View
224
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN
KABUPATEN BLORA
Yuni Primandini (Fakultas Peternakan Undaris Ungaran)
Email : yuni.prima@gmail.com
ABSTRAK
Pola pengembangan usaha peternakan berwawasan lingkungan di kawasan perminyakan mendapat hambatan yang besar terutama dari faktor lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pengembangan teknologi yang dapat diterapkan di kalangan petani ternak. Pengembangan usaha peternakan di kawasan perminyakan harus dilakukan secara bertahap. Langkah awal yang harus dilakukan adalah mengetahui potensi kawasan perminyakan dan inputnya kepada usaha peternakan, keadaan sosial ekonomi petani dan sistem usaha ternak yang dilakukan petani ternak di kawasan tersebut. Faktor pendukung lainnya yaitu ketrampilan petani untuk mengadopsi teknologi, manajemen pengelolaan ternak dan sistem pemasaran yang sesuai dengan teknologi yang akan diterapkan. Pengembangan usaha ini tidak akan berjalan tanpa melibatkan pihak unsur pemerintah, swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Kata kunci : Kawasan, perminyakan, lingkungan, petani, adopsi
PENDAHULUAN
Produk peternakan merupakan penyedia utama bahan pangan protein
hewani sebelum perikanan, patut diberikan perhatian khusus dimana populasi
ternak yang semakin menurun akibat faktor lingkungan yang kurang mendukung.
Kebutuhan daging sapi nasional rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ton,
sedangkan produksi daging sapi nasional baru mencapai 34 ribu ton (± 10 %)
yang dipenuhi dari peternakan rakyat (sapi lokal). Kekurangan produksi daging
nasional sekitar 90 % dipenuhi dari peternakan perusahaan (feedlotter) yang
menggunakan sapi bakalan impor yang rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ekor
(Ditjennak, 1999). Melihat kondisi seperti itu maka perlu diadakan pendekatan-
pendekatan strategis untuk membangkitkan lagi industri peternakan di Indonesia.
Pendekatan ini akan lebih optimal jika dilaksanakan di daerah yang memiliki
potensi produksi, peternak yang terampil dan potensi pasar yang mendukung.
Kabupaten Blora adalah salah satu wilayah di Jawa Tengah dengan potensi
ternak sapi potong yang tersebar di berbagai kawasan, termasuk didalamnya
kawasan perminyakan. Padahal kita tahu bahwa lokasi perminyakan mempunyai
udara yang sangat panas, tanah yang kering dan sumber air yang sulit. Kawasan
perminyakan tersebut terdapat di daerah Cepu, Ledok dan Nglobo. Akan tetapi
populasi ternak di daerah Ledok dan Nglobo terutama sapi PO dapat dikatakan
cukup banyak. Usaha ternak merupakan aktivitas yang penting bagi petani ternak
di Nglobo. Hampir setiap penduduk disana mempunyai ternak walaupun dalam
jumlah yang kecil. Beternak sapi merupakan usaha sambilan yang dominan
dilakukan petani ternak yang berada di daerah Nglobo. Ternak belum
dikembangkan secara komersial dan hanya sebagai tabungan. Pengembangannya
masih secara tradisional dengan kandang, peralatan, perawatan dan pakan
seadanya karena keterbatasan modal dan pengetahuan.
Untuk mewujudkan usaha ternak yang maju di kawasan perminyakan
maka diperlukan pendekatan agribisnis ternak. Menurut Hardiyanto dan
Prasetyo (1994) pendekatan agribisnis ternak memiliki implikasi langsung
terhadap manajemen usaha dan menuntut peningkatan komersialisasi pengelolaan
usaha ternak. Mengingat bahwa wilayah pengembangannya adalah kawasan
perminyakan maka faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah potensi ternak,
teknologi penunjang, potensi pasar dan ketrampilan petani sebagai pengadopsi
teknologi yang akan diterapkan.
Tujuan penulisan Karya Ilmiah bertajuk “Pola Pengembangan Usaha
Peternakan Rakyat Berwawasan Lingkungan di Kawasan Perminyakan Kabupaten
Blora” ini adalah untuk mengetahui seberapa besar potensi ternak sapi potong
yang dikembangkan di dekat kawasan perminyakan di Kabupaten Blora dan pola
pengembangannya dengan tetap memperhatikan aspek konservasi guna
menciptakan sistem usaha ternak yang berwawasan lingkungan. Manfaat yang
bisa dipetik dari penulisan ini adalah mengetahui efek positif dan negatif yang
ditimbulkan daerah perminyakan terhadap produktivitas ternak dan bagi para
petani ternak dapat mengetahui manajemen ternak yang lebih baik sehingga bisa
mengeliminir hambatan-hambatan yang timbul dari kawasan perminyakan dan
diharapkan nantinya ada peningkatan pendapatan dari petani ternak dan
membentuk suatu ekosistem yang mantap serta dapat mempertahankan stabilitas
populasi ternak demi kepentingan umat manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Potong
Jenis sapi potong yang banyak dikembangkan oleh peternak tradisional di
Indonesia yaitu sapi PO (Peranakan Ongole). Sapi Peranakan Ongole memiliki
ciri-ciri warna putih, gumba besar, leher dan sebagian kepala pada jantan
berwarna abu-abu gelap, kulit tebal, banyak lipatan elastik dan berambut,
mempunyai leher yang pendek, gelambir panjang dan lebar, telinga panjang
menggantung, serta kepala relatif pendek dan melengkung (Sosroamidjojo, 1975).
Pakan yang diberikan pada ternak sapi berupa konsentrat dan hijauan. Konsentrat
adalah pakan yang mengandung nutrisi tinggi dengan serat kasar rendah (kurang
dari 20%), dengan Total Digestible Nutrien (TDN) berkisar 80% (Blakely and
Bade, 1998). Lingkungan makro adalah lingkungan yang terdapat diluar kandang
seperti suhu lingkungan, kelembaban lingkungan, udara lingkungan, curah hujan
dan intensitas cahaya diluar kandang. Kisaran suhu yang cocok untuk memelihara
sapi potong adalah 27 – 34 oC (Santosa, 1995). Menurut Williamson dan Payne
( 1993 ) kenyamanan ternak berada pada tingkat kelembaban 50-60%.
Pengaruh Iklim pada Ternak
Iklim adalah salah satu faktor lingkungan yang memiliki pengaruh besar
terhadap kehidupan sapi. Pengaruh tersebut bisa dirasakan ternak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dirasakan ternak melalui
suhu udara. Suhu udara, terutama suhu yang tinggi, sangat kurang
menguntungkan bagi kehidupan ternak sapi. Pengaruh kurang menguntungkan ini
terlihat pada konsumsi pakan, air serta tingkah laku ternak. Ternak sapi yang
tertimpa suhu tinggi akan mengalami stress berat dan gagal mengatur panas
tubuhnya. Akibatnya ternak mengurangi konsumsi pakan dan banyak minum air.
Suhu yang tinggi juga berpengaruh pada tingkah laku ternak. Ternak tidak tahan
merumput lebih lama. Ternak akan banyak berjalan-jalan untuk mencari sumber
air. Ternak akan menempuh perjalanan jauh, akibatnya ternak banyak kehilangan
energi dan kerja otot lebih meningkat. Hal ini mengakibatkan banyak zat pakan
yang dimobilisasikan untuk kebutuhan yang kurang bermanfaat, sehingga
produktivitas dan kemampuan reproduksi ternak menjadi menurun. Pengaruh
tidak langsung pada ternak yaitu melalui pakan hijauan yang diberikan. Pada
musim kemarau sulit untuk mendapatkan hijauan. Banyak hijauan yang tumbuh
kerdil bahkan mengering. Hijauan yang kering mempunyai serat kasar yang
tinggi karena proses lignifikasi. Proses lignifikasi menurunkan kecernaan ternak
terhadap hijauan, sehingga volume hijauan yang termakan ternak pun juga
menurun.
Penggembalaan di Pastora
Sistem penggembalaan di pastora yaitu sistem penggembalaan dengan
membiarkan ternak merumput atau melakukan grazing pada suatu lahan yang
ditumbuhi dengan hijauan yang menjadi makanan bagi ternak.
Kelebihannya:
1. Tidak banyak tenaga untuk memberi hijauan ; tidak banyak grain yang
digunakan, untuk memberikan grain yang kuantitasnya relatif sedikit
tenaga yang dibutuhkan juga relatif sedikit. Pemberian grain bisa
dilakukan dengan cara self feeder
2. Di pastora ternak akan memperoleh ransum yang lebih sempurna
dibanding dengan di- feed lot, karena hijauan segar mengandung protein,
mineral dan vitamin yang baik
3. Bila di pastora cukup tersedia pohon-pohonan, maka investasi untuk
shelter tidak diperlukan
4. Manure disebarkan sendiri oleh ternak
Kelemahannya:
1. Lahan pastora lebih menguntungkan bila ditanami tanaman pangan
2. Pada musim kemarau hijauan yang tersedia tidak bisa memenuhi
kebutuhan
3. Hijauan pastora secara teoritis hanya baik digunakan pada musim hujan
4. Bila hujan terlampau banyak dapat merusak zat-zat yang terkandung
dalam hijauan.
5. Bila pastora permanen, maka manure akan jatuh di tempat atau lapangan
yang sama dari tahun ke tahun
6. Ternak yang dikembangkan di pastora menghasilkan daging yang lebih
sedikit disbanding dengan bobot badannya, hal ini disebabkan daya
susutnya (shrinkage) yang besar.
7. Warna lean-nya terlampau gelap dan lemaknya berwarna kuning (tidak
putih seperti dry lot)
Masalah Penerapan Penelitian Ternak Ruminansia Berjalan Lambat
Penelitian biaya tinggi
Penerapan lamban
Mengapa ?
Ternak petani - struktur sumberdaya Ruminansia tradisional - tujuan petani ternak
FSR
(farming system research)
F Pendekatan holistik F Program hilir (Norman, 1980) F Tahap-tahap pendekatan program hilir
Penelitian ternak : Masalah Kapasitas dan Penerapan
Biaya untuk melakukan penelitian ternak cukup tinggi dan biasanya
penerapan hasil penelitian tersebut lamban. Sebaliknya keuntungan ekonomis
dari program-program penelitian dan penyuluhan peternakan seringkali lambat
disadari, terutama untuk ternak ruminansia besar dengan tenggang waktu yang
panjang antar generasi. Selain itu, sebagian besar ternak di Indonesia dipelihara
oleh petani ternak berukuran kecil dengan lahan dan sumberdaya modal yang
terbatas untuk disisihkan bagi ternaknya. Seringkali ternak merupakan bagian
kecil dari suatu usaha pertanian dan pendapatan total. Pada umumnya ternak
dipelihara dengan berbagai tujuan (De Boer, 1976), oleh karena itu penggunaan
hasil-hasil penelitian tersebut secara cepat jarang tercapai.
Masalah lain adalah bahwa banyak penelitian kurang memperhatikan
struktur sumberdaya dan tujuan para petani ternak yang sesuai dengan sistem
usaha tani kecil dan campuran yang biasa digunakan dalam pemeliharaan
sebagian besar ternak di Asia (Areekul, 1980). Suatu pendekatan penelitian yang
telah dikembangkan untuk mengatasi masalah ini adalah penelitian sistem
pertanian (farming system research). Banyak yang dapat disarankan melalui cara
pendekatan ini, baik dalam merencanakan program penelitian maupun dalam
mencapai alih teknologi yang cepat.
Masalah sumber pakan
Konsensus umum diantara para peneliti, ahli-ahli pembangunan, dan para
petani ternak adalah bahwa terbatasnya sumber pakan merupakan kendala utama
untuk jumlah dan produktivitas ternak (Winrock, 1978; Fitzhugh dan De Boer,
1981; Thang rajah, 1981; Wheeler et al.,1981). Penentuan sumberdaya pakan
sangat sulit karena harus dipertimbangkan dari tingkat nasional, regional dan
tingkat usaha tani. Kualitas pakan hijau-hijauan berserat kasar tinggi yang
dihasilkan di daerah tropis beriklim angin musim menunjukkan adanya variasi
musiman yang tinggi. Terdapat pula banyak bahan pakan non-konvensional dan
data tentang bahan pakan yang demikian biasanya tidak dilaporkan. Akhirnya,
pemberian pakan dengan menggunakan sisa-sisa tanaman pangan yang dilakukan
di tempat peternakan sulit diketahui.
Tanggapan yang tertuju kepada proyek dan bersifat konvensional adalah
mengembangkan padang penggembalaan ternak berdasarkan model barat,
memperkenalkan penggunaan padang penggembalaan bergilir dengan sistem
tanaman tumbuh-tandus yang dilakukan di seluruh Asia yang beriklim angina
musim atau menggunakan makanan pokok untuk strategi persediaan musiman
(Fitzhugh dan De Boer, 1981). Relatif kurang berhasilnya pendekatan seperti
diatas menimbulkan program untuk meningkatkan produktivitas tanah-tanah
penggembalan umum dengan biaya rendah (Wickham et al.,1977), metode
persediaan murah berdasarkan sumber-sumber energi setempat yang bisa di dapat
(Hall dan De Boer, 1977) dan usaha-usaha untuk memperbaiki kualitas hasil
sampingan dan sisa-sisa tanaman pangan setempat yang dapat digunakan (APO,
1976; Fitzhugh dan De Boer, 1981; NRC, 1981; Tillman, 1981).
Tinjauan produksi ternak tradisional
Crotty (1980) memberikan banyak contoh tentang rencana pengembangan
ternak sapi yang tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan karena dampak
masalah-masalah penilaian tersebut tidak sepenuhnya diperhitungkan. Oleh
karena sebagian besar ternak di Asia dihasilkan dalam kondisi usaha campuran
tanaman pangan-ternak (Humpries, 1980; Winrock, 1981), ini akan melibatkan
suatu komponen kuat pada interaksi tanaman pangan ternak. Bila ini telah
dilakukan pilihan usaha khusus dapat dipertimbangkan.
Ditinjau dari efisiensi teknis, sistem produksi tradisional ternak adalah
suatu sistem yang mempunyai tingkat efisiensi ternak lebih rendah dibandingkan
dengan sector modern dan tetap tidak berubah selama kurun waktu yang lama.
Sistem tradisional biasanya adalah skala usaha kecil dari segi jumlah ternak,
walaupun sistem penggembalaan tradisional di tempat-tempat yang luas dapat
memiliki jumlah yang cukup besar. Jumlah ternak untuk menopang keluarga
jarang melebihi kebutuhan subsistensi. Kelemahan usaha skala kecil adalah tidak
dapatnya produsen perorangan memanfaatkan secara menguntungkan sumberdaya
produksi ternak khusus yang merupakan sumber produktivitas tinggi pada sector
skala besar yang modern.
Pakan pada sistem usaha ternak tradisional pada umumnya dihasilkan di
rumah dan pakan yang dibeli kalau ada jumlahnya sangat sedikit. Ruminansia
yang diberi pakan dengan sistem tradisional yang rendah biayanya cenderung
berlokasi dekat dengan tempat hijauan makanan ternak berserat kasar tinggi
tersedia berlimpah. Produksi ruminansia memerlukan hijauan makanan ternak
berserat kasar tinggi dalam jumlah banyak dan murah, maka luas tanah harus
mencukupi. Hal ini dapat dicapai dengan perluasan pertanian, penggunaan
kembali tanah pada pertanian yang ada, dan intensifikasi produksi hijauan
makanan ternak (De Boer, 1976b)
Farming system research (Norman, 1980):
a. Empat tahap penelitian berturut-turut uraian (diagnostic), perancangan,
percobaan dan penyuluhan
b. penekanan akan keterlibatan para petani dalam memperbaiki sistem
dengan menggunakan sistem terbaik yang ada ditambah dengan paham-
paham baru tentang peningkatan produktivitas
c. Keterlibatan para peneliti dari berbagai ilmu pada semua tahap penelitian
d. Mengetahui kekhususan lokasi dari rekomendasi penelitian dan kebutuhan
untuk mengembangkan teknologi berbeda lingkungan utama ekologi dan
sosial ekonomi
e. Kebutuhan untuk memahami keserbagunaan sumberdaya dan rumah
tangga pedesaan sebagai unit produksi dan konsumsi, untuk menjamin
bahwa semua faktor yang relevan dipertimbangkan juga
f. Sifat dinamis dan interaktif proses penelitian dan kebutuhan akan
komunikasi yang berlangsung terus antara petani dan peneliti
g. Pengaruh arus-balik (feed back) yang diberikan oleh penelitian sistem
usaha tani untuk menentukan prioritas program penelitian dasar dan
komoditi
Penelitian SCP (Single Cell Protein) dari Limbah Minyak
Limbah minyak merupakan pemandangan yang tidak asing bagi kita jika
kita berada di kawasan perminyakan. Tumpahan sisa-sisa minyak mentah
tersebut mengotori tanah dan kemudian meresap ke tanah. Secara tidak langsung
limbah ini akan merusak tanah dan tanaman yang ada diatasnya. Tanah menjadi
kering dan tandus, akibatnya unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman juga
akan berkurang sehingga tanaman menjadi layu. Selain di tanah, limbah minyak
juga mengotori udara dan air. Udara di kawasan perminyakan sangat panas dan
timbul bau tidak sedap yang berasal dari buangan pengolahan minyak
(Jawa: lantung). Limbah minyak membuat air menjadi berwarna agak kehitaman
dan tampak warna seperti pelangi serta bau lantung yang menyengat. Pemisahan
limbah minyak dengan air dilakukan pada water treatment, dimana terjadi proses
destilasi yang memisahkan antara air dengan minyak. Namun saat ini water
treatment di Indonesia belum semutakhir yang ada di Jepang. Di Jepang terdapat
secondary system pada water treatment-nya, sehingga air hasil destilasi pada
proses penyaringan pertama masih disaring kembali. Hal ini dilakukan untuk
menghindari kemungkinan air buangan tadi masih mengandung polutan. Di
Indonesia proses tersebut belum dilakukan, sehingga air buangan pabrik
pengolahan minyak masih banyak mengandung polutan.
Menurut BPMIGAS (2005) komposisi minyak bumi yang ditambang
terdiri dari organik karbon yang secara sendiri-sendiri sulit diidentifikasi, tapi
secara umum disebut total petroleum hydrocarbon (TPH). Dijelaskan lebih lanjut
bahwa dilihat dari sudut pandang lingkungan, unsur-unsur paling penting dari
minyak mentah ini adalah: Benzene, Toluene, Ethyl benzene dan Xylene (BTEX)
yang bersifat toxic, dan Carcinogenic yang dikenal sebagai limbah berbahaya
(B3) dan dicurigai memiliki dampak cukup dahsyat terhadap tanah, air, dan
ekosistem. Fachruddin (2004) menambahkan bahwa senyawa BTEX dari minyak
mentah bersifat rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam,
baik di air maupun di darat.
Saat ini sulit sekali untuk menjinakkan limbah minyak ini. Pertambangan
minyak memang banyak mengganggu kelestarian lingkungan, tetapi disisi lain
emas hitam ini sesuatu yang sangat berharga dan sangat dibutuhkan oleh manusia.
Masalah lingkungan tentunya tanggung jawab dari manusia untuk tetap menjaga
kelestariannya, salah satunya dengan mengoptimalkan dari pengolahan limbah
minyak ini menjadi barang yang ramah lingkungan dan bermanfaat bagi kita.
Berbagai penelitian dan upaya terus dilakukan guna menemukan cara paling
efektif mengatasi masalah limbah minyak bumi ini. Salah satu teknologi yang
memberi harapan dan sedang diuji coba saat ini adalah teknologi bioremediasi
(bioremediation). Bioremediasi merupakan proses biologis (bioproses) yang
memanfaatkan bakteri mikrobiologis di dalam proses kerjanya. Selama ini, proses
ini lebih banyak dikenal dan popular digunakan dalam fermentasi pada pembuatan
tape singkong (BPMIGAS, 2005).
Secara sederhana proses bioremediasi bagi lingkungan dilakukan dengan
mengaktifkan bakteri alami pengurai minyak bumi yang ada di dalam tanah.
Bakteri ini kemudian akan menguraikan limbah minyak bumi yang telah
dikondisikan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan hidup bakteri
tersebut. Dalam waktu yang cukup singkat kandungan minyak akan berkurang
dan akhirnya hilang, inilah yang disebut sistem bioremediasi. Baru pada tahun
1980-an, bioremediasi mulai dikembangkan penggunaannya pada limbah yang
lebih sulit, misalnya pada kontaminasi tanah. Tapi pada prinsipnya, bioproses
yang digunakan tidaklah berbeda. Pada operasi perminyakan, khususnya lapangan
minyak yang terkontaminasi oleh minyak mentah, pemanfaatan proses
bioremediasi baru sekitar 30% (BPMIGAS, 2005).
Pada tahun 1986 telah dikembangkan pemanfaatan limbah minyak
menjadi pakan ternak berprotein tinggi yang berasal dari bakteri pemakan minyak.
Pakan ini lebih dikenal dengan Single Cell Protein (SCP) yang merupakan tindak
lanjut dari proses bioremediasi. Proses bioremediasi hanya berusaha untuk
menguraikan limbah minyak dan mengurangi jumlah cemarannya di lingkungan.
Sedangkan pembuatan SCP itu sendiri merupakan pemanfaatan dari bakteri
pemakan minyak yang jumlahnya berlebih. Perlu kita ketahui bahwa bakteri akan
hidup optimal pada kondisi dimana kebutuhan nutrisinya terpenuhi. Bakteri akan
berkembang secara cepat dan pada saat itu bakteri hidup pada fase lag. Pada
proses bioremediasi bakteri akan dikondisikan sedemikian rupa sesuai dengan
kebutuhannya, hal ini memungkinkan bakteri untuk berkembang pesat dan
akhirnya terjadi over population. Jumlah bakteri yang berlebih justru akan dapat
mengancam kita karena sifatnya pemakan minyak, maka mungkin saja tidak
hanya limbah yang diuraikan tetapi juga minyak yang kita butuhkan.
Pakan dari bakteri pemakan minyak ini diperuntukkan untuk ternak
ruminansia. Ternak ruminansia merupakan hewan berlambung ganda dimana
didalamnya terdapat mikroorganisme yang bertugas sebagai pendegradasi serat
kasar yang berbentuk lignoselulosa atau hemiselulosa menjadi VFA (Volatyl
Fatty Acid). VFA atau asam lemak mudah terbang terdiri atas asam asetat,
propionat dan butirat dimana masing-masing mempunyai persentase yang
berbeda. Pada sapi pedaging propionat lebih mendominasi sedangkan asam asetat
lebih banyak dihasilkan oleh sapi perah karena berkaitan dengan tampilan kadar
lemak susu yang dihasilkan. SCP sendiri berperan sebagai tambahan nutrient
untuk mikroorganisme yang berada dalam rumen agar senantiasa bisa
menghasilkan VFA yang optimal. Jumlah VFA yang optimal dapat dilihat pada
tampilan produksi ternak itu sendiri. Jadi peranan mikroorganisme ini sangat
menentukan tingkat produktivitas ternak.
Selama ini ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, domba dan kambing
kebutuhannya hanya dipenuhi dari hijauan saja. Mungkin ada beberapa yang
sudah menggunakan pakan tambahan seperti konsentrat tetapi konsentrat dengan
kandungan protein tinggi akan sangat mahal harganya dan ini membuat peternak-
peternak tradisional tidak mampu memberikan pakan dengan kualitas tinggi.
Penelitian mengenai pemberian SCP pada ternak sapi ini hanya berjalan dalam
jangka waktu yang tidak lama. Aplikasi dari penelitian ini belum dilaksanakan
sepenuhnya dan hanya sebagai percontohan saja. Sayang sekali apabila
penelitian yang menghasilkan aset berharga ini tidak dikembangkan. SCP
merupakan pakan alternatif yang ditawarkan kepada peternak tradisional
khususnya di kawasan perminyakan untuk meningkatkan produktivitas ternaknya
PEMBAHASAN
Potensi Kawasan Perminyakan
Menurut data BPS kabupaten Blora terletak pada ketinggian 36 mm dpl
dengan suhu harian rata-rata 25-29 0C dan kelembaban relatif 73-86%. Kawasan
perminyakan di Kabupaten Blora tersebar di tiga tempat yaitu Cepu, Ledok dan
Nglobo. Daerah yang paling berpotensi untuk ternak sapi yaitu daerah Nglobo,
selain itu juga ada beberapa ekor kambing PE (Peranakan Ettawa) yang
dipelihara oleh penduduk. Daerah Nglobo merupakan kawasan pengeboran
minyak yang dikelilingi oleh hutan dan pemukiman penduduk. Mata pencaharian
yang dominan penduduk di sana adalah petani. Usaha yang dijalankan petani di
sana yaitu sistem pertanian campuran (Mix Farming). Beberapa petani kecil
memelihara beberapa ekor sapi dengan maksud digemukkan dengan bahan pakan
yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertaniannya.
Rata-rata setiap petani memiliki ternak sapi 1 hingga 5 ekor tetapi bahkan
ada yang memiliki hingga 15 ekor. Ternak hanya digunakan sebagi tabungan dan
sambilan saja. Ternak digembalakan pagi dan sore di tanah lapang di sekitar
tangki-tangki minyak di dalam kawasan perminyakan. Ada beberapa tempat yang
tidak boleh digunakan oleh untuk menggembalakan ternak karena ada jurang atau
mesin yang sedang beroperasi sehingga bisa membahayakan ternak. Pakan yang
diberikan pada ternak hanya berupa hijauan saja, pakan tambahan tidak diberikan
karena mereka tidak mampu untuk membelinya bahkan jika diberikan jumlahnya
juga sangat sedikit misalnya comboran dari dedak.
Sesuatu yang menarik dari peternak tradisonal di Nglobo ini adalah ternak
mereka tampak sehat dan jarang sakit, disisi lain ternak mereka hanya diberi
pakan hijauan saja dan hijauan itu pun diperoleh dari sekitar tempat pengeboran
minyak dan tangki-tangki penampungnya. Menurut Parakkasi (1999), ternak
yang digembalakan di pastora akan mendapat pakan yang sempurna karena
hijauan segar mengandung protein, vitamin dan mineral yang baik. Namun
kondisi hijauan disana tentu saja tidak sama dengan yang dimaksud pada
pernyataan tersebut. Tanah disekitar kawasan tersebut telah terkontaminasi
dengan minyak dan kemungkinan telah terserap oleh tanaman disekitarnya.
Apabila tanaman-tanaman tersebut terkonsumsi oleh ternak maka akan berdampak
pada kondisi fisiologisnya. Telah disebutkan bahwa minyak mengandung
Benzene, Toluene, Ethyl benzene dan Xylene (BTEX) yang bersifat toksik dan
karsinogenik (BPMIGAS, 2005). Senyawa-senyawa ini bisa terkonsumsi ternak
melalui hijauan yang termakan saat ternak digembalakan atau hijauan yang
diberikan oleh peternak bila hijauan tersebut dipotong disekitar tempat yang
terkontaminasi oleh minyak. Efek lingkungan dari kawasan perminyakan ini
tidak terlalu dirasakan oleh para peternak karena mereka tidak mengetahui bahwa
limbah dari pengeboran minyak bisa membawa dampak negatif bagi ternaknya.
Alternatif Pola Pengembangan
Kebutuhan daging akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk di Negara kita. Namun peningkatan kebutuhan daging ini tidak
seimbang dengan populasi ternak yang ada. Telah disebutkan sebelumnya bahwa
menurut Ditjennak (1999) kekurangan produksi daging nasional sekitar 90 %
dipenuhi dari peternakan perusahaan (feedlotter) yang menggunakan sapi bakalan
impor yang rata-rata per tahun mencapai 350 ribu ekor. Selama ini kebutuhan
hanya dipenuhi dari peternak lokal dengan populasi yang kecil. Untuk itu perlu
dikembangkan sistem usaha ternak yang maju, efisien dan tangguh serta
berorientasi pada profitabilitas.
Berkaitan dengan hal tersebut, daerah Nglobo merupakan salah satu lokasi
yang representatif untuk didirikan sebuah farm yang bergerak dalam usaha
penggemukan sapi potong. Dasar pemikiran dalam pengambilan lokasi di daerah
Nglobo yaitu :
1. Daerah Nglobo berpotensi untuk menghasilkan ternak sapi potong yang
produktif. Populasi ternak sapi di daerah Nglobo terhitung cukup banyak,
hampir setiap penduduk memiliki ternak sapi meskipun jumlahnya tidak
seragam.
2. Kawasan perminyakan mempunyai aset berharga yaitu sumber bahan
pakan berprotein tinggi berupa SCP (Single Cell Protein). Pakan tersebut
bisa dijadikan pakan alternatif untuk diberikan pada ternak. Disamping
itu juga membantu para petani ternak dalam penyediaan pakan berkualitas
tinggi. Dengan begitu penerapan dari penelitian mengenai SCP telah
dilakukan sehingga penelitian tersebut tidak hanya tersimpan rapi sebagai
hidden knowledge tetapi main goal dari penelitian tersebut juga benar-
benar tercapai yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
produktivitas ternak.
3. Pendapatan per kapita penduduk di daerah Nglobo kebanyakan masih
dibawah rata-rata. Mata pencaharian pokok penduduk Nglobo adalah
petani dan memelihara ternak hanya sebagai usaha sambilan. Salah satu
alternatif untuk meningkatkan pendapatan penduduk Nglobo yaitu dengan
mengoptimalkan pemeliharaan ternak yang semula bersifat konvensional
beralih menjadi usaha komersial yang berorientasi pada profitabilitas dan
potensi pasar.
4. Lahan di daerah Nglobo masih banyak yang terbengkalai, belum banyak
lahan yang dimanfaatkan secara optimal. Tersedianya lahan mendukung
didirikannya usaha ternak sapi potong. Lahan selain berfungsi sebagai
media hidup ternak tetapi juga sebagai media tumbuhnya hijauan makanan
ternak. Sebagian lahan yang ada bisa digunakan peternak sebagai pastura
yang bisa ditanami dengan rumput maupun legume.
Kendala-kendala yang dihadapi untuk mengembangkan usaha peternakan di
kawasan perminyakan antara lain :
1. Keadaan agroekologi kawasan perminyakan.
Suhu rata-rata di kawasan perminyakan 25 – 29 0C dengan
kelembaban relatif 73-86%. Kondisi demikian kurang mendukung
kehidupan ternak. Zone comfort untuk ternak sapi berkisar 22,5 – 27 0C
dengan kelembaban relatif maksimal 80%. Apabila ternak dipelihara
pada dibawah atau diatas kisaran tersebut maka ternak akan menderita
cekaman dingin atau cekaman panas. Cekaman yang diderita akan
menyebabkan ternak menjadi stress. Pada kondisi yang stress ternak akan
mengubah pola konsumsinya sehingga berubah pula tampilan
produksinya. Saat ternak mengalami cekaman panas, ternak akan
cenderung mengurangi konsumsinya dan banyak minum untuk mengatur
panas tubuhnya. Sebaliknya, pada saat ternak menderita cekaman dingin
maka konsumsinya akan meningkat untuk mempertahankan panas
tubuhnya.
Lahan di sekitar kawasan perminyakan merupakan lahan yang kurang
subur. Pada tanah yang kurang subur, unsur hara yang terkandung
jumlahnya terbatas. Perlu penanganan intensif untuk mengolah lahan
kering menjadi lahan yang produktif. Di samping itu pemilikan lahan
yang relatif, tersebar dan banyak diantaranya yang masih terisolir
merupakan kendala untuk mengembangkan usaha peternakan yang
intensif.
2. Kendala sumberdaya manusia dan ketrampilan petani masih sangat kurang
dan itu berkaitan dengan kondisi sosio-ekonomi para petani.
Petani mempunyai ketrampilan yang kurang dan kurang berorientasi
pada pasar. Untuk mengusahakan semua kebutuhannya terpenuhi, petani
cenderung melakukan berbagai macam usaha dan merasa puas jika
hasilnya dapat dinikmati sendiri, jadi tidak ada komoditas unggulan yang
diandalkan dan diperlukan oleh pasar.
3. Pemeliharaan ternak oleh petani masih dalam skala rumah tangga.
Pemilikan ternak oleh petani relatif dalam jumlah yang kecil dan
semuanya masih dikembangkan secara tradisional. Ternak hanya sebagai
tabungan saja, dan sebagai cadangan apabila petani mengalami gagal
panen.
Dari gambaran diatas, bisa disimpulkan bahwa untuk mengembangkan
suatu usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan diperlukan penanganan
yang intensif agar tercipta suasana yang kondusif untuk didirikan usaha
peternakan yang perspektif. Mengingat kemampuan modal dan ketrampilan
petani terbatas, maka dalam pengembangan usaha ini petani memerlukan mitra
Perguruan tinggi Badan Litbang
Inovasi Teknologi “PST dari Limbah Minyak”
kerja. Dalam pelaksanaannya diperlukan keterlibatan dari pihak pemerintah,
swasta dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Alternatif pola pengembangan
di kawasan perminyakan digambarkan dengan ilustrasi berikut ini.
ALTERNATIF POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN
RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN
PERMINYAKAN
Pemerintah
Swasta
BUMN
ADOPSI
TEKNOLOGI
CHANGE AGENT
(Petugas penyuluh)
Penyuluhan Pengenalan teknologi Teaching Farm Training
Petani ternak - lahan - ternak
Produktivitas ternak meningkat
Pendapatan petani ternak meningkat
Modal Ternak Pakan Peralatan Pemasaran
Meningkatkan produksi daging
Tiga Aktor Pemerintah, Swasta dan BUMN
Pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan
perubahan-perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan
mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang,
yang dilaksanakan oleh pemerintah yang didukung oleh partisipasi masyarakatnya
dengan menggunakan teknologi terpilih (Mardikanto, 1993). Dari pengertian
tersebut tampak bahwa pemerintah merupakan aktor yang memegang peran utama
dalam melaksanakan pembangunan. Tugas pokok pemerintah yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, dan pemerintah sendiri membutuhkan
dukungan dari rakyatnya untuk dapat mencapai tujuan tersebut.
Pada diagram alur diatas ditunjukkan bahwa pemerintah bekerjasama
dengan pihak swasta dan BUMN mempunyai peran ganda yang sangat esensial
dalam pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan.
Pemerintah bekerjasama dengan swasta dan BUMN membantu dalam
pengembangan teknologi yaitu teknologi bioremediasi yang memanfaatkan
bakteri pemakan minyak. Proses bioremediasi sebenarnya telah dikembangkan
dan diuji-coba di berbagai negara sejak tahun 1980-an , khususnya di Amerika
Serikat. Di Indonesia sendiri, aplikasi bioremediasi masih dalam tahap
pengembangan. Menurut LAPI (Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri) ITB,
PT Caltex Pacific Indonesia (Caltex) merupakan perusahaan eksplorasi dan
produksi migas yang memelopori penerapan teknologi bioremediasi di Indonesia.
Bermula dari partisipasi Caltex pada sebuah seminar internasional
mengenai bioremediasi tahun 1994. Caltex adalah perusahaan Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKS) BPMIGAS yang beroperasi di Riau sejak tahun 1950-an.
Sejak tahun 1994, Caltex mulai melakukan uji coba bioremediasi pada tanah yang
mengandung minyak di lapangan Minas yang memproduksi minyak ringan
(Sumatran Light crude oil/SLC). Minas dipilih karena dalam kegiatan produksi di
lapangan minyak itu, terbawa juga tanah yang mengandung minyak ke atas
permukaan bumi. Caltex juga melibatkan pihak-pihak lain seperti: Lemigas
(Lembaga Penelitian Minyak dan Gas), ITB, serta mahasiswa-mahasiswa tingkat
pascasarjana dan doktoral untuk menilai dan mengevaluasi lokasi kegiatan dan
kinerja bioremediasi dalam pelaksanaan uji coba. Penelitian-penelitian yang
dilakukan menyangkut: aspek-aspek teknis dan manajemen, dan untuk
mendapatkan masukan serta gambaran menyeluruh mengenai bioremediasi di
Minas bagi pertimbangan BAPEDAL terhadap aplikasinya. Dari uji coba ini
diperoleh prospek yang baik untuk dapat diterapkan secara lebih luas
(BPMIGAS, 2005). Hasil pengembangan lebih lanjut dari proses bioremediasi ini
adalah SCP (Single Cell Protein) untuk pakan ternak. Sudah menjadi kewajiban
dari pihak pemerintah untuk mensosialisasikan temuan ini kepada para peternak.
Jalur sosialisasi yang bisa ditempuh oleh pemerintah yaitu melalui penyuluhan
kepada para petani ternak.
Kerja sama Peneliti dan Agen Penyuluhan
Penelitian di bidang peternakan sering dilakukan dan biaya yang
dikeluarkan juga tidak sedikit, namun penerapan dari hasil penelitian tersebut
sangat terbatas sekali. Hasil penelitian yang dipublikasikan melalui jurnal ilmiah
terkesan hanya sebagai suatu persyaratan untuk mempromosikan suatu organisasi
atau instansi. Para peneliti cukup puas dengan pujian dari sesama peneliti
mengenai hasil penelitiannya dan tidak sadar sumbangan apa yang telah dia
diberikan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh para petani. Hal
ini terjadi karena lemahnya hubungan antara peneliti dengan agen penyuluh.
Penerapan hasil penelitian jarang yang terlaksana karena lemahnya komunikasi
antara pihak peneliti dan petugas penyuluh, di lain pihak petugas penyuluh yang
langsung terjun ke lapangan mempunyai kemampuan pengetahuan dan
pemahaman yang terbatas dibandingkan para peneliti, karena kurangnya sarana
transportasi dan pekerjaan tulis-menulis yang mengikat mereka di belakang meja
(Van den Ban dan Hawkins, 1999).
Dengan adanya kerja sama antara pihak penyuluh dan peneliti maka
diharapkan aplikasi dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dapat
memberikan kontribusi berupa solusi alternatif untuk memecahkan permasalahan
di kalangan petani. Kerjasama yang bisa dilakukan adalah dengan mengadakan
analisis bersama mengenai permasalahan yang dihadapi oleh para petani ternak.
Analisis ini dapat dilaksanakan dengan pendekatan FSR (Farming System
Research) dimana diperlukan keterlibatan tim peneliti dari berbagai ilmu pada
setiap tahap penelitian untuk mengetahui kekhususan lokasi dari rekomendasi
penelitian dan kebutuhan untuk mengembangkan teknologi berbeda bagi
lingkungan utama ekologi dan sosio-ekonomi. Kemudian tindak lanjut dari
kegiatan analisis ini adalah dilakukannya percobaan lapangan. Percobaan
lapangan ini merupakan tanggung jawab bersama antara peneliti dan agen
penyuluhan. Peneliti berperan untuk menentukan percobaan apa yang paling
diperlukan dan hasil-hasil yang mungkin didapat berdasarkan hasil penelitian atau
teori di lembaga mereka, sedangkan agen penyuluh memberikan gambaran kepada
peneliti mengenai kondisi petani, karena agen penyuluhan lebih mengetahui
informasi dan pengalaman apa saja yang dimiliki oleh petani.
Sementara itu pada percobaan lapangan, peneliti bertugas untuk
merencanakan rancangan penelitian yang baik serta menganalisis data yang
diperoleh, sedang agen penyuluh lebih banyak terjun ke lapangan. Agen
penyuluh bertugas mengawasi percobaan lapangan secara langsung dan
mengadakan observasi yang diperlukan. Dengan kerjasama ini diharapkan adanya
pembangunan pertanian yang mantap di wilayah tersebut dan tujuan dari
pembangunan akan tercapai sehingga kesenjangan antara pihak peneliti dan
penyuluh tidak lagi terjadi.
Kerjasama antara pihak peneliti dan agen penyuluh untuk mengadakan
percobaan lapangan, bisa diterapkan di daerah Nglobo sebagai langkah awal
untuk pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan tersebut. Adapun
percobaan lapangan yang bisa dilakukan adalah percobaan biologis menggunakan
ternak sapi sebagai ternak percobaan. Treatment yang dilakukan yaitu pemberian
pakan konsentrat dengan campuran SCP (Single Cell Protein) yang dihasilkan
dari olahan bakteri pemakan minyak. Parameter yang bisa diamati yaitu ADG
(Average Daily Gain), Feed Convertion dan Feed Cost per Gain. ADG yaitu
pertambahan bobot badan harian yang dicapai oleh ternak dan dapat diketahui dari
selisih dari bobot badan awal dan bobot badan akhir. Feed Convertion yaitu
jumlah pakan yang diperlukan oleh ternak untuk menghasilkan 1 kg daging dalam
hal ini adalah sapi pedaging, dan diketahui dari hasil perbandingan bobot badan
yang dicapai dengan jumlah pakan yang terkonsumsi ternak. Sedangkan Feed
Cost per Gain yaitu banyaknya biaya pakan yang dibutuhkan untuk setiap
peningkatan bobot badan ternak. Pihak penyuluh bertugas mengawasi
pelaksanaan percobaan tersebut misalnya dengan mengarahkan peternak
mengenai cara pemberian pakan campuran konsentrat dengan SCP, mengambil
data yang ada di lapangan, sedang pihak peneliti bertugas untuk menganalisis data
yang diperoleh dari agen penyuluh. Kerja sama yang baik antara peneliti dan
agen penyuluh menghasilkan tim yang solid, sehingga mampu menggerakkan
kembali roda usaha peternakan kita yang terkesan lamban.
Peran Penyuluh Sebagai Change Agent
Penyuluhan merupakan salah satu sarana untuk membantu masyarakat
desa mencapai kehidupan yang lebih layak, khususnya melalui pemanfaatan hasil-
hasil penelitian dan perealisasian kebijakan pembangunan pertanian (Van den Ban
dan Hawkins, 1999). Melalui penyuluhan diharapkan adanya perubahan perilaku
dari masyarakat. Perubahan perilaku yang bisa menuntun masyarakat untuk
menjadi lebih baik. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengubah
perilaku dari masyarakat petani, karena mengubah perilaku seseorang tidak
semudah untuk membalikkan tangan. Masyarakat petani yang ada di desa tidak
akan menerima begitu saja kehadiran para petugas penyuluh, bahkan tidak sedikit
petugas penyuluh yang mendapat tanggapan kurang menyenangkan dari para
petani. Posisi yang demikian itulah yang menjadi tantangan bagi setiap petugas
penyuluh.
Menurut salah satu petani ternak di daerah Nglobo, di desa mereka belum
pernah diadakan kegiatan penyuluhan, yang ada hanyalah mantri hewan. Mantri
hewan tersebut bertugas memeriksa ternak yang sakit dari para petani hanya jika
ada pengaduan dari petani. Petani jarang memanggil mantri hewan karena jarak
rumah mantri dengan rumah mereka sangat jauh, bahkan jika ternak mereka sakit
tidak mantri hewan yang dipanggil melainkan dukun yang dipercaya bisa
mengobati hewan dan hanya diberikan garam. Gambaran kondisi diatas
diharapkan bisa membuka mata dari pemerintah bahwa daerah Nglobo sangat
menantikan sentuhan dari para petugas penyuluh, mengingat potensi ternak dari
daerah tersebut besar. Selama ini pemerintah kurang tahu dan tanggap mengenai
potensi daerahnya sendiri, di lain pihak program kerja dengan target pertumbuhan
ekonomi selalu menjadi prioritas utama.
Pemerintah bisa mengandalkan peternakan sebagai sumber pendapatan
daerah bila peternakan yang didirikan dikelola dengan manajemen yang tepat,
mulai dari manajemen pakan, manajemen pemeliharaan, kesehatan hewan hingga
manajemen pemasaran. Bila hal ini diterapkan di daerah Nglobo, maka
pemerintah akan mengalami kesulitan menerapkan manajemen tersebut karena
petani ternak di daerah Nglobo belum siap dengan semua itu. Dibutuhkan
peternak yang trampil dan berbekal pengetahuan yang cukup untuk mengelola
peternakan tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah agen untuk mengubah
perilaku peternak agar peternak menjadi trampil, memiliki pengetahuan yang
cukup sehingga mampu mengelola ternaknya agar produktivitasnya menjadi
semakin meningkat.
Alternatif metode penyuluhan yang bisa dilakukan bagi petani ternak di
daerah Nglobo yaitu metode Individu-kunci (Key Person) / Kontak- tani.
Individu–kunci (Key Person) adalah individu yang maju (inovatif), yang bersedia
bekerja sama sebagai rekan sekerja penyuluh untuk melaksanakan kegiatan
penyuluhan bagi warga masyarakat sekitar terutama di lingkungannya sendiri.
Jadi sasaran utama dari petugas penyuluh adalah individu-kunci yang biasanya
menjadi pimpinan lembaga-lembaga sosial (kelompok/organisasi) dan diakui
masyarakatnya sebagai panutan yang baik. Kemudian diharapkan dari individu-
individu kunci tersebut meneruskan penyuluhan kepada seluruh warga
masyarakatnya. Metode seperti ini lebih efisien karena penyuluh tidak perlu
berhadapan langsung dengan seluruh warga masyarakat, sehingga sangat
menghemat waktu dan biaya yang seringkali menjadi kendala untuk
melaksanakan kegiatan penyuluhan. Seperti di desa Nglobo, untuk menuju
rumah penduduk, kita harus menempuh perjalanan yang jauh terlebih harus
melewati kawasan perminyakan dan hutan jati. Jadi faktor geografis merupakan
kendala bagi para penyuluh untuk dapat terjun langsung menemui peternak.
Namun tidak dipungkiri, jika petugas penyuluh ingin melihat secara langsung
keadaan di lapangan untuk benar-benar meyakinkan para petani ternak mengenai
informasi yang mereka peroleh dari individu-kunci tadi.
Selain itu penyuluhan metode individu kunci lebih efektif, karena
penyuluhan yang dilakukan oleh individu-kunci lebih cepat diterima atau
dipercayai oleh masyarakat setempat yang karena individu sudah dikenal dan
diakui sebagai panutan yang baik. Apabila penyuluhan dilakukan oleh petugas
penyuluh sendiri maka warga setempat akan sulit menerima dan mempercayainya
karena informasi didapatkan dari orang luar lingkungannya yang belum mereka
kenal. Hambatan mungkin dihadapi oleh pelaksanaan metode ini yaitu sulit untuk
menemukan key person tersebut. Tidak semua individu kunci yang digunakan
penyuluh mendapat sambutan yang baik dari tokoh masyarakat setempat.
Alternatif yang bisa dilakukan penyuluh yaitu dengan menanyakan langsung
kepada warga setempat tentang siapa yang dianggap berpengaruh/ panutan yang
baik dari sebagian besar masyarakat di lingkungan tersebut, kemudian setelah
diketahui individu kunci yang terpilih tadi dikonsultasikan dengan tokoh formal
atau dengan pejabat setempat.
Materi penyuluhan yang bisa diberikan yaitu mengenai teknik budidaya
ternak sapi dan hijauan makanan ternak, cara pemilihan bibit unggul, penggunaan
sapronak, pemberian pakan yang berkualitas dan teknologi pascapanen.
Termasuk didalamnya mengenai masalah sosial ekonomi peternakan yang
meliputi ekonomi produksi, pemasaran hasil serta membuat perencanaan usaha
sendiri. Materi diberikan secara bertahap dan berkelanjutan, karena melihat
kondisi penduduk desa Nglobo yang status pendidikannya rata-rata masih rendah,
jadi perlu waktu yang agak lama untuk memahami materi yang belum pernah
mereka dapatkan sebelumnya.
Setelah petani ternak dirasa sudah bisa menerima materi penyuluhan,
maka untuk lebih membuat petani semakin mempercayai materi yang
disampaikan, langkah selanjutnya yaitu pelaksanaan demonstrasi oleh petugas
penyuluh. Demonstrasi yaitu menunjukkan, membuktikan atau meragakan
sesuatu yang nyata agar orang lain mempercayainya (Mardikanto, 1993). Metode
demonstrasi yang dilaksanakan pada tahap awal yaitu Demplot (Demonstrasi
plot). Demplot ini dilaksanakan oleh kontak tani dan keluarganya dengan lahan
kurang lebih 0,1 Ha. Materi yang dilakukan misalnya dengan cara menanam
rumput gajah, cara pemupukan serta teknologi pengawetan hijauan seperti Silase
dan pemanfaatan limbah pertanian seperti jerami untuk diamoniasi, karena di
daerah Nglobo merupakan daerah yang panas dan kering sehingga sulit untuk
mendapatkan hijauan untuk pakan ternak. Dengan pelaksanaan Demplot ini
diharapkan para petani ternak semakin percaya karena dengan melihat mereka
akan dapat mengetahui secara langsung bukti-bukti nyata apa yang selama ini
mereka terima. Pada pelaksanaan demonstrasi, diharapkan timbul minat pada
setiap diri peternak, karena mereka bisa mengevaluasi dan mempertimbangkan
keuntungan yang bisa diperoleh dengan cara yang baru mereka terima disbanding
dengan cara lama yang dulu mereka lakukan.
Setelah timbul minat, maka langkah berikutnya yaitu mendirikan sebuah
kandang percontohan(Teaching Farm) sebagai pengembangan dari demplot tadi.
Kandang percontohan ini mempunyai kapasitas yang lebih besar daripada yang
digunakan pada saat demplot. Kandang percontohan bisa diambil dari percobaan
lapangan yang merupakan hasil kerjasama antara peneliti dengan agen
penyuluhan. Setelah percobaan selesai dan mendapatkan hasil yang bagus, maka
bisa diterapkan lebih lanjut oleh para peternak dengan menggunakan fasilitas telah
ada di kandang percontohan tersebut. Penyuluh bisa melakukan training bagi
sebagian petani ternak untuk mempraktekkan materi yang telah mereka dapatkan.
Bagi petani ternak pria lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang berkaitan
dengan ternak pengolahan lahan yang akan ditanami rumput gajah sebagai
tanaman makan ternak, sedangkan untuk kaum wanita lebih banyak membantu
untuk pemeliharaan rumput gajah, membuat silase atau pengawetan jerami dengan
cara amoniasi pada saat musim hujan, karena pada musim hujan produksi hijauan
mengalami surplus sedangkan pada musim kemarau petani ternak sulit
mendapatkan hijauan, jadi pengetahuan tentang pengawetan hijauan kepada petani
ternak sangat diperlukan sekali.
Training atau pelatihan bagi para petani ternak akan semakin menambah
ketrampilan dan pengetahuan mereka, paling tidak mereka sudah paham dan
mampu melaksanakan apa yang telah mereka dapatkan. Setelah materi terdahulu
sudah bisa dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh petani ternak, maka
penyuluh bisa memberikan tambahan materi seperti pengenalan teknologi SCP
dan pembuatan pupuk dari kotoran ternak mereka. Pengenalan teknologi ini
tentunya juga dilakukan secara bertahap karena materi ini setingkat lebih tinggi
dari materi sebelumnya, jadi mungkin petani ternal lebih sulit untuk mencernanya.
Untuk memudahkan penyampaiannya, penyuluh bisa menggunakan gambar atau
film documenter mengenai manfaat SCP dan proses pembuatan pupuk dari
kotoran ternak sapi. Dengan media visual yang ditampilkan, diharapkan
mempermudah penyuluh untuk menyampaikan informasi tersebut kepada petani
ternak. Dari pengenalan teknologi ini diharapkan petani ternak mau dan mampu
untuk mengadopsi inovasi teknologi yang telah disampaikan. Proses adopsi ini
membutuhkan kerjasama antara pihak peneliti dan agen penyuluh, pihak peneliti
lebih menguasai mengenai inovasi teknologi yang disampaikan sedang agen
penyuluh membantu meyakinkan petani, hingga petani bisa mengadopsi teknologi
yang disampaikan kepadanya.
Pemasaran Produk
Setelah petani ternak dirasa sudah cukup mandiri, trampil dan mampu
mengadopsi teknologi dengan baik, maka giliran pemerintah untuk membantu
petani ternak untuk mengembangkan usaha peternakan. Petani ternak mampu
menyediakan lahan dan beberapa ekor ternak sapi, sedangkan pemerintah bisa
membantu dengan memberikan modal dengan kredit lunak, penyediaan sapronak
dan membantu petani ternak untuk memasarkan ternaknya. Selama ini petani
ternak menjual ternaknya melalui blantik tanpa memperhitungkan biaya produksi
yang dikeluarkan. Peternak cukup puas bila harga sapi dengan harga bibit yang
dibeli dulu mempunyai selisih yang agak besar, dengan begitu peternak sudah
merasa untung. Petani ternak mematok harga ternak pada nominal tertentu sesuai
dengan kondisi fisik ternak secara umum tanpa ada penimbangan terlebih dahulu.
Pemerintah bisa membantu petani ternak dalam memasarkan hasil ternaknya,
misal dengan pemotongan ternak di RPH milik pemerintah, dari RPH maka
produk yang dipasarkan berupa daging, jeroan (viscera), atau hasil ikutan ternak
lainnya seperti kulit dan darah.
Pemotongan hewan khususnya sapi, peternak di daerah Nglobo bisa
mengirimkan ternaknya ke RPH yang ada di Cepu. Peluang bagi peternak daerah
Nglobo untuk menjual ternaknya ke RPH Cepu, selain jalur transportasi mudah
juga jarak yang dekat sehingga tidak membuat ternak stress dalam perjalanan.
Hasil pemotongan tersebut bisa dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan daging
masyarakat sekitar kecamatan Cepu bahkan seluruh masyarakat yang ada di
kawasan kabupaten Blora. Dengan demikian selain bisa meningkatkan kualitas
gizi masyarakat khususnya yang ada di kawasan kabupaten Blora, pendapatan
petani ternak yang ada di Nglobo menjadi meningkat, setelah terjadi perubahan
perilaku dalam mengembangkan usaha peternakannya. Semakin meningkatnya
pendapatan petani ternak, maka modal pinjaman dari pemerintah akan semakin
cepat pula dikembalikan, sehingga dana dari pemerintah juga akan segera bisa
dialokasikan untuk kepentingan yang lain. Peternakan rakyat yang dikembangkan
di daerah Nglobo bisa dijadikan sumber pendapatan daerah khususnya kabupaten
Blora, apabila usaha peternakan tersebut sudah semakin maju dan mampu untuk
melakukan ekspansi keluar. Dengan demikian pendapatan daerah kabupaten
Blora bisa meningkat, karena ada tambahan pemasukan dari sektor peternakan.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengembangan usaha peternakan rakyat di kawasan perminyakan yang
berwawasan lingkungan yaitu pola budidaya ternak dimana kebutuhan ternak
dipenuhi dari pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya namun tetap
dengan memperhatikan aspek konservasi, sumber daya alam yang digunakan tidak
rusak dan tetap terpelihara. Pengembangan usaha peternakan di kawasan
perminyakan Nglobo tidak akan berhasil tanpa melibatkan unsur pemerintah,
swasta dan BUMN. Dengan didirikannya usaha peternakan rakyat di daerah
Nglobo, maka akan dapat meningkatkan pendapatan petani ternak dan secara
tidak langsung membantu pemerintah terutama dalam sektor perekonomian.
Saran
Pada kenyataannya alternatif pola pengembangan usaha peternakan rakyat
di kawasan perminyakan akan banyak menemui hambatan-hambatan terutama
dalam masalah finansial dan dari pihak petani ternak sendiri, untuk
mengantisipasi hal itu diperlukan perencanaan yang matang dan pertimbangan
dalam berbagai aspek sehingga penerapan teknologi yang dilakukan benar-benar
sesuai dengan potensi SDA, SDM dan potensi pasar. Kerjasama yang baik antara
pihak peneliti dan penyuluh sebaiknya selalu dijaga karena hubungan yang efektif
antara para peneliti di bidang peternakan dan agen penyuluhan akan membantu
pemerintah dalam meningkatkan pembangunan pertanian khususnya di sektor
peternakan. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa diharapkan peran
aktifnya, terutama dalam menggali potensi daerahnya agar setelah lulus nanti akan
tercetak sarjana-sarjana sebagai Jobmaker, sehingga mampu menciptakan
lapangan kerja bagi para Jobseeker.
POLA PENGEMBANGAN USAHA PETERNAKAN RAKYAT BERWAWASAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERMINYAKAN
KABUPATEN BLORA
KARYA TULIS MAHASISWA
Oleh :
Yuni Primandini H2C 002 181
JURUSAN NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2005
Recommended