View
6
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
TUGAS AKHIR (607408A)
PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PENGELASAN
DUPLEX STAINLESS STEEL SA790 UNS 31803
TERHADAP KOMPOSISI FASA FERRITE AUSTENITE
DAN LAJU KOROSI
YUSFI RISTIA PUTRA
NRP.0715040013
DOSEN PEMBIMBING :
MUKHLIS, S.T., M. T.
HENDRI BUDI KURNIYANTO, S.ST, MT
PROGRAM STUDI D4 – TEKNIK PENGELASAN
JURUSAN TEKNIK BANGUNAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
SURABAYA
2019
i
TUGAS AKHIR (607408A)
PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PENGELASAN
DUPLEX STAINLESS STEEL SA790 UNS 31803
TERHADAP KOMPOSISI FASA FERRITE AUSTENITE
DAN LAJU KOROSI
YUSFI RISTIA PUTRA
NRP.0715040013
DOSEN PEMBIMBING: MUKHLIS, S.T., M. T.
HENDRI BUDI KURNIYANTO, S.ST, MT
ROGRAM STUDI D4 – TEKNIK PENGELASAN
JURUSAN TEKNIK BANGUNAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
SURABAYA
2019
ii
iv
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
vi
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga dapat terselesaikan Tugas Akhir yang berjudul
PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PENGELASAN DUPLEX
STAINLESS STEEL SA790 UNS 31803 TERHADAP KOMPOSISI FASA
FERRITE AUSTENITE DAN LAJU KOROSI. Dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih yang diberikan kepada penulis, khususnya kepada:
1. Kedua Orangtua yang selalu memberikan motiasi, tuturan, finansial serta
dukungan yang tidak pernah berhenti kepada penulis.
2. Bapak Ir. Eko Julianto, M.sc., FRINA selaku Direktur Politeknik Perkapalan
Negeri Surabaya.
3. Bapak Ruddianto, S.T., M.T., MRINA selaku Ketua Jurusan Teknik Bangunan
Kapal.
4. Bapak Muhamad Ari, S.T., M.T., selaku Koordinator Prodi Teknik Pengelasan.
5. Bapak Mukhlis, S.T., M.T., selaku Koordinator Tugas Akhir dan selaku
Pembimbing I Tugas Akhir yang telah banyak meberikan bimbingan dan arahan
dalam pengerjaan Tugas Akhir ini.
6. Bapak Hendri Budi K, S.ST., M.T., selaku Dosen Pembimbing II Tugas Akhir
yang telah banyak meberikan bimbingan dan arahan dalam pengerjaan Tugas
Akhir ini.
7. Kakak Alfrizta Purwa, adik Igna Wahyu dan adik Anindya Hasna, serta Noveni
Rahayu yang selalu memberikan perhatian, semangat, dukungan dan hiburan
kepada penulis.
8. Saudara Muhammad Erwan S, S.ST., dan Rendi Bagas P, S.ST dari PT Gearindo
Prakarsa, selaku pembimbing dari pihak industri yang telah banyak memberikan
bimbingan dan arahan dalam pengerjaan Tugas Akhir ini.
9. Bapak Anwar, Bapak Eko Suwarno, dan Bapak Suni dari PT PAL Indonesia yang
turut membantu proses pengerjaan Tugas Akhir ini.
10.Teman-teman Teknik Pengelasan angkatan 2015, Group WCN tok, dan Grup
anjing & babi sukses yang selalu memberi inspirasi, hiburan dan motivasi
kepada penulis
11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang selalu memberi
bantuan dan semangat kepada penulis.
Penulis menyadari atas kurang sempurnanya penelitian ini, sehingga masih
terdapat kekurangan yang tidak disengaja. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dibutuhkan untuk perbaikan serta penelitian selanjutnya. Semoga
Laporan Tugas Akhir ini dpat memberi manfaat serta dapat digunakan sebagai salah
viii
satu referensi untunk pengembangan Tugas Akhir selanjutnya di kemudian hari dan
dapat menjadi nilai tambah khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.
Surabaya, 15 Juli 2019
Penulis
ix
PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PENGELASAN
DUPLEX STAINLESS STEEL SA790 UNS 31803 TERHADAP
KOMPOSISI FASA FERRITE AUSTENITE DAN LAJU
KOROSI
Yusfi Ristia Putra
ABSTRAK
Pada perusahaaan fabrikasi yang membuat produk spool/piping telah
ditemukan suatu permasalahan yaitu perbedaan media pendingin pada sambungan
pengelasan Duplex stainless steel. Oleh sebab itu dilakukan penelitian untuk
mengetahui bagaimanakah pengaruh media pendingin terhadap struktur mikro, fasa
ferrite, kekerasan dan pada pengelasan Duplex Stainlees Steel. Proses pengelasan
material SA790 UNS31803 menggunakan GTAW dengan 3 media pendingin yaitu
udara, air, dan air laut yang korosif. Dari hasil penelitian didapatkan struktur mikro
yang terjadi pada tiap variasi terdapat perbedaan ferrite dan semakin cepat
pendinginan semakin besar pula presentase ferrite. Untuk nilai ferrite pada media
udara 45%, air 54%, dan air laut 60%. kekerasan juga berbanding lurus dengan
ferrite pada media udara sebesar 260HV, media air sebesar 270HV, dan media air
laut sebesar 290HV di daerah root. Sedangkan untuk ketahanan korosi dari duplex
sangat baik, untuk media pendingin udara sebesar 0,016mm/y, sedangkan media
pendingin air sebesar 0,037mm/y, dan untuk pendingin air laut sebesar 0,089mm/y.
Dari pengujian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin cepat laju
pendingin dari media yang digunakan maka semakin besar persentase ferritenya,
dan semakin cepat laju pendingin dari media yang digunakan maka semakin
menurun ketahanan korosinya.
Kata kunci :pengelasan duplex, struktur mikro, ferrite, kekerasan, ketahanan
korosi
x
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
xi
THE EFFECT OF COOLING MEDIA ON WELDING DUPLEX
STAINLESS STEEL SA790 UNS 31803 AGAINST THE PHASE
COMPOSITION OF FERRITE AUSTENITE AND CORROSION
RATE
Yusfi Ristia Putra
ABSTRACT
In the fabrication company that makes spool/piping products have been
found a problem is the difference of cooling media in the welding joint Duplex
stainless steel. Therefore, research is do to find how cooling media influences the
micro structure, ferrite phase, hardness and on welding Duplex Stainlees Steel.
Material welding process SA790 UNS31803 using GTAW with 3 cooling medium,
namely air, water, and corrosive seawater. From the results of the study obtained
micro structures that occur in each variation there is the difference ferrite and the
faster cooling of the greater and also the ferrite percentage. For ferrite value on
air Media 45%, water 54%, and seawater 60%. The hardness is also directly
proportional to ferrite in the air media of 260HV, water medium of 270HV, and
seawater media of 290HV in the root region. As for the corrosion resistance of the
duplex is excellent, for the media air conditioner of 0, 016mm/y, while the water
cooling media is 0, 037mm/y, and for sea water cooling of 0, 089mm/y. From the
test it can be concluded that the faster of cooling rate used will increase the
percentage of Ferrite, and the faster of cooling rate used will decreased the
durability of its corrotions
Keywords: duplex welding, micro structure, ferrite, hardness, corrosion rate
x
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
xii
xiii
DAFTAR ISI
LEMBARPENGESAHAN....................................................................................iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.....................................................................v
KATA PENGANTAR .........................................................................................vii
ABSTRAK............................................................................................................ ix
ABSTRACT............................................................................................................xi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL................................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................. 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Tugas Akhir ................................................................................ 3
1.5 Batasan Masalah ....................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
2.1 GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)........................................................ 5
2.2 Material Duplex SA790 UNS 31803 ........................................................ 6
2.3 Logam Pengisi ........................................................................................ 10
2.4 Quenching dan Media Pendinginan ....................................................... 11
2.5 Korosi...................................................................................................... 13
2.6 Pengujian ................................................................................................ 13
2.6.1 Metalloghrapy test (mikro) .............................................................. 13
2.6.2 Hardness test (kekerasan) ................................................................ 15
2.6.3 Laju Korosi ...................................................................................... 16
2.6.4 Pengujian Komposisi Kimia ............................................................ 17
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 21
3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian ............................................................ 21
3.2 Studi Literatur.................................................................................................. 22
xiv
3.3 Studi Lapangan ................................................................................................ 22
3.4 Perumuan Masalah .......................................................................................... 23
3.5 Persiapan alat dan Bahan ............................................................................... 23
3.6 Proses Pengelasan Specimen ......................................................................... 24
3.7 Proses Pendinginan ......................................................................................... 25
3.7.1 Pendinginan dengan Udara (Normal) .............................................. 25
3.7.2 Pendinginan dengan Air dan Air laut (cepat) .................................. 25
3.8 Parameter Pengelasan................................................................................25
3.9 Pembuatan test piece................................................................................ 26
3.10 Pengujian .......................................................................................................... 27
3.10.1.Pengujian Metallography (mikro) ....................................................... 27
3.10.2.Pengujian Hardness ............................................................................... 29
3.10.3.Pengujian Laju korosi............................................................................ 30
3.10.4.Pengujian komposisi kimia ................................................................... 32
3.10.5.Pengujian Ferrite Content .................................................................... 32
3.11 Analisa data .................................................................................................... 33
3.12 Kesimpulan .................................................................................................... 33
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................35
4.1 Pengujian Struktur Mikro ........................................................................34
4.2 Pengujian ferrite content .........................................................................40
4.3 Pengujian kekerasan ................................................................................41
4.4 Pengujian Laju Korosi .............................................................................43
4.5 Pengujian Komposisi Kimia ....................................................................45
4.6 Hubungan Antar Pengujian ......................................................................45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................47
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................47
5.2 Saran ........................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 49
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Komposisi kimia Duplex Stainless steel .............................................. 10
Tabel 2. 2 Karakteristik mekanis Duplex Stainless steel ...................................... 10
Tabel 2. 3 Komposisi Logam pengisi ................................................................... 11
Tabel 2. 4 Karakteristik mekanis logam pengisi ................................................... 11
Tabel 3. 1 Parameter Pengelasan ...........................................................................25
Tabel 4. 1 Hasil Pengujian Struktur mikro ............................................................35
Tabel 4. 2 Presentase ferrite dari Struktur mikro menggunakan imageJ ...............39
Tabel 4. 3 Hasil Pengujian ferrite content menggunakan ferrite scope...................40
Tabel 4. 4 Hasil Pengujian Hardness Vickers (rata rata).........................................42
Tabel 4. 5 Hasil Pengujian ketahanan Korosi ........................................................43
Tabel 4. 6 Kategori ketahanan Korosi.....................................................................44
Tabel 4. 7 Hasil Pengujian Komposisi Kimia ........................................................45
xvi
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Proses Pengelasan GTAW (Wiyosumarto, 2004) .............................. 6
Gambar 2. 2 Diagram Schaeffler-Delong (william, 2004) ..................................... 8
Gambar 2. 3 Struktur Kristal dari BCC Menjadi FCC (Avesta, 2004) ................... 9
Gambar 2. 4 Nikel Mempengaruhi Struktur Mikro (Avesta, 2004). ....................... 9
Gambar 2. 5 Pengamatan (Uchidarokakuho, 1983) ............................................. 15
Gambar 2. 6 Pengujian Hardness Vickers (Callister, 2007) ................................. 16
Gambar 2. 7 Pengujian Korosi dengan Sel Tiga Elektroda (ASTM G5, 2004) .... 17
Gambar 2. 8 Ferrit Meter (Diverse, 2015) ............................................................ 19
Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian ....................................................................22
Gambar 3. 2 Dimensi Sambungan Pipa ................................................................ 24
Gambar 3. 3 Persiapan Pengelasan.........................................................................24
Gambar 3. 4 Spesimen Uji......................................................................................25
Gambar 3. 5 Proses Polishing ............................................................................... 25
Gambar 3. 6 Pelaksanaan electrolysis.....................................................................27
Gambar 3. 7 Pembebadan identor di 21 titik......................................................... 28
Gambar 3. 8 Identasi hardness .............................................................................. 29
Gambar 3. 9 Pengujian Laju Korosi.......................................................................30
Gambar 4. 1 Titik pengambilan foto Mikro............................................................34
Gambar 4. 2 Analysis imageJ pada struktur mikro.................................................37
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara Media Pendingin dengan % ferrite dari struktur
mikro menggunakan imageJ..............................................................38
Gambar 4. 4 Grafik hubungan antara Media Pendingin dengan % ferrite hasil ferrite
scope.................................................................................................40
Gambar 4. 5 Pengambilan titik kekerasan..............................................................41
Gambar 4. 6 Grafik hubungan antara Media Pendingin dan nilai kekerasan......... 41
Gambar 4. 7 Grafik hubungan antara Media Pendingin dengan laju korosi............43
Gambar 4. 8 Grafik Perbandingan Kekerasan, ferrite content, dan laju korosi......44
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan merupakan kumpulan dari beberapa informasi yang akan
membentuk sebuah ilmu baru. Ilmu pengetahuan saat ini berkembang sangat
pesat khususnya dalam bidang material. Hal ini menyebabkan banyaknya
industri di bidang MIGAS yang mengembangkan material agar dapat
digunakan di dalam berbagai pengoperasian. Salah satu material yang
digunakan yaitu material ferritic-austenittic stainless steel, atau sering disebut
Duplex stainless steel. Material duplex sering digunakan dalam industri migas
terutama pada Offshore. Keunggulan material duplex yaitu tahan korosi dan
memiliki kekuatan tinggi sehingga tahan digunakan untuk eksplorasi migas.
Pada salah satu perusahaan swasta proses pengelasan digunakan untuk
fabrikasi membentuk sebuah spool / produk dalam penyambungan pipa-pipa
duplex. Material duplex memiliki weldability yang baik, namun jika dilakukan
proses pengelasan dapat menyebabkan kerusakan atau merubah struktur
mikro. Perubahan tersebut berpengaruh dalam tingkat kekerasan material.
Pembuatan spool dikirim ke offshore laut natuna oleh perusahaan swasta
tersebut menggunakan meterial Duplex stainless steel dengan proses
pengelasan GTAW (Gas Tungsten Arc Welding). Pengelasan duplex stainless
steel diiringi dengan proses pendinginan secara cepat yaitu dengan air yang
dibalut kain basah, dan dalam penerapan pendinginan cepat tidak hanya
menggunakan air, namun juga air laut dikarenakan pemasangan sambungan
spool yang langsung dikirim dari workshop ke offshore, jadi secara langsung
akan terkena air laut. Hal tersebut yang menjadikan pertanyaan apakah material
duplex stainless steel memerlukan proses pendinginan seperti yang dilakukan
di perusahaan ini.
PWHT (Post Weld Heat Treatment) merupakan proses yang dilakukan
setelah melalui tahap pengelasan, namun berbeda dengan material yang
2
austenitic seperti stinless steel yang tidak memerlukan PWHT. Perbedaan ini
disebabkan karena pemanasan pada austenitic memicu terjadinya karbida krom
(Cr23C6) pada daerah batas butir yang dapat menurunkan ketahanan korosi
dan kekuatan sambungan las. Kelemahan inilah yang menyebabkan stainless
steel tidak memerlukan pelakuan PWHT. Selain itu tertera di ASME II part A
specification for seamless and welded ferritic/austenitic Stainless steel pipe
pada table 1. Heat Treatment untuk material SA790 UNS 31803 dapat
dilakukan perlakuan Quench rapid cooling menggunakan media air dan udara.
Dari dasar-dasar tersebut akan dilakukan penelitian pengaruh media
pendinginan usai pengelasan dengan menggunakan udara sebagai pendinginan
normal dan air (air biasa dan air laut) sebagai rapid cooling. Sehingga diperoleh
perbedaan hasil pada ketahanan korosi, struktur mikro, komposisi kimia, ferite
content dan kekerasan yang akan diolah menjadi laporan Tugas Akhir.
1.2 Perumusan Masalah
Berdarkan latar belakang tersebut, maka masalah yang akan dikaji dalam
proposal tugas akhir ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh media pendinginan terhadap kandungan ferrite dari
struktur mikro pada pengelasan Duplex Stainless Steel ?
2. Bagaimana pengaruh media pendinginan terhadap persentase ferrite
menggunakan ferrite scope pada pengelasan Duplex Stainless Steel ?
3. Bagaimana pengaruh media pendinginan terhadap niai kekerasan pada
pengelasan Duplex Stainless Steel ?
4. Bagaimana pengaruh media pendinginan terhadap ketahanan korosi pada
pengelasan Duplex Stainless Steel ?
1.3 Tujuan
Tujuan dalam penulisan proposal tugas akhir adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh media pendinginan terhadap struktur mikro pada
pengelasan Duplex Stainless Steel.
3
2. Mengetahui pengaruh media pendinginan terhadap persentase ferrite
(ferrite content) pada pengelasan Duplex Stainless Steel.
3. Mengetahui pengaruh media pendinginan terhadap kekerasan pada
pengelasan Duplex Stainless Steel.
4. Mengetahui perbedaan ketahanan korosi yang terjadi pada perbedaan
media pendinginan pada pengelasan Duplex Stainless Steel.
1.4 Manfaat Tugas Akhir
Adapun manfaat dari Tugas Akhir yang akan dibuat yaitu :
1. Bagi mahasiswa
A. Dapat menerapkan pengetahuan yang didapatkan selama
pembelajaran saat menimba ilmu di perkuliahan ke dalam industri.
B. Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi ilmu yang telah ada
mengenai pengelasan duplex stainless steel.
2. Bagi industri
Sebagai informasi baru yang dapat digunakan untuk acuan perusahaan
kedepannya dalam perlakuan pendinginan pada pengelasan duplex.
3. Bagi institusi
Judul yang diteliti pada Tugas Akhir dapat menjadi acuan baru untuk
pengembangan Tugas Akhir berikutnya, terutama pada pengelasan duplex
stainless steel.
1.5 Batasan Masalah
Pencapaian tujuan utama dari penulisan dan penelitian tugas akhir yang
fungsinya fokus pada pokok bahasan diperlukan adanya batasan masalah
sebagai berikut :
1. Base Metal adalah SA790 UNS 31803.
2. Pipa dengan Ø2”sch 80S sepanjang 100 mm sebanyak 2 joint tiap variasi.
3. Proses pengelasan adalah GTAW.
4. Filler yang digunakan ER2209
4
5. Pendinginan udara dan air sesuai dengan ASME II part A specification for
seamless and welded ferritic/austenitic Stainless steel pipe pada table 1.
6. Pengujian yang akan dilakukan, micro test, ferrite content, chemical
composition (pada weld metal), hardness test dan corrotion rate.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)
GTAW (Gas Tungsten Arc Welding) adalah salah satu proses pengelasan
yang paling umum digunakan dengan busur listrik yang menggunakan
elektroda tak terumpan atau elektroda tidak ikut mencair yang disebut dengan
Tungsten (non consumable). Tungsten hanya berfungsi sebagai pencair dan
penghantar busur listik yang bersentuhan dengan base metal, sedangkan untuk
logam pengisinya menggunakan filler rod. Dunia lapangan GTAW sering
menyebut dengan Las Argon, hal tersebut karena gas pelindung (shielding gas)
yang sering digunakan adalah gas Argon. Selain Argon yaitu Helium ataupun
campuran Argon Helium. Fungsi dari gas pelindungan ini antara lain untuk
melindungi daerah las saat proses pengelasan dari kontaminasi udara pada
atmosfer yang menyebabkan cacat pada pengelasan.
GTAW ini juga sering disebut dengan las TIG atau Tungsten Inert Gas,
namun ini hanya beda penyebutan saja. GTAW adalah istilah yang sering
digunakan di Amerika sedangkan TIG adalah istilah yang sering digunakan di
Eropa. Proses pengelasan GTAW dapat dilihat pada Gambar 2.1. Las GTAW
ini sendiri memang biasa digunakan untuk pengelasan Aluminium ataupun
Stainless Steel yang memang banyak membutuhkan perlakuan khusus.
Peralatan yang di gunakan saat proses pengelasan GTAW antara lain:
1. Mesin las GTAW (AC/DC)
2. Tabung gas (shielding gas)
3. Regulator gas
4. Flow meter gas
5. Welding torch
6. Tungsten elektroda
7. Elektroda pengisi (consumebel)
6
Gambar 2. 1 Proses Pengelasan GTAW (Wiryosumarto, 2004)
Pengelasan GTAW menghasilkan hasil las berkualitas baik pada material
ferrous maupun non ferrous. Asalkan teknik pengelasannya tepat, semua
pengotor di atmosfir dapat dihilangkan. Kelebihan utama proses GTAW yaitu,
dapat digunakan untuk membuat root pass berkualitas tinggi dari satu sisi pada
berbagai material. Sehingga GTAW sangat dianjurkan pada pengelasan pipa,
dengan range arus mulai dari 5 hingga 300 amp, karena mampu untuk
mengatasi masalah pada posisi sambungan yang berubah-ubah seperti celah
root. Misal pada pipa tipis dibawah 0,20” dan logam-logam lembaran, arus bisa
diatur rendah sehingga dapat mengendalikan penetrasi dan pencegahan
terjadinya burn through, hal ini menyebabkan proses ini lebih mudah dari pada
pengerjaan dengan proses menggunakan elektroda terbungkus. Kecepatan
gerak yang lebih rendah dibandingkan dengan SMAW akan memudahkan
pengamatan sehingga lebih mudah dalam mengendalikan logam las selama
pengisian dan penyatuan.
2.2 Material Duplex SA790 UNS 31803
Paduan Duplex ditemukan pertama kali oleh Avesta Jernverke pada tahun
1929, dengan kandungan: 25% Cr dan 5% Ni. Kemudian pada tahun 1933 J-
Holtzer Company dari Perancis mengembangkan Austenitik SS (20% Cr, 9%
Ni, 2.5% Mo) menjadi Duplex SS dengan kandungan 20% Cr, 8% Ni, 2.5%
Mo. Mereka menemukan adanya fase ferrit dalam matriks austenitik, yang
ketika diberi perlakuan panas ternyata tidak sensitif terhadap korosi
intergranular. Hal tersebut berkembang terus hingga dekade 70-an di Swedia
dan Jerman untuk penggunaan dalam industri kertas sulfit. Duplex sebenarnya
7
diciptakan untuk memecahkan permasalahan korosi yang disebabkan oleh
Klorida (pada bearing air pendingin) dan fluida kimia proses lainnya yang
agresif. Industri migas pun telah mengaplikasikannya pada perpipaan sumur
minyak (down hole tubing well) yang mengandung H2S yang bersifat korosif
(Suharno, 2008)
Hadirnya fasa austenite dalam duplex membuat material ini tangguh dan
ulet sedangkan fasa ferrite memberikan sifat ketahanan korosi namun
ketangguhannya rendah. Sehingga DSS akan memiliki sifat kekuatan dan
ketangguhan yang tinggi serta ketahanan korosi yang sangat baik. Selain dua
sifat di atas duplex juga mudah untuk difabrikasi dan mudah di las.
Kemampuan untuk di las dan karakteristik pengelasan DSS lebih baik dari
feritic SS, tetapi secara umum tidak lebih baik dari material austenitic.
Produk DSS diperoleh dengan beberapa proses pengerjaan seperti
pengecoran (casting), tempa (forging), extrusi dan canai (rolling). Secara
umum sifat DSS dapat dicapai untuk kesetimbangan fasa dalam rentang 30
sampai 70% ferrite dan austenite. Apabila ferrite melebihi 70% maka akan
diperkaya dengan unsur karbon dan nitrogen yang membuat material menjadi
semakin keras dan mengurangi ketangguhannya, dan apabila ferrite kurang
dari 30% maka akan mengurangi ketahanan pada temperaur tinggi.
Namun, DSS paling banyak memiliki komposisi yang seimbang antara
ferrite dan austenite, dimana untuk produksi komersial saat ini lebih banyak
penambahan austenite untuk alasan ketangguhan dan karakteristik fabrikasi
yang lebih baik. Untuk menjaga kesetimbangan kedua fasa di atas bergantung
pada komposisi paduan dan perlakuan panas. untuk memprediksi struktur
mikro yang diinginkan (austenite dan ferrite) merujuk ke diagram Schaeffler
DeLong seperti pada Gambar 2.2
8
Gambar 2. 2 Diagram Schaeffler-Delong (William, 2004)
Unsur-Unsur Penting Dalam Paduan Duplex Stainless Steels :
Chromium : Kromium adalah unsur pembentuk ferrite, yang berarti
penambahan kromium menstabilkan struktur bcc besi. Jumlah
minimum krom sekitar 10.5% penting untuk membentuk lapisan
pasif krom stabil yang berguna untuk melindungi baja dari mild
atmospheric corrosion. Efek kromium ini penting karena
pengaruhnya pada pembentukan dan penghilangan scale oksida
yang dihasilkan dari perlakuan panas atau pengelasan.
Molibdenum : Molibdenum berfungsi untuk mendukung kromium dalam
ketahanan korosi klorida tehadap Stainless Steels. Ketika
kandungan krom dalam Stainless Steels sedikitnya 18%,
penambahan molibdenum menjadi tiga kali lebih efektif seperti
penambahan krom dalam melawan pitting dan crevice corrosion
di lingkungan klorida Molibdenum adalah unsur pembentuk
ferrite dan juga meningkatkan kecenderungan Stainless Steels
membentuk fasa intermetalik yang merusak. Oleh karena itu
kandungan Molibdenum dibatasi kurang dari 4% dalam Duplex
Stainless Steels.
Nitrogen : Nitrogen meningkatkan ketahanan pitting dan crevice corrosion
pada austenitic dan Duplex Stainless Steels. Nitrogen adalah
unsur penting pembentuk austenite dan bisa menggantikan nikel
dalam austenitic Stainless Steels. Unsur pembentuk ferrite,
kromium dan molibdenum, diseimbangkan dengan unsur
9
pembentuk austenite nickel dan nitrogen, untuk mendapatkan
struktur duplex.
Nickel : Nickel adalah unsur penstabil austenite, yang berarti penambahan
nikel pada besi paduan mempromosikan perubahan struktur
kristal dari bcc (ferritic) ke fcc (austenitic). Ferritic Stainless
Steels mengandung sedikit nikel sedangkan, Duplex Stainless
Steels mengandung nikel sekitar 4-7% Seperti terlihat pada
Gambar 2.3.
Gambar 2. 3 Struktur Kristal dari BCC Menjadi FCC (Avesta, 2004)
Penambahan nikel menunda pembentukan fasa intermetalik yang
merusak pada austenitic ss tetapi nikel kurang efektif dibanding
nitrogen pada DSS seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4. Sruktur fcc
membuat austenitic stainless steels memiliki ketangguhan tinggi.
Kehadirannya dari sekitar setengah struktur mikro duplex
meningkatkan ketangguhan duplex dibanding ferritic ss.
Gambar 2. 4 Nikel Mempengaruhi Struktur Mikro (Avesta, 2004).
Tingginya kadar alloy (22Cr 5Ni 3Mo) dibanding dengan Stainless Steel
biasa SS316 (18Cr 8Ni) menyebabkan paduan ini lebih tahan terhadap korosi
intergranullar, pitting dan crevice corrosion. Efek dari penambahan
Chromium dan Molybdenum adalah meningkatkan kemampuan pasivitas-nya
10
dalam membentuk lapisan oksida yang bersifat self-repairing. Efek dari
penambahan Nitrogen adalah memperkuat ikatan antar atom dengan
mekanisme interstisi larutan padat yang meningkatkan yield strength tanpa
mengurangi ketangguhan (toughness). Walaupun kadar Nikel dikurangi
sebesar 1% untuk mengurangi ongkos produksi dibandingkan dengan SS316,
tetapi masih mempertahankan sifat mampu las dari ss tipe ini (Philadelphia,
2000). Berikut adalah komposisi kimia duplex stainless steel pada Tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Komposisi Kimia Duplex Stainless Steel
Sumber : ASME Section II A
Duplex memiliki kombinasi kekuatan tarik (high tensile) dan kekuatan takik
(impact strength) yang tinggi, dengan koefisien ekspansi termal yang rendah
dan konduktivitas thermal yang tinggi. Karakteristik seperti ini cocok untuk
konstruksi komponen mekanikal. Duplex tidak disarankan untuk diaplikasikan
dalam waktu yang relatif lama pada suhu diatas 2800C, karena mengurangi
ketangguhan. Material properties dari duplex dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Karakteristik Mekanis Duplex Stainless Steel
Sumber : ASME Section II A
2.3 Logam Pengisi
Pemelihan filler metal sebagai logam pengisi proses pengelasan dipilih
berdasarkan base metal yang akan disambung yaitu SA790 UNS31803
Element % Present
Carbon (C) 0.030
Manganese (Mn) 2.00
Phosphorus (P) 0.030
Sulfur (S) 0.020
Silicon (Si) 1.00
Nickel (Ni) 4.5-6.5
Cromium (Cr) 21.0-23.0
Molibdenum (Mo) 2.5-3.5
Nitrogen (N) 0.08-0.2
Property Value
Tensile Strength 620 Mpa
Yield Strength 450 Mpa
Elongation 25 %
Hardness Brinell 290
Hardness Rockwell 30
11
berdasarkan AWS A5.9. Filler metal ini membutuhkan backing gas dalam
aplikasinya khususnya untuk bagian root, dan komposisi kimia pada filler
metal bisa dilihat di ASME sec II C seperti pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 3 Komposisi Logam pengisi
Sumber : ASME section II C
Dari komposisi filler metal tersebut didapatkan karakteristik mekanis logam
pengisi itu sendiri dari ASME Sec II C sesuai dengan Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Karakteristik Mekanis Logam Pengisi
Sumber : ASME section II C
2.4 Quenching dan Media Pendinginan
Quenching adalah sebuah proses pendinginan cepat sebuah logam atau
pengeluaran panas dari suatu logam dengan kecepatan tertentu yang berada
pada kondisi suhu austenisasi, untuk baja umumnya pada rentang suhu 815oC
s/d 870oC. Quenching menjadi proses yang penting dalam hal pengerasan
logam atau metal hardening. Proses ini dilakukan untuk menghasilkan
sejumlah fase martensitik pada mikrostruktur, memperluas distribusi ferrite,
meningkatkan nilai kekerasan (hardness), kekuatan (strength), dan
ketangguhan (toughness), dan meminimalkan jumlah presipitat karbida,
residual stress, distorsi, dan kemungkinan retak (cracking).
Adapun macam-macam media yang dipakai adalah :
1. Udara
Merupakan media paling umum dan murah. Transfer panas tergantung dari
laju aliran rata-rata (flow rate). Pendinginan dapat dipercepat dengan cara
meningkatkan kecepatan aliran udara, tapi cara ini tidak akan cukup efektif.
Kemampuan udara untuk mengeraskan (hardening) suatu logam tidak terlalu
besar atau masih dibawah kemampuan air maupun air laut. Perbandingan
C Cr Ni Mo Mn Si P S N Cu
0.03 21.5-23.5 7.5-
9.5
2.5-
3.5
0.50-
2.00
0.90 0.03 0.03 0.08-
0.20
0.75
Property Value
Tensile Strength 100 Ksi (690 Mpa)
Elongation 20 %
12
koefisien transfer panas dari logam berbeda-beda terhadap suhu permukaan
logam, semakin tinggi koefisien maka semakin tinggi temperatur
permukaannya. Pendinginan menggunakan udara akan didapatkan hasil yang
standar dan menjadi perbandingan untuk pendinginan cepat menggunakan
air.(Adie P, 2008).
2. Air
Air juga termasuk media paling umum dan murah seperti bahan media
udara. Air efektif menghancurkan kerak dari permukaan baja keluar dari
tungku permanas tanpa perlindungan atmosferik. Air digunakan dimanapun
proses pendinginan tidak menghasilkan distorsi atau retakan yang berlebihan,
contohnya pada baja tahan karat austenitic yang telah dilaku panas. Air dingin
adalah salah satu fluida aktif yang tersedia bebas dan mampu memaksimalkan
laju pendinginan. Saat suhu air meningkat, fase penguapan menjadi lebih
panjang, dan laju pendinginan maksimum akan menurun tajam (ASM
Handbook, 2006). Dengan pendinginan cepat akan didapatkan nilai kekerasan
yang lebih tinggi, presentase ferrite lebih besar dan berpengaruh pada laju
korosinya.
3. Air Laut
Air laut yang dimaksud disini adalah yang mengandung ion garam seperti
natrium klorida. Laju pendinginan yang dihasilkan oleh larutan garam lebih
tinggi daripada air pada Temperature yang sama membuat air laut menjadi
penghantar panas yang paling baik. Penggunaan media pendingin air laut ini
biasanya pada saat quenching dengan media air tidak dapat menghasilkan
kekerasan permukaan yang diinginkan. Kekurangannya bersifat korosif.
Idealnya besarnya kandungan NaCl atau Salinitas air adalah sebesar 3,5 %.
Rendahnya suhu tidak terlalu berpengaruh terhadap laju pendinginan, Sehingga
yang membedakan dari Air biasa adalah kandungan garamnya yang membuat
pendinginan Air laut menjadi lebih cepat dan mengeraskan material (Adie P,
2008).
13
2.5 Korosi
Korosi atau pengkaratan sangat lazim terjadi pada besi. Besi merupakan
logam yang mudah berkarat. Karat besi dihasilkan pada peristiwa korosi, yaitu
berupa zat padat berwarna coklat kemerahan yang bersifat rapuh dan berpori.
Rumus kimia dari karat besi adalah Fe2O3 x H2O. Besi akan habis menjadi
karat jika dibiarkan lama kelamaan.
Korosi terjadi karena bertemunya 4 elemen yaitu : Anoda, Katoda,
Elektrolit, dan Konduktor. Masing-masing elemen tersebut memiliki peran
tersendiri. Misal : Anoda yang lebih reaktif akan mendonorkan elektroda
menuju katoda melalui konduktor yang menghubungkan anoda dan katoda.
Selanjutnya katoda menerima elekton dari anoda untuk selanjutnya bereaksi
secara kimia dengan elektrolit. Reaksi kimia ini berlangsung dan hasil akhirnya
adalah sesuatu yang kita kenal karat,
Solusi yang dapat digunakan dengan memutuskan salah satu elemen
penyebab korosi tersebut, misal dengan dilakukannya perlakuan coating.
Tujuannya adalah agar besi tidak terhubung dengan elektrolit.
2.6 Pengujian
Jenis pengujian adalah salah satu cara untuk mengambil data pada sebuah
penelitian. Penelitian kali ini akan digunakan pengujian metallography,
kekerasan dan laju korosi.
2.6.1 Metalloghrapy test (mikro)
Metalografi merupakan suatu metode untuk mengamati struktur
mikro logam dengan menggunakan mikroskop optis dan mikroskop
elektron. Sedangkan struktur yang terlihat pada mikroskop tersebut
disebut mikrostruktur. Pengamatan tersebut dilakukan terhadap
spesimen yang telah diproses sehingga bisa diamati dengan pembesaran
tertentu. Permukaan logam dapat diamati secara metalografi, maka
terlebih dahulu dilakukan persiapan sebagai berikut (William, 2004).
1. Grinding and Polishing
14
Proses grinding dan pemolesan dilakukan dengan bantuan grinding
machine. Tujuan proses ini adalah untuk meratakan permukaan
spesimen kemudian menghaluskannya. Proses grinding dilakukan
dengan menggosokan permukaan material pada kertas gosok mulai
dari grid 80 secara bertahap sampai 5000. Penggantian kertas gosok
dilakukan apabila alur gosok pada permukaan spesimen telah
menggosokan spesimen pada polisher yang telah dibasahi dan
dibubuhi bubuk alumina. Tahap selanjutnya dialirkan air setetes demi
setetes untuk melarutkan bubuk aluminanya secara perlahan (air
berfungsi sebagai partikel abrasive) (Uchidarokakuho, 1983).
2. Electrolysis
Proses etsa dilakukan dengan tujuan untuk dapat mengamati
adanya perbedaan struktur mikro pada spesimen. Proses etching bisa
dilakukan dengan metode elektrolisis dengan menggunkan larutan
Oxalid Acid sesuai dengan dan arus listrik searah (Struers, 2016).
Metode elektrolisis yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Menyiapkan alat berupa : power supply DC 12V 3A dengan kabel
anoda dan katoda, gelas ukur, gelas beaker.
2. Mengambil air 500 mL dalam gelas beaker.
3. Tambahkan Oxalid Acid sebanyak 25 gram, lalu aduk.
4. Capit specimen pada katoda, dan capit logam tembaga anoda.
5. Masukkan kedua anoda dan katoda pada gelas beaker.
6. Nyalakan power supply dan tunggu 60 detik.
7. Angkat specimen dan siram dengan air bersih lalu keringkan
dengan dryer.
3. Observasi
Pengamatan dilakukan setelah di electrolysis maka selanjutnya
spesimen diamati dengan mikroskop lalu struktur mikro yang tampak
diambil dan kemudian dicocokkan dengan struktur mikro yang ada
15
pada handbook sesuai standard spesimen. Prinsip pengamatan
metalografi sesuai dengan Gambar 2.5.
Gambar 2. 5 Pengamatan (Uchidarokakuho, 1983)
2.6.2 Hardness test (kekerasan)
Adalah salah satu sifat mekanik (Mechanical properties) dari suatu
material. Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk
material yang dalam penggunaanya akan mangalami pergesekan
(frictional force) dan deformasi plastis. Deformasi plastis sendiri suatu
keadaan dari suatu material ketika material tersebut diberikan gaya maka
struktur mikro dari material tersebut sudah tidak bisa kembali ke bentuk
asal artinya material tersebut tidak dapat kembali ke bentuknya semula.
Lebih ringkasnya kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan suatu
material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan).
Pengujian kekerasan dengan metode Vickers bertujuan menentukan
kekerasan suatu material dalam yaitu daya tahan material terhadap
indentor intan yang cukup kecil dan mempunyai bentuk geometri
berbentuk piramid. Beban yang dikenakan juga jauh lebih kecil
dibanding dengan pengujian rockwell dan brinel yaitu antara 1 sampai
1000 gram. Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil
bagi (koefisien) dari beban uji (F) dengan luas permukaan bekas luka
tekan (injakan) dari indentor (diagonalnya) (A) yang dikalikan dengan
sin (136°/2).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengujian Vickers :
1. Permukaan harus rata, halus dan dapat ditumpu dengan baik pada
permukaan horizontal.
16
2. Identor yang digunakan adalah pyramid intan yang beralas bujur
sangkar dengan sudut puncak 136° seperti pada Gambar 2.6
Gambar 2. 6 Pengujian Hardness Vickers (Callister, 2007 )
3. Pada pelaksaannya waktu yang digunakan 10-30 detik
4. Nilai kekerasan dapat dihitung dengan persamaan 2.1 dibawah ini.
𝐷𝐻𝑃 =2𝑃 sin(
𝑎
2)
𝑑2 = 1,854 𝑃
𝑑2 (2.1)
Dengan
P = Gaya tekan (kgf)
α = 136°
d = diagonal identasi (mm)
2.6.3 Ketahanan Korosi
Laju korosi adalah kecepatan rambat atau kecepataan penurunan
kualitas material logam terhadap waktu. Menghitung laju korosi
dibedakan menjadi beberapa cara, yaitu :
1. Metode kehilangan berat, adalah perhitungan laju korosi dengan
mengukur kekurangan berat akibat korosi yang terjadi. Metode ini
menggunakan jangka waktu penelitian hingga mendapatkan jumlah
kehilangan akibat korosi yang terjadi.
2. Metode elektrokimia, adalah metode mengukur laju korosi dengan
mengukur beda potensial objek hingga didapat nilai laju korosi.
Pada penelitian ini akan menggunakan metode laju korosi
elektrokimia. Spesimen uji akan direndam pada larutan seperti simulasi
pada Gambar 2.7 untuk beberapa waktu. Larutan yang digunakan sesuai
17
dengan aplikasinya pada lapangan yaitu air laut. Untuk mendapat nilai
korosi digunakan persamaan 2.2 sebagai berikut:
𝐶𝑅 = 𝐾1 𝑥 𝑖 𝑐𝑜𝑟
𝑝 𝑥 𝐸𝑊 (2.2)
Dengan
CR = Laju Korosi (mm/yr) untuk icor (µA/cm2)
K1 = 3,27 x10ˉ ³ (mm g/ µA cm yr)
icor = rapat arus (µA/cm2)
EW = Equivalent Weight (g/mol)
P = Density (g /cm³) ( 7,98 g/cm3)
Gambar 2. 7 Pengujian Korosi dengan Sel Tiga Elektroda (ASTM G5, 2004)
2.6.4 Pengujian Komposisi Kimia
Pengujian Komposisi kimia bertujuan untuk mengetahui kandungan
unsur-unsur pada hasil pengelasan. Pengujian komposisi kimia dengan
menggunakan spektrometer. Setiap unsur yang terkandung dalam suatu
material akan memberikan pengaruh pada material tersebut, dengan
mengetahui komposisi kimia dari suatu material maka dapat diketahui
sifat atau karakteristik dari material tersebut (wiryosumarto, 2004).
1. Pengaruh Karbon (C)
Karbon merupakan unsur pengerasan pada baja, penambahan
karbon akan meningkatkan kekerasan dan kekuatan tarik baja
18
diiringi penurunan harga impact. Jika kadar karbon meningkat diatas
0,85%, kekuatan akan turun meskipun kekerasan relatif tetap.
2. Pengaruh Mangan (Mn)
Kandungan mangan lebih kurang 0,6% tidak mempengaruhi sifat
baja, mangan tidak memberikan pengaruh besar pada struktur baja
dalam jumlah rendah. Penambahan mangan dapat menaikkan kuat
tarik, sehingga baja dengan penambahan mangan bersifat kuat.
3. Pengaruh Posfor (P)
Posfor pada baja meningkatkan kekuatan baja dan ketahanan
terhadap korosi, kadar maksimal 0,05% dan jika kandungan posfor
meningakat, maka elastisitas dan ketahanan tinggi sering dijumpai
pada baja.
4. Pengaruh sulfur (S)
Sulfur adalah suatu zat yang terdapat pada baja tapi keberadaanya
tidak diinginkkan karena membentuk besi sulfida yang mempunyai
titik leleh rendah dan rapuh. Kandungannya harus di bawah 0,05%.
5. Pegaruh silikon (Si)
Yang berpengaruh menaikkan tegangan tarik, saat silikon
dibawah 0,3% maka hal ini akan meningkatkan kekuatan tanpa
menurunkan elastilistas dan jika kandungan silikon melebihi 0,4%
akan ditandai penurunan elastisitas.
6. Pengaruh Cromium (Cr)
Cromium bersifat tahan terhadap korosi maka dar itu unsur
cromium sangat dibutuhkan, selain tahan terhadap korosi, unsur
cromium juga meningkatkan mampu las terhadap baja
7. Pengaruh Nikel (Ni)
Nikel memberikan pengaruh sama seperti Mn yaitu menurunkan
suhu kritis dan kecepatan pendinginan kritis. Nikel membuat
struktur butiran menjadi halus dan menambah keuletan, kekuatan,
ketangguhan, dan tahap terhadap terhadap korosi.
19
3.6.5 Ferrite Content
Ferrite Content merupakan pertimbangan penting dalam duplex
stainless steels karena efek ketahanan korosi dan kerentanan terhadap
retak. Ferrite meter adalah alat yang digunakan untuk pengukuran ferrite
content yang akurat dan direkomendasikan menjadi yang terbaik biasa
digunakan di pengukuran ferit pada daerah hasil lasan, alat yang digunakan
ini sesuai dengan Gambar 2.8. Probe adalah bagian yang ditembak ke
material dan didapatkan hasilnya.
Gambar 2. 8 Ferrit Meter (Diverse, 2015)
20
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
21
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian
Langkah-langkah penelitian pada pelaksanaan Tugas Akhir ini akan
dilakukan sesuai dengan diagram alir yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.
Mulai
Studi literatur Studi lapangan
Perumusan
masalah
Persiapan alat
dan bahan
Pengelasan specimen
dengan proses GTAW
Pendinginan media
udara (normal
cooling)
Pendinginan media
air (rapid cooling)
Pembuatan
test piece
A
Pendinginan media air
laut (rapid cooling)
22
Gambar 3. 1 Diagram Alir Penelitian
3.2 Studi Literatur
Studi literatur meliputi refrensi-refrensi dan data-data yang dijadikan
sebagai acuan dalam pengerjaan penelitian terhadap pengelasan duplex
stainless steel SA790 UNS31803 dengan media pendingin (udara, air dan air
laut) terhadap presentase ferit, laju korosi, komposisi kimia, nilai kekerasan
yang dihasilkan dan digunakan sebagai acuan pelaksanaan tugas akhir.
3.3 Studi Lapangan
Studi lapangan meliputi identifikasi masalah yang terjadi ketika proses
pekerjaan berlangsung ataupun masalah yang timbul setelah proses pekerjaan
selesai di perusahaan (On the Job Training). Pada tahap ini dilakukan
pengamatan terhadap proses pengelasan duplex stainless steel SA790
UNS31803, difabrikasi dengan pengelasan GTAW membentuk sebuah
Analisa
Kesimpulan
Selesai
A
Pengujian :
Uji mikro struktur
Ferrit content
Uji hardness
Uji Corrotion rate
Uji Komposisi Kimia (Weld
Metal)
23
produk/spool. Setelah proses pengelasan dilakukan pendinginan dengan media
udara, air dan air laut sehingga menjadi acuan dalam pelaksanaan penelitian.
3.4 Perumuan Masalah
Berdasarkan dari observasi lapangan, studi lapangan dan studi literatur
maka ditetapkan suatu masalah yang akan diangkat sebagai topik dengan
Pengaruh media pendingin pada pengelasan duplex stainless steel yang akan
berpengaruh terhadap struktur mikro, ferrite content, nilai kekerasan,
komposisi kimia dan laju korosi. Dari dasar itu akan dilakukan suatu analisa
untuk melengkapi Tugas Akhir.
3.5 Persiapan alat dan Bahan
Persiapan alat dan bahan meliputi apa yang akan digunakan dalam
penelitian, berikut merupakan alat dan bahan yang digunakan.
3.5.1 Bahan
Adapun bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Pipa duplex stainless steel SA790 UNS31803 Ø 2” sch 80S yang
dipotong 50mm sebanyak 12 benda kerja.
2. Filler metal yang dipakai adalah ER2209
3. Argon UHP 99,99 %
4. Media pendingin (air dan air laut)
3.5.2 Alat
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Mesil las GTAW
2. Gerinda
3. Mesin bevel / bubut
4. Welding gauge
5. Sikat baja
24
3.6 Proses Pengelasan Specimen
Proses pengerjaan pengelasan pada penelitian ini dilakukan di PT. PAL
Surabaya . Adapun proses sebelum dilaksanakan pengelasan yaitu fit-up. Fit-
up digunakan untuk menunjang persiapan sebelum material dilakukan
pengelasan. Langkah-langkah persiapan pengelasan sebagai berikut:
a. Material dipotong dengan panjang masing – masing 50 mm sebanyak 12
benda kerja (6 joint)
b. Membuat sudut bevel 30º sesuai dengan Gambar 3.2
Gambar 3. 2 Dimensi Sambungan Pipa
c. Proses pengelasan menggunakan backing gas berjenis argon dengan
kemurnian 99.9%.
d. Proses pengelasan ini dilakukan dengan proses pengelasan GTAW dengan
posisi 1G pada penyambungan root, filler pass dan caping. Pada kawat isi
root, pass, dan caping menggunakan filler ER 2209. Proses pengelasan yang
akan dilakukan adalah seperti Gambar 3.3.
Gambar 3. 3 Persiapan pengelasan
25
3.7 Proses Pendinginan
Proses pendinginan dilakukan setelah proses pengelasan selesai. Ada
beberapa media pendinginan yang dipakai sebagai berikut :
3.7.1 Pendinginan dengan Media Udara (Normal)
Setelah proses pengelasan spesimen selesai dilanjutkan dengan
pendinginan dengan menggunakan media udara yang dibiarkan dalam
temperatur ruangan. Setelah pengelasan 1 layer spesimen dibiarkan
hingga temperatur interpass, lalu dilanjutkan sampai dengan capping.
3.7.2 Pendinginan dengan Air dan Air laut (cepat)
Setelah proses pengelasan spesimen selesai selanjutnya diberikan
perlakuan yaitu dengan cara dibalut dengan kain basah. Pendinginan
dilakukan setelah pengelasan 1 layer langsung dibalut dengan kain dan
dibiarkan hingga mencapai temperatur interpass, lalu dilanjutkan lagi
dengan layer berikutnya, sampai dengan capping. Proses ini berlaku juga
pada pendinginan dengan media air laut.
3.8 Parameter Pengelasan
Proses pengelasan Duplex Stainless Steel SA790 UNS31803 memakai
GTAW dengan posisi 1G, menggunakan filler metal ER2209 sandvik dengan
diameter 2” dan 2,4”, dan menggunakan backing gas Argon 99,9% dengan
flowrate 15 L/menit. Lalu didinginan dengan media udara, air, dan air laut
hingga temperatur interpass. Didapatkan hasil sesuai dengan Tabel 3.1
Tabel 3.1 Parameter Pengelasan
Media Layer Ampere
(A)
Voltage
(V)
Time
(minute)
Travel Speed
(mm/min)
Heat Input
(KJ/min)
Udara(1)
Root 65 10 7,53 25,23 1,54
Filler 101 10 3,32 57,23 1,06
Capping 108 10 4,28 44,39 1,46
Udara (2)
Root 62 10 8,46 22,45 1,66
Filler 101 11 4,04 47,03 1,42
Capping 102 10 5,57 34,11 1,79
26
Sumber: dokumentasi Pribadi
Dari parameter tersebut Ampere yang digunakan welder untuk mengelas pada
daerah root sebesar 62 - 65A, sedangkan filler dan capping sebesar 101 - 108A.
Waktu pengelasannya pun cukup bervariasi, pada root memerlukan 6,05 - 8,48
menit, sedangkan filler dan capping memerlukan 3,32 – 5,57 menit. Heat Input
yang diterima oleh material sebesar 1,06 – 1,79 KJ/min.
3.9 Pembuatan Test Piece
Pemotongan test piece dapat dilakukan sekalian pada pengujian
metalografi, pengujian kekerasan dan pengujian laju korosi sekaligus,
bertujuan untuk mempersingkat waktu. Spesimen dipotong dengan ukuran
tertentu dan diharapkan dengan keadaan datar sehinga dapat memudahkan
pengamatan. Spesimen uji mikro yang digunakan pada penelitian ini memiliki
dimensi panjang 50 mm, dan lebar 30 mm (kondisional) seperti Gambar 3.4.
Gambar 3.4 Spesimen uji
Air (1)
Root 62 10 7,20 26,39 1,41
Filler 101 11 3,20 59,37 1,12
Capping 102 11 4,54 41,85 1,61
Air (2)
Root 65 10 8,06 23,57 1,65
Filler 101 10 4,23 44,92 1,35
Capping 102 10 4,16 45,67 1,34
Air Laut
(1)
Root 66 11 6,05 31,40 1,39
Filler 108 10 4,54 41,85 1,55
Capping 108 10 4,21 45,21 1,43
Air Laut
(2)
Root 65 10 8,33 22,81 1,71
Filler 108 10 4,30 44,19 1,47
Capping 108 11 4,54 41,85 1,70
27
3.10 Pengujian
3.10.1 Pengujian Mikro Struktur
Pengamatan mikrostruktur betujuan untuk melihat karakteristik fasa-
fasa yang terbentuk dengan menggunakan mikroskop optik yang
dilengkapi kamera digital. Adapun peralatan dan bahan yang dibutuhkan
saat pengujian mikro :
1. Kertas amplas (grid 320-1500)
2. Kain wool
3. Oxalid acid
4. Autosol
5. Dryer
6. Mikroskop optik
7. Mesin Polishing
Proses preparasi dilakukan sebelum adanya proses pengamatan
mikrostruktur dan analisa kandungan ferit. Berikut merupakan proses
preparasi yaitu:
1. Grinding menggunakan mesin amplas dengan kertas amplas secara
bertahap, mulai dari grid yang kecil 320 (paling kasar) sampai grid
besar 1500 (paling halus). tujuannya untuk meratakan permukaan
sampel. Selama pengamplasan, sampel dan kertas amplas harus dialiri
air seperti Gambar 3.5. Pengamplasan dilakukan sampai didapat
permukaan yang memadai dan tidak terdapat goresan kasar pada
permukaan. Selanjutnya kain wool dipasang pada polishing machine,
specimen diberi serbuk alumina dan di polish hingga seperti kaca.
Gambar 3.5 Proses polishing
28
2. Etching/Elektrolisis dilakukan untuk dapat mengamati perbedaan
mikrostruktur yang akan terjadi pada permukaan specimen Proses
yang yang dilakukan adalah elektrolisis, dengan larutan Oxalid Acid
sesuai dengan Gambar 3.6.
Gambar 3. 6 Pelaksanaan Electrolysis
1. Power supply DC 12 V 3A dengan kabel anoda dan katoda, gelas
ukur, gelas breaker.
2. Air sebanyak 500 mL dan tuangkan pada gelas breaker.
3. Lalu campur dengan Oxalid Acid sebanyak 25 gram lalu aduk.
4. Capit specimen pada katoda dan capit logam tembaga pada anoda
lalu masukkan anoda dan katoda pada gelas breaker.
5. Nyalakan power supply dan tunggu 60 detik
6. Lalu angkat dan bersihkan specimen dengan air dan keringkan
dengan dryer.
3. Pengamatan dengan Mikroskop
1. Meletakkan specimen dibawah lensa mikroskop dengan posisi
permukaan yang rata
2. Mengatur perbesaran ( 100x, 200x, dan 500x) lalu nyalakan lampu
dan atur fokusnya.
3. Mengambil foto struktur mikro yang tampak dilakukan pada daerah
HAZ, Weld Metal dan Base Metal
4. Menganalisa hasil struktur mikronya
29
3.10.2 Pengujian Hardness
Pengujian Hardness bertujuan untuk mengetahui kekerasan dari suatu
material batas anatar HAZ, WM, dan BM dari masing-masing spesimen.
Adapun peralatan dan bahan yang dibutuhkan saat hardness test sebagai
berikut:
1. Mesin Uji Kekerasan
2. Polishing Manchine
3. Spesimen uji kekerasan
a. Persiapan spesimen uji bisa memakai specimen uji mikro, atau spesimen
baru yang meliputi :
1) Material uji di haluskan permukaanya dengan mengunakan polishing
machine dengan grid 320 sampai grid 1000. Setelah polishing selesai
keringkan dengan tissue
2) Etching sama dengan uji mikro memakai oxalid acid.
b. Dibuat sketsa beberapa titik dengan mengunakan pensil untuk daerah
yang diamati sesuai Gambar 3.7.
Gambar 3. 7 Pembebadan Identor di 21 Titik
c. Ditentukan beban identor sesuai diameter dan jenis identor yang
digunakan. dalam penelitian ini menggunakan beban 1 kg dan waktu
indentasi selama 15 detik.
d. Capit spesimen dengan ragum dan atur sesuai titik yang telah ditentukan.
e. Sesuaikan pembesaran hingga terlihat struktur mikro di mikroskopnya.
f. Geser handle untuk menempatkan indentor pada titik yang telah
ditentukan.
30
g. Setelah 15 detik indentor akan secara otomatis beralih, lihat pada
mikroskop mesin hardness kemudian geser garis yang ada didalam
mikroskop hardness.
h. Setelah garis yang ada menyentuh ujung diagonal-diogal dari hasil
identasipada tekan tombol on pada handle mirkroskop hardness.
Gambar 3.8 Identasi hardness
i. Setelah itu nilai hardness keluar, dan catat pada worksheet.
3.10.3 Pengujian Laju korosi
Corrosion test mengunakan metode sel tiga elektroda dengan
mengacu pada ASTM G5. Larutan pengkorosi mengunakan air laut.
Untuk perhitungan laju korosi mengacu pada ASTM G102. Untuk
pengujain sel tiga elektrode mengunakan alat dan bahan sebagai berikut:
1. Sampel logam (komposisi kimia diketahui, density diketahui).
2. Electroda acuan calomel jenuh Ag/AgCl
3. Gelas kaca pengujian
4. Larutan air laut
5. Elektroda counter (Platina)
Pengujian laju korosi dilakukan menggunakan sel tiga elektroda linier
polarization PGstat autolab dengan dibantu dengan SOFTWARE
NOVA. Spesimen dilakukan pengujian korosi dengan metode sel tiga
elektroda sebelumnya spesimen harus benar-benar bersih permukaanya.
Cara kerja dari pengujian ini yaitu :
1. Persiapan spesimen dengan menutup base metal menggunakan cat lalu
dibalut dengan plastisin.
31
2. Mengitung luas permukaan weld metal.
3. Membuat larutan elektrolit tertentu, disini saya menggunakan larutan
air laut dengan volume 1000 ml.
4. Atur rangkaian kerja dimana arus power supply dialirkan menuju
elekroda kerja (working electrode), melalui elektroda bantu (counter
electrode) dimana working electrode adalah sampel dan counter
electrode adalah platina.
5. Atur rangkaian kerja dimana pengukuran potensial dari elekroda kerja
menggunakan elektroda acuan (reference) yang dihubungkan dengan
peralatan potensiostat galvanostat autolab melalui seperangkat
computer dengan NOVA Software sesuai dengan skema pengujian
potensio dinamik - polarisasi elektrokimia sesuai dengan Gambar 3.9.
6. Lakukan pengujian dengan memasukkan input potensial awal pada
NOVA Software kemudian scan rate sampai pada potensial akhir,
dimana prinsipnya kutub negatif dari power supply dihubungkan
dengan elektroda kerja maka elektroda itu akan terpolarisasi sebagai
katoda dan counter electrode pada kutub positif maka akan
terpolarisasi sebagai anoda.
7. Hasil pengujian yaitu berupa kurva polarisasi dan dan data corrosion
rate dari NOVA Software.
Gambar 3.9 Pengujian laju korosi
32
3.10.4 Pengujian Komposisi Kimia
Dilakukan guna mendapatkan nilai komposisi kimia yang berada pada
daerah weld metal. Adapun peralatan dan bahan yang dibutuhkan saat
pengujian komposisi kimia sebagai berikut:
1. Spesimen.
2. Optical Emission Spectrometer
3. Argon
Langkah Kerja:
1. Siapkan argon dengan tekanan sebesar 3 bar.
2. Koneksikan power supply guna menyalakan alat.
3. Nyalakan komputer pada alat tersebut.
4. Nyalakan spectrometer.
5. Pilihlah “analysis” pada analitical program.
6. Pilih menu item “Mode”, klik “Argon Flush” pada bagian bawah,
biarkan selama satu menit, lakukan lagi dan berhentikan.
7. Lihat hasilnya, apakah sesuai ataupun tidak dengan yang diinginkan.
8. Bila hasilnya “Ok” maka “analysis” sudah didapatkan.
3.10.5 Pengujian Ferrite Content
Untuk melihat kandungan ferrite pada logam las maka dilakukan
pengujian ferrite content. Adapun peralatan dan bahan yang dibutuhkan
saat ferrite content sebagai berikut:
1. Spesimen
2. Ferrite scope
Langkah-langkah dalam pengujian ferrite content adalah sebagai berikut:
1. Mempersiapkan spesimen yang akan di uji.
2. Menghaluskan dan meratakan daerah weld metal.
3. Mempersiapkan specimen yang alat uji yaitu ferrite scope.
4. Meletakkan pen ferrite scope pada spesimen dan catat hasilnya.
33
3.11 Pembahasan
Analisa data dilakukan setelah data hasil dari pengujian spesimen uji dari
pengelasan duplex selesai. Data serta hasil dari pengujian akan di analisa dan
dibandingkan dengan pembandingan yang telah di tentukan.
3.12 Kesimpulan
Kesimpulan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan media pendinginan dan didapatkan dengan melalui analisa data
sebagai bahan pembahasan berdasarkan rumusan masalah yang ada.
34
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
35
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Struktur Mikro
Pada pengujian Struktur mikro dilakukan pengambilan gambar pada daerah
Base metal, HAZ, dan Weld metal. Pada daerah Weld metal dilakukan
pengambilan gambar tiap layernya karena di setiap layernya dilakukan
pendinginan. Kemudian pengambian gambar sesuai dengan Gambar 4.1.
Gambar 4.1 Titik Pengambilan Foto Mikro
Gambar struktur mikro diambil dari pembesaran 200x, dan 500x, dan
didapatkan hasil seperti pada Tabel 4.1 dibawah ini. Dari pendinginan udara,
air, dan air laut terdapat perbedaan sebagai berikut.
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Struktur Mikro
Base Metal
200X 500X
Med
ia U
dar
a
Med
ia A
ir
36
Med
ia A
ir L
aut
Weld Metal (root)
200X 500X
Med
ia U
dar
a
Med
ia A
ir
Med
ia A
ir L
aut
37
Weld Metal (capping)
200X 500X
Med
ia U
dar
a
Med
ia A
ir
Med
ia A
ir L
aut
HAZ
200X 500X
Med
ia U
dar
a
38
Sumber: dokumentasi pribadi
Setelah dilakukan pengujian mikro pada specimen media pendinginan dengan
perbesaran 200x dan 500x maka didapatkan hasil untuk struktur mikro base metal
tidak mengalami perubahan dikarenakan pada area ini tidak terpengaruh panas dari
hasil pengelasan. Sehingga membuat struktur mikro pada base metal tidak berubah.
Struktur mikro pada HAZ, tidak terlalu mengalami banyak perubahan. Sehingga pada
daerah HAZ strukturnya relatif sempit dan masih sama antara media pendingin.
Untuk pembuktian sendiri memakai imageJ seperti pada Gambar 4.2 dibawah ini.
Gambar 4.2 Analysis ImageJ pada struktur mikro
Med
ia A
ir
Med
ia A
ir L
aut
Area terang menunjukkan fasa austenit
Area gelap menunjukkan fasa ferit
39
Didapatkan hasil presentase ferrite sesuai Tabel 4.2. Pada media pendingin
udara didapatkan persentase ferrite paling kecil, lalu pada pendingin air didapatkan
persentase ferrite medium, dan yang paling tinggi pada pendingin air laut
Tabel 4.2 Persentase ferrite dari Struktur mikro menggunakan ImageJ
Sumber: dokumentasi pribadi
Hasil pengujian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Pengky Adie (UI,
2008), dan sesuai dengan buku Duplex Stainless Steel Microstructure. Untuk
memperjelasnya dibuat grafik sesuai dengan presentase ferrite pada struktur mikro
dari Tabel 4.2 pada Gambar 4.3 dibawah ini. (Robert, 2003)
Gambar 4.3 Grafik hubungan antara Media Pendingin dengan
% ferrite dari struktur mikro menggunakan imageJ
Perbedaan yang jelas terlihat pada capping dan root, pada daerah capping fasa
ferrite yang terbentuk lebih sedikit daripada root, dari persamaan regresi Y =
42,3543,55
49,1148,55
51,89
56,456,92
58,13
62,09
y = 3,38x + 38,243R² = 0,8782
y = 3,925x + 44,43R² = 0,9926
y = 2,585x + 53,877R² = 0,9138
HAZ Capping Root
Udara Air Air Laut
% F
erri
te
Spesiment % ferrite
WM (root) WM (Capping) HAZ
Media Udara 1 48,26 43,64 41,35
Media Udara 2 49,96 43,46 43,36
Rata-rata 49,11 43,55 42,35
Media Air 1 56,36 50,43 48,13
Media Air 2 56,44 53,35 48,97
Rata-rata 56,40 51,89 48,55
Media Air Laut 1 62,74 58,09 55,15
Media Air Laut 2 61,44 58,18 58,68
Rata-rata 62,09 58,13 56,92
Media Pendinginan
40
2,585X +53,877 dan nilai R2 = 0,9138, menunjukkan bahwa peningkatan media
pendingin terhadap persentase ferrite root sebesar 91%. Sedangkan dari persamaan
regresi Y=3,925X +44,43 dan nilai R2 = 0,9926, menunjukkan bahwa peningkatan
media pendingin terhadap persentase ferrite capping sebesar 99%. Sedangkan dari
persamaan regresi Y = 3,38X +38,243 dan nilai R2 = 0,8782, menunjukkan bahwa
peningkatan media pendingin terhadap persentase ferrite HAZ sebesar 87%. Hasil
pengujian ini Sesuai dengan penelitian sebelumnya Pengky Adie (2008) semakin
cepat laju pendinginannya semakin banyak ferrite dan semakin rapat.
4.2 Pengujian Ferrite Content
Setelah Dilakukannya proses pengelasan dengan menggunakan variasi
media pendinginan, dilakukan pengujian guna menentukan kandungan ferrite
karena kandungan ferrite pada material duplex stainless steel sangat
mempengaruhi nilai kekerasan pada material tersebut. Pada pengujian ini yang
diamati adalah daerah weld metal terutama capping, root, dan penampang
melintangnya. Pengujian ini menggunakan alat yang bernama ferrite scope dan
mendapatkan nilai sesuai dengan Tabel 4.3 dibawah ini.
Tabel 4.3 Hasil pengujian ferrite content menggunakan ferrite scope
Spesiment Root Capping Cross section
Media Udara 1 49,0 44,6 42,6
Media Udara 2 48,4 46,3 45,4
Rata-rata 48,7 45,4 44,0
Media Air 1 54,8 53,6 52,1
Media Air 2 56,4 53,7 56,2
Rata-rata 55,6 53,6 54,2
Media Air Laut 1 62,6 57,9 64,8
Media Air Laut 2 64,0 58,6 63,2
Rata-rata 63,3 58,2 64,0
Sumber : dokumentasi pribadi
Dari Tabel 4.3 menunjukkan bahwa pengaruh yang cukup besar pada
penambahan nilai ferrite. Dapat dijelaskan bahwa pendinginan dengan cepat
dapat menambah nilai ferrite dari material. untuk lebih jelasnya lihat pada
Gambar 4.4.
41
Gambar 4.4 Grafik hubungan antara media pendinginan dengan
% ferrite hasil ferrite scope
Dari gabar 4.4 persamaan regresi Y = 7,3X + 41,267 dan nilai R2 = 0,999,
menunjukkan bahwa peningkatan media pendingin terhadap persentase ferrite
root sebesar 99%. Lalu persamaan regresi Y = 6,4X + 39,6 dan nilai R2 =
0,9743, menunjukkan bahwa peningkatan media pendingin terhadap
persentase ferrite capping sebesar 97%. Dan persamaan regresi Y = 10X +
34,067 dan nilai R2 = 0,9999, menunjukkan bahwa peningkatan media
pendingin terhadap persentase ferrite cross section sebesar 99%. Dari
pengujian ini menunjukkan bahwa pendinginan dengan cepat dapat menaikkan
nilai ferrite pada daerah pengelasan. Pengujian ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya oleh Pengky Adie (2008), dan sesuai dengan buku Duplex
Stainless Steel Microstructure. (Robert, 2003)
4.3 Pengujian Kekerasan
Pada pengujian Kekerasan dilakukan pengambilan titik identasi pada 3 titik
di Base metal, 9 titik di HAZ, dan 9 titik di Weld metal. Pada daerah Weld metal
dan HAZ dilakukan pengambilan gambar tiap layernya karena di setiap
layernya dilakukan pendinginan. Kemudian pengambian titik identasi sesuai
dengan Gambar 4.5
4454,2
64
45,4
53,6
58,2
48,7
55,6
63,3
Udara Air Air Laut
Cross-Section Capping Root
Media Pendingin
% f
erri
te
y = 6,4x + 39,6 R² = 0,9743
y = 10x + 34,067 R² = 0,9999
y = 7,3x + 41,267
R² = 0,999
42
Gambar 4.5 Pengambilan titik kekerasan
Spesimen pengujian kekerasan sebanyak 6 spesimen, tiap spesimennya
dilakukan pengambilan 21 titik untuk mengakuratkan nilai kekerasan. Nilai
rata-rata kekerasan tersebut dituangkan dalam tabel 4.4 berikut.
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Hardness Vickers (ratarata)
Hardness Vickers 1kgf (15 sec)
Spesimen
Lokasi Media Udara (HV) Media Air (HV) Media Air Laut (HV)
BM 252,1 252,0 251,6
HAZ 254,5 261,1 271,9
WM(capping) 253,9 261,7 289,8
WM(root) 263,4 272,8 293,4
Sumber : dokumentasi pribadi
Dari tabel 4.4 dapat disimpulkan bahwa nilai kekerasan akan semakin
meningakat apabila dilakukan pendinginan secara cepat. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada Gambar 4.6 mengenai perbandingan nilai kekerasan.
Gambar 4.6 Grafik hubungan antara media pendinginan dan nilai kekerasan
Dari Gambar 4.6 persamaan regresi Y = 15X + 246,53 dan nilai R2 = 0,9556,
menunjukkan bahwa peningkatan media pendingin terhadap persentase
kekerasan root sebesar 95%. dari persamaan regresi Y = 17,95X + 232,57 dan
252,1 252 251,6
254,5 261,1 271,9
253,9 261,7289,8
263,4 272,8 293,4
Udara Air Air Laut
Base Metal HAZ WM Capping WM Root
Media Pendingin
Hard
nes
s(H
V)
y = 15x + 246,53 R² = 0,9556
y = 17,95x + 232,57 R² = 0,9037
y = 8,7x + 245,1 R² = 0,9809
y = -0,25x + 252,4 R² = 0,8929
43
nilai R2 = 0,9037, menunjukkan bahwa peningkatan media pendingin terhadap
persentase kekerasan capping sebesar 90% . dari persamaan regresi Y = 8,7X
+ 245,1 dan nilai R2 = 0,9809, menunjukkan bahwa peningkatan media
pendingin terhadap persentase kekerasan HAZ sebesar 98%. dan dari
persamaan regresi Y = -0,25X + 252,4 dan nilai R2 = 0,8929, menunjukkan
bahwa peningkatan media pendingin terhadap persentase kekerasan base metal
sebesar 89%. Pada daerah Root memiliki kekerasan yang lebih besar dari
Capping dikarenakan setiap selesai pengelasan 1 layer dilakukan proses
pendinginan, sehingga daerah root lebih sering terpapar panas dan
pendinginan. Pengujian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Pengky
Adie (2008) dan sesuai ASME II Tabel 3 Tensile and Hardness Requirements
Maksimum kekerasan duplex SA790 adalah 292 HV. (ASME II, 2017)
4.4 Pengujian Laju Korosi
Pengujian laju korosi dilakukan guna mengetahui ketahanan korosi
manakah yang paling baik yang akan jadi acuan manakah media pendingin
yang baik untuk ketahanan korosi. Laju korosi dilakukan menggunakan larutan
air laut (NaCl) dan dilakukan pengujian dengan menggunakan metode
polarisasi pada spesimen duplex stainless steel dengan ketiga media
pendinginan (udara, air dan air laut). Adapun hasil dari laju korosi dapat dilihat
pada Tabel 4.5 dibawah. Didapatkan nilai ketahanan korosi yang paling rendah
(yang paling cepat terkorosi) pada spesimen media pendingin air laut sebesar
0,09 mm/years, dan yang paling tinggi ketahanan korosi (yang paling lambat
terkorosi) pada spesimen media pendingin udara sebesar 0,013 mm/years.
Tabel 4.5 Hasil pengujian ketahanan korosi
Spesiment Corrotion Rate
(mm/years)
Rata-rata
(mm/years)
Corrotion Resistance
Category
Media Udara 1 0,0188 0,0163
Outstanding
Media Udara 2 0,0138 Outstanding
Media Air 1 0,0351 0,0367
Excellent
Media Air 2 0,0384 Excellent
Media Air Laut 1 0,0904 0,0891
Excellent
Media Air Laut 2 0,0878 Excellent
Sumber : dokumentasi pribadi
44
Dari ke tiga variasi media pendinginan, didapatkan hasil bahwa media
pendingin udara memberikan ketahanan korosi yang paling baik yaitu sebesar
dan dilanjutkan dengan media pendingin udara dan yang paling buruk
ketahanan korosinya adalah media pendingin air laut yaitu sebesar lihat pada
Gambar 4.7.
Gambar 4.7 Grafik hubungan antara media pendingin dan laju korosi
Dari persamaan regresi Y = 0,0364X - 0,0254 dan nilai R2 = 0,9395,
menunjukkan bahwa peningkatan media pendingin terhadap persentase laju
korosi sebesar 93%. Pendinginan dengan cepat dapat mengurangi tahan korosi.
Disebabkan karena pendinginan cepat dapat meningkatkan ferrite dan
kandungan ferrite bersifat anodik sehingga lebih memicu terjadinya korosi.
Standar ketahanan korosi penelitian PungkyAde (2008) sesuai dengan NACE
International, An Introduction of Corrosion Basic, NACE Publishing, 1994.
Sesuai dengan Tabel 4.6 dibawah.
Tabel 4.6 Kategori Ketahanan Korosi Kategori Nilai Corr rate (mpy)
Outstanding < 1
Excellent 1 - 5
Good 5 - 20
Fair 20 - 50
Poor 50 - 200
Unacceptable > 200
Sumber: dokumentasi pribadi
Media Pendingin
0,0163
0,0367
0,0891
y = 0,0364x - 0,0254R² = 0,9395
Co
rro
tio
n R
ate
Media Pendingin
Udara
Air
Air Laut
45
Media pendinginan udara adalah media yang memberikan ketahanan korosi
paling baik daripada media pendinginan air dan air laut. Media udara sebesar
0.642 mpy sedangkan media air sebesar 1.445 mpy dan media air laut sebesar
3.508 mpy.
4.5 Pengujian Komposisi Kimia
Pengujian Komposisi dilakukan sebagai penunjang guna mendapatkan
komposisi kimia pada daerah weld metal. Penembakan dilakukan
menggunakan spektrometer. Dapat dilihat hasil dari komposisi yang terbentuk
dalam weld metal pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Hasil pengujian komposisi kimia
Spesiment Fe C Mn Cr Ni Mo Cu Si Other
Media Udara 62,8 0,055 0,74 24,6 6,9 3,73 0,18 0,42 0,575
Media Air 62,9 0,018 0,85 23,9 7,72 3,93 0,12 0,38 0,182
Media Air
Laut 62,8 0,021 0,94 23,8 7,79 3,9 0,11 0,39 0,014
Sumber : dokumentasi pribadi
Dari Tabel 4.7 dapat dilihat bahwa unsur Cromium paling tinggi pada
Pendinginan media dara yaitu 24,6% dan terkecil pada spesimen B yaitu
23,8%. Pada sebagian besar unsur-unsur tidak mengalami perubahan yang
besar atau tidak signifikan.
4.6 Hubungan Antar Pengujian
Untuk memperjelas hubungan antar pengujian maka dibuatlah
perbandingan antara Pengujian kekerasan, Pengujian ferrite content, dan
pengujian Laju Korosi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa media
pendinginan manakah yang paling baik digunakan sebagai media pendinginan
46
pada pengelasan duplex stainless steel. Untuk memperjelas perbandingannya
dapat dilihat pada Gambar 4.8 dibawah.
Gambar 4.8 Grafik perbandingan pengujian kekerasan, ferit konten, dan laju korosi
Dari Gambar 4.8 diatas dapat diketahui bahwa nilai hardness, ferrite
content, dan Corrotion Rate berbanding lurus. Semakin tinggi nilai ferrite
semakin tinggi pula nilai hardness dan corrotion ratenya. Semakin banyak
kandungan ferrite maka semakin keras material tersebut, dan ferrite bersifat anodik
sehingga semakin cepat korosi apabila kandungan ferrite semakin banyak.
46,03 %54,46 % 62,03 %
255,97 HV 261,9 HV 276,67 HV
0,016 mm/y 0,037 mm/y 0,089 mm/y
udara air air laut
Perbandingan Pengujian
Ferrite Hardness Corr Rate
47
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan telah dianalisa, maka
dibuatlah beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan pengujian struktur mikro, didapatkan hasil bahwa semakin
cepat laju pendingin dari media maka semakin banyak kandungan fasa
ferrite pada struktur mikro.
2. Berdasarkan pengujian ferrite content, didapatkan hasil bahwa semakin
cepat laju pendingin dari media maka semakin meningkat presentase
ferritenya. Pada root media udara sebesar 48,7% sedangkan media air
sebesar 55,6% dan media air laut sebesar 63,3%.
3. Berdasarkan pengujian hardness, didapatkan hasil bahwa semakin cepat
laju pendingin dari media maka semakin meningkat nilai kekerasannya.
Pada root media udara sebesar 253,9HV sedangkan media air sebesar
261,7HV dan media air laut sebesar 289,8HV.
4. Berdasarkan pengujian ketahanan korosi, didapatkan hasil bahwa semakin
cepat laju pendingin dari media maka semakin cepat pula material terkorosi
(semakin rendah ketahanan korosinya). Pada media udara bernilai
0,0163mm/y sedangkan media air sebesar 0,0367mm/y dan media air laut
sebesar 0,0891mm/y
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil beberapa saran
untuk penelitian berikutnya yaitu sebagai berikut:
1. Menambah variasi media pendingin dan metode pelaksanaannya.
2. Melakukan metode yang sama terhadap material duplex stainless steel
dengan grade/UNS yang lebih tinggi.
48
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
49
DAFTAR PUSTAKA
Adie Pengky. 2008. Pengaruh Quenching Terhadap Karakteristik Mekanis Dan
Ketahanan Korosi Pada Material Super Duplex Uns S32750 Lasan. Jakarta.
Universitas Indonesia.
Anees, Abdul. 2015. Influence Of Heat Treatment On Duplex Stainless Steel To
Study The Material Properties. IJSTR
ASM Handbook (March 2006) Quenching Steel, Volume 4, Heat Treating, ASM
International, 7th printing.
ASME. (2013). ASME Section IX, Welding, Brazing, and Fusing Qualifications.
New York: ASME Publishing.
ASME. (2017). ASME Section II Materials Part A Ferrous Material Specification.
New York: ASME Publishing
ASME. (2017). ASME Section II Materials Part C Specification for Welding Rods,
Electrodes, and Filler Metals. New York: ASME Publishing
ASTM G5. (2014). Standard Reference Test Method for Making Potentiodynamic
Anodic Polarization Measurements. ASTM, West Conshohocken.
Avesta. (2004). Welding Manual Practice fot Stainless Steel. Sweden.
Diverse. (2015). Ferrite Meter Measure Ferrite Content of Austenitic and Duplex.
Duniawan, Agus. 2012. Pengaruh Pwht terhadap Sifat Mekanik Sambungan Las
Tak Sejenis Austenitic Stainless Steel dan Baja Karbon. Yogyakarta.
AKPRIND
Gunn Robert. 2003. Duplex Stainless Steel Microstructure. Cambridge. Ablington
Publishing.
50
Kotecki, DJ. 1989. Heat Treatment of Duplex Stainless Steel Weld Metals. New
York. WRC Bulletin.
NACE International. 1994. An Introduction of Corrosion Basic, NACE Publishing.
Nsikan E. 2016. Quenching and Heat Treatment of Welded Duplex Stainless Steel
to Aviod Intergranular Corrosion. Malaysia. Asian Research publishing
Network.
Philadelphia. (2000). Specification Sheet: Duplex Stainless Steel. Sandmeyer Steel
Company.
Singh, Jatandeep. 2013. Welding of Duplex Stainless Steel. New Delhi.
International Journal
Struers. (2016). Metallographic Preparation of Stainless Steel. Denmark :
Pederstrupvej 84
Suharno, Bambang. (2008) Duplex Stainless Steel: Karakteristik, Metallurgy and
Materials Engineering Department University of Indonesia, Seminar Tira
Austenite.
Uchidarokakuho, H. S. (1983). Material Testing . Boston: MA-MR.
William D. C. Jr. (2004). Material Science and Engineering: An Introduction.
Toronto: John Wiley & Sons Publish.
Wiyosumarto, H. (2004). Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta: Pradnya Paramita.
Yunaidi. 2015. Pengaruh Viskositas Oli Sebagai Cairan Pendingin terhadap Sifat
Mekanis pada Proses Quenching Baja St 60. Yogyakarta. Politeknik LPP.
Yunus, Najamudin. 2016. Pengaruh Perlakuan Quenching-Tempering terhadap
Kekuatan Impak pada Baja Karbon Sedang. Lampung. UBL.
Y.J. Guo, T.Y. Sun. 2016. Microstructure Evolution and Pitting Corrosion
Resistance of the Gleeble-Simulated Heat-Affected Zone of a Newly
Developed Lean Duplex Stainless Steel 2002. Elsevier.
51
LAMPIRAN A
WPS
52
53
LAMPIRAN B
Parameter Pengelasan
54
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
55
LAMPIRAN C
Hasil Ferrite Content
56
57
58
59
LAMPIRAN D
Hasil Komposisi Kimia
60
61
62
(HALAMAN INI SENGAJA DI KOSONGKAN)
Recommended