View
228
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
79
PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH
TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan Untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Rizkyasri Suminar Putri
NIM. E 0005276
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
80
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT
FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF
HAK ASASI MANUSIA
Disusun oleh :
RIZKYASRI SUMINAR PUTRI
NIM : E. 0005276
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing I
SUNARNO DANUSASTRO, S.H., MH
NIP. 130 516 359
Pembimbing II
DR. HARI PURWADI, S.H., MH
NIP. 196 412 012
81
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF
HAK ASASI MANUSIA
Oleh
RIZKYASRI SUMINAR PUTRI
NIM. E. 0005276
Telah diterima dan dipertahankan oleh di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada :
Hari : Senin
Tanggal : 1 Februari 2010
DEWAN PENGUJI
1. Suranto, S.H, M.H : ........................................... Ketua
2. Sunarno Danusastro, S.H., M.H : ........................................... Sekretaris
3. DR. Hari Purwadi, S.H., M.Hum : ........................................... Anggota
Mengetahui :
Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum.
NIP. 131 570 154
82
MOTTO
Bertindaklah sedemikian rupa sehingga kau selalu menghargai kemanusiaan,
baik yang terdapat dalam dirimu sendiri maupun sembarang orang lain, bukan
hanya sebagai sarana, melainkan sekaligus sebagai tujuan.
(Immanuel Kant)
Agama ini untuk Allah, namun tanah air ini adalah milik kita semua
(pepatah Arab)
…maju! Semua harus dimulai dengan berani! Pemberani-pemberani
memenangkan ¾ dunia!!!
(R.A. Kartini via Pramoedya Ananta Toer)
Sukses sering datang kepada orang yang berani bertindak. Jarang kepada
penakut yang tidak berani menerima konsekuensi.
(Jawaharlal Nehru)
83
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan karya kecilku ini untuk ayahku dengan ketegasan dan sikap
keras sebagai dukungan luar biasa untuk mempersiapkan putrinya menjadi
orang dewasa yang bertanggungjawab,
Untuk ibuku yang senantiasa menyebut namaku di setiap doa dan sholat
malamnya serta kasih tulus dan cintanya yang tidak pernah bersyarat,
Untuk mbak Annie, yang masih bisaselalu tersenyum di setiap kondisi,
Untuk mbak Anna, atas lecutan semangat bahwa aku bisa, bahwa kita satu tak
terpisahkan atas nama keluarga.
84
PERNYATAAN
Nama : Rizkyasri Suminar Putri
NIM : E0005276
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT
FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK
ASASI MANUSIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skripsi ini).
Surakarta, Januari 2010
Yang membuat pernyataan
Rizkyasri Suminar Putri
NIM. E0005276
85
ABSTRAK RIZKYASRI SUMINAR PUTRI, 2010. PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pilihan seseorang untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu atau no vote decision atau golongan putih (golput) termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM) dan bagaimanakah nilai hukum dari fatwa haram MUI tentang golput tersebut dengan melakukan penelitian terhadap UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif, menemukan jaminan HAM atas golput dan nilai hukum fawa haram MUI tentang Golput. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yaitu UUD 1945, UU UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah studi kepustakaan dan cybermedia. Dalam melakukan analisis bahan hukum digunakan logika deduksi dan interpretasi atau penafsiran teleologis atau sosiologis, serta interpretasi sistematis untuk menjawab kedua permasalahan penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan. Kesatu, penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau no vote decision atau golongan putih (golput) adalah hak politik seseorang yang merupakan kebebasan dasar dan termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan atas golput sebagai bagian dari hak politik setiap orang diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (2), serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 25. Kedua, Fatwa haram MUI tentang Golput tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia karena fatwa bersifat saran dan anjuran, dan MUI bukan lembaga negara sehingga produk hukumnya tidak mengikat.
Kata kunci : golput, fatwa, haram, HAM
86
ABSTRACT
PUTRI, RIZKYASRI SUMINAR, 2010. THE USING OF THE UNDECIDED VOTERS RIGHT IN CORRELATION WITH MUI’S FATWA HARAM OF GOLPUT DECISION IN HUMAN RIGHTS PERSPECTIVE.
This research aimed to determine whether the option of a person use not the vote in general election or ‘no vote decision’ or golongan putih (golput) included in Human Rights and how the legal value of the MUI’s fatwa on golput unlawful by doing research on UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election spending.
This research is a perscriptively normative legal research, finding Human Rights’s legal security of golput and legal value of MUI’s fatwa haram on golput, or fatwa ”undecided voters is forbidden”. The sources on legal materials that being used are of primary legal materials of UUD 1945 (the constitution), Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights, Act No. 39/ 1999 on Human Rights, and Act No. 10/ 2008 on General Election. Secondary law materials that should be applied as investigating material with the technique of collecting the law materials study documents or literary reviews both printed and electronic (internet) sources are used. The analysis of legal materials use deductive logic, the sociological or teleological interpretation and systematic interpretation to answer the both of research problems.
Based on research results and discussion, conclussion is being generated. The first one, the using of right to not vote or ‘no vote decision’ or golput is the political rights of person that is a basic freedoms and included in Human Rights. Legal security of goput as a part of the political rights of each person set forth in UUD 1945 (the constitution) Article 28D paragraph (3), Article 28I paragraph (1), and Article 28J paragraph (2); Act No. 39/ 1999 on Human Rights Article 23 paragraph (1), Article 23 paragraph (2), and Act No. 12/ 2005 about Ratification of the International Covenant for Civil and Political Rights Article 18, 19, and 25. Second, unlawful MUI’s fatwa haram of golput not conflict with Human Rights because of legal opinion and recommendations are suggestion, and MUI is not the State Institution so that MUI’s rulling, so does fatwa, is not binding.
Keywords: golput, fatwa, haram, Human Rights
87
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul : “PENGGUNAAN HAK PILIH
UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT FATWA HARAM MUI TENTANG
GOLPUT DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”.
Penulisan hukum ini mencoba untuk mengetahui apakah keputusan
seseorang untuk tidak memilih atau no vote decision atau yang biasa disebut
dengan golput merupakan HAM atau tidak. Selain itu penulisan hukum ini juga
membahas mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam
perspektif HAM. Permasalahan golput, fatwa MUI, serta HAM merupakan hal
yang menarik perhatian penulis. Fenomena golput akhir-akhir ini semakin
merebak, dan hal tersebut ditunjukkan dengan tingginya angka golput di berbagai
pemilihan umum serta pemilihan umum daerah. Namun demikian, penulis merasa
bahwa pengeluaran fatwa golput oleh MUI tersebut bukanlah sesuatu yang tepat.
Oleh karenanya, dalam perspektif HAM, penulis kemudian mencoba untuk
mengetahui nilai hukum dari fatwa golput haram MUI tersebut.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun
materiil. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Suranto, S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III dan atas segala
bimbingan dan bantuan selama penulis menjadi mahasiswa.
3. Bapak Soenarno Danusastro, S.H., MH sebagai Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan
88
pengarahan secara bijak kepada penulis dalam rangka penyelesaian penulisan
hukum ini.
4. Bapak DR. Hari Purwadi, S.H., M. Hum sebagai pembimbing yang telah
berhasil memacu motivasi penulis untuk terus belajar.
5. Ibu Erna Dyah, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberikan nasehat dan masukan kepada penulis.
6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis sebagai bekal untuk menggapai masa depan, beserta segenap
karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7. Ayahku tercinta, Ibunda terkasih, Kakakku tersayang. Karena kalian aku ada
dan berjuang untuk selesaikan kewajiban ini....
8. Untuk seseorang yang selalu sangat hidup dalam mimpiku. Guru terbaik atas
semua yang terjadi, akan terjadi, dan telah tidak akan terjadi lagi. Menyerah
bukan berarti kalah dan salah, sebab menyerah adalah karena banyak hal lain
yang ternyata belum sempat dicintai. Selaksa rasa, berjuta pengalaman, dan
akhirnya berakhir pada mengerti dan memaafkan.... Ternyata mencintai tidak
cukup untuk saling memiliki. Namun mencintai memang untuk dapat saling
memiliki, Kanda Rahmad Winarto S.H.
9. Keluarga besar HMI Cabang Surakarta Komisariat Fakultas Hukum UNS.
Untuk Anung Razaini Firmansyah, sang Ketum yang memberikan banyak
pengertian dan pemakluman, syukur tiada akhir milikimu sebagai sahabat
terbaik. Aldian Andrew Wirawan, semoga selalu bersemangat dengan atau
tanpa seseorang di sisimu, Al.... Didit Suryo Tri Puspito, adek lelakiku yang
sangat baik dan memanjakan, sukses selalu buat kamu. Buyung Loding, M.
Adzkar Arifian, Dedi Tri Yulianto, M. Ali Ridho, Zuhri mas Say, Teuku
Marliansyah, Hidayat Dwi P, Bintang, Edi, Veni, Shinta, semoga akan dan
selalu tetap menjadi generasi insan cita.... Untuk Ahmad Marthin Hadiwinata
sosok kakak yang ’sadis’ sekaligus menyenangkan, Yasser Arafat, Arif
Maulana S.H., Nurrahman Aji Utomo, Okky Meidia Fajar, Adilla Prasetyo,
Mas Hudhan. Terimakasih atas penyadaran, pencerahan, semua tawa dan
hujatan canda penuh makna.
89
10. Ucapan terimakasih secara khusus untuk Okky Meidia Fajar, Arif Maulana
S.H, Nurrahman Aji Utomo, Rendy Harindraputra S.Ked, dan Wisnu
Wicaksono, yang bersedia meluangkan waktu serta memaklumi untuk terus
membantu proses ini, dari berdiskusi, mengantar ke pembimbing hingga
mengisikan printer,,,, J
11. Sahabatku tersayang Windarizti Yuniastried Putri dan Cahya Dwi Wardhani,
terima kasih atas persahabatan yang telah kita jalin dengan hangat selama ini.
12. Kawan-kawan Kos Kinasih 2 shift A: Mbak Dian, Mbak Nova, Mbak Pinta,
Mbak Rina, Mbak Kristy, Mbak Harmy, Mbak Dinar, Te-Je.... dan Shift B:
Achi, Mbak Niken, Rahma, Lita, Sari, Wury.... terimakasih, karena kalian
terkadang aku tersadar bahwa aku perempuan juga... Senyum, dong?
13. Mayang Mayurantika S.H., semoga kita sudah sempat bersenang-senang
karena kita memang akhirnya hanya menjadi sebuah kisah klasik untuk masa
depan...terimakasih dan semoga kita masih bisa dipertemukan dengan kondisi
yang jauh lebih baik.
14. Seluruh teman–teman program strata satu reguler Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta Angkatan 2005 yang telah memberikan bantuan dan
saran dalam pembuatan dan penyusunan skripsi ini.
15. Seluruh pihak yang telah membantu dalam bentuk sekecil apapun demi
kelancaran penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penulis sendiri, kalangan akademis,
praktisi serta masyarakat umum.
Surakarta, Januari 2010
Penulis
90
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI................................................................iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..........................................................................iv
PERNYATAAN…………………………………………………………………. vi
ABSTRAK .............................................................................................................vii
KATA PENGANTAR ...........................................................................................ix
DAFTAR ISI ..........................................................................................................xii
DAFTAR BAGAN................................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Perumusan Masalah........................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian.............................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian……………………………………………….. . 9
E. Metode Penelitian…………………...…………………………… 10
F. Sistematika Penelitian ..................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................17
A. Kerangka Teori ................................................................................ 17
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum………………………………
a. Hukum…………………………………….……………….. 17
b. Arti Hukum ……………………………………………….. 20
2. Tinjauan Umum Tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia
a. Tinjauan Tentang Hak Asasi Manusia…………………….. 22
b. Tinjauan Tentang Hukum dan Hak Asasi Manusia……….. 23
3. Tinjauan Tentang Hak Pilih dan Penggunaan Hak Pilih ............. 24
a. Tinjauan Tentang Hak Pilih ................................................... 27
b. Tinjauan Tentang Golput ....................................................... 30
4. Tinjauan Tentang Hukum Islam……...……………………….. 32
91
a. Pengertian Hukum Islam …………………………………. 32
b. Jenis Sumber Hukum Islam ……………………...……….. 35
5. Tinjauan Tentang MUI dan Fatwa …………………………… 39
a. Tinjauan Tentang MUI ……………………………………. 39
b. Tinjauan Tentang Fatwa ………………………………….. 41
B. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 44
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................................... 47
A. Hasil Penelitian ............................................................................... 47
B. Pembahasan
1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia ........................... .......59
2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang Golput dalam
Perspektif Hak Asasi Manusia ....................................... .......64
BAB IV PENUTUP ............................................................................................. 77
A. Kesimpulan...................................................................................... 77
B. Saran ................................................................................................ 77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 79
92
DAFTAR BAGAN
Bagan : Kerangka Pemikiran ................................................................................ 44
93
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Golongan Putih (Golput) selalu menjadi fenomena di setiap perhelatan
Pemilihan Umum (Pemilu). Meningkatnya angka pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya cukup menjadi sorotan dalam setiap Pemilu.
Rendahnya partisipasi pemilih dalam menggunakan hak pilihnya tidak hanya
terjadi dalam Pemilu Legislatif namun juga dalam Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada). Dalam Kompas edisi Selasa, 17 Juni 2008 dinsebutkan bahwa
partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 92,74 %. Pada pemilu legislatif
tahun 2004 tingkat partisipasi turun menjadi 84,07 %. Adapun tingkat partisipasi
pada Pemilu Presiden 2004 di putaran I dan putaran II masing-masing sebesar
78,23 % dan 77,44 %. (Kompas, 17/06/2008). Menurut catatan LBH Jakarta,
persentase yang diperoleh golput pada Pemilu 2004 cukup signifikan yaitu
23,34%.
Dalam Pilkada yang diselenggarakan menjelang Pemilu 2009, angka Golput
juga cukup tinggi. Di Jawa Timur, pada putaran pertama angka golputnya
mencapai 39,20 %. Sebelumnya, dalam pilkada Jawa Tengah angka golput cukup
tinggi. Sebanyak 10.744.844 pemilih atau 41,5 % dari 25.861.234 pemilih yang
terdaftar dalam daftar pemilih tetap adalah golput. Dalam pilkada DKI Jakarta,
masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 39,2 % atau
2.241.003 orang dari total 5.719.285 pemilih. Sedangkan dalam pilkada Sumatera
Utara, golput mencapai 40,01 %. Sementara itu, dalam pilkada Bali, Nusa
Tenggara Timur (NTT), dan Maluku, yang dimenangi pasangan calon dari PDI-P,
angka golputnya cukup rendah. Bali, misalnya, angka golputnya hanya 25,32 %
dan NTT 20 %. (http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/31/).
Dengan begitu tingginya angka golput dalam setiap penyelenggaraan Pemilu
di Indonesia maka hasil Pemilu tidak dapat dikatakan mutlak sebagai aspirasi
94
rakyat. Para anggota legislatif, Kepala Daerah maupun Presiden yeng terpilih pun
akhirnya hanya mendapatkan legitimasi dari para pemilih aktif yang
menggunakan hak pilihnya, bukan dari seluruh masyarakat. Pada akhirnya, ekses
dari setiap kebijakan yang dikeluarkan Dewan Legislatif (DPR, DPRD I, dan
DPRD II) masih sangat dimungkinkan untuk terjadi. Tidak maksimalnya
pemerintahan dan pembangunan diprediksi dapat menjadi akibat lanjutan dari
tingginya angka golput tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadikan golput
sebagai topik populer untuk menjadi bahan perbincangan maupun diskusi.
Banyak tokoh politik menghendaki adanya aturan tegas untuk melarang golput di
dalam Pemilu 2009.
Lontaran pertama mengenai desakan untuk pengeluaran fatwa mengenai
golput adalah dari Hidayat Nur Wahid, yang ketika itu menjabat menjadi Ketua
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan kader dari Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Dua bulan sebelum Sidang Ijtima’ Komisi Fatwa MUI digelar di Padang
Panjang, pada bulan November 2008, Hidayat Nurwahid mengusulkan fatwa
haram golput tersebut. Saat menjawab pertanyaan wartawan tentang pendapatnya
atas usulan Dien Samsudin tentang poros tengah jilid II ia menjawab,
Poros tengah jilid II berarti bicara tentang hasil pemilu. Sementara yang
terjadi sekarang ini ada orang mengajak golput. Fenomena golput begitu
meruyak di mana-mana. Golput pada Pilkada meninggi luar biasa (Jurnal
Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009).
MUI akhirnya mengeluarkan fatwa haram tentang golput. Fatwa tersebut
dikeluarkan pada forum Ijtima’ Ulama III yang dihadiri para utusan pengurus
MUI Pusat dan Komisi Fatwa MUI Daerah di Padang Panjang Sumatera Barat.
Dalam forum yang berlangsung pada tanggal 24-25 Januari 2009 tersebut, juga
dibahas mengenai masalah kontemporer lain seperti yoga, pernikahan usia dini,
dan rokok (http://www.mediaumat.com/content/view/).
Dalam naskah fatwa golput haram tersebut antara lain disebutkan bahwa:
95
1. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya
cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa,
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan
imamah dan imarah dalam kehidupan bersama,
3. Imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan
ketentuan agama agar terwujud kemashlahatan dalam masyarakat,
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya
(amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah),
dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib, dan
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada
calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Secara lebih lanjut, MUI juga memberikan rekomendasi dari fatwa tersebut.
Pertama, umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya
yang mengemban tugas (amar makruf nahi munkar). Kedua, pemerintah dan
penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu
agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi
(http://biotis.co.id/felix/2009/01/29/fatwa-golput-isyarat-gagalnya-demokrasi/).
Pengeluaran fatwa tersebut disambut pro dan kontra dari seluruh elemen
masyarakat Indonesia. Sebab, fatwa tersebut ditengarai sebagai salah satu upaya
politik dari beberapa partai Politik Islam, bukan hanya untuk memaksimalkan
kedaulatan rakyat di Indonesia. Hukum haram yang dikeluarkan MUI tersebut
juga dianggap sebagai persoalan serius. Dalam buku ‘Islamic Environmental
System Engineering’ karya Waqar A. Husainini sebagaimana dikutip Rohadi Abd.
Fatah dinyatakan bahwa hukum haram atas suatu hal bukan merupakan hal yang
sederhana bagi kalangan umat muslim. Haram ialah larangan keras. Dengan
pengertian, jika dikerjakan akan berdosa dan jika tidak dikerjakan (ditinggalkan)
maka akan mendapatkan pahala (Sulaiman Rasjid, 1992: 17).
96
Ketika seorang individu dihadapkan pada posisinya sebagai umat muslim
yang wajib untuk berpartisipasi dalam pemilu untuk menggunakan hak pilihnya
maka haram baginya untuk menjadi Golput. Namun, sebagai Warga Negara
Indonesia, setiap individu memiliki kemerdekaan penuh atas dirinya. Termasuk
dalam menyampaikan atau tidak menyampaikan pendapatnya. Bahkan, beberapa
pelaku Golput menyatakan bahwa Golput pun merupakan cara untuk menyalurkan
aspirasinya.
Istilah golput sendiri pertama kali muncul menjelang pemilu orde baru tahun
1971. Pencetus gerakan golput antara lain Arief Budiman, Julius Usman, dan
Almarhum Imam Malujo Sumali. Kemunculan Golput terutama setelah terjadi
ketidakpuasan sejak lahirnya UU No. 16/ 1969 dan Peraturan Menteri No. 12/
1969 yang dinilai tidak demokratis dan dipaksakan oleh Partai Politik. Pada
intinya, peraturan perundang-undangan tersebut telah mematikan tampilnya
kekuatan politik baru dalam pemilu selain parpol-parpol yang sudah ada dan
Golongan Karya (Golkar).
Golput ketika itu merupakan bentuk perlawanan terhadap arogansi
pemerintah dan ABRI (sekarang TNI) yang sepenuhnya memberikan dukungan
politis kepada Golkar. Golkar adalah pendukung terbesar dari kekuasaan orde
baru.
Suharto’s “New Order” regime created Golkar, a progovernment party
based on bureaucratic and military interests. The government also embarked
on a development program that helped the economy grow by an annual
average of 7 percent for three decades. By the 1990s, Suharto’s children and
cronies were the major beneficiaries of state privatization schemes and in
many cases ran business monopolies with little oversight
(http://www.freedomhouse.org/).
Dalam kondisi seperti itu, Arief Budiman mengajak masyarakat untuk
menjadi golput dengan cara tetap mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS).
97
Ketika melakukan coblosan, bagian yang dicoblos bukan pada tanda gambar
partai politik, akan tetapi pada bagian yang berwarna putih. Maksudnya tidak
mencoblos tepat pada tanda gambar yang dipilih. Artinya, jika coblosan tidak
tepat pada tanda gambar, maka kertas suara tersebut dianggap tidak sah.
Di dalam wacana yang selama ini berkembang, Golput sesungguhnya tidak
selalu murni kesengajaan. Apabila dicermati, terdapat tiga alasan yang
menyebabkan munculnya golput. Pertama yaitu alasan administratif, misalnya
yaitu nama pemilih yang bersangkutan tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap
(DPT). Kedua adalah alasan teknis ketika pemilih tersebut tidak berada di
lingkungan tempatnya terdaftar dalam DPT sehingga tentu saja tidak bisa
menggunakan hak pilihnya. Ketiga adalah alasan ideologis. Pemilih tersebut
memang sengaja untuk tidak mempergunakan hak pilihnya karena berbagai hal.
Diantaranya yang paling menonjol adalah karena mereka menganggap pemilu
yang akan berlangsung tersebut tidak akan memberikan perbaikan maupun
pengaruh positif apapun terhadap masyarakat.
Adalah sebuah realitas yang harus dihadapi, termasuk dalam Ketatanegaraan
Indonesia, bahwa di Indonesia terdapat pluralitas agama yang tidak dapat
dihindari.
Indonesia officially recognizes Islam, Protestantism, Roman Catholicism,
Hinduism, Buddhism, and Confucianism. Members of unrecognized
religions have difficulty obtaining national identity cards. Atheism is not
accepted. Concern remains regarding the national government’s failure to
respond to intolerance in recent years (http://www.freedomhouse.org/).
Masalah ini telah diakui dalam konstitusi dan telah ditegaskan adanya
jaminan untuk masing-masing pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran sesuai
sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Sedangkan mayoritas penduduk
Indonesia adalah muslim. Sedikit banyak, hal tersebut memberikan pengaruh
terhadap pelaksanaan kehidupan bernegara di Indonesia. Indonesia bukanlah
98
negara sekuler, yang secara tegas memisahkan antara kehidupan bernegara dengan
kehidupan beragama. Hal tersebut ditunjukkan dalam Pembukaan UUD 1945
alinea 3, “Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaanyang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Pluralitas agama maupun dianutnya Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia tak jarang menjadi sebuah problematika bila berhadapan dengan sistem
demokrasi dan hak asasi manusia yang diterapkan. Agama merupakan hak
pribadi setiap individu yang otonom. Namun, hak tersebut memiliki implikasi
sosial dalam masyarakat. Masing-masing penganut agama meyakini bahwa ajaran
dan nilai-nilai yang dianutnya harus ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara (Anshari Thayib, 1997: v).
Islam sarat dan menjunjung tinggi HAM, antara lain dengan disusunnya
piagam Madinah. Sedangkan adanya anggapan adanya pengaruh HAM dari
budaya barat sesungguhnya merupakan bagian dari sifat universal HAM itu
sendiri. Sehingga HAM perlu dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan muatan
adat dan agama serta nilai-nilai universalnya.
HAM merupakan persoalan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak hanya di negara-negara dunia ketiga, di negara maju pun HAM
merupakan isu yang tak pernah berhenti dibicarakan. Untuk dapat berbicara
tentang HAM dengan baik, seseorang memerlukan komitmen yang tulus.
Komitmen yang tulus selalu berakar dalam kesadaran tentang makna dan tujuan
hidup, yang umumnya diajarkan oleh agama. Tanpa akar keagamaan, pengertian
tentang HAM dan komitmen kepada nilai-nilainya dapat terasa hambar dan
dangkal (Nurcholis Madjid, 1997: 57).
Oleh karena itu, terjadi perbincangan serius ketika MUI mengeluarkan fatwa
yang menyatakan bahwa haram bagi seorang muslim jika dalam pemilihan umum
tidak memberikan suaranya atau dikenal dengan istilah golput. Fatwa yang dinilai
banyak kalangan sangat kontroversial ini muncul menjelang bangsa Indonesia
akan menghadapi pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun 2009.
99
Berbagai persoalan kemudian dibenturkan terhadap fatwa tersebut, termasuk
masalah HAM.
Pascaperang Dunia II, terdapat banyak kecaman terhadap ekses-ekses dalam
industrialisasi dan sistem kapitalis sehingga muncul paham bahwa pemerintah
dilarang campurtangan dalam bidang sosial ekonomi. Namun, paham staats-
onthouding dan laissez faire tersebut lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa
pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif
mengatur kehidupan ekonomi dan sosial. Pada perkembangannya, negara tersebut
dikenal sebagai Welfare State (Negara Kesejahteraan) maupun Social Service
State (negara yang memberikan pelayanan terhadap masyarakat). Oleh karena itu,
isu hak asasi manusia kemudian muncul sebagai salah satu wujud penghargaan
terhadap manusia dan mewujudkan Welfare State atau Social Service State.
PBB, dalam salah satu rumusan yang dikemukakan pada tahun 1974
menekankan bahwa, bicara soal HAM, “don’t speak the biological need, we mean
those condition of life which allow as fully to developed and use our human
qualities of intelligence and conscience and to satisdy our spiritual need.”
Dengan demikian, bicara HAM, selain terkait dengan kebutuhan biologis
(terpenuhinya sandang, pangan, dan papan) juga terpenuhinya kebutuhan mental
spiritual (adanya kondisi yang kondusif terjaminnya perkembangan dan
kebutuhan rohani manusia (Masyur Effendi, 2005: 11).
Salah satu kebutuhan nonbiologis manusia yang tercakup sebagai bagian
dari hak asasi manusia adalah kemerdekaan untuk mengungkapkan pendapat.
Dalam konteks kehidupan bernegara, hal tersebut diwujudkan dengan adanya hak
pilih yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia dimanapun ia berada.
Golput merupakan salah satu bentuk ungkapan pendapat individu. Ketika
seseorang dilarang untuk golput, maka bisa dikatakan bahwa orang tersebut tidak
lagi memiliki kemerdekaan untuk mengungkapkan pendapatnya. Fatwa Haram
MUI tentang golput menyebabkan setiap muslim yang tidak menggunakan hak
pilihnya dalam pemilu berdosa karena melakukan larangan keras yang dilarang
oleh agama.
100
Berdasarkan pertimbangan dan berbagai latar belakang permasalahan
di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan mengadakan
penelitian apakah pengeluaran fatwa golput haram oleh MUI tersebut
bertentangan dengan HAM. Oleh karena itu, penulis memilih judul penulisan
hukum ini adalah:
“PENGGUNAAN HAK PILIH UNTUK TIDAK MEMILIH TERKAIT
FATWA HARAM MUI TENTANG GOLPUT DALAM PERSPEKTIF
HAK ASASI MANUSIA”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan
masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
1. Apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih dalam Pemilihan Umum
(Pemilu) atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput)
merupakan hak asasi seseorang yang masuk di dalam Hak Asasi Manusia
(HAM)?
2. Bagaimana nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam perspektif
Hak Asasi Manusia?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini meliputi dua tujuan, yaitu:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui apakah penggunaan hak pilih untuk tidak memilih
atau yang biasa disebut dengan golongan putih (golput) merupan hak
asasi manusia (HAM).
b. Untuk mengetahui nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput
dalam perspektif Hak Asasi Manusia.
101
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas pengetahuan hukum bagi penulis melalui suatu
penelitian hukum, khususnya dalam bidang hukum Tata Negara yang
berhubungan dengan demokrasi dan hak asasi manusia serta dalam
bidang Hukum dan Masyarakat khususnya Hukum Politik Islam dan
perspektif Hukum Islam dalam penegakan demokrasi serta Hak Asasi
Manusia (HAM).
b. Untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan penulis dalam
penyusunan skipsi untuk diajukan sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
c. Untuk memberikan pandangan lebih luas kepada penulis dalam
menjalankan fungsi dan perannya sebagai Warga Negara Indonesia
yang baik sekaligus umat Muslim yang taat.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran pada Ilmu
Hukum pada umumnya untuk kemudian memberikan kontribusi pada
perkembangan Hukum Tata Negara pada khususnya yang berkaitan
dengan Hak Asasi Manusia serta Hukum dan Masyarakat dalam hal ini
Hukum Islam.
b. Memberikan sumbangan pengetahuan dan pemikiran terhadap adanya
fenomena Golput yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai bagian dari
hak asasi individu namun dinyatakan haram oleh Majelis Ulama
Indonesia yang dalam mengeluarkan fatwa tersebut menggunakan
hukum Islam sebagai bahan pertimbangan utama.
102
c. Memberikan masukan dan membuka wacana dengan menambah
referensi mengenai adanya keterkaitan antara Hukum Islam dengan
hukum positif Negara Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Meningkatkan daya kritis dan pola pikir penulis sebagai implementasi
pengetahuan hukum yang diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas
Hukum UNS.
b. Memberikan referensi serta wacana terhadap pihak-pihak yang terkait
untuk membantu sinkronisasi antara hukum positif Indonesia dengan
Hukum Islam, sebab meskipun Indonesia bukanlah negara Islam, Islam
adalah agama yang dianut oleh mayoritas Warga Negara Indonesia.
c. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat agar tetap
menjalankan syariat Islam secara benar disamping menjalankan fungsi
dan peran sebagai Warga Negara Indonesia yang baik tanpa menafikan
hak konstitusional yang dimiliki masing-masing individu tersebut.
E. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah
yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara
metodologis, sistematis dan konsisten. Dimana metodologis itu berarti sesuai
dengan metode atau cara tertentu. Kemudian sistematis adalah berdasarkan
pada suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono Soekanto, 2005 : 42).
Metode penelitian merupakan faktor yang penting dalam suatu penelitian
guna mendapatkan bahan yang sesuai dengan tujuan penelitian juga untuk
mempermudah pengembangan data kelancaran penyusunan penulisan hukum.
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai
suatu tujuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang
103
didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya
(Soerjono Soekanto, 2005 : 43).
Metode penelitian yang akan penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dilihat dari jenisnya, maka penelitian yang akan dilakukan adalah
penelitian hukum normatif atau doktrinal yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap bahan pustaka atau data-data sekunder dan selanjutnya
dilakukan rekonstruksi menjadi suatu rangkaian hasil penelitian. Jenis
penelitian ini bertujuan untuk melakukan identifikasi terhadap pengertian
pokok atau dasar dalam hukum.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk
menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mengharapkan
jawaban right, appropriate, inappropriate, atau wrong (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 35).
Dilihat dari jenisnya, penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian
preskriptif, karena dalam penelitian ini dilakukan untuk dapat
menghasilkan argumentasi bahwa golput merupakan HAM serta konsep
baru mengenai nilai hukum fatwa haram MUI tentang golput dalam
perspektif HAM.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum, dikenal adanya lima pendekatan.
Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
104
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
dan pendekatan konseptual (conceptual approach). (Peter Mahmud
Marzuki, 2005: 93).
Dalam melaksanakan penelitian ini, penulis melakukan beberapa
pendekatan. Pertama, penulis menggunakan pendekatan undang-undang
dengan menelaah UUD 1945 dan Undang-undang yang terkait dengan
penelitian yang dilakukan penulis yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi
International Covenant for Civil and Political Right, serta UU No. 10
Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum. Penulis melakukan pendekatan
kasus dengan menelaah mengenai fatwa MUI yang menyatakan bahwa
golput haram termasuk landasan fatwa tersebut dikeluarkan. Penulis
melakukan pendekatan konseptual mengenai posisi ideal MUI di Indonesia
termasuk kewenangan dan kedudukannya dalam negara Republik
Indonesia.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-
sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum
autoritatif. Artinya, bahan hukum primer merupakan bahan yang memiliki
otoritas atau kekuasaan dalam pelaksanaannya. Yang termasuk bahan
hukum primer adalah peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan undang-undang, dan putusan hukum. Bahan
hukum sekunder adalah semua publikasi tidak resmi yang berkaitan
dengan hukum. Publikasi hukum tersebut meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas
putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum
primer maupun sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan oleh
penulis antara lain yaitu:
105
1. Undang-undang Dasar 1945
2. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International
Covenant on Civil and Political Right
4. Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan penulis adalah
buku teks, jurnal, koran, dan artikel dari internet yang berkaitan dengan
penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan yaitu peraturan perundang-undangan, buku-buku,
karangan ilmiah, makalah, dan koran. Selain melalui dokumen-dokumen
maupun data-data tertulis, penulis juga menggunakan cyber media, yaitu
pengumpulan bahan melalui internet untuk mendapatkan perkembangan
berita yang up to date.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penulis menggunakan interpretasi dan logika deduksi sebagai teknik
analisis bahan hukum dalam penelitian ini. Interpretasi atau penafsiran
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan
penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang
lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.
Adapun berdasarkan dasar penemuan hukum oleh hakim terdapat beberapa
jenis interpretasi, diantaranya adalah interpretasi gramatikal, interpretasi
teleologis atau sosiologis, interpretasi sistematis, interpretasi historis,
interpretasi komparatif, dan interpretasi futuristik. Interpretasi gramatikal
yaitu penafsiran berdasarkan bahasa, Interpretasi teleologis atau sosiologis
yaitu penafsiran berdasarkan tujuan kemasyarakatan atau peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang baru,
penafsiran sistematis adalah dengan menafsirkan undang-undang sebagai
106
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan
menghubungkannya dengan undang-undang lain. Interpretasi Historis
yaitu makna undang-undang dapat dijelaskan dan ditafsirkan dengan jalan
menelusuri sejarah yang terjadi. Ada dua jenis interpretasi sejarah,
diantaranya penafsiran menurut sejarah undang-undang dan penafsiran
menurut sejarah hukum. Berikutnya ada penafsiran komparatif yaitu
interpretasi yang hendak memperoleh penjelasan dengan jalan
memperbandingkan hukum, Interpretasi futuristik merupakan metode
penafsiran yang bersifat antisipatif yaitu hendak memperoleh penjelasan
dari ketentuan perundang-undangan dengan berpedoman pada undang-
undang yang belum mempunyai kekuatan hukum. Beberapa jenis metode
interpretasi pada kenyataannya sering digunakan bersama-sama atau
campur aduk. Dapat dikatakan bahwa dalam setiap interpretasi atau
penjelasan undang-undang mencakup berbagai jenis penafsiran (Sudikno
Mertokusumo, 2003: 170-173).
Berkenaan dengan pengkajian masalah penelitian dalam penelitian ini,
penulis menggunakan teknis analisis interpretasi teleologis atau sosiologis
dan penafsiran sistematis. Melalui interpretasi teleologis, penulis berupaya
untuk menafsirkan golput maupun fatwa haram MUI tentang golput
berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Selanjutnya penulis menggunakan
interpretasi sistematis dengan menafsirkan Undang-undang Dasar 1945
serta Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi International
Covenant on Civil and Political Right, dan Undang-undang No. 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum sebagai undang-undang yang mengatur
mengenai masalah hak politik warga negara dalam hal ini golput.
Adapun logika deduksi adalah pola berfikir dari yang umum kepada
yang khusus (Sudikno Mertokusumo, 2003:176). Penulis mencoba
berfikir mengenai HAM secara umum untuk mengetahui apakah golput
merupakan HAM dan bagaimana nilai hukum fatwa haram MUI tentang
golput tersebut.
107
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan dan penutup, ditambah dengan daftar pustaka dan
lampiran-lampiran. Pada bab pertama yaitu pendahuluan, diketengahkan
mengenai latar belakang pengambilan judul penulisan, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan hukum. Sedangkan pada bab kedua, penulis menguraikan teori-
teori yang menjadi landasan dalam penulisan hukum ini yang terdiri dari
kerangka teori dan kerangka pemikiran, antara lain meliputi tentang Hukum
dan Hak Asasi Manusia, Hak Pilih, Hukum Islam, serta MUI dan Fatwa.
Selain itu, untuk memaparkan mengenai ide dilakukannya penelitian,
permasalahan, serta hasil penulisan serta guna memberikan gambaran terkait
logika berfikir penulis dalam memecahkan problematika isu hukum yang
diangkat dalam penelitian ini, maka dalam bab ini juga disertakan kerangka
pemikiran dalam bentuk bagan. Adapun dalam bab ketiga, penulis akan
menguraikan serta memaparkan hasil penelitian. Bab ini akan mencoba
menguraikan bagaimana posisi MUI di Indonesia terkait dengan pengaruh
fatwa yang dikeluarkannya terhadap masyarakat Indonesia. Akan diketahui
apakah terjadi perbenturan antara hak konstitusional yang dimiliki setiap
individu sebagai Warga Negara Indonesia dengan posisi individu sebagai
umat Muslim, dan bagaimana konsekuensi yuridis terkait pilihan individu
tersebut untuk tidak memilih (Golput). Sanksi apakah yang diterimanya,
sehingga dapat diketahui sesungguhnya posisi MUI dalam negara Indonesia,
apakah berhak untuk masuk terlalu dalam pada wilayah privat individu serta
hak asasi manusia tersebut. Kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan
yang telah dilakukan pada bab ketiga akan diuraikan dalam bab empat
sebagai jawaban singkat atas permasalahan yang diteliti dan saran terhadap
hasil penelitian.
108
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Hukum
a. Hukum
Terdapat dua pandangan yang berbeda mengenai apakah hukum dapat
didefinisikan secara memuaskan. Menurut pendapat Immanuel Kant,
Lemaire, Gustav Radbruch, dan Walter Burkhardt, hukum merupakan
sesuatu yang abstrak dan luas cakrawalanya. Oleh karena itu, hukum tidak
dapat didefinisikan secara memuaskan. Pandangan berbeda dinyatakan
oleh Aristoteles, Hugo de Groot (Grotius), Thomas Hobbes, van Vollen
Hoven, Bellefroid, Hans Kelsen, dan Utrecht. Menurut mereka, meski
tidak memuaskan, definisi hukum tetap harus diberikan karena
memberikan manfaat minimal sebagai pegangan sementara bagi pemula
yang mempelajari hukum (http://pengantarhukum.indonetwork.co.id/).
Arnold (Achmad Ali, 1996 : 27) salah seorang sosiolog, mengakui
bahwa dalam kenyataan hukum memang tidak akan pernah dapat
didefinisikan secara lengkap, jelas dan tegas. Sehingga sampai sekarang
ini tidaka da kesepakatan bersama tentang definisi hukum. Namun Arnold
juga menyadari bahwa bagaimanapun para juris tetap akan terus berjuang
mencari bagaimana hukum didefinisikan sebab definisi hukum merupakan
bagian yang substansial dalam meberi arti keberadaan hukum sebagai
ilmu. Hukum juga merupakan sesuatu yang rasional dan dimungkinkan
untuk dibuatkan definisi sebagai penghormatan para juris terhadap
eksistensi hukum (http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-
hukum/).
109
Hukum dalam bahasa Belanda dinamakan ”Recht” yang berasal dari
bahasa Latin “Rectum” yang berarti kebaikan, kebajikan. Selanjutnya kata
latin lainnya tentang hukum adalah “Ius” yang berarti hukum, berasal dari
kata “lubere” artinya mengatur, memerintah. Kata “Ius” bertalian erat
dengan “lustitia” atau keadilan. Pengertian hukum (law) dalam Black’s
Law Dictionary yaitu: “That which is laid down, ordained, or established.
A rule or method according to which phenomena or actions co-exist or
fallow each other. Law, in its generic sense, is a body of rules of action or
conduct prescribed by controlling authority, and having binding legal
force”. (Henry Campbell Black, 1979:795).
Paul Scholten dalam “Algemeen Deel” dijelaskan bahwa untuk
mengerti tentang hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham tentang
kedudukan manusia di dalam masyarakat, dengan memperhitungkan
keduanya secara bersama-sama. Selanjutnya untuk memberi batasan
tentang hukum harus mengandung unsur-unsur :
a) Hukum adalah perintah
Yang dimaksud dengan perintah adalah peraturan yang berasal dari
negara kepada individu dan masyarakat. Umumnya diberlakukan di
bidang publik, dimana setiap pelanggaran memberikan kewenangan
kepada negara untuk mengambil tindakan. Contoh hukum pidana,
dimana negara dengan perantara perlengkapannya mengambil
inisiatif untuk menahan, menangkap dan selanjutnya diajukan ke
muka pengadilan.
b) Hukum adalah suatu ijin
Maksudnya adalah ijin yang diberikan oleh negara kepada setiap
individu agar setiap individu dapat melaksanakan tugasnya dengan
semestinya. Misalnya untuk mendirikan rumah, dipersyaratkan ijin
dari pemerintah setempat.
110
c) Hukum adalah suatu janji
Maksudnya yaitu janji yang diucapkan oleh satu pihak terhadap
pihak lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang
berlaku, adalah merupakan hukum atau undang-undang bagi pihak-
pihak yang berjanji. Hal ini dikenal dengan asas “pacta sunt
servanda”, yang artinya setiap janji harus ditepati.
d) Hukum yang disediakan
Maksud dari hukum yang disediakan adalah peraturan undang-
undang yang telah dibuat oleh negara untuk dipergunakan kepada
setiap warga negara, seandainya diantara perjanjian yang dibuat oleh
para pihak belum lengkap syarat-syaratnya (Soeroso, 1993: 31-34).
Mochtar Kusumaatmadja mengatakan: Pengertian hukum yang
memadai harus tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu
perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam
masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses
(processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1976:15).
Menurut Wiryono Kusumo, Hukum merupakan keseluruhan peraturan
baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata tertib di dalam
masyarakat dan terhadap pelanggarnya umumnya dikenakan sanksi.
Dari pendapat para ahli hukum belum terdapat satu kesatuan mengenai
pengertian hukum, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hukum
memiliki beberapa unsur yaitu :
a) Adanya peraturan/ketentuan yang memaksa
b) Berbentuk tertulis maupun tidak tertulis
c) Mengatur kehidupan masyarakat
d) Mempunyai sanksi.
111
b. Arti Hukum
Hukum memiliki arti sebagai berikut :
1) Hukum dalam Arti Ketentuan Penguasa
Hukum adalah perangkat-peraturan peraturan tertulis yang dibuat
oleh pemerintah melalui badan-badan yang berwenang.
2) Hukum dalam Arti Para Penguasa
Hukum adalah dibayangkan dalam wujud petugas yang berseragam
dan bisa bertindak terhadap orang-orang yang melakukan tindakan-
tindakan yang membahayakan warga masyarakat, seperti petugas
Polisi patroli, Jaksa dan hakim dengan toganya. Disini hukum
dilihat dalam arti wujud fisik yang ditampilkan dalam gambaran
orang-orang yang bertugas menegakkan hukum.
3) Hukum dalam arti sikap tindak
Yaitu hukum sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang
teratur. Hukum ini tidak nampak seperti dalam arti petugas yang
patroli, yang memeriksa orang yang mencuri atau hakim yang
mengadili, melainkan hidup bersama dengan perilaku individu
terhadap yang lain secara terbiasa dan senantiasa terasa wajar serta
rasional. Dalam hal ini sering disebut hukum sebagai suatu
kebiasaan (hukum kebiasaan).
4) Hukum dalam arti sistem kaidah
a) Suatu tata kaidah hukum yang merupakan sistem kaidah-kaidah
secara hirarkis
b) Susunan kaidah-kaidah hukum yang sangat disederhanakan dari
tingkat bawah ke atas meliputi :
112
- Kaidah-kaidah individual dari badan2 pelaksana hukum
terutama pengadilan
- Kaidah-kaidah umum didalam UU hukum atau hukum
kebiasaan
- Kaidah-kaidah konstitusi
c) Sahnya kaidah2 hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah
tergantung atau ditentukan oleh kaidah2 yang termasuk
golongan tingkat yang lebih tinggi.
5) Hukum dalam arti jalinan nilai
Hukum dalam artian ini bertujuan mewujudkan keserasian dan
kesinambungan antar faktor nilai obyektif dan subyektif dari
hukum demi terwujudnya nilai-nilai keadilan dalam hubungan
antara individu di tengah pergaulan hidupnya. Nilai objektif
tersebut misalnya tentang baik buruk, patut dan tidak patut
(umum), sedangkan nilai subjektif memberikan keputusan bagi
keadilan sesuai keadaan pada suatu tempat , waktu dan budaya
masyarakat (khusus). Inilah yang perlu diserasikan antara
kepentingan publik, kepentingan privat dan dengan kepentingan
individu.
6) Hukum dalam arti tata hukum
Hukum disini adalah tata hukum atau kerapkali disebut sebagai
hukum positif yaitu hukum yang berlaku disuatu tempat, pada saat
tertentu (sekarang misalnya di Indonesia). Hukum positif tersebut
misalnya hukum publik (HTN, HAN, Pidana, internasional
publik), hukum privat (perdata, dagang).
7) Hukum dalam ilmu hukum
Hukum berarti ilmu tentang kaidah atau normwissenschaft atau
sallenwissenschaft yaitu ilmu yang menelaah hukum sebagai
113
kaidah atau sistem kaidah-kaidah, dengan dogmatik hukum dan
sistematik hukum. Dalam arti ini hukum dilihatnya sebagai ilmu
pengetahuan atau science yang merupakan karya manusia yang
berusaha mencari kebenaran tentang sesuatu yang memiliki ciri-
ciri, sistimatis, logis, empiris, metodis, umum dan akumulatif.
Normwissenschaft adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah/norma,
sedangkan Sollenwissenschaft adalah ilmu pengetahuan tentang
seharusnya.
8) Hukum dalam arti disiplin hukum atau gejala sosial
Dalam hal ini hukum sebagai gejala dan kenyataan yang ada
ditengah masyarakat. Secara umum disiplin hukum menyangkut
ilmu hukum ((ilmu pengertian, ilmu kaidah dan ilmu kenyataan),
politik hukum dan filsafat hukum
(http://arifnurahmanblog.blogspot.com).
Adapun nilai-nilai dasar hukum menurut Radbruch yaitu:
1. Keadilan
2. Kemanfaatan, dan
3. Kepastian hukum (http://arifnurahmanblog.blogspot.com).
4. Hukum dan Hak Asasi Manusia
a. Hak Asasi Manusia
Hak asasi adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya
tanpa perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, atau kelamin, dan karena
itu bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi ialah bahwa
manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan
bakat dan cita-citanya (Miriam Budiardjo, 1996: 120).
114
Dalam berbagai versi sejarah munculnya Hak Asasi Manusia, Satjipto
Rahardjo berpendapat bahwa HAM memang berasal dari barat.
Pendapatnya tersebut serupa dengan pendapat Baehr yang menyatakan
bahwa “tidak ada keraguan, bahwa ide perlindungan HAM pertama-tama
dirumuskan di Barat.” Dokumen-dokumen paling awal yang memasuki
HAM adalah Bill of Rights (Inggris, 1688), Declaration of The Rights of
Man and of The Citizen (Prancis, 1789), dan Bill of Rights (Amerika,
1791) (Muladi_edt, 2005: 217).
Pengakuan dunia Internasional atas Hak Asasi Manusia diwujudkan
dalam Universal Declaration of Human Right, deklarasi yang kemudian
menjadi dasar didirikannya PBB. Universal Declaration of Human Right
tersebut mengandung dua makna, makna ke dalam dan makna ke luar yang
berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negaranya masing-
masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling
menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan
antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam
malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai
kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian
bahwa Deklarasi HAM sedunia tersebut harus senantiasa menjadi kriteria
obyektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya (Peter Baehr dkk, 2001:
xx).
b. Hukum dan Hak Asasi Manusia
Hukum (rechts, bahasa Jerman Kuno, menurut asal kata berarti prajurit
yang bermakna ‘lurus’) disebut juga aturan, norma, kaidah sebagai kata
benda mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan (Masyur Effendi,
2005: 32). Hak asasi manusia dengan Negara hukum tidak dapat
dipisahkan, justru berpikir secara hukum berkaitan dengan ide bagaimana
keadilan dan ketertiban dapat terwujud. Dengan demikian, pengakuan dan
pengukuhan negara hukum salah satu tujunnya melindungi hak asasi
115
manusia, berarti hak dan sekaligus perseorangan diakui,dihormati dan
dijunjung tinggi (Masyur Effendi, 1994: 27).
Kaitan antara hukum dan hak asasi manusia sangatlah erat, seperti
yang diungkapkan oleh Hans Kelsen, “negara hukum (allgemeine
staatslehre) akan lahir, apabila sudah dekat identieit der Staatsordnung mit
der rechtsordnung, semakin bertambah keinsafan hukum dalam
masyarakat, berarti semakin dekat kita dalam pelaksanaan negara hukum
yang sempurna”. Oleh karenanya, negara hukum hanya dapat disebut
sebagai negara hukum apabila dalam praktik kenegaraannya mengakui dan
menghormati sendi-sendi hak asasi manusia.
Dalam pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jimly Ashidiqie
membagi ketentuan Hak Asasi Manusia UUD 1945 ke dalam beberapa
kelompok. Kelompok yang pertama adalah kelompok ketentuan yang
menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
kehidupannya;
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau
penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
martabat kemanusiaan;
3. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5. Setiap orang bebas untuk memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan
pemerintahan;
8. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut;
116
9. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah;
10. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11. Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya,
meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
13. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif
dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif tersebut.
Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya yang
meliputi:
1. setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul, dan
menyatakan pendapatnya secara damai;
2. setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka
lembaga perwakilan rakyat;
3. setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan
publik;
4. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang
sah dan layak bagi kemanusiaan;
5. setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat
perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6. setiap orang berhak untuk mempunyai hak milik pribadi;
7. setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk
hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai
manusia yang bermartabat;
8. setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
117
9. setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan
pengajaran;
10. setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfat dari
ilmu pengetahuan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
11. negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak
masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa-bangsa;
12. negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan
nasional;
13. negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
kepercayaannya itu.
Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang
meliputi:
1. setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk
kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan
terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan yang sama;
2. hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapat kesetaraan
gender dalam kehidupan nasional;
3. hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh
fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4. setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan
orangtua, keluarga, masyarakat dan negara untuk perkembangan fisik
dan mental serta perkembangan pribadinya;
118
5. setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan
dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan
kekayaan alam;
6. setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7. kebijakan, perlakuan, atau tindakan khusus yang bersifat sementara
dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang
dimaksud untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok
tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus
tersebut tidak termasuk dalam diskriminasi.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggungjawab negara
dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1. setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2. dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetpkan oleh undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, kesusilaan,
keamanan, dan ketertiban umum dalam msyarakat yang demokratis;
3. negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
4. untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk komisi
Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak
memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur
dengan undang-undang.
2. Hak Pilih dan Penggunaan Hak Pilih
119
a. Hak Pilih
Dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dinyatakan bahwa, “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.” Pasal ini menjelaskan bahwa setiap warga negara, yaitu
orang Indonesia asli maupun bangsa lain yang disahkan undang-undang
sebagai warga negara, mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum
dan pemerintahan. Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan (UUD 1945 Pasal 28D ayat
(3) ).
Pada tanggal 28 Oktober 2005, Indonesia telah meratifikasi
International Covenant on Civil and Political Right atau Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan disahkannya UU
No. 12 Tahun 2005. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-
Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal dan berisikan pokok-pokok
HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia).
Ratifikasi ini menjadikan kovenan tersebut mengikat secara hukum di
Indonesia.
Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan
rakyat dan Hak Asasi Manusia dalam bidang politik. Hal tersebut
diwujudkan dengan adanya hak pilih dalam pemilu yang dimiliki oleh
setiap warga negara. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 43 ayat (1), “Setiap warga negara
berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”
Hak pilih sendiri terbagi atas hak pilih aktif dan hak pilih pasif. Hak
pilih aktif adalah hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia untuk
memilih dalam Pemilihan Umum Legislatif dan Presiden maupun dalam
120
Pemilihan Kepala Daerah. Pasal 19 UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum menyatakan bahwa yang memiliki hak memilih adalah
Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/ pernah kawin serta
terdaftar dalam daftar pemilih oleh penyelenggara Pemilu.
Hak pilih pasif merupakan hak setiap warga negara Indonesia untuk
dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada. Setiap Warga Negara Indonesia
berhak untuk dipilih dalam Pemilu maupun Pilkada apabila memenuhi
ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang. Pasal 50 UU No. 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa bakal calon
anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota harus
memenuhi persyaratan:
a. Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu)
tahun atau lebih;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia;
e. berpendidikan paling rendah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK),
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat;
f. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17
Agustus 1945;
g. tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih;
h. sehat jasmani dan rohani;
121
i. terdaftar sebagai pemilih;
j. bersedia bekerja penuh waktu;
k. mengundurkan diri sebagai pegawai negeri sipil, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
pengurus pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik
daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan
negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri dan yang
tidak dapat ditarik kembali;
l. bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan
tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang
berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat
menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak
sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
sesuai peraturan perundang-undangan;
m. bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat-negara
lainnya, pengurus pada badan usaha milik negara, dan badan usaha
milik daerah, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari
keuangan negara;
n. menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu;
o. dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan
p. dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
b. Golongan Putih (Golput)
Golongan Putih (golput) adalah fenomena dalam demokrasi. Golput
atau disebut juga ‘No Vote Decision’ selalu ada pada setiap pesta
demokrasi di mana pun terutama yang menggunakan sistem pemilihan
langsung (direct voting). Mereka (para pemilih) dikatakan golput atau ‘No
Vote Decision’ apabila berkeputusan untuk tidak memilih salah satu dari
122
kontestan yang tersedia pada kertas suara ketika dilakukan pemungutan
suara. Apabila cara untuk memilih dilakukan dengan mencoblos
logo/foto, maka pemilih tidak mencoblos pada tempat yang disediakan
sehingga kartu suara dinyatakan tidak sah. Jika untuk memilih digunakan
dengan memberikan coretan atau tanda centang, maka pemilih tidak
memberikan tanda centang atau memberikan tanda centang bukan pada
tempat yang disediakan sehingga kartu suara menjadi tidak sah. Dari
pengertian ini, mereka yang dikatakan mengambil sikap golput atau ‘No
Voting Decision’ tetap hadir dan melakukan proses pemilihan sesuai
dengan tata cara yang berlaku (http://leo4kusuma.blogspot.com).
Dengan kata lain, “golput” dapat digolongkan dalam beberapa bentuk
dan cara, berupa: (a) merusak kartu suara, misalnya dengan sengaja
mencoblos lebih dari satu gambar atau pilihan; (b) membiarkan kartu suara
tidak dicoblos sehingga tidak terdefi nisi pilihannya, dan (c) tidak
menggunakan haknya dengan cara absen dari tempat pemungutan suara
(TPS). Sedangkan jika diklasifikasikan berdasarkan spiritnya, “golput”
dapat dilakukan dengan: Pertama, cara tidak sengaja (kecelakaan semata)
yang bisa terjadi karena alasan teknis administratif, misalnya lupa,
tidak/belum terdaftar, atau karena kendala dan halangan darurat yang tidak
dikehendaki; Kedua, ketidakpedulian politik (apatisme) yang biasanya
terjadi karena berpendirian bahwa pemilu bukan sesuatu yang berkaitan
dengan kepentingan dirinya secara langsung; dan Ketiga, semangat
kesengajaan yang biasanya dilandasi oleh prinsip perlawanan
(pembangkangan), baik itu karena tidak sepakat dengan sistem pemilu,
tidak sesuai dengan partai kontestan, atau karena melihat adanya fakta-
fakta manipulasi (Muntoha, 2009: 59).
Hal tersebut muncul dikarenakan sistem kepartaian yang tercipta saat
itu bersigat hegemonik. Terciptanya sistem kepartaian yang hegemonik itu
karena dukungan beberapa faktor sebagai berikut :
123
1. Dibentuknya aparatur keamanan yang represif dengan tugas menjaga
ketertiban dan mempertahankan aturan politik dan stabilitas negara.
Stabilitas politik telah menjadi “bahasa resmi” dalam setiap kebijakan
pemerintah dan militer selama masa Orde Baru itu, maka dibentuklah
berbagai lembaga untuk mendukungnya, seperti BKIN, Kopkamtib,
dan Opsus;
2. Proses depolitisasi massa agar negara dapat memutuskan perhatian
pada pembangunan ekonomi. Depolitisasi massa dibutuhkan untuk
menjamin pelaksanaan pembangunan ekonomi. Aktivitas mobilisasi
massa dalam proses politik biasanya dilakukan oleh Parpol pada massa
Orde Baru itu;
3. Emaskulasi dan restrukturisasi partai-partai politik yang dominan
selain Golkar, terutama sebelum pemilu; dan
4. Dikeluarkannya hukum-hukum pemilu dan aturan pemerintahan
sedemikian rupa untuk memungkinkan partai yang didukung oleh
pemerintah/militer (Golkar) selalu menang dalam pemilu, seperti
dalam proses seleksi calon, kampanye, dan intervensi pemerintah
dalam kehidupan parpol (Muntoha, 2009: 61).
Golput sesungguhnya merupakan fenomena politik ‘mata pedang
demokrasi’. Dari perspektif pelakunya Golput bertujuan mendelegitimasi
pemilu yang diselenggarakan pemerintah, sedangkan dari perspektif
demokrasi justru memberikan legitimasi terhadap demokrasi yang
berlangsung dimana itu membuktikan bahwa pemerintah telah
memberikan ruang aspirasi bagi kepentingan kelompok ekstra parlementer.
Pendeknya, golput adalah barometer kualitas demokrasi. Arief Budiman
menyatakan bahwa golput bukan organisasi, tanpa pengurus dan hanya
pertemuan solidaritas (Arbi Sanit, 1992: 178).
3. Hukum Islam
124
a. Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian
agama Islam (Mohammad Daud Ali, 2005: 42). Berkaitan dengan hal-
hal tersebut, maka sebelum melangkah lebih lanjut perlu adanya sedikit
pembahasan mengenai beberapa istilah yang berhubungan dengan
penggunaan istilah hukum Islam tersebut. Beberapa istilah tersebut
yaitu:
1) Hukm dan Ahkam
Interaksi manusia dalam berbagai tata hubungan, baik hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia lain, dirinya sendiri, mupun dengan
benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya diatur oleh seperangkat
ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm. Adapun
ahkam adalah bentuk jamak dari hukm tersebut (Mohammad Daud Ali,
2005:43).
Hukm menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Mohammad Daud
Ali adalah norma atau kaidah, yakni ukuran, tolok ukur, patokan,
pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan
manusia dan benda. Istilah ini memang hampir sama dengan hukum,
sebab perkataan hukum yang dipergunakan di Indonesia berasal dari kata
hukm tersebut. Dalam hukm inilah kemudian dikenal adanya hukum
taklifi menurut Masyfuk Zuhdi, yaitu norma atau kaidah hukum Islam
yang mungkin mengandung kewenangan terbuka, yaitu kebebasan
memilih untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu
perbuatan. Disebut juga sebagai al-ahkam al-khamsah menurut Sajuti
Thalib, yaitu ja’iz atau mubah atau ibahah, sunnat, makruh, wajib, dan
haram (Mohammad Daud Ali, 2005: 44).
Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian karena hukum takllifi
menghendaki permintaan suatu pekerjaan. Jika tuntutannya itu terdiri
atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu adalah hukum
125
wajib, pengaruhnya adalah kewajiban, yang dituntut pelaksanaannya
adalah wajib. Dan jika tuntutannya itu tidak atas tujuan mewajibkan atau
menetapkan, maka hukum itu ialah sunnat, pengaruhnya adalah
kesunatan, yang dituntuk pelaksanaannya adalah yang disunnatkan (al-
mandub). Dan apabila menghendaki larangan suatu pekerjaan, maka jika
tuntutan itu atas segi mewajibkan dan menetapkan, maka hukum itu
adalah haram, pengaruhnya adalah keharaman, yang dituntut berupa
larangan suatu pekerjaan itu adalah yang diharamkan (al-muharram).
Dan jika tuntutannya itu tidak atas segi mewajibkan dan menetapkan,
maka hukum itu adalah makruh, pengaruhnya adalah kemakruhan, yang
dituntut berupa meninggalkan pekerjaan itu adalah makruh. Dan apabila
menghendaki memerintah memilih kepada mukallaf di antara
mengerjakan atau meninggalkan, maka itu adalah mubah. Pengaruhnya
adalah kebolehan dan pekerjaan yang disuruh memilih di antara
melaksanakan dan meninggalkan adalah mubah (Abdul Wahhab Khallaf,
1996: 162).
2) Syariat
Syariat secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan
lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Syariat merupakan jalan
hidup muslim. Syariat memuat ketetapan-ketetapan Allah dan ketentuan
rasul-Nya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan, meliputi
seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia (Mohammad Daud Ali,
2005: 46).
3) Fiqih
Ilmu fiqih adalah ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan
norma-norma hukum dasar yang terdapat di dalam Al Quran dan
ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam Sunnah Nabi yang
direkan dalam kitab-kitab hadist. Dengan kata lain, ilmu fiqih, selain
rumusan di atas, adalah ilmu yang berusaha memahami hukum-hukum
yang terdapat di dalam Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad untuk
126
diterapkan pada perbuatan manusia yang telah dewasa yang sehat
akalnya yang berkewajiban melaksanakan hukum Islam. Hasil
pemahaman tentang hukum Islam itu disusun secara sistematis dalam
kitab-kitab fiqih dan disebut hukum fiqih (Mohammad Daud Ali,
2005:48). Yang dimaksud dengan hukum fiqih adalah ketentuan-
ketentuan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad para ahli hukum Islam
(Mohammad Daud Ali, 2005:51).
b. Jenis Sumber Hukum Islam
1) Alquran
Al-Quran adalah kalam (diktum) Allah SWT yang diturunkan
olehNya dengan perantaraan Malaikat Jibril ke dalam hati Rasulullah,
Muhammad bin Abdullah dengan lafazh (kata-kata) Bahasa Arab dan
dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah Rasul SAW dalam
penakuannya sebagai Rasulullah. Juga sebagai undang-undang yang
dijadikan pedoman ummat manusia dan sebagai amal ibadah bila
dibacanya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 22).
Sayyid Hussein Nasr menyatakan bahwa Alquran adalah intisari
semua pengetahuan. Namun, pengetahuan yang terkandung di dalam
Alquran hanyalah benih-benih atau prinsip-prinsipnya saja
(Mohammad Daud Ali, 2005: 79). Di dalamnya terdapat ajaran yang
memberi pengetahuan tentang struktur (susunan) kenyataan alam
semesta dan posisi berbagai makluk termasuk manusia serta benda di
jagad raya, petunjuk yang menyerupai sejarah manusia, rakyat biasa,
raja-raja, orang-orang suci, para nabi sepanjang zaman dan segala
cobaan yang menimpa mereka. Selain itu, dalam Alquran berisi
sesuatu yang sulit untuk dijelaskan dalam bahasa biasa karena berasal
dari firman Tuhan (Mohammad Daul Ali, 2005: 81).
Menurut pandangan Islam, hukum-hukum yang terkandung dalam
Alquran adalah (Mohammad Daud Ali, 2005: 84):
127
a) hukum-hukum i’tiqadiyah, yaitu hukum-hukum yang berkaitan
dengan kewajiban para subjek hukum untuk mempercayai Allah,
malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari
pembalasan, kada dan kadar;
b) hukum-hukum akhlak, yaitu hukum-hukum Allah yang
berhubungan dengan kewajiban seorang subjek hukum untuk
‘menghiasi’ dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan
diri dari sifat-sifat yang tercela;
c) hukum-hukum amaliyah yakni hukum-huum yang bersangkutan
dengan perkataan perkataan, perbuatan, perjanjian, dan hubungan
kerjasama antarsesama manusia. Terbagi atas:
1. hukum ibadah, yakni hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Allah dalam mendirikan salat, melakasanakan
ibadah puasa, mengeluarkan zakat dan melakukan ibadah haji;
2. hukum-hukum muamalah, yakni semua hukum yang mengatur
hubugnan manusia dengan manusia, baik hubungan
antarpribadi maupun hubungan antarorang perorangan dalam
masyarakat.
2) As-Sunnah (Al Hadist)
As-Sunnah atau Al-Hadist adalah sumber hukum Islam kedua
setelah Alquran, berupa perkataan (sunnah qauliyah), perbuatan
(sunnah fo’liyah), dan sikap diam (sunnah taqriyah atau sunah
sukutiyah) Rasulullah yang sekarang tercatat dalam kitab-kitab hadist.
Ia merupakan penafsiran serta penjelasan otentik tentang Alquran
(Mohammad Daud Ali, 2005: 97).
Menurut istilah syara, As-sunnah adalah hal-hal yang datang dari
Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, maupun pengakuan
(taqrir). Sedangkan As-sunnah menurut Qauliah (ucapan) adalah
hadist-hadist Rasulullah SAW yang diucapkannya dalam berbagai
128
tujuan dan persesuaian atau situasi (Abdul Wahhab Khallaf, 1996:
47).
3) Akal Pikiran (al-Ra’yu atau ijtihad)
Sumber hukum Islam ketiga adalah akal pikiran manusia yang
memenuhi syarat untuk berusaha, berikhtiar dengan seluruh
kemampuan yang ada padanya memahami kaidah-kaidah hukum
yang fundamental yang terdapat dalam Alquran, kaidah-kaidah
hukum yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah nabi dan
merumuskannya menjadi garis-garis hukum yang diterapkan pada
kasus tertentu (Mohammad Daud Ali, 2005:112). Secara harfiah
ra’yu berarti pendapat dan pertimbangan. Seseorang yang
memiliki persepsi mental dan pertimbangan yang bijaksana disebut
orang yang mempunyai ra’yu atau dzu’l ra’y (Mohammad Daud
Ali, 2005:115).
Menurut Othman Ishak sebagaimana dikutip Mohammad Daud
Ali, ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya bersungguh-
sungguh atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Dalam
hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang
yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap
kemampuan yang ada serta dilakukan oleh ahli hukum yang
memenuhi syarat yang ada untuk merumuskan garis hukum yang
belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran atau
Sunah Rasul (Mohammad Daud Ali, 2005:116). Adapun metode
dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut.
1. Ijma’
Ijma’ ialah kesepakatan semua mujtahidin di antara ummat
Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas
129
hukum syar’i mengenai suatu kejadian/ kasus (Abdul Wahhab
Khallaf, 1996: 64).
2. Qiyas
Al Qiyas menurut bahasa ialah mengukur sesuatu dengan benda
lain yang dapat menyamainya. Dapat juga dikatakan Qiyas ialah
menyamakan, karena mengukur sesuatu dengan benda lain yang
dapat menyamainya, berarti menyamakan di antara dua benda
tersebut. Sedangkan menurut Ulama Ushul, Qiyas ialah
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya dalam
hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan
dua kejadian tersebut dalam illat hukumnya (Abdul Wahhab
Khallaf, 1996: 76).
3. Istidal
Menurut A. Siddik (A.Siddik, 1982: 225) sebagaimana dikutip
Mohammad Daud Ali, istidal adalah menarik kesimpulan dari dua
hal yang berlainan. Misalnya menarik kesimpulan dari adat istiadat
dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat yang
telah lazim dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan
hukum Islam dan hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam
tetapi tidak dihapuskan oleh syariat Islam, dapat ditarik garis-garis
hukumnya untuk dijadikan hukum Islam.
4. Al-masalih al-mursalah
Masalih al-mursalah atau disebut juga maslahat mursalah
adalah cara menemukan hukum sesuatu hal yang tidak terdapat
ketentuannya baik di dalam Alquran maupun dalam kitab-kitab
hadist, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau
kepentingan umum (Mohammad Daud Ali, 2005:121).
Pendekatan hukum itu tidak dimaksudkan kecuali untuk
merealisir kemaslahatan umat manusia. Artinya mendatangkan
130
keuntungan bagi mereka dan menolak mudharat serta
menghilangkan kesulitan daripadanya (Abdul Wahhab Khallaf,
1996: 127).
5. Istihsan
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu,
sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya
seorang Mujtahid dari tuntutan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada
Qiyas Khafi (Qiyas samar) (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 120).
6. Istishab
Istishab menurut bahasa Arab adalah mengakui adanya
hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul,
Istishab yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sehingga terdapat dalil yang menunjukkan perubahan keadaan, atau
menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara
kekal menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukkan
atas perubahannya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 137).
7. ‘urf.
‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia dan
telah menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan
atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat (Abdul Wahhab
Khallaf, 1996: 134).
4. MUI dan Fatwa
1. MUI
Majlis Ulama Indonesia adalah wadah atau majlis yang menghimpun
para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk
menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam
mewujudkan cita-cita bersama. Majlis Ulama Indonesia berdiri pada
tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di
131
Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama,
cendekiawan dan zu’ama yang datang dari pelbagai penjuru tanah air.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 07 Rajab 1395 H,
bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta.
(http://id.wikipedia.org/wiki/MUI)
Musyawarah tersebut kemudian dinamakan Musyawarah Nasional
Ulama I yang dihadiri oleh diantaranya dua puluh enam orang ulama
yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama
yang merupakan unsur dari organisasi Islam tingkat pusat, yaitu NU,
Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar,
GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas
Rohani Islam, TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Udara, TNI Angkatan
Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan
tokoh perorangan.
Musyawarah tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan untuk
membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama, zuama dan
cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah ‘Piagam Berdirinya
MUI’ yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang
kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I. Momentum berdirinya
MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase
kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa
telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
perduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat
(http://id.wikipedia.org/wiki/MUI/).
Dalam khittah pengabdian Majlis Ulama Indonesia telah dirumuskan
lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya).
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti).
132
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al
ummah).
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid.
5. Sebagai penegak (amar ma'ruf nahi munkar) (http://id.wikipedia.org
/wiki/MUI).
2. Fatwa
Fatwa merupakan salah satu bentuk dari hasil ijtihad para ahli atau
ulama (Rohadi Abd. Fatah, 1991:41). Dengan kata lain, fatwa
merupakan penetapan suatu hukum setelah melalui proses ijtihad (Rohadi
Abd. Fatah, 1991:123). Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah
diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna
”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan
yang sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika
dinyatakan ”aftay fi al-mas`alah maka maksudnya adalah menerangkan
hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan al-iftaa` adalah
penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat, undang-
undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan
orang yang bertanya (http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/29/kedudukan-
fatwa-dalam-syariat-islam/).
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, Al-fatwa secara bahasa berarti
petuah, penasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan
hukum; jamak: fatawa. Sedangkan dalam istilah Ilmu Ushul Fiqh, Fatwa
berarti pendapat yang dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai
jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dalam suatu
kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tesebut
bisa bersifat pribadi, lembaga, maupun kelompok masyarakat. Pihak
yang memberi fatwa dalam istilah Ushul Fiqh disebut Mufti dan pihak
yang meminta fatwa disebut al-mustafti.
133
Adapun syarat-syarat mengeluarkan fatwa bagi seorang mufti
(pemberi fatwa) adalah (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 26) :
1. memiliki niat, bila belum memiliki niat maka tidak ada pada dirinya
nur cahaya yang akan menranginya.
2. hendaknya memiliki ilmu pengetahan, kesantunan, keagungan, dan
ketenangan hati.
3. hendaknya memiliki kekuatan untuk menguasai apa yang ada dalam
dirinya dan menguasai ilmu pengetahuan.
4. memiliki kecukupan dalam hidupnya, kalau tidak maka ia akan
dikuasai (ditunggangi) oleh manusia.
5. hendaknya ia mengetahui prinsip-prinsip hidup kemsyarakatan (hal
ihwal manusia dikaitkan dengan alam sekitarnya/ environmental)
Fatwa menurut arti syari’at ialah suatu penjelasan hukum syar’iyah
dalam menjawab suatu perkara yang diajukan oleh seseorang yang
bertanya, baik penjelasan itu jelas/ terang atau tidak jelas (ragu-ragu) dan
penjelasan itu mengarah pada dua kepentingn yakni kepentingan pribadi
atau kepentingan rakyat banyak (Rohadi Abd. Fatah, 1991:7). Fatwa
memberi jawaban hukum atas pertanyaan dan persoalan yang
menyangkut masalah hukum yang tidak diketemukan dalam al-Quran
maupun sunnah atau memberi penegasan kembali akan kedudukan suatu
persoalan dalam kaca mata ajaran hukum Islam. Fatwa bukanlah sebuah
keputusan hukum yang dibuat dengan gampang, atau yang disebut
dengan membuat hukum tanpa dasar, melainkan seorang yang memberi
Fatwa (Mufti) harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu, seperti
memahami pelbagai aspek hukum Islam dan dalil yang menopangnya
dan otoritas keilmuannya diakui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat
datang kepadanya untuk meminta pertimbangan hukum. Dalam hal ini,
dan karena dirasa terlalu sulitnya memperoleh kewenangan fatwa, dalam
konteks Indonesia, maka lazim diberikan lembaga khusus dalam sebuah
134
organisasi, misalnya Komisi Fatwa MUI, Bahtsul Masail NU, dan
Majelis Tarjih Muhammadiyah (http://elkhalil.wordpress.com/
2009/10/05/kedudukan-fatwa-mui). Fatwa dihasilkan dari sumber-
sumber yang terpercaya, yakni Hadist Rasulullah SAW, yang sangat
besar pengaruhnya dalam masyarakat, dan fatwa tersebut sangat jauh dari
nilai kehormatan. Fatwa dimaksudkan hanya untuk memberikan arah
dan kejelasan terhadap masalah-masalah yang muncul dan timbul di
kalangan masyarakat (Rohadi Abd. Fatah, 1991: 17).
Oleh karena itu, menurut Rohadi Abd fatah, fatwa mengandung
beberapa unsur pokok. Beberapa unsur pokok tersebut meliputi fatwa
sebagai bentuk pengambilan keputusan hukum syar’iyah yang sedang
diperselisihkan (terjadi perbedaan pendapat), fatwa sebagai jalan keluar
dari kemelut perbedaan pendapat di antara para ulama/ para ahli, fatwa
harus mempunyai konotasi kuat baik dari segi sosial keagamaan maupun
sosial kemasyarakatan, dan mengarahkan pada perdamaian umat. Sebab
ada ulama yang mengatakan bahwa berubahnya fatwa sering terjadi
karena bertumbuh dan berubahnya situasi, kondisi, tempat, dan istiadat
(Rohadi Abd. Fatah, 1991:35).
135
B. Kerangka Pemikiran
Bagan 1
Kerangka Pemikiran
UUD 1945
Negara Hukum
Pengakuan atas Hak Asasi Manusia
Hak Pilih Aktif
Digunakan Tidak Digunakan (Golput)
Kebebasan berserikat
Majelis Ulama Indonesia
(MUI)
Negara Republik
Indonesia
Kedudukan?
Fatwa Golput Haram
Bertentangan?
Dasar
pertimbangan?
Nilai Hukum dalam Hak Asasi
Manusia?
136
Penjabaran:
Negara Republik Indonesia adalah negara Hukum. Hal tersebut
ditegaskan dalam konstitusi Negara Republik Indonesia, UUD 1945 Pasal 1
ayat (3). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah konsep yang tidak dapat
dipisahkan dalam negara hukum, baik dalam konsep Rule of Law maupun
Rechstaat. Dua diantara penghargaan atas HAM adalah pengakuan atas
kebebasan berserikat serta hak pilih. Kebebasan berserikat diatur dalam UUD
1945 Pasal 28, sedangkan hak pilih warga negara diatur dalam Pasal 27 ayat
(1) serta Pasal 28I ayat (1).
Salah satu wujud dari kebebasan berserikat di Indonesia adalah adanya
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Majelis Ulama Indonesia adalah LSM
di Indonesia yang merupakan perkumpulan para ulama di Indonesia. Oleh
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama muslim, maka MUI
kemudian memiliki pengaruh yang cukup kuat di Indonesia serta menjadi
sumber acuan atas hukum agama suatu hal. Salah satu fungsi dari MUI adalah
memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat muslim dengan
berdasar pada ijtihad. Jawaban tersebut disebut sebagai fatwa, oleh karenanya
MUI juga disebut sebagai lembaga mufti atau lembaga pemberi fatwa. Sejak
berdiri pada tanggal 26 Juli 1975, MUI telah mengeluarkan berbagai fatwa di
berbagai bidang, termasuk sosial kemasyarakatan. Permasalahan muncul
ketika MUI mengeluarkan fatwa haram mengenai golongan putih (golput).
Golput adalah suatu keputusan seseorang untuk tidak menggunakan hak
pilih aktifnya. Dengan kata lain, karena satu atau lain hal, seseorang tidak
menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Tidak semua peristiwa golput
adalah kesengajaan. Terkadang seseorang golput karena tidak terdaftar dalam
Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau sedang berhalangan sehingga tidak bisa
menggunakan hak pilihnya.
Oleh karena itu, fatwa yang dikeluarkan MUI justru menimbulkan
permasalahan sendiri. Sebab, fatwa tersebut telah memberikan justifikasi
hukum secara Islam bahwa golput adalah haram. Golput yang akan diteliti
137
dalam penelitian ini adalah golput yang terjadi karena kesengajaan. Karena
sesungguhnya yang diatur dalam UUD 1945 adalah hak pilih, bukan
kewajiban untuk memilih. Hak pilih merupakan hak konstitusional warga
negara yang termasuk dalam HAM. Oleh karena itu, penulis mencoba
mengetahui apakah golput adalah bagian dari HAM. Selain itu, penulis
mencoba untuk meneliti bagaimana kedudukan MUI di Indonesia sehingga
dapat diketahui apakah fatwa haram MUI tentang golput tersebut bertentangan
dengan HAM atau tidak. Dengan demikian, penulis dapat mengetahui nilai
hukum dari fatwa haram MUI tentang golput tersebut dalam perspektif HAM.
138
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
Untuk mengetaui bagaimana penggunaan hak pilih untuk tidak memilih
dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), maka perlu untuk mengetahui
bagaimana pengaturan hak pilih tersebut dalam UUD 1945, UU yang
berkaitan dengan HAM yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta UU yang mengatur
mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) yaitu UU No. 10 Tahun 2008.
a. Pengaturan Hak Pilih dalam UUD 1945
UUD 1945 mengatur mengenai hak pilih tidak secara tersirat, namun
masuk dalam poin beberapa pasalnya. Pada Pasal 27 ayat (1) dinyatakan
mengenai kesetaraan kedudukan warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.” Hak pilih merupakan hak politik setiap warga
negara sebab dengan hak tersebut, setiap warga negara memiliki kedudukan
di dalam pemerintahan sebab warga negara lah yang menentukan siapa yang
dapat duduk di dalam pemerintahan itu.
Perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 menyempurnakan
komitmen Indonesia terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM
139
dengan mengintegrasikan ketentuan-ketentuan penting dari instrumen-
instrumen internasional mengenai HAM, sebagaimana tercantum dalam BAB
XA tentang Hak Asasi Manusia. Perubahan tersebut dipertahankan sampai
dengan perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang kemudian
disebut dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Di dalam bab yang terdiri dari 37 pasal tersebut, pengaturan mengenai
penggunaan hak pilih dapat ditemukan dalam Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I
ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2).
Setiap orang tetap memiliki batasan berupa kewajiban yang ditetapkan
dengan undang-undang dalam menjalankan hak dan kebebasannya, termasuk
dalam penggunaan hak pilihnya. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 28J
ayat (2) UUD 1945, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
b. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mengatur mengenai
hak asasi manusia dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau Universal Declaration of Human
Right, Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita, Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak, dan berbagai
instrumen internasional lain. Dalam UU tersebut, rincian pengaturan
mengenai hak asasi manusia terbagi atas:
1. Hak untuk hidup (Pasal 4, Pasal 9)
140
2. Hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/ atau tidak dihilangkan nyawa
(Pasal 9)
3. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturuan (Pasal 10)
4. Hak mengembangkan diri (Pasal 11-Pasal 16)
5. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-Pasal 19)
6. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-Pasal 27)
7. Hak atas rasa aman (Pasal 28-Pasal 35)
8. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36- Pasal 42)
9. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43, Pasal 44)
10. Hak Wanita (Pasal 45-Pasal 51)
11. Hak Anak (Pasal 52-Pasal 66)
12. Hak atas kebebasan beragama (Pasal 22)
HAM menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh
negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam Undang-undang yang
terdiri dari 11 bab dan 106 pasal tersebut, pengaturan mengenai hak pilih
terletak dalam Bagian Kedelapan mengenai Hak Turut Serta dalam
Pemerintahan Pasal 43 ayat (1). Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa,
“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil seseuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.” Dalam ayat (2) disebutkan bahwa, “Setiap warga
negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau denga
perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.”
141
UU No. 39 Tahun 1999 telah mengatur penggunaan hak pilih sebagai
bagian dari hak politik seseorang dalam Pasal 23. Pasal 23 ayat (1)
menyatakan bahwa, “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politiknya.” Sedangkan Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa,
“Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan
pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/ atau tulisan melalui media
cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama,
kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”
Dengan demikian, UU No. 39 Tahun 1999 telah secara tegas mengatur
mengenai hak pilih berikut penggunaan hak pilih tersebut. Setiap orang
memiliki hak atas kebebasan pribadinya termasuk untuk menggunakan hak
yang dimilikinya tersebut. Pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999
mengatur mengenai hak untuk memilih, bukan kewajiban untuk memilih, dan
bahwa hak tersebut telah dijamin serta dilindungi oleh undang-undang.
Sehingga, karena setiap individu memiliki kebebasan pribadi dalam memilih
serta mempunyai keyakinan politiknya maupun bebas dalam berpendapat
sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) dan
(2) UU No. 39 Tahun 1999, maka tidak ada larangan bagi seseorang ketika
akhirnya dia memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau no vote
decision yang lebih dikenal dengan istilah golput.
c. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik)
International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) atau
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik telah diratifikasi oleh
Indonesia pada tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional
tersebut telah menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Dengan
demikian, Negara yakni pemerintah terikat untuk menjalankan kewajiban-
kewajibannya di bawah kovenan tersebut. Pada sisi yang lain, setiap orang
142
yang tinggal di wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh
penghormatan dan perlindungan hak-hak asasinya. Penghormatan dan
perlindungan ini wajib diberikan oleh negara, tanpa membedakan ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan
lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran atau
status lainnya. ICCPR memuat 24 hak dasar, yaitu :
1. Pasal 1 Hak untuk menentukan nasib sendiri.
2. Pasal 3 Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
3. Pasal 6 Hak untuk hidup.
4. Pasal 7 Hak untuk bebas dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman
lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
5. Pasal 8 Hak untuk bebas dari perbudakan, perhambaan dan pekerjaan
paksa.
6. Pasal 9 Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi.
7. Pasal 10 Hak atas sistem penahanan yang manusiawi.
8. Pasal 11 Hak atas kebebasan dari pemenjaraan atas dasar
ketidakmampuan memenuhi kewajiban kontraktual.
9. Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan pilihan tempat tinggal.
10. Pasal 13 Kebebasan orang asing dari pengusiran semena-mena.
11. Pasal 14 Hak atas pemeriksaan adil dan proses hukum yang semestinya.
12. Pasal 15 Hak atas kebebasan dari hukum pidana yang berlaku surut.
13. Pasal 16 Hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum.
14. Pasal 17 Hak atas kebebasan dan keleluasaan pribadi (privacy).
15. Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
16. Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat.
17. Pasal 20 Larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian.
143
18. Pasal 21 Hak atas perkumpulan damai.
19. Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat.
20. Pasal 23 Hak atas pernikahan dan membentuk keluarga.
21. Pasal 24 Hak-hak anak.
22. Pasal 25 Hak-hak politik.
23. Pasal 26 Hak atas kedudukan yang sama di depan hukum.
24. Pasal 27 Hak-hak minoritas etnis, agama atau bahasa.
Hak-hak politik sebagai salah satu hak yang diakui dan dilindungi oleh
ICCPR diwujudkan dalam bentuk hak warga negara untuk turut serta memilih
atau dipilih dalam pengisian jabatan-jabatan publik, baik di pemerintah atau
eksekutif maupun badan perwakilan rakyat (badan legislatif).
Lebih lanjut ICCPR menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir,
berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal
18), hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain
dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19). Hak politik
sebagaimana tercantum dalam pasal 25 memberikan hak kepada setiap warga
negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih
dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang
sama pada jabatan publik di negaranya.
Maka, sejalan dengan UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, ICCPR yang telah disahkan dalam UU No. 12 Tahun 2005
memberikan hak pilih sebagai hak asasi manusia, demikian pula dengan
penggunaan hak pilih tersebut.
d. Pengaturan Hak Pilih dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum
144
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum disahkan pada tanggal
31 Maret 2008 sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Tahun 2003 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4277)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2006 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2006 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4631) sebagaimana tercantum dalam
Pasal 319 UU No. 10 Tahun 2008.
Hak memilih dalam UU No. 10 Tahun 2008 tercantum dalam Pasal 19 dan
Pasal 20. Pasal 19 menyatakan bahwa yang memiliki hak untuk memilih
adalah:
1) Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
2) Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftar
oleh penyelenggara Pemilu dalam daftar pemilih.
Sedangkan Pasal 20 UU No. 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa, “Untuk
dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar
sebagai pemilih”.
Undang-undang ini tidak menjelaskan bahwa hak pilih dan penggunaannya
merupakan bagian dari HAM, tetapi undang-undang ini adalah pelaksanaan
jaminan Pemerintah Republik Indonesia atas hak politik setiap orang.
Melalui undang-undang ini, maka UUD 1945, UU No. 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right, serta
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah dijabarkan dalam
145
pelaksanaan demokrasi prosedural berupa Pemilihan Umum yang telah diatur
dalam UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang golput dalam Perspektif HAM
MUI didirikan sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama,
zu’ama dan cendekiawan Islam di Indonesia. Ide terbentuknya suatu organisasi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak lain dimaksudkan agar organisasi ini
mampu melakukan ijtihad untuk mengeluarkan fatwa-fatwa hukum Islam dari
sumber hukum asalnya. Terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang
timbul di alam Indonesia (Rohadi. Abd Fatah, 1991: 41).
Sejak didirikan pada 26 Juli 1975, MUI telah menjadi lembaga yang
mengeluarkan banyak fatwa dalam berbagai bidang termasuk sosial
kemasyarakatan. Berikut data beberapa fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI.
No. Tanggal Tentang
Fatwa
Ketentuan Hukum
1 21 Mei 2005 Aborsi 1. Aborsi haram hukumnya
sejak terjadinya implantasi
blastosis pada dinding
rahim ibu (nidasi).
2. Aborsi dibolehkan karena
adanya uzur, baik yang
bersifat darurat ataupun
hajat
3. Aborsi haram hukumnya
dilakukan pada kehamilan
yang terjadi akibat zina.
146
2 25 Oktober 1997 Nikah Mut’ah Haram
3 27 Januari 2009
(Forum Ijtima
Komisi Fatwa
Majlis Ulama
Indonesia 2009)
Merokok Makruh, diharamkan bagi
anak-anak, remaja, perempuan
hamil dan merokok di tempat
umum.
Penggunaan
hak pilih
untuk tidak
memilih
(Golput)
Golput haram hukumnya bila
masih ada pemimpin yang
layak pilih. Bila tidak ada
pemimpin yang layak dipilih,
maka tetap harus memilih
calon yang baik dari yang
terburuk.
Senam Yoga
Yoga yang murni mengandung
ritual dan spiritual agama lain,
hukumnya bagi orang Islam
adalah haram. Yoga yang
mengandung meditasi dan
mantra atau spiritual dan ritual
ajaran agama lain hukumnya
haram, sebagai langkah
preventif. Yoga yang murni
olahraga pernafasan untuk
kesehatan hukumnya mubah
(boleh).
Pernikahan
Dini
Pernikahan dini hukumnya sah
sepanjang telah terpenuhinya
syarat dan rukun nikah, tetapi
haram jika diduga
mengakibatkan mudharat.
147
Untuk mencegah terjadinya
pernikahan usia dini yang
berdampak pada hal-hal yang
bertentangan dengan tujuan
dan hikmah pernikahan,
pemerintah diminta untuk lebih
meningkatkan sosialisasi
tentang UU Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan.
Vasektomi Haram
Bank mata
dan organ
tubuh lain
Masalah donor, transplantasi,
dan bank mata merupakan fikih
yang bersifat kemasyarakatan.
Oleh karena itu untuk
menghindarkan hal-hal yang
bersifat negatif yang tidak kita
inginkan aplikasinya,
pemerintah diminta
mengeluarkan pengaturan
lewat undang-undang
kesehatan, untuk menegakkan
kemaslahatan dan
menghindarkan diri dari
penyimpangan.
Konsumsi
makanan halal
Produsen yang telah
memperoleh sertifikat Halal
wajib menjaga status kehalalan
produknya melalui penerapan
Sistem Jaminan Halal
sebagaimana yang telah
148
ditetapkan oleh LP-POM MUI.
Pemerintah wajib mengawasi
kehalalan produk. Pemerintah
dan DPR-RI diminta untuk
segera menuntaskan
pembahasan RUU tentang
Jaminan Halal.
Zakat
Perusahaan
Wajib
4 Maret 1984 Adopsi
(pengangkatan
anak)
1. Islam mengakui keturunan
(nasab) yang sah, ialah
anak yang lahir dari
perkawinan (pernikahan).
2. Mengangkat (adopsi)
dengan pengertian anak
tersebut putus hubungan
keturunan (nasab) dengan
ayah dan ibu kandungnya
adalah bertentangan dengan
syari'ah Islam.
3. Adapun pengangkatan anak
dengan tidak mengubah
status nasab dan
Agamanya, dilakukan atas
rasa tanggung jawab sosial
untuk memelihara,
mengasuh dan mendidik
mereka dengan penuh kasih
sayang, seperti anak sendiri
adalah perbuatan yang
149
terpuji dan termasuk amal
saleh yang dianjurkan oleh
agama Islam.
4. Pengangkatan anak
Indonesia oleh Warga
Negara Asing selain
bertentangan dengan UUD
1945 Pasal 34, juga
merendahkan martabat
bangsa.
Sumber: www.republika.com, www.mui.co.id
Indonesia adalah negara hukum yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia,
termasuk kebebasan untuk berserikat. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 28
UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan untuk
mengeluarkan pikirannya, baik dengan lisan maupun tulisan. Dinyatakan bahwa,
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Pasal 22
International Covenant for Civil and Political Right (ICCPR) yang telah disahkan
melalui UU No. 12 Tahun 2005 memberikan hak setiap orang atas kebebasan
berserikat. Diratifikasinya pasal tersebut tersebut semakin menegaskan
penghormatan negara Republik Indonesia atas kebebasan berserikat. MUI adalah
salah satu wujud dari kebebasan berserikat tersebut.
150
B. PEMBAHASAN
1. Penggunaan Hak Pilih untuk Tidak Memilih dalam Perpektif Hak Asasi
Manusia
Dalam praktik kehidupan demokrasi, konstitusi merupakan perangkat hukum
dasar (fundamental law) dalam sebuah negara, menjadi bagian yang tak
terpisahkan dengan upaya-upaya penegakan hukum (Majda el Muhtaj, 2008: 60).
Menurut Jimly Asshidiqie sebagaimana dikutip oleh Majda el Muhtaj, kehadiran
Konstitusi merupakan conditio sine qua non bagi sebuah negara. Konstitusi tidak
saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme lembaga-lembaga
negara, lebih dari itu di dalamnya ditemukan letak rasional dan kedudukan hak
serta kewajiban warga negara. Konstitusi merupakan social contract antara yang
diperintah (rakyat) dengan yang memerintah (penguasa, pemerintah) (Majda el
Muhtaj, 2008: 61).
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan wahana bagi warga negara untuk
menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak
sebagai wakil yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), maupun sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic
right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD
1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan
Politik.
Setelah mengalami empat kali amandemen, UUD 1945 merupakan sebuah
Konstitusi yang memadai sebagai dasar hukum bagi bekerjanya Sistem politik,
151
hukum dan pemerintahan yang demokratis, di mana perlindungan hak sipil dan
politik memperoleh tempat yang semestinya. Negara Hukum Demokratis (NHD)
Indonesia sebagaimana tersirat dan tersurat dalam UUD 1945 mensyaratkan
hadirnya masyarakat sipil (civil society) yang kuat mampu melakukan kontrol
terhadap perilaku Negara. Masyarakat sipil sering dinilai sebagai kunci untuk
mencapai NHD, dimana demokrasi dan kedaulatan hukum berjalan (Abdul Hakim
G. Nusantara, 1998:9). Melalui Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal
28J ayat (2), UUD 1945 memberikan pengakuan serta jaminan atas hak pilih
berikut penggunaaan hak pilih tersebut yang harus sesuai dengan pikiran serta hati
nurani masing-masing warga negara.
Pasal 28D ayat (3) menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dinyatakan bahwa, “Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Pasal
28I ayat (1) menyatakan bahwa, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam bentuk apa pun.” Oleh karena itu, sesungguhnya hak pilih
merupakan hak konstitusional warga negara yang termasuk dalam hak asasi
manusia, namun penggunaan hak pilih tersebut juga merupakan hak asasi
manusia. Setiap warga negara memiliki kemerdekaan penuh untuk menggunakan
hak pilihnya sebab dalam Pasal 28I ayat (1) dinyatakan bahwa kemerdekaan
pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
bentuk apa pun. Penggunaan hak pilih tersebut merupakan hak pribadi menurut
pikiran dan hati nurani masing-masing warga negara. Setiap warga negara berhak
untuk menentukan siapa yang akan dipilih dalam Pemilu, bahkan bebas untuk
tidak memilih apabila hal tersebut sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya.
UU No. 39 Tahun 1999 merupakan payung hukum dari seluruh peraturan
perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Setiap peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak boleh bertentangan dan
152
harus merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tersebut. Pelanggaran hak asasi
manusia oleh karenanya akan dikenakan sanksi pidana, perdata, dan/ atau
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU payung tersebut, hak pilih yang menjadi bahan penelitian dari
penulis dapat digolongkan menjadi hak asasi manusia. Ia adalah hak politik, dan
kebebasan dasar yang melekat pada setiap individu. Penggunaan hak pilih
bergantung sepenuhnya pada individu itu sendiri. Tidak ada satu alasan pun yang
dapat dijadikan alasan intervensi atas hak tersebut.
Namun demikian, sama seperti UUD 1945, dalam UU No. 39 Tahun 1999 ini
juga dikenal adanya kewajiban dasar yang tentunya membatasi hak serta
kebebasan dasar setiap individu. Pasal 1 angka 2 UU No. 39 Tahun 1999
menjelaskan bahwa, “Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban
yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan
tegaknya hak asasi manusia.” Dalam UU tersebut, rincian kewajiban dasar
manusia adalah sebagai berikut:
1. Pasal 67
Setiap orang yang berada di wilayah negara Republik Indonesia wajib
patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum
internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara
Republik Indonesia.
2. Pasal 68
Setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Pasal 69 ayat (1)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral,
etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4. Pasal 69 ayat (2)
153
Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan
tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik
serta menjadi tugas pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan,
dan memajukannya.
5. Pasal 70
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
Dalam kaitannya dengan hak pilih sebagai kebebasan dasar manusia, maka
diperlukan batasan dari peraturan perundang-undangan lain yang menentukan
kewajiban dasar yang melekat pada hak pilih setiap orang.
Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right melalui UU
No. 12 Tahun 2005 semakin menegaskan pengakuan dan jaminan Negara
Republik Indonesia terhadap hak sipil dan politik warga negara. Baik UUD 1945,
UU No. 39 Tahun 1999, dan UU No. 12 Tahun 2005 memberikan jaminan atas
hak pilih sebagai bagian dari hak politik warga negara. Selain jaminan atas hak
pilih, ketiga peraturan perundang-undangan tersebut juga mengakui kemerdekaan
berpikir maupun berpendapat sehingga penggunaan hak pilih tersebut menjadi hak
penuh warga negara. Pada akhirnya, tidak ada peraturan perundang-undangan di
Indonesia yang melarang adanya penggunaan hak pilih untuk tidak memilih,
golput, maupun no vote decision sebab sesungguhnya hal tersebut sepenuhnya
menjadi hak setiap warga negara.
Terkait dengan kewajiban dasar yang mengikuti kebebasan dasar manusia
dalam hal ini adalah hak pilih dan penggunaan hak pilih, maka dalam UU No. 10
154
Tahun 2008 ini diberikan batasan pada kebebasan berpikir dan mengeluarkan
pendapat, serta keyakinan politik seseorang. Hal tersebut ditunjukkan dengan
tercantumnya larangan dan ketentuan pidana bagi seseorang yang mengajak,
membujuk, atau menganjurkan orang lain untuk golput. Ketentuan tersebut
diatur dalam Pasal 87 untuk larangan mengajak atau menganjurkan golput dan
Pasal 274, 286, dan 287 untuk ketentuan pidananya. UU No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum memberikan batasan larangan bagi pelaksana kampanye
untuk menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain agar peserta kampanye
tidak menggunakan hak pilihnya atau membuat orang lain menggunakan hak
pilihnya agar hak pilih tersebut tidak sah. Hal tersebut disebutkan dalan UU No.
10 Tahun 2008 Pasal 87, “Dalam hal terbukti pelaksana kampanye menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta
kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c. memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota tertentu;
atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu,
dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Pelaksana kampanye yang menganjurkan seseorang untuk golput ini, berlaku
ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 274 UU No. 10 Tahun 2008. Pasal 274
menyatakan bahwa, “Pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye
secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk
memilih, atau memilih Peserta Pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk
memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
155
bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit
Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua
puluh empat juta rupiah)”.
Selain ancaman pidana bagi pelaksana kampanye yang menganjurkan seseorang
untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau menggunakan hak pilihnya agar hak
pilihnya tersebut tidak sah, UU No. 10 Tahun 2008 juga memberikan ancaman
pidana bagi seseorang yang bukan hanya pelaksana kampanye, yang
menganjurkan seseorang untuk golput, baik dengan tidak menggunakan hak
pilihnya maupun menggunakan hak pilihnya namun sengaja untuk membuat hak
pilihnya tersebut tidak sah. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 286 dan 287 UU No.
10 Tahun 2008. Pasal 286 UU No. 10 Tahun 2008 memberikan ancaman pidana
pada seseorang yang menganjurkan golput dengan menjanjikan atau memberikan
uang atau materi lain sebagai imbalan. Pasal ini menyatakan bahwa, “Setiap
orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan
hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya
dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 12 (dua belas) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling
banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”
Adapun Pasal 287 UU No. 10 Tahun 2008 memberikan ancaman pidana bagi
seseorang yang menggunakan kekerasan atau ancaman agar orang lain golput.
Dinyatakan dalam pasal ini bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan dan/atau menghalangi seseorang
yang akan melakukan haknya untuk memilih atau melakukan kegiatan yang
menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan
suara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam
juta rupiah) dan paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”
156
2. Nilai Hukum Fatwa Haram MUI tentang Golput dalam Perspektif Hak
Asasi Manusia
Indonesia adalah negara hukum. HAM sebagai bagian tak terpisahkan dari
konsep negara hukum berimplikasi pada adanya pengakuan konstitusional bahwa
jaminan perlindungan HAM merupakan elemen esensial konstruk Indonesia
modern (Majda el Muhtaj, 2008: 59). Hal tersebut telah dinyatakan dalam UUD
1945 Pasal 1 ayat (3), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Negara hukum
menurut Djokosutono adalah negara yang berdasarkan pada kedaulatan hukum.
Hukumlah yang berdaulat atas negara tersebut. Negara merupakan subjek hukum
dalam arti Rechtstaat (badan hukum publik). Oleh sebab itu, menurut Sudargo
Gautama, dalam negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan Negara terhadap
perseorangan sebab Negara tidaklah Maha Kuasa sehingga tidak dapat bertindak
sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh
hukum. Batasan itulah yang mencirikan apakah suatu negara merupakan negara
hukum.
Para ahli Eropa Kontinental menyebut negara hukum sebagai rechstaat,
sedangkan ahli hukum Anglo Saxon memakai istilah rule of law (Masyur Effendi,
2005: 42). Stahl menyebutkan empat unsur rechtstaat, yaitu pengakuan Hak
Asasi Manusia (HAM), pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak tersebut,
pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur), dan
adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan unsur rule of law, menurut A.V.
Dicey adalah HAM dijamin lewat undang-undang, persamaan kedudukan di muka
hukum (equalitiy before the law), dan supremasi aturan-aturan hukum (supremacy
of the law) serta tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan yang jelas.
Dalam konferensi Internasional di Bangkok pada tahun 1965, International
Commission of Jurists memperluas konsep Rule of Law dari A.V. Dicey dan
Immanuel Kant. Dalam menerapkan ‘the dynamics of The Rule of Law’, terdapat
syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah
Rule of Law. Syarat-syarat tersebut adalah:
1. perlindungan konstitusionil
157
2. perlindungan atas hak-hak individu serta penentuan cara proseduril untuk
memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin
3. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
4. pemilihan umum yang bebas
5. kebebasan untuk menyatakan pendapat
6. kebebasan untuk berserikat/ berorganisasi dan beroposisi
7. pendidikan kewarganegaraan (civic education)
Sri Soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting
dalam negara hukum, yaitu:
1. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasarkan hukum atau peraturan pernundang-undangan;
2. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;
3. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
4. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (Rechterlijke Controle).
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting
tersendiri bagi terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari
proses dialektika demokrasi yang telah berjalan secara amat panjang dalam
lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan atas HAM meneguhkan pendirian
bahwa negara bertanggungjawab atas tegaknya supremasi hukum (Majda el
Muhtaj, 2005: 93). Jaminan konstitusi atas HAM adalah bukti dari hakikat,
kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh rakyat Indonesia (Majda
el Muhtaj, 2005: 94).
Terdapat dua garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif dan
Hak Positif. Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran
keterlibatan negara dalam pemenuhan HAM. Pembagian ini tidak berdasarkan
baik atau buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya (Rusi Patria Medhawati,
2009:31).
158
Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan
negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, bila
negara terlalu banyak melakukan campur tangan, maka semakin terhambat pula
pelaksanaan hak-hak sipil politik warganya. Peminimalisiran peran negara dalam
pemenuhan hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil
dan politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar
kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to liberty).
Pengakuan dan perlindungan universal atau jaminan normatif atas
terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum dalam Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (international covenant on
economic, social and culture rights). Ada sepuluh hak yang diakui dalam kovenan
tersebut. Hak-hak tersebut dapat diuraikan sebaagai berikut. Pertama, hak untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya. Kedua, hak atas pekerjaan.
Ketiga, hak atas upah yang layak, kondisi kerja yang aman dan sehat, peluang
karir dan liburan. Keempat, hak berserikat dan mogok kerja bagi buruh. Kelima,
hak atas jaminan sosial. Keenam, hak atas perlindungan keluarga termasuk ibu
dan anak. Ketujuh, hak atas standar hidup yang layak, yakni sandang, pangan dan
perumahan. Kedelapan, hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat.
Kesembilan, hak atas pendidikan. Kesepuluh, hak untuk berpartisipasi dalam
kebudayaan.
Dengan adanya pengakuan HAM dalam konstitusi Indonesia serta peraturan
perundang-undangan lain, maka baik MUI maupun pilihan seseorang untuk tidak
menggunakan hak pilihnya atau golput mendapatkan tempatnya masing-masing.
Namun demikian, sebagai negara hukum yang mendasarkan setiap aktivitas
kenegaraan pada hukum, maka fatwa yang dikeluarkan MUI itu sendiri belum
mendapatkan kepastian hukum mengenai nilai hukumnya.
MUI adalah organisasi yang berusaha semaksimal mungkin menangani,
menyelesaikan, dan mengeluarkan fatwa keagamaan hukum Islam dengan model
dan ala Indonesia, yang tentunya tidak bertentangan dengan sumber-sumber
hukum Islam yakni Al Qur’an dan Al Hadist. Sebab dalam majelis ini berkumpul
159
para ahli/ pakar, sehingga persoalan yang timbul dapat diecahkan dengan pelbagai
disiplin ilmu (interdisipliner) yang diarahkan agar hukum Islam dapat diterapkan
dan diaplikasikan secara proporsional (Rohadi. Abd Fatah, 1991: 41).
Fatwa memiliki interdependensi dengan ijtihad sebab hasil ijtihad para ahli
atau ulama dilahirkan dalam bentuk fatwa (Rohadi Abd. Fatah, 1991:41). Dilihat
dari jumlah pelakunya, ijtihad terbagi atas ijtihad individual dan ijtihad kolektif.
Ijtihad individual adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja.
Sedangkan ijtihad kolektif adalah ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh
banyak ahli tentang satu persolan hukum tertentu (Mohammad Daud Ali,
2005:117). Oleh karena itu, fatwa sebagai hasil ijtihad juga terbagi atas dua
bentuk yaitu fatwa perorangan dan fawa kolektif. Fatwa perorangan merupakan
fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama, sebagai contoh adalah fatwa Syekh
Mahmud Syaltut, fatwa M. Quraish Shihab, dan fatwa Imam Besar Masjid
Istiqlal. Fatwa kolektif merupakan fatwa yang dikeluarkan oleh suatu lembaga
atau komisi yang bersifat kolektif. Fatwa MUI termasuk dalam Fatwa Kolektif
karena dikaji dan ditetapkan melalui komisi fatwa.
Fatwa MUI ada tiga macam. Pertama adalah fatwa tentang kehalalan produk
makanan, minuman, dan kosmetika. Kedua adalah fatwa tentang perekonomian
Islam, dan ketiga adalah fatwa tentang masalah sosial seperti masalah sosial
keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan. Penetapan fatwa tentang kehalalan
produk makanan, minuman, dan kosmetika dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI
bekerjasama dengan LP. POM MUI. Komisi Fatwa menetapkan kehalalannya
berdasarkan hasil penelitian dan auditing LP POM MUI. Sedangkan fatwa tentang
masalah sosial keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan, dan lain sebagainya dikaji
dan ditetapkan Komisi Fatwa MUI. Penetapan fatwa oleh MUI bersifat responsif,
proaktif, dan antisipatif (Wajidi Sayadi, 2009: http://pontianakpost.com).
Fatwa merupakan hasil ijtihad para ahli (mujtahid dan mufti) yang dapat
dilahirkan dalam bentuk tulisan maupun lisan. Ijtihad merupakan usaha maksimal
para ahli untuk mengambil/ mengistimbatkan hukum-hukum tertentu, sedangkan
fatwa adalah hasil dari ijtihad itu sendiri. Hukum Islam yang berlandaskan Al
160
Quran dan al Hadist sebagian besar bentuknya ditentukan berdasar hasil ijtihad
para mujtahid yang dituangkan dalam bentuk fawa keagamaan oleh para mufti.
Karena fatwa merupakan hasil usaha para mujtahid/ mufti maka posisi fatwa
sangat memperkuat tindakan berijtihad. Sebab, fatwa dihasilkan dari ijtihad para
ulama. Sehingga, apabila tidak ada ijtihad kemungkinan besar tidak akan muncul
atau lahit fatwa keagamaan yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan (Rohadi
Abd. Fatah, 1991: 43).
Menurut R. William Liddle dan Saiful Munjani sebagaimana dikutip
Kamaruzzaman, hubungan antara Islam dan demokrasi dibagi kedalam tiga
kelompok pemikiran. Pertama, Islam dan demokrasi adalah dua sistem politik
yang berbeda. Islam tidak bisa disubordinasikan ke dalam demokrasi. Islam
merupakan sistem politik yang delf-suffent. Islam dan demokrasi bersifat mutual
exclusive. Kedua, Islam berbeda dengan demokrasi, kalau demokrasi
didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktekkan di negara-
negara demokrasi maju (Seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat).
Tapi Islam merupakan sistem politik demokratis kalau demokrasi didefinisikan
secara substantif yakni kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan
terjemahan dari kedaulatan rakyat ini. Ketiga, Islam adalah sistem nilai yang
membenarkan dan mendukung sistem politik demokratis seperti yang
diprektekkan negara-negara maju. Pandangan bahwa suara rakyat adalah suara
Tuhan yang diterjemahkan ke dalam politik elektoral dan politik kepartaian hidup
diantara pemikir Islam, walaupun barangkali bukan mainstream (Kamaruzzaman,
2001:97-98).
Oleh sebab itu, MUI yang menerima demokrasi sebagai suatu sistem politik
yang mengusung kedaulatan rakyat pada akhirnya lebih menyoroti tujuan
kemaslahatan dari pelaksanaan pemilu sebagai bagian dari demokrasi prosedural.
Golput merupakan permasalahan pemilu yang terkait dengan politik. Sebagai
suatu permasalahan dalam politik, maka apakah layak apabila masalah ini
mendapatkan justifikasi hukum secara Islam, mengingat politik masih merupakan
perdebatan apakah masuk dalam syariat Islam atau bukan.
161
Terdapat dua madzhab yang berbeda pendapat dalam menyoroti masalah
politik ini. Madzhab pertama, mereka yang beranggapan bahwa politik bukan
masalah syariat sebab tugas Nabi Muhammad saw tidak lebih sebagai Nabi dan
Rasul, bukan sebagai kepala pemerintahan. Kelompok ini mendasarkan
pendapatnya dalam Alquran surat Ali Imran ayat 144, dengan mengambil dalil
"wama Muhammadun illa rasul", Muhammad hanyalah seorang Rasul" (QS Ali-
Imran: 144), begitu juga hadits Nabi: "innaha nubuwwatun la mulkun". Tugas
risalah itu adalah tugas kenabian, bukan sebagai raja. Kemudian madzhab yang
lain berpendapat bahwa ayat dan hadits di atas, bukan berarti membatasi tugas
kerasulan Muhammad untuk memasuki wilayah politik, sebab berdasarkan
sejarah, peran yang dimainkan oleh Nabi Muhammad tidak bisa dilepaskan dari
posisi Beliau, di samping sebagai rasul, juga sebagai kepala pemerintah
(Muhammad is prophet and leader of state), sehingga Rasulullah tidak pernah
melepaskan diri dari sisi-sisi kehidupan manusia yang penting, termasuk masalah
pemerintahan dan politik. Bagi pengikut mazhab pertama, karena politik bukan
masalah syariat Islam, maka golput itu sah-sah saja. Namun bagi pengikut mazhab
kedua, karena politik merupakan sesuatu yang penting dan strategis bagi
kehidupan umat, maka golput sebaiknya dihindari (Kaswad Sartono, 2009:
http://www.fajar.co.id/).
Dalil menurut arti etimologis bahasa Arab ialah pedoman bagi apa saja yang
khissi (material), ma’nawi (spiritual), dan yang baik ataupun yang buruk. Dalil
menurut ahli ushul (terminologi) yaitu bahwa yang dijadikan dalil menurut atas
hukum syara’ mengenai perbuatan manusia, secara pasti (qath’i) atau dugaan
(dzhanny). Sebagian ulama berpendapat bahwa dalil hanyalah sesuatu yang yang
berasal dari perbuatan manusia dengan jalan qath’i. sedangkan hukum yang
diperoleh dengan jalan yang dzanny bukanlah dalil, melainkan amaroh. Namun
demikian, makna yang sering digunakan adalah sesuatu, yang diambil
daripadanya adalah hukum syara’ secara amali, mutlak, baik dengan jalan qath’i
atau dzanny. Karena itu para ahli ushul membagi dalil dalam dua bagian yaitu
dalil yang qath’i dalalahnya dan dalil yang dzanny dalalahnya.
162
Lapangan Ijtihad/ fatwa yang dapat dijadikan sasaran analisis fatwa adalah
(Rohadi Abd. Fatah, 1991: 42):
1) Nash-nash yang dzanny kedudukannya tetapi qath’i dalam pengertiannya
(dalalahnya). Nash tersebut hanya terdapat dalam Alquran dan hadist
mutawatir. Maka obyek Ijtihad/ fatwa ini hanya dilihat dari aspek
pengertiannya saja yakni dilihat dari segi kedudukan hukum yang
dikandungnya;
2) Nash-nash yang dzanny kedudukannya, namun qath’i dalam pengertiannya.
Nash ini juga dapat ditemukan dalam hadist. Oleh karena itu, sasaran yang
dikaji/ diteliti adalah dari segi sahihnya sanad serta seberapa jauh pertalian
sanad dan matanya;
3) Nash-nash yang dzanny baik dari segi kedudukan ataupun pengertiannya.
Dalam hak pembahasan secara mendetail harus menggunakan perangkat
Mustlahul hadist serta dengan mencari titik sentral tentang hukum yang
sedang diteliti;
4) Lapangan hukum yang tidak ada nashnya sama sekali. Dalam hal ini seorang
mujtahid/ mufti bebas dan tidak terikat oleh kode etik yang kaku.
Fatwa mengenai golput merupakan lapangan hukum yang tidak ada nashnya
sama sekali, sehingga MUI sebagai mujtahid bebas dan tidak terikat oleh
ketentuan-ketentuan yang ada.
Metode yang digunakan dalam penetapan fatwa ada tiga pendekatan.
Pertama, pendekatan nash qath'i, kedua pendekatan qauli, dan ketiga pendekatan
manhaji. Pendekatan nash qath'i dilakukan dengan berpegang pada nash Al
Qur'an atau hadis apabila masalah tersebut ada dalam Al Quran atau hadis.
Apabila tidak terdapat dalam Al Qur'an dan hadis, maka dilakukan pendekatan
qauli atau manhaji. Pendekatan qauli dilakukan apabila jawaban dianggap cukup
dengan adanya pendapat dalam al-kutub al-mu'tabarah, kecuali pendapat yang
ada itu dianggap tidak sesuai lagi. Apabila jawaban tidak dapat dicukupi oleh nash
qath'i dan pendapat dalam al-kutub al-mu'tabarah, maka penetapan dilakukan
163
dengan pendekatan manhaji. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad
kolektif dengan menggunakan metode al-jam'u wa at-taufiq, tarjihi, ilhaqi, dan
istimbathi. Metode al-jam'u wa at-taufiq adalah mengkompromikan berbagai
pendapat yang ada untuk satu kesimpulan. Kalau hal ini tidak berhasil, maka
metode at-tarjih yang dilakukan, yaitu muqaran al-madzahib dengan memilah
dan memilih pendapat yang paling unggul. Ketika suatu masalah belum ada
pendapat yang menjelaskan secara persis dalam al-kutub al-mu'tabarah, namun
ada padanannya dari masalah tersebut, maka penetapan fatwanya menggunakan
metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus yang
padanannya dalam al-kutub al-mu'tabarah (Wajidi Sayadi, 2009:
http://pontianakpost.com).
JIka metode ilhaqi ini tidak bisa dilakukan karena syarat-syaratnya tidak
terpenuhi, maka metode istimbathi yang dilakukan melalui qiyasi, istishlahi, dan
sadd adz-dzari'ah. Secara umum penetapan fatwa harus pula memperhatikan
kemaslahatan umum dan maqashid asy-syariah (tujuan yang ingin dicapai dalam
penetapan hukum syariat). Dengan penjelasan seperti ini, menunjukan bahwa
fatwa MUI tidak dapat muncul begitu saja dan spontanitas, tapi harus melalui
proses panjang dan pertimbangan matang dengan menggunakan metodologi dan
kaedah yang sudah dirumuskan oleh para ulama (Wajidi Sayadi, 2009:
http://pontianakpost.com).
MUI sebagai sumber rujukan hukum Islam di Indonesia telah mengeluarkan
fatwa bahwa golput haram. Namun, tujuan pengeluaran fatwa tersebut untuk
mendapatkan kemaslahatan tertutupi oleh kontroversi yang ditimbulkan. Hukum
ini pun akhirnya lebih cenderung untuk terlihat politis, bukan lagi dilihat dari sisi
hukumya. Pemerintah juga cenderung tidak memberikan klarifikasi terhadap
setiap fatwa yang dikeluarkan MUI. Pemerintah tidak memberikan penegasan
terhadap fatwa MUI baik dalam hal sosialisasi maupun kedudukan hukumnya di
negara Republik Indonesia.
Mufti atau pemberi fatwa merupakan bagian dari khittah pengabdian MUI di
Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/MUI). Fungsi dan peran tersebut serupa
164
dengan fungsi dan peran dari seorang hakim karena keduanya sama-sama
mengeluarkan suatu putusan. Oleh karena itu, antara hakim dan mufti diantara
keduanya terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaan keduanya adalah sebagai berikut:
1. Baik hakim maupun mufti adalah seorang mujtahid yang dapat
mengistinbathkan hukum dari dalil yang tafshili;
2. Hakim dan mufti harus mengetahui dan memahami dengan sungguh-sungguh
persoalan atau peristiwa yang akan diselesaikan; dan
3. Hakim dan mufti harus mengetahui keadaan masyarakat tempat mereka
berada.
Adapun perbedaan di antara keduanya adalah sebagai berikut:
1. Persoalan atau peristiwa yang perlu diselesaikan oleh seorang mufti lebih luas
bidangnya dibandingkan tugas hakim. Bidang tugas hakim terbatas pada yang
telah ditentukan atau ditetapkan undang-undang atau peraturan pemerintah
suatu negara, sedang bidang tugas mufti tidak terbatas, bahkan dapat berlaku
untuk seluruh kaum muslimin yang menjadi penduduk beberapa negara;
2. Keputusan hakim berlaku penuh terhadap penggugat dan tergugat atau
terdakwa dan pendakwa, sedang fatwa boleh dilaksanakan atau tidak,
tergantung kepada orang yang memerlukan fatwa; dan
3. Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa yang dikemukakan di wilayah
yurisdiksi hakim itu, sedang fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim.
Dalam pembedaan hakim dengan mufti di atas, hakim melalui putusan
pengadilan dan mufti melalui fatwanya sebenarnya mempunyai kesimpulan yang
sama sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda dalam pelaksanaannya.
Putusan pengadilan dijalankan sesuai dengan amar putusan, sedangkan fatwa
mufti terserah kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai dengan hati nuraninya
apakah ia akan menjalankannya atau tidak. Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan
tentang hukum syar’i (sah secara syari’ah) tanpa mengikat”, sebagaimana
165
dinyatakan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh: “al-
ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam”. Berbeda dengan fatwa mufti,
maka putusan peradilan bersifat mengikat.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa sesungguhnya fatwa yang telah
dikeluarkan oleh MUI bukanlah sesuatu yang mengikat. Fatwa tersebut jika
merujuk pada makna fatwa dikeluarkan merupakan suatu anjuran. Sehingga
pelaksanaannya dikembalikan kepada masing-masing individu. MUI pun
bukanlah suatu lembaga negara yang setiap putusannya bisa mengikat masyarakat.
Namun, golput tersebut dinyatakan haram dalam fatwa MUI. Penggunaan istilah
‘haram’ sendiri adalah sesuatu yang sedikit mengganjal. Seperti telah disebutkan
pada tulisan sebelumnya, dalam hukum taklifi, hukum haram bukanlah hukum
yang sederhana sebab menimbulkan konsekuensi yang serius. Apabila fatwa
adalah bersifat suatu anjuran, haram bukanlah anjuran melainkan kewajiban yang
mengikat setiap umat muslim untuk ditinggalkan. Apabila memang MUI
membuat pengecualian atau penjelasan atas permasalahan ini sayangnya hal
tersebut tidak tersosialisasikan kepada masyarakat luas.
MUI telah melakukan justifikasi hukum kepada umat muslim di Indonesia
yang melakukan golput. Namun demikian, sesungguhnya justifikasi tersebut
masih bisa dipertanyakan. Pertama, dalam hukum Islam, terdapat dua jenis
hukum wajib. Definisi wajib menurut syara ialah sesuatu yang diperintah oleh
syar’i agar dikerjakan oleh mukallaf dengan perintah secara wajib dengan
ketentuan perintah itu dilakukan sesuai dengan yang ditunjukkan atas kewajiban
melakukannya (Abdul Wahhab Khallaf, 1996: 163). Dari segi perintah
melaksanakan, wajib terbagi atas Wajib ‘Aini (wajib ain) dan Wajib Kifa’i (wajib
kifayah). Wajib ‘aini adalah kewajiban yang diperintahkan syara’ untuk
dikerjakan oleh masing-masing orang mukallaf, dan tidak mencukupi perbuatan
mukallaf tentang hal itu dari lainnya. Yang termasuk dari Wajib ‘aini ini
misalnya adalah sholat, zakat, haji, memenuhi akad dan menghindari khomar serta
judi. Sedangkan Wajib kifa’i ialah kewajiban yang diperintahkan syar’i untuk
dikerjakan oleh sekumpulan mukallaf, bukan dari masing-masing perorangan di
166
antara mereka, sekira apabila sebagian mukallaf melaksanakan hal itu, berarti
telah dilaksanakan kewajiban tersebut, dan gugurlah dosa serta beban orang-orang
lainnya. Apabila tiap-tiap perorangan di antara perorangan-perorangan mukallaf
tidak mengerjakan hal itu, maka semua berdosa, sebab mengabaikan kewajiban
ini. Contoh dari Wajib kifa’i ini adalah menyolatkan jenazah, membangun rumah
sakit, termasuk menjawab salam serta memberi fatwa (Abdul Wahhab Khallaf,
1996: 167). Pada kriteria fardlu yang mana MUI mewajibkan umatnya untuk
memilih. Bila dikatakan memilih itu fardlu a’ini, apakah ini berarti bagi yang
golput akan berdosa dan masuk neraka? Bila kewajiban memilih fardlu kifayah,
berarti adanya keterwakilan akan menggugurkan kewajiban bagi yang lain.
Sementara itu peraturan perundang-undangan menyatakan bahwa memilih adalah
hak. Kedua, pemilu pertama yang akan dilaksanakan di 2009 ini bertujuan
memilih anggota legislatif. Apakah para anggota dewan ini termasuk dalam
pengertian pemimpin (imamah) yang wajib dipilih? Dalam sistem demokrasi,
posisi anggota dewan hanya sebagai wakil rakyat yang bertugas menyampaikan
aspirasi atau suara rakyat. Pemimpin berada di tangan kepala pemerintahan.
Maka jika secara kenegaraan MUI adalah rujukan dalam pengambilan
kesimpulan hukum Islam, seperti Mahkamah Agung dalam hukum nasional, maka
semua resolusi hukum Islam produksi MUI (fatwa-fatwa MUI) mengikat semua
masyarakat Indonesia yang beragama Islam. Tapi jika MUI bukanlah institusi
kenegaraan, fatwanya kemudian hanya bersifat sebuah opini yang dilemparkan ke
dalam negara Indonesia. Artinya, secara formal fatwa MUI itu tidak mengikat
warga negara dan tidak memiliki konsekwensi hukum bagi pelanggar. Demikian
pula, jika MUI adalah institusi keummatan. Dengan kata lain, MUI memang
merupakan formal yang mengikat semua umat Muslim, maka secara syar’i
resolusi fatwa MUI mengikat seluruh anggota umat Islam di Indonesia. Artinya,
melanggar fatwa tersebut dapat difatwakan sebagai palanggaran terhadap syari’at
Islam yang punya konsekwensi hukum. Jika tidak, maka pelanggaran terhadap
fatwa tersebut tidak dinilai sebagai pelanggaran syari’ah secara institusi. Fatwa
tidak mengikat umat secara kolektif.
167
Meski demikian, kedudukan MUI sebagai salah satu LSM di Indonesia tidak
kemudian ternafikan begitu saja dengan kontroversi yang sering dilakukuan
organisasi tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang sebenarnya kurang sesuai
untuk kondisi sosial dan kemasyarakatan di Indonesia. Menurut Schiller
sebagaimana dikutip Abdul Hakim G. Nusantara, masyarakat sipil merupakan
konsep yang bermakna ganda. Konsep masyarakat sipil sedikitnya mengacu pada
situasi dan kondisi yang berbeda. Pertama, kehadiran masyarakat sipil mewujud
dalam bentuk lembaga-lembaga sosial yang kuat dan mempunyai akar yang
mendalam dalam masyarakat sehingga mampu melawan kontrol rezim-rezim
otoriter. Kedua, masyarakat sipil itu hadir dalam wujud suatu jaringan organisasi-
organisasi sosial yang rapat yang memberikan model sivilitas, kerjasama dan
toleransi serta menciptakan hubungan-hubungan antara bagian-bagian masyarakat
yang mendorong partisipasi, civic trust, dan kerjasama. Baik masyarakat sipil
pada situasi yang pertama, maupun masyarakat sipil pada situasi yang kedua tidak
dapat dijumpai di Indonesia. Namun, agar tidak menjadi pesimis, layak untuk
dicatat adanya usaha-usaha di Indonesia untuk membangun masyarakat sipil yang
kuat, baik seperti pada situasi pertama, ataupun seperti situasi kedua, yang
diupayakan oleh organisasi non-pemerintah seperti LSM, organisasi-organisasi
Keagamaan, organisasi-organisasi Kemasyarakatan, organisasi Profesi,
organisasi-organisasi Buruh, bahkan unsur-unsur dalam partai-partai politik, dan
unsur-unsur dalam dunia usaha (Abdul Hakim G. Nusantara, 2008:10).
168
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Penggunaan hak pilih untuk tidak memilih atau no vote decision atau
golongan putih (golput) adalah hak politik seseorang yang merupakan
kebebasan dasar dan termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Jaminan
atas golput sebagai bagian dari hak politik setiap orang diatur dalam UUD
1945 Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (1) serta Pasal 28J ayat (2), UU No.
39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 ayat (1), Pasal 23 ayat
(2), Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (2), serta UU No. 12 Tahun 2005
Tentang Ratifikasi International Covenant for Civil and Political Right
(Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) Pasal 18, Pasal
19, dan Pasal 25.
2. Fatwa haram MUI tentang Golput tidak bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia karena fatwa bersifat saran dan anjuran, dan MUI bukan lembaga
negara sehingga produk hukumnya tidak mengikat. MUI bukanlah
lembaga negara sehingga produk hukum yang dikeluarkannya tidak dapat
mengikat umat Muslim di Indonesia secara kolektif.
B. SARAN
169
1. Pemerintah harus menegaskan posisi MUI serta fatwa MUI dalam Negara
Indonesia. Fatwa MUI hanya bersifat anjuran sehingga tidak mengganggu
hak pilih setiap warga Negara Indonesia.
2. MUI sebaiknya lebih bijak dengan melihat kondisi sosial kemasyarakatan
serta kultur yang terbangun dalam masyarakat Indonesia dan tidak
mengeluarkan fatwa yang bersifat politis. Pengeluaran fatwa
sesungguhnya menyangkut kredibilitas MUI sebagai lembaga para ulama.
Sebuah fatwa yang tak memberikan efek terhadap umat, menunjukan
bahwa umat sudah tidak menghormati para ulama dalam MUI sehingga
berbahaya bagi perkembangan Islam selanjutnya di Indonesia.
3. MUI merupakan lembaga fatwa nasional yang seharusnya mampu
mengakomodasi dan menjawab pertanyaan sosial kemasyarakatan
masyarakat secara bijak. Fatwa yang dikeluarkan harus menjadi jawaban
ideal bagi permasalahan bangsa, menjadi problem solver bukan sebagai
problem maker.
4. Pengeluaran fatwa oleh MUI merupakan hak yang sepenuhnya dimiliki
oleh organisasi tersebut sebagai lembaga fatwa. Pengeluaran fatwa,
meskipun dinilai kontroversial tidak memiliki implikasi yuridis apa pun
terhadap setiap warga Negara ataupun pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia. Oleh sebab itu, masyrakat hendaknya tidak terlalu reaksioner
terhadap fatwa haram tentang golput sebab fatwa tersebut tidak mengikat
masyarakat secara kolektif.
170
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdul Wahhab Khallaf. 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh).
Jakarta: PT. Raja Graffindo Persada.
A. Masyur Effendi. 2005. Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM)
dan Proses Dinamika Penyusuan Hukum Hak Asasi Manusia (Hakham).
Bogor: Ghalia Indonesia.
________________. 1994. Dimensi/ Dinamika Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Nasional dan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia.
Anshari Thayib dkk (edt). 1997. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat
Kajian Strategi dan Kebijakan.
Arbi Sanit. 1992. GOLPUT: Aneka Pandangan Fenomena Politik. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Henry Campbell Black. 1979. Black’s Law Dictionary (With Pronunciations),
Fifth Edition. St.Paul Minn: West Publishing Company
Jimly Asshidiqie. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid 1. Jakarta:
Konstitusi Press.
_______________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:
Konstitusi Press.
171
Kamaruzzaman. 2001. Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan
Fundamentalis. Magelang: Yayasan IndonesiaTera.
Majda El-Muhtaj. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: dari
UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002.
Jakarta: Kencana.
______________. 2008. Dimensi-Dimensi HAM, Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya. Jakarta: Rajawali Pers/
Miriam Budiardjo. 1996. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Mochtar Kusumaatmadja. 1976. Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum
Nasional. Bandung: Binacipta.
Moh. Daud Ali. 2005. Hukum Islam: Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Muladi (edt). 2005. Hak Asasi Manusia: Hakekat, Konsep, dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT. Refika
Aditama
Peter Baehr dkk (edt). 2001. Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Soerjono Soekanto. 2005. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Soeroso. 1993. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Sudikno Mertokusumo. 2003. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: Liberty.
Sulaiman Rasjid. 1992. Fiqh Islam. Bandung: P.T. Sinar Baru.
172
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Dasar 1945
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant
on Civil and Political Right (Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik)
Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Jurnal:
Muntoha. 2009. “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tentang Haram
“Golput” Dalam “Timbangan” Hukum Islam Dan Hukum Tata Negara
(HTN) Positif”. Jurnal Konstitusi. Vol. II. No. 1.
Freedom House. 2007. “Freedom in the World-Indonesia”.
http://freedomhouse.org.>. [5 Januari 2010]
Freedom House. 2009. “Freedom in the World-Indonesia”.
http://freedomhouse.org.>. [5 Januari 2010]
Internet:
Abdul Hakim G. Nusantara. Keadaan Hak-hak Sipil dan Politik Indonesia Satu
Dasa Warsa Reformasi. http: //www.komnasham.go.id> [1 Desember
2009].
Kaswad Sartono. Kontroversi Fatwa MUI: Hukum Merokok dan Golput.
http://www.fajar.co.id>. [1 Desember 2009].
173
Wajidi Sayadi. Apa Itu Fatwa MUI?. http: //www .pontianakpost.com> [1
Desember 2009].
http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/31/Sorotan/sorot01.htm> [10
November 2009].
http://www.detiknews.com/quickcount> [12 November 2009].
http://id.wikipedia.org/wiki/MUI> [12 November 2009].
http://biotis.co.id/felix/2009/01/29/fatwa-golput-isyarat-gagalnya-demokrasi>/
[12November 2009]
http://leo4kusuma.blogspot.com> [20 November 2009].
http://hizbut-tahrir.or.id/2008/10/29/kedudukan-fatwa-dalam-syariat-islam> [20
November 2009].
http://elkhalil.wordpress.com/ 2009/10/05/kedudukan-fatwa-mui>/ [20 November
2009].
http: //www.republika.com> [20 November 2009].
http: //www.mui.co.id.> [20 November 2009].
http://pengantarhukum.indonetwork.co.id/). [20 Maret 2010]
Tiar Ramon. Pengantar Ilmu Hukum
http://tiarramon.wordpress.com/2009/05/11/ilmu-hukum/> [20 Maret
2010]
http://arifnurahmanblog.blogspot.com/2010/03/pengertian-hukum.html)> [20
Maret 2010]
Skripsi:
Rusi Patria Medhawati. 2009. Tinjauan Yuridis Pertimbangan Hakim Mahkamah
Agung dalam Memeriksa dan Memutus Permohonan Kasasi Kejaksaan
Agung RI terhadap Putusan Bebas Perkara Pelanggaran HAM di
Abepura Papua dengan Terdakwa Brigjen pol. drs. johny wainal usman.
Surakarta : Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
174
79
Recommended