View
237
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PERAN DPR DALAM HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR
SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Hary Restu Himawan
Nim: 109048000006
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
iv
ABSTRAK
Hary Restu Himawan NIM 109048000006. PERAN DPR DALAM HAL
PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945.
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2014 M. x +
84 halaman + halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui Peran DPR Dalam Hal Pengangkatan Duta
Besar Sebelum dan Sesudah Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Deskriptif Analitis/Yuridis
Normatif dengan menggunakan sistem studi pustaka, serta menggunakan bahan-bahan
lainnya seperti makalah, jurnal, Disertasi, Thesis dan Skripsi terdahulu.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
memberikan kewenangan yang cukup besar kepada DPR untuk mengawasi jalannya
Pemerintahan. Dengan di Amandemennya Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah memberikan kewenangan kepada DPR untuk
melakukan Pertimbangan terhadap proses pengangkatan duta besar. Hal ini dilakukan agar
proses pengangkatan duta besar tidak lagi mengabaikan aspek kualitas dan kepentingan
diplomasi, mengingat pada masa lalu pengangkatan duta besar dilakukan secara tertutup
oleh Presiden. Secara yuridis sifat pertimbangan DPR terhadap proses pengangkatan duta
besar tidaklah mengikat, namun Presiden sangat dianjurkan untuk memperhatikan
pertimbangan yang diberikan oleh DPR mengenai Proses Pengangkatan duta besar.
v
Kata kunci: Peran DPR Dalam Hal Pengangkatan Duta Besar Sebelum dan Sesudah
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pembimbing I : Dedy Nursamsi, SH, M.Hum
NIP. 196111011993031002
Pembimbing II : Drs. Subarkah, SH, M.H
NIP.
Daftar Pustaka : Tahun 1957 s.d. Tahun 2012
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobbil’alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan limpahan rahmat serta nikmatnya, sehingga pada akhirnya penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “ PERAN DPR DALAM
HAL PENGANGKATAN DUTA BESAR SEBELUM DAN SESUDAH
AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945 ” ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak sekali mendapat bimbingan,
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, oleh sebab itu pada kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA Selaku Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH, MA dan Arip Purkon, SH.I,
MA. Selaku Kepala dan Sekretaris Prodi Ilmu Hukum yang sudah
memberikan luang waktu, saran dan masukan terhadap kelancaran proses
penyusunan skripsi ini.
vii
3. Bapak Dedy Nursyamsyi, SH, M.Hum Selaku dosen Pembimbing 1 yang
dengan sabar telah memberikan arahan dan masukan. Untuk waktu serta
bimbingan terhadap proses penyusunan skripsi ini.
4. Bapak Drs. Subarkah, SH, M.H. Selaku dosen Pembimbing 2 yang
dengan ikhlas memberikan ide, gagasan dan masukan serta arahan
terhadap proses penyusunan skripsi ini.
5. Ayahanda Indratno dan Ibunda Saptanti Juli Astuti yang penulis
sayangi dan hormati, terima kasih yang tak terhinga atas kasih sayang,
doa, bimbingan, nasihat, ser ta materi yang telah diberikan. Skripsi ini
penulis persembahkan untuk Ayah dan Ibu.
6. Kepada kedua adik tercinta, Andy Prabowo Priambodo dan Intan Tri
Wulandari yang selama ini memberikan dukungan serta semangat, juga
untuk kasih sayang kalian kepada penulis.
7. Keluarga besar Hoemam dan kepada saudara-saudara yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan motivasi, semangat,
dan nasihat kepada penul i s . Terimakasih atas doanya semoga Allah
selalu melindungi kalian.
8. Kepada wanita yang selalu mendampingi penulis, Tri Kusuma Astuti, S.S
disaat senang maupun susah, yang telah memberikan suntikan semangat,
terima kasih atas semua waktu, kasih sayang, dan perhatian yang telah
engkau berikan.
viii
9. Sahabat-sahabat prodi Ilmu Hukum khususnya angkatan 2009, terima kasih
sudah membantu, memotivasi, dan selalu menghibur . May Allah bless us!
10. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta
membalas kebaikan mereka (Amien).
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan skripsi
ini. Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan
bagi para pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr, Wb.
Jakarta, Januari 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI……………………………………………………………………....ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah ........................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.......................................... 7
E. Metode Penelitian........................................................................ 8
F. Analisis Data ............................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN
A. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sebelum Perubahan
UUD NRI Tahun 1945 ................................................................ 16
1. Fungsi Legislasi ................................................................... 17
2. Fungsi Anggaran .................................................................. 19
3. Fungsi Pengawasan .............................................................. 19
B. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sesudah Perubahan
UUD NRI Tahun 1945……………………… ............................ 20
1. Fungsi legislasi ………………………………………….. .. 22
2. Fungsi anggaran ................................................................... 23
3. Fungsi pengawasan .............................................................. 23
C. Prinsip Checks and Balance Antara Presiden dan DPR .............. 30
x
BAB III TUGAS DAN KEDUDUKAN PERWAKILAN DIPLOMATIK
A. Pengertian Perwakilan Dilomatik ............................................... 33
B. Perwakilan Diplomatik Dalam Konvensi Wina Tahun 1961 ...... 34
1. Berlakunya € Hubungan€ Diplomatik ................................. 35
2. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik ........................... 38
3. Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Diplomatik ........ 44
4. Berakhirnya Fungsi Perwakilan Diplomatik ........................ 48
C. Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia ............................... 49
1. Perwakilan Diplomatik Menurut Undang-Undang Nomor
37
Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri ...................... 49
2. Perwakilan Diplomatik Menurut Keputusan Presiden
Nomor 108 Tahun 2003 Tentang Organisasi Perwakilan
Republik Indonesia di Luar Negeri ...................................... 51
D. Pengangkatan Duta Besar Sebelum Perubahan UUD NRI
Tahun
1945 ............................................................................................. 54
E. Kedudukan Perwakilan Diplomatik Dalam Struktur
Pemerintahan RI .......................................................................... 58
BAB 1V ANALISIS PERAN DPR DALAM PENGANGKATAN DUTA
BESAR SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
A. Menguatnya Kekuasaan DPR Dalam Fungsi Pengawasan ......... 66
B. Pengangkatan Duta Besar Setelah Perubahan UUD NRI Tahun
1945 ............................................................................................. 69
C. Mekanisme Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan Duta
Besar ............................................................................................ 72
D. Implikasi Hukum Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan
Duta
Besar Oleh Presiden .................................................................... 76
1. Aspek Politik ................................................................... 77
2. Aspek Historis ................................................................. 77
3. Aspek Hukum ................................................................. 78
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ........................................................................... 84
B. SARAN ....................................................................................... 86
xi
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Suasana perpolitikan nasional setelah tumbangnya rezim orde baru
disambut oleh semua kalangan sebagai masa kebebasan dalam berekspresi,
keadaan ini semakin bertambah seiring dengan dilakukannya perubahan terhadap
Undang-Undang Dasar 1945 yang di anggap turut melindungi kekuasaan otoriter
tersebut selama 32 tahun dan kerap melahirkan kekuasaan tanpa batas.
Nuansa kehidupan demokratis semakin terasa ketika para elit politik
kembali melakukan peran dan fungsinya masing-masing, sentralisasi kekuasaan
yang menumpuk pada lembaga eksekutif di masa lalu berubah menjadi
pemerataan kekuasaan dengan saling kontrol antar lembaga negara. Hal ini pula
yang memulihkan kembali peran lembaga perwakilan, lembaga yang merupakan
simbol dari keluhuran demokrasi di mana didalamnya terdapat orang-orang
pilihan yang dijadikan wakil rakyat yang memiliki integritas, tanggung jawab,
etika serta kehormatan yang kemudian dapat diharapkan menjadi perangkat
penyeimbang dan pengontrol terhadap kekuasaan eksekutif sebagai penggerak
roda pemerintahan.
Bagi negara yang menganut kedaulatan rakyat, keberadaan lembaga
perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Adalah tidak mungkin
membayangkan terwujudnya suatu pemerintah yang menjujung demokrasi tanpa
2
kehadiran institusi tersebut. Karena melalui lembaga inilah kepentingan rakyat
tertampung kemudian tertuang dalam berbagai kebijakan umum yang sesuai
dengan aspirasi rakyat.
Untuk itu menurut kelaziman teori-teori ketatanegaraan, lembaga ini
berfungsi dalam tiga wilayah, yaitu wilayah legislasi atau pembuat peraturan
perundang-undangan, wilayah penyusunan anggaran, serta wilayah pengawasan
terhadap jalannya pemerintahan.1 Dalam UUD 1945 setelah perubahan,
pengaturan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia ini dapat kita lihat pada
Pasal 1 ayat (2) dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri dari
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).2
Pada Pasal 20A ayat (1), DPR sendiri memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan. Selanjutnya dalam melaksanakan fungsinya,
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 20A ayat (2), DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu setiap anggota
DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, hak menyatakan usul dan
berpendapat sekaligus hak imunitas. kedudukan DPR sendiri sangat kuat, karena
presiden tidak dapat membekukan ataupun membubarkan DPR sebagai mana
tertera pada Pasal 7C.
Namun demikian keberadaan lembaga perwakilan tersebut belum dapat
berfungsi penuh sebagai mana mestinya, karna masih perlu di tindaklanjuti
1 C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia , Jakarta, Bumi Aksara, Cetakan
kedelapan, 1995, h. 213
2 Bintan.R.Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta,
Gaya Media Pratama, 1988, h. 115
3
dengan kesepakatan undang-undang yang akan menjadi payung hukum lembaga
tersebut. Sejalan dengan perubahan struktur sistem kelembagaan negara dengan
diamandemennya UUD 1945 serta perubahan dinamika perpolitikan yang terus
melangkah maju dengan kemudian menata kearah perpolitikan yang sehat dan
demokratis, maka pengamatan terhadap DPR sebagai salah satu lembaga
perwakilan dan sebagai lembaga politik sangatlah penting. Kenyataan yang
berkembang menunjukan adanya fenomena baru terhadap peran lembaga
perwakilan tersebut. Peran DPR seakan di sulap dari yang tak berdaya tatkala
berhadapan dengan pemerintah, mengalami perubahan menjadi lembaga yang
kuat terutama dalam fungsinya mengawasi lembaga eksekutif.
Secara legal formal peran DPR terlebih dalam fungsi pengawasan
mengalami Perubahan besar setelah di lakukan amandemen terhadap UUD 1945
yang dilakukan sejak Sidang Umum MPR 1999. Dengan fungsi pengawasan yang
dimiliki legislatif misalnya, menjadikan setiap kebijakan pemerintah yang akan di
buat maupun akan dilaksanakan harus terlebih dahulu mendapat persetujuannya.
Hak prerogatif yang dimiliki presiden semakin sempit, karena di sisi lain DPR
menempatkan diri sebagai lembaga penentu kata-putus dalam betuk memberi
persetujuan dan beberapa pertimbangan terhadap agenda-agenda pemerintah.3
Dalam pembuatan undang-undang, presiden kini hanya memiliki kekuasaan
mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU).
3 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif , Jakarta, Aksara Baru, 1977, h. 45
4
Kekuasaan untuk menetapkan suatu RUU menjadi Undang-Undang ada
di tangan DPR. Terkait hal pengangkatan duta, Presiden harus terlebih dahulu
memperhatikan pertimbangan DPR. Dalam Undang-undang No 37 Tahun 1999
tentang hubungan luar negeri, terdapat beberapa hak prerogatif presiden yang
harus melibatkan persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Pasal 6 Undang-
undang No 37 Tahun 1999 menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri pemerintah Republik
Indonesia berada ditangan presiden. Sedangkan dalam hal menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain diperlukan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Mengenai fungsi pengawasan DPR terlihat pula dalam pengangkatan Duta
Besar Republik Indonesia (RI).4 Pasal 13 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan,
menyebutkan “Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan DPR”. Menurut ketentuan yang baru tersebut menunjukkan bahwa
dalam pengangkatan Duta Besar (Dubes) tidak hanya merupakan hak prerogratif
Presiden namun juga melibatkan peran DPR untuk memberikan pertimbangan.5
Hal ini bertujuan supaya DPR sebagai lembaga perwakilan dilibatkan
dalam proses pengangkatan duta besar. Ini merupakan cerminan daripada fungsi
pengawasan DPR kepada Presiden, walaupun dalam hal ini DPR hanya
4 Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, Liberty,
2000, h. 57
5 Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945,
Bandung, Fokus Media, 2007, h. 85
5
memberikan suatu bentuk pertimbangan, tetapi disini presiden sangat dianjurkan
untuk memperhatikannya secara seksama. Tujuan dari pertimbangan yang
diberikan DPR ini memiliki fungsi yang cukup penting, supaya duta besar yang
terpilih benar-benar mampu untuk membawa kepentingan Indonesia di kancah
internasional.
Sebelum diamandemennya Pasal 13 UUD 1945, ketentuan mengenai
pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatife presiden yang mandiri. Dalam
hal ini presiden mengangkat duta besar tanpa perlu memperhatikan petimbangan
dari DPR selaku lembaga legislatif. Ini merupakan konsekuensi dari kedudukan
presiden sebagai kepala negara.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam berkenaan dengan hal ini,
sekaligus juga sebagai pemenuhan tugas akhir guna memperoleh gelar sarjana
strata satu (S1) dengan mengangkat judul skripsi tentang “ Peran DPR Dalam
Hal Pengangkatan Duta Besar Sebelum Dan Sesudah Amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan masalah hanya pada
ruang lingkup mengenai proses pengangkatan duta besar pada era orde baru
dan peran DPR dalam memberikan pertimbangan kepada presiden dalam hal
6
pengangkatan duta besar sesudah amandemen Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini berjalan dengan sistematis, maka perlu dibuat
perumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana peran duta besar dalam hubungan diplomatik ?
b. Bagaimana mekanisme DPR dalam memberikan pertimbangan kepada
presiden tentang pengangkatan duta besar ?
c. Apa dampak hukum pertimbangan DPR dalam proses pengangkatan duta
besar oleh presiden ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berkenaan dengan pokok permasalahan diatas, maka tujuan penelitian
dapat dirumuskan sebagai berikut untuk :
a. Menjelaskan peran dari duta besar dalam hubungan diplomatik.
b. Menganalisis mekanisme DPR dalam memberikan pertimbangan kepada
presiden tentang pengangkatan duta besar.
c. Memahami dampak hukum dari pertimbangan DPR dalam proses
pengangkatan duta besar oleh presiden.
2. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat
dari segi akademis dan praktis, yaitu :
7
Secara akademis: dapat menjadi aspek pendukung dalam ilmu hukum
kelembagaan Negara, agar penelitian ini dapat menjadi tambahan referensi
dan peningkatan wawasan akademis para akademisi di bidang hukum,
khususnya mengenai peran DPR dalam hal pengangkatan duta besar sebelum
dan sesudah amandemen Undang-undang Dasar tahun 1945.
Secara Praktis: memberikan informasi bagi para akademisi dan
masyarakat luas mengenai peran DPR dalam memberikan pertimbangan
kepada presiden dalam hal pengangkatan duta besar sebelum dan sesudah
amandemen Undang-undang Dasar Tahun 1945.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Review kajian terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian
yang sudah dilakukan, baik yang berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-
penelitian lainnya yang pernah membahas seputar kewenangan DPR sebagai
lembaga perwakilan pasca amandemen undang-undang dasar Negara republik
Indonesia tahun 1945, yaitu:
1. “Hubungan Antara Dewan Perwakilan Rakyat Dengan Presiden Pasca
Amandemen Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.” Skripsi ini ditulis oleh Hadi Utomo dari Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Malang. Dalam skripsi ini penulis memaparkan mengenai
hubungan koordinasi antara DPR dengan Presiden pasca amandemen Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mulai dari Bidang
Perancangan Undang-Undang, Penyusunan anggaran pendapatan dan belanja
8
Negara, dan memberikan rekomendasi kepada presiden dalam mengangkat
pejabat tinggi Negara.
2. “Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945.” Buku ini ditulis oleh Abdy Yuhana S.H, M.H, buku ini
dterbitkan pada tahun 2010. Dalam buku ini penulis membahas tentang sistem
perwakilan yang dianut di republik Indonesia dari perspektif ilmu hukum
ketatanegaraan. Dimana dibahas lebih lanjut mengenai tugas dan kedudukan
lembaga perwakilan di Indonesia pasca perubahan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
E. Metode Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum kepustakaan.6 Penelitian hukum normatif didefinisikan sebagai
penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Disebut juga
penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data
sekunder.7 Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui
6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995, h. 23
7 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1998, h. 10
9
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori
atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu
yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini yang dapat berupa
peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
2. Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah berupa bahan hukum, yang terdiri dari :
Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum peran DPR dalam memberikan pertimbangan
kepada presiden dalam pengangkatan duta besar republik Indonesia, yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang
Hubungan Luar Negeri;
c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
d. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 Tentang
Organisasi Perwakilan Republik Indonesia Di Luar Negeri;
e. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Tata Tertib;
10
f. Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun
2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri dan
Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 01/A/OT/I/2006/01 Tahun 2006
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor
02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Luar Negeri;
g. Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor
SK.06/A/OT/VI/2004/01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di Luar Negeri.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan tentang bahan hukum primer, antara lain adalah tulisan berupa
pendapat para pakar Hukum Tata Negara yang terdapat dalam buku-buku,
tesis, makalah, jurnal hukum.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan
informasi lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder antara lain kamus besar bahasa Indonesia, kamus hukum, majalah,
artikel, koran dan lainnya.8
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan oleh
8 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat,” Jakarta, Rajawali Pers, 1995, h. 33
11
peneliti adalah teknik dokumentasi. Pada tahap dokumentasi, penulis
mengumpulkan buku-buku, majalah, artikel-artikel dan lain-lain untuk
memudahkan penulis dalam mencari teori-teori yang berkaitan dengan judul
skripsi.
F. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu setelah
data diklasifikasikan sesuai aspek data yang terkumpul lalu diinterpretasikan
secara logis.9 dengan melihat data-data yang diperoleh penulis melalui observasi
dan dokumentasi setelah itu dianalisis kemudian disusun dalam laporan
penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Buku pedoman yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah buku
pedoman skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, terbitan tahun 2012.
Untuk Mempermudah pemahaman dan memperoleh gambaran yang jelas
mengenai keseluruhan dari penulisan skripsi ini, berikut sistematikanya:
BAB I adalah Pendahuluan dengan uraian mengungkapkan latar belakang
masalah kajian skripsi ini, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan kepustakaan, dan sistematika penulisan.
9 http://www.google.co.id/tanya/thread?tid=342186c09aff08b4. diakses pada
Tanggal 15 desember 2013
12
BAB II adalah tinjauan umum tentang DPR sebagai lembaga perwakilan di
Indonesia. Pada bab ini penulis memaparkan mengenai kewenangan
DPR sebelum dan sesudah amandemen Undang-Undang Dasar NRI
1945, baik dalam bidang legislasi, bidang anggaran, dan bidang
pengawasan. Penulis juga mencantumkan penerapan prinsip check
and balance antara DPR dan Presiden.
BAB III adalah mengenai tugas dan kedudukan duta besar berdasarkan
Konvensi Wina dan Keputusan Presiden No 108 Tahun 2003, serta
kedudukan seorang duta besar dalam struktur Pemerintahan
Republik Indonesia.
BAB IV adalah merupakan bab pembahasan, pada bab ini penulis akan
berbicara mengenai mekanisme yang dilakukan oleh DPR dalam
memberikan pertimbangan kepada presiden tentang pengangkatan
duta besar sesudah amandemen Undang-undang Dasar 1945 serta
implikasi hukum dari proses pertimbangan DPR kepada Presiden
tentang pengangkatan duta besar.
BAB V bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran dari penulis.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAI
LEMBAGA PERWAKILAN
Dalam sebuah negara yang menganut prinsip-prinsip kedaulatan rakyat
adanya lembaga perwakilan rakyat merupakan suatu keharusan. Gagasan awal
terbentuknya badan perwakilan rakyat adalah ketika tidak dimungkinkan nya
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan persoalan rakyat dalam sebuah negara
yang mempunyai jumlah penduduk banyak dan letak geografis negara yang luas,
sehingga muncul pemikiran agar diwakilkan kepada sejumlah orang melalui lembaga
yang dibentuk lalu disebutlah lembaga tersebut sebagai lembaga perwakilan rakyat.
International Comission of Jurist merumuskan sistem politik yang demokrasi
sebagai suatu bentuk pemerintah dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan
politik diselenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang dipilih oleh
mereka dan yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan
yang bebas.10
Lembaga perwakilan rakyat dipandang sebagi suatu keniscayaan dalam
menjalankan system pemerintahan yang demokratis. Lembaga negara ini merupakan
badan yang berwenang sebagai pelaksana kekuasaan negara dalam hal menentukan
kebijakan umum yang mengikat seluruh rakyat.11
10
PSHK, Semua harus terwakili; Studi mengenai reposisi MPR, DPR, dan lembaga
Kepresidenan di Indonesia, Jakarta, PSHK, 2000, h. 339
11
Abdy Yuhana, “Sistem Ketatanegaraan Indonesia : Pasca Perubahan UUD 1945”
(Bandung: Fokusmedia, 2013), h. 57
14
Secara fungsional, perwakilan (politik) yang berlaku dalam system
ketatanegaraan tidaklah terpisah dengan lembaga perwakilan sebagai suatu lembaga
yang dibangun dengan fungsi merealisasikan kekuasaan rakyat kedalam bentuk suatu
aspek lembaga dan proses pemerintahan.12
Lembaga perwakilan merupakan suatu
wadah terhimpunnya aspirasi rakyat, dimana didalamnya terdapat proses interaksi
antara wakil rakyat dengan rakyatnya. Dengan perwakilan itulah demokrasi tidak
langsung atau demokrasi perwakilan dilaksanakan.
Lembaga perwakilan rakyat, seperti yang tersebut dalam kepustakaan
mempunyai dua padanan terminologi yang berbeda, yaitu parlemen (Parliament) atau
legislatif (legislative). Kedua terminologi itu sebetulnya mempunyai pengertian yang
sama, yaitu sebagai tempat dimana para wakil rakyat menyampaikan aspirasi rakyat
dan kehendak rakyat. Perbedaan nya hanya terletak pada pemakaian terminologinya
yang dipadukan dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh sebuah negara.13
Negara yang menganut sistem permerintahan parlementer lembaga perwakilan
rakyatnya disebut parlemen sedangkan negara yang sistem pemerintahan presidensiil
disebut legislatif.
Umumnya fungsi lembaga perwakilan ataupun lembaga legislatif diberbagai
negara berbeda-beda, meskipun dalam garis besarnya sama saja, yaitu:14
12
Dahlan Thaib, “DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” (Yogyakarta:
Liberty,2000), h.2
13
I Gde Pantja Astawa, “Identifikasi Masalah Atas Hasil Perubahan UUD 1945 Yang
Dilakukan Oleh MPR dan Komisi Konstitusi”, Seminar Fakultas Hukum UNPAD bekerjasama
dengan PERSAHI, 2004, h. 105
14
Bintan R. Saragih, “Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia”, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1988), h. 56
15
1. Menentukan Undang-undang;
2. Di beberapa negaranya seperti Inggris misalnya, juga berwenang untuk
mewujudkan perubahan terhadap konstitusi;
3. Menempatkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dengan hak interpelasi,
mosi, hak angket, dan sebagainya;
4. Menetapkan anggaran (keuangan) negara dengan menentukan cara-cara
memperoleh dan menggunakan dana serta melakukan pengawasan terhadap
anggaran tersebut (melalui Badan Pemeriksa Keuangan);
5. Di beberapa negara juga memberikan rekomendasi (mengusulkan) bagi jabatan-
jabatan penting negara, seperti anggota Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa
Keuangan, dan sebagainya;
6. Menentukan hubungan dengan negara-negara lain, termasuk juga menentukan
perang dan damai.
Secara teoritis, hak istimewa Presiden atau disebut dengan hak Prerogatif
Presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh Presiden yang bersifat mandiri
dan mutlak, dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga lain.15
Dalam
sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara
baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu
yang dinyatakan dalam konstitusi.
Kekuasaan presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan
15
PSHK, Semua harus terwakili; Studi mengenai reposisi MPR, DPR, dan lembaga
Kepresidenan di Indonesia, Jakarta, PSHK, 2000, h. 321
16
administratif, simbolis, dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping
kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan
presiden sebagai kepala negara diatur dalam UUD tahun 1945 pasal 10.
Kekuasaan presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam Pasal
4 ayat (1) UUD tahun 1945. Kekuasaan sebagai kepala pemerintahan sama
dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi
kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang
ditetapkan lembaga legislatif.
Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan
sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan
politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan, dan
pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-
undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat
pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi
untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD tahun 1945 fungsi
pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR.
A. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Sebelum Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Menurut Undang-undang Dasar 1945 sebelum perubahan, peran dan fungsi
DPR hanya terbatas pada hak mengajukan rancangan Undang-undang. Peran DPR
17
selama 32 tahun tidak lebih sebagai alat legitimasi dan sebagai corong eksekutif
khususnya dalam setiap rancangan Undang-undang yang diajukan oleh
pemerintah. Pengalaman DPR selama orde baru menunjukkan bahwa eksekutif
begitu dominan terhadap legislatif, sehingga DPR mandul dan tidak berdaya.
Berdasarkan Undang-undang dasar 1945, lembaga DPR memiliki tiga fungsi
utama yakni, fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.16
Pelaksanaan ketiga fungsi ini mengalami proses pasang surut sesuai dengan
sistem dan situasi politik secara nasional. Pada masa Presiden Soekarno misalnya
konstituante dibubarkan karena dinilai tidak mampu menyusun Undang-undang
Dasar. Sedangkan pada era pemerintahan Presiden Soeharto, DPR berada
dibawah dominasi eksekutif sehingga ketiga fungsinya tidak dapat berjalan secara
efektif.
Berikut ini diuraikan dinamika peran dan fungsi DPR sebelum amandemen
Undang-undang Dasar 1945 :
1. Fungsi Legislasi
Sebelum amandemen Undang-undang Dasar 1945, rumusan pasal 5 ayat
(1) Undang-undang Dasar 1945 dan penjelasannya tentang kekuasaan untuk
membentuk Undang-undang, telah menimbulkan persoalan mengenai
siapakah sebenarnya yang memegang kekuasaan menyusun dan menetapkan
Undang-undang. Ketentuan pasal tersebut bukan saja membingungkan tetapi
mengandung anomali. Presiden adalah pemegang dan pelaksana kekuasaan
16
Sri Soemantri, “Tentang Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945”, ( Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1993), h. 27
18
eksekutif. Dalam sistem ketatanegaraan demokratis umumnya kekuasaan
menetapkan Undang-undang berada pada badan perwakilan rakyat sebagai
pemegang kekuasaan legislatif.17
Selama periode orde baru, fungsi legislasi dipegang oleh Presiden
sementara DPR hanya memberikan persetujuan. Dalam hal ini A. Hamid S.
Attamimi berpendapat, apabila ditafsirkan secara harfiah, ketentuan pasal 5
ayat (1) yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, Presidenlah
yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan DPR
memberi (atau tidak memberi) persetujuan terhadap pelaksanaan kekuasaan
yang berada pada presiden tersebut.18
Dengan menggunakan teori kekuasaan R. Kranenburg, A. Hamid S.
Attamimi menambahkan, “memegang kekuasaan” dalam ketentuan Pasal 5
Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 haruslah diartikan “memegang
kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan
membentuk undang-undang (wetgevendemacht), memang mengandung
kewenangan membentuk undang-undang.19
Karena argumentasi itu, dengan
17
T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk , “Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 81.
18
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan”, (Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), h. 146.
19
Ibid. h. 151
19
menggunakan makna semantik, A. Hamid S. Attamimi menafsirkan
“bersama-sama” dalam melaksanakan legislative power, Presiden
melaksanakan kekuasaan pembentukannya dan DPR melaksanakan
(pemberian) persetujuan dengan berbarengan, serentak, bersama-sama.20
Dengan demikian menjadi jelas, tambah Attamimi, kewenangan
pembentukan undang-undang tetap pada Presiden, dan kewenangan
memberikan persetujuan tetap pada DPR. Agar undang-undang dapat
terbnetuk, kedua kewenangan tersebut dilaksanakan secara berbarengan.21
2. Fungsi Anggaran
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, fungsi anggaran dari DPR
tidak berjalan sebagaimana mestinya, sama seperti fungsi-fungsi DPR yang
lainnya. Anggaran Negara yang dikehendaki pemerintah tidak mendapat
reaksi apapun dari DPR. Mereka hanya memberikan persetujuan terhadap
rencana anggaran yang diajukan oleh pemerintah. Singkatnya fungsi anggaran
DPR hanya sekedar formalitas.22
3. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan DPR selama orde baru dapat dilihat melalui tiga
memorandum. Ketiga memorandum itu mencakup tentang masalah Taman
20
Ibid. h. 153 21
Ibid. 22
T.A. Legowo, M. Djadijono, Dkk , “Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945”, (Jakarta: FORMAPPI, 2005), h. 82.
20
Mini Indonesia Indah dan hari depan generasi muda Indonesia, Penetapan
harga gula hasil panenan pada tahun 1972 dan rencana ekspor gula pada tahun
1974, serta memorandum tentang masalah beras.23
Sempat muncul hak interpelasi DPR tentang penerapan Normalisasi
Kehidupan Kampus (NKK) oleh pemerintah dan hak angket mengenai kasus
korupsi di pertamina. Meskipun hak angket ini ditolak oleh Fraksi Karya
Pembangunan dan Fraksi ABRI. Hanya sebatas itu lah potret fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh DPR terhadap pemerintahan ORBA.
Mengenai proses pengangkatan duta besar sebelum amandemen sama sekali
tidak melibatkan peran DPR selaku lembaga legislatif. Pada masa itu
pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatif presiden yang mandiri.
Sebagaimana yang termaktub pada pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 37
Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri “Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Selaku Kepala Negara”.
B. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Setelah Perubahan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif tidaklah
dinyatakan secara tegas, hanya di sebutkan bahwa DPR memegang Kekuasaan
membentuk Undang-undang (Pasal 20 Ayat (1) Undang-undang Dasar Negara
23
Opini@Net, Kumpulan Aspirasi Masyarakat, yang disampaikan melalui www.mpr.go.id, diakses pada tanggal 18 Agustus 20014.
21
Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Pertama),24
kemudian dalam pasal
20A Ayat (1) muncul ketentuan mengenai fungsi-fungsi anggaran dan control
disamping fungsi legislasi. Sehubungan dengan hal ini Bagir Manan berpendapat
bahwa ketentuan Pasal 20A Ayat (1) ini bukan saja overlapping tetapi juga
menimbulkan kerancuan, dalam hal penyebutan legislasi tidak konsisten dengan
kekuasaan membentuk Undang-undang.25
Pengertian (begrib) legislasi lebih luas
dari pengertian Undang-undang, kekuasaan membentuk Undang-undang adalah
satu-satunya fungsi DPR.
Perkembangan setelah Perubahan Undang-undang Tahun 1945, DPR sebagai
lembaga legislatif, tetapi bisa juga disebut sebagai penasehat Presiden. Dewan
Perwakilan Rakyat dapat dikatakan sebagai penasehat Presiden, oleh karena
Presiden dapat meminta pertimbangan DPR dalam hal-hal tertentu, seperti
berikut:
a. Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR
(Pasal 13 Ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada penggunaan istilah
“memperhatikan pertimbangan”.
b. Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (Pasal 13 ayat 3 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada
penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.
24
Indonesia, “UUD 1945 Perubahan Pertama”, Pasal 20 ayat 1 25
Bagir Manan, “ DPD, DPR, dan MPR Dalam UUD 1945 Baru” (Yogyakarta: FH UII
Press, 2003), h. 33
22
c. Presiden memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat 2 UUD 1945 Perubahan Pertama), pada
penggunaan istilah “memperhatikan pertimbangan”.
1. Fungsi Legislasi
Salah satu pilar pemerintah yang demokratis adalah menjunjung tinggi
supremasi hukum. Supremasi hukum dapat terwujud apabila didukung oleh
perangkat peraturan perundang-undangan yang dihasilkan melalui proses
legislasi. Oleh karena itu, fungsi legislasi DPR dalam proses demokrasi
sangatlah penting.
Menurut ketentuan konstitusi, rancangan Undang-undang (RUU) yang
akan dibahas di DPR dapat berasal dari pemerintah dan dapat pula berasal dari
DPR sebagai RUU usul inisiatif. Untuk masa yang akan datang jumlah RUU
yang berasal dari inisiatif DPR diharapkan semakin banyak. Hal ini
merupakan bagian penting dari komitmen reformasi hukum nasional dan
pemberian peran yang lebih besar kepada DPR secara konstitusional dalam
pembuatan Undang-undang.
Peningkatan peran tersebut merupakan hasil dari perubahan Undang-
undang Dasar Tahun 1945. Dalam naskah Undang-undang Tahun 1945
sebelum perubahan hak membuat Undang-undang berada pada tangan
Presiden, “ Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-undang ” (
Pasal 5 ayat 1). Setelah perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 hak itu
23
bergeser dari Presiden kepada DPR dan rumusan tersebut dituangkan dalam
Pasal 20 ayat (1) yang menyebutkan “DPR memegang kekuasaan membentuk
Undang-undang”.
2. Fungsi Anggaran
Untuk menjalankan fungsi pokok Dewan Perwakilan Rakyat di bidang
Anggaran diatur dalam Pasal 23 Undang-undang Dasar Tahun 1945 setelah
perubahan. Ditegaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) ditetapkan tiap tahun dengan Undang-undang. Kedudukan Dewan
Perwakilan Rakyat dalam penyusunan APBN sangatlah kuat, karena apabila
Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan oleh
pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu.26
3. Fungsi Pengawasan
Tidaklah berlebihan, apabila rakyat Indonesia di semua tingkatan
memprediksikan potret DPR di era saat ini mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 telah menggeser
paradigm executive heavy menjadi legislative heavy.
Pada era orde baru yang lalu, praktek ketatanegaraan lebih didominasi oleh
peran eksekutif atau pemerintah. Terlebih dominasi eksekutif pada waktu itu
mendapatkan legitimasi secara konstitusional, hal ini terlihat pada pasal-pasal
dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan.27
Pada pasal 4
26
Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, ( Yogyakarta: Liberty, 2000), h. 96
27 Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supermasi Eksekutif ke Supermasi Legislatif ?, www. google.
com
24
ayat (1) naskah asli Undang-undang Dasar Tahun 1945 menyatakan bahwa
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan Pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar”. Kemudian pasal 5 ayat (1) Presiden membentuk
Undang-undang bersama DPR, Presiden juga dapat menetapkan peraturan
pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang ( Pasal 5 ayat 2 ). Menurut
Pasal 10 Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Pasal 11 Presiden menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, dengan persetujuan
DPR. Pasal 12 menyebutkan bahwa Presiden dapat menyatakan keadaan
bahaya menurut syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Dominasi kekuasaan eksekutif semakin bertambah ketika dengan
kekuasaannya melakukan monopoli penafsiran pada Pasal 7 Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan. Penafsiran ini menimbulkan Implikasi
yang sangat luas karena Presiden dapat dipilih kembali untuk masa yang tidak
terbatas.28
Dengan diadakannya Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 kini peran itu mulai bergeser dan berubah. Meskipun Presiden
masih memegang kekuasaan pemerintah, tetapi dengan adanya pergeseran ini,
Presiden tidak lagi mempunyai kekuasaan dibidang legislasi, sebab kekuasaan
tersebut sekarang berada pada tangan DPR. Pasal 20 ayat (1) menyebutkan
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-
Undang”. Sedangkan Presiden hanya memiliki hak mengajukan rancangan
28
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta, Aksara Baru, 1977, h. 199-200
25
Undang-Undang saja.
Dalam konteks pengawasan, Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada DPR untuk
mengawasi jalannya pemerintahan. Pelaksanaan fungsi pengawasan DPR
dilakukan melalui mekanisme penggunaan beberapa hak yang sebelumnya
tidak digunakan, seperti hak interpelasi dan hak angket. Melalui hak
interpelasi, Presiden diminta untuk memberikan keterangan atau klarifikasi
atas kebijakan yang telah diambilnya. Sedangkan melalui hak angket, DPR
melakukan penyelidikan terhadap penyimpangan penggunaan anggaran
negara yang digunakan oleh Presiden.
Fungsi pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam
proses pemilihan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh pemerintah
berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Dalam hal pengangkatan duta, penempatan duta negara
sahabat, pemberian amnesti, abolisi, Presiden harus mendengarkan
pertimbangan dari DPR. Selanjutnya tugas DPR dalam fungsi pengawasan
lainnya adalah menindak lanjuti hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan.
Tugas ini merupakan suatu bentuk sikap pro-aktif DPR untuk mendorong
penyelesaian kasus-kasus penyalahgunaan keuangan negara.
Pada akhirnya peningkatan peran DPR dalam bidang pengawasan bagian
dari upaya untuk menerapkan mekanisme checks and balance demi
terciptanya pemerintahan yang demokratis. Hal ini mengharuskan DPR untuk
bekerja secara optimal demi melaksanakan fungsi-fungsi konstitusionalnya,
26
dengan menggunakan hak-hak nya secara maksimal.
4. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Setelah Perubahan Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Perubahan Undang-undang Dasar Tahun 1945 telah memberikan
kedudukan yang cukup kuat kepada Dewan Perwakilan Rakyat, hal ini
sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 7C Undang-undang Dasar tahun
1945 setelah perubahan yang menyebutkan “Presiden tidak dapat membekukan
dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat”. Hal ini sesuai dengan
prinsip presidensial sebagai sistem pemerintahan Indonesia yang dipertahakan
dan lebih disempurnakan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 setelah perubahan. Presiden dan DPR dipilih langsung
oleh rakyat, sehingga keduanya memiliki legitimasi yang sama dan kuat serta
masing-masing tidak bisa saling menjatuhkan.
Selain ditentukan dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, ketentuan
fungsi dan wewenang DPR juga diatur dalam Peraturan DPR No 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib dalam Pasal 4 ayat (1), disebutkan bahwa DPR memiliki
fungsi :29
a. Legislasi;
b. Anggaran; dan
c. Pengawasan.
Ketiga fungsi diatas dijalankan dalam rangka representasi rakyat dan juga
29
Pasal 4 ayat (1) Peraturan DPR No 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib
27
untuk mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.30
Kemudian untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), DPR memiliki beberapa hak yaitu :
a. Meminta keterangan kepada Presiden
b. Mengadakan Penyelidikan
c. Mengadakan perubahan terhadap rancangan Undang-undang
d. Mengajukan pernyataan pendapat
e. Mengajukan rancangan Undang-undang
f. Mengajukan seseorang untuk jabatan tertentu jika ditentukan oleh suatu
peraturan perundang-undangan
g. Menentukan anggaran DPR
h. Memanggil seseorang
Selain dari peraturan DPR No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yang
lebih lanjut mengatur tugas dan wewenang DPR, serta hak-hak yang dimiliki
oleh DPR, hal serupa juga terdapat dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2014
Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang dapat
dilihat dalam pasal 71 yakni sebagai berikut :31
Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai Tugas dan wewenang :
a. Membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama;
30
Ibid, Pasal 4 ayat (2)
31
Lihat UU No 17 Tahun 2014 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,DPD, dan DPRD
28
b. Memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap
peraturan pemerintah pengganti Undang-undang yang diajukan oleh
Presiden untuk menjadi Undang-undang;
c. Meneriman rancangan Undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. Membahas rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama
antara DPR dan Presiden;
e. Membahas rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau
DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum
diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
f. Memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan Undang-undang
tentang APBN dan rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama;
g. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
dan memberikan persetujuan atas rancangan Undang-undang tentang
APBN yang diajukan oleh Presiden;
29
h. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang dan
APBN;
i. Membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh
DPD terhadap pelaksanaan Undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
j. Memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat
perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-
undang;
k. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesty
dan abolisi;
l. Memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam mengangkat duta besar
dan menerima penempatan duta besar negara sahabat;
m. Memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
n. Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
o. Memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan
pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
p. Memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi
30
Yudisial untuk ditetapkan sebagai Hakim Agung oleh Presiden;
q. Memilih 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dan mengajukannya kepada
Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;
r. Memberikan persetujuan atas pemindahtanganan asset negara yang
menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;
s. Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat; dan
Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam Undang-undang.
C. Prinsip Check and Balance Antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Kamus hukum mendefinisikan prinsip check and balance sebagai sebuah
sistem aturan yang menegaskan adanya mekanisme saling mengawasi diantara
cabang kekuasaan baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Menurut Hamdan
Zoelva, pengertian sistem check and balance yaitu sistem yang saling
mengimbangi antara lembaga-lembaga kekuasaan negara. Sistem ini memberikan
pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara sesuai dengan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang terendah,
semuanya sama diatur dalam fungsinya masing-masing.32
Setelah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pemerintah Indonesia
32
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/28/sitem-perawakilan-rakyat-di-indonesia/ diakses pada tanggal 15 April 2014.
31
menganut prinsip check and balance. Prinsip check and balance relatif masih baru
diadopsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, utamanya setelah amandemen
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sehingga dalam praktiknya masih sering
timbul “konflik kewenangan” antar lembaga negara ataupun dengan komisi
negara yang ada.
Mekanisme check and balance merupakan tuntutan reformasi. Salah satu
tujuan utama mekanisme ini adalah untuk menghindari pemusatan kekuasaan
pada suatu lembaga saja. Mekanisme ini cocok diterapkan di Indonesia, karena di
Indonesia memiliki tiga cabang kekuasaan yakni, eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Mekanisme check and balance antara Presiden dan DPR terdapat dalam
berbagai bidang, yaitu bidang legislasi, bidang anggaran, dan bidang pengawasan.
Dalam bidang pengawasan yakni terhadap jalannya pemerintahan, pemberian
persetujuan dan keputusan terhadap agenda kenegaraan, pemberian pertimbangan
pada agenda kenegaraan, serta dalam pengisian dan pemilihan beberapa jabatan
strategis kenegaraan oleh DPR terhadap Presiden.
Mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap kekuasaan dan
kewenangan antara Presiden dan DPR dalam bidang legislasi dan anggaran diatur
dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagai berikut :
a. Pasal 5 ayat (1) “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”
b. Pasal 22 ayat (1) “ Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”
c. Pasal 23 ayat (2) “Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan
32
belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah”
Selanjutnya, mekanisme check and balance antara Presiden dan DPR dalam
bidang pengawasan, diatur dalam beberapa pasal pada Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, yakni :
a. Pasal 7A “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”
b. Pasal 11 ayat (1) “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain”
c. Pasal 13 ayat (2) “Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan
Pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”
Dengan demikian terlihat jelas bagaimana mekanisme check and balance atau
mekanisme pengawasan dan perimbangan terhadap kekuasaan dan kewenangan
yang erat antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam sistem
pemertintahan di Indonesia ini.
33
BAB III
TUGAS DAN KEDUDUKAN PERWAKILAN DIPLOMATIK
A. Pengertian Perwakilan Diplomatik
Pengertian perwakilan diplomatic menurut bahasa berasal dari kata
“Diplomartic Mission” yang dikenal secara luas di dalam hubungan antar
negara.33
Undang-undang nomor 1 tahun 1982 tentang pengesahan Konvensi
Wina 1961 dan Konvensi Wina 1963 menerjemahkan kata diplomatic mission dan
diplomatic relations menjadi perwakilan diplomatic dan hubungan diplomatik.
Perwakilan diplomatic pada umumnya diartikan sebagai Kedutaan atau Kedutaan
Besar suatu Negara di Negara lain yang berfungsi mewakili kepentingan negara
pengirimnya dan kepentingan hubungan negaranya dengan negara tempatnya
diakreditasikan.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 tentang
Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri menyatakan bahwa
Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia adalah salah satu dari jenis atau
bentuk perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.34
Perwakilan Diplomatik
Republik Indonesia terdiri dari Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Perurusan
33
G.R.Berridge, Alan James; editorial consultant, Sir Brian Barder, A Dictionary of Diplomacy. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data Berrideg, Geoff, New York, 2001, h.68.
34
Keppres Nomor 18 tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia, Bab II, Jenis Perwakilan, Pasal 2.
34
Tetap Republik Indonesia.
Kedutaan Besar Republik Indonesia adalah Perwakilan Diplomatik Republik
Indonesia yang mempunyai tugas pokok mewakili dan memperjuangkan
kepentingan Bangsa, Negara, dan Pemerintah Republik Indonesia serta
melindungi Warga Negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia di Negara
Penerima atau Organisasi Internasional, melalui pelaksanaan hubungan
diplomatik dengan Negara Penerima atau Organisasi Intenasional, sesuai dengan
kebijakan politik dan hubungan luar negeri Pemerintah Republik Indonesia,
peraturan perundang-undangan nasional, hukum internasional, dan kebiasaan
internasional.35
Pengertian tersebut adalah sebagaimana dimaksud oleh Undang-
undang Nomor 1 tahun 1982 atau pengertian “Diplomatic Mission” dalam
Konvensi Wina tahun 1961, sedangkan dalam hubungan antara Indonesia dengan
negara lain pengertiannya adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia yang
ditempatkan atau diakreditasikan pada suatu negara.
B. Perwakilan Diplomatik dalam Konvensi Wina Tahun 1961
Pedoman dan landasan bagi hubungan diplomatik yang selama ini dianut dan
telah digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah Konvensi Wina
tahun 1961 yang terdiri dari 53 pasal.36
Konvensi ini meliputi hampir semua
35
Ibid, Pasal 4 36
Soemaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, edisi Pertama, Cetakan 1, Bandung: Penerbit Alumni, 1995 h. 14.
35
aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Konvensi
Wina tentang hubungan diplomatik memuat ketentuan-ketentuan mengenai
perwakilan diplomatik secara garis besar, yaitu :
1. Berlakunya Hubungan Diplomatik
a. Pembukaan dan Perwakilan Diplomatik
Suatu negara yang merdeka dan diakui berdaulat berhak penuh
untuk mengirimkan perwakilan diplomatik (the right of legation) atau
wakil-wakil konsuler ke negara lain dan berkewajiban pula untuk
menerima perwakilan Diplomatik dan konsuler negara lain.37
Pembukaan
hubungan diplomatik sebagai tanda ada nya hubungan diplomatik harus
dilakukan dengan persetujuan bersama atau kesepakatan sebagaimana
yang dinyatakan secara tegas dalam pasal 2 Konvensi Wina yang
berbunyi:
“the establishment of diplomatic relations between states, and of
permanent diplomatic mission take place by mutual consent”
Karenanya, hukum internasional tidak mengharuskan suatu negara
membuka hubungan diplomatik dengan negara lain, seperti juga tidak ada
keharusan untuk menerima misi diplomatik asing di suatu negara.
Demikian juga suatu negara tidak mempunyai hak untuk meminta negara
37
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi Ke-2, Penerbit PT Alumni, Jakarta: 2005, h. 520.
36
lain untuk menerima wakil-wakilnya.38
b. Pengangkatan dan Penerimaan Perwakilan Diplomatik
Setiap negara menentukan sendiri persyaratan dan cara
pengangkatan serta penerimaan perwakilan diplomatik dan konvensi tidak
menentukan hal itu. Prosedur atau mekanisme pengangkatan dari
perwakilan diplomatik diatur baik oleh ketentuan hukum nasional maupun
hukum internasional. Negara pengirim harus mengusahakan persetujuan
dalam bentuk tertulis atau lisan kepada negara penerima untuk seorang
yang dicalonkan untuk menjadi kepala perwakilan diplomatik. Dalam hal
negara penerima menolak untuk memberikan persetujuan, negara
penerima tidak diwajibkan mengemukakan alasan penolakan tersebut.
Ketentuan ini terdapat dalam pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Konvensi Wina
tahun1961.
Apabila negara penerima menyatakan persetujuannya, maka Duta
Besar membawa surat kepercayaan (Letter of Credence) yang telah
ditanda tangani oleh kepala negaranya. Surat kepercayaan tersebut juga
dapat disertai dokumen-dokumen penting lainnya dan penyerahan surat
kepercayaan ini dilakukan dalam suatu upacara kenegaraan resmi.
Ketentuan mengenai penerimaan perwakilan diplomatik dan surat
kepercayaan ini dimuat dalam pasl 5, pasal 6, dan pasal 7 Konvensi Wina
38
Sir Ernest Satow, A Guide to Diplomatic Practice, Fourth Edition, Longman Green an Co Ltd, London and Harlow: 1957, h.116.
37
tahun 1961.
Praktek tersebut dijalankan karena sifat dan fungsi perwakilan
diplomatik yang dibentuk untuk pemeliharaan hubungan yang permanen
antara negara pengirim dengan pemerintah, khusunya departemen luar
negeri dari negara penerima.
c. Mulai Berlakunya Fungsi Perwakilan Diplomatik
Ketentuan pasal 13 Konvensi Wina mengatur mengenai mulai
berlakunya fungsi perwakilan diplomatik yaitu baik pada saat wakil
tersebut menyerahkan surat kepercayaannya maupun pada saat ia
memberitahukan kedatangannya dan menyerahkan sebuah salinan asli dari
surat tersebut kepada Menteri Luar Negeri nega penerima atau menteri
lainnya yang ditunjuk sesuai dengan praktek kebiasaan yang berlaku
dinegara penerima yang harus diterapkan secara seragam. Urutan
penyerahan surat-surat kepercayaan atau sebuah salinan asli akan
ditentukan pada hari dan saat kedatangan kepala misi yang bersangkutan.
d. Hubungan dan Pemberitahuan Kepada Negara Penerima
Dalam melaksanakan tugas resmi perwakilan diplomatic mengenai
hubungan negara pengirim dan negara penerima, maka harus dilakukan
dengan melalui Kementerian Luar Negeri negara penerima atau
Kementerian lainnya yang disetujui. Pasal 10 Konvensi Wina
menyebutkan bahwa Negara penerima harus diberitahukan mengenai
orang-orang tertentu dari misi yaitu :
38
1) Anggota-anggota misi atau perwakilan diplomatik yang mengenai
pengangkatannya dan keberangkatannya terakhir atau berakhirnya
fungsi-fungsi mereka di dalam misi.
2) Orang-orang yang termasuk keluarga dari seorang anggota misi yang
mengenai kedatangannya dan keberangkatannya terakhir meliputi juga
hal kenyataan bahwa seorang menjadi berakhir sebagai anggota
keluarga dari seorang anggota misi.
3) Pelayan pribadi yang bekerja pada anggota misi, mengenai
kedatangannya dan keberangkatannya yang terakhir dan juga
kenyataan bahwa mereka lepas dari pekerjaan pada orang-orang
tersebut.
4) Orang-orang yang berdiam di negara penerima sebagai anggota misi
atau pelayan pribadi yang berhak akan hak-hak istimewa dan
kekebalan hukum mengenai penugasan dan pemberhentian mereka.
2. Tugas dan Fungsi Perwakilan Diplomatik
Tugas dan fungsi perwakilan diplomatik disebutkan di dalam pasal 3 ayat
(1) Konvensi Wina adalah :39
1) Mewakili negara pengirim di negara penerima;
2) Melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga
negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh
39 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Edisi ke-2, Penerbit PT Alumni, Jakarta, Tahun 2005, h.544.
39
hukum internasional;
3) Melakukan perundingan dengan pemerintah negara penerima;
4) Memperoleh kepastian dengan semua cara yang sah tentang keadaan dan
perkembangan negara penerima dan melaporkannya kepada pemerintah
negara pengirim;
5) Meningkatkan hubungan persahabatan antara negara pengirim dan negara
penerima serta mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
Tugas para pejabat atau agen diplomatik bukan saja terbatas pada
pengamatan terhadap masalah-masalah politik, ekonomi, dan keamanan
negara akreditasi, mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, tetapi juga dengan negara setempat ikut berusaha menangani
masalah-masalah yang bersifat regional maupun internasional.40
Era globalisasi yang dialami dunia dimana banyak dan meningkatnya
masalah yang telah melewati tapal batas negara seperti pemberantasan obat-
obat terlarang, penanganan masalah-masalah lingkungan hidup dan
perlindungan hak-hak asasi, tugas para diplomat tidak lagi terbatas pada
masalah-masalah bilateral tetapi dengan negara setempat dapat memberikan
sumbangan pemikiran untuk memecahkan masalah-masalah global yang
40
Ibid.
40
menyangkut kepentingan bersama.41
Perwakilan diplomatik membawa sifat organ komunikasi utama antara
pemerintahan-pemerintahan negara dan menyebabkan kesulitan dalam
membatasi tugas dan fungsi perwakilan diplomatik dengan seksama dan lebih
rinci.42
Salah satu fungsi penting perwakilan diplomatik adalah fungsi
mewakili negara pengirim. Istilah fungsi ini tidak hanya digunakan dalam
pengertian hukum yang terbatas tetapi dimaksudkan sebagai keberadaan suatu
negara. fungsi ini tidak hanya fungsi yang paling penting diantara fungsi-
fungsi yang ada dalam Konvensi tetapi suatu fungsi sentral dari seluruh
struktur hukum diplomatik. Fungsi ini hanya dapat dilaksanakan oleh suatu
organ negara yang dinamakan kedutaan besar, karena tanpa organ tersebut
maka negara tidak dapat dinyatakan ada.43
Fungsi mewakili negara pengirim di negara penerima mempunyai
batasan-batasan antara lain yang dikemukakan oleh Gerhard Von Glahn dalam
bukunya “Law Among Nations”.44
“Seorang wakil diplomatik itu selain mewakili pemerintah negaranya, ia
41
Ibid. 42
Ludwik Dembinski, The Modern Law of Diplomacy, External Missions of States and International Organizations, Martinus Nijhoff Publishers, 1988, h. 40.
43
Ibid. 44
Syahmin A.K., Hukum Diplomatik dan Suatu Pengantar, Penerbit CV Armico, Bandung:, 1985, h.56.
41
juga tidak hanya bertindak di dalam kesempatan ceremonial saja, tetapi juga
melakukan protes atau mengadakan penyelidikan (inquires) atau pertanyaan
dengan negara penerima. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah
negaranya”.
Dan menurut B.Sen di dalam bukunya “A diplomat’s handbook of
International Law and Practice” batasan representative itu ialah sebagai
berikut:45
“Fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik dalam mewakili negara
pengirim di negara penerima dan bertindak sebagai saluran penghubung
resmi antar pemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara
hubungan diplomatik antar negara yang menyangkut fasilitas perhubungan
kedua negara. Pejabat diplomatik seringkali melaksanakan fungsi
mengadakan perundingan dan menyampaikan pandangan-pandangan
pemerintahnya di dalam beberapa masalah penting kepada pemerintah
negara dimana ia diakreditasikan”.
Pemerintah Republik Indonesia memberikan batasan tentang tugas dan
fungsi mewakili negara tersebut yaitu, mewakili negara Republik Indonesia
secara keseluruhan di negara penerima seperti dinyatakan dalam Keputusan
Presiden Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik
Indonesia di Luar Negeri.
Fungsi melindungi kepentingan negara pengirim dan warga negaranya
45
Ibid.
42
atas fungsi proteksi, Gerhard Von Glahn juga memberikan batasan yaitu: 46
“The diplomat has a duty to look after the interest persons and property of
citizens of his own state in the receiving state. He must be ready to assist
them, they get into trouble abroad, may have to take charge of their bodies
and effects if they happen to die on a trip and in general acts as a trouble
shooter for his fellow nationals in he receiving state”.
Fungsi perlindungan selain merupakan tugas perwakilan diplomatik
negara pengirim di negara penerima juga negara penerima harus memberikan
perlindungan kepada pejabat diplomatik negara pengirim terutama jika
mereka in transit di negara tersebut sebagaimana ketentuan yang disebutkan
pada pasal 40 Konvensi Wina.
Fungsi ketiga yaitu berunding dengan pemerintah negara penerima atau
fungsi negosiasi yang sudah lazim didalam hubungan internasional.
Perundingan-perundingan dapat diadakan antara dua negara atau lebih. Fungsi
perwakilan diplomatik sebagai utusan dalam perundingan yang mewakili
negaranya dengan negara penerima ditentukan dalam pasal 3 ayat (1 C)
Konvensi Wina.
Namun sering terjadi perundingan mengenai masalah tertentu dilakukan
oleh utusan-utusan khusus terutama jika hal tersebut mengenai masalah
tehnis, oleh karena itu fungsi mengadakan perundingan dikatakan Von
Glahn:47
46
Ibid. h. 42 47
Ibid. h. 60
43
“The original reason for the rise of diplomats the intention of having a
representative in a foreign capital compowered to negotiate agreement
with the receiving state, was to “deal” directly with the foreign
government”.
Perundingan yang dilaksanakan oleh perwakilan diplomatik dapat berupa
pertukaran pendapat tentang masalah politik, social atau kebudayaan dan ilmu
pengetahuan, isu-isu tertentu sampai kepada maksud untuk mengadakan
persiapan atau melancarkan jalan guna mengadakan suatu perjanjian atau
persetujuan
Fungsi pelaporan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Wina
merupakan suatu tugas yang sangat berperan secara aktif bagi perwakilan
diplomatik, termasuk didalamnya tugas observasi dengan seksama atas segala
peristiwa yang terjadi di negara penerima. Fungsi ini bermanfaat selain untuk
menyampaikan pesan atau data yang diterima dari negara penerima, tetapi
juga untuk mengumpulkan informasi dari sumber-sumber yang berbeda,
menganalisis dan meneruskannya ke negara penerima atau kepentingan
negaranya. Mengenai hal ini dinyatakan oelh Von Glahn:48
“The basic duty of a diplomat is to report to his government on political
event, policies and other related matters”.
Fungsi yang terakhir disebutkan dalam Konvensi Wina adalah
meningkatkan hubungan persahabatan antar negara yang merupakan fungsi
yang paling penting dalam hubungan internasional antar negara, berupa
48
Ibid. h.61.
44
kewajiban perwakilan diplomatik untuk selalu berusaha dalam menjaga
hubungan antar negara pengirim dan penerima serta meningkatkannya dengan
usaha-usaha dan cara-cara diplomasi. Cara-cara diplomasi Indonesia dalam
mengembangkan hubungan dengan negara lain adalah melalui diplomasi
politik, diplomasi ekonomi, diplomasi social budaya dan penerangan, serta
diplomasi hankam.
Selain fungsi tersebut diatas, perwakilan diplomatik dapat juga
menjalankan tugas dan fungsi konsuler, seperti pencatatan tentang kelahiran,
perkawinan, perceraian, dan pencatatan kematian serta mengenai masalah
harta waris dari semua warga negaranya yang berada di negara penerima.
Fungsi konsuler ini dapat ditemukan dalam pasal 5 Konvensi Wina tahun
1963 tentang hubungan konsuler.
3. Kekebalan dan Keistimewaan Perwakilan Diplomatik
Menurut sejarahnya kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang
dipratekkan dalam hubungan antar negara bermula dari hukum kebiasaan
internasional yang memberikan keistimewaan dan kekebalan itu kepada
kepala negara yang berdaulat dari suatu negara sahabat yang memasuki
wilayah dalam kedaulatan negara lain. Kepala negara yang berdaulat tersebut
berhak mendapatkan hak-hak istimewa dan upacara kehormatan yang pantas
bagi status dan martabatnya dan mempunyai kekebalan penuh terhadap
jurisdiksi sipil dan pidana dari negara yang ia kunjungi. Kemudian dalam
45
perkembangan sejarah hak-hak istimewa dan kekebalan ini diberikan kepada
Duta perwakilan yang mewakili negara-negara.49
Hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik ini menjadi dasar hubungan
diplomatik dan fungsi perwakilan diplomatik pertama diatur dalam suatu
undang-undang oleh Inggris pada tahun 1706 yang dikenal sebagai 7 Anne
Cap. 12-2, 706 yang menyatakan bahwa “ Setiap wakil asing haruslah
dianggap suci dan tidak dapat diganggu gugat” ( Inviolability). Para pejabat
diplomatik yang dikirimkan oleh setiap negara ke negara lainnya telah
dianggap memiliki suatu sifat suci yang khusus, sebagai konsekuensinya
maka mereka telah diberikan kekebalan dan keistimewaan diplomatik
tersebut.50
Kemudian pada abad pertengahan ke 18 aturan-aturan kebiasaan hukum
internasional mengenai kekebalan dan keistimewaan diplomatik telah mulai
ditetapkan termasuk harta milik, gedung perwakilan dan komunikasi para
diplomat.51
Selanjutnya pada abad ke 19 setelah berhasilnya kongres Wina
tahun 1815 yang disusul dengan Kongres Aix-La-Chapelle pada tahun 1818
yang mengatur mengenai ketentuan-ketentuan diplomatik yang pada akhirnya
ketentuan-ketentuan mengenai hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik
dikukuhkan dalam konvensi Wina tahun 1961, Konvensi Wina tahun 1963,
49
Sir Ernest Satow, A Guide to Diplomatic Practice, Fourth Edition, Longman Green an Co Ltd, London and Harlow, 1957, h. 5-17.
50 Soemaryo Suryokusumo, Hukum Dilomatik, Teori dan Kasus, Edisi Pertama, Cetakan
1, Bandung: Penerbit Alumni, 1995, h. 51. 51
Ibid. h. 52.
46
dan Konvensi New York tahun 1969.
Di dalam Konvensi Wina tahun 1961 secara jelas disebutkan tujuan hak-
hak istimewa dan kekebalan diplomatik pada konsiderannya, yang
menyatakan:
“Tujuan hak-hak istimewa dan kekebalan kekebalan tersebut bukan untuk
menguntungkan orang perorangan tetapi untuk membantu pelaksanaan
yang efisien fungsi-fungsi misi diplomatik sebagai wakil dari negara”.52
Hak-hak kekebalan dan keistimewaan perwakilan diplomatik dalam Konvensi
Wina tahun 1961 antara lain: (1) Kekebalan pejabat atau agen diplomatik; (2)
Keistimewaan pejabat atau agen diplomatik.
Kekebalan pejabat atau agen diplomatik meliputi antara lain :53
1) Kekebalan terhadap jurisdiksi pidana di negara penerima;
2) Kekebalan terhadap jurisdiksi perdata di negara penerima;
3) Kekebalan terhadap perintah pengadilan setempat;
4) Kekebalan dalam mengadakan komunikasi, dan
5) Kekebalan gedung dan tempat kediaman perwakilan diplomatik.
Keistimewaan agen diplomatik atau perwakilan diplomatik yang
ditentukan dalam Konvensi Wina meliputi:54
Kebebasan dari kewajiban
membayar pajak; kebebasan dari kewajiban pabean; Hubungan diplomatik
52
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Penerbit PT Alumni, Jakarta: Tahun 2005, h. 548.
53 Ibid.
54
Ibid.
47
pada masa perang; fasilitas-fasilitas diplomatik. Dalam praktek hubungan
diplomatik antar negara penerapan keistiemawaan diplomatik berbeda, sebab
pada umumnya diatur didalam peraturan perundang-undangan nasional
masing-masing negara yang disesuaikan dengan kebiasaan internasional.
Untuk peraturan-peraturan pembebasan pajak maupun cara-cara prosedur
untuk memperolehnya berlainan antara satu negara dengan negara lainnya,
walau terdapat kesamaan-kesamaan pada prinsipnya.
Selain keistimewaan-keistimewaan yang telah dikemukakan diatas,
beberapa keistimewaan lainnya disebutkan di dalam konvensi Wina yang
terdapat dalam pasal 26 antara lain menyatakan, negara penerima harus
menjamin semua misi dalam bergerak dan bepergian diwilayahnya, namun
harus tunduk pada peraturan hukum yang melarang memasuki daerah tertentu
karena ada alasan-alasan keamanan nasional negara penerima. Pasal 20
konvensi menyatakan pula mengenai keistimewaan perwakilan diplomatik,
dinyatakan bahwa perwakilan dan kepala perwakilan diplomatik mempunyai
hak untuk menggunakan bendera dan emblem negara pengirim di gedung
misi, tempat kediaman kepala misi, dan alat-alat transportasi. Kekebalan dan
keistimewaan lainnya adalah bagi anggota keluarga pejabat atau agen
diplomatik, anggota staff administrasi dan tehnik, anggota staff pelayan misi
dan pelayan pribadi, dimuat dalam pasal 37 sampai dengan pasal 40 Konvensi
Wina.
Dengan demikian, pengertian mengenai hak kekebalan dan keistimewaan
48
diplomatik telah berkembang dari masa ke masa. Hak kekebalan dan
keistimewaan diplomatik yang diberikan secara timbale balik memang mutlak
perlu dalam rangka mengembangkan hubungan persahabatan antar negara,
tanpa pandang sistem ketatanegaraan maupun sosial mereka yang berbeda.
Disamping itu, pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik bukanlah
semata untuk kepentingan perseorangan tetapi untuk menjamin terlaksananya
tugas para pejabat diplomatik secara efisien, terutama tugas dari negara yang
diwakilinya.55
Lebih lanjut, mengenai pemberian hak kekebalan dan
keistimewaan diplomatik tersebut, pada hakikatnya merupakan bukti sejarah
diplomasi yang telah merupakan ketentuan hukum kebiasaan internasional.
4. Berakhirnya Fungsi Perwakilan Diplomatik
Fungsi perwakilan diplomatik berakhir apabila tugas yang diberikan
kepadanya telah diakhiri, atau yang bersangkutan ditarik kembali oleh negara
pengirimnya. Dalam Konvensi Wina berakhirnya fungsi perwakilan
diplomatik disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) dan (2). Secara lebih tegas lagi
ditentukan didalam pasal 43, bahwa berakhirnya misi diplomatik seorang staf
perwakilan diplomatik apabila:56
1) Adanya pemberitahuan dari negara pengirim kepada negara penerima
55
Soemaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Teori dan Kasus, Edisi Pertama, Cetakan 1, Bandung: Penerbit Alumni, 1995, h. 60.
56
Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Edisi ke-2, Penerbit PT Alumni, Jakarta, Tahun 2005, h. 538, berakhirnya fungsi seorang pejabat diplomatik secara rinci terdapat dalam buku Guide to Diplomatic Practice dari Sir Ernest Satow, Longmans, Green and Co Ltd, London and Harlow, Fourth edition, 1957, bab XXI, h. 274-302
49
bahwa tugas dari pejabat diplomatik itu telah berakhir.
2) Adanya pemberitahuan dari negara penerima kepada negara pengirim
bahwa sesuai dengan pasal 9 ayat (2), negara tersebut menolak untuk
mengakui seorang pejabat diplomatik sebagai anggota perwakilan.
Begitu pula apabila negara penerima atau negara pengirim telah berhenti
sebagai subjek hukum internasional, tugas dari seorang anggota atau anggota-
anggota perwakilan diplomatik atau misi dapat berakhir.57
C. Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia
1. Perwakilan Diplomatik Menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 1999
Tentang Hubungan Luar Negeri.
Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia memiliki peran yang cukup
penting dalam menjalin hubungan luar negeri dengan negara sahabat. Perwakilan
Diplomatik Republik Indonesia dituntut mampu melakukan politik luar negeri
melalui diplomasi yang aktif, kreatif, dan antisipatif, tidak sekedar hanya rutin
dan reaktif, teguh dalam prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam
pendekatan.58
Dalam menjalankan politik luar negeri harus didasarkan pada
prinsip bebas dan aktif sesuai dengan ketentuan TAP MPR NO. IV/MPR/1999
Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara.
1.1 Tugas dan fungsi Perwakilan Diplomatik
57
Sumarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antarbangsa, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta: Tahun 1985, h. 46.
58
Pasal 4 Undang-Undang No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
50
a. Representasi, yaitu selain mewakili pemerintah negaranya, ia juga
dapat melakukan protes, mengadakan penyelidikan dengan pemerintah
negara penerima. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah
negaranya.
b. Negosiasi, yaitu mengadakan perundingan dan pembicaraan baik
dengan negara tempat dimana ia diakreditasikan maupun dengan
negara-negara lainnya.
c. Observasi, yaitu menelaah dan meneliti setiap kejadian atau peristiwa
di negara penerima.
d. Proteksi, yaitu melindungi pribadi, harta benda, dan kepentingan-
kepentingan warga negaranya yang berada di negara penerima.
e. Persahabatan, yaitu meningkatkan hubungan persahabatan antara
negara pengirim dan negara penerima.
1.2 Tingkatan Perwakilan Diplomatik
a. Duta Besar Luar Biasa Berkuasa Penuh (Ambassador), adalah tingkat
tertinggi dalam Perwakilan Diplomatik yang mempunyai kekuasaan
penuh dan luar biasa.
b. Duta (Gerzant), yaitu wakil diplomatik yang pangkatnya lebih rendah
dari duta besar.
c. Menteri Residen, seorang Menteri Residen dianggap bukan sebagai
wakil pribadi kepala negara. dia hanya mengurus urusan negara.
d. Kuasa Usaha (Charge d’ Affair), yaitu perwakilan tingkat rendah yang
51
ditunjuk oleh Menteri Luar Negeri dari pegawai negeri lainnya.
e. Atase-atase, yaitu pejabat pembantu dari duta besar berkuasa penuh.
Atase terdiri dari beberapa bagian ;
a) Atase Pertahanan
b) Atase Teknis
2. Perwakilan Diplomatik Menurut Keputusan Presiden No 108 Tahun
2003 Tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri
2.1 Kedudukan, Tugas Pokok, dan Fungsi
Menurut Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi
Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, kedudukan, tugas pokok, dan
fungsi Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia sebagai berikut:59
a. Kedudukan
Kedutaan Besar Republik Indonesia adalah Perwakilan Diplomatik
yang berkedudukan di Ibu Kota Negara penerima atau di tempat kedudukan
Organisasi Internasional dan dipimpin oleh seorang Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri Luar Negeri.
b. Tugas Pokok
Tugas pokok Perwakilan Diplomatik adalah mewakili dan
59
Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri. Sebelumnya susunan Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1976 tentang pokok-pokok Organisasi Perwakilan RI di Luar Negeri dan telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2000 yang dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan kebutuhan.
52
memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Republik
Indonesia serta melindungi warga negara Indonesia, badan hukum
Indonesia di negara penerima dan organisasi internasional, melalui
pelaksanaan hubungan diplomatik dengan negara penerima atau organisasi
internasional, sesuai dengan kebijakan politik dan hubungan luar negeri
pemerintah Indonesia, peraturan perundang-undangan nasional, hukum
internasional, dan kebiasaan internasional.
c. Fungsi
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Perwakilan Diplomatik
Republik Indonesia menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:60
a) Peningkatan dan Pengembangan kerja sama politik dan keamanan,
ekonomi, social, dan budaya dengan negara penerima atau organisasi
internasional.
b) Peningkatan persatuan dan kesatuan, serta kerukunan antar sesama warga
negara Indonesia di luar negeri.
c) Pengayoman, pelayanan, perlindungan, dan pemberian bantuan hukum
dan fisik kepada warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia,
dalam hal terjadi ancaman atau masalah hukum di negara penerima, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan nasional, hukum internasional, dan
kebiasaan internasional.
60
Lihat Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri
53
d) Pengamatan, penilaian, dan pelaporan mengenai situasi dan kondisi negara
penerima.
e) Konsuler dan protokol.
f) Perbuatan hukum untuk dan atas nama negara dan pemerintah Republik
Indonesia dengan negara penerima.
g) Kegiatan manajemen kepegawaian, keuangan, perlengkapan, pengamanan
internal perwakilan, komunikasi, dan persandian.
h) Fungsi-fungsi lain sesuai dengan hukum dan praktek internasional.
2.2 Susunan Organisasi
Unsur-unsur susunan organisasi Perwakilan Diplomatik terdiri dari:61
a. Unsur Pimpinan yaitu Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh atau
Wakil Tetap Republik Indonesia, dan Kuasa Usaha Tetap, yang disebut
dengan Kepala Perwakilan Diplomatik.
b. Unsur Pelaksana yaitu :
1) Pejabat Diplomatik.
2) Atase Pertahanan atau Atase Teknis pada Perwakilan Diplomatik
tertentu.
c. Unsur penunjang yaitu Penyelenggara Administrasi dan
kerumahtanggaan Perwakilan Diplomatik.
Pada Perwakilan Diplomatik, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh
61
Ibid, Pasal 8
54
atau Wakil Tetap Republik Indonesia dapat dibantu oleh Wakil Kepala
Perwakilan Diplomatik sebagai unsur Pimpinan sesuai dengan bobot misi dan
beban kerja, yang diatur dengan Keputusan Menteri Luar Negeri setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang
pendayagunaan aparatur negara.
Susunan organisasi Perwakilan tersebut diatas diperinci lagi didalam
Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor
SK.06/A/OT/VI/2004/01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja yang
harus diperjuangkan oleh Perwakilan di negara penerima dan organisasi
internasional. Derajat hubungan adalah tingkat intensitas hubungan dan
kerjasama antara Indonesia dengan negara penerima dan organisasi
internasional yang didasarkan kepentingan nasional.62
D. Pengangkatan Duta Besar Sebelum Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 13 Undang-undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan telah
menyebutkan bahwa kekuasaan mengangkat duta besar adalah kekuasaan
Presiden yang mandiri. Dimasa orde baru, pengisian jabatan duta besar pada
waktu itu dilakukan secara tertutup oleh Presiden dan tidak melibatkan sama
sekali peran DPR. Padahal kedudukan duta besar merupakan kedudukan yang
62
Ketentuan Umum, Pasal 1 Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor SK.06/A/OT/VI/2004/01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di Luar Negeri
55
sangat penting dan memerlukan seleksi ketat secara terbuka dan didasarkan
pada kriteria standar yang diatur dengan jelas oleh peraturan perundang-
undangan. Didalam proses pelaksanaan pengangkatan duta besar yang
dilakukan secara tertutup itu diduga oleh banyak pihak sarat dengan
kepentingan politik dari eksekutif.
Jabatan duta besar terkadang di identikkan dengan penyingkiran seorang
tokoh politik dalam pentas politik nasional, karena beberapa kali terjadi
tokoh-tokoh politik yang “Vokal” dikirim ke luar negeri untuk dijadikan duta
besar. Di satu sisi pengangkatan duta besar pada masa orde baru diberikan
kepada tokoh politik yang pada waktu itu “pro” pada pemerintahan namun
tidak tertampung di dalam kabinet sehingga ia diberikan “Reward” menjadi
seorang duta besar untuk Republik Indonesia.
Pada bagian ini penulis akan memaparkan kasus pencalonan LetJen.
Herman Bernhard Leopold Mantiri mantan calon duta besar Republik
Indonesia untuk Australia. Sekitar bulan Maret tahun 1995 Pemerintah
Indonesia telah mencalonkan LetJen HBL Mantiri untuk menjadi duta besar
Republik Indonesia untuk Australia dan untuk itu telah dimintakan
persetujuan dari pemerintah Australia. Atas permintaan ini pemerintah
Australia pada tanggal 31 Mei telah memberikan persetujuannya kepada
Letnan Jenderal Mantiri. Persetujuan pemerintah Australia itu telah dipertegas
lagi pada tanggal 29 Juni 1995 oleh Perdana Menteri Australia Paul Keating
dengan menegaskan bahwa pemerintahannya tidak melihat situasi apapun
56
dimana harus menolak pencalonan LetJen HBL Mantiri.
Tapi sebaliknya di Parlemen Australia yang terdiri dari tujuh belas
anggota yang mewakili baik golongan pemerintah maupun golongan oposisi
telah menyatakan keberatan atas pencalonan Letnan Jenderal HBL Mantiri
tersebut sebagai duta besar baru Indonesia di Canberra untuk menggantikan
yang lama. Dasar penolakan mereka karena keterlibatan Letnan Jenderal HBL
Mantiri pada peristiwa Dili 12 November 1991 yang mengakibatkan sejumlah
korban meninggal dalam peristiwa itu, yang diperkirakan berjumlah sekitar 50
sampai dengan 100 korban meninggal.63
Seperti diketahui Letnan Jenderal
HBL Mantiri adalah bekas Panglima Daerah Militer yang meliputi pula
Propinsi Timor-Timur. Walaupun sebenernya secara pribadi ia tidak terlibat
secara langsung dalam peristiwa tersebut, Jenderal HBL Mantiri sebagai
Panglima Militer tetap dianggap bertanggung jawab untuk wilayah Timor-
Timur, yang pada waktu itu oleh kelompok-kelompok hak azasi manusia
memang dianggap bertanggung jawab terhadap pembunuhan yang terjadi di
Dili pada tahun 1991.64
Penolakan seorang calon duta besar di suatu Negara memang banyak
kasusnya. Penolakan itu dapat dinyatakan bukan saja sebelum memperoleh
persetujuan (agreement) tetapi dapat pula terjadi setelah memperoleh
63
Hukum Diplomatik Kasus Pencalonan LetJen. Herman Bernhard Leopold Mantiri, mantan calon duta besar RI untuk Australia, Jakarta Post: Tanggal 3 Juli 1995
64
Ibid
57
persetujuan (agreement) dari negara penerima. Bahkan calon duta besar yang
telah memperoleh persetujuan (agreement) dan telah sampai dinegara
penerima dan telah siap untuk menyerahkan surat-surat kepercayaannya dapat
pula mengalami kegagalan karena adanya peninjauan kembali atau
pertimbangan kembali terhadap pesetujuan (agreement) yang telah diberikan
oleh negara penerima.
Penolakan terhadap seorang calon duta besar dapat terjadi karena
persoalan kondisi-kondisi politik disuatu negara seperti kondisi hak azasi
manusia, kondisi lingkungan, dan kondisi demokrasi disuatu negara dapat
pula menjadi pertimbangan untuk penolakan seorang calon duta besar disuatu
negara.65
Selain itu negara penerima juga berhak melakukan penolakan
terhadap seorang calon duta besar berdasarkan penilaian perilaku maupun
kebijakan profesionalnya di masa lalu. Penolakan juga dapat terjadi apabila
seorang calon duta besar mempunyai sikap dan pandangan yang tidak
bersahabat terhadap negara penerima. Demikian pula jika calon duta besar
tersebut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang anti negara setempat.
Hal ini terjadi pada kasus pencalonan Letnan Jenderal HBL Mantiri duta
besar Republik Indonesia untuk Australia , dimana pada waktu itu dia telah
mendapatkan persetujuan (agreement) dari pemerintah Australia, tetapi
ditengah proses tersebut Parlemen Australia melakukan peninjauan kembali
terhadap persetujuan (agreement) yang telah diberikan kepada Letnan
65
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Vol. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, h. 556
58
Jenderal HBL Mantiri. Kemudian Parlemen Australia menolak terhadap
persetujuan (agreement) yang telah diberikan kepada Letnan Jenderal HBL
Mantiri dengan alasan latar belakang Letnan Jenderal HBL Mantiri yang
dianggap bertanggung jawab atas peristiwa di Dili pada 12 November tahun
1991 dimana terjadi pembunuhan yang memakan korban sekitar 50 sampai
100 jiwa.
E. Kedudukan Perwakilan Diplomatik Dalam Struktur Pemerintahan Republik
Indonesia
Penyelenggaraan hubungan luar negeri, pelaksanaan politik luar negeri serta
peranan diplomasi akan terlihat semakin jelas di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, dunia diplomasi Indonesia tidak hanya membutuhkan pengelolaan dan
koordinasi antar berbagai stake actors melainkan juga dukungan dari semua pihak
pelaku hubungan internasional. Dalam hubungan ini, Undang-undang Nomor 37
Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-undang Nomor 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, telah menegaskan kedudukan
Kementerian Luar Negeri untuk memainkan peranan utama dalam membantu
tugas-tugas Presiden menyelenggarakan hubungan luar negeri dan pelaksanaan
politik luar negeri.
Kedudukan ini menjadi penting mengingat tantangan pelaksanaan politik luar
negeri dan diplomasi Indonesia saat ini sangat kompleks dengan segala bentuk
59
perubahan dalam dinamika hubungan internasional. Karena itu, Kementerian Luar
Negeri menyadari pentingnya memfokuskan kebijakan politik luar negeri pada
langkah-langkah yang mampu mewujudkan kepentingan nasional yang
diperjuangkan secara bersama. Upaya tersebut hanya dapat dilakukan secara
optimal dan efektif jika didukung oleh kemampuan dan kualifikasi sumber daya
manusia yang dibutuhkan sesuai dengan strategi kebijakan yang dilaksanakan.
Kementerian Luar Negeri terus melanjutkan proses benah diri yang juga
mencakup pengembangan kualitas sumber daya manusia sebagai penyelenggara
diplomasi utama yang handal dan profesional.
Terkait proses benah diri yang dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri,
sejak tahun 2002 pimpinan Kementerian Luar Negeri telah melancarkan
kebijakan “benah diri” dengan melakukan 3 (tiga) hal yaitu Restrukturisasi
Kementerian Luar Negeri, Restrukturisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar
Negeri dan Pembenahan Profesi Diplomat.66
Walaupun ketiga komponen tersebut
saling terkait, pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan karir diplomat
merupakan hal-hal yang perlu memperoleh perhatian dan dukungan besar dan
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, serta diperlukan langkah-langkah
pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia secara terus-
menerus dan komprehensif.
Kementerian Luar Negeri sebagai bagian dari perangkat pemerintah yang
66
Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Departemen Luar Negeri, “Organisasi Departemen Luar Negeri”, makalah disampaikan pada Diklat Sespim Tingkat III dan Sesdilu Angkatan XXXVI, (Pusdiklat Deplu, tanggal 5 Juni 2006), h.7
60
menjalankan sebagian tugas pokok pemerintah, bertugas membantu Presiden
dalam menyelenggarakan hubungan luar negeri dan melaksanakan politik luar
negeri. Agar mampu melaksanakan tugas sesuai dengan kompetensinya, dan
mencapai hasil sebagaimana diharapkan serta bersikap transparan dan akuntanbel
dalam pelaksanaan tugas tersebut, Kementerian Luar Negeri merumuskan
kebijakan dan strategi pencapaian tujuan dan sasarannya setelah melakukan
penilaian terhadap lingkungan strategic domestic (nasional) dan lingkungan
strategic eksternal (regional dan global).67
Dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar
Negeri ditetapkan bahwa Menteri Luar Negeri menyelenggarakan sebagian tugas
umum pemerintah dan pembangunan dalam bidang Hubungan Luar Negeri dan
Politik Luar Negeri. Hal yang sama juga ditegaskan dalam pasal 31 Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Luar Negeri Republik
Indonesia, bahwa Kementerian Luar Negeri memiliki tugas membantu Presiden
dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan di bidang politik luar
negeri dan hubungan luar negeri.
Untuk itu, Kementerian Luar Negeri memberikan nasehat kepada Presiden
dan memiliki tanggung jawab secara keseluruhan untuk memformulasikan dan
melaksanakan politik luar negeri Indonesia. Kementerian Luar Negeri merancang
67
Rencana Strategik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Tahun 2004-2009, Departemen Luar Negeri, h.13
61
kepentingan-kepentingan luar negeri Indonesia, membuat rekomendasi atas
kebijakan atau politik dan tindakan di masa mendatang, serta mengambil langkah-
langkah yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan atau politik tersebut.
Kementerian Luar Negeri juga bertugas mempertahankan kontak dan hubungan
antara Indonesia dengan negara-negara lain, memberi nasehat pada Presiden atas
pengakuan negara baru dan pemerintahan baru, menegosiasikan perjanjian-
perjanjian serta kesepakatan dengan negara asing, dan berbicara atas nama
Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi internasional utama
lainnya. Selain itu, juga bertugas mempertahankan lebih dari 119 pos diplomatik
dan konsulat diseluruh dunia.
Salah satu program-program operasional Kementerian Luar Negeri dalam
kategori pemantapan organisasi Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan
Republik Indonesia di luar negeri. Kemudian, peningkatan koordinasi antara
Kementerian Luar Negeri dan instansi pemerintah pusat dan daerah dalam
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.68
Pemantapan organisasi Perwakilan Republik Indonesia terutama Perwakilan
Diplomatik Republik Indonesia dan peningkatan koordinasi antar depatemen dan
instansi pemerintah adalah sangat menentukan dan mempengaruhi kedudukan
Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia dalam struktur pemerintahan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedudukan Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia secara resmi tertera
68
Ibid, h. 50
62
di dalam Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2003. Pada pasal 1 nomor (1)
menyatakan :
“Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, yang selanjutnya disebut
Perwakilan adalah Perwakilan Diplomatik dan Perwakilan Konsuler Republik
Indonesia yang secara resmi mewakili dan memperjuangkan kepentingan
Bangsa, Negara, dan Pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan di
Negara penerima atau pada Organisasi Internasional”.
Sedangkan nomor (4) menyatakan bahwa :
“Perwakilan Diplomatik adalah Kedutaan Besar Republik Indonesia dan
Perurusan Tetap Republik Indonesia yang melakukan kegiatan diplomatik di
seluruh wilayah Negara penerima atau pada Organisasi Internasional untuk
mewakili dan memperjuangkan kepentingan Bangsa, Negara, dan Pemerintah
Republik Indonesia”.
Pasal 2 ayat (2) :
Perwakilan Diplomatik meliputi;
a. Kedutaan Besar Republik Indonesia;
b. Perurusan Tetap Republik Indonesia.
Pasal-pasal tersebut telah memberikan penjelasan dan uraian mengenai
Perwakilan Diplomatik dan kedudukannya. Lebih lanjut, pasal-pasal Keputusan
Presiden tersebut memberikan pula penjelasan yang berhubungan dengan
kedudukan Perwakilan Diplomatik dalam hubungan anatara dua negara atau
bilateral.
63
Pasal 3 ayat (1) menyatakan:
“Perwakilan Diplomatik berkedudukan di Ibu kota Negara Penerima atau
ditempat kedudukan Organisasi Internasional, dipimpin oleh seorang Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri Luar Negeri”.
Pasal 3 ayat (4) menyatakan:
“Pembinaan dan pengawasan terhadap Perwakilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) secara operasional dan administratif
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri Luar Negeri”.
Pasal 23 yang menyatakan :
“Penetapan susunan organisasi dan tata kerja masing-masing Perwakilan
ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Menteri yang bertanggung jawab dibidang pendayagunaan aparatur
negara berdasarkan kepentingan nasional, bobot misi, kegiatan, intensitas,
dan derajat hubungan Indonesia dengan negara penerima”.
Pasal 24 ayat (1) menyatakan :
“Pengawasan dan pengendalian terhadap tugas dan fungsi Perwakilan serta
hal-hal yang menyangkut penerimaan dan pengeluaran keuangan di
Perwakilan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku”.
Ayat (2) menyatakan pula :
“Kepala Perwakilan wajib melakukan pengawasan dan pengendalian internal
64
untuk meningkatkan akuntabilitas kinerja Perwakilan”.
Dari pasal-pasal yang disebutkan diatas, maka dapat dikemukakan bahwa :
1) Perwakilan Diplomatik adalah salah satu Perwakilan Republik Indonesia
di luar negeri yang merupakan aparatur negara yang mewakili kepentingan
Negara Republik Indonesia secara keseluruhan di negara lain dan
organisasi internasional.
2) Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia yang kegiatan nya meliputi
semua kepentingan negara Indonesia dan yang wilayah kerjanya meliputi
seluruh wilayah negara penerima adalah Kedutaan Besar Republik
Indonesia yang dipimpin oleh seorang Duta Besar Luar Biasa dan
Berkuasa Penuh yang bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri Luar Negeri.
3) Kedudukan Perwakilan Diplomatik dalam Struktur Organisasi
Pemerintahan menurut tugas dan fungsi pemerintahan Departemen adalah
dibawah pembinaan, pengawasan, serta tanggung jawab Menteri Luar
Negeri, yang merumuskan tugas, fungsi, jenjang, susunan organisasi dan
tata kerja masing-masing perwakilan setelah mendapatkan persetujuan
dari Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang penertiban dan
penyempurnaan aparatur negara.
Dari Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri
Luar Negeri Nomor SK.06/A/OT/VI/2004/01 merupakan tindak lanjut dari
65
pengaturan Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia serta Perwakilan Republik
Indonesia lainnya dapat diketahui bahwa kedudukan Perwakilan Diplomatik
Republik Indonesia adalah sebagai suatu organisasi perwakilan pemerintah yang
tugas pokok dan fungsinya dirumuskan oleh Menteri Luar Negeri yaitu melalui
pelaksanaan hubungan diplomatik, mewakili, dan memperjuangkan kepentingan
Bangsa, Negara, dan Pemerintah Republik Indonesia serta melindungi segenap
Warga Negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia di negara penerima atau di
organisasi internasional, sesuai dengan kebijakan politik dan hubungan luar
negeri Pemerintah Republik Indonesia, peraturan perundang-undangan nasional,
hukum internasional, dan kebiasaan internasional.
Kedudukan Perwakilan Diplomatik atau Kedutaan Besar Republik Indonesia
di dalam pemerintahan Kementerian sebagai lembaga eksekutif dalam sistem
pemerintahan negara akan berkaitan dengan tugas, fungsi, dan kedudukan
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia sebagai bagian dari pemerintah
Negara Republik Indonesia yang bertugas menyelenggarakan sebagian urusan
pemerintahan di bidang politik dan hubungan luar negeri.69
Semua tugas, fungsi,
dan kedudukan Perwakilan Diplomatik secara administrative dan teknis
operasional dirumuskan oleh Menteri Luar Negeri sebagai Pembina, pengawas,
dan penanggung jawab langsung Perwakilan Diplomatik kepada Presiden.
69
Pasal 2, Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri dan Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 01/A/OT/I/2006/01 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri.
66
BAB IV
ANALISIS PERAN DPR DALAM PENGANGKATAN DUTA BESAR
SESUDAH PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
A. Menguatnya Kekuasaan DPR dalam Fungsi Pengawasan
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan oleh MPR
bermakna besar dan meluas bagi penyelenggaraan tatanan kehidupan Bernegara
secara beradab dan demokratis. Penyempurnaan arti pemisahan kekuasaan
(separation of power) dan pembagian kekuasaan (distribution of power) sebagai
pijakan penyelenggaraan negara, pengembalian makna kedaulatan kepada rakyat
sepenuhnya, serta pengaturan secara lengkap hak asasi manusia dalam Undang-
Undang Dasar, telah menjadikan identitas bangsa Indonesia sebagai negara
hukum, negara konstitusional, dan negara yang berkedaulatan rakyat atau negara
demokrasi.
Di dalam negara yang menganut sistem demokrasi keberadaan lembaga
perwakilan hadir sebagai suatu keniscayaan. Keberadaan DPR sebagai salah satu
lembaga perwakilan di Indonesia merupakan komponen dalam politik dan
kekuasaan yang hadir sebagai bentuk kristalisasi dari kehendak rakyat serta
penyalur aspirasi rakyat, dengan memiliki fungsi dalam tiga wilayah yakni; fungsi
penyusunan anggaran, fungsi legislasi atau pembuatan Undang-Undang, dan
fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
67
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen fungsi DPR
tersebut semakin dipertegas dengan lebih menguatkan peran DPR dalam fungsi
legislasi dan fungsi pengawasan. Kenyataan ini terlihat dari keberadaan Presiden
yang tidak lagi memegang kekuasaan dalam membuat Undang-Undang
melainkan sudah berpindah tangan menjadi kekuasaan DPR. Presiden hanya
mempunyai hak untuk mengajukan rancangan Undang-Undang. Apabila
mengkaji perubahan itu dengan teori trias politica dari Montesquie dimana
lembaga legislatif merupakan pemegang Kekuasaan dalam bidang legislasi, maka
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 kecil artinya. Kranenburg 70
menjabarkan
trias politica dalam dua arti yaitu : functie (fungsi) dan organ (badan atau
lembaga). Berdasarkan pendapat itu, maka yang bergeser adalah fungsi nya,
sedangkan organ pembentuk Undang-Undang tetap sama yaitu, DPR dan
Presiden.
Sedangkan dalam fungsi pengawasan perubahan itu semakin nampak
dengan diberikan hak-hak kepada DPR guna menjalankan fungsi pengawasannya,
hak-hak tersebut yaitu ; hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan
pendapat. Kemudian bagi setiap anggota DPR diberikan hak mengajukan
pertanyaan, hak menyatakan usul dan pendapat serta sekaligus hak imunitas.
Pengawasan DPR juga terlihat dari berbagai kebijakan dan agenda-agenda
70
Kranenburg dalam A. Hamid S. Attamimi, “Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, (Disertasi, Pascasarjana UI, Jakarta, 1990), h. 166.
68
pemerintah yang terkait dengan peran dan fungsi DPR. Ada yang melalui
persetujuan, pertimbangan, serta adapula yang pelaksanaannya ditentukan dengan
dibuatnya Undang-Undang yang tentunya melibatkan peran DPR.
Pengawasan DPR juga dilakukan melalui keterlibatan DPR dalam proses
pemilihan dan pengangkatan pejabat-pejabat publik yang ditetapkan oleh
pemerintah berdasarkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-
Undang lainnya. Dalam pengangkatan duta besar dan penerimaan duta besar dari
negara sahabat, pengangkatan Gubernur BI, pengangkatan dan pemberhentian
panglima TNI, serta pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus terlebih dulu
melalui pertimbangan dan persetujuan DPR.
Untuk pengangkatan duta besar yang akan ditempatkan di negara sahabat,
Presiden terlebih dahulu meminta pertimbangan DPR. Ketentuan demikian adalah
isyarat dari pasal 13 ayat (2) amandemen Undang-Undang Dasar 1945, dimana
dalam hal pengangkatan duta besar tidak lagi hak prerogatif Presiden sepenuhnya
tetapi juga hak dari DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan controlnya
terhadap pemerintah. Duta besar sebagai wakil negara guna melakukan tugas
hubungan dan politik luar negeri dengan membawa serta kepentingan bangsa
yang juga kepentingan rakyat secara keseluruhan. DPR sebagai lembaga
perwakilan yang dijadikan tempat untuk menyalurkan setiap kepentingan rakyat,
dianggap penting agar memberikan pertimbangan terhadap duta besar yang akan
bertugas untuk menjalin hubungan dan kerjasama di negara sahabat.
69
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan Kekuasaan
yang cukup besar kepada DPR sebagai lembaga perwakilan, terutama dalam
fungsi pengawasannya. Kemudian perubahan Undang-Undang Dasar 1945 juga
telah menggeser paradigma dari executive heavy menjadi legislative heavy. Hal
ini dapat diperhatikan dari reduksi kekuasaan pasal-pasal mengenai presiden.
Sebaliknya terjadi penguatan kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai
DPR.
B. Pengangkatan Duta Besar Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dalam pengangkatan duta besar yang akan ditempatkan di negara sahabat,
presiden terlebih dahulu mendengarkan pertimbangan DPR. Hal ini diatur dalam
perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 13 ayat (2) yang menyatakan
“Dalam pengangkatan duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat”. Ini memungkinkan partisipasi DPR dalam pengangkatan
duta besar, sehingga Kekuasaan untuk mengangkat duta besar tidak semata-mata
hak prerogatif Presiden. Namun juga merupakan hak DPR dalam fungsi
pengawasan untuk mempertimbangkan setiap duta besar yang akan ditempatkan
di negara sahabat yang tentunya akan membawa kepentingan negara berarti juga
kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Adapun mekanisme pembahasan calon Duta Besar Republik Indonesia
untuk negara sahabat tertuang dalam pasal 203 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014
tentang Tata Tertib sebagai berikut :
70
1. Surat mengenai pencalonan Duta Besar Republik Indonesia untuk negara-
negara sahabat yang disampaikan oleh Presiden, setelah diterima oleh
pimpinan dewan, segera diberitahukan atau diumumkan dalam Rapat
Paripurna tanpa menyebutkan nama negara penerima atau pengirim.
2. Hasil Pembahasan Komisi I dilaporkan kepada pimpinan dewan untuk
selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia.71
Terlepas dari hal itu ketentuan pasal 13 ayat (2) tersebut menimbulkan
polemik dalam berbagai penafsiran. Bagi DPR Pasal ini dijadikan dasar untuk
melakukan dengar pendapat melalui penilaian uji visi dan misi kepada calon duta
besar yang dipilih presiden. Namun kemudian DPR melalui komisi I membuat
kriteria untuk mempertimbangkan keabsahan seorang calon duta besar. Kriteria
tersebut diantaranya ; Pertama, soal usia seorang calon duta besar. Kedua,
kemampuan diplomasi seorang calon duta besar. Ketiga, penampilan calon duta
besar. Keempat, kemampuan calon duta besar dalam menyampaikan visi dan
misi. Kelima, pengetahuan tentang materi politik luar negeri dan pengetahuan
tentang negara yang dituju. Dari kriteria tersebut dapat dijadikan acuan lulus atau
tidaknya calon duta besar. Sedangkan bagi Presiden menganggap bahwa peran
DPR hanya untuk mengesahkan calon duta besar yang dipilihnya.
Pengaturan lain tentang Duta Besar Republik Indonesia dapat dilihat
dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
71
Pasal 203 Peraturan DPR RI No 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib
71
Pasal 6 menyebutkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan
Pelaksanaan Politik Luar Negeri berada ditangan Presiden. Dalam pasal 29
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 disebutkan bahwa Duta Besar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh diangkat dan diberhentikan oleh presiden, dan merupakan
wakil negara dan bangsa serta menjadi wakil pribadi Presiden Republik
Indonesia.72
Dalam TAP MPR NO. IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) pada bab IV mengenai arah kebijakan hubungan luar negeri.
Pada huruf C menyebutkan “Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar
negeri agar mampu melakukan diplomasi proaktif dalam segala bidang untuk
membangun citra positif Indonesia di dunia Internasional, memberikan
perlindungan dan pembelaan terhadap warga negara dan kepentingan Indonesia,
serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional”. Sedangkan
dalam huruf D disebutkan bahwa “Meningkatkan kualitas Diplomasi guna
mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerja sama
ekonomi regional maupun Internasional dalam rangka stabilitas, kerja sama, dan
pembangunan kawasan”.73
Bertitik tolak pada TAP MPR NO. IV/MPR/1999, adapun peningkatan
kualitas kinerja aparatur luar negeri dalam hal calon duta besar Republik
72
Lihat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri 73
Lihat Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004
72
Indonesia untuk ditempatkan di suatu negara sangatlah perlu dan penting, guna
mampu melakukan diplomasi proaktif dalam segala bidang untuk mengangkat
dan membangun citra Indonesia di dunia internasional. Calon duta besar juga
harus memiliki kualitas diplomasi, baik pemahaman maupun pengalaman dalam
bidang diplomasi. Hal ini bertujuan untuk mempercepat pemulihan ekonomi dan
pembangunan nasional serta berbagai krisis yang dihadapi. Menurut Haslim
Djalal sebagai mantan duta besar Republik Indonesia berpendapat bahwa TAP
MPR NO. IV/MPR/1999 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengenai
arah kebijakan hubungan luar negeri dapat dijadikan visi dan misi diplomasi
Indonesia.
C. Mekanisme Pertimbangan DPR Dalam Pengangkatan Duta Besar
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 13 ayat (1) dan (2) berbunyi
sebagai berikut :
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan perimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Dari ketentuan pasal diatas yang menjadi dasar bagi DPR untuk berperan
dalam hal pengangkatan duta besar berupa pemberian pertimbangan terhadap
calon duta besar yang diajukan oleh Presiden. Kemudian DPR melalui pimpinan
dewan melimpahkan Kekuasaan tersebut kepada komisi, dalam hal ini komisi
yang membidangi masalah yang bersangkutan.
Komisi I sebagai alat kelengkapan DPR yang membidangi hubungan luar
73
negeri, yang selanjutnya komisi ini menentukan agenda rapat, kemudian
memanggil calon duta besar untuk melakukan pembahasan melalui Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU). Pada pasal 245 Peraturan DPR RI No. 1 Tahun 2014
tentang tata tertib disebutkan bahwa “Rapat Dengar Pendapat Umum ialah rapat
antara komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, Badan Anggaran, atau panitia
khusus dan perseorangan, kelompok, organisasi atau badan swasta, baik atas
undangan pimpinan DPR maupun atas permintaan yang bersangkutan yang
dipimpin oleh pimpinan komisi, pimpinan gabungan komisi, pimpinan Badan
Legislasi, pimpinan Badan Anggaran, atau pimpinan panitia khusus.” Dalam
Rapat Dengar Pendapat Umum itulah dilakukan clarification hearing, atau dengar
pendapat ataupun pembahasan bersama antara DPR dengan calon Duta Besar RI
sebelum dilakukan pertimbangan oleh DPR.
Dalam hal pelaksanaan diatas komisi I juga mengacu pada pasal 73 ayat
(1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Susunan dan Kedudukan
anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dimana disebutkan bahwa “DPR dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan
tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara.”74
Dalam prakteknya berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, didahului
oleh presiden mengajukan surat pencalonan duta besar kepada DPR untuk
mendengarkan pertimbangan dari DPR. Surat mengenai pencalonan Duta Besar
74
Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD
74
RI untuk negara-negara sahabat yang disampaikan oleh Presiden, setelah diterima
oleh pimpinan Dewan, segera diberitahukan atau diumumkan dalam Rapat
Paripurna waktu terdekat tanpa menyebut nama dari negara penerima. Rapat
Paripurna kemudian langsung menugaskan kepada Komisi I untuk membahasnya
secara rahasia. Dalam pembahasan tersebut atau dalam melakukan dengar
pendapat dengan para calon duta besar, Komisi I wajib memberikan saran,
masukan terhadap prioritas yang harus dikerjakan, catatan atau keberatan, tetapi
bukan penolakan. Kemudian Komisi I melakukan diskusi internal untuk
memberikan penilaian yang nantinya akan dijadikan pertimbangan terhadap calon
duta besar yang diajukan oleh Presiden.
Berbeda dengan persetujuan, dalam hal pertimbangan yang dilakukan oleh
Komisi I ini tidak perlu dilakukan Fit and Proper Test terhadap calon yang akan
ditempatkan dalam suatu jabatan. Fit and Proper Test sendiri adalah uji
kelayakan ataupun kepatutan, misalnya pada calon Hakim Agung atau anggota
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) mengenai data pribadi,
penjabaran terhadap visi dan misi kerja serta pengalaman dalam berkarir. Hasil uji
kelayakan itu sangat menentukan bagi lulus atau tidaknya terhadap calon yang
melakukan uji tersebut dan sifat dari persetujuan adalah mengikat.
Terdapat tujuh kriteria dan dasar pertimbangan yang disiapkan oleh
Komisi I untuk memberikan pertimbangan kepada presiden, kriteria tersebut
antara lain :
a. Memiliki kemampuan diplomasi yang mencakup komunikasi, konseptual, dan
75
kemampuan argumentasi
b. Memiliki kemampuan bahasa asing, minimal bahasa Inggris dan atau bahasa
setempat
c. Memiliki latar belakang pendidikan minimal S1 (strata satu)
d. Memiliki kemampuan professional dan manajerial
e. Tidak cacat moral dan tidak ada indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme
f. Memiliki integritas dan loyalitas tinggi terhadap bangsa dan negara
g. Memiliki pengalaman yang panjang terhadap profesi dalam bidangnya
Kemudian seluruh hasil dari diskusi internal Komisi I berikut dengan
pertimbangannya tersebut dibawa ke Rapat Paripurna untuk pengesahan.
Mengingat seluruh fraksi terwakili di Komisi I, maka logikanya Rapat Paripurna
hanya merupakan tempat pengesahan. Setelah disahkan, lewat pimpinan Dewan
untuk selanjutnya disampaikan kepada Presiden secara rahasia.
Apapun hasil pembahasan di DPR itu tentunya tidak bersifat mengikat
bagi Presiden. Presiden dapat saja memperhatikan pertimbangan tersebut, ataupun
dengan berbagai perhitungannya Presiden dapat saja mengabaikan hasil
pertimbangan yang diberikan oleh DPR. Menurut kebiasaan diplomatik, setelah
mendapat hasil keputusan pertimbangan oleh DPR, kemudian Presiden melalui
Kementerian Luar Negeri RI mengajukan nama calon duta besar kepada negara
penerima untuk meminta persetujuan (agreement). Dalam kurun waktu yang tidak
lama, tentunya melalui proses verifikasi, negara penerima menyampaikan
persetujuan untuk menerima atau tidak menerima nama calon duta besar yang
76
akan ditempatkan.
Dengan mendapat persetujuan dari negara penerima, maka calon duta
besar yang telah melewati prosedur yang telah dijelaskan diatas, sudah dapat
ditempatkan, dan dapat langsung menjalankan tugasnya secara maksimal untuk
menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara penerima, yang tentunya
membawa misi bangsa dan negara serta kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
D. Implikasi Hukum Pertimbangan DPR dalam Pengangkatan Duta Besar oleh
Presiden
Pada naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 pasal 13 ayat (1)
menyebutkan “Presiden mengangkat duta dan konsul”. Untuk itu pada masa lalu
pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatif Presiden sepenuhnya, dimana
duta besar merupakan wakil dari Presiden, diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden serta merupakan bagian dari pemerintah yang berada dibawah
Kementerian Luar Negeri untuk melaksanakan politik dan hubungan luar negeri
sebagai wakil bangsa dan negara Republik Indonesia.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 13 ayat (2)
menyebutkan “Dalam hal pengangkatan duta, Presiden memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan rakyat”. Makna dari pasal tersebut berarti telah
memberikan kewenangan kepada DPR untuk terlibat dalam pengangkatan duta
besar yang semula adalah hak prerogatif Presiden sepenuhnya. Keterlibatan peran
DPR sebagaimana yang tercantum pada pasal diatas adalah kewenangan
77
memberikan pertimbangan terhadap calon duta besar yang telah diajukan oleh
Presiden sebelum penempatannya di negara sahabat. Kewenangan DPR tersebut
merupakan pelaksanaan dalam hal agenda pengangkatan pejabat-pejabat yang
memerlukan pembahasan bersama antara Presiden dengan DPR.
Sebelum kita menelaah lebih jauh mengenai peran DPR dalam
memberikan pertimbangan, terlebih dahulu kita lihat dari berbagai aspek yang
berbeda namun satu sama lain saling berkaitan sehingga dapat menjelaskan
maksud dari kewenangan DPR tersebut, yaitu; aspek politik, aspek historis, dan
aspek hukum.
1. Aspek politik, kedudukan DPR sebagai lembaga representasi rakyat
merupakan komponen utama politik dan kekuasaan, di sisi lain duta besar
yang bertugas untuk melaksanakan hubungan dan kerjasama dengan negara
lain sebagai wakil bangsa dan Negara Republik Indonesia, yang berarti juga
turut membawa serta kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Maka guna
mendapatkan sosok duta besar yang dapat mewakili dan mampu
memperhatikan serta memperjuangkan kepentingan rakyat secara sungguh-
sungguh, para calon duta besar yang akan ditempatkan di Negara sahabat
harus dilakukan hearing terlebih dahulu dengan DPR. Supaya duta besar yang
terpilih mengerti dan menangkap pesan-pesan politik rakyat Indonesia
sehingga mampu memperjuangkan kepentingan rakyat demi meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Aspek historis, sebelum diamandemen nya pasal 13 ayat (2) Undang-
78
Undang Dasar Tahun 1945, pengangkatan duta besar merupakan ajang
menyingkirkan dan pembuangan “lawan politik” dari pemerintah, sehingga
pada waktu itu ada istilah “di-dubes-kan”. Pengangkatan duta besar terkesan
merupakan pos akomodasi orang-orang tertentu sehingga aspek kualitas dan
kepentingan diplomasi itu terabaikan. Mengingat duta besar merupakan alat
negara untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara penerima baik
dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Begitu pentingnya arti
duta besar untuk kepentingan diplomasi bagi sebuah negara dan bangsa, agar
kedepan nya tidak terulang lagi pengangkatan duta besar sebagai tempat
pembuangan politik, pensiunan, dan militer. Untuk menghindari hal tersebut
diatas maka para wakil politik di MPR membuat kesepakatan bahwa demi
meningkatkan kualitas duta besar Negara Republik Indonesia, hendaknya
setiap calon duta besar yang diajukan oleh Presiden melibatkan juga peran
DPR untuk membahas bersama melalui proses pertimbangan. Hal ini
dilakukan agar tidak ada lagi istilah “di-dubes-kan” dan terciptanya kualitas
diplomasi yang baik serta mewujudkan politik luar negeri yang bebas-aktif.
3. Aspek hukum, peran DPR dalam memberikan pertimbangan kepada setiap
calon duta besar adalah hak yang diberikan oleh konstitusi. Hak ini diberikan
sebagai bagian dari tugas DPR dalam fungsi pengawasan terhadap setiap
kebijakan dan agenda-agenda pemerintah yang akan dijalankan. Di negara
Amerika Serikat yang menganut sistem presidensiil secara murni, sekalipun
dalam hal pengangkatan duta besar harus terlebih dahulu mendapat
79
persetujuan dari parlemen. Untuk itu tepat kiranya bagi konstitusi Indonesia
untuk melibatkan peran DPR dalam pengangkatan duta besar sebelum
ditempatkan di negar-negara sahabat. Dengan adanya mekanisme
pengangkatan duta besar melalui pertimbangan DPR, diharapkan di masa
yang akan datang sosok duta besar RI adalah benar-benar orang yang
memiliki kemampuan menjalankan tugas dan peran nya secara maksimal
sebagai wakil bangsa di negara lain untuk memajukan hubungan dan
kerjasama antar kedua belah negara.
Dari ketiga sudut pandang tersebut peran DPR dalam memberikan
pertimbangan terhadap calon duta besar ternyata sangatlah perlu dan penting serta
dijamin secara konstitusional. Hal ini guna meningkatkan kualitas peran
diplomasi duta besar di dunia internasional.
Diplomasi sendiri merupakan usaha meyakinkan pihak atau negara lain
untuk dapat memahami, membenarkan, mendukung pandangan dan kepentingan
nasional kita dengan membutuhkan pengetahuan dan profesionalisme tanpa perlu
menggunakan kekerasan.
Dengan memperhatikan asas hukum, lex superion derogat legi in feriori,
maka dapat diketahui bahwa, semua peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang Dasar haruslah mengacu kepada Undang-Undang Dasar.
Kedudukan Undang-Undang Dasar sebagai hukum fundamental (Grundnorm)
untuk dijadikan dasar hukum bagi pengaturan sebuah negara, maka dalam
pelaksanaan pengangkatan duta besar Republik Indonesia pun harus merujuk pada
80
dasar hukumnya, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Materi perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pada pasal 13 ayat (2) yang berkaitan dengan pengangkatan duta
besar, dimana Presiden haruslah terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan
DPR. Pada masa lalu pengangkatan duta besar merupakan hak prerogatif Presiden
yang tidak dapat dikontrol dan diawasi sehingga dalam pengangkatan duta telah
mengabaikan unsur professional dan tidak memperhatikan makna penting nya
duta di negara sahabat. Oleh sebab itu, Kekuasaan Presiden yang mutlak itu telah
direduksi dengan mengamanatkan perlunya memperhatikan pertimbangan DPR
dalam pengangkatan duta.
Pada tingkatan Undang-Undang hal mengenai pengangkatan duta besar
merupakan sepenuhnya hak prerogatif Presiden, sebagaimana yang termaktub
pada Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri.
Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan
Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri berada ditangan Presiden.
Presiden dapat melimpahkan kewenangan tersebut kepada Menteri. Duta Besar
Luar Biasa dan Berkuasa Penuh diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, serta
merupakan wakil negara dan bangsa dan menjadi wakil pribadi Presiden Negara
Republik Indonesia.
Lebih jauh mengenai bentuk pertimbangan itu apakah sifatnya mengikat
81
(Imperatif), atau sekedar sukarela (Fakultatif). Dengan pertimbangan yang
diberikan DPR apakah dapat menimbulkan akibat hukum tertentu apabila tidak
dilaksanakan oleh Presiden. Menurut Satya Arinanto,75
dari sudut pandang yuridis
sebuah pertimbangan tidaklah mengikat, artinya bisa saja Presiden setelah
memperhatikan pertimbangan tersebut kemudian membuat pertimbangan sendiri.
Lebih lanjut Satya mengatakan tidak ada kewajiban mentaati yang ditimbulkan
dari sebuah pertimbangan.
Kecuali itu memang terjadi pada setiap hasil dari pertimbangan DPR
tersebut selalu diperhatikan dan dilaksanakan oleh Presiden secara berulang-ulang
sehingga telah menjadi kebiasaan (konvensi) ketatanegaraan di Indonesia.
Menurut Ismail Suny,76
konvensi ketatanegaraan dapat diartikan sebagai
perbuatan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga dapat diterima
dan ditaati dalam praktek ketatanegaraan suatu negara, walaupun perbuatan
tersebut bukan hukum. Sedangkan K.C. Wheare berpendapat bahwa konvensi
merupakan suatu praktek tertentu dan berjalan untuk jangka waktu yang lama
bersifat persuasif, kemudian diterima sebagai suatu hal yang wajib.77
Dengan
demikian, suatu praktek ketatanegaraan yang berulang-ulang dapat menjadi
sesuatu yang wajib dan kemudian ditaati oleh penyelenggara negara sebagai
bentuk perkembangan penyelenggaraan negara.
75
Satya Arinanto, DPR Seharusnya Hanya Beri Pertimbangan, Kompas, 19 Juni 2002 76
Ismail Suny, “Pergeseran Kekuasaan Eksekutif “, Jakarta, Aksara Baru, 1977, h. 56 77
Ni’matul Huda, “Hukum Tata Negara ; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Konstitusi Indonesia” PSH. Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1999, h. 180
82
Namun demikian karena kewenangan DPR untuk memberikan
pertimbangan telah diatribusikan oleh konstitusi, dan hal itu bermakna sebagai
implementasi dari fungsi pengawasan DPR terhadap Presiden. Kemudian
mengingat pada masa lalu hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan duta
dinilai tidak ada nya control dan pengawasan telah mengabaikan unsur
profesional dan pentingnya diplomasi suatu negara, untuk itu maka sebaiknya
Presiden tetap memperhatikan pertimbangan DPR tersebut. Dalam hal lain yang
harus diperhatikan oleh Presiden mengenai resiko politik yang harus ditanggung,
apabila misalnya calon duta besar yang oleh DPR disarankan untuk tidak
diangkat, tetapi dengan pertimbangan nya Presiden tetap mengangkat duta besar
tersebut. Hal ini seandainya ditengah-tengah tugasnya duta besar tersebut
melakukan kesalahan, tindakan lain yang telah merugikan bangsa dan negara atau
telah gagal menjalankan amanat negara, maka Presiden dapat dipertanyakan dan
dimintai pertanggung jawaban nya dalam hal itu, bahkan DPR bisa saja
menggunakan salah satu hak nya, yaitu mengajukan hak interpelasi terhadap
Presiden.
Presiden sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan yang
sebenarnya lebih menentukan dalam hal pengangkatan duta besar, ini lebih
dikarenakan diplomasi merupakan wilayah eksekutif. Presiden bersama dengan
Menteri Luar Negeri yang dianggap paling mengetahui dan mengerti tentang
politik dan hubungan luar negeri suatu bangsa. Akan tetapi diberbagai negara
seperti Amerika Serikat dalam hal pengangkatan duta besar turut pula melibatkan
83
peran parlemen. Bagi setiap calon duta besar yang akan ditempatkan terlebih
dahulu dilakukan hearing ataupun dengar pendapat dengan parlemen, walaupun
peran parlemen sebatas exchange of views tentang prioritas yang harus dijalankan
dan diperhatikan oleh setiap calon duta besar.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari Perumusan masalah yang penulis kemukakan serta pembahasannya
baik yang berdasarkan teori maupun data-data yang penulis dapatkan selama
mengadakan penelitian, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebagaimana telah diketahui, Perubahan Undang-Undang Dasar
1945 telah mengubah struktur ketatanegaraan secara mendasar.
Kekuasaan dalam negara pun telah bergeser dari executive heavy
menjadi legislative heavy, hal ini dapat kita lihat pada reduksi
kekuasaan dalam ketentuan pasal-pasal mengenai Presiden.
Sebaliknya terjadi penguatan kekuasaan dalam ketentuan pasal-
pasal mengenai DPR. Dalam proses pembuatan Undang-Undang
Presiden tidak lagi memegang kekuasaan, melainkan sudah
berpindah tangan kepada DPR. Presiden hanya memiliki hak
untuk rancangan Undang-Undang saja.
2. Fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR pun sekarang
semakin menguat, terutama dalam hal mengawasi kebijakan yang
diambil oleh pemerintah. Salah satu fungsi pengawasan yang
dimiliki oleh DPR adalah memberikan pertimbangan kepada
Presiden terhadap pengangkatan duta besar, hal ini sebagaimana
85
termaktub dalam pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun1945. Sebelum diamandemennya Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 proses pengangkatan duta besar sepenuhnya menjadi
kewenangan Presiden, hal ini menimbulkan duta besar yang
dipilih oleh Presiden mengabaikan aspek kualitas dan kepentingan
diplomasi.
3. Peran dari duta besar sendiri sangatlah penting, mengingat duta
besar bukan hanya sekedar sebagai wakil kepala negara di negara
sahabat tetapi seorang duta besar juga harus memiliki kemampuan
diplomasi yang handal dan harus mampu membawa kepentingan
rakyat Indonesia di dunia internasional. Dengan diadakannya
mekanisme hearing oleh DPR melalui komisi 1 selaku yang
membidangi hubungan luar negeri, diharapkan mampu
memberikan pertimbangan yang baik dan tepat kepada Presiden
untuk mengangkat duta besar yang memiliki kemampuan
diplomasi handal.
4. Dampak hukum dari sebuah pertimbangan yang diberikan oleh
DPR kepada Presiden dalam proses pengangkatan duta besar
tidaklah mengikat. Namun dalam hal ini Presiden sangat
dianjurkan untuk memperhatikan pertimbangan yang diberikan
oleh DPR. Ada hal yang diperlu diperhatikan dari sebuah
pertimbangan yang diberikan oleh DPR kepada Presiden terhadap
86
pengangkatan duta besar, yaitu apabila duta besar yang diangkat
oleh Presiden telah mengabaikan pertimbangan dari DPR
dikemudian hari melakukan suatu kesalahan dan itu merugikan
kepentingan bangsa dan negara atau telah gagal menjalankan
amanat negara, maka Presiden dapat dipertanyakan dan dimintai
pertanggung jawabannya atas kebijakan yang telah diambilnya.
B. Saran
Beberapa saran yang penulis dapat berikan dengan melihat dari uraian
skripsi ini adalah sebagai berikut ;
1. Perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah memberikan kekuasaan
yang cukup besar kepada DPR terutama dalam fungsi pengawasannya.
Kekuasaan yang dimiliki oleh DPR telah tercantum dalam Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 yang merupakan The Suprime Law of The Land. Artinya,
apa yang dilakukan oleh DPR telah memiliki legitimasi secara konstitusional.
Dengan demikian perlu adanya optimalisasi kinerja dari DPR serta
menjadikannya lebih berani dalam menjalankan hak-hak kontitusionalnya.
2. Kewenangan DPR sesuai dengan pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 dalam hal memberikan pertimbangan kepada Presiden pada
pengangkatan duta besar harus disambut dengan baik dan positif. Pada masa
lalu pengangkatan duta besar merupakan hak prerogratif Presiden yang tidak
dapat dikontrol dan diawasi, sehingga aspek kualitas dan kepentingan
diplomasi sangat terabaikan. Dengan adanya ketentuan yang baru tersebut
87
diharapkan terjalinnya kerjasama yang baik antara Presiden dengan DPR
dalam hal pengangkatan duta besar sehingga dapat meningkatkan
profesionalisme, kualitas diplomasi, dan netralitas kinerja duta besar RI.
Diharapkan untuk kedepannya duta besar RI yang diangkat oleh Presiden
melalui pertimbangan DPR, mampu membawa kepentingan rakyat Indonesia
didunia internasional.
3. Melihat dari sudut pandang yuridis, sebenarnya sebuah pertimbangan tidaklah
bersifat mengikat, tetapi ada baiknya Presiden tetap memperhatikan setiap
pertimbangan dari DPR. Hal ini disebabkan adanya beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh Presiden terkait mengenai resiko politik, pertimbangan
sejarah, aspek kualitas, profesionalitas, dan pentingnya diplomasi dalam suatu
negara, serta supaya hubungan antara DPR dengan Presiden tetap terjalin
dengan baik melalui mekanisme checks and balances, untuk tetap saling
mengawasi, saling menjaga, serta saling mengkoreksi.
88
DAFTAR PUSTAKA
A. Referensi Buku
Assiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD RI Tahun 1945. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia Press, Tahun 2005.
. . . . . . . . . Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Tahun 2006.
Kansil, CST. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, Cetakan
Kedelapan, Tahun 1995.
Saragih, R.Bintan. Lembaga Perwakilan Dan Pemilihan Umum di Indonesia,
Jakarta Gaya Media Pratama, Tahun 1998.
Sunny, Ismail. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara baru, Tahun
1997..
Thaib, Dahlan. DPR Dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta:
Liberty Tahun 2000.
Yuhana, Abdy. Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945,
Bandung: Fokus Media, Tahun 2007.
Soekanto, Soerjono. Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, Tahun 1995.
. . . . . . . . . . . . Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta:
Rajawali Pers, Tahun 1995.
Soemitro, Hanitijo Ronny. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, Tahun 1998.
Ibrahim, Jhony. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normative. Malang :
Penerbit Bayu Media cetakan ketiga, 2007.
Astawa, Pantja Gede. Identifikasi Masalah Atas Hasil Perubahan UUD RI
Tahun 1945 Yang Dilakukan Oleh MPR dan Komisi Konstitusi. Seminar
Fakultas Hukum UNPAD bekerjasama dengan PERSAHI, Tahun 2004.
Soemantri, Sri. Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD RI Tahun
1945, Bandung: Citra Aditya Bakti, Tahun 1993.
89
Djajiono, Legowo. Dkk. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi
Analisis Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD Tahun 1945, Jakarta:
FORMAPPI, Tahun 2005..
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia (UI press), 2008.
Pramudya, Yan. Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda Indonesia
Inggris. Semarang: CV Aneka, Tahun 1977.
Starke, J.G. Pengantar Hukum Internasional volume 2, Jakarta: Sinar Grafika,
Tahun 2007.
Manan. Bagir. DPD, DPR, dan MPR Dalam UUD RI Tahun 1945 Dalam Satu
Naskah. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Press,
Tahun 2003.
Alan. James. Berridge, G.R. Editorial Consultant, A dictionary of Diplomacy
Library of Congress Cataloging-in Publication Data Berrideg, New York:
Tahun 2001.
Suryokusumo, Soemaryo. Hukum Diplomatik, Teori dan kasus Edisi Pertama,
Cetaka Kesatu, Bandung: Penerbit Alumni, Tahun 1995.
Mauna, Boer. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam era
Dinamika Global edisi Kedua, Jakarta: Penerbit PT Alumni, Tahun 2005.
Satow, Ernest Sir. A Guide to Diplomatic Practice, Fourth Edition. London:
Long Man Green an Co Ltd, Tahun 1957.
Dembinski, Ludwik. The Modern Law of Diplomacy, External Missions of States
ana International Organizations. Marthinus Nijhoff Publisher, Tahun
1998.
A.K, Syahmin. Hukum Diplomatik dan Suatu Pengantar. Bandung: Penerbit CV
Armico, Tahun 1985.
Mestoko, Sumarsono. Indonesia dan Hubungan Antar Bangsa. Jakarta: Penerbit
Sinar Harapan, Tahun 1985.
Attamimi, A. Hamid S. Peran Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahaan Negara Suatu Study Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu
Pelita I Sampai Pelita IV. Disertasi, Jakarta: Pascasarjana Universitas
Indonesia, Tahun 1990.
90
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara; Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap
Konstitusi Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Tahun 1999.
B. Undang-Undang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 18 Tahun 2003 Tentang
Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib.
Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Luar Negeri dan
Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor 01/A/OT/I/2006/01 Tahun
2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Luar Negeri RI Nomor
02/A/OT/VIII/2005/01 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Luar Negeri.
Keputusan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Nomor
SK.06/A/OT/VI/2004/01 Tahun 2004 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Perwakilan Diplomatik Republik Indonesia di Luar Negeri.
C. Makalah, Artikel dan Jurnal
Rencana Strategik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Tahun 2004-
2009, Departemen Luar Negeri.
Satya Arinanto, DPR Seharusnya Hanya Beri Pertimbangan, Kompas, 19 Juni
2002
Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Departemen Luar Negeri,
“Organisasi Departemen Luar Negeri”, makalah disampaikan pada
91
Diklat Sespim Tingkat III dan Sesdilu Angkatan XXXVI, Pusdiklat
Deplu, tanggal 5 Juni 2006.
D. Sumber Website Online
http://www.google.co.id/tanya/thread?tid=342186c09aff08b4. diakses pada
Tanggal 15 desember 2013
Opini@Net, Kumpulan Aspirasi Masyarakat, yang disampaikan melalui
www.mpr.go.id, diakses pada tanggal 18 Agustus 20014
Y. Hartono, Artikel, SI: Dari Supremasi Eksekutif ke Supremasi Legislatif ?,
www.google.co.id
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/04/28/sistem-perwakilan-rakyat-di-
indonesia/ diakses pada tanggal 15 April 2014
E. Lampiran
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan
Luar Negeri.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Tata tertib.
Recommended