View
221
Download
13
Category
Preview:
DESCRIPTION
anestesi
Citation preview
PENANGANAN PERIOPERATIF PASIEN HIPERTIROIDI
PENDAHULUAN [1-3]
Insidens gangguan tiroid meningkat dengan bertambahnya usia. Pembesaran
tiroid disertai goiter menjadi lebih prevalen pada usia 60, dan 50 % dari
populasi sekurangnya mempunyai satu nodul tiroid pada pemeriksaan
ultrasonografi. Hipertiroidi primer, adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan sintesa hormon tiroid, dan lebih sering pada wanita, tetapi lebih
rendah dibanding dengan insidens hipotiroid pada wanita (sekitar 12 % pada
usia 60 th). Tirotoksikosis adalah kondisi dimana kadar hormon tiroid
meningkat tidak tergantung etiologinya.
Pada orang tua sering mempunyai blunted response terhadap disfungsi tiroid.
Hal ini dikenal dengan istilah ”apathetic” hyperthyroidism. Pada orang tua
yang menunjukkan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas atau
adanya onset akut atrial tachydysrhytmia, perlu dilakukan pemeriksaan
kadar TSH untuk menyingkirkan hipertiroidisme.
Grave’s disease atau juga dikenal dengan Morbus Basedow adalah bentuk
paling umum dari tirotoksikosis. Ini terjadi pada 1,9 % populasi wanita. Rasio
wanita terhadap laki-laki setinggi 7:1, dan insidens tertinggi tercapai antara
dekade ke-3 dan ke-4. Alasan mengapa wanita lebih dominan belum
diketahui dengan pasti. Faktor genetik mungkin memegang peranan penting,
sebab disini terjadi suatu peningkatan frekuensi haplotypes HLA-B8 dan -
DRw3 pada orang Kaukasia, HLA-Bw36 pada orang Jepang, dan HLA-Bw46
pada pasien Cina yang menderita penyakit ini.
Penderita hipertiroidi yang menjalani pembedahan terbagi dalam 2 kelompok
:
1. Kelompok penderita yang direncanakan untuk menjalani
pembedahan kelenjar gondok dalam upaya untuk menyembuhkan
penyakitnya
1
2. Kelompok penderita yang menjalani pembedahan darurat karena
penyakit lain, sementara masih dalam keadaan hipertiroid yang
belum terkontrol
Kedua kelompok tersebut di atas masing-masing mempunyai permasalahan
yang cukup rumit, karena bila terjadi penyulit berupa “thyroid storm”, maka
angka kematiannya cukup tinggi, yaitu sekitar 25 – 70 %. Oleh karena itu
maka diperlukan kerjasama yang baik antara internist (endokrinologis),
surgeon, dan anesthetist.
DEFINISI [4]
Meskipun istilah hyperthyroidism dan thyrotoxicosis sering dianggap sama,
namun sebenarnya ada suatu perbedaan penting:
- hyperthyroidism adalah keadaan dimana terjadi suatu peningkatan
pembentukan dan pelepasan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid
- thyrotoxicosis adalah sindroma klinis yang dihasilkan oleh keadaan
hipertiroidisme.
Istilah subclinical hyperthyroidism adalah keadaan dimana kadar plasma TSH
rendah atau tidak terdeteksi, namun konsentrasi T4 dan T3 normal.
Thyroid storm, atau krisis tiroid, adalah istilah yang digunakan pada
hipertiroidisme dengan suatu manifestasi klinis ekstrim, yang mengancam
jiwa dan terjadinya tiba-tiba.
ETIOLOGI [5-7]
Grave’s disease merupakan kasus terbanyaK, terhitung 60 - 90% dari
keseluruhan kasus hipertiroidisme.
Penyebab lainnya adalah excessive thyroid hormone replacement therapy,
toxic adenoma (Plummer disease), toxic multinodular goiter, dan tiroiditis.
Tirotoksikosis akibat penggunaan amiodarone jangka lama atau iodine-
containing radiographic contrast agents juga dapat terjadi.
2
Ada 2 tipe hipertiroidisme yang mungkin disebabkan oleh amiodarone:
- Tipe 1, disebabkan melalui ekses iodine khususnya pada pasien
dengan nodular goiter
- Tipe 2, diperantarai melalui suatu proses inflamatori pada kelenjar
tiroid, sehingga menyebabkan pelepasan T3 dan T4
Tabel 1. Penyebab Hipertiroidisme
Grave’s disease
Hyperfunctioning adenoma
Toxic multinodular goiter
Subacute thyroiditis
Chronic thyroiditis with transient thyrotoxicosis
Thyrotoxicosis factitia
Ectopic thyroid hormone production
Excess production of thyroid-stimulating hormone
Struma ovarii
Metastatic follicular carcinoma
Trophoblastic tumor
Amiodarone induced thyrotoxicosis
DASAR-DASAR UMUM FISIOLOGI PEMBENTUKAN HORMON TIROID [3, 8,
9]
Agar dapat menangani penderita hipertiroidi secara baik, perlu dipahami
anatomi dan fungsi fisiologis kelenjar gondok, serta farmakologi dari obat-
obat utama yang dipergunakan untuk mengelola pasien.
Seperti diketahui kelenjar gondok menghasilkan dua macam hormon yaitu
tri-iodothyronine (T3) dan tetra-iodothyronine (T4). Proses pembentukan dan
pelepasan T3 dan T4 melibatkan enam langkah utama :
1. Trapping iodidie, suatu transpor aktif I- melintasi membrana basalis ke
dalam sel tiroid
2. Oksidasi iodida dan iodinasi residu tirosil dalam tiroglobulin
3. Coupling proccess, penggabungan molekul iodotirosin dalam
tiroglobulin membentuk T3 dan T4.
3
4. Proteolisis tiroglobulin, sehingga dilepaskan iodotirosin dan iodotironin
bebas
5. Deiodinisasi iodotirosin dalam sel tiroid, dengan konservasi dan
penggunaan kembali iodida yang dibebaskan
6. Pada lingkungan tertentu, terjadi deiodinisasi-5’ dari T4 menjadi T3
intratiroidal
Gambar 1. Proses sintesis dan iodinasi tiroglobulin (kiri) dan absorbsi serta pencernaannya (kanan). Kejadian ini terjadi pada sel yang sama. (Junquera LC, Carnerio J, Kelley R; Basic Hystology, 7th ed. Appleton & Lange, 1992)
Transpor Iodida (The Iodide Trap)
I- ditranspor melintasi membrana basalis sel tiroid oleh suatu proses yang
memerlukan energi aktif yang tergantung pada Na+ - K+ ATPase. Sistim
transpor ini memungkinkan tiroid untuk mempertahankan kadar iodida bebas
30 – 40 kali lebih tinggi dibanding kadar dalam plasma. Thyro-iodide trapping
distimulasi oleh TSH dan anti-body stimulating TSH – R (pada Grave’s
4
disease). Proses trapping ini dapat dijenuhkan dengan pemberian I - dalam
jumlah besar dan dihambat oleh ion seperti :
o ClO4-
o SCN-
o NO3-, dan
o TcO4-.
Kalium perklorat dan thiosianat digunakan untuk mengobati hipertiroidisme
akibat iodida. Senyawa tersebut bekerja dengan melepaskan I- dari proses
trapping dan mencegah uptake I- lebih lanjut.
I- juga terkonsentrasi pada jaringan kelenjar liur, lambung, dan jaringan
payudara, namun jaringan ini tidak dapat mengorganifikasi atau menyimpan
I-, dan juga tidak distimulasi oleh TSH.
Gambar 2. Mekanisme transpor iodida dalam sel tiroid. K1 adalah konstanta kecepatan iodida
yang diangkut dari plasma ke dalam sel, sedangkan K2 adalah difusi iodin inorganik dari sel
tiroid kembali ke plasma. Mekanisme transpor iodida hanya menyangkut iodida inorganik (I-).
Iodinasi Tirosil dalam Tiroglobulin
Dalam sel tiroid, pada interaksi sel-koloid, iodidia dioksidasi dengan cepat
oleh H2O2. Proses ini dikatalisasi oleh tiroperoksidase, kemudian diubah
menjadi perantara aktif, dan selanjutnya akan digabungkan ke dalam residu
tirosil dalam tiroglobulin. H2O2 kemungkinan dibentuk oleh oksidase
dihidronio-tinamid adenin dinukleotida fosfat (NADPH) dengan adanya Ca2+.
5
Proses ini distimulasi oleh TSH. Perantara iodinisasi ini mungkin adalah
iodinium (I+), hipoiodat, atau suatu radikal bebas iodin. Iodinisasi terjadi di
batas apikal (koloid) dari sel tiroid.
Peroksidase tiroidal mengkatalisa iodinisasi dari molekul tirosil dalam protein
selain tiroglobulin (misal. albumin atau fragmen tiroglobulin). Namun proses
ini tidak membentuk hormon tiroaktif. Hormon yang secara metabolik tidak
aktif ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, dan merupakan cara untuk
melepaskan cadangan iodida tiroidal.
Penggabungan dari Residu Iodotirosil dalam Tiroglobulin
Proses ini juga dikatalisir oleh peroksidase tiroidal. Diperkirakan bahwa hal ini
merupakan suatu mekanisme intramolekular yang melibatkan tiga langkah :
1. oksidasi dari residu iodotirosil menjadi bentuk aktif oleh peroksidase
tiroidal
2. penggabungan residu iodotirosil aktif di dalam molekul tiroglobulin
yang sama, untuk membentuk kuinol eter intermedia
3. pemecahan kuino eter untuk membentuk iodotironin, dengan konversi
rantai samping alanin dari iodotirosin donor menjadi dehidroalanin.
Untuk dapat terjadinya proses di atas, struktur dimerik tiroglobulin penting.
Di dalam molekul tiroglobulin, dua molekul DIT akan bergabung membentuk
T4, suatu molekul MIT dan DIT dapat bergabung membentuk T3. Obat-obat
tiokarbamida, terutama PTU, methimazole, dan karbimazol merupakan
inhibitor poten dari peroksidase tiroidal, sehingga akan menghambat sintesa
hormon tiroid.
Proteolisis Tiroglobulin dan Sekresi Hormon Tiroid
Pola proteolisis tiroglobulin dan sekresi hormon tiroid digambarkan pada
gambar 2. Enzim lisosomal disintesis oleh rough reticulum endoplasmic dan
selanjutnya dikemas oleh aparatus Golgi ke dalam lisosom. Struktur-struktur
ini dikelilingi membran, yang mempunyai suatu interior yang bersifat asam
dan diisi dengan enzim proteolitik, termasuk protease, endopeptidase,
hidrolisa glikosida, fosfatase, dan enzim lainnya. Pada interaksi sel-koloid,
koloid ditelan ke dalam suatu vesikel koloid melalui proses makropinositosis
6
atau mikropinositosis, dan selanjutnya diabsorbsi ke dalam sel tiroid.
Kemudian lisosom berfusi dengan vesikel koloid dan terjadilah hidrolisis
tiroglobulin. Hidrolisis tiroglobulin akan menyebabkan terjadinya pelepasan
T4, T3, MIT, DIT, fragmen peptida, dan asam amino. T4 dan T3 akan
dilepaskan ke dalam sirkulasi, sementara MIT dan DIT mengalami deiodinisasi
dan dihasilkan I- yang kemudian dipreservasi untuk proses selanjutnya.
Mekanisme transpor T4 dan T3 melalui sel tiroid tidak diketahui dengan jelas,
tetapi mungkin melibatkan suatu karier hormon spesifik. Sekresi hormon
tiroid distimulasi oleh TSH, dengan cara mengaktivasi adenilat siklase, dan
oleh analog cAMP. Proteolisis tiroglobulin dihambat oleh adanya kelebihan
iodida dan litium, seperti litium karbonat (digunakan untuk terapi manik
depresif).
Deiodinisasi Intratiroidal
MIT dan DIT yang dibentuk selama sintesa hormon tiroid di-deiodinisasi oleh
enzim deidinase intratirodal. Enzim ini merupakan suatu flavoprotein yang
tergantung pada NADPH yang ditemukan dalam mitokondria dan mikrosoma.
Hal ini terjadi pada MIT dan DIT tetapi tidak pada T3 dan T4. Iodida yang
dilepaskan sebagian besar digunakan kembali intuk sintesis hormon, dan
sejumlah kecil dikeluarkan dari tiroid kemudian masuk ke dalam pool tubuh.
Enzim 5’-deiodinase yang mengubah T4 menjadi T3 di jaringan perifer, juga
ditemukan dalam kelenjar tiroid. Pada situasi defisiensi iodida, jumlah T3
yang disekresi oleh kelenjar tiroid akan meningkatkan efisiensi metabolik.
Efek Kelebihan Iodin pada Biosintesis Hormon
Pada tikus dengan defisiensi-iodida, iodida dosis tinggi pada awalnya akan
meningkatkan organifikasi iodida dan pembentukan hormon hingga tercapai
suatu kadar kritis. Pada titik ini, terjadi inhibisi organifikasi dan penurunan
hormogenesis. Efek ini disebut Wolff-Chaikoff, yang kemungkinan
disebabkan oleh inhibisi pembangkitan H2O2 oleh kandungan I- intratiroidal
yang tinggi. Pada beberapa pasien, beban iodida yang tinggi dapat
menimbulkan hipertiroidisme (efek “jod basedow”). Efek ini dapat terjadi
7
pada pasien dengan latent Grave’s disease, goiter multinodular, atau kadang
pada mereka yang kelenjar tiroidnya normal.
Kontrol Fungsi Tiroid
Pertumbuhan dan fungsi kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan oleh
empat mekanisme :
1. Sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, dimana Thyroid Releasing
Hormon (TRH) hipotalamus merangsang sintesis dan pelepasan
Thyroid Stimulating Hormon (TSH) pada hipofisis anterior.
2. Deidoninase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek T3 dan T4.
3. Autoregulasi sintesis hormon oleh kelenjar tiroid itu sendiri dalam
hubungannya dengan suplai iodinnya.
4. Stimulasi atau inhibisi fungsi tiroid oleh autoantibadi reseptor TSH
Gambar 3. Hypothalamus-hypophysis-thyroid axis. TRH yang dihasilkan hipotalamus
mencapai tirotrop di hipofisis anterior melalui sistim portal hipotalamus-hipofisis dan
merangsang sintesa dan pelepasan TSH. T3 menghambat sekresi TRH maupun TSH, di
hipotalamus dan hipofisis. T4 juga mengalami monoiodinisasi menjadi T3 di neural dan hipofisis
sebagaimana di jaringan perifer.
8
Metabolisme Hormon Tiroid
Setiap hari kelenjar tiroid normal kira-kira mensekresi :
- T4 sebanyak 100 nmol,
- T3 sebanyak 5 nmol, dan
- T3 reversa (rT3) < 5 nmol, yang secara metabolik tidak aktif.
Sebagian besar pool T3 plasma berasal dari metabolisme perifer (5’-
deiodinisasi) T4. Aktivitas biologik hormon tiroid sangat tergantung pada
tempat atom iodin. Deiodinisasi cincin luar T4 (deindinisasi-5’) menghasilkan
3,5,3’-triiodotironin (T3), yang 3 – 8 kali lebih poten dibanding T4. Di lain
pihak, deiodinisasi dari cincin dalam T4 (deiodinisasi-5) menghasilkan 3,3’,5’-
triodotironin (reverse T3), yang secara metabolik inert.
Paling sedikit ada tiga enzim yang yang mengkatalisir reaksi
monodeiodinisasi :
Tipe 1 : Deiodinase-5’
Merupakan deiodinase paling banyak dan sebagian besar ditemukan
dalam hepar dan ginjal, namun pada kelenjar tiroid, otot rangka, otot
jantung, dan jaringan lain juga ditemukan dengan jumlah lebih sedikit.
Fungsi utama deiodinase-5’ tipe 1 adalah menyediakan T3 untuk
plasma. Kloning molekular enzim ini meng-ungkapkan bahwa molekul
ini mengandung selenosistein. Enzim ini meningkat pada
hipertiroidisme dan menurun pada hipotiroidisme. Peningkatan
aktivitas yang terjadi pada hipertiroidisme menyebabkan tingginya
kadar T3. Enzim ini dihambat oleh PTU tapi tidak oleh methimazole. Hal
inilah yang menjelaskan mengapa PTU lebih efektif dibanding
methimazole dalam menurunkan kadar T3 pada hipertiroidisme berat.
Tabel 2. Keadaan atau faktor yang berhubungan dengan penurunan konversi T4
menjadi T3.
1. Kehidupan fetus
2. Pembatasan kalori
3. Penyakit hepar
4. Penyakit sistemik mayor
9
5. Obat-obatan :
PTU
Glukokortikoid
Propanolol
Zat kontras rontgen teriodinisasi (asam iopanoat, natrium ipodat)
6. Defisiensi Selenium
Dari semua obat-obatan yang tertera di atas, hanya PTU dan ipodat
yang mengganggu konversi T4 menjadi T3 intraseluler.
Tipe 2 : Deiodinase-5’
Sebagian besar ditemukan dalam otak dan kelenjar hipofisis. Enzim ini
resisten terhadap PTU tapi sangat peka terhadap T4 yang beredar. Efek
utama enzim ini adalah untuk mempertahankan suatu kadar yang T3
intraseluler dalam susunan syaraf pusat. Penurunan T4 yang beredar
menimbulkan peningkatan jumlah enzim dalam otak dan sel-sel
hipofisis secara cepat. Mekanismenya mungkin dengan mengubah
kecepatan degradasi dan inaktivasi enzim, dengan tujuan
mempertahankan T3 intraseluler dan fungsi seluler. Sedangkan kadar
T4 yang tinggi dalam serum akan menurunkan deiodinase-5’ tipe 2,
untuk melindungi sel otak dari T3 yang berlebihan.
Tipe 3 : Deiodinase cincin tirosil, atau deiodinase-5
Ditemukan dalam membrana korionik plasenta dan sel-sel glia dalam
susunan syaraf pusat. Enzim ini menginaktivasi :
o T4 menjadi rT3 dan
o T3 menjadi diiodotironin-3,3’ (3,3’-T2)
Enzim ini meningkat pada hipertiroidisme. Dengan demikian enzim ini
dapat membantu melindungi janin dan otak dari kelebihan atau
defisiensi T4.
Sekitar 80 % T4 dimetabolisir melalui deiodinisasi, 35 % menjadi T3 dan 45 %
menjadi rT3. Sisanya sebagian besar diinaktivasi melalui glukoronidasi dalam
hepar dan sekresi ke dalam empedu, atau pada tingkat yang lebih kecil lagi,
yaitu melalui sulfonasi dan deiodinisasi dalam hepar atau ginjal.
10
EFEK HORMON TIROID [4, 6, 8, 10]
Efek pada Perkembangan Janin
Sistim TSH tiroid dan hipofisis anterior mulai berfungsi pada janin manusia
sekitar minggu ke-11. Sebelum itu, tiroid janin tidak mengkonsentrasikan 123I.
Hal ini disebabkan tingginya deiodinase-5 tipe 3, sehingga sebagian besar T3
dan T4 maternal diinaktivasi dalam plasenta, sehingga sangat sedikit yang
hormon tiroid maternal yang masuk ke janin. Dengan demikian sebagian
besar suplai hormon tiroid janin tergantung pada sekresi tiroidnya sendiri.
Walaupun sejumlah pertumbuhan janin terjadi tanpa adanya sekresi hormon
tiroid, namun perkembangan otak dan pematangan skeletal jelas terganggu
tanpa hormon ini, sehingga dapat menimbulkan terjadinya kretinisme.
Efek pada Konsumsi O2, Produksi Panas, dan Pembentukan Radikal
Bebas.
T3 meningkatkan konsumsi O2 dan produksi panas, melalui stimulasi Na+ - K+
ATPase dalam semua jaringan kecuali otak, lien dan testis. Hal ini berperan
pada peningkatan kecepatan metabolisme basal (BMR) dan peningkatan
kepekaan terhadap panas pada hipertiroidisme. Hormon tiroid juga
menurunkan kadar superoxide dismutase, sehingga menimbulkan
peningkatan pembentukan radikal bebas anion superoksida.
Efek Kardiovaskuler
T3 merangsang transkripsi rantai berat α miosin dan menghambat rantai
berat β miosin, sehingga memperbaiki kontraktilitas otot jantung. T3 juga
meningkatkan transkripsi Ca2+ ATPase dalam retikulum sarkoplasmik,
sehingga meningkatkan kontraksi diastolik jantung. Dengan demikan,
hormon tiroid mempunyai efek inotropik maupun kronotropik terhadap
jantung. Hal ini merupakan penyebab peningkatan CO dan peningkatan nadi
yang nyata pada pasien hipertiroidisme.
Manifestasi kardiovaskuler dari tirotoksikosis mungkin disebabkan oleh efek
langsung hormon tiroid pada level seluler, interaksinya dengan sistim syaraf
11
simpatetik, atau perubahan metabolisme dan sirkulasi perifer. Sebagai
contoh, exercise intolerance dan dyspnea on exertion mungkin disebabkan
ketidakmampuan untuk meningkatkan cardiac output dan akibat kelemahan
otot skeletal atau respiratorik. (3)
Tabel 3. Manifestasi kardiovaskuler pada hipertiroidisme
Symptoms and signs Prevalence (%)
Palpitations
Exercise intolerance
Dyspnea on exertion
Fatigue
Angina pectoris
Tachycardia
Bounding pulses
Wide pulse pressure
Hyperactive precordium
Systolic murmurs
Systolic hypertension
Atrial fibrillation
85
65
50
50
5
90
75
75
75
50
30
15
Gagal Jantung:
Hormonally mediated cardiomyopathy atau underlying heart disease?
Pasien hipertiroid tua kadang-kadang menunjukkan gejala gagal jantung atau
angina. Beberapa faktor mungkin memberi kontribusi terhadap kegagalan
jantung pada tirotoksikosis (Gambar 3). Gagal jantung mungkin terjadi ketika
perubahan hemodinamik akibat hipertiroidisme, tidak mencukupi untuk
memenuhi peningkatan metabolic demands jaringan perifer atau ketika
terjadi high-output state atau takiaritmia yang menyebabkan eksaserbasi
underlying coronary artery disease. Fungsi diastolik juga mengalami
penurunan karena :
- hipertrofi ventrikel kiri
- progressive ventricular stiffness,
- kegagalan ventricular filling, terutama pada saat terjadi takikardi dan
AF.
12
Sebagai tambahan, tirotoksikosis menyebabkan peningkatan volume total
darah dan plasma, yang selanjutnya meningkatkan filling pressure.
Sementara itu penurunan SVR akibat hipertiroidisme, kadang-kadang
akan menambah kapasitas jantung secara berlebihan sehingga
menyebabkan high-output failure. Namun sering kali keadaan high-output,
tachyarrhythmias, ataupun keduanya merupakan tanda penyakit jantung
koroner, dan gagal jantung yang terjadi disebabkan iskemia tersebut.
Gambar 3. Bagaimana tirotoksikosis menyebabkan terjadinya gagal jantung
Masih terjadi perdebatan apakah perubahan hemodinamik yang diinduksi
oleh tirotoksikosis itu sendiri yang menyebabkan gagal jantung. Disfungsi
myokardial pada pasien tirotoksik juga terjadi meskipun tanpa underlying
cardiac disease, bahkan pada anak sekalipun, dan telah dilaporkan adanya
perbaikan kontraktilitas myokardial setelah mencapai euthyroidism.
Efek pada Fungsi Ventrikuler
Pada awalnya, hipertiroidisme meningkatkan kontraktilitas jantung dan
memperbaiki fungsi diastolik. Namun, dalam jangka lama, tirotoksikosis
menginduksi hipertrofi ventrikel kiri baik pada manusia ataupun hewan.
Ekses hormon tiroid dihubungkan dengan peningkatan sintesa protein
jantung, menyebabkan adanya hipotesis bahwa hal tersebut memicu
terjadinya hipertrofi. Namun, beta-blocker diketahui dapat memblok atau
13
mengembalikan hipertrofi, sehingga keluar dugaan bahwa peningkatan
cardiac workload mungkin disebabkan oleh mediator hipertrofi. Laporan
terbaru mempercayai bahwa pada hipertiroidisme subklinis pun mungkin
sudah mempengaruhi morfologi dan fungsi jantung
Aritmia
Sinus takikardia adalah aritmia yang paling sering terjadi pada ekses hormon
tiroid. Gangguan ritme lain yang sering ada dengan tirotoksikosis adalah
premature atrial contraction dan atrial fibrilasi. Paroxysmal atrial tachycardia
atau atrial flutter juga bisa terjadi walaupun jarang. Premature venticular
contraction dan takiaritmia ventrikel jarang terjadi.
Sinus takikardia
Takikardi pada tirotoksikosis dapat terjadi saat istirahat, selama tidur, dan
selama latihan. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa hormon tiroid
mempunyai efek langsung pada sistim konduksi, kemungkinan melalui
perubahan seluler dalam transpor kation, termasuk :
- penurunan atrial excitation threshold,
- peningkatan sinoatrial node firing,
- shortening of conduction tissue refractory time.
Atrial fibrillation (Tabel 3)
AF terjadi pada 5 – 15 % pasien hipertiroid. Insidens tertinggi ditemukan pada
pasien yang diketahui atau diduga menderita penyakit jantung, ataupun
beresiko menderita sakit jantung, seperti orang tua atau laki-laki. Aritmia ini
mungkin hanya merupakan manifestasi dari tirotoksikosis, jadi kadar TSH
seharusnya rutin diperiksakan pada pasien dengan atrial fibrilasi. Bila
kadarnya rendah, maka diperlukan pemeriksaan tambahan free T4 dan free
T3. Salah satu laporan menunjukkan adanya subtle hyperthyroidism pada 12
% pasien geriatri dengan AF, yang semula diduga idiopatik. Namun, dalam
suatu studi kohort dalam jumlah besar, yang dilakukan pada pasien dengan
new-onset atrial fibrillation tanpa adanya tanda atau gejala disfungsi tiroid,
prevalensi hipertiroidisme cukup rendah (< 1%). Perlu dicatat, bahkan pada
keadaan hipertiroidisme subklinis pun terjadi peningkatan resiko AF.
14
Tabel 4. Thyroid hormone excess and atrial fibrillation : Clinical pearls
Up to 15 % of hyperthyroid patients have atrial fibrillation
Always rule out hyperthyroidism in patients with atrial fibrilation
Antithyroid treatment is likely to convert atrial fibrillation to sinus rhythm
Defer cardioversion until euthyroidism is restored
Anticoagulation is indicated
Efek hemodinamik
Efek hemodinamik tirotoksikosis meliputi takikardi, systolic hypertension,
peningkatan cardiac output dan stroke volume, dan peningkatan systemic
vascular resistance (SVR). Isolated systolic hypertension mungkin disebabkan
karena ketidakmampuan vasculatur untuk mengakomodasi peningkatan
cardiac output dan stroke volume. Penurunan SVR mungkin disebabkan oleh
efek vasodilatasi langsung hormon tiroid pada sel otot polos vaskuler.
Gambar 4. Skema yang menggambarkan perubahan hemodinamik pada hipertiroidisme. Penurunan systemic vascular resistance adalah sentral dari banyak konsekuensi hemodinamik yang terjadi akibat ekses hormon tiroid. LVEDV = left ventricular end-diastolic volume, LVESV = left ventricular end-systolic volume.
15
Efek Simpatetik
Hormon tiroid meningkatkan jumlah reseptor beta-adrenergik dalam otot
jantung, skeletal, jaringan adiposa, dan limfosit. Hormon ini juga menurunkan
reseptor α-adrenergik pada miokardial. Selain itu juga terjadi peningkatan
kepekaan terhadap katekolamin secara nyata pada hipertiroidisme, sehingga
obat β-adrenergic blocker sangat membantu dalam mengendalikan
takikardia dan aritmia. (1)
Banyak tanda kardiovaskuler pada tirotoksikosis yang menyerupai
peningkatan aktivitas beta-adrenergik (sinus takikardi, peningkatan
kontraktilitas jantung dan CO). Dan responsnya terhadap beta-blockers,
menguatkan dugaan bahwa hal tersebut disebabkan oleh :
- disfungsi metabolisme katekolamin, atau
- peningkatan sensitivitas terhadap katekolamin.
Sebagai tambahan, perubahan status tiroid telah dilaporkan dapat
menyebabkan perubahan:
- reseptor beta-adrenergik myokardial,
- guanine-nucleotide regulatory proteins,
- adenyl cyclase,
- ion channel performance
Pasien dengan tirotoksikosis mempunyai kadar katekolamin plasma dan urine
yang normal dan responsnya juga normal terhadap pemberian infus
katekolamin. Lagi pula, tidak ada fakta yang pasti terhadap peningkatan
densitas reseptor beta-adrenergik pada myokardium, peningkatan turn over
katekolamin pada sinaps neural, ataupun peningkatan afinitas reseptor
adrenergik terhadap katekolamin. (3)
Efek Pulmoner
Hormon tiroid mempertahankan hipoxic dan hipercapneic drive agar tetap
normal pada pusat pernafasan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa pada
hipotiroid berat bisa terjadi hipoventilasi, yang kadang harus memerlukan
ventilasi buatan.
16
Efek Hematopoetik
Peningkatan kebutuhan selular terhadap O2 pada hipertiroidisme
menyebabkan peningkatan produksi eritropoetin dan peningkatan
eritropoiesis. Namun, volume darah biasanya tidak mengalami peningkatan
karena hemodilusi dan penggantian eritrosit. Hormon tiroid meningkatkan
kandungan 2,3-difosfogliserat eritrosit, yang memungkinkan untuk terjadi
peningkatan disosiasi O2-hemoglobin dan meningkatkan penyediaan O2 ke
jaringan. Keadaan yang sebaliknya terjadi pada hipotiroid.
Efek Gastrointestinal
Hormon tiroid merangsang motilitas usus, sehingga pada hipertiroidisme
dapat menimbulkan hipermotilitas usus dan diare. Hal ini memberi andil
terhadap penurunan berat badan.
Efek Skeletal
Hormon tiroid merangsang peningkatan penggantian tulang, dengan cara
meningkatkan resorpsi dan pembentukan tulang. Dengan demikian,
hipertiroidisme dpat menimbulkan osteopenia yang bermakna, dan pada
kasus yang berat, bisa terjadi hiperkalsemia sedang, hiperkalsiuria, dan
peningkatan ekskresi hidroksiprolin dan cross-reaction pyridium.
Efek Neuromuskular
Walaupun hormon tiroid merangsang peningkatan sintesis dari banyak
protein struktural, pada hipertiroidisme terdapat peningkatan penggantian
protein dan hilangnya jaringan otot, atau miopati. Hal ini berkaitan dengan
terjadinya kreatinuria spontan. Kelemahan otot yang hebat mungkin terjadi,
terutama pada apathetic hyperthyroid crisis. Sindroma kelemahan otot lain
telah dilaporkan, antara lain abnormalitas upper motor neuron dengan refleks
yang asimetris, dan sudden-onset episodic thyrotoxic periodic paralysis.
Rhabdomyolisis juga dapat terjadi.
Terdapat juga suatu peningkatan kecepatan kontraksi dan relaksasi otot.
Pada hipertiroid secara klinis tanda ini berupa hiperefleksia. Hormon tiroid
17
penting untuk perkembangan susunan syaraf pusat dan menjamin fungsinya
tetap normal.
Efek pada Lipid dan Metabolisme Karbohidrat
Hipertiroidisme meningkatkan glukoneogenesis dan glikogenolisis hepar,
demikian pula dengan absorbsi glukosa usus. Perubahan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya eksaserbasi diabetes melitus primer. Sintesis dan
degradasi kolesterol juga meningkat pada hipertiroidisme. Efek tersebut
sebagian besar disebabkan oleh adanya peningkatan reseptor low-density
lipoprotein (LDL) hepar, sehingga kadar kolesterol akan menurun dengan
adanya aktivitas tiroid yang berlebih. Lipolisis juga meningkat, sehingga
terjadi pelepasan asam lemak dan gliserol. Hal sebaliknya terjadi pada
hipotiroidisme.
Efek Endokrin
Hormon tiroid meningkatkan perubahan metabolik dan farmakologi dari
banyak hormon dan obat-obatan. Sebagai contoh, half-life kortisol sekitar 100
menit pada orang normal, namun menjadi sekitar 50 menit pada keadaan
hipertiroidisme. Kecepatan produksi kortisol akan meningkat pada pasien
hipertiroid. Pada pasien dengan fungsi adrenal normal, kadar hormon dalam
sirkulasi dapat dipertahankan normal, namun pada insufisiensi adrenal hal
tersebut tidak terjadi. Gangguan ovulasi dapat terjadi pada hipertiroidisme
maupun hipotiroidisme, sehingga dapat menimbulkan infertilitas (dapat
terkoreksi bila pasien sudah dalam keadaan eutiroid).
Tabel 5. Perubahan Fungsi Sistem Organ yang Berhubungan dengan
Hipertiroidisme
Sistem Organ Perubahan Fungsi
Kardiovaskular Resting Tachicardia
Peningkatan Stroke Volume
Peningkatan Cardiac Output
Pulse pressure yang lebar
Aritmia
Kontraksi prematur
Atrial Fibrilasi
18
Gagal jantung kongestif
Disfungsi valvular
Prolaps katub mitral, insufisiensi
Pulmoner Ventilatory failure
Myopati otot-otot pernafasan
Peningkatan produksi CO2
Penurunan kapasitas vital
Hipoksemia
Peningkatan konsumsi O2
Perubahan afinitas Hb terhadap O2
Renal/Elektrolit Poliuria
Hipomagnesemia
Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria
Gastro-intestinal Hipermotilitas
Hepatik Peningkatan transaminase
Kolestasis intrahepatik
Muskuloskeletal Myopati
Protein wasting
SSP Nervousness, labilitas emosi
Metabolik Peningkatan resting energy expenditure
TERAPI [2, 3, 5-7, 10, 11]
Medikamentosa :
- Thiocarbamides (Carbimazole, Methimazole, PTU): bekerja
dengan cara menghambat peroksidase tiroid yang selanjutnya akan
menghentikan atau mengurangi sintesa hormon tiroid. PTU
mempunyai efek tambahan menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer, sementara carbimazole dan methimazole tidak.
Indikasi :
o Sebagai terapi yang bertujuan memperpanjang remisi atau
mendapatkan remisi yang menetap, pada penderita muda
dengan struma ringan sampai sedang serta tirotoksikosis
o Mengontrol tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan, atau
sesudah pengobatan dengan iodium radioaktif
o Persiapan untuk tiroidektomi
19
o Penderita hamil dan usia lanjut
o Krisis tiroid
Dosis yang digunakan
Obat Dosis awal (mg/hari) Maintenance
(mg/hari)
Carbimazole
Methimazol
e
PTU
30 – 60
30 – 60
300 - 600
5 – 20
5 – 20
50 - 200
- Beta blockers: merupakan komponen terapi kunci pada pasien
dengan gejala jantung dan pada keadaan severe thyrotoxicosis atau
thyroid storm. Dapat mengurangi mortalitas bila diberikan pada saat
terjadi thyroid storm. Propranolol paling sering digunakan karena juga
dapat berfungsi menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer dan
menekan aktifitas simpatetik.
Takikardi, demam, hiperkinesis, dan tremor berespons dengan cepat
dengan pemberian beta blockers. Efek lain yang menguntungkan
adalah memperbaiki miopati proksimal, periodic thirotoxic paralysis,
bulbar palsy dan thyrotoxic hypercalcemia.
Dosis yang diberikan 40 – 200 mg/hari diberikan dalam 4 kali. Pada
usia lanjut diberikan 10 mg tiap 6 jam
- Glukokortikoid: membantu bila digunakan pada severe thyrotoxicosis
atau frank thyroid storm. Steroid menghambat konversi T4 menjadi T3
di perifer. Beberapa melakukannya sebagai terapi empirik untuk
insufisiensi adrenal yang terjadi pada thyroid storm, dimana diduga
terjadi relative adrenal insufficiency.
20
- Iodine (Lugol’s solution atau SSKI): menghambat pelepasan
hormon tiroid dari kelenjar tiroid (Wolf-Chaikoff effect ) bila diberikan
dalam dosis besar dan dapat mengurangi aliran darah ke kelenjar
tiroid
- Radioactive iodine: digunakan sebagai terapi awal pada pasien
Graves’ disease dengan umur di atas 50 tahun atau menderita
penyakit kardiovaskuler.
Juga digunakan pada hipertiroid yang kambuh setelah operasi, atau
kegagalan remisi dengan terapi obat anti tiroid. Iodine radioaktif dapat
memperburuk opthalmopathy dan karena menyebabkan hancurnya sel
tiroid maka mungkin dapat menyebabkan hipotiroid. Tidak
direkomendasikan pada pasien hamil.
Pembedahan :
Subtotal lobektomi pada kasus hipertiroidisme ditujukan pada :
o toxic multinodular goiter yang besar atau solitary toxic
adenomas,
o severe disease, yang rentan terhadap terapi medikamentosa
atau relaps setelah terapi medikamentosa
o Grave’s opthalmopathy
o Amiodarone induced hyperthyroid
o wanita hamil dan anak-anak
o wanita yang ingin hamil dalam 1 tahun ke depan
o pasien yang dengan berbagai alasan tidak mampu melakukan
terapi jangka panjang dan follow up
o pasien yang tidak comfort dengan keadaan goiter (kosmetika)
o goiter yang memberi gangguan pada fungsi jalan nafas atau
menyebabkan pletora.
PERSIAPAN PREOPERATIF [2, 3, 5-7, 12]
Anamnesa
21
Penyakit tiroid mungkin baru dapat dikenali saat evaluasi anestesi,
berdasarkan adanya gejala dan tanda yang terlihat (tabel 6). Pada
pemeriksaan preoperatif, sering didapatkan pasien yang mendapat terapi
tidak adekwat (overtreated atau undertreated).
Pada pasien dengan massa di leher atau gondok, harus ditanyakan secara
khusus tentang gejala yang dapat menyebabkan gangguan anatomi jalan
nafas, termasuk perubahan suara, dyspnea, orthopnea, chronic cough, dan
disfagia.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada pasien dengan kelainan tiroid harus meliputi pengukuran
vital sign, terutama yang harus diperhatikan adalah heart rate dan irama
jantung, berat badan dan kebiasaannya, serta adanya tanda-tanda gagal
jantung.
Evaluasi menyeluruh pada kepala dan leher sangat penting untuk dilakukan
guna mengidentifikasi adanya airway compromise (misalnya, deviasi atau
penyempitan trakea, pembesaran lidah, paresis korda vokalis), yang dapat
menyulitkan saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Obstruksi mediastinum
yang berat ditandai oleh Pemberton’s sign, yaitu adanya facial plethora yang
kadang disertai dengan syncope saat lengan dinaikkan di atas kepala selama
1 sampai 2 menit. Pasien dengan Grave’s opthalmopathy mungkin
menunjukkan adanya proptosis dengan atau tanpa edema konjungtiva
(chemosis). Hal tersebut harus dicatat karena dapat menimbulkan injuri
okuler saat dilakukan anestesia umum.
Tabel 6. Gambaran klinis tirotoksikosis
Symptoms
Nervousness
Fatigue & Weakness
Increased perspiration
Tremor
Palpitations
22
Increased appetite
Weight loss despite increased appetite
Frequent bowel movement, diarrhea
Irregular menses
Heat intolerance
Insomnia
Signs
Hyperkinesis
Tachycardia, atrial fibrillation
Systolic hypertension
Warm, moist skin
Tremor
Proximal muscle weakness
Eyelid retraction
Lid lag
Stare
Signs with specific causes
Diffuse goiter (Grave’s disease)
Thyroid eye disease – proptosis, chemosis, injection (Grave’s disease)
Localized myxedema (Grave’s disease)
Heat intolerance terjadi karena terjadi hypermetabolic state dan peningkatan
kalorigenesis, sehingga tubuh mengggunakan seluruh fasilitas untuk melepas
panas, baik melalui konduksi, radiasi, maupun evaporasi. Pasien merasa
sangat tidak nyaman ketika suhu lingkungan tinggi, karena proses evaporasi
akan menghilang secara signifikan dan hal ini akan meniadakan satu
mekanisme penting dari pelepasan panas.
Pada Grave’s disease dapat ditemukan adanya oftalmopati dan dermopati.
Thyroid dermopathy terjadi pada < 5% pasien Graves' disease, dan hampir
selalu disertai oftalmopati dengan derajat sedang atau berat.
Etiologi dan patogenesis Graves’ ophthalmopathy tidak diketahui. Hal ini
mungkin melibatkan cytotoxic lymphocytes dan cytotoxic antibodies yang
telah tersensitisasi oleh antigen pada fibroblas dan otot orbita, serta jaringan
tiroid, sehingga terjadi proses inflamasi, dan menyebabkan terjadinya
proptosis. Sementara patogenesis dermopati mungkin juga melibatkan
mekanisme yang sama. Pasien dengan exophthalmos dan terutama dengan
23
dengan dermopati hampir selalu mempunyai titer antibodi reseptor TSH
dalam sirkulasi yang tinggi. Diduga dua manifestasi klinis tersebut
menggambarkan bentuk paling berat dari penyakit ini. (6)
Gambar 1. Grave’s opthalmopathy dan dermopathy
Basal metabolic rate (BMR)
BMR adalah rate of metabolism saat seorang individu berada dalam
keadaan istirahat di lingkungan yang hangat, dan pada post absorptive state,
dimana mereka tidak makan sekurangnya dalam 12 jam terakhir. Pelepasan
energi pada keadaan ini hanya cukup untuk organ vital seperti jantung, paru,
sistim syaraf, dan ginjal.
Pemeriksaan Basal Metabolic Rate (BMR) dapat dipergunakan untuk
menentukan apakah pasien sudah dalam keadaan euthyroid atau belum.
Rata-rata energi yang digunakan oleh suatu organisme saat istirahat total,
pada manusia diukur dari panas yang dilepaskan per unit waktu, dan
mengekspresikan jumlah kalori yang dilepaskan per kg berat badan atau per
meter persegi permukaan tubuh per jam.
24
Tiroksin merupakan regulator kunci BMR, dimana hormon ini berperan
mengontrol aktivitas metabolik dalam tubuh. Saat tiroid tidak bekerja dengan
baik, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap berat badan, tingkat
energi, kekuatan otot, skin health, siklus menstruasi, daya ingat, heart rate,
dan kadar kolesterol.
Ekses tiroksin dalam sirkulasi tubuh dapat menyebabkan BMR meningkat 2
kali lipat.
Rumusnya sebagai berikut :
BMR = 0,75 x { 0,74 (sistolik – diastolik) + nadi } – 72
Range normal : -10 s/d 10
Tes diagnostik
Ada serangkain tes yang dapat digunakan untuk mengevaluasi status tiroid.
Bila tidak ada disfungsi hipotalamik atau pituitari, kadar TSH adalah
pengukuran paling dipercaya untuk mengukur fungsi tiroid pada pasien
dengan penyakit non-kronis yang tidak disertai penurunan berat badan.
Pasien dengan penurunan berat badan, penyakit inflamatori kronis (misal,
rheumatoid arthritis), atau infeksi kronis (misal, bronkitis) dapat mengalami
supresi kadar TSH. Namun pasien seperti itu tidak menunjukkan gejala
hipotiroidisme. Kondisi tersebut dikenal sebagai euthyroid sick syndrome.
Pemeriksaan T4 atau T3 total mengukur antara hormon bebas (bio-aktif) dan
yang terikat protein (bio-inaktif). Indeks free T4 adalah suatu estimasi dari
kadar free T4, bukan pengukuran secara langsung. Kisaran normal tes fungsi
tiroid dasar bervariasi antara satu institusi dengan institusi lain, jadi standar
lokal seharusnya yang digunakan untuk menginterpretasikan hasilnya.
Cara yang lebih sederhana dan dapat dilaksanakan setiap saat yaitu dengan
mengikuti kenaikan berat badan penderita secara teratur. Berat badan yang
meningkat memberi petunjuk bahwa penderita eutiroid.(4)
Pada pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit tiroid, mungkin
diperlukan evaluasi tambahan berupa pemeriksaan imaging dari leher dan
toraks (USG, radiografi, CT-scan, MRI). Pemeriksaan jantung seperti EKG dan
25
echocardiogram juga diperlukan untuk mengevaluasi adanya gangguan ritme
jantung dan fungsi ventrikel, atau untuk mengetahui adanya efusi perikardial.
Kadar elektrolit juga harus diperiksa, karena ekses perspirasi atau insensible
losses pada tirotoksikosis dapat menyebabkan volume depletion, sehingga
memungkinkan untuk terjadi abnormalitas elektrolit.
Untuk melakukan evaluasi kadar hormon tiroid, harus dipertimbangkan
kondisi-kondisi yang terjadi saat itu. Kadar thyroxine-binding globulin,
albumin, dan thyroid-binding protein yang lain bervariasi, tergantung
perubahan fisiologis yang terjadi saat itu, misalnya pada kehamilan, atau
hepatitis. Diphyenilhidantoin, furosemide dosis tinggi, dan salisilat dapat
menggeser T4 dari ikatan proteinnya. Secara umum, konsentrasi hormon
tiroid bebas yang normal, merupakan refleksi dari kadar TSH yang normal.
Instruksi dan Pengobatan Preoperatif
Obat-obatan
Obat Anti tiroid
Pasien yang mendapat obat anti-tiroid seperti PTU atau methimazole harus
diinstruksikan untuk tetap meminum obat sesuai dosis biasa pada hari saat
operasi dan sesegera mungkin meneruskan pemberiannya paska operasi,
karena obat ini mempunyai waktu paruh pendek (6 – 8 jam). Tidak ada
sediaan obat dalam bentuk intravena. PTU atau methimazole dapat ditumbuk
dan diberikan lewat NG tube. Methimazole juga dapat diberikan sebagai
supositoria.
PTU dan methimazole mempunyai average onset of effect sekitar 7 – 10 hari,
dan kondisi euthyroid yang stabil mungkin tidak akan tercapai dalam
beberapa minggu. Pasien Grave’s disease moderat atau berat yang baru
terdiagnosa, dan harus menjalani operasi emergency mungkin dapat diterapi
dengan obat anti-tiroid dosis tinggi, iodine, dan β-blocker. Pasien hipertiroid
karena toxic multinodular goiter atau toxic adenoma, atau pasien yang
intoleran terhadap PTU dan methimazole karena efek sampingnya
(agranulositosis), mungkin dapat diterapi dengan kombinasi adrenergic
blocker dosis tinggi dan glukokorikoid. Pemberian preparat ini harus dengan
26
konsultasi endocrinologist. Anestesi pada pasien dengan tirotoksikosis berat
akibat terapi parsial atau tanpa terapi, mempunyai resiko tinggi untuk terjadi
dekompensasi fisiologik (thyroid storm). Kondisi ini pada 25 – 40 % pasien
berakibat fatal.
Beta-blocker dan Digitalis
Pasien seharusnya juga tetap meminum obat yang digunakan untuk
mengontrol cardiac rate dan gangguan ritme jantung akibat hipertiroidisme,
seperti digoxin atau β-blocker. Tujuan continuing therapy obat-obat ini adalah
untuk menumpulkan respons hemodinamik yang berlebihan saat dilakukan
anestesi dan pembedahan. Penghentian β-blocker juga dapat memicu
terjadinya krisis tiroid.
Namun harus dipertimbangkan pula bahwa dengan turunnya nadi maka akan
terjadi masking effect, yaitu penderita yang sebetulnya belum eutiroid
namun telah dianggap eutiroid karena nadi sudah normal. Kekeliruan
anggapan ini dapat berbahaya, karena penderita kemungkinan pasien akan
diacarakan untuk pembedahan, padahal sebetulnya masih dalam keadaan
hipertiroid. Hal ini dapat memberikan peluang terjadinya badai tiroid. Oleh
karena itu pemantauan kemajuan penderita dengan indikator nadi saat tidur
nyenyak harus ditafsirkan dengan hati-hati apabila penderita mendapat
pengobatan beta blocker.
Gejala-gejala yang tidak membaik setelah pemberian propanolol adalah (4) :
oxygen demand,
gondok bruit,
kadar tiroksin dalam sirkulasi,
penurunan berat badan
kontraktilitas miokard.
Lugol
Tujuan pemberian lugol adalah untuk mengurangi atau jika mungkin
menghilangkan vaskularisasi dan hiperplasia kelenjar tiroid. Dengan
demikian diharapkan pembedahan dapat berjalan lancar tanpa banyak
27
perdarahan. Perlu diingat bahwa pemberian yang lebih dari 10-14 hari akan
menimbulkan timbulnya iodine escape. Vaskularisasi dan hiperplasia akan
terjadi lagi, sehingga efek yang diharapkan dengan pemberian lugol tidak
tercapai, bahkan sebaliknya. Oleh karena itu perlu koordinasi dan komunikasi
yang sebaik-baiknya dari Internist, Bedah dan Anestesiologi kapan penderita
akan mulai dilugolisasi dan ditentukan rencana tanggal pembedahannya.
Lugol diberikan 10 tetes/hari selama 10 - 14 hari menjelang pembedahan.
Kortikosteroid (predison, dexametason, hidrokortison)
Selain menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer, diduga mekanisme
kerjanya juga menekan sekresi TSH. Pada pemakain jangka panjang terjadi
kerja ikutan yang biasa terjadi pada pemberian kortison.
Pada pasien hipertiroid yang tidak diobati, terapi glukokortikoid harus
dipertimbangkan, karena pada pasien ini terjadi rapid metabolism dari
kortisol dan beresiko untuk terjadi insufisiensi adrenal relatif bersamaan
dengan stress pembedahan atau thyroid storm
Pembedahan darurat
Bila diperlukan pembedahan darurat, tindakan harus ditujukan untuk
mencegah terjadinya krisis tiroid. Prinsipnya terapinya hampir sama dengan
prosedur pada krisis tiroid. Reduksi keadaan hiperadrenergik dapat dilakukan
dengan pemberian propanolol. Esmolol dapat pula digunakan sebagai
alternatif. Anti tiroid diberikan untuk mencegah sintesa hormon.
Glukokortikoid juga diberikan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3.
Parasimpatolitik seperti atropin dan pankuronium sebaiknya dihindari.
Terapi juga harus ditujukan untuk mengoreksi dekompensasi sistemik, baik
dengan replacement cairan dan elektrolit, maupun pemberian inotropik dan
vasopresor, bila terjadi hipotensi tidak dapat dikoreksi dengan cairan.
TAHAP PEMBEDAHAN [2, 3, 5, 6, 10, 13]
Operasi elektif seharusnya ditunda sampai pasien dalam keadaan euthyroid
dan sudah berada dalam regimen pengobatan yang stabil. Pada kasus-kasus
28
dimana operasi urgent harus dilakukan, persiapan harus dimulai dengan
menangani gangguan jantung, persoalan jalan nafas, dan abnormalitas
metabolik. Kecenderungan terjadinya thyroid storm yang dipresipitasi oleh
anestesi dan pembedahan harus selalu menjadi pertimbangan.
Premedikasi
Diperlukan persiapan obat premedikasi yang baik untuk menunjang
kelancaran operasi. Sedasi preoperatif mungkin dapat menghilangkan
kecemasan dan menumpulkan aktivasi sistim syaraf simpatetik yang telah
terjadi. Bagi penderita hipertiroid perlu diberikan premedikasi yang berat
sehingga diperoleh sedasi yang cukup adekwat guna menghilangkan rasa
takut dan cemas. Pemilihan obat premedikasi yang mungkin cukup baik
adalah kombinasi morfin dan droperidol. Morfin dalam teori dapat
menyebabkan sekresi katekolamin, tetapi dalam praktek hal ini tidak
menimbulkan masalah. Efek sedasi obat ini cukup baik dan analgesi paska
bedahnya pun juga cukup. Keuntungan kombinasi morfin dengan droperidol
yaitu :
- sedasi yang baik
- anti emetik yang kuat,
- efek beta-bocker ringan dan
- mempunyai efek sekunder mencegah terjadi aritmia yang disebabkan
oleh halothan.
Benzodiazepin juga merupakan pilihan yang baik untuk sedasi preoperatif.
Benzodiazepin, misalnya diazepam 5 -10 mg p.o atau central adrenergic
blocker seperti clonidine 3 – 5 µg/kg oral cukup memadai.
Pada pasien yang resisten terhadap antitiroid, pada pagi hari dapat dilakukan
suatu modifikasi premedikasi yang dikenal dengan istilah “stealing”. Teknik
ini digunakan di New York Hospital. Menurut tim yang menyusun prosedur
tersebut, “stealing” merupakan jalan terbaik untuk memulai anestesi pada
pasien seperti itu.
Caranya :
Tiga hari sebelum pembedahan diacarakan, pada jam yang kira-kira operasi
dimulai, paseian diberi infus (misalnya Dextrose 5 % 500 cc). Manuver ini
29
diulangi pada 2 dan 1 hari sebelum operasi. Pada hari H, tanpa diketahui oleh
pasien diberikan 0,4 % larutan tiopental untuk menggantikan Dextrose 5 %.
Pentotal drip dimulai dan akan berefek secara cepat dan smoothly. Dibawah
hipnosis ringan, pasien dibawa ke kamar operasi. Selama transpor pasien
diberikan oksigen dan disiapkan ventilasi artifisial.
Teknik di atas mencegah terjadinya peningkatan aktivitas simpatetik secara
tiba-tiba, dan dapat mencegah hipertensi dan takikardi akibat ketakutan dan
cemas.
Pemilihan Obat-obat Anestesi
Pemilihan anestesi ditujukan pada obat-obat yang tidak meningkatkan
sekresi T4 atau TSH. Ether dapat meningkatkan sekresi T4 sampai 139 %,
halothan 122 % sedangkan enflurane tidak menyebabkan perubahan T4
selama anestesi atau pembedahan, dan menurunkan T3 sekitar 74 %, sampai
30 menit setelah selesai anestesi. Methoxyflurane tidak menyebabkan
perubahan, sementara itu kombinasi penthotal-N2O menurunkan kadar T4
selama anestesi, namun selanjutnya tidak terjadi lagi penurunan selama
pembedahan.(4)
Pasien hipertiroid menunjukkan peningkatan biotransformasi obat, dan
secara teoritis lebih rentan terhadap injuri hepar yang diinduksi halothan
atau toksisitas ginjal karena enflurane. (5)
Thiopental mungkin merupakan obat induksi pilihan, sebab mempunyai
aktifitas anti-tiroid pada dosis tinggi. Hati-hati menggunakan propofol sebagai
obat induksi pada pasien dengan pemakaian beta blocker kronis, karena
dapat menyebabkan bradikardi dan penurunan tekanan darah yang
signifikan.
Obat anestesi yang memiliki efek simpatomimetik (pankuronium bromida,
ketamin hidroklorida) seharusnya dihindari atau digunakan dengan hati-hati.
Karena kelemahan otot bisa bersamaan dengan hipertiroidisme, maka
pemberian neuromuscular blocking agent (NMBA) harus dilakukan hati-hati
30
untuk mencegah terjadinya prolonged response. Tirotoksikosis juga
menyebabkan peningkatan insidens myopati dan myastenia gravis.
Pada kasus yang diduga terjadi tracheomalacia, penggunaan narkotik seperti
morfin dan fentanyl sebaiknya hanya diberikan dengan dosis kecil, sehingga
pasien dapat menjaga jalan nafasnya segera setelah ekstubasi.
Pemberian obat simpatomimetik untuk mengatasi hipotensi harus
dipertimbangkan dengan matang, karena mungkin dapat menyebabkan
respons yang berlebihan.
Obat-obatan dan Alat yang Digunakan Bila Terjadi Thyroid Storm
Selama anestesi dan pembedahan harus tersedia obat-obatan untuk
mengatasi aritmia, yaitu lidokain dan propanolol atau esmolol. Selain itu juga
disiapkan obat-obatan untuk mengatasi bila terjadi thyroid storm. seperti
obat antitiroid dan SSKI (lugol). Alat seperti NG tube dan blanket pendingin
idealnya juga harus disiapkan.
Monitoring
Selama anstesi dan pembedahan harus dijaga agar tidak terjadi hipoksia
maupun hiperkarbia, karena keduanya akan menyebabkan peningkatan
sekresi katekolamin. Yang ideal adalah pemantauan ECG, pulse oxymetri,
end tidal CO2, dan suhu secara kontinyu, untuk memantau terjadinya
dekompensasi jantung dan mengenali secara dini peningkatan aktivitas tiroid
dan adrenergik. Bila pasien mengalami krisis tiroid di kamar operasi, maka
harus segera dipasang infus ukuran besar dan artery line. Pada pasien yang
mengalami atau dengan riwayat gagal jantung kongestif, iskemia jantung,
gagal ginjal, atau hipotensi, pemasangan CVP atau pulmonary artery catheter
sangat membantu. Monitor invasif harus dipasang sebelum insisi, sebab
sekali operasi dimulai, akses untuk pemasangan monitor tersebut akan
sangat sulit.
31
Produksi uap air yang sangat berlebihan dalam sirkuit anestesi (biasanya
tertampung dalam canester), mungkin dapat digunakan sebagai indikator
adanya peningkatan metabolisme yang berlebihan selama operasi.
Hipertiroidisme menyebabkan terjadinya chronic volume depletion karena
diaphoresis atau diare, dan vasodilatasi kronis, sehingga dapat terjadi
hipotensi yang berlebihan selama induksi. Replacement cairan dalam jumlah
besar mungkin diperlukan.
Walaupun dapat terjadi hipotensi, namun kedalaman anestesi yang cukup
juga harus dicapai, sebelum dilakukan laringoskopi dan stimulasi
pembedahan. Hal ini supaya tidak terjadi takikardi, hipertensi, dan disritmia
ventrikular.
Disamping thyroid storm masih ada penyulit-penyulit lain yang dapat timbul
selama pembedahan, antara lain terjadinya penyumbatan jalan nafas karena
terbengkoknya pipa endotracheal atau karena sekret, pedarahan, emboli
udara dan hipoventilasi. Oleh karena itu maka diperlukan kewaspadaan yang
lebih.
KOMPLIKASI PASKA BEDAH [2, 3, 5-7, 12]
Thyroid storm ditandai oleh hiperpireksia, takikardi, perubahan kesadaran
(agitasi, delirium, koma), dan hipotensi. Onset terjadinya 6 – 24 jam post
operasi, tetapi dapat tejadi durante operasi, dengan gejala yang mirip
dengan malignant hyperthermia. Namun tidak seperti malignant
hyperthemia, pada thyroid storm tidak ada rigiditas otot, peningkatan
kreatinin kinase, atau asidosis laktat dan respiratorik.
Subtotal tiroidektomi dapat menimbulkan beberapa komplikasi, antara lain :
o Recurrent laryngeal nerve palsy yang suara serak (unilateral) atau
aphonia dan stridor (bilateral). Gagalnya satu atau kedua korda untuk
bergerak mungkin memerlukan intubasi ulang dan eksplorasi luka
operasi. Fungsi korda vokalis dapat dievaluasi dengan laringoskopi
segera setelah ekstubasi dalam
32
o Gangguan nyeri, hipoksia dan hiperkarbia dapat menyerupai gejala
badai tiroid yaitu gelisah, berkeringat dan takikardi. Apabila terjadi
kenaikan suhu 38,50 C (rektal) apalagi bila sampai 390 C sebaiknya
dianggap telah terjadi badai tiroid dan terapi segera diberikan.
o Terjadinya hematoma dapat menyebabkan gangguan pada jalan nafas,
sebagai akibat dari kolapsnya trakea, terutama pada pasien dengan
trakeomalasia. Tindakan harus segera dilakukan, termasuk di
antaranya adalah membuka jahitan dan evakuasi klot, kemudian
evaluasi dan pertimbangkan untuk intubasi ulang.
o Hipoparatiroidisme dapat terjadi akibat dari pengambilan kelenjar
paratiroid yang tidak disengaja, sehingga akan menyebabkan
hipokalsemia akut dalan 24 – 72 jam.
o Pneumothoraks mungkin dapat terjadi karena eksplorasi leher
Manifestasi klinis hipopartiroidisme
- Kardiovaskuler : hipotensi, gagal jantung kongestif, perubahan EKG
(pemanjangan Q - T interval)
- Muskuloskeletal : kram otot, kelemahan
- Neurologik : neuromuscular irritability (misal : laringospasme, stridor
inspirasi, tetani, kejang), parestesia perioral, perubahan status mental
(misal : dementia, depresi, psikosis)
Hipokalsemia juga bisa disebabkan oleh gagal ginjal, hipomagnesemia,
defisiensi vitamin D, dan pankreatitis akut. Hipoalbuminemia menurunkan
serum kalsium total (1 g/dL penurunan serum albumin menyebabkan
penurunan kalsium serum total sebesar 0,8 mg/dL), tetapi ionized calcium
yang sesungguhnya aktif, tidak berubah.
Neuromuscular irritability secara klinis dapat dikonfirmasi oleh adanya
Cvosthek’s sign (painful twitching dari muskulus fasialis setelah tapping
pada nervus fasialis) atau Trousseau’s sign (carpopedal spasm terjadi
setelah inflasi tourniquet dengan tekanan di atas sistolik selama 3 menit).
33
Tanda ini juga dapat muncul pada orang normal. Terapi simptomatik dari
hipokalsemia adalah pemberian calcium chloride.
THYROID STORM [2, 5-7, 12-14]
Krisis tiroid adalah manifestasi klinis hipertiroid yang ekstrem dan
mengancam jiwa. Hal ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan laki-
laki, dan dengan terapi, mortality rate – nya antara 10 – 20 %. Onsetnya tiba-
tiba, dan adanya faktor pencetus diidentifikasi pada 50 % kasus.
Meskipun biasanya tinggi saat krisis, FT3 atau FT4 tidak berkorelasi dengan
beratnya kondisi. Gambaran esensial pada krisis adalah terjadinya suatu
keadaan dekompensasi, dimana organ target kehilangan kemampuan untuk
memodulasi responsnya terhadap ekses T3 dan T4.
Faktor Pencetus
Kebanyakan pasien yang mengalami krisis tiroid menderita Grave’s disease
yang tidak diketahui atau tidak diterapi dengan baik. Penyakit yang sedang
dialami saat ini (terutama infeksi), trauma, prosedur operasi, DM yang tidak
terkontrol, persalinan dan eklampsia, merupakan faktor-faktor yang dapat
memprovokasi.
Saat ini, jarang krisis disebabkan karena komplikasi operasi tiroid itu sendiri.
Tetapi telah dilaporkan bahwa krisis terjadi setelah palpasi/manipulasi
kelenjar tiroid yang berlebihan, pengobatan yang tidak tuntas, dan dosis
beta-adrenergik yang tidak adekwat selama periode perioperatif.
Ada faktor lain yang dapat mencetuskan hipertiroidisme, tetapi sangat jarang
kasusnya adalah :
- penggunaan radioiodine pada pasien yang tidak dipersiapkan dengan
baik
- penggunaan obat seperti iodida pada pasien yang mengalami
gangguan autoregulasi (Jod-basedow phenomenon)
34
- haloperidol atau dosis masif preparat hormon tiroid. Overdosis yang
kurang dari 10 mg biasanya jarang menyebabkan problem, tetapi dosis
masif mungkin dapat mencetuskan krisis tirotoksikosis dalam
beberapa hari
Managemen
Managemen termasuk :
- diagnosis dan penanganan spesifik terhadap keadaan yang
mempresipitasi,
- terapi suportif,
- mengurangi sintesa, pelepasan, konversi perifer dan efek perifer
hormon tiroid
- mencari penyebab dari hipertiroidisme
Diagnosis krisis tiroid merupakan suatu hal penting dan penanganannya
harus agresif. Diperlukan suatu protokol termasuk di dalamnya akses cepat
obat-obatan untuk mengatasi krisis ini. Harus segera diambil sampel darah
untuk mengukur kadar hormon tiroid dan TSH harus dilakukan. Respons
terhadap terapi dapat dimonitor melalui observasi klinis (seperti nadi, suhu,
dan agitasi) dan konsentrasi T3.
Blokade Adrenergik
Blokade adrenergik menetralisir efek hormon tiroid dan hipersensitivitas
terhadap katekolamin.
- Propanolol
Merupakan obat pilihan, sebab juga mempunyai potensi untuk
menghambat konversi T4 menjadi T3. Takikardi, demam, hiperkinesis,
dan tremor akan membaik dengan cepat dengan pemberian obat ini.
Efek lain yang menguntungkan adalah memperbaiki proximal
myopathy, bulbar palsy, dan thyrotoxic hypercalcemia. Efek propanolol
i.v dapat dicapai dengan incremental dose 0,5 mg, dengan monitoring
kardiovaskuler kontinyu. Dosis total biasanya dapat mencapai 10 mg.
Dosis selanjutnya diberikan tiap 4 – 6 jam. Sayangnya sediaan
parenteral jarang tersedia. Bila tidak tersedia, maka dapat digunakan
dosis oral 20 – 120 mg tiap 6 jam, tetapi karena terjadi pengingkatan
35
klirens yang nyata, mungkin diperlukan dosis yang sangat tinggi (>
720 mg) untuk mencapai β–blockade.
- Antagonis selektif β1
Obat-obat jenis ini tidak seefektif propanolol dalam menghambat
konversi T4 menjadi T3, namun mungkin lebih baik bila digunakan pada
pasien dengan dengan faktor komplikasi seperti reactive airway dan
gagal jantung. Penggunaan β1–blocker seharusnya dikombinasi dengan
dengan terapi lain, karena abnormalitas metabolik dasarnya tidak
dihambat oleh obat ini. β–blocker mungkin dapat mencetuskan
terjadinya syok kardiogenik bila diberikan pada pasien yang menderita
kardiomiopati atau gagal jantung.
Esmolol 250 – 500 mcg/kg i.v sebagai loading dose diikuti dengan infus
50 – 100 mcg/kg/menit sampai tercapai target yang diinginkan. Karena
obat ini ultrashort action, maka efek samping yang tidak diinginkan
juga akan berlangsung singkat.
- Reserpin dan Guanethidine (Cathecolamine depleting agent)
Meskipun penggunaanya sudah banyak digantikan oleh β–adrenergic
blocker, obat ini mungkin dapat menyelamatkan jiwa, dan harus
dipertimbangkan pada kasus dengan propanolol resistant
hyperthyroidism atau bila propanolol merupakan kontraindikasi. Onset
kerjanya lambat, dan efek sampingnya dapat menyebabkan depresi
sistem syaraf dan diare. Sediaan parenteral reserpin tidak lagi
diproduksi.
- Diltiazem
Obat ini dapat mengurangi denyut nadi seefektif propanolol dan dapat
dipertimbangkan sebagai suatu alternatif pengganti β–adrenergic
blocker pada krisis tiroid.
- Verapamil
36
Diberikan pada pasien gagal jantung atau asma yang disertai dengan
aritmia. Dosis 5 – 10 mg i.v diberikan secara hati-hati.
Kortikosteroid
Pemberian hidrokortison 100 mg tiap 6 jam atau dexamethason 5 mg tiap 12
jam bersamaa dengan pemberian iodida, dapat menurunkan derajat
tirotoksikosis dengan cepat. Steroid merupakan terapi paling efektif untuk
amiodarone induced type – 2 thyrotoxicosis.
Thiocarbamida
Propylthiouracil (PTU)
Diberikan secara oral atau lewat NG tube. Sayangnya, absorpsi
gastrointestinal mengalami gangguan pada krisis tiroid, namun tidak
ada preparat parenteral yang tersedia. Obat ini mempunyai onset kerja
cepat. Efeknya menghambat iodinasi tirosin dan secara parsial
menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Diperlukan suatu
loading dose 100 mg, yang dilanjutkan dengan pemberian 100 mg tiap
2 jam, atau 200 – 300 mg tiap 6 jam, atau loading dose 600 mg
dilanjutkan 200 – 300 mg tiap 8 jam
Methimazole
Mungkin absorbsinya kurang cepat, tetapi mempunyai kerjanya lebih
lama. Obat ini tidak dapat menghambat konversi T4 menjadi T3 di
perifer. Dosis uquipotennya sepersepuluh dari PTU. Loading dose 100
mg, kemudian dilanjutkan dengan 20 mg tiap 8 jam.
Carbimazole
Obat ini dimetabolisir menjadi methimazole (potensi relatif 0,62 : 1).
Sering terjadi transient leukopeni (20 %) dengan pemberian obat ini,
tapi jarang terjadi agranulositosis.
Iodine
Bila diberikan pada dosis besar, iodin menghambat sintesa dan pelepasan
hormon tiroid. Biasanya diberikan 1 jam setelah thioamida. Iodine oral atau
preparat iodida di antaranya Lugol’s iodine (130 mg iodine total /ml),
potassium iodida atau sodium iodida. Sediaan intravena tidak selalu tersedia,
37
tapi dapat dibuat dengan mudah. Sodium iodida 1 g i.v dapat diberikan
setiap 12 jam sebagai continous infusion atau bolus secara pelan. Equivalent
doses dari preparat yang tersedia dapat diberikan secara oral atau via NG
tube. Iodine-containing contrast media (Ipodat 1 mg oral 2 kali sehari pada
hari pertama dan selanjutnya 1 g perhari selama maksimum 2 minggu)
mungkin secara spesifik menghilangkan efek tiroksin terhadap jantung.
Sebagai tambahan obat ini juga merupakan penghambat konversi T4 menjadi
T3 yang paling poten. Obat ini merupakan obat pilihan yang paling mungkin
dibandingkan iodida sederhana.
Lithium Carbonate
Preparat ini adalah suatu alternatif pada pasien yang alergi terhadap iodine.
Preparat ini mirip dengan iodine, tetapi potensinya lebih lemah dalam
menghambat pelepasan dan sintesa hormon tiroid. Dosis yang digunakan
500 – 1500 mg perhari. Diperlukan monitoring sesering mungkin untuk
mempertahankan konsentrasi lithium 0,7 – 1,4 mmol/l.
Digoxin
Indikasi obat ini untuk AF atau gagal jantung, setelah hipokalemia dikoreksi.
Dosis yang lebih besar dari biasa diperlukan karena terjadi perubahan
farmakokinetik dan farmakodinamik. Pelambatan respons ventrikuler yang
adekwat jarang dicapai dengan pemberian digoxin saja. β–adrenergic
blockers, verapamil, atau bahkan reserpin mungkin dapat dipertimbangkan.
Pasien tirotoksik yang sangat sensitif terhadap warfarin sehingga pemberian
antikoagulan harus diperhitungkan untung ruginya.
Amiodarone
Amiodarone mungkin berguna bila diberakan parenteral untuk mengontrol
aritmia akut, dan mempunyai potensi menghambat diodinisasi perifer T4
menjadi T3. Preparat ini dapat digunakan sebagai obat tunggal atau
kombinasi dengan thioamida untuk menerapi tirotoksikosis.
Terapi Suportif
- Identifikasi dan terapi faktor pencetus
38
- Diperlukan cairan, elektrolit, dan glukose dalam jumlah besar, karena
pasien mengalami keadaan hipermetabolik
- Monitoring ketat
- Biasanya diperlukan vitamin, terutama thiamin
- Atasi hiperpireksia dengan cooling blankets, es, atau cool sponges.
Hindari penggunaan salisilat
- Furosemide dapat meningkatkan FT3 dan FT4, karena merupakan
kompetitor binding protein. Ethacrinic acid mungkin dapat digunakan
sebagai alternatif.
- Pada kasus yang refrakter terhadap terapi konvensional yang agresif
dalam 24 – 48 jam, dipertimbangkan untuk dilakukan plasma
exchange dan charcoal hemoperfusion
- Dantrolene dapat digunakan pada krisis tiroid yang menyerupai
malignant hyperthermia, dan memberikan perbaikan simptomatik.
HIPERTIROIDISME PADA KEHAMILAN [15]
Thyroiditis disebabkan oleh autoimun inflasi kelenjar thyroid dan mungkin
terjadi pada kehamilan pertama. Biasanya tidak nyeri dan mungkin muncul
sebagai de novo hypothyroidisme atau “transient thyrotoxicosis” atau pada
awalnya hiperthyroidisme kemudian diikuti dengan hipothyroidisme dalam 1
tahun post partum.
T4 adalah produk sekresi utama dari tiroid. Kebanyakan circulating T4
dikonversi pada jaringan perifer menjadi T3, yang secara biologi merupakan
bentuk aktif dari hormon ini. Sekresi T4 dibawah kontrol langsung oleh
pituitary TSH. Reseptor permukaan sel untuk TSH sama dengan reseptor
untuk luteinizing hormon (LH) dan hCG. T3 dan T4 ditranspor ke sirkukasi <
0,05 % T4 plasma dan < 0,5 T3 plasma tidak terikat dan siap berinteraksi
dengan jaringan target. Pengukuran T4 rutin menggambarkan konsentrasi
serum total dan mungkin akan berubah oleh peningkatan dan penurunan
konsentrasi protein dalam sirkulasi.
39
Konsentrasi TBG dalam plasma meningkat dan memanjang 2,5 kali lipat pada
20 minggu kehamilan, disebabkan oleh penurunan klirens hepatik dan
perubahan struktur TBG yang diinduksi oleh estrogen sehingga half life - nya
memanjang.
Perubahan TBG menyebabkan perubahan yang signifikan pada hasil tes
thyroid, yaitu terjadi peningkatan 25 - 45 % T4 total dari pre gravid (5 - 12 kg
% 9 - 16 mg %). Total T3 meningkat 30 % pada trimester pertama dan
50-65 % pada fase selanjutnya.
Tabel 7. Perubahan Fungsi Thyroid Selama Kehamilan
Normal hypothalamic-pituitary-thyroid axis
Pada trimester pertama terjadi depresi TSH dan hCG dan menjadi normal setelahnya
Kenaikan klirens iodida ginjal (peningkatan GFR)
Goiter
Insidensnya minimal pada daerah yang cukup iodium, namun 30 % meningkat ukurannya
pada daerah dengan defisiensi iodine diet
Peningkatan serum TBG, penurunan uptake T3 resin
Peningkatan serum T4 total dan T3 total
Serum free T3 dan free T4 normal
Peningkatan protein binding yang tersedia karena diinduksi oleh kehamilan
menyebabkan perubahan yang sifatnya sementara pada FT4 dan FTI pada
trimester pertama (kemungkinan perhubungan dengan peningkatan hCG).
peningkatan TSH merangsang kembalinya FT4 ke level seperti wanita yang
tidak hamil.
Aksis hypotalamic-pituitary-thyroid fetal terus berkembang menjadi
independen, terpisah dari fungsi thyroid maternal. Fetus mulai dapat
mengkonsentrasi iodine pada umur kehamilan 10 - 12 mg. Pada 20 mg
gestasi, TSH pituitary fetal mulai berfungsi. Human Placenta berfungsi
sebagai barrier yang signifikan terhadap T4, T3 dan TSH yang beredar. Meski
demikian, pada kasus hipothyroidisme kongenital hormon-hormon tersebut
masih bisa melewati plasenta (cord levels 25-50 % dari normal), untuk
mencegah hipothyrodisme saat lahir. Immunoglobulin auto antibodies iodine,
TRH dan obat antithyroid dapat dengan mudah menembus plasenta dan
mempengaruhi aktivitas thyroid fetal. Fetus dari wanita yang sedang di terapi
40
dengan antithyroid, beresiko menderita hipothyroidisme dan goiter, sehingga
harus mendapat monitoring ketat. Ultra sound ditujukan untuk pertumbuhan
fetal yang abnormal dan ukuran tiroid seharusnya diperiksa secara serial.
Denyut jantung fetal antepartum di monitor dan kadang diperlukan contoh
pemeriksaan darah fetal percutaneus (bila ultrasound mendapatkan adanya
goiter). Karena autoantibodi dapat melewati plasenta, penting pada wanita
dengan riwayat Grave’s disease untuk diperiksa TSI dan TBII.
Penyebab hiperthyroidisme selama kehamilan
- Grave’s disease
- Toxic multi noduler goiter (jarang pada kelompok umur reproduksi)
- Toxic adenoma
- Hiperemesis gravidarum
- Trophoblastic disease
- Tyroiditis (Chronic subacut viral)
- Exogenous thyroid hormone.
Hipertiroidisme terjadi pada 0,2 % kehamilan dan lebih dari 50 % kasus
hiperthyroidisme pada kehamilan yang tercatat disebabkan oleh Grave’s
disease. Autoantibodi [Thyroid stimulating antibody (TSab)], yang
sebelumnya dikenal dengan LATS (long acting thyroid stimulating)
menyerang reseptor TSH dan bertindak sebagai agonis TSH, sehingga
mengakibatkan produksi hormon tiroid. Gambaran klinis hypertiroidisme
ringan serupa dengan gejala kehamilan normal (fatigue, peningkatan nafsu
makan, vomiting, palpitasi, heat intolerance, peningkatan frekuensi buang air
kecil, insomnia, labilitas emosi) dan mungkin membingungkan diagnosis.
Penyakit ini biasanya memburuk pada trimester pertama, tetapi menjadi
moderate pada trimester berikutnya kehamilan. Hiperthyroid yang tidak
diobati membawa ke resiko maternal dan fetal yang berbahaya.
Tabel 8. Resiko fetal dan maternal pada hipertiroidisme yang tidak diobati
Fetal Maternal
Abortus spontan
Prematuritas
Preeklamsia
Gagal Jantung Maternal
41
Berat badan Rendah
Tirotoksikosis fetal/neonatal
Infeksi
Anemia
Thyroid storm
Implikasi Feto-maternal
Resikonya termasuk IUGR, prematuritas, cardiac dysritmia dan intrauterine
death. Thyroktoxicosis fetal harus dipertimbangkan pada semua kehamilan
dengan Grave’s disease. Neonatus yang dilahirkan dari wanita dengan
tirotoksikosis beresiko terjadi immune mediated, hypothyroidism dan
sekunder hiperthyroid akibat autoantibodi yang mungkin menembus
plasenta. TBII menyebabkan hipothyroidisme neonatal sementara dan TSI
dapat menyebabkan hiperthyroidisme neonatal. Insidensnya rendah (< 5%)
karena terjadi keseimbangan antara autoantibodi stimulatory dan inhibisi
akibat terapi thioamide. Neonatus yang dilahirkan dari wanita dengan
Grave’s disease yang sudah diterapi dengan pembedahan atau iodine
radioaktif, dan bahkan yang tidak mendapat thioamide selama kehamilan
pun masih mempunyai resiko untuk terjadi Neonatal Grave’s disease
Diagnostik Laboratorium
Laboratorium diagnostik dikonfirmasi dengan adanya TSH serum yang
tersupresi dengan setting peningkatan FT4 (atau FT4I) tanpa adanya goiter
nodular atau massa tiroid.
Hipertiroidisme mungkin juga dihasilkan oleh adanya peningkatan kadar hCG,
seperti yang terlihat pada penyakit trophoblastik dan hiperemesis
gravidarum.
Terapi :
- Observasi
- Pengobatan anti tiroid
- β adrenergic blocking agent
- Thyroid surgery
42
Tujuan terapi adalah mempertahankan FT4 maternal pada kadar normal atau
sedikit diatas normal dengan dosis obat paling rendah. Follow up klinis dan
laboratium sebaiknya diperiksa setiap 2-4 minggu. Perbaikan biasanya terjadi
pada trimester kedua, 40 % mungkin tidak memerlukan terapi lagi, namun
walaupun mungkin, beralasan bila terapi dosis rendah diteruskan untuk
mengurangi resiko.
KESIMPULAN
1. Pasien hipertiroid yang akan menjalani operasi memerlukan suatu
penanganan yang khusus
2. Untuk dapat menangani pasien hipertiroid secara paripurna perlu
suatu pemahaman tentang fisiologi dan patofisiologi terjadinya
penyakit tersebut
3. Penanganan krisis tiroid meliputi tiga hal :
o Menurunkan sympathetic outflow (beta-blockers)
o Menurunkan produksi hormon tiroid (PTU or methimazole);
super-saturated iodine solution(SSKI)
o Menurunkan konversi T4 menjadi T3 (PTU, beta-blockers,
steroids)
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Spector, M., Grave's Disease, in Endocrinology. 2005.
2. Peterfreund, S.L.L.R.A., Endocrine Disorders. 1st ed. Handbook of
Preoperative Assessment and Management, ed. B. Sweitzer.
2000, Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 126 - 136.
3. Siti Chasnak Saleh, N.M.R., Karjadi Wirjoatmodjo, Hipertiroidi dan
Anestesi:Beberapa masalah penting yang perlu diperhatikan.
1997, Franz. CH: Surabaya.
4. Roffi M, M., Cattaneo F, MD, Topol E J., MD, Thyrotoxicosis and
the cardiovascular system: Subtle but serious effects. Cleveland
Clinic Journal Of Medicine, 2003. 70.
5. Joseph F. Artusio, J., Thyrotoxicosis. 1st ed. Anesthesiology:
Problem-Oriented Patient Management, ed. J.F.A. Fun Sun F. Yao,
Jr. 1983, Philadelphia: J.B. Lippincott Company. 223 - 233.
6. Morgan GE, M.M., Anesthesia for Patients with Endocrine
Disease. Clinical Anesthesiology. 2002, New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill. 741 - 745.
7. Gurvitch, D.L., Thyrotoxicosis. 5th ed. Anesthesiology: Problem
Oriented Patient Management, ed. F.S.F. Yao. 2003, Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins. 695 - 708.
8. Francis S. Greenspan, M., Kelenjar Tiroid. 4th ed. Endokrinologi
Dasar dan Klinik, ed. F.S.G.J.D. Baxter. 1995, Jakarta: EGC.
9. J. Lanny Jameson, A.P.W., Disorders of The Thyroid Gland. 15th
ed. Harrison's Principle of Internal Medicine, ed. F.A. Brauwald E,
Kasper DL. 2001, New York: McGraw-Hill. 2069-2074.
10. S, D.C., Metabolic and Endocrine Disorder. 9th ed. Introduction to
Anesthesia, ed. F.L.M. David E. Longnecker. 1997, Philadelphia:
W.B Saunders Company. 328 - 329.
11. Matsumoto S, U.M., Takeshima N, Yamamoto H, Yoshitake S,
Noguchi T., Hemodynamic effects of propofol as an anesthesia
44
induction agent in hyperthyroidism patients on chronic beta-
blocker. 2005.
12. Churchill-Davidson, H.C., Anesthesia and the Endocrine Glands.
5th ed. A Practice of Anaesthesia. 1984, London: Lloyd-Luke. 992.
13. Bhasin S, T.L., Mac P, Endocrine Problems in the Critically Ill
Patient. 2nd ed. Current Critical Care Diagnosis and Treatment,
ed. D.Y.S. Frederic S. Bongard. 2002, New York: Lange Medical
Book/McGraw Hill. 607 - 610.
14. Vedig, A.E., Thyroid Emergencies. 5th ed. Oh's Intensive Care
Manual, ed. A.D.B.a.N. Soni. 2003, China: Butterworth -
Heinemann.
15. Belfort, M.A., Thyroid and Other Endocrine Emergencies. 2nd ed.
Obstetric Intensive Care Manual, ed. S.T. Foby MR, Garite TJ.
2004: McGraw-Hill. 120 - 128.
45
Recommended