View
603
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari sejauh mana cerminan moral para
generasinya. Meskipun teknologi dan ilmu pengetahuan cukup berkembang pesat,
tapi jika tidak didukung dengan perilaku yang luhur, tetap saja bangsa tersebut
tidak layak dijadikan panutan. Dunia saat ini tengah berada dalam gempuran
hegemoni tertentu. Globalisasi membawa dampak buruk dalam melunturkan
identitas suatu bangsa. Indonesia pun tidak lepas dari pergeseran arus di dunia saat
ini. Indonesia tengah berada dalam cengkraman globalisasi yang membuat
generasinya seakan kehilangan identitas. Lunturnya nilai-nilai moral, seperti
maraknya kekerasan dan kriminalitas di kalangan pelajar, seks bebas, hamil di
luar nikah, aborsi, narkoba dan perilaku-perilaku negatif lainnya membuat bangsa
semakin kehilangan jati diri dan mengalami mengalami kemunduran moralitas
Dunia pendidikan adalah gudang melahirkan generasi cerdas dan berakhlak.
Pendidikan adalah tumpuan dan filterisasi untuk membentuk karakter mulia.
Tujuan pendidikan nasional kita sebagaimana yang tertuang dalam UUD 1945
(versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3:
"Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang."1
Pasal 31, ayat 5 menyebutkan:
"Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia."2)
1.(http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html diakses 19 April 2012
2. ibid
2
Berdasarkan undang-undang tersebut, pendidikan di Indonesia idealnya
menghasilkan pribadi yang bertakwa, berakhlak baik, dan bermoral. Pada
kenyataanya, generasi bangsa ini semakin rusak. Riset yang dipublikasikan
Yayasan Kita dan Buah Hati pada tahun 2010 menemukan sebanyak 83,7 persen
anak sekolah dasar kelas IV dan V, sudah kecanduan pornografi. Komisi Nasional
Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat dari tahun 2008 sampai 2010 terjadi
2,5 juta kasus aborsi, sebanyak 62,6 persen dilakukan anak di bawah umur 18
tahun. Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional pada 2008, sebanyak 1,5
persen atau sekitar 3,2 juta penduduk Indonesia adalah pengguna narkoba.
Sebanyak 78 persen di antaranya adalah remaja atau penduduk usia 20-29 tahun3.
Munculnya wacana pendidikan karakter adalah respon dari kacaunya moralitas
pelajar bangsa ini. Pendidikan karakter ini diharapakan akan menghasilkan output
yang bermoral tinggi. Pendidikan karakter juga mengajarkan peserta didik untuk
lebih mengutamakan nilai-nilai kebaikan sehingga didapatkan sebuah karakter
yang dapat menghasilkan generasi cemerlang.
Pendidikan karakater dianggap sebagai solusi untuk mengatasi mandulnya sistem
pendidikan bangsa ini. Pendidikan karakter dianggap mampu menciptkan individu
yang berakhlak baik dan bermoral tinggi. Di universitas pun sudah mulai
digencarkan pengembangan karakter ini.
Berbicara mengenai karakter berarti kita berbicara mengenai sebuah nilai-nilai.
Entah itu nilai baik atau buruk. Sastra adalah sumber nilai. Dalam sebuah karya
sastra kita bisa memetik nilai-nilai. Menurut Horace, fungsi sastra itu Dulce et
Utile. Indah dan berguna. Bahasa sastra adalah bahasa yang estetis yang mampu
menghaluskan dan membangkitkan jiwa dan perasaan. Di sinilah fungsi
keindahan sastra. Sastra mampu mengungkapkan ide yang rumit menjadi lebih
estetis dan memahaminya dengan menggunakan cita rasa. Karena struktur kata
yang digunakan lebih estetis, pembaca merasa tidak digurui. Sastra
mentransformasi pesan, nilai-nilai, dan menunjukkan karakter melalui sebuah
cerita dan kata-kata indah.
3 Majalah Al Wa’ie No. 138 Tahun XII Februari 2012
3
Fungsi yang kedua, yaitu berguna. Sastra mengandung pesan yang bermanfaat
untuk pembaca dan masyarakat. Sastra membawa nilai-nilai yang mampu
memperbaiki tatanan kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu salah satu
langkah untuk mengatasi masalah tersebut, maka penulis mengajukan judul Peran
Pembelajaran Sastra dalam Pendidikan Karakter.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dan untuk memfokuskan penulisan ini,
maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana peran sastra dalam pengembangan karakter pelajar?
2. Bagaimanakah upaya pembelajaran sastra dalam pendidikan karakter?
1.3. Gagasan Kreatif
Sastra memiliki peran dalam membentuk atau mengembangkan karakter
seseorang. Seorang pembaca sastra tentu akan mampu memetik nilai-nilai
sehingga memengaruhi karakter pembacanya. Jika mereka seorang penulis, sastra
adalah media positif untuk mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keadaan yang
sedang terjadi di kehidupan sosialnya. Oleh karena itu gagasan kreatif dari karya
tulis ini ialah menghadirkan metode pembelajaran sastra sebagai solusi alternatif
dalam pendidikan karakter yang dapat mempengaruhi karakter seseorang dengan
cara mengajarkan pelajar membaca dan menulis karya sastra yang bermutu.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.4.1. Tujuan Penulisan
1. Untuk menjelaskan peran sastra dalam pengembangan karakter pelajar.
2. Untuk menjelaskan pembelajaran sastra sebagai alternatif dalam
pendidikan karakter
1.4.2. Manfaat Penulisan.
4
1. Diharapkan dapat memberikan gambaran tentang peran sastra dalam
pengembangan karakter pelajar
2. Diharapkan dapat memberikan solusi baru dalam mengaplikasikan
pendidikan karakter di kalangan pelajar.
5
BAB 2
TELAAH PUSTAKA
2.1. Teori Kesusastraan
2.1.1. Pengertian Sastra
Sastra (Sanskerta: shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta ‘Sastra’,
yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar ‘Sas’ yang berarti “instruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “alat”
atau “sarana”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk
kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan
tertentu.4
Beberapa pengertian sastra menurut para ahli
Mursal Esten (1978 : 9)
Sastra atau Kesusastraan adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif
sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai
medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia
(kemanusiaan)5.
Aristoteles
Sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat6.
Taum (1997: 13)
Sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif atau sastra adalah
penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain7.
4.http://www.mutiarasukma.net/_mdc.php?module=view&id_berita=944blog diakses 7 April 2012. 5.Ibid6. Ibid7. Ibid
6
2.1.2 Fungsi Sastra
Menurut Horace, fungsi sastra ialah Dulce et Utile. Indah dan berguna. Maka,
dalam membaca karya sastra yang baik, para pembaca akan mendapatkan
kesenangan dan kegunaan yang diberikan oleh karya sastra itu, yang berupa
keindahan dan pengalaman-pengalaman jiwa yang bernilai tinggi, baik secara
langsung maupun tidak langsung, misalnya lewat para penafsirnya.8
Jika suatu karya sastra berfungsi sesuai dengan sifatnya, kedua segi tadi
(kesenangan dan manfaat) harus saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh dari
sastra bukan seperti kesenangan fisik lainnya, melainkan kesenangan yang lebih
tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Sedang manfaatnya,
keseriusan bersifat didaktis adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan
estetis, dan keseriusan persepsi.9
Sesuatu yang dibutuhkan untuk menghaluskan jiwa adalah seni dan sastra" (Buya
Hamka)10.
Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang
pengecut menjadi pemberani (Umar bin Khattab ra)11
2.1.3. Peran Sastra dalam Pengajaran
Menurut B. Rahmanto dalam bukunya Metode Pengajaran Sastra (1988) ada 4
peran sastra dalam pendidikan.
2.1.3.1. Membantu Keterampilan Berbahasa
Ada 4 keterampilan berbahasa: (i) menyimak (ii) wicara (iii) membaca (iv)
menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan
membantu siswa berlatih keterampilan membaca dan menyimak, wicara, menulis
yang masing-masing erat hubungannya.
8seperti dikutip oleh Rachmat Djoko Pradopo, Prinsip-prinsip kritik sastra, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994)9 Rene Wellek, Austin Warren, Teori Kesusastraan. Melani Budianta. Jakarta. Gramedia. 1995. Hal.2710http://apandin.wordpress.com/2011/05/31/kategori-baru-sastra/ blog diakses tanggal 7 April 201211Ibid.
7
Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan
mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atau pita rekaman.
Siswa dapat melatih keterampilan wicara dengan ikut berperan dalam suatu
drama. Siswa dapat juga meningkatkan keterampilan membaca dengan
membacakan puisi atau prosa cerita. Karena sastra itu menarik, siswa dapat
mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasil diskusinya sebagai latihan
keterampilan menulis.
2.1.3.2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Sastra, tidak seperti halnya ilmu kimia atau sejarah, tidaklah menyuguhkan ilmu
pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek
manusia, alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan
‘sesuatu’ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati akan semakin
menambah pengetahuan orang yang menghayatinya.
Yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini mengandung suatu pengertian yang
luas. Dengan berbagai cara, kita dapat menguraikan dan mencerap pengetahuan
semacam itu dalam karya sastra. Sebagai contoh, banyak fakta yang yang
diungkapkan dalam karya sastra. Apabila kita merangsang siswa untuk memahami
fakta-fakta dalam karya sastra, lama-kelamaan siswa itu akan sampai pada
kenyataan yang akhirnya disadari oleh para siswa bahwa fakta-fakta yang perlu
dipahami bukan hanya sekadar fakta-fakta tentang benda, tetapi fakta-fakta
tentang kehidupan.
Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan
wawasan pemahaman budaya bagi setiap anak didik. Pemahaman budaya dapat
menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa ikut memiliki. Beberapa
pengetahuan seperti ini dapat diberikan pada keluarga, tempat-tempat ibadah
maupun lewat pelajaran-pelajaran tertentu di sekolah. Bagaimanapun, sastra
sering berfungsi untuk membangun kesenjangan pengetahuan dari sumber-sumber
yang berbeda itu dan menggalangnya menjadi suatu gambaran yang lebih berarti.
8
2.1.3.3. Mengembangkan Cipta dan Rasa
Dalam melaksanakan pengajaran kita tidak boleh berhenti pada penguraian
pengertian keterampilan ataupun pengetahuan. Setiap guru hendaknya selalu
menyadari bahwa setiap siswa adalah seorang individu dengan kepribadiannya
yang khas, kemampuan, masalah dan kadar perkembangannya masing-masing
yang khusus. Oleh karena itu penting sekali kiranya memandang pengajaran
sebagai proses pengembangan individu secara keseluruhan.
Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah
kecakapan yang bersifat indra, penalaran, afektif, sosial, dan bersifat religius.
Karya sastra sebenarnya dapat memberikan peluang-peluang untuk memberikan
kecakapan seperti itu. Oleh karenanya dapatlah ditegaskan, pengajaran sastra yang
dilakukan dengan benar akan dapat menyediakan kesempatan untuk
mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan
oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih
mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti yang sesungguhnya.
a) Indra
Pengajaran sastra dapat digunakan untuk memperluas pengungkapan apa yang
diterima oleh panca indra seperti indra penglihatan, indra pendengaran, dan indra
peraba. Para pengarang itu sebenarnya manusia-manusia yang peka dan berbudi
halus dan berusaha menyampaikan kepada pembaca apa yang merek hayati.
Dengan mengikuti tafsiran serta makna kata-kata yang mereka ungkapkan, siswa
akan diantar untuk mengenali berbagai pengertian dan mampu membedakan satu
hal dengan yang lain, misalnya: kuning dengan keemasan, bising dengan
menggemparkan, harum dengan busuk serta masih banyak yang lain.
Dengan memahami kepekaan alat perasa, lebih lanjut kita akan berusaha
memahami berbagai aktivitas fisik yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh
manusia untuk mengungkapkan dirinya. Pengungkapan diri lewat aktivitas fisik
ini juga dibina dalam pengajaran sastra, terutama nampak jelas dalam bidang
drama.
9
b) Penalaran
Pembinaan kecakapan berpikir sering dianggap termasuk bidang khusus seperti
matematika atau fisika yang ada di luar jangkauan pengajaran sastra. Anggapan
semacam ini hendaknya sekarang disingkirkan. Meski benar bahwa pelajaran
matematika itu menuntut proses berpikir tepat, logis, serta terkendali ketat. Tapi
hendaknya kita sadari bahwa bukan matematika saja yang menuntut proses
berpikir demikian. Proses berpikir logis banyak ditentukan oleh hal-hal seperti
ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan
pengelompokkan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi rangkaian
tindakan yang tepat. Pengajaran sastra jika diarahkan dengan tepat akan sangat
membantu siswa latihan memecahkan masalah-masalah berpikir logis semacam
itu. Bahkan, di samping sarat dengan kecakapan berpikir logis itu, pengajaran
sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, memberikan
bukti tentang suatu pendapat, serta mengenal metode argumentasi yang betul,
sesat, dan sebagainya.
c) Perasaan
Kepekaan rasa dan emosi sering dikaitkan erat dengan pengajaran sastra dan
barangkali masalah ini perlu terus dipertahankan. Meski perasaan itu bersumber
pada naluri manusia, tetapi karena tradisi yang kompleks, perasaan manusia itu
kemudian menunjuk pada hal-hal yang lebih khusus dalam setiap budaya,
Misalnya, bayi atau anak kecil mengundang rasa simpati hampir pada semua
orang di dunia ini. Perasaan jelas merupakan suatu elemen yang sangat rumit
dalam tingkah laku manusia. Sampai batas-batas tertentu masyarakat sering
mempermasalahkan kepekaan perasaan dari anggota-anggotanya. Dalam
masyarakat, latihan kepekaan dimaksudkan agar anggota-anggotanya menyenangi
apa yang harusnya mereka senangi dan mencegah mereka menyenangi apa yang
seharusnya tidak mereka senangi. Sehubungan dengan perasaan ini, barangkali
dapat kita tegaskan di sini bahwa sastra dengan jelas dapat menghadirkan berbagai
problem atau situasi yang merangsang tanggapan perasaan atau tanggapan
emosional. Situasi dan problem itu oleh sastrawan diungkapkan dengan cara-cara
10
yang memungkinkan kita tergerak untuk menjelajahi dan mengembangkan
perasaan kita sesuai dengan kodrat kemanusiaan kita.
d) Kesadaran Sosial
Pemahaman yang efektif atas orang lain, hanya dapat dicapai dengan bertitik tolak
dari pemahaman diri. Misalnya, sikap sebagian masyarakat negara berkembang
yang terburu-buru membuang tradisi sendiri dan mengganti dengan tradisi asing
jelas menunjukkan sikap yang kurang dewasa. Hal ini tidak jauh berbeda dengan
anak-anak muda brandalan di negara modern yang mencampakkan pencapaian
budaya yang telah mapan dan mencoba kembali hidup tak teratur meniru “hewan
di lading penggembalaan”.
Beberapa mata pelajaran lain dalam kurikulum juga telah memberikan pendidikan
nilai kesadaran sosial, misalnya: sejarah, geografi, ekonomi, dan ilmu-ilmu sosial
yang lain. Meski demikian, kiranya tidak berlebihan bila kita tegaskan lagi bahwa
sastra merupakan pengayaan yang tak ternilai untuk menunjang pendidikan
kesadaran sosial ini. Para penulis kreatif biasanya memiliki daya imajinasi dan
kesanggupan yang luar biasa untuk mengidentifikasikan dirinya dengan orang
lain, dan menerobos suatu masalah serta mengenali intinya. Oleh karena itu,
seorang pengajar sastra hendaknya bijaksana memilih bahan pengajarannya
dengan tepat sehingga membantu siswa memahami dirinya dalam rangka
memahami orang lain.
Tak perlu diragukan lagi bahwa sastra memang dapat digunakan sebagai sarana
untuk menumbuhkan kesadaran pemahaman terhadap orang lain. Para pengarang
modern telah banyak berusaha merangsang minat dan menumbuhkan rasa simpati
kita terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang tertindas, gagal, kalah,
putus asa.
e) Rasa Religius
Tentu saja kita akan berusaha mendasarkan hidup kita pada fundamen yang kuat
daripada fundamen yang lemah. Dari semua itu, yang perlu kita tambahkan adalah
11
bahwa hampir semua pengarang yang mempunyai daya imajinasi tinggi biasanya
berusaha menghadirkan masalah-masalah yang hakiki dalam karya-karya mereka.
2.1.3.4. Menunjang Pembentukan Watak
Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan
sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu
membina perasaan yang lebih tajam. Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra
mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh
rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti misalnya: kebahagiaan, kebebasan,
kesetiaan, kebanggaan diri, kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian,
perceraian dan kematian. Seseoran yang telah banyak mendalami berbagai karya
sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana
yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Secara umum, lebih lanjut dia akan
mampu menghadapi masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan,
toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam. Perlu digarisbawahi bahwa
kedalaman itu merupakan satu kualitas yang dibutuhkan masyarakat berkembang
dimana pun tanpa terkecuali.
2.2. Pendidikan Karakter
2.2.1. Pengertian Pendidikan Karakter
Ki Hadjar Dewantara mengatakan, yang dinamakan “budipekerti” atau watak
atau dalam bahasa asing disebut “karakter” yaitu “bulatnya jiwa manusia”
sebagai jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang yang memiliki kecerdasan
budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan merasa-rasakan serta selalu
memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Itulah
sebabnya orang dapat kita kenal wataknya dengan pasti; yaitu karena watak atau
budipekerti itu memang bersifat tetap dan pasti.12
12Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, UNY. Yogyakarta. hal. 5
12
Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter
“character education is the deliberate effort to help people understand, care
about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of
character we want for our children, it is clear that we want them to be able to
judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe
to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.
(Pendidikan karakter dimaknai sebagai usaha untuk memahamkan pengertian,
perhatian dan tindakan terhadap sebuah nilai-nilai tertentu (nilai etik). Di mana
kita berpikir tentang jenis karakter apa yang kita ingin tanamkan dengan jelas,
yaitu nilai-nilai sehingga dapat melakukan apa-apa yang baik, menaruh
perhatian yang besar terhadap apa yang baik, dan kemudian mereka akan
menjadi baik, walaupun berhadapan dengan tantangan dari luar maupun godaan
dari dalam).
Haryanto mengemukakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang
terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi
nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil, dimana tujuan
pendidikan karakter adalah meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil
pendidikan di sekolah melalui pembentukan karakter peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan13.
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah
pembentukan sistem penanaman nilai-nilai tertentu yang kita inginkan dan
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut.
2.2.3. Pendidikan Karakter yang Melibatkan Aspek
Thomas Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang
baik yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau
perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral14.
13Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, UNY. Yogyakarta. hal. 414Ratna Megawangi. Pendidikan Karakter. 2004: 145-147
13
- Moral Knowing terdiri dari 6 hal: 1) moral awareness (kesadaran moral),
2) knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), 3) perspective
talking, 4) moral reasoning, 5) decision making, 6) self-knowledge.
- Moral Feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak
yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi
yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia
berkarakter yakni: 1) conscience (nurani), 2) self-esteem (percaya diri), 3)
emphaty (merasakan penderitaan orang lain), 4) loving the good
(mencintai kebenaran), 5) self-control (mampu mengontrol diri), 6)
humility (kerendahatian).
- Moral Action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat
diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan/tindakan moral ini
merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami
apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan baik (act morally) maka
harus dilihat 3 aspek lain dari karakter yaitu: 1) kompetensi (competence),
2) keinginan (will), 3) kebiasaan (habit).
14
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data melalui
metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan data yang
didapat dari buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, media massa, dan berbagai artikel
dari situs internet. Data yang diperoleh biasa disebut data sekunder. Kemudian
data tersebut diolah dengan teknik content analysis untuk menghasilkan
kesimpulan.
3.2. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ilmiah ini disusun sebagai berikut :
Bab 1 : Pendahuluan, yang menguraikan latar belakang masalah, rumusan
masalah, serta tujuan dan manfaat penulisan.
Bab 2 : Tinjauan Pustaka, yang meliputi teori kesusastraan dan pendidikan
karakter dan pengertian istilah berkaitan dengan sastra dan pendidikan
karakter
Bab 3 : Metode Penulisan, disajikan dengan menggunakan teknik pengumpulan
data, sistematika penulisan, dan analisis data.
Bab 4 : Pembahasan, berisi analisis permasalahan berdasarkan data dan telaah
pustaka yang diuraikan secara runtun.
Bab 5 : Penutup, berisi kesimpulan dan saran atau rekomendasi yang
diselaraskan dengan kerangka pemikiran sebelumnya.
3.3. Analisis Data
Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam
menganalisis data dengan maksud menjelaskan peran sastra dalam pendidikan
karakter. Disamping itu, karya tulis ini juga mengajukan beberapa tawaran ilmiah
15
mengenai solusi atas rusaknya moralitas bangsa yang diwujudkan dengan
pendidikan karakter berbasis pembelajaran sastra dalam institusi pendidikan.
16
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1. Pengaruh Sastra terhadap Pengembangan Karakter
Ajarkanlah sastra kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang
pengecut menjadi pemberani (Umar bin Khattab ra)
Petuah Umar Bin Khattab di atas cukup menggambarkan kaitan erat antara sastra
dan pembentukan karakter seseorang. Dengan mengajarkan sastra, kita menjadi
tahu makna kehidupan. Seperti yang diungkapkan oleh Buya Hamka, bahwa
sastra dapat menghaluskan jiwa. Kita menjadi terbiasa untuk mengungkapkan
sesuatu dengan keindahan dan kelembutan.
Sastra, tidak seperti halnya ilmu-ilmu pasti, tidaklah menyuguhkan ilmu
pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra berkaitan erat dengan semua aspek
manusia, alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan
‘sesuatu’ dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati akan semakin
menambah pengetahuan orang yang menghayatinya. Dengan demikian Sastra
mengajarkan kita untuk peduli dan empati. Ketika kita menghayati karya sastra,
hal tersebut dapat merangsang kita untuk memasuki dan mendalami karya sastra
tersebut. Sebagai contohnya, ketika kita membaca sebuah novel, dongeng, atau
kisah maka secara tidak langsung, pembaca mampu memetik nilai-nilai apa saja
yang baik dan tidak baik yang tercermin dalam karya sastra tersebut. Hal ini justru
akan membuat pembaca bersikap selektif untuk menganalisis tindakan-tindakan
moral yang dapat berdampak positif bagi kehidupannya.
Fungsi Sastra sendiri menurut Horace adalah Dulce el Utile. Indah dan berguna.
Bahasa sastra adalah bahasa yang estetis yang mampu menghaluskan dan
membangkitkan jiwa dan perasaan. Di sinilah fungsi keindahan sastra. Sastra
mampu mengungkapkan ide yang rumit menjadi lebih estetis dan memahaminya
dengan menggunakan cita rasa. Karena struktur kata yang digunakan lebih estetis,
pembaca merasa tidak digurui. Sastra mentransformasi pesan, nilai-nilai, dan
menunjukkan karakter melalui sebuah cerita dan kata-kata indah.
17
Fungsi yang kedua, yaitu berguna. Sastra mengandung pesan yang bermanfaat
untuk pembaca dan masyarakat. Sastra membawa nilai-nilai yang mampu
memperbaiki tatanan kehidupan sosial masyarakat. Jika mereka pembaca sastra,
berarti mereka mampu memetik nilai-nilai sehingga memengaruhi karakter
pembacanya. Jika mereka seorang penulis, sastra adalah media positif untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keadaan yang sedang terjadi di kehidupan
sosialnya. Seorang sastrawan biasanya lebih bijak bertindak. Mereka mampu
mecermati peristiwa-peristiwa sosial. Melakukan perlawanan damai. Mereka
memiliki kedalaman berpikir yang tinggi hingga mampu memediasi pemikirannya
dalam ungkapan-ungkapan yang lebih halus.
B.Rahmanto mengatakan seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya
sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana
yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Secara umum lebih lanjut dia akan
mampu menghadapi masalah-masalah hidupnya dengan pemahaman, wawasan,
toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam (Rahmanto, 1988: 25). Dalam
karya sastra terkandung nilai-nilai, pesan yang dibungkus dalam cerita yang
merefleksikan kehidupan sosial, konflik cerita, serta cara-cara tokoh mengelola
konflik. Hal ini tentu saja memberikan pelajaran untuk menghadapi persoalan
kehidupan. Melalui pembacaan yang mendalam, sastra pada akhirnya mampu
mengubah karakter seseorang.
Mursal Esten mengungkapan bahwa sastra adalah pengungkapan dari fakta artistik
dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui
bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan
manusia (kemanusiaan). Aristoteles pun menambahkan bahwa sastra sebagai
kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Jadi sastra adalah
sumber nilai yang dapat memberikan kesan religius. Pembelajaran karakter dalam
sastra tidak memberikan kesan menggurui. Sehingga transformasi nilai-nilai
agama, moral, akhlak mampu terterima secara lebih soft dan mendalam.
Mempelajari sastra mampu menyentuh bahkan menggerakkan perasaan kita
hingga mengubah pola sikap dan membentuk karakter. Taum mengemukakan,
sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat imajinatif” atau “sastra adalah
18
penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang menandakan hal-hal lain
(Taum: 1997). Di dalamnya terkandung pesan-pesan moral, ungkapan kata-
katanya menimbulkan kesan estetis.
4.2. Menggiatkan Membaca dan Menulis Karya Sastra sebagai
Alternatif Pendidikan Karakter
Sebagaimana yang dikemukakan Ki Hadjar Dewantara bahwa “karakter” yaitu
“bulatnya jiwa manusia” sebagai jiwa yang “berasas hukum kebatinan”. Orang
yang memiliki kecerdasan budipekerti itu senantiasa memikir-mikirkan dan
merasakan serta selalu memakai ukuran, timbangan, dan dasar-dasar yang pasti
dan tetap. Sebagaimana sastra yang mampu masuk ke dalam hati para
pembacanya, akan memberikan pengaruh pada pembacanya. Sastra mampu
membangkitkan perasaan dan jiwa seseorang.
David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004) mengemukakan pendidikan karakter
adalah usaha untuk memahamkan pengertian, perhatian dan tindakan terhadap
sebuah nilai-nilai tertentu (nilai etik). Di mana kita berpikir tentang jenis
karakter apa yang kita ingin tanamkan dengan jelas, yaitu nilai-nilai sehingga
dapat melakukan apa-apa yang baik, menaruh perhatian yang besar terhadap
apa yang baik, dan kemudian mereka akan menjadi baik, walaupun berhadapan
dengan tantangan dari luar maupun godaan dari dalam12. Dalam karya sastra
seperti novel, dongeng, drama terdapat banyak nilai-nilai yang ditawarkan melalui
pengungkapan kisah atau alur cerita dan dari karakter yang dipersembahkan oleh
setiap tokohnya. Hal ini memungkinkan jika kita membaca karya sastra dengan
penuh penghayatan, kita bisa memilih jenis karakter apa yang diinginkan dan
yang akan mereka tanamkan untuk dapat menentukan mana yang baik dan tidak
baik dalam bertingkah laku.
Lickona (1992) memaparkan 3 aspek yang penting dalam pendidikan karakter
yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action (pemikiran, perasaan,
pengalaman). Dalam membaca karya sastra aspek pendidikan karakter yang
paling penting jika ditinjau dari pendapat Lickona adalah moral knowing dan
moral feeling. Dengan membaca karya sastra kita akan menemukan dan
19
mengetahui nilai-nilai moral yang baik dan buruk. Pembaca mampu memetik
setiap karakter yang positif untuk dapat diterapkan dalam kehidupannya.
Para pengarang itu sebenarnya manusia-manusia yang peka dan berbudi halus dan
berusaha menyampaikan kepada pembaca apa yang mereka hayati (Rahmanto:
1988). Karya sastra yang mereka tulis adalah inspirasi dari kenyataan. Sehingga
ketika seseorang menulis karya sastra tentu saja melibatkan aspek perasaan
maupun pemikiran yang lebih dalam. Mereka mengetahui dengan jelas karya yang
mereka ciptakan, sumber inspirasi dan pengalaman terciptanya karya itu yang
berasal dari pengalaman batin pengarang maupun orang di sekeliling pengarang.
Rahmanto mengemukakan para penulis kreatif biasanya memiliki daya imajinasi
dan kesanggupan yang luar biasa untuk mengidentifikasikan dirinya dengan orang
lain, dan menerobos suatu masalah serta mengenali intinya. Teori aspek
pendidikan karakter menurut Lickona yang melibatkan moral knowing and feeling
secara lebih mendalam akan mampu dicapai ketika seseorang menulis karya
sastra. Selain itu menulis karya sastra adalah media positif untuk mengungkapkan
pikiran, perasaan, dan kondisi sosial yang terjadi di sekeliling pengarang. Hal ini
tentu saja membawa dampak yang baik bagi jiwa pegarang.
Menulis karya sastra akan mengantarkan seseorang pada pendalaman perasaan
yang kuat. Salah satu aspek emosi (moral feeling) yang harus mampu dirasakan
oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter menurut Lickona ialah
emphaty (merasakan penderitaan orang lain). Kemampuan empati atau merasakan
apa yang dirasakan orang lain adalah hal yang mesti dimiliki oleh seseorang yang
menulis karya sastra. Menulis sastra pada akhirnya mampu menumbuhkan
kesadaran sosial kita secara lebih mendalam terhadap orang lain dan realita sosial
di masyarakat.
Untuk lebih membudayakan solusi ini, sastra tidak dikhususkan bagi orang-orang
mendalami sastra saja, seperti pengarang, guru Bahasa Indonesia atau mahasiswa
fakultas sastra. Tapi, sastra perlu digiatkan, sastra perlu digaungkan. Sastra perlu
diangkat sebagai ilmu pengetahuan dasar dan umum, seperti Bahasa Inggris,
maupun matematika. Penerapan budaya membaca dan menulis karya sastra ini
20
perlu didukung oleh pemerintah, instansi pendidikan, seperti sekolah bahkan
universitas. Serta dibutuhkan sinergi semua elemen pendidikan di negara ini.
21
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Munculnya wacana pendidikan karakter adalah respon dari semakin rusaknya
moral generasi bangsa ini. Pendidikan karakter diharapkan mampu menghasilkan
generasi yang berakhlak baik, bermoral tinggi dan cerdas. Pemerintah yang
diwakili oleh departemen pendidikan telah melakukan berbagai upaya agar
pendidikan karakter terlaksana di setiap instansi pendidikan, dari sekolah dasar
hingga universitas. Dalam konsep pendidikan karakter dibutuhkan nilai-nilai
moral yang akan membentuk karakter seseorang. Sastra memiliki peranan dalam
membentuk karakter seorang pelajar. Karya sastra berisi nilai-nilai dan cerminan
karakter-karakter yang ada di muka bumi yang direfleksikan oleh tokoh-tokoh
cerita dalam karya sasrta. Sehingga dengan mempelajari karya sastra seseorang
tentu mampu memetik dan memilih karakter-karakter positif untuk diterapkan
dalam kehidupannya. Selain itu, dengan membiasakan menulis karya sastra,
seorang pelajar akan lebih merasakan penghayatan yang lebih, sehingga
menghasilkan empati terhadap apa yang dialami orang lain atau berempati
terhadap kondisi sosial masyarakat. Membiasakan menulis karya sastra akan
memberikan dampak bagi perkembangan jiwa. Pendidikan karakter yang
melibatkan aspek knowing, feeling, dan action akan tercapai ketika pelajar
melibatkan dirinya dalam membaca dan menulis karya sastra.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka kami merekomendasikannya menjadi
beberapa hal yaitu :
1. Pemerintah menggiatkan program pengajaran sastra, seperti membaca dan
menulis karya sastra.
2. Guru bahasa Indonesia sebaiknya lebih fokus kepada pembelajaran sastra
di sekolah, tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia secara struktur.
22
3. Fakultas Sastra lebih mengembangkan pembelajarannya dengan lebih
banyak membaca dan menulis karya sastra. Tidak sekadar mengeritik
karya sastra.
4. Universitas menjadikan pengajaran sastra masuk dalam mata kuliah umum
mahasiswa.
23
Daftar Pustaka
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter. Bogor: Indonesia Heritage
Foundation
Wellek, Rene dan Austin, Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh
Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Pegangan Guru
Pengajar Sastra.
(http://www.putra-putri-indonesia.com/tujuan-pendidikan-nasional.html diakses
19 April 2012
Majalah Al Wa’ie No. 138 Tahun XII Februari 2012
http://www.mutiarasukma.net/_mdc.php?module=view&id_berita=944 blog
diakses 7 April 2012.
http://apandin.wordpress.com/2011/05/31/kategori-baru-sastra/ blog diakses
tanggal 7 April 2012
Haryanto. Pendidikan Karakter Menurut Ki Hajar Dewantara. Kurikulum dan
Teknologi Pendidikan, UNY. Yogyakarta.
Recommended