View
221
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
6
TINJAUAN PUSTAKA
Vanili
Tanaman vanili merupakan warga dari famili Orchidaceae (anggrek-
anggrekan), yang merupakan famili terbesar dalam tanaman berbunga. Vanili
mempunyai 700 genus dan 20.000 spesies (Purseglove et al. 1981). Dari sekian
banyak jenis, jenis yang mempunyai nilai ekonomi yaitu V. planifolia, V.
pompona, dan V. tahitensis. Di antara ketiga jenis tersebut, V. planifolia atau
dikenal pula dengan V. fragnans Salisba Mens. mempunyai produksi yang lebih
tinggi dan lebih bermutu karena kadar vanillinnya yang lebih tinggi. V. planifolia
juga paling banyak dijumpai di Indonesia (Hadisutrisno 2005). Kedudukan
tanaman ini dalam sistematika tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Angiospermae
Subkelas : Monocotyledoneae
Ordo : Orchidales
Famili : Orchidaceae
Genus : Vanili
Species : Vanili spp.
Keadaan iklim yang diperlukan oleh tanaman vanili adalah suhu udara 25-
38oC, kelembaban udara sekitar 80%, dan hujan berulang-ulang tetapi tidak
banyak. Keasaman (pH) tanah yang dikehendaki adalah 6-7 dengan drainase yang
baik. Di Indonesia dengan curah hujan antara 2000-3000 mm per tahun pada
ketinggian 400-800 m di atas permukaan laut, tanaman vanili tumbuh dan
berproduksi dengan baik (Salim 1993). Tanaman vanili mulai berbunga setelah
dua tahun, mulai berbuah setelah 3 tahun dan mencapai hasil maksimal dalam 10-
12 tahun (Heath dan Reineccius 1986).
Buah vanili berbentuk kapsul (polong), bersudut tiga, bertangkai pendek,
panjang 10-25 cm, diameter 5-15 mm, dan permukaannya licin. Buah vanili akan
cukup masak dalam waktu 8-9 bulan setelah pembuahan. Buah muda berwarna
hijau, bila sudah masak warnanya menjadi kekuning-kuningan. Biji buahnya
7
banyak, berwarna hitam, dan berukuran rata-rata 0,2 mm (Rismunandar dan
Sukma 2003). Buah vanili segar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Buah vanili segar.
Richard (1991) menyatakan bahwa waktu panen adalah faktor penting
yang harus diperhatikan untuk mendapatkan kualitas vanili yang baik. Buah
hendaknya dipanen pada saat yang tepat (cukup masak), jangan terlalu awal
(kurang masak) atau terlalu masak. Buah yang dipanen tepat waktu, kandungan
vanillinnya di atas 2,2%, berwarna hitam, berminyak, dan mengkilat. Bila dipanen
kurang masak, buah terlalu kaku dan flavornya kurang sempurna karena kadar
vanillinnya rendah. Sedangkan bila dipetik terlalu masak, buah akan pecah,
sehingga harganya akan rendah. Buah vanili yang dipanen sekitar umur 240 hari
(8 bulan) setelah penyerbukan akan menghasilkan kadar vanillin tertinggi, yaitu
2,95% (Salim 1993). Komposisi kimia buah vanili segar dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Komposisi kimia buah vanili segar
Komposisi Kimia Kandungan (%) Air Karbohidrat Lemak Kalium Kalsium Klor Nitrogen Magnesium
78 – 82 8 – 20 4 -15 0.005 0.003 0.0024 0.004 0.0015
Sumber : Purseglove et al. (1981)
8
Pengolahan Vanili (Curing)
Buah vanili diperdagangkan tidak dalam bentuk mentah, oleh karena itu
memerlukan proses lebih lanjut. Vanili kering merupakan produk buah vanili
yang paling banyak permintaannya di pasar (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Proses pengolahan buah vanili dikenal dengan istilah curing. Dalam proses
curing, terjadi proses biokimia yang menyebabkan perubahan-perubahan pada
buah vanili. (Kantor Pusat BRI 1986).
Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa buah vanili yang memasuki
perdagangan internasional adalah dalam bentuk cured vanili dari V. fragnans, V.
tahitensis, dan V. pompona. Di pasaran internasional, vanili Indonesia dikenal
dengan sebutan Java Vanilla Beans (Ruhnayat 2004). Penentu kualitas utama dari
cured vanili adalah karakter aroma atau flavornya. Faktor-faktor lain yang juga
turut menentukan kualitas cured vanili adalah penampakannya secara umum
(terutama warna), fleksibilitas, panjang, kadar air dan kandungan vanillinnya
(Purseglove et al. 1981; Heath dan Reineccius 1986). Kandungan vanillin yang
tinggi diinginkan akan tetapi nilai ini tidak secara langsung sebanding dengan
kualitas aroma atau flavor dari buah vanili.
Proses curing buah vanili terdiri dari beberapa tahap berikut :
1. Pelayuan (wilting treatment/killing/scalding)
Pelayuan bertujuan untuk mematikan sel-sel kulit bagian luar buah,
dan memberikan jalan untuk bekerjanya enzim serta membantu
mempermudah proses pengeringan (Nurdjanah dan Rusli 1998;
Purseglove et al. 1981). Mula-mula, air dimasak dalam wadah atau drum
yang terbuat dari besi atau stainless steel. Setelah suhu air mencapai 63-
65oC, polong vanili dicelupkan menggunakan wadah yang terbuat dari
pelat besi berlubang atau anyaman kawat atau keranjang bambu (Ruhnayat
2004). Polong yang tua dicelup selama 3 menit karena lebih tebal dan
padat, sedangkan polong yang muda atau terlalu tua cukup 1.5-2 menit.
Pencelupan yang terlalu lama akan melembekkan serat sehingga dapat
menurunkan kualitas, sedangkan pencelupan yang terlalu cepat tidak dapat
memacu kerja enzim secara maksimal (Hadisutrisno 2005). Proses
pelayuan yang sempurna ditandai oleh perubahan warna buah menjadi
9
coklat (Purseglove et al. 1981). Disamping pencelupan dalam air panas,
pelayuan dapat dilakukan dengan cara penghamparan dan penggoresan
(Suwandi dan Sudibyanto 2005).
2. Pemeraman (sweating)
Setelah dilayukan, polong vanili ditiriskan dan diperam selama 24
jam dalam tempat pemeraman. Tempat pemeraman terbuat dari peti kayu
yang berdinding ganda. Di antara kedua dinding tersebut dimasukkan
sabut kelapa atau serbuk gergaji yang berfungsi sebagai isolator agar suhu
dapat dipertahankan antara 38-40oC. Untuk meningkatkan daya isolator
dan menyerap air yang keluar dari polong vanili, bagian dalam kotak harus
dilapisi dengan kain yang agak tebal. Jika suhu polong vanili yang sudah
ditiriskan kurang dari 38-40oC, perlu dilakukan penjemuran atau
pemanasan awal selama 3 jam sebelum diperam. Setelah itu, polong vanili
dibungkus dengan kain hitam (Ruhnayat 2004).
Pemeraman bertujuan agar terjadi reaksi enzimatis dalam polong
vanili, dimana enzim β-glukosidase akan mengubah glukovanillin menjadi
vanillin dan glukosa (Purseglove et al. 1981; Ruhnayat 2004; Hadisutrisno
2005). Pada proses pemeraman ini terjadi perubahan secara biokimiawi
dan enzimatik yang dapat menimbulkan aroma khas vanili (Suwandi dan
Sudibyanto 2005). Tujuan lain dari pemeraman adalah untuk memperoleh
tekstur dan fleksibilitas tertentu (Kantor Pusat BRI 1986). Vanili yang
berubah warna menjadi kecoklatan (sawo matang), lentur (lemas), dan
berminyak menunjukkan bahwa fermentasi telah berjalan sempurna.
3. Pengeringan (drying)
Setelah pemeraman selesai, polong dikeluarkan dari kotak dan
langsung dijemur. Penjemuran dilakukan di atas kawat kasa yang telah
dialasi kain hitam. Penjemuran bertujuan untuk menurunkan kadar air dari
70% menjadi 40-42%. Polong yang tua memerlukan waktu penjemuran
hingga 15-20 hari, sedangkan polong muda sekitar 10-14 hari. Penjemuran
dilakukan pada pukul 08.00-10.00. Setelah itu, kain hitam ditutup untuk
menghindari polong dari terik matahari. Pada pukul 14.00-16.00 kain
kembali dibuka. Setelah pukul 16.00, kain ditutup kembali dan kotak kasa
10
disimpan di dalam ruangan yang bersih dan berventilasi baik. Keesokan
harinya, kotak kasa berisi vanili dibawa keluar untuk dijemur kembali
(Hadisutrisno 2005). Proses pengeringan dan pemeraman dilakukan
berselang-seling selama 5-7 hari, sampai buah vanili berwarna hitam (atau
hitam kecoklat-coklatan) mengkilat, cukup kering, dan lentur (lemas).
Menurut Rismunandar dan Sukma (2003), pengeringan dapat dilakukan
menggunakan alat pengering pada suhu 60-65oC selama 3 jam.
Kadar air yang telah mencapai 40-42% diturunkan lagi menjadi 22-
25% (Hadisutrisno 2005). Menurut Arana (1943) diacu dalam Purseglove
et al. (1981), kadar air optimum untuk cured vanili adalah 30-35%.
Dengan turunnya kadar air, aroma vanili semakin muncul. Caranya dengan
pengeringan secara lambat yang dilakukan di dalam ruangan yang kering
bersih, sejuk, dengan ventilasi yang baik, dengan suhu ruang sekitar 28-
29oC dan kelembaban udara 70-80%. Polong diletakkan di atas rak tripleks
yang disusun dengan jarak 6 cm. Selama pengeringan, vanili harus terus
dipantau karena rawan terhadap cendawan. Bila terdapat jamur, polong
harus segera dibersihkan dengan air dingin atau air panas bila
cendawannya banyak, bahkan dapat menggunakan alkohol 70% bila
sangat parah. Lalu, polong tersebut dijemur kembali. Polong basah ini
dipisahkan dari polong yang kering. Pengeringan telah selesai bila polong
berwarna coklat kemerahan hingga kehitaman, beraroma tajam, dan lentur.
Bila dililitkan pada jari akan kembali seperti semula. Dalam keadaan
seperti ini atau kadar air 22-25%, polong dapat disimpan hingga 1-2 tahun
(Hadisutrisno 2005). Menurut Ruhnayat (2004), pengeringanginan
dilakukan dalam ruangan selama 30-45 hari. Pengeringanginan ini dapat
dikombinasikan dengan oven yang bersuhu 50oC selama 3 jam setiap hari.
Mutu vanili yang dihasilkan dengan cara kombinasi tersebut jauh lebih
baik dan waktu yang diperlukan lebih singkat, yaitu sekitar 10 hari.
4. Penyimpanan (Conditioning)
Conditioning bertujuan untuk menyempurnakan atau memantapkan
aroma vanili (Heath dan Reineccius 1986; Richard 1991). Polong-polong
vanili diikat dengan tali sebanyak 50-100 polong per ikat. Kemudian
11
masing-masing ikatan dibungkus dengan kertas minyak, kertas perkamon
(parafin) atau plastik. Selanjutnya, dimasukkan ke dalam peti yang dilapisi
kertas minyak. Peti tersebut kemudian disimpan di ruangan yang sejuk dan
kering (Suwandi dan Sudibyanto 2005). Penyimpanan ini dilakukan
selama 2-3 bulan atau lebih lama untuk menyempurnakan perkembangan
aroma dan flavor yang dikehendaki (Purseglove et al. 1981). Secara rutin
dilakukan pemeriksaan untuk melihat adanya serangan jamur. Polong yang
terserang jamur segera dibersihkan dengan kapas atau kain halus yang
dibasahi alkohol. Polong yang kurang atau tidak keluar aromanya dijemur
dan diperam kembali (Ruhnayat 2004). Menurut Purseglove et al. (1981),
conditioning normalnya dilakukan pada suhu ruang. Buah vanili kering
hasil proses curing dapat dilihat pada Gambar 2.
Setiap negara penghasil vanili mengembangkan proses curing dengan cara
yang berbeda-beda, akan tetapi secara umum terdapat empat tahap utama yaitu
killing, sweating, drying dan conditioning (Purseglove et al. 1981; Heath dan
Reineccius 1986; Dignum et al. 2002). Kesalahan dalam proses pengolahan buah
vanili akan mengakibatkan turunnya mutu vanili (Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Pada tahap awal killing dan sweating, hanya 40% glukovanillin yang terhidrolisis
menjadi vanillin (Odoux 2000).
Gambar 2 Buah vanili kering (Sumber : Suwandi dan Sudibyanto 2005).
12
Flavor Vanili
Flavor vanili terbentuk dari sejumlah komponen aromatik yang dihasilkan
selama proses curing, dimana vanillin adalah komponen flavor yang paling
dominan. Flavor vanili dari berbagai belahan dunia bervariasi bergantung pada
iklim, tanah, derajat polinasi, tingkat kematangan pada saat panen dan metode
curing yang digunakan (Purseglove et al. 1981).
Pembentukan aroma dan flavor selama proses curing merupakan akibat
dari proses fermentasi. Cured vanili mengandung vanillin, asam-asam organik (p-
hydroxy benzoic acid dan p-coumaric-acid), wax, gum, resin, tanin, pigmen, gula,
selulosa dan mineral (Purseglove et al. 1981; Farrel 1990). Flavor vanili yang
kaya dan lengkap mengandung lebih dari 200 senyawa volatil dan sebagian besar
senyawa tersebut berperan dalam sifat organoleptik secara keseluruhan, akan
tetapi hanya 26 senyawa yang ditemukan dalam konsentrasi lebih dari 1 ppm.
Senyawa yang paling besar adalah 4-hydroxy-3-metoxybenzaldehide (vanillin)
yaitu 2-2,8%, p-hydroxybenzaldehyde 0,2%, asam vanillat 0,2%, dan p-
hydroxybenzylmethyl eter 0,02% dan asam asetat sekitar 0.02% (Anklam 1993;
Klimes dan Lamparsky 1976, diacu dalam Anklam et al. 1997).
Vanillin hanya merupakan salah satu diantara sekian banyak komponen
yang menyusun karakter aroma, akan tetapi kadar vanillin masih menjadi
indikator/parameter penting untuk menilai kualitas cured vanili (Purseglove et al.
1981; Anklam et al. 1997). Beberapa komponen non-volatil kemungkinan juga
memegang peranan penting dalam memodifikasi persepsi flavor. Sebagai contoh,
resin tidak mempunyai aroma, akan tetapi mempunyai taste yang menyenangkan,
sehingga secara keseluruhan juga menguntungkan dalam memantapkan
komponen volatil aromatik dalam larutan ekstrak (Purseglove et al. 1981).
Terdapat tiga jenis glukosida yang menghasilkan vanillin dan komponen-
komponen fenol lainnya sebagai hasil pemecahan hidrolitik. Glukosida terbanyak
diidentifikasi sebagai glukovanillin, sementara itu glucovanillyl alkohol
ditemukan dalam jumlah yang lebih kecil. Glukosida ketiga adalah ptotocatechuic
acid (3,4-dihydroxy benzoic acid) (Heath dan Reineccius 1986). Vanillin
terbentuk dari prekursor glukovanillin yang kemudian terhidrolisis selama proses
curing dengan adanya enzim β-glukosidase endogenus (Purseglove et al. 1981;
13
Arana 1943, diacu dalam Ruiz-Teran et al. 2001). Hidrolisis dari glukosida-
glukosida lainnya menghasilkan komponen-komponen volatil lain yang
berkontribusi pada terbentuknya aroma dan flavor secara keseluruhan. Perubahan
lebih lanjut dari vanillin yang dibebaskan dan substrat-substrat lainnya terjadi
melalui aksi enzim-enzim oksidasi dan selama tahap conditioning perubahan non-
enzimatik memegang peranan penting dalam pembentukan aroma (Purseglove et
al. 1981).
Modifikasi Proses Curing Vanili
Modifikasi atau perbaikan dalam teknologi proses curing dimaksudkan
untuk meningkatkan kualitas vanili kering Indonesia. Setyaningsih et al. (2003)
telah melakukan modifikasi ini, yaitu dengan penambahan perlakuan sebelum
tahap killing (pelayuan). Perlakuan tersebut dilakukan dengan cara penyayatan
buah (straching) dan perendaman buah vanili dalam aktivator enzim β-
glukosidase untuk memacu dan meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase
endogenus. Penyayatan dimaksudkan untuk memudahkan masuknya aktivator
enzim β-glukosidase ke dalam jaringan vanili.
Perlakuan scratching (penyayatan) ini telah dilakukan pula pada metode
Guadeloupe (Purseglove et al. 1981). Adanya penyayatan memberikan hasil yang
lebih baik, dimana tingkat pecahnya buah menjadi rendah, waktu untuk sweating
dan drying menjadi lebih pendek, serta kandungan vanillin dapat ditingkatkan.
Akan tetapi, teknik ini menjadikan vanili lebih mudah terserang jamur dan
mempunyai fleksibilitas dan penampakan yang lebih rendah daripada teknik yang
umum dilakukan.
Pada modifikasi curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003),
aktivator enzim yang berhasil meningkatkan aktivitas enzim β-glukosidase
endogenus adalah butanol 0,3 M dan sistein 1 mM serta dithiotreinol 1 mM dan
sistein 1 mM, dengan waktu perendaman vanili berturut-turut selama dua jam dan
satu jam. Modifikasi lain yang dilakukan adalah dengan melakukan pelayuan pada
suhu 40oC selama 30 menit. Pada proses curing standar (metode Balitro II),
pelayuan dilakukan pada suhu 60oC selama 3 menit. Suhu 40oC pada tahap
14
pelayuan modifikasi proses curing Setyaningsih et al. (2003) dipilih karena pada
suhu tersebut enzim β-glukosidase menghasilkan aktivitas tertinggi.
Secara keseluruhan, pada proses modifikasi terdapat enam tahap
pengolahan, yaitu penyayatan (statching), perendaman dalam aktivator enzim β-
glukosidase, pelayuan (killing), pemeraman (sweating), pengeringan (drying) dan
conditioning. Modifikasi proses curing yang dilakukan Setyaningsih et al. (2003)
ini menghasilkan peningkatan aktivitas enzim, kadar vanillin, dan kadar gula
dibandingkan metode curing standar (metode Balitro II).
Penggunaan butanol sebagai aktivator enzim β-glukosidase dikarenakan
enzim cenderung menggunakan alkohol dibandingkan dengan air sebagai
penerima bagian glikosil sehingga dapat meningkatkan reaksi. Gugus hidroksil n-
butanol akan terikat pada enzim β-glukosidase melalui ikatan hidrogen. Gugus
hidroksil pada butanol menyebabkan butanol dapat larut dalam air melalui sistem
kopelarut satu fase. Sistem kopelarut adalah sistem yang melarutkan pelarut
organik (butanol) pada larutan penyangga yaitu air dalam satu fase sehingga
enzim masih dapat mengikat air. Adanya air menyebabkan struktur enzim menjadi
lebih fleksibel sehingga lebih mudah berikatan dengan substrat (Setyaningsih
2006).
Adapun sistein termasuk asam amino non esensial dalam pertumbuhan sel
dan mempunyai karakter berupa kristal putih, bersifat higroskopis, larut dalam air
dan alkohol. Sistein mempunyai gugus SH yang membantu kestabilan struktur
enzim. Gugus SH adalah gugus yang mudah teroksidasi. Ketika ada reaksi
oksidasi, gugus SH akan diserang terlebih dahulu sehingga enzim dapat
terlindungi (Setyaningsih 2006).
Standar Mutu Vanili
Ekspor vanili Indonesia selama ini ditujukan ke pasar Amerika Serikat.
Namun, perkembangan sepuluh tahun terakhir, selain Amerika Serikat, vanili
Indonesia juga diekspor ke beberapa negara Eropa seperti Jerman, Inggris, dan
Perancis; Australia; dan beberapa negara Asia seperti Jepang dan Korea. Di pasar
Amerika Serikat, vanili yang berkadar air rendah (20-25%) lebih disukai karena
sebagian besar digunakan untuk keperluan industri ekstraksi. Untuk pasar
15
Perancis, Jerman, dan Jepang, dikehendaki vanili yang berpenampilan baik,
berkadar vanillin tinggi, dan beraroma tajam. Ini disebabkan sebagian vanili di
negara tersebut digunakan untuk konsumsi rumah tangga yang dipasarkan dalam
kemasan glass tube (Risfaheri et al. 1998; Suwandi dan Sudibyanto 2005).
Untuk menyeragamkan mutu vanili, Organisasi Standar Internasional
(ISO) telah menetapkan spesifikasi komoditi vanili yang diperdagangkan di pasar
dunia dengan menggunakan ISO 5565-1982. Semua negara produsen (termasuk
Indonesia) maupun konsumen mengacu pada standar ISO tersebut (Suwandi dan
Sudibyanto 2005). Adapun di Indonesia, standar mutu vanili yang digunakan
adalah berdasarkan SNI 01-0010-2002 yang merupakan hasil revisi pada rapat
kaji ulang, prakonsensus dan konsensus nasional pada tanggal 17 Oktober 2002.
Standar ini mengacu pada acuan normatif ISO 948:1980, tentang Spices and
Condiments-Sampling.
Tabel 2 Syarat umum vanili
No Jenis Mutu Persyaratan 1 Bau Bau khas vanilla 2 Warna Hitam mengkilat, hitam kecoklatan mengkilap,
sampai coklat 3 Keadaan polong Penuh berisi sampai dengan kurang berisi,
berminyak, lentur sampai dengan kaku 4 Benda-benda asing Bebas 5 Kapang Bebas
Sumber : SNI 01-0010-2002
Tabel 3 Syarat mutu vanili Indonesia
Persyaratan Jenis Mutu Mutu 1A Mutu 1B Mutu II Mutu III
Bentuk Utuh Utuh Utuh/dipotong Utuh/dipotong Ukuran polong utuh (cm)
Min. 11 Min. 11 Min. 8 Min. 8
Ukuran polong dipotong-potong
Tidak ada Tidak ada Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan
%Polong utuh yang pecah dan terpotong
Maks. 5 Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan
Tidak disyaratkan
% kadar air Maks. 38 Maks. 38 Maks. 30 Maks. 25 % kadar vanilin Min. 2,25 Min. 2,25 Min. 1,50 Min. 1,00 % kadar abu Maks. 8 Maks. 8 Maks. 9 Maks. 10 Sumber : SNI 01-0010-2002
16
Keterangan :
1. Buah polong vanili yang cukup tua adalah yang hijau kekuning-kuningan
dengan ujung yang menguning.
2. Polong utuh yang pecah adalah vanili yang disajikan dalam bentuk utuh,
tetapi pecah lebih dari 4 cm ukuran panjangnya.
3. Benda asing adalah bahan-bahan bukan vanili, misalnya ranting, batu,
tanah, bagian tubuh serangga dan lain-lainnya yang terikut dalam vanili.
4. Vanili yang ditumbuhi atau diserang oleh kapang dapat dilihat dengan
mata biasa
5. Polong utuh yang terpotong adalah polong vanili yang pada bagian
ujungnya terpotong sebagian tapi persyaratan panjang minimumnya masih
terpenuhi.
Pengeringan Vanili
Pengeringan didefinisikan sebagai proses pemberian panas di bawah
kondisi yang terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang terkandung
dalam bahan (Fellows 2000). Pengeringan merupakan metode tertua untuk tujuan
preservasi (pengawetan) bahan (Edmont et al. 1957; Singh dan Heldman 2001).
Beberapa faktor yang mempengaruhi laju pengeringan diantaranya adalah kondisi
proses (temperatur dan kelembaban udara), jenis bahan pangan yang dikeringkan
dan desain alat pengering.
Mekanisme pengeringan diterangkan melalui teori tekanan uap. Air yang
diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada di permukaan dan
yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka
terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi karena
perbedaaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan luar bahan
(Fellows 2000). Pengeringan akan mengurangi massa dan volume produk dalam
jumlah yang signifikan dan meningkatkan efisiensi untuk transportasi produk dan
penyimpanan (Singh dan Heldman 2001). Secara umum, produk-produk
hortikultura dikeringkan dengan dua cara, yaitu pengeringan secara alami (sun-
drying) dan pengeringan buatan (Edmont et al. 1957).
17
Pengeringan vanili dapat dilakukan dengan cara penjemuran di bawah
sinar matahari atau menggunakan pengering buatan. Pengeringan menggunakan
sinar matahari dilakukan dengan menghamparkan vanili di atas lembaran kain
hitam tebal berukuran kira-kira 1,5 m yang kurang lebih dapat membungkus 10-
15 kg buah vanili. Untuk memudahkan penjemuran, dapat dibuat para-para dari
bambu setinggi 0,9 m, lebar 1,5 m, dan panjang 10-12 m (untuk menjemur 10 kg
buah vanili). Di atas para-para ini dihamparkan kain katun sebagai alas vanili,
yang dijemur selama 2-2,5 jam (tergantung dari panas teriknya matahari). Selama
penjemuran ini, vanili tersebut dibungkus kembali menggunakan kain hitam dan
dipanaskan lagi selama 2 jam (Kantor Pusat BRI 1996).
Pengeringan buatan buah vanili telah banyak dipelajari untuk mengatasi
permasalahan yang sering muncul dalam pengeringan tradisional. Arana (1944)
diacu dalam Purseglove et al. (1981) membandingkan pengeringan tradisional
dengan matahari dengan oven pada suhu 45oC dimana kelembaban dijaga tetap
tinggi. Pemeraman dan pengeringan menggunakan oven dilaporkan menghasilkan
keuntungan dimana tumbuhnya jamur dapat dikurangi dan waktu proses menjadi
lebih singkat. Penggunaan lampu infra merah juga telah dipelajari oleh Cernuda
dan Loustalot (1948) diacu dalam Purseglove et al. (1981), akan tetapi metode
pengeringan ini dilaporkan tidak memberikan keuntungan (mahal) dan dapat
memacu oksidasi yang pada akhirnya merusak cured vanili.
Widodo (1988) melakukan percobaan pengeringan vanili menggunakan
alat pengering kabinet bertenaga listrik. Diperoleh hasil bahwa untuk menurunkan
kadar air vanili dari 70,06% bb sampai kadar air 35,80% bb dibutuhkan waktu 48
jam dengan suhu pengeringan rata-rata 67,8°C. Energi yang dibutuhkan adalah
sebesar 91.000 kJ. Percobaan ini juga memberikan informasi bahwa setelah
pengujian mutu secara organoleptik, vanili hasil pengeringan tersebut lebih baik
daripada mutu pengeringan hasil pengeringan dengan sinar matahari.
Pengeringan vanili menggunakan microwave oven dilakukan oleh Dewi
(2005). Penelitian tersebut menyatakan bahwa pengeringan microwave dengan
daya rendah yaitu 80 Watt menghasilkan kadar vanillin yang lebih baik daripada
daya lebih tinggi. Semakin lama waktu pengeringan maka proses penurunan kadar
air semakin cepat dan laju pengeringan semakin meningkat. Secara umum terjadi
18
penurunan kadar air dan peningkatan kadar vanillin selama proses pemeraman
tetapi terjadi penurunan kadar vanillin selama proses pengeringan sebagai akibat
suhu pemanasan yang tinggi sehingga merusak enzim.
Selama pengeringan, produk akan mengalami perubahan warna, tekstur,
flavor dan aroma. Dinyatakan oleh Mazza dan LeMaguer (1980) diacu dalam
Fellows (2000), bahwa panas tidak hanya menguapkan air selama pengeringan,
akan tetapi juga menyebabkan hilangnya komponen volatil dari bahan pangan dan
sebagai akibatnya sebagian besar bahan pangan yang dikeringkan mempunyai
flavor yang lebih rendah daripada bahan asalnya. Tingkat hilangnya komponen
volatil bahan tergantung pada temperatur, kandungan air dalam bahan, tekanan
uap komponen volatil dan solubilitas komponen volatil tersebut dalam uap air.
Komponen volatil yang mempunyai volatilitas dan difusivitas relatif tinggi akan
hilang pada tahap awal pengeringan. Bahan pangan yang mempunyai kandungan
flavor dengan nilai ekonomi tinggi (misalnya herba dan rempah) hendaknya
dipanaskan pada suhu yang rendah.
Menurut Fellows (2000), struktur porous yang terbuka dari produk yang
dikeringkan kemungkinan akan terisi oleh oksigen, dan hal ini menjadi penyebab
kedua terpenting dari hilangnya aroma karena terjadinya oksidasi komponen-
komponen volatil dan lemak selama penyimpanan. Perubahan flavor dalam buah-
buahan sebagai akibat oksidasi atau aktivitas enzim hidrolitik dapat dicegah
dengan menggunakan sulfur dioksida, asam askorbat atau asam sitrat atau melalui
pasteurisasi pada susu atau jus buah dan blanching pada sayur-sayuran.
Pencegahan dapat pula dilakukan dengan penambahan enzim atau aktivasi enzim
yang secara alami terkandung dalam bahan yang dikeringkan yang dapat
menghasilkan flavor dari prekursor flavor dalam bahan pangan.
Anklam et al. (1997) melaporkan bahwa vanillin dapat teroksidasi menjadi
asam vanilat dan juga divanillin. Divanillin yaitu produk dimerik vanili terdeteksi
setelah vanillin mengalami oksidasi dalam larutan yang mengandung hidrogen
peroksida dan enzim peroksidase. Penambahan peroksida saja tidak menyebabkan
terbentuknya produk oksidasi vanillin. Adapun asam vanilat merupakan produk
oksidasi vanillin dengan adanya enzim xanthine oksidase. Kecepatan oksidasi
19
vanillin yang dihasilkan dari ekstrak vanili alami diketahui lebih rendah
dibandingkan vanillin sintetik.
Pengeringan Absorpsi
Pengeringan absorpsi adalah proses pengeringan melalui penyerapan air di
dalam bahan pangan oleh material penghisap yang bersifat poros. Mekanisme
yang terjadi adalah proses penarikan air dari dalam bahan pangan dengan prinsip
kapiler oleh absorben. Air yang terhisap absorben tidak hanya pada bagian
permukaan absorben tersebut, tetapi terdistribusi secara merata ke seluruh bagian
absorben (Hall 1957).
Dalam proses pengeringan absorpsi, sejumlah bahan dan absorben
diletakkan dalam suatu ruangan yang tertutup rapat. Bahan pengisap yang
digunakan harus memiliki tekanan uap air yang lebih rendah dibandingkan dengan
bahan yang akan dikeringkan (Christensen 1974). Pengeringan absorpsi tidak
menggunakan aliran udara pengering dan suhu tinggi, sehingga faktor yang
mempengaruhi proses pengeringan adalah kelembaban udara pengering.
Jenis Pengeringan Absorpsi
Sifat penyerapan air oleh bahan absorben telah banyak digunakan terutama
di dalam kemasan untuk mencegah penyerapan air oleh produk (dikenal sebagai
proses desikasi dalam kemasan). Menurut Samuel dan Vedamurthy (1984),
absorben atau desikan yang digunakan untuk pengurangan air dari udara yang
kontak dengan bahan pangan harus bersifat non korosif, tidak berbau, tidak
beracun, tidak mudah terbakar, secara kimiawi bersifat inert terhadap
ketidakmurnian udara, dan mudah didaur ulang. Selain itu, harganya juga harus
relatif murah. Untuk bahan pangan, desikan yang umum digunakan berupa silika
gel atau kalsium oksida (CaO), karena bahan-bahan ini merupakan bahan
pengering yang mudah diperoleh dan tidak berbahaya, sehingga bila terserap ke
dalam bahan pangan tidak membahayakan konsumen.
Kapur api (CaO) juga merupakan material penyerap air atau absorben
yang sangat baik untuk pengeringan secara absorpsi. Pengeringan absorpsi dengan
20
kapur api merupakan metode pengeringan yang sederhana dengan bahan absorben
yang relatif murah.
Prinsip Pengeringan Absorpsi dengan Kapur Api
Proses terjadinya pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api
(CaO) adalah terjadinya penyerapan uap air yang ada di udara (lingkungan)
pengering oleh absorben sehingga uap air udara pengering menjadi sangat rendah.
Rendahnya RH udara pengering mengakibatkan terjadinya penguapan air bahan
yang dikeringkan ke lingkungan udara pengering. Menurut Soekarto (2000),
prinsip pengeringan dengan kapur api atau CaO di dalam lemari pengering
absorpsi berlangsung melalui proses penting sebagai berikut : (1) CaO menyerap
dan bereaksi dengan uap air dalam ruangan pengering; (2) reaksi CaO dengan air
melepaskan energi panas dan menurunkan RH ruang pengering; (3) energi panas
diserap bahan untuk menguapkan kandungan air meninggalkan bahan; (4) uap air
dari bahan mengalir ke ruang pengering untuk kemudian diserap CaO. Proses
tersebut berlangsung secara terus-menerus sampai tercapai kondisi kesetimbangan
atau ekuilibrium.
Jadi dalam proses pengeringan secara absorpsi dengan absorben kapur api
(CaO), pengeringan bahan disebabkan oleh adanya perbedaan RH udara
pengering karena diabsorpsi oleh absorben dengan aktivitas air (aw) bahan, karena
uap air yang ada di udara diserap oleh absorben.
Karakteristik Kapur Api
Kapur api atau disebut juga kapur gamping maupun kapur tohor
merupakan padatan berwarna putih yang berbentuk bongkahan dengan rumus
kimia CaO dan mempunyai titik cair 2570oC serta titik didih 2850oC. Kapur api
merupakan bahan pengering yang telah banyak digunakan dalam desikator dengan
kapasitas yang sedang dan meninggalkan udara yang cukup kering. CaO mudah
diperoleh sebagai kapur api dengan harga yang murah. CaO bersifat tidak
mencair, bereaksi dengan air membentuk basa, dengan menyisakan 3 x 10-3 mg
air/l udara yang dikeringkan (Harjadi 1990). Kapur api yang telah mati berupa
21
serbuk sehingga bila dipakai dalam desikator harus diusahakan agar debunya tidak
mengganggu, misalnya dengan memberi tutup kain halus.
Gaspary dan Bucher (1981) meyatakan bahwa CaO diproduksi dengan
memanaskan batu kapur pada suhu 800oC-1200oC. Kapur api dapat dikelaskan
berdasarkan derajat panas yang diberikan pada waktu pembentukannya, yaitu :
1. Soft burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu 800oC
dengan sifat produk yang sangat reaktif (berupa CaO).
2. Hard burnt lime, dihasilkan melalui pembakaran pada kisaran suhu sekitar
1200oC dan waktu yang lebih lama, sehingga terbentuk kristal dengan sifat
yang reaktivitasnya rendah (berupa Ca).
3. Medium burnt lime, dihasilkan melalui proses dengan waktu dan suhu di
antara kedua proses di atas.
Komposisi kimia kapur api dari Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat yaitu
dari Kajai dan Kemang Udik masing-masing mengandung CaO sebesar 93,6%
dan 94,2% (Gaspary dan Bucher 1981). Sedangkan kapur api produksi PD Djaja
Ciampea Bogor yang dianalisa oleh Sucofindo pada tahun 1998, mengandung
CaO sebesar 88,82%.
Energi Panas Dari Kapur Api
CaO disebut kapur api karena apabila material tersebut bereaksi dengan air
akan dihasilkan panas yang tinggi. Menurut Halim (1995), dibandingkan dengan
desikan atau absorben yang lain yang sering digunakan untuk pengeringan bahan
pangan, CaO memiliki kelebihan yaitu dapat menghasilkan energi panas saat
bereaksi dengan air. Fenomena pelepasan energi dalam CaO ini dapat
dimanfaatkan untuk mempercepat proses pengeringan di dalam bahan pangan.
Chang dan Tikkanen (1988) mengemukakan bahwa umur simpan kapur
api relatif singkat (sekitar 60 hari), karena kapur api ini cepat bereaksi secara
eksotermik dengan air untuk membentuk Ca(OH)2. Reaksi yang bersifat
eksotermik ini mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu akibat pelepasan
energi reaksi CaO dengan air sebagai berikut :
CaO (s) + H2O (l) Ca (OH)2 (s) ∆ Ho = -64,8 kJ
22
Reaksi yang bersifat eksotermik tersebut menghasilkan peningkatan suhu,
tetapi suhu bahan selama pengeringan berlangsung kurang lebih konstan karena
energi panas yang dilepaskan kapur (reaksi eksotermik) terus diserap bahan dan
segera digunakan untuk penguapan air yang dikandung bahan (reaksi endotermik),
dengan proses endotermik dan eksotermik yang kurang lebih setimbang (Soekarto
2000).
Aplikasi Pengeringan Absorpsi Dengan Kapur Api
Pemanfaatan kapur api sebagai absorben dalam proses pengeringan
absorpsi telah dicobakan pada beberapa produk yaitu pada pengeringan biji lada
(Halim 1995), pengeringan brem padat (Hersasi 1996), pengeringan fillet ikan
(Asikin 1998), pengeringan gabah (Fuadi 1999), pengeringan biji pala (Suryani
1999), pengeringan benih tomat (Suzana 2000), dan pengeringan lada hitam
(Wulandari 2002).
Pengeringan absorpsi pada lada hitam yang dilakukan Halim (1995),
memerlukan waktu pengeringan yang sama dengan waktu pengeringan secara
penjemuran yaitu selama 8 hari, dengan rendemen lada hitam yang relatif sama.
Tetapi pengeringan absorpsi dapat menghambat proses kehilangan minyak atsiri
lada selama pengeringan, dimana kehilangan minyak atsiri dapat dihambat
sebanyak 5 kali lipat untuk lada segar dan 14 kali lipat untuk lada kering petani
dibandingkan dengan metode oven.
Penggunaan kapur api sebagai absorben pada pengeringan brem padat
dapat mempersingkat waktu pengeringannya. Pengeringan brem padat untuk
mencapai kadar air 16% basis kering pada suhu kamar yang biasanya memerlukan
waktu 18 jam, dapat dipersingkat waktunya menjadi 12 jam (Hersasi 1996).
Selain lebih cepat, pengeringan brem dapat dilakukan di daerah yang memiliki
RH udara rata-rata yang tinggi seperti di daerah Bogor, yang sulit digunakan
untuk mengeringkan brem padat.
Pengeringan absorpsi telah diaplikasikan pula untuk mengeringkan bahan
hewani seperti fillet ikan dengan menurunkan kadar air ikan menjadi 9,04% basis
basah. Pengeringan fillet ikan dengan alat pengering absorpsi pada RH 20% dan
suhu 29oC memiliki laju pengeringan yang lebih lambat dibandingkan dengan
23
pengeringan menggunakan alat pengering model terowongan pada RH 40%, suhu
40oC dan aliran udara 2,0 m/detik (Asikin 1998).
Pada pengeringan biji pala bertempurung, waktu yang dibutuhkan
pengeringan absorpsi lebih lama, yaitu 8-9 hari dibanding waktu pengeringan
dengan penjemuran selama 7 hari (rata-rata lama penjemuran 3 jam/hari).
Rendemen minyak atsiri kedua metode tersebut juga tidak berbeda nyata, yaitu
sebesar 11,78% pada pengeringan absorpsi dan 10,92% pada penjemuran.
Meskipun demikian, biji pala yang dikeringkan dengan pengering absorpsi
memiliki penampakan dan warna yang paling baik (Suryani 1999).
Hasil penelitian Suzana (2000) menunjukkan bahwa pengeringan benih
tomat dengan alat pengering absorpsi selama satu hari dapat menghasilkan benih
tomat kering dengan kadar air 5,5% bb. Uji viabilitas menunjukkan bahwa benih
tomat memiliki daya kecambah yang cukup baik yaitu antara 70% sampai 94,5%.
Adapun hasil penelitian Wulandari (2002) menunjukkan bahwa
pengeringan absorpsi pada lada hitam dapat memperkecil hilangnya minyak atsiri
pada lada dibanding pengeringan menggunakan sinar matahari. Proses
pengeringan absorpsi juga dapat berlangsung lebih cepat (sekitar 4-5 hari) untuk
mencapai kadar air 12% dibandingkan pengeringan menggunakan sinar matahari
(7-8 hari).
Keunggulan Pengering Absorpsi Dengan Kapur Api
Menurut Soekarto (2000), pengeringan dengan kapur api memiliki
beberapa keunggulan yaitu : (1) bahan absorben kapur api mudah didapat dan
harganya murah; (2) daya pengeringannya kuat; (3) cocok untuk pengeringan
bahan yang peka terhadap panas dan sinar; (4) dapat mencegah kehilangan zat
volatil selama pengeringan; (5) tidak memerlukan bahan bakar yang dapat
mencemari lingkungan; (6) hasil sampingnya berupa bahan kapur Ca(OH)2 yang
banyak manfaatnya; dan (7) laju pengeringannya dapat dikendalikan.
Pengeringan absorpsi juga memiliki rendemen yang baik karena dapat
menekan kehilangan bahan akibat tercecer (Halim 1995). Selain itu, pengering
absorpsi mudah dalam proses pengeringannya dan peralatan yang digunakan
relatif sederhana.
24
Pengeringan Microwave
Microwave merupakan bentuk dari energi gelombang elektromagnetik
dengan frekuensi berkisar antara 300 MHz-300GHz yang dapat diaplikasikan
secara luas dalam industri. Pengeringan adalah salah satu aplikasi dari
penggunaan microwave yang telah dilakukan selama 40 tahun terakhir untuk
mengeringkan bahan pangan, produk-produk kayu, kertas, tekstil, produk-produk
mineral dan bahan-bahan kimia (Mujumdar 2003).
Pemanasan dan pengeringan menggunakan microwave berbeda dengan
metode pengeringan konvensional. Metode konvensional diatur oleh gradien
temperatur antara temperatur luar dan temperatur dalam bahan, sedangkan
mekanisme pemanasan dari frekuensi microwave tidak diatur oleh gradien
temperatur. Energi yang dihasilkan diserap oleh bahan yang masih basah.
Peralatan microwave terdiri dari tiga komponen utama, yaitu microwave
generator, waveguide, dan applicator. Keuntungan pengeringan menggunakan
microwave diantaranya prosesnya cepat, kecepatan pengeringan tinggi, waktu
pengeringan lebih singkat, kualitas produk menjadi lebih seragam dan lebih baik
jika dikombinasikan dengan proses pengeringan konvensional lainnya (misalnya
vacuum drying atau freeze drying), konsumsi energi menjadi lebih rendah, dan
menghemat biaya (Mujumdar 2003; Wang et al. 2004). Bahan pangan dengan
kandungan air tinggi seperti buah dan sayuran dapat menyerap energi microwave
dengan cepat.
Pemanasan dengan microwave merupakan akibat dari interaksi kimia
kandungan bahan pangan dengan medan elektromagnetik. Ketika gelombang
microwave diaplikasikan pada bahan pangan, dipol-dipol molekul air dan molekul
polar lainnya akan berusaha berorientasi ke dalam medan elektromagnetik
tersebut (seperti halnya kompas di dalam medan magnet). Karena terjadi
perubahan osilasi yang sangat cepat dalam medan elektromagnet antara kutup
positif dan negatif berjuta-juta kali setiap menit, maka dipol-dipol tersebut akan
berusaha mengikutinya. Perubahan yang sangat cepat tersebut pada akhirnya akan
menimbulkan panas friksi. Meningkatnya temperatur dalam molekul air akan
memanaskan komponen-komponen di sekitarnya dalam bahan pangan tersebut
melalui konduksi maupun konveksi (Mujumdar 2003). Dapat dikatakan bahwa
25
pemanasan menggunakan microwave menimbulkan panas dari dalam ke luar
bahan. Panas akan menguapkan molekul air secara perlahan-lahan dan merata di
seluruh permukaan bahan. Pada kenyataannya bagian luar menerima energi yang
sama dengan bagian dalam bahan, akan tetapi bagian permukaan akan kehilangan
panas lebih cepat karena menguapkan panas ke lingkungan sekitarnya. Hal ini
menyebabkan bagian permukaan tidak menerima panas yang berlebih (tidak
terjadi overheating).
Pengeringan menggunakan microwave dipengaruhi oleh kemampuan
bahan untuk menyerap energi microwave itu sendiri. Kemampuan bahan dalam
menyerap gelombang mikro, yang juga menentukan jumlah panas yang dihasilkan
dikenal dengan istilah loss factor. Bahan pangan dengan kandungan air tinggi
mempunyai loss factor yang tinggi. Bahan tersebut akan menyerap energi dengan
cepat sehingga penguapan air terjadi dengan cepat sehingga waktu pengeringan
dapat dipersingkat (Mujumdar 2003). Air merupakan zat bersifat polar yang
sangat mudah menyerap energi microwave (loss factor = 12.0 pada 2450 MHz).
Vanili adalah bahan yang mempunyai kandungan air yang tinggi, dengan
demikian vanili tergolong bahan yang mudah menyerap gelombang mikro.
Pengeringan menggunakan microwave oven telah digunakan sebagai
metode pengeringan alternatif untuk produk-produk pangan seperti buah, sayur,
snack, dan produk-produk olahan susu. (Wang et al. 2004). Beberapa produk
pangan telah berhasil dikeringkan dengan aplikasi microwave-vacuum atau
kombinasi microwave dengan proses konveksi, seperti misalnya plain yoghurt,
cranberri, irisan wortel, gel buah, susu skim, whole milk, kasein bubuk, irisan
kentang, anggur, apel dan mushroom dan gingseng Amerika, serta vanili.
Vacuum Infiltration
Kata vakum berasal dari bahasa latin vacuus, yang berarti kosong. Kata ini
merefleksikan kondisi vakum ideal atau vakum sempurna (tekanan absolut nol).
Tekanan absolut nol ini, seperti halnya suhu absolut nol Kelvin tidak pernah
terealisasi di dunia nyata. Walaupun demikian, tekanan nol atm tetap
dipergunakan sebagai acuan pada alat ukur tekanan (Ryans dan Roper 1986).
26
Teknologi vacuum merupakan salah satu bentuk teknologi baru yang
berkontribusi untuk preservasi/pengawetan buah dan sayur-sayuran. Teknologi ini
dikenal pula dengan vacuum infusion atau vacuum impregnation. Teknologi
vacuum merupakan perlakuan pendahuluan yang diberikan pada pemrosesan buah
atau sayur untuk meningkatkan kualitasnya dengan cara inkorporasi aktif suatu
material tertentu ke dalam struktur produk. Teknologi vacuum infusion didasarkan
pada transfer massa hidrodinamik secara cepat dengan cara menempatkan produk
pangan di bawah kondisi vacuum sebelum pemberian larutan impregnasi.
Perlakuan ini menyebabkan udara yang semula terkandung dalam pori-pori buah
atau sayuran digantikan oleh larutan impregnasi. Waktu yang diperlukan untuk
mencapai kondisi vakum tergantung dari efisiensi sistem vakum (pompa dan
bagian-bagian alat vakum yang lain) dan biasanya hanya berlangsung selama
beberapa detik saja (Saurel 2002). Perlakuan ini dapat diaplikasikan pada produk
porous dan pada buah serta sayuran utuh maupun yang dipotong-potong.
Teknologi vacuum dapat dikombinasikan dengan pencelupan produk
dalam larutan hipertonik (Saurel 2002). Pada proses pencelupan ini, penggunaan
tekanan vacuum dapat mempercepat penetrasi larutan ke dalam produk
dibandingkan dengan proses difusi molekuler yang terjadi dengan lebih lambat.
Ketika kondisi vacuum diaplikasikan, gas-gas yang terperangkap dalam
produk akan mengembang dan sebagian akan dihilangkan dari matriks bahan
pangan. Setelah tekanan dirubah kembali ke tekanan normal, perbedaan tekanan
dihasilkan sehingga menyebabkan penetrasi larutan ke dalam struktur produk
yang masih kosong hingga tercapai keseimbangan tekanan internal dan eksternal.
Waktu yang diperlukan untuk mencapai kondisi vacuum tergantung pada efisiensi
sistem vacuum (misalnya pompa dan perlengkapan lainnya) dan dapat
berlangsung hanya selama beberapa detik saja. Pada beberapa kasus, produk harus
tetap dijaga di bawah kondisi vaccum untuk beberapa menit untuk meyakinkan
ekstraksi gas-gas internal telah berlangsung dengan baik. Langkah ini tidak
penting jika degassing telah sempurna selama tekanan menurun (Saurel 2002).
Teknik vacuum infiltration dilakukan untuk mempercepat absorpsi larutan
ke dalam jaringan produk. Vacuum infiltration dari larutan kalsium klorida telah
banyak diaplikasikan untuk menunda pematangan dan mengontrol
27
ketidakteraturan fisiologi selama penyimpanan buah dan sayur-sayuran. Sebagai
contoh, vacuum infiltration diterapkan pada apel, lemon, alpukat, mangga,
strawberri, dan tomat (Saurel 2002). Teknik vaccum infiltration dari etanol telah
pula dilakukan pisang (Bagnato et al. 2003) untuk mendorong masuknya etanol ke
dalam buah-buahan tersebut.
Infiltrasi Dengan Pemberian Tekanan Tinggi
Pemberian tekanan tinggi di atas 1 atm (tekanan udara normal) telah
dilakukan oleh Kesmayanti (1996) dan Juanasri (2004). Kesmayanti (1996)
melakukan infiltrasi poliamin ke dalam buah mangga di dalam autoklaf yang telah
dirancang untuk infiltrasi. Melalui selang karet yang menghubungkan alat dengan
kompresor, udara dialirkan ke dalam alat sehingga tekanan alat mencapai sekitar
10 lb/inch2 atau 0,72 kg/cm2. Pemberian tekanan tersebut dilakukan selama tiga
menit.
Juanasri (2004) melakukan infiltrasi spermidin dan giberelin ke dalam
buah manggis untuk tujuan pengawetan. Seperti halnya penelitian Kesmayanti
(1996), alat yang digunakan adalah autoklaf yang telah dimodifikasi untuk
infiltrasi. Tekanan yang diberikan untuk infiltrasi spermidin dan giberelin ke
dalam buah manggis tersebut adalah 0,3 kg/cm2. Proses dilakukan selama tiga
menit.
Recommended