View
223
Download
1
Category
Preview:
DESCRIPTION
Sejarah perpajakan
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau
keluarga, perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan
pos-pos pengeluaran. Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa
pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan
uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan
berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti jalan-jalan,
jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai dengan
menggunakan uang yang berasal dari pajak.
Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat mutlak untuk
tercapainya pelayanan negara yang berupa menjaga kepentingan rakyatnya, dalam
bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan hidupnya.
Sehingga pada akhirnya kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam
masyarakat dapat dikurangi secara maksimal.
Dari pemaparan yang secara singkat di atas mengenai perpajakan, maka
kami tertarik untuk membuat makalah ini. Penulis berusaha menyusun makalah
ini semenarik mungkin agar para pembaca menyukainya. Sehingga para pembaca
dapat mengenal dan mengerti serta dapat menambah wawasan pembaca tentang
perpajakan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Bagaimana sejarah perpajakan itu ?
2. Apakah pengertian pajak, retribusí dan sumbangan ?
3. Apa peranan dan fungsi pajak dalam Pembangunan ?
4. Bagaimana kedudukan hukum pajak dalam tata hukum nasional ?
5. Apa saja syarat-syarat undang-undang pajak bagi suatu negara ?
6. Apa itu The Four Maxims dari Adam Smith ?
1
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam pembuatan makalah ini yaitu :
1. Untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah Perpajakan 1.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perpajakan itu.
3. Untuk dapat mengetahui dan membedakan anatara pajak, retribusí dan
sumbangan.
4. Untuk mengetahui peranan dan fungsi pajak dalam Pembangunan.
5. Untuk mengetahui kedudukan hukum pajak dalam tata hukum nasional.
6. Untuk mengetahui syarat-syarat undang-undang pajak bagi suatu negara.
7. Untuk mengetahui apa The Four Maxims dari Adam Smith.
2
BAB II
ISI
1.1 Sejarah Perpajakan
Secara umum pemungutan pajak telah dikenal pada masa kolonial. Pada
mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya
merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan. Tetapi pada masa kerajaan
dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan itu dipersembahkan kepada
raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, rakyat memberikan upetinya
kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman
lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain.
Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau
kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang
dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan
sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi
hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat
itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk
kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum
lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang
semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat
suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun
unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka
rakyat diikut sertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang
nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
3
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan
cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu
sebagai berikut:
1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga (Stbl. 1908 No.13);
2. Aturan Bea Meterai (Stbl. 1921 No. 498);
3. Ordonansi Bea Balik Nama (Stbl. 1924 No.291);
4. Ordonansi Pajak Kekayaan (Stbl. 1932No. 405);
5. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor (Stbl.1934 No. 718);
6. Ordonansi Pajak Upah (Stbl. 1934 No. 671);
7. Ordonansi Pajak Potong (Stbl. 1936 No. 671);
8. Ordonansi Pajak Pendapatan (Stbl. 1944 No. 17);
9. Undang-undang Pajak Radio (UU No. 12 Tahun1947);
10. Undang-undang Pajak Pembangunan I (UUNo. 14 Tahun 1947); dan
11. Undang-undang Pajak Peredaran (UU No.12 Tahun 1952).
Dengan perkembangan ekonomi dan masyarakat, maka diundang undangkan lagi
beberapa UU, yaitu :
1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No.2 Tahun 1968;
2. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan UU No. 10
Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga. Dividen, dan Rayalti;
3. UU. No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
4. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; dan
5. UU NO. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK dan PPs atau
Tata Cara MPS-MPO
Pada Tahun 1983 pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat
melakukan reformasi UU Perpajakan karena adanya beberapa UU tidak memenuhi rasa
keadilan dan hanya untuk kepentingan Belanda saja. Dan mengundangkan 5 paket UU
Perpajakan dari Sistem Perpajakan yang semula Official Assessment diubah menjadi Self
Assessment.
4
1. UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP);
2. UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
3. UU No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan
Penjualan atas Barang Mewah (PBB); dan
4. UU No.13 Tahun 1985 tentang Bea Materai (BM).
Pada Tahun 1994, empat dari lima UU tersebut pada tahun 1994 mengalami perubahan
dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan UU, yaitu sebagai
berikut :
1. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No.9 Tahun 1994
2. UU No.7 Tahun 1983 diubah dengan UU No.10 Tahun 1994
3. UU No.8 Tahun 1983 diubah dengan UU No.11 Tahun 1994
4. UU No.13 Tahun 1983 diubah dengan UU No.12 Tahun 1994
Pada Tahun 1997, pemerintah kembali mengadakan perubahan UU Perpajakan dalam
rangka mendukung UU yang berkaitan, yaitu :
1. UU No.17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak;
2. UU No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
3. UU No.19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
4. UU No.20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan
5. UU No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pada Tahun 2000, pemerintah kembali melalukan perubahan terhadap UU Perpajakan
dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak (WP), yaitu :
1. UU. No. 16 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 6 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No.9 Tahun 1994
2. UU No. 17 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No.7 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1994
3. UU No. 18 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No.8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 tahun 1994
4. UU No. 19 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 19 Tahun 19975
5. UU No. 21 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No.21 Tahun 1997;
6. UU No. 34 Tahun 2000 mengenai perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997
Dan pada tahun 2007 – 2009, pemerintah kembali sepakat bersama DPR melakukan
perubahan UU Perpajakan dalam rangka lebih memberikan keadilan dan meningkatkan
pelayanan kepada WP dan untuk lebih memberikan kepastian hukum serta
mengantisipasi perkembangan di bidang teknologi informasi. Perubahan UU PPh, UU
PPN dan PPnBM dilatarbelakangi agar dapat mengamankan penerimaan negara yang
netral, sederhana, stabil dan menciptakan kepastian hukum dan transparansi.
1. UU Ketentuan Hukum dan Tata Cara Perpajakan No. 16 Tahun 2000 diubah
dengan UU No.28 Tahun 2007, mulai berlaku 1 Juni
2. UU PPh No.17 Tahun 2000 diubah dengan UU No.36 Tahun 2008, mulai
berlaku 1 Januari 2009
3. UU Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah No. 18 Tahun 200 diubah dengan UU No.42 Tahun 2009,
mulai berlaku pada 1 April 2010.
Dengan dilakukan banyak perubahan atas berbagai perundang–undangan Perpajakan
menunjukkan Pemerintah selalu memperhatikan pemangku kepentingan (Stakeholders)
dalam melanjutkan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari pajak.
1.2 Pengertian Pajak, Retribusi dan Sumbangan
1.2.1 Pajak
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang
sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.
Untuk mengetahui arti pajak, Santoso Brotodiharjo,S.H., dalm bukunya,
Pengantar Ilmu Hukum Pajak, mengemukakan beberapa pendapat pakar tentang
definisi pajak, beberapa diantaranya seperti dalam kutipan sebagai berikut :
a. Mr.Dr.N.J.Feldmann
“pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh terutang kepada
penguasa, (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa
6
adanya kontra-prestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-
pengeluaran umum.”
b. Prof.Dr.M.J.H.Smeets
“pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-
norma umum, dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontra-prestasi yang
dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk
membiayai pengeluaran pemerintah.”
Dalam definisinya ia menonjolkan fungsi budgeter, baru kemudian ia
menambahkan fungsi mengatur pada definisinya.
c. Dr.Soeparman Soemahamidjaja
“pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi
barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
Ia mencantumkan istilah iuran wajib dengan harapan terpenuhinya ciri bahwa
pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerja sama dengan WP, sehingga perlu
pula dihindari penggunaan istilah “paksaan”. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa
terlalu berlebihan bila khusus mengenai pajak ditekankan pentingnya unsur
paksaan karena dengan mencantumkan unsur paksaan seakan-akan tidak ada
kesadaran masyarakat untuk melakukan kewajibannya.
d. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.
Unsur ‘dapat dipaksakan’ artinya bahwa bila utang pajak tidak dibayar, maka
utang pajak tersebut dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan seperti dengan
mengeluarkan surat paksa dan melakukan penyitaan, bahkan bisa dengan
melakukan penyanderaan. Sementara itu, terhadap pembayaran pajak tersebut
tidak dapat ditunjukkan jasa timbal balik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.
7
Dari 4 pengertian pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada 5 unsur yang melekat
dalam pengertian pajak, yaitu:
a. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan
perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-
undang."
b. Sifatnya dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan.
c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor
akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar
pajak kendaraan bermotor.
d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara, oleh pemerintah pusat maupun daerah
(tidak boleh dipungut oleh swasta)
e. Pajak digunakan untuk membiayai berbagai pengeluaran pemerintah (rutin dan
pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
Pemungutan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang
hasilnya juga akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan
pajak harus mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri mengenai jenis dan besarnya
pajak yang akan dipungut. Proses persetujuan rakyat yang dimaksud tentunya hanya
dapat dilakukan dengan suatu undang-undang. Landasan yuridis adalah pada Pasal 23
ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “segala pungutan pajak harus
berdasarkan undang-undang”. Pihak swasta tidak diperbolehkan melakukan pungutan
pajak karena pihak swasta dalam usahnya selalu bersifat mencari keuntungan.
Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan bahwa uang yang
dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk
pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Sifat pemaksaannya
harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.
Apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat melukan upaya
8
paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar WP mau melunasi utang
pajaknya.
1.2.2 Retribusi
Retribusi menurut UU no. 28 tahun 2009 adalah pungutan daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan.
Unsur yang melekat pada pengertian retribusi adalah:
a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang
b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan
c. Pemungutannya dilakukan oleh negara
d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum
e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar
retribusi. Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pemberian izin
tertentu yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah kepada setiap
orang atau badan, misalnya retribusi atas penyediaan tempat penginapan,
retribusi tempat pencucian mobil.
Karena kontra-prestasinya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat
paksaannya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis. Artinya, apabila
seseorang atau badan tidak mau membayar retribusi, maka manfaat ekonominya
langsung dapat dirasakan. Namun, apabila manfaat ekonomisnya telah dirasakan,
tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis pelunasannya dapat
dipaksakan seperti halnya pajak.
Jenis pos retribusi daerah dapat dikelompokkan menjadi:
1. Retribusi Jasa Umum : a. Retribusi Pelayanan Kesehatan; b. Retribusi Pelayanan
Persampahan/Kebersihan; c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk
dan Akta Catatan Sipil; d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; e.
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; f. Retribusi Pelayanan Pasar; g.
9
Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam
Kebakaran; i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; j. Retribusi Penyediaan dan/atau
Penyedotan Kakus; k. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; l. Retribusi Pelayanan
Tera/Tera Ulang; m. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan n. Retribusi Pengendalian
Menara Telekomunikasi
2. Retribusi Jasa Usaha: a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b. Retribusi Pasar
Grosir dan/atau Pertokoan; c. Retribusi Tempat Pelelangan; d. Retribusi Terminal; e.
Retribusi Tempat Khusus Parkir; f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa; g.
Retribusi Rumah Potong Hewan; h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; i. Retribusi
Tempat Rekreasi dan Olahraga; j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan k. Retribusi
Penjualan Produksi Usaha Daerah.
3. Retribusi Perizinan: a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b. Retribusi Izin Tempat
Penjualan Minuman Beralkohol; c. Retribusi Izin Gangguan; d. Retribusi Izin Trayek;
dan e. Retribusi Izin Usaha Perikanan.
2.2.3 Sumbangan
Sumbangan adalah sebuah pemberian yang pada umumnya bersifat secara fisik
oleh perorangan atau badan hukum, pemberian ini mempunyai sifat sukarela dengan
tanpa adanya imbalan bersifat keuntungan.
Pungutan dengan nama sumbangan biasanya tidak diartikan untuk kepentingan
pengeluaran-pengeluaran yang dikelola oleh pemerintah, tetapi dilakukan oleh dan untuk
kepentingan sekelompok masayarakat tertentu dan tidak memerlukan dasar hukum
menurut undang-undang serta tidak mempunyai unsur paksaan, misalnya sumbangan
pembangunan tempat-tempat ibadah, sumbangan perbaikan jalan, dan lain-lain. Pungutan
ini lebih bersifat pada gotong-royong masyarakat setempat. Tidak adanya sifat paksaan
tetapi unsur sukarela, pemberi sumbangan dapat merasakan imbalan langsung atas hasil
sumbangannya, tetapi pemberi sumbangan dapat juga tidak merasakannya sama sekali
jika pemberi sumbangan tersebut tidak pernah bertempat di suatu wilayah di mana jalan
atau tempat ibadah yang dibangun merupakan hasil sumbangannya sebagian.
10
1.3 Peranan dan Fungsi Pajak dalam Pembangunan
1.3.1 Peranan Pajak
Pajak yang dibayarkan sebagai alat untuk tersedianya sarana atau fasilitas
umum yang dapat digunakan bersama atau kita membayar pajak karena kita sudah
terlebih dahulu menikmati sarana umum. Kemakmuran generasi mendatang
sangat bergantung pada investasi generasi sekarang ini, yaitu berupa penyediaan
segala macam sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menggerakkan roda
ekonomi. Semua sarana dan prasarana umum tersebut hanya dapat tersedia bila
ada pajak.
Berdasarkan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),
diketahui bahwa sumber penerimaan APBN diperoleh dari 3 sumber, yaitu:
1) Penerimaan perpajakan, teridiri atas:
a. Pajak dalam negeri
b. Pajak perdagangan internasional
2) Penerimaan negara bukan pajak
3) Penerimaan hibah dari dalam negeri maupun luar negeri
Penerimaan perpajakan adalah semua penerimaan negara yang terdiri atas
pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Pajak dalam negeri
terdiri atas: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Sedangkan pajak perdagangan internasional
berasal dari Bea Masuk dan Bea Keluar.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah semua penerimaan
pemerintah pusat yang diterima dari sumber daya alam, bagian pemerintah atas
laba BUMN, PNBP lainnya, dan pendapatan badan layanan umum (BLU).
Penerimaan dari sumber daya alam terdiri atas: pendapatan minyak bumi,
pendapatan gas bumi, pendapatan kehutanan.
Untuk penerimaan berupa hibah merupakan penerimaan negara yang
berasal dari sumbangan pihak swasta dalam negeri dan pemerintah daerah serta
sumbangan pihak swasta luar negeri dan pemerintah luar negeri yang tidak perlu
11
dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak secara terus-
menerus, dialokasikan untuk mendanai kegiatan tertentu.
Dari ketiga sumber penerimaan tersebut, penerimaan dari sektor pajak
ternyata merupakan salah satu sumber penerimaan terbesar negara. Penerimaan
dari sektor pajak selalu dikatakan merupakan primadona dalam membiayai
pembangunan nasional.
Besarnya peranan pajak yang demikian kiranya perlu ditanamkan dalam
diri setiap orang agar dalam pelaksanaan pembayaran pajak yang telah dilakukan
dapat menjadi satu kebanggaan tersendiri karena telah memberikan kontibusinya
dalam pembangunan nasional. Melihat pada ciri kelima dari pengertian pajak
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa peranan pajak
sangat diperlukan dalam rangka pembangunan.
1.3.2 Fungsi Pajak
a. Fungsi anggaran (budgeter)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan
melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat
diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan
rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya.
Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah,
yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan
pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan
pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan
dari sektor pajak.
b. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan
pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk
12
mencapai tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan . Fungsi ini
umumnya dapat dilihat pada sektor swasta. Contohnya dalam rangka menggiring
penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai
macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam
negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
c. Fungsi Demokrasi
Pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan dan
pembangunan demi keselamatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang
ini sering dikaitkan dengan hak seseorang apabila akan memperoleh pelayanan
dari pemerintah.
d. Fungsi redistribusi pendapatan
Fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam
masyarakat. Hal ini dapat terlihat, misalnya dengan adanya tarif progresif yang
mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan
besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan
lebih sedikit.
Fungsi ketiga dan keempat sering disebut fungsi tambahan karena bukan
merupakan tujuan utama dalam pemungutan pajak.
1.4 Kedudukan Hukum Pajak dalam Tata Hukum Nasional
Hukum Pajak mempunyai kedudukan di antara hukum sebagai berikut
1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu
lainnya.
2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum
ini dapat dirinci lagi sebagai berikut :
- Hukum Tata Negara
- Hukum Tata Usaha
13
- Hukum Pajak
- Hukum Pidana
Dengan demikian kedudukan hukum pajak merupakan bagian dari hukum publik.
Dalam mempelajari bidang hukum, berlaku apa yang disebut Lex
Specialis derogate Lex Generalis, yang artinya peraturan khusus lebih diutamakan
dari pada peraturan umum atau jika sesuatu ketentuan belum atau tidak diatur
dalam peraturan khusus, maka akan berlaku ketentuan yang diatur dalam
peraturan umum. Dalam hal ini peraturan khusus adalah hukum pajak, sedangkan
peraturan umum adalah hukum publik atau hukum lain yang sudah ada
sebelumnya.
Hukum pajak menganut paham imperative, yakni pelaksanaannya tidak
dapat ditunda. Misalnya dalam hal pengajuan keberatan, sebelum ada keputusan
dari Direktur Jenderal Pajak bahwa keberatan tersebut diterima, maka Wajib
Pajak yang mengajukan keberatan terlebih dahulu membayar pajak, sesuai dengan
yang telah ditetapkan. Berbeda dengan hukum pidana yang menganut paham
oportunitas, yakni pelaksanannya dapat ditunda setelah ada keputusan lain
1.5 Syarat – Syarat Undang – Undang Pajak Bagi Suatu Negara
Pembuatan undang – undang pajak hendanya memenuhi syarat–syarat berikut, yaitu :
a. Syarat Keadilan
Syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil dan merata, yaitu
dikenakan kepada orang – orang pribadi sebanding dengan kemampuannya untuk
membayar (ability to pay) pajak tersebut, dan sesuai dengan manfaat yang
diterimanya. Keadilan disini meliputi keadilan dalam prinsip mengenai peraturan
perundang –undangan maupun dalam praktik sehari – hari. Syarat keadilan dapat
dibagi menjadi :
1. Keadilan Horizontal
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) sama
harus dikenakan pajak yang sama.
14
2. Keadilan Vertikal
Wajib Pajak yang mempunyai kemampuan membayar (gaya pikul) tidak sama
harus dikenakan pajak yang tidak sama.
b. Syarat Yuridis
Yaitu pemungutan pajak harus berdasarkan undang – undang karena dapat
bersifat memaksa, serta hak dan kewajiban Wajib Pajak maupun petugas pajak
harus di atur didalamnya. Pembayaran pajak harus seimbang dengan kekuatan
atau kemampuan membayar Wajib Pajak. Memang keliatannya bahwa hal ini
mudah karena membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, tetapi dalam
praktek mengalami kesulitan-kesulitan dalam memperhitungkan pajak. Bagi
orang yang berpenghasilan tetap tidak menjadi persoalan. Tetapi mereka yang
berpenghasilan tidak tetap akan sulit sekali untuk menentukan kemampuannya
atau daya pikulnya. Maka kepada Wajib Pajak diberikan kepercayaan sepenuhnya
untuk menghitung sendiri pajaknya dengan cara mengisi Surat Pemberitahuan
(SPT) secara jujur sesuai dengan kenyataan. Di sisi lain, petugas pajak juga tidak
boleh bertindak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Undang –
Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang –
Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak yang tidak puas untuk mengajukan
keberatan dan banding.
c. Syarat Ekonomis
Yaitu pungutan pajakharus menjaga keseimbangan kehidupan ekonomis
dan janganlah menggagu kehidupan ekonomis dari Wajib Pajak. Jangan sampai
akibat pemungutan pajak terhadap seseorang, maka orang itu jatuh melarat.
Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu atau menghalangi kelancaran
produksi maupun perdagangan atau perindustrian, jangan sampai dengan adanya
pemungutan pajak perusahaan-perusahaan akan gulung tikar atau pailit.
Sebaliknya, pemungutan pajak diharapkan bisa membantu menciptakan
pemeratan pendapatan atau redistribusi pendapatan.
15
d. Syarat Financial
Sesuai dengan fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara, maka
biaya pemungutan pajak tidak boleh terlalu besar. Dalam hal ini diartikan bahwa
biaya yang dikeluarkan untuk pemungutan atau penetapan pajak hendaknya lebih
kecil dari penerimaan pajak supaya ada penerimaan yang masuk ke kas negara
atau daerah.
1.6 The Four Maxims Adam Smith
Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang
terkenal "The Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:
1. Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):
pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan
dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap
wajib pajak.
2. Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan
UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
3. Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau
asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak
(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
4. Asas Efficiency (asas efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak
diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak
lebih besar dari hasil pemungutan pajak.[5]
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,
dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar - besarnya kemakmuran rakyat. Dengan
demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi
sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan
pembiayaan pembangunan. Disamping fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di
atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari masyarakat
yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada masyarakat
yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar
merupakan syarat mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan.
17
DAFTAR PUSTAKA
B. Ilyas Wirawan, Burton Richard, 2013, Hukum Pajak : Analisis, dan
Perkembangannya Edisi 6. Jakarta: Salemba Empat.
Suandy Erly, 2009, Hukum Pajak Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat.
Mardiasmo, 2011, Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta : ANDI.
18
Recommended