View
234
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
PERCERAIAN KARENA SUAMI MAFQUD
(Studi Empiris terhadap Proses Penyelesaian Perkara
di Pengadilan Agama Boyolali)
NASKAH PUBLIKASI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna
mencapai derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Oleh :
RYAN GANANG KURNIA
NIM : C.100.110.067
rian_ganang@yahoo.co.id
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Naskah Publikasi ini telah diterima dan disahkan oleh
Dewan Penguji Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing I Pembimbing II
(Mutimatun Ni’ami S.H.,M.Hum.)
(Aristya Windiana Pamuncak S.H.,L.L.M.)
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Surakarta
(Dr. Natangsa Surbakti, SH.,M.Hum)
iii
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : RYAN GANANG KURNIA
NIM : C 100110067
Alamat : Kanoman Rt 01/ Rw X, Gagaksipat, Ngemplak, Boyolali
Dengan ini menyatakan bahwa :
1. Karya tulis saya, skripsi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
memperoleh gelar akademik baik di Unversitas Muhammadiyah Surakarta
maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dari Dosen Pembimbing Skripsi.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang
dan judul buku aslinya dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar akademik yang
telah saya peroleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan
norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Surakarta, 09 Juli 2015
Yang membuat pernyataan,
Ryan Ganang Kurnia
C 100 110 067
1
PERCERAIAN KARENA SUAMI MAFQUD
(Studi Empiris Terhadap Proses Penyelesaian Perkara
di Pengadilan Agama Boyolali)
RYAN GANANG KURNIA
NIM : C100110067
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
rian_ganang@yahoo.co.id
ABSTRAK
Mafqud adalah orang yang hilang, terputus beritanya, tidak diketahui tempat
tinggalnya, dan tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah mati. Mafqudnya
suami merupakan salah satu dari berbagai faktor yang mendorong putusnya ikatan
perkawinan. Hilangnya suami membuat seorang isteri diliputi rasa ketidakjelasan
tentang status hukum yang dimilikinya, sehingga seorang isteri memutuskan
untuk menggugat cerai suaminya yang belum jelas diketahui kabar beritanya.
Berdasarkan latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
status hukum isteri dengan suami mafqud dan untuk mengetahui proses
penyelesaian perkara perceraian karena suami mafqud di Pengadilan Agama
Boyolali. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris yaitu
suatu penelitian dimana yang diteliti adalah data sekunder yang kemudian
dilanjutkan dengan penelitian terhadap data-data primer di lapangan.
Kata kunci: perceraian karena suami mafqud, proses perceraian karena suami
mafqud, Pengadilan Agama Boyolali
ABSTRACT
Mafqud is a person who is missing,unrepotedly doesnt know where he lived in,
whether he still alive or die. Husband Mafqud is one of many factors that
encourage sever the bond of marriage. The loss of husband made wife was
suffused with a sense of uncertainty about her legal status, thus wife decide to
divorce her husband who is unclear and unknown his report. Based on this
background, this research has purpose to know legal status of wife with mafqud
husband and to know settlement process of the lawsuit because mafqud husband
in the Religious Courts of Boyolali. This research uses of approach method
empirical juridical that is a research which used secondary data and then to
following by a research of primary data in the field.
Keywords :Divorce becouse of Huband Mafqud, Process of the Divorce because
Husband Mafqud, Religious Court of Boyolali
1
2
PENDAHULUAN
Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap
penting dalam kehidupan manusia dan telah dijalani selama berabad-abad pada
suatu kebudayaan dan komunitas agama. Sebagaimana orang menganggapnya
sebagai peristiwa sakral, sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian yang
diusahakan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup.1
Kehidupan berkeluarga atau pernikahan hanya akan terjadi melalui
perkawinan yang sah, baik menurut agama maupun ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.2 Berdasarkan konsepsi perkawinan menurut Pasal 1 ayat
(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa yang
dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pokok kehidupan rumah tangga adalah ketenangan, ketentraman dan
kontinuitas. Islam mengatur hubungan ini dengan segala perlindungannya yang
menjamin ketenteraman dan kontinuitas tersebut sehingga mencapai tingkatan taat
yang tinggi.3 Berkaitan dengan ikatan pernikahan, Allah Swt menyebutnya (dalam
Al-Qur’an surat Al-Nisa’: 21) sebagai mitsaqon ghalidhan (perjanjian yang amat
kuat). Dan karenanya, setiap upaya untuk meremehkan ikatan suci ataupun
memperlemahnya, apalagi memutuskannya adalah sangat dibenci oleh agama.4
1 Wasman & Wadah Nuromiyah 2011, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (perbandingan
Fiqh dan Hukum Positif), Yogyakarta: Teras, hal. 279. 2 Zuhdi Muhdlor, 1995, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai, Rujuk), Bandung:
Al Bayan, hal. 14. 3 Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, 2009, Fiqh Munakahat
(khitbah, Nikah dan Talak), Jakarta: Amzah hal. 251. 4 Muhammad Bagir Al-Habsyi, 2002, Fiqih Praktis Menurut Al-quran, s-Sunnah dan Pendapat
para Ulama, Bandung, Mizan, hal.181.
2
3
Realita kehidupan manusia membuktikan bahwa terdapat faktor yang
mendorong ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Banyak hal yang dapat
meruntuhkan bahtera rumah tangga sehingga berusaha untuk mempertahankannya
adalah sesuatu yang sia-sia. Tidak jarang pula ditemukan bahtera rumah tangga
yang saling membenci antara suami dan isteri.
Dewasa ini dengan berjalannya waktu, di Indonesia terdapat beberapa
profesi yang mengharuskan seorang suami meninggalkan isteri dan anak untuk
mencari nafkah atau menjalankan tugas negara dengan jangka waktu yang cukup
lama. Salah satu kekhawatiran seorang isteri adalah ketika suami yang pergi untuk
sekian lama menghilang tanpa diketahui beritanya dan meninggalkan
kewajibannya sebagai seorang suami. Sehingga menimbulkan kerugian lahir dan
batin bagi isteri dan anak yang ditinggalkan.
Suami yang hilang (mafqud/ghoib) tentunya akan menimbulkan berbagai
persoalan baru bagi rumah tangga. Hilangnya seorang suami akan membuat
seorang isteri diliputi rasa ketidakjelasan tentang status hukum yang dimilikinya.
Sehingga tidak jarang seorang isteri memutuskan untuk menggugat cerai
suaminya yang belum jelas diketahui kabar beritanya. Dalam hal ini terdapat
perbedaan antara proses perceraian yang dikarenakan tidak adanya kabar dari
suami (suami mafqud) dengan proses perceraian dengan alasan lainnya.
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: pertama, untuk
menjelaskan status hukum seorang istri dengan suami mafqud. Kedua, untuk
menjelaskan proses penyelesaian perkara perceraian karena suami mafqud di
Pengadilan Agama Boyolali.
4
Tujuan Penelitian ini adalah adalah pertama untuk menjelaskan status
hukum seorang istri dengan suami mafqud. kedua untuk menjelaskan proses
penyelesaian perkara perceraian karena suami mafqud di Pengadilan Agama
Boyolali.
Manfaat penelitian ini adalah pertama, dengan adanya penelitian ini
penulis berharap dapat mengembangkan pengetahuan dalam bidang hukum Islam
dan menjadi bahan referensi bagi penelitian penelitian selanjutnya yang tentu
lebih mendalam khususnya mengenai permasalahan perceraian. Kedua, dengan
adanya penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai bingkai cara
berfikir, cara bertindak untuk senantiasa mengutamakan kebijaksanaan dalam
mengambil suatu keputusan berkaitan dengan permasalahan perceraian.
Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu sesuatu penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala yang lain.5 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode pendekatan yuridis empiris. Metode ini menggunakan data
sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan dengan data primer
atau data di lapangan.6
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Status Hukum Seorang Istri dengan Suami Mafqud
Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna hilang. Dikatakan
faqadtu asy-syai’a idzaa adha’tuhu (saya kehilangan bila saya tidak mengetahui
5 Khudzalifah Dimyati & Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Fakultas
hokum Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal. 3. 6 Amiruddin & Zainal Askin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, hal. 133.
5
dimana sesuatu itu berada). 7 Berkaitan dengan apa yang harus dilakukan seorang
isteri dengan suami mafqud, terdapat beberapa perbedaan pendapat diantara
beberapa ulama mazhab.
Pertama, bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya
hendaknya sabar dan tidak boleh menuntut cerai. Ini adalah pendapat madzhab
Hanafi dan Syafi’iy. Mereka berdalil bahwa pada asalnya pernikahan antara kedua
masih berlangsung hingga terdapat keterangan yang jelas, bahwa suaminya
meninggal atau telah menceraikannya.8
Mazhab Hanafiah berpendapat bahwa orang yang hilang tidak diketahui
rimbanya dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati dengan melihat orang
yang sebaya di wilayahnya atau tempat tinggalnya. Apabila orang-orang di tempat
tinggalnya yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputus sebagai
orang yang telah meninggal, dalam riwayat lain dari Abu Hanifah, menyatakan
bahwa batasnya adalah 90 (Sembilan puluh) tahun. Selain itu mazhab Syafi’i juga
berpendapat bahwa batas waktu orang hilang adalah 90 (sembilan puluh) tahun,
yakni melihat umur dari orang yang sebaya di wilayahnya. Namun pendapat yang
paling shahih menurut anggapan Imam Syafi’i ialah batas waktu tersebut tidak
dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi cukup dengan apa yang dianggap
dan dilihat oleh Hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati.
Karena menurut Imam Syafi’i, seorang Hakim hendaknya berijtihad kemudian
7 Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2013, Hukum Waris Dalam Islam, Jawa Barat: PT. Fathan Prima
Media, hal. 176 8 Wahbah Zuhaili, 2006, Al Fiqh Al- Islami Wa Adillatuhu, Juz. 9, Damaskus: Dar Al- Fikr, hal.
7187
6
memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak diketahui rimbanya sebagai orang
sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu.9
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam
mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud. pertama, berdasarkan bukti-bukti
yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu
ketetapan hukum. Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk
memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka
Hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status
kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud dah hilang status
mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqi. Kedua berdasarkan
tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa. Dalam
kondisi seperti ini, Hakim menghukuminya sebagai orang yang telah meninggal
secara hukumi setelah berlalunya waktu yang lama, karena masih ada
kemungkinan orang tersebut masih hidup.10
Kedua, bahwa seorang istri yang ditinggal lama oleh suaminya, dan
merasa dirugikan secara batin, maka dia berhak menuntut cerai. Ini adalah
pendapat Imam Hambali dan Imam Maliki.11
Mazhab Hambali berpendapat bahwa menceraikan antara orang yang
hilang dan isterinya adalah didasarkan pada menolak kemelaratan terhadap isteri
yang suaminya sudah hilang dan meninggalkannya dan berhadapan dengan
9 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit, hal.177-178
10 Sayyid Sabiq, 2006, Fiqih Sunnah, Jilid 4, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin dari “Fqh Al
Sunnah”, Jakarta: Pundi Aksara, hlm. 87 11
Muhammad Abu Zahrah dalam Budi Santoso Slamet, 2013, “Analisis Pendapat Ibnu Qudamah
tentang Penentuan Masa Tunggu sebelum Iddah bagi Istri yang Suaminya Mafqud”, skripsi, Fakultas
Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Walisongo, Semarang hal. 19
7
kepahitan hidup sendirian, apabila isteri itu masih muda, tentu ia tidak dapat
menjaga dirinya dari faktor-faktor yang berada disekelilingnya.12
Adapun mazhab Maliki memiliki pendapat bahwa batas seorang
dinyatakan hilang atau mati adalah 70 (tujuh puluh) tahun. Hal ini didasarkan
pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad
saw. antara 60 (enam puluh) hingga 70 (tujuh puluh) tahun.
Kemudian menurut Imam Malik dalam kitab Al-Muwatha’ menyatakan
sebagai berikut:
“Telah menceritakan kepadaku Yahya dari Malik dari Yahya bin Sa'id
dari Sa'id bin Musayyab bahwa Umar bin Khattab berkata; "Seorang
wanita yang kehilangan suaminya dan tidak mengetahui keberadaannya,
maka hendaklah dia menunggunya selama empat tahun. Kemudian
menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari dan setelah itu
boleh menikah lagi." Malik berkata; "Jika dia menikah setelah masa iddah
selesai, kemudian suaminya (kedua) telah menggaulinya atau belum
menggaulinya, maka suami pertama tidak berhak lagi atasnya." Malik
melanjutkan, "Inilah yang berlaku di kalangan kami selama ini. Namun
jika suaminya datang sementara dia belum menikah lagi, maka suaminya
lebih berhak atas dirinya." Malik kembali melanjutkan, "Saya mendapati
sekelompok orang mengingkari pendapat yang dilontarkan sebagian
kelompok terhadap Umar bin Khattab, ketika ia mengatakan 'Diberikan
pilihan bagi suaminya yang pertama, untuk mengambil maharnya atau
kembali pada isterinya'." Malik berkata; "Telah sampai pula kepadaku
pendapat Umar bin Khattab mengenai seorang wanita yang diceraikan
suaminya yang sedang pergi, lalu dia ruju' lagi kepadanya. Namun
ruju'nya tersebut tidak sampai pada pihak isteri, dan hanya kabar
talaknya sampai kepada isterinya, kemudian isteri menikah lagi dengan
lelaki lain. Jika suami yang kedua telah menggaulinya atau belum
menggaulinya, maka suami yang pertama yang telah mentalaknya, tidak
ada lagi hak atasnya." Malik berkata; "Pendapat ini adalah pendapat
yang aku pandang paling baik dalam hal ini dan dalam hal suami yang
hilang.”
Mazhab Hambali juga berpendapat bahwa apabila yang hilang itu dalam
keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti terjadi peperangan, atau menjadi
12
Sjaich Mahmoud Sjaltout, Sjaich M. Ali as-Sajis, 1973, Perbandingan Mazhab dalam Masalah
Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, hal 217
8
salah seorang penumpang kapal yang tenggelam maka hendaknya dicari
kejelasannya selama empat tahun. Apabila empat tahun juga belum diketemukan
maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga dengan
isteri, ia dapat menempuh iddahnya dan ia boleh menikah lagi setelah masa
iddahnya selesai.13
Namun apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal
seperti pergi berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu maka Imam Ahmad
dalam hal ini memiliki pendapat. Pertama, menunggu sampai diperkirakan
umurnya mencapai 90 (sembilan puluh) tahun sebab sebagian besar manusia
umurnya tidak mencapai atau tidak melebihi 90 (sembilan puluh) tahun. Kedua,
menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad Hakim, kapan saja Hakim memvonisnya
maka itu yang berlaku.14
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam tidak mengatur secara jelas mengenai apa yang harus dilakukan
seorang isteri dengan saumi mafqud. Akan tetapi didalam Undang-undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam diatur secara jelas
mengenai dasar atau alasan perceraian.
Pasal 38 Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Pasal 38 yang menyatakan bahwa: “Perkawinan dapat putus
karena a) kematian, b) perceraian dan c) atas keputusan Pengadilan”. Pasal 39
yang menyatakan bahwa: (1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada 13
Ibid, hal. 212 14
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit, hal 178
9
cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami isteri.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 114 yang berbunyi “Putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian”. Melakukan suatu perceraian sebagaimana
halnya harus disertai dengan alasan-alasan dapat diterima oleh penerima atau
instansi Pengadilan khususnya Pengadilan Agama, dimana telah diatur dalam
Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 116.
Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan pihak yang
terlibat dalam menangani kasus perceraian karena suami mafqud di Pengadilan
Agama Boyolali diperoleh data bahwa seorang isteri dengan suami mafqud tidak
diperbolehkan untuk menikah lagi sebelum adanya putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap. Hal ini dimaksudkan untuk memjamin asas kepastian
hukum. Sehingga apabila sewaktu-waktu suami yang dinyatakan sebagai mafqud
tersebut kembali, seorang isteri tidak merasa kebingungan dengan status
hukumnya. Jangka waktu dua tahun yang digunakan sebagai batas minimal
pengajuan gugatan perceraian merupakan hasil dari ijtihad Hakim yang
didasarkan pada pendapat Ulama Mazhab dan hukum positif yang kemudian
dikaitkan dengan realita yang terdapat di lapangan. Adanya putusan yang lebih
cepat akan memberikan nuansa kepastian hukum bagi isteri yang ditinggalkan.15
Berdasarkan uraian di atas baik dari data wawancara dan studi pustaka
penulis menyimpulkan bahwa seorang isteri dengan suami mafqud masih
15
Asrori, Hakim Pengadilan Agama Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 15 April 2015
10
merupakan isteri sah dari suami mafqud, tetapi apabila isteri merasa dirugikan dan
merasa hak-haknya tidak terpenuhi karena mafqudnya suami maka seorang isteri
dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan dengan batas minimal dua
tahun setelah suami dinyatakan mafqud dan tidak memenuhi kewajibannya
sebagai seorang suami. Apabila sang isteri menghendaki untuk menikah lagi maka
harus menunggu hingga adanya putusan perceraian dari pengadilan dan
menunggu hingga masa iddahnya selesai.
Proses Penyelesaian Perkara Perceraian karena Suami Mafqud di
Pengadilan Agama Boyolali
Proses penyelesaian perkara perceraian atau proses beracara di pengadilan
agama sebenarnya sama dengan proses perceraian pada umumnya yaitu
berpedoman pada HIR, kecuali beberapa perkara yang bersifat khusus. Ketentuan
ini dapat dilihat dalam Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3
tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009
yang menyatakan bahwa: “Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam Undang-undang.”
Berdasarkan data hasil wawancara yang dilakukan penulis dengan Hakim
Pengadilan Agama Boyolali diperoleh data bahwa proses penyelesaian perkara
perceraian karena suami mafqud memiliki sedikit perbedaan dengan penyelesaian
11
perkara perceraia dengan alasan lainnya yaitu terdapat pada proses pemanggilan
para pihak.16
Dasar hukum yang digunakan oleh Pengadilan Agama Boyolali berkaitan
dengan pemanggilan dalam perkara perceraian karean suami mafqud adalah:
Pertama, Pasal 390 ayat (3) HIR yang menyatakan bahwa:
“Tentang orang yang tidak diketahui tempat diam atau tempat tinggalnya dan
tentang orang yang tidak dikenal, maka surat juru sita itu disampaikan kepada
bupati, yang dalam daerahnya terletak tempat tinggal orang yang mendakwa,
dan dalam perkara pidana, yang dalam daerahnya berkedudukan hakim yang
berhak; bupati itu memaklumkan surat juru sita itu dengan menempelkan pada
pintu utama di tempat persidangan hakim yang berhak itu. (RBg. 718) ”.
Kedua, Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 juga diatur
mengenai tatacara pemanggilan para pihak yaitu sebagai berikut:
(1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam Pasal 20 ayat
(2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan
pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa
surat, kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. (2)
Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media
tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu
bulan antara pengumuman pertama dan kedua. (3) Tenggang waktu antara
panggilan terakhir sebagai dimaksud ayat (2) dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan
sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir,
gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak
atau tidak beralasan.
Ketiga, Pasal 139 ayat (1) sampai ayat (4) KHI yang berbunyi sebagai
berikut:
(1) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak
mnempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan
Agama dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar
atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama. (2)
Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media
tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu
satu bulan, antara pengumuman pertama dan kedua. (3) Tenggang waktu
antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
16
Asrori, Hakim Pengadilan Agama Boyolali, Wawancara Pribadi, Boyolali, 15 April 2015
12
persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya tiga bulan. (4) Dalam hal
sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau
kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat
kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
Dari beberapa dasar hukum di atas dapat disimpulkan bahwa untuk
pemanggilan tergugat (suami mafqud) dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Pertama, Jurusita Pengadilan Agama Boyolali menempelkan surat gugatan atau
surat panggilan (relaas) pada papan pengumuman Pengadilan Agama Boyolali.
Kedua mengumumkan melalui beberapa surat kabar atau mass media sebanyak
dua kali dengan tenggang waktu satu bulan.
PENUTUP
Kesimpulan
Status Hukum Seorang Istri dengan Suami Mafqud
Pertama, status hukum seorang isteri dengan suami mafqud yaitu masih
menjadi isteri sah dari suami tersebut sebelum terdapat putusan perceraian dari
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Isteri dengan suami mafqud secara
tidak langsung hak-haknya sebagai seeorang isteri tidak terpenuhi, dengan
keadaan tersebut maka isteri memiliki beberapa pilihan baginya untuk
melanjutkan kehidupan pernikahannya yaitu memilih untuk tetap bersabar dan
menjalani hidup tanpa adanya suami atau memutuskan untuk melakukan gugatan
perceraian ke pengadilan.
Kedua, bagi seorang isteri yang memutuskan untuk mengajukan gugatan
perceraian ke Pengadilan ia terlebih dahulu harus menunggu hingga beberapa
waktu tetentu sampai suami terseut dapat dinyatakan sebagai suami mafqud.
Sehingga mafqudnya suami ini dapat dijadikan sebagai alasan bagi isteri untuk
13
mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan Agama
Boyolali mensyaratkan waktu dua tahun sehingga seorang suami dinyatakan
sebagai suami mafqud sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada saat ini.
Proses Penyelesaian Perkara Perceraian karena Suami Mafqud di Pengadilan
Agama Boyolali
Proses penyelesaian perkara perceraian karena suami mafqud di
Pengadilan Agama Boyolali tidak jauh berbeda dengan proses penyelesaian
perkara perceraian dengan alasan yang lain. Perbedaannya hanya terletak pada
proses pemangggilan para pihak, terutama pemanggilan kepada pihak tergegat
(suami mafqud). Pemanggilan ini dilakukan dengan cara;
Pertama, Jurusita Pengadilan Agama Boyolali menempelkan surat
gugatan atau surat panggilan (relaas) pada papan pengumuman Pengadilan
Agama Boyolali.
kedua, Mengumumkan melalui beberapa surat kabar atau mass media
sebanyak dua kali, Dengan rincian antara pengumuman pertama dan kedua diberi
tenggang waktu satu bulan, sedangkan dari pengumuman ke dua dengan hari
sidang pertama berjarak sekurang-kurangnya tiga bulan, sesuai dengan hukum
positif.
Saran
Pertama, Pihak isteri sebaiknya berusaha terlebih dahulu untuk mencari
keberadaan suami yang dianggapnya mafqud. Karana tidak menutup
14
kemungkinan dengan usaha tersebut pihak isteri dapat menemukan sang suami
sehingga dapat menjalani kehidupan sepeti sediakala.
Kedua, bagi seorang isteri dengan suami mafqud yang menginginkan
untuk mempunyai pendamping hidup kembali dengan cara menikah lagi dengan
orang lain, sebaiknya pihak isteri mengajukan gugatan perceraian terlebih dahulu
ke pengadilan agar lebih jelas status hukumnya. Kemudian barulah pihak isteri
dapat menikah setelah adanya putusan Hakim dan masa iddahnya selesai.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali Ash-Shabuni, Muhammad, 2013, Hukum Waris Dalam Islam, Jawa Barat: PT.
Fathan Prima Media.
Al-Habsyi , Muhammad Bagir, 2002, Fiqih Praktis Menurut Al-quran, s-Sunnah
dan Pendapat para Ulama, Bandung, Mizan.
Amiruddin dan Zainal Askin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dimyati, Khudzalifah dan Kelik Wardiono, 2004, Metode Penelitian Hukum,
Surakarta: Fakultas hokum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyid Hawwas, 2009, Fiqh
Munakahat (khitbah, Nikah dan Talak), Jakarta: Amzah.
Muhdlor, Zuhdi, 1995, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai,
Rujuk), Bandung: Al Bayan.
Sabiq, Sayyid, 2006, Fiqih Sunnah, Jilid 4, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin
dari “Fqh Al Sunnah”, Jakarta: Pundi Aksara.
Sjaltout, Sjaich Mahmoud dan Sjaich M. Ali as-Sajis, 1973, Perbandingan
Mazhab dalam Masalah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang.
Slamet, Budi Santoso 2013, Analisis Pendapat Ibnu Qudamah tentang Penentuan
Masa Tunggu sebelum Iddah bagi Istri yang Suaminya Mafqud, Skripsi,
Semarang, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam, IAIN Walisongo.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, 2009, Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Nuansa
Aulia.
Wasman dan Wadah Nuromiyah 2011, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
(perandingan Fiqh dan Hukum Positif), Yogyakarta.
Zuhaili, Wahbah, 2006, Al Fiqh Al- Islami Wa Adillatuhu, Juz. 9, Damaskus: Dar
Al- Fikr.
Undang-undang
Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R)
16
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 dan perubahan
kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pradilan
Agama.
Recommended