View
4
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Industri perbankan syariah telah mengalami perkembanganyang sangat
pesat. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah tertanggal 16 Juli 2008,pengembangan industri perbankan
syariah nasional semakinmemiliki landasan hukum yang memadai dan akan
mendorongpertumbuhan secara lebih cepat. Perkembangan perbankansyariah
cukup impresif, dengan rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% per-tahun
dalam lima tahun terakhir. Dengan demikian,peran industri perbankan syariah
dalam mendukung perekonomiannasional semakin signifikan.1Ahli fiqih dari
Academi Fiqh di Mekkah pada tahun 1973, menyimpulkan bahwa konsep
dasar hubungan antara ekonomi berdasarkan syariah Islam dan bentuk sistem
ekonomi Islam dapat diterapkan dalam operasional lembaga keuangan bank
maupun lembaga keuangan non-bank. Penerapan atas konsep tersebut
terwujud dengan munculnya lembaga keuangan Islam di Indonesia.2
Keberadaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah di Indonesia merupakan kemajuan dalam upaya memasukan hukum
Islam ke dalam hukum nasional.Pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa :
1Hasan, Analisis Industri Perbankan Syariah Di indonesia, Jurnal Dinamika Ekonomi
Pembangunan, Juli 2011, Volume 1, Nomor 1, hlm. 1 2Hutomo Rusdiantodan Chanafi Ibrahim, Pengaruh Produk Bank Syariah Terhadap
Minat Menabung Dengan Persepsi Masyarakat Sebagai Variabel Moderating Di Pati, Jurnal
Equilibrium, Volume 4, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 44
“Bank Syariah adalah bank umum yang menyediakan jasa dalam
lalu lintas pembayaran berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah.”
Pemberian fasilitas pembiayaan kepada debitur oleh beberapa bank
syariah kadang memuat permasalahan. Bahwa usaha debitur tidak selamanya
mengalami peningkatan, bahkan dalam menjalankan kegiatan usahanya
sering terjadi penurunan usaha baik pada tingkat usaha kecil maupun pada
tingkat usaha besar. Dalam dunia usaha atau bisnis sudah menjadi hal wajar
apabila mengalami pasang surut. Pasang surut dunia usaha yang terjadi pada
Bank Syariahmenyebabkan tidak sedikit debitur yang mengalami penurun
aset dan menyebabkan debitur tidak sanggup melakukan
pembayaranangsuran fasilitas pembiayaannya dan pada akhirnya terjadilah
pembiayaan bermasalah atau macet.
Menghadapi kondisi tersebut pihak bank tentunya berupaya secara
maksimal untuk dapat menyelesaikan masalah ini dengan cara yang efektif,
efisien dan tentunya tidak menimbulkan kerugian bagi pihak perbankan itu
sendiri.Kredit macet atau pembiayaan bermasalah adalah suatu kondisi
pembiayaan yang ada penyimpangan (deviasi) atas terms of lending yang
disepakati dalam pembayaran kembali pembiayaan itu sehingga terjadi
keterlambatan, diperlukan tindakan yuridis, atau diduga ada kemungkinan
potensi loss. Dalam portofolio pembiayaan, pembiayaan bermasalah masih
merupakan pengelolaan pokok, karena resiko dan faktor kerugian terhadap
risk asset tersebut akan memengaruhi kesehatan sebuah bank.3
Penanganan kredit bermasalah bisa dilakukan dengan dua cara yaitu
melalui proses pengadilan dan di luar proses pengadilan. Pihak bank
akanmenangani penyelesaian kredit bermasalah melalui proses pengadilan
apabila bank mendapat bukti ada unsur penipuan atau kesengajaan di pihak
debitur, atau apabila proses penyelesaian di luar pengadilan tidak membawa
hasil seperti yang diharapkan. Sedangkan penanganan penyelesaian kredit
bermasalah di luar proses pengadilan dilakukan bank apabila mereka masih
mempunyai harapan dalam satu masa tertentu (dengan bimbingan bank)
debitur mampu mengumpulkan dana untuk melunasi kredit dan bunga
tertunggak.4Secara teoritis yang harus dilakukan bank dalam penyelesaian
kredit bermasalah antara lain dengan melakukan penjadwalan kembali
pembayaran kredit (rescheduling), Peninjauan kembali isi perjanjian kredit
(reconditioning) dan Penataan kembali (reorganization and
recapitalization).5Tindakan penjualan aset/eksekusi jaminan nasabah
merupakan langkah akhir yang dapat ditempuh oleh pihak bank untuk
menutupi pembiayaan macet nasabah. Hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah
3 Veithzal Rivai dan Andria Permata, Islamic Fiancial Management : Teori, Konsep
dan Aplikasi Panduan Praktis Untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi dan Mahasiswa,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2017, hlm. 146 4Rita Rosmilia, Pelaksanaan Penyelesaian Kredit Bermasalah (Studi Di PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. Cabang Semarang Pattimura), Tesis, Program Studi
Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2009,hlm.
59. 5Ibid. hlm. 59-60
bagi pihak bank karena selain membutuhkan proses yang panjang, saat
pelaksanaan eksekusi itu sendiri sering terjadi perlawanan dari pihak nasabah.
Upaya penyelesaian sengketa melalui jalur hukum membutuhkan biaya
yang cukup besar dan waktu yang cukup lama. Hal-hal seperti ini merupakan
kendala bagi perbankan syariah di dalam menjalankan fungsi serta perannya,
sehingga perbankan syariah sulit untuk berkembang dikarenakan banyaknya
pembiayaan yang macet. Adakalanya pihak manajemen bank terpaksa
mengambil kebijakan dan menghapus buku pembiayaan macet tersebut
dengan berbagai alasan, mulai dari alasan yang telah dipaparkan hingga
lemahnya perikatan dan pengikatan yang telah dilakukan.
Berdasarkan penelitian awal penulis terhadap salah satu akad
pembiayaan Al-Murabahah yang terjadi antara PT. Bank Syariah Mandiri
Kantor Cabang Bukittinggi dengan nasabah yang mengajukan permohonan
pembiayaan dari PT. Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Bukittinggi.Para
pihak berhadapan dengan Notaris membuat Akad Pembiayaan Al-
Murabahah. Berdasarkan penelitian penulis terhadap dokumen akad
Pembiayaan Al-Murabahah disebutkan dalam Pasal 15 ayat (2) tentang
Penyelesaian Perselisihan dimana dimuat kesepakatan sebagai berikut :
1. Apabila terjadi perbedaan pendapat dalam memahami atau menafsirkan
bagian-bagian dari isi, atau terjadi perselisihan dalam melaksanakan akad
ini, maka nasabah dan Bank akan berusaha untuk menyelesaikan secara
musyawarah dan mufakat;
2. Apabila usaha menyelesaikan perbedaan pendapat atau perselisihan
melalui musyawarah untuk mufakat tidak menghasil keputusan yang
disepakati oleh kedua belah pihak, maka nasabah dan Bank
menyelesaikannya di Pengadilan Negeri Bukittinggi di Bukittinggi.
Sebagai pembanding, penulis menemukan akad Al-Murabahah lain
pada Bank Bukopin Syariah Cabang Bukittinggi. Dimana para pihak yang
membuat akad, sepakat dalam menyelesaikan perselisihan dengan ketentuan
dalam Pasal 17 Tentang Penyelesaian Perselisihan yang mengatur :
1. Apabila terjadi perbedaan dalam memahani atau menafsirkan pasal-pasal
dalam akad ini, sehingga mengakibatkan terjadinya perselisihan dalam
melaksanakan secara musyawarah untuk mufakat.
2. Apabila penyelesaian secara musyawarah untuk mufakat tidak
menghasilkan keputusan yang disepakati kedua belah pihak, maka dengan
ini nasabah dan bank sepakat untuk menyelesaikan dengan melalui badan
Pengadilan Agama di Pariaman.
Berdasarkan dua data awal tersebut, maka penulis menemukan terdapat
dua cara penyelesaian perselisihan antara nasabah dengan pihak bank ketika
proses penyelesaian perselisihan tersebut berlanjut ke pengadilan. Pada Bank
Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi, penyelesaian melalui jalur pengadilan
dilakukan di Pengadilan Negeri, sementara itu pada Bank Bukopin Syariah
Cabang Bukittinggi, pilihan penyelesaian sengketa di Pengadilan dilakukan di
Pengadilan Agama.
Ketentuan penyelesaian perselisihan dalam akad pembiayaan
Murabahah tersebut diatas jika dibandingkan dengan pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, maka
disebutkan dalam Pasal 55 Undang-Undang tersebut bahwa :
1. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan olehpengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.
2. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaiansengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan
sesuai dengan isi Akad.
3. Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)tidak boleh
bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Tersedianya penyelesaian perselisihan perbankan melalui jalur lain
selain Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah di atas menyimpan
permasalahan. Seidealnyapenyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, karenapenyelesaian
dengan melalui jalur pengadilan Negeri akan memaksa hakim Pengadilan
Negeri untuk memahami prinsip-prinsip syariah. Jika mengacu pada Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama, diatur
tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di
bidangperkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah
danekonomi syari'ah.
Pengaturan mengenai penyelesaian sengketa perbankan syariah seperti
yang diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah tidak tegas, Pengadilan Agama beserta hakimnya tentu
dinilai lebih mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah dibanding dengan hakim yang berada di Pengadilan
Negeri. Berkaitan dengan hal itu, Hakim Mahmakah Konstitusi dalam
Putusan No 93/PUU-X/2012 membatalkan penjelasan Pasal 55 ayat (2)
Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang
mengatur tentang pilihan sengketa antara nasabah dengan pihak bank.
Adanya dualisme dalam upaya penyelesaian sengketa perbankan syariah
berdasarkan penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No 21 Tahun 2008,
dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menyelesaikan sengketa
yang terjadi dalam perbankan syariah.
Kondisi faktual yang penulis temui bahwa di Kota Bukittinggi dan
Agam, masih terdapat Bank Syariah yang menyelesaikan perselisihan
perbankan syariah melalui Pengadilan Negeri.Berdasarkan latar belakang dan
asumsi yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka penulis mengajukan
judul penelitian Tesis ini dengan judul “Forum Penyelesaian Sengketa
PerbankanSyariah Pasca Putusan MK Nomor 93/Puu-X/2012 Dikaitkan
Dengan Undang-UndangNomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah”.
B. Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanaforum penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah serta
hambatan yang dihadapi dalam praktek perbankan syariah?
2. Bagaimana keadaan akad-akad yang telah dibuat pihak bank syariah pasca
dikeluarkannya Putusan MK No.93/PUU-X/2012, yang tetap membuat
pernyataan atau klasula penyelesaian sengketa di forum selain peradilan
agama?
3. Mengapa beberapa perbankan syariah sampai saat ini masih
mempergunakan frasa pilihan forum penyelesaian sengketa tersebut yang
mengacu pada pasal 55 ayat 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008?
C. Keaslian Penelitian
Penulis telah berusaha untuk melakukan penelusuran, dan penulis
menemukan banyak penelitian identik dengan penelitian yang sedang penulis
gagas.Keidentikan tersebut hanya terdapat dalam permasalahan yang umum
yaitu berkaitan dengan penyelesaian sengketa perbankan syariah. Beberapa
penelitian tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Penelitian kolektif oleh Purnama Hidayat Harahap Bismar Nasution,
Hasballah Thaib dan Utary Maharani Barus yang dikeluarkan dalam
jurnal USU Law Journal, Vol.4.No.2 tertanggal Maret 2016, penelitian
dengan judul, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Sesuai Isi
Akad Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012”. Penelitian kolektif ini mengajukan rumusan masalah
sebagai berikut :
a. Mengapa Pengadilan Negeri masih digunakan sebagai alternatif
penyelesaian sengketa Bank Syari’ah?
b. Mengapa Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 93/PUU-
X/2012 membatalkan ketentuan penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-
Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah?
c. Bagaimana penyelesaian sengketa Perbankan Syari’ah sesuai isi akad
pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012?
Penelitian kolektif yang dilakukan oleh Purnama Hidayat Harahap
Bismar Nasution, Hasballah Thaib dan Utary Maharani Barus, fokus
penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Medan.Penelitian ini
mempunyai konsentrasi untuk menganalisis Putusan No. 93/PUU-
X/2012.
Sebagai pembeda, Penelitian yang sedang penulis gagasan, maka fokus
tempat penelitian lapangan dilakukan ditempat penelitian di Bukittinggi
dan Agam dengan narasumber/informan yang berbeda. Penelitian ini juga
tidak akan memfokuskan pada analisis terhadap Putusan No. 93/PUU-
X/2012, dengan demikian penulis berharap data yang akan penulis
kumpulkan berbeda dengan kesimpulan yang berbeda dengan penelitian
kolektif yang dilakukan oleh Purnama Hidayat Harahap Bismar
Nasution, Hasballah Thaib dan Utary Maharani Barus dengan demikian
penelitian ini akan terjaga keasliannya.
2. Tesis atas nama Safwan, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, tahun 2015, NIM : 1320310004, penelitian
dengan judul, “Penyelesaian Sengketa di Lembaga Keuangan Syariah
melalui Peran Ombudsman Yogyakarta” penelitian ini mengajukan
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana peran lembaga ombudsman sebagai mediator
penyelesaian sengketa ekonomi syariah dalam perspektif hukum
islam?
b. Bagaimana langkah dan bentuk proses penyelesaian sengketa
ekonomi syariah melalui ombudmasn ditinjau dari maqasid asy-
syari’ah?
Penelitian diatas menggambarkan dan menganalisis bagaimana
penyelesaian sengketa lembaga syariah dengan melibatkan peran dari
lembaga ombudsman, tentu memiliki perbedaan dengan penelitian ini
yang berusaha untuk mengurai dan menganalisisforum penyelesaian
sengketa perbankan syariah menurut undang-undang dan prakteknya di
Bukittinggi dan Agam.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan:
1. Untuk menggambarkan forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah serta hambatan yang dihadapi dalam praktek perbankan syariah.
2. Untuk mengetahui keadaan akad-akad yang telah dibuat pihak bank
syariah pasca dikeluarkannya Putusan MK No.93/PUU-X/2012, yang
tetap membuat pernyataan atau klasula penyelesaian sengketa di forum
selain peradilan agama.
3. Untuk mengetahui hal-hal yang melatarbelakangi beberapa perbankan
syariah sampai saat ini masih mempergunakan frasa pilihan forum
penyelesaian sengketa tersebut yang mengacu pada Pasal 55 ayat 2
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan nantinya, akan memberikan manfaat
baik bagi penulis sendiri, maupun bagi orang lain. Manfaat penelitian yang
diharapkan akan dapat memenuhi dua sisi kepentingan baik teoritis maupun
kepentingan praktis, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkuat teori-teori yang ada
tentang perbankan syariah dan juga diharapkan memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, hukum
perbankan syariah khususnya terutama yang menyangkutforum
penyelesaian sengketa perbankan syariah.
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi pembentuk Undang-Undang
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pembentuk Undang-
Undang agar memperhatikan hasil penelitian ini dalam upaya
menyempurnakan regulasi terkait dengan perbankan syariah.
b. Bagi masyarakat
Penelitian ini diharapkan memberikan referensi bagi masyarakat
tentang forum penyelesaian sengketa perbankan syariah yang dapat
diambil dan disepakati para pihak dalam sebuah akad, serta
memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terhadap forum
pengadilan dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah.
c. Bagi penulis
Penelitian ini sebagai sarana untuk penulis untuk menuangkan sebuah
bentuk pemikiran tentang suatu tema dalam bentuk karya ilmiah
berupa tesis.
F. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
a. Teori Kesepakatan
Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.6 Sedangkan menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313, yaitu bahwa
perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih.
Secara etimologis perjanjian dalam bahasa arab diistilahkan
Mu’ahadah ittifa’ atau akad. Dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah
suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seseorang lain atau lebih.7Menurut istilah (terminologi),
yang dimaksud dengan akad adalah perikatan ijab dan qabul yang
dibenarkan syara’ yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak.8
Diantara asas perjanjian terdapat asas konsensualisme.Asas ini
dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua".
Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi
6 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2010, hlm. 36. 7Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Citra
Media, Yogyakarta, 2010, hlm. 19. 8Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 46.
kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang dirasanya
baik untuk menciptakan perjanjian.Asas ini sangat erat
hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.9
Undang-Undang mengatur suatu perjanjian atau kontrak akan
dianggap sah apabila telah memenuhi empat syarat yang diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian kecakapan.
3) Suatu hal tertentu. dan
4) Suatu sebab yang halal.
J.Satrio menjelaskan, kata sepakat sebagai persesuaian
kehendak antara dua orang di mana dua kehendak saling bertemu
dan kehendak tersebut harus dinyatakan. Pernyataan kehendak
harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya
hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum
melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus
diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh
pihak lain.10
b. Teori Kepastian Hukum
Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip oleh Ahmad
Ali, hukum harus mengandung tiga nilai identitas. Ketiga nilai
tersebut adalah (1) Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas
ini meninjau dari sudut yuridis. (2) Asas keadilan hukum
9Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H. Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung,2014, hlm. 113. 10J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Cetakan kelima, PT. Citra
Aditya Bakti Bandung, 2007, hlm. 129
(gerectigheit), asas ini meninjau dan sudut filosofis dan (3) Asas
kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau
utility. Asas ini meninjau dari sosiologis.11 Dengan demikian dalam
teorinya Gustav Radbruch mempertimbangkan unsur kepastian
hukum sebagai identitas dari hukum itu sendiri.
Kepastian hukum atau rechtssicherkeit, security,
rechtzekerheit, adalah sesuatu yang baru, yaitu sejak hukum itu
ditulis, dipositifkan, dan menjadi publik. Kepastian hukum
menyangkut masalah “law Sicherkeit durch das Recht” seperti
memastikan, bahwa pencurian, pembunuhan, menurut hukum
merupakan kejahatan. Kepastian hukum adalah “scherkeit des rechts
selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri).12
Sedangkan menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung
dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum
membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.13
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau
ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai
11Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ketujuh, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 397. 12Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2015, hlm. 292. 13Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2013, hlm. 23.
pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus
menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat
adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan
fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa
dijawab secara normatif, bukan sosiologis.14
2. Kerangka Konseptual
a. Forum
Menurut Oxford Advanced learner’s Dictionary of Current
English, kata “forum” tersebut diartikan secara bahasa, (in ancient
Rome) public place for meeting; any place for public
discussion.15Hal tersebut bisa diartikan bahwa di zaman Romawi
kuno, forum merupakan tempat umum untuk bertemu, forum juga
bisa diartikan sebagai tempat untuk diskusi publik.
b. Penyelesaian Sengketa
Kata penyelesaian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalahproses, cara, perbuatan, menyelesaikan (berbagai-bagai arti
seperti pemberesan, pemecahan),hal itu bisa dikonsepkan sebagai
cara untuk menyederhanakan sebuah kegiatan.16Sedangkan kata
14 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm.59 15A.S. Hornby, Oxford Advanced learner’s Dictionary of current English, Fifteenth
Impression (revised nd reset), Oxford University press, Oxford, 1984, Hlm. 345 16Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Departemen
Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008, hlm. 1391
sengketa berarti situasi dan kondisi di mana orang-orang saling
mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan-
perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.17
Berdasarkan penjelasan tersebut, penyelesaian sengketa dapat
dikonsepkan sebagai upaya oleh pihak untuk menyederhanakan
sebuah perselisihan yang bersifat faktual hingga dicapai sebuah
tercapai kesepahaman atau kesepakatan yang
memuaskan.Penyelesaian Sengketa bisa juga dikonsepkan sebagai
upaya yang disepakati oleh para pihak untuk menyederhanakan
perselisihan para pihak yang tidak puas terhadap pihak lain.
c. Perbankan Syariah
Konsep perbankan syariah dalam penelitian ini disesuaikan dengan
Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, disebutkan bahwa Perbankan Syariah adalah
segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara
dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
d. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat Final dan
Mengikat.Secara teoritis, final bermakna putusan MK berkekuatan
hukum tetap setelah selesai diucapkan dalam sidang yang terbuka
untuk umum dan tidak terdapat upaya hukum yang dapat ditempuh
17 Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm.1.
terhadap putusan itu.Sifat mengikat bermakna putusan MK tidak
hanya berlaku bagi para pihak, tetapi bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Putusan MK ini diputuskan pada tanggal 28 Maret2013
oleh 9 (Sembilan) Hakim Konstitusi, yaitu : Moh, Mahfud, MD
selaku ketua merangkap anggota, Achmad sodiki, Muhammad
Alim, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, M. Akil
Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman, masing-masing
sebagai anggota.
d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah
Undang-Undang ini adalah hasil produk hukum yang ditetapkan
dan disahkan berlakunya oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Repulik Indonesia untuk mengatur segala sesuatu yang
berkaitan dengan usaha perbankan syariah.Undang-Undang ini
Disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2008 oleh Presiden
Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.Undang-Undang
ini, diundangkan di Jakarta pada tanggal 16 Juli 2008 oleh Menteri
Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Andi
Mattalatta dan dicatatkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini dirancang sebagai penelitian Deskriptif Analitis,
dengan demikian penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran hasil
penelitian, akan tetapi juga menganalisanya sesuai ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini maka penulis akan
menggambarkanforum penyelesaian sengketa perbankan syariah menurut
Undang-Undang dan prakteknya di Bukittinggi dan Agam untuk
kemudian melakukan analisis terhadap gambaran yang telah ditampilkan.
2. Pendekatan Masalah
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum Normatif dan
pendekatan hukum Empiris. Pendekatan hukum normatif berarti penulis
memposisikan diri untuk mempelajari seluruh bahan hukum yang ada
untuk dibuat suatu analisis mengenai norma dan nilai dari objek yang
sedang diteliti. Hasil kajian menggunakan pendekatan hukum normatif
tersebut akan ditindaklanjuti dengan menggunakan pendekatan hukum
empiris, yang berarti penulis kemudian membandingkan hasil studi
terhadap bahan-bahan hukum tersebut dengan fakta empiris yang peneliti
kumpulkan di lokasi penelitian pada bank-bank syariah yang
beroperasional di Bukittinggi dan Agam.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data pokok yang akan menjadi bahan
kajian dari penelitian ini. Sedangkan data sekunder adalah data yang akan
menjadi penunjang dari keberadaan data primer, kegunaan data sekunder
untuk menjelaskan keberadaan data primer.
Data primer bersumber dari data yang didapatkan ketika
mengadakan penelitian lapangan, yaitu mengumpulkan, meneliti dan
menyeleksi data primer yang diperoleh langsung dari lapangan untuk
menunjang data sekunder, dengan cara mengadakan wawancara dengan
pihak-pihak terkait dan mengumpulkan data dokumen yang terkait
dengan penelitian.
Sedangkan data sekunder bersumber dari kepustakaan. Bentuk data
sekunder tersebut antara lain sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan, seperti
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Putusan
Mahmakah Konstitusi dalam Putusan No 93/PUU-X/2012, Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis
bahan-bahan hukum primer seperti tulisan ilmiah para ahli.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan penunjang mengenai
informasi berupa artikel dari koran atau internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
a. Sudi Lapangan (field research)
Studi lapangan dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan, dimana dua orang atau lebih bertatap
muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan. Wawancara dapat dipandang sebagai
metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak,
yang dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan tujuan
penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan
wawancara bebas terpimpin, dengan kata lain metode ini
digunakan untuk mencari data langsung dari responden untuk
mendapatkan data yang sesuai dengan judul penelitian. Adapun
pihak yang diwawancarai adalah :
a) Bapak Rahmon dan Bapak Syamsu Rizal, selaku Team Task
Force (TTF) atau Staf Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah
Bank Syariah Mandiri Cabang Bukittinggi;
b) Bapak Defrianta Sukirman, selaku Staf Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah Bank Syariah Bukopin Cabang
Bukittinggi;
c) Bapak Afrialdi, selaku Kadif Marketing dan Penyelesaian
Pembiayaan Bermasalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Carana Kiat Andalas;
d) Bapak H. Supardi, SH, selaku Panitera Pengganti Pengadilan
Negeri Kelas I.B Bukittinggi;
e) Ibu Dra. Hj. Elzawarti, selaku Panitera Muda Hukum dan
Bapak Drs. Martias, selaku Hakim Madya Muda Pengadilan
Agama Kelas I.B Bukittinggi;
2) Studi Dokumen
Studi Dokumenyaitu peneliti mencari dan mempelajari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat
kabar, majalah, dan lain sebagainya. Penulis menggunakan
metode ini untuk memperoleh dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan forum penyelesaian sengketa antara bank syariah dengan
nasabah bank syariah.
b. Studi Pustaka (library research)
Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara melakukan
pengumpulan data dengan menelusuri sumber-sumber data yang
terdapat dalam berbagai buku, peraturan peraundang-undangan dan
dokumen lainnya yang terkait dengan penelitian.
5. Analisa Data
Metode analisis data dalam penulisan tesis ini adalah analisis
kualitatif bersifat yuridis, karena penelitian ini bertitik tolak dari
peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif,
pelaksanaannya di lapangan dan kemudian membandingkannya untuk
mengetahui kelebihan dan kekurangannya.
Recommended