View
216
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PERSEPSI PIMPINAN DAN PELAKSANA LEMBAGA AMIL ZAKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
Oleh:
Bunga Ariyanti
109046100130
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H /2014 M
v
ABSTRAK
Bunga Ariyanti, 109046100130, PERSEPSI PIMPINAN DAN
PELAKSANA LEMBAGA AMIL ZAKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG
NO 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT. Konsentrasi
Perbankan Syariah, Program Studi Muamalat, Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014. Isi xii + 82 halaman +
halaman lampiran.
Masalah pokok pada penelitian ini adalah terbitntya UU No. 23 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang menuai kontroversi dibeberapa pihak
dikarenakan adanya beberapa pasal yang dinilai menkerdilkan peran LAZ.
Bahkan beberapa LAZ mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi atas
bebebrapa pasal yang dianggap krusial. Dalam penelitian ini akan membahas
persepsi LAZ terhadap UU sebelum dan sesudah Judicial Review.
Jenis penelitian ini adalah penelitan kualitatif. Jenis data dalam penelitian
ini terdiri atas dua sumber, yaitu data primer yaitu Undang-Undang yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan wawancara dengan pihak
yang terkait dalam skripsi ini. Data sekunder yang diperoleh dari Artikel, Jurnal,
dan Laporan Penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan
teknik kepustakaan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis
deskriptif.
Hasil menunjukkan bahwa beberapa pihak merasakan adanya kekurangan
dan ketidakadilan di beberapa pasal dalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat. Para pihak tersebut berharap bahwa pemerintah tidak
membatasi pengumpulan dan pengelolaan zakat yang sudah dilakukan oleh LAZ
dan masyarakat selama ini. Kerena yang terpenting dalam pengumpulan dan
pengelolaan zakat adalah pengentasan kemiskinan dengan dana zakat yang
terkumpul.
Kata Kunci : Persepsi, Lembaga Amil Zakat, UU No. 23 Tahun 2011
Pembimbing : Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D
NIP. 196912161996031001
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan
judul “PERSEPSI PIMPINAN DAN PELAKSANA LEMBAGA AMIL
ZAKAT TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT”. Shalawat serta salam tercurahkan
kepada Baginda Rasulullah SAW, beserta para keluarga dan sahabatnya dan
semoga dapat menjadi suri tauladan bagi kita semua.
Dapat terselesaikan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan,
arahan, dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak
Dr. H. JM Muslimin, MA.
2. Ketua Program Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag dan Sekretaris Program
Studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak Mu’min Rauf, M.A.
3. Bapak Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan saran dan
arahan yang terbaik sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga keberkahan selalu tercurah untuk Bapak sekeluarga.
vii
4. Bapak Muh. Fudhail Rahman, Lc, MA dan Bapak M. Bukhori Muslim, Lc,
MA yang telah meluangkan waktunya untuk menguji skripsi penulis.
5. Kedua orang tuaku tersayang, Alm. Zainal Arifin dan Almh. S. Sulastri.
Semoga Allah memberikan tempat terbaikNya untuk Ayah dan Ibu.
6. Kakak-kakak dan saudara-saudaraku yang telah mendoakan dan memberi
semangat serta kasih sayang.
7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis semasa
kuliah, semoga amal kebaikannya mendapat balasan di sisi Allah SWT.
8. Teristimewa untuk Ahmad Surya Kartadinata yang telah membantu dalam
banyak hal, memotivasi, dan memberikan solusi terbaik kepada penulis.
9. Untuk para narasumber pada penulisan skripsi ini, Bapak Kismo dari PKPU,
Bapak Fiman dari BAMUIS BNI, dan Bapak Romi dari Dompet Dhuafa,
Bapak M. Khoirul Muttaqin dari LAZISMU serta Bapak Hamid, Bapak Bobi,
Mas Adi dan Mbak Putri.
10. Sahabat yang selalu menemani dan memberi semangat kak Dwi Warastuti,
Tri Yuni dan Milah Kamilah.
11. Rekan-rekan Perbankan Syariah angkatan 2009 kelas D khususnya Evi
Yundari, Siti Masuko, Juliana dan Arendira serta Fitri Yunindya, dan
Alifiana.
12. Guru Sehat Om Bagus, Kak Ibnu dan para asistennya serta teman-teman di
Kahfi Motivator School khususnya Angkatan 14 C yang selalu memberikan
semangat dan doa.
viii
13. Ibu Amellya Hidayat S.Pd dan segenap staff Akademik yang telah banyak
membantu penulis.
14. Teman-teman sidang skripsi tanggal 16 April 2014 khususnya Suci
Warnasari, Naylis dan Devid yang telah memberikan semangat serta doa
kepada penulis.
15. Kepada siapapun yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah
mendoakan dan memberi semangat kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan
karena keterbatasan pengalaman, pengetahuan dan kemampuan penulis. Namun,
penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai amalan
baik penulis di sisi-Nya.
Ciputat, 24 Maret 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………................…… i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………....... ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN………………………… iii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………..... iv
ABSTRAK .........................…………………………………………………… v
KATA PENGANTAR………………………………...…………………....... vi
DAFTAR ISI……………………………….....……………………….......... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………........…… 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ......................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................................… 8
D. Review Studi Terdahulu ........................................................................... 9
E. Metode Penelitian …................................................................................. 11
F. Sistematika Penulisan ………………………………………………....... 14
BAB II SISTEM ADMINISTRASI ZAKAT DALAM NEGARA
A. Sejarah Zakat di Kelola Oleh Negara …………………………................ 16
B. Tujuan dan Manfaat Zakat Dikelola oleh Pemerintah ....…....................... 18
C. Managemen Zakat ……………………………………………................... 19
1. Pengertian Managemen ………………………………………...……. . 19
2. Managemen Klasik Dalam Pengelolaan Zakat ………………….……. 20
3. Managemen Modern Dalam Pengelolaan Zakat ………….……...…... 24
x
D. Pola Distribusi Zakat ………………………………………... 30
E. Konsep Keamilan………………………………...............……….. 33
F. Hambatan Pengelolaan Zakat Nasional ………………………...... 35
G. Strategi Pengembangan Zakat di Indonesia ……………………... 36
BAB III SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT DI LEMBAGA AMIL ZAKAT
A. Konsep Lembaga Amil Zakat ……………………………………….... 39
1. Pengertian dan Tujuan Lembaga Amil Zakat ………………………… 39
2. Fungsi Lembaga Amil Zakat ……………………………………... 40
3. Persyaratan Lembaga Amil Zakat ……………………........……… 41
4. Struktur Organisasi Lembaga Amil Zakat ………………….…...... 42
B. Lembaga Amil Zakat Sebagai Organisasi Nirlaba ……….......…………. 45
C. Pertumbuhan dan Persaingan LAZ di Indonesia ..............…………….… 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persepsi Lembaga Amil Zakat terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat ...…………...................…………......…..... 53
1. Pengaruh Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 …… 53
2. Dampak Terhadap Lembaga Amil Zakat setelah di sahkannya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 ..................................................... 56
B. Persepsi Lembaga Amil Zakat Mengenai Pasal-pasal Krusial dalam
Undang-Undang No.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat ................... 59
C. Persepsi Lembaga Amil Zakat Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi
Perihal Judicial Review ………..........................………......…………...…… 67
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………..……………….. 74
B. Saran …………………………………………………..………….........… 76
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………...…………….. 78
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia ........................................ 48
Tabel 3.2 Potensi Zakat Nasional ................................................................... 49
Tabel 3.3 Penghimpunan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS)
Nasional 2007-2011 ...................................................................... 50
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang telah tertulis dalam Al-
Quran dan dalam hadist nabi. Bahkan didalam Al-Quran Allah SWT telah
menyebutkan secara jelas berbagai ayat tentang zakat dan shalat sebanyak 82 ayat.
Dari sini disimpulkan bahwa zakat merupakan rukun Islam terpenting setelah
shalat.1 Secara sosial, zakat berfungsi sebagai lembaga jaminan sosial. Dengan
adanya zakat, maka kelompok lemah dan kekurangan tidak akan merasa khawatir
terhadap kelangsungan hidup yang mereka jalani. Hal ini terjadi karena dengan
adanya substansi zakat merupakan mekanisme yang menjamin kelangsungan
hidup mereka ditengah masyarakat, sehingga mereka merasa hidup ditengah
masyarakat manusia yang beradab, mememiliki nurani, kepedulian dan juga
tradisi saling menolong.
Selain itu secara ekonomi, zakat juga berfungsi sebagai salah satu
instrumen pengentasan kemiskinan, pemerataan pendapatan, dan mempersempit
kesenjangan yang terjadi antara kelompok kaya dan miskin. Zakat juga dapat
mempengaruhi kemampuan sebuah komunitas politik (negara) dalam
menjalankan kelangsungan hidupnya. Dengan adanya berbagai implikasi sosial
dan ekonomi di atas, maka zakat dapat membentuk intergrasi sosial yang kukuh
1 Nurul Huda dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis dan
Praktis (Jakarta: Kencana, 2010.) h. 293
2
serta memperkuat ketahanan ekonomi masyarakat. Dua kondisi terakhir ini sangat
diperlukan bagi kelangsungan hidup suatu negara. 2
Potensi zakat di Indonesia berdasarkan riset Baznas dan Fakultas Ekonomi
Manajemen (FEM) IPB tahun 2011 menunjukkan bahwa potensi zakat nasional
mencapai angka 3,4 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan
persentase ini, maka potensi zakat di negara kita setiap tahunnya tidak kurang dari
Rp 217 triliun. Hal yang sungguh besar sehingga perlunya perhatian agar
pengumpulan zakat di Indonesia dapat optimal.
Sejarah perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan zakat
dimulai pada tahun 1951 Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran
Nomor: A/VII/17367, tanggal 8 Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat
Fitrah. Kementerian Agama melakukan pengawasan supaya pemakaian dan
pembagian hasil pungutan zakat berlangsung menurut hukum agama.3
Pada tahun 1964 Kementerian Agama mulai menyusun Rancangan
Undang-Undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan
Pengumpulan dan Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul Mal. Sayangnya,
kedua perangkat peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) maupun kepada Presiden. Perhatian Pemerintah
terhadap lembaga zakat ini mulai meningkat sekitar tahun 1968. Saat itu
diterbitkanlah peraturan Menteri Agama Nomor 4 tentang Pembentukan Badan
Amil Zakat dan Nomor 5/1968 tentang pembentukan Baitul Mal (Balai Harta
2 Ibid., h. 3 Depag RI, Pedoman Zakat, (Jakarta: Badan Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf,
2002), h. 284.
3
Kekayaan) di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten/kotamadya. Namun pada
tahun tersebut, Menteri Keuangan menjawab putusan Menteri Agama dengan
menyatakan bahwa peraturan mengenai Zakat tidak perlu dituangkan dalam
Undang-undang, cukup dengan Peraturan Menteri Agama saja. Karena ada
respons demikian dari Menteri Keuangan, maka Menteri Agama mengeluarkan
Instruksi Nomor 1 Tahun 1968, yang berisi penundaan pelaksanaan Peraturan
Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5 Tahun 1968 di atas.4
Kepemimpinan Presiden Soeharto memberikan sedikit angin segar bagi
umat Islam dalam konteks penerapan zakat ini. Sesuai anjuran Presiden dalam
pidatonya saat memperingati Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 22 Oktober
1968 maka dibentuklahn Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) yang
dipelopori oleh Pemerintah Daerah DKI Jaya. Sejak itulah, secara beruntun badan
amil zakat terbentuk di berbagai wilayah dan daerah seperti di Kalimantan Timur
(1972), Sumatra Barat (1973), Jawa Barat (1974), Aceh (1975), Sumatra Selatan
dan Lampung (1975), Kalimantan Selatan (1977), dan Sulawesi Selatan dan Nusa
tenggara Barat (1985).5
Perkembangan zakat pada masa Orde Baru ini tidak sama di setiap
daerahnya. Sebagian masih pada tahapan konsep atau baru ada di tingkat
kabupaten seperti Jawa Timur. Atau ada pula yang hanya dilakukan oleh Kanwil
Agama setempat. Karena itulah, mekanisme penarikan dana oleh lembaga zakat
ini bervariasi. Di Jawa Barat hanya terjadi pengumpulan zakat fitrah saja. Di DKI
Jaya terjadi pengumpulan zakat, ditambah dengan infaq dan shadaqah. Dan di
4 Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, (Bandung: Mizan, 1987), h. 36-37.
5 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h. 36.
4
tempat-tempat lain masih meniru pola pada masa awal penyebaran Islam, yakni
menarik semua jenis harta yang wajib dizakati.6
Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia Pada tahun 1984 dikeluarkan
Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun 1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq
Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan yang pelaksanaannya diatur dalam
Keputusan Direktur Jendral Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal
30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember 1989 dikeluarkan Instruksi Menteri
Agama 16/1989 tentang Pembinaan Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan
semua jajaran Departemen Agama untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan
yang mengadakan pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan
dana zakat untuk kegiatan pendidikan Islam dan lainnya. Pada tahun 1991
dikeluarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan
Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti dengan Instruksi Menteri Agama Nomor
5 tahun 1991 tentang Pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq, dan
Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang
Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah.
Kemudian, terbentuknya Kabinet Reformasi memberikan peluang baru
kepada umat Islam, yakni kesempatan emas untuk kembali menggulirkan wacana
RUU Pengelolaan Zakat yang sudah 50 tahun lebih diperjuangkan. Hingga pada
tahun 1999 Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa
6 Dawam Rahardjo, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi Islam, h. 188-190.
5
lembaga pengelola zakat yang ada di Indonesia dapat berupa Badan Amil Zakat
yang dikelola oleh pemerintah serta dapat berupa Lembaga Amil Zakat yang
dikelola oleh swasta.7
Kini pengelolaan zakat memasuki era baru dimana telah disahkannya
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pada tanggal 27
Oktober 2011. UU tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan praktisi,
akademisi, masyarakat, Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan pihak yang terkait (stake
holder) lainnya. Mulai dari kekhawatiran akan dibekukannya LAZ hingga kesan
UU tersebut mengerdilkan peran mandiri masyarakat dalam memberdayakan dana
zakat.
UU Zakat digugat karena tiga hal. Pertama, terkait masalah sentralisasi
dalam pengelolaan zakat di mana Pasal 6 dan Pasal 17 UU Zakat menyatakan
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) lah yang berhak mengelola zakat di tanah
air, sementara posisi Lembaga Amil Zakat (LAZ) untuk membantu Baznas.
Kedua, terkait pembatasan pembentukan LAZ di mana Pasal 18 ayat 2 UU Zakat
menyatakan LAZ hanya bisa berdiri di atas badan hukum organisasi
kemasyarakatan (ormas). Padahal banyak LAZ yang telah lama berdiri melalui
badan hukum di luar ormas. Ketiga, terkait masalah kriminalisasi amil (pengelola)
zakat di mana Pasal 38 UU Zakat menyatakan hanya pihak yang mendapat izin
dari pejabat berwenang yang dapat mengelola zakat. Padahal kenyataannya ada
banyak pengelolaan zakat di hampir seluruh institusi Islam seperti musala dan
masjid.
7 M. Nur Rianto Al Arif. Lembaga keuangan syariah : Suatu Kajian Teoritis dan Praktis,
(Bandung: Pustaka Setia, 2012)
6
Undang-Undang No. 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat membuat
beberapa Lembaga Amil Zakat (LAZ) merasa tidak tenang. Pasalnya, UU
tersebut, seakan-akan akan mengkerdilkan lembaga Amil Zakat.
Salah satu LAZ di Malang, Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF)
Malang, menggelar aksi untuk mengkritisi masalah tersebut melalui aksi yang
dilakukan di bunderan Kayutangan Kota Malang, Kamis (19/7/2012).
Dalam aksinya, mereka melakukan aksi teterikal yang menggambarkan
kebingungan para donatur untuk berzakat, karena UU melarang mereka untuk
membayar pada lembaga yang dipercayai.
Arif Wicaksono, Direktur Pelaksana YDSF Malang mengatakan, ketika
UU tersebut dibelakukan maka nantinya ada sentralisasi pembayaran zakat di
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Menurutnya, adanya UU itu membuat nasih
LAZ terkatung-katung termasuk yang belum mendapat pengesahan pemerintah.
"Bagaimana nasib LAZ yang lebih dulu hadir dan bagaiman nasib banyak
lembaga yang belum disahkan," ujar Awik.8
Dengan adanya UU tersebut, tidak ayal jika peran aktif lembaga-lembaga
zakat tersebut semakin berkurang dalam mengambil andil praktik zakat di
Indonesia, dan secara tidak langsung kinerja lembaga-lembaga tersebut pun
menjadi terhambat. Karena, disamping faktor pembatasan dan persyaratan yang
harus dipenuhi, telah terjadi krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap kinerja
pemerintah yang belum bisa menjamin kualitas dan hasil yang memuaskan baik
dalam aspek perzakatan maupun aspek pemerintahan lainnya. Maka dari itu, perlu
8 Tribun News, “Lembaga Amil Zakat Malang Protes”, artikel diakses pada 14 Juni 2013
dari http://www.tribunnews.com/2012/07/19/lembaga-amil-zakat-malang-protes
7
adanya undang-undang tambahan atau peraturan pemerintah yang menjelaskan
secara gamblang mengenai mekanisme dan tata cara pendistribusian zakat yang
sesuai dengan syari’at Islam.9
Berangkat dari permasalahan diatas, penulis merasa perlu untuk mencoba
memberikan pemaparan lebih lanjut tentang hal tersebut. Untuk itu, penulis
mencoba menuangkannya dalam skripsi yang berjudul: PERSEPSI PIMPINAN
DAN PELAKSANA LEMBAGA AMIL ZAKAT TERHADAP UNDANG-
UNDANG NO. 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana persepsi pada LAZ terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat?
b. Bagaimana persepsi terhadap pasal-pasal krusial yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011?
c. Bagaimana persepsi terhadap kepuusan Mahkamah Konstitusi perihal
judicial review Undang-Undang No. 23 Tahun 2011?
9 Amalina Fauziah & Bazari Azhar Azizi, Madina Pres, “UU Zakat; Menghambat Kinerja dan Membatasi Peran Lembaga Zakat Non-Ormas (?)”, artikel diakses pada 10 Februari 2013 dari
http://madinapers.blogspot.com/2012/01/uu-zakat-menghambat-kinerja-dan.html
8
2. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari pembahasan tidak meluas dan fokus pada permasalahan
yang akan di bahas demi mencapai hasil yang tepat sasaran dan sesuai
dengan yang diharapkan, maka penulis perlu membatasi permasalahan yang
akan diteliti. Adapun batas penelitian ini adalah respon dari 4 Lembaga
Amil Zakat mengenai Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui persepsi pimpinan dan pelaksana LAZ terhadap UU
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
b. Untuk mengetahui pemasalahan dan isu terkait dengan UU No. 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat.
2. Manfaat Peneltian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
1. Bagi Penulis
Melatih penulis untuk lebih kritis dan analis dalam menyikapi permasalahan
yang timbul seputar pengelolaan zakat. Sehingga penulis dapat
berkontribusi dalam memajukan zakat nasional.
9
2. Lembaga Amil Zakat
Sebagai jawaban atas pertanyaan seputar pengelolaan zakat yang kini di atur
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
3. Akademisi
Untuk menambah khazanah keilmuan ekonomi Islam terutama yang
menyangkut permasalah seputar pengelolaan zakat.
D. Review Studi Terdahulu
No. Nama Penulis / Judul
skripsi / Tahun
Isi Perbedaan
1 Maulana Ibrahim /
Distribusi Zakat dalam
Perspektif UU No. 38
Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat / 2009
Membahas tentang
distibusi zakat di
Lembaga Amil Zakat
(LAZ) Masjid At- Tin
Jakarta Timur. Meneliti
apakah LAZ tersebut telah
mendistribusikan dana
zakat yang diperoleh
untuk usaha produktif
sesuai dengan UU No. 38
Tahun 1999 Pasal 16 Ayat
2.
Dalam skripsi
ini peneliti akan
membahas
tentang persepsi
LAZ terhadap
UU Pengelolaan
Zakat terbaru.
10
Metode Penelitian:
Deskriptif kualitatif
2 Asep Ali Hasan/
Pengembangan LAZ Dalam
Pemberdayaan Ekonomi
Umat/ 2012
Membahas tentang
perbedaan UU No. 38
Tahun 1999 dengan UU
No. 23 tahun 2011 serta
respon LAZ Dompet
Dhuafa terhadap UU No.
23 Tahun 2011.
Metode Penelitian:
Deskriptif Kualitatif
Perbedaan dengan
skripsi ini adalah
skripsi ini akan
mengangakat
persepsi dari 5
LAZ.
3 M. Sularno /
PENGELOLAAN
ZAKAT OLEH BADAN
AMIL ZAKAT
DAERAH KABUPATEN
/ KOTA SEDAERAH
ISTIMEWA
YOGYAKARTA (Studi
terhadap Implementasi
99 % responden
menjawab bahwa
Undang-Undang No 38
tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat dan
Keputusan Menteri
Agama RI tentang
Petunjuk Pelaksanaan atas
UU adalah dasar hukum
Dalam skripsi
ini peneliti akan
membahas
tentang pesepsi
LAZ terhadap
UU Pengelolaan
Zakat terbaru.
11
Undang-Undang No.38
Tahun 1999 Tentang
Pengelolaan Zakat) /
2010
(Jurnal)
mereka dalam
pembentukan Bazda.
Artinya sosialisasi UU
Zakat dan petunjuk
pelaksaannya kepada
pemerintah dan pengurus
Bazda cukup berhasil.
Metode Penelitian:
deskriptif- kualitatif
,artinya penelitian ini
berusaha memberikan
gambaran tentang
implementasi pengelolaan
zakat oleh Bazda
Kabupaten / Kota di DIY
serta kendala yang
dihadapinya, yang
dipaparkan berdasarkan
hasil olah data yang
diperoleh.
12
E. Metodelogi Penelitian
Penelitian ini termasuk kedalam penelitian lapangan (field research) dengan
teknik wawancara, yakni komunikasi langsung antara penulis dengan pimpinan
dan Pelaksana pada LAZ yang oleh penulis dijadikan sampel subjek/objek dalam
penelitian. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan karya
ilmiah ini adalah:
1. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan jenis data yang diperlukan
maka penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yang Deskriptif Kualitatif
yang bertujuan untuk membuat deskripsi, yaitu gambaran secara sistematis,
faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta yang berkenaan
dengan hubungan antar fenomena yg diteliti.10 Penulis akan mencari
gambaran tentang undang-undang pengelolaan zakat dengan melakukan
penelitian terhadap literatur pustaka dan juga dilengkapi dengan beberapa
wawancara langsung kepada Lembaga Amil Zakat.
2. Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah:
a. Data Primer
Data pimer adalah yang didapat dari sumber pertama, dari individu
seperti hasil wawancara atau hasil pengisian kuisioner yang bisa dilakukan
10 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 54.
13
peneliti.11 Dalam penelitian ini data primer yang dikumpulkan diperoleh
dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait dengan skripsi ini.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data primer yang diperoleh oleh pihak lain
atau data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh
pengumpulkan data primer atau oleh pihak lain.12 Data sekunder diambil
dari buku-buku, jurnal, internet, data penelitian terdahulu dan sumber
sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, untuk memperoleh data yang relevan maka
dalam penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data
sebagai berikut:
a. Interview (wawancara)
Peneliti memberikan pertanyaan kepada Pimpinan dan Pelaksana
Lembaga Amil Zakat untuk mengetahui persepsi lebih dalam dari
permasalahan yang terjadi di seputar UU No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat.
b. Studi Pustaka
Peneliti mencari data dari buku-buku teks, artikel-artikel dan
sumber media cetak maupun elektronik yang berkaitan dengan tema dalam
skripsi ini.
11 Dergibson Siagian dan Sugiarto, Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000) h.16.
12 Ibid., hal.16
14
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan secara
bersamaan dengan mengumpulkan data, sejak sebelum memasuki
lapangan, selama dilapangan dan setelah di lapangan. Proses analisis
bersifat induktif, yaitu mengumpulkan informasi-informasi khusus
menjadi satu kesatuan dengan jalan mengumpulkan data, menyusun atau
mengklasifikasikannya dan menganalisa bisa dimulai dari data-data
konkrit, kemudian dihubungkan dengan dalil-dalil umum yang sudah
dianggap selanjutnya dikembangkan menjadi hipotesis.13
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku “Pedoman
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2012”
F. Sistematika Penulisan
Adapun penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, pembatasan
masalah, tujuan penelitian, kajian studi terdahulu, kerangka teori,
metode penelitian dan statistika penelitian.
13 Moh Kasiram, Metodologi Penelitin Refleksi Pengembangan Pemahaman dan
Penguasaan Metodologi Penelitian, (UIN Malang Press. 2008)
15
BAB II : SISTEM ADMINISTRASI ZAKAT DALAM NEGARA
Bab ini membahas tentang sejarah zakat dikelola oleh negara, fungsi
dan manfaat zakat dikelola negara, serta managemen zakat di
Indonesia.
BAB III : SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT DI LAZ
Bab ini berisi konsep lembaga amil zakat, lembaga amil zakat
sebagai organisasi nirlaba dan pertumbuhan serta persaingan
lembaga amil zakat di Indonesia.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan menguraikan pembahasan mengenai
permasalahan yang terjadi seperti: Bagaimana persepsi Pimpinan dan
Pelaksana dalam Lembaga Amil Zakat terhadap UU Zakat No. 23
Tahun 2011, Dampak yang dirasakan oleh LAZ setelah disahkannya
UU No. 23 Tahun 2011, dan Persepsi LAZ atas Judicial Review UU
No. 23 Tahun 2011.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan juga saran dari
penulis. Kesimpulan ini merupakan ikhtisar dari uraian pada bab-bab
sebelumnya.
16
BAB II
SISTEM ADMINISTRASI ZAKAT DALAM NEGARA
A. Sejarah Zakat Dikelola Oleh Negara
Di Indonesia, sejak datangnya Islam ke tanah air, zakat telah menjadi salah
satu sumber untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Dalam perjuangan
bangsa Indonesia menentang penjajahan Belanda pun, zakat, terutama bagian
sabilillah-nya merupakan sumber dana perjuanagan. Oleh karena itu, ketika satu
persatu wilayah tanah air kita dapat dikuasai oleh Belanda, Pemerintah Kolonial
itu mengeluarkan Bijblad Nomor 1892 tanggal 4 Agustus 1893, yang berisi
kebijakan Pemerintah Kolonial mengenai zakat. Alasan klasik rezim kolonial itu
adalah mencegah terjadinya penyelewengan keuangan zakat oleh penghulu atau
naib yang bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan Pemerintah
Belanda. Untuk melemahkan dana kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu,
Pemerintah Hindia Belanda melarang semua pegawai pemerintah dan priyayi
pribumi untuk membantu pelaksanaan zakat. Larangan tersebut dituangkan dalam
Bijblad No. 6200 tertanggal 28 Februari 1905.
Setelah Indonesia merdeka, perhatian pemerintah secara kualitatif mulai
meningkat pada tahun 1968. Pada tahun itu pemerintah mengeluarkan Peraturan
Menteri Agama Nomor 4 dan Nomor 5/1968, masing-masing tentang
17
pembentukan Badan Amil Zakat dan pembentukan Baitul Mal (Balai Harta
Kekayaan) ditingkat pusat dan provinsi dan ditingkat kabupaten dan kotamadya.1
Beberapa hari setelah peraturan Menteri Agama itu keluar, Presiden
Soeharto, dalam pidatonya pada malam peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara
pada tanggal 20 Oktober 1968 mengeluarkan anjuran untuk menghimpun zakat
secara teratur dan terorganisasi. Anjuran presiden inilah yang menjadi pendorong
terbentuknya Badan Amil Zakat di berbagai provinsi di Indonesia, yang
dipelopori oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Atas prakarsa
Gubernur Pemda DKI Jaya, Ali Sadikin, berdirilah di Ibukota Badan Amil Zakat,
Infaq dan Sedekah pada tahun 1968. Diberbagai daerah tingkat provinsi saat itu,
berdiri pula badan serupa yang dipelopori oleh pejabat atau pemerintah setempat
yang didukung oleh para ulama dan pemimpin Islam.
Adanya perubahan (amandemen) Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999
dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 yang telah disahkan pada tanggal 27
Oktober 2011 diharapkan membawa perubahan sistem pengelolaan zakat di
Indonesia menjadi lebih baik dan terintegrasi.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 menempatkan BAZNAS sebagai
badan tunggal yang bertugas sebagai perencanaan, pengendalian, pelaporan,
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat di Indonesia. Sementara
itu, LAZ hanya diposisikan sebagai “pembantu” BAZNAS dalam pengelolaan
zakat.
1 Rahmat Raharjo, “Sejarah Perkembangan Zakat di Indonesia”, artikel diakses pada 25
Maret 2014 dari http://konsultasi-hukum-online.com/2013/07/sejarah-perkembangan-zakat-di-indonesia/
18
Pengelolaan zakat secara tunggal oleh negara sejatinya merupakan hal
yang menggembirakan karena merujuk kepada banyak nash dan hadist yang
menjelaskan zakat merupakan kewenangan pemerintah.
B. Tujuan dan Manfaat Zakat Dikelola oleh Pemerintah
Pengelolaan zakat oleh Pemerintah Republik Indonesia memiliki banyak tujuan,
diantaranya adalah: 2
1. Menghindari pungutan double pajak dan zakat
2. Agar pengumpulan zakat dapat tertib dan optimal
3. Agar penyaluran zakat menjadi tepat sasaran dan produktif
4. Mendidik umat Islam agar membayar zakat harta sesuai dengan ketentuan
syariat Islam (adalah kewajiban pemimpin)
5. Pemerataan pendapatan dan mengurangi kecemburuan sosial serta
mengurangi tingkat kriminalitas
Adapun manfaat zakat dikelola oleh Pemerintah Indonesia ialah:
1. Dapat meningkatkan penerimaan negara dalam APBN, sehingga anggaran
pembangunan dapat ditingkatkan.
2. Dapat meningkatkan jumlah wajib pajak dan jumlah wajib zakat
(muzzaki)
3. Wajib zakat dapat di administrasikan secara akurat dan modern
2 Drs. H. M. Djamal Doa, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh negara (Jakarta: Nuansa
Madani, 201) h. 39
19
4. Tax ratio yang sekarang baru mencapai 12,1 % x PDB (produk domestik
bruto) dapat ditingkatkan menjadi 20 % x PDB (akumulasi penerimaan
pajak dan zakat harta dibandingkan PDB)
5. Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi :”Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara” yang selama ini belum pernah tercapai secara
optimal dapat terealisir karena fakir-miskin adalah salah satu golongan
(ashnaf) yang berhak menerima zakat harta.
6. Anggaran untuk pendidikan dapat ditingkatkan karena “pendidikan”
adalah termasuk salah satu golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat
harta sehingga pendidikan dapat dilaksanakan secara cuma-cuma dan gaji
guru dapat dinaikkan
7. Pengusaha kecil golongan ekonomi lemah dapat dibantu permodalannya
karena orang miskin (golongan ekonomi lemah) adalah salah satu
golongan (ashnaf) yang berhak menerima zakat harta.
C. Manajemen Zakat
1. Pengetian Manajemen
Manajemen merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, “management”
yang berakar kata “manage”, yang berarti “control” kontrol dan “succed”
sukses.3 Nampaknya dari kata ini dapat disimpulkan bahwa inti dari
manajemen adalah pengendalian hingga mencapai sukses yang diinginkan.4
3 Lihat A. S Hornby, Oxford Advanced Dictinary of Current English. (Oxford: Oxford
University Press, 1987) h. 517 4 Eri Sudewo, Manajemen Zakat. (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004) h. 63
20
Adapun manajemen secara terminologi diartikan oleh James Stoner, seperti
dikutip Eri Sudewo, sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan
dan pengawasan usaha para anggota organisasi dengan menggunakan sumber
daya yang ada agar mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
Dalam Islam, manajemen secara letter lijk mungkin tidak dikenal, namun
secara substansial, manajemen merupakan salah satu inti ajaran Islam.5 Seperti
ibadah shalat di awal waktu merupakan perbuatan yang dianjurkan. Dimana
kita diharuskan mengelola waktu bukan hanya untuk bekerja namun juga tidak
melalaikan kewajiban shalat.
2. Manajemen Klasik dalam Pengelolaan Zakat
Terkait dengan zakat, manajemen nampaknya belum banyak diperhatikan
orang. Zakat masih dianggap persoalan yang ringan yang tidak perlu dikelola
secara profesional. Apalagi ketika disebut zakat, orang segera mempersepsikan
zakat fitrah dalam benaknya dan zakat fitrah cukup dilaksanakan di akhir bulan
ramadhan. Dengan demikian, manajemen tidak diperlukan dalam pengelolaan
zakat.
Ada 8 tradisi yang telah membuat pengelolaan zakat di Indonesia
menjadi tidak maksimal, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sikap Penyepelean
5 Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. (Malang: UIN-Malang Press, 2007)
h. 72
21
Pengelolaan zakat dianggap sepele karena zakat sifatnya hanya
bantuan dan pengelolaan bantuan itu merupakan pekerjaan sosial semata.
Keseriusan dalam pengelolaan zakat bukan merupakan kenisyacaan.
Pekerjaan sosial bisa dilakukan dengan santai dan tanpa beban. Pandangan
semacam ini semakin memperkeruh situasi, sebab kebanyakan pengelola
zakat menganggap bahwa mereka tidak terlalu membutuhkan zakat..
Penyepelean terhadap zakat akan berakibat kepada tidak terpenuhinya
kebutuhan orang-orang yang secara ekonomi kurang beruntung.
2. Pekerjaan Sampingan
Pekerjaan sosial adalah pekerjaan kedermawanan hati seseorang.
Dengan demikian, rasa sosial ini akan sangat tergantung dengan suasana
hati. Pekerjaan sosial dianggap pekerjaan sampingan yang tidak istimewa.
Tidak ada penghargaan tinggi terhadap jenis pekerjaan ini karena dianggap
cukup dikerjakan seadanya dan sederhana. Pekerjaan sosial semacam
pengelolaan zakat merupakan pekerjaan kelas dua. Cara pandang yang
meremehkan pengelolaan zakat semacam ini tentu membuat orang akan
segan menekuni bidang pengelolaan zakat. sentimen masyarakat terhadap
pekerja zakat akan membuat masyarakat semakin malas mengelola zakat
secara profesional.
3. Tanpa Manajemen
Pengelolaan zakat seringkali tanpa bentuk manajemen yang jelas.
Semua berjalan sesuai dengan intuisi masing-masing. Manajemen dalam
22
arti sesungguhnya tidak dikenal. Pembagian tugas dan struktur organisasi
hanya formalitas tanpa adanya alasan yang jelas. Struktur hanya
disesuaikan dengan keinginan sang pengelola atau si pendiri bukan
berdasarkan kebutuhan riil organisasi. Efeknya organisasi bisa berjalan
namun lambat, biasanya hanya di awal saja organisasi tersebut berjalan
namun lambat laun akan timbul kejenuhan, kecemburuan kerja dan
akhirnya yang bekerja hanya beberapa gelintir orang saja karena yang lain
mengundurkan diri atau sengaja tidak aktif. Akhirnya, organisasi tanpa
manajemen yang jelas akan mandeg atau akan berjalan ditempat.
4. Tanpa Seleksi Sumber Daya Manusia
Salah satu kebiasaan lembaga nirlaba di Indonesia termasuk
lembaga pengelola ZIS adalah tidak serius dalam seleksi SDM pengelola.
Jarang sekali ada sistem rekrutmen yang paten, apalagi fit and proper test
yang dirasa terlampau berlebihan. Pandangan bahwa pekerjaan sosial
merupakan pekerjaan mudah yang tidak butuh orang-orang profesional
menyebabkan tidak adanya seleksi yang ketat.
5. Ikhlas Tanpa Imbalan
Pola bekerja di yayasan sosial, panti maupun lembaga pengelolaan
ZIS masih berupa pengabdian yang tak perlu mendapat hak, lebih-lebih
menuntut upah yang layak. Jika ada tuntutan semacam itu, orang dianggap
tidak ikhlas, tidak punya rasa pengabdian dan bisa jadi dianggap tidak
islami. Meminta imbalan berarti merusak niat untuk beribadah. Dengan
23
demikian, imbalan bukan menjadi agenda yang utama, yang penting kerja.
Namun, siapa yang mau bekerja tanpa imbalan? Wajar kalau kemudian
orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan zakat adalah orang-orang
yang memberikan sisa-sisa waktu dan bekerja apa adanya. Semangat yang
diberikanpun juga tinggal sisa. Sehingga pengelolaan zakat tidak berjalan
secara maksimal.
6. Kreativitas Rendah
Pengelolaan tradisional biasanya cenderung pasif, kurang kreatif,
dan tidak inovatif. Para pelaksananya lebih sering menikmati keadaan dan
segan untuk melakukan terobosan-terobosan baru. Padahal, lambaga
semacam ini perlu orang-orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi dan
mau bereksplorasi untuk menemukan solusi jitu dalam usaha
meningkatkan kemakmuran umat. Kehidupan organisasi menjadi
monoton, seolah-olah tidak perlu repot mengikuti grak langkah zaman.
7. Minus Monitoring dan Evaluasi
Salah satu dampak dari lemahnya kretiviatas dan tiadanya
manajemen adalah tidak adanya sistem monitoring dan evaluasi. Jalannya
organisasi masih sangat tergantung pada pimpinan yang menjadi kata
kunci dalam kebanyakan organisasi nirlaba. Model organisasi yang terlalu
banyak menggantung kepada eksistensi pimpinan menyebabkan lemahnya
sitem pengawasan dan evaluasi. Dengan tidak adanya kedua elemen
24
tersebut, dapat dibayangkan bahwa lembaga itu akan sulit berbenah
apalagi berkembang untuk bersaing dengan lembaga lain.
8. Tidak Biasa Disiplin
Kedisiplinan akan menyulitkan sebuah organisasi untuk
berkembang, bersaing dengan kompetitor yang telah menerapkan disiplin
sebagai salah satu prinsipnya.
3. Manajemen Modern dalam Pengelolaan Zakat
Menurut Jones Stoner, model manajemen sederhana adalah sebagai
berikut proses perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan
(actuating), pengawasan (controling). Keempat aktivitas tersebut telah dirangkum
oleh Eri Sudewo dalam buku Manajemen Zakat, berikut beberapa poin penting:6
a. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu aktifitas untuk membuat rancangan-
rancangan agenda kegiatan yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi.
Perencanaan itu bisa terkait dengan waktu dan strategi. Perencanaan model
pertama , sering dibagi dalam tiga pembabakan, yaitu perencanaan jangka
pendek, perencanaan jangka menengah dan perencanaan jangka panjang.
Yang dimaksud dengan perncanaan jangka pendek adalah perencanaan
yang dibatasi waktunya hanya satu tahun, sedangkan perncanaan jangka
menengah biasanya akan dilakukan dalam kisaran waktu antara satu
6 Ibid, h. 79
25
hingga tiga tahun. Untuk perencanaan jangka panjang waktu yang
dibutuhkan adalah tiga sampai lima tahun. Kisaran waktu tersebut bisa
diubah sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Yang penting dalam
perencanaan ini adalah adanya kegiatan yang jelas dan berkesinambungan
yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi dengan standar pencapaian
yang dicanangkan.
Perencanaan strategis adalah perencanaan yang digunakan untuk
menjaga fleksibilitas rencana jangka panjang akibat berubahnya situasi.
Rencana strategis ini bertujuan untuk menjaga eksistensi organisasi
sehingga tetap bertahan. Perbedaan dengan perencanaan berdasarkan
waktu adalah perencanaan berdasarkan waktu menekankan pada
harmonisnya organisasi dalam beradaptasi, sedangkan perencanaan
strategis justru dibuat untuk meredam gejolak yang dapat mengguncang
harmoni tersebut. Perencanaan strategis akan mampu menjaga organisasi
dari kehancuran akibat perubahan yang begitu cepat.
Dalam pengelolaan zakat, rencana strategis merupakan suatu unsur
yang tidak dapat dipisahkan. Ada beberapa alasan tentang hal tersebut:7
a. Masalah kepercayaan. Di dalam masyarakat kita, kepercayaan
menjadi barang asing dan mahal. Kepercayaan akan muncul jika
orang lain yang menyampaikan. Oleh sebab itu, kepercayaan butuh
waktu lama untuk diraih. Orang-orang yang mengelola zakat
7 Sudirman, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas. (Malang: UIN-Malang Press, 2007)
26
adalah salah satu kuncinya. Lembaga zakat akan dapat dipercaya
jika pengelolaannya benar-benar sesuai dengan kemauan
masyarakat, yakni lembaga yang jujur, amanah dan profesional.
b. Mayarakat. Masyarakat memiliki logika sendiri dalam menilai
sebuah organisasi dalam menilai sebuah organisasi. Secara sosial,
zakat merupakan bentuk ibadahyang memiliki hubungan nyata
dengan masyarakat. Zakat menuntut tumbuhnya lembaga-lembaga
zakat yang memiliki integritas tinggi dengan harapan lembaga
zakat tidak hanya memberikan santunan, akan tetapi dapat
merumuskan metode penanggulangan kemiskinan secara terencana.
c. Pemeliharaan. Mayarakat kita tergolong senang mendirikan
organisasi namun agak segan memiliharanya. Sehingga
diperlukannya pemeliharaan agar lembaga zakat dapat berkembang
dan menjalanakan fungsi sebagai mana mestinya.
b. Pengorganisasian
Yang dimaksud dengan pengorganisasian adalah cara yang
ditempuh oleh sebuah lembaga untuk mengatur kinerja lembaga termasuk
para anggotanya. Pengorganisasian tidak lepas dari koordinasi, yang sering
didefinisikan sebagai upaya penyatuan sikap dan langkah dalam sebuah
organisasi untuk mencapai tujuan.
27
Koordinasi setidaknya dikaitkan dalam beberapa faktor, yaitu:8
Pimpinan
Dalam sebuah organisasi, termasuk lembaga zakat, sedikit
banyak akan tergantung dengan pimpinannya. Oleh sebab itu,
organisasi harus melibatkan pihak pimpinan agar diketahui kemana
arah organisasi yang diinginkan pimpinan. Walalupun begitu
pimpinan tidak bisa seenaknya memaksakan kehendaknya kepada
anggotanya. Justru dengan koordinasi inilah akan hilang
penyumbat kebuntuan komunikasi antara pimpinan dengan
bawahan.
Kualitas Anggota
Disamping pemimpin, organisasi membutuhkan sumber daya
manusia yang berkualitas. Kapasitas anggota akan menjadi unsur
penting dalam membangun citra (image) organisasi. Potensi
beragam dari para anggota lembaga tersebut akan menghasilkan
kekuatan besar bila dikoordinir dengan baik.
Sistem
Sistem yang baik akan menjadikan sebuah organisasi lebih
lama bertahan hidup. Sistem ini antara lain meliputi struktur
organisasi, pembagian kerja, mekanisme birokrasi, sistem
8 Eri Sudewo, Manajemen Zakat. (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004)
28
komunikasi, dan transparansi anggaran. Jika semua sistem itu
berjalan baik, tentu lembaga itu akan mudah memperoleh
kesuksesan.
c. Pelaksanaan dan Pengarahan
Pelaksanaan dalam sebuah manajemen adalah aktualisasi
perencanaan yang dicanangkan oleh organisasi sedangkan pengarahan
adalah proses penjagaan agar pelaksanaan program kegiatan dapat berjalan
sesuai dengan rencana. Dalam pelaksanaan ada beberapa komponen yang
sangat diperlukan, diantaranya adalah motivasi, komunikasi dan
kepemimpinan.
Motivasi akan memunculkan semangat bekerja dan pantang
menyerah saat menhadapi pelbagai tantangan dan hambatan. Untuk
memotivasi anggota organisasi dibangun sikap kebersamaan dan
keterbukaan sehingga anggota yang baru masuk sekalipun akan merasa
menjadi bagian utuh dalam kiprahnya.
Komponen penting lainnya dalam tahap pelaksanaan adalah
komunikasi. Komunikasi merupakan kegiatan untuk menyampaikan
informasi secara timbal balik sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
Terhentinya informasi akan menyebabkan kemacetan interaksi sehingga
pada akhirnya memunculkan masalah baru. Oleh karena itu, jalannya arus
informasi harus berlangsung secara lancar.
29
Unsur terakhir yang penting dalam pelaksanaan adalah
kepemimpinan. Kepemimpinan adalah unsur esensial dalam sebuah
organisasi seiring sinyalemen umum bahwa warna organisasi sangat
tergantung siapa yang memimpinnya. Kepemimpinan yang baik tidak lahir
dari konflik kepentingan yang akan memenangkan kelompoknya dan
menghancurkan lawannya. Sesungguhnya, pemimpin yang diidzmkan
adalah sosok pemimpin yang menjadi tumpuan harapan semua orang,
bukan kelompok atau golongan tertentu.
d. Pengawasan
Pengawasan merupakan proses untuk menganjurkan aktivitas
positif dan mencegah perbuatan yang menyalahi aturan. Pengawasan
berfungsi sebagai pengawal agar tujuan dalam organisasi dapat tercapai.
Pengawasan dalam lembaga zakat, setidaknya ada dua substansi,
pertama, secara fungsional, pengawasan terhadap amil telah menyatu
dalam diri amil. Pengawasan inheren semacam ini akan menjadikan amil
merasa bebas bekerja dan berkreasi karena selain bekerja, amil juga
melakukan ibadah.
Kedua secara formal, lembaga zakat memiliki Dewan Syariah yang
secara struktural berada dibawah ketua lembaga zakat. dewan syariah
yang terdiri atas para pakar yang ahli dibidangnya bertugas untuk
mengesahkan setiap program yang dibuat lembaga zakat. jika nanti
ditemukan penyimpangan dan ketidakberesan dalam aplikasi program
30
kegiatan, dewan ini berhak mengontrol dan kalau perlu menghentikan
program tersebut.
D. Pola Distribusi Zakat
Pola Pendistribusian Zakat
a) Pengertian Pola
Pola adalah gambaran yang di pakai untuk contoh. Pola adalah
bentuk yang di pakai sebagai acuan atau dasar membuat/melaksanakan
sesuatu yang dapat menguntungkan manusia. Pola pendistribusian zakat
adalah bentuk penyaluran dana zakat dari muzzaki kepada mustahik
dengan melalui amil.
b) Macam-macam Pola Pendistribusian Zakat
Melihat pengelolan zakat pada masa Rasulullah SAW dan para
sahabat kemudian di aplikasikan pada kondisi sekarang, didapati bahwa
penyaluran zakat dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yakni bantuan
sesaat (pola tradisonal/konsumtif) dan pemberdayaan (pola
kontemporer/produktif.
• Pola Tradisional/Konsumtif (Bantuan Sesaat)
Pola tradisional yaitu penyaluran batuan dana zakat diberikan
langsung kepada mustahik. Dana yang disalurkan memang
ditujukan unutk mustahik dalam bentuk bantuan yang bersifat
31
konsumtif seperti bantuan pangan, pakaian, pendidikan, kesehatan
dan tempat tinggal.9 Hal ini akan menimbulkan multiplier effect,
seperti yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Skema Efek Pengganda dalam Zakat
Secara ekonomi di jelaskan sebagai berikut: diasumsikan bantuan zakat
diberikan dalam bentuk konsumtif. Bantuan konsumtif yang diberikan kepada
mustahik meningkatkan daya beli mustahik tersebut terhadap barang
kebutuhannya. Peningkatan daya beli atas suatu barang akan berimbas pada
peningkatan produksi suatu perusahaan, imbas dari peningkatan produksi adalah
penambahan kapasitas produksi dalam hal ini berarti perusahaan akan menyerap
tenaga kerja lebih banyak.
Sementara itu, peningkatan produksi akan meningkatkan pajak terhadap
negara. Bila penerimaan negara bertambah maka negara akan mampu menyiapkan
9 Nana Mintarti, dkk, Indonesia Zakat & Development report 2012 (Ciputat: IMZ 2012) h. 94
Muzzaki Mustahik Produksi
Meningkat
Produksi
Meningkat
Peningkatan Negara
Mengingkat
Pembangunan Meningkat
Daya Beli Meningkat Zakat
Pajak Dana Pembangunan
Investasi Meningkat
32
sarana dan prasarana untuk pembangunan dan mampu menyediakan fasilitas
publik bagi masyarakat.
• Pola Kontemporer/Produktif (Bantuan Pemberdayaan)
Pola produktif adalah pola penyaluran dana zakat kepada mustahik yang
ada dipinjamkan oleh amil untuk kepentingan aktifitas suatu usaha/bisnis.
Dengan penyaluran zakat dengan bantuan pemberdayaan, diharapkan para
mustahik nantinya akan menjadi mandiri dan tidak lagi bergantung dengan
orang lain serta dapat berubah menjadi muzzaki. Hal tersebut dapat dilihat
pada gambar dibawah ini.
Skema Penyaluran Zakat Produktif
1
4 2
3
Penjelasan:
1. Zakat diberikan kepada mustahik dalam bentuk modal usaha atau kursus
keterampilan.
Muzzaki Mustahik
Mustahik Mempunyai Penghasilan
Mempunyai Pekerjaan
33
2. Mustahik mempunyai pekerjaan.
3. Mustahik mempunyai penghasilan tetap.
4. Pada akhirnya mustahik berubah menjadi muzzaki.
E. Konsep Keamilan
Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh Zakat, menyatakan bahwa
seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat, harus memiliki
beberapa persyaratan sebagai berikut:10
1. Beragama Islam. Zakat adalah salah satu urusan utama kaum
muslimin yang termasuk rukun Islam yang ketiga. Karena itu,
sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus
oleh sesama muslim.
2. Mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap
menerima tanggung jawab mengurus umat.
3. Memiliki sifat amanah atau jujur. Sifat ini sangat penting, karena
berkaitan dengan kepercayaan umat. Artinya para muzzaki akan
dengan rela menyerahkan zakatnya, jika lembaga zakat memang
patut dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam
bentuk transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan
pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan
penyalurannya sejalan dengan ketentuan syari’ah islammiyah.
10 Didin Hafidhuddin, Strategi Pengelolaan Zakat di Indonesia, Forum Zakat, 2011. h.
144
34
4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan
ia mampu melakukan sosialisai segala sesuatu yang berkaitan
dengan zakat kepada masyarakat. Dengan pengetahuan tentang
zakat yang relatif memadai, para amil zakat diharapkan terbebas
dari kesalahan dan kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya
pada masalah zakat tersebut. Pengetahuan yang memadai tentang
zakat ini pun akan mengundang kepercayaan dari masyarakat.
5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-
baiknya. Amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting,
akan tetapi juga harus ditunjang oleh kemampuan dalam
melaksanakan tugas. Perpaduan antara amanah dan kemampuan ini
yang akan menghasilkan kinerja yang optimal.
6. Kesungguhan amil zakat dalam menjalankan tugasnya. Amil zakat
yang baik adalah amil zakat yang full-time dalam melaksanakan
tugasnya, tidak asal-asalan dan tidak pula sambilan. Banyaknya
amil zakat yang sambilan dalam masyrakat kita menyebabkan amil
zakat tersebut pasif dan hanya menunggu kedatangan muzzaki
untuk membayarkan zakatnya atau infaqnya. Dan sebagian besar
adalah bekerja pada bulan Ramadhan saja. Kondisi semacam ini
harus segera dihentikan dan diganti dengan amil-amil yang serius,
sungguh-sungguh dan menjadikan pekerjaan amil zakat sebagai
pilihan hidupnya.
35
F. Hambatan Dalam Pengelolaan Zakat Nasional
Dalam perkembangan zaman, pengelolaan zakat menghadapi beberapa
kendala atau hambatan sehingga seringkali pengelolaannya masih belum optimal
dalam perekonomian.11
1. Minimnya sumber daya manusia yang berkualitas
Pekerjaan menjadi seorang pengelola zakat (amil) belumlah
menjadi tujuan hidup atau profesi dari seseorang. Menjadi seorang amil
belumlah menjadi pilihan hidup, karena tidak ada daya tarik disana.
Padahal lembaga amil membutuhkan banyak sumber daya manusia yang
berkualitas agar pengelolaan zakat dapat profesional, amanah, akuntabel
dan transparan.
2. Pemahaman fikih amil yang belum memadai.
Masih minimnya pemahaman fikih zakat dari para amil masih
menjadi salah satu hambatan dalam pengelolaan zakat. sehingga
menjadikan fikih hanya dimengerti dari segi tekstual semata bukan
konteksnya. Kekakuan dalam memahami fikih zakat menyebabkan mereka
memandang zakat hanya dapat diberikan dalam bentuk konsumtif semata
dan tidak diperkenankan untuk sesuatu hal yang produktif.
3. Rendahnya kesadaran masyarakat.
Masih minimnya kesadaran membayar zakat dari masyarakat
menjadi salah satu kendala dalam pengelolaan dana zakat agar dapat
berdayaguna dalam perekonomian. Karena sudah elekat dalam benak
11 M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makro Ekonomi Islam. Bandung: Alfabeta, 2010, h. 280
36
sebagian kaum muslim bahwa perintah zakat hanya diwajibkan pada bulan
Ramadhan saja, itupun terbatas pada pembayran zakat fitrah. Padahal
zakat bukanlah sekedar ibadah yang diterapkan pada bulan Ramadhan
semata, melainkan juga dapat dibayarkan pada bulan-bulan selain
Ramadhan. Apabila kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran umat sudah semakin baik, hal
ini akan berimbas pada peningkatan penerimaan zakat.
4. Teknologi yang digunakan
Penerapan teknologi yang ada pada suatu lembaga zakat masih
sangat jauh apabila dibandingkan dengan yang sudah diterapkan pada
institusi keuangan. Hal ini tentu akan menjadi salah satu kendala
penghambat pendayagunaan zakat. teknologi yang diterapkan pada
lembaga amil masih terbatas pada teknologi yang standar.
5. Sistem informasi zakat
Lembaga amil zakat yang ada belum mampu mempunyai atau
menyusun suatu sistem informasi zakat yang terpada antar amil. Sehingga
lembaga amil zakat ini saling terintegrasi satu dengan yang lainnya.
G. Strategi Pengembangan Zakat di Indonesia
Dengan melihat pada kondisi kekinian dan hambatan yang menjadi
kendala perkembangan pengelolaan zakat di Indonesia, maka haruslah disusun
suatu strategi pengembangan dalam pengelolaan zakat sebagai berikut:12
12 Ibid, h. 283
37
1. Membudayakan Kebiasaan Membayar Zakat
Harus mulai dicanangkan gerakan membayar zakat melalui tokoh-
tokoh agama tau bahkan dengan cara memasang iklan dimedia massa baik
cetak maupun elektronik. Sosialisasi kebiasaan membayar zakat harus
dilakukan secara serentak dan dengan koordinasi yang matang antar
lembaga, agar dapat menjadi budaya yang positif di masyarakat.
2. Penghimpunan yang Cerdas
Pada masa kini, strategi penghimpunan zakat secara tradisional
sudah tidak dapat dipergunakan lagi, yang hanya tunggu bola, menuggu
datangnya muzzaki datang ketempat amil. Saat ini amil harus mau untuk
lebih bekerja keras dalam menghimpun dana masyarakat, strategi yang
dipakai adalah strategi jemput bola, yaitu amil harus mendatangi dan
mendekati para muzzaki agar mau mengeluarkan zakatnya.
3. Perluasan Bentuk Penyaluran
Pola-pola penyaluran tradisional yang selama ini banyak
diterapkan oleh lembaga pengelola zakat secara tradisional harus diubah
agar bentuk penyaluran yang ada mampu menjadikan mustahik menjadi
mandiri dan tidak lagi bergantung kepada pihak lain. Mustahik tidak lagi
hanya diberi “ikan” tetapi mulai diberi “kail”, dimana nantinya mustahik
tersebut diharapkan mampu mendapatkan hasil yang berkesinambungan
dari “kail” yang diberikan.
38
4. Sumber Daya Manusia yang Berkualitas
Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu
prasyarat agar suatu lembaga amil zakat dapat semakin berkembang dan
mampu mendayagunakan dana zakat yang mereka miliki untuk
kemaslahatan umat.
5. Fokus dan Program
Seringkali kelemahan para lembaga pengelola zakat saat ini adalah
memiliki ambisi untuk menjangkau semua aspek kehidupan, hal ini
berakibat tidak fokusnya program-program yang mereka lakukan,
sehingga dapat mengakibatkan tujuan utama pendayagunaan zakat untuk
mengentaskan mustahik dari jurang kemiskinan justru tidak optimal.
39
BAB III
SISTEM PENGELOLAAN ZAKAT DI LEMBAGA AMIL ZAKAT
A. Konsep Lembaga Amil Zakat
1. Pengertian dan Tujuan Lembaga Amil Zakat
Lembaga amil zakat merupakan sebuah institusi yang bergerak di bidang
pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah. Definisi menurut Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayaagunaan zakat. 1
Pengelolaan zakat bertujuan :
a) Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan
zakat; dan
b) Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
2. Fungsi Lembaga Amil Zakat
Menurut Ridwan (2005) Organisasi pengelola zakat apapun bentuk
dan posisinya secara umum mempunyai dua fungsi yakni :
1 Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Terhadap Legalitas Pengelolaan
Zakat Oleh Lembaga Amil Zakat
40
1. Sebagai perantara keuangan
Amil berperan menghubungkan antara pihak Muzakki dengan
Mustahiq. Sebagai perantara keuangan, amil dituntut menerapkan azas
trust (kepercayaan). Sebagai layaknya lembaga keuangan yang lain, azas
kepercayaan menjadi syarat mutlak yang harus dibangun. Setiap amil
dituntut mampu menunjukkan keunggulan masing–masing sampai terlihat
jelas positioning organisasi, sehingga masyarakat dapat memilihnya.
Tanpa adanya positioning, maka kedudukan akan sulit berkembang.
2. Pemberdayaan
Fungsi ini, sesungguhnya upaya mewujudkan misi pembentukan
amil, yakni sebagaimana muzakki menjadi lebih berkah rezekinya dan
ketentraman kehidupannya menjadi terjamin di satu sisi masyarakat
Mustahiq tidak selamanya tergantung dengan pemberian bahkan dalam
jangka panjang diharapkan dapat berubah menjadi muzakki baru.
3. Keuntungan Pengelolaan Zakat oleh Lembaga Amil Zakat
Pengelolan zakat oleh lembaga amil zakat, memiliki beberapa keuntungan, antara
lain:
1. Untuk menjamin kepastian dan displin pembayar zakat.
2. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzakki.
41
3. Untuk mencapai efisien dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam
penggunaan harta zakat menurut skala perioritas yang ada pada suatu
tempat.
4. Untuk memperlihatkan syi'ar Islam dalam semangat penyelenggaraan
pemerintahan yang islami.
4. Persyaratan Lembaga Amil Zakat
Izin lembaga amil zakat hanya diberikan apabila memenuhi
persyaratan sebagai berikut:2
a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. Berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. Mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. Memiliki pengawas syariat;
e. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
f. Bersifat nirlaba;
g. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat; dan
2 Pasal 18 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
42
h. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
5. Struktur Organisasi Lembaga Amil Zakat
Struktur organisasi lembaga pengelola zakat, terutama yang
berbentuk lembaga amil zakat yang milik swasta atau masyarakat biasanya
mengacu pada UU Yayasan. Hal ini terjadi karena struktur organisasi dari
lembaga pengelola zakat mengacu pada UU Yayasan dan juga harus
berbadan hukum yayasan. Untuk menghindari terjadinya dualisme dalam
pandangan atas kedua UU tersebut, maka lembaga pengelola zakat harus
memiliki unsur-unsur yang ada di bawah ini:3
1. Dewan Pembina
Dewan Pembina bertugas untuk:
a. Memberikan nasihat dan arahan kepada dewan
pengurus atau manajemen lembaga pengelola zakat
b. Memilih, menetapkan, dan juga memberhentikan dewan
pengawas syariah
c. Mengangkat dan memberhentikan dewan pengurus
d. Menetapkan arah dan kebijakan organisasi
3 Mahmudi, Sistem Akuntansi Organisasi Pengelolaan Zakat, (Yogyakarta: P3EI Press,
2009)
43
e. Menetapkan berbagai program organisasi
f. Menetapkan RKAT (Rencana Kerja Anggaran
Tahunan) yang diajukan pengurus.
2. Dewan Pengawas Syariah
a. Melaksanakan fungsi pengawasan atas kegiatan yang
dilakukan oleh pihak manajemen yang terkait dengan
kepatuhan terhadap ketentuan syariah
b. Memberikan koreksi dan juga saran perbaikan kepada
pihak manajemen bila terjadi penyimpangan terhadap
ketentuan syariah
c. Memberikan laporan atas pelaksanaan pengawasan
kepada dewan pembina.
3. Dewan Pengurus/Manajemen Lembaga Pengelola Zakat
Secara umum, tugas yang dilaksanakan oleh pihak manajemen
adalah untuk melaksanakan arah dan juga kebijakan umum dari
lembaga pengelola zakat dan juga merealisir berbagai rencana
yang sudah ditetapkan oleh pihak pengurus. Adapun berbagai
bagian yang ada didalam dewan pengurus terdiri dari:
44
a. Ketua atau direktur. Tugas utama yang dilaksanakan
memastikan pencapaian dar berbagai tujuan yang
dilaksanakan oleh lembaga pengelola zakat.
b. Bagian penyaluran ZIS. Membuat program kerja
distribusi ZIS dan juga melaksanakan pendistribusian
ZIS tersebut.
c. Bagian keuangan. Bertugas membuat laporan keuangan
dari lembaga pengelola zakat dan juga melakukan
pengelolaan aset-aset yang dimiliki oleh lembaga
pengelola zakat. dalam bagian keuangan juga terdapat
bagian akuntansi, bendahara, dan juga internal audit.
d. Koordinator program. Menyusun dan juga
melaksanakan berbagai program yang dilakukan oleh
lembaga pengelola zakat, serta menyusun laporan
kinerja lembaga pengelola zakat.
e. Bagian pembinaan mustahik. Melakuakan pendataan
mustahik yang ada dan lalu mencatat dalam data
mustahik yang dimiliki oleh lembaga pengelola zakat.
Selain itu, juga melakukan pembinaan terhadap
mustahik, dan melakukan pemantauan atas berbagai
program distribusi ZIS kepada para mustahik.
45
f. Bagian pengumpulan dana ZIS. Bertugas untuk
melakukan pengumpulan dana ZIS di wilayah yang
menjadi tanggung jawab serta menyetorkan berbagai
dana ZIS tersebut kepada pihak bendahara ZIS.
B. Lembaga Amil Zakat sebagai Organisasi Nirlaba
Organisasi nirlaba atau organisasi non profit adalah suatu organisasi yang
bersasaran pokok untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik
publik untuk suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-
hal yang bersifat mencari laba (moneter). organisasi nirlaba meliputi keagamaan,
sekolah negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis,
bantuan masyarakat dalam hal perundang-undangan, organisasi sukarelawan,
serikat buruh.4
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa organisasi
nirlaba adalah salah satu lembaga yang tidak mengutamakan laba dalam
menjalankan usaha atau kegiatannya. Dalam organisasi nirlaba pada umumnya
sumber daya atau dana yang digunakan dalam menjalankan segala kegiatan yang
dilakukan berasal dari donatur atau sumbangan dari orang-orang yang ingin
membantu sesamanya. Tujuan organisasi nirlaba yaitu untuk membantu
masyarakat luas yang tidak mampu khususnya dalam hal ekonomi.
Organisasi nirlaba pada prinsipnya adalah alat untuk mencapai tujuan
(aktualisasi filosofi) dari sekelompok orang yang memilikinya. Karena itu bukan
4Wikipedia, “Organisasi Nirlaba”, artikel di akses pada 1 November 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_nirlaba
46
tidak mungkin diantara lembaga yang satu dengan yang lain memiliki filosofi
(pandangan hidup) yang berbeda, maka operasionalisasi dari filosofi tersebut
kemungkinan juga akan berbeda. Karena filosofi yang dimiliki organisasi nirlaba
sangat tergantung dari sejarah yang pernah dilaluinya dan lingkungan
poleksosbud (politik, ekonomi, sosial dan budaya) tempat organisasi nirlaba itu
ada.
Melihat tugas dan fungsi dari Lembaga Amil Zakat, dapat disimpulkan
bahwa LAZ merupakan salah satu lembaga nirlaba yang ada di Indonesia. Oleh
karena itu LAZ memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Sumber daya, baik berupa dana maupun barang semuanya merupakan
pemberian dari donatur dimana donatur berharap pemberian dari mereka
tersebut dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.
2. Menghasilkan program kerja berupa jasa layanan kepada masyarakat
dan tidak mencari laba dalam pelayanan tersebut, kalaupun menghasilkan
laba, laba tersebut akan digunakan kembali untuk program selanjutnya.
3. LAZ bukanlah milik perorangan atau kelompok, melainkan milik
ummat karena dananya berasal dari masyarakat. Sehingga kepemilikan
dalam organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus
kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi
pembagian sumber daya entitas pada saat likuiditas atau pembubaran
entitas.
47
C. Pertumbuhan dan Persaingan antar Lembaga Amil Zakat di Indonesia
Munculnya Badan Amil Zakat di Indonesia merupakan langkah awal dari
dimulainya pengelolaan zakat melalui sebuah lembaga. Menteri Agama
menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan
Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968 tentang
Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk
kemudian disetor kepada BAZ. Namun, atas seruan dan dorongan Presiden
berturut-turut pada peringatan Isra’ Mi’raj dan Idul Fitri 1968 keluarlah Instruksi
Menteri Agama No.1 tahun 1969 tentang Penundaan PMA No.4 dan 5 tahun
1968.5
Namun setelah itu, pengaturan dan pengelolaan zakat di Indonesia tidak
mengalami perkembangan yang signifikan, kecuali beberapa instruksi dan
himbauan tentang infaq dan sedekah. Hal ini menjadikan zakat relatif tidak
memberikan kontribusi positif dan konstruktif dalam menghadapi realitas problem
sosial ekonomi masyarakat dan negara. Sebelum tahun 1990, dunia perzakatan di
Indonesia memiliki beberapa karakteristik, antara lain zakat umumnya diberikan
langsung oleh muzakki kepada mustahik, jika pun melalui petugas zakat hanya
terbatas pada zakat fitrah yang bertugas temporer, kemudian zakat yang diberikan
pada umumnya hanya bersifat konsumtif dan harta objek zakat terbatas pada harta
yang secara eksplisit dikemukan dalam Al-Qur’an dan Hadist.
5 Sejarah Pengelolaan ZIS di Indonesia, artikel diakses pada 10 November 2013 dari
http://pujohari.wordpress.com/2009/09/
48
Di awal tahun 90-an, muncul Lembaga Amil Zakat (LAZ) pertama yang
didirikan oleh Harian Umum Republika yang bernama Dompet Dhuafa. Hingga
pada tahun 1999 dengan UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat,
semakin banyak LAZ lain yang bermunculan yang dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 3.1
Organisasi Pengelola Zakat di Indonesia6
No. Organisasi Jumlah
1. BAZNAS 1
2. BAZDA Provinsi 33
3. BAZDA Kabupaten/ Kota 434
4. BAZ Kecamatan 4800
5. BAZ Kelurahan 24000
6. LAZNAS 18
7. LAZ Provinsi 16
8. LAZ Kabupaten/ Kota 31
9. UPZ 8680
Total 38013
6 Nana Mintarti, dkk, Indonesia Zakat & Development Report 2012 (Ciputat: IMZ, 2012)
49
Hingga saat ini hanya ada 19 Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang
dikukuhkan secara resmi ditingkat pusat yang terdiri dari 1 BAZNAS dan 18
LAZ.
Banyaknya LAZ yang bermunculan menunjukkan besarnya potensi dana
ummat di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 3.2
Potensi Zakat Nasional7
No. Jenis Zakat Jumlah
(Rp Triliun)
Prosentase
terhadap PDB
1 Zakat Rumah Tangga
(Individu)
82,70 1,30
2 Zakat Industri:
Zakat perusahaan swasta
Zakat BUMN
Sub total
114,89
2,40
117, 29
1,84
3 Zakat Tabungan 17,01 0,27
TOTAL 217,0 3,40
7 Ibid., h. 26
50
Sumber: BAZNAS dan FEM IPB (2011)
Dari sinilah fenomena fundraising zakat yang menyebar, yang mulai
dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Fenomena munculnya banyak lembaga
zakat membawa dampak positif dan negatif dalam masyarakat. Dampak positifnya
adalah semakin besarnya dana Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) yang terkumpul.
Pertumbuhan dana ZIS Nasional dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 3.3
Penghimpunan Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) Nasional 2007-20118
Tahun Jumlah
(Miliar Rupiah)
Pertumbuhan Tahunan
(Persen)
2007 740 -
2008 920 24,32
2009 1200 30,43
2010 1500 25,00
2011 1800 20,00
*Data hingga November 2011
Besarnya pertumbuhan dana ZIS tentunya menggembirakan bagi semua
pihak. Dengan tumbuhnya dana ZIS diharapkan permasalahan utama yaitu
8 Ibid., h. 2
51
kemiskinan dapat ditanggulangi. Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran,
ketidakberdayaan, keterbelakangan, kematian. Maka kemiskinan adalah musuh
sesungguhnya yang perlu mendapatkan perhatian dari LAZ.
Namun, banyaknya LAZ juga memunculkan permasalahan baru bagi
pengelolaan zakat, karena LAZ cenderung independen dan membuat banyak
program yang tidak signifikan dan lemah koordinasi antar lembaga zakat. Dari
sinilah LAZ terkesan bersaing satu sama lain, bahkan hampir tiap LAZ memiliki
program yang serupa namun dikemas dengan kemasan yang berbeda. Mereka
cenderung latah terhadap program lembaga zakat yang telah ada.
Dalam pengembangan program pemberdayaan zakat, kecenderungan LAZ
menerapkan program lebih kepada sisi percobaan, kemudian dilihat bagaimana
tingkat keberhasilannya, sementara desain yang bersifat terstruktur, menyeluruh
dan berkelanjutan masih dihindari, untuk tidakmengatakan dibaikan. Ada tiga
asumsi yang bisa menjelaskan kasus ini. Pertama, dana yang tersedia terbatas
(karena dilakukan oleh satu lembaga), sehingga pengalokasian dana bersifat trial
dan eror. Kedua, bentuk program diharapkan menjadi daya tarik masyarakat untuk
berpartisipasi, baik bersifat dana maupun tenaga. Ketiga, LAZ masih
menekann=kan misi LSM yang bersifat konformisme dan reformasi.9
Karena sibuk dengan urusan persaingan, LAZ terkadang lupa untuk
merancang program secara sungguh-sungguh bagi mustahik. Imbasnya, LAZ
9 Asep Saepudin Jahar, Masa depan Filantropi Islam Indonesia (Banjarmasin, 2010)
52
lebih memilih merancanng program untuk mustahik yang populis. Padahal
program itu seringkali juga berasa tidak adil, tidak merata dan tidak esensial.
Bahkan dalam beberapa kasus program yang dilakukan hanya berorientasi
pada perbaikan masalah di level tengah, bukan di akarnya, sehingga pelaksanaan
program hanya menyelesaikan permasalahan jangka pendek, sementara masalah
utamanya yaitu kemiskinan tetap tidak teratasi.
52
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persepsi Lembaga Amil Zakat terhadap Undang-Undang No.23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat
1. Pengaruh Pemberlakuan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi
di undangkan dan masuk dalam Lembaran Negera Republik Indonesia bernomor
115 setelah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 25 November 2011. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011
menggantikan UU No 38 tahun 1999 yang sebelumnya telah menjadi payung
hukum pengelolaan zakat. Struktur dari Undang-Undang Pengelolaan Zakat ini
terdiri dari 11 Bab dengan 47 Pasal. Tak lupa di dalamnya juga mencantumkan
ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.1
Dalam undang-undang sebelumnya antara Badan Amil Zakat (BAZ) dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) dalam relasi sejajar, bahkan dalam situasi tertentu
cenderung pada posisi saling berhadap-hadapan (vis a vis). Sehingga memuncul
dikhotomi antara dua lembaga tersebut. BAZ seolah-olah milik pemerintah,
sedang LAZ punya masyarakat. Keadaan tersebut dinilai kurang kondusif
sehingga potensi zakat yang begitu besar terabaikan sehingga pengelolaan
maupun pendistribusian tidak memiliki arah, dimana saja wilayah mustahik yang
1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
54
lebih krusial, bahkan dikhawatirkan adanya penerima manfaat ganda, yang
diakibatkan tidak adanya sistem untuk mengetahui penerima manfaat dari masing-
masing BAZ maupun LAZ.2
Lahirnya UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menimbulkan
banyak tanggapan yang bersifat mendukung maupun mengkritisi UU tersebut. UU
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat hadir dengan membawa titik terang
bagi pengelolaan zakat di Indonesia. Namun, undang-undang tersebut belum
menutup segala permasalahan yang ada mengenai zakat. Harapan zakat dapat
dikelola secara maksimal dan lebih terkoordinir belum sepenuhnya dijawab dalam
undang-undang tersebut.
Sebelum Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
lahir, pengelolaan zakat telah dilakukan oleh masyarakat, baik oleh organisasi
(antara lain organisasi kemasyarakatan yang bergerak dibidang dakwah atau
pendidikan), organisasi berbadan hukum (yayasan), perkumpulan orang (seperti
pengurus atau takmir musholla), atau bahkan oleh satu atau beberapa orang yang
dianggap sebagai tokoh agama (alim ulama) dengan mengumpulkan dan membagi
zakat dalam komunitas tertentu dalam komunitas tertentu yang anggotanya dan
wilayahnya relatif kecil.
Pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung UU No 38 tahun 1999
dirasakan kurang optimal dan memiliki kelemahan dalam menjawab
permasalahan zakat di tanah air.3 Selain itu pasal-pasal yang termaktub di
2 Puji Kurniawan, Legislasi Undang-Undang Zakat, (2013) 3 HM.Busro anggota Komisi VIII DRR-RI dari Fraksi Golongan Karya (Golkar)
55
dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat sehingga butuh pembaruan. Karena itu di dalam UU Nomor 23 tahun
2011 pengelolaan lebih terintegrasi dan terarah dengan mengedepankan
perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan. Problem
mendasar yang dihadapi pada rezim zakat terdahulu adalah adanya
kesimpangsiuran siapa yang harus menjadi leading sector.4
Dalam menyikapi terbitnya UU No. 23 Tahun 2011, LAZ terbagi menjadi
2 kelompok: yaitu kelompok pro dan kelompok kontra. Beragam komentar
bernada kontra dengan adanya UU ini seperti yang di katakan oleh Sukismo dari
PKPU bahwa UU No.23 Tahun 2011 tampaknya muncul dari keresahan
pemerintah dalam hal ini BAZNAS, karena tidak adanya fungsi pengawasan. Tapi
pengawasan dari pemerintah sifatnya pembatasan bukan pengawasan yang
sesungguhnya. Pemerintah seperti ingin membatasi pengumpulan zakat yang
dilakukan oleh swasta5
Pedapat berbeda di ungkapkan oleh M. Khoirul Muttaqin yang
mengatakan bahwa UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dapat
membuka ruang bagi pribadi, alim ulama dan perkumpulan orang yang selama ini
tidak diwadahi dengan perizinan dan UU ini akan memperbanyak pelaku lembaga
zakat”.6 Yang dapat dilihat dari pendapat Bapak M. Khoirul adalah UU Zakat ini
membawa kepastian hukum bagi LAZ yang belum mempunyai legalitas hukum
4 Iskan Qolba Lubis, Anggota Komisi VIII DPR RI dari fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera. INFOZ+ Edisi 16 Th VII Januari- Februari 2012. h.4
5 Wawancara penulis dengan Sukismo, External Relation Manager PKPU pada 6 November 2013, di Kantor PKPU, Jakarta
6 Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin, President Director LAZISMU pada 29 Januari 2014, di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta
56
menjadi lembaga dapat menjadi lembaga yang legal, karena didalam UU No. 38
Tahun 1999, tidak mudah untuk mendirikan lembaga zakat.
2. Dampak Terhadap LAZ setelah di sahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun
2011 Tentang Pengelolaan Zakat
Pembaharuan hukum Islam dalam bentuk pengkodifikasian menjadi
perundang-undangan negara adalah bertujuan agar hukum Islam menjadi lebih
fungsional dalam kehidupan umat Islam. Begitu juga dengan diberlakukannya
Undang-Undang No.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Semua pegiat
zakat berharap, dengan adanya UU ini akan ada perbaikan dari semua sektor.
Bukan hanya perbaikan segi kelembagaan, tapi dari segi kesadaran masyarakat
dalam menyalurkan zakat melalui lembaga juga meningkat. Dengan demikian
penghimpunan zakat oleh pengelola zakat juga bertambah sehingga bermanfaat
bagi masyarakat miskin.
Fundraising merupakan bagian penting dari sebuah NGO (Non Goverment
Organization) yang termasuk didalamnya adalah Lembaga Amil Zakat.
Fundraising dapat diartikan sebagai kegiatan dalam rangka menghimpun dana dari
masyarakat dan sumber daya lainnya dari masyarakat (baik individu, kelompok,
organisasi, perusahaan ataupun pemerintah) yang akan digunakan untuk
membiayai program dan kegiatan operasional organisasi/ lembaga sehingga
mencapai tujuannya. Fundraising dalam pengertian ini memiliki ruang lingkup
lebih luas dari pengertian sebelumnya, Fundraising tidak hanya mengumpulkan
dana semata. Tetapi, juga segala bentuk partisipasi dan kepedulian yang diberikan
masyarakat kepada organisasi/ lembaga yang berbentuk dana dan segala macam
57
benda dan fasilitas yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan dan kesesuaian
dengan lembaga.7
LAZ tentunya bergantung kepada kegiatan fundraising. Untuk dapat
memaksimalkan penghimpunan dana, tentunya LAZ memiliki strategi fundraising
yang dilakukan. Beberapa strategi fundraising yang dilakukan oleh LAZ antara
lain:8
1. Kampanye Media
Kampanye media adalah strategi yang dilakukan oleh suatu
lembaga dalam rangka membangkitkan kepedulian masyarakat melalui
berbagai bentuk publisitas pada media massa. Beberapa teknik yang
dilakukan antara lain adalah dengan membuat berita dan pemasangan iklan
di media massa..
2. Direct Fundraising
Direct fundraising adalah strategi yang dilakukan oleh lembaga
dengan cara berinteraksi langsung dengan masyarakat, khususnya yang
berpotensi menyumbangkan dananya.. Teknik yang dapat dilakukan antara
lain:
a. Direct Mail, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan
dengan cara mengirimkan surat kepada masyarakat calon donatur.
7 Pusat Informasi dan Studi Zakat, “Dasar Strategi Fundraising”, artikel diakses pada 4
April 2014 dari http://pistaza.wordpress.com/2011/10/08/dasar-strategi-fundraising/ 8 Dompet Dhuafa, “Startegi Fubdraising Zakat”, artikel diakses pada 4 April 2014 dari
https://www.dompetdhuafa.org/strategi-fundraising-zakat/
58
b. Telefundraising, yaitu teknik penggalangan dana yang dilakukan
dengan cara melakukan kontak telepon kepada masyarakat calon
donatur.
c. Pertemuan Langsung, yaitu teknik penggalangan dana yang
dilakukan dengan cara melakukan kontak secara langsung dengan
masyarakat calon donatur.
d. Kerjasama Program, yaitu strategi yang dilakukan oleh lembaga
dengan cara bekerjasama dengan organisasi atau perusahaan
pemilik dana.
e. Fundraising Event, yaitu strategi yang dilakukan oleh lembaga
dengan cara menyelenggarakan sebuah event untuk pengumpulan
dana.
Terlepas dari kontroversi akan adanya pihak-pihak yang pro dan kontra
terhadap UU tersebut. Tentunya UU tesebut membawa beberapa dampak yang
dirasakan LAZ, seperti dampak terhadap strategi fundraising LAZ yang telah
biasa dilakukan, hal tesebut dirasakan oleh PKPU yang merasakan semakin
meningkatnya fundraising semenjak pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat. Sedangkan untuk BAMUIS BNI dan Dompet Dhuafa
tidak adanya perubahan strategi fundraising pasca pemberlakuan UU No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut M. Khorul Muttaqin bahwa
LAZISMU memang melakukan perubahan strategi fundraising tetapi perubahan
tersebut bukan dikarenakan adanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat.
59
Dampak lain yang dirasakan pasca pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat adalah dampak langsung terhadap LAZ. Berikut
merupakan dampak positif dan negatif dari pemberlakuan UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat yang dirasakan oleh BAMUIS BNI seperti yang di
ungkapkan Fiman Fathur Mafachir9:
Positifnya:
1. Akan adanya kepastian dari eksistensi LAZ dengan adanya BAZNAS
yang setara dengan kementrian (Badan Negara).
2. Dengan adanya UU Zakat ada ketetapan akan tata kelola zakat secara
nasional.
3. LAZ di akui dan menjadi jelas posisi dan perananya (sebagai pembantu
BAZNAS).
4. Zakat penghasilan/profesi menjadi hukum positif dalam penerapannya.
Negatifnya:
1. Sentralistik yang memicu berbagai penafsiran.
2. Kurang jelas posisi regulator dan koordinator (semoga dapat
diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah nantinya).
B. Persepsi Lembaga Amil Zakat Mengenai Pasal-pasal Krusial dalam Undang-
Undang No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Hadirnya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat memang
membawa angin segar bagi pengelolaan zakat di Indonesia. Namun, banyaknya
99 Wawancara pribadi bersama Fiman Fathur Mafachir, Divisi Akuntansi BAMUIS BNI pada 22 November 2013 di Kantor BAMUIS BNI , Jakarta
60
kekurangan karena ada sejumlah pasal yang dianggap diskriminatif dan tidak
sesuai dengan realitas di lapangan yang di rasakan para pegiat zakat di Indonesia,
memunculkan beberapa pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi pada september 2012.
Persepsi terhadap beberapa pasal krusial dalam UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat antara lain:
Sentralisasi pengelolaan zakat oleh BAZNAS, dan LAZ sebagai pembantu
dari BAZNAS. Persoalan tata kelola organisasi zakat, pertama relasi
antara BAZNAS, BAZ dan LAZ. Persoalannya kemudian BAZNAS dan
BAZDA adalah sebagai regulator tapi juga sebagai operator, itu yang
masih menjadi persoalan.10 Banyak pihak yang berharap sebenarnya BAZ
memainkan peran menjadi regulator dan supervisor, tidak sebagai
operator. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7
ayat (1) dan pasal 17 sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1)
Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
Pasal 6
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas
pengelolaan zakat secara nasional.
10 Wawancara penulis dengan Romi Ardiansyah, GM Corporate Secretary Dompet Dhuafa pada 2 Januari 2014 di Kantor Dompet Dhuafa
61
Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 diatas, menandakan bahwa pemerintah
akan melakukan sentralisasi zakat dengan BAZNAS (Badan Amil Zakat
Nasional) sebagai lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan
zakat secara nasional.
Pasal 7 ayat (1)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
BAZNAS menyelenggarakan fungsi: a. perencanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; b. pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; c. pengendalian
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; d. pelaporan
dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
Dalam pasal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah membentuk
BAZNAS sebagai pengelolaan zakat nasional, sedangkan seperti yang
telah kita ketahui semenjak tahun 90-an telah lahir berbagai lembaga amil
zakat dan mengelola zakat di Indonesia. Jika kemampuan BAZNAS pada
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat memiliki
kewenangan yang terbatas sehingga dari sisi pengumpulan maupun
pendistribusian kalah jauh dengan LAZ. Akan tetapi dengan kewenangan
yang diberikan sekarang BAZNAS akan sangat leluasa dengan memiliki
hirarki dan jaringan hingga tingkat struktur yang paling bawah bawah.
62
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk
LAZ.
Pada pasal ini frasa “membantu” BAZNAS secara jelas bermakna
subordinat BAZNAS, sehingga LAZ diposisikan berada dibawah
BAZNAS. Sedangkan banyak LAZ sudah terbentuk sebelum adanya UU
No. 38 tahun 1999.
Menurut M. Khoirul Muttaqin11 mengenai posisi LAZ saat ini
bahwa dari sisi regulasi saat ini menempatkan LAZ ini sebagai pihak
kedua sebagai pembantu BAZNAS, sementara kapasitas LAZ dan
BAZNAS itu sama, hanya yang satu milik swasta, yang satu milik
pemerintah. Sehingga UU ini tidak menempatkan kesetaraan dan keadilan,
artinya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Penglolaan Zakat ini semestinya
dihadirkan dengan memperhatikan aspek-aspek kesetaraan dan keadilan,
tapi disisi lain malah muncul kesenjangan. Seharusnya BAZNAS
ditempatkan pada kapasitas sebagai regulator, atau koordinatif saja, tapi
saat ini BAZNAS juga sebagai operator, tentunya hal tersebut tidak adil.
Namun pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Fiman Fatur
Mafachir yang mengatakan bahwa untuk BAMUIS BNI eksistensinya
menjadi lebih jelas dan BAMUIS dapat menjadi lembaga alternatif atau
11 Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin tanggal 29 Januari 2014 di Gedung
Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta
63
lembaga pilihan para muzzaki untuk menyalurkan zakat, infak dan
shadaqahnya. 12
Persyaratan pendirian lembaga amil zakat terlalu memberatkan, karena
harus ormas dan badan hukum seperti yang tercantum dalam Pasal 18 ayat
(2) yaitu:
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila
memenuhi persyaratan paling sedikit:
a.terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola
bidang pendidikan,dakwah, dan sosial;
b.berbentuk lembaga berbadan hukum;
c.mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d.memiliki pengawas syariat;
e.memiliki kemampuan teknis, administratif dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya;
f.bersifat nirlaba;
g.memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan
umat; dan
h.bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan secara berkala.
Pasal ini mengatur mekanisme pembentukan Badan atau Lembaga
Zakat melalui surat keputusan menteri dan persyaratan pemberian izin bagi
12 Wawancara penulis dengan Fiman Fathur Mafachir tanggal 22 November 2013 di
Kantor BAMUIS BNI, Jakarta
64
Lembaga Amil Zakat (LAZ) sehingga memudahkan BAZNAS mengontrol
dan mengawasi LAZ yang tumbuh dan berkembang secara liar ditengah-
tengah masyarakat.
Namun, Pasal 18 ayat 2 poin (a) yang mensyaratkan lembaga amil
zakat harus berbadan hukum Ormas. Pada kenyataannya, hampir seluruh
LAZ berbadan hukum yayasan, yang berarti secara hukum tidak dapat
didaftarkan sebagai ormas. Karena Undang-Undang No 16 Tahun 2001
tentang Yayasan secara implisit menyatakan bahwa yayasan tidak
memiliki anggota, sedangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan secara eksplisit menyatakan ormas sebagai
entitas yang berbasis keanggotaan.
Namun pendapat berbeda diungkapkan M. Khoirul Muttaqin dari
LAZISMU yang mengatakan bahwa ada keinginan baik dari Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat untuk mendorong
kapasitas LAZ yang tadinya hanya NGO, LSM dan hanya basisnya media,
kemudian untuk menaikan status mereka menjadi ormas.13
UU ini mengharuskan LAZ melaporkan laporan keuangan yang telah di
audit kepada BAZNAS, selama ini LAZ telah melakukan pelaporan
laporan keuangan kepada publik, khususnya para muzzaki di lembaga
masing-masing. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 19 yaitu:
13 Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin pada 29 Januari 2014 di Gedung
Dewan Dakwah Muhammaiyah, Jakarta
65
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan,pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
UU dianggap kurang mengakomodasi institusi pengelola zakat terutama
yang diinisiasi oleh masyarakat, seperti di pengelola zakat di masjid,
musola, atau pesantren seperti yang tercantum dalam Pasal 38:
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat
melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat
tanpa izin pejabat yang berwenang.
Dengan adanya pasal tersebut dikhawatirkan akan berkurangnya
partisipasi masyarakat dalam melakukan pengumpulan dan pengelolaan
zakat yang telah biasa dilakukan di panti asuhan, mesjid-mesjid maupun
yayasan. Padahal seperti yang telah diketahui, sejak dulu pengelolaan
zakat di Indonesia dilakukan oleh masyarakat. Seperti yang diungkapkan
oleh Sukismo berpendapat bahwa UU No. 23/2011 Tentang Pengelolaan
Zakat membatasi pengelolaan zakat di Indonesia, contohnya seperti
pengelolaan zakat secara publik yang ada di masjid atau pesantren yang
mempunyai kebiasaan mengumpulkan zakat dari para jamaah di
sekitarnya. Masjid dan pesantren mengumpulkan dana ZIS karena dana
ZIS merupakan dana untuk kegiatan operasional masjid/ pesantren
tersebut, seperti membayar listrik, membayar khatib, membayar
kebersihan, membayar merbot dan imam serta lain-lain. Namun di dalam
66
UU No.23 Tahun 2011 tampaknya muncul dari keresahan pemerintah
dalam hal ini adalah BAZNAS, karena tidak adanya fungsi pengawasan,
karena memang masjid-masjid dengan sendirinya mengumpulkan,
pelaporannya biasanya 1 minggu sekali ketika sholat jumat. Pelaporan
biasanya hanya melalui khotbah ketika akan sholat jumat ataupun sholat
idul fitri.14
Adanya sanksi yang memberatkan dan berpeluang terjadinya kriminalisasi
seperti yang tercantum dalam Pasal 41 sebagai berikut:
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 38 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dengan adanya sanksi dan denda yang diberikan pada
pengumpulan zakat secara mandiri oleh masyarakat maka akan berdampak
dengan kontribusi masyarakat yang menurun dalam mengelola zakat.
Sebaiknya bagi masyarakat yang ingin berkontribusi dalam pengumpulan
zakat diberikan penyuluhan tentang cara pengumpulan zakat yang harus
sesuai undang-undang yang berlaku.
Adanya pasal kriminalisasi dalam UU No. 23 Tahun 2011 ini juga
memicu pendapat dari Bapak Sukismo yang mengatakan bahwa zakat
14 Wawancara penulis dengan Sukismo tanggal 6 November 2013, di kantor PKPU,
Jakarta
67
merupakan syariat islam, maka UU No. 23 Tahun 2011 itu harusnya
berpedoman kepada agama dan berdasar Alquran dan Hadist, lebih lanjut
ia menyayangkan mengapa hal tersebut di campur adukkan ke pidana yang
tercantum dalam Pasal 41 yang mengatakan ketika kita mengumpulkan
zakat di masyarakat setelah UU itu berlaku, lalu kena hukum pidana, hal
tersebut adalah hal yang rancu. Karena menumpulkan zakat dimasyarakat
dalam hal agama itu merupakan hak keagamaan dan berserikat serta
berkumpul itu juga dilindungi oleh UU.15
C. Persepsi LAZ Atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Perihal Judicial Review
Dalam menyikapi UU zakat yang baru ini masyarakat pada dasarnya
terbagi ke dalam empat kelompok besar. Menurut Ahmad Juwaini, empat
kelompok besar tersebut terdiri atas:
1. Kelompok pertama setuju semuanya terhadap isi UU ini sehingga
melaksanakan seutuhnya apa yang terkandung dalam UU ini.
2. Kelompok kedua setuju terhadap sebagian pasal saja, sedangkan
kekurangannya diperbaiki dengan Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri Agama, baru kemudian dilaksanakan.
3. Kelompok ketiga yang menolak sebagian, yang akhirnya melakukan judicial
review tersebut, baru dilaksanakan.
15 Wawancara penulis dengan Sukismo, External Relation Mananger PKPU tanggal 6
November 2013 di kantor PKPU, Jakarta
68
4. Kelompak keempat yang menolak sepenuhnya UU ini, kemudian diajukan
judicial review untuk dibatalkan dan tidak jadi dilaksanakan.16
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 diajukan uji materiil pada
Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah lembaga amil zakat, yaitu, (1) Yayasan
Dompet Dhuafa; (2) Yayasan Dana Sosial Al-Falah Malang; (3) Yayasan Yatim
Mandiri; (4) Yayasan Rumah Zakat Indonesia; dan lain-lain sebanyak 20
pemohon, meliputi Lembaga Amil Zakat (LAZ), amil zakat
perorangan/tradisional, pembayar zakat (muzaki) dan penerima dana zakat
(mustahik).
Permohonan uji materiil menggunakan alasan, Pertama, Terjadi
kriminalisasi lembaga amil zakat dan amil zakat tradisional; Kedua, Terjadi
marjinalisasi dan penyempitan akses bagi para mustahik dan penerima manfaat
dana zakat; Ketiga, Terjadi pembatasan terhadap preferensi dan pilihan para
muzaki dalam menyalurkan dana zakatnya; Keempat, Terjadi sentralisasi
pengelolaan zakat sepenuhnya di tangan pemerintah yaitu BAZNAS dan
mensubordinasikan dan memarjinalisasikan LAZ di bawah BAZNAS yang
statusnya adalah sama-sama sebagai operator zakat nasional; dan Kelima, Terjadi
diskriminasi antar-sesama operator zakat nasional karena Undang-Undang
memberi keistimewaan kepada BAZNAS.
16Nana Mintarti, dkk, Indonesia Zakat & Development Report 2012 (Ciputat: IMZ, 2012)
h. 211
69
Setelah satu tahun menunggu keputusan dari Mahkamah Konstitusi,
akhirnya pada 31 Oktober 2013 diucapkan amar putusan atas uji materi UU No.
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian UU
No. 23 Tahun 2011. Para pemohon menguji Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 17,
Pasal 18, Pasal 19, Pasal 38 dan Pasal 41 UU Pengelolaan Zakat yang mengatur
keberadaan lembaga pengelolaan zakat dinilai bertentangan dengan UUD 1945.17
Namun Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan Pasal 18 UU
Pengelolaan Zakat tersebut, dalam arti mengubah redaksinya. Sementara pasal
lainnya hanya mendapat keterangan penjelas yang dimuat dalam amar putusan.
Berikut adalah Kesimpulan Hasil Uji Materi UU Zakat18
1. Dikuatkannya peran BAZNAS sebagai pemain utama pengelolaan zakat di
Indonesia.
2. Masyarakat diperkenankan mengelola zakat selama mendapat izin atau
pengukuhan dari pemerintah (dalam bentuk LAZ), atau kalau didaerah
yang belum terjamah operasi BAZNAS dan LAZ, maka pengelola zakat
lainnya (seperti masjid, pesantren dan kyai) diharuskan memberitahu
kepada pejabat terkait.
3. Pengukuhan LAZ tidak mensyaratkan badan hukumnya harus ormas atau
perkumpulan, tapi dapat juga berbentuk yayasan.
17 INFOZ, Desember 2013, h.. 46 18Ibid.,, h. 45
70
4. Masyarakat lainnya dianjurkan untuk menjadi Unit Pengelola Zakat
(UPZ), baik UPZ Baznas maupun UPZ LAZ.
5. Menegakkan BAZNAS sebagai “koordinator administratif” pengelolaan
zakat di Indonesia
6. Pelaksanaan sanksi pidana terhadap pengelola zakat masih ada, tetapi
dilakukan secara bertahap dan persuasif
7. Semua pengelola zakat yang telah berizin/dikukuhkan sebagaimana poin
(2) dan menjadi UPZ sebagaimana poin (4) tidaka akan mendapatkan
sanksi pidana.
Respon LAZ beragam terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi, seperti yang
di ungkapkan oleh Romi Ardiansyah19 yang mengatakan bahwa dari pasal yang di
kabulkan uji materinya (Pasal 18) oleh MK tersebut sudah mendukung Lembaga
Zakat yang telah ada, serta pasal kriminalisasi yang dibatalkan juga menunjukkan
bahwa kultur masyarakat yang selama ini terbentuk di masyarakat masih dihargai,
dan menurutnya keputusan Mahkamah Konstitusi adalah sebuah hal yang positif,
tapi dari sisi pengorganisasian BAZNAS itu masih rancu dan menimbulkan
banyak tafsir.
Lain halnya pendapat yang diberikan oleh Fiman Fathur Mafachir20 yang
mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi karena dengan adanya penafsiran
yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi atas beberapa pasal yang krusial dalam
UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat akan memberikan kejelasan
19 Wawancara penulis dengan Romi Ardiansyah pada 2 Januari 2014, di Kantor Dompet
Dhuafa, Jakarta 20 Wawancara penulis dengan Fiman Fathur Mafachir pada 22 November 2013, di Kantor
BAMUIS BNI, Jakarta
71
dan pastinya UU ini dapat memberikan warna-warna baru dalam perkembangan
zakat di Indonesia.
Meski hadir dengan banyak opini yang menyertainya, tentunya UU No. 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat perlu mendapatkan apresiasi dari para
pihak yang terlibat. Kekurangan yang masih dirasakan tentunya dapat menjadi
perhatian dan saran bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan membenahi
kekurangan tersebut agar dapat diperbaiki kedepannya.
Perkembangan zakat yang makin meningkat di Indonesia tentunya
menggembirakan bagi semua pihak. Zakat diharapkan mampu digunakan untuk
mengurai kemiskinan di Indonesia. Pentingnya zakat seharusnya menjadi
perhatian semua pihak. Untuk lebih meningkatkan perkembangan zakat di
Indonesia tentunya ada banyak faktor yang harus di perhatikan oleh pemerintah
dan masyarakat. Faktor-faktor tersebut seperti yang diungkapkan oleh M. Khoirul
Umam21 adalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan Mayarakat terhadap Pemerintah
Persepsi mayarakat kepada pemerintah bahwa dana Zakat, Infaq,
Shadaqah yang dikelola pemerintah rentan terhadap korupsi dan
sebagainya. Maka pemerintah harus lebih banyak
mempertimbangkan persepsi masyarakat kepada pemerintah terkait
terkait posisi pemerintah ini.
b. Edukasi Masyarakat tentang Penyalurkan Zakat
21 Wawancara penulis dengan M. Khoirul Umam pada tanggal 29 Januari 2014, di
Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta
72
Baik pemerintah maupun masyarakat termasuk LAZ mempunyai
tanggung jawab besar dalam mengedukasi masyarakat bagaimana
menyalurkan dana zakatnya secara postif dan lebih bermanfaat
melalui lembaga yang sudah dikukuhkan / dilegalkan oleh
pemerintah, karena lembaga-lembaga ini punya fokus dan bergerak
secara profesional.
c. Edukasi Masyarakat tentang Wajib Zakat
Pemerintah tidak hanya mengedukasi masyarakat untuk
mengeluarkan zakat yang sifatnya wajib bagi setiap muslim tapi
juga kemana zakat itu disampaikan. Edukasi wajib zakat tidak
mudah, karena pemerintah kita bukan pemerintah Islam, sehingga
perlu ada edukasi yang lebih menarik sehingga masyarakay sadar
akan wajibnya zakat bagi setiap muslim.
d. Zakat sebagai Strategi Pembangunan
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan strategi pembangunan,
termasuk juga bagaimana melibatkan zakat menjadi elemen
penting walau bukan yang utama tetapi zakat menjadi bagian yang
tak terpisahkan dalam pembangunan nasional. Selama ini zakat
tidak pernah dijadikan faktor atau variabel dalam membangun dan
mengembangkan Indonesia.
e. Standar Asnaf Fakir Miskin
Pemerintah juga harus membuat standar siapa yang disebut miskin
dan siapa yang disebut mampu. Sehingga hal tersebut bisa diamini
73
secara syar’i agar semua LAZ punya pengkategorian yang sama
terhadap asnaf fakir miskin itu dilevel berapa dan berpenghasilan
berapa.
f. Standar Ukur Amil Zakat
Perlu ada standar ukur terkait amil, siapa amil dan bagaimana amil.
Setiap lembaga zakat bisa mengambil siapapun orang untuk di
jadikan amil karena tidak ada spesisalisasi tentang amil. Tugas
pemerintah harus mendorong pendirian lembaga pendidikan yang
memiliki kapasitas untuk mepelajari perzakatan karena selama ini
tidak ada amil yang backroundnya tentang zakat.
74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil analisis dan pembahasan tentang Persepsi Pimpinan
dan Pelaksana LAZ Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pada dasarnya LAZ menyambut positif niat baik pemerintah akan adanya
amandemen atas Undang-Undang Zakat No. 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat. Namun ternyata kehadiran Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menuai kontroversi dikalangan
pegiat zakat. Masing-masing komentar yang pro maupun kontra memiliki
pendapat yang menguatkan komentar tersebut. Sebagian besar
menyayangkan beberapa pasal yang dianggap tidak memperhatikan LAZ
dan kultur masyarakat yang berkembang di Indonesia. Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 memberikan dampak yang dirasakan oleh LAZ yaitu
dipersempitnya pengumpulan zakat oleh LAZ karena sentralisasi
pengelolaan zakat oleh BAZNAS yang dikukuhkan pemerintah serta
dampak yang dirasakan oleh masyarakat karena pengelolaan zakat oleh
masyarakat kini dibatasi geraknya.
75
2. Persepsi LAZ terhadap berbagai pasal krusial beragam. Beberapa pasal
yang menimbulkan banyak komentar adalah Pasal 6, Pasal 17 dan Pasal
41.
a. Adanya isu sentralisasi pengelolaan zakat yang berpusat ke BAZNAS
seperti yang tercantum dalam Pasal 6 membuat beberapa LAZ yang
selama ini telah melakukan pengelolaan zakat merasa dibatasi
geraknya.
b. Posisi LAZ pada UU No. 23 Tahun 2011 Tentang pengelolaan Zakat
pada Pasal 17, kata membantu yang dimaknai bahwa LAZ sebagai
subordinasi dari BAZNAS mengundang kontroversi karena dianggap
menurunkan status kesetaraan BAZ dan LAZ yang selama ini di anut
dalam UU No. 38 Tahun 1999. LAZ melihat hal tersebut menjadi
sesuatu yang masih rancu dan perlu di tinjau kembali.
c. Adanya pasal kriminalisasi pengelolaan zakat, yaitu pasal 41 dalam
UU tersebut membatasi gerak pegiat zakat dalam melakukan
pengumpulan dan pengelolaan zakat dan dianggap tidak menghormati
kultur masyarakat di Indonesia.
3. Adanya beberapa pasal yang dianggap krusial memicu beberapa LAZ
melakukan judicial review ke Mahkamah Kontitusi. Hingga terbitnya
keputusan Mahkamah Konstitusi perihal judicial review UU No. 23 Tahun
2011 yang hanya mengabulkan pengujian Pasal 18 dalam UU tersebut,
dalam arti mengubah redaksinya. Sementara pasal lainnya hanya mendapat
keterangan penjelas yang dibuat dalam amar putusan. Persepsi LAZ
76
menyambut positif dan diharapkan Peraturan Pemerintah segera disahkan
agar dapat menjawab beberapa hal yang masih rancu dalam UU No. 23
Tahun 2011.
B. Saran
1. Walaupun menuai pro dan kontra di banyak pihak, namun UU No. 23
Tahun 2011 merupakan niat baik pemerintah untuk memperbaiki tata
kelola zakat selama ini. Meskipun tetap saja seharusnya pemerintah lebih
merangkul Lembaga Amil Zakat bukannya membatasi keberadaannya,
karena seperti yang telah kita ketahui, selama ini LAZ telah turut
berkontribusi dalam mengumpulkan dan mengelola zakat.
2. Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada siapa yang paling berhak
mengumpulkan dan mengelola zakat, tetapi fokus pada pengentasan
kemiskinan dengan potensi dana zakat yang sangat besar.
3. Pemerintah dan LAZ secara bersinergi melakukan sosialisasi zakat secara
terus menerus kepada seluruh lapisan masyarakat. Sosialisasi ini
diharapkan dapar memperkecil gap antara potensi dan realisasi
penghimpunan zakat.
4. Pemerintah dan LAZ bersama-sama memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang wajibnya zakat bagi kaum muslim di Indonesia, karena
selama ini banyak masyarakat yang kurang mengetahui tentang kewajiban
zakat pada peorangan maupun kelompok seperti perusahaan dan hal
tersbut belum di atur dalam UU No. 23 Tahun 2011.
77
5. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama diharapkan dapat
aspiratif dan efektif dalam menjelaskan beberapa pasal yang di anggap
kurang jelas maknanya seperti mekanisme pemilihan anggota (komisioner)
BAZNAS, penyusunan tata keorganisasian dan kesekretariatan BAZNAS,
dan mekanisme hubungan BAZNAS Pusat dengan daerah serta dengan
LAZ.
78
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat. Undang Undang Nomor
38 Tahun 1999
Indonesia. Undang-Undang Tentang Pengelolaan Zakat. Undang Undang Nomor
23 Tahun 2011
Buku
A. S Hornby, Oxford Advanced Dictinary of Current English. Oxford: Oxford
University Press, 1987.
Al Arif, M. Nur Rianto. Lembaga keuangan syariah : Suatu Kajian Teoritis dan
Praktis, Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Al Arif, M. Nur Rianto. Teori Makro Ekonomi Islam. Bandung: Alfabeta, 2010.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI-
Press, 1988.
Doa, Djamal, Menggagas Pengelolaan Zakat oleh Negara, Jakarta: Nuansa. 2011
Hafidhuddin, Didin, The Power of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat
Asia Tenggara, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Hafidhuddin, Didin. Panduan Praktis tentang Zakat, Infak dan Sedekah.
Jakarta:Gema Insani Press, 2002.
79
Hafidhuddin, Didin, Zakat dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani
Press, 2002.
Hafiduddin, Didin. Problematika Zakat Kotemporer Artikulasi Proses Sosial
Politik Bangsa. Jakarta: Forum Zakat (FOZ), Jakarta: Gema Insani Press,
2003.
Huda, Nurul dan Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam : Tinjauan Teoritis
dan Praktis, Jakarta, Kencana, 2010.
Kasiram, Moh, Metodologi Penelitin Refleksi Pengembangan Pemahaman dan
Penguasaan Metodologi Penelitian, UIN Malang Press, 2008.
Mahmudi, Sistem Akuntansi Organisasi Pengelolaan Zakat, Yogyakarta: P3EI
Press, 2009.
Nazir, Moh, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002
Qardhawi, Yusuf. Fiqh Zakat. Beirut: Muassasah risalah, 1991.
Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani
Press. 1975.
Qardhawi, Yusuf, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta:
Rabbani Press, 2001
Rahardjo, Dawam, Perspektif Deklarasi Makkah Menuju Ekonomi
Islam, Bandung: Mizan, 1987,
80
Siagian, Dergibson dan Sugiarto, Metode Statistik untuk Bisnis dan Ekonomi,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
Sudewo, Eri, Manajemen Zakat. Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2004
Sudirman. Zakat Dalam Pusaran Arus Modernitas, Malang: UIN-Malang, Press,
2007.
Sumber Lainnya
Jahar, Asep Saepudin, Masa Depan Filantropi Islam Indonesia Kajian Lembaga-
lembaga Zakat dan Wakaf, Makalh disampaikan dalam acara Annual
Confrence on Islamic Studies (ACIS) ke 10 di Banjarmasin, 1-4
November 2010, Kalimantan Selatan.
Mintarti, Nana, dkk, Indonesia Zakat & Development Report 2012: Soal Kebijkan
dan Hal Lain yang Belum Paripurna, Ciputat: IMZ, 2012.
INFOZ, Usai Masa Iddah Penggantungan Tata Kelola Zakat, Desember 2013, h.
45
Iskan Qolba Lubis, Anggota Komisi VIII DPR RI dari fraksi PKS (Partai
Keadilan Sejahtera. INFOZ+ Edisi 16 Th VII Januari- Februari 2012. h.4
Wawancara penulis dengan Sukismo pada 6 November 2013 di kantor PKPU
Jakarta
81
Wawancara penulis dengan Fiman Fathur Mafachir pada 22 November 2013 di
Kantor BAMUIS BNI Jakarta
Wawancara penulis dengan Romi Ardiansyah pada 2 Januari 2014 di Kantor
Dompet Dhuafa Jakarta
Wawancara penulis dengan M. Khoirul Muttaqin pada 29 Januari 2014 di Gedung
Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta
Rujukan dari Internet
Amalina Fauziah & Bazari Azhar Azizi, Madina Pres, “UU Zakat; Menghambat
Kinerja dan Membatasi Peran Lembaga Zakat Non-Ormas (?)”, artikel
diakses pada 10 Februari 2013 dari
http://madinapers.blogspot.com/2012/01/uu-zakat-menghambat-
kinerja-dan.html
Dompet Dhuafa, “Strategi Fundraising Zakat”, artikel diakses pada 4 April 2014
dari https://www.dompetdhuafa.org/strategi-fundraising-zakat/
Pusat Informasi dan Studi Zakat, “Strategi Fundraising Zakat”, artikel diakses
pada 4 April 2014 dari
http://pistaza.wordpress.com/2011/10/08/fundraising-zakat/
Sejarah Pengelolaan ZIS di Indonesia, artikel diakses pada 10 November 2013
dari http://pujohari.wordpress.com/2009/09/
82
Tribun News, “Lembaga Amil Zakat Malang Protes”, artikel diakses pada 14 Juni
2013 dari http://www.tribunnews.com/2012/07/19/lembaga-amil-zakat-
malang-protes
Wikipedia, “Organisasi Nirlaba”, artikel di akses pada 1 November 2013 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_nirlaba
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Sukismo
Jabatan : External Relation Manager
Hari, tanggal : Rabu, 6 November 2013
Tempat : Kantor PKPU, Jakarta
1. Bagaimana pendapat anda tentang UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat?
UU No. 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat membatasi pengelolaan zakat di
Indonesia, contohnya seperti pengelolaan zakat secara publik seperti di masjid
atau pesantren yang mempunyai kebiasaan mengumpulkan zakat dari para
jamaah di sekitar masjid. Mengapa masjid mengelola zakat? Karena dana ZIS
merupakan dana untuk kegiatan operasional masjid tersebut, seperti
membayar listrik, membayar khatib, membayar kebersihan, membayar merbot
dan imam serta lain-lain. Namun di dalam UU No.23 Tahun 2011 tampaknya
muncul dari keresahan pemerintah dalam hal ini BAZNAS, karena tidak
adanya fungsi pengawasan, karena memang masjid-masjid dengan sendirinya
mengumpulkan, pelaporannya biasanya 1 minggu sekali ketika sholat jumat.
Pelaporan biasanya hanya melalui khotbah ketika akan sholat jumat ataupun
sholat idul fitri.
Berbeda dengan laz, laz lembaga yang diberi amanah / diberi kewenangan
untuk mengumpulkan zakat tentunya dengan kepastian hukum yang
menyangkut untuk menjalankan amanah tersebut. Misalkan mereka sebagai
laz harus ada surat rekomendasi dari kementrian agama. Perizinan laz
diperolah melalui menteri agama langsung dari kementrian agama, saat ini
baru 19 laz yang memiliki izin.
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini?
Setiap uu yg lahir itu kalau kita mau memberikan pendapat yang objektif pasti
ada positifnya. Positifnya adalah pengawasan dari baznas / pemerintah. Tapi
pengawasan dari pemerintah tapi sifatnya pembatasan bukan pengawasan
yang sesungguhnya, lagi-lagi pemerintah seperti ingin membatasi
pengumpulan zakat yang dilakukan oleh swasta, sedangkan masyarakat
kurang mempercayai terhadap lembaga-lembaga zakat nasional seperti
baznas, dan bazda.
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan
disahkan UU ini?
Jelas ada, UU zakat itu kan salah satu demi kemajuan untuk membangun
lembaga –lembaga zakat di Indonesia, salah satunya PKPU, salah satunya
memberikan dampak positif untuk lembaga-lembaga yang ada.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah
diberlakukannya uu zakat no 23?
Sebagai laz nasional mensosialisasikan hasil UU ini secara objektif dengan
memperhatikan posisi BAZ dan LAZ.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini?
Posisi LAZ menjadi pembantu BAZNAS, padahal sebelumnya LAZ posisinya
sejajar dengan BAZNAS,
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU
ini?
Perkembangan PKPU meningkat. Karena PKPU keluar dari zona perebutan
pengumpulan zakat yang selama ini berpusat di Jakarta.
7. Menurut anda bagaimana tentang uu zakat sebelumnya (UU No 38 tahun
1999)?
Dalam uu tersebut tidak jelas siapa regulator dan siapa eksekutor, karena
baznas berperan aktif, BAZNAS sebagai regulator dan sebagai pengumpul
juga. Seharusnya baznas hanya sebagai regulator saja.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung
perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya?
Sebetulnya niat awal dari UU ini pastinya untuk mendukung perkembangan
zakat, hanya saja ada beberapa bagian yang belum sesuai dengan keadaan
yang ada.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No 23/2011
untuk perkembangan zakat di Indonesia?
UU No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat itu kan syariat Islam, UU
yang harus berpedoman kepada agama, berdasar alquran dan hadis, kenapa di
campur adukkan ke pidana, dalam pasal yang seandainya kita mengumpulkan
zakat di masyarakat setelah UU itu berlaku, lalu kena hukum pidana, nah itu
hal yang rancu. Kita menumpulkan zakat dimasyarakat dalam hal agama,
sedangkan keagamaan dan berserikat dan berkumpul itu dilindungi UU.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan
pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional?
Sudah ada yang sebelumnya yang UU No. 38 Tahun 2011, tapi kalau yang
UU No. 23 Tahun 2011 belum memadai karena belum jelas aturan mainnya.
Sebab payung hukum sudah ada namun aturan mainnya belum jelas seperti
apa antara BAZNAS dan LAZ.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah dalam
mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia?
Pemerintah harus lebih berkoordinasi dan berkomunikasi terhadap LAZ
dalam rangka untuk mencari solusi yang sama-sama menguntungkan dan
bermanfaat bagi LAZ dan BAZNAS.
BAZNAS dan LAZ dapat melakukan kerjasama misalnya penanggulangan
bencana sehingga LAZ dan BAZNAS dapat bersinergi dalam penyaluran
zakat.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU
ini?
Dengan adanya keputusan MK memberi peluang, memberi banyak harapan
dan akan makin banyak muncul pegiat zakat atau LAZ yang berpotensi yang
bisa mengembangkan zakat untuk bersinergi menggali dana zakat di
Indonesia.
13. Apa saran dan masukan untuk UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat?
Peraturan pemerintah supaya segera di sahkan agar bisa menjelaskan beberapa
pasal yang dianggap krusial.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Fiman Fathur Mafachir
Jabatan : Departemen Akuntansi
Hari, tanggal : Jumat, 22 November 2013
Tempat : Kantor BAMUIS BNI, Jakarta
1. Bagaimana pendapat anda tentang UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat?
BAMUIS BNI telah dikukuhkan dengan SK Menteri No. 330 Tanggal 20
Juni 2002 sebagai LAZ Nasional dengan tugas pokok mengumpulkan,
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan UU yang
berlaku.
Pasal 43 Ayat 3 UU No. 23/2011, LAZ yang telah dikukuhkan oleh
Menteri sebelum UU ini berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan UU
ini.
Pasal 43 Ayat 4 LAZ wajib menyesuaikan paling lambat 5 tahun.
Kewajiban LAZ menurut UU No. 23/2011 pada Pasal 19 Ayat 1 wajib
melaporkan pengumpulan, pendistribusian dan pendayaguanaan zakat
yang telah di audit kepada BAZNAS.
Pada pasal 19 ayat 2 secara eknis di atur oleh PP sambil menunggu PP di
UU No. 23/2011 BAMUIS tetap melaksanakan laporan triwulan (unaudit)
dan laporan tahunan yang telah di audit kepada BAZNAS.
BAMUIS BNI sejak tahun 2009 secara berkala (triwulan) selalu
menyampaikan laporan kepada BAZNAS.
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini?
Positif:
Akan adanya kepastian dari eksistensi LAZ dengan adanya
BAZNAS yang setara dengan kementrian (Badan Negara)
Dengan adanya UU Zakat ada ketetapan akan tata kelola zakat
secara nasional
LAZ di akui dan menjadi jelas posisi dan perananya (sebagai
pembantu baznas)
Zakat penghasilan/profesi menjadi hukum positif dalam
penerapannya
Negatifnya:
Sentralistik yang memicu berbagai penafsiran
Kurang jelas posisi regulator dan koordinator (semoga dapat
diterjemahkan dalam PP nantinya)
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan
disahkan UU ini?
Tidak ada perubahan karena secara materiil BAMUIS BNI sudah
melaksanakan seperti dalam UU tersebut.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah
diberlakukannya uu zakat no 23?
LAZ menjadi pembantu BAZNAS sehingga secara nasional kebijakan dan
arahan serta pengembangan dapat merujuk pada apa yang telah ditetapkan
di BAZNAS.
Tugas LAZ menjadi dapat lebih terarah dan tanggung jawab sosialisasi
perzakatan dapat bersinergi dengan BAZNAS yang memiliki dukungan
APBN.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini?
Untuk BAMUIS eksistensi menjadi lebih jelas dan dapat menjadi lembaga
alternatif/pilihan para muzzaki untuk menyalurkan zakatnya.
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU
ini?
Sebelum:
Tidak memiliki posisi yang pasti untuk melaporkan dan meminta
pembinaan.
Seringkali tumpang tindih antara BAZDA/ BAZ Provinsi terhadap
para muzzaki di daerah.
Sesudah:
Pada prinsipnya mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan pendapatan masyarakat.
7. Menurut anda bagaimana tentang uu zakat sebelumnya (UU No 38 tahun
1999)?
Sebelum UU No. 23 Tahun 2011 diberlakukan, masyarakat dalam
kegalauan untuk menunaikan zakat. LAZ tidak memilki kepastian
kelembagaan yang pada akhirnya sering terjadi polemik murni secara
syar’i akan kewajiban zakat profesi/zakat penghasilan. Kekuatan semata-
mata pada ulil amri dan tingkat keimanan komunitas karena belum ada
hukum positif yang mengaturnya.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung
perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya?
Dengan adanya UU No. 23 Tahun 2011, sistem kerja yang menempatkan
BAZNAS dan LAZ dalam satu koordinasi maka arah yang dituju oleh
lembaga zakat akan lebih pasti dan tanggung jawab pengembangan
perzakatan menjadi jelas dimana pemerintah diwakili oleh BAZNAS
sebagai lokomotif yang sekaligus bertanggungjawab untuk
memasyarakatkan zakat di kaum muslim. Semoga BAZNAS dan
Kemenaag mampu mengarahkan zakat seperti lembaga zakat guna
kemaslahatan umat.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No. 23/2011
untuk perkembangan zakat di Indonesia?
Pemilihan ketua/ pengurus BAZNAS yang cukup panjang berpotensi
vacumnya BAZNAS.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan
pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional?
Belum adanya PP UU No. 23 Tahun 2011 Dengan adanya UU No. 23
tahun 2011 sudah cukup memadai dalam pengaturan zakat, tetapi
dikarenakan belum adanya Peraturan Pemerintah yang mendukung UU tsb
sehingga masih ada beberapa pasal yang masih multi tafsir. Seperti
pelaporan kepada BAZNAS yang tidak dijelaskan seperti apa dan
bagaimana konsepnya.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah
dalam mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia?
Tanggung jawab sosialisasi dan penciptaan gerakan zakat guna
peningkatan jaring pengawas kemiskinan masyarakat.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait
UU ini?
Saya mengapresiasi dengan penafsiran yang pasti dan adanya warna-warna
baru dalam UU ini memungkinkan perkembangan zakat. (khusunya dalam
soal perizinan).
13. Apa saran dan masukan untuk UU No 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat?
PP UU No.23 Tahun 2011 untuk segera diberlakukan agar ada prosedur
baku untuk pengawasan, pelaporan dan pembinaan dalam proses
pengelolaan zakat.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : Romi Ardiansyah
Jabatan : GM Corporate Secretary
Hari, tanggal : Kamis, 2 Januari 2014
Tempat : Kantor Dompet Dhuafa Ciputat
1. Bagaimana pendapat anda tentang Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat?
UU no. 23 Tahun 2011 adalah upaya penyempurnaan terhadap uu no 38
tahun 1999,
Ada beberapa hal yang diharapkan dari perubahan UU ini yaitu ingin
memperbaiki sistem, ada beberapa poin yang itu menjadi concern dalam
lembaga zakat yang akhirnya menjadi dasar poin dalam judicial review
yaitu :
1. Persoalan pengorganisasian organisasi zakat di Indonesia. Bagaimana
fungsi, tugas dan kedudukan BAZ dan LAZ. Hal inilah yang memicu
pengajuan judicial review pasal 5, 6 dan 7 di UU no 23 tahun 2011.
2. Uu zakat yang terbaru tidak melihat kultur masyarakat yang selama ini
berkembang, membuka ruang kultur masyarakat Indonesia yang kemudian
selama ini mengelola zakat
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini?
Positifnya UU Zakat yang baru ini kan awalnya lebih kepada upaya untuk
memperbaiki tata kelola organisasi zakat, artinya pemerintah sudah mulai
memperhatikan geliat zakat di Indonesia, tapi negaifnya seperti yang saya
sampaikan tadi, yang memicu adanya judicial review.
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan
disahkan UU ini?
Tidak terlalu berdampak terhadap DD.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah
diberlakukannya uu zakat no 23?
UU zakat yang terbaru tetap membuka ruang kultur masyarakat Indonesia
yang kemudian selama ini mengelola zakat
Peran LAZ terutama DD, mencoba untuk mengadvokasi agar LAZ-LAZ di
daerah tetep bertahan dan tetap bisa berkontribusi dan membangun dalam
pembangunan gerakan zakat di Indonesia.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini?
Sebagai laz nasional, DD mensosialisasikan hasil UU ini secara
objektif dengan memperhatikan peran BAZ, bazda dan LAZ,
termasuk juga memastikan bahwa sebenarnya kultur masyarakat
yang selama berkembang dan berjalan di Indonesia yang berperan
penting dalam menggerakakan kehidupan zakat tetap kita
pertahankan, jadi tidak usah khawatir misalnya dgn pengelolaan
zakat akan dikriminalisasi dan lain sebagainya.
Mengawal peraturan pemerintah, agar nantinya PP ini tetap
menjadikan susasana ini terbentuk dengan baik.
Fungsi advokasi dan pendampingan agar laz-laz yang ada di daerah
tetap bisa berkembang dengan baik.
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU
ini?
Berjalan dengan design strategis yang telah kita buat, jadi ya ada peran
tapi menurut saya tidak satu-satunya.
7. Menurut anda bagaimana tentang UU zakat sebelumnya (UU No 38 tahun
1999)?
Sebenarnya semangat UU Zakat yang baru ini kan awalnya lebih kepada
upaya untuk memperbaiki tata kelola organisasi zakat, artinya kita ingin
bagaimana kemudian membagi peran antara badan amil zakat dan
lembaga amil zakat, harapan awal sebenarnya dengan adanya uu zakat yg
baru adalah perbaikan dari UU Zakat sebelumnya jadi agar kemudian ada
tata kelola yang baik, tadinya kami berharap sebenarnya baz memainkan
peran menjadi regulator dan supervisor, tidak sebagai operator, supaya
tidak tercampur semuanya, tapi hari ini ternyata tidak dari sisi itu.
Semangat yang kita bangun, adalah uu zakat ini harusnya memperbesar
ruang bermain lembaga-lembaga amil zakat agar kemudian gerakan zakat
ini menyebar tidak malah kemudian semakin dibatasi.
Sebenarnya kita sepakat dengan fungsi transparasi dan akuntabilitas.
Bahwa uu zakat dibuat juga agara lmbaga zakat menjunjung tinggi
transparansi dan akuntabilitas, karena semnagat utk memberi perbaikan
kpd masyarakat itu harus ada.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung
perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya?
Dari sisi apa yang dikabulkan mungkin iya, tapi dari sisi pengorganisasian
itu masih agak rancu karena peran badan amil zakat, tapi dari sisi
kemudian pasal kriminalisasi yang dibatalkan itu menunjukkan bahwa kita
menghargai kultur yg selama ini terbentuk di masyarakat kita, ini menurut
saya adalah sebuah hal yang positif. Pimpinan kami bapak Ahmad Juwani
mengatakan, uu zakat hasil judicial review ini kira-kira fivety-fivety ya
sebagian akhirnya tetap memberikan hal yg positif bagi baznas, tapi bagi
laz juga ada.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No 23
Tahun 2011untuk perkembangan zakat di Indonesia?
Persoalan tata kelola organisasi zakat, pertama relasi antara baznas, bazda
dan laz. Persoalannya kemudian bazns dan bazda adalah sebagai regulator
tapi juga sebagai operator, itu yang masih menjadi persoalan.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan
pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional?
Sementara ini kita sedang menunggu Peraturan Pemerintah. Mudah2an pp
akan bisa menggambarkan lebih detail, lebih teknis peran dari masing-
masing lembaga yang ada. Misalnya membahas secara detail kalau kita
bicara ttg perizinan itu seperti apa, kalau mau mebuka izin berapa hari.
Kita juga berharap bisa memperkuat peran asosiasi dalam hal ini forum
zakat.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah
dalam mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia?
Kita harus memahami bahwa zakat memmpunyai sejarah masyarakat yg
sangat kuat, artinya prinsip yang kita bangun adalah postif, bagaimana
kemudian agar gerakan zakat ini terus berkembang, masif, terutama kita
harus berorientasi kepada sumber-sumber atau titik-titik yang
sesungguhnya selama ini belum tersentuh dengan gerakain zakat ini, jadi
bukan malah membatasi.
Yang kedua adalah membangun kira-kira sebuah tata kelola sinergi
organisasi yang baik antara badan amil zakat dan lmbaga amail zakat, saya
pikir penting untuk menentukkan peran utama yg harus dimainkan oleh
masing-masing pihak, artinya kalau misalnya BAZ hanya fokus pada
regulasi.
Yang ketiga prinsip transparansi dan akuntabilitas satu hal yang kita
kedepankan, dan kita tinggal membuat mekanisame ini. Nah itu
seharusnya yg bisa dijalankan.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait
UU ini?
Secara keseluruhan belum ideal, karena kita mengajukan judicial review
termasuk juga pasal 5, 6 dan 7 tentang fungsi dan peran BAZNAS dan
BAZDA itu.
13. Apa saran dan masukan untuk UU No 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat?
Kita mengawal peraturan pemerintah untuk UU No. 23 Tahun 2011.
HASIL WAWANCARA
Narasumber : M. Khoirul Muttaqin
Jabatan : President Director
Hari, tanggal : Rabu, 29 Januari 2014
Tempat : Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta
1. Bagaimana pendapat anda tentang UU No. 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat?
Membuka ruang bagi pribadi, alim ulama, perkumpulan orang yang
selama ini tidak diwadahi dengan perizinan bagi ormas, UU ini akan
memperbanyak pelaku lembaga zakat. Yang kedua terkait dengan peran
serta warga dalam melibatkan diri dalam perzakatan, ini juga masih belum
dijelaskan secara detail, karena belum adanya dewan syariah di lingkungan
eksternal yang bisa mengawasi lembaga zakat secara syari’i, artinya UU
ini masih jauh dari yang kita diharapkan. Sebenarnya tantangan dari
lembaga zakat adalah ingin menggalang potensi zakat yang luar biasa
besar, 200 Triliun. Setidaknya sekarang dibawah 10 Triliun, itupun
dihitung dengan lembaga yang belum mendapatkan izin dari pemerintah,
sedangkan bila hanya dihitung dari yang bersatus legal dan memiliki
badan hukum yang disahkan kementrian RI itu tidak lebih dari 2 Triliun.
Artinya UU ini pun sebenarnya membuka tapi belum sampai pada wilayah
mengkonsolidasi kekuatan berapa dana yang menyebar di lembaga-
lembaga yang memungkinkan.
Kemudian, terkait tumpang tindih antara peran BAZNAS sebagai
pengelola dan disisi lain sebagai koordinator, itu menjadi problem
tersendiri, sedangkan LAZ menafsirkan BAZNAS seperti posisi BI, ini
yang masih menjadi masalah di lingkungan regulasi, kalau dalam
persoalan substansi kelembagaan, tidak ada perubahan yang signifikan,
hanya menempatkan BAZNAS sebagai koordinator dan malah LAZ
dijadikan tangan kedua, menjadi lembaga pembantu, ini yang menjadi
masalah bagi kita, tidak malah menaikkan dan melakukan penguatan
kepada LAZ
2. Apa dampak positif dan negatif terhadap LAZ dengan disahkan UU ini?
LAZISMU tidak merasakan dampak positif dan negatif, bahwa UU ini kita
perlukan secara positif adalah untuk melindungi aktifitas kita, kalo
negatifnya kami tidak merasakan sama sekali, tidak ada kerugian bagi kita
dengan munculnya UU ini sekarang.
3. Apakah terdapat perubahan sistem dan strategi fundraising di LAZ dengan
disahkan UU ini?
Tidak, kami melakukan perubahan fundraising tetapi bukan karena
Undang-undang, kami berjalan beriringan dengan perubahan undang-
undang, kelembagaan kami berubah sejak dari 2012 ke 2013 menjadi
lembaga pengelola, dari kami mencari hingga mendistribusikan sendiri
kemudian kami menggeser kelembagaan kami menjadi lembaga
intermediate/intermediasi, jadi kami memposisikan LAZISMU masih satu-
satunya lembaga intermediate untuk pengelolaan zakat.
Ada signifikansi yang kami lakukan karena kami ingin mendorong
partisipasi publik untuk terlibat dalam pengelolaan zakat, misalnya untuk
menggerakkan pemberdayaan ekonomi mikro kami melibatkan kelompok
usaha bersama seperti BMT, BPR, dan koperasi syariah.
4. Apa pendapat anda tentang fungsi dan tugas pengembangan LAZ setelah
diberlakukannya uu zakat no 23?
Karena pekerjaan rumah yang besar dari LAZ sebetulnya untuk
menjangkau potensi itu tadi, maka satu tugas besar kita adalah
mengedukasi warga, membangun kesadaran warga, kami meragukan
bahwa tidak ada pihak yang dibebani secara penuh untuk melakukan
edukasi kepada warga, apakah itu lembaga pendidikan, apakah itu
kementrian agama. Berbeda dengan pajak, kalau pajak begitu diwajibkan,
orang kalau tidak membayar pajak bisa dipidanakan, ada keterlibatan dari
pemerintah. Ini masih menjadi pr bagi kita bagaimana mengedukasi
warga, karena zakat meskipun ini diwajibkan pada agama kita, zakat
masih banyak sebagai himbauan atau ajakan, ada kesenjangan antara wajib
dalam agama dan undang-undang, dan ketika lembaga ini menjangkau
masyarakat, kita tidak bisa datang ke calon muzzaki dan calon muzzaki
tidak membayar, lalu kita tidak bisa menghukum yang bersangkutan,
berbeda dengan pajak. Jadi tugas utama kita adalah melakukan proses
edukasi kepada warga, untuk melakukan tugas itu kita kemudian
menggeser, memposisikan fungsi dari lembaga pengelola dari fundraising,
pengelolaan keuangan sampai pendistribusian ke masyarakat LAZISMU
ingin berbagi peran. Ada memang fungsi-fungsi yang akan kita perankan
yang kita bagi ke publik, komunitas, organisasi warga sehingga bagi kami,
kami akan konsentrasi sepenuhnya kepada fundraising dan menjadi
lembaga intermediasi. Kebetulan memang di internal kita, sudah ada mitra
kerja dengan komunitas-komunitas, dengan organisasi lain dalam rangka
untuk mendistribusikan dan mendayagunakan zakat.
5. Menurut anda bagaimana posisi LAZ dengan adanya UU ini?
Sebetulnya tidak ada perubahan, hanya memang ada opini yang memang
dari sisi regulasi kita menempatkan laz ini sebagai pihak kedua sebagai
pembantu baznas, sementara kapasitas laz dan baznas itu sama, hanya
yang satu milik swasta, yang satu milik pemerintah. Sebetulnya uu ini
tidak menempatkan kesetaraan, tidak menempatkan keadilan, artinya uu
ini semestinya dihadirkan karena memperhatikan aspek-aspek kesetaraan
dan keadilan, tapi disisi lain malah muncul kesenjangan, kecuali bila
baznas ditempatkan pada kapasitas sebagai regulator, atau kalau
koordinatif ya koordinatif saja, saat ini baznas juga sebagai operator,
tentunya tidak fair.
6. Bagaimana perkembangan kinerja LAZ sebelum dan sesudah disahkan UU
ini?
Ini sebetulnya alami bukan karena uu, setiap lembaga kemungkinan besar
juga akan terus menerus melakukan proses perbaikan diri, jadi bahwa
memang ada sisi sisi UU yang mengharuskan lembaga-lembaga yang tidak
sesuai dengan uu untuk melakukan perubahan, tapi bagi kami tidak
melihat ada dampak siginifikan apalagi uu ini fungsinya ramai dibicarakan
hanya pada saat Ramadhan, selebihnya tidak ada, artinya pemerintah kita
sadar pentingnya zakat pada saat Ramadhan, tapi selebihnya tidak. Secara
kelembagaan kami memang mengalami proses perbaikan, diukur dari
pencapaian, memang terjadi peningkatan yang siginifikan. Tapi, kami
belum mengukur apakah ada siginifikansi dari uu ini. Karena yang kita
lihat sebenarnya lebih banyak kepada cara-cara dari laz yang melakukan
edukasi warga tidak ada misalnya dari uu ini yang menyentuh publik. Apa
dampak bagi mereka yang tidak menunaikan zakat, sehingga tidak ada
signifikansinya.
7. Menurut anda bagaimana tentang uu zakat sebelumnya (UU No 38 tahun
1999)?
Kalau dulu, memang terjadi beberapa perbedaan, terutama terkait
kelembagaan, dulu mungkin tidak mudah untuk mendirikan lembaga zakat
(dalam Uu no. 38 tahun 1999), jadi mengatur tentang pendirian apalagi
dalam keputusan menteri peraturan tentang pengelolaan zakat tentang
pengelolaan zakat, yang disebut sebagai laznas harus mampu
mengumpulkan sekian, kemudian laz ditingkat daerah/ opz di daerah harus
mampu menggalang sampai sekian miliar. Tapi disaat sekarang sudah
bukan menjadi syarat utama lagi, karena itu tadi munculnya inkonstitusi
bersyarat, misalnya ada perlindungan bagi mereka, pengelola pribadi-
pribadi atau perkumpulan untuk membuat lembaga zakat baru, ini menjadi
lebih dimudahkan sebetulnya dengan adanya uu baru bagi siapapun yang
ingin mendirikan lembaga zakat. kemudian dalam uu no 38 memang ada
peran lembaga lain yang diatur dan terlibat dalam penentuan apakah
lembaga ini layak berdiri atau tidak, itu dimasukan menjadi bagian dari
regulasi, sedangkan lembaga ini bukan lembaga pemerintah atau lembaga
yang didirikan oleh pemerintah, ini hanyalah perkumpulan, ini juga
menjadi unik, siapa lembaga ini kok tiba-tiba muncul, ini juga menjadi
pertanyaa atau problem dari regualasi di uu no. 38.
UU ini juga tidak mengatur tentang sangsi bagi mereka yang mangkir
zakat, sangsi bagi para mustahik yang menerima tapi menyalahgunakan
dana zakat yang diterima.
8. Menurut anda, apakah UU No 23 tahun 2011 dapat mendukung
perkembangan zakat di Indonesia ataukah sebaliknya?
Ada keinginan baik dari uu ini untuk mendorong kapasitas mereka yang
tadinya hanya NGO, LSM, hanya basisnya media, kemudian untuk
menaikan status mereka menjadi ormas. Kita lebih ke aspek positifnya,
meskipun bagi kita uu ini tidak terlalu berdampak.
9. Menurut anda bagian mana sajakah yang tidak sesuai dari UU No. 23/2011
untuk perkembangan zakat di Indonesia?
Posisi laz dan baznas, memposisikan laz diberikan kapasitas hanya untuk
membantu baznas dalam pasal 1 poin 8, seharusnya LAZ setara dengan
BAZ.
10. Apakah UU Pengelolaan Zakat dan peraturan lain yang dikeluarkan
pemerintah cukup memadai dalam mengatur zakat yang bersifat nasional?
Masih jauh dari sempurna, pengelolaan zakat ini masih banyak dilakukan
berdasarkan kreatifitas LAZ dari peraturan uu yang dikeluarkan
pemerintah.
11. Menurut anda, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan pemerintah
dalam mengembangkan dunia perzakatan di Indonesia?
Memang yang perlu dipertimbangkan pemerintah kita , sistem
pemerintah kita bukan sistem pemerintahan islam, jadi itupun juga
akan memberikan persepsi warga yang tidak mudah dalam
mengedukasi warga, karena ini pemerintah sekuler.
Persepsi warga kepada pemerintah, kalau dana itu dikelola
pemerintah rentan terhadap korupsi dan sebagainya. Persepsi
warga kepada pemerintah ini yang lebih banyak dipertimbangkan
oleh pemerintah, terkait posisi pemerintah hari ini, meskipun ini
juga menjadi tugas dan tanggung jawab kita, bahwa tidak selama
nya persepsi yang dibangun oleh warga ini betul.
Baik pemerintah maupun warga termasuk kita pengelola zakat ini
memang punya tanggung jawab besar dalam mengedukasi warga
sebagaimana menyalurkan dana zakatnya secara postif dan lebih
punya kemanfaatan melalui lembaga yang sudah dikukuhkan /
dilegalkan oleh pemerintah, karena lembaga-lembaga ini punya
fokus dan bergerak secara profesional.
Pemerintah tidak hanya mengedukasi warga untuk mengeluarkan
zakat tapi juga kemana zakat itu disampaikan. edukasi wajib itu
kan tidak mudah, karena pemerintah kita bukan pemerintah islam,
sehingga perlu ada edukasi yang lebih menarik.
Pemerintah juga perlu mempertimbangkan strategi pembangunan,
termasuk juga bagaimana melibatkan zakat menjadi elemen
penting walau meskipun bukan utama menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam pembangunan nasional. Selama ini zakat tidak
pernah dijadikan faktor atau variabel dalam membangun dan
mengembangkan Indonesia.
Pemerintah juga harus membuat standar siapa yang disebut miskin
dan siapa yang disebut mampu. Sehingga itu bisa diamini secara
syar’i agar kita punya pengkategorian yang sama asnaf fakir
miskin itu dilevel berapa, apakah yang 1 dollar atau yang 2 dollar.
Perlu ada standar ukur terkait amil, siapa amil dan bagaimana
amil? Setap lembaga zakat bisa mengambil siapapun orangnya,
tidak ada spesisalisasi tentang amil. Tugas pemerintah harus
mendorong pendirian lembaga pendidikan yang memiliki kapasitas
untuk mepelajari perzakatan, selama ini tidak ada amil yang
backroundnya tentang zakat.
12. Bagaimana respon anda tentang keputusan Mahkamah Konstitusi terkait
UU ini?
Kami juga turut bersyukur, karena mereka yang selama ini ilegal menjadi
legal, ada kemudahan dalam mendirikan LAZ, diharapkan bisa diprakarsai
pengelola-pengelola zakat yang selama ini belum terdaftar untuk
mendaftarkan diri.
13. Apa saran dan masukan untuk UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat?
Tentu sebagai lembaga zakat kami mendukung kehadiran uu no 23,
apapun yang ada ini kita ingin mengefektifkan, memaksimalkan dan
mendukung pememrintah seluruhnya, tentu bukan ini kita menegasikan
kekurangan, kekurangan-kekurangan ini tentu perlu peraturan dan
keputusan menteri untuk mendukung UU ini.
Recommended