View
251
Download
10
Category
Preview:
Citation preview
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN
DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS
INTERNET (WEBSITE)
NI PUTU RIA DEWI MARHENI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
TESIS
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN
DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS
INTERNET (WEBSITE)
NI PUTU RIA DEWI MARHENI
NIM : 1090561058
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
BERKAITAN DENGAN PENCANTUMAN
DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA DALAM SITUS
INTERNET (WEBSITE)
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI PUTU RIA DEWI MARHENI
NIM : 1090561058
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 12 DESEMBER 2013
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,SH.,M.Hum
NIP.19611101 198601 2 001 NIP.19620731 198803 1 003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH., M.Hum., LLM Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
Tesis Ini Telah Diuji
Pada Tanggal 12 Desember 2013
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
Nomor 1902/UN14.4/HK/2003 Tanggal 1 Oktober 2013
Ketua : Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM.
Sekretaris : Dr. Ida Bagus Wyasa Putra,S.H.,M.Hum
Anggota : 1. Dr. I Wayan Wiryawan, S.H., MH
2. Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.
3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra S.H., M.Hum.
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ni Putu Ria Dewi Marheni
NIM : 1090561058
Program Studi : Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Judul Tesis : Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan
Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha
Dalam Situs Internet (Website)
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas dari plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah tesis ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 12 Desember 2013
Hormat saya,
Ni Putu Ria Dewi Marheni
UCAPAN TERIMA KASIH
Om Swastiastu,
Sesanti anghayu bhagia serta puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa atas asung kertha wara nugraha-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang
berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan dengan
Pencantuman Disclaimer oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (Website)”
yang disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan guna memperoleh gelar
Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai tanpa doa, motivasi dan
bantuan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Rektor Universitas Udayana, Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-
KEMD beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program
Magister di Universitas Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Ibu Prof. Dr. dr. A.A.
Raka Sudewi, Sp.S (K) beserta jajarannya atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk menjadi mahasiswi Program Magister pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., LLM dan
Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra., S.H., M.Hum., atas fasilitas
yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program
Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
4. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H.,M.Hum.,LLM sebagai dosen
Pembimbing I (Pertama), yang dengan penuh perhatian, tanpa mengenal lelah
telah memberikan bimbingan, dorongan dan semangat serta saran kepada penulis
dalam rangka penyusunan tesis ini.
5. Bapak Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, S.H.,M.Hum sebagai dosen Pembimbing II
(Kedua) yang dengan sabar telah berkenan membimbing dan mengarahkan
penulis dalam penyusunan tesis ini.
6. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra S.H., M.Hum. , Bapak Dr. I Wayan
Wiryawan, S.H.,M.H., Bapak Dr. I Made Sarjana, S.H.,M.H. sebagai dosen
penguji yang telah mengarahkan penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini.
7. Seluruh dosen pengajar di (S2) Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana, terutama dosen konsentrasi Hukum Bisnis di Universitas
Udayana atas segala ilmu yang telah diberikan.
8. Ibu A.A Istri Agung Yuniana, S.E., Bapak Made Mustiana, S.E., Ibu Gusti Ayu
Raka Wiratni, Putu Dyva Dhamahadi Yadnya, S.H., Made Dandy Pranajaya,
S.Sos selaku staf administrasi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana atas berbagai dukungan administratif
dan moral yang diberikan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan studi
sampai akhir.
9. Almarhum Kakek tercinta I Made Tjandra dan I Gede Sudarya, Almarhum
Nenek tercinta Ni Nyoman Mongkrog dan Ni Nyoman Candri yang selalu
memberikan petuah berguna dimasa hidup dan selamanya akan menjadi panutan
dalam setiap langkah penulis.
10. Kedua orangtua tercinta Bapak I Nyoman Wina, S.H. dan Ibu Nyoman Oka Sri
Haryani, yang dengan setia setiap waktu memberikan kasih sayang dan
dukungan penuh bagi penulis, adik tersayang Made Meila Dwi Cahyani,
Amd.Keb. , keponakan I Gd. Wahyu Pramartha serta seluruh keluarga besar di
Tabanan dan Badung, yang telah banyak memberikan doa dan dukungan moral
kepada penulis.
11. Bapak I Gusti Agung Prana, Penglingsir Puri Bakungan Mengwi, yang tiada
hentinya telah memberikan dukungan dan bimbingan kepada penulis.
12. Bapak I Ketut Suteja Putra, S.P., S.H., dan Ibu Umi Martina,S.H.,M.H.,beserta
rekan-rekan Senior Advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI) Bali yang telah memberikan semangat kepada penulis.
13. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Magister Ilmu Hukum Angkatan 2010,
khususnya konsentrasi Hukum Bisnis yang berjuang bersama dan saling
mendukung dalam menyelesaikan tesis.
14. Sahabat-sahabat tercinta, terdekat dan terbaik Putu Gde Eka T. Widana, S.H.,
Putu Purtini Utami, B.Buss, I Dewa Ayu Mas Ismayani, S.H., Desy Kusuma
Wardhani, S.H.M.H., Ni Nyoman Anita Candrawati, S.H.,M.H., A.A Putri
Aprilina, S.H. M.kn., Putu Niti Suari Giri, S.H.,M.H., Emmy Febriani,S.H.,M.H.,
Putu Yumi Antari, S.H., Lya Meinar Laksmi, S.H., Putu Ratih Prabandari, S.H.,
Komang Kartika Trisna Dewi, S.H., Ni Nyoman Muryatini, S.H., Agung Eka
Maharta, S.H., I Wayan Juwahyudhi, S.H.,M.H., yang senantiasa memberikan
motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan tesis.
15. Serta seluruh rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
mengenal dan memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan studi
Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Akhir kata penulis menyadari bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini
masih jauh dari kesempurnaan baik dari isi permasalahan, analisis, penyusunan
maupun teknik penulisan. Walaupun demikian, penulis berharap semoga tulisan
ini tetap dapat bermanfaat bagi pembaca. Astungkara, Ida Sang Hyang Widhi
Wasa senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua.
Om Santi Santi Santi Om
Hormat Penulis,
Ni Putu Ria Dewi Marheni
ABSTRAK
Dalam situs internet (website) di Indonesia banyak pelaku usaha yang
mencantumkan disclaimer. Disclaimer yang dicantumkan dalam situs internet
(website) di Indonesia seringkali menyatakan pengalihan tanggung jawab dari
pelaku usaha kepada konsumen. Banyak konsumen yang tidak menyadari
keberadaan disclaimer karena letaknya sulit terlihat. Pencantuman disclaimer
tersebut tidak adil bagi konsumen, sehingga sangat penting untuk diadakan
penelitian. Terdapat dua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini yaitu
bentuk pengaturan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di
Indonesia dan perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan
pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia.
Penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis
konsep hukum. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa
peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa literatur yang
berkaitan dengan permasalahan dan bahan hukum tertier berupa kamus hukum
dan artikel dalam format elektronik. Seluruh bahan-bahan hukum tersebut
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan
sistem bola salju dan dianalisa secara deskriptif dan evaluatif.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap permasalahan tersebut,
bentuk pengaturan hukum terhadap pencantuman disclaimer di Indonesia ditinjau
dari Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang secara khusus (lex specialis derogate legi generali) mengatur
kegiatan di dunia maya, masih belum jelas. Namun, jika ditinjau dari segi
perlindungan konsumen secara umum dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, sebagian besar pencantuman disclaimer dalam
situs internet (website) dapat dikategorikan sebagai klausula eksonerasi.
Perlindungan hukum bagi konsumen di dunia maya sangat diperlukan untuk
menjamin persamaan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Saat ini
perlindungan hukum secara umum dapat diberikan kepada konsumen secara
preventif dengan dibentuknya suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) dan
secara represif melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan
perdata dan sanksi pidana berdasarkan Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Melalui jalur non litigasi dapat diselesaikan
dengan alternatif penyelesaian sengketa salah satunya melalui jalur Arbitrase.
Kata Kunci : Disclaimer, Perlindungan Hukum, Perlindungan Konsumen, Situs
Internet, Transaksi Elektronik.
ABSTRACT
In the Internet site (website) in Indonesia many businessmen specify
disclaimer. Disclaimer specified in the internet site (website) in Indonesia often
states transfer of responsibility of the businessmen to consumers. Many
consumers are not aware of the existence of the disclaimer because its position is
difficult to see. The specification of the disclaimer is unfair to the consumers, so
to conduct research on the phenomena is very important. There were two issues
examined in this study; the form of disclaimer specification regulation in the
internet site (website ) in Indonesia and the legal protection of the consumers with
regard to the specification of disclaimer on the internet site ( website ) in
Indonesia.
The method applied in this thesis is a normative legal research using
statutory and analytical approach to legal concepts. Legal materials used were
primary legal materials in the form of legislation, secondary legal materials in the
form of literature related to the problems and the tertiary materials were legal
dictionary and articles found in electronic format. Those legal materials were
collected and classified based on the problems formulated through a snowball
system and the data were analyzed in descriptive and evaluative method.
Based on the results of the study focusing on the two problems, the form
of legal regulation on the disclaimer specification in Indonesia seen from Act 11
of 2008 related to Information and Electronic Transactions specifically (lex
specialis derogate legi generali) regulate the activities in cyberspace, has not been
clear. However, if it is seen in terms of consumer protection in general in Law No.
8 of 1999 on Consumer Protection, most of the disclaimer specification on the
internet site (website) can be categorized as an exoneration clause. Legal
protection for consumers in the cyberspace is very necessary to ensure equality
between entrepreneurs or businessmen and consumers. Currently legal protection
generally can be provided to consumers preventatively with the establishment of a
Reliability Certification Board and repressively through litigation can be done by
filing a civil complaint and criminal penalties under Law 11 of 2008 on
Information and Electronic Transactions. Through non-litigation, it can be
resolved with one alternative dispute resolutions and one of them is through
arbitration.
Keywords: Disclaimer, Legal Protection, Consumer Protection, Website,
Electronic Transactions.
RINGKASAN
Karya tulis tesis ini membahas tentang “Perlindungan Hukum Terhadap
Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam
Situs Internet (website)”, yang pembahasannya terbagi dalam 5 (lima) bab.
Bab I yang merupakan pendahuluan, diawali dengan penguraian latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teoritis, kerangka berpikir dan metode penelitian. Pada latar belakang
masalah menggambarkan fakta hukum yang menyangkut fenomena pencantuman
disclaimer oleh pelaku usaha pada setiap situs internet (website) , penelitian lebih
memfokuskan dalam situs internet (website) yang domainnya berasal dari
Indonesia. Ditemukan beberapa keluhan-keluhan konsumen yang mengalami
kerugian akibat pelaku usaha yang tidak mau bertanggung jawab atas apa yang
ditampilkan dalam website–nya dan mengalihkan, membebaskan tanggung jawab
dari barang dan/atau jasa yang dijualnya. Pembebasan tanggung jawab tersebut
lebih diperkuat dengan pencantuman disclaimer dengan bentuk klausula baku
yang dibuat secara sepihak, terkadang tidak disadari oleh konsumen karena
letaknya yang sulit terlihat dan menguntungkan pelaku usaha. Diperlukan
pengkajian eksistensi pengaturan kriteria substansi dari klausula baku khususnya
dalam bentuk disclaimer di situs internet (website) agar dapat melindungi hak-hak
konsumen dalam pengaturan khusus mengenai Informasi dan Transaksi elektronik
dan untuk menjamin adanya perlindungan hukum konsumen yang memanfaatkan
situs internet (website) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bab II membahas tentang konsepsi perlindungan konsumen, pelaku usaha,
disclaimer dan situs internet (website). Yang pembahasannya meliputi konsepsi
umum tentang Perlindungan Konsumen dan dasar hukumnya, hak-hak dan
kewajiban konsumen dalam perspektif Undang-undang No.8 tentang
Perlindungan Konsumen, asas-asas yang berkaitan dengan perlindungan
konsumen di Indonesia, konsepsi tentang perjanjian jual beli antara pelaku usaha
dengan konsumen menurut Kitab Undang-udang Hukum Perdata (KUHPerdata),
hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen, perbuatan yang dilarang
bagi pelaku usaha dalam kegiatan bisnis, konsepsi tentang disclaimer dan situs
internet (website), konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause ,
Konsepsi Tentang Situs Internet (website) dan kaitannya dengan Undang-undang
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, perbedaan antara situs internet (website)
dan blog (web log).
Bab III Membahas tentang Pengaturan disclaimer dalam perspektif Hukum
Indonesia, yang merupakan hasil penelitian dari rumusan masalah yang pertama,
Pada bab ini dibahas mengenai keberadaan disclaimer yang juga berkaitan dengan
transaksi elektronik di dunia maya di Indonesia kemudian menguraikan undang-
undang yang terkait dengan status hukum keberadaan disclaimer tersebut antara
lain dilihat dari Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik dan Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen. Eksistensi disclaimer dalam situs internet (website) termasuk juga
dalam unsur-unsur Klausula Baku (dalam transaksi konvensional di dunia nyata)
yang diatur dalam Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK), UUPK hanya berlaku secara limitatif dalam yurisdiksi
nasional untuk transaksi secara konvensional (offline). Saat ini di Indonesia
terdapat Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus kegiatan transaksi elektronik
di dunia maya (cyberspace).
Bab IV membahas secara khusus mengenai perlindungan hukum terhadap
konsumen berkaitan dengan dicantumkannya disclaimer oleh pelaku usaha, yang
merupakan hasil penelitian dari rumusan permasalahan kedua. Yang membahas
mengenai Pelanggaran terhadap hak konsumen berkaitan dengan pencantuman
disclaimer dalam situs internet (website), tanggung jawab pelaku usaha pemilik
situs terhadap konsumen berkaitan dengan akibat dari pencantuman disclaimer
menurut perspektif Hukum Indonesia dan perlindungan konsumen dalam
kaitannya dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website) oleh
pelaku usaha.
Bab V merupakan bagian penutup. Bagian penutup merupakan simpulan dari
pembahasan atas permasalahan penelitian serta diajukan saran dan rekomendasai
yang perlu diperhatikan oleh pihak terkait dan Depkominfo untuk
menyempurnakan Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik agar terdapat pengaturan yang jelas berkaitan dengan
substansi disclaimer agar dapat melindungi hak-hak konsumen yang melakukan
transaksi bisnis di situs internet (website) dan agar tercipta perlindungan hukum
yang didasari oleh keadilan untuk konsumen internet di Indonesia.
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUL DALAM .................................................................... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER .................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ................................ iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... vi
ABSTRAK ..................................................................................................... x
ABSTRACT ..................................................................................................... xi
RINGKASAN ................................................................................................. xii
DAFTAR ISI .................................................................................................. xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 9
1.3 Ruang lingkup Masalah ............................................................................ 9
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................... 10
a. Tujuan Umum ................................................................................. 10
b Tujuan Khusus ............................................................................... 10
1.5 Manfaat Penelitian .................................................................................. 11
a. Manfaat Teoritis ............................................................................. 11
b. Manfaat Praktis ............................................................................... 11
1.6 Orisinalitas Penelitian .............................................................................. 11
1.7 Landasan Teoritis .................................................................................... 16
1.8 Metode Penelitian ................................................................................... 28
a. Jenis Penelitian ............................................................................... 28
b. Pendekatan Masalah ....................................................................... 29
c. Sumber Bahan Hukum .................................................................... 29
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................... 31
e. Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................................ 32
BAB II. KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU
USAHA , DISCLAIMER DAN SITUS INTERNET (WEBSITE) ...... 33
2.1 Perlindungan Konsumen ........................................................................... 33
2.1.1 Konsepsi Umum tentang Perlindungan Konsumen dan Dasar
Hukumnya ...................................................................................... 33
2.1.2 Hak-hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undang-
undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ............. 39
2.1.3 Asas –asas yang berkaitan dengan Perlindungan Konsumen di
Indonesia ........................................................................................ 47
2.1.4 Konsepsi tentang Perjanjian Jual Beli antara Pelaku Usaha
dengan Konsumen menurut Kitab Undang-udang Hukum
Perdata (KUHPerdata) .................................................................... 50
2.2 Pelaku Usaha ............................................................................................ 55
2.2.1 Konsepsi Pelaku Usaha dan Dasar Hukumnya ................................. 55
2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perspektif
Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ...................................................................................... 57
2.2.3 Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen ............. 58
2.2.4 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha dalam kegiatan
bisnis ............................................................................................. 62
2.3 Disclaimer dan Situs Internet (website) ..................................................... 63
2.3.1 Konsepsi tentang Disclaimer yang dicantumkan pelaku usaha
pada situs internet (website) ........................................................... 63
2.3.2 Konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause ......... 68
2.3.3 Konsepsi tentang Situs Internet (website) dan kaitannya
dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ....... 71
2.3.4 Perbedaan antara Situs Internet (website) dan Blog (web log) ......... 76
BAB III PENGATURAN DISCLAIMER DALAM HUKUM INDONESIA .... 80
3.1 Pengaturan disclaimer dalam Dunia Maya (virtual world) ........................ 80
3.2 Pengaturan disclaimer dalam Konteks Undang-undang No.11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang
No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen .................................. 90
3.2 Eksistensi disclaimer dalam Situs Internet (website) Relevansinya
dengan Pengaturan Klausula Baku ............................................................ 107
BAB IV BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KONSUMEN BERKAITAN DENGAN
DICANTUMKANNYA DISCLAIMER OLEH PELAKU
USAHA...................................................................................... 120
4.1 Pelanggaran terhadap Hak Konsumen Berkaitan dengan
Pencantuman Disclaimer dalam Situs Internet (website) ........................... 120
4.2 Tanggung Jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Berkaitan
dengan Pencantuman Disclaimer Menurut Perspektif Hukum
Indonesia ................................................................................................. 130
4.3 Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Pencantuman
Disclaimer dalam Situs Internet (website) oleh Pelaku Usaha ................... 137
BAB V PENUTUP ......................................................................................... 166
5.1 Simpulan ................................................................................................... 166
5.2 Saran ......................................................................................................... 167
DAFTAR BACAAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Perbedaan antara Situs Internet (website) dan Blog (web log) ............ 77
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................ 84
Gambar 2. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 85
Gambar 3. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 85
Gambar 4. Contoh tampilan disclaimer website Indonesia ............................. 86
Gambar 5. Contoh tampilan disclaimer website Singapura............................. 86
Gambar 6. Tampilan disclaimer website Indonesia pada bagian paling bawah
homepage ........................................................................................128
Gambar 7. Tampilan disclaimer website Singapura pada halaman utama
homepage ..................................................................................... 129
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus
senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Pada
era globalisasi ini perubahan telah terjadi diberbagai bidang kehidupan, termasuk
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang memegang peranan
penting dalam pembangunan. Teknologi informasi dan komunikasi telah
mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global.
Perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi tanpa batas
(borderless) dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan berlangsung
demikian pesatnya.
Teknologi dan Informasi menjadi dua hal yang sangat penting karena dapat
mempermudah segala aktivitas hidup manusia. Demikian pesatnya perkembangan
dan kemajuan teknologi informasi, yang merupakan salah satu penyebab
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara
langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
Penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi harus terus dikembangkan
untuk menjaga, memelihara dan memperkukuh perundang-undangan demi
kepentingan nasional. Di samping itu, pemanfaatan teknologi informasi berperan
penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Internet yang merupakan kepanjangan dari Interconection Networking atau
juga yang telah menjadi International Networking1. Internet dapat
menghubungkan komputer diseluruh dunia tanpa dibatasi oleh jumlah unit
menjadi satu jaringan yang bisa saling mengakses. Dengan internet tersebut, satu
komputer dapat berkomunikasi secara langsung dengan komputer lain di berbagai
belahan dunia. Internet pertama kali dikembangkan oleh salah satu lembaga riset
di Amerika Serikat, yaitu DARPA (Defence Advanced Research Project Agency)
pada tahun 1973.2 Pada saat itu DARPA membangun Interconection Networking
sebagai sarana untuk menghubungkan beberapa jenis jaringan paket data seperti
CS-net, BIT-net, NSF-net dan lain-lain. Pada mulanya jaringan internet hanya
dapat digunakan oleh lingkungan pendidikan (perguruan tinggi) dan lembaga
penelitian. Kemudian tahun 1995, internet baru dapat digunakan untuk publik.
Beberapa tahun kemudian, Tim Berners – Lee mengembangkan aplikasi world
wide web (www)3. Dengan adanya aplikasi www tersebut dapat memudahkan
orang untuk mengakses informasi di internet. Setelah dibukanya internet untuk
keperluan publik kemudian semakin banyak muncul aplikasi – aplikasi bisnis di
internet.
World wide web (www) merupakan sekumpulan informasi yang dapat diakses
melalui program browser Internet Explorer (IE) seperti Mozilla Firefox dan
1 Teguh Wahyono, 2009, Etika Komputer + Tanggung jawab Profesional di Bidang
Teknologi Informasi, ANDI, Yogyakarta, h.132
2 Ibid
3 Budi Rahardjo, 2003, Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia (
Serial Online), diakses dari : URL: http://www.budi.insan.co.id, pada tanggal 20 Januari 2012.
Opera. Web terdiri dari dua komponen dasar yaitu server web dan browser web.
Server Web merupakan sebuah komputer (server) beserta software yang berfungsi
untuk meyimpan dan mendistribusikan data komputer lainnya melalui suatu
jaringan internet, sedangkan Browser Web merupakan software yang beroperasi
pada komputer pemakai (client) yang meminta informasi dari server web
kemudian menampilkannya sesuai dengan file data yang diterima tersebut.
Para pengguna sistem elektronik yang dapat disebut juga konsumen dapat
mengetahui secara cepat perkembangan riset teknologi di berbagai belahan dunia.
Dengan hanya berpandukan mesin pencari seperti Google, pengguna sistem
elektronik di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah atas
bermacam-macam informasi. Dibanding dengan buku dan perpustakaan, internet
melambangkan penyebaran (decentralization), pengetahuan (knowledge)
informasi dan data secara ekstrim. Internet juga dapat dimanfaatkan oleh
pemerintah dalam memberikan layanan publik. Internet merupakan sarana yang
paling mudah untuk memenuhi kebutuhan dalam mencari informasi yang
konsumen inginkan. Di internet, konsumen dapat mencari barang kebutuhan
primer, sekunder, maupun tersier. Berita dan beragam informasi yang diperlukan
dapat konsumen temukan di internet, termasuk hiburan. Cara yang digunakan
sangat mudah, hanya dengan mengetik nama, alamat situs atau mencarinya
dengan mesin pencari, dalam hitungan detik kebutuhan yang konsumen butuhkan
dapat konsumen dapatkan.
Aplikasi bisnis yang berbasiskan teknologi internet ini mulai menunjukkan
adanya aspek finansial. Perusahaan-perusahaan yang berskala kecil, menengah
dan besar menggunakan teknologi internet sebagai pendukung kegiatan bisnisnya.
Internet digunakan sebagai wadah untuk promosi, bisnis dan fasilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai segala hal. Pemasaran yang dulunya dilakukan
secara konvensional sekarang ini banyak yang dilakukan dengan bantuan
teknologi internet. Saat ini suatu perusahaan dapat bertahan apabila memiliki
keunggulan bersaing dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pesaingnya.
Sebagai contoh, internet digunakan sebagai sarana untuk memesan/reservasi tiket
(pesawat terbang, kereta api), hotel, pembayaran tagihan telepon, listrik, dan
sebagainya. Hal ini mempermudah konsumen dalam menjalankan
aktivitas/transaksi bisnisnya. Konsumen tidak perlu keluar rumah dan antri untuk
memperoleh layanan yang diinginkan karena dapat dilakukan di dalam rumah,
begitu pula tingkat keamanannya yang relatif lebih terjaga.
Jumlah konsumen pengguna internet saat ini semakin besar dan bertambah
terus setiap harinya dari 245 juta penduduk Indonesia, konsumen pengguna
internet di Indonesia mencapai 55 juta orang pada tahun 2011. Studi terhadap
urban netizen di Indonesia ini dilakukan pada bulan Agustus dan September 2011
di 11 kota besar antara lain Jakarta, Bodetabek, Surabaya, Bandung, Semarang,
Medan, Makassar, Denpasar, Pekanbaru, Palembang, dan Banjarmasin.4 Pada
tahun 2012 ini pengguna Internet di Indonesia telah mencapai hampir berjumlah
60 juta pengguna Internet.5 Jumlah konsumen pengguna internet di Indonesia
4 Reza Wahyudi, Tri Wahono, 2011, Pengguna Internet Indonesia, diakses dari URL :
http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 Maret 2012.
5 Agung Setiawan, 2012, Digital dan Social Media Indonesia 2012, diakses dari URL :
http://www.asm-digital.com, pada tanggal 19 September 2012.
menguasai Asia sebesar 22,4 persen, setelah Jepang. Indonesia merupakan negara
peringkat ketiga di Asia untuk jumlah pengguna internet.6 Pencapaian teknologi
internet yang pesat dan maju, mempermudah untuk mengakses informasi apapun
yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya informasi produk. Adanya kemudahan
tersebut membuatnya menjadi suatu potensi yang sangat penting untuk dapat
mempengaruhi pola perdagangan, baik yang dilakukan secara online. Kemampuan
komputer-komputer tersebut untuk saling terkoneksi antar satu dengan lainnya
membuka peluang munculnya suatu metode pemasaran baru bagi produk-produk
perniagaan baik itu berupa barang maupun jasa.
Pengguna sistem elektronik / konsumen sampai saat ini banyak yang belum
menyadari bahwa dalam setiap situs di Internet mencantumkan disclaimer
template pada bagian lain pada lay out situs internet tersebut. Disclaimer disebut
juga pernyataan penyangkalan yang terdapat pada situs internet isinya kurang
lebih menyatakan bahwa segala sesuatu yang dimuat di dalam situs internet
tersebut semata-mata hanya sebagai informasi belaka dan pemilik situs tidak
bertanggung jawab atas keakuratan dan kelengkapan informasi yang dimuat
tersebut.7 Begitu juga dalam situs jual beli online (e-commerce) di internet banyak
dicantumkannya disclaimer yang isinya bahwa penyelenggara sistem elektronik
sebagai pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas kerusakan apapun yang timbul
6 Reza Wahyudi, 2012 ,Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta, diakses dari :
http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 September 2012.
7 Diana Kusumasari,2011, Status hukum pencantuman disclaimer, diakses dari URL :
http://www.hukumonline.com, pada tanggal 12 September 2012
dari setiap produk yang sudah dibeli oleh konsumen. E-commerce merupakan
perdagangan yang dilakukan melalui internet.
Transaksi jual beli online (e-commerce) juga merupakan suatu perjanjian jual-
beli sama dengan jual beli konvensional yang biasa dilakukan masyarakat. Hanya
saja terletak perbedaan pada media yang digunakan. Pada transaksi jual beli
elektronik yang digunakan adalah media elektronik yaitu internet. Sehingga
kesepakatan ataupun perjanjian yang tercipta melalui online. Menurut Efraim
Turban “e-commerce is the process of buying, selling transferring, or exchanging
product service and/or information via computer networks, mostly the Internet
and intranets”.8 Definisi tersebut diatas menjelaskan bahwa transaksi elektronik
adalah proses pembelian, pengalihan penjualan, atau peningkatan pelayanan
produk dan / atau informasi melalui jaringan komputer, terutama internet dan
intranet. Beberapa alasan konsumen berbelanja secara online yaitu karena praktis,
karena tinggal „klik‟, isi data diri dan bayar lewat e-banking atau atm, hemat
karena lebih murah dari retail di toko fisik, efisien karena tidak perlu keluar
rumah naik kendaraan, cari parkir, dan bayar parkir/taksi.
Disclaimer dicantumkan oleh penyelenggara sistem elektronik / pelaku usaha
tanpa adanya negosiasi dengan konsumen terlebih dahulu. Dari 10 situs internet
yang diakses, 8 diantaranya mencantumkan disclaimer yang didalamnya
mengandung pengalihan tanggung jawab penyelenggara sistem elektronik
terhadap segala sesuatu hal yang mungkin akan terjadi dan berakibat merugikan
8 Efraim Turban, et. al,2010, Electronic commerce 2010 (a managerial perspective) sixth
edition, Pearson, United State of America, page 46.
konsumen. Salah satu contoh disclaimer yang ada di internet yang ditemukan
yaitu disclaimer pada situs penyedia TV streaming yang berbunyi “None of the
streams are hosted on this server, please contact ustream tv, vogulus, selfcast or
justin tv directly regarding this stream copyright” (tidak ada satupun aliran
host/pemilik pada server ini, silahkan langsung menghubungi ustream tv, vogulus,
selfcast atau justin tv mengenai hak cipta siaran ini). Mengacu kepada disclaimer
tersebut, yang merupakan sebuah website penyedia TV streaming, ada sedikit
ketidaksesuaian terhadap disclaimer yang mereka cantumkan, logika
sederhananya adalah bagaimana mungkin web TV streaming tersebut tidak
bertanggung jawab atas apa yang di tampilkan, maupun di embed (dilekatkan),
meskipun content dan server-nya itu berasal dari website lain.9 Tentu saja disini
sangat jelas dilihat bahwa penyelenggara sistem elektronik pada situs tersebut
ingin mengalihkan tanggung jawabnya.
Keluhan konsumen berkaitan dengan jual beli secara online (e-commerce)
juga ditemukan salah satunya adalah mengenai seorang konsumen yang membeli
jam tangan disebuah online shop di internet dimana permasalahan muncul ketika
barang sampai ditangan konsumen ternyata hanya berupa kotak jam saja tanpa ada
jam tangan padahal sebelumnya konsumen sudah melakukan pembayaran lunas ke
pelaku usaha online shop tersebut, tentu saja dsini konsumen tersebut merasa
kecewa dan dirugikan kemudian langsung menghubungi pihak online shop dan
pihak online shop tidak mau bertanggung jawab atas tidak adanya jam tangan
didalam kotak jam tersebut, tentu saja alasan pihak online shop tersebut dikuatkan
9Mustadafin, 2012, Standar Ganda Copyright pada Website, diakses dari URL :
http://www.kaskus.co.id , pada tanggal 20 Juni 2012
dengan disclaimer yang telah dicantumkan sebelumnya bahwa pihak online shop
tidak bertanggung jawab atas barang yang telah dikirim ke pembeli.10
Kasus selanjutnya ditemukan dari konsumen yang berbeda, konsumen
tersebut membeli sejumlah barang secara grosir di sebuah online shop dan setelah
barang diterima, didapati bahwa 2 dari 4 barang yang konsumen pesan dalam
kondisi rusak, ketika konsumen mengadu ke online shop, pihak online shop
mengatakan bahwa didalam situs sudah jelas dari awal bahwa barang grosir tidak
dicek dan tidak bisa dikembalikan. Oleh karena semakin mudahnya para pelaku
usaha dalam mengalihkan tanggung jawab mereka yang dituangkan dalam bentuk
disclaimer, maka hal tersebut seakan menjadi kebiasaan yang diikuti oleh pelaku
usaha online lainnya sehingga terkesan menjadi suatu kewajiban dalam
mencantumkan klausul pengalihan tanggung jawab dalam bentuk disclaimer di
dalam setiap situs internet.
Aktivitas Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia sudah diundangkan
berdasarkan Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi
(UU ITE). Namun pengaturan mengenai perlindungan hak-hak konsumen pada
Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) belum diatur secara tegas. UU ITE sebagai ketentuan yang khusus (lex
specialis derogate legi generali) mengatur mengenai transaksi elektronik karena
ruang lingkupnya di dunia maya (cyberspace). Pada UU ITE menyebutkan bahwa
prinsip utama transaksi elektronik adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara
10 Toto Adhitama, 2011, About gadget, diakses dari URL : http://asia.groups.yahoo.com/, pada
tanggal 12 Januari 2013
yang disepakati” oleh kedua belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan
konsumen). Transaksi elektronik mengikat para pihak yang bersepakat sehingga
konsumen yang melakukan transaksi elektronik dianggap telah menyepakati
seluruh syarat dan ketentuan yang berlaku dalam transaksi tersebut (Pasal 18 ayat
(1) UU ITE). Hal ini berkenaan dengan disclaimer yang dicantumkan oleh pelaku
usaha yang memanfaatkan media internet. Disclaimer dalam transaksi elektronik
dapat menempatkan posisi yang tidak seimbang antara pelaku usaha dan
konsumen. Pelaku usaha dengan bebas mencantumkan disclaimer dalam website
dengan tujuan untuk perlindungan hukum bagi pelaku usaha sendiri. Berdasarkan
latar belakang permasalahan tersebut, perlu pengkajian lebih mendalam mengenai
“Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman
Disclaimer Oleh Pelaku Usaha Dalam Situs Internet (website).”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan
tersebut,maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan mengenai pencantuman disclaimer pada suatu
situs internet (website) di Indonesia ?
2. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan
dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet
(website)?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah yang ada dan agar suatu masalah tidak
menyimpang dari pokok permasalahan, dan untuk mendapatkan gambaran tentang
apa yang akan diuraikan dalam tesis ini, perlu kiranya dibuat ruang lingkup
permasalahannya sehingga dapat diketahui dengan jelas materi-materi yang terkait
erat dengan permasalahan diatas. Maka pembahasan terhadap materi yang akan
diangkat dalam tesis ini berkisar pada pertama, menyangkut tentang eksistensi
pengaturan mengenai pencantuman disclaimer pada suatu situs internet di
Indonesia, kedua akan dibahas mengenai bentuk perlindungan hukum terhadap
konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam
situs internet (website).
1.4 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan
dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet
(website).
b. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui pengaturan mengenai pencantuman disclaimer
dalam suatu situs internet (website) di Indonesia.
2) Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan
dengan dicantumkanya disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs
internet (website).
1.5 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan hukum di masa yang akan datang yang khususnya
berkaitan dengan perkembangan di bidang hukum bisnis yang
keberadaanya sangat dibutuhkan dalam menopang aktifitas dunia bisnis
dewasa ini.
b. Manfaat praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi diseluruh kalangan. Bermanfaat bagi praktisi hukum maupun
penegak hukum, serta bermanfaat terutama bagi para pelaku bisnis agar
dapat menemukan solusi serta pemecahan masalah yang disebabkan oleh
adanya disclaimer pada suatu situs internet (website).
1.6 Orisinalitas Penelitian
Dari beberapa penelusuran pustaka banyak dijumpai penelitian-penelitian
terdahulu yang membahas mengenai bidang informasi dan transaksi elektronik,
akan tetapi belum ada yang membahas mengenai disclaimer pada situs internet,
jadi penelitian ini bukan merupakan plagiat dan memenuhi unsur-unsur kebaruan.
Penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan adalah tidak sama dengan
penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan penelusuran pustaka ditemukan lima
judul penelitian, antara lain :
Pertama, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Indonesia dengan
judul “Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak Kepada
Konsumen : Kajian Perbandingan Lisensi Standard Sofware, Bespoke Software
dan Customized Software”11
atas nama Anggia Dyarini M. dengan rumusan
masalah yang dibahas megenai permasalahan terhadap perangkat lunak timbul
saat perangkat lunak tersebut tidak dapat mengakibatkan komputer bekerja untuk
melakukan fungsinya berdasarkan kebutuhan konsumen, atau bahkan
mengakibatkan kerugian terhadap konsumen. Selain itu, minimnya kesadaran dan
pengetahuan konsumen serta lemahnya peraturan perundang-undangan di
Indonesia kadangkala dimanfaatkan oleh pelaku usaha dalam transaksi yang tidak
mempunyai itikad baik dengan mengesampingkan kewajiban dan tanggung jawab
hukum pelaku usaha. Tesis ini membahas mengenai analisa yuridis sistem
pertanggungjawaban pelaku usaha perangkat lunak terhadap konsumennya
sebagai bentuk perlindungan konsumen di Indonesia. Penelitian tesis ini
menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Kedua, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro dengan
judul “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli melalui
Media Internet”12
atas nama Lia Catur Muliastuti dengan rumusan masalah yaitu :
11 Anggia Dyarini M, 2011, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak
Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Liensi Standard Sofware, Bespoke Software dan
Customized Software, diakses dari : URL : www. lontar. ui. ac. id, pada tanggal 11 Maret 2012.
12 Lia Catur Mastuti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual
Beli melalui Media Internet, diakses dari URL : eprints.undip.ac.id /23920 / 1 / Lia _ Catur _
Muliastuti.pdf, pada tanggal 12 Maret 2012.
1. Bagaimana proses pelaksanaan, hambatan-hambatan serta cara mengatasi
hambatan-hambatan dalam jual beli melalui media internet?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli
melalui media internet?
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis
empiris dan spesifikasinya dilakukan secara deskriptif analisis. Sumber dan jenis
data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan
data menggunakan studi kepustakaan dan studi lapangan, dan data yang didapat
akan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa
pelaksanaan jual beli melalui media internet terdiri dari empat proses, yaitu
penawaran, penerimaan, pembayaran, dan pengiriman, hambatan-hambatan dalam
transaksi di internet, khususnya mengenai cacat produk, informasi dan
webvertising yang tidak jujur atau keterlambatan pengiriman barang, dan
umumnya mengenai pola pikir, minat, dan kultur atau budaya masyarakat
Indonesia. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli melalui
media internet meliputi perlindungan hukum dalam perjanjian dan perlindungan
hukum di luar perjanjian.
Ketiga , ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana dengan
judul “Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan” nama
Anak Agung Ayu Diah Indrawati dengan rumusan masalah yaitu :
1. Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No.
69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?
2. Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap
pelanggaran ketentuan label pangan ?
Jenis penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian
hukum normatif, yaitu suatu penelitian yang menempatkan norma sebagai obyek
penelitian dalam hal ini adalah PP No. 69 Tahun 1999. Jenis pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normative yaitu
penelitian yang menekankan pada data sekunder yang terdiri dari sumber bahan
hukum primer, sekunder dan tersier. Pengumpulan bahan hukum diawali dengan
inventarisasi dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan hukum. Analisa
bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan komprenhensif.
Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ketentuan
pelabelan produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 belum
memenuhi asas-asas perlindungan konsumen, dan pelanggaran ketentuan label
pangan oleh pelaku usaha dapat dikenakan tanggungjawab administratif, perdata
maupun pidana.
Keempat, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Diponegoro dengan
judul “Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik” 13
atas nama
dr. Sylvia Christina Aswin, S.H. dengan rumusan masalah yaitu :
Rumusan Masalah :
1. Apakah kontrak elektronik (e-contract/online-contract) yang dibuat tanpa
pertemuan langsung antara para pihak dapat dikatakan sah?
13 Sylvia Christina Aswin, 2006, Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial Elektronik ,
diakses dari URL : eprints.undip.ac.id/17823/1/Sylvia_Christina_Aswin.pdf. pada tanggal 12
Maret 2012.
2. Jika terjadi sengketa di antara para pihak, bagaimana kekuatan pembuktian
suatu kontrak elektronik (e-contract/online-contract)?
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analtis dengan pendekatan
yuridis normatif. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih terdapat
ketidakpastian mengenai keabsahan dan kekuatan kontrak yang dilakukan secara
elektronik sebagai alat bukti.
Kelima, ditemukan penelitian untuk tesis di Universitas Udayana dengan
judul “ Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam Transaksi
Komersial”14
atas nama Made Maharta Yasa, dengan rumusan masalah yaitu
Rumusan Masalah :
1. Bagaimanakah pengaturan transaksi e-commerce di Indonesia?
2. Bagaimanakah kedudukan dokumen elektronik dalam transaksi komersial
yang ditandatangai dengan digital signature pada sistem hukum Indonesia?
Dibandingkan dengan penelitian dalam tesis ini, tampaklah perbedaan-
perbedaan yang spesifik.. Penekanan pada penelitian ini terletak pada pembahasan
mengenai pengaturan pencantuman disclaimer pada suatu situs internet (website)
dan perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya
disclaimer oleh pelaku usaha dalam situs internet (website). Dalam penelitian
yang terdahulu belum pernah ditemukan kajian mengenai keberadaan disclaimer
pada situs internet (website). Oleh karena itu penelitian ini dapat dikemukakan
14 Made Maharta Yasa, 2010, Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam
Transaksi Komersial , Tesis, Universitas Udayana.
masih bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam
bentuk tesis.
1.7.Landasan Teoritis
Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan
landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang bersumber dari suatu
teori yang sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai
permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan teori merupakan upaya untuk
mengidentifikasi teori–teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum,
serta norma-norma hukum.
Untuk mengkaji permasalah hukum secara mendetail diperlukan beberapa
teori yang merupakan rangkaian asumsi, konsep, definisi, untuk mengembangkan,
menekankan serta menerangkan suatu gejala sosial secara sistematis. Suatu teori
adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-
cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada
umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling
sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variable atau lebih yang
telah diuji kebenarannya.15
Teori hukum adalah cabang ilmu hukum yang membahas atau menganalisis
tidak sekedar menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara
kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner.
Jadi, tidak hanya menggunakan metode sintesis saja. Dikatakan secara kritis
15 Soerjono Soekamto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Gravindo Persada,
Jakarta,h.30.
karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup
dijawab secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi
atau penalaran.16
Teori terdiri dari serangkaian pemahaman-pemahaman dari suatu
kenyataan yang tersusun secara sistematis, logic dan konkrit yang melalui
serangkaian pengujian yang telah diakui kebenarannya (walaupun sementara) dan
masih membutuhkan serangkaian pengujian lagi agar diperoleh suatu kebulatan
pemahaman tentang suatu hal.17
Dalam dunia hukum terhadap pemahaman bahwa
istilah teori bukanlah suatu yang harus dijelaskan tetapi sebagai sesuatu yang
seolah-olah telah dipahami maknanya.18
Dalam menjawab permasalah yang terkait dengan pengaturan disclaimer dan
perlindungan hukum terhadap konsumen berkaitan dengan pencantuman
disclaimer dalam situs internet (website), maka dalam hal ini akan diuraikan
melalui teori-teori sebagai berikut:
1. Untuk menjawab rumusan masalah pertama mengenai pengaturan
disclaimer pada suatu situs internet (website) di Indonesia, digunakan
teori-teori sebagai berikut :
- Teori Sistem Hukum;
- Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-
undangan.
16 Sudikno Mertokusumo,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka, Yogyakarta,
h.87
17 B.Hestu Cipto Handoyo , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah
Akademik, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, h.28
18 Otje Salman, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,
Refika Aditama, Jakarta, h. 19
2. Untuk menjawab rumusan masalah kedua tentang perlindungan hukum
terhadap konsumen berkaitan dengan dicantumkanya disclaimer oleh
pelaku usaha dalam situs internet (website) digunakan teori-teori sebagai
berikut :
- Teori Keadilan;
- Stakeholders Theory.
Alasan menggunakan teori sistem hukum (legal system), oleh karena adanya
pembahasan mengenai pengaturan disclaimer termasuk dalam salah satu
komponen teori sistem hukum yaitu dalam substansi hukum (legal substance).
Kemudian digunakannya Stakeholder Theory mengingat karena konsumen
internet sebagai bagian dari stakehoders harus diperhatikan terlebih dahulu,
karena kelompok ini sangat menentukan keberadaan dan keberhasilan suatu
perusahaan dalam aktivitas usahanya, konsumen internet juga harus mendapatkan
perlindungan, karena seluruh warga Negara dapat berkedudukan sebagai
konsumen, maka perlindungan dan kesejahteraan konsumen juga menjadi
tanggung jawab Negara. Digunakannya teori tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan dari Lon. L. Fuller karena nampaknya adanya Undang-
undang No.11 Tahun 2008 (UU ITE) belum memenuhi salah satu syarat yang
merupakan azas dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan yang baik
menurut Lon L.Fuller. Kemudian digunakannya teori keadilan dari Adam Smith
karena lemahnya posisi konsumen internet dibanding posisi pelaku usaha.
Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni
keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak
mengingat jasa-jasa perseorangan.
Selengkapnya tentang teori-teori tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
A. Teori Sistem Hukum (Legal System)
Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya,
proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum
yang dianut Negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji
pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah dimulai dengan
mengkaji sistem hukum itu sendiri. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
menurut Lawrence M.Friedman dalam sistem hukum mengandung 3 (tiga)
komponen, yaitu : a. Struktur hukum (legal structure) b. Subtansi hukum (legal
substance) c. Budaya hukum (legal culture).19
Struktur hukum mengacu pada
bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum.20
Hubungan antar lembaga tinggi Negara. Komponen struktur dari suatu sistem
hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum
tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem
hukum tersebut. Salah satu diantara institusi tersebut adalah peradilan dengan
berbagai perlengkapannya.
19 Lawrence M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System : A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12
20
Ibid, h.15
Substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai
bagaimana institusi-institusi harus berlaku.21
Substansi hukum meliputi aturan-
aturan hukum, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam
sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam
sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau
aturan baru yang mereka susun. Subtansi hukum ini juga mencakup hukum yang
hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada didalam
buku-buku hukum/ undang-undang/ putusan hakim. Komponen substansi hukum
ini relevan untuk membahas rumusan masalah yang pertama, substansi hukum
yaitu undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi (UU
ITE) harus jelas mengatur tentang adanya perlindungan hak konsumen berkaitan
dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet, jika substansi hukumnya
tidak mengatur maka perlindungan hukum terhadap konsumen yang terlibat dalam
transaksi elektronik melalui internet menjadi sangat lemah.
Budaya hukum/kultur hukum (legal culture) mencakup nilai-nilai dalam
masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku.22
Kultur hukum juga bisa
mempengaruhi tingkat penggunaan pengadilan yakni sikap mengenai apakah akan
dipandang benar atau salah, berguna atau sia-sia bila kita pergi ke pengadilan.
Sebagian orang juga bersikap takut menggunakannya hak-hak mereka. Seperti
halnya budaya hukum pada konsumen internet, kesadaran hukum daripada
konsumen internet masih sangat rendah, karena hukum yang melindungi hak-hak
21 Ibid, h.16
22
Ibid, h. 18
konsumen juga sangat lemah, belum ada mekanisme pengaduan yang mudah bagi
konsumen yang menderita kerugian. Konsumen hanya bisa berdiam diri
menanggung kerugian yang mereka alami.
B. Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan
Teori ini dikemukakan oleh Lon L.Fuller. menurut Fuller, agar hukum
(peraturan) berfungsi dengan baik, maka peraturan tersebut harus mematuhi atau
mengikatkan diri secara ketat kepada 8 (delapan) syarat yang merupakan azas-
azas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu23
:
1) …a failure to acliieve rule at all, so that every issue must de
decided on an ad hoc basi : (peraturan harus berlaku juga bagi
penguasa, harus ada kecocokan atau konsistensi antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya;
dituangkan dalam aturan-aturan yang berlaku umum, artinya
suatu system hukum harus mengandung peraturan-peraturan
dan tidak boleh sekedar mengandung keputusan yang berisifat
sementara atau ad hoc);
2) A failure to publicize, or at least, to make available to the
affected party, the rules he is expected to observe (aturan-
aturan yang telah dibuat harus diumumkan kepada mereka
yang menjadi objek pengaturan aturan-aturan tersebut);
3) The abuse of retroactive legislation, which not only cannot
it self guide action, but under it‟s the integrity of rules
prospective in effect, since it puts them under the threat of
retrospective change (tidak boleh ada peraturan yang memilki
daya laku surut atau harus nonretroaktif, karena dapat merusak
integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku bagi waktu
yang akan datang);
4) A failure to make rules understandable (dirumuskan secara
jelas, artinya disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti);
5) The enactment of contradictory rules (tidak boleh
mengandung aturan-aturan yang bertentangan satu-sama lain);
6) Rules that require conduct beyond the powers of the
affected party (tidak boleh mengandung beban atau
persyaratan yang melebihi apa yang dapat dilakukan);
23Yuliandari, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik,
PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.130
7) Introduction such frequent changes in the rules
(memperkenalkan perubahan sering seperti dalam aturan,
artinya ketentuan bahwa hukum harus konstan/konsisten di
setiap waktu tidak mutlak, karena hukum harus merespon
perubahan yang terjadi di setiap waktu); dan
8) A failure of congruence between the rules as announced
and their actual administration (harus ada kecocokan atau
konsistensi antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaan sehari-hari).
Salah satu syarat yang merupakan azas dalam pembentukkan peraturan
perundang-undangan menurut Lon I.Fuller dalam angka 7 (tujuh) sebagaimana
telah disebutkan adalah : mengenai konsisten di setiap waktu, Menurut Fuller,
ketentuan bahwa hukum harus konstan/konsisten di setiap waktu tidak mutlak,
karena hukum harus merespon perubahan yang terjadi di setiap waktu
(Introducing such frequent changes in the rules).
Bila dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan tentang Informasi dan
transaksi elektronik (ITE), khususnya menyangkut pencantuman disclaimer dalam
website. Menurut Fuller bahwa hukum harus dapat merespon perubahan yang
terjadi di setiap waktu, dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan Informasi
dan transaksi elektronik khususnya berkaitan dengan adanya pengabaian hak-hak
konsumen akibat dari dicantumkannya disclaimer, artinya peraturan dalam
bidang Informasi dan Transaksi Elektroik harus dapat mengakomodir segala
macam kasus atau permasalahan yang menyangkut dunia internet yang timbul dari
adanya perkembangan zaman agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan khususnya dalam bidang
Informasi dan Transaksi Elektronik perlu untuk dilaksanakan.
C. Teori keadilan
Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan masyarakat yang adil,
keadilan ditandai oleh hubungan yang baik antara satu dengan yang lain, tidak
mengutamakan diri sendiri, tapi juga pihak lain serta adanya kesamaan.24
Perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada keadilan komutatif yakni
keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tidak
mengingat jasa-jasa perseorangan.25
Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Adam Smith yang hanya menerima
satu konsep keadilan yaitu keadilan komutatif. Menurut Adam Smith keadilan
sesungguhnya hanya punya satu arti, yaitu keadilan komutatif yg menyangkut
kesetaraan dan keharmonisan hubungan antara satu orang dengan orang lain.
Ketidakadilan berarti pincangnya hubungan antar manusia karena kesetaraan yg
terganggu. Keadilan legal sudah terkandung dalam keadilan komutatif, karena
keadilan legal hanya konsekuensi lebih lanjut dari prinsip keadilan komutatif.
Demi menegakkan keadilan komutatif, negara harus bersikap netral dan
memperlakukan semua pihak secara sama tanpa terkecuali.
John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft menyatakan bahwa :
“Consumer protection is more than a protection of "consumer"
interests. Legitimate business interests are strengthened by it. Laws
requiring fairness and full disclosure of business dealings make it more
difficult for unscrupulous business people to operate and thereby
infringe upon the trade of those whose business practices are sound.
24 Satjipto Rahardjo,2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, h. 44
25
Chainur Arrasjid, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 40
This area of the law is still growing and further measures attempting to
protect the consumer from unfair practices are likely to be adopted.”26
Dijelaskan bahwa perlindungan konsumen lebih dari perlindungan dari
kepentingan "konsumen" saja. Kepentingan bisnis diperkuat oleh kepentingan
konsumen tersebut. Hukum membutuhkan keadilan dan keterbukaan penuh dalam
kesepakatan-kesepakatan bisnis membuat hal tersebut lebih sulit bagi orang-orang
bisnis yang tidak bermoral untuk menjalankan dan dengan demikian masuk akal
apabila terdapat pelanggaran dalam praktik bisnis mereka. Hal ini termasuk dalam
lingkup hukum masih terus berkembang dan langkah-langkah lebih lanjut yang
bertujuan untuk melindungi konsumen dari praktik yang tidak adil kemungkinan
akan diadopsi. Apabila prinsip keadilan dijalankan maka akan lahir bisnis yang
lebih baik dan etis.27
D. Stakeholder Theory
Suatu Perusahaan sebagaimana yang terjadi selama ini hanya bertanggung
jawab terhadap para pemilik (shareholders). Tanggung jawab perusahaan yang
semula hanya diukur sebatas pada indikator ekonomi (economic focused) dalam
laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor
sosial (social dimentions) terhadap stakeholders, baik internal maupun eksternal.
Friedman‟s memberikan definisi tentang stakeholders yaitu :
26John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft, 1981, College Law for Business, United States of
America, South-Western Publishing Co. Page 124
27 Agus Yudha Hernoko, 2008, Hukum perjanjian asas proporsionalitas dalam kontrak
komersial, Laksbang Mediatama ,Yogyakarta, h.70
“any group or individual who can affect or is affected by achievement
of the organization‟s objectives.”28
Definisi tersebut menyatakan bahwa stakeholder merupakan kelompok /
individu yang dapat mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh suatu pencapaian
tujuan tertentu. Stakeholders theory lahir atas kritikan dan kegagalan shareholders
theory atau Friedman‟s paradigm yang dikemukakan oleh Milton Friedman‟s
dalam upaya meningkatkan tanggung jawab perusahaan, yang terletak pada
tanggung jawab tunggal manajemen terhadap stakeholders. Kegagalan tersebut
mendorong munculnya stakeholders theory yang melihat shareholders sebagai
bagian dari stakeholders itu sendiri. Teori ini dikemukakan oleh R.Edward
Freeman. Menurut Freeman, stakeholder memiliki hubungan serta kepentingan
terhadap perusahaan. Stakeholders merupakan keterikatan yang didasari oleh
suatu kepentingan tertentu, membahas mengenai stakeholders theory berarti
membahas hal-hal yang menyangkut tentang kepentingan dari berbagai pihak.
Asumsi mengenai Stakeholder Theory menurut Thomas dan Andrew adalah
:29
1. Suatu perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-kelompok
konstituen (Stakeholder) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
keputusan perusahaan.
28 Busyra Azheri, 2011,Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi Mandatory),
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.112
29
Nor Hadi, 2012, Corporate Social Responsibility, Graha Ilmu, Yogyakarta, h.94
2. Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan dalam proses bagi
perusahaan dan stakeholder.
3. Kepentingan semua legitimasi stakeholder memiliki nilai secara hakiki
dan tidak membentuk kepentingan yang di dominasi satu sama lain.
4. Teori ini memfokuskan pada pengambilan keputusan manajerial.
Berdasarkan asumsi stakeholder theory tersebut , perusahaan tidak dapat
melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi
stakeholder serta memposisikannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan
keputusan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan.30
Stakeholder merupakan individu, kelompok manusia, komunitas atau masyarakat
baik secara keseluruhan maupun parsial, internal maupun eksternal yang memiliki
hubungan serta kepentingan terhadap perusahaan, yang dapat mempengaruhi
maupun dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak
langsung. 31
Berdasarkan kedekatan dengan pihak yang terkait dengan perusahaan,
maka stakeholders theory dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian32
, yaitu
kelompok primer dan kelompok sekunder, kelompok primer terdiri atas pemilik
modal/saham (owners), kreditor, karyawan, pemasok, konsumen, penyalur dan
pesaing/rekanan. Kelompok sekunder terdiri atas pemerintah setempat,
pemerintah asing, kelompok sosial, media masa, kelompok pendukung,
masyarakat pada umumnya dan masyarakat setempat.
30 Ibid
31 Elvinard Ardianto dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan CSR
Berlipat-lipat, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, h. 75
32 Ibid, h.113
Atas dasar pengelompokan stakeholders, sudah tentu kelompok primer yang
harus diperhatikan terlebih dahulu, karena kelompok ini sangat menentukan
keberadaan dan keberhasilan suatu perusahaan dalam aktivitas usahanya oleh
karena kelompok primer berinteraksi langsung dalam aktifitas bisnis perusahaan.33
Kenneth Andrews menyatakan bahwa eksekutif perusahaan sekarang ini termasuk
orang yang tidak dapat membatasi dirinya hanya untuk menjalankan aktivitas
ekonomi dan mengabaikan aspek social. Seorang manajer dan perusahaan tidak
bisa lepas dari berbagai masalah sosial di lingkungannya. Oleh karena itu para
manajer harus menyadari bahwa suatu perusahaan adalah sebuah institusi publik
dan manajemen yang dijalankan harus menurut pedoman nilai moral yang
terkandung dalam kesadaran perusahaan itu sendiri.
Pihak manajemen perusahaan diharapkan akan memasukkan nilai-nilai
moralitas dalam setiap perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan aktivitas usahanya dengan adanya stakeholders theory ini. Semakin
jelaslah stakeholders theory yang merupakan suatu pendekatan yang didasarkan
atas bagaimana mengamati, mengidentifikasi dan menjelaskan secara analitis
tentang berbagai unsur yang dijadikan dasar dalam mengambil suatu keputusan
dan tindakan dalam menjalankan aktivitas usaha. Kemudian dilakukan pemetaan
terhadap hubungan-hubungan yang terjalin dalam kegiatan bisnis. Pada umumnya
hal ini dilakukan sebagai upaya menunjukkan siapa saja yang punya kepentingan,
terkait dan terlibat dalam kegiatan bisnis. Akhirnya tujuan bisnis akan bermuara
pada suatu tujuan yang bersifat imperatif dalam arti kata bahwa bisnis harus
33 Dwi Kartini, 2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep Sustainability
Management dan Implementasi di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.8
dijalakan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan stakeholders dengan aktivitas
dunia usaha terjamin, diperhatikan dan dihargai.34
Pelaku Usaha hendaknya memperhatikan stakeholders dan tidak hanya
meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya saja, karena stakeholders adalah
pihak yang mempengaruhi dan dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak
langsung atas aktivitas dan kebijakan yang diambil suatu perusahaan. Jika
perusahaan tidak memperhatikan stakeholders, akan dapat menuai protes dan
mengeliminasi stakeholders. Bagi pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya
secara online melalui situs internet (website) berkaitan dengan pencantuman
disclaimer dalam situs internet yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung
jawabnya, diperlukan adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak stakeholders
yaitu hak-hak konsumen karena konsumen merupakan kelompok primer yang
sangat terkait dengan perusahaan. Dalam suatu bisnis termasuk dalam bisnis
online stakeholders theory bermuara pada prinsip minimal yaitu tidak merugikan
hak dan kepentingan pihak yang berkepentingan baik pelaku usaha maupun
konsumen. Hal ini bermakna bahwa suatu bisnis online harus dijalankan secara
baik dan etis demi kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnis online
tersebut.
1.8 Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum
normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah penelitian hukum yang
34
Ibid, h. 118-119
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka.35
Di
dalam penelitian hukum normatif, maka penelitian terhadap asas-asas hukum
dilakukan terhadap kaidah-kaidah hukum, yang merupakan patokan-patokan
berprilaku atau bersikap tidak pantas.36
b. Pendekatan Masalah
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, informasi didapatkan dari berbagai aspek mengenai isu yang
sedang dicoba untuk dicari jawabannya. 37
Pendekatan masalah dalam penelitian
ini mempergunakan beberapa pendekatan dalam memecahkan masalah, yaitu
dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statute approach.).
Disamping itu digunakan pendekatan analisis konsep hukum yaitu mengutip
pandangan-pandangan atau pendapat para ahli yang terdapat pada buku-buku atau
literatur yang relevan dengan permasalahan yang diteliti (analytical and
conceptual approach) atau bahan hukum sekunder. Pendekatan ini juga mencari
pembenaran atas suatu teori hukum atau azas-azas yang dapat digunakan dalam
penelitian ini. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Teori
Sistem Hukum, Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan Perundang-
undangan, Teori Keadilan dan Stakeholder Theory.
35Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.14
36Nomensen Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT.Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,
h. 107
37 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h 93
c. Sumber bahan hukum.
Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum
dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder.
Bahan Hukum dapat diklasifikasikan ke dalam 3 golongan38
:
1) Bahan hukum primer (primary law material)
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara
umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat
bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen,
hukum dan putusan hakim)
2) Bahan hukum sekunder (secondary law material)
Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, media cetak
atau elektronik.
3) Bahan hukum tertier (tertiary law material)
Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus
hukum dan ensiklopedia).
Bahan-bahan hukum sebagai kajian normatif sebagian besar dapat diperoleh
melalui penelusuran terhadap berbagai dokumen hukum39
. Bahan hukum primer
dalam penulisan ini adalah:
38 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 82.
39 Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju,
Bandung, h. 98.
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen;
5. Undang-undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa;
6. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta;
7. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Sedangkan bahan hukum sekunder, yang digunakan dalam penulisan ini
yaitu buku-buku ataupun literatur-literatur yang memuat teori dan pandangan dari
para ahli yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Serta bahan hukum
tertier yang memberi petunjuk maupun penjelasan dalam penulisan ini adalah
kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia dan internet yang diuraikan pada
halaman akhir penulisan ini.
d. Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini
dilakukan dengan cara menggali kerangka normatif menggunakan bahan hukum
yang membahas tentang teori-teori hukum, perlindungan hukum terhadap
konsumen internet di indonesia. Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan
sistem bola salju (snow ball) dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya
untuk dikaji secara komprehensif.
e. Teknik analisis bahan hukum.
Teknik analisis terhadap bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif,
evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa penggambaran
bahan-bahan hukum sebagaimana adanya. Bahan-bahan tersebut dideskripsikan
Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan
hukum yang diperoleh. Untuk mendapat jawaban permasalahan-permasalahan
maka dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan
permasalahan yang ada.
BAB II
KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU
USAHA , DISCLAIMER DAN SITUS INTERNET (WEBSITE)
2.1 Perlindungan Konsumen
2.1.1 Konsepsi Umum tentang Pelindungan Konsumen dan Dasar
Hukumnya
Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi salah
satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan kepentingan didalam
masyarakat harus dapat diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam
masyarakat. Adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dapat
ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD
1945) , oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus
mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat. Terdapat
beberapa pendapat para sarjana mengenai perlindungan hukum, antara lain :
a) Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya
melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu
kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya
tersebut.40
b) Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk
melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang
tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan
40 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, h.121.
ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya
sebagai manusia41
c) Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk
melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-
kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya
ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.42
d) Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai tindakan
melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek hukum dengan
perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian perlindungan hukum di
atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari perlindungan hukum, yaitu43
:
subyek yang melindungi , obyek yang akan dilindungi alat, instrumen
maupun upaya yang digunakan untuk tercapainya perlindungan tersebut.
Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan hukum di atas, dapat
disimpulkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi
kepentingan individu atas kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak
untuk menikmati martabatnya, dengan memberikan kewenangan padanya untuk
bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen adalah “segala upaya
41 Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta h. 14.
42 Ibid
43 Philipus M. Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, h.10
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum”, diharapkan mampu menjadi benteng untuk meniadakan
tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk
kepentingan perlindungan konsumen. Faktor yang juga turut mendorong
pembentukan Undang-undan No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
di Indonesia adalah perkebangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam
kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International
Monetary Fund (IMF) dan Program Bank Dunia.44
Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan
masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.45 Menurut
Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan”.
Pernyataan “tidak untuk diperdagangkan” yang dinyatakan dalam definisi dari
konsumen ini ternyata memang dibuat sejalan dengan pengertian “pelaku usaha”
yang diberikan oleh Undang-undang, dimana dikatakan bahwa yang dimaksud
44 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta,h.131
45 Janus Sidabalok,2006, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
h.46.
dengan pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3 adalah :
Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Ini berarti tidak hanya para pelaku usaha pabrikan yang menghasilkan barang
dan/atau jasa yang tunduk pada Undang-undang ini, melainkan juga para rekanan,
termasuk para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang melaksanakan fungsi
pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada masyarakat luas
selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa46.
Berkaitan dengan kegiatan usaha secara online konsumen juga termasuk
dalam kategori Pengguna Sistem Elektronik sesuai dengan Pasal 1 angka 9
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik yang merupakan setiap Orang, penyelenggara Negara,
Badan Usaha dan Masyarakat yang memanfaatkan barang, jasa, fasilitas atau
informasi yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik.
Selanjutnya untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa menurut
Pasal 1 angka 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen juga memberikan definisi dari barang dan jasa sebagai berikut :
Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud,
baik bergerak maupun tiak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen, jasa adalah setiap
46 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,
PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.5
layanan yang berbentuk pekerjaan atau presentasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
Konsumen merupakan pengguna akhir (end user), dari suatu produk yaitu
setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.47
Pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga pengertian, yaitu48 :
1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa
yang digunakan untuk tujuan tertentu.
2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau
jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial. Melihat pada sifat
penggunaan barang dan/atau jasa tersebut, konsumen antara ini
sesungguhnya adalah pengusaha, baik pengusaha perorangan maupun
pengusaha yang berbentuk badan hukum atau tidak, baik pengusaha
swasta maupun pengusaha publik (perusahaan milik negara) dan dapat
terdiri dari penyedia dana (investor), pembuat produk akhir yang
digunakan oleh konsumen akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual
produk akhir seperti supplier, distributor atau pedagang.
47 Abdul Rasyid Saliman, et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh
Kasus) Edisi 2 Cetakan 4, Kencana Renada Media Group, Jakarta, h.23.
48 Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.61.
3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan barang
dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidup
pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu
merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di
bidang hukum perlindungan konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen yang
berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak
konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.
Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan
yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
barang/jasa. Adapula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan
dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan
kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi
perdagangan.Serta ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam hukum
perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsen/pelaku usaha dalam
aspek pemenuhan barang/jasa yang merupakan hubungan hukum perdata. 49
Peraturan tentang hukum Perlindungan Konsumen telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada
tangal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati
rancangan undang-undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan
oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru
disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999.50
Dengan diundangkannya
masalah perlindungan konsumen dimungkinkan dilakukannya pembuktian
terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang
merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara
hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di tanah air.
2.1.2. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undang-
undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu 51 :
1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. hak untuk memilih (the right to choose);
4. hak untuk didengar (the right to be heard).
49 N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk), Panta Rei, Jakarta, h.34.
50 Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Visimedia, Jakarta, h.20.
51 Ibid
Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,
organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International
Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,
seperti hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pada era 1960an Negeri Paman Sam cukup beruntung karena gerakan
perlindungan konsumen mendapat dukungan pada tingkat suprastruktur politik ini
terjadi pada 15 Maret 1962 tatkala Mantan Presiden Amerika Serikat, John F
Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan dihadapan Kongres Amerika Serikat
berjudul “A Special Message of Protection the Consumer Interest”52
, pernah
mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu53
:
1. the right to safe products;
2. the right be informed about products;
3. the right to definite choices in selecting products;
4. the right to be heard regarding consumer interest.
Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985
tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga
merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang
meliputi54 :
52 Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006),
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.44.
53 Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op cit, h.27.
54
Ibid, h.28.
1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya;
2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;
3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan
kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan
kebutuhan pribadi;
4. Pendidikan konsumen;
5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya
yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut
untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan
yang menyangkut kepentingan mereka.
Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-
hak Konsumen disebutkan disusun secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan
paling dasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut 55 :
1. Hak konsumen mendapatkan keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan
jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan
rohani. Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada
kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa
konsumen adalah pihak yang wajib berhati-hati bukan pelaku usaha. Falsafah
55 Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta,
h.32
yang disebut let the buyer beware ini mencapai puncaknya pada abad ke-19
seiring dengan berkembangnya paham rasional individualisme di Amerika
Serikat.56 Dalam perkembangannya kemudian, prinsip yang merugikan konsumen
ini telah ditinggalkan.
2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi
yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai
gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat
disampaikan dengan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen,
melalui iklan di berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk.57
Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk
yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib disertai informasi
berupa petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal
diartikan sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya
terbebas dari manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar,
maka perbuatan itu memenuhi kriteria kejahatan. Bentuk kejahatan ini ditandai
oleh :
1. Pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement)
2. Pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya
khasiat tertentu padahal tidak.58
56 Ibid
57 Ibid, ,h.33.
58Ibid
3. Hak untuk didengar
Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak
untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang
berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen.
Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Dalam
tata krama dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta oleh
konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan, harus
bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu.59 Pengertian
demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik akan mengarah kepada langkah
positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar.
4. Hak untuk memilih
Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan
pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi
bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga
bebas menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat
kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak
monopoli untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar
kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan
produk yang lain.60
5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar
yang diberikan
59 Ibid, h.35.
60
Ibid, h.36.
Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang
tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.
Namun, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan
konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Dalam situasi demikian,
biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang
boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi
tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat
saja membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung
konsumen.
6. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian
Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang
dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak
mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Untuk menghindar dari kewajiban
memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausula-
klausula eksonerasi di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk
dan konsumennya. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat
menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.
7. Hak untuk mendapat penyelesaian hukum
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi
daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausula
eksonerasi secara sepihak.61 Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan
61 Ibid, h.38
tidak mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan
hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum,
termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut
pertanggungjawaban hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena
mengonsumsi produk itu.
8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang
diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi
konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas dan
setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan
hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.
Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat
makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme
hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.
9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang
Persaingan curang dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik
langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas
penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang
bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.62
Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari
persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen
memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang
62 Ibid, h.39.
dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi
cepat atau lambat pasti terjadi.
10. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.
Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-
haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran
hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi
penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan
konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat
melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.63
Dari sepuluh butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa
masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang
paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa
yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak
aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk
diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang
dan/atau jasa dalam penggunannya akan nyaman, aman maupun tidak
membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk
memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan
informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang
merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan,
perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.
63 Ibid, h.40.
Mengenai kewajiban konsumen tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang
No.8 Tahun 1999 yang meliputi :
1. kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaikan hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut
Peningkatan terhadap kesadaran konsumen akan hak-haknya menjadi penting
di era perdagangan bebas saat ini apalagi terkait dengan perubahan pola
komunikasi yang memungkinkan para pihak melakukan transaksi tanpa harus
bertatap muka. Salah satu aspek penting dalam hal dan kewajiban para pihak
adalah penyediaan arus informasi yang harus jelas mengenai jaminan atas barang
dan/atau jasa namun tidak meliputi informasi lain yang patut dilindungi oleh
hukum apabila pelaku usaha tidak secara jelas memberikannya kepada konsumen
seperti informasi mengenai keadaan perusahaan yang terkait erat dengan
kredibilitas suatu perusahaan untuk menarik konsumen untuk mengikatkan diri.
2.1.3. Asas –asas yang Berkaitan dengan Perlindungan Konsumen di
Indonesia
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh
pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha dan pemerintahan berdasakan lima
asas, yang menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen adalah :
1. Asas manfaat;
2. Asas keadilan;
3. Asas keseimbangan;
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen;
5. Asas kepastian hukum.
Penjelasan asas-asas tersebut diatas adalah sebagai berikut64
:
1. Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini
menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen ini, konsumen dan produsen dapat berlaku adil melalui perolehan
hak dan penuaian kewajiban secara seimbang. Karena itu Undang-undang
Perlindungan Konsumen mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen
dan pelaku usaha.
3. Asas keseimbangan memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan pemerintah
memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha dan
pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak
dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
64 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.5.
Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya
yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan Negara.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian
dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas
ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh
manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa
produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan
harta bendanya.
5. Asas kepastian hukum baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen
serta negara menjamin kepastian hukum, artinya Undang-undang
perlindungan konsumen mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan
kewajiban yang terkandung didalam Undang-undang perlindungan konsumen
harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing
pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin
terlaksananya Undang-undang perlindungan konsumen sesuai dengan
bunyinya.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut dalam pasal tersebut, bila
diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :
1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan
konsumen;
2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan
3. asas kepastian hukum.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. mengkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
2.1.4. Konsepsi tentang Perjanjian Jual Beli antara Pelaku Usaha
dengan Konsumen menurut Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (KUHPerdata)
Dalam hukum perdata, perjanjian merupakan sendi yang penting karena
banyak mengandung penraturan-peraturan hukum yang berdasarkan atas janji
seseorang. Suatu perjanjian menerbitkan perikatan, perjanjian merupakan sumber
perikatan disamping sumber lain, yaitu Undang-undang. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-
undang.”
Perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara para pihak
yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Subekti, perikatan
adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasar mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, berkewajiban memenuhi itu.65
Dari sudut sifatnya, struktur kaidah hukum dapat dibedakan atas hukum
imperative (istilah konvensional : hukum memaksa atau dwigend recht) dan
hukum fakultatif (hukum yang mengatur atau hukum pelengkap : aanvullend
recht /regelend recht). Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan sanksinya.
Hukum memaksa itu adalah hukum yang dalam keadaan konkret tidak dapat
dikesampingkan (disisihkan) oleh perjanjian yang dibuat kedua belah pihak
sendiri. Dengan kata lain, hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus
ditaati, hukum yang mempunyai paksaan mutlak (absolut). Sedangkan hukum
mengatur adalah hukum yang dalam keadaan konkret dapat disisihkan oleh
perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bilamana kedua belah pihak dapat
menyelesaikan soal mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan, maka
peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan, tidak perlu
dijalankan. Hukum mengatur biasanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak
tidak membuat sendiri suatu peraturan atau membuat sendiri suatu peraturan tapi
tidak lengkap.66
Terdapat tiga sumber norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu
undang-undang, kebiasaan dan kepatutan. Menurut Pasal 18 ayat (3) KUHPerdata,
semua pejanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (Belanda ; tegoeder
trouw, Inggris; in good faith, Perancis; de bonne fot). Norma yang dituliskan di
65 Subekti, 2001, Hukum Perjanian, Intermasa, Jakarta, h.50
66 Rachmadi Usman, 2003, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia
Pustaka Utama.Jakarta, h.5
atas ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum
perjanjian.67
Dalam perjanjian jual beli kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai
penjual ada 2 (dua) yaitu68
:
a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan;
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut
hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan
itu, dari pelaku usaha kepada konsumen.
b. Kewajiban menanggung kenikmatan tentram dan menanggung cacat-cacat
tersembunyi (vrijwaring, warranty).
Kewajiban untuk menanggung kenikmatan merupakan konsekuensi dari pada
jaminan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli bahwa barang yang dijual
dan diserahkan atau dilever itu sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari
sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu hak apapun. Kewajiban tersebut dalam
realisasinya memberikan penggantian kerugian kepada pembeli karena suatu
gugatan pihak ketiga. Penanggungan (vrijwaring, warranty) maksudnya bahwa
ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli adalah sebagaimana disebutkan
dalam pasal 1503 KUHPerdata. Kewajiban untuk menanggung cacat-cacat
tersembunyi (verborgen gebreken, hidden defects) artinya bahwa penjual
diwajibkan menanggung cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya,
yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai oleh pembeli atau mengurangi
kegunaan barang itu, sehingga akhirnya pembeli mengetahui cacat-cacat tersebut.
67 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h.72
68
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, h.8
Hukum Perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap (aanvullend
recht), kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas
atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang,
bahkan para pihak diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak
akan mewajibkan menanggung sesuatu apapun. Namun ini ada pembatasannya
yaitu sebagai berikut69
:
a. Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan menanggung
sesuatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab tentang apa yang
berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan olehnya; semua
persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah batal. (sesuai dengan
pasal 1494 KUHPerdata);
b. Si penjual, dalam hal adanya janji yang sama, jika terjadi suatu
penghukuman terhadap terhadap si pembeli untuk menyerahkan barangnya
kepada seorang lain, diwajibkan mengembalikan harga pembelian, kecuali
apabila si pembeli ini pada waktu pembelian dilakukan, mengetahui
tentang adanya putusan Hakim untuk menyerahkan barang yang dibelinya
itu atau jika ia telah membeli barang itu dengan pernyataan tegas akan
memikul sendiri untung ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata).
Jika dijanjikan penanggungan atau jika tentang itu tidak ada suatu perjanjian,
pembeli berhak , dalam halnya suatu penghukuman untuk menyerahkan barang
yang dibelinya kepada seorang lain,menuntut kembali dari si penjual :
1. pengembalian uang harga pembelian;
69 Subekti, Op.cit, h.17-18
2. pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil itu
kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan;
3. biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pemilik untuk
ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si penggugat
asal;
4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian dan
penyerahannya, sekadar itu telah dibayar oleh si pembeli.
Mengenai persoalan penanggungan (vrijwaring, warranty) ini ada suatu
ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli yaitu pasal 1503 KUHPerdata
yang berbunyi :
“Penanggungan terhadap penghukuman menyerahkan barangnya
kepada seorang lain, berhenti jika si pembeli telah membiarkan
dirinya dihukum menurut suatu putusan Hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak, dengan tidak memanggil si penjual,
sedangkan pihak ini membuktikan bahwa ada alasan-alasan yang
cukup untuk menolak gugatan.”
Mengenai kewajiban untuk menanggung cacad tersembunyi dapat
diterangkan bahwa si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacad
tersembunyi pada barang yang dijualnya yang membuat produk tersebut tidak
dapat dipaka untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi
pemakaian itu. Jika si penjual sudah mengetahui cacad barang maka penjual
diwajibkan mengembalikan harga pembelian dan mengganti semua kerugian yang
diderita oleh pembeli akibat produk yang cacad tersebut. Dalam hal penjual tidak
mengetahui adanya cacad tersebut , penjual hanya diwajibkan mengembalikan
harga pembelian dan mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan
untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan sesuai dengan bunyi pasal
1508 KUHPerdata dan pasal 1509 KUHPerdata.
2.1 Pelaku Usaha
2.2.1 Konsepsi Pelaku Usaha dan Dasar Hukumnya
Pelaku usaha yang menjalankan usahanya melalui sarana internet (online)
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012
tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) termasuk
dalam kategori Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).70
Pasal 1 angka 6 UU
ITE memberikan pengertian tentang Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai
pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha,
dan/atau masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah
tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa :
Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang
penyelenggara Negara, Badan Usaha dan masyarakat yang
menyediakan, mengelola, dan/atau mengoprasikan Sistem
Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada
Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau
keperluan pihak lain.
Pasal 1 angka 26 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik memberikan pengertian mengenai pelaku usaha, yang
diartikan sebagai berikut
Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum
70Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL :
www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2013
yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Pelaku Usaha online yang menurut Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik disebut juga Penyelenggara
Sistem Elektronik didalamnya juga termasuk Penyelenggara Transaksi
Elektronik. Penyelenggara Transaksi Elektronik dilakukan dalam lingkup publik
dan privat. Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup publik meliputi
Penyelenggara Transaksi Elektronik oleh Instansi atau oleh pihak lain yang
menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undang-
undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Pasal 40 Peraturan
Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik,
Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi
elektronik :
a. antar Pelaku Usaha
b. antara Pelaku Usaha dengan Konsumen
c. antar Pribadi
d. antar Instansi; dan
e. antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perspektif Hukum
Indonesia
Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai pelaku usaha wajib melakukan
edukasi kepada Pengguna Sistem Elektronik sebagai konsumen, edukasi tersebut
berkaitan dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak yang terkait,
serta prosedur pengajuan komplain. Informasi yang wajib disampaikan oleh
Penyelenggara Sistem Elektronik kepada Pengguna Sistem Elektronik sesuai
dengan Pasal 25 Peraturan Pemerintah tentang penyelenggaraan Sistem dan
Transaksi Elektronik yaitu mengenai Identitas Penyelenggara Sistem Elektronik,
objek yang ditransaksikan, kenaikan atau keamanan sistem elektronik, tata cara
penggunaan perangkat, syarat kontrak, prosedur mencapai kesepakatan dan
jaminan privasi dan/atau perlindungan Data Pribadi.
Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik menerapkan manajemen resiko
terhadap kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. Pelaku usaha penyelenggara
transaksi elektronik juga memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 49 Peraturan
Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang
bunyinya sebagai berikut :
1. Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem
Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk
yang ditawarkan;
2. Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang
penawaran kontrak atau iklan;
3. Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen
untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai
dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi;
4. Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang
yang telah dikirim;
5. Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai
kewajiban membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.
Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dari Pasal 7 Undang-undang Nomor 8
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen antara lain :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Meperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan.atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
2.2.3 Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen yang
termasuk konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir dan bukan konsumen
antara. Sedangkan terkait dengan transaksi di Internet, pengertian pelaku usaha
adalah pihak penyedia barang dan/atau jasa di Internet yang merupakan orang
perorangan atau badan usaha berbentuk hukum ataupun tidak, didirikan dan
berkedudukan didalam wilayah hukum Negara RI atau didirikan dan melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI. Pemahaman pengertian tersebut
penting untuk memahami wilayah kerja dari para pelaku usaha yang melintasi
batas wilayah RI.
Hubungan antara produsen dengan konsumen dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
Hubungan secara Langsung dan Tidak langsung. Hubungan secara langsung
dilaksanakan dalam rangka jual beli. Jual beli sesuai pasal 1457 KUHPerdata
adalah suatu perjanian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
telah dijanjikan. Unsur-unsur jual beli tersebut berupa perjanjian, penjual dan
pembeli, harga dan barang.
Suatu perjanjian sesuai Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, sesuai Pasal
1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri.kecakapan untuk
membuat suatu perikatan. suatu hal tertentu. suatu sebab yang halal. Tiap-tiap
perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang (Pasal
1233 KUHPerdata). Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap
perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Kata
semua perjan-jian mencerminkan asas kebebasan berkontrak (freedom of
contract). Kebebasan berkontrak terdapat pembatasan-pembatasannya.
Pembatasan itu antara lain bahwa sutau perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Suatu perjanjian tidak boleh
melanggar undang-undang, ke-susilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337
KUHPerdata), dan harus dilaksanakan menurut kepatutan, kebiasaan dan undang-
undang (Pasal 1339 KUHPerdata).
Tanggung jawab pelaku usaha disesuaikan dengan hubungan hukum yang
terjadi di antara pelaku usaha dengan konsumen, hal tersebut dapat digambarkan
berdasarkan skema berikut ini :
Skema I. Hubungan Pelaku Usaha dengan Konsumen
Terdapat hubungan hukum didalam transaksi elektronik yang dilakukan
dengan memadukan jaringan dari sistem informasi yang berbasis komputer
dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi.
Hubungan hukum tidak hanya antara pelaku usaha dengan konsumen saja tetapi
juga antara pihak-pihak dibawah ini :
1. Business to Business
Hubungan
Pelaku Usaha
Dengan
Konsumen
Langsung
(Privity
contract)
Tidak
langsung
(no privity
contract)
Barang
Jasa
Barang
Contractual liability
Professional liability
Strict liability
Produk liability
Transaksi yang terjadi antara perusahaan (pelaku usaha dan konsumennya
adalah perusahaan bukan perorangan). Biasanya antara mereka telah saling
mengetahui satu sama lain dan sudah terjalin hubungan yang sudah cukup lama.
Pertukaran informasi hanya berlangsung di antara mereka dan pertukaran
informasi itu didasarkan pada kebutuhan dan kepercayaan;
2. Business to Customer
Transaksi yang terjadi antar perusahaan dengan konsumennya adalah
individu. Contohnya tokobagus.com sebuah situs e-commerce yang besar dan
terkenal di Indonesia dan amazone.com sebuah situs e-commerce yang besar dan
terkenal di dunia. Pada jenis ini transaksi disebarkan secara umum dan konsumen
yang berinisiatif melakukan transaksi. Pelaku usaha harus siap menerima respon
dari konsumen tersebut. Biasanya sistem yang digunakan adalah sistem web
karena sistem ini yang sudah umum dipakai dikalangan masyarakat.
3. Customer to Customer
Transaksi ini terjadi dimana individu saling menjual barang satu sama lain.
Contohnya adalah e-bay.
4. Customer to Business
Transaksi yang memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan.
Contohnya adalah priceline.com
5. Customer to Government
Transaksi dimana individu dapat melakukan transaksi dengan pihak pemerintah.
Contohnya adalah membayar pajak.
2.2.4 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha dalam Kegiatan
Bisnis
Terdapat 10 larangan bagi pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat
(1) UU PK yaitu pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan
jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam
label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah
dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses
pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu
sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang
tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam
label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,
komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pada setiap bidang usaha memiliki aturan tersendiri, sebagai contoh usaha
dibidang makanan dan minuman diatur di dalam Undang-undang No.7 Tahun
1996 tentang Pangan. Bidang usaha yang dilakukan secara online juga tuduk
kepada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE). Pelaku usaha selain wajib tunduk pada aturan-aturan yang
berlaku juga wajib memiliki itikad baik dalam menjalankan suatu usaha. Segala
janji-janji yang diberikan kepada konsumen harus dipenuhi. Larangan selanjutnya
terdapat dalam ayat (2) dan (3) yang melarang pelaku usaha memperdagangkan
barang, sediaan farmasi dan pangan yang rusak (sudah tidak sempurna lagi), cacat
(kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang
sempurna) atau bekas (sudah pernah dipakai) dan tercemar (rusak) tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang
diperdagangkan. Untuk peraturan yang lebih spesifik mengenai pangan dan
sediaan farmasi masing-masing diatur didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku asas lex specialis derogate lege
generalis yang artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
2.3 Disclaimer dan Situs Internet (Website)
2.3.1 Konsepsi tentang Disclaimer yang Dicantumkan Pelaku Usaha
Dalam Situs Internet (Website)
Disclaimer dalam website adalah suatu pernyataan yang pada umumnya
dimaksudkan untuk menentukan atau membatasi ruang lingkup hak dan kewajiban
yang dapat dilaksanakan dan ditegakkan oleh pihak dalam hubungan yang diakui
secara hukum. Berbeda dengan istilah lain untuk bahasa hukum yang berlaku,
disclaimer istilah yang biasanya menyiratkan situasi yang melibatkan beberapa
tingkat ketidakpastian, pengabaian atau risiko. Disclaimer dalam website atau
pernyataan penyangkalan diberikan dengan tujuan perlindungan bagi pemilik
website atau situs sebagai pemberi informasi. Pembaca suatu situs dianggap secara
otomatis menerima syarat dan ketentuan yang berlaku pada situs tersebut,
termasuk klausul disclaimer.71
Disclaimer atau pernyataan penyangkalan
diberikan dengan tujuan perlindungan bagi pemilik situs (website). Pembaca suatu
situs dianggap secara otomatis menerima syarat dan ketentuan yang berlaku pada
situs tersebut, termasuk klausul disclaimer.
Didalam sebuah artikel yang dikemukakan oleh seorang internet lawyer asal
California bernama Richard A. Chapo menyatakan bahwa :
“Disclaimer is a statement that details how certain information
should be viewed or used on the site. For instance, you might
include a disclaimer that states that all information was current
at the time it was published, but may no longer be and it is the
duty of the reader to make sure to check for any updates.
Disclaimers are often included in the terms of use or terms and
conditions of a site. Common disclaimers include an exclusion
of warranties and their positioning in the terms is an accepted
method of dealing with them. In other cases, however, it is best
to detail certain elements of your disclaimer separately so they
really stand out for readers..”.72
Dikemukakan bahwa disclaimer merupakan sebuah pernyataan yang merinci
mengenai bagaimana informasi tertentu harus dilihat atau digunakan dalam
sebuah situs. Misalnya, pembaca mungkin masuk dalam sebuah disclaimer yang
menyatakan bahwa semua informasi yang sedang diterbitkan merupakan
71 Diana kusuma sari, Op.cit.
72Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, diakses dari : URL :
www.socalinternetlawyer.com, pada tanggal 19 Mei 2013.
informasi terbaru , tetapi mungkin juga sudah lama dan hal tersebut adalah tugas
pembaca untuk memastikan untuk memeriksa beberapa pembaharuan mengenai
informasi tersebut. Disclaimer biasanya tercantum beserta term of use atau terms
and conditions sebuah situs. Disclaimer pada umumnya meliputi pengecualian
dari jaminan dan pemilik situs menempatkan dirinya ke dalam syarat-syarat yang
merupakan metode yang diterima oleh pembaca dalam hal berurusan dengan
pemilik situs tersebut, merupakan hal yang baik untuk merinci unsur-unsur
tertentu dari disclaimer secara terpisah sehingga terlihat untuk pembaca .
Lebih lanjut Richard A. Chapo dalam artikel elektronik tersebut juga
menyatakan bahwa :
“...Can‟t use the disclaimers for anything, If you offer a weight
loss product on your site and then include a disclaimer that says
it hasn‟t been proven to help people lose weight, the disclaimer
is not going to keep you from being sued or potentially found
liable. That being said, a court may give it credence, so it is
worth a shot. Any belief that you can use disclaimers to prevent
lawsuits, however, is simply not true. Disclaimers tend to carry
more weight if the users of the site actually affirmatively agree
to them. This means they must click a box that says “I have read
the terms of use and expressly agree to them.” The reason for
this is such affirmative acceptance makes it easier to argue the
terms are a binding contract.”73
Dapat diketahui bahwa pelaku usaha pemilik situs tidak bisa menggunakan
disclaimer tersebut untuk hal apapun , sebagai contoh jika pemilik situs
menawarkan produk penurunan berat badan di website-nya dan kemudian
mencantumkan disclaimer yang menyatakan itu belum terbukti untuk membantu
orang menurunkan berat badan , disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs
73 Ibid
untuk tidak digugat atau berpotensi untuk diminta bertanggung jawab. Pengadilan
dapat memberikan kepercayaan , sehingga layak untuk dituntut . Setiap anggapan
bagi pemilik situs bahwa disclaimer digunakan untuk mencegah tuntutan hukum,
merupakan hal yang keliru. Disclaimer cenderung mengikat lebih berat jika
pengguna situs sebenarnya menyetujuinya. Ini berarti mereka harus meng-klik
kotak yang mengatakan "Saya telah membaca persyaratan penggunaan dan
menyatakan setuju untuk mereka”. Alasan untuk itu termasuk penerimaan
persetujuan yang membuat lebih mudah untuk berpendapat bahwa syarat tersebut
merupakan perjanjian yang mengikat.
Dalam artikel yang dibuat SEQ Legal LLP sebuah website generator jasa
pembuat disclaimer di Inggris menjelaskan tentang bagian dari disclaimer website
antara lain :
The disclaimer document is divided into the following sections:74
a licence
of the copyright in the website (and restrictions on what may be done with
the material on the website); a disclaimer of liability (which gives the
document its name); a variation clause; an entire agreement clause; a
clause specifying the applicable law and the jurisdiction in which disputes
will be decided; and a provision specifying some of the information which
needs to be disclosed under the Ecommerce Regulations.
Dapat dijelaskan bahwa suatu dokumen disclaimer yang dibuat oleh SEQ
Legal LLP sebuah website generator dibagi menjadi beberapa bagian seperti
lisensi hak cipta di website (pembatasan pada apa yang dapat dilakukan dengan
74 SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari : URL :
http://www.seqlegal.com , pada tanggal 20 Oktober 2013.
materi di website), penolakan pemenuhan kewajiban (yang biasanya menjadi
sebutan untuk suatu dokumen disclaimer), klausul variasi, klausul kesepakatan,
klausul yang menentukan hukum yang berlaku dan yurisdiksi di mana perselisihan
akan diputuskan dan ketentuan menentukan beberapa informasi yang perlu
diungkapkan berdasarkan Peraturan e-commerce.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia keberadaan suatu klausula
disclaimer yang ada di dalam situs internet (website) yang tidak dapat
dinegosiasikan kepada konsumen terlebih dahulu dalam hukum perikatan
termasuk dalam perjanjian standar. Perjanjian standar dialihbahasakan dari istilah
yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standaard contract” atau “standaard
voorwarden” dalam bahasa jerman, perjanjian standar dikenal dengan istilah
“Allegemene geschaft bedingun”, “standaard vertrag”, “standaardkonditionen”.
Hukum Inggris mengenal perjanjian standar sebagai “standard contract” atau
“take it or leave it contract”. Tretel memberikan definisi perjanjian standar
sebagai
“The terms of many contracts are set out in printed standard forms which are
used for all contracts of the same kind and are only varied so far as the
circumstance of each contracts require.”75
Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian standar adalah
perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan ditiangkan dalam
bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. Dalam ketentuan Undang-
75 G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London, h.196
undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah
klausula baku untuk menyebut perjanjian standar. Pengertian tentang klausula
baku terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen
yang menyebutkan bahwa klausula baku tersebut disiapkan terlebih dahulu oleh
pelaku usaha dan dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi konsumen. Dalam situs internet (website) bentuk
klausula baku ditampilkan secara digital, berbeda dengan klausula baku yang
beredar dalam dunia nyata yang dicetak dalam bentuk formulir.
2.3.2 Konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause
Berkaitan dengan klausula pembebasan tanggung jawab yang dicantumkan
dalam bentuk disclaimer dalam website, dalam kontrak standar di dunia nyata
juga dikenal Wiver Clause dan Indemnity Clause yang sama-sama berkaitan
dengan tanggung jawab. Klausula Wiver (Wiver Clause) yaitu merupakan surat
pernyataan yang dibuat secara resmi untuk melepaskan tuntutan. Wiver clause
juga terdiri dari pasal dalam kontrak yang memuat kehendak salah satu atau para
pihak untuk melepaskan hak untuk melakukan sesuatu atau untuk menuntut atas
suatu klaim tertentu yang dapat terbit dari kontrak. Wiver Clause disebut juga
klausula pelepasan yang berguna dalam terjadi kelambatan atau kekurangtegasan
dari pihak kreditur tidak ditafsirkan sebagai pelepasan haknya.
Pelepasan hak, apabila suatu syarat dalam kontrak diabaikan, dilalaikan atau
dilupakan, maka yang bersangkutan dianggap telah melepaskan haknya, karena itu
untuk mencegah agar tidak terjadi penafsiran yang demikian dibuatlah suatu
pernyataan, sehingga tidak terjadi penafsiran yang keliru ataupun bahkan
ditafsirkan sebaliknya. Dalam legal dictionary disebutkan bahwa Waiver
merupakan :
“The voluntary surrender of a known right; conduct supporting an inference
that a particular right has been relinquished”76
Dapat dijelaskan bahwa klausula wiver merupakan penyerahan secara
sukarela atas hak, melakukan mendukung kesimpulan bahwa hak tertentu telah
dilepaskan. Selain waiver clause juga dikenal indemnity Clause, di Indonesia juga
dikenal sebagai Prinsip Indemnity diartikan sebagai kompensasi keuangan yang
pasti dan cukup untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah
peristiwa kerugian, sama dengan posisi keuangan sesaat sebelum terjadinya
peristiwa kerugian tersebut.
Pengaturan mengenai prinsip indemnity di Indonesia diatur dalam Pasal 246
Kitab Undang-undang Hukum Dagang secara jelas bahwa Asuransi merupakan
suatu perjanjian ganti rugi atau perjanjian indemnitas (Contract Of Indemnity)
artinya penanggung berjanji akan membayar ganti rugi seimbang sesuai kerugian
yang diderita oleh tertanggung, apabila objek telah dipertanggungkan dengan nilai
penuh. Besarnya kerugian dihitung berdasarkan nilai pada sesaat sebelum terjadi
peristiwa kerugian. Contract of indemnity merupakan sebuah dokumen yang
dikeluarkan oleh penerbitnya kepada pihak lain yang berfungsi sebagai perjanjian
formal untuk melepaskan atau melindungi pihak lain tersebut dari kewajiban
76 Farlex, 2013, Waiver, diakses dari URL : http:// www. Legal-dictionary.com, pada tanggal
29 November 2013
terhadap kinerja tindakan-tindakan tertentu yang dilakukannya. Menurut Simone
Selkirk dan Garrett Williams :
Indemnity clause is a contractual transfer of risk between two
contractual parties generally to prevent loss or compensate for a loss
which may occur as a result of a specified event.77
Dapat dijelaskan bahwa klausul indemnity adalah transfer risiko kontrak
antara dua pihak kontrak umumnya untuk mencegah kerugian atau kompensasi
untuk kerugian yang mungkin terjadi sebagai akibat dari peristiwa tertentu. Dalam
prakteknya, karakteristik indemnity berupa ganti kerugian oleh pihak ketiga yang
dapat ditemukan dalam kontrak asuransi yang dimana jumlah klaim/kompensasi
belum dapat dihitung sebelum peristiwa terjadi, jumlah klaim dihitung
berdasarkan nilai/harga pada saat sesaat sebelum terjadi peristiwa klaim, kecuali
dalam asuransi jiwa dan kecelakaan diri jumlah klaim yang akan dibayarkan telah
diketahui sejak awal kontrak.
Jadi, diantara disclaimer, wiver clause dan indemnity clause terdapat
persamaan dan perbedaannya. Persamaannya adalah sama-sama merupakan
klausula baku yang berkaitan dengan tanggung jawab. Perbedaannya disclaimer
merupakan pembebasan tanggung jawab yang biasanya dicantumkan untuk
membebaskan diri sendiri dari tanggung jawab banyak ditemukan dalam website
dan keberadaannya terkadang tidak disadari oleh konsumen. Wiver clause
merupakan penyerahan secara sukarela atas hak dalam kontrak yang diketahui
77Simone Selkirk dan Garrett Williams, 2011, Indemnity clauses in commercial contracts,
diakses dari URL : http://www.lexology.com, pada tanggal 29 November 2013.
oleh para pihak dan Indemnity clause menyatakan pengalihan tanggung jawab
dimana tanggung jawab tersebut dialihkan kepada pihak ketiga seperti contohnya
pada jasa asuransi.
2.3.3 Konsepsi tentang Situs Internet (website) dan Kaitannya dengan
Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Situs Internet (website) merupakan halaman yang ditampilkan di internet
yang berisikan suatu informasi tertentu. Website juga dapat diartikan kumpulan
dari web pages mengenai hal atau organisasi ternetu. Web page adalah tampilan
sebuah halaman di internet yang memiliki alamat tertentu dimana alamat itu tidak
ada yang sama satu dengan yang lain.78
Jenis-jenis website berdasarkan sifatnya
dibagi menjadi dua, yaitu website Dinamis dan website statis.79
Website dinamis
merupakan website yang contentnya dapat berubah setiap saat. website dinamis
antara lain tokobagus.com, detik.com, Wikipedia.com dan blog tentang internet
marketing. Faktor utama yang membuat suatu website menjadi dinamis adalah
Content Management System. Dengan adanya CMS ini, siapapun yang memiliki
akses ke administrator website dapat mengupdate contentnya dengan sangat
mudah.website statis merupakan website yang jarang sekali dirubah karena
memang tidak diperlukan perubahan yang sangat sering. Contohnya adalah
78 Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.268
79 Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis website, diakses dari : URL :
http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2013
website company profile dan website profil organisasi. Website statis seringkali
juga berfungsi hanya sebagai brosur atau kartu nama digital perusahaan.80
Internet dan website merupakan dua hal yang berbeda. Sebuah website
dilindungi oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(UUHC) yang melindungi secara otomatis tanpa harus melalui pendaftaran di
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). UUHC melindungi
desain website maupun konten website (teks/tulisan, foto-foto, gambar-gambar,
musik, video, database dan software) yang merupakan obyek perlindungan hak
cipta, elemen lainnya yang dapat ditemukan didalam website yaitu logo, nama
usaha, brand/nama produk/nama jasa, symbol, slogan, nama domain dan fitur-fitur
dengan teknologi web misalnya search engines, sistem online shopping dan
sistem navigasi.
Pada pembuatan website semua tahap persiapan sebelum website tersebut
diupload ke dalam internet, website dirancang dalam suatu HTML Editor. Editor
adalah sebuah program komputer. Perbuatan merancang website dengan
menggunakan program HTML Editor sebagai sarana, adalah sama seperti
membuat suatu program aplikasi dengan menggunakan program Pascal.
Rancangan website yang dibuat dalam bentuk HTML Editor itu adalah program
komputer. Dengan demikian secara keseluruhan website itu dilindungi oleh Hak
Cipta. Didalam sebuah website terdapat beberapa Hak Cipta selain Hak Cipta atas
tulisan artikel dan program komputer di website tersebut, juga terdapat Hak Cipta
80 Ibid
atas desain dalam website dan juga Hak Cipta atas typographical arrangement
(tata cara penyususnan suatu karya) website tersebut.
Situs internet (website) telah menjadi bagian penting dari kehidupan modern
yang memerlukan segala sesuatu aktivitas yang serba cepat, efisien. Namun, sisi
negatifnya adalah kehadiran internet bisa pula memudahkan terjadinya
pelanggaran-pelanggaran di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terutama
masalah Hak Cipta. Sebuah website terdiri dari informasi, berita, karya-karya
fotografi, karya drama, musikal, sinematografi yang kesemuanya itu merupakan
karya-karya yang dilindungi oleh prinsip-prinsip tradisional Hak Cipta
sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC)
melindungi secara otomatis tanpa harus mendaftar ke Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) baik desain website maupun isi (konten)
website, dari publikasi dan perbanyakan oleh pihak lain tanpa izin pemegang hak
cipta. Perlindungan hak cipta diperoleh pencipta atau penerima hak, sepanjang
desain dan konten website tersebut merupakan hasil karya yang original. Suatu
disclaimer dalam website merupakan bagian dari hak cipta dari website tersebut
karena program komputer, karya tulis yang diterbitkan dan ciptaan-ciptaan lain
yang terdapat di internet dilindungi berdasarkan Pasal 12 Undang-undang No.19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC).
Keterkaitan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap
ruang lingkup cyberspace dalam sistem Hukum Indonesia dilihat dari pengertian
atas hak cipta yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 dan 3 Undang-undang Hak
Cipta yang menyatakan :
“Hak Cipta adalah Hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan peundang-undangan yang berlaku”.
Ciptaan yang dimaksud termasuk segala bentuk karya pencipta yang terdapat
di media internet. Pengalihan atas hak cipta dapat dilakukan agar pihak lain selain
pencipta dapat menikmati manfaat dari suatu karya cipta. Dalam pengalihan ini,
hak yang beralih hanyalah hak ekonominya (economic rights) saja, sedangkan hak
moralnya (moral right) tidak dapat dialihkan, karen ahak moral tidak pernah lepas
dari pencipta, sekalipun secara fisik telah berpindah melalui proses pembelian
maupun lisensi81
, sebagai contoh berkaitan dengan penjualan software di sebuah
website.
Berikut ini beberapa contoh pelanggaran Hak Cipta dalam suatu situs internet
(website), antara lain82
:
1. Seseorang dengan tanpa izin membuat situs penyanyi-penyanyi terkenal
yang berisikan lagu-lagu dan liriknya, foto dan cover album dari penyanyi-
penyanyi tersebut;
2. Seseorang tanpa izin membuat website yang berisikan lagu-lagu milik
penyanyi lain yang lagunya belum dipasarkan;
81 Anne Fitzgerald, 1999, Intelectual Property, LBC Information Services, NSW, Sydney,
h.62
82 Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL : http
://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2013.
3. Seseorang dengan tanpa izin membuat sebuah situs yang dapat mengakses
secara langsung isi berita dalam situs internet milik orang lain atau
perusahaan lain.
Akan tetapi, saat ini kenyataannya share (membagi) suatu berita oleh website
berita sudah merupakan sebuah nilai yang akan menaikan jumlah kunjungan ke
website berita itu sendiri, yang secara tidak langsung share berita ini akan
menaikan page rank website dan mendatangkan pemasang iklan bagi website
berita itu sendiri. Maka dalam kasus ini, Hak Cipta sebuah berita telah diizinkan
oleh pemilik website berita untuk di share melalui media-media lain asalkan
sumber resmi berita tersebut dicantumkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 14 c UU
No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, dimana :
Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta pengambilan berita
aktual (berita yang diumumkan dalam waktu 1 x 24 jam sejak pertama
kali diumumkan) baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita,
Lembaga Penyiaran, dan Surat Kabar atau sumber sejenis lain, dengan
ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Dalam konteks pemahaman teknologi Informasi, ciptaan-ciptaan harus
disertai dengan efektivitas penerapan sarana kontrol teknologi yang terus-menerus
dikembangkan mengikuti perkembangan pesat teknologi informasi tersebut.
Berdasarkan Pasal 27 Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
ketentuan ini sudah mengakomodasi secara kontrol teknologi. Ini berarti untuk
melindungi karya-karya cipta intelektual dalam jaringan internet harus pula
dilengkapi dengan instrument teknologi dalam bentuk barcode, serial number,
teknik deskripsi dan enkripsi yang digunakan untuk melindungi hak cipta.
Enkripsi merupakan proses mengamankan suatu informasi dengan membuat
informasi tersebut tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengetahuan khusus.
Keberadaan hak cipta di internet, umumnya membutuhkan aplikasi sarana-sarana
teknologi baru yang dapat mencegah upaya pembajakan oleh mereka yang tidak
berhak. Tingginya derajat pelanggaran hak cipta di sektor ini sangat
membutuhkan perpaduan dari semua faktor itu, sehingga ini diharapkan dapat
membentuk sistem hukum proteksi hak cipta di Internet yang semakin terpercaya
dan dapat diandalkan. Dengan adanya proteksi yang tegas mengenai hak cipta
tersebut tentu saja tindakan semena-mena para pelaku usaha pemilik website
dalam meng-copy suatu ciptaan atau isi dari website lain dan menyebarkan dalam
website-nya akan dapat diminimalisir.
2.3.4 Perbedaan antara situs Internet (website) dan blog (web log)
Website dengan blog sekilas terlihat sama, keduanya sama-sama memiliki
peran penting di dunia maya. Blog adalah kependekan dari Weblog, istilah yang
pertama kali digunakan oleh Jorn Barger pada bulan Desember 1997. Para
pembuat blog dinamakan Blogger. Melalui Blognya, kepribadian Blogger menjadi
mudah dikenali berdasarkan topik apa yang disukai, apa tanggapan terhadap link-
link yang di pilih dan isu-isu didalamnya. Oleh karena itu Blog bersifat sangat
personal. Blogger adalah objek pelaku dari sebuah blog, dengan kata lain Blogger
(terlepas dari aksi google yang membeli domain blogger.com untuk layanan
blognya) adalah orang-orang yang senantiasa menulis dan mengupdate blognya.
Sedangkan website adalah kumpulan dari halaman-halaman situs, yang biasanya
terangkum dalam sebuah domain atau subdomain, yang tempatnya berada di
dalam world wide web (www) di Internet. Sebuah halaman website adalah
dokumen yang ditulis dalam format HTML (Hyper Text Markup Language), yang
hampir selalu bisa diakses melalui HTTP, yaitu protokol yang menyampaikan
informasi dari server website untuk ditampilkan kepada para pemakai melalui web
browser. Semua publikasi dari website-website tersebut dapat membentuk sebuah
jaringan informasi yang sangat besar.
Perbedaan antara website dengan blog lebih terperinci dapat dilihat dari tabel
berikut ini :
Perbedaan Website Blog
Pengertian
Sekumpulan halaman
web terkait yang
disajikan dari satu
domain.
Sebuah situs diskusi yang
dipublikasikan dalam world
wide web (www)
Berdasarkan
Konten
Sebuah website mewakili
satu produk, satu orang,
dan teknologi yang
serupa. Dengan kata lain,
website memiliki isi
dengan genre serupa.
Topik-topik posting dapat
berupa bahasan mengenai
teknologi, fashion, produk
tertentu atau mengenai aktor
dan atlet tertentu dengan
sensasi yang baru (seperti
majalah digital)
Tata Bahasa
Menggunakan nada atau
bahasa formal untuk
menggambarkan isinya.
menggunakan nada atau
bahasa yang jauh lebih
sederhana dan informal
untuk deskripsi kontennya.
Coding
Harus paham dan
mengerti pengkodean
seperti HTML5, CSS3,
PHP, dan lain-lain.
Untuk menciptakan sebuah
blog, tidak perlu seorang
yang ahli di bidang
pengkodean, cukup men-
download template dan
memulai dengan belajar
dasar-dasar pengkodean.
Daftar Konten
Tidak akan menemui
daftar dari beberapa
konten yang pernah
diposting,data yang ada
dalam website biasanya
statis.
Memiliki daftar kronologis
postingan. Semua tulisan
yang telah Anda buat
disusun dari yang terbaru
sampai terlama
Homepage
Homepage menjelaskan
isi dasar website. Ini akan
memberitahukan kepada
pengunjung tentang jenis
produk yang ditawarkan
oleh website itu
Dipenuhi dengan berbagai
tulisan yang telah diposting
sebelumnya.
Rating
Tidak dipengaruhi oleh
hal-hal seperti jumlah
pengunjung aktif yang
dimilikinya.
Sebagian besar dianggap
aktif tergantung pada
jumlah pengunjung aktif
yang dimilikinya. Jumlah
pembaca menentukan
peringkat blog.
Interaksi
Pengguna
Biasanya admin
memblok komentar
sehingga membuat
website kurang interaktif.
Blog dianggap lebih
interaktif, menawarkan
pengunjung berupa opsi
untuk berkomentar,
menyukai, dan membagikan
postingan
Tabel 1. Perbedaan antara website dengan blog
Bagi Perusahaan / Lembaga / perorangan yang ingin website contohnya untuk
kepentingan bisnis, sangat menjaga sekali profesional dari website yang akan
digunakan untuk memasarkan usahanya tersebut. Bila URL dari web bisnis kita
ada wordpress.com atau blogspot.com di belakangnya, akan mengakibatkan hal
hal seperti : disangka tidak serius dalam mengelola bisnis, usahanya hanya fiktif
dan hanya menipu saja karena web-nya gratisan, menimbulkan keraguan bagi
calon konsumen yang akan membeli produk yang ditampilkan di website. Jika
menggunakan domain dan hosting berbayar seperti .com .net .biz, kita akan
dianggap serius dalam mengelola bisnis yang kita lakukan sehingga konsumen
tidak ragu-ragu dalam mentransfer uang untuk membeli produk yang ditawarkan.
Banyak sekali web yang menyediakan penjualan online dan kebanyakan
konsumen lebih percaya pada website yang dikelola dengan serius (bukan
gratisan). Bahkan untuk kebutuhan sebagai contoh pada online shop, walaupun
memiliki blog untuk memperlihatkan foto produk yang dijual, tetapi pihak online
shop tersebut tetap memiliki website khusus yang menyediakan layanan
pemesanan online yang tidak gratis tentunya.
BAB III
PENGATURAN DISCLAIMER DALAM HUKUM INDONESIA
3.1 Pengaturan Disclaimer dalam Dunia Maya (virtual world)
Jaringan telekomunikasi terbuka seperti World wide web yang biasa disingkat
(www) adalah suatu ruang teknologi informasi yang digunakan oleh pengenal
global untuk mengidentifikasi sumber-sumber daya yang berguna. Data dan
informasi dapat digunakan secara bersama diseluruh dunia berkat adanya www
Melalui web, para pengguna internet dapat mengakses informasi-informasi salah
satunya berbentuk teks. Sebenarnya www merupakan kumpulan dokumen yang
tersimpan di server web dan tersebar di lima benua termasuk Indonesia yang
terhubung menjadi satu melalui jaringan internet. Dokumen-dokumen informasi
ini disimpan dan dibuat dalam format HTML (Hypertext Markup Language).
Dengan adanya world wide web (www) kemudahan dalam mengakses internet
mulai dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat seluruh dunia. Kemudahan
yang telah ditawarkan Internet untuk dapat secara langsung melakukan
percakapan, pidato umum, pertukaran mail, transmisi radio dan televisi,
mempublikasikan semua hal dan penelitian telah memunculkan suatu kebutuhan
untuk menggabungkan cara-cara pengaturan yang masing-masing telah digunakan
pada waktu sebelumnya. Kombinasi media cetak, media komunikasi umum
(seperti surat, telegraf dan telepon) dan penyiaran menjadi satu media telah
membuat adanya perubahan-perubahan di lingkungan pengaturan yang sudah ada
sebelumnya menjadi sangat penting. Kemajuan teknologi informasi harus
diberikan pengakuan hukumnya di masing-masing Negara.
Dunia internet disebut sebagai virtual world yang sering diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan istilah “dunia maya” Dunia maya telah mengubah
kebiasaan banyak orang yaitu orang-orang yang dalam kehidupannya terbiasa
menggunakan internet. Berbelanja, mengirimkan surat, mengirimkan surat
lamaran kerja berkirim foto, mencari informasi secara praktis tanpa haru membeli
Koran dan berjalan-jalan ke luar rumah , melakukan pembicaraan jarak jauh tidak
ubahnya seperti sedang bertelepon, mengambil uang dari bank, membuat desain
bangunan oleh arsitek, berkonsultasi tatap muka (yaitu masing-masing pihak
muncul gambarnya pada layar komputer mereka (karena setiap computer
dilengkapi dengan kamera) dan masih banyak lagi. Praktis pada saat ini hamper
semua kegiatan yang dapat dilakukan di dunia nyata (real world) dapat dilakukan
di dunia maya. Bahkan di dunia maya orang telah melakukan berbagai tindakan
kejahatan yang justru tidak dapat dilakukan di dunia nyata. Budaya internet
sebagai tanda-tanda kemajuan dunia yang begitu mempesona masyarakat dunia.
Internet menawarkan keuntungan secara ekonomis, finansial tenaga dan lain-lain
dalam perkembangan dunia komunikasi dan informasi baik domestik maupun
internasional.
Menurut F.Lawrence Street dan Mark P.Grant, didalam transaksi bisnis
melalui internet menimbulkan beberapa masalah yuridis83
, salah satunya yang
menarik yaitu mengenai pembatasan tanggung jawab. Di dalam suatu situs
internet (website) disadari/tidak oleh masyarakat yang mengunjungi suatu website,
baik itu website yang menyediakan layanan informasi maupun layanan jual beli
83 Niniek Suparni, 2009, Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Sinar
Grafika, Jakarta, h.52
secara elektronik (e-commerce), terdapat klausula mengenai pembatasan tanggung
jawab tersebut yang diciptakan oleh pemilik situs sebagai pelaku usaha dengan
tujuan agar supaya jelas bagi para pihak akan batas-batas dari tanggung jawab
masing-masing pihak. Namun hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan yaitu
berupa klausula eksemsi (exemption clause atau disclaimer) melanggar asas
kepatuhan yang berlaku pada hukum yang dipilih oleh para pihak untuk
diterapkan dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak tersebut. Suatu
pembatasan tanggung jawab tersebut dapat pula menentukan jumlah ganti
kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lainnya,
apabila timbul sengketa.Dengan demikian para pihak sudah sejak dini mengetahui
berapa besar kemungkinan masing-masing pihak harus menanggung kewajiban
pembayaran ganti kerugian apabila pihaknya cidera janji.84
Dalam prakteknya di Indonesia dalam suatu situs internet (website), baik itu
website penyedia layanan informasi elektronik maupun transaksi jual beli pihak
pelaku usaha pemilik situs mencantumkan suatu klausula eksemsi yang disebut
disclaimer tersebut yang mana letaknya di dalam website tidak langsung muncul
dilayar (screen) monitor ketika konsumen internet membuka suatu website.
Biasanya disclaimer dari suatu situs terdapat dibagian bawah tampilan situs yang
penulisannya menggunakan ukuran font lebih kecil daripada tulisan utama dari
situs tersebut dan ada juga situs yang langsung menggabungkan disclaimer
didalam suatu term and condition suatu situs internet. Dari segi isinya, pada
disclaimer isinya sudah ditentukan secara sepihak oleh penyelenggara sistem
84 Ibid
elektronik/ pelaku usaha. Pengguna sistem elektronik/ konsumen tidak dapat
menegosiasikan isinya karena perjanjian sudah tercetak dilayar.
Pencantuman disclaimer tidak saja ditemukan di website yang berasal dari
Indonesia, namun juga ditemukan di beberapa website yang berasal dari luar
negeri. Namun isinya berbeda-beda disetiap website. Menurut kutipan artikel yang
ditulis oleh Simon Davey dari Inggris yang menjelaskan bahwa :
“Adding a disclaimer to your website is essential. It won‟t cover
you for every eventuality but helps protecting your organisation and
restrict liability. It‟s your way of stating the terms under which people
access and use your information, explaining your obligations and
theirs. Disclaimers are sometimes called „Terms of Use‟ and may
incorporate a privacy policy.It‟s important that disclaimers are obvious
and visible, ideally on every page of your site, typically at the bottom of
a page. If people can‟t find it, they won‟t read it and it may not offer
you the necessary protection. Ideally, from a legal perspective, users
should be asked to expressly agree to these terms (e.g. by clicking an “I
agree” button) but this is rarely done in practice. Be explicit about the
purpose and implications of the disclaimer”85
.
Dapat diketahui bahwa menurut Simon Davey mencantumkan disclaimer
pada website adalah penting. Disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs
untuk setiap kemungkinan, tetapi juga membantu memproteksi organisasi dan
membatasi kewajiban . Ini merupakan cara pemilik situs menyatakan syarat-syarat
bagi pihak yang mengakses dan menggunakan informasi dari pemilik situs ,
menjelaskan kewajiban pemilik situs. Disclaimer kadang-kadang digabungkan
dalam ' Terms of Use ' dan privasi policy. Hal ini penting bahwa disclaimer yang
jelas dan terlihat, idealnya pada setiap halaman website , biasanya di bagian
bawah halaman. Jika orang tidak dapat menemukannya , mereka tidak akan
85Simon Davey, 2011, Website disclaimers , diakses dari : URL
:http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni 2013
membacanya dan mungkin tidak menawarkan perlindungan yang diperlukan .
Idealnya , dari perspektif hukum , pengguna harus diminta untuk tegas menyetujui
persyaratan ( misalnya dengan mengklik tombol " Saya setuju ") , tetapi hal ini
jarang dilakukan dalam praktek. Menjadi jelas mengenai tujuan dan implikasi dari
disclaimer tersebut”).
Tampilan disclaimer dalam website di Indonesia sebagian besar letaknya
dibagian bawah homepage website dan konsumen harus meng- klik terlebih untuk
dapat membaca tampilan dari disclaimer tersebut.
Gambar 1 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 2 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 3 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 4 : contoh disclaimer website Indonesia
Gambar 5 : contoh disclaimer website Singapura tampilannya di awal homepage
Simon Davey dalam artikel tersebut juga menjelaskan bahwa suatu disclaimer
di Inggris mengandung pernyataan seperti sebagai berikut :
“This disclaimer governs your use of our website; by using our
website, you accept this disclaimer in full. If you disagree with
any part of this disclaimer, do not use our website. We reserve the
right to modify these terms at any time. You should therefore
check periodically for changes. By using this site after we post
any changes, you agree to accept those changes, whether or not
you have reviewed them.”86
Dijelaskan bahwa disclaimer ini mengatur penggunaan website, dengan
menggunakan website , pengguna dianggap menerima disclaimer ini secara penuh
. Jika pengguna tidak setuju dengan setiap bagian dari disclaimer ini , jangan
gunakan website ini . Pemilik situs berhak untuk mengubah ketentuan ini setiap
saat . Oleh karena itu Anda harus memeriksa secara berkala untuk perubahan .
Dengan menggunakan situs ini setelah kita posting perubahan apapun , Anda
setuju untuk menerima perubahan tersebut , walaupun anda telah atau belum
memeriksa hal tersebut.
Sedangkan dalam website transaksi jual beli secara elektronik (e-
commerce) di inggris pencantuman disclaimer yang menyatakan pengalihan
tanggung jawab disebut juga exemption clauses adalah dilarang hal ini tercantum
dalam salah satu Undang-undang di Inggris The Unfair Contract terms Act (1977)
(UCTA) yang merupakan peraturan perundang-undangan khusus untuk penerapan
perjanjian standar dalam kontrak bisnis dan kontrak elektronik dan termasuk
bagian integral dari penerapan pencantuman suatu klausula pengalihan tanggung
jawab (disclaimer) didalam suatu situs internet. UCTA juga bertujuan untuk
86 Ibid
melindungi konsumen dari perilaku pelaku usaha yang ingin melepaskan diri dari
tanggung jawabnya. The Unfair Contract terms Act (1977) menjelaskan bahwa :
is largely restricted to business liability. Contracts excluded include
those involving land, those for insurance, and those affecting the
formation or management of companies. Exemption clauses can only be
included in a written form contract if they are reasonable. It is not
possible to use exemption clauses to escape liability in the case of
bodily harm or death due to negligence. Exemption clauses are
automatically void if they contain a clause exempting from liability in
the case of personal injury or death due to negligence;
Dapat dikatakan bahwa kontrak standar sebagian besar terbatas pada
kewajiban bisnis. Kontrak dikecualikan termasuk yang melibatkan tanah, untuk
asuransi, dan yang mempengaruhi pembentukan atau manajemen perusahaan.
Klausul pembebasan hanya dapat dimasukkan dalam kontrak tertulis jika mereka
wajar. Hal ini tidak mungkin untuk menggunakan klausul pengecualian untuk
melarikan diri tanggung jawab dalam kasus cedera tubuh atau kematian akibat
kelalaian. Klausul pengecualian secara otomatis tidak berlaku jika: mengandung
klausul pembebasan dari kewajiban dalam kasus cedera atau kematian karena
kelalaian;
Dalam Bab 3 mengenai Exemption Clauses and Unfair Terms dalam Pasal 13
ayat 1 yang bunyinya :
Section 13 (1), which states: To the extent that this part of this Act
prevents the exclusion or restriction of liability it also prevents :
a. making the liability or its enforcement subject to restrictive or
onerous conditions;
b. excluding or restricting any right or remedy in respect of the
liability, or subjecting any person to any prejudice in consequence of
his pursuing any such right or remedy;
c. excluding or restricting any rules of evidence or procedure.
Jadi, bagian dari The Unfair Contract terms Act (1977) mencegah
pengecualian atau pembatasan kewajiban juga mencegah : membuat kewajiban
atau subjek penegakan hukum untuk kondisi membatasi atau berat, tidak termasuk
atau membatasi hak atau upaya hukum sehubungan dengan tanggung jawab, atau
menundukkan setiap orang untuk prasangka apapun sebagai konsekuensi nya
mengejar semua hak dan perbaikan tersebut dan tidak termasuk atau membatasi
aturan bukti atau prosedur.
Mengenai pencantuman klausula dalam kontrak elektronik di Inggris harus
dinegosiasikan terlebih dahulu. Inggris juga menerbitkan The United Kingdom
Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999. Berdasarkan regulasi
tahun 1999 ini ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur unfair
terms, akibat hukum bagi konsumen dari penggunaan unfair terms oleh pelaku
usaha dan cara penyelesainnya. Ukuran unfair terms :
a contractual term which has not been individually negotiated is
unfair if contrary to the requirement of good faith, it causes a significant
imbalance in the parties‟ rights and obligations under the contract, to the
detriment of the consumer;price setting – provided it is in plain,
intelligible language;terms defining the product – provided they are in
plain, intelligiblelanguage; terms required by law or explicitly allowed
by law; specially negotiated terms.
Dapat dijelaskan bahwa Istilah kontrak yang belum dinegosiasikan tidak adil
jika bertentangan dengan kebutuhan itikad baik, hal itu menyebabkan
ketidakseimbangan yang signifikan dalam hak dan kewajiban para pihak dalam
kontrak, sehingga merugikan konsumen; penetapan harga asalkan itu transparan,
bahasa dimengerti; istilah mendefinisikan produk asalkan sesuai kenyataan,
bahasa dapat dimengerti; istilah diwajibkan oleh hukum atau secara eksplisit
diizinkan oleh hukum; mengenai klausula khusus dinegosiasikan terlebih dahulu.
Akibat hukum bagi bisnis online yang mencantumkan unfair terms juga
diatur dalam Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999 yang
menyebutkan :
a consumer is not bound by a term which is unfair. The rest of the
contract is binding if it is capable of continuing in existence without
the unfair term; where a term has been drawn up for general use, the
United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) can seek an
undertaking or apply for aninjunction to stop businesses using unfair
terms.
Dijelaskan bahwa konsumen tidak terikat oleh sebuah klausula yang tidak
adil. Klausula dalam kontrak yang mengikat jika tidak ada klausula yang tidak
adil didalamnya, dimana jika istilah tersebut telah dibuat untuk pernyataan umum,
United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) dapat mengambil suatu usaha
atau mengajukan permohonan yang memerintahkan untuk menghentikan bisnis
online yang menggunakan istilah-istilah yang tidak adil.
3.2 Pengaturan Disclaimer dalam Konteks Undang-undang No.8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No.11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Indonesia adalah Negara hukum, eksistensi Indonesia sebagai Negara hukum
disebutkan secara tegas dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu
pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”.
Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfarestate terdapat pada
kewajiban pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara, sebagaimana
yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu; “Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan
ketertiban dunia. Tujuan hukum juga untuk mengayomi manusia baik secara aktif
maupun pasif, secara aktif sebagai upaya menciptakan suatu kondisi
kemasyarakatan yang manusiawi sedangkan secara pasif mengupayakan
penegakkan atas upaya yang sewenang-wenang dalam penyalahgunaan hak secara
tidak adil.87
Tujuan-tujuan tersebut diharapkan perwujudannya melalui
pembangunan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka
pendek, menengah dan panjang.
Arief Sidharta berpendapat bahwa Hukum adalah :
“Hukum yang berlaku atau hukum positif. Jadi, kita berpikir antara
lain tentang undang-undang atau keputusan-keputusan hakim dan
tidak tentang salah satu hukum kodrat atau sistem-sistem hukum
ideal yang mungkin saja dapat dipikirkan sebagai berlaku. Hukum
yang dibicarakan disini adalah hukum dengannya kita setiap hari
berurusan. Tetapi, ia bukanlah suatu gejala sewenang-wenang
(sekehendak hati) atau subjektif, ia memperlihatkan, menurut
pemahaman kami, beberapa ciri objektif.”88
Menurut pendapat tersebut diatas memfokuskan pengertian hukum dalam
undang-undang semata. Salim HS berpendapat bahwa hukum adalah :
“Keseluruhan dari aturan-aturan hukum, baik yang dibuat oleh
Negara maupun yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat”89
87 Abdul Manan, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum, Kencana , Jakarta, h. 23
88 Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.35.
89
Ibid h.26
Hukum pada dasarnya merupakan suatu aturan yang sengaja diciptakan oleh
masyarakat agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tentram. Hukum
juga sebagai sarana penegak keadilan dan sarana pendidikan masyarakat.
Indonesia menganut hukum yang dikodifikasikan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Hukum sebagai patokan suatu norma harus diperhatikan
dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Suatu peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peratura perundang-
undangan lain yang lebih tinggi tingkatannya Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan diatur mengenai hirerki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan hal-hal yang dapat
dijadikan asas-asas, sesuai dengan yang dkemukakan Montesquie antara lain90
:
a. Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat bersifat
kebesaran dan retorikal hanya tambahan yang membingungkan;
b. Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan tidak
relative, dengan maksud meminimalisasi kesempatan untuk perbedaan
pendapat dari individu;
90
Yuliandri. Op.cit, h.128
c. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual,
menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik;
d. Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk untuk
rakyat dengan pengertian yang sedang; bahasa hukum bukan latihan logika,
melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang rata-rata;
e. Hukum hendaknya, tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian,
pembatasan atau pengubahan kecuali hanya apabila benar-benar diperlukan;
f. Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/ dapat diperdebatkan; adalah
berbahaya merinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan lebih
menumbuhkan pertentangan-pertentangan;
g. Lebih daripada semua itu, pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan
masak-masak dan mempunyai manfaat praktis dan hendaknya tidak
menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan dan hakikat
permasalahan, sebab hukum yang lemah, tdak perlu dan tdak adil hanya akan
membawa seluruh sistem perundang-undangan kepada image yang buruk dan
menggoyahkan kewibawaan Negara.
Roger Catterrell dalam bukunya The Sociology of Law yang mengemukakan
bahwa
“Law secures social cohesion and orderly social change by balancing
conflicting interest-individual (the private interest of individual citizens),
social (arising from the common conditions of social life) and public
(specifically the interest of the state91
)”.
91 Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths, London,
h.76.
Dapat diketahui bahwa Hukum mengamankan kohesi sosial dan perubahan
sosial yang tertib dengan menyeimbangkan konflik kepentingan-individu
(kepentingan pribadi warga negara), sosial (yang timbul dari kondisi umum
kehidupan sosial) dan masyarakat (khususnya kepentingan Negara).
Hukum merupakan alat utuk mengatur masyarakat, tugas pembentuk
peraturan perundang-undangan akan berhasil jika keseluruhan persyaratan bisa
terpenuhi. Hukum adalah suatu aturan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat
agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tenteram. Hukum bisnis
adalah bagian dari hukum privat, hal ini dikemukakan oleh Peter Mahmud
Marzuki92
:
“Business law is the body of law that governs business
transactions. The word business denotes an activity that
generates profit. Non profit activity is not business; rather, it is
charity. Consequently, business law deals only with activities that
generate profit. Business law, therefore, belongs to private law
rather than public law”.
Dijelaskan bahwa Hukum bisnis adalah badan hukum yang mengatur
transaksi bisnis. Usaha kata menunjukkan aktivitas yang menghasilkan
keuntungan. Kegiatan non profit bukan bisnis, melainkan adalah amal. Akibatnya,
hukum bisnis hanya berkaitan dengan kegiatan yang menghasilkan keuntungan.
Hukum bisnis, oleh karena itu, milik hukum privat bukan hukum publik).
92 Peter Mahmud Marzuki, 2011, An Introducation To Indonesian Law, Setara Pers, Malang,
p.219.
Persyaratan sesuai dengan asas-asas pembentukkan peraturan perundang-
undangan yang baik juga dikemukakan menurut Lon.L.Fuller :93
“The criteria which Fuller argues must be in order for something
which can truly be called a legal system to exist are generality,
promulgation, non-retroactivity, clarity, non-contradiction, not
requiring the impossible, constancy throught time and finally,
congruence between official action and the declared rule”.
Kiranya diketahui bahwa kriteria yang dikemukakan Fuller harus dipenuhi
agar dapat disebut sistem hukum yang ada adalah umum, perundangan, non-
retroaktif, kejelasan, non-kontradisi, tidak memerlukan yang tidak mungkin,
keteguhan melalui waktu dan akhirnya, kesesuaian resmi tindakan dan aturan
diumumkan. Bila dikaitkan dengan pengaturan mengenai pencantuman disclaimer
yang terdapat dalam situs internet, harus ada aturan untuk kriteria pencantuman
suatu disclaimer didalam suatu situs internet agar tidak menguntungkan pihak
pelaku usaha pemilik situs saja namun juga harus melindungi hak-hak dari pada
konsumen. Di Indonesia pengaturan secara khusus (lex specialis derogate legi
generali) mengenai dunia internet diatur dalam undang nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan
instrument hukum yang efektif melindungi konsumen, namun perlindungannya
terbatas, karena Undang-undang ini hanya berlaku terhadap subyek hukum yang
berdomisili dalam yurisdiksi hukum Indonesia. Secara a contrario dikatakan
93 Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies,
University of London, h. 105.
bahwa pelaku usaha yang berdomisili di luar yurisdiksi hukum Indonesia tidak
tunduk pada UUPK. UUPK kehilangan efektivitasnya saat berhadapan dengan
persoalan pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha yang berdomisili di
Negara asing.
Transaksi elektronik jarak jauh menimbulkan masakah baru terkait dengan
perlindungan hak kewajiban konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman
klausula baku diatur dalam Pasal 1 angka 10 dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak pleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) UU No.8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan mengenai pencantuman
klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk
menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka pencantuman
klausula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen, yang berbunyi sebagai berikut :
(1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat dan/atau
mencantumkan kalusula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak
menyerahkan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku
usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk
melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat
jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi
objek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang
berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau
hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak
atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang mengungkapkannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi
hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang
bertentangan dengan undang-undang ini.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal hubungan
antara pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula baku
didalamnya wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999
tersebut. Konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal 18 adalah batal demi hukum
terhadap perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of
provisions (ketentuan yang terpisah) maka yang batal demi hukum hanyalah
klausula yang bertentangan dengan Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 saja.
Klausula Eksonerasi (exemption clause) dibedakan dengan istilah klausula
baku. Mariam Darus Badarulzaman menyebutkan dengan klausul eksonerasi,
sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeni menyebutkan dengan
istilah klausul eksemsi, sedangkan Bernes menyebutkan dengan istilah
exculpatory clause. Exculpatory Clause menurut Bernes adalah
“ a provision in a contract that attempts to relieve one party‟s liability for the
consequences of his on her own negligence” 94
Dapat dijelaskan bahwa ketentuan dalam kontrak yang mencoba untuk
meringankan tanggung jawab satu pihak atas konsekuensi-nya pada kelalaian
sendiri.
Oleh karena UUPK hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indonesia, maka
untuk mengatasi persoalan tersebut langkah pertama yang penting adalah merujuk
pada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE). Pasal 2 UU ITE secara eksplisit menyebutkan bahwa UU
ITE berlaku untuk setiap perbuatan subyek hukum yang menimbulkan implikasi
hukum di Indonesia.
Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Tujuan dari pembentukan UU ITE tercermin dari Pasal 4 UU ITE, yaitu
untuk:
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat
informasi dunia;
94 N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung jawab
produk, Panta Rei, Jakarta, h.17
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
c. Meningkatkan efektivitas dan pelayanan publik;
d. Membuka kesempatan seluas-luasnya pada setiap Orang untuk
memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan
pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan
bertanggung jawab;dan
e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara Teknologi Informasi.
UU ITE mengimplementasikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen
didalam pasal-pasalnya yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik. Pasal 9 UU
ITE mengatur bahwa :
“pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus
menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,
produsen dan produk yang ditawarkan.”
Dalam kenyataannya masih terdapat tindakan oknum pengguna internet yang
sangat merugikan konsumen. Salah satu contoh adalah kasus situs palsu yang
dungkap oleh Petrus Reinhard Goles, Kepala Unit Cyber Crime Mabes Polri.
Dalam kasus tersebut terungkap bahwa Chumpon Korp Phaibun, seorang Warga
Negara Thailand tertipu oleh sebuat situs Indonesia, yakni www.henbing.com,
dengan sarana situs tersebut Chumpon membeli sebuat jet ski seharga $19.520
(Sembilan belas ribu lima ratus dua puluh) dollar Amerika. Namun setelah
mengirim uang ke dua rekening Bank Mandiri, jet ski tidak dating, setelah
menerima laporan akhirnya penyidik Polri mendatangi Chumpon ke Bangkok.
Dari penyelidikan dan penyidikan polisi di Internet akhirnya mereka berhasil
menangkap pelaku.95
Pada pasal 3 UU ITE diatur mengenai asas dan tujuan sebagai alat untuk
menciptakan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang baik,
antara lain :
1. Asas Kepastian Hukum, mengandung pengertian bahwa landasan
hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik termasuk segala sesuatu yang mendukung
penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum;
2. Asas Manfaat, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan
teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk
mendukung proses berinformasi;
3. Asas Kehati-hatian, mengandung pengertian bahwa landasan untuk
memperhatikan segenap potensi yang dapat mendatangkan
kerugian dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi
elektronik;
4. Asas Itikad Baik, mengandung pengertian bahwa para pihak baik
iut pelaku usaha maupun konsumen dalam melakukan transaksi
95 Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17 Negara ,
diakses dari URL : www.kompas.com, pada tanggal 29 November 2013
elektronik tidak dilakukan dengan tujuan merugikan pihak lain baik
secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum;
5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Netral Teknologi,
megandung pengertian bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan
transaksi elektronik tidak terfokus pada pemanfaatan teknologi
tertentu sehingga diharapkan mampu mengikuti perkembangan
teknologi di masa yang akan datang.
Transaksi melalui internet antara pelaku usaha dengan konsumen dilakukan
melalui berkomunikasi terlebih dahulu, komunikasi dilakukan melalui email dan
menyetujui harga dan barang. Sepanjang telah memenuhi syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian maka nantinya email yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai
kontrak elektronik. Ketika telah terjadi kesepakatan mengenai barang dan harga
maka telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, oleh karena itu
konsumen dapat melakukan gugatan jika konsumen dirugikan atas dasar
wanprestasi. E-mail tersebut dapat djadikan alat bukti sesuai dengan yang
dimaksud dalam pasal 5 UU ITE yang menyebutkan bahwa :
1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah;
2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara
yang berlaku di Indonesia.
3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah
apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang ini.
4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk:
i. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis; dan
ii. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat
oleh pejabat pembuat akta.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan
kewenangan para pihak untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi
elektronik internasional yang dibuatnya, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 18 ayat
2 (UU ITE). Akan tetapi jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam
transaksi elektronik internasional akan berlaku asas Hukum Perdata Internasional
(Pasal 18 ayat 3 UU ITE).
Dalam transaksi elektronik para pihak yang terkait didalamnya melakukan
hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak
yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 (UU
ITE) disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam
dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. Dalam transaksi elektronik
para pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain tetapi berhubungan
melalui internet. Dalam transaksi elektronik pihak-pihak yang terkait antara lain :
1. Pelaku usaha sebagai penyelenggara sistem elektronik yang
menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha;
2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh
undang-undang, yang menerima penawaran dari pelaku usaha dan
berkeinginan untuk melakukan transaksi atas jual beli produk yang
ditawarkan oleh pelaku usaha;
3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari konsumen kepada pelaku usaha
karena pada transaksi jual beli secara elektronik, pelaku usaha dan
konsumen tidak berhadapan langsung karena mereka berada pada lokasi
yang berbeda sehingga pembayarannya dapat dilakukan melalui
perantara dalam hal ini bank;
4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.
Pihak-pihak dalam transaksi elektronik tersebut memiliki hak dan kewajiban.
Pelaku usaha merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh
karena itu pelaku usaha wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas
barang yang ditawarkannya kepada konsumen. Pelaku usaha harus menawarkan
barang yang layak untuk diperjualbelikan tidak mengandung cacat tersembunyi,
rusak dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian transaksi tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku
usaha selain memiliki kewajiban juga memiliki hak yaitu hak untuk mendapat
pembayaran dari konsumen atas barang yang dijualnya. Konsumen memiliki
kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari pelaku usaha
sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati. Selain hal tersebut, konsumen
wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir
penerimaan. Selain itu konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap
atas barang yang akan dibelinya dari pelaku usaha. Konsumen juga berhak
mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan pelaku usaha yang beritikad
tidak baik.
Bank sebagai pihak penyalur dana dalam transaksi elektronik atas
pembayaran yang dilakukan oleh konsumen atas suatu barang yang dibeli. Karena
jika berbelanja secara online melalui internet jarak antara pelaku usaha dengan
konsumen saling berjauhan sehingga sebagian besar pelaku usaha menggunakan
sistem transfer dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha (account to
account). Kemudian provider juga merupakan pihak lain dalam transaksi
elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan
layanan akses 24 jam kepada calon konsumen untuk dapat melakukan transaksi
elektronik melalui media internet dengan pelaku usaha yang menawarkan
barangnya melalui media internet tersebut. Disini terdapat kerjasama antara
pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha online melalui internet.
Dalam transaksi jual beli online (e-commerce), penawaran merupakan suatu
“invitation to enter into a binding agreement”.96
Tawaran merupakan sebuah
96 Mariam Daruz Badrulzaman, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak Indonesia,
Hukum Bisnis XII, h.33
tawaran jika orang lain menanggapinya sebagai suatu tawaran. Suatu perbuatan
seseorang beralasan bahwa perbuatan itu sendiri sebagai ajakan untuk masuk ke
dalam suatu ikatan perjanjian dapat dianggap sebagai tawaran. Dalam transaksi
jual beli elektronik khususnya jenis business to customer yang melakukan
penawaran adalah pelaku usaha. Para pelaku usaha tersebut memanfaatkan
website untuk menjajakan barang dan jasa pelayanan. Para pelaku usaha
menyediakan semacam storefront yang berisikan katalog barang dan pelayanan
yang diberikan dan para konsumen seperti berjalan-jalan di depan toko-toko serta
melihat barang-barang di dalam etalase/ keuntungan jika melakukan belanja di
toko online adalah kita dapat melihat dan berbelanja kapan saja dan dimana saja
tanpa dibatasi oleh jam buka toko dan kita juga tidak akan rishi dengan pandangan
penjaga toko yang mengawasi kegiatan kita. Dalam website tersebut biasanya
ditampilkan barang-barang yang ditawarkan, harganya, nilai rating atau poll
otomatis tentang barang itu yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi
tentang barang tersebut dan menu produk lain yang berhubungan. Penawaran ini
terbuka bagi semua orang. Semua orang yang tertarik dapat melakukan window
shopping di toko-toko online ini dan jika ada barang yang menarik perhatian maka
dapatlah transaksi dilakukan.
Penawaran dan penerimaan saling terkait untuk menghasilkan suatu
kesepakatan. Dalam menentukan suatu penawaran dan penerimaan dalam
cybersystem ini digantungkan pada keadaan dari cybersystem tersebut.
Penerimaan dapat dinyatakan melalui website, electronic mail (surat elektronik)
atau juga melalui Electronic Data Interchange. Pelaku usaha biasanya bebas
menetukan suatu cara penerimaan. Pelaku usaha melakukan penawaran melalui
website atau news group maka dapat dianggap penawaran tersebut ditujukan
kepada khalayak ramai, dengan demikian maka setiap orang yang berminat dapat
membuat kesepakatan dengan penjual yang menawarkan. Dalam transaksi jual
beli melalui website, biasanya calon konsumen akan memilih barang tertentu yang
ditawarkan oleh pelaku usaha. Jika memang konsumen tertarik maka shopping
cart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang calon konsumen inginkan
sampai calon konsumen yakin akan pilihannya. Setelah yakin dengan pilihannya
maka calon konsumen akan memasuki tahap pembayaran. Dengan menyelesaikan
tahapan transaksi ini maka dengan demikian konsumen telah melakukan
penerimaan, dengan demikian telah terciptalah kontrak online.
Bentuk pembayaran yang digunakan di internet umumnya berdasarkan pada
sistem keuangan nasional, tetapi ada juga beberapa yang bertumpu pada keuangan
local. Klasifikasi mekanisme pembayaran dapat dibagi menjadi lima mekanisme
utama, yaitu :97
1. Transaksi model ATM. Transaksi ini hanya melibatkan institusi finansial dan
pemegang account yang akan melakukan pengambilan uangnya dari account
masing-masing;
2. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, transaksi dilakukan langsung antara
dua pihak tanpa perantara menggunakan uang nasionalnya;
97 Onno W. Purbo & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, PT. Elex Media
Komputindo, h. 92
3. Pembayaran dengan perantara pihak ketiga, umumnya proses pembayaran
yang menyangkut debit, kredit maupun cek masuk dalam kategori ini. Metode
yang digunakan adalah sistem pembayaran kartu kredit online dan sistem
pembayaran check online.
Apabila kedudukan pelaku usaha dengan konsumen berbeda, maka
pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pemgalihan
dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha sebagai penjual. Untuk
pembayaran secara langsung sulit untuk dilakukan karena adanya perbedaan
lokasi antara pelaku usaha dengan konsumen walaupun memungkinkan untuk
dilakukan.
3.3 Eksistensi Disclaimer dalam Situs Internet (website) Relevansinya dengan
Pengaturan Klausula Baku
International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT) dalam
Principles of International Commercial Contracts 1994 atau biasa disebut
UNIDROIT‟94 dalam Pasal 2.19 menjelaskan bahwa klausula baku (standard
terms) adalah “… provisions which are prepared in advance for general and
repeated use by one party and which are actually used without negotiation with
the other party”98
, dijelaskan mengenai klausula baku merupakan aturan yang
telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara umum dan
98 UNIDROIT1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994,
International Institute for the Unification of Private Law Article 2.19, diakses dari :URL :
http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2013.
berulang-ulang oleh salah satu pihak dan yang secara nyata digunakan tanpa
negosiasi dengan pihak lain.
Dalam penjelasan mengenai Pasal 2.19 tersebut, dijelaskan bahwa penentuan
suatu klausula baku bukan berdasarkan bentuk penampilan atau formatnya, juga
bukan berdasarkan pihak mana yang membuatnya, bahkan bukan juga dari isinya,
melainkan pada fakta atau kenyataan bahwa klausula tersebut dibuat secara nyata
tanpa dinegosiasikan dengan pihak lain.99
Dalam pasal 2.20 UNIDROIT‟94
dijelaskan bahwa klausula baku haruslah wajar dalam artian harus memperhatikan
isi, bahasa dan cara penyajiannya. Suatu klausula baku dianggap tidak wajar atau
janggal apabila si dari klausula tersebut sedemikian rupa sehingga orang yang
sewajarnya tidak akan mungkin mengharapkan adanya syarat tersebut. Sebagai
contoh klausula baku tersebut adalah adanya suatu syarat yang membatasi atau
meniadakan tanggung jawab yang sudah sewajarnya merupakan tanggung jawab
dari pihak tertentu akibat kesalahan yang diperbuatnya (liabilities based on
faults).
Ketidakwajaran suatu klausula baku dilihat dari segi bahasa, terutama dalam
bahasa asing adalah apabila bahasa yang dituliskan atau dituangkan dalam kontrak
tidak jelas, tidak sesuai definisi umum atau diterjemahkan secara salah atau tidak
tepat, misalnya dalam perjanjian terdapat klausula ganti rugi tetapi diterjemahkan
sebagai klausula wanprestasi sebagai contoh yang salah : Ganti rugi (events of
99 Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas Beberapa Aspek
Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, Commentaries on the Article 2.19 of the
UNIDROIT‟94, PT.Citra Aditya Bakti, h.189
default) , contoh yang benar : Ganti rugi (liquidated damages).100
Ketidakwajaran
dari segi penyajian adalah apabila penyajian suatu klausula baku dalam bentuk
cetakan huruf yang kecil-kecil dan nyaris tidak terbaca, tersembunyi pada suatu
bagian sehingga tidak dapat disadari bahwa persyaratan tersebut sebenarnya ada
dan atau penyajiannya tidak dapat dimengerti.
Selanjutnya dalam UNIDROIT 1994, pada pasal 7.16 menjelaskan bahwa
klausula eksonerasi (exemption clause) adalah “A clause which limits or excludes
one party‟s liability for non-performance or which permits one party to tender
performance substantially different from what the other party reasonably
expected…” ( suatu klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab
pihak yang satu terhadap tidak terlaksananya suatu kewajiban atau yang
mengizinkan pihak yang satu untuk menawarkan pelaksanaan suatu kewajiban
yang secara substansi berbeda secara akal sehat dari apa yang diharapkan pihak
yang satunya).
Menurut Shidarta antara klausula baku dengan klausula eksonerasi letak
pembedaannya adalah jika dalam klausula baku lebih menekankan kepada
prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan
dalam hal eksonerasi yang dipermasalahkan adalah menyangkut substansinya
yaitu mengalihkan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.101
Terlepas dari
istilah yang dipergunakan oleh pakar hukum, klausula eksonerasi adalah klausula
yang digunakan dengan tujuan yang pada dasarnya untuk membebaskan atau
100 Ibid
101
N.H.T Siahaan, Op.cit. h.114
membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya,
dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan
kewajibannya yang ditentukan dalam suatu perjanjian.
Nik Ramlah Mahmood menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam
hubungannya dengan perlindungan konsumen dalam bukunya Unfair Term in
Malaysian Consumer Contracts – The Need Increased Judicial Creativity
menyatakan :
Clauses in standard form contracts which exempt or limit a
contracting party‟s liability for certain breaches of the expressed or
implied terms of the contracts or for the commission of a tort, operate
extremely harshly against and to the detriment of consumers. Such
clauses are found at the back of tickets of public transport on receipt
and other types of standard form consume contracts.102
Sekiranya dapat diketahui bahwa Klausul dalam bentuk kontrak standar
yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab pihak kontraktor untuk
pelanggaran tertentu dari tersurat maupun tersirat ketentuan dalam kontrak atau
komisi dari perbuatan melawan hukum, beroperasi sangat keras menentang dan
merugikan konsumen. Klausul semacam itu ditemukan di bagian belakang tiket
angkutan umum pada penerimaan dan jenis-jenis kontrak mengkonsumsi
bentuk standar.
Ada tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yang
disebutkan oleh R.H.J Engels103
yaitu sebagai berikut :
102 Taqyuddin Kadir, 2006, Klausula Baku diakses dari : URL : http://taqlawyer.com pada
tanggal 20 Agustus 2013
103 Az.Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya,
Jakarta, h.100
1. Tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, oleh karena kurang
baiknya dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam
perjanjian;
2. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada
pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan
(misalnya, perjanjian keadaan darurat);
3. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh
salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab
yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak
ketiga.
Perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi membebaskan tanggung
jawab seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya
pelaksanaan kewajiban-kewajibanyang diharuskan oleh perundang-undangan,
antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi
tidak dijalankan apabila persyaratan eksonerasi mencantumkan hal tersebut.
Apabila ditelaah secara lebih cermat didalam perjanjian yang mengandung
klausula eksonerasi beban tanggung jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada
beban tanggung jawab pelaku usaha, tersirat bahwa pelaku usaha berusaha supaya
bebas dari tanggung jawab.
Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah syarat
yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap akibat
yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula eksonerasi
dapat berasal dari rumusan pelaku usaha secara sepihak dapat juga berasal dari
rumusan undang-undang.104
Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan dalam
pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap kerugian yang
timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan kesusilaan,
oleh karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula eksonerasi
tersebut.105
Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak dilarang oleh
undang-undang dan tidak bertentangan dengan dengan kesusilaan dan apabila
terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut, konsumen dapat mengajukan
permohonan kepada pengadilan untuk menguji apakah eksonerasi yang ditetapkan
oleh pelaku usaha tersebut adalah layak, tidak dilarang oleh undang-undang dan
tidak bertentangan dengan kesusilaan.
Klausula eksonerasi dapat saja dirumuskan dalam suatu perjanjian karena
terdapat keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian.
Pebuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak
ketiga. Terdapat tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam
syarat-syarat perjanjian106
:
a. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur) ;
Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para
pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen
sehingga dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian jual-
beli, barang objek perjanjiannya musnah karena terbakar. Sebab kebakaran bukan
104 Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, h.20
105 Ibid
106
Ibid, h.21-22
kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga
yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.
b. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua dalam
perjanjian ;
Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi
tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai
melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat
perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen dan pengusaha dibebaskan dari
tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa
barang bawaan yang rusak atau hilang bukan merupakan tanggung jawab
pengangkut.
c. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak ketiga;
Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi
tanggung jawab pelaku usaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian
yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak
ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga
terhadap tuntutan pihak ketiga.
Dalam hal ini mengenai pencantuman disclaimer dalam situs internet
(website) belum diatur secara khusus didalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), apabila ditinjau dari pengertian klausula baku yang telah dijelaskan
dalam pembahasan sebelumnya, maka disclaimer termasuk dalam ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen elektronik yang didalamnya terdapat
unsur pengalihan tanggung jawab (klausula eksonerasi) dari pelaku usaha kepada
konsumen, bersifat mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. UUPK tidak
mengatur mengenai pencantuman klausula baku dalam lingkup transaksi secara
elektronik. Peraturan yang mengatur ruang lingkup Transaksi Elektronik di
Indonesia adalah Undang-undang No. 11 Tahun 2008. Oleh karena itu masih
terdapat kekosongan norma dalam pengaturan disclaimer dalam situs internet
(website).
Berkaitan dengan adanya kekosongan norma harus diisi dengan suatu
pengaturan dalam perundang-undangan. Suatu pembentukan peraturan perundang-
undangan berpedoman dengan Teori tentang Azas-azas Pembentukkan Peraturan
Perundang-undangan dimana menurut Fuller hukum harus dapat merespon setiap
perubahan yang terjadi kehidupan masyarakat. Jadi fenomena kemunculan
disclaimer dalam situs internet (website) harus direspon oleh hukum melalui
pengaturan secara tegas agar dapat melindungi seluruh masyarakat dalam hal ini
sebagai konsumen. Apa yang dikemukakan Fuller juga berkaitan dengan Teori
Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa
pembentukkan suatu perundang-undangan juga sangat dipengaruhi oleh sistem
hukum suatu Negara. Dalam pembentukkan perudnang-undangan haruslah
melihat sistem hukumnya melalui 3 aspek untuk mengkaji pembentukan undang-
undang secara komprehensif yaitu Struktur hukum, subtansi hukum dan budaya
hukum, ketiga hal tersebut harus sinkron karena saling berhubungan. Jika tidak
ada substansi hukum yang merupakan peraturan perundang-unangan maka tidak
ada pedoman yang akan digunakan bagi lembaga pemerintahan yang termasuk
dalam struktur hukum untuk menindaklanjuti permasalahan yang timbul di dalam
kehidupan masyarakat yang dimana masyarakat merupakan perwujudan dari suatu
budaya hukum.
Bedasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Membahas mengenai transaksi elektronik tidak terlepas juga dari konsep
perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat didalam Pasal 1313 KUHPerdata
yang menegaskan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III
KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka dalam artian ketentuan-ketentuannya
dapat dikesampingkan dan hanya berfungsi mengatur saja. Keterbukaan sifat dari
KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang
mengandung asas kebebasan berkontrak yang artinya setiap orang bebas
menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum,
serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa syarat sahnya perjanjian
dengan adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian, yang berarti adanya
persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam
melakukan perjanjian tidak boleh ada paksaan, kehilapan dan penipuan,
kecakapan para pihak dalam perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal.
Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini juga menganut
asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak menyatakan bahwa setiap
orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau perjanjian yang berisi dan
macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan
ketertiban umum. 107
Selanjutanya kebebasan berkontrak juga memberikan
kebebasan untuk menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian asalkan
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan108
, dapat disimpulkan
dari Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang
oleh undang-undang. Hal ini juga yang menjadi dasar pemikiran mengapa pemilik
situs di internet mencantumkan substansi daripada suatu disclaimer dengan bebas
sesuai dengan kehendaknya, namun yang menjadi permasalahan adalah mengenai
kesepakatan kedua belah pihak karena isi dari disclaimer tidak dinegosiasikan
terlebih dahulu dengan masing-masing konsumen. Dengan konsumen setuju untuk
berbelanja dan memanfaatkan isi suatu website itu juga berarti konsumen telah
setuju dengan seluruh syarat yang telah pemilik situs cantumkan dalam
disclaimer, sedangkan letak dari disclaimer pun terkadang tidak terbaca dan tidak
disadari konsumen oleh karena letaknya dibawah homepage website. Sesuai
dengan Pasal 19 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang
menyebutkan bahwa :
107 Ridwan Syahrani, 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,
h.212
108 Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di bidang
kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.31
“Para Pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan
Sistem Elektronik yang disepakati”.
Suatu Perjanjian baku yang dibuat pelaku usaha online dibuat secara sepihak
dan bersifat menguntungkan pelaku usaha terutama dalam hal : efisiensi biaya dan
waktu, praktis, penyelesaiannya cepat karena konsumen hanya tinggal menyetujui
dan pembebasan tanggung jawab. Berdasarkan beberapa ciri tersebut , maka
perjanjian baku tersebut termasuk Perjanjian Baku Sepihak. Jika dikaitkan dengan
teori dalam KUHPerdata ,perjanjian seperti ini termasuk dalam jenis perjanjian
Innominaat (Diluar KUHPerdata). KUHPerdata tidak mengatur mengenai
perjanjian baku secara khusus, KUHPerdata hanya mengatur mengenai perjanjian
atau perikatan secara umum. Apabila hendak meninjau perjanjian baku dalam
website berdasarkan KUHPerdata maka perjanjian tersebut harus memenuhi asas
kebebasan berkontrak, konsensualisme dan keseimbangan demi sahnya perjanjian
online tersebut.
Dalam melihat suatu perjanjian baku apakah melanggar kebebasan berkontrak
atau tidak maka dapat dilihat melalui 2 paham yaitu : pertama, secara mutlak
memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab kedudukan
pelaku usaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai pembentuk undang-
undang swasta. Syarat yang diberikan oleh pelaku usaha di dalam perjanjian
tersebut menjadi undang-undang bukan perjanjian. Kedua, mengemukakan paham
bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi bahwa
adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para
pihak mengikatkan diri pada perjanjian tersebut. Dengan konsumen menerima
penawaran berarti konsumen secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Konsumen telah sepakat secara diam-diam/ takluk terhadap pelaku usaha dengan
catatan takluknya ia dikarenakan itikad baik dari pelaku ushaa demi terciptanya
efisiensi dalam hubungan pelaku usaha dan konsumen.
Sifat unilateral/sepihak dalam perjanjian baku membawa pada kenyataan
bahwa perjanjian ini belum dapat dianggap sebagai suatu kesepakatan yang
melahirkan perjanjian bagi yang membuatnya. Perjanjian baku dapat dikatakan
sebagai persetujuan (consent)109
dan bukan kesepakatan bilateral (bilateral
agreement) yang melahirkan perjanjian sebagai hukum yang mengikat kedua
belah pihak. Oleh karena sifat perjanjian ini telah melumpuhkan unsur penting
dalam membuat suatu perjanjian yaitu kesepakatan (konsensus). Dapatlah
dikatakan bahwa perjanjian baku termasuk dalam kategori persetujuan sukarela
dari pihak yang mengadakannya.
Perjanjian baku pada transaksi elektronik membawa akibat hukum terhadap
dua hal : Pertama, sifat perjanjian baku tersebut menempatkan pelaku usaha dala
posisi yang monopolis, sehingga konsumen tidak memiliki alternative lain kecuali
harus menerima dan tunduk pada substansi perjanjian. Kedua, pelaku usaha
mengambil keuntungan dari kondisi ini dengan cara mengalihkan seluruh resiko
yang timbul dari perjanjian kepada konsumen.
109 Imam Sjahputra, 2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, PT.Alumni,
Bandung, h.127
Berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website)
belum secara jelas diaur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,
oleh karena itu memerlukan penafsiran. Setiap peraturan hukum itu bersifat
abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak
akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa
hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat
diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode
untuk melakukan suatu penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai
Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada
peristiwanya. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam suatu perjanjian cukup jelas
kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan
menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair” tercantum
dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas
maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BERKAITAN
DENGAN DICANTUMKANNYA DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA
4.1 Pelanggaran terhadap Hak Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman
Disclaimer dalam Situs Internet (website)
Pada era globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya dunia internet semakin pesat. Banyak kegiatan-kegiatan bisnis yang
berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang bermunculan. Kemajuan
teknologi sering kali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung
jawab. Adanya interaksi atau hubungan satu sama lain diantara pihak-pihak yang
terlibat didalam banyaknya kepentingan bisnis berkaitan dengan dunia internet
tentu saja dimungkinkan terjadi permasalahan. Permasalahan terjadi apabila telah
merugikan kepentingan pihak lain sedangkan dalam posisi tersebut para pihak
membutuhkan rasa aman dalam melaksanakan kepentingannya agar dapat
melaksanakan segala kegiatan dengan tenang. Dalam menyongsong perdagangan
bebas permasalahan menyangkut perlindungan konsumen saat ini terjadi demikian
kompleksnya.110
Permasalahan yang terjadi didalam kegiatan bisnis di situs internet adalah
berkaitan dengan pelanggaran hak konsumen oleh karena kesadaran pihak pelaku
usaha untuk bertanggung jawab atas barang atau jasa yang diberikan kepada
konsumen masih kurang dan konsumen masih segan untuk memperjuangkan hak-
110 Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h. 33
haknya. Ketidakberdayaan ini makin jelas dengan munculnya format perjanjian
yang dibakukan. Dalam suatu perjanjian selalu ada kebebasan berkontrak bagi
para pihak yang terlibat, dengan adanya perjanjian baku nampaknya asas
kebebasan berkontrak telah digerogoti. Konsumen hanya tinggal menerima atau
menolak (take it or leave it) atas perjanjian yang ditawarkan pelaku usaha. Secara
garis besar, dapat ditemukan beberapa permasalahan yang timbul berkenaan
dengan hak-hak konsumen, antara lain :
1. konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat atau menyentuh
barang yang akan dipesan;
2. ketidakjelasan informasi tentang produk (barang dan jasa) yang ditawarkan
dan/atau tidak ada kepastian apakah konsumentelah memperoleh berbagai
informasi yang laya diketahui atau yang sepatutnya dibutuhkan untuk
mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi;
3. tidak jelasnya status subyek hukum dari si pelaku usaha;
4. tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan
terhadap resiko-resiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan,
khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan credit card
ataupun electronic cash;
5. pembebanan resiko yang tidak berimbang karena umumnya terhadap jual beli
di Internet, pembayaran telah lunas dilakukan dimuka oleh si konsumen,
sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudan karena
jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan
barang;
6. transaksi bersifat lintas batas Negara borderless menimbulkan pertanyaan
mengenai yursdiksi hukum Negara mana yang sepatutnya diberlakukan;
7. Kerugian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang memang secara
tidak bertanggung jawab merugikan konsumen;
8. Kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang
dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga konsumen disesatkan dan kemudian
dirugikan.
Pelaku Usaha merasa secara social, ekonomis, psikologis dan politis berada
diatas konsumen, walaupun konsumen mencari pelaku usaha lain tetap saja akan
menghadapi kondisi yang sama dan berhadapan dengan perjanjian yang
dibakukan. Pencantuman disclaimer di situs internet merupakan salah satu bagian
dari format klausula baku yang dicantumkan pelaku usaha. Salah satu karakter
klausula baku yang dicantumkan di situs internet dalam bentuk disclaimer
mengandung syarat eksonerasi yang mengalihkan tanggung jawab. Untuk
mengatakan suatu disclaimer sebagai suatu perjanjian standar yang berklausula
baku, terhadap disclaimer tersebut harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat
dalam pengertian klausula baku yang dipenuhi oleh disclaimer :
1. Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat.
Dikatakan disclaimer memenuhi unsur ini karena disclaimer sendiri
merupakan aturan atau ketentuan dan syarat yang diajukan oleh pemilik situs
internet yang bersangkutan kepada pengguna akhir atau konsumen. Didalam isi
disclaimer itu sendiri kebanyakan terdapat aturan, ketentuan dan syarat yang harus
diperhatikan oleh pengguna, seperti suatu Term and Conditons (ketentuan dan
syarat).
2. Dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku
usaha.
Ciri bahwa disclaimer telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha dapat dilihat dalam bentuk atau format dan
isinya serta tampilan dalam layar yang tidak dapat diubah, dinegosiasikan dan
sudah tercetak.
3. Dituangkan dalam suatu dokumen.
Disclaimer ditampilkan secara digital (digital printed) dalam layar, yang
merupakan suatu sistem elektronik yang didalamnya terdapat informasi
elektronik. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Sistem Elektronik adalah serangkaian
perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
Sedangkan yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,
gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau
dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminta (Pasal 1 angka 1 Undang-
undang No.11 Tahun 2008). Dalam hubungannya dengan dokumen digital ini,
merujuk pada pengertian dokumen (elektronik) menurut UU No.11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Elektronik dalam Pasal 1 angka 4, yaitu :
Dokumen Elektronik adalah setiap informasi Elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam
bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya,
yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
Dengan demikian disclaimer merupakan suatu dokumen elektronik seperti yang
dimaksudkan pada pengertian di atas.
4. Pernyataan klausula eksonerasi dalam disclaimer.
Banyak ditemukan pelaku usaha yang menjual produknya melalui situs
internet membatasi dengan ketat atau melepaskan tanggung jawab mereka.
Konsumen yang masih awam yang membeli suatu produk dari pelaku usaha yang
benar-benar memiliki monopoli dalam harga produk mempunyai sedikit pilihan
kecuali menerima dan meyetujui syarat-syarat yang dibebankan kepadanya.
Bentuk kerugian konsumen yang kerap muncul akibat dari klausula
eksonerasi dalam transaksi elektronik antara lain (a) karena barang atau jasa yang
sudah dibeli tidak sampai ke tangan konsumen, (b) barang atau jasa yang sudah
dibeli ternyata tidak sesuai dengan promosi yang diberikan kepada konsumen, (c)
keterlambatan waktu pengiriman barang atau jasa yang sudah dibeli oleh
konsumen.
Dalam hal adanya pernyataan klausula eksonerasi yang tercantum dalam
disclaimer suatu website, dapat dilihat dalam pernyataan berikut ini :
1. Disclaimer dalam online shop Okley indonesia : Semua produk-produk
yang dijual adalah final. TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN ATAU
DITUKAR DENGAN UANG.
2. Disclaimer pada online shop : Nakimori menganggap anda telah mengerti,
memahami serta menyetujui segala sistem BARANG YANG SUDAH
DIBELI TIDAK DAPAT DITUKAR/DIKEMBALIKAN.
3. Disclaimer pada online shop software house : Software yang sudah dibeli
TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM BENTUK APAPUN.
4. Disclaimer pada online shop ponsel : Dengan memesan barang dari kami,
anda dianggap sudah membaca dan/atau menyetujui syarat-syarat ini
BARANG YANG TELAH DIBELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN
ATAU DITUKAR DENGAN BARANG LAIN.
5. Disclaimer pada situs berita online : menyebutkan disclaimer sebagai
pasal sanggahan yang bunyinya TIDAK BERTANGUNG JAWAB atas
segala kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi atau
segala kerugian yang timbul karena tindakan yang berkaitan dengan
data/informasi yang disajikan.
6. Disclaimer pada Korean Online Shop yang dibuat oleh orang Indonesia,
menyebutkan BARANG TIDAK DAPAT DI RETUR DENGAN
ALASAN APAPUN DAN PEMBELI YANG MEMBATALKAN
PESANANNYA AKAN DIMASUKKAN DALAM DAFTAR HITAM
KONSUMEN/BLACKLIST.
Dari beberapa pernyataan klausula eksonerasi diatas dapat disimpulkan
bentuk klausula eksonerasi yang biasanya dicantumkan dalam suatu disclaimer
dalam website adalah sebagai berikut :
1. Menyatakan pengalihan dan atau mengindarkan diri dari tanggung jawab,
bahwa pihak pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui website
tidak bertanggung jawab atas kegagalan, kerusakan, kecacatan produk dan
kerugian yang diderita oleh konsumen selama memanfaatkan produk /
informasi tersebut. Sekalipun sebelumnya telah diberi tahu mengenai
adanya kemungkinan adanya kerugian tersebut dan juga apabila solusi
yang disediakan gagal memenuhi tujuan utamanya. Bahkan mengalihkan
tanggung jawab dengan menyatakan bahwa konsumen mengambil seluruh
tanggung jawab dan resiko atas pilihannya menggunakan produk /
memperoleh informasi yang bersangkutan. Hampir semua disclaimer
memuat klausula seperti ini. Setiap penyelenggara sistem elektronik
seharusnya menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman
serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik
sebagaimana mestinya dan penyelenggara sistem elektronik bertanggung
jawab terhadap penyelenggara sistem elektroniknya, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-undang No.11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli oleh konsumen. Pada dasarnya dalam hal membeli produk
seperti software dan handphone konsumen juga telah membeli
keseluruhan perangkat yang disertakan termasuk jaminan dan layanan
(support) tetapi seringkali ditemukan pada pelaku usaha online menolak
penyerahan kembali oleh konsumen untuk memperoleh jaminan dan
layanan. Begitupula dengan produk yang dijual secara online lainnya
seperti misalnya produk sandang dan pangan, sebagian besar pelaku usaha
ditemukan mencantumkan klausula eksonerasi yang menyatakan produk
yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan.
Demikian pernyataan-pernyataan yang menunjukkan bahwa disclaimer
tersebut mengandung suatu klausula-klausula yang bersifat eksonerasi.
Keberadaan disclaimer juga dilihat lebih menguntungkan pihak pemilik situs
online shop selaku pelaku usaha, seperti contoh disclaimer korean online shop ,
Dimasukkannya seorang konsumen ke dalam daftar hitam artinya bahwa jika
konsumen ingin memesan barang lagi suatu hari nanti maka konsumen tersebut
tidak akan dilayani dan ditanggapi, hal tersebut tentu saja bertentangan juga
dengan Pasal 4 UUPK butir (c) yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan butir (g) yaitu hak
diperlakukan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan butir (h) yaitu
hak untuk medapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Berkaitan juga dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (2) Undang-undang
Perlindungan Konsumen, yang menyatakan “Pelaku Usaha dilarang
mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”. Dalam
disclaimer di situs internet terdapat beberapa masalah mengenai hal ini. Pertama,
mengenai letak daripada suatu disclaimer biasanya terletak pada bagian yang sulit
terlihat yaitu dibagian bawah situs yang dituliskan dengan ukuran font hurufnya
sedemikian kecil, jauh dibawah besar huruf yang normal digunakan surat kabar
atau buku-buku bacaan, sepert contoh dibawah ini :
Gambar 6.tampilan disclaimer website Indonesia pada bagian paling bawah homepage
Gambar 7. tampilan disclaimer website singapura ( diatas homepage)
Oleh karena letak disclaimer sesuai yang terlihat dalam contoh gambar
website Indonesia seperti pada gambar diatas tentu saja akan sangat mudah untuk
mengecoh konsumen, tidak semua konsumen tanggap atas keberadaan disclaimer
tersebut padahal sebenarnya disclaimer tersebut patut diketahui oleh konsumen
terlebih dahulu sebelum konsumen membaca isi website dan juga sebelum
konsumen melakukan transaksi pembelian produk jika website itu adalah sebuat
penyedia layanan online shop. Namun demikian, seandainya huruf-hurufnya
sedemikian tebal dan terang tercetak (seperti dalam contoh gambar disclaimer
website singapura), hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen
(pengguna akhir) tidak dalam posisi seimbang antara hak-hak dan kewajibannya
dengan pelaku usaha. Kondisi take it or leave it adalah karakteristik nyata sejak
konsumen memutuskan untuk memanfaatkan transaksi melalui internet.
Selain letak atau bentuknya yang sulit terlihat, masalah yang kedua yang
bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPK adalah mengenai
pengungkapannya dari disclaimer yang menggunakan bahasa asing (bahasa
inggris), tentunya jika konsumen internet yang tidak mengerti maksud dari isi
disclaimer yang bersangkutan, akibatnya konsumen tidak akan mengetahui apa
yang menjadi hak dan kewajibannya serta pembatasan-pembatasan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan dalam memanfaatkan produk yang mereka beli dari
pelaku usaha yang memasarkan produknya di dunia maya. Sebagian disclaimer
juga ada menggunakan bahasa Indonesia, tetapi hal tersebut pun tidak menjamin
bahwa konsumen akan mengerti isi dari pada disclaimer tersebut karena
kebanyakan susunan kata-kata yang digunakan sulit untuk dimengerti.
4.2 Tanggung jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Berkaitan dengan
Pencantuman Disclaimer Menurut Perspektif Hukum Indonesia
Di dalam hukum perlindungan konsumen konsep tanggung jawab merupakan
bagian dari konsep kewajiban hukum yang sangat penting. Dari beberapa sumber
hukum formal, seperti peraturan perundang-undangan dan klausula eksonerasi
dalam situs internet sering memberikan pembatasan-pembatasan tanggung jawab
yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.
Dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
mengenai tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 yang bunyinya :
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atau
kerusakan pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan;
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 ( tujuh )
hari setelah tanggal transaksi;
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasatkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan;
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan
tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan
pelaku usaha selaku penyelenggara transaksi elektronik adalah :111
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability / liability
based on fault)
Prinsip ini diterapkan dalam beberapa ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu pada pasal 1365, 1366, 1367 KUH
Perdata. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang
yang berada dibawah pengawasannya. Asas tanggung jawab ini dapat diterima
karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi
pihak konsumen yang dalam hal ini menjadi korban.
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability
principle)
111 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung
Jawab Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 71-80.
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
sampai konsumen dapat membuktikan dirinya tidak bersalah. Jadi, beban
pembuktian ada pada si tergugat. Terlihat adanya penerimaan atas beban
pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) yang jika diterapkan dalam kasus
konsumen akan tampak bahwa asas ini sangan membantu konsumen pada saat
berhadapan dengan pelaku usaha dalam sengketa hukum.112
Prinsip ini
merupakan asas pembuktian terbalik yang sangat membantu dalam kasus
konsumen dimana pembuktian ada pada pelaku usaha. Dalam ketentuan pasal 19,
22, 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan) merupakan
tanggung jawab pelaku usaha.
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non-
liability)
Prinsip ini adalah kebalikan daripada prinsip kedua. Prinsip praduga untuk
tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen
yang sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense
dapat dibenarkan.113
Misalnya pada kejadian pelaku usaha yang memiliki usaha
pabrik didekat wilayah sungai, kemudian pihak tertentu yang tinggal disekitar
wilayah sungai tersenut mengalami sakit karena mengkonsumsi air sungai untuk
kebutuhan sehari-harinya. Hal ini belum tentu menjadi kesalahan pelaku usaha
112 Edmon Makarim, Op.cit. h.370-371
113
Ibid
pemilik pabrik bisa saja pihak warga tidak menerapkan hidup sehat dengan
mengkonsumsi air sungai tanpa memasaknya dengan baik terlebih dahulu
sehingga airnya tidak higienis dan mengandung kuman penyakit.
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
Strict liability dapat diberikan dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami
konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.114
Prinsip tanggung
jawab produk lebih kepada tanggung jawab produsen (pabrik atau manufactures)
dan pemasok-pemasok (supplier) secara bersama-sama atau kelompok terhadap
kerugian yang ditimbulkan oleh barang yang cacat (defective products) atas
kerugian yang diderita konsumen. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha
harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya. Prinsip tanggung jawab
ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar prilaku berbahaya
yang merugikan (harmful conduct), tanpa mempersoalkan ada tidaknya
kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence). Jadi kesalahan bukan sebagai
faktor yang menentukan, namun adanya pengecualian-pengecualian yang
memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya adanya force
majeure. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum mengatur
prinsip strict liability. Pada pasal 28, pembuktian ada atau tidaknya unsur
kesalahan merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha. Jadi dapat dikatakan
bahwa pembuktian terbalik terbatas pada unsur kesalahan, sedangkan
114 Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan, PT.Citra Aditya Bakti Bandung, h.179
pertanggungjawaban hukum (pertanggungjawaban perdata) mencakup termasuk
unsur hubungan sebab akibat (causal link), sehingga perlu dibuktikan kerugian
yang ditanggung konsumen karena diakibatkan oleh barang atau jasa yang
dihasilkan pelaku usaha disamping unsur kesalahan tersebut.
5. Prinsip tanggung jawab dengan batasan (limitation of liability)
Prinsip yang sangat menguntungkan pelaku usaha karena para pelaku usaha
dapat dengan bebas untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya
ditanggung. Dalam perjanjian baku, klausula ini disebut klausula eksonerasi.
Namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen prinsip ini dilarang pada
pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk
mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang mengatur pernyataan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha maupun agar konsumen tunduk pada
peraturan baru, tambahan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh
pelaku usaha.
6. Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty)
Prinsip ini menerapkan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha adalah
mutlak (strict obligation), kewajiban didasarkan pada upaya yang telah dilakukan
pelaku usaha untuk memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan kontrak
(contractual liability). Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of
contract) antara pelaku usaha dengan konsumen mengenai barang dan/atau jasa,
tanggung jawab pelaku usaha di sini didasarkan pada Contractual Liability
(pertanggungjawaban kontraktual).
Dari perkembangan tanggung jawab produk dibeberapa negara, tanggung
jawab produk merupakan lembaga hukum yang menggunakan konstruksi hukum
perbuatan melawan hukum (tort) dengan beberapa modifikasi115
, yaitu sebagai
berikut :
a) Pelaku usaha langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product
liability sehingga dianutlah prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur
kesalahan.
b) Karena pelaku usaha dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus
bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada
pihak konsumen yang menderita kerugian (strict liability).
c) Karena pelaku usaha sudah dianggap bersalah, konsumen yang menjadi
korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha.
Berbeda dengan konstruksi dalam tort yang mengharuskan pihak
konsumen untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha (unsur pembuktian
terbalik).
Meskipun dalam bentuk tanggung jawab dapat bersifat kontraktual
(perjanjian) ataupun berdasarkan undang-undang (gugatannya berdasarkan
perbuatan melawan hukum), namun demikian dalam tanggung jawab produk,
penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liability). Jadi, pihak konsumen
masih harus membuktikan ketiga unsur lainnya, yaitu adanya perbuatan melawan
hukum, telah timbul kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan
hukum dengan kerugian yang timbul.
115 Johanes Gunawan, 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia
Tahun XXI Nomor 2, April 1994, h. 212.
Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) para pihak yang menyelenggarakan transaksi elektronik
dalam lingkup publik atau pun privat yang melakukan transaksi elektronik wajib
beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi
Elektronik dan/atau dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung (Pasal 17
UU ITE). Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik baik sendiri, melalui pihak yang dikuasakan
olehnya atau melalui agen elektronik diatur dalam Pasal 21 ayat 2 huruf a,b,c UU
ITE yang bunyinya sebagai berikut :
a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan
Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang
bertransaksi;
b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum
dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
pemberi kuasa; atau
c. Jika dilakukan melalui agen elektronik, segala akibat hukum dalam
pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab
penyelenggara agen elektronik.
Dalam penerapan prinsip tanggung jawab pelaku usaha harus sangat selektif
sehingga tidak merugikan stakeholders terkait, karena dalam hal tanggung jawab
pelaku usaha ini berkaitan erat dengan stakeholder theory . Perusahaan tidak
hanya sekedar bertanggungjawab terhadap pemilik (shareholder) namun menjadi
lebih luas ke ranah kemasyarakatan (stakeholder). Stakeholder theory yang
menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk
kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya
(shareholders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan
pihak lain).
Keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang
diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Kelangsungan hidup
suatu perusahaan bergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut
harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan
tersebut. Makin banyak dan kuat stakeholder, makin besar usaha perusahaan
tersebut untuk beradaptasi. Tanggung jawab sosial perusahaan yang berdasarkam
stakeholder theory berkaitan langsung dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi
yang semakin sejahtera, adil dan merata. Di dalam pelaksanaan kegiatan bisnis di
internet secara online tentu saja konsumen sebagai stakeholder harus diperhatikan
oleh pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui situs internet (website).
Hal ini diperlukan agar kegiatan bisnis elektronik dapat dibangun berdasarkan
konsep kebermanfaatan yang saling menguntungkan dan adil.
4.3 Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Pencantuman
Disclaimer dalam Situs Internet (website) oleh Pelaku Usaha
Suatu stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis akan tercipta jika
suatu keadilan terwujud. Dalam hal ini berkaitan dengan teori keadilan, dimana
keadilan merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia di dunia dan
menjadi salah satu topik penting dalam etika bisnis. Keadilan merupakan
lawannya kebohongan dan kecurangan. Segala sesuatu perbuatan yang tidak baik
dan tidak jujur sangat berseberangan dengan keadilan.
Berdasarkan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Tidak lengkap jika suatu
keadilan tidak diikuti dengan adanya hukum. Menurut teori keadilan yang
dikemukakan Adam Smith salah satunya terdapat prinsip No Harm yang
merupakan prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak
dan kepentingan orang lain. Dalam bisnis, tidak boleh ada pihak yg dirugikan hak
dan kepentingannya, baik sebagai konsumen, pelaku usaha, karyawan, investor,
maupun masyarakat luas.
Hal tersebut berarti bahwa semua orang harus dilindungi dan tunduk pada
hukum yang ada. Seluruh masyarakat dijamin untuk memperoleh perlakukan yang
sama, sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum sebagai kaedah yang berfungsi
untuk melindungi hak-hak yang dimiliki masyarakat termasuk hak kebendaannya.
Untuk melindungi hak-hak masyarakat tentu saja dibutuhkan suatu upaya melalui
perlindungan hukum.
Apabila dilihat dari aspek ekonomi perusahaan, selama ini sebagian besar
perusahaan masih menganut doktrin ekonomi klasik yaitu “maximization profit” ,
sebagaimana dinyatakan oleh Adam Smith yang menegaskan bahwa “tujuan
utama dari perusahaan adalah menekan biaya serendah mungkin dan
meningkatkan efisiensi setinggi mungkin demi memaksimalkan laba”. Di era
global dan pasar bebas , doktrin tersebut sudah usang, sehingga dibutuhkan
paradigm baru dalam berusaha yaitu bagaimana perusahaan mampu menciptakan
“positive image” terhadap stakeholders-nya. Salah satu cara adalah dengan
menerapkan prinsip-prinsip CSR (Coorporate Social Responsibility/ tanggung
jawab sosial) dalam aktivitas dunia usaha sebagai bagian dari penerapan prinsip
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, selanjutnya
disingkat GCG).
Terdapat empat prinsip dasar dari GCG yaitu fairness, transparency,
accountability dan responsibility. CSR sendiri merupakan penerapan dari prinsip
pertanggungjawaban (responsibility). Keempat prinsip GCG tersebut dijabarkan
oleh Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI)116
sebagai berikut :
1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan
informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan;
2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan
pertanggungjawaban Manajemen perusahaan sehingga pengelolaan
Perusahaan terlaksana secara efektif ;
3. Responsibilitas (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan
perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi
hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam situs internet
(website) dapat disesuaikan dengan keempat prinsip GCG tersebut, yang
terpenting berkaitan dengan pencantuman disclaimer website adalah prinsip
kewajaran (fairness). Berdasarkan prinsip kewajaran tersebut harus dilindungi dan
dipenuhi. Oleh karena itu pencantuman syarat-syarat baku yang sepihak dalam
116 Busyra Azheri, Op.cit, h.12
bentuk disclaimer harus disesuaikan dengan hak-hak konsumen sebagai
stakeholder dari pelaku usaha yang menjalankan usahanya dengan media situs
internet (website) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar
tercipta keadilan dan keseimbangan bagi masing-masing pihak (konsumen dan
pelaku usaha). Perlindungan tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis tetapi
juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda yang
dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajiban.117
Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum bagi konsumen internet
tersebut, menurut Philipus M.Hadjon118
bahwa dapat diuraikan menurut jenis
perlindungan hukum ada 2 bentuk yaitu :
1. Perlindungan Hukum Preventif
Perlindungan hukum secara preventif diberikan oleh pemerintah yang
bertujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat di
dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha dan dapat memberikan aturan-aturan sebagai
batasan kepada pelaku usaha dalam melakukan kewajibannya. Permasalahan
pencantuman disclaimer yang isinya sebagian besar membebaskan pelaku usaha
internet dari tanggung jawab yang termasuk dalam klausula eksonerasi tentu saja
semakin memperlemah posisi konsumen. Disini nampak jelas terdapat
ketimpangan posisi konsumen dengan pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya
117 Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Eksekutif,
Universitas Indonesia, Jakarta, h.97
118 Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Percetakan M2
Print, Edisi Khusus, Surabaya, h.2
di internet. Perlindungan preventif dalam hal pencantuman disclaimer ini
berfungsi untuk mencegah agar konsumen berada dipihak yang lemah dan tidak
semata-mata dirugikan. Bentuk perlindungan hukum secara preventif bagi
konsumen internet dapat sebaiknya diwujudkan dengan pengaturan mengenai
kriteria-kriteria isi dari disclaimer yang berbentuk perjanjian baku dalam suatu
situs internet agar konsumen sebagai pengguna internet dapat terlindungi dan
juga mengenai letak pencantuman disclaimer juga perlu diperhitungkan dengan
menampilkan di halaman utama dari website sehingga disadari keberadaan
daripada disclaimer tersebut oleh konsumen sebelum memutuskan utuk membaca
substansi situs dan melakukan transaksi barang dan/atau jasa.
Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
elektronik diatur dalam BAB III mengenai Informasi, dokumen dan tanda terima
elektronik yaitu dalam mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha dalam
menawarkan produknya melalui sistem elektronik (dalam hal ini internet) harus
menyediakan secara lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen
dan produk yang ditawarkan (Pasal 9 UU ITE). Selanjutnya, setiap pelaku usaha
yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 UU ITE).
Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
(PP PSTE). Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) adalah lembaga independen
yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh
Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat
Keandalan dalam Transaksi Elektronik (Pasal 1 angka 24 PP PSTE). Di Indonesia
secara formal belum ada satupun LSK yang diakui dan disahkan oleh pemerintah.
Beberapa contoh LSK asing yang telah ada secara resmi adalah GeoTrust, Hacker
Safe, Trust Guard, VerySign, McAfee Secure dan Trustweb. Tentu saja jika LSK
ini terwujud dan sistem transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace) tetap
diawasi dengan jujur, maka konsumen akan merasa lebih tenang untuk
memanfaatkan dunia internet untuk bertransaksi dan mencari informasi.
Selanjutnya dalam Bab VII UU ITE juga diatur mengenai perbuatan yang dilarang
berkaitan dengan larangan daripada muatan yang ada didalam suatu situs internet
yaitu berkaitan dengan aktivitas informasi dan transaksi elektronik di media
internet antara lain setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
Transaksi Elektronik (Pasal 28 UU ITE).
Dalam lingkup ruang dunia maya (cyberspace), negara-negara yang
tergabung dalam ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan
Indonesia telah memiliki formulasi kebijakan tersendiri yang mengatur transaksi
melalui media elektronik. Diantara negara-negara tersebut, Singapura sebagai
Negara maju di Asia Tenggara memiliki visi untuk menjadi Pusat E-commerce
Internasional ( International Electronic Commerce Hub ), yaitu negara dimana
seluruh transaksi perdagangan elektronik regional maupun internasional diproses.
The Electronic Transaction Act 1998 merupakan Undang-undang khusus di
singapura yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Singapura memiliki
perangkat regulasi mengenai kegiatan transaksi elektronik yang lengkap dan
memadai. Sementara itu, dengan bekal 237 juta penduduknya, Indonesia menjadi
negara Asia Tenggara yang diproyeksi memiliki prospek menjanjikan dalam
bidang perdagangan melalui internet. Salah satu indikatornya ialah melalui
belanja di internet yang pertumbuhannya mencapai 200% dari tahun ke tahunnya.
Tetapi sangat disayangkan aturan mengenai transaksi elektronik di Indonesia
belum selengkap dan sememadai Singapura.
Sebagai perbandingan dengan Negara tetangga, pada tahun 1999 di Singapura
didirikan sebuah organisasi nonprofit oleh CommerceNet Singapore yang dikenal
sebagai CASE (Consumers Association of Singapore). CASE memiliki tujuan
untuk memberikan informasi, edukasi perlindungan bagi konsumen dan juga
memberikan nasihat jika konsumen mengalami permasalahan dan membantu
konsumen untuk melakukan klaim kepada pelaku usaha secara online. Di
Singapura juga dikenal adanya Case Trust119
yang merupakan sistem untuk
melindungi konsumen dalam transaksi perdagangan dengan tatap muka dan
konsumen dalam transaksi melalui website. Selain alat-alat teknologi yang
dikembangkan untuk menciptakan keamanan dalam bertransaksi diperlukan pula
pembentukkan lembaga dan mekanisme hukum untuk mendukung perkembangan
transaksi melalui internet. Case Trust juga bertujuan untuk meyakinkan konsumen
bahwa pelaku usaha akan mematuhi peraturan yang dikeluarkan oleh organisasi
perdagangan tersebut dan memberikan hak kepada pelaku usaha untuk
menggunakan cap yang di singapura dikenal sebagai „trustmark”. Untuk
perdagangan dengan tatap muka akan dikeluarkan “physical certification”
119 Assafa Endeshaw, 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia Pasifik,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.50
sedangkan untuk perdagangan melalui internet akan dikeluarkan “web
certification”.
Case Trust menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
pelaku usaha yang memasarkan produknya secara elektronik. Pelaku usaha online
harus mencantumkan sistem pemesanan online kepada konsumen. Dalam sistem
tersebut harus pula mancantumkan informasi yang terperinci tentang produk yang
dipasarkan. Cara ini ditempuh agar konsumen dapat melakukan transaksi secara
efisien tanpa mengalami kesulitan.Untuk pelaku usaha online Case Trust
menerbitkan satu jenis akreditasi yang disebut Case Trust Basic. Agar dapat
memperoleh akreditasi tersebut pelaku usaha pemohon harus lolos uji penilaian
(pass assessment) yang dilakukan oleh Case Trust.120
Jika pelaku usaha online
berhasil lolos dari tahap uji penilaian tersebut , maka berhak memperoleh stempel
atau logo TrustSg sebagai tanda keandalan sehingga konsumen dapat yakin bahwa
konsumen berbelanja ditempat yang benar. Jangka waktu keanggotaan akredtasi
adalah 4 (empat) tahun, tetapi harus diperbarui setiap tahunnya.
Di Indonesia, seleksi terhadap pelaku usaha online sangat penting dilakukan
untuk transaksi melalui internet agar hak-hak konsumen dilindungi khususnya
untuk menghindari adanya pelaku usaha online yang palsu, fiktif dan juga agar
lebih menjamin agar barang yang dikirim ke konsumen sesuai dengan spesifikasi
yang ditawarkan melalui internet. Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur bahwa pemerintah atau
120 CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information & Application Kit-
Webfront, CaseTrust Departement, diakses dari URL : http://www.case.org.sg, pada tanggal 29
November 2013, h.9-10
masyarakat dapat membentuk lembaga sertifikasi keandalan yang berfungsi
memberikan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk yang ditawarkannya
secara elektronik (Pasal 10 ayat 1). Sertifikasi keandalan tersebut dapat sebagai
bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak
melakukan usahanya setelah melalui penilaian dan audit dari suatu badan yang
berwenang. Telah dilakukannya sertifikasi keandalan atas sebuah website tersebut
ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada home page
pelaku usaha tersebut.
2. Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang bertujuan
untuk menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat
akibat perbedaan kepentingan. Bentuk perlindungan hukum represif untuk para
pihak, baik pemilik situs sebagai pelaku usaha maupun konsumen. Pola
penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur Pengadilan
(Litigasi) dan melalui jalur penyelesaian sengketa di luar Pengadilan / Alternatif
penyelesaian sengketa (non litigasi).
1. Melalui jalur Litigasi
a. Berdasarkan Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE)
Sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dalam hal
pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan
pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman
dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Perlindungan dalam hukum diperlukan pada setiap perbuatan yang merugikan
pihak lainnya harus bertanggung jawab degan membayar ganti rugi /
kompensasi.121
UU ITE memuat sanksi yang diberlakukan kepada penyelenggara
sistem elektronik (pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara,
orang, badan usaha, dan/atau masyarakat) pada bab VIII Pasal 38 dan 39 UU ITE
yaitu dalam Pasal 38 ayat (1) menyatakan :
“setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelanggarakan sistem elektronik dan/atau menggunakan Teknologi
Informasi yang menimbulkan kerugian”.
Dapat diartikan bahwa setiap orang tersebut sebagai konsumen internet yang
mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan terhadap peyelenggara sistem
elektronik yaitu pelaku usaha yang memiliki situs internet sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Jika yang dirugikan adalah masyarakat sesuai Pasal 38 ayat
(2) UU ITE juga memperbolehkan untuk diadakannya gugatan secara perwakilan
terhadap pihak penyelenggara sistem elektronik yang berakibat merugikan
masyarakat. Dalam Pasal 45 UU ITE memberikan ancaman pidana paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1) mengenai
penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam transaksi elektronik.
Sejak diberlakukannya UU ITE, untuk website yang isinya mengenai opini,
berita, diskusi dan lain sebagaunya harus menyesuaikan dengan aturan yang ada
121 Huala Adolf, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali
Pers, Jakarta, h.87
dalam UU ITE, pemilik situs internet yang dianggap menghina orang atau institusi
dapat dijerat dengan Pasal 27 UU ITE tentang Pencemaran nama baik melalui
media elektronik. Pelaku dapat terkena hukuman penjara selama enam tahun dan
denda maksimal satu miliar rupiah. Dengan adanya Pasal 27 UU ITE ini tentu saja
harus kebih diperhatikan oleh pemilik situs yang tidak bisa kabur dari tanggung
jawab hanya dengan mencantumkan disclaimer yang menyatakan tidak
bertanggung jawab atas keakuratan isi website-nya.122
Tahap-tahap penyidikan terhadap kasus pidana yang berkaitan dengan
transaksi elektronik juga diatur dalam pada pasal 43 UU ITE, Penyidaikan dapat
dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dalam Pasal 43 ayat (5) diatur mengenai wewenang penyidik yang diantaranya
adalah :
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;
b. memanggil setiap barang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau
diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya
dugaan tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang-
Undang ini;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang-
Undang ini;
d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang
patut diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan
dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk
melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;
122 Merry Magdalena, 2009, UU ITE : don‟t be the next victim, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, h.29
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga
digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan
ketentuan Undang-Undang ini;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana
kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara
menyimpang dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap
tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan
Undang-Undang ini sesuai' dengan ketentuan hukum acara pidana yang
berlaku.
(6) Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui
penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri
setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.
(7) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan
hasilnya kepada penuntut umum.
(8) Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik
negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti.
Jika dibandingan dengan Negara Inggris, menurut Unfair Terms in Consumer
Contracts Regulations, lembaga pemerintah semacam lembaga perdagangan
berwenang untuk mengentikan bisnis atau kegiatan usaha apabila penggunaan
unfair terms telah digunakan sebagai kebiasaan pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya. Sedangkan di Indonesia sanksi seperti ini tidak ada. Peraturan
perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur penggunaan sanksi berupa
penutupan kegitan usaha apabila ada pelaku usaha yang menggunakan klausula
baku seperti yang ada dalam disclaimer suatu website.
b. Secara Perdata
Jenis-jenis gugatan yang lazim diajukan di Peradilan Umum yaitu gugatan
wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
gugatan wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:
1. Gugatan wanprestasi (ingkar janji)
Ditinjau dari sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena
itu, wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat
terlebih dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena
wanprestasi timbul dari Pasal 1243 KUHPerdata, yang pada prinsipnya
membutuhkan penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUHPerdata
juga telah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat
dituntut, serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam
wanprestasi.
2. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan seseorang
yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Hak menuntut ganti kerugian
karena PMH tidak perlu somasi. Apabila terjadi PMH, pihak yang dirugikan
langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi tersebut. KUH Perdata tidak
mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan demikian, bisa
digugat ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat diperhitungkan
(material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang (immaterial).
Perlindungan hukum secara perdata untuk melindungi hak konsumen dalam
kaitannya dengan pencantuman klausula baku yang dilarang oleh undang-undang.
Hukum Indonesia yang menjadi dasar hukum tata cara pengajuan gugatan yaitu
berdasarkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yaitu gugatan ganti rugi
karena adanya suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang mengakibatkan
kerugian pada orang lain. Untuk dapat menuntut ganti rugi berdasarkan PMH,
maka unsur yang harus dipenuhi adalah:
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud perbuatan ini baik yang bersifat
positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau
tidak berbuat;
2. Perbuatan tersebut harus melawan hukum. Istilah Melawan Hukum telah
diartikan secara luas, yaitu tidak hanya melanggar peraturan perundang-
undangan tetapi juga dapat berupa:
1. Melanggar hak orang lain.
2. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.
3. Bertentangan dengan kesusilaan.
4. Bertentangan dengan kepentingan umum.
3. Adanya kesalahan;
4. Ada kerugian, baik materil maupun immaterial;
5. Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan ,melawan hukum tersebut
dengan kerugian.
c. Secara Pidana
Perlindungan secara pidana dari adanya penipuan yang dilakukan oleh pelaku
usaha/ pemilik website juga dapat dikenakan sanksi pidana jika terbukti adanya
penipuan tersebut sesuai pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP). Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan
konvensional, yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni
menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi).
Dengan sanksi pidana diharapkan pelaku jera dan terjadi keseimbangan hukum
karena pelaku diberikan sanksi. Sanksi pidana sangat diperlukan, tetapi harus
diikuti peraturan-peraturan lain yang efektif untuk mengatur kegiatan ekonomi.123
Tindak pidana penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan
nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu
muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang
lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya
memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena
penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Kepolisian Republik Indonesia (Polri), khususnya Unit Cyber Crime, telah
memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait
Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional
yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of
Investigation (FBI) di Amerika Serikat. Oleh karena terdapat banyak perbedaan
antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam
proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli
digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri.
Mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:
123 Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, PT.Alumni,
Bandung, h. 162.
1. Proses Acquiring dan Imaging
Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses
Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat
dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik
dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti
digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.
2. Melakukan Analisis
Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan
untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-
enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti
digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk
selanjutnya dibawa ke pengadilan. Menurut teori yang berlaku di Amerika Serikat
dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakan cyber
crime124
yaitu :
a. Theory of The Uploader and the Downloader, teori ini menekankan bahwa
dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang
memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang
mengakses informasi)
124 Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia, diakses dari
URL : http://www.hukumonline.com pada tanggal 29 November 2013.
b. Theory of Law of the Server, dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan
server di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau
disimpan sebagai data elektronik.
c. Theory of International Space, menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai
suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana
setiap negara memiliki kedaulatan yang sama.
Dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu tindakan
cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang
berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu
sistem komputer. Aparat Penegak Hukum di Indonesia saat ini memiliki kendala
dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus-kasus penipuan (fraud) secara
online. Kendala tersebut terkadang bersifat teknis, keterbatasan sumber daya,
maupun kesulitan mengidentifikasi pelaku yang berada di luar wilayah Indonesia.
Saat ini, kasus penipuan (fraud) secara online merupakan salah satu kasus
terbanyak dalam cyber crime yang dilaporkan di Indonesia. Langkah yang
biasanya dilakukan oleh penyidik adalah berkoordinasi dengan aparat penegak
hukum negara setempat. Dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik
Indonesia, maka penyidik melalui Interpol akan meminta bantuan kepada aparat
setempat dalam proses penyidikan.
Sebagai contoh penanganan pengaduan (complaint) pada Serious Fraud
Office (SFO) di Inggris didasarkan pada kriteria kecukupan informasi (suffecient
information) yang diperoleh dari laporan maupun klarifikasi pelapor. Jika laporan
memenuhi kriteria kecukupan informasi untuk ditindaklanjuti, maka laporan
tersebut akan ditangani sesuai prosedur SFO. Jika laporan mengarah pada
kriminal, SFO akan menunjuk reviewer independen yang berasal dari luar SFO
untuk melakukan investigasi. Jika memungkinkan dilakukan di luar jalur pidana,
SFO akan mengusahakan penyelesaian secara informal. Apabila cara tersebut
tidak memuaskan pelapor, pengaduan tersebut akan diteruskan kepada Kejaksaan
(the Attorney General's Office /AGO). Lamanya waktu respon atas pengaduan
tergantung jenis pengaduan, jika yang berkaitan dengan dugaan kriminal dan
ditangani oleh reviewer independen, maka waktu respon yang dibutuhkan adalah
40 (empat puluh) hari setelah surat pengaduan diterima. Meski demikian, dalam
praktiknya mungkin saja terdapat kendala teknis maupun non teknis untuk
menindaklanjuti suatu laporan/pengaduan.
d. Penggabungan sanksi pidana dan perdata
Pengertian ganti rugi dari sudut pandang hukum pidana dan hukum perdata.
Dalam hukum pidana, makna ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 22
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana / Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang isinya:
“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan
atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”
Dalam Hukum Perdata tidak memberikan definisi tegas mengenai arti ganti
rugi, namun Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
menjelaskan ganti kerugian sebagai berikut:
“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya
suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang,
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang
waktu yang telah dilampaukannya”
Berdasarkan kedua pasal mengenai ganti kerugian tersebut diatas, maka jelas
bahwa hukum pidana mengarahkan ganti kerugian untuk kepentingan tersangka.
Sedangkan hukum perdata mengarahkan ganti kerugian untuk kepentingan pihak
yang dirugikan atas terjadinya tindakan melawan hukum atau ingkar janji.
Berkaitan dengan konsumen yang hendak mengajukan ganti kerugian kepada
tersangka, ada 2 (dua) cara, yaitu:
1. Mengajukan gugatan ganti kerugian (perdata) yang terpisah dari perkara
pidana; dan
2. Menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana.
Pertama, jika ingin mengajukan gugatan ganti kerugian yang terpisah dengan
perkara pidana, maka sebaiknya konsumen menunggu terlebih dahulu putusan
terhadap perkara pidana tersebut. Oleh karena apabila terdakwa terbukti bersalah,
maka putusan tersebut adalah dasar yang kuat bagi konsumen untuk mengajukan
gugatan ganti kerugian. Namun konsumen juga dapat mengajukan gugatan ganti
kerugian tanpa menunggu putusan terhadap perkara pidana. Konsumen harus
memiliki alasan-alasan yang kuat dan nyata bahwa konsumen telah mengalami
kerugian akibat tindakan yang dilakukan oleh orang lain.
Kedua, menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara
pidana. KUHAP memberikan dasar hukum melalui ketentuan Pasal 98, yang
isinya sebagai berikut:
(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu
pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan
kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan
orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan
ganti kerugian kepada perkara pidana itu.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan
tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan
diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
Berdasarkan pasal 98 tersebut, maka konsumen dapat menggabungkan
gugatan ganti kerugian dengan perkara pidana yang sedang berjalan.
Penggabungannya wajib dimintakan Kepada Majelis Hakim yang mengadili
perkara a quo paling lambat sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana. Mengingat perkara pidana tersebut masih dalam tahap pemeriksaan
Kepolisian, maka konsumen harus menunggu hingga pemeriksaan dilakukan di
Pengadilan untuk dapat mengajukan gugatan tersebut. Sekalipun melalui proses
yang berbeda, kedua cara tersebut didasarkan pada satu dasar hukum yang sama,
yaitu Pasal 1365 KUHPerdata. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena
adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak
konsumen yang dalam hal ini menjadi korban.
Keberadaan lembaga litigasi yang juga disebut first and the last resort dalam
penyelesaian sengketa, dimana sebagai first and the last resort diharapkan
keberadaan lembaga litigasi yaitu pengadilan menjadi tujuan utama pencarian
keadilan, yang dapat menghasilkan kepastian hukum dalam menyelesaikan
sengketa yang ada. Peran hakim di pengadilan, maupun lembaga yang bergerak di
bidang penyelesaian sengketa kontrak elektronik adalah penting. Keberadaan
pedoman putusan hakim ini juga dipandang dapat memberikan pembaruan atas
hukum yang ada, termasuk manakala belum ada peraturan hukum yang secara
spesifik mengatur tentang hal yang ada. Namun demikian dalam model
penyelesaian sengketa jalur litigasi ini belum dapat mengakomodasi efektivitas
dan efisiensi dalam proses penyelesaian sengketa, karena lambatnya proses
penyelesaian sengketa, biaya yang mahal khususnya dalam sengketa transaksi
perdagangan. Namun demikian hukum tetap memiliki kewajiban dalam
mengakomodasikan terpenuhinya perlindungan hukum, sebagai bentuk dari
tanggung jawab hukum terhadap hak subjek hukum, dimana dalam hal ini ialah
para pelaku kontrak elektronik dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik.
Oleh karenanya, karena terdapat keprihatinan atas persoalan yang dihadapi oleh
lembaga litigasi, melatarbelakangi adanya lembaga non litigasi alternatif
penyelesaian sengketa, yang menggunakan mekanisme yang hidup dalam
masyarakat dimana bentuk dan macamnya bervariasi baik secara musyawarah,
perdamaian, penyelesaian adat dan cara-cara lain yang disesuaikan dengan
wilayah masyarakat tersebut berada.
II Melalui Jalur Non Litigasi
Penyelesaian sengketa transaksi bisnis secara elektronik di Indonesia
menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan
yaitu :
1. Prinsip kesepakatan para pihak, tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
bahwa dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara
mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah
memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan dalam
putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak
diatur dalam perjanjian mereka. Pasal 56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999
menyatakan bahwa para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang
akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah
timbul antara para pihak.
2. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa, terdapat
dalam Pasal 18 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa para pihak memiliki
kewenangan untuk menetapkan forum atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif. Penerapan pilihan hukum tersebut adalah tidak mungkin
dilakukan mengingat sifat dasar dari transaksi elekronik yang secara
mayoritas menggunakan jenis kontrak baku.
3. Prinsip kebebasan memilih hukum, yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2)
UU No.11 Tahun 2008 menyatakan bahwa para pihak memiliki
kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi
Elektronik internasional yang dibuatnya.
4. Prinsip pengedepanan penyelesaian sengketa menggunakan Hukum
Nasional, terdapat dalam Pasal 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang menyatakan bahwa Undang-undang Informasi da
Transaksi Elektronik berlaku untuk setiap Orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, baik yang
berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia
dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan
Indonesia.
Sengketa dapat teradi karena ada pihak yang dirugikan dapat juga karena
wanprestasi dan maupun perbuatan melawan hukum. Penyelesaian sengketa
diluar pengadilan berkaitan dengan transaksi elektronik di dunia maya lebih
banyak dipilih karena tidak terlalu banyak memakan waktu, biaya dan tidak
terlalu banyak formalitas-formalitas yang pada hakikatnya merupakan suatu
model penyelesaian sengketa yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam
transaksi elektronik. Penyelesaian sengketa secara damai antara lain negosiasi,
mediasi dan konsiliasi. Negosiasi adalah penyelesaian sengketa secara damai
dimana para pihak berhadapan langsung tanpa ada keikut sertaan pihak ketiga.
Sedangkan mediasi dan konsiliasi adalah penyelesaian sengketa secara damai
dimana ada turut campur pihak ketiga. Perbedaan antara konsiliasi dan mediasi
terletak pada aktif tidaknya pihak ketiga dalam mengusahakan para pihak untuk
menyelesaiakn sengketa. Apabila dilihat dari sifatnya, penyelesaian sengketa
secara damai ini merupakan hal yang ideal mengingat keadilan muncul dari para
pihak.
Sengketa pada transaksi elektronik cenderung berkaitan dengan masalah
harga, kualitas barang dan jangka waktu pengiriman. Produk yang menjadi obyek
sengketa apabila jumlahnya relative kecil, maka para pihak cenderung tidak
memerlukan bantuan pihak ketiga untuk penyelesaiannya mengingat biaya yang
dikeluarkan untuk membayar jasa pihak ketiga akan lebih besar daripada obyek
yang disengketakan. Dalam hal ini proses negosiasi tepat digunakan dan
dilakukan secara langsung antara penjual dan pembeli, baik melalui pertemuan
secara fisik apabila domisili keduanya saling berdekatan maupun melalui surat
menyurat (e-mail) jika kedua belah pihak berjauhan. Penyelesaian sengketa secara
damai harus disertau kesukarelaan dari para pihak, tanpa kesukarelaan tidak
mungkin penyelesaian sengketa secara damai dapat berjalan lancer.
Penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase, hal ini
termasuk dalam penyelesaian sengketa secara adversarial yang melibatkan suatu
lembaga. Arbitrase pada dasarnya berbentuk lembaga non Negara atau swasta
untuk menyelesaiakn sengketa secara cepat. Hukum di Indonesia yang mengatur
tentang Arbitrase adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada prinsipnya pemeriksaan perkara di
arbitrase melalui 3 tahapan, yaitu : pertama, tahap persiapan untuk
mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan perkara, kedua tahap
pemeriksaan tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan perkara, mulai dari
awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian sampai dijatuhkan putusan
oleh arbiter dan tahap ketiga pelaksanaan tahap untuk merealisir putusan arbiter
yang final dan mengikat.125
“Arbitration is a procedur whereby a controversy is a submitted to a person
or person other than courts of a final, a binding decision.” 126
Dapat diketahui pengertian arbitrase adalah prosedur dimana sebuah sengketa
yang disampaikan kepada seseorang atau orang lain dari pengadilan keputusan
final, mengikat). Arbitrase juga merupakan penyerahan sengketa secara sukarela
kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase
terlembaga atau arbitrase sementara (adhoc). Badan arbitrase dewasa ini semakin
popular. Arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa
dagang nasional maupun Internasional.
Kekurangan dari digunakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase
diantaranya adalah mahal. Hal ini disebabkan pihak yang bersengketa harus
membayar honor dari arbiter yang menyelesaikan sengketa. Proses dan prosedur
arbitrase tidaklah mudah, oleh karena itu hanya masyarakat pada stratifikasi sosial
tertentu yang dapat memanfaatkan. Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui
arbitrase hanya bisa dilakukan pada sengketa yang bersifat dagang (commercial
dispute) hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.30 Tahun 1999.
Lembaga alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia yang dapat digunakan
adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa
125 Bambang Sutiyoso, 2006, Peneylesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, h.120
126 Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition, Prentice-
Hall, Inc, USA,p-16.
selain melalui arbitrase juga dapat dilakukan melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) yang merupakan salah satu senjata sah
konsumen yang paling kuat selain UU ITE. BPSK dibentuk oleh pemerintah tetapi
bukan merupakan bagian dan institusi kekuasaan kehakiman. Didalam transaksi
elektronik selalu berkaitan dengan pelaku usaha dan konsumen. BPSK merupakan
salah satu model penyelesaian sengketa yang cenderung digunakan dalam hal
sengketa konsumen. Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dibentuk Majelis
minimal 3 (tiga) dengan dibantu seorang panitera dan putusan BPSK bersifat final
dan mengikat. BPSK wajib menjatuhkan putusan selama-lamanya 21 (duapuluh
satu) hari sejak gugatan diterima dan keputusan BPSK wajib dilaksanakan pelaku
usaha dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterimanya atau apabila
keberatan dapat mengajukan kepada pengadilan negeri dalam jangka waktu 14
(empat belas hari). Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha
memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya
keberatan tersebut. Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi
jangka waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan kasasi.127
Pemberian sanksi administratif diatur dalam Pasal 60 UUPK yang merupakan
suatu hak khusus yang diberikan UUPK kepada BPSK atas tugas dan/atau
kewenangan yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar
127 Gunawan Widjaja, 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa,, Jakarta, PT.RajaGrafindo
Persada, h.79
pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo Pasal 60 ayat (1) UUPK,
sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan
ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/ dalam rangka salah satunya
adalah tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepada
konsumen dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian barang dan/jasa
yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian santunan atas kerugian
yang diderita konsumen.
Dalam dunia internasional juga terdapat arbitrase institusional yang berada di
luar negeri diantaranya adalah International Chamber of Commerce (ICC) yang
berkedudukan di Paris, London Court of International Arbitration (LCIA),
America Arbitration Association (AAA), dan Singapore International Center for
Arbitration (SIAC). Pelaksanaan putusan arbitrase didalam negeri
(nasional/domestik) berlaku ketentuan Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 UU
No.30 Tahun 1999. Sementara untuk putusan arbitrase internasional berlaku
ketentuan Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU No.30 Tahun 1999. Diakuinya
putusan internasional di Indonesia didasarkan pada keikutsertaan Indonesia dalam
sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi New York 1959. Konvensi ini
menegaskan bahwa Negara yang menjadi peserta harus mengakui dan
melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat diluar negeri sepanjang Negara
tempat dimana arbitrase dilangsungkan termasuk juga menjadi peserta konvensi.
Untuk mempermudah penyelesaian sengketa dalam transaksi elektronik dalam
perkembangan saat ini juga muncul penyelesaian sengketa secara online (online
dispute resolution/ODR). ODR pada dasarnya sama dengan mekanisme arbitrase
scara konvensional namun medianya saja yang berbeda yaitu menggunakan
media internet sebagai media untuk menyelesaikan sengketa. Demi keadaan
tertentupun demi kelancaran ODR dapat mempertemukan para pihak yang
bersengketa. Contoh ODR yang telah ada adalah The Virtual Magistre yang
dilahirkan oleh para akademisi hukum dunia maya yang bekerja untuk National
Center for Automated Information Research (NCAIR) dan Cyberspace Institute
yang didirikan oleh asosiasi arbitrase Amerika.
Arbitrase online bekerja seperti persidangan, dimana arbiter bertindak seperti
hakim yang didahului dengan mendengarkan keterangan kedua belah pihak dan
kemudian menjatuhkan putusan. Mengikat dan tidaknya suatu putusan arbitrase
online itu tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak.128
Teknis penyelesaian
sengketa dilakukan secara online menggunakan media e-mail, video conferencing,
radio button electronic fund transfer, web conference maupun online chat.
Meskipun dalam UU No. 30 Tahun 1999 tidak secara tegas diatur mengenai
prosedur arbitrase online, Pasal 4 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan
“Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam
bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail, atau
dalam bentuk sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan
penerimaan oleh para pihak”. Jadi, berdasarkan UU No.30 Tahun 1999 diberikan
kemungkinan dipergunakannya e-mail dalam proses penyelesaian sengketa
128 Bambang Sutiyoso, 2008, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute Resolution
dan Pemberlakuannya di Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 20 No.2, Yogyakarta, FH.UGM, hal
238.
meskipun baru dalam tahap penyampaian surat. Selain kata “e-mail” adanya kata
“bentuk sarana komunikasi lainnya” dalam ketentuan tersebut dapat dijadikan
dasar hukum pelaksanaan arbitrase secara online. Namun di Indonesia sampai
saat ini belum diterapkan arbitrase online sesuai yang tersirat dalam Pasal 4 ayat
(3) UU No.30 Tahun 1999 tersebut.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Berdasarkan pembahasan terhadap penelitian sebagaimana dikemukakan
diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
Pengaturan disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia belum
jelas dalam Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara khusus kegiatan
transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace). Banyak disclaimer yang
menyatakan pengalihan tanggung jawab dari pelaku usaha kepada
konsumen dan letaknya pada bagian bawah homepage website sehingga
tidak semua konsumen tanggap atas keberadaan disclaimer tersebut.
Apabila ditinjau dari Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), beberapa substansi dari disclaimer
dalam situs internet (website) dapat dikategorikan sebagai klausula
eksonerasi. Namun UUPK hanya berlaku secara limitatif dalam yurisdiksi
nasional untuk transaksi secara konvensional (offline).
2. Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen mengacu pada
pencantuman disclaimer dalam website, masih lemah. Adapun saat ini
perlindungan hukum konsumen yang dapat diberikan, ada 2 (dua) yaitu
secara preventif yakni disyaratkan dengan adanya suatu Lembaga
Sertifikasi Keandalan (LSK) berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-
undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UU ITE) dan secara represif penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi
dapat dilakukan dengan pengajuan gugatan perdata, sanksi pidana dan
melalui jalur Non Litigasi yang ideal dengan filosofi lahirnya transaksi
elektronik dengan media situs internet (website) adalah melalui Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
5.2 Saran
1. Untuk Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi
(Depkominfo) segera mengambil tindakan dalam rangka kepastian
pengaturan yaitu peraturan Perundang-undangan tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik materi yang diatur haruslah jelas dan lengkap agar
dapat melindungi hak-hak konsumen yang melakukan transaksi bisnis
secara elektronik.
2. Untuk Pemerintah, agar melegalisasi setiap website resmi yang melakukan
transaksi bisnis secara elektronik dengan cara segera membentuk Lembaga
Sertifikasi Keandalan (LSK) seperti Case Trust dengan logo TrustSg di
Singapura agar dapat memberikan sertifikasi untuk setiap situs internet
(website), sehingga dapat melindungi hak-hak konsumen internet di
Indonesia.
DAFTAR BACAAN
I Buku-Buku
Adolf, Huala, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III,
Jakarta : Rajawali Pers
Ais, Chatamarrasjid, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual
Hukum Perusahaan, Bnadung : PT.Citra Aditya Bakti
Ardianto, Elvinard dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis
dan CSR Berlipat-lipat, Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo
Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika
Asshiddiqie, Jimly, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Eksekutif,
Jakarta : Universitas Indonesia
Azheri, Busyra 2011, Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi
Mandatory), Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada
Azwar,Azrul, 1989, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta : PT. Binarupa
Aksara
Badrulzaman , Mariam Daruz, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak
Indonesia, Hukum Bisnis XII
Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di
bidang kenotariatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti
Endeshaw, Assafa , 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia
Pasifik, Jakarta : Pustaka Pelajar
Friedman , Lawrence M.,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal
System : A Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj),
Bandung : Nusa Media
Gunawan, Johanes 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro
Justitia Tahun XXI Nomor 2, April 1994.
Hadi,Nor, 2012, Corporate Social Responsibility, Yogyakarta : Graha Ilmu
Hadjon, Philipus M., 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya : Percetakan M2 Print (edisi khusus)
---------------------------, dkk , 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta
Handoyo , B.Hestu Cipto , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain
Naskah Akademik, Yogyakarta, Universitas Atmajaya
Hartono, Sri Rejeki, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar
Maju
Hernoko, Agus Yudha,2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Yogyakarta : Laksbang Mediatama
Kartini, Dwi, 2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep
Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia,
Bandung : Refika Aditama
Kristiyanti, Celina Tri Siwi , 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :
Sinar Grafika
Makarim, Edmon, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta : PT.RajaGrafindo
Persada
----------------------, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta :
PT.RajaGrafindo Persada
Magdalena, Merry, 2009, UU ITE : don‟t be the next victim,Jakarta : PT.Gramedia
Pustaka Utama
Manan, Abdul, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum,Jakarta : Kencana
Marzuki , Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta
Mertokusumo , Sudikno,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka,
Yogyakarta
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen,
Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada
Muhammad, Abdulkadir, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
Perdagangan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti
-----------------------------, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti
Nasution , Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : CV.
Mandar Maju
Nasution, Az, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta :
Daya Widya
Nugroho , Susanti Adi, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Purbo, Onno W. & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo
Rahardjo, Satjipto, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing
Samsul, Inosentius, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan
Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta : Universitas Indonesia
Saliman, Abdul Rasyid et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan
Contoh Kasus) Edisi 2 Cetakan 4, Jakarta : Kencana Renada
Media Group
Salman, Otje, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka
Kembali, Jakarta : Refika Aditama
Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada
--------------------------- dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Nornatif Suatu
Tinjauan Singkat, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Soenandar, Taryana, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas
Beberapa Aspek Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan
CISG, Commentaries on the Article 2.19 of the
UNIDROIT‟94, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti
Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta :
PT.RajaGrafindo
-----------, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006),
Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.
Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan
Tanggung Jawab Produk), Jakarta : Panta Rei.
Sidabalok, Janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : PT Citra
Aditya Bakti.
Sidharta, Arief, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Bnadung : Refika Aditama
Sinamo, Nomensen, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Bumi Intitama
Sejahtera.
Sjahputra , Imam,2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik,
Bandung : PT.Alumni
Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, Bandung
: PT.Alumni
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Jakarta : PT.Citra Aditya Bakti
----------, 2001, Hukum Perjanian, Jakarta : Intermasa
Suparni, Niniek, 2009, Cyberspace Problematika & Antisipasi
Pengaturannya,Jakarta : Sinar Grafika
Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Jakarta : Visimedia
Sutiyoso, Bambang, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta : Citra
Media
-----------------------, 2008, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute
Resolution dan Pemberlakuannya di Indonesia, Mimbar
Hukum, Vol. 20 No.2, Yogyakarta : FH.UGM
Syahrani, Ridwan , 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung :
Alumni
Wahyono, Teguh, 2009, Etika Komputer + Tanggung jawab Profesional di
Bidang Teknologi Informasi, Yogyakarta : ANDI.
Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan
Konsumen, Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama
------------------------ , 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada
Yuliandari, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Baik, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :Kencana Prenada Media
Group.
II Literatur Asing
Anne Fitzgerald, 1999, Inteleectual Property, NSW, Sydney : LBC Information
Services,
Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition,
USA : Prentice-Hall, Inc
G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th
Edition , Sweet & Maxwell Ltd,
London
Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law
Studies, University of London
John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft, 1981, College Law for Business, United
States of America : South-Western Publishing Co.
Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, London :
Butterworths
Turban, Efraim, et.al., ,2010, Electronic commerce 2010 (a managerial
perspective) sixth edition, United State of America : Pearson.
III. Kamus, Jurnal, Tesis
Made Maharta Yasa, 2010, Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik
Dalam Transaksi Komersial , Tesis, Universitas Udayana.
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,
Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret.
IV. Artikel dalam Format Elektronik (Internet)
Agung Setiawan, 2012, Digital dan Social Media Indonesia 2012, diakses dari
URL : http://www.asm-digital.com, pada tanggal 19
September 2012.
Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL :
http ://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2013.
Anggia Dyarini M,2011, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat
Lunak Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Liensi
Standard Sofware, Bespoke Software dan Customized
Software, diakses dari : URL : www. lontar. ui. ac. id, pada
tanggal 11 Maret 2012.
Bagus Hanindoyo Mantri, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen
Dalam Transaksi E-commerce , diakses dari URL : eprints
.undip.ac.id/16674/1/Bagus_Hanindyo_Mantri.pdf ,pada
tanggal 12 Maret 2012.
Budi Rahardjo, 2003, Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di
Indonesia (Serial Online) , diakses dari : URL:
http://www.budi.insan.co.id, pada tanggal 20 Januari 2012.
Diana Kusumasari, 2011, status hukum pencantuman disclaimer, diakses dari
URL : http://www.hukumonline.com, pada tanggal 12
September 2012
Lia Catur Mastuti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam
Perjanjian Jual Beli melalui Media Internet, diakses dari
URL : eprints.undip.ac.id/23920/1/Lia_Catur_Muliastuti.pdf,
pada tanggal 12 Maret 2012.
Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis website, diakses dari : URL :
http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2013
Mustadafin, 2012, Standar Ganda Copyright pada Website, diakses dari :
http://www.kaskus.co.id, pada tanggal 20 Juni 2012
Purwono, 1992, Studi Kepustakaan (online), Diakses dari URL : http://adab.uin-
suka.ac.id, pada tanggal 21 Juni 2012.
Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia,
diakses dari URL : http://www.hukumonline.com pada
tanggal 29 November 2013.
Reza Wahyudi, Tri Wahono, 2011, Pengguna Internet Indonesia, diakses dari
URL : http : // tekno.kompas.com/read/2011, pada tanggal 12
Maret 2012.
-------------------, 2012 ,Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta, diakses
dari : http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 September
2012
Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, diakses dari : URL :
www.socalinternetlawyer.com, G.H Treitel, 1995, The law of
contract, 9 th
Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London,
h.1969 pada tanggal 1 Mei 2013.
SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari :
URL : http://www.seqlegal.com, , pada tanggal 20 Oktober
2013.
Simon Davey, 2011, Website disclaimers , diakses dari : URL
:http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni
2013
Sylvia Christina Aswin, 2006, Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial
Elektronik , diakses dari URL :
eprints.undip.ac.id/17823/1/Sylvia_Christina_Aswin.pdf.
pada tanggal 12 Maret 2012.
Taqyuddin Kadir, 2006, Klausula Baku , diakses dari : URL :
http://taqlawyer.com pada tanggal 20 Agustus 2013
Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL :
www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2013
Toto Adhitama, 2011, about gadget, diakses dari URL :
http://asia.groups.yahoo.com/, pada tanggal 12 Januari 2013
CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information &
Application Kit-Webfront, CaseTrust Departement, diakses
dari URL : http://www.case.org.sg, pada tanggal 29
November 2013
Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17
Negara , diakses dari URL : www.kompas.com, pada tanggal
29 November 2013
UNIDROIT 1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994,
International Institute for the Unification of Private Law
Article 2.19, diakses dari : URL :
http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2013.
V. Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem
dan Transaksi Elektronik.
Recommended