View
230
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Perjuangan Ekonomi-Politik Generasi Muda Nahdlatul Ulama (NU):
Studi atas Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Muhammad Nashirulhaq
NIM. 11141120000049
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
v
ABSTRAK
Skripsi ini mencoba menganalisis visi ekonomi-politik FNKSDA melalui
pisau analisa sosialisme dan politik agraria populisme sebagai antitesis dari
akumulasi dalam kapitalisme, khususnya yang dalam waktu mutakhir berwujud
kapitalisme ekstraktif. Selain itu, skripsi ini juga berusaha menelisik strategi
perjuangan FNKSDA dalam upayanya mewujudkan tujuannya, terutama dalam
penguatan internal dan hubungannya dengan gerakan lain. Penelitian ini bertujuan
menjelaskan satu pandangan ekonomi-politik sekelompok generasi muda yang
terafiliasi kelompok keagamaan tertentu, dan kemudian diejawantahkan dalam
perjuangan yang diupayakan melalui gerakan yang mereka dirikan dan motori.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan
data melalui wawancara mendalam (in-depth interview), studi dokumentasi, dan
observasi partisipatoris dengan mengamati langsung kegiatan-kegiatan kelompok
FNKSDA. Setelah data terkumpul, lalu diolah dan dianalisis menggunakan
kerakan teori berupa ekonomi-politik sebagai operasionalisasi konsep, akumulasi
dalam kapitalisme dan kapitalisme ekstraktif untuk melihat struktur dan corak
ekonomi-politik yang ada hari ini, serta sosialisme dan politik agraria populisme
sebagai tawaran FNKSDA atas tata-kelola SDA.
Dari hasil analisis menggunakan kerangka ini, didapat bahwa paradigma
pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia tidak bergeser jauh,
meskipun aktor-aktor dan mekanismenya sudah berganti. Jika di masa Orde Baru,
Soeharto dan orang-orang dekatnya menjadi pemain utama dan disebut oligark
yang sultanistik (Winters, 2011), maka di era otonomi daerah pasca-Reformasi
hari ini, justru semakin banyak aktor “politiko-birokrat predatoris” yang muncul
di tingkat daerah sebagai ekses dari desentralisasi kekuasaan (Hadiz & Robison,
2004). Tatanan oligarkis yang ditandai akumulasi kekayaan segelintir pihak ini
akan menguntungkan para pemilik modal yang mengekspansi ladang usahanya
terutama dalam sektor industri ekstraktif.
Industri ekstraktif yang bertumpu pada penguasaan ruang dan lahan ini
laluu mau tak mau akan meminggirkan rakyat banyak dan mencerabut mereka
dari tanah sebagai alat produksi mereka yang kebanyakan adalah petani. Di desa-
desa, banyak petani yang harus menghadapi tantangan ini adalah nahdliyyin yang
mayoritasnya memang bergantung pada sektor agraris. Namun kenyataan ini tak
mendapat respon memadai dari organisasi induk Nahdlatul Ulama itu sendiri. Hal
inilah yang mendorong sekelompok anak muda NU membentuk wadah tersendiri
di luar NU, namun tetap terafiliasi secara kultural dengannya, yang memfokuskan
diri pada isu ekonomi-politik guna menghadang laju kapitalisme ekstraktif.
Melihat tak berdaulatnya rakyat atas sumber daya alam mereka sendiri,
maka FNKSDA mempunyai visi jangka panjang akan kedaulatan masyarakat pada
tata kuasa SDA, yang lalu diturunkan dalam konsep tata milik, tata kelola, dan
tata guna. Tawaran FNKSDA atas pengelolaan SDA adalah model kooperasi di
mana rakyat sendiri yang menguasaai, mengelola, dan mengatur kekayaan alam.
Kata Kunci: FNKSDA, Generasi Muda NU, Fiqh Agraria, Kapitalisme
Ekstraktif, Politik Agraria Populisme, Kedaulatan SDA, Sosialisme.
vi
KATA PENGANTAR
Meskipun seperti tampak di muka, skripsi ini diajukan sebagai prasyarat
untuk memperoleh gelar S.sos, tapi penulis mengerjakan karya ilmiah ini dengan
sangat serius, dan tidak sekadar untuk menjadi “penghias” perpustakaan. Peneli-
tian yang dilakukan pun bukan semata didasarkan atas motif “keingintahuan” atau
jargon netral lain yang bertumpu pada paradigma “ilmu untuk ilmu”, yang
sebenarnya menyimpan selubung liberalisme dalam dunia kademis.
Skripsi ini ditulis sebagai sebentuk penghargaan terhadap mereka yang tak
mencari ekspos dan popularitas, dan bergerak dalam sunyi untuk memperjuang-
kan visi pembebasan. Banyak di antara mereka yang mempunyai kemapanan
dalam hal akademik maupun finansial, tetapi merelakan diri untuk “bunuh diri
kelas” dengan penuh kesadaran bahwa di luar mereka, masih banyak orang-orang
yang dikalahkan, dimarjinalkan, bahkan ditindas dan diperas.
Penelitian ini tak akan mencapai bentuknya yang sekarang jika bukan
karena usaha yang keras, rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dan dukungan
dari berbagai pihak, secara individual maupun kolektif. Untuk itu penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zulkifli, MA sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatulla Jakarta.
2. Dr. Iding Rosyidin Hasan selaku Ketua Prodi Ilmu Politik beserta Ibu Suryani, M.
Si selaku sekretaris Prodi Ilmu Politik.
3. Bapak Dr. A. Bakir Ihsan, selaku dosen pembimbing skripsi yang selalu sabar dan
tidak mengenal bosan dalam memberikan pencerahan kepada penulis selama
vii
proses penulisan skripsi ini. Terima kasih Pak Bakir atas segala kritik masukan
yang konstruktif dan membuka ruang dialektis selama proses bimbingan
berlangsung di tengah kesibukannya.
4. Seluruh dosen Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah yang memberi banyak
pengetahuan dan ilmu selama proses kuliah berlangsung.
5. Untuk ayahanda Muhammad Hamdan Rasyid dan Ibunda Uswatun Hasanah yang
berjasa besar selama hidup penulis, yang telah memberikan cinta dan kasih sayang
tanpa putus serta memotivasi penulis. Semua yang keduanya berikan menjadi
semangat besar bagi penulis dan berperan besar dalam penyelesaian skripsi.
6. Terima kasih pula untuk keluarga besar, terutama santri-santri Pondok Pesantren
Baitul Hikmah, tempat penulis mengabdi sebagai pendidik selama tiga tahun
terakhir. Merekalah yang—meskipun menyita sebagian waktu penulis—menjadi
teman dan saksi bagi proses penulisan skripsi ini sejak awal.
7. Terima kasih kepada kawan-kawan FNKSDA, terutama yang penulis temui dalam
momen Pesantren Agraria Cirebon Raya. Mereka yang kebanyakan berasal dari
“daerah” dan kampus-kampus “tak ternama”, menyadarkan penulis akan betapa
arogannya mahasiswa-mahasiswa Jakarta, yang sebenarnya hanya “besar mulut”.
8. Juga kepada kawan-kawan yang di tengah jalan, dengan caranya masing-masing,
membantu proses penyusunan skripsi, terutama dengan menyediakan data-data
yang diperlukan: Bung Wahyu Eka Setiawan (FNKSDA Surabaya dan Walhi
Jawa Timur), Bung Muslih Bahamoed (Koordinator FNKSDA Yogyakarta), Bung
Oden (juga dari Yogya), dan Bung Usman (Koordinator FNKSDA Banyuwangi).
viii
9. Tak lupa, kepada para interlokutor, yang selain informasinya yang berharga, juga
memberi banyak pelajarah hidup bagi penulis: Gus Syatori, Gus Fayyadl, Gus
Roy Murtadho, Gus Faiz, Bung Bosman Batubara, dll.
10. Kepada kawan-kawan Editor Islam Bergerak alias Editor Pravda, saya bangga
menjadi bagian dari mereka: Mbak Rizki Affiat, Bib Azhar Irfansyah, Mas
Taufiq, Bung Gegen, Bung Toni Malakian sang ilustrator handal, Bung Khalid,
Gus Irza, dan tentu saja Gus Riza.
11. Kawan-kawan Forum Islam Progresif (FIP) Jakarta, tempat penulis menimba
banyak ilmu dan bertemu banyak sosok “intelektual” yang begitu rendah hati.
Terutama: Bung Yazid, Bung Fajar, Fathimah Fildzah Izzati (peneliti LIPI), dan
tentu saja Iqra Anugrah, sang kandidat doktor ilmu politik dari North Illinois
University, tempat penulis banyak menimba pengetahuan.
12. Teman-teman Kolektif Kaji Dialektika (KKD) yang sementara ini sedang vacuum:
Bang Fathun Karib, sosok dosen yang tak berjarak, dan sama sekali tak feodal
serta sangat egaliter pada kami yang masih pemula ini. Banyak konsep dalam
skripsi ini yang saya pelajari dalam diskusi-diskusi teks di KKD.
13. Kamerad-kamerad Sarekat Studen Demokratik (SS-Dem) dan Diskusi Ekonomi
Politik. Yang saya rasa perlu disebut: Bung Yusuf, Bung Edo, Bung Diki, Kawan
Nje (satu dari sedikit presiden Dema/HMJ yang tidak kariris dan masih mau
“turun ke bawah”), Bung Adam , Bung Haidar, Bung Alif Faiz, Bung Tomo,
Bung Chendy, Bung Villarian, dll. Keteguhan, komitmen, dan militansi kalian
begitu menggetarkan dan mengagumkan saya.
ix
14. Teman-teman seperjuangan selama menjalankan KKN Bersama di Cengkong
Abang, Mendo Barat, Kabupaten Bangka. Tak lupa juga perangkat desa dan
warga di sana. Kehangatan mereka rasanya masih begitu lekat di ingatan.
15. Kawan-kawan sekelas di Ilmu Politik B 2014 yang semakin jarang bertemu di
semester-semester akhir.
16. Juga kawan-kawan HIMAPOL 2016, DEMA FISIP 2017, Dismapol, dan Inter-
Major Forum (IMF) Discussion. Saya pernah menjadi bagian dari mereka,
meskipun pada akhirnya saya harus menelan pil pahit kekecewaan akan betapa
jumudnya iklim kampus hari ini.
Demikian ucapan terima kasih penulis sebesar-besarnya yang mungkin belum
bisa membalas kebaikan hati mereka. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk
kemaslahatan rakyat. Terakhir penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk
pembaca yang selalu ditunggu-tunggu kritik dan masukan bermanfaatnya.
Depok, 4 Desember 2017
Muhammad Nashirulhaq
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...........................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................iv
ABSTRAK ..........................................................................................................v
KATA PENGANTAR ........................................................................................vi
DAFTAR ISI .......................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................xii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................1
B. Pertanyaan Penelitian ..............................................................................14
C. Tujuan & Manfaat Penelitian ..................................................................15
D. Tinjauan Pustaka .....................................................................................16
E. Metode Penelitian ....................................................................................23
F. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................24
G. Teknik Analisis Data ...............................................................................25
H. Sistematika Penulisan .............................................................................26
BAB II KERANGKA TEORI
A. Ekonomi-Politik ......................................................................................28
B. Kapitalisme, Akumulasi, dan Akumulasi Primitif ..................................33
C. Kapitalisme Ekstraktif .............................................................................38
D. Sosialisme ...............................................................................................44
E. Politik Agraria Populisme .......................................................................50
BAB III PROFIL FNKSDA
A. Proses Berdirinya FNKSDA ...................................................................54
xi
B. Motivasi Bergabung dan Aktif dalam FNKSDA ....................................68
C. Pola Keorganisasian dan Keanggotaan dalam FNKSDA .......................78
BAB IV VISI EKONOMI-POLITIK FNKSDA & STRATEGI
PERJUANGANNYA
A. Ketimpangan & Konflik Agraria di Indonesia Mutakhir ........................82
B. Ekonomi-Politik & Kapitalisme Ekstraktif Sebagai Isu Utama FNKSDA
.................................................................................................................90
C. Kedaulatan dalam Tata Milik, Tata Guna, dan Tata Kelola sebagai Visi
Ekonomi-Politik FNKSDA .....................................................................93
D. Fiqh Agraria dan Fiqh SDA sebagai Landasan Perjuangan ....................109
E. Bahtsul Masa’il, Halaqah, dan Tradisi Nahdliyyin Sebagai Metode ......123
F. Merumuskan Strategi Hubungan dengan NU & Organisasi Lainnya .....129
G. Visi tentang Bentuk & Strategi Gerakan di Masa Mendatang ................137
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................143
B. Saran ..........................................................................................................148
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................150
LAMPIRAN .......................................................................................................157
xii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 3.1: Deklarasi FNKSDA dan rilis pernyataan sikap Resolusi Jihad
Jilid II di Tebuireng, Jombang .................................................................... 67
2. Gambar 3.2: Pesantren Agraria Cirebon Raya, pengkaderan FNKSDA yang
paling terakhir dilaksanakan ....................................................................... 77
3. Gambar 4.1: Diskusi yang diadakan FNKSDA menyoal konsep kedaulatan
negara dalam kasus Freeport ....................................................................... 101
4. Gambar 4.2: Kajian rutin Das Capital oleh FNKSDA Bandung ................ 109
5. Gambar 4.3: Penyampaian materi Fiqh Agraria dalam Pesantren Agraria
Cirebon Raya, Oktober 2017....................................................................... 110
6. Gambar 4.4: Shalawat Marhaen yang disusun oleh Muhamad Al-Fayyadl 123
7. Gambar 4.5: Salah satu kegiatan keagamaan yang dilakukan FNKSDA ... 128
8. Gambar 4.8: Rilis dukungan Forum Kiai Muda Jateng atas pendirian pabrik
semen di Kendeng, Rembang. ..................................................................... 132
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Orientasi Politik Agraria ........................................................................... 52
Tabel 3.1: Daftar basis NU yang menghadapi konflik Sumber Daya Alam .............. 60
Tabel 4.1: Susunan jenis tata kelola air berdasarkan peran kunci rakyat ................ 107
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak berdirinya, Nahdlatul Ulama (NU) telah mendeklarasikan diri sebagai
jam‟iyyah diniyyah islamiyyah (organisasi keagamaan Islam) yang bertujuan
mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama‟ah (Aswaja) berdasarkan empat
madzhab. Namun demikian, bukan berarti NU sebagai ormas keagamaan hanya
membatasi diri berkutat di isu-isu agama an sich dan menutup mata dari
persoalan-persoalan di bidang lain, sepersi ekonomi, politik, dan problem sosial-
kemasyarakatan.1
Hal ini terlihat, misalnya, dalam Anggaran Dasar pertama yang diputuskan
pada tahun 1930, yang menyebutkan bahwa salah satu upaya NU adalah “mendiri-
kan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian dan perniagaan jang
tiada dilarang oleh sjara‟ agama Islam”.2 Klausul ini dengan jelas menunjukkan
perhatian NU pada urusan perekonomian organisasi maupun para anggotanya.
Tentu penting pula untuk diingat, bahwa kelahiran NU didahului oleh berdirinya
beberapa organisasi yang juga bergerak di berbagai sektor, seperti Nahdlatul
Wathan yang bercorak nasionalis, Tashwirul Afkar yang bergerak di bidang
pendidikan, dan yang utama tentu saja Nahdlatut Tujjar yang berfungsi mirip
seperti koperasi bagi para saudagar kecil.3
1 Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Solo: Duta Aksara
Mulia, 2010 [1985]), hlm 19. 2 Dikutip dari lampiran dalam buku Martin van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa,
dan Pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1994), hlm 307. 3 Untuk literatur yang khusus membahas tentang Nahdlatut Tujjar, baca: Jaringan Komisi
Fatwa Surabaya, Sekilas Nahdlatut Tujjar (Surabaya-Yogyakarta: Jarkom Fatwa; Pustaka
2
Karenanya, tak mengherankan jika dalam perjalanannya sampai hari ini, NU
kerap kali menaruh perhatian pada isu-isu di luar isu keagamaan an sich,
meskipun tetap meninjau suatu masalah dengan kacamata agama. Menurut
seorang Indonesianis yang diakui otoritasnya dalam kajian tentang NU, Martin
van Bruinessen, puncak dari perhatian serius NU pada problem-problem kemasya-
rakatan, terutama yang berkaitan dengan sosial-ekonomi, terjadi pada tahun 1980-
an sampai menjelang pergantian milenium pada tahun 1990-an, ketika NU berada
di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak kemenangannya
sebagai Ketua Umum PBNU pada Muktamar ke-26 di Situbondo (1984).4
Di tahun-tahun itu, menurut van Bruinessen, terdapat “pencarian wacana-
wacana baru” di kalangan generasi muda NU, yang ditandai dengan suatu proses
pembaruan pemikiran, khususnya dalam bidang keagamaan, yang begitu dinamis
dan jauh berkembang bila dibandingkan dengan generasi pendahulunya. Hal ini
karena, muktamar NU pada tahun 1984 tidak saja menandai kepemimpinan Gus
Dur, tetapi juga tonggak kembalinya NU ke khittah dan keluarnya NU dari
gelanggang politik praktis yang telah diikuti NU semenjak menjadi partai.
Pada muktamar sebelumnya di Semarang pada 1979, anggota muda NU
memunculkan konsep yang disebut syu‟un ijtima‟iyyah atau kepedulian sosial
sebagai wacana alternatif terhadap politik praktis. Artinya bahwa NU harus
memberikan pelayanan sosial yang lebih kepada warganya, dan tak sekedar
pelayanan keagamaan semata. Meskipun konsep ini kemudian ditafsirkan secara
Pesantren; dan LKiS, 2004). Literatur ini menjadi salah satu bahan bacaan dalam pengkaderan
FNKSDA, khususnya dalam sesi materi “Kooperasi dan Kemandirian Ekonomi”. Penulis
berterimakasih kepada Bung Bosman Batubara yang telah memberikan literatur ini. 4 van Bruinessen, NU, terutama pada Bab 8.
3
beragam, sebagian besar kelompok muda NU memahaminya dalam kerangka
keadilan sosial dan pemberdayaan masyarakat ekonomi lemah. Hal ini terungkap
secara eksplisit, bahwa NU harus memberi sumbangsih dalam
“proses demokratisasi, upaya penghapusan kebodohan, kemiskinan dan
keterbelakangan, upaya untuk membentuk rule of law dan membela keadilan,
upaya untuk memelihara sumber daya alam dan melindunginya dari
pengrusakan, penyalahgunaan, dll”.5
Selain dipicu kekecewaan terhadap politik praktis yang dijalankan NU,
gagasan pembaharuan ini juga muncul seiring dengan semakin banyaknya kader
muda NU yang terlibat dalam ornop (organisasi non-pemerintah) yang bergerak
dalam isu serupa (pemberdayaan masyarakat dan keadilan sosial) pada dasawarsa
1970-an. Abdurrahman Wahid, misalnya, memulai debut intelektualnya dengan
terlibat dalam proyek pengembangan masyarakat pedesaan dari lembaga yang
yang sangat produktif ketika itu, LP3ES (Lembaga Penelitian dan Pengembangan
Ekonomi dan Sosial). Selain itu masih ada nama-nama lain, seperti Abdullah
Syarwani atau Said Budairi.6 Wahid sendiri selalu menekankan keyakinannya
bahwa NU harus memainkan peranan dalam masalah-masalah sosial-ekonomi,
dan jika tidak, kehadirannya niscaya tidak relevan.7
Selain melalui proyek pemberdayaan masyarakat yang diinisiasi secara
kerjasama dengan berbagai lembaga lain, upaya mengarahkan orientasi kepada
syu‟un ijtima‟iyyah tadi juga dilakukan secara tak langsung melalui halaqah-
halaqah (lingkar studi), yang diadakan secara rutin, baik oleh NU secara
kelembagaan atau oleh lembaga yang terafiliasi dekat dengan NU, utamanya P3M
5 Ibid, hlm 250.
6 Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan : Permulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia
(Jakarta: Mizan, 2012), hlm 390. 7 van Bruinessen, NU, hlm 197.
4
(Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), dengan Masdar F.
Mas‟udi (mantan pemimpin mahasiswa dan salah satu pemikir NU paling populer
ketika itu) sebagai tokoh utamanya.
Majelis-majelis halaqah ini memusatkan perhatian pada topik yang berkaitan
dengan masalah sosial-politik dan problem kemasyarakatan yang selama ini telah
terabaikan oleh para ulama NU. Mereka menggelar diskusi-diskusi untuk
membahas tema ini dan mencetak publikasi-publikasi guna menyebarluasakan
gagasan mereka. Para pengorganisir halaqah ini memang mempunyai tujuan
ganda. Pertama, untuk membuat ulama semakin peka terhadap problem-problem
sosial-ekonomi. Di sisi lain, mereka juga ingin memperluas wacana fiqh yang ada,
sehingga mampu mengungkapkan problem-problem masyarakat yang sedang
berkembang dan menyatakan solidaritas kepada mereka yang lemah dan tertindas
sebagai sebuah keprihatinan keagamaan.8
Seperti sudah terlihat dari watak dan komitmennya terhadap pembelaan
masyarakat lemah, halaqah ini seringkali membahas masalah yang terbilang peka
dan sensitif, termasuk ketika mereka memperlihatkan keberpihakan terhadap
kelompok tertindas yang berhadapan dengan pemerintah. Yang paling menge-
muka, misalnya, ketika marak kasus pengambilan tanah oleh negara dan peng-
gusuran penduduk desa untuk pembangunan, yang memuncak pada Kasus
Kedungombo (proyek pembangunan bendungan besar yang menyebabkan banyak
masyarakat tergusur tanpa ganti rugi memadai).
8 Ibid, hlm 224, 229.
5
Hal ini direspon dengan mengadakan halaqah pada Oktober 1993, yang
membicarakan masalah tanah, termasuk isu pengambilalihan tanah oleh negara
untuk tujuan-tujuan pembangunan dan penggusuran para penghuninya. Halaqah
ini kemudian melahirkan rumusan dan kumpulan tulisan yang diberi judul
“Teologi Tanah”.9 Kesimpulan dan rekomendasinya cukup radikal untuk ukuran
saat itu, ketika kekuasaan Orde Baru masih cukup kuat. Salah satunya
menyatakan,
“Dari segi teori, dapat disimpulkan bahwa ideologi developmentalisme/
pembangunanisme yang melatarbelakangi program-program pemerintah
dalam kenyataannya sudah menggeser ideologi Pancasila. Penerapan
ideologi developmentalisme telah memunculkan berlapis-lapis masalah, yang
kesemuanya memfokus pada terjadinya ketidakadilan sosial. Ideologi pemba-
ngunan telah mengakibatkan proses makin tersingkirnya orang-orang yang
sudah di tepi (marginalisasi); semakin termiskinkannya orang-orang yang
sudah miskin; dan semakin tak berdayanya orang-orang yang sudah kurang
berdaya”.
Sebelumnya, halaqah ini juga membicarakan “Agama dan Hak Rakyat” pada
Mei 1993.10
Kesimpulannya juga tegas: bahwa negara harus menghargai hak
rakyat, termasuk mengembalikan lahan dan tanah yang diambilalih secara paksa.
Tentu di bawah rezim otoritarian, langkah ini cukup luar biasa, apalagi dilakukan
oleh sekumpulan agamawan atau aktivis ormas keagamaan.
Selain itu, NU sendiri secara kelembagaan meresponnya melalui forum untuk
memutuskan hukum, bahtsul masa‟il, terutama di tingkat pusat, dalam kegiatan
muktamar atau musyawarah nasional (munas). Pada Bahtsul Masail Muktamar
NU Ke-29, di PP. Cipasung, Tasikmalaya, 4 Desember 1994, misalnya, NU
menetapkan bahwa penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah hanya diperbo-
9 Masdar F. Mas‟udi (ed), Teologi Tanah (Jakarta: P3M, 1994)
10 Masdar F. Mas‟udi (ed), Agama dan Hak Rakyat (Jakarta: P3M, 1993)
6
lehkan jika memang benar-benar demi kepentingan umum (al-maslahah al-
„ammah) yang dibenarkan oleh syara‟, di mana kemaslahatannya harus lebih besar
daripada mudaratnya. Selain itu harus dengan ganti rugi yang memadai. Dan cara
terbaik dalam menentukan ganti rugi penggusuran tanah ditempuh melalui
musyawarah atas dasar keadilan dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan.11
Bahtsul Masail Munas Alim Ulama di Ponpes Qomarul Huda Bagu, Pringga-
rata, Lombok Tengah, 7-10 November 1997 memperkuat kembali sikap di atas
dengan mengeluarkan putusan bahwa “pembebasan” tanah dengan harga yang
tidak memadai dan tanpa kesepakatan dua belah pihak, tergolong perbuatan zalim
karena termasuk bai‟ al-mukrah (jual-beli yang dipaksakan) dan hukumnya haram
serta tidak sah. Dan bahwa keuntungan yang diperoleh dari proses ini hukumnya
haram, meskipun digunakan untuk membangun sarana ibadah.12
Lebih jauh, NU bahkan mendorong dilakukannya Reforma Agraria untuk
merombak struktur penguasaan tanah yang timpang melalui keputusan Bahtsul
Masail al-Diniyah al-Maudlu'iyyah Muktamar NU XXX, di PP. Lirboyo Kediri,
Jawa Timur, 21-27 November 1999. Dalam keputusan tersebut, NU merekomen-
dasikan pemerintah untuk memberikan Hak Tanam atas tanah negara yang
menganggur kepada petani yang kekurangan atau tak memiliki lahan dalam
jangka panjang. Hal ini mengingat kecilnya lahan yang dimiliki rata-rata petani,
yaitu kurang dari 0,5 hektar.13
11
Lajnah Ta‟lif wa al-Nasyr PBNU, Ahkam al-Fuqaha‟: fi Muqarrarati Jam‟iyyati Nahdhatil
Ulama (Solusi Problematika Aktual Hukm Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes
Nahdlatul Ulama 1926-2010) (Surabaya: Khalista, 2011), hlm 507. 12
Ibid, hlm 548. 13
Ibid, hlm 576.
7
Dalam hal tata kelola sumber daya alam (SDA) yang menjadi hajat hidup
orang banyak, seperti air, tanah, hutan, dan energi, NU juga dengan tegas menolak
adanya privatisasi dan “menegur” pemerintah yang memberi konsesi-konsesi
penguasaan SDA pada pihak swasta tertentu. Dalam keputusan Bahtsul Masail
PWNU Jawa Timur di PP Bahrul Ulum Tambak Beras, Jombang, 25-27 Februari
2014 dengan tegas dinyatakan,
“Sumber daya alam dalam bentuk air sungai, air laut, mata air, hasil hutan,
dan garam yang terkandung dalam tanah mubahah (tanah yang tidak dimiliki
oleh individu, tetapi dikuasai oleh negara) tidak boleh dimonopoli oleh
segelintir individu. Tindakan pemerintah yang memberikan hak kepemilikan &
pengaturan sumber daya alam ini kepada pihak swasta tidaklah dibenarkan.”
Keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-Qanuniyyah Muktamar NU Ke-33
di Jombang, 1-5 Agustus 2015, bahkan merekomendasikan hal yang lebih tegas,
supaya pemerintah melakukan moratorium terhadap semua izin perusahaan
berskala besar di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pesisir, serta
meninjau ulang semua kebijakan dan izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam bidang SDA. Dan agar pemerintah mengembalikan
tanah dan sumber daya air milik rakyat yang dikuasai oleh perusahaan ataupun
pemerintah kepada pemiliknya semula.14
Munculnya satu generasi muda dalam NU yang memiliki kepekaan dan
kepedulian pada isu-isu sosial-ekonomi rakyat, terutama sejak dekade 1980-an
menurut van Bruinessen, disebabkan beberapa faktor. Pertama, makin meluasnya
modernisasi pendidikan yang menyentuh kalangan NU. Salah satu wujudnya
adalah semakin berkembangnya pengadopsian sistem pendidikan berbasis kelas
14
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 NU (Jakarta: LTN NU,
2015) hlm 241.
8
dan kurikulum yang lebih modern di madrasah-madrasah di kantong-kantong NU.
Padahal sebelumnya mereka lebih akrab dengan model pendidikan pesantren
tradisional dengan penekanan utama pada penguasaan khazanah kitab klasik dan
cenderung mengabaikan “pendidikan umum”.15
Kedua, semakin banyaknya generasi muda NU yang mengenyam pendidikan
tinggi. Mereka lalu bersentuhan dengan gagasan baru yang selama ini cukup asing
bagi mereka dan generasi sebelumnya ketika di pesantren.16
Jika sebelumnya
hanya kalangan muslim modernis yang sudah menerima gagasan-gagasan
Muhammad Abduh, Jamaluddin al-Afghani, atau Rasyid Ridha, kini mahasiswa
muslim tradisionalis juga mempelajari pemikiran tokoh yang bahkan paling
mutakhir saat itu, seperti Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun, Sayyed Hossein
Nasr, dan Nasr Hamid Abu Zayd.
Meningkatnya jumlah mahasiswa berlatarbelakang NU yang bersentuhan
dengan gagasan-gagasan baru mendorong dinamika pemikiran mereka. Hal ini
sebagaimana digambarkan oleh van Bruinessen
“Terutama dalam diskusi-diskusi informal di kalangan santri tua dan
mahasiswa berlatar belakang NU, perdebatan dan pencarian sebuah wacana
baru benar-benar hidup. Banyak di antara orang muda ini sudah
berpengalaman dalam berbagai kegiatan pengembangan masyarakat, dan
memiliki kepedulian kepada masalah-masalah keadilan sosial dan
ekonomi…Diskusi-diskusi di lingkungan mereka akhir-akhir ini menjurus ke
pokok persoalan keterbelakangan Dunia Ketiga, keadilan ekonomi dan hak
asasi. Perdebatan di lingkungan mahasiswa ini akan semakin memberikan
tekanan kepada ulama di Syuriah untuk menyoroti masalah yang sama dan
memikirkan kembali banyak pandangan fiqh yang mapan”.17
15
Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Waktu
Modern (Jakarta: LP3ES, 1986). 16
Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad
ke-20 (Jakarta: Democracy Project, 2012), 17
van Bruinessen, NU, hlm 233-234.
9
Para sarajana, utamanya akademisi Barat, mengungkapkan kekaguman atas
dinamika pemikiran dan gerakan anak muda NU ketika itu. Banyak yang juga lalu
membandingkan kondisi mereka dengan situasi kelompok muda modernis, yang
selama ini diasosiasikan lebih “maju” dan “modern” dibanding kelompok NU
yang dianggap tradisionalis. Ben Anderson, salah satu Indonesianis paling
terkemuka, misalnya, menyebut generasi muda NU “showing themselves to be far
more modern than the modernist” (memperlihatkan diri mereka jauh lebih modern
dibanding kelompok modernis).18
Van Bruinessen, dalam kesempatan lain juga mengungkapkan kekagumannya
“Saya seringkali bertemu dengan orang-orang muda berlatar belakng
pesantren yang secara intelektual berpikiran lebih terbuka dan lebih besar
rasa ingin tahunya ketimbang kebanyakan modernis yang saya kenal......
Dalam kenyataannya, sebagian dari pemikir muslim paling menarik di
Indonesia berasal dari latar belakang tradisionalis, bukan modernis
….Tradisionalisme pesantren dan otoritarianisme kyai jelas tidak menghalangi
munculnya arus-arus pemikiran tandingan. Kenyataannya, saya sering
terpesona oleh kemandirian berpikir dan sikap kritis generasi muda pesantren
dibandingkan para lulusan sekolah bertipe modern di Indonesia”.19
Apa yang disebut “kemandirian berpikir” oleh van Bruinessen, menurutnya
bisa dilihat dari adanya sekelompok anak muda NU yang mengembangkan
“Marxist-inspired modes of analysing social inequalities and a progressive (and
anti-establishment) restatement of basic principles of Islam” (model analisis
ketimpangan sosial yang diinspirasi oleh Marxisme dan prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam yang sudah dikonsep ulang). 20
18
Benedict Anderson, “Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant”, New Left Review 50
(Maret-April 2008), hlm 56. 19
van Bruinessen, NU, hlm 12. 20
Martin van Bruinessen dan Farid Wajidi, “Syu‟un Ijtima‟iyyah and The Kiai Rakyat:
Traditionalist Islam, Civil Soeciety, and Social Concerns” dalam Henk Schulte Nordholt (ed.),
Indonesian Transitions (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002), hlm 212.
10
Hal yang sama juga terlihat ketika van Bruinessen menyinggung dinamika di
kalangan anak muda NU menjelang Reformasi. Ia menceritakan:
“more than their modernist peers, they were attracted to social issue such as
land conflicts, which brought them in contact with secular, leftist activists
and stimulated an interest in Marxist literature – whereas the Modernists
remained staunchly anti-communist. In 1998, the year of massive student
protest, PMII activists tended to cooperate with leftist and Christian students
rather than joining the newly established muslim student‟s action front,
KAMMI. They were active in such movements as Jakarta‟s Forkot and
Famred, that demanden the overthrow, rather than reform of the New
Order”.
“(dengan derajat) yang lebih dibanding dengan rekan modernis mereka,
mereka (kalangan muda NU) lebih tertarik pada isu-isu sosial seperti konflik
lahan, yang membuat mereka menjalin kontak dengan kelompok „sekular‟,
aktivis „kiri‟, dan dari situ mereka juga terstimulasi dan tertarik pada literatur
Marxis—di mana kelompok muda modernis masih begitu anti-komunis. Pada
1998, tahun di mana aksi protes mahasiswa berlangsung masif, aktivis PMII
cenderung bekerjasama dengan kelompok „kiri‟ dan mahasiswa Kristen, alih-
alih bergabung dengan front aksi mahasiswa muslim yang baru didirikan,
KAMMI. Mereka (kelompok muda NU) juga aktif di gerakan-gerakan seperti
Forkot dan Famred di Jakarta, yang menuntut penggantian Orde Baru, alih-
alih reformasi terhadapnya.21
Ketiga, tumbuhnya dinamika pemikiran dan gerakan dalam tubuh NU
sendiri, menurut banyak sarjana, tak bisa dilepaskan dari sosok Abdurrahman
Wahid yang memegang kendali NU sejak 1984-1999. Ia lah yang mendorong
anak muda NU untuk “mencari wacana-wacana baru” dalam berbagai bidang,
demi mendobrak kejumudan yang ada dalam NU sendiri. Selain itu, karena
pengetahuannya yang juga luas dan melebihi rata-rata tokoh tradisionalis ketika
itu, ia juga yang memperkenalkan generasi muda NU pada gagasan-gagasan baru
ini. Peran Gus Dur yang tak kalah penting adalah menjadi patron dan pelindung
21
Martin van Bruinessen, “Back to Situbondo: Nahdlatul Ulama Attitudes Towards
Abdurrahman Wahid‟s Presidency and His Fall” dalam Henk Schulte Nordholt dan Irwan
Abdullah (ed), Indonesia: in Search of Transition (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 25.
11
anak muda yang dinamis ini dari serangan generasi tua yang cenderung konserva-
tif dalam tubuh NU.22
Meskipun dalam beberapa kesempatan, NU sudah menaruh perhatian pada
isu ekonomi-politik dan kedaulatan SDA, namun hal ini dianggap belum cukup
oleh sebagian generasi muda NU mutakhir. Atas dasar itu, mereka lalu memben-
tuk satu gerakan yang mandiri dan independen dari NU, namun terafiliasi secara
kultural dengannya, dan memfokuskan diri pada perjuangan ekonomi-politik
untuk mencapai kedaulatan masyarakat dalam tata milik, tata kelola, dan tata guna
SDA. Gerakan ini mereka namai Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber
Daya Alam. Dalam lembar kerjanya, dijelaskan motif berdirinya organisasi ini.
“pada tahun 2012, melalui Konferensi Besar (Konbes) di Cirebon, PBNU di
bidang ekonomi merekomendasikan „renegosiasi kontrak-kontrak karya
pertambangan agar memberi manfaat yang lebih besar bagi pemasukan
Indonesia dan kesejahteraan warga. Elemen lain yang dekat dengan NU‟.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) malah memiliki tuntutan yang
lebih tinggi. Pada tahun 2012, PMII menuntut dilakukannya nasionalisasi
terhadap aset pertambangan dan energi. Sementara Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama (ISNU) menyatakan bahwa tujuan akhir dari tata kelola energi adalah
kedaulatan dan ketahanan energi nasional. Akan tetapi secara organisatoris,
hampir tidak ada gelombang advokasi yang masif dari kelompok NU terhadap
warga yang mengalami persoalan konflik SDA. PBNU sendiri lebih banyak
bermain di level regulasi seperti judicial review UU Migas, tetapi tidak banyak
mendorong pengurus untuk turun ke bawah.”23
FNKSDA dideklarasikan pada 9 Desember 2013 di Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang. Pendirian organisasi ini sendiri didahului oleh diskusi
tematik yang bertajuk “NU dan Konflik Tata Kelola SDA”, yang diadakan di
pendopo Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) di Yogyakarta pada 4 Juli
2013. Diskusi ini memotret berbagai kasus konflik lahan sehubungan dengan tata
22
Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan di Kalangan
Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010). 23
Lembar Kerja FNKSDA (2013), hlm 3.
12
kelola sumber daya, yang berdampak pada dan mengorbankan banyak rakyat
kecil, utamanya di daerah-daerah yang menjadi basis nahdliyyin (warga NU).
Dalam diskusi tersebut juga terungkap, dalam banyak kasus perebutan ruang
hidup yang diperjuangkan masyarakat, bahkan oleh kalangan nahdliyyin, jarang
ada pembelaan serius yang muncul dari dalam tubuh NU.
Karena itulah, salah satu hasil diskusi ini ialah kesepakatan pembentukan satu
wadah yang bergerak dalam isu tata kelola SDA, yang kemudian mewujud dalam
bentuk FNKSDA. Dalam AD/ART FNKSDA sendiri secara eksplisit disebutkan,
bahwa organisasi ini bertujuan “memperkuat dan mendukung perjuangan
ekonomi-politik dan kultural masyarakat korban konflik Sumber Daya Alam
(SDA) di Indonesia” dan “mengokohkan kedaulatan masyarakat dalam tata milik,
tata kelola, dan tata guna SDA”.24
Saat ini cabang-cabang FNKSDA yang sudah berdiri, di antaranya di
Jombang, Gresik, Probolinggo, Samarinda, Semarang, Yogyakarta, Batam, Cire-
bon, Malang, Jember, Banyuwangi, Pasuruan, Bandung, Kuningan, Surabaya, dan
Kebumen. FNKSDA memang memprioritaskan mendirikan cabang di wilayah-
wilayah kantong nahdliyyin yang sedang menghadapi konflik tata kelola SDA.
Selain mendirikan cabang-cabang, FNKSDA juga berjejaring dan beraliansi
dengan organisasi dan gerakan lain yang mempunyai satu visi. Dalam situsnya,
daulathijau.com, disebutkan bahwa organisasi ini bekerjasama dengan Sajogyo
Institute (LSM yang bergerak aktif dalam isu agraria, terutama dalam hal riset),
Yayasan Desantara, SOFI (Social Movement for Indonesia) Institue,
24
AD/ART Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam.
13
islambergerak.com, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), Lembaga Kajian
Islam dan Sosial (LKIS).25
Selain memperkuat internal organisasi dengan menggalakkan pengkaderan,
saat ini FNKSDA mencoba membangun jejaring dan menginisiasi berdirinya
Aliansi Korban Pembangunan Infrastruktur. Hal ini dengan pertimbangan bahwa
selama beberapa tahun terakhir, problem ekonomi-politik yang paling mengemuka
adalah soal-soal penggusuran, perampasan lahan, dan perebutan ruang hidup
rakyat akibat pembangunan, baik oleh korporasi maupun pemerintah.26
Dalam gerakannya, ketika merespon atau menganalisa suatu kasus, FNKSDA
menggunakan kerangka analisis ekologi dan bencana industri, serta isu utama
yang dibangun dan direproduksi adalah keselamatan warga dan kedaulatan
pangan.27
Namun demikian, dalam pengkaderan-pengkaderannya, literatur yang
menjadi rujukan adalah literatur ekonomi-politik yang mempunyai kecenderungan
sosialisme, atau bahkan jelas-jelas Marxisme.28
Selain itu, secara personal, banyak pula eksponen gerakan ini yang menggu-
nakan pisau analisa Marxisme dalam tulisan-tulisan mereka. Tulisan-tulisan ini
biasanya dimuat dalam kanal khusus yang memang disediakan untuk menampung
corak tulisan semacam ini, seperti jurnal daring (dalam jaringan/online)
indoprogress.com dan islambergerak.com.
25
www.daulathijau.org/?cat=5 26
http://www.daulathijau.org/?p=1059 27
Lembar Kerja FNKSDA, hlm 6. 28
Literatur-literatur yang digunakan dalam pengkaderan FNKSDA bisa dilihat dalam:
FNKSDA, Pedoman Pengkaderan FNKSDA (2015). Penulis berterima kasih kepada Bung
Bosman Batubara yang telah menyediakan dokumen ini.
14
Muhammad Al-Fayyadl, koordinator nasional FNKSDA, misalnya, dalam
beberapa tulisan, mencoba mengawinkan pisau analisa ekonomi-politik Marxisme
dengan khazanah keislaman tradisionalis ala nahdliyyin yang bertumpu pada kitab
turats ulama klasik. Hal ini seperti terlihat dalam tulisan “Apa Itu Islam
Progresif?”; “Mengapa Islam Progresif?”; “Membangun Keberislaman yang
Materialis: Butir-Butir Pemikiran Tentang Arah Perjuangan Ekonomi-Politik
Islam Progresif”; “Melampaui „Negara Kelas‟ dengan Islam Progresif: Pikiran-
Pikiran Baru tentang Hubungan Islam & Negara”.29
Tentu ini menjadi deviasi dan pengecualian dari kesimpulan disertasi Ahmad
Suhelmi, bahwa pada umumnya umat Islam, terutama elite politiknya bersifat
antipati terhadap segala sesuatu yang berbau “kiri”, apalagi terang-terangan
bercorak Marxis atau komunis.30
Semua hal yang dipaparkan di atas menjadi latar belakang dari penelitian
ini. Meskipun FNKSDA bisa dibaca sebagai kelanjutan dari kelompok
berkecenderungan “kiri” dalam NU yang beberapa kali disinggung van
Bruinessen, namun ia menjadi lebih menarik untuk diteliti, karena ia bukan lagi
sekadar sekumpulan orang, tetapi sudah mewujud dalam bentuk gerakan dan
organisasi yang lebih baku, formal, dan kukuh.
29
Semua tulisan ini dimuat dalam jurnal daring islambergerak.com. Masing-masing pada
tanggal 10 Juli 2015, 29 Juli 2016, 7 Oktober 2016, 24 Februari 2017. 30
Ahmad Suhelmi, Islam dan Kiri: Respons Elite Politik Islam Terhadap Isu Kebangkitan
Komunis Pasca-Soeharto (Jakarta: Yayasan SAD Satria Bhakti, 2007).
15
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, mengingat bahwa masih minimnya kajian atas
FNKSDA dan masih banyak hal-hal elementer yang belum diketahui dari gerakan ini,
maka penelitian ini akan lebih menggali aspek-aspek inti dan mendasar dalam FNKSDA
yang dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian:
a. Apa visi ekonomi-politik FNKSDA?
b. Apa langkah yang dilakukan FNKSDA untuk mendorong secara bertahap
terwujudnya visi ekonomi-politik mereka?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dan menganalisis kemunculan FNKSDA oleh kelompok muda
NU yang berfokus pada bidang ekonomi-politik, suatu sektor yang selama ini
hampir tak digarap secara serius oleh kalangan internal NU.
2. Mengetahui upaya, strategi, dan gerakan kelompok ini untuk mendorong
secara bertahap terwujudnya visi ekonomi-politik mereka.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi literatur, referensi, dan
informasi tambahan bagi peneliti yang tertarik mengkaji perkembangan pemiki-
ran, termasuk wacana keagamaan di kalangan generasi muda NU, sebagai
representasi dari kelompok keagamaan yang paling dinamis. Selain itu, penelitian
ini juga bisa melihat perkembangan lain yang cukup menarik dari variasi gerakan
16
keagamaan yang muncul di Indonesia, terutama setelah Reformasi. Yaitu
kalangan santri yang berfokus pada persoalan ekonomi-politik, suatu sektor yang
selama ini seakan jauh dari perhatian kelompok ini.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini didorong, salah satunya, karena kegelisahan penulis melihat
kelompok muslim Indonesia dari berbagai coraknya, baik yang “radikal”,
moderat, maupun liberal, yang jarang menaruh perhatian pada problem material
atau ekonomi-politik yang membelenggu umat. Kelompok muslim di Indonesia
terlalu banyak membuang energi dalam persoalan yang tidak urgen dan menjawab
kebutuhan umat, seperti isu politik identitas, perda syariah, dan semacamnya.
Penelitian ini coba menunjukkan bahwa ada corak keberislaman yang lain, yang
tak menjadikan Islam sebatas sebagai identitas, tetapi menjadikan nilai-nilainya
sebagai landasan untuk bergerak dan mencoba menjawab problem penting umat,
yaitu sistem ekonomi yang tidak berpihak kepada rakyat kebanyakan dan hanya
menguntungkan segelintir pihak (baca: kapitalisme). Karenanya, penulis berharap
hasil penelitian ini dapat sedikit berkontribusi untuk mendorong kelompok
muslim untuk lebih peka dan bersuara terhadap permasalahan ekonomi-politik.
D. Tinjauan Pustaka
Studi tentang dinamika generasi muda NU sebenarnya bukan hal yang baru
dalam NU-Studies. Namun studi-studi ini lebih banyak melihat dinamika
pemikiran keagamaan dan benturan yang terjadi antara kalangan muda yang
17
membawa pembaruan dengan generasi sebelumnya yang cenderung konservatif.
Belum banyak studi yang coba menyelami gerakan anak muda NU dalam
kaitannya dengan isu ekonomi-politik, dan yang secara spesifik menjadikan
FNKSDA sebagai objek kajian.
Ada beberapa literatur yang penulis anggap berhubungan dengan penelitian
ini. Dan meskipun sebagian di antaranya sudah membahas tentang FNKSDA,
tetapi menurut penulis terdapat beberapa hal yang belum tersentuh atau didalami,
dan coba dibahas dalam skripsi ini. Studi-studi itu akan didedah untuk
kepentingan tinjauan pustaka, dengan menganalisis pertanyaan penelitian, metode
penelitian, dan temuan penelitian masing-masing karya.tersebut.
Pertama, karya Martin van Bruinessen, Indonesianis yang dianggap sebagai
salah seorang yang paling otoritatif bicara tentang NU, berjudul NU: Tradisi,
Relasi Kuasa, dan Wacana-Wacana (LKiS, 1994). Selain buku Chairul Anam
yang berjudul Pertumbuhan dan Perkembangan NU, buku ini merupakan yang
pertama-tama membahas NU secara komprehensif, termasuk dinamika dan
perkembangan wacana di kalangan generasi mudanya.
Pertanyaan penelitian utama buku ini adalah, bagaimana dinamika pemiki-
ran dan keagamaan dalam NU serta kondisi apa yang mendorong dinamika ini,
sehingga NU—ketika buku ini ditulis—menjadi salah satu civil sosciety paling
penting yang coba mengiimbangi hegemoni Orde Baru.
Sedangkan temuan penelitian ini adalah: bahwa dinamika dalam NU
digerakkan oleh generasi mudanya yang mengalami proses “modernisasi” karena
mendapat akses informasi dan mengenyam jenjang pendidikan yang berbeda dari
18
generasi sebelumnya. Proses ini terutama dimulai sejak NU kembali ke khittah
dan memutuskan keluar dari gelanggang politik praktis. Dan dinamikanya
terutama bertumpu pada perhatian terhadap aspek sosial-ekonomi masyarakat,
khususnya nahdliyyin, dan pembaharuan pemikiran keagamaan agar relevan
dengan kondisi dunia yang semakin berubah.
Kedua, karya Djohan Effendi yang berasal dari disertasi penulisnya di
Deakin University berjudul, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana
Keagamaan di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur
(KPG, 2010). Buku ini berangkat setidaknya dari dua pertanyaan penelitian.
Pertama, bagaimana corak wacana keagamaan yang berkembang di kalangan
generasi muda NU. Kedua, faktor apa yang menyebabkan generasi muda NU bisa
mempunyai wacana keagamaan yang bagi penulis buku ini cukup progresif.
Metode penelitian yang dilakukan dalam riset ini adalah dengan kajian pustaka,
wawancara, ditambah dengan observasi untuk menangkap dinamika dalam hajat-
hajat NU seperti muktamar, forum halaqah, dan bahtsul masa‟il.
Temuan buku ini di antara adalah: bahwa pembaruan yang berkembang di
kalangan generasi muda NU tidak hendak membongkar tradisi itu sendiri, alih-
alih justru masih berlangsung dalam koridor tradisi keislaman. Contoh paling
terlihat adalah, bukannya anti-madzhab, tetapi pembaruan yang dilakukan adalah
berupa pembaruan manhaj (metodologi) penetapan hukum fiqh yang masih
merujuk pada manhaj dalam madzhab fiqh.
Sedangkan faktor yang, mendorong kemunculan gerakan pembaruan di
kalangan muda NU, menurut Djohan, ada beberapa hal. Pertama, diadopsinya
19
sistem pendidikan sekolah yang berbasis klasikal dan kurikulum di kalangan
tradisionalis. Kedua, faktor nilai-nilai yang dipegang oleh kalangan tradisionalis
sendiri, yang memberi ruang bagi dilakukannya pembaruan, seperti tergambar
dalam adagium al-muhafadzatu „ala al-qadim as-shalih wa al-akhdzu bil jadid al-
ashlah. Faktor terakhir yang disebut oleh penulis buku ini adalah kepemimpinan
Gus Dur dalam tubuh NU, yang memang cukup terbuka dengan gagasan-gagasan
baru serta apresiatif terhadap anak-anak muda yang menawarkan ide-ide
menyegarkan, sehingga juga melindungi dan menjadi patron mereka.
Ketiga, buku karya Laode Ida berjudul NU Muda: Kaum Progresif dan
Sekularisme Baru (Erlangga, 2005). Buku ini berasal dari disertasi berjudul
“Gerakan Sosial Kelompok Nahdlatul Ulama Progresif”, yang dipertahankan
penulisnya di Jurusan Sosiologi Universitas Indonesia. Karena itu, pendekatan
dan metodologi yang digunakan pun adalah teori-teori sosiologi, yang dalam hal
ini berupa teori gerakan sosial (social movement theory).
Penelitian ini mempunyai setidaknya 4 tujuan, yaitu untuk: 1) mengetahui
tipologi kelompok progresif NU; 2) mengidentifikasi kondisi-kondisi yang
menjadikan kelompok progresif NU melakukan gerakan sosial; 3) berupaya
mengetahui perkembangan dan arah gerakan kelompok NU progresif, utamanya
sejak kembali ke khittah 1926; 4) menggambarkan tentang peta faksional dalam
NU sebagai konsekwensi dari keberadaan gerakan sosial kelompok progresifnya.
Temuan penelitian ini adalah: Pertama, yang disebut oleh penulis sebagai
NU progresif adalah sekolompok nahdliyyin yang mempunyai orientasi berbeda
dan dianggap lebih maju daripada generasi NU yang lebih dulu yang dianggap
20
lebih “konservatif”. Penulisnya lalu membagi kelompok ini menjadi 3 kelompok
yang lebih kecil, dengan kecenderungannya masing-masing, yaitu progresif-
moderat, progresif-transformatif, dan progrsif-radikal.
Kedua, dalam melihat pola gerakan yang dilakukan, Laode mendaftar
beberapa strategi, seperti: penguasaan posisi strategis di NU, pelembagaan dalam
bentuk program formal, difusi gagasan melalui jaringan internal, penggunaan
kesempatan dari pola relasi dalam NU yang bersifat informal, penyebaran wacana
melalui media massa, dan berjejaring dengan berbagai kelompok lain.
Keempat, skripsi Ahmad Fikri Syahrul Mubarak di Program Studi
Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015, yang berjudul
“Gerakan Sosial-Lingkungan Pemuda NU: Studi pada Front Nahdliyin untuk
Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)”.
Skripsi ini menggunakan metode kualitatif, dengan teknik pengumpulan
data berupa wawancara mendalam (in-depth interview), observasi lapangan
dengan berpartisipasi langsung dalam kegiatan-kegiatan FNKSDA, dan studi
pustaka atas dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Pertanyaan penelitiannya hanya
satu, yaitu bagaimana para pemuda NU dalam FNKSDA menjalankan agenda-
agenda gerakan sosial-lingkungan. Penulis coba menganalisis temuan penelitian
dengan kerangka teori gerakan sosial, terutama dalam melihat mobilisasi sumber
daya (resource mobilization) berupa jejaring yang dimanfaatkan. Hasil temuan-
nya, seperti yang dituliskan oleh penulis dalam bagian kesimpulan, bahwa
FNKSDA memanfaatkan jejaring informal yang sudah ada dalam komunitas
21
nahdliyyin sebagai sumber daya, baik dalam merekrut anggota maupun dalam
menjalankan agendanya.
Penelitian ini menempatkan FNKSDA semata sebagai satu varian dari gera-
kan lingkungan yang sebenarnya sudah banyak. Penulis melihat FNKSDA sebatas
dalam kerangka gerakan sosial, sehingga hanya menelisik upaya yang dilakukan
kelompok ini dalam memobilisasi sumber daya, tapi justru tidak mendalami aspek
internal, seperti visi ekonomi-politik atau dinamika internal. Peneliti juga tidak
coba melihat keunikan dan kekhasan FNKSDA dengan isu dan gerakannya jika
dibandingkan organisasi lain dalam NU atau yang terafiliasi dengannya.
Kelima, artikel yang ditulis oleh Abdul Kodir dan In‟amul Mushoffa dalam
Karsa: Journal of Social and Islamic Culture Vol. 25 No.1 (Juni 2017), berjudul
“Islam, Agrarian Struggle, and Natural Resources: The Exertion of Front
Nahdliyin for Sovereignty of Natural Resources Struggle Towards Socio-
Ecological Crisis in Indonesia”. Sayangnya, sepertinya tulisan ini dipaksakan
terbit dalam bahasa Inggris sehingga banyak sekali kesalahan gramatikal di sana-
sini yang akhirnya menyulitkan pemahaman.
Studi yang terbilang singkat jika dibandingkan literatur sebelumnya (karena
hanya ditulis sebagai artikel jurnal) ini menggunakan metode kualitatif dengan
teknik pengumpulan data berupa studi dokumentasi dan observasi partisipatoris.
Status kedua penulisnya sebagai anggota FNKSDA Malang Raya memudahkan
mereka dalam mengakses arsip internal dan terlibat dalam kegiatan FNKSDA.
Artikel ini sendiri coba melihat landasan dan logika berpikir yang dibangun
FNKSDA sebagai dalil untuk menuntun upaya perjuangan mereka.
22
Temuan penelitian ini adalah bahwa FNKSDA mempunyai dasar bagi
perjuangannya, yang diambil (di-istinbath) dari sumber-sumber primer hukum
Islam (mashadir al-ahkam), terutama berupa Al-Qur‟an dan hadis. Dalil-dalil ini
seperti ayat yang menyatakan bahwa alam semesta merupakan ciptaan Allah yang
dititipkan penguasaannya kepada manusia selaku khalifah Allah di muka bumi.
Karenanya, sudah menjadi rtugas manusia untuk menjaga dan melestarikan alam,
dan bukan justru merusaknya dengan mengeksploitasinya tanpa memikirkan dam-
pak yang ditimbulkan dan peruntukan kekayaan alam bagi generasi mendatang.
Menurut penulis, studi ini masih bersifat permukaan dan “dangkal” karena
didasarkan pada interpretasi yang tidak mendalam atas dokumen-dokumen
FNKSDA. Bahkan setelah penulis membaca sendiri arsip-arsip primer FNKSDA,
tulisan ini jadi terkesan hanya memindahkan pernyataan-pernyataan dalam AD/
ART, Kertas Kerja, dan Lembar Kerja FNKSDA, dan mengalihbahasakannya ke
dalam bahasa Inggris.
Berangkat dari kesadaran akan kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
studi-studi lain sebelumnya, penulis coba mengisi dan melengkapinya dalam
skripsi ini, meskipun tentu saja penelitian ini mengandung kekurangannya sendiri.
Berbeda dengan skripsi Mubarak, penulis menempatkan FNKSDA tidak
sebatas gerakan sosial yang concern pada isu lingkungan. Alih-alih, penulis justru
berusaha menggali kekhasan FNKSDA. Dibanding gerakan sosial-lingkungan
lain, FNKSDA tidak bisa disamakan karena ia lahir dari rahim tradisionalisme
Islam. Tetapi, di sisi lain, ia juga tidak serupa dengan badan-badan otonom di
bawah NU, karena ia menaruh perhatian utama pada sektor ekonomi-politik.
23
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu
satu model riset yang bersifat deskriptif dan menggunakan analisis berdasar-kan
temuan di lapangan atau data-data yang bukan kuantitatif berupa statistik dan
angka-angka, seperti dokumen, arsip, dan artikel. Proses dan makna (perspektif
subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif. Landasan teori dimanfaatkan
sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. Metode
kualitatif sendiri bertujuan mengejar ketajaman dan kedalaman atas objek pene-
litian dan konteks yang melingkupinya. Diasumsikan bahwa objek penelitian me-
rupakan suatu fenomena yang harus dipahami secara mendalam. Karena sifatnya
yang interpretatif, maka peneliti dituntut untuk memahami dan mendalami
fenomena dari berbagai pendekatan dan teori yang digunakan.31
Penelitian yang dilakukan merupakan kajian mendalam terhadap kemun-
culan FNKSDA sebagai organisasi yang mewadahi kelompok muda NU yang me-
naruh perhatian serius pada persoalan ekonomi-politik. Bagaimana sekelompak
anak muda berlatar belakang santri ini bersentuhan dengan berbagai realita
ketimpangan dan konflik agraria yang begitu dengan dengan lingkungan masya-
rakat mereka, sehingga mendorong mereka berjuang di sektor ekonomi-politik
(yang jarang digeluti kalangan santri), termasuk dengan membentuk FNKSDA,
merupakan pertanyaan yang mengemuka. Namun tak cukup hanya di situ, selain
latar belakang di tingkat mikro, konteks makro juga harus dilihat sebagai
31
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar (Jakarta: PT. Indeks, 2012), hlm 7-10.
24
pendorong dari kemunculan organisasi ini sendiri. Yang dimaksud adalah kondisi
ekonomi-politik di sektor agraria yang menjadi perhatian kelompok ini sendiri.
Bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk mendrong terwujudnya visi
ekonomi-politik mereka, juga menjadi pertanyan-pertanyaan yang harus dijawab.
Selain itu, sebagai konsekuensi logis dari pilihan itu, bagaiman mereka
berhadapan dengan kalangan internal NU sehubungan dengan isu yang mereka
perjuangkan, terlebih dengan adanya elite-elite NU yang terlibat dalam eksploitasi
ekonomi-politik, merupakan suatu hal yang juga penting untuk digali.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wawancara adalah
proses tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan
atau pendapatnya mengenai suatu hal.32
Sementara itu, menurut Yakob
Vredenberg, dasar dari metode wawancara adalah pengumpulan data tentang
sikap, kelakuan, pengalaman, cita-cita, dan harapan seperti yang dikemukakan
oleh responden atas pertanyaan peneliti.33
Metode wawancara ini penting untuk
menggali konteks mengenai wacana yang sedang didiskusikan, dan untuk
mengelaborasi serta mengonfirmasi data dan temuan di lapangan.
Dalam penelitian ini, wawancara dipusatkan kepada pihak-pihak yang
terlibat langsung dalam pengorganisiran FNKSDA, yaitu para pengurus dan
32
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), hlm 1172. 33
Yacob Vredenberg, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1978),
hlm 34.
25
pegiat, baik di tingkat komite nasional maupun wilayah. Untuk menggali
kedalaman, wawancara juga menyasar pegiat-pegiat FNKSDA di tingkat lokal,
untuk menggali permasalahan lingkungan dan ekopol serta dinamika kelompok
ini dengan NU struktural di masing-masing wilayah.
Teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam atau in-
depth interview. Wawancara yang dilakukan mengambil dua bentuk, yaitu
wawancara formal dan informal. Wawancara formal berarti wawancara yang
dilakukan secara resmi berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan responden dan
direkam dengan alat perekam. Sedangkan wawancara informal dilakukan secara
kondisional dengan menyasar mereka yang terlibat dalam kegiatan FNKSDA.
b. Dokumentasi dan Studi Pustaka
Yang dimaksud dengan studi pustaka adalah penggunaan literatur yang
berkaitan dengan tema penelitian.34
Metode ini penting sebagai landasan dari data
yang ada di lapangan. Literatur ini bisa berupa dokumen dan pernyataan resmi
organisasi (terutama AD-ART FNKSDA yang selesai dirumuskan awal 2015),
publikasi, tulisan atau artikel dari aktivis gerakan ini, dan data sistematis yang
berkaitan dengan isu yang digeluti kelompok ini.
3. Teknik Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan, lalu dianalisis dengan metode analisis
data kualitatif.35
Menurut Lexy J. Moleong, analisis data kualitatif adalah upaya
analisis yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
34
Sarosa, Penelitian Kualitatif, hlm 61. 35
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi (Bandung: Rosda Karya,
2010), hlm 248.
26
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, lalu mensintesakannya,
kemudian mencari dan menemukan pola, dan menemukan apa yang penting dari
apa yang dipelajari, serta dari situ, lalu memutuskan apa yang dapat diceritakan.
Hasil wawancara dan dokumen keorganisasian FNKSDA sebagai data
primer, lalu penulis gabungkan dengan telaah atas artikel-artikel yang ditulis oleh
pegiat FNKSDA, guna mendapat jawaban dari pertanyaan penelitian berupa visi
ekonomi-politik organisasi FNKSDA serta wujud aksi yang dilakukan sebagai
pengejawantahan visi dan ideologi organisasi ini. Selain itu, data sekunder berupa
literatur dan tulisan penunjang, penulis gunakan sebagai penguat dari data primer.
Setelah semua data terkumpul, penulis mula-mula melakukan sistemati-
sasi pada data yang ada, hingga semua data tertata secara rapi dan mendetail.
Setelah itu, penulis coba menginterpretasikannya dengan cara meletakkan data-
data tadi dalam kerangka teori yang digunakan, yaitu ekonomi-politik, logika
akumulasi kapitalisme, kapitalisme ekstraktif, sosialisme, dan corak agraria
populisme yang diasumsikan punya pengaruh atas visi dan gerakan FNKSDA.
Setelah melalui proses ini, lalu kesimpulan dapat diambil. Penarikan
kesimpulan dilakukan dengan melihat pola relasi antara data dan realitas yang
terjadi dengan kerangka teori yang menjadi acuan. Sebagiannya, berupa
pembahasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk menyampaikan hasil penelitian secara sistematis, peneliti membagi
skripsi ini ke dalam 5 bab, dengan rincian sebagai berikut:
27
Bab 1 menerangkan latar belakang penelitian ini dan kenapa topik yang
dipilih, dianggap penting untuk diteliti. Selain penting, tentu penelitian ini juga
harus memberi manfaat dan mempunyai tujuan. Selain itu, untuk menjelaskan apa
yang coba dijawab penelitian ini, bagaimana cara menjawabnya (metodologi
penelitian), dan dengan cara apa data dikumpulkan.
Bab 2 memaparkan teori yang digunakan untuk menganalisis masalah
yang diteliti. Yaitu penggunaan operasionalisasi konsep ekonomi-politik (ekopol),
akumulasi primitif dan kapitalisme ekstraktif untuk melihat struktur dan corak
ekopol hari ini yang mendorong munculnya FNKSDA, serta sosialisme dan poli-
tik agraria populisme untuk menganalisis tawaran visi ekonomi-politik FNKSDA.
Bab 3 lebih bersifat deskriptif terhadap subjek yang hendak diteliti. Dalam
bab ini digambarkan profil FNKSDA, berupa proses berdirinya, motif anggota-
anggotanya untuk bergabung dengan kelompok ini, dan hal-hal internal lain
seperti pola keorganisasian dan kenggotaan dalam FNKSDA..
Bab 4 merupakan bagian terpenting dalam penelitian ini. Pada intinya, bab
ini mencoba menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan tentang visi ekonomi-
politik FNKSDA, landasan-landasan yang menjadi pijakan perjuangannya, dan
bagaimana upaya yang dilakukan kelompok ini guna mewujudkan tujuannya.
Bab 5 atau bab terakhir, berisi penarikan kesimpulan dari hasil penelitian.
Bagian ini coba mempersatukan simpul-simpul tentang latar belakang, visi
ekonomi-politik, dan gerakan serta strategi perjuangan FNKSDA.
28
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Ekonomi Politik
Cukup sulit untuk mencari konsep ekonomi-politik yang disepakati oleh para
teoretisi bidang ini. Hampir pasti, konsep ekonomi politik yang digagas oleh para
akademisi sangat kental dipengaruhi pandangan dan visi mereka sendiri tentang
bagaimana sistem ekonomi yang ideal, pandangan filosofis tentang manusia, dan
bagaimana hubungan antara ekonomi dan politik.
Samapai tahun 1880, istilah ekonomi-politik (political economy) mencakup
pada wilayah kajian tentang pemikiran sosial dalam bidang yang hari ini dikenal
sebagai ―ekonomi‖.1 Para ahli menyatakan bahwa para pemikir ekonomi klasik di
abad ke-18 dan ke-19 adalah yang pertama-tama menggunakan istilah ―ekonomi-
politik‖ dalam pengertian yang disebut di awal. Namun, uniknya, penyebutan
tokoh-tokoh ini sebagai ekonom klasik justru mulanya dilakukan oleh Karl Marx.2
Saat ini, istilah ekonomi-politik sendiri dipakai untuk merujuk banyak
pengertian. Namun, seiring dengan pasangnya dominasi mazhab ekonomi
neoklasik pada abad ke-20, istilah ini lebih sering digunakan untuk merujuk pada
pemikiran ekonomi selain neo-klasik, utamanya teori-teori Marxian. Tetapi,
selama beberapa dekade terakhir, mazhab ekonomi ortodoks (baca: neoklasik)
juga menggunakan istilah ini untuk menjelaskan logika institusi (termasuk
institusi politik) yang berlaku sesuai alur pilihan rasional (rational choice theory).
1 George Ritzer, Encyclopedia of Social Theory volume II (London: Sage Publication, 2005),
hlm 563. 2 James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm 68-69
29
Tetapi, sebagaimana banyak digunakan dalam literatur ilmu sosial, istilah
ekonomi-politik yang dipakai di sini juga lebih cenderung berada dalam kerangka
Marxian, yang masih menjadi rujukan utama dalam penggunaan istilah ―ekonomi-
politik‖ ini.3
Pada mulanya, ekonomi klasik yang muncul pada akhir abad ke-17 dan mulai
berkembang pada abad ke-18—ditandai oleh karya monumental Adam Smith, The
Wealth of Nations pada 1776—menganggap terdapat pemisahan antara ranah
ekonomi dan domain politik (negara), dan memang idealnya tak boleh ada
interaksi antara keduanya. Bahkan dalam pandangan ini, negara tidak boleh
mencampuri dan mengintervensi pasar, karena pasar bisa mempunyai hukum-
hukumnya sendiri, dan berjalan dengan mekanismenya sendiri, dan intervensi
negara terhadapnya justru akan merusak berjalannya sistem ini.
Mekanisme ini sendiri lalu dikenal sebagai prinsip ―invisible hand‖ atau
tangan tak terlihat. Artinya, meskipun seakan-akan pasar berjalan dengan anarkis
(tanpa ada otoritas yang mengaturnya), tetapi sesungguhnya individu-individu
yang terlibat di dalamnya sudah membentuk aturan-aturan tersendiri, yang
diibaratkan sebagai tangan (yang mengatur) yang tak terlihat. Dalam model ini,
seringkali dikatakan bahwa negara berfungsi minimal (minimum state) dan hanya
menjadi selayaknya ―penjaga malam‖ yang tidak punya wewenang lebih dari itu.4
Marx lalu mengkritik paradigma mereka yang coba mendemarkasikan antara
ranah ekonomi dan ranah politik. Menurut Marx, meski keduanya merupakan
ranah yang berbeda, namun domain ekonomi dan politik adalah dua entitas yang
3 Ritzer, Encyclopedia of Social Theory, hlm 563.
4 Caporaso dan Levine, Teori-Teori Ekonomi Politik, hlm 73.
30
tidak bisa dipisahkan karena saling berkait kelindan satu sama lain. Tidak ada
ekonomi yang tidak dipengaruhi ekonomi, dan tidak ada politik yang steril dari
kepentingan ekonomi.
Dalam konsep materialisme-historis ala Marx, perjalanan sejarah manusia
ditentukan oleh aspek-aspek material, alih-alih hal yang sifatnya ideasional
(seperti dalam pandangan Hegel). Karenanya, Marx lalu melakukan periodisasi
sejarah berdasarkan mode produksi (mode of production) yang ada dalam tiap
masyarakat dan tiap era. Sejak awal mula sampai era hidupnya, menurut Marx,
masyarakat (terutama dalam konteks Eropa) sudah mengalami beberapa tahap
perkembangan sejarah5, mulai dari masyarakat tribal (komunal-primitif), era
perbudakan, masyarakat feodal, sampai masyarakat borjuis.6
Dan sebagaimana dinyatakannya dalam The Communist Manifesto, dalam
setiap tahapan sejarah itu (kecuali era komunal-primitif), selalu terbentuk kelas-
kelas berdasarkan strata sosial-ekonomi, yang memiliki hubungan relasional satu
sama lain dan bersifat antagonistik, di mana satu kelas dengan kelas yang lain
memiliki kepentingan yang kontradiktif, karena ada kelas yang mengeksploitasi
dan kelas yang dieksploitasi. Karenanya, tanpa ragu ia menyatakan bahwa sejarah
manusia adalah sejarah pertentangan dan perjuangan kelas (class struggle).7
5 Hal ini dituliskannya dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideoogy: Critique
of Modern German Philosophy. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/
Marx_The_German_Ideology.pdf 6 Marx sendiri sebenarnya tak pernah menggunakan istilah ―kapitalisme‖ untuk menyebut
sistem ekonomi yang berlangsung di masa hidupnya. Kosakata yang digunakannya adalah kapital
(capital), kapitalis (capitalist), dan masyarakat borjuis (bourgeois society). Lihat: Coen Pontoh,
―Kapitalisme-Neoliberal Sebagai Proyek Kelas: Sebuah Analisis Marxis‖ Jurnal IndoPROGRESS
Vol 01 Nomor 01/2014, hlm 6. 7 Dalam adagium yang sangat terkenal, ia menyatakan ―the history of all hitherto existing
society is the history of class struggles‖. Lihat: Karl Marx dan Friedrich Engels, The Communist
31
Dalam konteks inilah sebenarnya, negara, kekuasaan, dan otoritas politik
menjadi medan pertentangan, pertarungan, dan perebutan oleh kelas-kelas yang
saling bertentangan, dan perjuangan ekonomi-politik menjadi dimungkinkan.
Seperti dinyatakan Marx dalam teks yang sama, bahwa negara dan kekuasaan
politik dalam masyarakat borjuis bersifat: ―political power, properly so called, is
merely the organised power of one class for oppressing another‖8 (kekuasaan
politik [atau negara adalah] kekuasaan terorganisasi dari suatu kelas untuk
menindas kelas yang lain). Lebih lanjut, bahkan ia menggambarkan watak
eksekutif dalam negara semacam itu, ―the executive of the modern state is but a
committee for managing the common affairs of the whole bourgeoise‖ (eksekutif
negara modern adalah sebuah komite yang mengelola kepentingan bersama kaum
borjuis secara keseluruhan, pen).9
Artinya, setidaknya dalam pandangan Marxian, dapat dipahami bahwa lagi-
lagi ranah ekonomi dan politik adalah dua hal yang relasional dan tak bisa di-
pisahkan. Kekuatan ekonomi, hampir secara otomatis akan berpengaruh terhadap
politik. Sebaliknya, kekuasaan politik juga mempengaruhi hampir semua sektor,
termasuk ekonomi. Bahkan meskipun kita bersepakat bahwa negara tidak boleh
campur tangan terhadap pasar, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa negara
memiliki kuasa atas bidang ini, dengan membuat kebijakan dan lain sebagainya.
Hal ini lebih-lebih sangat relevan dalam konteks Indonesia. Dalam banyak
kajian ekonomi-politik dalam konteks Indonesia, terutama dalam pembahasan
Manifesto, hlm 14. Diunduh dari https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/
Manifesto.pdf 8 Marx dan Engels, The Communist Manifesto, hlm 27.
9 Marx dan Engels, The Communist Manifesto, hlm 15.
32
kapitalisme di indonesia, hampir semua akademisi bersepakat bahwa kapitalisme
yang berkembang di Indonesia bukanlah kapitalisme yang ―murni‖, mandiri, dan
otonom dari kekuasaan negara. Sebaliknya, pertumbuhan kapitalisme dan kelas
kapitalis di Indonesia ditopang oleh kekuasaan negara terutama yang berwatak
otoritarian (baca: Orde Baru). Dalam literatur-literatur tersebut dijelaskan bahwa
negara memberi banyak konsesi kepada para pengusaha, bahkan tak jarang juga
bantuan pinjaman dari bank milik pemerintah, atau bahkan dari anggaran negara
sendiri. Semua ini dengan timbal balik berupa rente yang diberikan pengusaha
kepada para pejabat yang bekerja sama dengannya, terutama, dalam konteks Orde
Baru tentu saja keluarga Cendana.10
Motif keuntungan lalu menesampingkan pertimbangan-pertimbangan lain.
Tak jarang, negara memberi izin pembalakan hutan, pembukaan tambang,
pengalihan fungsi lahan untuk perkebunan komoditas yang menguntungkan, tanpa
mempertimbangkan sama sekali dampak lingkungan yang ditimbulkannya, atau
dampak ekonomi dan kehidupan masyarakat sekitar secara lebih holistik.11
Aparatus-aparatus negara, baik itu aparatus ideologis (ideological state
apparatus/ISA) maupun aparatus represif (repressive state apparatus) lalu
menjadi penyokong dari negara yang berpihak pada kelas kapitalis ini. Ideologi
10
Pembahasan tentang ini sudah muncul sejak studi eonomi-politik Indonesia yang mula-mula,
seperti karya Richard Robison yang kini menjadi klasik, tentang perkembangan kapitalisme di
Indonesia. Meskipun para akademisi berbeda secara konseptual dalam melihat fenomena ini
(sepeti Kunio Yoshihara yang menyebutnya sebagai ―kapitalisme semu‖, namun semuanya
mengamini adanya dengan fakta ini. Lihat: Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital
(Singapura: Equinox Publishing, 2009); Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara
(Jakarta: LP3ES, 1990); Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-
Soehartao (Jakarta: LP3ES, 2005). 11
Dalam sektor agraria, misalnya, beberapa dampak dari pembukaan keran kapitalisme oleh
negara ini menyebabkan berbagai konflik agraria dengan masyarakat di masa itu. Selengkapnya
baca: Noer Fauzi Rahman, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia
(Yogyakarta: Insist Press, 1999), hlm 197.
33
developmentalisme lalu menjadikan pembangunan sebagai sesuatu yang tak boleh
diganggu gugat. Siapa yang coba mennghalangi pembangunan, meskipun mereka
adalah masyarakat yang terdampak ekses pembangunan, akan dicap sebagai anti-
pembangunan dan musuh negara. Tak jarang, untuk melancarkan pembangunan,
alat-alat koersif negara dikerahkan dengan menggunakan kekerasan, semisal
dalam kasus warga yang menolak penggusuran.
Dengan bekal pemahaman semua ini, bisa diandaikan bahwa negara,
khususnya Indonesia tidaklah netral dalam persoalan ekonomi-politik. Terlebih
dalam keadaan negara yang masih tersandera oleh kepentingan kelompok oligarki,
maka negara tentu akan cenderung berpihak kepada mereka.12
B. Kapitalisme, Akumulasi, dan Akumulasi Primitif
Berdasarkan data yang dirilis Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam
Catatan Akhir Tahunnya pada 2016 lalu, selama satu tahun tersebut, sedikitnya
terjadi 450 kasus konflik agraria dengan luasan wilayah mencapai 1.265.027
hektar dan melibatkan sampai 84.745 KK di seantero wilayah di Indonesia.
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang ―hanya‖ mencatat 252 konflik
agraria, maka kenaikannya hampir mencapai dua kali lipat. Karenanya, jika dirata-
rata, hampir setiap hari terjadi konflik agraria dengan rerata luas wilayah sekitar
7.756 hektar.
Untuk lebih memahami watak konflik ini, penting juga untuk ditelisik faktor-
faktor utama dari kemunculannya. Berdasarkan data yang sama, dinyatakan
12
12
34
bahwa kebanyakan konflik terjadi akibat sektor perkebunan yang ―menyerobot‖
lahan masyarakat, dengan angka mencapai 163 konflik (36,22%), selanjutnya ada
sektor properti yang menyentuh angka 117 konflik (26,00%), sektor infrastruktur
dengan jumlah 100 konflik (22,22%), sektor kehutanan sebanyak 25 konflik
(5,56%), sektor tambang sampai 21 konflik (4,67%), dan sektor migas sebanyak 7
konflik (1,56%).13
Artinya, dari data-data tersebut dapat terlihat, bahwa dalam berbagai kasus
konflik agraria yang muncul di Indonesia, hampir keseluruhannya diakibatkan
korporasi di berbagai sektor, yang coba ―mencaplok‖ lahan milik masyarakat,
baik secara langsung, maupun setelah upaya ―ganti-rugi‖ yang ditolak warga.
Kenyataan ini seperti diamini sendiri oleh KPA, dengan menyatakan ―tanah dan
SDA masih dipandang sebagai kekayaan alam yang harus dikelola oleh investor
skala besar, baik nasional maupu asing‖. Selain itu, penyebab lannya, menurut
KPA adalah ―korupsi dan kolusi dalam pemberian konsesi tanah dan sumber daya
alam‖, suatu praktik yang, kita tahu, sudah bertahan setidaknya sejak Orde Baru.
Hampir mustahil rasanya untuk memahami persoalan-persoalan ekonomi-
politik yang berkaitan langsung dengan kehdupan rakyat, seperti seperti konflik
agraria yang diakibatkan korporasi di atas, tanpa memahami salah satu logika
utama yang berjalan dalam sistem kapitalisme, yaitu konsep tentang akumulasi.
Menurut Marx dan kalangan Marxian, berbeda dengan corak produksi
primitif yang bertujuan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan orang-orang
yang bekerja, dalam mode produksi kapitalisme, suatu komoditas dihasilkan oleh
13
Konsorsium Pembaruan Agraria, Catatan Akhir Tahun 2016 Konsorsium Pembaruan
Agraria: Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria Dibelokkan (Jakarta: KPA, 2016),
hlm 4.
35
kelas kapitalis dari alat-alat prosuksi (means of production) yang terdiri dari bahan
baku (raw materials), mesin, dan tenaga kerja (labor force). Tujuannya, bukan
lagi semata-mata mencukupi kebutuhan hidup, tetapi adalah mencari keuntungan
(profit motive). Karenanya, tak heran jika komoditas yang dihasilkan pun bisa
sangat banyak, melebihi dari kebutuhan itu sendiri.
Dalam proses membeli dan mengolah means of production ini menjadi
komoditas, kelas kapitalis menggunakan privilesenya berupa kepemilikan modal
dan alat produksi, berhadapan dengan kelas pekerja yang tak mempunyai apa-apa
selain tenaga dan kemampuan yang dijualnya kepada kelas kapitalis tadi. Setelah
menghasilkan komoditas, maka kelas kapitalis akan menjualnya dengan tujuan
profit, sehingga ia harus menjualnya dengan nilai lebih dari modal yang
dikeluarkannya untuk berproduksi tadi. Surplus yang diterimanya dari penjualan
komoditas tadi, akan digunakannya untuk mengakumulasi kekayaannya dengan
cara menanamkan modalnya kembali dalam proses produksi lainnya.
Logika ini diformulasikan Marx dalam rumusan matematis:
M = money/uang Lp = Labor Power/tenaga kerja
C = commodity/komoditas Mp = Means of Production/alat produksi
P = production/produksi M’ (▲M) = more money/lebih banyak uang
Proses yang digambarkan dalam ilustrasi di atas menjelaskan bahwa dengan
uangnya (money) sebagai modal/capital, seorang kapitalis pertama-tama akan
membeli komoditas awal untuk berproduksi, berupa alat produksi dan tenaga
kerja. Komoditas tadi lalu akan menjalani proses produksi yang menghasilkan
36
komoditas baru, yang lalu dijual di pasar. Penjualan ini akan menghasilkan
keuntungan berupa nilai lebih yang nanti akan diakumulasikan lagi. Sehingga
proses akumulasi kapital yang berjalan terus menerus dan tak berhingga.
Karenanya, menurut M.C. Howard dan J.E. King, sistem kapitalisme
dicirikan oleh beberapa hal yang tak terpisah satu sama lain. Di antaranya adslah
adanya hasrat dan kehendak untuk mengakumulasi kekayaan tanpa batas, dengan
mengeksploitasi tenaga kerja dan terhadap alam, yang melintasi batasan teritorial,
dan waktu. Dan sebagai konsekuensi dari kehendak akumulasi ini, kapitalisme
berwatak ekspansionis, dengan cara memperluas operasinya ke wilayah baru atau
suatu masyarakat yang sebelumnya tak terpenetrasi oleh sistem ini.14
Dalam teori tentang tahap perkembangan masyarakat, khususnya dalam
menjelaskan transisi dari mode produksi feodalisme menuju kapitalisme, Marx
menyebutkan bahwa ada satu proses yang menjadikan relasi kerja yang dikenal
hari ini (baca: relasi upahan) menjadi mungkin.
Secara singkat, ketika terjadi peralihan dari feodalisme menuju kapitalisme
(yang menurut Marx dimulai sejak abad ke-16), masyarakat lalu tercerabut dari
alat produksi, terutama berupa tanah, dan teralienasi darinya, sehingga
penguasaan alat produksi ini menjadi terkonsentrasi di tangan segelintir orang,
yang oleh Marx disebut sebagai kelas borjuasi.15
Proses ini menyebabkan kelompok-kelompok masyarakat yang tak memiliki
alat produksi, tak memiliki pilihan lain selain menjadu pekerja yang menyerahkan
14
M.C. Howard, dan J.E. King, The Political Economy of Marx (New York: New York
University Press, 1985), hlm 8. 15
Dalam Communist Manifesto, Marx dan Engels menyebut pemilik alat produksi sebagai
kelas borjuis, dan yang tidak memiliki alat produksi sebagai kelas proletariat. Marx dan Engels,
The Communist Manifesto, hlm 14.
37
tenaganya kepada kelas borjuis untuk dipertukarkan dengan upah, yang menjadi
alat pemenuhan kebutuhan subsistennya untuk bertahan hidup dan memulai lagi
proses kerja upahan keesokan harinya. Pembahasan tentang akumulasi kekayaan
kelompok pemodal tidak bisa dilepaskan dari tema ini, karena proses inilah yang
menjadi awal dari tahapan akumulasi bisa terjadi dan dimungkinkan.16
Proses
pencerabutan kelompok masyarakat dari alat produksinya yang memaksanya
menjual tenaganya ini sering disebut proses ―proletarianisasi‖ atau proses yang
dialami seseorang yang sebelumnya tidak terikat dalam hubungan kerja subordinat
dengan orang lain, lalu kemudian menjadi proletariat.
Karena lagi-lagi proses ini juga menjadi bagian dari proses akumulasi,
beberapa kali Marx juga menyebutnya sebagai akumulasi primitif (primitive
accumulation). Artinya, suatu proses awal yang memungkinkan terjadinya
akumulasi secara berkelanjutan. Oleh David Harvey, konsep ini dikembangkan
lebih lanjut. Ia sendiri menyebut proses ini sebagai ―accumulation by
disposession‖ karena menurutnya, proses awal dalam akumulasi ini tak jarang
menggunakan cara-cara brutal, kekerasan, ancaman, intimidasi, bahkan dengan
memanfaatkan aparatus koersif milik negara.17
Dengan memahami hal ini, maka kita tidak bisa mengisolir konflik agraria
yang dijelaskan di awal sebagai konflik biasa. Dalam konflik tersebut terdapat
pertaruhan jangka panjang berupa alat produksi milik masyarakat, yang jika
berhasil dicerabut dari mereka, maka juga akan memiliki konsekuensi panjang
16
Karl Marx, The Grundrisse (edited by David McLellan) (New York: Harper Toch Books,
1971), hlm 49. 17
David Harvey, The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press, 2003). Terutama
dalam Bab 4 yang secara khusus berbicara tentang accumulation by disposession.
38
bagi kehidupan mereka, keluarga, dan keturunan mereka. Kesadaran akan hal
inilah, salah satunya, yang mendorong FNKSDA untuk ―melibatkan diri secara
aktif dalam perjuangan masyarakat korban konflik SDA melawan kekuatan
kapitalisme‖, seperti termaktub dalam AD/ART mereka.
C. Kapitalisme Ekstraktif
Hampir semua pembicaraan tentang kapitalisme ekstraktif tidak bisa
dilepaskan dari nama James Petras. Hampir semua kajian tentang tema ini selalu
merujuk pada namanya. Hal ini karena, bisa dibilang, Petras menjadi akademisi
pertama yang coba menteorisasikan apa yang kemudian disebutnya sebagai
extractive capitalism/imperialism secara rigid dan sistematis, terutama melalui
karya masterpiece-nya yang ditulisnya bersama Henry Veltmeyer, Extractive
Imperialism in the Americas: Capitalism‟s New Frontier.
Menurutnya, selama lebih dari satu dekade terakhir, satu bentuk baru dari
kapitalisme telah muncul yang menandai era yang disebutnya “post-Washington
Consensus”. Bentuk baru kapitalisme ini diindikasikan oleh beberapa perubahan.
Yang paling mencolok, menurutnya berupa ledakan permintaan akan komoditas
primer, yang menyebabkan gelombang masuknya investasi asing, guna mencari
pasokan sumber daya alam, dengan cara mengakuisisi lahan-lahan di negara dunia
ketiga dan proses ekstraksi sumber daya alam, mulai dari fosil dan biofuel, sampai
mineral industri dan logam mulia.
Perkembangan kapitalisme dan imperialisme mutakhir ini, menurutnya, bisa
dideskripsikan secara representatif dengan istilah yang oleh para ahli ekonomi
39
disebut “extractivism‖. Ia sendiri mengartikan extractivism yang dihubungkannya
dengan konsep kapitalisme ekstraktif sebagai,
“economic development based on the extraction of natural resources such
as fossil and biofuels, minerals and agro-food products extracted in a
process of „large-scale investment in land acquisition‟ (or, in the discourse
of critical agrarian studies, „landgrabbing‟).
(pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada proses ekstraksi sumber daya
alam seperti fosil dan biofuel, mineral, dan produk agro-foods yang
diekstraksi dalam satu proses investasi skala besar dengan cara mengakuisisi
lahan (atau, dalam diskursus studi agraria kritis, proses ini disebut
landgrabbing alias perebutan atau perampasan lahan) 18
Extractivism ini sendiri akan memunculkan satu rezim yang bergantung pada
kapitalisme ekstraktif, yang oleh Paul Gellert disebut sebagai extractive regime.
“An extractive regime is defined by its reliance on extraction of multiple
natural resources in the formation of an economic and political order that is
also supported by global and regional forces… The extractive regime relied
on a combination of developmental and predatory practices in which states
“extract at the expense of society”. The combination has, in turn, been
supported by exports of multiple extractive commodities, including oil, gas,
timber, and minerals.
(Rezim ekstraktif didefinisikan dari ketergantungannya pada beberapa
sumber daya alam dalam formasi ekonomi dan tatanan politik yang juga
didukung kekuatan global dan regional…Rezim ekstraktif bergantung pada
kombinasi dari pembangunan dan praktik-praktik predatoris, di mana negara
melakukan esktraksi ―dengan mengorbankan masyarakat’. Kombinasi ini
didukung oleh ekspor beberapa komoditas ekstraksi, termasuk minyak, gas,
kayu, dan mineral).19
Ekstraksi sumber daya alam sendiri bisa terbagi menjadi beberapa sektor,
seperti ekstraksi pertambangan (mining extraction), ekstraksi di sektor perikanan
(fisheries extraction), ekstraksi kayu dan hasil hutan (timber and forestry
extraction), dan ekstraksi hasil pertanian dan perkebunan (agro-extraction).
18
James Petras & Henry Veltmeyer, Extractive Imperialism in the Americas: Capitalism‟s New
Frontier (Leiden: Koninklijke Brill nv, 2014), hlm 1. 19
Paul Gellert, ―Extractive Regimes: Toward a Better Understanding of Indonesian
Development‖, Rural Sociology 75(1), 2010, hlm 28–29.
40
Sebenarnya, boleh dibilang tak ada yang baru dalam proses ini. Baik
extractivism maupun strategi yang digunakan berupa ekspor komoditas primer
dari satu negara sudah menjadi bagian dari sejarah kapitalisme dan imperialisme
itu sendiri. Proses ini selalu berarti penjarahan. Barang-barang rampasan20
dari
kekayaan masyarakat berupa sumber daya alam, ditransfer dari daerah perifer
(yang umumnya adalah negara dunia ketiga ata negara berkembang) menuju pusat
dari sistem ini (baca: neoliberalisme dan kapitalisme global) dengan tujuan untuk
akumulasi modal atau memperkaya pemegang kekuasaan.
Namun, yang baru dari corak mutakhir ini, menurut Petras & Veltmeyer
adalah kondisi, struktur, keadaan (circumstances) dan aktor yang berbeda dari
proses serupa sebelumnya. Dalam proses pengambilalihan alias perampasan lahan
dan sumber daya (land and resource grabbing) hari ini, yang tak bisa dilepaskan
adalah peran yang dimainkan oleh MNCs/TNCs (multi-national corporations/
trans-national corporations) sebagai agensi utama yang menjadi operator dari
tatanan kapitalisme global hari ini. Juga peran negara-negara kuat dalam
mengembangkan dan menyokong perburuan sumber daya dan upaya-upaya
ekstraksi lainnya.
Operasi dari korporasi-korporasi ini dalam mengembangkan apa yang oleh
Petras disebut sebagai extractive capital, dan dukungan yang disediakan oleh
negara-negara imperial telah memunculkan satu dinamika baru dalam
perkembangan kapitalisme dimana kekuatan-kekuatan lalu bermunclan, baik yang
mendukung proses ini, maupun yang resisten terhadapnya.
20
Petras & Veltmeyer menggunakan dua kosakata yang sebenarnya mempunyai arti mirip,
yaitu plunder dan looting, untuk merujuk pada barang rampasan. Extractive Imperialism, hlm 19.
41
Ekspansi dari extractive capitalism dalam satu dasawarsa terakhir ini, bisa
dijelaskan sebagai respon dari (pe)modal dan negara atas kesempatan ekonomi
(economic opportunities) yang disediakan oleh kenaikan permintaan global atas
kebutuhan energi, mineral, dan hasil sumber daya alam lainnya. Menurut Petras &
Veltmeyer, kapitalisme ekstraktif juga tak bisa dilepaskan dari krisis finansial
yang menghantam negara-negara Barat, sehingga banyak pemilik modal yang
mengalihkan modalnya di sektor riil berupa industri ekstraktif ini.
Hal ini diamini oleh Gellert, yang menyatakan bahwa meskipun mungkin
praktik serupa ini bukanlah fenomena baru, tetapi ―An extractive regime is not a
timeless or abstract form of capitalist development but a historically produced
and concrete form.‖ (rezim ekstraktif tidaklah tak terbatas waktu atau merupakan
satu bentuk abstrak dari tahap perkembangan kapitalisme, tetapi suatu fenomena
yang diproduksi secara historis dan merupakan bentuk konkret). Gellert sendiri
coba menganalisa fenomena ini dengan menggunakan world-system analysis.
Sehingga baginya, proses ekstraksi dan ekspor yang terjadi ini merupakan
sebentuk pemenuhan kebutuhan bahan baku (raw materials) oleh negara-negara
inti (core) kapitalisme yang dilayani oleh negara-negara pinggiran (periphery).
Karenanya, untuk memahami Rezim Ekstraktif secara utuh, baginya sangat
diperlukan ―understandings of the hierarchical workings of global capitalism and
hegemonic power‖ (pemahaman akan kerja yang hierarkis dari kapitalisme global
dan kekuatan hegemonik).
Biasanya, untuk menyokong stabilitas ekonomi yang dihasilkan melalui
ekstraksi tadi, rezim ini bergantung pada dominasi politik dan legitimasi guna
42
mempertahankan diri dalam jangka waktu yang panjang. Ariel Heryanto,
misalnya, mencatat bahwa salah satu kata kunci yang digunakan oleh Orde Baru,
selain Pancasila adalah ―pembangunan‖ (development). Dengan dalih ini, semua
yang menentang program pemerintah akan dicap ―anti-pembangunan‖ dengan
konotasi yang buruk dan resiko yang tidak sederhana.21
Guna mendorong permintaan dan pasar akan produk ekstraksi SDA ini,
pemodal besar, negara-negara kuat, dan organisasi perekonomian global (seperti
IMF, WTO, dan World Bank, yang sering disebut unholy trinity), mendorong
banyak negara, terutama negara-negara berkembang, untuk menggenjot
pembangunan (development) terutama berupa infrastruktur, yang diklaim akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jadi, ada kaitkelindan yang sangat erat
antara industri ekstraktif dan pembangunan infrastruktur.
Di Indonesia, hal ini terlihat misalnya dari rencana pembangunan pabrik dan
penambangan semen di Pegunungan Kendeng, yang meliputi wilayah Pati dan
Rembang, yang saat ini masih pada tahap pembangunan pabrik. Padahal,
berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan Asosiasi Semen Indonesia,
tercatat bahwa sejak 2015, produksi semen di Indonesia sudah surplus dan
melebihi kebutuhan. Artinya, produksi semen terus digenjot untuk memenuhi
kebutuhan pasar dunia yang sedang gencar ―membangun‖, juga program-program
rezim di Indonesia yang hari ini sedang menggalakkan pembangunan infrastrktur
di mana-mana.22
21
Ariel Heryanto, ―Development of Development‖, dalam Jurnal Indonesia, No. 46/Okt 1988,
hlm 22. 22
―Antara Kebutuhan Semen dan Ancaman Merusak Alam‖, URL: https://tirto.id/antara-
kebutuhan-semen-dan-ancaman-merusak-alamceBC
43
Lalu apa hubungan antara kapitalisme ekstraktif ini dengan kehidupan rakyat
di bawah, khususnya petani?
Seiring dengan semakin masifnya penanaman modal untuk pembukaan
industri ekstraktif, maka artinya semakin diperlukan pembukaan lahan-lahan yang
diindikasikan potensial menghasilkan produk-produk ekstraksi alam, seperti
bahan bakar, logam yang bernilai jual tinggi (precious metal), atau barang
tambang lainnya. Juga biofuel atau produk agro-foods yang utamanya dihasilkan
melalui sektor perkebunan.23
Kebutuhan akan lahan ini berarti juga memaksa
konversi lahan-lahan yang sebelumnya dimiliki oleh rakyat, untuk dibuka demi
kepentingan eksploitasi ini. Dalam proses inilah terjadi apa yang disebut oleh
Petras & Veltmeyer sebelumnya sebagai landgrabbing alias perampasan lahan,
yang tentunya berarti penyingkiran rakyat dari habitat mereka dan pencerabutan
mereka dari lahan penghidupan mereka.
Di Rembang, misalnya. Ketika akan dibangun pabrik semen yang hendak
menggusur warga dan lahan persawahan mereka, muncul banyak penolakan yang
berlangsung terus-menerus hingga hari ini. Tetapi proses pembangunan pabrik
terus berjalan meskipun izin atas pembangunan ini sudah dikalahkan warga
melalui gugatan yang mereka menangkan di PTUN (Pengadilan Tata Usaha
Negara), dan terbukti tidak sesuai dengan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan). Justru Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, memberi izin baru
23
Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dibaca misalnya dalam Mohamad Zaki Hussein, ―Bisnis
Biofuel, Perkebunan Sawit, dan Perampasan Tanah‖ dalam Jurnal IndoProgress Online, 1 Maret
2017; atau Zahari Zen, Colin Barlow dan Ria Gondowarsito, ‖Oil Palm in Indonesian Socio-
Economic Improvement: A Review of Options‖¸working paper tidak diterbitkan.
44
atas pembangunan pabrik ini, bahkan setelah izin sebelumnya digugurkan oleh
pengadilan.24
Industri ekstraktif juga tercatat menjadi salah satu aktor utama terjadinya
berbagai pelanggaran HAM. Dalam kasus Indonesia, misalnya, Komnas HAM
mencatat bahwa pada tahun 2013, dari sekitar 6000-an laporan pelanggaran HAM
yang masuk, 70% di antaranya berkaitan dengan kasus konflik agraria dan
eksploitasi SDA, yang melibatkan pemerintah daerah, pengusaha atau perusahaan
perkebunan dan pertambangan, dan polisi/BRIMOB/TNI.25
Karenanya, dengan melihat berbagai dampak yang ditimbulkan industri eks-
traktif, menurut ekonom peraih hadiah nobel, Joseph Stiglitz, anggapan yang
menyebut bahwa suatu negara bisa sejahtera dari sektor ini adalah anggapan yang
semu dan salah secara fatal. Menurutnya, pandangan semacam ini muncul karena
satu pihak hanya melihat sektor ini dari apa yang dihasilkannya, tetapi tidak
melihat harga tak sedikit yang harus dibayar, berupa krisis ekologi, konflik sosial,
dan hilangnya alat produksi utama berupa lahan pertanian.26
D. Sosialisme
Meskipun istilah sosialisme sendiri baru mulai digunakan sejak awal abad ke-
19, namun sebagai sebuah konsep dan praktik, usianya bisa lebih panjang dari itu.
Sebagian kalangan bahkan berpandangan bahwa konsep ini bisa ditelusuri dalam
24
Mengenai proses perlawanan warga Kendeng atas rencana pembangunan pabrik semen yang
akan menggususr mereka dan merusak lingkungan mereka, baca: Dwicipta dan Hendra Try
Ardianto, Rembang Melawan: Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan
Kendeng (Yogyakarta: Literasi Press: 2015). 25
Eko Cahyono, ―Masalah – Masalah Agraria dan Kedaulatan Bangsa,‖ makalah disampaikan
dalam kegiatan Pesantren Agraria FNKSDA Malang Raya, 17 Juni 2016. 26
Joseph E. Stiglitz, Amartya Sen, Jean-Paul Fitousi, Mengukur Kesejahteraan: Mengapa
Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur yang Tepat untuk Menilai Kemajuan? (Tanggerang
Selatan: Marjin Kiri, 2011), xxiv – xxv.
45
sumber-sumber Biblikal (Injil). Di kemudian hari, sebagian sosialis yang
menyebut diri mereka Soialis-Kristen (Christian socialists) memang coba
menggali pemahaman mereka tentang sosialisme dari Perjanjian Baru.27
Sosialisme mencakup berbagai jenis teori ekonomi dan sosial, mulai dari
yang ―sekadar‖ mengkampanyekan kepemilikan publik atas sumber daya alam
(yang sebelumnya dimonopoli segelintir orang), sampai yang mempromosikan
sepenuhnya tatanan komunal berbasis sosialisme. Menurut Henry J. Schmandt,
sosialisme tidak mempunyai basis doktrinal yang konsisten dan seragam. Namun,
kesatuan yang dimilikinya terletak pada program rekonstruksi dan transformasi
sosialnya daripada premis-premis teoritisnya.28
Sementara, perbedaan di antara aliran sosialisme berkisar pada beberapa hal
yang mendasar, seperti: 1. Doktrin ideologis dan filosofis yang menjadi dasar
program-programnya; 2. Cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
mereka; 3. Sejauh mana dan sampai tingkat apa kepemilikan kolektif dan kontrol
bersama itu dijalankan. Yang pertama berkaitan dengan apakah ia kediktatoran
atau demokratis, sedangkan yang kedua dibedakan berdasarkan cara-cara yang
evolusioner atau revolusioner. Sementara yang ketiga, berkaitan dengan apakah
tatanan yang dituju akan sama sekali tidak mengakui kepemilikan pribadi (private
property), atau apakah tetap mengakui hak milik, tetapi dengan batasan tertentu
atau dengan mekanisme redistribusi pendapatan.
Jika cara yang ditempuh cenderung evolusioner dan menggunakan jalur
demokratis (elektoral), dan masih mengakui hak milik pribadi, maka sering
27
Sergent, Contemporary Political Ideologies, hlm 118. 28
Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno Sampai
Zaman Modern (Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 2002), hlm 510.
46
disebut sebagai sosialisme-demokrat. Sedangkan apabila cara yang ditempuh
cenderung revolusioner dan kepemimpinan yang dibentuk setelahnya bersifat
kediktatoran, maka lebih sering disebut sebagai komunisme.
Sumber-sumber dari ideologi sosialisme ini pun beragam. Ada sosialis yang
menerima pemahaman materialisme dialektik tetapi menolak cara revolusi dengan
kekerasan. Banyak pula aliran sosialisme yang diilhami oleh nilai-nilai idealisme
etis, mulai yang bersifat ―sekuler‖ dan bertolak dari humanisme yang rasional,
sampai aliran yang lebih dimotivasi oleh doktrin agama.29
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ideologi apapun, biasanya merupakan
respon atas kondisi status-quo yang dihadapi suatu masyarakat, tak terkecuali
dengan ideologi sosialisme. Sejak mulanya, perkembangannya, bahkan hingga
sekarang, sosialisme menjadi respon atas kapitalisme yang masih bertahan hingga
hari ini. Ketika awal kemunculan sosialisme sendiri, kapitalisme sedang
menghadapi salah satu masa pasangnya, yang mewujud dalam bentuk Revolusi
Industri. Di tengah ketimpangan, kesenjangan, dan kondisi memprihatinkan yang
ditimbulkan oleh Revolusi Industri ini, beberapa pemikir Perancis dan Inggris lalu
mempertanyakan sistem yang berlaku (kapitalisme) dari sudut pandang moral-etis
dan nilai-nilai seperti keadilan. Mereka juga mempertanyakan proposisi dasar
kapitalisme yang menganggap bahwa mekanisme pasar akan melakukan
mekanisme redistribusi dan menimbulkan pemerataan.
Para pemikir dari Inggris dan Perancis itu, seperti Henri Saint Simon (1760-
1825), Charles Fourier, Louis Blanc (1811-1882), dan Robert Owen (1771-1837)
29
Schmandt, Filsafat Politik, hlm 570.
47
lalu mengusulkan tatanan alternatif yang menekankan prinsip kerjasama dan
kesederhanaan (sebagai lawan dari ketamakan dan keserakahan yang diidentikkan
dengan kapitalis yang tidak pernah puas mengakumulasi kekayaannya) yang
digambarkan dalam adagium ―dari tiap-tiap orang menurut kemampuannya, dan
bagi tiap orang sesuai kebutuhannya‖, namun dengan corak dari masing-masing
pemikir tersebut.
Meskipun dalam beberapa hal berbeda satu sama lain, namun, tatanan
alternatif yang mereka tawarkan adalah berupa satu komunitas pedesaan yang
mengkombinasikan antara produksi agrikultur dan prduksi industrial, namun
dengan ketentuan bahwa alat produksi, pengelolaan, dan proses produksi yang
berlangsung haruslah dimiliki dan dikerjakan secara bersama, dengan tujuan
untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri (bukan untuk mencari dan
mengakumulasi profit).
Namun, oleh para pemikir setelah itu, pandangan tokoh-tokoh di atas diangap
masih terlalu romantik dan tidak ilmiah, karena hanya didasarkan pada
pengamatan sekilas dan rasa empati atas kemiskinan yang mereka saksikan.
Karenanya, oleh Friedrich Engels, sosialisme ala mereka, lalu disebut sebagai
sosialisme yang utopis (sebagai lawan dari sosialisme ilmiah yang muncul
kemudian, dan identik dengan cara baca dan kritik ekonomi-politik Marxisme).30
Menurut Lyman Tower Sargent, ada beberapa karakteristik dasar yang
mencirikan sosialisme-demokratik, seperti:
30
Schmandt, Filsafat Politik, hlm 511-512.
48
Sebagian besar kepemilikan (alat produksi), termasuk sebagian besar
industri, penyediaan kebutuhan dasar (air bersih, pangan, listrik, bahan bakar,
dan sumber energi lainnya), dan sistem transportasi dimiliki oleh publik, yang
diwakili oleh negara dan pemerintah (sosialis) yang terpilih melalui pemiliu
yang demokratis.
Adanya aturan yang membatasi akumulasi dari kepemilikan pribadi.
Pengaturan sektor ekonomi oleh pemerintah (ekonomi tidak dibiarkan
berjalan dalam mekanisme pasar)
Adanya bantuan finansial secara ekstensif (luas) kepada publik, dan
program jaminan sosial bagi kalangan rentan (pensiun, pengangguran, orang
miskin, orang cacat, dan lainnya).
Tidak menjadikan prinsip efisisensi sebagai satu-satunya pedoman
dalam mengaturr kehidupan ekonomi. Tetapi, dalam setiap kebijakannya juga
harus mempertimbangkan aspek pelayanan (service) dan memperhitungkan
biaya sosial (social cost) yang tidak langsung tampak dalam setiap penerapan
kebijakan.
Lebih lanjut, Sargent menambahkan bahwa kepemilikan yang dipegang oleh
publik adalah terbatas pada hal-hal yang sifatnya produktif, atau infrastruktur
yang signifikan, yang dibutuhkan oleh hampir semua orang. Tetapi, hal ini tidak
berlaku pada hal-hal yang memang dimiliki secara pribadi, seperti rumah, bisnis
yang skalanya kecil, dan lainnya. Hal ini penting dijelaskan, menurutnya, untuk
49
menghindari kesalahpahaman bahwa sosialisme akan merampas semua hal yang
kita miliki, sehingga banyak orang yang fobia terhadap sosialisme.31
Di Indonesia, beberapa peraturan perundang-undangan yang disusun oleh
para pe\ndiri bangsa, sebenarnya mempunyai kecenderungan yang sosialistik. Hal
ini sudah terlihat, misalnya, dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, khususnya
dalam Pasal 33 yang menyatakan bahwa:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajat
hidup orang banyak, dikuasai oleh negara.
(3) Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Selain itu, terdapat pula Pasal 34 yang sifatnya jaminan sosial, ―fakir miskin
dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Tentu ini belum menyebut contoh-
contoh lain, termasuk yang berada di luar kerangka perundang-undangan, seperti
konsep Mohammad Hatta tentang Koperasi dan perekonomian sosialis32
, atau
gagasan Soekarno tentang kemandirian ekonomi atau ekonomi berdikari (berdiri
di atas kaki sendiri) yang dicanangkannya dan Trisakti-nya.
Namun, amanat undang-undang ini ternyata tak sesuai dengan kenyataan
kehidupan bernegara yang kite temukan hari ini. Hal ini juga yang mengundang
perhatian utama dari FNKSDA.
31
Sergent, Contemporary Political Ideologies, hlm 117. 32
Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Jakarta: Penerbit Djambatan,
t.th).
50
E. Politik Agraria Populis
Menurut para ahli agraria, berdasarkan orientasinya, politik agraria bisa
dibedakan dengan ditinjau dari tiga hal yang membedakan antara satu model
dengan model lainnya. Tiga hal itu mencakup: (1) penguasaan tanah, (2) tenaga
kerja yang menggarap tanah, dan (3) pemegang otoritas yang berwenang
mengambil keputusan terkait proses produksi, akumulasi, dan investasi.
Berdasarkan ketiga kriteria itu, para ahli lalu mengategorikan setidaknya ada tiga
orientasi politik agraria33
, yaitu corak politik agraria Kapitalis, model politik
agraria Sosialis-Komunis, dan orientasi politik agraria Populis.
Secara sederhana, dalam model agraria kapitalis, alat produksi utama berupa
tanah dimiliki dan dikuasai oleh individu atau kumpulan individu (seperti
korporasi) yang tidak menggarap langsung tanah tersebut dan mempekerjakan
petani penggarap yang menjual tenaganya kepada pemilik tanah, dan terlibat
dalam relasi upahan dengannya. Artinya, pekerja di sini statusnya sebagai
komoditas yang melengkapi kebutuhan produksi (means of production) pemilik
modal (dalam hal ini pemilik tanah) dalam menjalankan proses produksi usahanya
33
Istilah ini adalah yang digunakan oleh dua ahli agraria Indonesia, Gunawan Wiradi dan
Dianto Bachriadi dalam buku mereka, Six Decades of Inequality (Bandung: Agrarian Resource
Center, Bina Desa, dan KPA, 2011), hlm
6. Sementara di buku lain, Gunawan Wiradi menggunakan istilah lain untuk merujuk hal yang
sama, yaitu tipe/model transformasi agraria (type/mode of agrarian transformation). Baca: Moh.
Shohibuddin, Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi (Bogor, Soyogjo
Institue, 2009), hlm 138; dan Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria
dan Penelitian Agraria (Yogyakarta: STPN, 2009), hlm 141. Sedangkan para ahli lain juga
menggunakan istilah yang berbeda. Noer Fauzi Rachman, salah seorang ahli agraria lain dari
Indonesia yang berbeda generasi, menggunakan istilah ―strategi agraria‖. Baca: Noer Fauzi
Rachman, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta:
Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar, 1999), hlm 10. Dan ahli agraria asing, seperti John Harris,
menggunakan istilah “path of agrarian change‖ (langkah perubahan agraria).
51
guna mengakumulasi kekayaan yang berasal dari modalnya, sesuai dengan siklus
M – C – M’ yang sudah disinggung di atas.
Sedangkan dalam model agraria sosialis-komunis, sarana produksi yang
utamanya berupa tanah, dikuasai oleh satu organisasi kolektif (yang biasanya
berwujud negara atau badan-badan yang mendapat mandat darinya) atas nama
kelompok pekerja yang menggarap tanah itu. Pekerja-pekerja ini akan
memperoleh imbalan dari hasil kerjanya, sesuai yang disepakati oleh kolektif
pekerja tadi, utamanya sesuai dengan kinerjanya. Atau sesuai dengan prinsip
―setiap orang bekerja sesuai kemampuannya, dan mendapat menurut prestasi atau
hasil kerjanya‖.34
Karena penguasaan lahan dimiliki secara kolektif, maka
pengambilan keputusan produksi, dll, dipegang oleh organisasi yang menaungi
kolektifpekerja penggarap di lahan tersebut.
Adapun model agraria populisme didasarkan pada pengembangan satuan-
satuan usaha keil rumah tangga yang padat modal. Sehingga satuan yang memiliki
tanah dan menggarap lahan adalah unit keluarga inti (nuclear family) keluarga
tani. Karenanya, proses produksi secara umum merupakan wewenang unit
tersebut, meskipun negara juga biasanya terlibat dengan memberikan bantuan
kebutuhan selama proses produksi.
Indonesia, jika ditilik dari peraturan perundang-undangan yang ada, seperti
Pasal 33 UUD 1945, atau peraturan agraria yang utama, yaitu UU No 5/1960
tentang Peraturan-Peraturan Pokok Agraria, mempunyai kecenderungan dekat
dengan model agraria neo-populis, meskipun dalam UU itu sendiri disebutkan
34
Njoto, ―Sosialisme Indonesia‖, dalam Marxisme: Ilmu dan Amalnya (Paparan Populer)
(Jakarta: Harian Rakjat, 1962), hlm 52.
52
bahwa ia disusun guna menuju ―sosialisme Indonesia‖. Hal ini disepakati oleh
hampir seluruh ahli agraria, baik dalam maupun luar negeri.35
Komponen Agraria Orientasi Politik Agraria
Kapitalisme Sosialis-Komunis Populisme
Penguasaan Tanah Individu non-
penggarap
Negara a.n.
pekerja
Keluarga petani
Tenaga Kerja Petani penggarap/
pekerja upahan
Pekerja yang
diorganisir
Keluarga petani
Pengambil keputusan
terkait produksi,
akumulasi & investasi
Individu non-
penggarap
(pemilik tanah)
Negara a.n.
pekerja
Keluarga petani
yang diorganisir
melalui koperasi.
Tabel 2.1. Sumber: Rahman, Petani dan Penguasa (1999), hlm 10.
Salah satu indikasi utama dari corak populisme agraria Indonesia adalah
program reforma agraria, khususnya reforma tanah (land reform), yang menjadi
amanat dari UUPA 1960. Pada intinya, program land reform bertujuan untuk
merombak stratifikasi sosial yang timpang dalam sektor agraria, yang dibuktikan
dengan munculnya diferensiasi kelas, seperti buruh tani, petani penggarap, petani
misin, petani, sedang, petani kaya, dan tuan tanah, akibat kepemilikan lahan yang
tidak merata, dengan cara melakukan redistribusi ulang atas penguasaan lahan
yang timpang..36
Meskipun sudah menjadi mandat keputusan UUPA 1960, namun
pelaksanaannya macet di 5 tahun awal, dan semakin sulit diterapkan ketika terjadi
gejolak politik yang berujung transisi kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru di
35
Wiradi dan Bachriadi, Six Decades of Inequality, hlm 6; Shohibuddin, Metodologi Studi
Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi, hlm 138; Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria, hlm
141. Rachman, Petani dan Penguasa, hlm 11; Anton Lucas & Carrol Warren, ―The Land, The
Law, And The People‖, dalam Land for the People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia
(Athens: Ohio University Press, t.t.), hlm 7. 36
Mengenai dinamika perkembangan isu land reform di masa ini, baca: Andi Achdian, Tanah
Bagi Yang Tak Betanah: Landreform Pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965 (Bogor, Kekal
Press, 2008). Sedangkan dinamika perjalanan perjuangan Reforma Agraria dalam rentangan waktu
yang lebih panjang di Indonesia, baca: Noer Fauzi Rachman, Lnad Reform dari Masa ke Masa
(Yogyakarta, STPN Press, 2012). Juga buku Noer Fauzi Rachman yang lain, Bersaksi untuk
Pembaruan Agraria (Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan KARSA, 2003).
53
tahun 1965-1966. Meskipun keberlakuan UUPA tidak dihapuskan, namun
keputusannya sama sekali tidak dijalankan oleh Orde Baru. Bahkan rezim ini
justru menerapkan sat pola ekonomi lain yang justru bertentangan dengan isi
UUPA 1960 ini, yang oleh Gunawan Wiradi disebut,
“The New Order followed the capitalist mode of economic growth as the
main means of achieving development, land and natural resources were
objects to be exploited as intensively as possible. Issuing large-scale
forestry and mining concessions were part of this process. The huge scale of
land provision either for investment or speculation purposes created
extreme inequality in landholdings and caused violent conflicts, mostly
triggered by evictions leading to serious human right abuses. Most of the
land allocated for commercial, business and private interests was done in
the name of development or national economic interest.‖
(Orde Baru mengikuti model pertumbuhan ekonomi bercorak kapitalis,
sebagai alat utama guna mencapai ―pembangunan‖. Tanah dan sumber daya
alam menjadi objek yang dieksploitasi seintensif mungkin. Memberi izin
hak penguasaan hutan [HPH] dalam skala besar dan konsesi pertambangan
menjadi bagian dari proses ini. Keputusan untuk menjadikan tanah sebagai
investasi atau guna tujuan spekulatif lainnya, telah menciptakan
ketimpangan yang ekstrim dalam kepemilikan lahan and menyebabkan
konflik dengan kekerasan, yang kebanyakan disebabkan oleh pengusiran
yang berakibat pada pelanggaran HAM. Kebanyakan tanah untuk tujuan
komersial, bisnis, dan kepentingan pribadi dialokasikan atas nama pemba-
ngunan dan kepentingan ekonomi nasional).37
37
Wiradi dan Bachriadi, Six Decades of Inequality, hlm 10.
54
BAB III
PROFIL FRONT NAHDLIYYIN UNTUK KEDAULATAN SUMBER
DAYA ALAM (FNKSDA)
Untuk menyelami profil dan perjuangan kelompok/organisasi FNKSDA,
diperlukan penelisikan terhadap unsur-unsur internal dan elemen-elemen eksternal
dari gerakan ini, agar mendapat pemahaman yang utuh. Hal ini dapat menjelaskan
faktor dan latar belakang kenapa kelompok ini berdiri, baik dari sisi inisiatif aktor-
aktornya selaku agensi, maupun struktur di luar mereka yang menjadi prakondisi
yang mendorong mereka untuk membentuk gerakan FNKSDA. (Selanjutnya
FNKSDA akan digunakan secara berganti-gantian dengan “front” atau “front
nahdliyyin”, seperti anggota gerakan ini menyebut organisasi mereka).
Karenanya, bab yang membahas tentang profil gerakan ini akan dibagi
dalam tiga bagian besar. Bagian pertama menelusuri dinamika internal yang
memunculkan FNKSDA ini. Bagian kedua menelisik motif yang mendorong
generasi muda NU melibatkan diri dalam FNKSDA. Sedangkan bagian ketiga
akan lebih menyoroti hal-hal teknis internal gerakan ini, seperti struktur
keorganisasian dan keanggotaan.
A. Proses Berdirinya FNKSDA
Bagian ini akan mencakup mulai dari inisiatif dan latar belakang yang
mengantarkan pada deklarasi dan pendirian FNKSDA, sampai pembahasan
tentang teknis dan hal internal dalam organisasi ini.
Karena FNKSDA merupakan organisasi gerakan yang terbilang baru dan
belum mendapat banyak sorotan, serta tak banyak pemaparan terkait profil
55
organisasi ini dari publikasi mereka sendiri, maka bagian ini akan bertumpu pada
wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan beberapa penurus FNKSDA,
terutama yang terlibat menjadi inisiator gerakan ini, sebagai rujukan informasi
utama. Selain itu, juga ditopang dengan data tambahan berupa cerita dan materi
yang disampaikan dalam pengkaderan FNKSDA, terutama dalam sesi yang
berjudul “Ke-FNKSDA-an”.
Meskipun mungkin ada prakondisi yang memungkinkan dan mendorong
lahirnya gerakan ini, namun berdirinya FNKSDA diawali dari perjumpaan-
perjumpaan yang tak terduga (unintended encounters), begitu cerita Bosman
Batubara, salah seorang yang terlibat sejak awal, bahkan sebelum lahirnya
FNKSDA.1 Seorang pengurus FNKSDA lain, Muhammad Al-Fayyadl—sering
disapa sebagai Gus Fayyadl (saat ini menjadi komite nasional FNKSDA bersama
A. Syatori [Gus Syatori])—bahkan menyebut FNKSDA sebagai serendipity, alias
sesuatu yang berharga yang ditemukan tanpa sengaja. 2
Dalam bagian prolog buku yang sebenarnya menceritakan konflik agraria di
Urutsewu, Kebumen, Bosman menceritakan detail perjumpaan-perjumpaan yang
mengantarkan pada lahirnya FNKSDA.3 Bosman sendiri membuka tulisannya
dengan pernyataan bahwa perjumpaannya dengan gerakan di Urutsewu, yang
1 Wawancara dengan Bosman Batubara, 16 Oktober 2017, di tengah acara pengkaderan
FNKSDA yang bertajuk “Pesantren Agraria Cirebon Raya”, yang bertempat di Aula Ponpes
Masyariqul Anwar, Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Saat ini ia menjadi korrdinator Biro Litbang
FNKSDA dan sedang mengerjakan penelitian disertasinya di bidang pengelolaan air, di UNESCO-
Institute for Water Education dan University of Amsterdam. 2 Wawancara dengan Gus Fayyadl, 17 Oktober 2017, di PP Masyariqul Anwar, Babakan
Cirebon. 3 Anna Mariana dan Bosman Batubara, Seni dan Sastra untuk Kedaulatan Petani Urutsewu:
Etnografi Wilayah Konflik Agraria di Kebumen (Yogyakarta, Literasi Press, 2015). Ketika saya
mewawancarai Bosman, ia memberikan buku ini dan menyarankan saya membaca dan merujuk
buku ini untuk mengetahui proses lahirnya FNKSDA.
56
bermuara pada pendirian FNKSDA merupakan persentuhan yang tak pernah didga
sebelumnya, “Bagi saya, perjumpaan dengan gerakan di Urutsewu adalah
bagian dari perjalanan hidup. Begitulah, hidup selalu memberikan kejutannya.”
Mulanya, Bosman yang adalah seorang geolog cum aktivis sosial di isu
lingkungan yang sudah beberapa tahun terlibat dalam penelitian dan advokasi
masyarakat korban Lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo. Pada akhir Mei 2013, ia
pergi ke Porong, Sidoarjo, untuk menghadiri acara Peringatan 7 Tahun Lumpur
Lapindo yang rencananya diadakan pada 29 Mei. Pada 29 Mei siang yang panas
di atas tanggul penahan lumpur, ia tak sengaja melihat seorang memakai jaket
beratribut Nahdlatul Ulama (NU). Secara spontan, hal ini menimbulkan respon
primordialnya dan ketertarikannya sebagai sesama warga nahdliyyin.
Karenanya, secara refleks, Bosman menyapa orang tersebut, yang dilanjut
dengan saling bertanya dan mengobrol. Orang itu ternyata adalah Ubaidillah—
yang kelak menjadi komite nasional pertama FNKSDA. Ia berasal dari Kebumen,
Jawa Tengah, dan aktif bergiat sebagai pengurus NU lokal di sana. Ubaidillah
bercerita bahwa ia hadir di Porong sebagai bentuk solidaritas untuk korban
Lumpur Lapindo. Kebetulan ia sendiri, bersama masyarakat Urutsewu juga
memahami betul bagaimana rasanya harus tergusur dan tercerabut dari lingkungan
asal dan dipaksa pindah secara sewenang-wenang, karena mereka sedang
menghadapi konflik agraria berhadapan dengan militer.
Karena kebetulan Ubaidillah sedang menempun pendidikan pascasarjana di
CRCS (Cross Religion and Cultural Studies) UGM, dan Bosman juga berdomisili
di Yogyakarta, keduanya bertukar kontak dan berjanji untuk bertemu sekembali-
57
nya ke Yogyakarta, guna membahas apa yang kira-kira bisa mereka lakukan
dalam menghadapi konflik agraria di Urutsewu.
Sekembainya mereka ke Yogyakarta, sesuai janji, mereka lalu bertemu,
yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi-diskusi intensif setelahnya. Pertemuan
dan diskusi intensif ini tentunya tak hanya melibatkan mereka berdua, tetapi juga
jaringan pertemanan yang memiliki visi yang sama, dan mempunyai perhatian
terhadap isu-isu kerakyatan, lingkungan, dan kedaulatan sumber daya alam.
Bosman, misalnya, yang sudah bergiat sebagai aktivis sosial di isu-isu ini dan
terkoneksi dengan jaringan pertemanan sesama aktivis muda NU di Yogyakarta,
melibatkan jaringan ini selama diskusi intensif tersebut.
Dalam diskusi-diskusi intensif yang terjadi selama proses ini, karena
mayoritas yang terlibat adalah kalangan muda dari latar belakang nahdliyyin,
muncul kesadaran bersama bahwa ternyata banyak sekali terjadi konflik agraria di
berbagai wilayah di Indonesia. Dan dalam kasus-kasus ini, khususnya yang terjadi
di Pulau Jawa, tak jarang yang menjadi korban justru adalah warga nahdliyyin
yang memang basisnya di pedesaan dan mayoritas berprofesi sebagai petani.
Sayangnya, NU secara kelembagaan dirasa belum memberi perhatian yang
memadai terkait konflik-konflik agraria ini.4
Karenanya, dalam diskusi-diskusi intensif ini sudah mulai muncul kesadaran
akan kebutuhan adanya suatu gerakan yang menaruh perhatian terhadap konflik
tata kelola SDA, khususnya yang berwujud konflik agraria. Terlebih, jika itu
4 Abdul Kodir dan In’amul Mushoffa, Islam, Agrarian Struggle, and Natural Resources: The
Exertion of Front Nahdliyin for Sovereignty of Natural Resources Struggle Towards Socio-
Ecological Crisis in Indonesia, dalam Karsa: Journal of Social and Islamic Culture Vol. 25 No.1,
Juni 2017, hlm 57.
58
berkaitan langsung dengan warga nahdliyyin yang menjadi korban. Alih-alih
membatasi diri hanya berfokus di isu konflik agraria di Urutsewu, diskusi-diskusi
ini menghasilkan keputusan untuk mengadakan forum diskusi yang lebih luas,
yang melibatkan aktivis sosial di berbagai daerah—utamanya yang sudah saling
terkoneksi sebelumnya dalam jaringan pertemanan generasi muda NU—guna
membahas isu tata kelola SDA dan konflik agraria secara lebih luas.
Lalu, diputuskanlah untuk mengadakan diskusi bertajuk “NU & Konflik
Tata Kelola SDA” yang terlaksana pada 4 Juli 2013 dengan bertempat di Pendopo
LKiS (Lembaga Kajian Islam & Sosial), Yogyakarta. Diskusi ini melibatkan
angkatan muda NU yang menaruh perhatian pada isu pengelolaan sumber daya
alam dan ekses yang ditimbulkan oleh pembangunan infrastruktur, pertambangan,
dan perkebunan terhadap kedaulatan masyarakat lokal pada alam dan lingkungan
mereka. Mereka datang dari berbagai daerah. Tercatat ada perwakilan dari Pati,
Batang, Kalimantan Timur, Cirebon, Mojokerto, Kulonprogo, Mandailing Natal,
dan berbagai daerah lainnya.5
Umumnya mereka sudah terlibat dan melakukan advokasi atas permasala-
han kedaulatan SDA yang ada di lingkungan mereka. Seperti Ubaidillah, yang
disebutkan sebelumnya. Atau Mohammad Zaki, seorang berlatarbelakang santri
dari Kuningan yang terlibat dalam gerakan penolakan rencana pendirian
pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) oleh PT. Chevron di TNGC
(Taman Nasional Gunung Ciremai), Jawa Barat. Juga ada Mokh. Sobirin yang
tergabung dalam JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) dan
5 Mariana dan Batubara, Seni dan Sastra untuk Kedaulatan Petani Urutsewu, hlm 6. Untuk
daftar selengkapnya bisa dilihat dalam “Daftar Hadir Pertemuan 4 Juli 2013 di LKiS, Yogyakarta”.
59
Omah Kendeng, yang berupaya menolak pendirian pabrik semen di kawasan
pegunungan karst di Kendeng.6
Bisa disimpulkan bahwa, diskusi ini mengangkat tema “NU & Konflik Tata-
Kelola SDA” setidaknya dengan dua pertimbangan. Pertama, bahwa NU sebagai
organisasi sosial masyarakat dengan konstituen yang cukup besar, harusnya tak
lagi hanya bergulat dengan isu keagamaan semata. Dengan potensi dan kebesaran
yang dimilikinya, harusnya NU juga menaruh perhatian dan ikut bersuara atas
persoalan ekonomi-politik yang berkaitan dengan hajat hidup banyak orang,
terlebih dalam hal konflik tata-kelola SDA yang seringkali mengorbankan
masyarakat kecil. Tak jarang pula, banyak di antara elemen masyarakat yang
terdampak pembangunan infrastruktur, pembukaan lahan perkebunan dan
pertambangan adalah warga nahdliyyin. Sebagai korban, mereka kehilangan lahan
pertanian yang digusur dan dirampas dengan semena-mena dan akhirnya mereka
tercerabut dari tanah sebagai alat produksi utama mereka. Hal ini seperti
dijelaskan dalam dokumen Lembar Kerja FNKSDA,
“Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan yang memiliki
tujuan di bidang ekonomi untuk “mengusahakan pemerataan kesempatan
untuk menikmati hasil pembangunan dengan mengutamakan
berkembangnya ekonomi rakyat” sudah sepatutnya memiliki sikap ter-
hadap persoalan ini. Terlebih-lebih, dalam banyak kasus konflik SDA di
Indonesia, warga NU seringkali menjadi korban langsung. Misalnya kasus
Lumpur Lapindo di Porong, penanaman dinamit untuk melakukan survei
seismik oleh Exxon di Jombang, konflik warga dengan perusahaan migas di
6 Secara lebih lengkap, Ahmad Fikri Syahrul Mubarak menyatakan dalam skripsinya,
“…gerakan sosial-lingkungan yang mengikuti halaqoh deklarasi jihad FNKSDA 8-9 Desember
2013 di Jombang, terdapat beberapa gerakan...Sebut saja: gerakan menggugat Porong-Sidoarjo,
Gerakan Petani Urut Sewu-Kebumen, Gerakan Petani Kulon Progo, Gunung Ciremai-Kuningan
(menolak pembangunan proyek geothermal, Chevron), gerakan menolak tambang di Tuban dan
Blora, Gerakan rakyat Wonogiri (menolak rencana pembangunan pabrik Semen Indonesia).
Ahmad Fikri Syahru Mubarak “Gerakan Sosial-Lingkungan Pemuda NU: Studi pada Front
Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)” (Yogyakarta: Skripsi Sosiologi
UGM, 2015), hlm 51.
60
Sumenep, konflik air antara warga dengan PT Aqua Danone di Klaten,
konflik warga dengan tentara dan perusahaan tambang di Kebumen, dll.”
Kedua, dalam banyak kasus, kelompok masyarakat semacam ini masih
kurang mendapat perhatian dari NU secara struktural, baik di tingkat pengurus
besar maupun tingkat di bawahnya. Bahkan dalam diskusi tersebut terungkap,
dalam beberapa kasus konflik antara korporasi dan warga, seperti di Pati dan
Banyuwangi, pengurus NU justru memihak perusahaan yang akan didirikan.
Karena itulah, para inisiator FNKSDA merasa gerakan ini memang diperlukan,
Sejauh ini PBNU kurang memberikan perhatian terhadap permasalahan ini.
Hal ini misalnya dibuktikan dengan tidak adanya badan yang secara
menerus hirau mengurusi permasalahan ini di dalam struktur PBNU. Di
lain sisi, konflik SDA dengan pola yang hampir sama sudah sangat banyak
terjadi dan memerlukan solusi terpadu. Karena itu, diskusi tentang NU &
Konflik Tata Kelola SDA yang telah dilaksanakan di Yogyakarta pada 4 Juli
2013 adalah langkah awal untuk merumuskan agenda NU di bidang ini.
Baik ia akan masuk di struktur NU ataupun sama sekali di luar 7
Salah satu hasil dari diskusi pada 4 Juli tadi adalah kesepakatan agar segala
pembahasan yang ada tak hanya berakhir dalam ruang diskusi, tetapi perlu diben-
tuk suatu gerakan sebagai tindak lanjut atas penelaahan terhadap berbagai feno-
mena tata kelola SDA yang utamanya melibatkan warga nahdliyyin ini.
Tabel 3.1: Daftar basis NU yang menghadapi konflik Sumber Daya Alam.
Kelompok No Daerah Korporasi Permasalahan
Air minum,
tambak, dan
lingkungan.
1 Jombang Aqua-danone Diusir oleh GUSDURian Jombang;
alasan penolakan karena bagi hasil
yang tidak adil, kompensasi yang tidak
jelas, dan ancaman kekeringan.
Air minum,
irigasi, tanah,
dan bencana.
2 Pati Semen Gresik Warga menolak pendirian pabrik
semen.
Tambang 3 Jepara PT. Rantai Mas
CV. Guci Mas
Warga menolak pendirian tambang
pasir besi.
7 FNKSDA, Lembar Kerja FNKSDA (2013), hlm 2. Penulis berterimakasih kepada Bung
Bosman Batubara yang telah menyediakan dokumen ini.
61
Nusantara
PT. Alam Mineral
Lestari
4 Kulon
Progo
PT. Jogjas
Mangasa Mining
Warga menolak pendirian tambang
pasir besi.
5 Banyuwan
gi
PT. Indo Multi
Niaga (IMN)
Konflik tambang emas (Tumpang
Pitu).
6 Kebumen PT. Mitra
Niagatama
Cemerlang
Konflik lahan untuk pasir besi
Energi 7 Tenggaron
g/Kaltim
PT. Kaltim Prima
Coal, PT. Adaro
Indonesia, PT.
Kideco Jaya
Agung, PT.
Arutmin
Indonesia, PT.
Berau Coaldll
Konflik dampak tambang batubara
serta Blog Migas.
8 Jombang Exxon Masyarakat menolak eksplorasi migas.
9 Porong PT. LBI Lumpur Lapindo.
10 Cirebon PT. Chevron Warga tidak mau ada geothermal.
11 Sumenep PT. Kangean
Energy Indonesi,
Santos, Husky
Oil, SPE
Petroleum, PT
EML
Konflik migas.
Catatan: daftar ini masih sangat mungkin bertambah (atau berkurang)
Sumber: Notulensi diskusi tanggal 4 Juli 2013.8
Seminggu kemudian, tepatnya pada 11 Juli 2013 diadakan pertemuan di
tempat yang sama, yaitu pendopo LKiS, guna merancang pembangunan gerakan,
sebagai bentuk tindaklanjut atas salah satu keputusan diskusi. Utamanya mereka
yang mengikuti agenda ini adalah kelompok muda NU yang memang berdomisili
di Yogyakarta dan sekitarnya, karena kegiatan ini memang baru persiapan yang
sifatnya masih informal. Di antaranya adalah Heru Prasetya (pegiat Jaringan
8 Dikutip dari Mubarak “Gerakan Sosial-Lingkungan Pemuda NU”, hlm 37.
62
Gusdurian), Hairus Salim (Direktur LKiS), Bosman Batubara (Yayasan
Desantara), dan Nur Khalik Ridwan (intelektual muda NU).
Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa keputusan. Yang paling utama,
dalam rangka pembangunan gerakan, pertemuan ini juga menghasilkan keputusan
akan didirikannya suatu organisasi yang berafiliasi secara kultural dengan NU,
namun tidak terikat sebagai badan otonom (banom) di bawahnya, yang bergerak
di isu ekonomi-politik, tata-kelola SDA, lingkungan, dan advokasi atas dampak
kapitalisme ekstraktif bagi masyarakat, khususnya petani. Lalu disepakatilah
bahwa gerakan ini akan bernama “Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber
Daya Alam”.9 Hal ini dilakukan karena digerakkan kesadaran bahwa yang sudah
dilakukan oleh NU sejauh ini dalam isu kedaulatan SDA sangat jauh dari
memadai, dan seakan hanya teriakan dalam ruang kedap suara tanpa aksi nyata.
Dalam pernyataannya, FNKSDA menyebut,
“Sebenarnya persoalan seperti ini pernah diperbincangkan di lingkungan
NU… pada tahun 2012, melalui Konferensi Besar (Konbes) di Cirebon,
PBNU di bidang ekonomi merekomendasikan “renegosiasi kontrak-kontrak
karya pertambangan agar memberi manfaat yang lebih besar bagi
pemasukan Indonesia dan kesejahteraan warga. Elemen lain yang dekat
dengan NU, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) malah
memiliki tuntutan yang lebih tinggi. Pada tahun 2012, PMII menuntut
dilakukannya nasionalisasi terhadap aset pertambangan dan energi.
Sementara Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) menyatakan bahwa
tujuan akhir dari tata kelola energi adalah kedaulatan dan ketahanan
energi nasional. Akan tetapi secara organisatoris, hampir tidak ada
gelombang advokasi yang masif dari kelompok NU terhadap warga yang
mengalami persoalan konflik SDA. PBNU sendiri lebih banyak bermain di
level regulasi seperti judicial review UU Migas, tetapi tidak banyak
mendorong pengurus untuk turun ke bawah.”10
9 Wawancara dengan Gus Roy Murtadho, Biro Litbang Komite Nasional FNKSDA, 30
Oktober 2017 di Sekretariat KPRI, Mampang, Jakarta. 10
Lembar Kerja FNKSDA, hlm 3.
63
Penggunaan istilah “nahdliyyin” di sini dilakukan dengan beberapa pertim-
bangan. Pertama, untuk menunjukkan bahwa FNKSDA bukan banom NU, tetapi
mempunyai ikatan kultural dengan NU. Kedua, alih-alih berfokus pada NU
sebagai jam‟iyyah (organisasi struktural), FNKSDA akan lebih menaruh perhatian
pada problem tata kelola SDA yang menyangkut nahdliyyin sebagai
warga/jama‟ah NU. Ketiga, untuk menggambarkan bahwa FNKSDA digerakkan
oleh pegiat-pegiat, terutama generasi muda yang berasal dari kultur nahdliyyin,
sehingga secara strategis, hal ini akan memudahkan pendekatan terhadap
komunitas nahdliyyin yang terdampak konflik tata kelola SDA. Keempat,
bukannya mengikatkan diri pada NU secara kelembagaan, FNKSDA mengambil
spirit pendirian NU sendiri, yaitu nahdlah atau kebangkitan. Nahdliyyin disini
dimaknai sebagai “orang-orang yang bangkit”, khususnya juga sebagai penyema-
ngat bagi rakyat yang sedang mempertahankan kedaulatan alamnya. Kelima,
karena nahdliyyin dimaknai tidak secara sempit dan eksklusif sebagai “warga
NU” semata, maka penggunaan kata nahdliyyin juga tidak menutup ruang
kemungkinan orang-orang yang tidak datang dari kultut Islam tradisionalis ala NU
untuk tetap bisa bergabung dan bergiat dalam FNKSDA. Keenam, meskipun tidak
hendak mengikatkan diri dengan NU secara struktural, namun harus diakui bahwa
sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU masih mempunyai nilai strategis
dengan kebesaran namanya. Dengan menautkan diri pada NU, meskipun secara
kultural, FNKSDA mempunyai legitimasi soial-politik tersendiri, yang sangat
bermanfaat dalam perjuangannya, utamanya ketika harus berhadapan dengan
64
pihak-pihak yang bertentangan dengan visi FNKSDA, seperti korporasi atau
birokrat yang hendak merampas ruang hidup rakyat.11
Berdasarkan cerita Muhammad Fuad Faizi—akrab dipanggil Gus Faiz—, di
awal pembahasan pendirian FNKSDA muncul dinamika dan perbedaan terkait
penggunaan kata “Nahdliyyin” ini.
“saya kira dari cerita semua orang, seperti yang sampean lihat sendiri
waktu pesantren agraria kemarin, kebanyakan yang tertarik ke front itu
mungkin ya karena awalnya tertarik dengan kata ‟nahdliyyin‟ ini. Dulu
waktu awal-awal ini ada perdebatan hebat. Ada salah satu orang yang
ngajak front nahdliyyin ini diganti jadi front nasional. Lalu karena tak
disetujui, dia memilih keluar, menulis dan mengkritik front ini.
Alasan dia, kalau pakai nama „nahdliyyin‟ nanti akan membenturkan
dengan NU [yang dalam beberapa kasus, seperti terlihat nanti, justru
mendukung korporasi, pen], ya sekalian aja ganti front nasional. Tapi bagi
saya, front nasional ini nggak strategis. Karena semua elemen bisa masuk,
dan itu justru bisa tambah cair. Nggak jelas tradisi dan keberpihakannya
gitu lho. Menurutku kalo seperti itu justru akan makin termoderasi
perlawanannya.
Lebih lanjut, ketika ditanya kemungkinan menggandeng gerakan atau
badan di luar NU, ia menjawab,
“kita tidak menutup kemungkian (untuk menggandeng, pen) di luar NU.
Dulu saya kira pernah didiskusikan waktu di LKiS itu. Ya nahdliyyin
diartikan secara luas, orang-orang yang bangkit. Dan itu sebenarnya
semua elemen bisa masuk. Meskipun dengan konotasi “nahdliyyin” itu juga
pertimbangan strategis juga. Itu makanya waktu ada usulan untuk diganti
jadi front nasional itu ya nggak disetujui.”12
Tak lama setelah itu, tepatnya pada 16 Juli 2013, diadakan silaturahim
pertama dengan salah satu ketua PBNU, KH. Imam Aziz, di Yogyakarta, guna
11
Dismpaikan oleh A. Syatori—biasa disapa Gus Syatori—, Komite Nasional FNKSDA dalam
materi “Ke-FNKSDA-an” dalam rangka Pesantren Agraria Cirebon Raya, pda 14 Oktober 2017.
Selain diikuti langsung oleh penulis, materi dan penjelasan dalam kegiatan ini dituliskan oleh
Panitia Pesantren Agraria Cirebon Raya, “Notulensi Kegiatan Pesantren Agraria Cirebon Raya”
(14-17 Oktober 2017). Keterangan dalam materi ini diperkuat dengan penjelasan yang
disampaikannya dalam wawancara dengan penulis pada 15 Oktober 2017. 12
Wawancara dengan Gus Faiz, pengurus Bidang Pengkaderan FNKSDA, pada 18 Oktober
2017, di Sekretariat Saung Daulat Amarjati, Cirebon.
65
membicarakan gerakan ini. Beliau memang sebelumnya salah seorang senior di
LKiS dan dekat dengan anak muda NU yang bergiat di sana (yang kemudian juga
turut menginisiasi pembentukan FNKSDA). Ia sendiri menyatakan bahwa dirinya
menjadi bagian dari gerakan ini secara organik, meskipun tidak secara formal
menjadi pegiat FNKSDA. Ia juga akan mendukung perjuangan FNKSDA,
terutama dengan posisinya di PBNU, seperti dengan mengadakan halaqah-
halaqah terkait sumber daya alam sebagai upaya mainstreaming isu ini.13
FNKSDA lalu secara resmi dideklarasikan pada 8 Desember 2013. Untuk
semakin menguatkan gambaran bahwa organisasi ini memang digerakkan oleh
sekelompok anak muda NU yang menaruh perhatian pada isu ekonomi-politik dan
pengelolaan SDA, deklarasi organisasi ini mengambil tempat di Pondok Pesantren
Tebuireng, Jombang, salah satu pesantren yang amat disegani dan dikenal dalam
komunitas nahdliyyin.14
Deklarasi ini juga dibarengi dengan rilis pernyataan sikap yang diberi judul
“Resolusi Jihad Jilid II: Mempertahankan Tanah Air dari Rongrongan
Kapitalisme Ekstraktif”. Penggunaan judul “Resolusi Jihad” tentu saja merujuk
pada suatu deklarasi yang diteken oleh PBNU pada tahun 1946 di bawah
pimpinan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, yang menyatakan bahwa
mempertahankan tanah aiar NKRI dari rongrongan penjajah yang akan datang
kembali merupakan fardhu „ain bagi muslim dalam jarak tertentu.
Pernyataan sikap berupa “Resolusi Jihad Jilid II” dengan bertempat di
Pesantren Tebuireng tentu ingin menapaktilasi dan mengembalikan memori
13
Lembar Kerja FNKSDA, hlm 5. 14
AD/ART FNKSDA, Bab 1 Pasal 2.
66
kolektif akan Resolusi Jihad yang dinyatakan di tempat yang sama puluhan tahun
sebelumnya. Deklarasi dan pernyataan sikap ini juga hendak memberi kesan,
bahwa setelah puluhan tahun kalonialisme secara fisik meninggalkan bumi
pertiwi, rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, dan terlebih khusus lagi warga
nahdliyyin menghadapi musuh dan ancaman yang tak kalah berbahayanya, yaitu
kapitalisme ekstraktif yang merongrong dan merenggut banyak rakyat dari
penghidupannya, sehingga menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan.
Selain dihadiri oleh berbagai elemen warga dan perwakilan organisasi
dalam NU, deklarasi ini juga mengundang kelompok-kelompok terdampak
konflik tata-kelola SDA, dan organisasi-organisasi dengan satu visi, seperti Omah
Kendeng (Pati), Gusdurian, Persatuan Petani Urut Sewu (Kebumen), Aktivis Lumpur
Lapindo (Sidoarjo), Jaringan Anti Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Serikat
Petani Kulonprogo (SPK), LKIS, Yayasan Silvagama (Kuningan, Jawa Barat), dan
ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama). Setelah berdirinya FNKSDA, organisasi-
organisasi ini menjadi mitra dan jaringan FNKSDA dalam menjalankan programnya
dan menyelenggarakan kegiatannya.15
Di antara inti petisi dan pernyataan sikap FNKSDA dalam deklarasi dan
halaqah pada 8-9 Desember tersebut, yang terpenting adalah:
1. Menuntut kepada Pemerintahan Republik Indonesia untuk menghentikan
usaha-usaha kapitalis ekstraktif yang membahayakan kedaulatan Republik
Indonesia merdeka dan Agama.
2. Menuntut PB Nahdlatul Ulama agar memerintahkan perjuangan “fi
sabilillah” guna merebut penguasaan sumber daya alam demi tegaknya
kedaulatan Republik Indonesia merdeka dan Agama Islam.
15
Hal ini diakui sendiri oleh FNKSDA. Seperti terlihat dalam publikasinya mengenai mitra dan
jaringan FNKSDA. URL: www.daulathijau.org/?cat=5
67
3. Menyerukan kepada semua warga Nahdliyin dan ummat Islam untuk
mempertahankan tanah air dari rongrongan kapitalisme ekstraktif dengan
merebut dan menasionalisasi penguasaan Sumber Daya Alam.
4. Menuntut pemerintah Republik Indonesia untuk membatalkan, mencabut,
menolak semua kontrak/ijin pengelolaan SDA yang merusak dan berpotensi
merusak daya hidup masyrakat, lingkungan dan tidak sesuai kebutuhan
nasional.
5. Menuntut Pemerintahan Republik Indonesia mengembangkan dan
memajukan energi terbarukan.16
Pernyataan ini sekali lagi menunjukkan bahwa Resolusi Jihad di awal
kemerdekaan perlu untuk di perbarui dan dikontekstualisasi. Hal ini bertujuan
untuk meneruskan perjuangan para pendahulu yang telah berkorban dengan darah
dan nyawa mereka. Jika mereka berjuang untuk kemerdekaan bangsanya dan
kedaulatan tanah airnya, maka sudah menjadi tugas generasi saat ini untuk
mempertahankan kedaulatan rakyat sebagai manifestasi dari kemerdekaan dan
kedaulatan bangsa.
Gambar 3.1: Deklarasi FNKSDA dan rilis pernyataan sikap Resolusi Jihad Jilid II di Tebuireng, Jombang
16
FNKSDA, Resolusi Jihad Jilid II: Mempertahankan Tanah Air dari Rongrongan
Kapitalisme Ekstraktif (2013).
68
B. Motivasi Bergabung dan Aktif dalam FNKSDA
Selain menelisik proses pendirian dan hal-hal yang melatarbelakangi
lahirnya FNKSDA secera kelembagaan, seperti yang sudah diulas pada bagian
sebelumnya, penting juga untuk mengetahui motif dan hal-hal yang mendorong
orang-orang, terutama generasi muda NU untuk aktif terlibat dalam FNKSDA.
Hal ini berguna untuk menjadi pintu masuk guna mengetahui corak dan proses
yang ada dalam FNKSDA serta persepsi mereka terhadap gerakan ini, baik ketika
mereka belum bergabung maupun sesudahnya.
Gus Syatori, ketika menyampaikan materi tentang “Ke-FNKSDA-an”
menyuguhkan cerita menarik bagaimana awal persentuhannya dengan gerakan ini.
“Awal perkenalan saya dengan front nahdiyyin cukup mengesankan.
Saat itu, saya tidak tahu apa itu Front Nahdliyyin. Yang saya tahu pokoknya
ada kata sumber daya alam di situ, yang berkaitan dengan lingkungan. Saat
itu saya di ajak ke suatu pertemuan di Jombang pada 2015 awal. Saya
bertanya kepada Gus Faiz, „ini organisasi apa?‟. Kata beliau, „sudah
pokoknya ikut saja, itu penting untuk gerakan sosial‟. Karena sebelumnya
saya kuliah di jurusan sosiologi, dan kebetulan juga menggeluti kajian-
kajian gerakan sosial, maka saya ngikut saja. Saya berangkat dengan cukup
lugu, karena saya sebagai dosen di IAIN, sok-sok intelek karena baru
pulang dari Jakarta kuliah dari UI. Berangkat itu dengan pertanyaan yang
sangat banyak, saya akan dapat apa kira-kira. Acara bagus tapi suruh beli
tiket sendiri. Kok aneh. Ah gapapa mungkin nanti diganti. Saya pikir
awalnya ini semacam pertemuan akbar biasa, yang ada penyandang
dananya, dan nanti setiap peserta akan diberi uang untuk transport dan
akomodasi.
Ternyata pas sampai di sana, saya justru kaget. Di situ yang
berkumpul malah banyak teman-teman yang sedang menghadapi masalah,
orang-orang curhat dengan masalah mereka, masalahnya sekitar
lingkungan, sumber daya alam. Banyak waktu itu dari Urutsewu, Kebumen,
yang punya maslah soal pasir besi. Areal pertanian warga yang kemudian
mengandung pasir besi diklaim oleh TNI untuk tempat latihan, dan untuk
disewakan. Ada juga Merah Johansyah yang waktu itu di bagian advokasi
Jatam Kaltim (kini menjadi koordinator nasional Jaringan Advokasi
Tambang [JATAM] sekaligus tergabung juga dalam FNKSDA, pen) yang
cerita banyak soal akibat pertambangan di sana. Kebetulan kasus yang
saya bawa waktu itu dengan teman-teman Cirebon adalah kasus geotermal,
69
Kuningan, yaitu rencana pembangunan Pembangkit Listrik tenaga panas
bumi yang tendernya dimenangkan oleh Chevron.”.17
Dari persentuhan itu, Gus Syatori memaparkan bahwa ada 3 hal yang
baginya menarik dalam FNKSDA, yang membuatnya mantap meemutuskan
bergabung dengan gerakan ini.
1. Masalah yang konkret. Pembahasan dalam pertemuan-pertemuan dan diskusi-
diskusi FNKSDA, termasuk yang dihadiri oleh Gus Syatori, semuanya adalah
kondisi riil yang dihadapi oleh masyarakat. Menurutnya, selaku dosen,
akademisi,18
dan orang yang juga lama bergiat dalam kajian dan gerakan LSM, di
kampus, di forum, dan di mana-mana, banyak orang berdebat berdiskusi suatu hal,
tetapi tidak punya kaki dan hanya mengawang-awang. Banyak teori dibicarakan
dan hal-hal yang berbusa-busa, tetapi banyak yang tidak mendarat, alias tidak
bersentuhan secara langsung, dan tidak dalam rangka menyelesaikan masalah.
Sementara saat itu, dalam pertemuan yang dihadirinya, dari mulai pertama
pertemuan sampai ditutup tidak ada persoalan yang tidak membumi. Semuanya
persoalan yang dihadapi oleh mereka yang hadir, semua konkrit, seperti
pertanyaan-pertanyaan bagaimana persoalan kita, sesungguhnya tanah kita ini
seperti apa, bagaimana kita perjuangkan, dst.
Gus Syatori lalu menyambung ceritanya,
“zaman muda saya dulu, saya juga aktivis. Aktivisme saya juga dulu
seperti itu, agak melangit, banyak teori, banyak konsep, banyak mimpi-
mimpi, banyak hal-hal yang tidak konkrit apa yang dihadapi. Di akhir
kuliah, saya berkenalan dengan aktivis sosial yang lebih membumi, saat
saya masih jadi santri Lirboyo sambil kuliah S1 di Kediri Jawa Timur. Saya
aktuf di Surabaya, bergiat di eLSAD (Lembaga Studi Agama dan
17
Panitia Pesantren Agraria, “Notulensi Kegiatan Pesantren Agraria Cirebon Raya”, hlm 1. 18
Gus Syatori menyandang gelar master dari Jurusan Soisologi Universitas Indonesia, dan
gelar doktor dari Jurusan Sejarah universitas yang sama.
70
Demokrasi), tidak berhubungan dengan hal-hal seperti itu. Latihan di
pasar, observasi, sudah memulai melekat. Tapi kemudian hilang, sudah
tidak lagi berhubungan dengan hal semacaam itu ketika di Jakarta. Jakarta
itu tempatnya wacana, tempat mengkhayal, padahal persoalan sosial sangat
konkrit di Jakarta. Aktivis banyak yang menghayal kemana-mana, tapi tidak
mendarat.
Ketika kembali ke Cirebon, dibawa Gus Faiz ke Front Nahdliyyin, saya
menemukan titik balik dari hal itu. Ini yang dari dulu saya inginkan,
bertemu banyak orang aktivis berbicara persoalan yang dihadapi bersama,
bukan persoalan yang lain. Apa persoalannya, bagaimana strateginya,
sama-sama saling menguatkan. Ini gue banget. Ini yang saya cari. Dari
sanalah saya memahami front.”
2. Kemandirian. FNKSDA sangat menekankan kemandirian ekonomi dalam
organisasinya dan gerakan yang mereka lakukan. Organisasi ini sangat berhati-
hati, dan sejauh ini menghindari, bahkan belum pernah menerima sama sekali
uang dari lembaga donor. Memang, dalam AD/ART disebutkan bahwa pendanaan
organisasi ini berasal dari tiga sumber, yaitu uang iuran anggota, sumbangan yang
tidak mengikat, dan usaha mandiri yang sesuai dengan prinsip perjuangan.19
Dan
menurut pegiat gerakan ini, uang dari lembaga donor sama sekali tidak termasuk
salah satu dari tiga sumber ini.
Hal ini karena, meskipun terlihat netral, tetapi lembaga donor pasti mempunyai
kepentingan ketika menggelontorkan dananya. Terlebih, kebanyakan lembaga
donor dibentuk untuk menampung dana CSR (Corporate Social Responsibility)
yang seringkali justru bertujuan memoderasi perlawan terhadap korporasi tertentu.
Karenanya, FNKSDA bertekad murni menjadi gerakan rakyat dan tidak bekerja
dengan cara serta tidak mau disebut sebagai LSM yang menerima uang dari
penyandang dana dan bahkan menggarap proyek-proyek pesanan, termasuk
proyek penelitian. Kenyataan ini dipahami dan disadari betul oleh pegiatnya,
19
AD/ART FNKSDA Bab IX Pasal 20 tentang Keuangan.
71
karena tak sedikit di antara mereka yang sudah berpengalaman banyak dalam
dunia LSM dan tahu betul seluk-beluk dunia ini.
FNKSDA lebih memilih metode iuran anggota untuk mendanai kegiatan-
kegiatannya, atau dalam khazanah Islam tradisionalis sering disebut “bantingan”
alias patungan. Selain itu, di beberapa wilayah mulai diupayakan pembentukan
koperasi sebagai usaha mandiri untuk mendanai gerakan. Mengingat pentingnya
kemandirian ini, maka sesi “Pengorganisiran & Kedaulatan Ekonomi” menjadi
salah satu materi wajib dalam forum-forum pengkaderan FNKSDA. Titik tekan
dan tawaran alternatifnya adalah pada bentuk koperasi sebagai usaha bersama
yang menjadi antitesa dari kapitalisme berwujud korporasi yang hendak mengaku-
mulasi kekayaan pribadi.20
Berkaitan dengan ini, muncul anekdot dan kelakar seputar pendanaan organisasi-
organisasi, khususnya yang ada dalam tubuh NU. Gus Fayyadl, koordinator
nasional FNKSDA menturkan, dilihat dari sumber keuangannya, NU terbagi
menjadi 3 mazhab. Pertama, adalah mazhab proposal, kedua adalah mazhab
bantingan alias patungan, dan ketiga adalah mazhab kebanting alias kolaps secara
keuangan. Disebut bahwa FNKSDA termasuk glongan yang kedua, meskipun
terkadang juga termasuk kelompok ketiga.21
Menurut Gus Fayyadl, kemandirian dari ikatan ketergantungan dengan pihak lain
inilah yang membuat FNKSDA nothing to lose dan total dalam perjuangannya.
“dari segi kemandirian, saya melihat ada kebebasan kita dalam memihak, dalam
20
FNKSDA, Pedoman Pengkaderan FNKSDA (2015). Penulis berterimakasih kepada Bung
Bosman Batubara yang telah memberikan dokumen ini. 21
Disampaikan oleh Gus Fayyadl selaku Komite Nasional dalam Rapat Nasional FNKSDA di
Ponpes Masyariqul Anwar, Babakan, Ciwaringin, Cirebon, pada 16 Oktober 2017 malam.
72
membela kasus, dst, itu karena kita ndak punya ketergantungan dengan siapapun.
Tidak ada patron, senior-yunior dalam front.”
Satu cerita mungkin dapat memberi gambaran tentang komitmen ini.
Suatu waktu pada 2016, beberapa aktivis dari berbagai macam gerakan dan LSM
yang sebelumnya sudah saling kenal dan terhubung melalui jaringan pertemanan
informal (terutama yang berdomisili di Jakarta), menginisiasi pendirian suatu
aliansi luas yang melibatkan banyak gerakan dari berbagai sektor dan isu.
Gerakan itu dinamai Gema Demokrasi (Gedor). Saat itu, termasuk FNKSDA
digandeng dan diajak bergabung. Sejak awal, FNKSDA sudah menyampaikan
klausul bahwa gerakan ini bisa saja bergabung dalam Gedor, dengan syarat bahwa
aliansi ini tidak menerima funding. FNKSDA menginginkan adanya swadaya
bersama-sama, dimana tiap organisasi berkontribusi dengan patungan sesuai
kemampuan dan kapasitasnya. Kesepakatan awal seperti itu.
Selang beberapa waktu, pada satu kegiatan yang diadakan oleh Gedor, terpam-
pang logo funding Tifa Foundation (satu organisasi yang dikenal menjadi
pemyandang dana bagi banyak LSM di Indonesia. Ketika hal ini diketahui,
muncul perdebatan hebat dalam internal FNKSDA, sampai di titik di mana ada
beberapa anggota front yang betul-betul keukeuh, dan bertekad akan keluar dari
front jika front masih berada dalam Gedor. Soal ini dianggap bukan perkara
sepele, karena sudah menyangkut hal prinsipil dan kemandirian organisasi.
Akhirnya diputuskan bahwa FNKSDA keluar dari Gedor. Setelah menceritakan
hal ini, Gus Syatori menambahkan,
“Teman-teman front sadar betul, kalau aktivisme sosial kita di Indonesia
dan arah gerakan kita sudah terbeli dengan wacana funding. Kalau ada
73
funding kita kaya terpenjara. Kelihatan seperti aktivis, aktif, padahal ketika
dana habis, kita tidak melakukan apa-apa. Itu terjadi di mana-mana. Misal
ada program pengawalan pemilu untuk memberikan kesadaran kepada
pemilih pemula, dengan dana 100 juta untuk waktu 1 tahun. Kita rancang
semua kegiatan, dengan visi bahwa ini kan kebaikan supaya kita memilih
calon yang baik. Dalam 3 bulan dana sudah habis, masih ada 9 bulan lagi.
Program masih panjang, apa yang terjadi? Lari sendiri-sendiri.
Saya dulu pengalaman sendiri. Saya tidak bermaksud menyalahkan
paradigma organisasi, tapi ini memang serangan kapitalisme. Apa
hubungan funding dengan kapitalisme? siapa funding-funding ini.
Kepentingan mereka apa? Nanti dapat diketahui bahwa mereka ini CSR-
nya perusahaan-perusahaan besar. Lembaga donor dibuat oleh raksasa
kapitalis di Amerika untuk memuluskan kepentingan mereka. Bagi mereka
kecil namun bagi kita besar. Itu hanya berapa persen dari dana perusahaan
mereka, tidak ada apa-apanya dibanding dana iklan.
Kita Front menyadari betul adanya dilema gerakan sosial seperti ini
dalam aktivisme kita. Bagaimana kita harus melepaskan diri dari jeratan
itu. Percuma kita capek-capek mengadvokasi masyarakat, kalau akhirnya
setelah selesai kemudian diklaim sama mereka. Kita jadi agen pengumpul
data saja. Data disusun, advokasi, laporan selesai, lalu dikasihkan ke
lembaga funding. Mereka mau bikin apa, kita nggak tau. Tiba-tiba bikin
alfamart. Kita sadari betul bahaya dari adanya funding ini. Untuk
lepas/tidak tergantung ini memang susahnya minta ampun.
Selama 8 putaran ini, PA (pesantren agraria, pen) tidak ada dana dari
donor. Temen-temen front punya kas, kita bantingan. Kita sedang menuju
gerakan koperasi front, kita sendiri yang membiayai dananya dan kita
gunakan untuk kegiatan kita. Jangan dikira ada kata Nahdliyyin lalu sama
dengan NU. Kita hindari kata NU, lebih menyukai kata Nahdliyyin, kita
ingin mengembalikan semangat dulu mbah-mbah awal pendiri NU, seperti
apa membangun NU. Semangat swadaya, swakelola, dan kemandirian
organisasi itu penting, sampai titik darah penghabisan tidak mau menerima
funding.22
Dalam tiap agenda FNKSDA, seperti musyawarah nasional (munas) atau menjadi
pemateri dalam pesantren agraria, anggota FNKSDA harus mengeluarkan sendiri
biaya untuk transportasinya, tanpa mengharapkan mendapat “amplop” sebagai
gantinya. Hal ini juga sekaligus menjadi seleksi, bahwa mereka yang aktif bergiat
dalam FNKSDA adalah mereka yang benar-benar berkomitmen dengan visi
gerakan dan perjuangan FNKSDA.
22
Panitia Pesantren Agraria, “Notulensi Kegiatan Pesantren Agraria Cirebon Raya” hlm 2.
74
Terkait hal ini, Gus Syatori mengenang bagaimana kemandirian itu betul-betul
ditunjukkan dalam laku yang konkret. Semisal, dalam pertemuan FNKSDA yang
dihadirinya, semua datang dan pulang dengan bekal masing-masing. Warga
Urutsewu yang datang berombongan dengan 1 bus, misalnya, membawa segala
macam perbekalan sendiri, seperti hasil panen, untuk kebutuhan mereka selama 3
hari di sana (di Jombang, tempat pertemuan), bahkan untuk dibagikan kepada
peserta lain.
Hal ini, menurut Gus Syatori, mengingatkannya akan cerita muktamar NU yang
pertama pada pertengahan dekade 1920-an, ketika NU belum menjadi rebutan
partai-partai dan pihak-pihak yang berkepentingan dan menggelontorkan dana.
Kala itu, konon warga nahdliyyin sampai merelakan menjual ternak mereka untuk
sekedar menghadiri muktamar dan bertemu dengan para kiai, walaupun bahkan
mereka tak berperan apa-apa dalam muktamar itu. “Itu dulu, mbah-mbah kita
seperti itu. Sekarang sudah berubah karena racun-racun partai”, begitu tuturnya.
3. Isu yang diangkat berkaitan dengan sumber daya alam. Persoalan ini merupakan
persoalan yang urgen di tengah masyarakat, dan bukan persoalan yang lain,
karena berkaitan langsung dengan hajat hidup dan penghidupan rakyat itu sendiri.
Ketika kita berbicara negara, maka tak lain sesungguhnya kita sedang
membicarakan tanah dan air. Tetapi, tanah air sekarang sekedar dipahami secara
simbolis saja di negeri ini. Klaim atas tanah menjadi sesuatu yang sangat urgen,
karena sumber-sumber kehidupan berawal dari tanah. Persoalan atas tanah, dirasa
harus menjadi perhatian utama. Karena tanah juga menjadi medan perebutan
antara pemilik modal yang akan mengivestasikan modalnya dengan menggunakan
75
tanah (entah untuk perkebunan, pertambangan, pembangunan pabrik, hingga
pembangunan infrastruktur) dan petani yang mempertahankan penghidupannya.
Menurut Gus Syatori, ketika kasus terkait perebutan sumber hidup ini semakin
hari semakin menumpuk, isu ini justru semakin terlewatkan oleh aktivis-aktivis
populis. Mereka, sebut Gus Syatori, lebih suka menggarap proyek-proyek pesanan
dan isu-isu yang digemari lembaga donor, seperti mengurusi pemilu, toleransi,
pluralisme, atau deradikalisasi. Ketika kemudian ada gerakan yang konsen di ditu
dengan gerakan yang sedemikian militan dan isu yang begitu konkret, serta
persoalan yang dihadapi begitu urgen sekali, maka FNKSDA menjadi menarik di
matanya ketika itu, yang mendorongnya untuk aktif digerakan ini, bahkan sampai
muncul tekad “saya akan terus dengan Front Nahdliyyin”.
Terlebih, yang menjadikannya semakin menarik, karena FNKSDA digerakkan
oleh kalangan yang lahir dari tradisi keislaman yang kuat dan memiliki afiliasi
ideologis-kultural dengan NU sebagai ormas keagamaan Islam, namun umumnya
isu agraria dan tata kelola sumber daya alam tak menjadi perhatian utama, karena
kebanyakan kalangan nahdliyyin, termasuk pengurus NU secara struktural, belum
menganggap persoalan ini sebagai perkara seirius, sama seriusnya dengan tema
terorisme, kontra-radikalisme, ancaman terhadap kebhinekaan dan toleransi, dan
isu-isu lain yang hari ini masih menjadi perhatian utama di kalangan NU.
Gus Fayyadl sendiri sebagai sosok kharismatik yang disegani dalam gerakan ini
karena keluasan pengetahuannya, sudah mendorong agar kalangan santri tidak
membatasi diri hanya bergiat dalam aktivitas yang selama ini sudah menjadi
mainstream bagi mereka. Ia mendorong supaya aktivis muslim (baca: aktivis yang
76
datang dari latar belakang kultur dan tradisi Islam yang kuat) memasuki spektrum
pergerakan yang lain. Dalam satu wawancara dengan media progresif ternama, ia
menyatakan,
“Dahulu, para aktivis muslim kita memiliki spektrum pergerakan yang
luas. Mereka bergerak di perserikatan buruh, jurnalisme, keperempuanan,
kepemudaan, pendidikan rakyat, sampai pada jalur politik formal-
parlementer. Semua untuk misi pembebasan. Sekarang, berapa banyak
tokoh muslim yang aktif di perburuhan? Ini satu contoh kecil. Sektor-
sektor yang berhubungan dengan rakyat, dan paling rawan terdampak
ketidakadilan, justru ditinggalkan oleh para aktivis agama. Kalau „pos-
pos‟ itu bisa diisi kembali, akan berbeda cerita agama di negeri ini”.23
Dengan segala pertimbangan di atas, FNKSDA memutuskan untuk memfokuskan
diri bergiat di isu tata kelola dan kedaulatan SDA, khususnya yang berkaitan
dengan sektor agraria. Hal ini mengingat sebagian besar kalangan nahdliyyin di
desa-desa masih terkonsentrasi di sektor agraria, dan karena sektor ini yang paling
rawan terdampak oleh maraknya pembangunan akhir-akhir ini.
Karenanya, pengkaderan mereka pun dinamai pesantren agraria (PA). Memang, di
hampir setiap kegiatan, diutamakan untuk diadakan di pesantren. Seperti yang
paling mutakhir, PA Cirebon Raya diadakan di Ponpes Masyariqul Anwar,
Babakan, Ciwaringin, Cirebon. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa selayak-
nya nahdliyyin, FNKSDA juga berangkat dari pesantren. FNKSDA yang keba-
nyakan kadernya adalah santri, bahkan tak jarang juga keluarga pengelola pesan-
tren, berharap kedepannya pesantren tidak terisolir dari problem yang dihadapi
umat, utamanya nahdliyyin. Dan harapannya, pesantren juga menjadi episentrum
gerakan yang membela kalangan santri.
23
Rio Apinino, “Muhammad Al-Fayyadl: Pada Level Aksiologis: Islam dan Marxisme
Menjadi Sangat Kompatibel”, wawancara Muhammad Al-Fayyadl dengan Rio Apinino, 29
Agustus 2015, Jurnal IndoProgress Online. URL: https://indoprogress.com/2015/08/muhammad-
al-fayyadl-pada-level-aksiologis-islam-dan-marxisme-menjadi-sangat-kompatibel/
77
Gambar 3.2: Pesantren Agraria Cirebon Raya, pengkaderan FNKSDA yang paling terakhir dilaksanakan.
Seperti dituturkan Gus Syatori, basis petani dan rakyat yang berkonflik dalam
urusan agraria, memang kebanyakan warga nahdliyyin. Jika ditelisik, warga
Urutsewu itu nahdliyyin, rakyat Kertajati yang desanya hendak digusur untuk
bandara juga adalah nahdliyyin. Aktivitas mereka menunjukkan bahwa mereka
semua adalah nahdliyyin, setidaknya secara kultural. Ada istighosah, tahlil, ziarah
kubur, peringatan maulid nabi dan hari besar Islam lainnya yang menjadi indikasi.
Ia melanjutkan,
“Semua yang terkonflik agraria ternyata Nahdliyyin. Kemudian kenapa
anda yang orang NU tidak mau mengurusi persoalan agraria yang konkret
sedang dihadapi, bukan persoalan yang lain. Mungkin anda sekarang
nyaman-nyaman saja tinggal di rumah. Tapi kalau ternyata di bawah
rumahmu ada kandungan mineral, gas, siap-siaplah digusur, dan itu tidak
kita sangka-sangka waktunya. Sekarang lagi musim eksplorasi eskploitasi.
Kalau dulu jaman penjajahan, orang ngambil/menjajah itu di atas tanah.
Belanda nganmbil kopi, ngambil cengkeh. Sekarang penjajahan itu di
bawah tanah, yang diambil gas, emas, tembaga, geotermal, minyak dll.
Bumi kita sedang dikerowoki, dikeroposi dan itu besar-besaran. Orang
78
yang punya uang ingin mengakumulasi modalnya dengan cara
mengkeroposi bumi. Kita sedang tidak berdaulat dengan sumber daya alam.
Dalam beberapa tahun ke depan sangat memprihatinkan.”24
C. Pola Keorganisasian dan Keanggotaan dalam FNKSDA
“FNKSDA berbentuk persyarikatan dan jaringan” (AD/ART FNKSDA
Bab 1 Pasal 3)
Pada intinya, seperti ditunjukkan oleh AD/ART, FNKSDA bersifat jejaring
yang tidak terpusat, tetapi terdesentralisir. Itulah salah satu alasan mengapa
digunakan istilah “front”, selain untuk menunjukkan konotasi sifatnya yang
“militan, demokratis, dan independen”.25
Dalam front nahdliyyin, semua wilayah mempunyai kemandirian dan
kewenangan mengelola aktifitasnya, tapi tetap dikoordinasikan dengan pengurus
wilayah lain dan anggota komite nasional. Namun, pada prinsipnya tetap tidak ada
pimpinan, karena komite nasional berfungsi sebatas kordinator saja, yang bagian
tugasnya adalah “mensosialisasikan hasil-hasil Munas, mengkoordinasikan antar
koordinator wilayah dalam pengambilan keputusan, dan mengkomunikasikan isu-
isu terkait SDA pada pihak-pihak terkait baik internal maupun eksternal”.26
Karenanya, “tidak ada garis komando dalam front, adanya garis koordinasi”,
menurut Gus Syatori. Lebih lanjut, Gus Fayyadl menambahkan, “kita secara
nasional itu memberi keleluasaan kepada kawan-kawan untuk bereksperimen
sesuai daerahnya masing-masing”.
Bisa dibilang, gerakan FNKSDA mulai tertata semenjak Munas pertama di
Kuningan pada April 2015. Seiring dengan semakin rapinya organisasi, proses
24
Panitia Pesantren Agraria, “Notulensi Kegiatan Pesantren Agraria Cirebon Raya” hlm 4-5. 25
AD/ART FNKSDA Bab I Pasal 3. 26
AD/ART FNKSDA Bab IV Pasal 9.
79
pengkaderan juga mulai berjalan. Setelah Munas, mulai diadakan Pesantren
Agraria (PA) yang pertama kali bertempat di Jombang. Sampai saat ini, sudah 8
kali kegiatan pesantren agraria diadakan, meliputi wilayah Jombang, Gresik,
Probolinggo, Samarinda, Semarang, Yogyakarta, Batam, dan terakhir Cirebon. Di
wilayah-wilayah yang diadakan PA, secara otomatis telah berdiri cabang
FNKSDA, dan setiap peserta yang telah mengikuti PA dan mengisi formulir
anggota, secara otomatis juga menjadi anggota FNKSDA.
Namun, bukan berarti bahwa FNKSDA Wilayah baru bisa terbentuk setelah
diadakan PA. AD/ART tidak mengatur khusus soal ini, dan faktanya ada beberapa
FNKSDA Wilayah yang tidak terbentuk melalui proses PA, seperti FNKSDA
Malang, Jember, Banyuwangi, Pasuruan, Bandung, dan Kuningan. Juga di
Urutsewu, Kebumen, yang bahkan sejak awal berdirinya FNKSDA sebenarnya
sudah aktif bahkan terlibat aktif dalam agenda-agenda front, seperti pertemuan
dan Munas.27
Meskipun mungkin dalam upaya lokal mereka tidak secara formal
menonjolkan bendera front. Terkait hubungan antara petani Urutsewu dengan
FNKSDA ini, ada hal menarik yang diceritakan Gus Fayyadl,
“jama‟ah front ini artinya orang yang tertarik dengan isu-isu yang diangkat
oleh front, tetapi ndak bisa aktif di situ. Dan yang seperti ini, basis dari
nahdliyyin itu sebenarnya. Karena banyak orang-orang, misalnya petani-
petani yang tertarik sekali, bahkan mengaku „saya sudah front nahdliyyin‟
katanya, padahal baru ikut diskusi saja. Itu terjadi di Kebumen, di
Urutsewu. Sempat ketika kita tanya, mereka merasa lebih NU dengan front
nahdliyyin dibanding dengan NU itu sendiri.”.28
Dalam AD/ART hanya diatur bahwa,
27
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017, bertempat di Sekretariat Saung Dulat
Amarjati. 28
Disampaikan oleh Gus Fayyadl dalam Rapat Nasional FNKSDA di Babakan, Cirebon, 16
Oktober.
80
“Syarat minimal pendirian wilayah adalah memiliki anggota 7 orang,
termasuk di dalamnya pengurus; dengan pertimbangan sebagai berikut:
Tiga orang akan menjadi pengurus Wilayah (Koordinator wilayah,
Sekretaris wilayah, dan Kepala Biro Litbang), satu orang untuk mengurus
pengkaderan, satu orang membangun jaringan, satu orang mengatur
diskusi 3 bulanan, satu orang menjadi bagian dari Biro Litbang”.29
Dalam perekrutan anggota pun, FNKSDA memang menghindari formalitas
dan agenda-agenda seremonial. Ketika seseorang sudah mengikuti PA dan
menyetujui aturan dan prinsip yang berlaku di front, serta bersedia mengisi
formulir keanggotaan, maka dia sudah menjadi anggota front, tanpa ada proses
seperti pembaiatan. Hal ini, menurut Gus Fayyadl, untuk menghindari adanya
fanatisme dan fetishisme alias pemujaan berlebih terhadap organisasi, alih-alih
visi perjuangan organisasi itu sendiri yang sebenarnya merupakan tujuan yang
lebih penting. Opsi ini dipilih setelah melihat pengalaman organisasi-organisasi
lain yang kader-kadernya banyak terjebak dalam pemujaan semacam ini.
Selain itu, FNKSDA juga berusaha menjadi satu organisasi yang sehat,
termasuk dengan mengikis praktik-praktik buruk yang selama ini ada di organisasi
lain, termasuk NU sendiri, seperti kultur patronase, feodalisme, atau senioritas. Di
front, misalnya, sebisa mungkin dihindari stratifikasi sosial, seperti antara gus
(putra atau keluarga kiai) dan santri biasa. Karenanya, di FNKSDA, semua orang
dipanggil gus, tanpa memandang latar belakangnya. Gus Faiz menjelaskan,
“Panggilan Gus itu memang dulu kesepakatan waktu di Jogja. Karena di
zaman pergerakan dulu, era pra-merdeka kan panggilannya bung. Bung
Karno, Bung Hatta, dll. Makanya kita sebagai Nahdliyyin harus punya
panggilan akrab, dipilihlah panggilan „Gus‟. Gus itu sebenarnya kalau di
gerakan ya „bung‟. Nahdliyyin kita artikan secara luas adalah orang-orang
yang bangkit untuk berjuang. Jadi kalo di kita, gus itu bukan panggilan
29
AD/ART FNKSDA Bab III Pasal 18
81
sekedar untuk anak kiai, tapi semua yang berjuang. Karena kita di front ini
semua sedang berjuang, makanya dipanggil gus semua.”30
Pengikisan terhadap feodalisme yang selama ini menjangkiti dunia pesan-
tren dan kelompok nahdliyyin ini betul-betul diterapkan dalam laku sehari-hari.
Sebagai contoh, yang penulis saksikan sendiri, dalam Pesantren Agraria, anggota-
anggota yang sudah menjadi pengurus, bahkan Komite Nasional, yang sebenarnya
terpaut jarak dengan peserta biasa, baik dari segi usia, pengalaman, maupun kelas
sosial (gus dan bukan), makan dan duduk bersama secara egaliter dalam satu
majelis, dan sama sekali tak ada pembedaan, baik itu dalam hal fasilitas,
akomodasi, konsumsi, dan pelayanan lainnya.
Berdasarkan Rapat Nasional FNKSDA di Semarang, disepakati bahwa
keanggotaan dalam front akan dibagi menjadi dua macam. Yang pertama adalah
pegiat, sementara yang kedua adalah jama’ah. Pegiat berarti anggota-anggota
yang betul-betul aktif terlibat dalam kegiatan dan agenda-agenda front, terutama
mereka yang menjadi pengurus, baik di tingkat nasional maupun wilayah.
Sedangkan jama’ah adalah mereka yang mengikuti pengkaderan front atau terlibat
terbatas dalam agenda front, tetapi tidak bisa aktif sepenuhnya dalam front.
Contoh dari jamaah adalah masyarakat terdampak konflik agraria atau tata kelola
SDA yang diadvokasi oleh front lalu tertarik, tetapi tak bisa aktif mengurus
FNKSDA secara keorganisasian. Dalam AD/ART memang disebutkan31
, bahwa
kader FNKSDA dicari, salah satunya dari elemen “masyarakat marjinal yang
berada di ruang konflik”.
30
“Notulensi Kegiatan Pesantren Agraria Cirebon Raya”, hlm 4. 31
AD/ART FNKSDA, Bab II Pasal 10.
82
BAB IV
VISI EKONOMI-POLITIK FNKSDA DAN STRATEGI
PERJUANGANNYA
A. Ketimpangan & Konflik Agraria di Indonesia Mutakhir
Idham Arsyad, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria, dengan
eksplisit menyebut ―Kusutnya Keagrariaan Kita‖ dan menjadikannya sebagai
judul salah satu tulisannya tentang persoalan ini. Dalam tulisan tersebut, ia
menjabarkan fakta ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia sebagai berikut:
“Di sektor kehutanan, 531 izin atas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan
Hutan Tanaman Industri (HTI) yang luasnya mencapai 35,8 juta hektar
telah dikuasai beberapa konglomerat nasional dan asing. Sementara ada 57
izin pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan luas Cuma 0,25 juta hektar.
Artinya, hanya 0,19 persen masyarakat pedesaan mendapatkan akses
secara legal atas kawasan hutan.
Di sektor perkebunan, terdapat 11,5 juta hektar lahan perkebunan sawit,
52% milik swasta dan 11,69% milik perusahaan negara. Di pertambangan,
tercatat sejak 1998-2010 hampir 8.000 perizinan tambang dikeluarkan dan
3 juta hektar kawasan hutan lindung beralih fungsi menjadi kawasan
pertambangan.
Termasuk dalam sektor kelautan, lebih dari 20 pulau telah di kavling orang
dan badan hukum asing untuk industri pariwisata dan sekitar 50.000 hektar
konsesi budidaya di bawah penguasaan asing. Sekitar 1 juta hektar
ekosistem pesisir sudah dikonversi untuk perluasan perkebunan sawit dan
pembangunan reklamasi pantai.
Sementara itu, potret ketimpangan kian nyata bila dibandingkan dengan
penggunaan lahan untuk sektor pertanian. Berdasarkan data BPS (2003),
37,7 juta rumah tangga petani hanya menggunakan lahan pertanian 21,5
juta hektar. Dari 37,7 juta rumah tangga petani itu, 36%-nya adalah petani
tak bertanah dan 24,3 juta petani yang menguasai tanah rata-rata hanya
0,89 hektar per rumah tangga‖.1
Data yang dirilis tak lama setelah artikel Idham Arsyad ini terbit juga
mencengangkan. Disebutkan bahwa di tahun 2004 hanya terdapat 13 unit usaha
pertambangan yang mengalihfungsikan hutan lindung seluas 925.000 hektar.
1 Idham Arsyad, ―Kusutnya Keagrariaan Kita‖, Kompas, 25 September 2012.
83
Angka itu meningkat tajam pada tahun 2012 menjadi 924 unit usaha dengan luas
total 6.578.421 hektar. Menurut data Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), hingga November 2012 tercatat ada 10.677 Izin Usaha
Pertambangan (IUP) telah selesai didata ulang dan dilabeli sertifikat Clean and
Clear (CnC) yang berarti tidak berkonflik dengan manajemen hutan yang lain,
seperti hutan lindung.2
Permasalahan ini tidak jarang memicu konflik agraria di berbagai wilayah di
Indonesia. Pada tahun 2013 tercatat ada 232 konflik SDA dan agraria di 98
kabupaten kota di 22 provinsi di Indonesia yang mengorbankan warga, yang
dalam banyak kasus adalah petani. Dari 232 konflik ini, 69% di antaranya adalah
dengan aktor korporasi (swasta), dengan Perhutani 13%, taman nasional 9%,
pemerintah daerah 3%, dan instansi lain 1%.
Sementara itu, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),
sepanjang periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja,
terjadi 1.391 konflik agraria di Indonesia, dengan areal seluas 5.711.396 hektar.
Terdapat lebih 926.700 keluarga menghadapi ketidakadilan agraria. Di sektor
perkebunan ada 536 kasus, infrastruktur ada 515 kasus, kehutanan ada 140 kasus,
tambang 90 kasus, pertanian 23 kasus, dan pesisir-kelautan enam kasus.
Sementara pemerintah kerap kali tidak menunjukkan keberpihakannya kepada
rakyat, bahkan menggunakan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer
yang mengakibatkan sekitar 1.354 orang ditahan, 553 luka-luka, 110 tertembak
aparat, serta 70 orang tewas. Itu baru yang tercatat, sementara yang tidak tercatat
2 Lembar Kerja FNKSDA, hlm 1.
84
mungkin lebih banyak lagi. Maraknya konflik agraria disebabkan oleh salah urus
sumber-sumber agraria yang berkepanjangan. Salah urus ini ditandai dengan
absennya perhatian pemerintah atas persoalan rakyat, baik dalam pemenuhan
kesejahteraan maupun penanganan krisis sosial-ekologis yang semakin hari
semakin memburuk.3
Karena absennya peran pemerintah dalam menangani konflik agraria ini, dan
bahkan justru terkadang pemerintah membela pihak-pihak yang bersengketa dan
akan merugikan rakyat, maka tak heran jika desa sebagai basis dari pertanian
masih menjadi penyumbang angka kemiskinan di Indonesia. Tercatat per-Maret
2016, sebanyak 17,67 juta penduduk miskin hidup di desa, sementara 10,34 juta
penduduk miskin hidup di kota, dengan 60% dari total keseluruhan sekitar 28 juta
penduduk miskin adalah petani dan keluarganya. Persentase penduduk miskin di
daerah perdesaan ini naik dari 14,09 persen pada September 2015 menjadi 14,11
persen pada Maret 2016. Kemudian, Indeks Kedalaman Kemiskinan naik dari
2,40 di tahun 2015 menjadi 2,74 dan Indeks Keparahan Kemiskinan naik dari 0,67
di tahun 2015 menjadi 0,79 di tahun ini.4
Salah satu akar kemiskinan di desa ini adalah karena monopoli pemilikan
dan penguasaan tanah maupun sumber agraria lainnya bukannya berkurang,
namun terus terjadi di negara ini. Sektor pertanian pangan tak luput dari praktik
ini. Laju konversi lahan pertanian ke non-pertanian berjalan begitu cepat dan
meluas, sekitar 200.000 Ha/tahun. Jika pun bertahan sebagai lahan pertanian,
3 Konsorsium Pembaruan Agraria, Laporan Akhir Tahun 2013: Warisan Buruk Masalah
Agraria di Bawah Kekuasaan SBY (Jakarta: KPA, 2013). 4 Badan Pusat Statistik, Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2016, dalam Berita Resmi
Statistik No. 66/07/Th. XIX, 18 Juli 2016.
85
pemilikannya telah berpindah tangan ke perusahaan-perusahaan pertanian skala
besar. Tercatat, lahan-lahan pertanian telah dikuasai oleh 2.452 usaha pertanian
berskala besar. Demikian juga lahirnya kawasan-kawasan industri baru
menyebabkan konversi lahan dan konflik agraria.5
Kepemilikan tanah kaum tani yang semakin kecil akibat perampasan tanah
secara sistematis dan berkelanjutan, akibat perluasan perkebunan, proyek
infrastruktur, properti, kawasan industri, dan sebagainya, ini bahkan diakui sendiri
oleh pemerintah. Menteri Agraria dan Tata Ruang, dalam salah satu kesempatan
menyatakan bahwa ―berdasarkan konsep Gini Rasio, penguasaan tanah di
Indonesia mendekati angka 0,59 yang artinya hanya sekitar 1 persen penduduk
yang menguasai 59 persen sumber daya agraria, tanah dan ruang‖.6
Sementara itu, di waktu yang bersamaan, dari waktu ke waktu pergolakan ini
semakin sengit seiring dengan kemerosotan dan himpitan ekonomi yang dialami
oleh kaum tani. Pada saat lapangan pekerjaan semakin sulit didapatkan, biaya
hidup semakin tinggi, biaya produksi pertanian meningkat di tengah harga
produksi yang merosot menjadi penyebab utama masyarakat pedesaan mengalami
kemiskinan yang semakin kronis dan kesulitan untuk sekedar bisa bertahan hidup,
ditambah dengan kenaikan berbagai tarif pajak dan listrik, pencabutan subsidi
publik dan lain-lain.
Kemudian, monopoli terhadap benih juga menjadi persoalan lain yang tak
kalah pelik. Berdasarkan data dari Aliansi Petani Indonesia (API), pemerintah
5 Konsorsium Pembaruan Agraria, ―Pernyataan Sikap Hari Tani Nasional 2016‖, 27 September
2016. URL: http://www.kpa.or.id/news/blog/pernyataan-sikap-hari-tani-nasional-2016/ 6 http://www.bpn.go.id/BERITA/Siaran-Pers/hantaru-2016-wujudkan-reforma-agraria-dan-
tata-ruang-yang-berkeadilan-64410
86
hanya mengontrol sekitar 196 ton benih jagung, selebihnya 36.613 ton benih
jagung dikontrol korporasi. Untuk benih padi, total kebutuhan di Indonesia sekitar
330.000an ton setiap tahun, penyedia benih bersubsidi yaitu PT Sang Hyang Sri
dan PT Pertani hanya menyediakan sekitar 50 ribu sampai dengan 100 ribu ton
pertahun.7
Semua hal ini menyebabkan profesi sebagai petani mulai ditinggalkan, karena
dirasa semakin tidak menjanjikan dan menguntungkan, atau karena keterpaksaan
sebab penggusuran petani dari lahan mereka sendiri. Sensus pertanian yang
dilakukan oleh BPS pada 2013 menunjukkan bahwa jumlah rata pertanian
mengalami penurunan signifikan dalam 10 tahun, terhitung sejak 2003. Selama
kurun waktu itu, rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan menyusut dari
sekitar 30 juta keluarga, menjadi hanya 25 juta keluarga, 10 tahun kemudian. BPS
mencatat bahwa peurunan ini mencapai prosentase 15,35%. Di sisi lain, jumlah
keluarga petani gurem (petani tak bertanah atau bertanah kurang dari 0,5 hektar)
juga mengalami penurunan yang sama, dengan prosentase yang lebih besar, yaitu
dari 19 juta menjadi 14 juta keluarga, yang berarti penyusutan sebanyak 25,07%.8
Penurunan jumlah petani, khususnya petani gurem, menunjukkan makin
sulitnya mereka mendapat akses lahan. Hal ini justru semakin diperburuk dengan
keluarnya regulasi baru berupa UU No 19 Tahun 2013 yang judulnya ―Tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, namun justru menyengsarakan banyak
petani dengan rincian pasal-pasalnya. Salah satu yang dikeluhkan adalah adanya
kebijakan baru untuk menarik uang sewa terhadap petani gurem yang menggarap
7 Konsorsium Pembaruan Agraria, ―Pernyataan Sikap Hari Tani Nasional 2016‖.
8 Sensus Pertanian BPS 2013. URL: https://st2013.bps.go.id/dev2/index.php
87
lahan terlantar milik negara. Padahal sebelumnya mereka tidak diharuskan
membayar sewa ini. Menurut sebagian petani, negara justru harusnya memberikan
insentif pada sektor pertanian dengan keudahan-kemudahan, agar semakin banyak
orang yang mau kembali ke pertanian, bukan malah membebani mereka dengan
pembiayaan-pembiayaan yang memberatkan. Karena UU ini alih-alih melindung
petani, seperti judulnya, namun justru menyusahkan mereka, maka sebagian
petani lalu menggugat keberlakuan UU ini melalui mekanisme judicial review ke
Mahkamah Konstitusi, yang akhirnya membatalkan berlakunya UU ini.9
Lahan memang adalah jaminan kesejahteraan bagi petani. Satu studi menun-
jukkan bahwa petani yang memiliki lahan sawah dua hektar akan mendapat
keuntungan sekitar Rp 21,9 juta sekali panen (jangka waktu 4 bulan), atau sekitar
Rp 5,48 juta per bulan. Bila petani memiliki lahan sawah 5 hektar, pendapatan per
bulan mencapai sekitar Rp 13,7 juta, dan bila petani hanya memiliki 1 hektar,
pendapatan per bulan hanya Rp 2,7 juta. Pendapatan dari usaha tani padi dinilai
cukup layak bagi penghidupan keluarga petani apabila petani memiliki lahan
sawah 2 hektar, atau minimal 1 hektar.
Namun, sayangnya, secara prosentase, tak banyak petani yang memiliki lahan
seluas itu. Sekitar 60% dari seluruh petani adalah petani penggarap yang tak
punya lahan, atau petani dengan lahan kurang dari 0,5 hektar. Secara rata-rata,
luasan lahan yang dimiliki petani Indonesia adalah sekitar 0,5 hektar, berbeda jauh
9 Seperti ditunjukkan dalam wawancara dengan Amin Jalalain dalam fim dokumenter 5 Tahun
DPR #2 Public Policy yang diproduksi Watchdoc. URL: https://youtu.be/1hLwYZTqMqI
88
jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain, seperti Malaysia yang rata-
rata lahan petaninya adalah 4 hektar, dan Thailand sebanyak 5 hektar.10
Padahal, sejak era pemerintahan SBY, ia sudah menyatakan bahwa ada
sekitar 9 juta hektar lahan yang bisa diredistribusikan kepada petani, tetapi tak
terlaksana hingga hari ini. Padahal, apabila program ini benar-benar berjalan, di
mana setiap petani mendapat 1 hektar lahan, dan setiap hektar akan menghasilkan
rata-rata 1,8 ton beras, maka Indonesia akan mengalami penambahan produksi
16,2 juta ton beras. Dengan jumah ini, Indonesia akan mengulangi kesuksesan
swasembada pangan, bahkan bisa mengekspor surplusnya ke luar negeri.11
Dalam perkembangannya, monopoli perusahaan besar asing dan dalam negeri
atas tanah menjadi semakin luas dan intensif, terutama melalui program PIS-
AGRO (Partnership for Indonesian Agriculture Sustainable/Kemitraan Pertanian
Berkelanjutan). Dalam laman resmi program ini disebutkan bahwa,
“PISAgro dicetuskan pada pertemuan World Economic Forum on East Asia
di Jakarta pada Juni 2011 dan resmi beroperasi pada tahun 2012.
Kemitraan ini mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Indonesia
melalui Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Pertanian
dan Kementerian Perdangangan‖.12
Tujuh perusahaan pendiri PIS-AGRO mayoritasnya adalah perusahaan-
perusahaan besar asing dan melibatkan perusahaan lokal, yakni: Nestle, Unilever,
Syngenta, Bayer, McKinsey & Company, Sinar Mas, dan Indofood. Hingga
sekarang, perusahaan besar asing dan nasional terus bertambah, seperti Monsanto,
10
Sumarno dan Unang G. Kartasasmita, ―Kemelaratan Bagi Petani Kecil di Balik Kenaikan
Produktivitas Padi‖, Sinar Tani (Edisi 30 Des ‘09 – 5 Januari 2010; No. 3335 Tahun XL), hal 18. 11
Dianto Bachriadi, ―Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program
Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY‖,
disampaikan dalam Pertemuan Organisasi-Organisasi Rakyat Se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007.
Diunduh dari http://ikuswahyono.lecture.ub.ac.id/files/2015/11/DBReforma-Agraria-untuk-
Indonesia.pdf 12
https://www.smart-tbk.com/pdfs/Announcements/PISAgro%20Data%20dan%20Fakta.pdf
89
Duppont, Cargill, BASF, Louis Dreyfus Commodities, IDH, Mercy Corps
Indonesia, Tiga Pilar Sejahtera, BT-Cocoa, Kirana Megatara, Gunung Sewu
Group. Lembaga khusus pembiayaan juga telah disiapkan melalui anak
perusahaan Bank Dunia International Finance Corporation (IFC), kemudian
RaboBank13
, dengan mitra lokalnya Bank Mandiri, BNI, dan BRI.14
Produk
komoditas pertanian yang ditargetkan oleh program ini meliputi: beras, jagung,
kentang, holtikultur, kopi, kakao, kelapa sawit, karet, kedelai, dan susu sapi perah.
Namun, jangan bayangkan perusahaan-perusahaan itu hendak mensejahterakan
rakyat Indonesia. Hasil produksi pangan dari program ini saja berorientasi ekspor,
bukan untuk kebutuhan dalam negeri dan memenuhi kebutuhan dasar rakyat
hingga terwujudnya kedaulatan pangan.15
Karenanya, bisa dibilang, keberadaan korporasi-korporasi besar ini, bukannya
menguntungkan rakyat Indonesia, tapi justru merugikan mereka, setidaknya dalam
dua tingkat. Pertama, perusahaan-perusahaan ini mengambil alih lahan-lahan
produktif yang harusnya menjadi hak petani Indonesia untuk kemakmuran
mereka, dan memonopolinya serta mengeruk keuntungan dari hasilnya. Kedua,
produksi hasil pertanian dan perkebunan dari lahan-lahan ini, bukannnya
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri rakyat Indonesia, justru untuk
dilempar kepasar dunia dengan cara diekspor. Karenanya, prestasi-prestasi dalam
bidang agraria yang beberapa kali diklaim oleh pemerintah, seperti peningkatan
13
http://www.pisagro.org/members 14
http://www.beritasatu.com/ekonomi/248576-konsorsium-swasta-realisasikan-investasi-
agrobisnis-rp-76-m.html; http://www.pisagro.org/agri-finance 15
Selain diindikasikan oleh berbagai LSM di isu agraria, kenyataan ini juga diakui sendiri oleh
PIS-AGRO dalam beberapa laporannya. Baca misalnya PISAgro NEWS, Buletin Triwulan,
Januari 2015, No. 9.
90
produktifitas hasil pertanian, menjadi tidak berarti karena dampaknya sama sekali
atau minim sekali dirasakan oleh rakyat Indonesia itu sendiri.
B. Ekonomi-Politik dan Kapitalisme Ekstraktif Sebagai Isu Utama FNKSDA
Sejak diskusi-diskusi pra-pendirian FNKSDA, sudah terlihat bahwa gerakan
ini akan berfokus di isu ekonomi-politik, khususnya yang menyebabkan konflik
tata kelola SDA dengan rakyat Indonesia. Dalam AD/ART FNKSDA sendiri
secara jelas dinyatakan bahwa salah satu tujuan gerakan ini adalah “memperkuat
dan mendukung perjuangan ekonomi-politik dan kultural masyarakat korban
konflik Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia‖.
Dalam pokok-pokok perjuangannya, dengan eksplisit juga disebutkan bahwa
secara ekonomi-politik, FNKSDA akan menentang tatanan kapitalisme beserta
ekses-eksesnya, ―melibatkan diri secara aktif dalam perjuangan masyarakat
korban konflik SDA melawan kekuatan kapitalisme dan upaya perusakan alam‖.
Frasa terakhir ―upaya perusakan alam‖ secara tidak langsung menunjukkan bahwa
di antara sekian banyak sektor dalam kapitalisme, FNKSDA akan lebih berfokus
pada isu kapitalisme ekstraktif, yang berdampak langsung pada sektor agraria.16
Mengenai pemilihan isu kapitalisme ekstraktif, selain didasari pertimbangan
bahwa banyak nahdliyyin yang terdampak oleh sektor kapitalisme ini dan belum
banyak yang memberi perhatian terhadapnya, khususnya dalam elemen NU
sendiri, juga dilandasi kenyataan bahwa sektor ini memang sektor yang sangat
16
Lembar Kerja FNKSDA, hlm 7. Dan teks ―Resolusi Jihad Jilid II: Mempertahankan Tanah
Air dari Rongrongan Kapitalisme Ekstraktif‖.
91
urgen dan merupakan mata rantai utama dalam kapialisme mutakhir hari ini.
Mengenai ini, Gus Syatori menyatakan,
―setelah mendengarkan banyak cerita di Jombang itu, saya jadi tersadarkan
kalau persoalan sumber daya alam merupakan persoalan yang urgen di
masyarakat, bukan persoalan yang lain, karena menyangkut pada hajat
hidup mereka. Tanah, air, udara sekarang memang masih bebas, tetapi
sekarang lagi dirongrong, khususnya tanah dan air. Di mana-mana ketika
berbicara negara ya tanah air, lalu tanah air apa, terkadang kita lupa
tanah dan air. Tanah air sekarang sekedar simbolis saja di negara kita, kita
tidak berbicara betul-betul terkait tanah dan air.
Klaim atas tanah menjadi sesuatu yang sangat urgen, karena sumber-
sumber kehidupan yang lain berawal dari tanah. Persoalan tanah harus
menjadi perhatian. Semua aktifitas manusia seperti proyek kapitalis pun
sumbernya dari tanah. Bagaimana mungkin orang yang punya 1 trilyun
mau mengelola uangnya tanpa membutuhkan tanah. Emang bisa bikin
pabrik atau perkebunan di awang-awang? Bikin pabrik ya di atas tanah.
Kalau ga punya tanah, ya nyerobot. Caranya bisa dengan cara halus dibeli
dengan harga yang gila-gilaan, atau dengan yang lebih parah dirampas
dengan modus yang bermacam-macam, dengan hukum, undang-undang,
intimidasi. Karena berlindung di bawah payung hukum akhirnya dia bisa
menang.
Isu konflik agraria di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Bagaimana orang-orang berebut soal sumber hidup ini. Kasus terkait
sumber hidup semakin hari semakin menumpuk.17
Anggota Komite Nasional yang lain, Gus Faiz juga menyatakan hal yang
hampir sama ketika ditanya terkait pemilihan isu ini.
―(pertimbangan memilih isu kapitalieme ekstraktif, pen) itu realistis aja
sebenarnya. Bagi saya—kamu nanti baca juga tawaran yang saya tulis
dalam tulisan Fiqh Agraria—, kalau dalam istilahnya orang-orang LSM,
kapitalisme ekstraktif itu pohon masalahnya. Masalah utama yang
melahirkan berbagai masalah-masalah lain itu, ujungnya ada di situ
(kapitalisme ekstraktif). Jadi kita berusaha menggempur jantung permasa-
lahannya. Karena banyak orang ketika menganalisis sesuatu itu terjebak di
cabang masalahnya, tidak menariknya ke level yang lebih tinggi. Dan dari
isu global yang sedang terjadi, sebenarnya apa jantungnya.
Dan saya kira, kebanyakan pegiat front juga sadar soal itu kok sebetulnya.
Mereka dalam melihat permasalahan akan menarik ke situ, karena sudah
sadar bahwa jantungnya ya memang di situ.
17
Notulensi Pesantren Agraria Cirebon Raya, hlm 4.
92
Jadi pemilihan concern di isu agraria dan kapitalisme ekstraktif itu benar-
benar dengan pertimbangan, tidak ngasal ikut. Bahkan sebenarnya kalau
mau hitung-hitungan secara kuantitatif, data sebenarnya juga menunjukkan
kalau masalah terbesar itu adalah masalah agraria. Sekarang kan ya model
baru kapitalisme, kalau James Petras menyebutnya kapitalisme ekstraktif.
Itu yang memang kita tembak. Permasalahan yang lain dalam kapitalisme
itu boleh dikatakan ya implikasi lah dan sifatnya permukaan, bukan akar-
nya. Kita sering teralihkan, bicara ini-itu, tapi terlepas dari pokoknya.”18
Sebagai turunan dari tema kapitalisme ekstraktif sebagai perhatian utama, isu
yang akan dibangun dan direproduksi oleh FNKSDA dalam gerakan mereka
adalah keselamatan rakyat dan kedaulatan pangan. Sementara kerangka analisis
yang dipakai dalam melihat satu kasus adalah ekologi dan bencana industri.
Keselamatan warga menjadi sangat masuk akal dijadikan sebagai salah satu
materi kampanye apabila berkaca dari kasus bencana industri Lumpur Lapindo.
Hal inilah yang sudah dilakukan di Jombang dalam penolakan masuknya Exxon
Mobile yang akan melakukan eksplorasi dengan meledakkan dinamit.
Sementara kedaulatan pangan berarti jaminan terhadap ketersediaan kebutu-
han pangan, dengan kepedulian terhadap asal usul bahan pangan tersebut.
Sebagian besar warga nahdliyin adalah kaum tani yang menyuplai beras untuk
masyarakat di Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di kota. Apabila
penyuplai bahan pangan berada dalam kondisi kritis, maka otomatis kalangan
yang disuplai pun akan berada dalam kondisi kritis pula.
Lebih jauh, isu keselamatan warga dan ketahanan pangan ini dapat dibingkai
dengan kerangka analisis ekologi dan bencana. Cara pandang ekologi akan
membantu untuk melihat persoalan secara runtut dan saling terkoneksi
18
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017 di Saung Daulat Amarjati (SDA) Cirebon.
93
(ekosistemik). Sementara, kerangka bencana akan meningkatkan kewaspadaan,
terutama dalam hal ini yang bersifat industrial.19
C. Kedaulatan dalam Tata Milik, Tata Guna, dan Tata Kelola sebagai Visi
Ekonomi-Politik FNKSDA
Jika FNKSDA sudah berkomitmen untuk melibatkan diri dalam perjuangan
ekonomi-politik, dan menjadikan kapitalisme sebagai lawan utamanya, maka
seperti apa sebenarnya tatanan yang dikehendaki oleh gerakan ini?
Menurut beberapa anggotanya, FNKSDA sendiri beberapa kali dituduh
reaktif dan anti-pembangunan karena mengadvokasi beberapa kasus atau cukup
kencang menyuarakan beberapa kasus besar, seperti penolakan pendirian pabrik
semen di Pegunungan Kendeng, Rembang; penyerobotan lahan rakyat oleh TNI di
Urutsewu, Kebumen; penggusuran warga Desa Sukamulya, Majalengka, yang
tanahnya akan dipergunakan untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa
Barat (BIJB); dan penolakan atas rencana pendirian geotermal di Gunung Cire-
mai, Kuningan, tetapi dianggap tak mempunyai tawaran dan asal tolak sana-sini.20
Tetapi, menurut mereka, pandangan ini sama sekali tidak benar, dan hanya
dilontarkan oleh pihak yang tidak mengetahui proses internal FNKSDA dan
sebatas melihat upaya-upaya FNKSDA yang tampak di luar. Bagi mereka, jika
memang FNKSDA hanya bersifat reaktif dengan merespon kasus-kasus yang
terjadi, maka gerakan ini tak akan melakukan penguatan internal seperti kaderisasi
dan pertemuan-pertemuan guna mematangkan visi gerakan. Gus Faiz menyatakan,
19
Lembar Kerja FNKSDA, hlm 6. 20
Notulensi Pesantren Agraria Cirebon Raya, hlm 6.
94
“Kita sering dikritik dan dianggap anti-pembangunan. Bukan kita tidak
setuju atau semata-mata menolak. Misalnya dalam kasus penolakan pabrik
semen, banyak orang bertanya, kalau semen tidak mau dieksploitasi, lah
terus mau diapain. Tapi pada intinya kita melihat pada tataran nilai guna.
Kita lihat siapa yang paling banyak mendapatkan untung dari suatu
eksploitasi atau tata kelola SDA. Di Rembang itu, yang mengambil manfaat
bukan warga di sekitarnya kok. Warga Papua sendiri mengeluh, mereka
tidak mendapatkan manfaat dari adanya eksploitasi gunung emas oleh
Freeport sejak tahun 67.
Makanya kita punya visi tentang kedaulatan rakyat atas tata kuasa SDA.
Dari tata kuasa lalu diturunkan pada 3 hal: Tata Milik, Tata Kelola, dan
Tata Guna.
Kalau benar-benar mengusasi SDA, pengaturannya itu di tata milik,
harusnya rakyat yang memiliki. Tapi itu saja belum cukup. Bisa jadi kita
memiliki, tapi kita tidak dilibatkan dalam pengelolaan itu, jadi kita
gampang saja ditipu, sehingga tidak memperoleh manfaat. Tata kelola akan
mengatur seperti apa agar nanti kegunaannya benar-benar kita yang
merasakan. Tawaran front: pengelolaan secara kooperatif, sumber daya
alam milik bersama, dikelola bersama, manfaat bisa dirasakan bersama.
Tapi memang belum disebar secara umum karena perlu kita matangkan.
Kita berangkat dari khasanah tradisi NU, lebih jauh akan dijelaskan dalam
materi fiqh agraria―.21
Dalam AD/ART FNKSDA memang disebutkan bahwa salah satu tujuan
utama gerakan ini adalah untuk ―mengokohkan kedaulatan masyarakat dalam tata
milik, tata kelola, dan tata guna SDA‖. Ketiga hal ini, jika dirangkum akan
membentuk konsep tata kuasa. Kedaulatan dalam tata milik dipahami bahwa
rakyat berhak memiliki sumber daya mereka sendiri, bukan malah pihak luar
seperti pemerintah apalagi korporasi, baik dalam maupun luar negeri.
Memang, pemerintah dalam beberapa hal mempunyai wewenang memiliki,
seperti yang terwujud dalam konsep Hak Menguasai oleh Negara (HMN) yang
menjadi amanat UUPA 1960. Tetapi, yang tak boleh dilalaikan adalah bahwa
penguasaan oleh negara ini bersifat sementara sebelum dilaksanakan land reform
atau Reforma Agraria, di mana diberlakukan redistribusi tanah untuk rakyat.
21
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017 di Saung Daulat Amarjati (SDA) Cirebon.
95
Selain itu, yang juga penting untuk dicatat, bahwa dalam konsep ini juga terkan-
dung pemahaman bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. Jadi, negara tak boleh
meliberalisasi sektor pertanahan ini dengan justru menggadaikannya pada pihak
swasta. Seperti amanat pasal 33 UUD 1945, ―Bumi, air, dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.22
Karenanya, belajar dari penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru atas
wewenang yang terlalu besar yang diberikan oleh konsep HMN ini, FNKSDA
juga mendorong adanya kedaulatan dalam tata kelola. Selama ini, atas nama
rakyat, negara memonopoli penguasaan dan pengelolaan sektor-sektor yang
dianggap menjadi hajat hidup rakyat, seperti listrik, penyediaan air, dan sektor
migas (minyak dan gas), tetapi sama sekali tanpa melibatkan rakyat, dan alih-alih
justru bekerjasama dengan pihak swasta, khususnya swasta asing.
Karenanya, tak mengherankan jika meskipun negara berdalih mengelola
sektor-sektor vital itu di bawah BUMN, pada kenyataannya toh sebagian saham
BUMN juga bisa dimiliki swasta. Secara regulasi, memang pihak swasta bisa
memiliki hingga 49% saham BUMN, yang artinya hampir berimbang dengan
saham yang dikuasai negara itu sendiri. Padahal, disebutkan bahwa prosentase
tersebut diperuntukkan untuk masyarakat, tetapi yang bisa mengakses itu justru
investor swasta.
BUMN sendiri tak malu mengakui hal ini. Dalam suatu siaran pers belum
lama ini, dinyatakan bahwa Menteri BUMN bahkan mendorong ―harmoni‖ antara
22
Rahman, Petani dan Penguasa, hlm 72-76.
96
BUMN dan investor swasta dalam pembangunan infrastruktur Indonesia.23
Seringkali, dalih bahwa BUMN sebagai badan usaha yang dimiliki negara dan
bertujuan untuk pembangunan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat, justru
menjadi legitimasi yang digunakan ketika badan ini terlibat konflik dengan rakyat.
Hal ini seperti yang terjadi dalam kasus penolakan pendirian pabrik PT. Semen
Indonesia di Kendeng, Rembang atau penolakan warga Sukamulya, Majalengka,
yang menolak desanya sebagai lahan bandara oleh PT. Angkasa Pura (salah satu
BUMN), di mana rakyat akan dianggap melawan pemerintah.
Padahal, jika ditinjau secara kritis, yang dimaksud dengan klausul ―dikuasai
oleh negara‖ dalam Pasal 33 UUD 1945, seperti dijelaskan salah seorang pendiri
bangsa, Mohamad Hatta, bukanlah bahwa negara sebagai pemilik atau
―onderneme―, melainkan sebagai pengatur yang membuat pengaturan agar
kegiatan ekonomi dapat berjalan tanpa ada ―penghisapan‖ orang yang lemah oleh
pemilik modal, atau penguasaan sumber daya oleh segelintir orang tertentu.
Dengan demikian, monopoli negara harusnya bukan dimaknai sebagai penguasaan
sektor strategis oleh negara sebagai aktor tunggal, tetapi bahwa tidak ada pihak
swasta-privat yang boleh menguasai hajat hidup rakyat, dan negara boleh—
bahkan harus—melibatkan rakyat itu sendiri dalam pengelolaan SDA, berdasar-
kan asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.24
Dengan melihat kasus-kasus ini, FNKSDA menjadikan kedaulatan tata kelola
SDA sebagai salah satu visi utamanya. Hal ini didasari kesadaran bahwa rakyatlah
23
Kementerian BUMN, ―Siaran Pers Harmonisasi BUMN & Investor Swasta‖, Siaran Pers
Nomor: PR-25/S.MBU.3/9/2017. URL: https://www.bumn.go.id/berita/1-Siaran-Pers-harmonisasi-
BUMN—investor-swasta 24
Ratih Lestari, ―Pasal 33 UUD 1945 dan Penerapannya sejak Pemerintahan Soekarno,
Soeharto, dan Era Reformasi‖, ADIL : Jurnal Hukum Vol. 4 No.1, hlm 110.
97
yang paling paham akan kebutuhan mereka, bukannya negara yang bisa semaunya
datang mendiktekan kehendak mereka, dengan merasa paling tahu segalanya.
Apabila pengelolaan SDA memang diserahkan pada rakyat, mereka akan punya
kalkulasinya sendiri tentang bagaimana alam mereka dikelola.25
Semisal, jika mereka hidup di lingkungan pegunungan karst yang subur untuk
persawahan, namun di sisi lain juga berpotensi menjadi areal produksi semen,
mereka akan menentukan sektor ekonomi yang terbaik dan berkelanjutan bagi
kehidupan mereka dan generasi mendatang. Berbeda jika pengelolaan SDA
diserahkan pada subjek abstrak bernama ―negara‖ yang seringkali menjadi medan
pertarungan dari aktor-aktor yang menjadi kekuatan politik, maka tak menutup
kemungkinan, dan pada kenyataannya tak jarang, justru negara akan mengorban-
kan rakyatnya atas nama ―pembangunan‖ dan ―kepentingan umum‖.
Kedaulatan tata kelola SDA oleh rakyat ini juga erat kaitannya dengan tata
guna SDA. Rakyat tentu akan mengelola sumber daya alam mereka sesuai dengan
nilai guna yang mereka perlukan. Kedaulatan dalam tata guna juga berarti bahwa
rakyat harus berdaulat dan bisa mengakses kegunaan dan manfaat dari kekayaan
alam mereka. Jangan sampai untuk bisa mengambil manfaat dari alam Indonesia
yang oleh UUD 1945 jelas-jelas diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat, rakyat
justru dibatasi, karena penguasaannya dan pengelolaannya sudah dimiliki pihak
25
Penting dicatat bahwa sumber daya alam yang dimaksud oleh FNKSDA adalah SDA secara
luas, termasuk sumber daya air, sumber daya agraris, dan sumber daya laut, bukan hanya berupa
kekayaan alam yang bisa diekstraksi seperti tambang.
98
lain, seperti yang terjadi dalam kasus masuknya perusahaan air minum kemasan
swasta yang mengelola sumber mata air di Indonesia.26
Karenanya, meskipun mendukung penuh kedaulatan, FNKSDA berhati-hati
untuk tidak terjebak dalam pemahaman kedaulatan yang etatis, yang menjadikan
negara sebagai pusat dari segala kontrol atas teritori dan semua yang terkandung
di dalamnya, termasuk rakyat dan kekayaan alam.27
FNKSDA juga tak mau
terseret dalam permainan jargon-jargon populistik yang menipu, seperti ―nasional-
isasi‖ yang sempat marak pada pembicaraan terkait perusahaan tambang emas PT.
Freeport McMoran beberapa bulan terakhir.
Pemahaman yang menempatkan negara sebagai sentral dan jargon-jargon
populistik ini, menurut Roy Murtadho (salah seorang pengurus Komite Nasional
FNKSDA), rawan mengabaikan dua hal besar. Pertama, nasionalisasi yang
menjadikan negara sebagai pemilik utama berbagai perusahaan yang bergerak di
sektor vital, bukanlah pengalaman baru bagi Indonesia. Faktanya, hal ini tak
menjamin bahwa pengelolaan oleh negara akan ―menetes‖ dan dampaknya
dirasakan langsung oleh rakyat. Alih-alih, seperti yang terjadi pada nasionalisasi
perusahaan asing semasa darurat militer pada 1957-1958, atau penguasaan
Pertamina oleh Ibnu Sutowo di awal era Orde Baru, banyak perusahaan-
26
Soal ini, baca misalnya: Erwin Endaryanta, ―Politik Air: Studi Politik Privatisasi Air dalam
Relasi Ekonomi Politik Negara dan Trans-National Corporations (TNC), Studi Kasus Pemetaan
Kuasa dan Eksploitasi Sumber Air Si Gedhang – Klaten oleh PT TIA-D (Aqua-Danone)‖ (Skripsi
Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM, 2005). 27
Karenanya, kedaulatan atas SDA yang diperjuangkan FNKSDA tak sama dengan kedaulatan
negara yang cenderung fasistik. Alih-alih, kedaulatan ala FNKSDA lebih tepat dimaknai sebagai
kedaulatan rakyat (yang hakiki, dan bukan hanya jargon), di mana rakyat benar-benar berdaulat
dan terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan SDA mereka sendiri. Mengenai konsep kedaulatan
negara ini sendiri sudah dikritik, misalnya oleh Hizkia Yosie Polimpung dalam tesisnya yang
menggunakan psikoanalisis Lacanian, ―Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer: Kasus
Kebijakan Global War on Terror Amerika Serikat Semasa Pemerintahan George W. Bush, Jr‖
(Tesis Master Program Pasca Sarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, 2010).
99
perusahaan milik negara ini justru jatuh dan ―dipegang‖ oleh kalangan penguasa,
terutama militer.28
Penguasaan ini berarti perusahaan-perusahaan milik negara menjadi sapi
perah bagi pejabat-pejabat perusahaan tersebut, seperti direktur dan komisarisnya,
maupun bagi instansi asal pejabat tersebut, seperti militer. Di era Orde Baru,
sudah menjadi rahasia umum bila perusahaan-perusahaan negara ini menjadi
penyumbang dana tetap bagi militer, selain ―jatah‖ yang sudah dialokasikan dalam
anggaran resmi negara. Karenanya, dana-dana ini disebut ―extra-budgetary/off-
budget expenditure‖.
Richard Robison dan Vedi Hadiz dalam buku mereka tentang oligarki bahkan
mengungkap bahwa extra-budget yang dihasilkan perusahaan negara ini diguna-
kan untuk menopang institusi politik dan jejaring patronase penguasa, selain
untuk memperkaya diri sendiri (personal enrichment). Alih-alih demi kesejahtera-
an rakyat, dana hasil perusahaan negara ini lebih kental nuansa politik guna
menarik legitimasi bagi pemerintah yang ada, dengan ditujukan untuk kampanye,
mulai dari untuk membangun masjid, sampai menyediakan kucuran dana bagi
Golkar, utamanya menjelang hajat politik seperti pemilu.29
Belum lagi kenyataan bahwa penunjukan orang-orang yang akan memegang
jabatan dalam perusahaan negara memang bersifat politis, alih-alih benar-benar
berdasarkan kemampuan personal (meritokrasi). Di era Orde Baru, misalnya, yang
28
Benedict R. O‘G. Anderson, ―Soekarno and The Fossilization of Soekarno‘s Thought‖ dalam
jurnal Indonesia No 74 (Oktober 2002); Mengenai nasionalisasi perusahaan di era ini, lihat
William A. Redfern, ―Sukarno‘s Guided Democracy and The Takeovers of Foreign Companies in
Indonesia in The 1960s‖ (disertasi di University of Michigan, 2010). Juga Richard Robison,
Indonesia: The Rise of Capital (Singapore: Equinox, 2009 [1986]). 29
Richard Robison dan Vedi Hadiz, Reorganising Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in The Age of Market (New York: Routledge Curzon, 2004), hlm 53-55.
100
bisa menjabat sebagai komisaris dan direktur BUMN pastilah keluarga Soeharto
atau orang dekat keluarga Cendana. Sedangkan di era Reformasi hari ini, jabatan-
jabatan ini termasuk dalam mekanisme ―bagi-bagi kue kekuasaan‖ bagi para
pendukung rezim.
Kenyataan inilah yang menurut Roy Murtadho perlu diperhatikan & diwaspa-
dai ketika kita membicarakan kedaulatan dengan nada populistik & etatis.30
Kedua, dengan menyerahkan pengelolaan SDA sepenuhnya pada negara—
tanpa keterlibatan rakyat sama sekali—, menurut Roy, pembicaraan tentang rakyat
justru menjadi hilang. Dengan menam-pilkan diri sebagai representasi rakyat,
negara bisa melakukan tindakan apa saja, bahkan yang mengorbankan rakyat
sekalipun, dengan dalih kepentingan umum yang lebih besar. Hal ini seperti yang
berulangkali terjadi pada masa Orde Baru, yang tak segan menggusur rakyatnya
atas nama ―pembangunan‖, semisal pada kasus pembangunan waduk
Kedungombo yang menghilangkan pemukiman dan areal persawahan ribuan
rakyat dari beberapa kecamatan. Sayangnya, dengan dalih semacam ini, banyak
rakyat yang terbujuk dan justru mendukung program-program pemerintah.
Hal ini, dalam pandangan Roy, tampak dalam isu nasionalisasi PT. Freeport
McMoran belum lama ini. Dengan jargon-jargon indah yang ditampilkan
pemerintah, bahwa dengan nasionalisasi, pemerintah akan menguasai pengelolaan
SDA, yang artinya hasil kekayaan alam Indonesia akan masuk ke kas negara
Indonesia, yang akan dipergunakan untuk kepentingan rakyat. Tapi, yang absen
dalam argumen yang diamini banyak orang ini, bagi Roy adalah nasib rakyat
30
Wawancara dengan Roy Murtadho, 30 Oktober di Sekretariat KPRI, Mampang, Jakarta.
101
Papua itu sendiri yang paling merasakan dampak eksploitasi pertambangan selama
lebih dari 40 tahun terakhir. Mereka yang terusir dari wilayah mereka sendiri,
kehilangan tanah adat, kehilangan sumber pangan, dan akses pada sumber daya
alam berupa hutan yang menjadi sumber berbagai pemenuhan kebutuhan mereka,
yang kini sudah dirusak akibat eksploitasi tambang.31
Gmbar 4.1: Diskusi yang diadakan FNKSDA menyoal konsep kedaulatan negara dalam kasus Freeport
Karenanya, alih-alih mendukung konsep kedaulatan yang selama ini dipaha-
mi, yang menempatkan pengelolaan SDA pada pemerintah, FNKSDA mendorong
konsep kedaulatan rakyat, yang menempatkan rakyat sebagai pengelola utama
31
Roy Murtadho, ―Freeport, Papua, dan Hubbul Wathan Minal Iman‖ dalam Jurnal
IndoProgress Online, 24 Februari 2017. URL: https://indoprogress.com/2017/02/Freeport-Papua-
dan-Hubbul-Wathan-Minal-Iman/
102
SDA mereka, Sebab itu, redaksi yang digunakan dalam AD/ART FNKSDA
adalah ―mengokohkan kedaulatan masyarakat dalam tata milik, tata kelola, dan
tata guna SDA‖. Hal ini sesuai dengan prinsip demokrasi ekonomi dan koperasi
yang diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945.32
Dalam Kertas Kerja FNKSDA dijelaskan, dalam tata kelola SDA dikenal
empat konsep, yaitu pengelolaan oleh swasta, kemitraan antara swasta dengan
publik (public-private partnership), pengelolaan oleh publik, dan tata kelola
bersama (common-pool).
Dari spektrum tata kelola yang ada dalam sektor air (private, public-private
partnership, public, dan common-pool), misalnya, maka praktik materialnya dapat
ditemukan dengan mudah. Yang pertama adalah tata kelola yang dipegang oleh
sektor swasta seperti yang dilakukan oleh PT Aqua Danone. Yang kedua adalah
model tata kelola oleh pemerintah, seperti yang terdapat dalam PDAM di Indone-
sia. Yang ketiga adalah tata kelola kombinasi, private-public partnership, seperti
Palyja di Jakarta. Lantas bagaimana praktik material tata kelola bersama?
Tata kelola bersama dalam hal ini mengacu pada pengertian bahwa komunitas
lokal menjalankan aturan yang mereka buat sendiri dan bertanggungjawab untuk
memastikan ketersediaan yang berkelanjutan dari sumber daya terkait. Sumber
daya dimiliki secara bersama dan keputusan untuk menjualnya pun selalu melibat-
kan seluruh anggota masyarakat.33
Di beberapa negara, seperti Bolivia dan Finlandia, tata kelola bersama ini
hadir dalam bentuk kooperasi. Tata kelola bersama perlu diinstitusionalisasikan
32
Notulensi Pesantren Agraria Cirebon Raya, hlm 6. 33
Kertas Kerja #4 FNKSDA, ―Menafsir Pasal 33: Analisis Terhadap Putusan MK Nomor
85/PUU-XI/2013 tentang UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air‖ (2015).
103
secara ekonomi, disertai dengan aturan yang jelas untuk menghindari terjadinya
“tragedy of the commons”, dimana sumber daya habis karena absennya aturan
yang disepakati dalam mengontrol kebersamaan.34
Namun dalam kertas kerja yang sama dijelaskan bahwa masih banyak pihak
yang belum sepenuhnya memahami pemetaan tentang spektrum tata-kelola SDA
ini. Dengan berkaca pada kasus gugatan terhadap UU tentang sumber daya air di
Mahkamah Konstitusi (MK), misalnya, tawaran tata kelola bersama oleh rakyat
dalam bentuk koperasi justru tidak muncul, karena dalam bagian-bagian
permohonan para pemohon, nampak bahwa tata kelola air oleh pihak negara
(public), dalam bentuk BUMN/D diasumsikan sebagai antitesis tata kelola oleh
swasta. Padahal, kalau ditilik secara analitik, seharusnya antitesis tata kelola oleh
swasta adalah tata kelola bersama. Kesalahan pemahaman konseptual seperti ini
sangat umum terjadi dalam tata kelola SDA.
Sayangnya, seperti tampak dalam pernyataan-pernyataan pihak-pihak pemo-
hon dalam gugatannya terhadap UU tentang Sumber Daya Air ini, kebanyakan
mereka justru masih menyamakan pengelolaan SDA secara kooperasi oleh rakyat
sebagai pihak yang berdaulat atasnya dengan swastanisasi. Dan celakanya, permo-
honan ini, seperti yang dapat dilihat dalam amar putusan MK, dikabulkan seluruh-
nya, tanpa ada diskusi kritis soal tata kelola ini. Menurut FNKSDA, ini mengaki-
batkan hilangnya perbincangan tentang potensi radikal dan emansipatoris dari tata
kelola air itu sendiri.35
34
Bosman Batubara, ―Belajar dari Kooperasi SAGUAPAC dan Revolusi Air di Chocabamba,
Bolivia: Tata Kelola Air Global‖. URL: http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Belajar-
Kooperasi-SAGUAPAC-Revolusi-Chocabamba-Bolivia/; 35
Kertas Kerja #4 FNKSDA, ―Menafsir Pasal 33‖, hlm 5.
104
FNKSDA sendiri mendorong pengelolaan SDA yang lebih radikal, di mana
bukan lagi negara yang dianggap mewakili rakyat, tetapi rakyat secara langsung
terlibat dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam, sesuai dengan
prinsip ―kedaulatan masyarakat‖ yang mereka perjuangkan dan ―demokrasi
ekonomi‖ yang dijunjung tinggi oleh konstitusi. Bentuknya terutama berupa
kooperasi, tidak seperti yang sudah berjalan sejauh ini, di mana negara menjadi
pemilik tunggal hak kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam.
Prinsip dan model ini, menurut FNKSDA, sudah diamanatkan oleh pasal 33
(1) UUD 1945 yang menyatakan ―Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan‖, dan Pasal 33 (3) UUD 1945 yang menyatakan
―Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat‖.
Asas kekeluargaan, menurut Mohamad Hatta yang mengusulkannya, diambil
dari konsep Taman Siswa, yang dalam dunia ekonomi bisa diterjemahkan sebagai
bentuk koperasi.
“Asas kekeluargaan itu ialah koperasi. Asas kekeluargaan itu adalah istilah
dari Taman Siswa untuk menunjukkan bagaimana guru dan murid-murid
yang tinggal padanya hidup sebagai suatu keluarga. Itu pulalah hendaknya
corak koperasi Indonesia. Hubungan antara anggota koperasi satu sama lain
harus mencerminkan sebagai orang-orang yang bersaudara, satu keluarga.
Rasa solidaritas harus dipupuk dan diperkuat.
Anggota dididik mempunyai sifat “individualitas”, insaf akan harga dirinya.
Apabila ia telah insaf akan harga dirinya, tekadnya akan kuat membela
kepentingan koperasinya. Ingatannya akan tertuju kepada kepentingan
bersama.
„Individualitas‟ menjadikan seorang anggota koperasi sebagai pembela dan
pejuang yang giat bagi koperasinya. Dengan naik dan maju koperasinya,
kedudukannya sendiri ikut naik dan maju. Dalam pelajaran dan usaha
koperasi di bidang manapun juga, ditanam kemauan dan kepercayaan pada
diri sendiri dalam persekutuan untuk melaksanakan “self-help” dan oto-
aktivitas untuk kepentingan bersama.
105
Dalam mengasuh anggota koperasi selalu diutamakan cinta kepada
masyarakat yang kepentingannya harus didahulukan dari kepentingan diri
sendiri. Oleh karena itu anggota koperasi harus mempunyai tanggung jawab
moral dan sosial. Apabila tanggung jawab yang dua itu tidak ada, maka
koperasi tidak akan tumbuh, tidak akan menjadi.”36
Dengan model keterlibatan rakyat dalam kepemilikan dan pengelolaan SDA
semacam ini, menurut FNKSDA, klaim penguasaan penuh oleh negara, yang
justru meminggirkan rakyat, seperti dalam kasus penguasaan tanah dan penetapan
Perhutanan Sosial, atau pembangunan pabrik semen dengan dalih bahwa
perusahaan tersebut ilik negara (BUMN), serta pembajakan kekayaan Indonesia
oleh segelintir oligark bisa di hindari. Dengan catatan bahwa rakyat benar-benar
dilibatkan dan pihak ‗‖swasta‖ tidak sewenang-wenang dimasukkan dalam
kategori ―rakyat‖.
Hal ini sebenarnya sudah diatur oleh Konstitusi Indonesia. Bagi FNKSDA,
dari Pasal 33 UUD 1945 dapat diambil beberapa pengertian sebagai berikut.
1. Sumber Daya Alam yang ada di dalam wilayah geografis Indonesia secara
umum dimiliki oleh rakyat, bukan perorangan atau segelintir orang saja.
2. Kewajiban pemerintah adalah mengatur pengeloalaan SDA untuk
didistribusikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk
perorangan atau segelintir orang saja.
3. Pengelolaan SDA oleh pemerintah harus didasarkan atas demokrasi ekonomi,
yaitu dengan prinsip-prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelan-
jutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.37
Dengan mengakui prinsip ―efisiensi-berkeadilan‖ maka artinya penafsiran
FNKSDA terhadap Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
dalam penyelanggaraan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi :
(1) tidak anti terhadap kompetisi dan sistem ekonomi pasar, maka perekonomian
36
Pidato Mohamad Hatta pada peringatan Hari Koperasi tahun 1977. 37
Kertas Kerja FNKSDA, ―Fiqh Sumber Daya Alam‖, hlm 9.
106
nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi, juga dipengaruhi oleh
mekanisme pasar yang kompetitif namun tetap dikendalikan oleh pemerintah
menuju pasar yang efisien, (2) tidak anti privatisasi dan mengakui kepemilikan
pribadi, peran swasta tidak dibatasi selama tidak terkait dengan cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta
kepemilikan faktor produksi oleh perorangan dibatasi oleh undang-undang,
hukum adat, dan norma kepentingan komunal. Disepakatinya prinsip efisiensi
berkeadilan diharapkan akan memajukan dan memberdayakan semua pelaku
ekonomi secara seimbang dan berkelanjutan menuju pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang menjamin pemerataan yang adil.38
Namun Pada kenyataannya dalam perekonomian nasional masih banyak
kebijakan liberal yang hanya diorientasikan untuk efisiensi saja, maka kebijakan
yang demikian tidak berpihak kepada masyarakat, dan dipandang bertentangan
dengan prinsip ―efisiensi-berkeadilan‖ yang harus terintegrasi dalam satuan
kebijakan. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan dinamis untuk
mencapai keseimbangan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat, sebagai strategi
pembangunan yang lebih tepat dan sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi,
bukan kebijakan-kebijakan liberal yang bersifat final dan statis yang hanya
merepresentasikan kepentingan segelintir orang. Kebijakan tersebut harus pula
mengacu kepada kehendak seluruh rakyat yang tertuang dalam konstitusi. Cita-
cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan bernegara, harus
38
Kartika Restuti, ―Prinsip Efisiensi Berkeadilan Dalam Mewujudkan Perekonomian Nasional
Berdasarkan Demokrasi Ekonomi Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945‖, Tesis Magister Hukum Universitas Gadjah Mada, 2014, hlm 201.
107
menjadi ruh dalam penyusunan regulasi untuk mewujudkan demokrasi ekonomi.
Seluruh undang-undang di bidang perekonomian harus selaras dengan apa yang
diatur dalam Pasal 33 UUD 194539
, seperti dinyatakan oleh FNKSDA,
“Sementara, dalam lingkup perekonomian dan keindonesiaan, UUD '45
yang seharusnya menjadi tolok ukur, sudah sangat jauh dikhianati oleh
kenyataan. Realitas sekarang pada dasarnya sudah tidak cocok dengan
yang termaktub dalam UUD '45. UUD 45' menyatakan bahwa kehidupan
bangsa Indonesia adalah dengan asas kekeluargaan, kenyataan yang ada
adalah menonjolnya sikap individualisme. Kebersamaan sebagai falsafah
hidup bangsa berganti menjadi kapitalisme yang eksploitatif dan menindas.
Cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang
banyak serta dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat
secara adil dan merata yang seharusnya dikuasai oleh negara, kini dikuasai
oleh korporasi dan segelintir orang.”40
Hal ini diperkuat dengan tafsir MK atas frasa ―dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat‖ yang menjunjung tinggi pemanfaatan oleh, pemerataan
untuk, partisipasi, dan penghormatan terhadap hak rakyat dalam tata kelola
sumber daya alam. Persis di titik inilah, ide tata kelola bersama seperti kooperasi
menjadi sangat penting, karena ia memberikan peran kunci yang paling besar bagi
rakyat. Bahkan boleh dibilang, model ini lebih sesuai dengan amanat Pasal 33
UUD 1945 dibanding pengelolaan SDA oleh negara secara tunggal melalui
BUMN/D. Jika disusun, berdasarkan peran kunci rakyat, maka akan tampak
seperti pada tabel di bawah ini. Dari kanan ke kiri peran rakyat semakin strategis.
Tabel 4.1: Susunan jenis tata kelola air berdasarkan peran kunci rakyat.
Jenis tata
kelola
Bersama Negara/Daerah Kerjasama
Negara-Swasta
Swasta
Contoh Kooperasi PDAM Palyja Aqua Danone
Peran
rakyat
Pemilik Pembeli; ada aliran
dana lewat APBN/D
Pembeli Pembeli
Dikutip dari: Kertas Kerja #4 FNKSDA, “Menafsir Pasal 33”
39
Ibid, hlm 203. 40
Lembar Kerja FNKSDA, hlm 12.
108
Dalam tata kelola private, public-private partnership, dan public, rakyat
diposisikan sebagai obyek pembeli air. Barangkali secara retoris, rakyat ikut
memiliki PDAM yang dikelola oleh BUMD melalui skema pajak dan APBN/D.
Namun praktiknya bukan itu yang terjadi, karena justru dalam banyak kasus,
BUMN/D dikelola laiknya sektor swasta. Selain itu, besarnya peran yang
diberikan pada negara tanpa kontrol yang memadai oleh rakyat juga menyebabkan
banyak masalah pada BUMN/D itu sendiri, seperti penunjukan pejabat yang tidak
transparan, banyaknya korupsi di tubuh BUMN/D yang merugikan negara dan
justru menyebabkan lembaga ini defisit, sampai pelayanan yang asal-asalan dan
tidak memuaskan rakyat. Belum lagi soal peran BUMN/D yang justru menjadi
―sapi perah‖ bagi para pejabat dan menjadi ―lahan rebutan‖ partai-partai politik
untuk menjadi sumber dana kepentingan mereka. Inilah yang dimaksud dengan
pengelolaan BUMN/D dengan sistem swasta.41
Apakah visi ekonomi-politik ini bisa disebut sosialisme? Menurut Gus Faiz,
―ya memang visi besar front ini dekat dengan sosialisme, jika diistilahkan
dengan istilah-istilah kiri. Tapi kalo hitung-hitungan strategi, kita memang
menghindari istilah sosialisme ini, karena asosiasinya kan dekat dengan
komunisme. Dan komunisme di Indonesia ini punya beban sejarah yang
berat. Ya kalo kita mau mengusung isu-isu itu secara vulgar, berarti kita
harus mengusung isu-isu PKI, harus menyelesaikan dulu isu-isu terkait PKI.
Dan ini kan satu pekerjaan yang akan lama dan tidak mudah.
Meskipun sebenarya isu-isu itu sebelum tahun 65 ya biasa saja dibicarakan,
istilah-istilah seperti sosialisme disebut, dan masyarakat familiar dengan
itu. Tetapi untuk saat ini, itu tidak strategis menurut saya. Dan itu kerja dua
kali jadinya. Lha wong membawa satu isu saja ndak selesai-selesai. Dengan
membawa isu itu (sosialisme), kita akan mudah dilemahkan.
Mending kita membawa konsep baru, yang silahkan orang menilai itu dekat
dengan sosialisme, tetapi sebenarnya yang kita bawa itu adalah hal yang
baru. Jadi sebenarnya kita lebih berangkat dari tradisi khazanah keislaman,
seperti kitab, fiqh, dan pendapat ulama salaf, yang itu perlu dimaknai
41
Ibid, hlm 9.
109
ulang, dan direvitalisasi. Tapi artinya, pembacaan secara ekonomi-politik
sebagai satu cara pandang tetap penting, dan secara personal kita semua
(yang di front) menguasai itu. Karena dalam pembacaan khazanah klasik
pun, kerangka ekonomi-politik tetap perlu, tetapi yang dikedepankan di
front bukan soal itu.”42
Gambar 4.2: Kedekatan paradigma FNKSDA dengan sosialisme atau bahkan Marxisme sulit ditampik.
Dalam modul pengkaderan dan diskusi rutinnya, karya-karya kunci Marx menjadi rujukan utama, seperti
dalam kajian rutin Das Capital oleh FNKSDA Bandung ini.
D. Fiqh Agraria dan Fiqh SDA sebagai Landasan Perjuangan
Salah satu hal yang membedakan FNKSDA dari gerakan ekologi, lingkungan,
dan yang fokus di isu tata kelola SDA lainnya adalah adanya fiqh agraria & SDA
sebagai salah satu paradigma dan landasan perjuangannya. 43
Nilai penting hal ini
disadari penuh oleh para pegiat FNKSDA, karena bagaimanapun mereka adalah
orang-orang yang berasal dari tradisi keagamaan yang kuat, khususnya kultur
nahdliyyin, dan salah satu sasaran utama mereka adalah warga nahdliyyin yang
terdampak konflik tata kelola SDA, di mana mereka juga adalah orang-orang
agamis yang memerlukan legitimasi teologis sebagai landasan perjuangannya.
42
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017. 43
Wawancara dengan Gus Fayyadl, 17 Oktober 2017 di Ponpes Babakan, Cirebon.
110
Karenanya, selain ―Analisis Ekonomi-Politik Kapitalisme‖, materi ―Fiqh
Agraria‖ menjadi salah satu tema utama yang disampaikan dalam pengkaderan
FNKSDA. Dalam pedoman pengkaderannya, disebutkan bahwa,
“Bagian ini berisi penjelasan teologis dari korpus keislaman untuk
memperkuat keimanan peserta berjuang di jalan penyelamat ruang-hidup
dan tanah-air… Islam sebagai Teologi Pembebasan di sini diformulasikan
sebagai alat bergerak untuk membawa kaum Nahdliyyin keluar dari
ketertindasan dalam konteks tata kelola SDA.‖44
Gambar 4.3: Penyampaian materi Fiqh Agraria dalam Pesantren Agraria Cirebon Raya, Oktober 2017.
Desain rumusan fiqh agraria FNKSDA bertolak dari satu kenyataan
kontradiktif dan pertanyaan besar. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya
akan sumber daya alam. Berbagai hasil laut maupun bumi sangat melimpah. Dua
pertiga perairan Indonesia mengandung kekayaan perikanan, terumbu karang,
tambang dan mineral. Sepertiga yang lain berupa daratan yang mengandung lahan
subur untuk berbagai macam pertanian dan perkebunan. Indonesia pun memiliki
44
Pedoman Pengkaderan FNKSDA, ―Menegakkan Kedaulatan, Menyelamatkan Ruang-Hidup
dan Tanah-Air‖, hlm 4. Penulis berterimakasih kepada Bung Bosman Batubara yang sudah
menyediakan dokumen ini.
111
kekayaan tambang dan mineral yang luar biasa. Kekayaan SDA ini sesungguhnya
merupakan modal dan potensi yang menjanjikan bila dikelola secara baik.
Seharusnya, konsekuensi logis dari adanya potensi SDA yang melimpah ini
adalah terjaminnya kesejahteraan bangsa. Namun, pada realitasnya, Indonesia
menjadi negara yang masih tergolong tertinggal dan semakin terpuruk. Berdasar-
kan data statistik nasional, lebih dari 28 juta orang hidup dalam garis kemiskinan.
Mengapa demikian? Kemanakah kekayaan SDA? 45
Sebagai negara yang memiliki basis ekonomi agraris, sampai saat ini
Indonesia belum bisa mengatur harga beras dan hasil pertanian lain secara
mandiri. Kekayaan laut yang melimpah pun sampai saat ini belum berbanding
lurus dengan kesejahteraan masyarakat nelayan. Selain itu, potensi pertambangan
yang dimiliki hanya dinikmati oleh korporasi asing yang bercokol dimana-mana.
Jika demikian, kedaulatan negeri khatulistiwa ini terhadap SDA sendiri masih
dipertanyakan. Era reformasi justru semakin memberikan kewenangan besar bagi
korporasi-korparasi untuk menggarap SDA Indonesia yang berakibat pada
peminggiran masyarakat lokal.
Dengan melihat banyaknya persoalan SDA di Indonesia, di manakah Islam
memposisikan persoalan tersebut. Bagaimanakah Islam merespon persoalan tata
kelola SDA dan berbagai kasus lingkungan dan kemanusiaan yang ada.
Karenanya, FNKSDA sadar bahwa tentu dibutuhkan kajian yang serius dan
mendalam karena melihat mayoritas bangsa Indonesia beragama Islam. FNKSDA
berusaha merespon permasalahan ini dengan menggali khazanah Islam tentang
45
Kertas Kerja FNKSDA, ―Fiqh Sumber Daya Alam: Prinsip-Prinsip Dan Tata Kelola SDA Di
Indonesia‖, hlm 5.
112
tata kelola SDA agar pengelolaan SDA mampu membawa kesejahteraan bagi
rakyat Indonesia. Rumusan ini dituliskan dalam bentuk kertas kerja yang berjudul
―Fiqh Sumber Daya Alam: Prinsip-Prinsip Dan Tata Kelola SDA Di Indonesia‖.46
Tawaran Fiqh SDA FNKSDA berangkat dari konsep-konsep dasar dalam
ushul fiqh dan qawa‟id fiqh yang menjadi metodologi utama dalam memproduksi
hukum fiqh (istinbath al-ahkam). Yang utama adalah konsep maqashid as-
syari‟ah atau tujuan dari ditetapkan syariah itu sendiri oleh Allah SWT. Ibn
Qayyim al-Jauziyyah, salah seorang ulama klasik paling otoritatif dalam bidang
ushul fiqh, dalam salah satu magnum opus-nya, I‟lam al-Muwaqqi‟in, tepatnya
pada bab as-syari‟atu mabniyyatun „ala mashalihil „ibad (syariah dibangun atas
kemaslahatan manusia) menyatakan:
―Bab ini mempunyai manfaat yang sangat besar, yang apabila
seseorang tidak mengetahui hal ini, niscaya akan jatuh pada
kesalahpahaman yang fatal terhadap syariah. ...Sesungguhnya dasar dan
pondasi dari syariat Islam adalah hikmat dan kemaslahatan bagi manusia.
Maka yang disebut syariat secara keseluruhan seharusnya berdasar dari
nilai keadilan, rahmat, dan kemaslahatan. Jadi, setiap hukum yang
berpaling dari keadilan menuju ketidak-adilan, dari rahmat menuju
lawannya, dari maslahat menuju mafsadat, dari hikmat menuju kesia-siaan,
maka bukanlah termasuk syariat, meskipun dihasilkan dari penafsiran
terhadap nash (al-Qur‘an & Hadits). Syariat adalah keadilan Allah kepada
hamba-hambanya; rahmat Allah kepada makhluk-makhluk-Nya; naungan-
Nya di dunia; dan hikmah yang menunjukkan kebenaran-Nya dan Rasul-
Nya secara sempurna.‖47
Prinsip tersebut lalu disistematisasikan pertama kali oleh Hujjatal Islam
Imam Abu Hamid Muhammad Al Ghozali sebagai al-Kulliyatu al-Khoms, yakni
(1) Hifdzu al-Din (menjaga agama), (2) Hifdzu al-Aql (menjaga akal), (3 dan 4)
Hifdzu al-‘Irdli wa al-Nasl (menjaga harga diri dan keturunan) dan (5) Hifdzu al-
46
Kodir dan Mushoffa, Islam, Agrarian Struggle, and Natural Resources, hlm 57 47
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I‟lam al-Muwaqqi‟ien „an Rabb al-„Alamin, (al-Maktabah al-
Syamilah; tanpa tahun), juz 3 hlm 149.
113
Mal (menjaga harta). Kelima prinsip universal Islam tersebut menurut Abed Al-
Jabiri berlaku dimana pun dan kapan pun, karena prinsip-prinsip tersebut inti dari
hak-hak kemanusiaan dan HAM tidak memandang batas ruang dan waktu.
Berdasarkan interpretasi tersebut, menurut FNKSDA, jelas bahwa masalah
degradasi lingkungan dan pelanggaran HAM yang terjadi di sekitar area industri,
khususnya pertambangan, sudah melanggar prinsip-prinsip universal dalam Islam
tersebut. Konflik dan kejahatan kemanusiaan, akibat dari militerisasi di sekitar
kawasan industri jelas melanggar prinsip Hifdzu al-Nafs. Bencana alam,
kerusakan ekosistem, kelangkaan SDA dan pemiskinan pribumi merupakan
pelanggaran terhadap prinsip Hifdzu al-Mal. Sedangkan UU yang tidak memberi
akses demokratis terhadap aspirasi rakyat untuk menentukan hidupnya dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip Hifdzu al-Aql. Dengan
demikian kasus-kasus yang menjadi dampak dari eksploitasi SDA yang tidak
bertanggung jawab oleh investor dan pemerintah itu tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip kemanusiaan yang diajarkan dalam Islam, bahkan menurut akal sehat dan
hati nurani manusia secara umum.48
Selain itu, ekses-ekses dari eksploitasi SDA yang serampangan ini juga
menunjukkan bahwa kegiatan tersebut memang bertentangan dengan kaidah-
kaidah fiqh. Kebijakan pemerintah yang membiarkan praktik ini, bahkan memberi
izin atasnya, misalnya, jelas-jelas bertentangan dengan kaidah
49ف عرصش عاش ب صذخال طثب ١خ
―kebijakan penguasa terhadap rakyatnya harus didasarkan atas kemaslahatan‖
48
Kertas Kerja FNKSDA, ―Fiqh Sumber Daya Alam‖, hlm 5. 49
Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr As-Suyuthi, Al-Asybah wa an-Nadza‟ir fi al-Furu‟
(Beirut: Dar al-Kutub Al-Islamiyyah, t.th), hlm 83.
114
Persoalan eksploitasi yang mengorbankan rakyat, dalam konteks fiqih
dikatakan sebagai persoalan yang mengandung mafsadat (kerusakan). Hal ini
bertentangan dengan tujuan pokok hukum Islam (fiqih) sendiri yang adalah
mendatangkan mashlahat (kebaikan) dan menghindari atau menghilangkan
mafsadat (kerusakan), baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain atau
umum. Seperti yang dinyatakan dalam rumusan:
ت صبخج فبعذ ا دسءا
―mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan‖.
Bahkan meskipun misalnya pemerintah berdalih bahwa ―pembangunan‖ yang
mereka lakukan akan mendatangkan manfaat berupa bertambahnya pemasukan
negara dan terbukanya lapangan kerja, tetapi di saat yang sama juga
mengorbankan rakyat yang digusur dari pemukiman dan lahan persawahannya
(seperti dalam kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo, rencana pembangunan
pabrik semen di Rembang, atau rencana pembangunan bandara di Majalengka,
Jawa Barat), yang berarti mendatangkan mafsadat/kerusakan, maka dalam
pandangan agama, hal ini tetap dilarang, seperti tercermin dalam kaidah
فبعذ دسءا مذ ت صبخج ا
―menolak/menghindari kemafsadatan lebih didahulukan daripada menarik/men-
datangkan kemanfaatan”.50
Selain itu, kasus semacam ini juga bisa dilihat dengan sudut pandang lain.
Bahwa meskipun mengadakan pembangunan merupakan sesuatu yang ja‟iz
(boleh) dan dihalalkan, tetapi ketika itu disertai perbuatan yang menyengsarakan
terhadap rakyat, seperti pemaksaan pindah dan perampasan lahan, yang
50
Ibid, hlm 62.
115
merupakan tindakan dzalim dan jelas-jelas haram, maka hal ini juga dicegah oleh
agama, sebagaimana tergambar dalam kaidah
ع إرااجز ذشا غتا ذشا ا ذلي ا
―apabila terjadi percampuran antara yang halal dan haram, maka yang menang
adalah haram (artinya hal tersebut dihukumi haram)‖.51
Di antara kaidah-kaidah lain yang layak untuk diterapkan sebagai prinsip
dasar pengelolaan SDA adalah sebagai berikut:
لضشاسلضشس
“Bahaya (kerusakan) harus dihilangkan”
Kaidah yang dimaksud merupakan kaidah yang bersifat universal yang
mencakup berbagai persoalan kemanusian yang berkaitan dengan kebaikan dan
kerusakan. Segala persoalan yang mengandung dlarar (bahaya) harus sebisa
mungkin dihilangkan bila sudah terlanjur ada. Adapun jika bahaya itu belum
nampak, namun diindikasikan akan timbul, maka wajib untuk dicegah. Mengenai
pencegahan bahaya yang belum timbul dikuatkan oleh kaidah yang menjadi
turunan atau cabang dari kaidah di atas, yaitu:
اضشس٠ضايثمذسالىب
“Kerusakan harus ditolak atau dicegah semampu mungkin”52
Kaidah tersebut jelas menangkis alasan dan tujuan pemerintah dalam meng-
eksploitasi SDA untuk kesejahteraan dan pembangunan. Lagi pula paradigma
pembangunan untuk selalu mengejar pertumbuhan ekonomi tersebut tidak pernah
menunjukkan hasil yang posotif dalam mencapai kesejahteraan rakyat dan
penghapusan kemiskinan. Sampai detik ini kemiskinan masih menjadi masalah
51
Ibid, hlm 74. 52
Kertas Kerja FNKSDA, ―Fiqh Sumber Daya Alam‖, hlm 5.
116
utama negara Indonesia. Bahkan, rasio gini (kesenjangan antara si kaya dan si
miskin) justru semakin melebar. Dengan kata lain, paradigma tersebut telah
membuktikan kegagalannya dalam menarik mashalih bagi rakyat dan justru
menimbulkan mafasid yang diderita rakyat.
Adapun secara furu‟iyah tindakan eksploitasi yang menimbulkan perusakan
lingkungan dan penderitaan rakyat secara tegas dilarang. Yang dijelaskan oleh
suatu kitab
ل للي١لرفغذا جي ا ي جي فغبدفيالسضث ا عجذبع للا فالسضثعذإصلدبب ويب
لز وض١شال أ بس ٠شأ رغ لطعأشجبس ل بص رخش٠ت ابطل
―Dalam ayat tersebut (al-A‘raf 56), Allah melarang manusia untuk berbuat keru-
sakan di atas bumi dalam bentuk apapun, baik sedikit atau banyak. Termasuk tin-
dakan pengrusakan adalah membunuh manusia, merobohkan rumah-rumah mere-
ka, merusak tanaman-tanaman mereka dan mencemari sungai-sungai mereka”.53
ليعيويفغيبدلرعب:)لرفغذافالسضثعذإصلدب(ف١غأخادذحأعجذبي
ليبياضيذبن:عيبلرعيسا أوضشثعذصلحلأوضش.فعاععياصيذ١خياللياي.
ابءاع١للرمطعااشجشاضشضشاسا.
―Dalam ayat tersebut Allah melarang setiap bentuk pengrusakan, baik sedikit
ataupun banyak, setelah Allah menciptakan bumi dalam keadaan baik, sedikit
ataupun banyak. Menurut pendapat yang sahih, ayat ini berlaku umum. Menurut
Imam ad-Dhahhak, arti ayat ini: janganlah merusak air dan janganlah memotong
tanaman-tanaman, karena akan menimbulkan mudarat”.54
Lebih jauh, mengenai munculnya mafasid di berbagai daerah sekitar industri
di Indonesia, siapakah yang semestinya bertanggung jawab atas segala mafasid
tersebut? Pasalnya, mafasid yang ada sampai saat ini belum terurus dan ditangani
dengan serius, khususnya oleh pemerintah. Demikian itu dijelaskan dalam fiqh
bahwa yang paling bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan kejahatan
53
Muhammad bin Ali as-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir (al-Maktabah as-Syamilah digital), juz
3 hlm 47. 54
Muhammad Ibn Abu Bakr al-Anshari al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi (al-Maktabah as-
Syamilah digital), juz 7 hlm 226.
117
kemanusiaan di sekitar industri adalah pemerintah dan orang-orang kaya (swasta/
korporasi) yang melakukan eksploitasi SDA itu.
ا زعذ ا أ ذى دحلفب زعذ ادذأضشاس جتا ١يعالإرارشرجذعاغ ج زشرجيخضيشاسازغيجت٠ضي
. ٠ض مطعثزغجتآخش ا مطعلفإ ٠ ثبل١ب أصشرغجج بدا ل عرغجج
―apabila karena suatu sebab, terjadi (beberapa) kerusakan, maka hukumnya bagi
pihak yang menyebabkan kerusakan itu harus mengganti semua akibat yang
ditimbulkan olehnya, baik kerusakan itu sendiri maupun efek turunannya, selama
pengaruh (atsar) dari perbuatan yang merusak tersebut masih berlangsung.
Apabila suatu kerusakan memang disebabkan faktor lain, maka ia tak perlu
menggantinya.”55
ادذ) فو ٠زصش عزيبد ا عيمظثغيجتدفيش جيبسويأ أضيش إ عيبدح( عا ى ن)ف ل ا )
رهضشس ع ا ثئش؛ل رغ١شثذش أ عيبدحجذاسجبس ا ىي ث ف رعذ(فرصيش لجبثش)فإ
شزمص١ش ظب ب و خج١شا ذث ش ٠بوأ ظبل لطعبأ ذ بر ) )ض
―apabila seorang pemilik (tanah) menimbulkan kerusakan bagi tetangganya,
seperti dinding tetangganya yang roboh karena tanah yang digalinya, atau sumur
tetangganya yang berubah (kering) karena tanaman yang ditanamnya, maka ia
wajib mengganti kerusakan yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya,
meskipun di atas tanah miliknya sendiri.”56
Tak hanya pengrusakan, menurut FNKSDA, Islam juga melarang kepemili-
kan pribadi atas objek vital yang menjadi hajat hidup orang banyak, seperti
sumber air, hutan, gunung, tambang, dan kiang-kilang minyak atau gas, yang hari
ini dikenal dengan istilah ―privatisasi‖.
بءالبساعبخوب١دجخافشادذبالبساعظ١خ:ىاديذالزفيببثيلفغيداثي
ل»ديذ٠ش«ابطششوبءفصلس:ابءاىي ايبس»أساض١لثششطعذالضشاسثبغ١شلذذ٠ش:
«ضشسلضشاس
―air sugai yang bersifat umum, seperti sungai Nil, Tigris, Eufrat, dan sungai-
sungai besar lainnya, boleh dimanfaatkan (al-intifa‟) oleh setiap orang, baik
untuk kebutuhan dirinya, ternaknya, atau tanahnya (untuk irigasi), dengan syarat
bahwa pemanfaatan itu tidak merugikan orang lain. Hal ini berdasarkan hadis
yang menyatakan bahwa manusia bersekutu dalam 3 hal, yaitu air, padang
rumput (yang lalu di-qiyas-kan juga dengan hutan), dan api (sumber energi). Dan
55
Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, al-Mausu‟at al-Fiqhiyyah (Ensiklopedi
Keputusan Fiqh) (al-Maktabah as-Syamilah digital), juz 28 hlm 226. 56
Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj „ala Syarh al-Minhaj (al-Maktabah as-Syamilah
digital), juz 6 hlm 210.
118
hadis yang menyatakan bahwa „(seseorang) tidak boleh merugikan dan dirugikan
(oleh orang lain)‟”.57
از٠جشفجبسعبخغ١شوخلديذلإيبيجبعيخل :اباشاثعـبءالبساعبخ
دى:ألهلدذفزالبسللفابء ضا١دجخافشادذبالبساعظ١خ.
فاجشلثدكجبعخوبلفىادذدكالزفببثبلثبشفخ)عمفغداث(اششةل
)عمصسعأشجبس(لشكاجذايبلصتا٢لدع١بجشابءلسضلذبيعيب
فعييثييبشأثييبغ١شأالزفييببثبييبءليي١ظذييبوييعأدييذييالزفييببثىيياجييلإرايي٠ضييشا
فإراأضشلفىاديذياغي١ ثبجبعخ.وباذىامشسثبلزفببفاطشقأاشافكاعبخ.
عأاذذرصشفلصايخاضيشس؛ليديكعبيخاغي١لإثبديخازصيشففيدميشيشطخ
إرلضييشسلضييشاس.اييذ١عييوييييزالييبسغ١ييشثبزفييبءاضييشسلوبلزفييببثييبشافكاعبييخل
ايبطشيشوبءفيصيلس:في» وخلدذلإباذكف١بشببج١ع:لع١اصيلحاغيل:
شييشوخاييبطف١ييبشييشوخإثبدييخللشييشوخييهلعييذ«اييخ»(فييسا٠ييخ1«)اييبءاىيي اييبس
فالزفببثببابءاعبلف١ضجذدكاششة.إدشاصبلفعاء
―jenis air yang keempat adalah air sungai yang (dimiliki) umum. Yaitu air yang
mengalir di aliran yang dimiliki umum dan tidak dimiliki secara pribadi. Adapun
air jenis ini diperuntukkan bagi masyarakat (jama‟ah), seperti Sungai Nil, Tigris,
Eufrat dan sungai-sungai besar lainnya. Dan hukumnya adalah, bahwa air ini tak
bisa dimiliki oleh siapapun, baik airnya maupun alirannya. Tetapi ia menjadi hak
bagi masyarakat keseluruhan. Maka bagi setiap orang, ada hak pemanfaatan (al-
intifa‟) atasnya, baik untuk mengairi dirinya, ternaknya, ataupun tanamannya.
Termasuk dengan membuat anakan sungai dan memasang alat untuk mengalirkan
air ke lahannya, dan tindakan-tindakan pemanfaatan air sungai lainnya.
Dan seorang hakim tidak boleh melarang seseorang untuk memanfaatkan air
sungai dengan alasan apapun, selama pemanfaatan tersebut tidak menimbulkan
mudarat pada sungai itu sendiri, orang lain, atau masyarakat. Hal ini sebagai-
mana hukum yang juga berlaku untuk penggunaan jalan dan kemanfaatan (fasili-
tas) umum lainnya.
Maka apabila suatu pemanfaatan memang menimbulkan mudarat, setiap muslim
justru harus mencegahnya dan membatasi pemanfaatan tersebut untuk menghi-
langkan mudaratnya, karena sungai tersebut merupakan hak bagi muslim secara
umum, dan untuk penmanfaatannya disyaratkan tidak ada mudarat, karena tidak
boleh berbuat mudarat pada orang lain.58
Namun, oleh karena pemerintah belum secara serius memenuhi tanggung
jawabnya untuk mencegah dan menanggulangi berbagai kerusakan lingkungan
yang ada, dan kemunculan korporasi swasta yang justru membatasi rakyat untuk
mengambil manfaat dari SDA mereka sendiri, akhirnya tidak jarang terjadi
57
Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (al-Maktabah as-Syamilah digital), juz
6 hlm 16. 58
Ibid, juz 6 hlm 480.
119
bentrok dan konflik antara rakyat pribumi dengan pemerintah dan swasta. Rakyat
pribumi setempat misalnya, melakukan pemblokiran akses jalan dan menduduki
wilayah pengeboran dengan maksud menuntut hak-hak mereka. Dalam hal ini
ulama syafi‟iyyah membenarkan tindakan rakyat tersebut.
جغيل لبياشبفع١خ:صبدتاذكاعز١فبءدمثفغثأطش٠كلعاءأوبجظدميلأيغ١يش
[لاإعييبلجزفعييبلجاثضييييبعييلجزثيي 40/42مييرعييب:اجييضاءعيي١ئخعيي١ئخضييب اشييس:
جذع١بعيذ»اض١خ١غذوجلإبفابي.مع١اغل:[121/11 اذ:
(عسأاشبفع١خف١بإراوباأخرجظدمليغ١يشل3افكاذف١خ) «.سجفأدكث
يزابطيخفيافزثا١وبلبياثعبثذ٠جاصالخيزيجيظاذيكأيغ١يشلفغيبدا
فبءاذ٠.
―para ulama Syafi‟iyyah berpendapat: bagi orang yang berhak atas suatu harta,
boleh mengusahakan kembalinya hartanya (apabila itu dicerabut darinya)
dengan jalan apapun, berdasarkan firman Allah Ta‟ala pada QS As-Syura 40 dan
QS An-Nahl 126, serta hadis Nabi yang menyatakan bahwa seseorang yang
mendapati hartanya ada pada orang lain (yang merebutnya) lebih berhak atas
harta tersebut (dengan cara mengambilnya kembali). Dan pandangan ulama
Hanafiyyah sesuai dengan pendapat ulama Syafi‟iyyah di atas, seperti yang
dicontohkan oleh Ibn „Abidin (salah seorang ulama Hanafiyyah), bahwa seseo-
rang yang dihutangi boleh menarik harta dari orang yang berhutang, sesuai
dengan jumlah hutangnya, apabila orang tersebut menunda-nunda pembayaran
hutang, padahal ia sudah mampu atasnya”.59
Selain itu, menurut Gus Faiz ketika menyampaikan materi Fiqh Agraria,
bahwa Al-Qur‘an pun memperbolehkan seorang muslim untuk mengadakan per-
lawanan apabila dizalimi, untuk mempertahankan diri dan tanah mereka.60
Hal ini
seperti dinyatakan dalam ayat
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena
sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar
Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah." (QS Al-Hajj 39-40)
59
Ibid, juz 5 hlm 480. 60
Notulensi Pesantren Agraria Cirebon Raya, hlm 12.
120
Menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya, tapi
bukan dengan jargon-jargon ―pembangunan‖ yang justru mengorbankan dan
semakin menyengsarakan masyarakatnya. Bahkan, kalau perlu, pemerintah harus
melibatkan pihak-pihak yang mempunyai kelebihan harta untuk mengemban tugas
ini, sebagai bagian dari mekanisme distribusi kekayaan dan keadilan sosial.
ججخششعبعوغدذهص٠بدحعوفب٠خعخعزشعسحاعبساذمقاا
ب٠مثذج١خر١لإطعباجب علفهأع١شغلوزارثزفص١لعبسحعسثذلوفب٠خ
صوبحزسوفبسحلفامب ١ثذفظبلام١بثشأبصخضذثبغ١غ١شرهلإرذفعثذ
ص١خعاصبخث١ذابيعذشءف١أعز١ظبلفإرالصشالغ١بءعره
اذمقثزام١دجبصغطبالخزعذجدامزضصشففصبسف.
"termasuk kewajiban yang ditetapkan oleh syara‟ bagi orang yang kaya dan
memiliki kelebihan harta untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya selama satu
tahun adalah menutupi „auratnya orang yang telanjang (karena tidak mampu
membeli pakaian yang layak, dengan membelikannya pakaian), memberi makan
orang yang kelaparan, membebaskan tawanan dari kalangan muslim dan kafir
dzimmi dengan cara menebusnya, memakmurkan warga negara, mencukupi
kebutuhan mereka, dan membantu apabila ada hal-hal (buruk) yang menimpa
umat Islam, dll, apabila semua ini tak terpenuhi dari dana zakat, nadzar, dan
kafarat, wakaf, wasiat, serta dana baitul mal. Apabila para orang kaya enggan
memenuhi hal-hal tadi, maka pemerintah diperbolehkan untuk mengambil paksa
sebagian harta mereka dan membelanjakannya untuk keperluan di atas.61
عذاضشسحعجضث١ذايبيصيشفعيشيااذيخاشع١يخالغ١بءبب٠فشضالبع
اضشس٠خضفمبداجذاغلحعذدبجبداذزبج١ذره
―dan pemerintah boleh mewajibkan orang-orang kaya (untuk mengeluarkan
hartanya), terutama dalam keadaan darurat dan ketidakmampuan baitul mal
untuk mengatasi persoalan negara dan rakyat, seperti menggaji pasukan dan
membeli persenjataan. Juga untuk memenuhi hajat hidup dasar bagi rakyat yang
membutuhkannya serta contoh-contoh lain”62
Berdasarkan kutipan-kutipan hadis dan pendapat ulama di atas, menurut
FNKSDA, jelas bahwa hak atas sumber daya alam, terlebih yang vital dan
61
Abd ar-Rahman bin Muhammad, Bughyat al-Mustarsyidin (al-Maktabah as-Syamilah
digital), hlm 322. 62
Abdullah Ibn Umar Ibn Sulaiman ad-Damiji, al-Imamat al-„udzma „inda Ahlis Sunnah wal
Jama‟ah (al-Maktabah as-Syamilah digital), hlm 325.
121
menjadi hajat hidup orang banyak harus dimiliki bersama oleh rakyat dan tidak
boleh dikuasai sebagian pihak saja.
Berangkat dari paradigma ekonomi politik, landasan fiqh sumber daya alam,
dan prinsip-prinsip regulasi yang disusun oleh para pendiri bangsa, FNKSDA
menawarkan konsep syirkah (kooperasi) sebagai model tata kelola SDA yang
mereka perjuangkan. Hal ini karena, menurut mereka, jika dilihat dari konsep
kepemilikan SDA dalam Islam yang menyatakan bahwa SDA adalah milik rakyat
secara kolektif (syuroka‟), maka dalam syariat Islam, syirkah menjadi konsekuen-
si logis dari model tata kelola yang harus dipilih. Pemilihan syirkah terutama
didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang menggunakan kata syuroka‟ yang
berasal dari kata syaroka, dan syirkah merupakan kata benda (mashdar) darinya.
Syirkah secara etimologi berarti bercampur. Sedangkan secara terminologi,
menurut Imam Syafi‘i, syirkah adalah tetapnya hak atas kemilikan bersama pada
suatu benda oleh satu orang atau lebih.63
Adapun dalam syirkah, terdapat syarat
saling memberi izin antara orang-orang yang berserikat itu dalam mengolah obyek
syirkah tersebut. Kesemuanya harus saling menghargai hak masing-masing. Salah
satu di antara mereka tidak diperkenankan menggunakan harta syirkah dengan cara
yang menimbulkan kerugian. Keuntungan dan kerugian yang dialami menjadi
tanggungan bersama sesuai dengan kepemilikannya masing-masing. Oleh karena
itu, dalam syirkah, transparansi, kejujuran dan keadilan menjadi prinsip dasar yang
sangat dijunjung tinggi.
63
Muhammad Ibnu Qasim, Fath al Qarib al Mujib, (Surabaya: Darul Ulum, TT), hal. 34.
122
Tak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, menurut Muhammad Al-
Syarbini Al-Khatib, yang dimaksud dengan syirkah ialah, ―ketetapan hak pada
sesuatu harta untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur
(diketahui).‖64
Yang dimaksud dengan cara yang masyhur di atas yaitu cara yang
diketahui, dikenal, dan terbukti kebaikannya. Jadi, seperti apa model dan
mekanisme pengelolaannya, selama ia membawa pada kebaikan pada banyak
orang, maka ia bisa dipakai atau dijalankan atas dasar kesepakatan. Konsep
syirkah ini sebenarnya dalam bahasa Indonesia adalah koperasi. Namun dalam
perjalanannya, koperasi ini telah mengalami distorsi pada era orde baru dan
menjadi tidak sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945 tentang demokrasi
ekonomi. Oleh karena itu, kata kooperasi dikedepankan dalam konsep pengelolaan
SDA sebagai petunjuk untuk kembali pada prinsip-prinsip demokrasi ekonomi.65
Dalam konteks Indonesia, pengelolaan SDA bertumpu pada Pasal 33 UUD
1945. Pemimpin dalam hal ini berperan sebagai penguasa demokratis yang
memimpin syirkah (kooperasi) pemanfaatan SDA. Sedangkan yang menjadi
pemilik (anggota) syirkah adalah seluruh rakyat Indonesia, terutama warga yang
ada di sekitar lokasi SDA. Adapun yang menjadi tujuan akhir syirkah ini yaitu
kesejahteraan seluruh elemen rakyat. Oleh karena itu, pola kebijakan pengelolaan
harus didasarkan pada hasil musyawarah bersama rakyat tanpa ada tindakan-
tindakan yang mengandung aspek diskriminatif, kecurangan, dan ketidakadilan.66
64
Muhammad Syarbini Al-Katib, Al-Iqna‟ fi Hall al-Alfadz Abi Syuja‟ (Beirut: Dar al-Ihya‘ al-
Kutub al-Arabiyah, 1981). 65
Kertas Kerja FNKSDA, ―Menafsir Pasal 33‖, hlm 8. 66
Kertas Kerja FNKSDA, ―Fiqh Sumber Daya Alam‖, hlm 11.
123
E. Bahtsul Masa’il, Halaqah, dan Tradisi Nahdliyyin Sebagai Metode Gerak
Gambar 4.4: Shalawat Marhaen yang disusun oleh Muhamad Al-Fayyadl
Selain berangkat dari khazanah pengetahuan klasik yang digalinya sendiri,
FNKSDA juga menjadikan keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan oleh
forum-forum bahtsul masa‟il dalam NU atau yang terafiliasi dengannya sebagai
salah satu landasan bergerak. Hal ini mengingat kuatnya putusan hukum yang
disepakati para ulama sebagai legitimasi, baik dalam pandangan nahdliyyin
maupun ketika berhadapan dengan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus konflik
tata kelola SDA.
Karenanya, dalam beberapa kasus, FNKSDA juga mendorong diadakannya
bahtsul masa‟il dan halaqah yang membahas persoalan SDA, khususnya yang
berhubungan dengan kasus-kasus spesifik di suatu wilayah, seperti ketika mereka
124
menghadapi rencana pembangunan geotermal oleh PT. Chevron di Gunung
Ciremai, mereka memasukkan kasus ini dalam salah satu agenda pembahasan di
bahtsul masail dalam rangkaian agenda ―Halaqah Fiqh Sumber Daya Alam:
Respon Islam terhadap Tata Kelola SDA di Indonesia‖ yang bertempat di Pondok
Pesantren Buntet, Cirebon, pada April 2015, 67
yang akhirnya memutuskan bahwa
pembangunan geotermal ini adalah haram. Atau ―Halaqah Kedaulatan Tanah
Sumenep‖ yang diadakan karena mulai maraknya investasi yang meminggirkan
rakyat Sumenep, Madura, dari tanah mereka sendiri.68
Di antara beberapa hasil bahtsul masail NU, yang paling utama menjadi
rujukan FNKSDA adalah: Pertama, keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-
Maudlu'iyyah Muktamar NU XXX, di PP. Lirboyo Kediri, Jawa Timur, 21-27
November 1999, yang menetapkan bahwa:
1. Merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberikan Hak Tanam
kepada petani yang kekurangan atau tak memiliki lahan pada tanah negara
dalam jangka panjang, supaya mereka bisa mengambil manfaat darinya.
2. Pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektor agraria diharapkan menjadi
tulang punggung ekonomi nasional di masa mendatang.
3. Untuk membangun ekonomi rakyat, hal mendasar yang harus
diperhatikan adalah kecilnya lahan yang dimiliki rata-rata petani, yaitu
kurang dari 0,5 hektar. Untuk itu, kita perlu mengatur kembali
penggunaan aset tanah melalui mekanisme Reforma Agraria untuk
menjamin hak petani dalam menggunakan lahan.
4. Pembangunan demokrasi dalam ruang politik merupakan pondasi dari
kebijakan yang lebih baik. Pembangunan ekonomi harusnya didasarkan
pada sumber daya alam yang bisa diperbarui dan sumber daya manusia.
Kekuatan sumber daya NU yang berasal dari massa petani harus disadari,
diperhatikan, dan diperkat.
5. Untuk mencapai tujuan di atas, pemerintah harus memberdayakan dan
melindungi hak rakyat miskin (baik secara fisik, sosial, ekonomi, polituk,
maupun kultural) dari eksploitasi dan agresi kelompok yang lebih kuat.
67
Wawancara dengan Gus Syatori, 14 Oktober 2017 di Ponpes Masyariqul Anwar, Cirebon;
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017 di Sekretariat Saung Daulat Amarjati, Cirebon.
Juga artikel ―Halaqah Fiqh SDA di Pesantren Buntet‖, URL: www.daulathijau.org/?p=482 68
www.daulathijau.org/?p=906
125
Negara/pemerintah yang tidak menunjukkan komitmen pada keadilan dan
perlindungan kelompok lemah, dalam perspektif Islam, tidaklah diakui.
6. Menjadi tanggung jawab setiap orang, terutama melalui wakil yang
mereka pilih, untuk menjalankan fungsi kontrol sosial (amar ma‟ruf nahi
munkar) secara terus menerus di semua tingkat, mulai dari desa sampai
pusat negara, sehingga tidak ada sepeser rupiahpun uang negara yang
digunakan untuk kepentingan pribadi penguasa atau disalahgunakan untuk
hal yang justru merugikan rakyat dan menghalangi keadilan dan kesejah-
teraan bersama.69
Kedua, Keputusan Bahtsul Masail al-Diniyah al-Qanuniyyah Muktamar NU
Ke-33 di Jombang, 1-5 Agustus 2015, yang menetapkan bahwa NU menuntut
pemerintah untuk:
1. Melakukan moratorium terhadap semua izin perusahaan berskala besar di
bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan dan pesisir, serta meninjau
ulang semua kebijakan dan izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah dalam bidang SDA.
2. Menghentikan segala bentuk penanganan konflik yang disebabkan oleh
persoalan pengelolaan sumber daya alam dengan cara kekerasan dan
mengutamakan proses dan cara-cara dialogis.
3. Membentuk lembaga khusus yang berfungsi menyelesaikan konflik agraria
yang memiliki wewenang untuk membuat rekomendasi untuk
dilaksanakan oleh Pemerintah.
4. Mengembalikan tanah dan sumber daya air milik rakyat yang dikuasai
oleh perusahaan ataupun pemerintah kepada pemiliknya semula.70
Ketiga, Keputusan Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur di PP Bahrul Ulum
Tambak Beras, Jombang, 25-27 Februari 2014, yang menetapkan bahwa:
1. Sumber daya alam dalam bentuk air sungai, air laut, mata air, hasil hutan,
dan garam yang terkandung dalam tanah mubahah (tanah yang tidak
dimiliki oleh individu, tetapi dikuasai oleh negara tidak boleh dimonopoli
oleh segelintir individu. Tindakan pemerintah yang memberikan hak
kepemilikan dan pengaturan sumber daya alam ini kepada pihak swasta
tidaklah dibenarkan.
2. Terhadap sumber daya air, baik yang berada di tanah yang mati (mawat),
tanah yang dimiliki negara, atau tanah yang dimiliki individu,
69
Lajnah Ta‘lif wa al-Nasyr PBNU, Ahkam al-Fuqaha‟: fi Muqarrarati Jam‟iyyati Nahdhatil
Ulama (Solusi Problematika Aktual Hukm Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes
Nahdlatul Ulama 1926-2010) (Surabaya: Khalista, 2011), hlm 576. 70
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 NU (Jakarta: LTN NU,
2015) hlm 241.
126
pengaturannya harus memperhatikan keseimbangan alam dan ekosistem,
sehingga tidak menimbulkan dampak yang merusak lingkungan.
3. Penambangan emas, perak, gas, batubara, bijih besi, timah, nikel, bauksit,
dan semacamnya yang terkandung dalam tanah yang dikuasai negara,
harus diatur dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat, dengan
tetap memperhatikan keseimbangan alam dan kerusakan lingkungan.
Tindakan pemerintah yang lebih memberi perhatian pada kepentingan
investor dalam hal ini tidaklah dibenarkan.
4. Apabila dalam kasus semacam itu, terdapat kerusakan atau kerugian yang
ditimbulkan, maka menjadi tanggung jawab investor untuk mengusaha-
kan perbaikannya.
Selain itu, menurut FNKSDA, bahtsul masail NU juga sudah mengatur
tentang land reform atau Reforma Agraria. Dalam Bahtsul Masail di Jakarta pada
11-13 Oktober 1961, NU tidak melarang land reform. Penolakan NU, bagi
FNKSDA, hanya ditujukan pada aksi sepihak yang kala itu dilakukan BTI
(Barisan Tani Indonesia) di berbagai daerah. Karenanya, muncul kesan bahwa
implementasi program land reform justru berubah menjadi land grabbing alias
perampasan tanah.71
Sebagaimana diketahui, di masa Orde Baru, pertumbuhan ekonomi menjadi
program prioritas pemerintah, yang mempunyai efek turunan berupa penggusruran
tanah rakyat atas nama pembangunan. Hal ini memantik respon NU yang pada
Bahtsul Masail Muktamar NU Ke-29, di PP. Cipasung, Tasikmalaya, 4 Desember
1994, menetapkan bahwa:
1. Penggusuran tanah rakyat oleh pemerintah hanya diperbolehkan jika
memang benar-benar demi kepentingan umum (al-maslahah al-„ammah)
yang dibenarkan oleh syara‘, di mana kemaslahatannya harus lebih besar
daripada mudaratnya. Dan harus dengan ganti rugi yang memadai.
2. Cara yang terbaik dalam menentukan ganti rugi penggusuran tanah
menurut fiqh ditempuh melalui musyawarah atas dasar keadilan dan tidak
ada pihak yang merasa dirugikan.72
71
Gita Anggraini, Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam
Merombak Ketidakadilan Agraria (Yogyakarta: STPN Press, 2016), hlm 61-65. 72
Lajnah Ta‘lif wa al-Nasyr PBNU, Ahkam al-Fuqaha‟, hlm 507.
127
Bahkan setelah keluarnya keputusan ini, mengingat ―pembebasan‖ dan peng-
gusuran tanah secara paksa masih terus terjadi, bahkan semakin meningkat, NU
dalam Bahtsul Masail Munas Alim Ulama di Ponpes Qomarul Huda Bagu, Pring-
garata, Lombok Tengah, 7-10 November 1997 memperkuat kembali sikap di atas
dengan mengeluarkan putusan bahwa:
1. Pembebasan tanah dengan harga yang tidak memadai dan tanpa
kesepakatan dua belah pihak, tergolong perbuatan zalim karena termasuk
bai‟ al-mukrah dan hukumnya haram serta TIDAK SAH.
2. Yang bertanggungjawab adalah semua pejabat instansi pemerintahan yang
terkait.
3. Keuntungan yang diperoleh dari proses ini hukumnya HARAM. Meski-
pun digunakan untuk membangun sarana ibadah juga tetap haram.73
Selain mendorong bahtsul masail yang membahas konflik tata kelola SDA
pada kasus tertentu, FNKSDA juga memproduksi tulisan-tulisan yang meninjau
suatu kasus dalam sudut pandang agama Islam, khususnya dalam sudut pandang
hukum fiqh, seperti dalam kasus yang sama di Gunung Ciremai dan kasus rencana
pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng, Rembang. Juga tulisan-
tulisan seputar lingkungan hidup dan agraria menurut sumber-sumber Islam,
seperti Al-Qur‘an dan Hadits.74
FNKSDA juga membuat ―amalan-amalan‖ yang terutama ditujukan untuk
petani dan kalangan lainnya, untuk menghindari dari musibah alam seperti kekeri-
ngan dan gagal panen, dengan ber-wasilah kepada Nabi Muhammad SAW, dan
73
Ibid, hlm 548. 74
Seperti tulisan Fuad Faizi, ―Teologi Gunung Dalam Al-Qur‘an: Refleksi atas Rencana
Eksplorasi ―Fracking‖ Panas Bumi di Gunung Ciremai Kuningan Jawa Barat‖. Saya berterima
kasih pada Gus Faiz yang sudah memberitahukan adanya tulisan ini.; Atau tulisan Muhammad Al-
Fayyadl, ―Kasus Rembang dalam Perspektif Hukum Islam‖, URL: www.daulathijau.org/?p=581;
dan ―Ngaji Hadits-Hadits Lingkungan Hidup dan Agraria‖, URL: www.daulathijau.org/?cat=2
128
untuk menapaktilasi semangat perjuangan beliau dalam membela mustadh‟afin.
Bacaan ini mereka namai Shalawat Bumi75
dan Shalawat Marhaen.76
Gambar 4.5: Salah satu kegiatan keagamaan yang dilakukan FNKSDA.
Dan dalam upaya perlawanan mereka terhadap pihak-pihak yang hendak
mengorbankan rakyat, mereka juga tak ragu menggunakan cara-cara yang identik
dengan tradisi nahdliyyin, seperti doa bersama dan istighosah, pengajian umum di
daerah konflik, bahkan sampai peringatan Hari Santri bersama warga terdampak
konflik tata kelola SDA.77
75
Muhammad Al-Fayyadl yang mengarang Shalawat Bumi ini menyatakan, dengan berkah
shalawat ini, diharapkan bahwa: 1) yang mengamalkannya terhindar dari tergolong orang yang
terlibat dalam pengrusakan alam (mufsidun); 2) yang mengamalkannya akan termasuk golongan
orang yang berjihad memperbaiki alam dan kehidupan di dalamnya (mushlihun); 3) dengan
ditujukan pada tembat yang gersang, kekeringan, atau terkena pengrusakan, maka tempat-tempat
itu akan dipulihkan kesuburannya. 76
Untuk Shalawat Marhaen bisa dilihat di URL https://youtu.be/GSVFs1C2NF4 77
Seperti kegiatan yang mereka lakukan pada 27 Maret 2015 di Ponpes Roudhotut Tholibin
dengan tema ―Istighosah Akbar untuk Keselamatan Pegunungan Kendeng dan Sumber Daya Alam
Indonesia Bersama para Alim Ulama‖, URL: www.daulathijau.org/?p=906; ―Ngaji Agraria:
Menolak Lupa Tragedi Urutsewu 16 April 2011‖ berupa peringatan penembakan petani di Urut
129
F. Merumuskan Strategi Hubungan dengan NU & Organisasi Lainnya
Bagian ini membahas relasi yang dikembangkan oleh FNKSDA, baik dengan
organisasi lain di luar (eksternal) NU yang memiliki satu visi, maupun dalam
menghadapi kalangan dalam (internal) NU sendiri.
Dengan organisasi-organisasi yang sempat disinggung pada bagian
sebelumnya, seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan
Hidup (WALHI), Omah Kendeng, Jaringan Masyaraat Peduli Pegunungan
Kendeng (JMPPK), Forum Komunikasi Masyarakat Agraria (FKMA), dan
Yayasan Desantara, FNKSDA membangun hubungan partnership demi mendo-
rong kemajuan perwujudan visi mereka tentang kedaulatan masyarakat atas
sumber daya alam sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan.
Banyak juga inisiator FNKSDA yang tergabung dalam LSM-LSM dan
gerakan ini. Sepanjang organisasi tersebut mempunyai tujuan dan visi yang tidak
bertentangan dengan prinsip FNKSDA, maka keanggotaan ganda pada organisasi
lain tidak dilarang dalam FNKSDA. Misalnya, Merah Johansyah Ismail yang ikut
terlibat dalam pembentukan FNKSDA, merupakan pegiat JATAM Kalimantan
Timur kala itu, dan sejak 2016 menjadi koordinator nasional (kornas) JATAM
Nasional. Atau Moh. Sobirin yang juga aktif dalam perumusan FNKSDA, juga
peneliti aktif di Omah Kendeng.78
Dalam kerjasama dengan jaringan organisasi lain yang satu visi ini, FNKSDA
berharap bisa menjadi jembatan yang menghubungkan gerakan-gerakan di isu
lingkungan, agraria, dan SDA dengan kalangan internal NU, baik itu pengurus
Sewu oleh TNI, URL: www.daulathijau.org/?p=1070; ―Santri-Tani Nyawiji, Peringatan Hari
Santri di Tenda Perjuang-an‖, URL: www.daulathijau.org/?p=960 78
Mubarak ―Gerakan Sosial-Lingkungan Pemuda NU‖, hlm 51.
130
struktural NU maupun warga nahdliyyin. Di satu sisi, kalangan internal NU
diharapkan mendapat pendidikan secara perlahan dari interaksi mereka dengan
gerakan-gerakan ini. Di sisi lain, gerakan ini juga diharapkan mempunyai basis
aktif di masyarakat, dan tidak berhenti perannya sebagai peneliti dan pengamat
dari luar masyarakat.
Sedangkan dalam berhadapan dengan kalangan internal NU, FNKSDA akan
menempuh jalan yang ―moderat‖ dalam berinteraksi dengan mereka. Meskipun
sepintas terlihat sederhana, tetapi ini sebenarnya langkah yang tak mudah.
Terutama karena dalam beberapa kasus, kelompok dalam NU, khususnya
pengurus strukturalnya cenderung abai pada persoalan ekonomi-politik yang
membelenggu umat, dan terkadang justru berpihak pada korporasi yang
mengeksploitasi dan berhadapan dengan rakyat.79
Misalnya, dalam kasus rencana pendirian pabrik semen di Pegunungan
Kendeng yang mendapat penolakan keras oleh masyarakat. Sekumpulan keluarga
pendok pesantran (yang jelas terafiliasi dengan NU) yang mengatasnamakan
Forum Kyai Muda (FKM) Rembang dan sekitarnya justru mengeluarkan
pernyataan tegas mendukung pendirian pabrik tersebut dengan dalih hal itu
membawa maslahat. Sementara itu sikap PBNU terhadap hal ini dinilai ambigu,
karena tak kunjung memberi pernyataan tegas, dan bahkan justru menerima
bantuan dari PT. Semen Indonesia sebagai pihak yang akan mendirikan pabrik
semen di Pegunungan Kendeng. Bahkan sosok kyai kharismatik KH. Maimoen
Zubair juga membingungkan sikapnya. Sebelumnya, beliau menerima perwakilan
79
Lembar Kerja FNKSDA (2013), hlm 5.
131
warga yang menolak pendirian pabrik semen dan telah mendengar kesaksian serta
keluh kesah mereka. Tetapi, setelah itu, dalam satu wawancara juga muncul kesan
kalau beliau membenarkan rencana pendirian pabrik semen itu.80
Dalam kasus-kasus di mana pengurus NU atau sosok agamawan yang
menjadi rujukan masyarakat cenderung membela pihak (khususnya korporasi)
yang berkonflik dengan masyarakat, muncul selentingan bahwa orang-orang ini
telah ―dibeli‖ dan menerima aliran dana oleh pihak perusahaan. Tetapi dalam
komunitas nahdliyyin, tentu menjadi tabu untuk mengumbar pembicaraan bahwa
figur-figur yang dihormati tersebut telah menerima ―gratifikasi‖ sehingga berpi-
hak pada korporasi.81
Dalam hal seperti ini, posisi FNKSDA terkadang cukup dilematis. Di satu sisi
tentu organisasi ini harus membela rakyat yang akan jadi korban dari kapitalisme
ekstraktif, sesuai komitmen pendirian organisasi ini. Yang artinya, organisasi ini
mesti mengambil sikap berbeda dengan NU secara struktural atau tokoh-tokoh
masyarakat yang disegani (utamanya figur kiai). Tetapi, mereka juga harus
mengemas perbedaan sikap ini sehalus dan sesantun mungkin, agar tak muncul
kesan bahwa mereka adalah sekelompok pembangkang, yang justru akan kontra-
produktif bagi kelangsungan gerakan kelompok ini dalam jangka panjangnya.
80
Hal ini lalu ditanggapi dengan cukup bijak oleh Muhammad Al-Fayyadl selaku Komite
Nasional FNKSDA, melalui satu tulisannya, ―Menakwil Penyikapan Mbah Maimoen atas Kasus
Semen Rembang‖, URL: www.daulathijau.org/?p=1028; 81
Seperti dituturkan oleh Bung Usman, koordinator FNKSDA Banyuwangi yang menceritakan
bahwa dalam rencana pembukaan penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi,
yang mendapat penolakan warga, terbukti ada aliran dana yang diberikan korporasi kepada
pengurus NU lokal dan pondok-pondok pesantren di sana. Bahkan karena kritik FNKSDA atas
fakta ini, organisasi ini sudah ―di-merah-kan‖ alias dicap ―kiri‖, bahkan ―komunis‖ oleh pengrus
PCNU di sana. Wawancara dengan Bung Utsman, 16 Oktober 2017 di Babakan, Cirebon.
132
Gambar 4.8: Rilis dukungan Forum Kiai Muda Jateng atas pendirian pabrik semen di Kendeng, Rembang.
Fakta-fakta semacam ini sudah diidentifikasi dalam diskusi pra-pendirian
FNKSDA pada 4 Juli 2013 di Pendopo LKiS. Karenanya, dalam merumuskan
hubungan internalnya dengan NU, FNKSDA memutuskan untuk tetap menjadi
independen dan bergerak secara organik dalam tubuh NU. Artinya, FNKSDA tak
berkehendak untuk menjadi salah satu badan otonom di bawah kepengurusan NU.
Meskipun sebenarnya tawaran kepada front untuk bergabung menjadi salah satu
badan otonom dalam NU sudah pernah dilontarkan. Seperti diceritakan Gus Faiz,
―sempat kok tawaran-tawaran itu datang, kita diajak duduk bareng, tapi akhirnya
nggak jadi. Ketika itu tawarannya tidak untuk masuk (ke dalam NU), tetapi untuk
ketemu, berdiskusi, tapi kita tahu arahnya ke mana‖.82
Salah satu pertimbangan utamanya adalah karena dalam NU sudah terlalu
banyak kepentingan yang ―bermain‖, dan bahwa dengan adanya fakta pengurus
82
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017.
133
NU yang berpihak pada korporasi yang berkonflik dengan rakyat, maka lebih baik
FNKSDA tetap berada di luar struktur keorganisasian NU, terutama untuk
menghindari intervensi. Hal ini seperti yang diungkapkan Gus Syatori83
,
“Kita (FNKSDA) memang tidak meng-underbow ke NU. Banyak yang
bertanya-tanya, karena ada kata Nahdliyyin FNKSDA ini apanya NU ya.
Kita tidak memilih itu (menjadi badan otonom dalam NU) karena banyak
hambatan struktural. Semuanya di front ini aktivis NU, dan tahu betul
bagaimana kondisi struktural di NU. Ketika kita memilih itu (menjadi
underbow), sama saja bunuh diri. Kita sedang ingin mandiri supaya lebih
leluasa. Kita ingin bebas, memberikan sesuatu secara utuh, tidak
tergantung dengan siapapun terhadap persoalan yang kita hadapi. Tidak
berarti kita lepas. Hampir di setiap momen kita selalu kritis. Pernah juga
kita bersebrangan dengan NU sendiri. Misalnya di muktamar (NU ke-33 di
Jombang), kita lagi hajar semen, eh sana (NU struktural) malah terang-
terangan, kalo muktamar malah dapat (uang) dari situ. Suatu saat, bisa saja
kita bikin kegiatan bareng (dengan NU) kalau memang satu arah. Kita tidak
antipati kok terhadap NU. Kalau prinsipnya sama, kenapa tidak?‖.
Sikap kritis terhadap NU memang benar-benar dibuktikan dalam tindakan
nyata. Contoh paling baik untuk menggambarkan hal ini terjadi ketika PBNU
memutuskan untuk bekerjasama dengan Bank Mandiri dalam memberi bantuan
ekonomi kepada warga nahdliyyin, bahkan sampai logo bank ini terpasang dalam
kartu tanda anggota NU (Kartanu) yang pembuatannya sedang digalakkan oleh
PBNU kala itu. Selain memang menolak sektor perbankan sebagai manifestasi
dari kapitalisme finansial, argumen penolakan FNKSDA dalam hal ini semakin
dikuatkan dengan fakta bahwa Bank Mandiri merupakan penyandang dana utama
dalam pembiayaan pendirian pabrik semen di Rembang yang ditolak oleh warga
karena akan menghancurkan lingkungan dan mengusir mereka dari tanah airnya.
Penolakan FNKSDA disampaikan dalam bentuk rilis permohonan terbuka yang
83
―Notulensi Kegiatan Pesantren Agraria Cirebon Raya‖, hlm 5-6.
134
meminta PBNU membatalkan kerjasamanya dengan Bank Mandiri dengan bebe-
rapa pertimbangan di atas.84
Selain itu, penolakan juga disampaikan oleh personil-
personil FNKSDA melalui akun media sosial mereka masing-masing.
Hal ini senada dengan yang disampaikan Gus Faiz,
―dalam menghadapi NU struktural atau para kiai, yang jelas tradisi NU
tetap kita pegang ya. Tapi kita tidak mau terjebak di situ saja. Kalau
memang suatu saat, dalam menghadapi kasus kita berseberangan secara
ideologis, ya kita akan berhadap-hadapan. Tapi ya kita harus mengedepan-
kan cara-cara tadi dulu, tabayyun dulu, ketemu dulu, silaturahim dulu, kalo
ke kiai ya tradisi sowan.
Kita dulu juga pernah coba lakukan audiensi dengan PBNU, tapi masih
mental. Makanya kalau dikatakan bahwa kita akan berbenturan dengan
struktur, ya tidak dong. Lha wong kita masih mau audiensi kok‖.85
Dalam kasus di mana figur-figur ulama dianggap mendukung korporasi,
FNKSDA tidak sepenuhnya menyalahkan atau menunjuk hidung sosok tersebut.
Seperti disampaikan oleh Gus Faiz Syaerozi dalam sesi materi ―NU, Pesantren,
dan Gerakan Agraria di Indonesia‖ pada kegiatan Pesantren Agraria, kebanyakan
sikap kiai ini dikarenakan ketidaktahuannya atas konstelasi konflik yang ada.
Karenanya, terhadap mereka, bukannya memusuhi atau menyalahkan, tindakan
yang harusnya diambil adalh mendatanginya dan mengabarkan keadaan sebenar-
nya dalam suatu kasus. Dalam istilahnya,
“Terkadang kiai sebenarnya tidak memiliki pemahaman yang berbeda
dengan kita. Tinggal bagaimana kita melakukan suatu pemahaman terha-
dap kiai, untuk kemudian menyatukan pemahaman bersama, sehingga kita
melakukan suatu gerakan bersama, bukan hanya masyarakat biasa, tetapi
para kiai juga terlibat. Intinya adalah, banyak sekali kiai yang harus
disadarkan, entah itu dilakukan oleh siapa, tetapi di situlah permasalahan
kiai, yaitu kurangnya informasi terhadap permasalahan sosial yang ada di
84
FNKSDA, ―Permohonan Terbuka Kepada PBNU Terkait Kerjasama dengan Bank Mandiri‖,
17 Juni 2016. URL: www.daulathijau.org/?p=861 85
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017.
135
sekitarnya. Jadi tergantung siapa yang bisikin duluan. Apakah setannya
(korporasi) atau malaikatnya (rakyat).‖86
Namun, meskipun bersikap kritis dan menyadari banyak ―kebobrokan‖ dan
―permainan‖ dalam tubuh NU, bukan berarti FNKSDA sama sekali antipati terha-
dap organisasi ini. Bagaimanapun, FNKSDA menyadari bahwa NU merupakan
organisasi besar dengan potensi yang juga besar, yang tidak bisa ditinggal begitu
saja, apalagi dimusuhi. Seperti dijelaskan sebelumnya, dengan menyandang nama
nahdliyyin, mereka sebenarnya juga menyasar kelompok-kelompok yang terafilia-
si dengan NU.
Dalam AD/ART mereka sendiri dengan jelas dinyatakan bahwa salah satu
sasaran untuk menjaring kader adalah dari ―organ yang berhubungan dengan NU
terutama dari kalangan anak muda‖. Selain itu, dalam pergerakannya, AD/ART
juga memaklumatkan bahwa FNKSDA di berbagai daerah bertugas untuk
―menyelenggarakan kegiatan bersama dengan organ NU (misalnya: pesantren,
PWNU, Fatayat, PMII, IPNU/IPPNU, atau Lakpesdam) dengan tema SDA‖.87
Dalam gerakannya, tidak menutup kemungkinan FNKSDA akan bermitra dan
berjejaring dengan kepengurusan NU atau organisasi turunannya, seperti GP
(Gerakan Pemuda) Ansor atau IPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama), baik di
tingkat nasional maupun lokal, terutama di cabang-cabang yang dalam pandangan
FNKSDA, mempunyai personil dan kecenderungan ―cukup progresif‖ dan satu
visi dengan FNKSDA. Selain itu, FNKSDA juga akan melakukan upaya untuk
86
―Notulensi Pesantren Agraria Cirebon Raya‖, hm 20-21. 87
AD/ART FNKSDA Bab II Pasal 10 dan Pasal 17.
136
menjadikan isu ekonomi-politik dan kedaulatan rakyat Indonesia atas sumber daya
alamnya mendapat perhatian lebih dalam komunitas nahdliyyin.88
FNKSDA juga tak ragu menggandeng PBNU, yang dibuktikan dengan
pernyataan bersama yang dikeluarkan keduanya di masa-masa awal berdirinya
front. Pernyataan ini sendiri berisi dukungan terhadap rakyat yang sedang meng-
hadapi kasus konflik agraria melaan korporasi, seruan kepada aparat negara agar
berlaku adil dalam menangani kasus-kasus sengketa tata-kelola SDA dan menja-
min perlindungan terhadap rakyat yang terlibat di dalamnya, menyerukan kepada
pemerintah daerah untuk menghentikan beroperasinya kegiatan perusahaan tam-
bang yang merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat, dan instruksi agar
jajaran NU berperan aktif dalam pengawasan praktik-praktik ekstraksi SDA di
wilayah mereka.89
Secara lebih lengkap, rumusan strategi mereka dalam hubungannya dengan
internal NU adalah sebagai berikut:
halaqah-haloqah (perkumpulan) yang membahas isu SDA di
kantong-kantong NU dengan tujuan pengarusutamaan tema ini. Setiap simpul
daerah yang tergabung dalam FNKSDA, bisa mengadakan halaqah di daerah
masing-masing dan memobilisasi jaringan FNKSDA untuk hadir dalam
halaqah terkait.
terbuka dengan isu ini untuk membangun aliansi dan pengaruh yang lebih luas
bagi FNKSDA. Akan tetapi, dalam melakukan silaturrahmi, dipastikan dulu
bahwa pengurus NU Pengurus Cabang (PC), Pengurus Wilayah (PW) dan
Pengurus Besar) yang akan diajak silaturahmi belum bersikap dalam sebuah
kasus konflik SDA, atau kalau sudah bersikap, pengurus NU terkait berada
dalam barisan kepentingan jamaah. Daerah-daerah yang sudah "panas" seperti
Pati dan Banyuwangi, ditunggu dulu kematangan gerakan sebelum melakukan
silaturahmi dengan kelompok NU seperti ini. Apabila secara politik dirasa
gerakan sudah matang, maka FNKSDA akan mengambil langkah progresif
88
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017, di Saung Daulat Amarjati (SDA), Cirebon. 89
FNKSDA dan PBNU, ―Pernyataan Bersama FNKSDA & PBNU‖ URL:
www.daulathijau.org/?p=295
137
yang dibutuhkan dalam menyadarkan kelompok NU yang sudah bersikap
kontra-jamaah. Dengan demikian, sangat penting untuk mengidentifikasi aktor
yang bisa diajak bergabung dalam FN-KSDA.
hal manajemen SDA dengan multiperspektif ilmu pengetahuan (misalnya:
ekonomi, budaya, hukum, sosial, ekologi, politik, dan agama). Salah satu
langkah awal dalam membangun pengetahuan ini adalah dengan
mengumpulkan artikel-artikel atau orasi Gus Dur yang berkait dengan konflik
SDA (misalnya: orasi Gus Dur yang menyatakan ia akan puasa sendirian kalau
di Jepara dibangun PLTN).90
-masing simpul jaringan FNKSDA diharapkan membentuk
komunitas relawan yang akan bertugas memberikan informasi kepada pengurus
NU daerah dalam hal bahaya industri ekstraktif.
memiliki keterwakilan, dengan cara sebisa mungkin melibatkan elemen NU.91
G. Visi tentang Bentuk & Strategi Gerakan di Masa Mendatang
Sebagai sebuah gerakan yang terhitung baru, FNKSDA masih dalam masa
pencarian bentuk dan pematangan organisasinya. Hampir semua personil front
bersepakat bahwa, setidaknya dilihat dari strukur keorganisasiannya saja, front
masih belum mapan dengan pola kerja dan pola komunikasi antar-pengurus yang
belum jelas. Selain itu, ketergantungan pada figur-figur tertentu juga menjadi
salah satu poin catatan evaluasi mereka.92
Pun, masih banyak hal yang perlu dimatangkan dan dibicarakan bersama
secara internal, yang hingga saat ini belum terbahas dan menjadi rumusan, seperti
posisi mereka terhadap negara, hubungan mereka dengan NU, konsep mereka
tentang Aswaja sebagai prinsip perjuangan FNKSDA dan bagaimana arah gerak
serta strategi perjuangan FNKSDA kedepannya.
90
Atau kutipan Gus Dur yang menjadi pembuka Lembar Kerja FNKSDA, ―Ada tiga macam
sumber alam [yang] harus direbut kembali, dipakai untuk memakmurkan Bangsa kita… Satu,
sumber hutan; kedua, sumber pertambangan dalam negeri; tiga, sumber kekayaan laut‖. 91
Lembar Kerja FNKSDA (2013), hlm 7. 92
Hasil obrolan penulis dengan berbagai pengurus FNKSDA, terutama Gus Roy dan Gus
Azka.
138
Hal ini mungkin bisa dimaklumi. Setelah serangkaian diskusi yang mengantar
pada pendirian FNKSDA, dan deklarasi sekaligus rilis pernyataan sikap bertajuk
―Resolusi Jihad Jilid II‖ pada Desember 2013 di Tebuireng, Jombang, serta munas
pertama FNKSDA untuk melengkapi dokumen keorganisasian dan memilih kepe-
ngurusan baru pada April 2015 di Kuningan, praktis FNKSDA belum mengada-
kan lagi forum pertemuan guan membahas persoalan-persoalan tadi secara menda-
lam, demokratis, dan disepakati semua elemen.
Para pegiatnya mungkin hanya bertemu secara informal, utamanya ketika
mereka sama-sama menjadi pemateri dalam kegiatan Pesantren Agraria. Untuk
itu, direncanakan akan diadakan Munas Kedua FNKSDA pada tahun 2018, sekitar
bulan Agustus/September, yang bertempat di Semarang dengan estimasi akan
dihadiri sekitar 200 peserta yang datang dari berbagai wilayah FNKSDA, guna
memantapkan kembali arah gerakan organisasi ini.93
Namun, sebelum munas dilaksanakan dan berbagai keputusan dihasilkan di
dalamnya, penting untuk melihat pendapat-pendapat personal pegiat FNKSDA
dalam merencanakan dan membayangkan FNKSDA di masa mendatang, terkait
beberapa isu kunci, seperti visi tentang gerakan, strategi, dan posisi-posisi
ideologis yang lebih matang.
Dalam hal hubungan FNKSDA dengan NU kedepannya, misalnya, dan
bagaimana FNKSDA melalui kader-kadernya memposisikan NU, mendatangkan
tanggapan yang berbeda-beda dari pegiat front. Gus Faiz, sebagai satu contoh,
mengatakan,
93
Poin-Poin Kesepakatan Rapat Nasional FNKSDA di Ponpes Masyariqul Anwar, Babakan,
Ciwaringin, Cirebon, 16 Oktober 2017. Penulis berterimakasih kepada Gus Fayyadl yang sudah
menyediakan dokumen ini.
139
―Memang menjadi kesada-ran bersama juga bahwa posisi dalam NU ya
strategis, dan sebenarnya itu sudah kita wacanakan untuk merebut basis-
basis struktur NU, dari tingkat PC, PW, sampai ke PB. Dan sejauh ini
sudah kita jalankan saya kira. Fayyadl (koordinator komite nasional)
sendiri kan sudah di PC atau PW ya? Kita tidak anti struktur (dalam NU)
Tapi, saya kira front sebagai organisasi tetap perlu dipertahankan sebagai
wadah penggodokan, tidak harus melebur dengan NU, dan kalau perlu ya
tetap di luar. Mungkin kita akan menjalankan fungsi sebagai pengimbang.
Karena memang perlu posisi seperti itu bagi NU. Tidak perlu semua
kemudian harus di-banom-kan dan harus dilebur, kemudian dia menjadi
anaknya yang bisa diperintah ke sana ke sini‖.94
Sebaliknya, Muhammad Azka Fakhriza—akrab disapa Gus Azka—salah satu
pegiat front lainnya justru menyatakan bahwa yang ideal, front ke depannya justru
benar-benar menjadi kekuatan tandingan yang menantang hegemoni NU di
kantong-kantong muslim tradisionalis di pedesaan. Baginya, sudah sulit untuk
memperbaiki NU dari dalam dengan menempatkan kader-kader yang progresif—
seperti yang ditempa dalam front—melalui strategi yang dikenal sebagai ―politik
diaspora‖. Dalam kondisi ini front idealnya justru ―merebut‖ massa yang
sebelumnya terafiliasi secara kultural dengan NU—sebagai nahdliyyin—, dan
menawarkan apa yang disebutnya ―satu bentuk keber-NU-an yang lain‖.
―menurutku yang paling sulit adalah bahwa front suka atau tidak suka akan
menghadapi pertarungan sengit dengan NU struktural. Apalagi di level
bawah sebanarnya akan sangat sulit tugas front itu, menurutku. Karena,
kalau kita ngomong soal kedaulatan agraria, misalnya, itu akan
bersinggungan dengan elit-elit dari NU sendiri, bahkan yang secara
kultural. Dan menurutku sejak awal front harus menyiapkan itu. Artinya
bahwa kawan-kawan front yang memang berangkat dari latar belakang
keluarga priyayi kiai-kiai pesantren ini ya harus siap menghadapi kenya-
taan bahwa kerja-kerja mereka akan menggembosi privilese yang selama
ini mereka nikmati”.95
94
Wawancara dengan Gus Faiz, 18 Oktober 2017. 95
Wawancara dengan Gus Azka Fakhriza, 30 Oktober 2017 di Sekretariat KPRI, Mampang,
Jakarta
140
Terkait tema penting soal strategi, khususnya dalam jangka panjang, tentang
seperti apa bentuk dan strategi gerakan front di masa mendatang, para personil
front juga belum bisa memberi jawaban pasti dan masih meraba-raba. Ketika
ditanya kemungkinan FNKSDA akan ikut terlibat dalam perjuangan di jalur
elektoral, seperti yang diwacanakan beberapa kelompok gerakan lainnya dalam
bentuk partai alternatif atau partai rakyat, misalnya—mengingat visi FNKSDA
tentang tata kelola, tata guna, dan tata milik merupakan isu ekonomi-politik yang
harus diupayakan melalui pembentukan kebijakan politik—, jawaban mereka pun
tak seragam.96
Roy Murtadho, misalnya, justru mendorong FNKSDA punya visi itu, karena
baginya, memperjuangkan kedaulatan rakyat dengan hanya bergerak di luar
pusaran kekuasaan ibarat berteriak di ruang kedap suara. Caranya dengan
mendorong langkah yang hari ini dikenal sebagai ―unifikasi gerakan‖, berupa
pembentukan satu payung besar aliansi gerakan-gerakan rakyat dengan visi yang
sama, sehingga gerakan rakyat tak terpecah belah dan hanya bergerak di sektornya
sendiri (seperti perburuhan, agraria, lingkungan, dan masyarakat adat), serta
perjuangan atas isu kerakyatan tak lagi dijalankan secara parsial dan sporadis.97
Sementara itu, Azka Fakhriza memang sepakat bahwa front tak boleh terisolir
dari gerakan lainnya, yang hanya akan mengulangi egoisme sektoral gerakan-
gerakan lain sebelumnya. Selain juga mengingat keterbatasan jangkauan
96
Pembicaraan serius mengenai ide partai gerakan oleh kelompok progresif, bisa ditemui
dalam KPRI (Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia), ―Partai Gerakan: Wujudkan Mimpi Jadi
Nyata‖, tema uama majalah organisasi ini, Bergerak, untuk edisi Agustus-September 2016. 97
Wawancara dengan Roy Murtadho, 29 Oktober 2017 di Sekretariat KPRI.
141
FNKSDA itu sendiri, terutama terkait penggunaan identitas ―nahdliyyin‖ dan
pembatasan pada isu ―sumber daya alam‖ dan ―kapitalisme ekstraktif‖. Baginya,
―untuk kota-kota yang lebih kosmopolit, front itu ndak akan bisa (cocok,
pen). Aku melihat jika dengan platformnya hari ini, seperti front ini ndak
akan kokoh di kota seperti Jakarta. Harus ada tawaran baru. Tapi memang
harusnya begitu, front harusnya fokus ke basis-basis yang bisa terjangkau,
jangan terlalu muluk-muluk (mau punya cabang di setiap daerah, pen). Kita
boleh punya front di tingkat nasional, tapi ya jangan berharap kemudian
harus ada di semua daerah. Makanya kayak saya ini di Jakarta, dulu
sempat ada omongan kita harus bikin front di Jakarta. Aku udah bikin
grupnya itu dulu. Terus saya pikir-pikir lagi, ngapain kita bikin itu. Terus
siapa yang mau diajak, masak kita Cuma kumpulan aja tiga orang gitu
(anggota FNKSDA yang berdomisili di Jakarta, pen).98
Namun ia tidak sepakat bahwa aliansi besar di mana FNKSDA kan tergabung
di masa mendatang akan bertarung di jalur elektoral. Kalaupun kemudian
nyatanya terbentuk apa yang disebut ―partai gerakan‖ atau ―partai rakyat‖,
sebaiknya ikatan FNKSDA dengan organisasi ini bukanlah ikatan keorganisasian,
tetapi sekadar afiliasi ideologis.
Kesadaran akan pentingnya berjejaring dan membentuk wadah pertemuan
gerakan yang lebih luas juga disuarakan personil lain, kali ini adalah Muhammad
Al-Fayyadl, komite nasional FNKSDA. Ia sendiri sudah menggagas satu bentuk
ormas Islam progresif, mengingat ormas-ormas Islam yang sudah ada dianggap
tak cukup menyuarakan problematika riil dan secara serius memperjuangkan
kepentingan umat. Ormas Islam ini, dibayangkannya akan melampaui sekat-sekat
kultur keislaman, seperti modernis-tradisionalis, namun dipersatukan oleh kesa-
maan keyakinan bahwa Islam merupakan ―agama pembebasan‖ yang menolak
98
Selain pegiat front, ia bersama beberapa anak muda lain yang datang dari latar belakang
corak dan afiliasi organisasi Islam di Jakarta (seperti PII, HMI, Muhammadiyah, dll) yang
sepemikiran dalam melihat realitas ekonomi-politk yang ada, juga menginisiasi terbentuknya
Forum Islam Progresif (FIP) Jakarta. Inilah yang disebutnya sebagai tawaran lain dan alternatif
dari FNKSDA, yang lebih cocok untuk konteks masyarakat urban.
142
semua bentuk eksploitasi dan mendorong terciptanya tatanan yang setara,
berkeadilan, dan berupaya mewujudkan kesejahteraan & kemakmuran rakyat.99
Namun yang jelas, dari berbagai pegiat FNKSDA yang diwawancarai, semua
sepakat bahwa salah satu tugas utama front dalam jangka waktu pendek adalah
memperkuat internal FNKSDA dengan merapikan organisasi, memantapkan
aspek ideologis, dan terutama menjangkau basis yang lebih luas. Poin terakhir ini
didasari kesadaran bersama bahwa penting bagi FNKSDA benar-benar menjadi
organisasi massa, dan tidak hanya dalam bentuknya sebagai organisasi kader yang
diisi segelintir elite terpelajar. Salah satu langkah yang ditempuh guna menuju
arah ini adalah dengan menggalakkan pengkaderan di berbagai daerah dan menja-
ga ritme wilayah-wilayah yang simpul gerakannya sudah berdiri. Hal ini karena,
seperti dituturkan Gus Faiz, sebelum menjaring massa, tetap diperlukan adanya
kader-kader inti yang akan menjadi motor gerakan.
99
―Draft Rancangan Pemikiran Tentang Pembentukan Organisasi Islam Progresif‖ (2016).
Ormas ini sendiri, rencananya kan dinamai Nahdhatu Ulil Albab war Rai‟iyyah (Kebangkitan
Cendekiawan dan Rakyat). Saya berterima kasih kepada Gus Fayyadl yang sudah berkenan
membagikan dokumen ini.
143
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seperti dinyatakan sendiri oleh FNKSDA, bahwa salah satu tujuan utama
gerakan ini adalah “memperkuat dan mendukung perjuangan ekonomi-politik dan
kultural masyarakat korban konflik Sumber Daya Alam di Indonesia”, maka
penelitian ini mengambil tema tentang perjuangan ekonomi-politik organisasi ini,
mulai dari visi ekonomi-politiknya sampai pada upaya dan strategi yang mereka
lakukan untuk mewujudkan tujuannya.
Ditilik dari sudut ini, maka FNKSDA menjadi sebuah gerakan yang menarik
jika dibanding organisasi keislaman lainnya, karena alih-alih berfokus di isu
agama an sich, organisasi ini justru menaruh perhatian utamanya pada sektor
ekonomi-politik yang berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak,
termasuk umat Islam, dan khususnya lagi kalangan nahdliyyin yang menyusun
komposisi sangat besar di negeri ini.
Pembahasan tentangnya juga menjadi sesuatu yang menyegarkan di tengah
kajian—memijam istilah Ahmad Baso—NU Studies yang masih terjebak
dikotomi melihat kelompok “pembaharu” dan “konservatif” dalam tubuh NU,
atau kajian Islamic Studies secara umum di Indonesia yang juga mengulang-ulang
dikotomi adanya kelompok “moderat” vs “radikal” dalam corak Islam Indonesia.
Pendirian FNKSDA didahului oleh serangkain diskusi yang menyoal “NU &
Konflik Tata Kelola SDA” dan deklarasinya pada Desember 2013 di pesantren tua
Tebuireng, ditandai oleh pernyataan sikap yang diberi judul “Resolusi Jihad Jilid
144
II: Mempertahankan Tanah Air dari Rongrongan Kapitalisme Ekstraktif”.
Pendirian FNKSDA sendiri menjadi sebntuk kritik dari generasi muda NU
terhadap absennya perhatian oleh “elite-elte” yang duduk dalam jabatan NU
struktural terhadap persoalan urgen yang dihadapi banyak nahdliyyin. Kebanyak
personilnya sendiri merupakan aktivis muda NU yang sebelumnya bergiat di
banom-banom NU dan tahu betul bagaimana kondisi yang “tidak kondusif” dalam
NU, sehingga kecewa dan memilih lebih bergiat di FNKSDA dan mempertahan-
kannya agar tetap di luar NU, setidaknya sampai saat ini.
FNKSDA sudah mengambil sikap akan bergiat di isu agraria dalam melawan
kapitalisme dan upaya perusakan alam oleh sektor yang hari ini disebut kapital-
isme ekstraktif. Pemilihan sektor ini tidak dilakukan secara arbitrer dan asal, tetapi
melalui pertimbangan matang. Selain karena kebanyakan nahdliyyin yang menjadi
korban dalam konflik tata kelola SDA memang berada di sektor agraria, juga
karena kapitalisme ekstraktif dianggap sebagai jantung permasalahan yang
melahirkan masalah-masalah lain sebagai turunan.
Selain itu juga dengan mengingat bahwa hari ini Indonesia—baik pemerintah
maupun korporatnya—sedang menggenjot pembangunan infrastruktur dengan visi
developmentalisme yang konsekuensinya berupa pencerabutan dan konversi alat
produksi utama rakyat berupa lahan-lahan pertanian, menjadi pabrik, jalan tol,
pembangkit listrik, atau bandara. Belum lagi dengan tuntutan liberalisasi ekonomi
yang membuka kesempatan bagi pemilik modal besar untuk mengakumulasi
kekayaan-nya di sektor perkebunan, pertambangan, dan kehutatan, yang juga
meminggirkan rakyat dari sumber daya alam mereka sendiri. Hal ini dibuktikan
145
dengan data maraknya konflik agraria yang terjadi di Indonesia dalam beberpa
tahun terakhir.
Isu yang akan dibangun dan direproduksi oleh FNKSDA dalam gerakan
mereka adalah keselamatan rakyat dan kedaulatan pangan. Sementara kerangka
analisis yang dipakai dalam melihat satu kasus adalah ekologi dan bencana
industri. Keselamatan warga menjadi sangat masuk akal dijadikan sebagai salah
satu materi kampanye, berkaca dari banyaknya kasus bencana ekologis yang
disebabkan industri ekstraktif, seperti kekeringan atau pencemaran lingkungan.
Kasus yang paling besar dalam contoh ini tentu saja tragedi Lumpur Lapindo.
Sementara kedaulatan pangan pada intinya berarti jaminan terhadap kebutu-
han pangan dengan kepedulian terhadap asal usul bahan pangan tersebut, dan
dengan mempertimbangkan kondisi faktual bahwa warga nahdliyyin sebagian
besar adalah kaum tani. Mereka pada dasarnya menjadi penyuplai beras utama
untuk masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di kota. Apabila
penyuplai bahan pangan berada dalam kondisi kritis, maka otomatis kalangan
yang disuplai pun akan berada dalam kondisi kritis yang sama. Tak mengherankan
jika FNKSDA kemudian sering mengutip kata-kata Hadrats Syaikh KH. Hasyim
Asy’ari yang menyatakan bahwa “petani itulah peahlawan penolong negeri”.
Lebih jauh, isu keselamatan warga dan ketahanan pangan ini dapat dibingkai
dengan kerangka analisis ekologi dan bencana. Cara pandang ekologi akan
membantu untuk melihat persoalan secara runtut dan saling terkoneksi
(ekosistemik). Sementara, kerangka bencana akan meningkatkan kewaspadaan,
terutama dalam hal ini yang bersifat industrial.
146
Visi tatanan ekonomi-politik yang dituju FNKSDA sendiri adalah kedaulatan
rakyat dalam tata milik, tata kelola, dan tata guna SDA, yang kesemuanya dirang-
kum dalam konsep tata kuasa. Konsep-konsep ini akan menentukan siapa yang
berhak atas kepemilikan dan kemanfaatan SDA dan sejauh mana serta seperti apa
batasan pemanfaatan dan pengelolaan SDA bisa dilakukan. Dengan konsep
kedaulatan rakyat atas hal-hal tadi, maka tawaran FNKSDA adalah kooperasi
sebagai bentuk kepemilikan dan pengelolaan bersama oleh rakyat, dan bukan
penyerahan pengelolaan SDA sepenuhnya pada negara.
Dalam hal agraria, misalnya, menurut mereka hal ini sudah terkandung dalam
UU Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960 yang bercorak politik agraria populis.
UUPA ini memaklumatkan Reforma Agraria sebagai upaya redistribusi guna
mencapai keadilan sosial dan apa yang secara eksplisit disebut “sosialisme
Indonesia”.
Apakah konsep kedaulatan rakyat dan tawaran akan bentuk kooperasi ini bisa
dikategorikan sebagai model sosialisme dalam tatanan ekonomi-politik? Para
pegiat FNKSDA tak menyangkalnya, bahkan mengafirmasinya, atau paling tidak
menganggap bahwa visi ekonomi-politik mereka memang “mempunyai kedekatan
dengan sosialisme”. Namun dengan pertimbangan strategis bahwa paham ini
mempunyai beban sejarah yang berat di Indonesia, kebanyakan mereka menghin-
dari penampilan jargon-jargon atau simbol semacam ini secara vulgar.
Sebaliknya, dengan berkaca bahwa sasaran gerakan mereka dan pegiatnya
sendiri adalah kelompok nahdliyyin yang menganut corak Islam-tradisionalis,
FNKSDA menggali pandangan ekonomi-politiknya dari khazanah keislaman
147
klasik berupa tradisi fiqh dan kitab-kitab karangan ulama, yang kesemuanya dekat
dengan kultur tradisionalisme Islam. Selain itu, mereka juga memanfaatkan
forum-forum semisal bahtsul masa’il atau halaqah sebagai salah satu metode dan
medium dalam gerakan mereka.
Dulam hubungannya dengan NU struktural, FNKSDA tetap mempertahankan
sikap kritis, tetapi tanpa menolak dan meninggalkannya sama sekali, mengingat
sebagai sebuah organisasi besar, posisi NU tetap strategis. Sikap kritis ini dibukti-
kan dengan fakta bahwa FNKSDA tak ragu “mengingatkan“ NU apabila langkah
yang ditempuhnya justru merugikan konstituen nahdliyyinnya, atau berseberangan
dengan prinsip-prinsip dalam FNKSDA. Tetapi, ketika memungkinkan, FNKSDA
juga berusaha menggandeng NU secara struktural dengan mengadakan audiensi
atau membuat pernyataan bersama yang sesuai dengan isu yang diperjuangkan
FNKSDA.
Selain itu, FNKSDA juga masih menyasar dan menjaring kader-kader dari
kantong-kantong NU, atau orang-orang yang sebelumnya aktif dalam badan-
badan otonomi dalam NU, terutama yang berkaitan dengan generasi muda, seperti
IPNU (Ikatan Pelajar NU), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) atau
GP (Gerakan Pemuda) Ansor.
Di tahun-tahun mendatang, dalam jangka pendek, FNKSDA sedang memper-
kuat keorganisasian dengan merapikan struktur, mematangkan pembagian dan
pola kerja, serta memantapkan kerangka ideologis dan posisi yang diambilnya.
Selain itu juga dengan menggiatkan pengkaderan dalam rangka pengembangan
organisasi dan perluasan wilayah kerja. Hal ini ditempuh untuk menuju FNKSDA
148
sebagai organisasi massa, alih-alih organisasi kader yang hanya diisi segelintir
elite terpelajar.
Meskipun untuk visi tentang gerakan FNKSDA, belum dibicarakan secara
keorganisasian dan disepakati seluruh anggota. Sebagian besar memang mendo-
rong agar FNKSDA tidak mengisolir diri dan menjadi bagian dari gerakan rakyat
yang lebih luas. Namun, apakah FNKSDA juga akan mendorong aliansi besar ini
terlibat dalam perjuangan elektoral, juga baru dibicarakan secara informal oleh
sesama pegiat dan pengurus.
B. Saran
Studi ini, boleh dibilang baru sebatas pengantar atau yang dikenal dengan
istilah preliminary-analysis atas FNKSDA, mengingat usianya yang terbilang
baru dan minimnya studi atas gerakan ini sebelumnya. Karenanya, tentu banyak
hal yang belum tergali dan bisa dieksplorasi dari tema ini. Penelitian ini sendiri
membatasi pembahasan pada aspek visi keorganisasian dan hal-hal internal lain-
nya, seperti strategi gerakan, hubungan dengan organisasi lainnya, dst.
Terbuka kemungkinan lebar untuk menggali dinamika di dalam gerakan,
seperti dialektika gagasan antar-pegiat, perbedaan-perbedaan kecenderungan yang
dilandasi banyak faktor (seperti perbedaan latar belakang pendidikan, lingkungan,
dll), dan bagaimana suatu gagasan diperdebatkan dan dipertarungkan di dalam.
Selain itu menarik juga untuk merekam bagaimana upaya dan dinamika yang
beragam dari FNKSDA di tiap wilayah. Juga menarik untuk menelisik respon
149
pihak luar, khususnya dari kalangan NU sendiri, mulai dari tingkat pusat sampai
tingkat daerah terhadap gerakan ini dan upaya-upaya yang dilakukannya.
Penulis juga merekomendasikan kepada peneliti lain yang tertarik mengambil
tema berkaitan dengan gerakan keagamaan yang menaruh perhatian utama pada
isu ekonomi-politik untuk meneliti gerakan lain di luar FNKSDA. Dalam bebera-
pa waktu terakhir, kita menyaksikan kebangkitan gerakan semacam ini, seperti
Forum Islam Progresif (FIP) di Jakarta atau bahkan Kristen Hijau yang juga sudah
mempunyai beberapa cabang di beberapa kota. Menarik juga melihat bagaimana
organisasi-organisasi dengan visi serupa ini berinteraksi satu sama lain melalui
perjumpaan-perjumpaan (encounters) para pegiatnya.
150
Daftar Pustaka
a. Buku
ad-Damiji, Abdullah Ibn Umar Ibn Sulaiman. al-Imamat al-‘udzma ‘inda Ahlis
Sunnah wal Jama’ah. al-Maktabah as-Syamilah digital.
Agraria, Konsorsium Pembaruan. Catatan Akhir Tahun 2016 Konsorsium
Pembaruan Agraria: Liberalisasi Agraria Diperhebat, Reforma Agraria
Dibelokkan. Jakarta: KPA, 2016.
Agraria, Konsorsium Pembaruan. Laporan Akhir Tahun 2013: Warisan Buruk
Masalah Agraria di Bawah Kekuasaan SBY. Jakarta, KPA: 2013.
al-Haitami, Ibn Hajar. Tuhfatul Muhtaj ‘ala Syarh al-Minhaj. al-Maktabah as-
Syamilah digital.
al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’ien ‘an Rabb al-‘Alamin. al-
Maktabah al-Syamilah digital.
Al-Katib, Muhammad Syarbini Al-Iqna’ fi Hall al-Alfadz Abi Syuja’. Beirut: Dar
Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1981.
al-Qurthubi, Muhammad Ibn Abu Bakr al-Anshari. Tafsir al-Qurthubi. al-
Maktabah as-Syamilah digital.
Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies. Yogyakarta, Jalasutra: 2004.
Anggraini, Gita. Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan
Islam dalam Merombak Ketidakadilan Agraria. Yogyakarta: STPN Press,
2016.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakr. Al-Asybah wa an-Nadza’ir fi
al-Furu’. Beirut: Dar al-Kutub Al-Islamiyyah, t.th.
as-Syaukani, Muhammad bin Ali. Tafsir Fathul Qadir. al-Maktabah as-Syamilah
digital.
az-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. al-Maktabah as-Syamilah
digital.
Baradat, Leon P. Political Ideologies: Their Origins and Impacts. Glenview,
Pearson Education: 2011.
151
Caporaso, James A. dan David P. Levine. Teori-Teori Ekonomi Politik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Effendi, Djohan. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi: Wacana Keagamaan
di Kalangan Generasi Muda NU Masa Kepemimpinan Gus Dur. Jakarta:
Kompas, 2010.
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi-Politik Indonesia Pasca-
Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005.
Harvey, David. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press, 2003.
Hatta, Mohammad. Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan, t.th.
Howard, M.C. dan J.E. KIng. The Political Economy of Marx. New York: New
York University Press, 1985.
Ida, Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru. Jakarta: Erlangga,
2001.
Kuwait, Kementerian Wakaf dan Urusan Keislaman. al-Mausu’at al-Fiqhiyyah
(Ensiklopedi Keputusan Fiqh). al-Maktabah as-Syamilah digital.
Latif, Yudi. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim
Indonesia Abad ke-20. Jakarta: Democracy Project, 2012.
Mariana, Anna dan Bosman Batubara. Seni dan Sastra untuk Kedaulatan Petani
Urutsewu: Etnografi Wilayah Konflik Agraria di Kebumen. Yogyakarta:
Literasi Press, 2015.
Marx, Karl dan Friedrich Engels, The Communist Manifesto, Diunduh dari
https://www. marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Manifesto.pdf
Marx, Karl dan Friedrich Engels. The German Ideoogy: Critique of Modern
German Philosophy. https://
marxists.org/archive/marx/works/download/Marx_The_German_Ideology.pd
f
Marx, Karl. The Grundrisse (edited by David McLellan). New York: Harper Toch
Books, 1971.
Moleong, Lexy J. Metodologi Pnelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: Rosda
Karya, 2010.
Muhammad, Abd ar-Rahman bin. Bughyat al-Mustarsyidin. al-Maktabah as-
Syamilah digital.
152
O'Hara, Phillip Anthony. Encyclopedia of Political Economy. Volume 2, L-Z. New
York: Taylor & Francis Routledge, 2001.
PBNU, Lajnah Ta’lif wa al-Nasyr. Ahkam al-Fuqaha’: fi Muqarrarati Jam’iyyati
Nahdhatil Ulama (Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan
Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010). Surabaya:
Khalista, 2011.
PBNU. Hasil-Hasil Muktamar Ke-33 NU. Jakarta: LTN NU, 2015.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Qasim, Muhammad Ibnu. Fath al Qarib al Mujib. Surabaya: Darul Ulum, t.th.
Rahman, Noer Fauzi. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, 1999.
Ritzer, George. Encyclopedia of Social Theory volume II. London: Sage
Publication, 2005.
Robison Richard dan Vedi Hadiz. Reorganising Power in Indonesia: The Politics
of Oligarchy in The Age of Market. New York: Routledge Curzon, 2004.
Robison, Richard. Indonesia: The Rise of Capital. Singapura: Equinox Publishing,
1986.
Safi, Omid (ed). Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism.
Oxford: One World, 2003.
Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: PT. indeks, 2012.
Schmandt, Henry J. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Sergent, Lyman Tower. Contemporary Political Ideologies: A Comparative
Analysis. Belmont: Wadsworth CENGAGE Learning, 2009.
Steenbrink, Karel Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Waktu Modern. Jakarta: LP3ES, 1986.
Suhelmi, Ahmad. Islam dan Kiri: Respons Elite Politik Islam Terhadap Isu
Kebangkitan Komunis Pasca-Soeharto. Jakarta: Yayasan SAD Satria Bhakti,
2007.
153
van Bruinessen, Martin dan Farid Wajidi, “Syu’un Ijtima’iyyah and The Kiai
Rakyat: Traditionalist Islam, Civil Soeciety, and Social Concerns” dalam
Henk Schulte Nordholt (ed.), Indonesian Transitions. Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006.
van Bruinessen, Martin. “Back to Situbondo: Nahdlatul Ulama Attitudes Towards
Abdurrahman Wahid’s Presidency and His Fall” dalam Henk Schulte
Nordholt dan Irwan Abdullah (ed), Indonesia: in Search of Transition.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
van Bruinessen, Martin. NU: Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, dan Pencarian
Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Vredenberg, Yacob. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia, 1978.
Winters, Jeffrey. Oligarki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.
Yoshihara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1990.
b. Artikel Jurnal dan Makalah
Anderson, Benedict. “Exit Soeharto: Obituary for a Mediocre Tyrant”. New Left
Review 50 (Maret-April 2008).
Anderson, Benedict. “Soekarno and The Fossilization of Soekarno’s Thought”.
Indonesia No 74 (Oktober 2002).
Bachriadi, Dianto. “Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala
Pemerintahan SBY”. Disampaikan dalam Pertemuan Organisasi-Organisasi
Rakyat Se-Jawa di Magelang, Juni 2007.
Kodir, Abdul dan In’amul Mushoffa. Islam, Agrarian Struggle, and Natural
Resources: The Exertion of Front Nahdliyin for Sovereignty of Natural
Resources Struggle Towards Socio-Ecological Crisis in Indonesia, Karsa:
Journal of Social and Islamic Culture Vol. 25 No.1, Juni 2017
Pontoh, Coen. “Kapitalisme-Neoliberal Sebagai Proyek Kelas: Sebuah Analisa
Marxis” Jurnal IndoPROGRESS Vol 01 Nomor 01/2014.
Wilson. “Kaum Pergerakan di Hindia Belanda 1930-an: Reaksi Terhadap
Fasisme”. Prisma No 10/1994.
154
c. Buletin, Koran, Majalah, dan Situs Web
Arsyad, Idham. “Kusutnya Keagrariaan Kita”. Kompas, 25 September 2012.
BUMN, Kementerian. “Siaran Pers Harmonisasi BUMN & Investor Swasta”.
Siaran Pers Nomor: PR-25/S.MBU.3/9/2017.
KPRI. “Partai Gerakan: Wujudkan Mimpi Jadi Nyata”. Bergerak edisi Agustus-
September 2016.
PISAgro NEWS No. 9, Januari 2015.
Statistik, Badan Pusat. “Profil Kemiskinan Di Indonesia Maret 2016”. Berita
Resmi Statistik No. 66/07/Th. XIX, 18 Juli 2016
Sumarno dan Unang G. Kartasasmita. “Kemelaratan Bagi Petani Kecil di Balik
Kenaikan Produktivitas Padi”. Sinar Tani (Edisi 30 Des ’09 – 5 Januari 2010;
No. 3335 Tahun XL).
http://www.beritasatu.com/ekonomi/248576-konsorsium-swasta-realisasikan-
investasi-agrobisnis-rp-76-m.html
http://www.bpn.go.id/BERITA/Siaran-Pers/hantaru-2016-wujudkan-reforma-
agraria-dan-tata-ruang-yang-berkeadilan-64410 http://www.gusdurian.net/id/article/kajian/Belajar-Kooperasi-SAGUAPAC-
Revolusi-Chocabamba-Bolivia/
http://www.kpa.or.id/news/blog/pernyataan-sikap-hari-tani-nasional-2016/
http://www.pisagro.org/agri-finance
http://www.pisagro.org/members
https://st2013.bps.go.id/dev2/index.php
https://www.daulathijau.com
https://www.indoprogress.com/
https://www.islambergerak.com https://www.smart-
tbk.com/pdfs/Announcements/PISAgro%20Data%20dan%20Fakta.pdf
https://youtu.be/1hLwYZTqMqI
155
d. Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, Disertasi)
Endaryanta, Erwin. “Politik Air: Studi Politik Privatisasi Air dalam Relasi
Ekonomi Politik Negara dan Trans-National Corporations (TNC), Studi
Kasus Pemetaan Kuasa dan Eksploitasi Sumber Air Si Gedhang – Klaten oleh
PT TIA-D (Aqua-Danone)”. Skripsi Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL
UGM, 2005.
Mubarak, Achmad Fikri Syahrul. “Gerakan Sosial-Lingkungan Pemuda NU: Studi
pada Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)”.
Skripsi Sosiologi UGM, 2015.
Polimpung, Hizkia Yosie. “Psikoanalisis Paradoks Kedaulatan Kontemporer:
Kasus Kebijakan Global War on Terror Amerika Serikat Semasa
Pemerintahan George W. Bush, Jr”. Tesis Master Program Pasca Sarjana
Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, 2010.
Redfern, William A. “Sukarno’s Guided Democracy and The Takeovers of
Foreign Companies in Indonesia in The 1960s”. Disertasi doktoral di
University of Michigan, 2010.
e. Dokumen
Resolusi Jihad Jilid II: Mempertahankan Tanah Air dari Rongrongan Kapitalisme
Ekstraktif (2013).
Lembar Kerja FNKSDA (2013).
AD/ART FNKSDA (2015).
Kertas Kerja #3 FNKSDA, “Fiqh Sumber Daya Alam: Prinsip-Prinsip Dan Tata
Kelola SDA Di Indonesia”, (2015).
Kertas Kerja #4 FNKSDA, “Menafsir Pasal 33: Analisis Terhadap Putusan MK
Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air” (2015).
Pedoman Pengkaderan FNKSDA, “Menegakkan Kedaulatan, Menyelamatkan
Ruang-Hidup dan Tanah-Air” (2015).
Draft Rancangan Pemikiran Tentang Pembentukan Organisasi Islam Progresif
(2016)
Notulensi Pesantren Agraria Cirebon Raya (2017).
156
Butir-Butir Keputusan Rapat FNKSDA di PP Masyariqul Anwar, Babakan,
Cirebon, pada 16 Oktober 2017.
f. Wawancara
Wawancara dengan Ahmad Syatori (Koordinator Nasional FNKSDA), 15 Oktober
2017, di PP Masyariqul Anwar, Babakan, Cirebon.
Wawancara dengan Bung Usman (Koordinator FNKSDA Banyuwangi), 16
Oktober 2017, di PP Masyariqul Anwar, Babakan, Cirebon.
Wawancara dengan Bosman Batubara (Biro Litbang FNKSDA), 16 Oktober
2017, di PP Masyariqul Anwar, Babakan, Cirebon.
Wawancara dengan Muhammad Al-Fayyadl (Koordinator Nasional FNKSDA),
17 Oktober 2017, di PP Masyariqul Anwar, Babakan, Cirebon.
Wawancara dengan Fuad Faizi (Biro Pengkaderan FNKSDA), 18 Oktober 2017,
di Saung Daulat Amarjati, Cirebon.
Wawancara dengan Roy Murtadho (Biro Litbang FNKSDA), 20 Oktober 2017, di
Sekretariat KPRI, Mampang, Jakarta.
Wawancara dengan Muhammad Azka Fakhriza (FNKSDA Jakarta), 20 Oktober
2017, di Sekretariat KPRI, Mampang, Jakarta.
Recommended