Bukittinggi. Setelah tamat dari HIK pada tahun 1927, ia meneruskan lagi ke
Hogere Kweekschool (HKS), sekolah pendidikan guru atas, di Bandung, Jawa
Barat, dan memperoleh ijazah pada tahun 1930.5 Selama empat tahun (1930-
1934 M) ia mengabdikan diri sebagai guru Gouvernements Schakelschool di
Perbaungan, Palembang. Setelah menjalani tugasnya sebagai guru di Palembang,
ia berusaha melanjutkan pendidikannya, ia mengajukan permohonan untuk
dipindahtugaskan ke Jakarta agar dapat melanjutkan pendidikan yang lebih
tinggi.6 Di Jakarta ia bekerja sebagai guru Gouvernements HIS nomor 1 selama
setahun (1934-1935 M).7 Pada 1935 M ia memperoleh kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan ke Indische Hoofdakte (program diploma pendidikan) di
Bandung sampai memperoleh ijazah pada 1937 M.8 Pada tahun yang sama, ia
juga memperoleh ijazah bahasa Jerman dan bahasa Perancis.9 Setelah mengikuti
pendidikan di Bandung, ia kembali menjalankan tugas sebagai guru
Gouvernement HIS di Simpang Tiga (Sumatera Timur) selama empat tahun
(1937-1941 M). Sebagai seorang guru, ia tidak pernah berhenti mengembangkan
karier di bidang pendidikan. Kariernya terus meningkat, dari guru sekolah dasar
sampai menjadi dosen di Perguruan Tinggi dan terakhir menjadi pegawai tinggi
di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta.10 Di samping
memperoleh pendidikan formal Saadoe’ddin juga menerima pelajaran
keagamaan khususnya berkaitan dengan falak dari ayahnya, yang termasuk salah
seorang ahli ilmu falak di masanya. Karena itu tidak mengherankan jika
Saadoe’ddin sejak masa mudanya (18 tahun) sudah sangat tertarik dengan ilmu
5 Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, cet: I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), jilid I, h. 275. 6 Susiknan Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet: II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.
185. 7 Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Ditjen Binbaga Islam, Pedoman Tehnik Rukyat,
(Jakarta: Departemen Agama, 1983/1984), h. 217. 8 Susiknan Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat, h. 185-186. 9 Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Ditjen Binbaga Islam, Pedoman Tehnik Rukyat,
h. 217. 10 Susiknan Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat, h. 186.
38
ini. Ia mulai tertarik mempelajari ilmu hisab pada tahun 1929 M/1348 H. Ia
belajar ilmu hisab dari Syekh Taher Jalaludin, yang mengajar di Al-Jami’ah
islamiah Padang tahun 1939 M.11 Menurut pengakuannya, buku Pati Kiraan
karya Syaikh Thahir Djalaludin adalah yang menarik hatinya dalam mempelajari
ilmu falak. Di samping itu ia juga mempelajari buku-buku lain, seperti Almanak
Jamiliyah karya Syaikh Djambek, Hisab Hakiki karangan K.H. Ahmad Badawi
dan lain sebagainya.
Meskipun Saadoe’ddin banyak mengkaji dan menelaah buku-buku Ilmu
Falak, namun Saadoe’ddin belum merasa puas dengan sistem perhitungan lama
yang keakuratannya perlu diuji lagi. Oleh karena itu pada tahun 1954-1955
Saadoe’ddin mencoba memperdalam pengetahuannya di fakultas Ilmu Pasti
Alam dan Astronomi ITB.12
Dengan ilmu yang diperolehnya itu Saadoe’ddin berusaha mengembangkan
sistem baru dalam perhitungan hisab dengan mengenalkan teori Spherical
Trigonometry (segitiga bola). Menurutnya teori itu dibangun untuk menjawab
tantangan zaman. Artinya dengan meningkatnya kecerdasan umat di bidang ilmu
pengetahuan maka teori-teori yang berkaitan dengan ilmu astronomi hisab perlu
didialogkan dengan ilmu astronomi modern sehingga dapat dicapai hasil yang
lebih akurat.13
Dengan menggunakan teori-teori yang terdapat dalam spherical trigonometry
Saadoe’ddin mencoba menyusun teori-teori untuk menghisab arah kiblat,
menghisab terjadinya bayang-bayang kiblat, menghisab awal waktu shalat dan
menghisab awal bulan qamariah. Karena sistem ini dikembangkan oleh
11 Susiknan Azhari. Ensiklopedi Hisab Rukyat, h. 186. 12 Susiknan Azhari. Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia: Studi atas Pemikiran
Saadoe’ddin Djambek, h. 49. 13 Saadoe’ddin Djambek. Arah Qiblat dan Cara Menghitungnya dengan Jalan Ilmu Ukur
Segitiga, (Jakarta: Tintamas, 1956), h. 3.
39
Saadoe’ddin maka sistem ini juga dikenal dengan istilah hisab Saadoe’ddin
Djambek.14
Dalam rangka membumikan teori-teorinya itu, Saadoe’ddin mencoba
mengenalkannya di perguruan-perguruan Islam, terutama di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan dari sini muncul tokoh-tokoh hisab, misalnya H. Abdur
Rachim dan H. Wahyu Widiana.15
Sistem yang dikembangkan Saadoe’ddin relatif lebih mudah dan modern.
Apalagi setelah prosedur perhitungannya dapat menggunakan kalkulator.
Selain sebagai ahli falak, di antara aktivitasnya yang paling dominan adalah
dalam pendidikan, melalui Muhammadiyah. Aktivitasnya tersebut pada
gilirannya memperoleh pengakuan dari warga Muhammadiyah, sehingga pada
tahun 1969 diberi kepercayaan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi
ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran di
Jakarta periode 1969-1973.16
Sebagai seorang tokoh, Saadoe’ddin tidak jarang mendapatkan kepercayaan
dari berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun non pemerintah.
Saadoe’ddin pernah diberi kepercayaan untuk menjadi staf ahli Menteri P&K. Di
samping itu, pada tahun 1972 pada saat diadakan musyawarah ahli Hisab dan
Rukyat seluruh Indonesia, di mana disepakati dibentuknya Badan Hisab dan
Rukyat, Saadoe’ddin dipilih dan dilantik sebagai ketua.17
Kunjungan ke luar negeri yang pernah dilakukan Saadoe’ddin antara lain,
antara lain: menghadiri konferensi Mathematical Education di India (1958),
mempelajari sistem Comprehensive School di berbagai Negara seperti India,
14 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Selayang Pandang Hisab
Rukyat, h. 41. 15 Ibid, h. 41. 16 Choirul Fuad Yusuf, Bashori A. Hakim. Hisab Rukyat dan Perbedaannya. (Jakarta: Proyek
Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004). h. 94.
17 Susiknan Azhari. Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia: Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin Djambek, h. 52.
40
Thailand, Swedia, Belgia, Inggris, Amerika Serikat dan Jepang (1971),
penelitian/survey mengembangkan ilmu Hisab dan Rukyat dan kehidupan sosial
di tanah suci Mekkah dan menghadiri First World Conference on Muslim
Education di Mekkah (1977).18
Saadoe’ddin meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 11 Zulhijjah 1397 H
bertepatan dengan tanggal 22 Nopember 1977 M di Jakarta. Makamnya dekat
dengan makam Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.19
B. Latar Belakang Keluarga dan Masyarakat
Saadoe’ddin Djambek berasal dari keluarga besar Djambek yang terpelajar
dan Islami, dihormati dan disegani oleh masyarakat luas pada zamannya.
Ayahnya, Syaikh Muhammad Djamil Djambek atau yang dikenal dengan Syaikh
Djambek (1860-1947) sebagai anak dari Muhammad Saleh Datuk Maleka,
kepala nagari Kurai.20 Syaikh Djambek merupakan tokoh pejuang dan mujaddid
di ranah Minangkabau. Bersama dengan Syaikh Thahir Djalaludin Azhari dan H.
Abdullah Ahmad, ia berjuang untuk memperbaiki pemahaman keagamaan
masyarakat Minangkabau yang pada saat itu banyak dipenuhi dengan faham-
faham takhayul dan khurafat, serta menyebarluaskan pemakaian hisab dalam
menyusun jadwal waktu shalat, penentuan awal Ramadhan dan Syawal.21
Pada saat itu resonansi pembaharuan sangat terasa sekali yang dipelopori
oleh tokoh-tokoh tersebut di atas. Sebagaimana yang dituturkan oleh Deliar Noer
bahwa metode da’wah yang digunakan Syekh Djambek saat itu lebih bersifat
lunak dan kooperatif dibandingkan tokoh-tokoh lainnya. Tidak jarang ia
mengundang tokoh non muslim untuk membicarakan masalah agama. Dalam hal
ini S. Van Ronkel, salah seorang pejabat Belanda yang mempelajari bahasa
18 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Selayang Pandang Hisab
Rukyat, h. 42. 19 Nourouzzaman Shiddiqi. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, cet: I (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997), h. 61. 20 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, h. 42-44. 21 Burhanudin Daya. Gerakan Pembaharuan Islam Kasus Sumatera Thawalib, cet: I
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 201-202.
41
Indonesia, menyebut Djambek seorang “praktis, caranya sangat bijaksana”. Sikap
ini berbeda dengan Haji Rasul. Pendekatan Haji Rasul bersifat keras, tanpa maaf
dan tanpa kompromi. Tabligh-tablighnya ditandai oleh kecaman dan serangan
terhadap segala perbuatan yang tidak disetujuinya, sampai-sampai persoalan
kecil tidak lepas dari perhatiannya. Menurut Delian Noer sikap lunak Djambek
tersebut mungkin sekali karena Djambek mempunyai darah campuran (Ibunya
berasal dari Jakarta), karena jika tidak lunak mungkin saja ia tidak mendapat
tempat dalam masyarakat yang sedikit banyak masih berpegang pada adat.22
C. Karya-karya Ilmiahnya
Salah satu unsur yang sangat penting yang biasa dijadikan dasar
pertimbangan dalam nilai kualitas intelektual seseorang, terutama pada masa
terakhir ini adalah seberapa banyak dan sejauh mana kualitas karya ilmiah yang
telah dihasilkan. Dilihat dari sisi ini, Saadoe’ddin termasuk salah satu tokoh
hisab yang banyak meninggalkan karya ilmiah.23
Saadoe’ddin baru mulai menulis dalam usia 40-an, sebuah usia yang tidak
muda lagi untuk pekerjaan penulisan. Sekalipun terlambat mulai menulis,
Saadoe’ddin pada akhirnya tampil sebagai prolifik yang handal.24 Keahlian
Saadoe’ddin Djambek dalam ilmu hisab, ilmu falak, astronomi maupun
matematika terlihat dari karya-karya yang ditulisnya.25 Di antara karyanya
adalah:
a. Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan
Bumi, Bulan dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun
1952). Buku ini berisi konsep waktu yang dibahas secara
22 Deliar Noer. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, h. 45. 23 Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Selayang Pandang Hisab
Rukyat, h. 43. 24 Susiknan Azhari. Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia: Studi atas Pemikiran
Saadoe’ddin Djambek, h. 55. 25 Choirul Fuad Yusuf, Bashori A. Hakim. Hisab Rukyat dan Perbedaannya, h. 95.
42
komprehensif.26 Hanya saja secara metodologis masih ada kekurangan
dan perlu dikembangkan.27
b. Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953).
Buku ini merupakan lanjutan dari buku pertama. Buku ini dibagi dalam
dua bagian. Bagian pertama memuat kalender tahun Masehi 1953,
kalender tahun Arab 1372-1373 dan kalender tahun Djawa 1884-1885.
Bagian kedua memuat jadual waktu shalat lima waktu. Akan tetapi hanya
untuk tanggal 1, 5, 9, 13, 17, 25 dan 29 tiap-tiap bulan masehi. Menurut
pengakuannya buku ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran gurunya
(baca: Syaikh Thahir Djalaluddin).28
c. Arah Kiblat dan Tjara Menghitungnya dengan Djalan Ilmu Ukur
Segi Tiga Bola (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1956). Buku
ini berisi tentang pengetahuan atau konsep mengenai arah kiblat lengkap
dengan rumus dan contoh perhitungannya.29
d. Menghisab Awal Waktu Shalat (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas
tahun 1957). Buku ini berisi tentang pengetahuan atau konsep mengenai
awal waktu shalat.
e. Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1968).
Isi buku ini secara garis besarnya menjelaskan tentang metode
perbandingan tarich, baik kalender Masehi, kalender Hijriyah maupun
kalender Djawa. Buku ini sangat bermanfaat untuk menentukan dan
mencari hari, pasaran, tanggal, bulan dan tahun yang tidak diketahui.
f. Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa (diterbitkan oleh Penerbit
Bulan Bintang tahun 1974). Buku ini merupakan pengembangan dari
buku Almanak Djamiliyah.
26 Ibid, h. 96. 27 Susiknan Azhari. Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia: Studi atas Pemikiran
Saadoe’ddin Djambek, h. 55. 28 Ibid, h. 55-56. 29 Choirul Fuad Yusuf, Bashori A. Hakim. Hisab Rukyat dan Perbedaannya, h. 96.
43
g. Shalat dan Puasa di daerah Kutub (diterbitkan oleh Penerbit Bulan
Bintang tahun 1974). Buku ini menguraikan persoalan shalat dan puasa
di daerah yang letaknya jauh di selatan atau utara khatulistiwa.
h. Hisab Awal bulan Qamariyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas
tahun 1976). Karya yang terakhir ini merupakan pergumulan
pemikirannya yang akhirnya merupakan ciri pemikiran dalam hisab awal
bulan qamariyah. Dari judul-judul karya tersebut terlihat bahwa titik
perhatian Saadoe’ddin terpusat pada masalah pemikiran hisab. Karya-
karya Saadoe’ddin yang representatif itu merupakan kontribusi yang
berharga dan selalu dikaji baik kalangan tradisional maupun modern
sebagai bahan kajian untuk pengembangan pemikiran hisab di
Indonesia.30
30 Susiknan Azhari. Pembaharuan Pemikiran Hisab Di Indonesia: Studi atas Pemikiran
Saadoe’ddin Djambek, h. 56-57.
44
BAB IV
METODE PEMIKIRAN SAADOE’DDIN DJAMBEK TENTANG PENENTUAN AWAL WAKTU SHALAT, ARAH KIBLAT, DAN AWAL
BULAN QAMARIAH
A. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang Perhitungan Awal Waktu Shalat
1. Rumus Penghitungan Awal Waktu Shalat menurut Saadoe’ddin Djambek
Dalam menentukan awal waktu shalat Saadoe’ddin Djambek
melakukan dengan langkah-langkah mencari nilai sudut waktu untuk
mengetahui waktu hakiki dan waktu setempat. Untuk mengetahuinya adalah
sebagai berikut: 1
cos t = - tan ϕ tan δ + sec ϕ sec δ cos z 2
keterangan:
t = sudut waktu matahari ϕ = lintang tempat
δ = deklinasi matahari z = jarak pusat matahari dari zenit
Metode tersebut di atas menerapkan rumus yang didasarkan pada
segitiga bola yang terdapat pada gambar 1, yaitu sebagai berikut:
1 M. Yusuf Harun, Pengantar Ilmu Falak, Banda Aceh: Pena, 2007, h. 59 2 Saadoe’ddin Djambek, Menghisab Awal Waktu Shalat, (Jakarta: Tintamas, 1967), h. 11.
45
Adapula beberapa varian rumus yang bisa digunakan, di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. cos t = - tan ϕ tan δ + sec ϕ sec δ cos sin h
b. cos t = - tan ϕ tan δ + 𝑠𝑖𝑛ℎcosϕ 𝑐𝑜𝑠δ
c. sin ½ t = �𝑐𝑜𝑠(𝑧+𝛿)𝑐𝑜𝑠(𝑧+𝛿)cosϕ 𝑐𝑜𝑠𝛿
2 s = 270 – (ϕ +δ+h)
Keterangan:
h = tinggi benda langit diukur dari ufuk sepanjang lingkaran vertikal
Nilai h Matahari awal waktu shalat3:
h dzuhur = 90 (nilai t = 0)
h ashar = cotan h = tan (ϕ – δ) + 1
h maghrib = -1o
h isya’ = -18o
h shubuh = -20o
Rumus Saadoe’ddin Djambek, rumus a dan rumus b perhitungannya
dapat diselesaikan dengan kalkulator. Antara ketiganya hampir tidak ada
perbedaan yang terlalu jauh, hanya selisih dalam kisaran menit. Sedangkan
rumus c hanya dapat diselesaikan pengerjaannya dengan logaritma yang
empat desimal, tetapi bila diselesaikan dengan menggunakan logaritma yang
lima desimal tentu hasil hisabnya menjadi lebih teliti.
Dari keempat rumus di atas, rumus Saadoe’ddin Djambek merupakan
rumus yang digunakan dalam pembuatan jadwal waktu shalat sepanjang masa,
dan rumus b merupakan rumus yang paling sering digunakan dan disebut-
sebut dalam beberapa buku ilmu falak untuk menghitung nilai sudut waktu
Matahari.
Dalam proses perhitungannya, banyak hal yang dipertimbangkan oleh
Saadoe’ddin Djambek, mulai dari masalah ketinggian tempat, refraksi
(pembiasan cahaya) dan dip (kerendahan ufuk) yang semuanya berpengaruh
3 Ibid, h. 11.
46
pada waktu syuruq (terbit) dan ghurub (terbenam). Saadoe’ddin Djambek
menggunakan istilah jarak zenith (Bu’du as-Sumti) yang nilai ketinggian
Mataharinya dihitung dari zenith sehingga perlu ditambahkan 90˚.
Deklinasi Matahari dan equation of time adalah unsur penting dalam
mengetahui posisi Matahari. Setiap hari, nilai keduanya selalu berubah-ubah.
Setelah diketahui t (sudut waktu) dan w (satuan sudut), lalu diubah
menjadi satuan waktu. Diketahui 1 jam = 15˚, 4 menit = 1˚. Setelah itu,
ditambah saat matahari berkulminasi (Meridian Pass), hasilnya merupakan
awal waktu shalat dengan Local Mean Time (LMT). LMT yang berdasarkan
Bujur Tempat, untuk mendapatkan menit dengan waktu daerah (WIB, WITA,
WIT) dilakukan koreksi Bujur dengan rumus waktu daerah = LMT + (Bujur
Daerah – Bujur Tempat) : 15, maka hasilnya menjadi waktu daerah. Setelah
itu dilakukan koreksi ihtiyat kisaran 1 menit sekian detik sehingga satuan
waktu menjadi satuan menit.
Data untuk bujur daerah; WIB = 105˚, WITA = 120˚ dan WIT = 135˚.
Adapun yg dimaksud dengan ihtiyat (koreksi) yaitu suatu langkah
pengamanan dalam menentukan waktu shalat dengan cara menambahkan atau
mengurangkan waktu agar tidak mendahului awal waktu shalat atau tidak
melampaui batas akhir waktu shalat. Ihtiyat yang dipakai yaitu 1 menit sekian
detik atau 2 menit.
2. Akurasi Hisab Awal Waktu Shalat Menurut Saadoe’ddin Djambek
Dalam mengukur akurasi Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa
karya Saadoe’ddin Djambek, digunakan kajian data dengan membandingkan
hasil perhitungan data-data lama dengan data-data baru. Selain itu dilakukan
pengujian jadwal waktu shalat sepanjang masa dengan mengamati keadaan
alam pada saat tanda-tanda dimulainya awal waktu shalat tiba sesuai dengan
hasil perhitungan yang terdapat pada jadwal.
Berdasarkan orbit tersebut diperoleh gambaran rerata Grafik deklinasi
Matahari dalam 1 tahun, sebagai berikut:
47
Varian of the deklinationangle
Gambar 2: Grafik deklinasi Matahari dalam 1 tahun Sumber: http://imageshack.us/photo/my-images/687/deklinasimatahari.jpg
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa nilai deklinasi Matahari sama
besarnya dalam dua hari dalam setahun. Misalnya, pada tanggal 21 Maret dan
23 September deklinasi Matahari sama-sama bernilai 0˚, dan begitu
seterusnya. Dari perubahan kedudukan Matahari selama satu tahun
sebagaimana yang telah digambarkan di atas, teranglah bahwa nilai deklinasi
Matahari senantiasa berubah, tidak saja dari hari ke hari, tetapi juga dari jam
ke jam. Perubahan itu paling besar, dikala Matahari berkedudukan di dekat
equator yakni sekitar tanggal 21 Maret dan 23 September dan perubahan
terkecil terjadi pada tanggal 21 Juni dan 23 Desember.
Memang secara taqribi, Matahari akan berada pada titik-titik yang telah
disebutkan di atas sesuai tanggal dan bulan tersebut. Tetapi secara hakiki, nilai
deklinasi Matahari dari tahun ke tahun tidaklah sama. Seperti contoh berikut:
pada tanggal 21 Maret 2008 pukul 12.00 WIB, nilai deklinasi Matahari adalah
0˚ 22’ 52”, tahun berikutnya bernilai 0˚ 17’ 02”, tahun 2010 nilainya 0˚ 11’
08”, pada tahun 2011 berganti lagi menjadi 0˚ 05’ 33”, dan pada tahun 2012 0˚
23’ 28”. Hal ini akan berpengaruh pada hasil daripada perhitungan waktu
shalat meskipun dengan selisih yang sangat kecil.
Tingkat akurasi sebuah metode memang masih menjadi pertanyaan
sebagian orang, karena hal ini masih belum bisa dibuktikan. Untuk
menganalisis tingkat akurasi Menghisab Awal Waktu Shalat karya
48
Saadoe’ddin Djambek, diperlukanlah tolak ukur (alat penimbang) yang dalam
hal ini penulis berkiblat pada metode kontemporer (ephemeris). Metode
ephemeris ini dianggap sebagai metode yang paling modern dan memiliki
tingkat akurasi yang tinggi, yang dalam proses perhitungannya dibantu dengan
menggunakan alat-alat canggih seperti kalkulator, GPS dan sebagainya dan
juga menggunakan data-data yang selalu up-to-date setiap tahunnya.
3. Relevansi hisab awal waktu shalat menurut Saadoe’ddin Djambek
Saadoe’ddin Djambek merupakan salah satu tokoh pembaharu hisab
dalam dunia ilmu Falak, ia juga yang mempelopori penggunaan teori
spherical trigonometry dalam pengaplikasian rumus-rumus falak yang sampai
sekarang masih terus berkembang, sehingga tak heran jika hisab yang
digunakan dalam pembuatan jadwalnya tidak jauh berbeda dengan metode
hisab yang digunakan sekarang. Perbedaannya hanya terletak pada data
deklinasi Matahari dan equation of time yang diambil dari Almanak Nautika
tahun 1967 M sebagaimana yang ia ungkapkan sendiri.4
Mengacu kepada buku Menghisab Awal Waktu Shalat yang dibuat oleh
Saadoe’ddin Djambek dapat dikatakan bahwa, pedoman waktu shalat tersebut
tergolong akurat dan bisa dijadikan pegangan oleh masyarakat luas dalam
menjalankan ibadah meskipun waktu shalat tersebut telah dibuat sejak tahun
1967 M. Selain akurasi dilihat dari perbandingan metodenya, akurasi Hisab
Awal Waktu Shalat karya Saadoe’ddin Djambek juga dilihat dari fakta alam
yang menunjukkan awal waktu shalat yang lima dimulai.
Relevansi penentuan awal waktu shalat oleh Saadoe’ddin Djambek
didasarkan pada latar belakang nas-nas yang dijadikan pijakan. Menurut
Susiknan bahwa, Saadoe’ddin Djambek berusaha memadukan penafsiran
ulama dengan teori-teori astronomi dalam memahami nas-nas yang berkaitan
dengan ketentuan-ketentuan awal waktu shalat. 5
4 Saadoe’ddin Djambek, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, (Jakarta: Tintamas,
1974), h. 18. 5 Susiknan Azhari, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), h. 61.
49
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode hisab yang
digunakan oleh Saadoe’ddin Djambek bisa digolongkan pada metode
kontemporer. Pemikiran hisab Saadoe’ddin Djambek sangat relevan dengan
konteks kekinian. Hal ini terlihat dari kesadarannya terhadap realitas adanya
problem-problem yang muncul dengan adanya peningkatan kecerdasan umat
sehingga ia memunculkan pemikiran baru dalam dunia Ilmu Falak yaitu
tentang shalat di daerah dekat kutub.
B. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang Perhitungan Arah Kiblat
1. Penentuan Arah Kiblat menurut Saadoe’ddin Djambek
Pergumulan pemikiran Saadoe’ddin Djambek merupakan perpaduan
antara kalangan ahli hisab dan kalangan astronom. Kalangan ahli hisab yang
sangat mempengaruhi pola pikirnya adalah Syaikh M. Thaher Djalalu’ddin.
Kalangan astronom yang banyak mempengaruhi pola pikirnya adalah dosen-
dosennya ketika kuliah di ITB, di antaranya adalah Prof. Dr. G. B. van Albada
(Direktur Observatorium Bosscha tahun 1949-1958). Yang terakhir ini banyak
mewarnai pola pikirnya.6 Ia membangun teori-teori khususnya yang berkaitan
dengan arah kiblat berbeda dengan tokoh-tokoh pendahulunya. Ini dibuktikan
ketika Saadoe’ddin membahas tentang arah kiblat. Dalam pembahasannya ia
menawarkan spherical trigonometry, hal ini jelas pengaruh dari teori-teori
astronomi. Begitu pula rumus-rumus yang ditampilkan. Aroma astronomi
sangat kelihatan mewarnai paradigmanya. Sebagai missal, rumus-rumus yang
digunakan dipengaruhi dari analogi Napier. Ijtihad Saadoe’ddin Djambek
dalam arah kiblat tak ubahnya seperti Asy-Syafi’i. Artinya dalam pemikiran
arah kiblat ini dikenal istilah qaul qadim dan qaul jadid.7
Maksudnya, pemikiran Saadoe’ddin nampaknya mengikuti irama
perkembangan zaman sesuai dengan kaidah yang artinya: “Tidak dapat
dipungkiri adanya perubahan hukum karena adanya perubahan waktu, tempat
situasi dan kondisi.” Kaitannya dengan persoalan arah kiblat tersebut
6 Ibid, h. 58. 7 Ibid, h. 59.
50
Saadoe’ddin melakukan taghayyur, yaitu perubahan terhadap lintang dan
bujur Ka’bah. Dalam qaul qadim ia menetapkan bahwa lintang dan bujur
Ka’bah adalah 210 20’ LU dan 400 14’ BT. Sedangkan qaul jadidnya
menetapkan bahwa lintang dan bujur Ka’bah adalah 210 25’ LU dan 390 50’
BT.8
Pendapat kedua ini merupakan hasil penelitian Saadoe’ddin Djambek
yang dilakukan ketika menjabat sebagai ketua Badan Hisab dan Rukyat. Pada
saat itu ia mendapat tugas dari Menteri Agama untuk mengadakan penelitian
dan survey pengembangan Hisab Rukyat dan kehidupan sosial di Tanah Suci
Mekkah. Dari hasil penelitian ini kemudian ia meminta kepada murid-
muridnya untuk mengubah data Lintang dan bujur Ka’bah menjadi 210 25’ LU
dan 390 50’ BT. Data tersebut masih dijadikan patokan oleh Kementrian
Agama RI dalam melakukan perhitungan arah kiblat.9 Penelitian baru yang
menggunakan GPS (Global Positioning System) menunjukkan bahwa lintang
dan bujur Ka’bah adalah 210 25’ 14” LU dan 390 49’ 41” BT. Jika hasil
tersebut dibulatkan maka akan sama dengan data yang ditunjukkan
Saadoe’ddin Djambek.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa pemikiran Saadoe’ddin
Djambek mewarnai corak pemikran hisab arah kiblat Indonesia. Ilmu falak tak
ubahnya seperti ilmu-ilmu yang lain yakni on going process, yang dinyatakan
oleh A. Mukti Ali bahwa hisab yang benar akan bisa dibuktikan dengan
rukyah yang benar karena yang menjadi objek adalah sama. Hakekat yang
sesungguhnya adalah empirik, bukan dalan pikiran. Maka dengan sendirinya
akal bisa berhasil atau gagal dalam satu garis sesuai dengan nilai kebenaran
pengetahuannya. Karena itu akal bukanlah alat bagi manusia untuk
“menciptakan” kebenaran melainkan untuk “memahami” kebenaran atau
barangkali “menemukan” kebenaran.
Dalam menentukan arah kiblat suatu tempat, Saadoe’ddin Djambek
menerapkan prinsip segitiga bola (lingkaran yang sisi-sisinya merupakan
8 Ibid, h. 59. 9 Ibid, h. 60.
51
bagian lingkaran besar). Rumus perhitungan Saadoe’ddin Djambek pada
dasarnya berasal dari aplikasi rumus segitiga bola, yakni:
Cotan B = cotan b x sin a 𝑠𝑖𝑛 𝐶
− cos 𝑎 𝑥 𝑐𝑜𝑡𝑎𝑛 𝐶 10
Berikut adalah gambar bola bumi yang berhubungan dengan penentuan
arah Kiblat:
Gambar 3: Bola Bumi
2. Akurasi Metode Penentuan Arah Kiblat
Dalam tahap mengetahui akurasi dan relevansi metode Saadoe’ddin
Djambek diperlukan perbandingan dengan rumus kontemporer. Tahap ini
bertujuan untuk mendapatkan selisih hasil perhitungan antara metode
perhitungan Saadoe’ddin Djambek dengan metode kontemporer. Data lintang
bujur Ka’bah metode Saadoe’ddin Djambek adalah φ = 21˚ 20’ LU dan λ =
10 Saadoe’ddin Djambek, Arah Qiblat dan Tjara Menghitungnja dengan Djalan Ilmu
Ukur Segitiga Bola, (Jakarta: Tintamas, 1957), h. 21.
52
40˚ 14’ BT11. Data koordinat ini cukup teliti dan terbukti akurat dalam
prakteknya di lapangan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menentukan arah kiblat
pemikiran Saadoe’ddin Djambek, yaitu:
a. Menentukan lintang dan bujur tempat yang akan dihitung arah kiblatnya.
b. Menyiapkan tabel logaritma baik 4 desimal ataupun 5 desimal.
c. Menghitung sisi b yakni 90˚ – Lintang Ka’bah 21˚ 20’ hasilnya 68˚ 40’,
sudut C yakni bujur tempat yang dihitung dikurangi bujur Ka’bah 40˚ 14’,
kemudian sisi a yakni 90˚ ditambah lintang tempat yang dihitung arah
kiblatnya.
d. Menghitung arah kiblatnya dengan rumus:
Cotg B = cotg b x sin a sin𝐶
- cos a x cotg C
Akurasi perhitungan Saadoe’ddin Djambek dapat diketahui setelah
adanya perbandingan dengan perhitungan kontemporer di atas. Selisih hasil
perhitungan yang diperoleh dari metode Saadoe’ddin Djambek dengan metode
kontemporer berkisar antara 0-1 menit. Selisih ini masih berada pada arah
kiblat yang diperkenankan (Ihtiyat kiblat) untuk seluruh wilayah Indonesia.
Indonesia memiliki jarak cukup jauh dari Ka’bah sehingga status kiblat
Indonesia adalah kiblat ijtihadi. Dalam konteks kiblat ijtihadi, kiblat
merupakan sebuah lingkaran ekuidistan berjari-jari 45 km yang berpusat di
Ka’bah. Seluruh bagian lingkaran ekuidistan ini adalah kiblat sehingga jika
kita berdiri di sebuah lokasi di Indonesia, sepanjang proyeksi ujung garis
khayal dari tempat kita berdiri tetap berada di dalam lingkaran kiblat maka
secara hukum kita sudah menghadap kiblat.
3. Relevansi Penentuan Arah Kiblat Pemikiran Saadoe’ddin Djambek
Pemikiran arah kiblat Saadoe’ddin Djambek sangat mempengaruhi
corak pemikiran hisab arah kiblat Indonesia. Ia berusaha mengembangkan
sistem baru dalam perhitungan hisab dengan mengenalkan teori spherical
11 Ibid, h. 14.
53
trigonometry (segitiga bola). Menurutnya teori itu dibangun untuk menjawab
tantangan zaman. Artinya dengan meningkatnya kecerdasan umat di bidang
ilmu pengetahuan maka teori-teori yang berkaitan dengan ilmu hisab perlu
didialogkan dengan ilmu astronomi modern sehingga dapat dicapai hasil yang
lebih akurat.12
Teori spherical trigonometry tersebut kemudian menghasilkan cara
praktis mengetahui arah kiblat yakni dengan peta grafik kiblat. Pembuatan
grafik kiblat tersebut haruslah memperhatikan posisi tempat dari lintang dan
bujurnya. Garis lingkaran besar yang dibuat berdasarkan perhitungan dari titik
potong antara lintang tempat dan garis meridian tempat. Titik-titik potong dari
beberapa tempat tersebut kemudian dipertemukan dan ditariklah garis hingga
menjadi garis lingkaran besar yang menghubungkan tempat menuju ke
Ka’bah.
Menurut Susiknan, secara garis besar pemikiran Saadoe’ddin Djambek
tentang arah kiblat ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Di antara
kelebihannya sebagai berikut: Pertama, dapat menampilkan data lintang dan
bujur Ka’bah terbilang akurat pada masanya. Kedua, pemikirannya telah
menggabungkan ilmu astronomi dan hisab seperti rumus-rumus trigonometri
dan segitiga bola, sehingga Saadoe’ddin Djambek dianggap sebagai Mujaddid
al-Hisab (pembaharu pemikiran hisab) di Indonesia. Ketiga, adanya kesadaran
historis, dalam pemikiran hisab terdapat anomali. Realitas ini sangat disadari
oleh Saadoe’ddin Djambek yang akhirnya melakukan research ini menjadikan
data-data yang digunakan sangat dinamis dan mengikuti perkembangan
zaman. Awalnya pemikiran Saadoe’ddin Djambek hanya dapat diterima
kalangan modernis. Akan tetapi melalui perjalanan panjang akhirnya bisa
diterima baik di kalangan modernis maupun kalangan tradisional. Keempat,
pemikiran arah kiblat Saadoe’ddin Djambek merupakan metode yang masih
akurat karena memang selisih yang diperoleh dengan metode kontemporer
12 Susiknan, Pembaharuan Pemikiran Hisab, h. 50.
54
rendah yakni berkisar 0’ dan maksimal 1’ sehingga masih relevan digunakan
pada masa sekarang sebagai salah satu cara penentuan arah kiblat. 13
Sedangkan diantara kekurangan dari pemikiran Saadoe’ddin Djambek
dalam buku Arah Qiblat ini adalah: Pertama, Saadoe’ddin Djambek masih
menggunakan perhitungan manual dengan menggunakan tabel logaritma
dalam perhitungan sehingga tidak ada bentuk detik pada hasil akhir
perhitungan arah kiblat, berbeda dengan rumus kontemporer sekarang yang
sangat praktis menggunakan kalkulator dan menghasilkan arah kiblat dalam
bentuk derajat, menit dan detik. Kedua, data lintang dan bujur Ka’bah yang
digunakan Saadoe’ddin Djambek hanya sampai menit saja (21˚ 20’ LU dan
40˚ 14’ BT) sehingga hasil arah kiblatnya pun hanya sampai pada menit saja.14
C. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang Perhitungan Awal Bulan Qamariah
1. Perhitungan Awal bulan Qamariah menurut Saadoe’ddin Djambek
Dalam melakukan perhitungan awal bulan qamariah, Saadoe’ddin
Djambek menggunakan input data Almanak Nautika yaitu data astronomis
yang merupakan prediksi terhadap posisi geografis untuk pengamatan benda
angkasa yang dipublikasi secara tahunan oleh United States Naval
Observatory, H.M. Nautical Almanac Office dan Royal Greenwich
Observatory. Informasi yang tersusun dalam tabelnya hingga mendekati
ketelitian 0,1 arc dan 1 detik waktu. Berdasarkan hal tersebut ketelitian data
astronomis ini dapat dikatakan sudah baik.15
Berikut adalah gambar bola langit yang berhubungan dengan penentuan
awal bulan qamariah:
13 Susiknan, Pembaharuan Pemikiran Hisab, h. 95. 14 Ibid, h. 95.
15 http://www.msi.nga.mil/MSISiteContent/StaticFiles/NAV_PUBS/APN/Chapt-19. pdf diakses pada tanggal 4 Juni 2018.
55
Gambar 3: Bola Langit
Data yang terdapat pada Almanak Nautika diantaranya GHA
(Greenwich Hour Angle). Bulan dan GHA Matahari, berbeda dengan data
yang ditampilkan Ephemeris Win Hisab seperti Ecliptic Longitude Matahari
dan Apparent Longitude Bulan.16 Perbedaan data ini karena tata koordinat
langit yang digunakan, Almanak Nautika dengan tata koordinat equator dan
Ephemeris tata koordinat ekliptika. Perbedaan input data pada kedua
perhitungan ini menjadi hal mendasar yang perlu diperhatikan. Berikut ini
akan dipaparkan perhitungan awal bulan qamariah Saadoe’ddin Djambek17:
a. Mencari saat Matahari terbenam yang sekarang sebagai landasan untuk
perhitungan posisi hilal, dengan rumus:
Cos t = - tan ϕ tan δ + sec ϕ sec δ sin h
Lalu, t : 15 + Meridian Pass + koreksi-koreksi akan didapat saat Matahari
terbenam yang sebenarnya.
16 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana
Pustaka, Cet. III, tt), h. 153. 17 Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal Bulan, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 25-30.
56
b. Dengan data hisab saat Matahari terbenam tersebut sebagaimana yang
terdapat pada no. 1 di atas, dicari tinggi hilal dengan rumus:
Sin h = sin ϕ sin δ + cos ϕ cos δ cos t
Setelah itu dilakukan koreksi-koreksi hilal dengan parallaks (dikurang 10),
refraksi (ditambah 22’), s.g.t. (seperdua garis tengah) atau semi diameter
(ditambah 16’), dan kerendahan ufuk/dip (ditambah 22’).
c. Maka akan diketahui tinggi hilal lihat (tinggi mar’i).
d. Kemudian dicari arah bulan (azimuth) dengan rumus:
Cotan A = cotan t cos (ϕ + q) : sin q
Rumus perhitungan Saadoe’ddin Djambek ini hanya menghasilkan
beberapa output data, seperti data terbenam Matahari, sudut waktu Bulan,
sudut waktu Matahari, tinggi Bulan hakiki, tinggi Bulan mar’i, azimuth Bulan
dan azimuth Matahari, sedangkan output dalam Ephemeris meliputi ijtimak,
nurul hilal, iluminasi hilal, lama hilal dan lainnya.18 Selain itu, rumus
Saadoe’ddin Djambek memang tidak memberikan cara mencari ijtimak dalam
perhitungannya, meskipun ia memang mengakui terhadap teori ijtimak.19
Salah satu alasan Saadoe’ddin Djambek tidak menggunakan konsep ijtimak
yakni kelemahan ijtimak yang sulit dalam observasi/berdasarkan Compton
Pictured Encyclopedia.20 Untuk mengetahui bulan baru ia menggunakan
konsep pergantian siang dan malam di mana Matahari terbenam terlebih
dahulu daripada Bulan.
Hal cukup menarik konsep yang ditawarkan Saadoe’ddin Djambek ini,
namun konsep tersebut bisa jadi lebih menyulitkan dalam aplikasinya. Di sisi
lain, menurut Susiknan Azhari, mengetahui ijtimak sangat penting dalam
penentuan awal bulan qamariah, meskipun hanya sebagian kecil yang
menetapkan bulan qamariah berdasarkan ijtima’ qabl al-ghurub, akan tetapi
18 Muhyiddin Khazin, Kamus Ilmu Falak, h.169. 19 Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal Bulan, h. 10. 20 Ibid, h. 10.
57
mayoritas sepakat bahwa peristiwa ijtimak merupakan batas penentuan secara
astronomis antara bulan qamariah yang berjalan dan bulan berikutnya.21
Dalam istilah astronomis ijtimak disebut konjungsi (conjunction) atau
new moon, sehingga konsep ijtimak lebih sesuai secara astronomis terlebih
lagi hal ini telah disepakati mayoritas ahli.22 Ijtimak merupakan peristiwa di
mana Bumi dan Bulan berada di posisi bujur langit yang sama, jika diamati
dari Bumi. Ijtimak terjadi setiap 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu
bulan sinodik. Pada saat sekitar ijtimak, Bulan tidak dapat terlihat dari Bumi,
karena permukaan Bulan yang tampak dari Bumi tidak mendapatkan sinar
matahari, sehingga dikenal istilah Bulan baru. Adapun pembuktian
perhitungan ijtimak (toposentris) dapat dibuktikan dengan peristiwa gerhana
Matahari yang tidak bisa dibuktikan jika tidak terjadi gerhana Matahari,
berdasarkan keterangan NU (Nadhlatul Ulama) pada situs resminya. 23
Setelah membahas seluruh langkah perhitungan maka dapat
disimpulkan kelebihan dan kekurangan hisab awal bulan qamariah
Saadoe’ddin Djambek. Menurut pendapat penulis kelebihannya yakni,
hisabnya mudah diaplikasikan, telah menggunakan kaidah segitiga bola
(spherical trigonometry) dan input data Almanak Nautika yang valid, dapat
dijadikan sebagai metode pembelajaran hisab awal Bulan terutama tentang
kaidah logaritmanya. Terdapat pula kekurangan hisab ini, di antaranya proses
perhitungannya panjang dan konsep masih sederhana karena disesuaikan
dengan kalkulator pada masa itu, serta tidak didukung rumus perhitungan
ijtimak sebagaimana metode hisab pada umumnya sehingga perhitungannya
menjadi lebih sulit.
21 Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 94.
22 Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, h. 138. 23 http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,14-id,51616-lang,id-t,Gerhana+
Matahari+ 29+April+2014-.phpx diakses pada tanggal 4 September 2018.
58
2. Relevasi Hisab Awal Bulan Qamariah Saadoe’ddin Djambek
Sesuai perkembangan keilmuan falak, metode-metode perhitungan
dalam penentuan awal bulan qamariah memperoleh hasil akurasi yang
semakin baik.
Hisab Saadoe’ddin Djambek yang tergolong model hisab klasik masih
cukup akurat, akan tetapi ada hal perlu diperhatikan seperti koreksi pada tinggi
Bulan mar’i karena hisabnya ini menggunakan koreksi penambahan semi
diameter. Hal yang yang menjadi pendukung keakuratan hisab yakni
menggunakan data yang valid dan selalu diperbaharui Almanak Nautika.
Hisab Saadoe’ddin Djambek yang menggunakan data Almanak Nautika ini
termasuk metode kontemporer karena telah menggabungkan ilmu hisab dan
astronomi murni, namun rumus-rumus untuk pengolahan data yang digunakan
masih sederhana. Hal ini karena disesuaikan dengan kalkulator dahulu yang
sederhana apabila dibandingkan dengan kalkulator saat ini.
Berdasarkan astronomi, perhitungan awal bulan qamariah Saadoe’ddin
Djambek ini telah mengacu pada tata surya heliosenrik.24 Konsep Saadoe’ddin
Djambek sebagai model hisab kotemporer ini telah menggunakan konsep-
konsep astronomi. Dalam bukunya dinyatakan bahwa hisab Saadoe’ddin
Djambek telah menggunakan perhitungan yang bersifat geosentrik dan
terdapat beberapa koreksi yang dilakukannya sehingga hasil perhitungannya
bersifat toposentris. Hal tersebut tidak sepenuhnya tepat karena data hisab
yang digunakan masih bersifat geosentrik, yakni Almanak Nautika. Dapat
diperhatikan penggunakan koreksi paralaks untuk tinggi mar’i pada rumus
Saadoe’ddin Djambek, hal ini tidak menunjukkan bahwa perhitungan telah
bersifat toposentrik. Perhitungan dapat disebut toposentris apabila telah
menggunakan beberapa koreksi sebagaimana algoritma Jean Meeus, yakni
untuk mendapatkan nilai koreksi paralaks dalam asensiorekta dan deklinasi
24 Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, Jawa Timur: Bismillah Publisher, 2012, h.
187.
59
toposentrik harus diketahui terlebih dahulu nilai geosentrisnya, lalu diubah
menjadi data toposentrik.
Dalam buku Selayang Pandang Hisab Rukyat, dinyatakan bahwa
koreksi-koreksi ini perlu diketahui yakni sebagai pembanding hasil
pengamatan fenomena toposentrik, sehingga kedudukan Bulan geosentrik
secara teoritis faktor koreksi tersebut perlu diperhitungkan walaupun
menghasilkan perbedaan yang kecil. Dalam hal ini, kendatipun rumus
Saadoe’ddin Djambek belum disebut toposentrik, akan tetapi dengan adanya
koreksi tersebut menunjukkan bahwa hisabnya telah memperhatikan
fenomena toposentrik.
Sebagai seorang muslim yang patuh, Saadoe’ddin Djambek menyadari
bahwa membangun konsep tentang bulan baru qamariah harus berhati-hati
karena bukan hanya menyangkut kehidupan kemasyarakatan, akan tetapi,
bahkan yang lebih penting lagi adalah menyangkut masalah pengamalan
ajaran agama. Kesalahan dalam merumuskan konsep bulan baru qamariah
akan berakibat pada kesalahan dalam menunaikan ajaran agama, misalnya
ibadah puasa Ramadhan. Pertimbangan ini rupanya yang mendorong
Saadoe’ddin Djambek membangun teorinya dengan penuh hati-hati dan
bertumpu kepada sumber-sumber Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah.
D. Konsistensi Pemikiran Saadoe’ddin Djambek Dalam Perhitungan Awal
Waktu Shalat, Arah Kiblat dan Awal Bulan Qamariah
Ada hal yang sama secara konsisten yang diterapkan oleh Saadoe’ddin
Djambek dalam melakukan perhitungan awal waktu shalat, arah kiblat dan
awal bulan qamariah. Konsistensi tersebut dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Saadoe’ddin Djambek memanfaatkan kaidah-kaidah astronomi dalam
menterjemahkan apa yang dimaksud oleh kaidah-kaidah agama dalam
kaitannya dengan penentuan awal waktu shalat, arah kiblat dan awal
bulan qamariah.
60
Misalnya, dalam menterjemahkan awal waktu Dzuhur,
Saadoe’ddin Djambek menggunakan rumus jam 12 dikurang equation of
time, yaitu sesaat setelah matahari tergelincir. Awal Ashar, tinggi
mataharinya menggunakan rumus: cotan h= tan |p - d| + 1. Rumus ini
menunjukkan bahwa tinggi matahari awal Ashar adalah panjang bayang-
bayang suatu benda saat kulminasi ditambah panjang bendanya. Awal
Maghrib diterjemahkan bahwa tinggi matahari saat ghurub adalah -1˚. Ini
sudah mencakup koreksi parallaks, refraksi, kerendahan ufuk (dip) dan
semidiameter matahari (s.g.t.). Untuk tinggi awal Isya’ menggunakan -
18˚, saat di mana mega merah mulai hilang. Sedangkan untuk awal
Shubuh, tinggi mataharinya adalah -20˚, lebih bawah daripada tinggi
matahari awal Isya’, sebab fajar shidiq akan muncul ketika posisi
matahari 20˚ di bawah ufuq.25
Adapun untuk penentuan arah kiblat, Saadoe’ddin Djambek
menterjemahkan arah atau Syathrol Masjidil Haram itu adalah jarak yang
terdekat dari suatu tempat ke Ka’bah, yaitu menggunakan Segitiga Bola
Besar (Spherical Trigonometry), yang sisi-sinya merupakan bagian dari
lingkaran yang pusatnya berimpit dengan pusat bola bumi itu sendiri.
Sistem ini juga dalam Astronomi dikenal dalam perhitungan Azimuth,
yang artinya arah.26
Untuk penentuan awal bulan qamariah, Saadoe’ddin Djambek
menafsirkan rukyat itu dengan posisi Hilal mar’i di atas ufuk mar’i (ufuk
yang terlihat) saat matahari terbenam tanggal 29 bulan qamariah setelah
terjadi ijtima’. Oleh karena itu, Saadoe’ddin Djambek dalam menghitung
awal bulan qamariah selalu mencantumkan data terjadinya ijtima’ dan
koreksi-koreksi parallaks, refraksi, kerendahan ufuq dan semidiameter
hilal. Ketiga data itu dijadikan koreksi terhadap tinggi hilal hakiki.27
2. Saadoe’ddin Djambek konsisten menggunakan rumus-rumus segitiga bola
(Spherical Trigonometry) untuk penentuan waktu shalat, arah kiblat dan
25 Saadoe’ddin Djambek, Menghisab Awal Waktu Shalat, h. 11. 26 Saadoe’ddin Djambek, Arah Qiblat, h. 5-7. 27 Saadoe’ddin Djambek, Hisab Awal Bulan, h. 25-30.
61
awal bulan qamariah. Saaddoe’ddin Djambek menganggap bahwa langit
yang terlihat dari bumi merupakan setengah bola besar di mana si
Pengamat berada pada titik pusat bola tersebut. Sementara itu, setengah
bola besar lainnya berada di bawah ufuq yang tidak dapat dilihat oleh
Pengamat. Benda-benda langit seperti Matahari, Bulan atau bintang-
bintang lainnya nampak nempel pada bola langit tersebut dan bergerak
bersama-sama dari arah timur ke barat, sejajar dengan Equator, sebagai
akibat dari rotasi bumi yang bergerak dari barat ke timur.
Oleh karena itu, kaidah-kaidah Ilmu Ukur Segitiga Bola (Spherical
Trigonometry) dapat diterapkan kepada bola langit ini. Dalam Ilmu Ukur
ini, fungsi-fungsi sinus, cosinus, tangent dan lainnya sangat dominan.
Pemanfaatan Ilmu Ukur Segitiga Bola pada bola langit digunakan
untuk perhitungan penetapan awal waktu shalat dan awal bulan qamariah,
sedangkan pemanfaatan Ilmu Ukur Segitiga Bola pada bola bumi
digunakan untuk melakukan perhitungan arah kiblat.
3. Saadoe’ddin Djambek juga konsisten menggunakan data yang up to date
untuk melakukan perhitungan awal waktu shalat, arah kiblat dan awal
bulan qamariah. Data seperti saat ijtima, deklinasi, equation of time atau
Meridian pass, dan data astronomis lainnya, Saadoe’ddin mengambilnya
dari sumber-sumber mutakhir seperti dari Almanak Nautika yang
diterbitkan setiap tahun oleh Jawatan Oseanografi TNI Angkatan Laut.
Demikian juga data Lintang dan Bujur tempat, Saadoe’ddin Djambek
selalu menggunakan data yang mutakhir.
4. Untuk memudahkan para pencinta Ilmu Falak dalam menghitung awal
waktu shalat, arah kiblat dan awal bulan qamariah, Saadoe’ddin Djambek
membuatkan tabel-tabel untuk data tertentu. Tabel tersebut disajikan
berdasarkan suatu rumus tertentu seperti parallaks, kerendahan ufuk dan
refraksi atau didasarkan pada tabel-tabel yang sudah ada namun
disederhanakan, seperti untuk data Lintang dan Bujur Tempat. Bahkan
untuk jadwal waktu shalat sepanjang masa, Saadoe’ddin Djambek
membuat tabel yang lebih detail dan harian berdasarkan lintang suatu
62
tempat di Indonesia. Sehingga para pencinta Ilmu Falak atau masyarakat
luas dapat membuat jadwal waktu shalat sepanjang masa secara mudah
dan akurat, di mana saja di Indonesia, berdasarkan jadwal yang dibuat
oleh Saadoe’ddin Djambek, dengan hanya melakukan koreksi sederhana
untuk menyesuaikan posisi tempat dan waktu daerah yang digunakan.
Sistem perhitungan dengan menggunakan rumus dan tabel di atas,
mungkin untuk saat ini sudah tidak begitu diperlukan lagi, mengingat ada
sistem perhitungan cepat, seperti smartphone atau computer. Namun pada
tahun-tahun di mana Saadoe’ddin Djambek mulai mengembangkan sistem
ini, sekitar tahun 1970an, penggunaan rumus dengan kalkulator secara
manual, bukan programmer, juga tabel-tabel yang up date adalah hal yang
sangat luar biasa. Mudah namun sangat akurat.
Kinipun, untuk kepentingan ilmiah, rumus-rumus Ilmu Ukur
Segitiga Bola dan data astronomi yang up date, sangatlah diperlukan,
untuk mengetahui dari mana datangnya rumus-rumus tersebut dan sejauh
mana akurasinya.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari beberapa pembahasan dan analisis yang telah
dilakukan pada sub bab terdahulu, maka penulis dapat menyimpulkan:
1. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang perhitungan awal waktu shalat
dapat digolongkan sebagai metode kontemporer, mengingat dalam proses
perhitungannya dengan mempertimbangkan ketinggian tempat, refraksi
dan dip, sehingga berpengaruh terhadap perhitungan terbit dan terbenam
matahari. Di samping itu penggunaan Ilmu Ukur Segitiga Bola menjadikan
sistem yang dikembangkan Saadoe’ddin Djambek menjadi system yang
akurat. Relevansi dari cara perhitungan terebut dapat dikatakan bahwa,
pedoman waktu shalat yang dibuat oleh Saadoe’ddin Djambek tergolong
akurat dan bisa dijadikan pegangan oleh masyarakat luas dalam
menjalankan ibadah shalat dan berlaku sepanang masa. Pemikiran
Saadoe’ddin Djambek merupakan perpaduan antara kalangan ahli hisab
dan astronom. Disamping itu, pemikirannya juga cenderung berupaya
memadukan penafsiran para ulama dengan teori-teori astronomi dalam
memahami nas-nas yang berkaitan dengan ketentuan-ketentuan awal
waktu salat. Pendapat tersebut dianalisir sebagai salah satu usaha
Saadoe’ddin untuk memadukan perhitungan astronomi waktu salat dengan
ketentuan waktu shalat dalam syariat Islam.
2. Pemikiran arah kiblat menurut Saadoe’ddin Djambek merupakan suatu
metode yang dirancang dan diterapkan secara sistematis, yang memadukan
antara pesan normativ dengan pesan ilmiah. Berangkat dari konsepsi dasar
tentang arah kiblat yang dijelaskan melalui pesan teks baik melalui al-
qur’an maupun al-hadits. Saadoe’ddin Djambek mengaplikasikannya
dengan kajian sains yang ilmiah yakni berupa ilmu ukur segitiga bola
(spherical trighonometri). Saadoe’ddin Djambek berusaha menerapkan
64
kajian arah kiblatnya berdasarkan ilmu matematis karena didalam
kajiannya Saadoe’ddin Djambek menerapkan konsepsi dasar rumus-rumus
segitiga bola yang hingga saat ini masih digunakan untuk penentuan arah
kiblat. Metode arah kiblat yang dirancang oleh Saadoe’ddin jambek dapat
memberikan pencerahan karena konsep dasar yang ditawarkan
Saadoe’ddin Djambek sangat akurasi, tepat dan applicable. Sehingga
sampai saat ini, konsep arah kiblat Saadoe’ddin Djambek masih
diaplikasikan oleh para ahli ilmu falak di Indonesia. Dengan demikian
pemikiran arah kiblat yang ditawarkan Saadoe’ddin Djambek sangat
akurat dan untuk dapat diaplikasikan dalam menentukan arah kiblat.
3. Pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang perhitungan awal bulan
qamariah mempunyai teori yang diberi nama ijtimak dan ufuk mar’i,
terkait penentuan awal bulan qamariah yang berlaku untuk semua daerah,
termasuk kawasan kutub. Menurut teori ini awal bulan qamariah dimulai
saat terbenam Matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu Hilal sudah
berada di ufuk mar’i. Adapun yang dimaksud ufuk mar’i adalah bidang
datar yang merupakan batas pandangan mata si pengamat. Semakin tinggi
posisi pengamat di atas Bumi, maka semakin rendah ufuk mar’i.
Lingkaran ufuk mar’i ini tampak sebagai pertemuan antara dinding bola
langit dengan permukaan Bumi. Perbedaan antara ufuk mar’i dengan ufuk
hakiki terletak pada kerendahan ufuk (dip). Menurut teori ini, posisi atau
kedudukan Bulan pada ufuk adalah posisi atau kedudukan piringan atas
Bulan pada ufuk mar’i. Perhitungan awal bulan tersebut, menggabungkan
ilmu astronomi dan hisab seperti rumus-rumus trigonometri dan segitiga
bola menjadikan metode ini termasuk yang akurat pada waktu itu dan
dipakai sebagai pegangan oleh badan hisab rukyat, terutama pada saat ia
menjadi ketuanya.
4. Relevansi pemikiran Saadoe’ddin Djambek ditunjukkan dengan
konsistensinya dalam perhitungan awal waktu shalat, arah kiblat dan awal
bulan qamariah. Konsistensi tersebut diantaranya adalah memanfaatkan
kaidah-kaidah astronomi dalam menterjemahkan apa yang dimaksud oleh
65
kaidah-kaidah agama dalam kaitannya dengan penentuan awal waktu
shalat, arah kiblat dan awal bulan qamariah. Konsistensi tersebut misalnya
dalam menghitung awal bulan qamariah selalu mencantumkan data
terjadinya ijtima’ dan koreksi-koreksi parallaks, refraksi, kerendahan ufuq
dan semidiameter hilal, menggunakan rumus-rumus segitiga bola
(Spherical Trigonometry) untuk penentuan waktu shalat, arah kiblat dan
awal bulan qamariah. Kaidah-kaidah Ilmu Ukur Segitiga Bola (Spherical
Trigonometry) dapat diterapkan kepada bola langit ini. Saadoe’ddin
Djambek juga konsisten menggunakan data yang up to date untuk
melakukan perhitungan awal waktu shalat, arah kiblat dan awal bulan
qamariah. Data seperti saat ijtima, deklinasi, equation of time atau
Meridian pass, dan data astronomis lainnya. Saadoe’ddin mengambilnya
dari sumber-sumber mutakhir seperti dari Almanak Nautika yang
diterbitkan setiap tahun oleh Jawatan Oseanografi TNI Angkatan Laut.
Demikian juga data Lintang dan Bujur tempat, Saadoe’ddin Djambek
selalu menggunakan data yang mutakhir.
B. Saran-saran
Saran-saran yang dapat penyusun kemukakan dalam rangka memberi
masukan positif dan konstruktif sehubungan dengan analisis yang penyusun
lakukan terhadap kajian pemikiran Saadoe’ddin Djambek tentang
pembaharuan dalam penentuan awal waktu shalat, arah kiblat, dan awal bulan
qamariah di Indonesia adalah:
1. Kepada Kementerian agama, hendaknya dalam merumuskan kajian arah
kiblat tidak hanya melibatkan satu disiplin ilmu saja, akan tetapi harus bisa
mengawinkan disiplin ilmu yang jadikan dasar pokok dengan ilmu yang
dijadikan instrument. Dalam hal ini ilmu falak/astronomi harus
dikawinkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern yang
berkembang seperti saat ini. Arah kiblat merupakan bangun epistimologi
66
keilmuan yang berdasar pada kajian normative-tekstual, oleh karena itu
kajian arah kiblat yang bersumber dari pesan teks dasar al-Qur’an dan
Hadits harus dipertemukan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
seperti ilmu Astronomi, Geodesi, Geologi, Geografi dan ilmu lain yang
terkait. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal,
dengan tujuan memberikan kemantapan, kekusyu’an dan menghilangkan
keraguan dalam beribadah khususnya shalat. Untuk meminimalisir
terjadinya perbedaan dan gonjang-ganjing tentang arah kiblat yang dapat
berimplikasi pada aspek sosial, politik dan ekonomi, maka dalam hal ini
pemerintah sebagai pemegang otoritas dan kaum intelektual yang
mempunyai perhatian terhadap problema keumatan terkait dengan masalah
arah kiblat agar dapat menyadarkan, menjelaskan, menyebarkan informasi,
dan meningkatkan pengertian masyarakat bahwa arah kiblat adalah sistem
yang sederhana yang diusahakan secara sistematik dan ilmiah adalah hal
yang sangat penting sehingga masyarakat akan lebih mengetahui mudah
menerima dan dapat diimplementasikan. Sehingga perlahan perbedaan
pendapat dalam menentukan arah kiblat yang sangat urgen dalam
pelaksanaan ibadah bagi umat Islam tidak lagi menjadi permasalahan.
2. Kepada masyarakat muslim Indonesia, saat ini metode hisab awal bulan
semakin beragam, hendaknya dipertimbangkan lagi dalam memakai acuan
hisab dalam menentukan awal bulan qamariah yang dianggap lebih akurat.
Hisab Saadoe’ddin Djambek ini masih dapat dijadikan sebagai acuan dasar
perhitungan atau pembelajaran hisab awal bulan qamariah.
3. Kepada institusi pendidikan tinggi bahwa mempelajari ilmu falak bersifat
fardu kifayah. Hendaknya ilmu ini tetap dijaga eksistensinya oleh setiap
komponen dan lapisan, dengan cara melakukan pengembangan dan
pembelajaran yang sejalan dengan perkembangan Iptek (ilmu pengetahuan
dan teknologi).
67
DAFTAR PUSTAKA Amirin, Tatang. Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995). Arifin, Zainul, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Lukita, 2012). Ash-Shidiqy, Hasby, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976). Assuyuti, Imam Bashori, Bimbingan Shalat Lengkap, (Jakarta: Mitra Umat, 1998). Azhari, Susiknan, Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002). Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, cet: II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008). Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-5,
2004). Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, cet: I. (Jakarta: Gema Insani, 2010). Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, cet: I (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997). Daya, Burhanudin. Gerakan Pembaharuan Islam Kasus Sumatera Thawalib, cet: I
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). Departemen Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Badan Peradilan Agama
Islam. Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. Selayang Pandang Hisab Rukyat, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, 2004). Djambek, Saadoe’ddin, Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa, (Jakarta: Tintamas,
1974). Djambek, Saadoe’ddin, Menghisab Awal Waktu Shalat, (Jakarta: Tintamas, 1967). Djambek, Saadoe’ddin, Hisab Awal Bulan, (Jakarta: Tintamas, 1976).
68
Djambek, Saadoe’ddin, Arah Qiblat dan Tjara Menghitungnja dengan Jalan Ilmu Ukur Segitiga, (Jakarta: Tintamas, 1957).
Gazalba, Sidi, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975). Hambali, Slamet, Pengantar Ilmu Falak, (Jawa Timur: Bismillah Publisher, 2012). Harun, M. Yusuf, Pengantar Ilmu Falak, (Banda Aceh: Pena, 2007). Husein, Ibrahim. “Tinjauan Hukum Islam terhadap Penetapan Awal Bulan
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah”, dalam Mimbar Hukum, Aktualisasi Hukum Islam, No. 6, th. 1992.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Buana
Pustaka, Cet. III. tt). Khazin, Muhyidin, Kamus Ilmu Falak, (Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet. ke-3,
2005). Maskufa, Ilmu Falaq, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009). Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997). Murtadho, Moh., Ilmu Falak Praktis, cet: I. (Malang: UIN-Malang Press, 2008). Musonnif, Ahmad, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Teras, 2011). Mustadjib, A. Aliran-aliran Hisab Falakiah, (Jakarta, 1998). Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, cet: III. (Jakarta:
LP3ES, 1985). Pardi, M., Almanak Nautika bagi Tjalon P.L.I dan M.P.B.I, (Jakarta: Gunung
Agung, 1963). Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Ditjen Binbaga Islam, Pedoman Tehnik
Rukyat, (Jakarta: Departemen Agama, 1983/1984). Rachim, Abdur, Ilmu Falak, (Yogyakarta: Liberty, 1983). Shadiq, Sriyatin, Ilmu Falak I, (Surabaya: Fakutas Syari’ah Universitas
Muhammadiyah Surabaya, 1994).
69
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, cet: I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).
Wafi, Ali Abdul Wahdi. Perkembangan Madzhab dalam Islam, (Jakarta: Minaret,
1987). Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991). Yahya. Muhammad Taufiq Ali, Sholat: Hikmah, Syariat dan Wirid-wiridnya, cet: II.
(Jakarta: Penerbit Lentera, 2006). Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya
Agung, 1985). Yusuf, Choirul Fuad dan Bashori A. Hakim. Hisab Rukyat dan Perbedaannya.
(Jakarta: Proyek Peningkatan Pengkajian Kerukunan Hidup Umat Beragama, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama RI, 2004).
Yusuf, Yunan, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penerbit Pustaka
Panjimas, 1990).
70
Artikel: http://www.msi.nga.mil/MSISiteContent/StaticFiles/NAV_PUBS/APN/Chapt-19. pdf
diakses pada tanggal 4 Juni 2018. http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,14-id,51616-lang,id-t,Gerhana+
Matahari+ 29+April+2014-.phpx diakses pada tanggal 4 September 2018. http://www.tecepe.com.br/scripts/AlmanacPagesISAPI.dll/pages?date=09%2F16%2F1974 diakses pada pukul 15.35 WIB tanggal 30 September 2018.
Recommended