View
234
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
ji
Citation preview
PORTOFOLIO INTERNSIP KASUS MEDIS
“HIV – AIDS”
Oleh:
dr. Tri Wahyuningsih
Pembimbing:
dr. Aprilia Maya
PUSKESMAS KECAMATAN CILINCING
PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA
( Periode 12 Februari 2015 – 11 Februari 2016)
PORTOFOLIO KASUS MEDIK
Borang portofolio
Nama peserta : dr. Tri wahyuningsih
Nama Wahana : Puskesmas Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara
Topik : HIV - AIDS
Tanggal (kasus) :
Obyektif presentasi
□ Keilmuan □ Ketrampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
Pasien
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Dewasa
□ Lansia □ Bumil
Bahan Bahasan
□ Tinjauan pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Cara membahas
□ Diskusi □ Presentasi □ Email □ Pos
Kasus
□ Deskripsi : Perempuan, 40 tahun, Bercak putih di lidah dan mulut sejak 2 minggu
sebelum datang ke puskesmas
□ Tujuan : Menegakkan diagnosis dan menetapkan manajemen HIV-AIDS
DATA PASIEN
Nama : Ny. A S
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : RT 02 /RW 06 Semper Barat
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : Tamat SD
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
No. RM : 5193
DATA UTAMA BAHAN DISKUSI
A. DATA SUBYEKTIF
1. Diagnosis dan gambaran klinis
Keluhan Utama
Bercak putih di lidah dan mulut sejak 2 minggu sebelum datang ke
puskesmas ( Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 21 mei 2015)
Pasien datang ke puskesmas kecamatan Cilincing dengan keluhan adanya
bercak putih di lidah dan mulut. Bercak putih dirasakan pasien mulai timbul
sejak 2 minggu sebeluh pasien datang berobat ke puskesmas.
Pasien juga mengeluhkan sering sakit-sakitan sejak 2 bulan yang lalu, pasien
sering batuk-batuk ± 2bulan dan tidak membaik walau sudah minum obat,
dan pasien telah dilakukan pemeriksaan foto rongent dan pengobatan di
RSUD koja 2 minggu sebelum datang ke puskesmas.
Keluhan disertai dengan panas badan dan meriang yang muncul hilang
timbul, nafsu makan yang turun serta penurunan berat badan secara drastis
dalam 2 bulan terakhir.
Keluhan juga disertai dengan timbulnya rasa gatal berulang pada tangan
pasien. Riwayat nyeri disertai bintil berisi air disekitar batang tubuh
disangkal. Riwayat benjolan di sekitar leher, ketiak dan pangkal paha
disangkal. Riwayat sesak nafas, keringat malam dan riwayat TB paru
disangkal. Riwayat infeksi menular seksual disangkal. Riwayat pemakaian
jarum suntik disangkal. Riwayat memiliki tato disangkal, riwayat
penggunaan jarum suntik dan obat – obatan disangkal, Pada riwayat aktivitas
seksual didapatkan pasien sudah menikah, pernikahan saat ini adalah
pernikahan yang ke 2 dan memiliki 2 orang anak dari pernikahan pertama,
pernikahan yang pertama pasien bercerai hidup dan sebelum pasien menikah
dengan suami ke 2 pasien memiliki riwayat berganti – ganti pasangan
seksual.
2. Riwayat Pengobatan
Pasien baru pertama kali mengalami keluhan seperti ini. 2 minggu sebelum
ke puskesmas pasien sudah memeriksakan diri di RSUD koja karna keluhan
batuk namun batuk tidak membaik.
3. Riwayat Penyakit
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat kencing manis : disangkal
Riwayat penyakit keganasan : disangkal
4. Riwayat keluarga
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit kencing manis : disangkal
Riwayat penyakit keganasan : disangkal
5. Riwayat pekerjaan
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga
6. Riwayat lingkungan sosial dan fisik
Lingkungan sosial baik, pernikahan saat ini adalah pernikahan yang ke 2 dan
memiliki 2 orang anak dari pernikahan pertama, pernikahan yang pertama
pasien bercerai hidup, saat ini pasien tinggal bersama suami yang ke 2, dan 2
orang anak yang belum menikah, sebelum pasien menikah dengan suami
yang ke 2 pasien memiliki riwayat berganti – ganti pasangan seksual. Biaya
kesehatan pasien menggunakan fasilitas BPJS.
B. DATA OBYEKTIF
1. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos mentis.
GCS : E4V5M6
2. Tanda vital
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg.
- Nadi : 84 x/menit.
- Suhu : 36,50C.
- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit.
- Berat Badan : 53 kg
3. Pemeriksaan fisik
- Kepala : Normocephal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -
- Hidung : deviasi septum -/- , perdarahan -/-
- Mulut : Oral Plaque (+) a.r perioral, lidah, palatum gigi geligi baik
- Tenggorok : Faring hiperemis (-),tonsil T1-T1
- Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening
- Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Rh - / -, Wheezing - / -
- Abdomen : Dalam batas normal
- Genitalia : Ulkus / luka (-), kutil (-)
- Ekstremitas : Akral hangat (+), tampak hiperpigmentasi generalisata pada
kedua lengan, sebagian besar berbentuk bulat, sebagian
timbul, sebagian datar, multipel, diameter 1 -3 cm
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah
2.
Hasil pemeriksaan VCT
3. Pemeriksaan Radiologi ( tanggal 7/5/2015)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
HematologiHbHematokritLeukositTrombositEritrosit
11,63511,8 2573,3
13,2 – 17,3 g/dl33 - 45 %5,0 - 10,0 0 ribu/Ul150 - 440 ribu/Ul4,40 - 5,90 juta/Ul
Fungsi Ginjal Ureum Darah Kreatinin Darah
19 1,1
20-40 mg/dl 0.6-1.5 mg/dl
Nama Reagen Hasil
Test 1 Oncoprobe Reaktif
Test 2 Advanced Reaktif
Test 3 SB ½ HIV Reaktif
Hasil
Cor : CRT = <50%
Pulmo : Tampak infiltrat pada paracardial kanan, parahilar kiri
Hilus kanan menebal.
Diafragma dan sinus normal
Kesan : Bronkopneumonia duplex
D. RINGKASAN PEMERIKSAAN
1. Subektif (autoanamnesis)
- Bercak putih dimulut
- Batuk-batuk yang tidak kunjung sembuh
- Penurunan berat badan
- Riwayat berganti – ganti pasngan (sex bebas)
2. Obyektif
2.1 KU
- Kesadaran : CM
- GCS : E4V5M6
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- BB : 53 kg
2.2 Status generalis
- Kepala : Normocephal, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
- Mata : Konjungtiva Anemis - / -, Sklera Ikterik - / -
- Hidung : deviasi septum -/- , perdarahan -/-
- Mulut : Oral Plaque (+) a.r perioral, lidah, palatum gigi geligi baik
- Tenggorok : Faring hiperemis (-),tonsil T1-T1
- Leher : Tidak ada perbesaran kelenjar getah bening
- Thoraks : Cor S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Rh - / -, Wheezing - / -
- Abdomen : Dalam batas normal
- Genitalia : Ulkus / luka (-), kutil (-)
- Ekstremitas : Akral hangat (+), tampak hiperpigmentasi generalisata pada
kedua lengan, sebagian besar berbentuk bulat, sebagian
timbul, sebagian datar, multipel, diameter 1 -3 cm
3. Pemeriksaan penunjang laboratorium darah
Hb : 11,6 g/dl Ureum : 19 mg/dl
Eritrosit : 3,3 x 106 Creatinin : 1,1 mg/dl
Leukosit : 11,8 x 103 VCT : reaktif
HT : 35 %
Trombosit : 257 x 103
4. Pemeriksaan radiologi foto thoraks
Cor : CRT = <50%
Pulmo : Tampak infiltrat pada paracardial kanan, parahilar kiri
Hilus kanan menebal.
Diafragma dan sinus normal
Kesan : Bronkopneumonia duplex
E. ASSESMENT
Sehingga diagnosis kasus ini adalah :
B20 stadium II dengan infeksi oportunistik:
- Kandidiasis Oral
- Prurigo
F. INITIAL PLAN
- Non Medikamentosa
Menjelaskan penyebab, faktor resiko tertular HIV dan komplikasi
mungkin terjadi.
Konseling HIV
Menjelaskan manfaat ARV
Menganjurkan untuk melakukan PHBS dan penggunaan kondom 100%
Menganjurkan pasien untuk mengajak pasangan untuk konseling
Merujuk ke lab kec cillincing untuk pemeriksaan BTA
Merujuk ke poli penyakit dalam RSUD koja untuk pemeriksaan CD4 dan
rencana pemberian ARV
- Medikamentosa
Nystatin drop 4 x 1 ml
TINJAUAN PUSTAKA
AIDS (Acquired lmmunodeficiency Sydrome) adalah sindrom atau kumpulangejala
penyakit yang disebabkan akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang diakibatkan oleh
HIV (Human Immunodeficiency Virus). Penyakit ini pertama kali ditemukan pada tahun
1981 di Amerika Serikat dan sampai saat ini telah menyerang sebagian besar negara
didunia.Penyakit ini berkembang secara pandemi, menyerang baik negara maju maupun
negara yang sedang berkembang.
2.1 Definisi HIV / AIDS
AIDS dapat diartikan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus). Penyakit ini ditandai oleh infeksioportunistik dan atau beberapa
jenis keganasan tertentu. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
HIV/AIDS dapat juga berupa sindrom akibat defisiensi imunitas seluler tanpa
penyebab lain yang diketahui, ditandai dengan infeksi oportunistik dan keganasan berakibat
fatal. Munculnya sindrom ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat kekebalan tubuh
dimana proses ini memerlukan proses panjang yaitu sekitar 5-10 tahun.
Penderita HIV akan dinyatakan sebagai penderita AIDS ketika menunjukkan gejala
atau penyakit tertentu yang merupakan akibat penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan
virus HIV atau tes darah menunjukkan jumlah CD4 < 200/mm3.
Karena AIDS bukan penyakit maka AIDS tidak menular, yang berperan sebagai
agen penyakit adalah HIV yaitu virus yang menyebabkan kekebalan tubuh sehingga
mencapai masa AIDS. Virus ini terdapat dalam larutan darah, cairan sperma dan cairan
vagina, dan dapat menular melalui kontak darah atau cairan tersebut. Pada cairan tubuh lain
konsentrasi HIV sangat rendah sehingga tidak bisa menjadi media atau saluran penularan.
Seseorang yang baru saja terinfeksi HIV tidak akan menunjukan gejala khusus.
Berbulan-bulan atau bertahun - tahun seseorang yang sudah terinfeksi dapat bertahan tanpa
menunjukkan gejala klinis yang khas namun akhirnya baru tampak pada tahap AIDS.
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu
sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman
dan tempat masuk kuman (port’d entrée).
Virus HIV terbukti menyerang sel Limfosit T dan sel otak sebagai organ
sasarannya.Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Banyak cara yang diduga
menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini yang diketahui adalah melalui :
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupunHeteroseksual merupakan
penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina .Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada
pasangan seksnya.Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah
pasangan seks dan jenis hubungan seks.Risiko seropositiveuntuk zat anti terhadap HIV
cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap.
1) Homoseksual
Didunia barat, tingkat promiskuitas homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40
tahun dari semua golongan usia.Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku
seksual risiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif
menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV.Hal ini sehubungan dengan mukosa
rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perlukaan pada saat berhubungan
secara anogenital.
2) Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubunganheteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
b. Transmisi Non Seksual
1) Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lain (alat tindik) yang terkontaminasi,
misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang
tercemar secara bersama-sama. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.
2) Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negarabarat sebelum tahun
1985.Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena
darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan.Risiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi
darah adalah lebih dari 90%.
c. Transmisi Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak
mempunyai resikosebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah
2.2 Virus HIV
Penyebab AIDS adalah virus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV).
HIV merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili
lentivirinae, genus Lentivirus dan berdasarkan strukturnya merupakan virus RNA
(Ribonucleic Acid) dengan berat molekul 9,7 kb dan diamter sekitar 100nm.
HIV memiliki tonjolan eksternal yang terbentuk dari 2 protein utama yang
menyusun envelope HIV, yaitu gp120 yang terletak di bagian luar dan gp41 yang terletak di
transmembran. Protein gp120 memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor CD4+, sedangkan
gp41 berperan dalam proses internalisasi struktur atau fusi membran. Di antara
nukleokapsid dan kapsul virus terdapat matriks protein. Di dalamnya terdapat 2 untai RNA
yang pada masing – masing untaiannya memiliki sejumlah gen spesifik sesuai dengan
spesies virusnya, antara lain gag (fungsi struktural virus), pol (fungsi struktural dan sintesis
DNA), serta env (untuk fusi kapsul virus dengan membran plasma sel pejamu). RNA
diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut yang terdiri atas sekitar 2000 kopi p24 protein virus
dan dikelilingi kapsid selubung (envelope). Selain itu juga terdapat tiga protein spesifik
untuk virus HIV, yaitu enzim reverse transkriptase (RT), protease (PR), dan integrase (IN).
Gambar 2.2.1 Struktur virus HIV
2.3 Peran Sel Limfosit T CD4+ dalam Sistem Imun
2.3.1 Limfosit
Limfosit merupakan bagian dari sel darah putih yang berjumlah sekitar 20 – 35%
dari seluruh jumlah leukosit yang beredar. Salah satu sifat penting dari limfosit adalah
motilitas limfosit yang dapat menembus dinding kapiler dan meninggalkan aliran darah lalu
bergerak bebas dalam jaringan ikat tubuh sehingga limfosit dapat ditemukan dalam
pembuluh darah, pembuluh limfa atau jaringan ikat. Dapat pula ditemukan pada timus,
nodus limfatik, limpa dan jaringan limfoid pada mukosa saluran cerna, saluran napas dan
saluran kemih.Limfosit terdiri atas tiga tipe yaitu sel limfosit B (23%), sel limfosit T (65%),
dan NK cells (7%).
Limfosit B berasal dari sel induk sumsum tulang dan bertahan selama beberapa
bulan beredar melalui darah, nodus limfatik, limpa dan saluran limfatik secara berulang –
ulang.Peredaran tersebut yang dapat bertemu dan mengenali antigen yang pernah memasuki
tubuh. Identifikasi limfosit B dengan melihat antibodi atau imunoglobulin sebagai protein
membran integral pada permukaannya yang berfungsi sebagai sistem imun humoral.
Beberapa sitokin bekerja pada sel B sehingga dapat meningkatkan proliferasi dan
diferensiasi menuju sel yang dapat mensekresi imunoglobulin.
Limfosit T juga berasal dari sel induk sumsum tulang namun setelah memasuki
darah, sel T keluar dari peredaran darah untuk menuju dan menetap di Timus lalu
berproliferasi. Sel T bersifat sangat spesifik antigen, pada membran plasmanya terdapat
protein protein reseptor spesifik yanng terdiri atas dua rantai polipeptida (dan).
Diferensiasi sel T dalam timus menghasilkan populasi yang memaparkan reseptor
dengan kekhususan berbeda. Sel dengan reseptor yang dapat mengenali molekul MHC
individu itu sendiri akan mati di timus. Eliminasi sel reaktif tersebut berakibat tersisanya
populasi sel T matang yang hanya sanggup bereaksi dengan antigen asing yang berasal dari
luar tubuh. Selama diferensiasi, limfosit T juga memaparkan molekul permukaan antibodi
monoklonal dimana antibodi yang bereaksi dengan penanda yang sama akan dikelompokkan
ke dalam Cluster of Differentiation (CD). Diantaranya yang sering disinggung adalah CD4+
yang berfungsi sebagai sel T-helper dalam produksi antibodi yang mengenali MHC Class II
sedangkan CD8+ berfungsi sebagai sel T sitotoksik yang merupakan sel efektor dalam
respon sel untuk melisis antigen dan mengenali MHC Class I.
Sel NK merupakan limfosit yang berukuran lebih besar dari limfosit pada umumnya,
berperan pada aktivitas sitotoksik non spesifik dalam melawan infeksi virus dan sel tumor.
2.3.2 Sel Limfosit T CD4+
CD4+ sangat umum digunakan untuk mengetahui tingkat sistem imun dari penderita
HIV / AIDS. Selain itu penghitungan CD4+ juga digunakan untuk menentukan terapi,
melihat respon terapi, serta penentuan pemberian profilaksis patogen oportunistik pada
penderita HIV / AIDS. Pemeriksaan jumlah limfosit T CD4+ dengan menggunakan flow
cytometri biasanya dilakukan secara berkala setiap 3 – 6 bulan sekali pada pasien HIV /
AIDS dan dianggap sangat bermanfaat dalam memprediksi perkembangan infeksi
oportunistik. Jumlah CD4+ sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pada
infeksi akut, tindakan operasi besar, maupun pemberian kortikosteroid. Namun hal ini
dianggap tidak signifikan pada penderita penyakit kronis seperti HIV / AIDS. Pemakaian
obat Anti Retro Viral (ARV) dapat meningkatkan jumlah CD4+ sebanyak 50 sel /
mm3dalam pemakaian 4 hingga 8 minggu kemudian meningkat sebanyak 50 – 100 sel /
mm3setiap tahunnya.
2.4 Patogenesis HIV / AIDS
Infeksi HIV terjadi saat HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper
dengan melekatkan dirinya pada protein permukaan CD4+. CD4+ berikatan dengan gp120
yangberupa glikoprotein yang terdapat pada selubung virus HIV. Setelah terjadi ikatan maka
RNA virus masuk kedalam sitoplasma sel dan berubah menjadi DNA dengan bantuan
enzimRT. Setelah terbentuk DNA, virus menerobos masuk kedalam inti sel. Dalam inti sel,
DNA HIV disatukan pada DNA sel yang terinfeksi dengan bantuan enzim integrase. Waktu
sel yang terinfeksi menggandakan diri, DNA HIV diaktifkan dan membuat bahan baku
untuk virus baru. Virus yang belum matang mendesak ke luar sel yang terinfeksi dengan
proses yang disebut budding atau tonjolan. Virus yang belum matang melepaskan diri dari
sel yang terinfeksi. Kemudian, virus baru menjadi matang dengan terpotongnya bahan baku
oleh enzim protease dan kemudian dirakit menjadi virus yang siap bekerja.
Gambar 2.4.1 Patogenesis Virus HIV
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV
untukmenghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun
untukmenghancurkan HIV.Penyakit HIV/AIDS dimulai dengan infeksi akut yang tidak
dapat diatasi sempurna oleh respons imun adaptif dan berlanjut menjadi infeksi jaringan
limfoid perifer yang kronikdan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan
memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel CD4+ dalam darah.
Setelah terjadi infeksi primer, sel dendrit di epitel akan menangkap virus
kemudianbermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yaitu
CCR5 yangberperan dalam pengikatan HIV, sehingga sel dendrit berperan besar
dalampenyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat
menularkan HIV ke sel CD4+ melalui kontak langsung antar sel. Dari jaringan limfoid, HIV
masuk ke dalam aliran darah dan kemudian menginfeksi organ-organ tubuh.
Beberapa hari setelah paparan pertama HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyakdapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai
sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik infeksi virus).Setelah terjadi penyebaran
infeksi HIV, terbentuk respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen
virus.Respons imun ini dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus
yangmenyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah terjadi infeksi akut dilanjutkan dengan fase kedua dimana kelenjar getah
bening dan limpamenjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem
imun masihkompetenmengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi
klinisinfeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel tidak
mengandung HIV. Pada fase ini terdapat masa dimana virus HIV tidak dapat terdeteksi
dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak tertular virus HIV yang
dikenal dengan “ masa window period “
Kendati demikian, penghancuran sel CD4+ dalam jaringan limfoid terus berlangsung
dan jumlah sel CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Pada awal penyakit, tubuh dapat
menggantikan sel CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun
siklus infeksi virus, kematian sel dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya
menyebabkanpenurunan jumlah sel CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain dan respons
imunterhadap infeksi tersebut menstimulasi produksi HIV dan destruksi
jaringanlimfoid.Penyakit HIV berjalan ke fase akhir yang disebut AIDS dimana
terjadidestruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel CD4+ dalam darah kurang
dari200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita
infeksioportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjaldan
degenerasi susunan saraf pusat.
Gambar 2.4.1Perjalanan Penyakit HIV dan Penurunan CD4 tanpa Antiretroviral
Virus HIV yang menginfeksi seseorang dapat menimbulkan gejala klinis berbeda-
beda. Lesi-lesi yang muncul sesuai dengan tahap infeksi, mulai dari akut sampai dengan
gambaran AIDS yang sempurna (full-blown AIDS). Kecepatan perkembangan penyakit
bervariasi antar individu, berkisar antara 6 bulan hingga lebih 20 tahun. Waktu yang
diperlukan untuk berkembang menjadi AIDS adalah sekitar 10 tahun.
2.5 Diagnosis HIV / AIDS
Diagnosis HIV positif dapat ditegakkan dari beberapa hal. Penentuan diagnosis awal
dapat dilihat dari riwayat penyakit-penyakit yang pernah diderita yang menunjukkan gejala
HIV dan pada pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda infeksi oportunistik. Selain itu riwayat
pergaulan atau aktivitas seksual dapat membantu menegakkan diagnosa AIDS karena dapat
menjadi sumber informasi awal penularan penyakit.
Tabel 2.5.1 Gejala dan Tanda Klinis yang Patut Diduga Infeksi HIV
Selain itu, kelainan kulit merupakan gejala klinis yang mudah dikenali pada HIV /
AIDS. Kelainan tersebut dapat disebabkan oleh:
1. Infeksi Virus: Herpes Zooster (VZV), Verucca Vulgaris dan Condyloma Acuminata
(HPV), Oral Hairy Leukoplakia (EBV)
2. Infeksi Bakteri: Folikulitis, furunkulosis, impetigo, ektima
3. Infeksi Jamur: Kandidiasis, Dermatofitosis
4. Infeksi Parasit: Scabies
5. Dermatitis non spesifik: Erupsi obat, Sindrom Steven Johnson, Seboroik dermatitis,
Psoriasis, Xerosis, Erupsi papular pruritik
6. Kanker: Sarkoma kaposi dan Limfoma Non Hodgkin
Gambar 2.5.1 Kelainan kulit pada HIV berhubungan dengan CD4 dan lama infeksi
Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk HIV selalu disertai dengan konseling pra tes
dan pasca tes serta informed consent. Untuk mendeteksi infeksi HIV, dapat dilakukan tes
langsung untuk mendeteksi virus HIV atau secara tidak langsung dengan cara mendeteksi
antibodi.Tes antibodi HIV lebih murah dan lebih cepat serta memiliki spesifitas yang setara
dibandingkan pemeriksaan langsung untuk mendeteksi virus HIV.
Pemeriksaan laboratorium infeksi HIV, terdiri atas tes A1.A2 dan A3.Tes inisial (A1)
biasanya menggunakanrapid test. Hasil A1 yang positif akan diperiksa ulang dengan
menggunakan tes yang memiliki prinsip dasar tes yang berbeda dan / atau menggunakan
preparasi antigen yang berbeda dari tes pertama untuk meminimalkan adanya hasil positif
palsu, biasanya dengan cara Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) atau pemeriksaan
sejenis yang memiliki spesifisitas lebih tinggi dari rapid test yang pertama. Kemudian untuk
tes konfirmasi akhir (A3) dapat menggunakan Western Blot (WB), Indirect
Immunofluorescence Assay (IFA) atau radio-immunoprecipitation assays (RIPA).Antibodi
biasanya terdeteksi dalam 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut
masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil
”negatif”, maka dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku berisiko.
Gambar 2.5.1 Bagan Alur Pemeriksaan Laboratorium Infeksi HIV Dewasa
Tabel 2.5.1 Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1
2.6 Penatalaksanaan HIV / AIDS
Setelah penderita dinyatakan terinfeksi HIV, maka selanjutnya dilakukan penilaian
stadium klinis, penilaian imunologis (pemeriksaan jumlah CD4+) dan penilaian virologi.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah pasien sudah memenuhi syarat untuk
memulai terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien, menentukan infeksi
oportunistik yang sudah dan sedang terjadi serta menentukan kombinasi ARV yang sesuai.
2.6.1 Stadium Klinis HIV / AIDS
Stadium Klinik HIV/ AIDS ditetapkan menurut CDC dan WHO. CDC melakukan
penentuan stadium klinik berdasarkan jumlah temuan CD4 dan disesuaikan dengan gejala
penderita. WHO menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS terdiri dari 4stadium.
Tabel 2.6.1 Stadium klinik HIV/AIDS menurut jumlah CD4 berdasarkan CDC
Tabel 2.6.2 Stadium klinik HIV/AIDS berdasarkan WHO
2.5.2 Penilaian Imunologi
Jumlah CD4 adalah cara untuk menilai status imunitas ODHA.Pemeriksaan CD4
melengkapi pemeriksaan klinis untuk menentukan pasien yang memerlukan pengobatan
profilaksis IO dan terapi ARV. Rata rata penurunan CD4 adalah sekitar 70-100
sel/mm3/tahun, dengan peningkatan setelah pemberian ARV antara 50 – 100
sel/mm3/tahun. Jumlah limfosit total (TLC) tidak dapat menggantikan pemeriksaan CD4.+.
2.5.3 Penilaian Laboratorium
Pada dasarnya pemantauan laboratorium bukan merupakan persyaratan mutlak untuk
menginisiasi terapi ARV.Pemeriksaan CD4 dan viral load juga bukan kebutuhan mutlak
dalam pemantauan pasien yang mendapat terapi ARV, namun pemantauan laboratorium atas
indikasi gejala yang ada sangat dianjurkan untuk memantau keamanan dan toksisitas pada
ODHA yang menerima terapi ARV.Hanya apabila sumberdaya memungkinkan maka
dianjurkan melakukan pemeriksaan viral load pada pasien tertentu untuk mengkonfirmasi
adanya kemungkinan gagal terapi menurut kriteria klinis dan imunologis.
2.5.4 Persiapan Lain
Sebelum mendapat terapi ARV pasien harus dipersiapkan matang dengan konseling
kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur hidupnya.Untuk ODHA yang
memulai ARV dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3 maka dianjurkan untuk memberikan
Kotrimoksasol 2 minggusebelum terapi ARV. Hal ini bertujuan untuk mengkaji kepatuhan
pasien untuk minum obat,dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang tindih
antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek
samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol.
Beberapa infeksi oportunistik (IO) pada ODHA dapat dicegahdengan pemberian
profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan pencegahan, yaitu profilaksis primer yaitu
pemberian pengobatan pencegahan untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah
diderita dan profilaksis sekunder yang merupakan pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas pengobatan pencegahan
kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi
HIV. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan insidensi infeksi bakterial, parasit
(Toxoplasma) dan Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) dengan dosis TMP/SMZ
160/800mg per oral 1 tablet per hari atau TMP/SMZ 80/400 per oral 2 tablet per hari.
Pemberian kotrimoksasol untuk mencegah terjadinya PCP dan Toxoplasmosis disebut
sebagai Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK), selain dianjurkan bagi ODHA
dengan CD4 <200 namun juga bagi ODHA yang bergejala (stadium klinis 2, 3, atau 4)
termasuk perempuan hamil dan menyusui. Walaupun secara teori kotrimoksasol dapat
menimbulkan kelainan kongenital, tetapi karena risiko yang mengancam jiwa pada ibu
hamil dengan jumlah CD4 yang rendah (<200) atau gejala klinis supresi imun (stadium
klinis 2, 3 atau 4), maka perempuan yang memerlukan kotrimoksasol dan kemudian hamil
harus melanjutkan profilaksis kotrimoksasol.
2.5.5 Tatalaksana Farmakologi
Secara umum penatalaksanaan HIV/AIDS terdiri atas beberapa jenis yaitu
pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV),
pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi opportunistik menyertai infeksi
HIV/AIDS dan pengobatan suportif.
a. Terapi antiretroviral (ARV)
Terapi HIV/AIDS saat ini adalah terapi kimia yang menggunakan obat ARV yang berfungsi
menekan perkembangbiakan virus HIV. Obat ini adalah inhibitor dari enzim yang
diperlukan untuk replikasi virus seperti reverse transcriptase(RT) dan protease. Tujuan
terapi ARV diantaranya adalah:
1. Mengurangi morbiditas dan mortalitas terkait HIV
2. Memperbaiki mutu hidup
3. Memulihkan dan memlihara fungsi kekebalan
4. Menekan replikasi virus semaksimal mungkin dalam jangka waktu lama
Obat ARV terdiri dari beberapa golongan, yaitu:
Nucleoside Reverse Transcriptase Iinhibitor (NRTI) merupakan analog nukleosida.
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim reversetranskriptase selama
proses transkripsi RNA virus pada DNA host. Analog NRTI akan mengalami
fosforilasi menjadi bentuk trifosfat, yang kemudian secara kompetitif mengganggu
transkripsi nukleotida. Akibatnya rantai DNA virus akan mengalami terminasi. Obat
yang termasuk dalam golongan NRTI antara lain Abacavir (ABC), Zidovudine
(ZDV atau AZT), Emtricitabine (FTC), Zalcitabine (ddC), Didanosine (ddI),
Lamivudine (3TC) dan Stavudine (d4T), Tenofovir.
Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI)akan berikatan langsung
dengan enzim reverse transkriptase dan menginaktifkannya. Obat yang termasuk
NNRTI antara lain Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP), Delavirdine.
Protease Inhibitor (PI) bekerja dengan menghambat protease yang berfungsi
memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Dengan
pemberian PI, produksi virion dan perlekatan dengan sel pejamu masih terjadi,
namun virus gagal berfungsi dan tidak infeksius terhadap sel. Yang termasuk
golongan PI antara lain Nelfinavir (NFV), Ritonavir (RTV), Atazanavir (ATV),
Fos-Amprenavir (FPV), Indinavir (IDV), Lopinavir (LPV) and Saquinavir (SQV).
Pada penggunaan ARV, perlu diperiksa adanya ketersediaan pemeriksaan jumlah
CD4. Jika tidak tersedia maka didasarkan pada penilaian klinis.
Tabel 2.5.5.1 Waktu Pemberian Obat Antiretroviral
Namun, terdapat beberapa infeksi oportunistik yang perlu diredakan sebelum terapi ARV
dimulai seperti pada tabel berikut:
Tabel 2.5.5.2 Waktu Pemberian Obat Antiretroviral dengan Infeksi Oportunistik
Terapi Antiretroviral yang dianjurkan saat ini menggunakan kombinasi minimal tiga
obat antiretroviral. Terapi ini terbukti efektif dalam menekan replikasi virus (viral load)
sampai dengan kadar di bawah ambang deteksi.Panduan yang ditetapkan untuk pemilihan
Obat ARV Lini Pertama adalah:
2 NRTI + 1 NNRTI
Kombinasi ini mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan kombinasi obat yang lain dan
membutuhkan biaya yang lebih sedikit karena terdapat generiknya. Terapi lini pertama
dapat juga mengkombinasikan 3 obat golongan NRTI apabila obat golongan NNRTI sulit
untuk diperoleh. Maka terapi ARV dapat dimulai dengan salah satu dari kombinasi berikut:
AZT + 3TC +NVP Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine
AZT + 3TC +EFV Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Nevirapine
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV Tenofovir +Lamivudine / Emtricitabine + Efavirenz
Tabel 2.5.5.3 Kombinasi terapi ARV lini pertama
Regimen lain yang dapat juga dipertimbangkan adalah regimen triple NRTI:
AZT + 3TC+ TDF
Regimen ini digunakan hanya jika pasien tidak dapat menggunakan obat berbasis
NNRTI, seperti pada koinfeksi TB/HIV terkait dengan interaksinya terhadap Rifampisin,
pad ibu hamil dan hepatitis terkait dengan efek hepatotoksik dari NVP / EFV / PI.
Tabel 2.5.5.4 Terapi ARV lini pertama
Evaluasi pengobatan dapat dilihat dari jumlah CD4+ di dalam darah dan dapat
digunakan untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV. Selain itu
dapat pula terjadi toksisitas terkait ketidakmampuan untuk menahan efek samping dari
obat,sehingga terjadi disfungsi organ yang cukup berat. Hal tersebut dapat dipantausecara
klinis, baik dari keluhan atau dari hasil pemeriksaan fisik pasien, atau darihasil pemeriksaan
laboratorium.Penilaian klinis toksisitas harus dibedakan dengan sindrom
pemulihankekebalan (immuno reconstitution inflammatory syndrome / IRIS), yaitu
keadaanyang dapat muncul pada awal pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh
timbulnyainfeksi oportunistik beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu
responinflamasi terhadap infeksi oportunistik yang semula subklinik.Keadaan tersebutterjadi
terutama pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut.Kembalinya fungsi
imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksioportunistik.
Apabila setelah memulai terapi minimal 6 bulan dengan kepatuhan yang tinggi tetapi
tidak terjadi respon terapi yang kita harapkan, maka perlu dicurigai kemungkinan terjadinya
Gagal Terapi.Kriteria gagal terapi menurut WHO menggunakan 3 kriteria, yaitu kriteria
klinis, imunologis dan virologis.
Tabel 2.7.3 Langkah pertimbangan untuk mengganti terapi ARV
Terapi lini kedua digunakan bila pasien mengalami intoleransi berat terhadap NNRTI
(Efavirenz atau Nevirapine) atau pada kasus kegagalan terapi, yaitu dengan:
2 NRTI + Boosted-PI
Protease Inhibitor (PI) yang diperkuat oleh Ritonavir (ritonavir-boosted) ditambah 2 NRTI,
dengan pemilihan Zidovudine (AZT) atau Tenofovir (TDF) tergantung yang digunakan pada
lini pertama dan ditambah dengan 3TC.PI yang ada di Indonesia dan dianjurkan digunakan
adalah Lopinavir/ritonavir (LPV/r). Atau dapat pula diberikan:
TDF atau AZT + 3TC +LPV/r
Efek samping ARV pun perlu diperhatikan karena dapat mengganggu kepatuhan
pengobatan. Efek samping yang cukup sering dijumpai, diantaranya:
b. Terapi Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas AIDS,
dengan angka sekitar 90%. Terapi antibiotik atau kemoterapeutik disesuaikan dengan
infeksi yang berasal dari mikroorganisme dengan virulensi rendah yang ada di sekitar kita,
sehingga jenis infeksi sangat tergantung dari lingkungan dan cara hidup penderita.
Hampir 65%penderita HIV/AIDS mengalami komplikasi pulmonologis dimana
pneumonia karena P.carinii merupakan infeksioportunistik tersering, diikuti infeksi M
tuberculosis, pneumonia bakterial dan jamur.
Pada pneumonia yang sedang-berat atau berat, penderita di rawat di rumah sakit
karena mungkin memerlukan bantuan ventilator. Obat pilihan adalah
kotrimoksazolintravena dosis tinggi selama 21 hari. Penderita yang berespon baik
denganantibiotika intravena, dapat melanjutkan terapi denganantibiotika per oral untuk jika
sudah memungkinkan.Hipoksemia yang signifikan (PaO2 < 70 mmHg ataugradien arterial-
alveoler > 35), memerlukankortikosteroid dan diberikan sesegera mungkin (dalam72 jam)
sebelum terapi antibiotika untuk menekan risikokomplikasi dan memperbaiki prognosis.
Pada kasus-kasus ringan-sedang dapat diberikan kotrimoksazoloral dengan dosis 2 x 960 mg
selama 21 hari.
Tuberkulosis paru (TB paru) masih merupakanproblem penting pada infeksi
HIV/AIDS dan menjadipenyebab kematian pada sekitar 11% penderita.Penatalaksanaan TB
paru dengan infeksi HIVpada dasarnya sama dengan tanpa infeksi HIV.Umumnya
pengobatan OAT akan diberikan terlebih dahulu sebelum memulai ARV.
Terdapat interaksi antara obat ARV dengan OAT,terutama rifampicin karena
rangsangannya terhadapaktivitas sistem enzim liver sitokrom P450 yangmemetabolisme PI
dan NNRTI,sehingga terjadi penurunan kadar PI dan NNRTI dalamdarah sampai kadar sub-
terapeutik yang berakibatincomplete viral suppresion dan timbulnya resistensiobat. Protease
inhibitor dan NNRTI dapat pulamempertinggi atau menghambat sistem enzim ini
danberakibat terganggunya kadar rifampicin dalam darah.Interaksi obat-obat ini akhirnya
berakibat tidakefektifnya sehingga terjadi penurunan kadar PI danNNRTI dalam darah
sampai kadar sub-terapeutik yangberakibat incomplete viral suppresion dan
timbulnyaresistensi obat. Protease inhibitor dan NNRTI dapat pulamempertinggi atau
menghambat sistem enzim ini danberakibat terganggunya kadar rifampicin dalam
darah.Interaksi obat-obat ini akhirnya berakibat tidak efektifnya obat ARV dan terapi
tuberkulosis sertameningkatnya risiko toksisitas obat, sehingga pemakaianbersama tidak
direkomendasikan.
Sarkoma Kaposi jenis endemik, merupakan manifestasi keganasan yang paling
sering dijumpai pada penderita HIV/AIDS. Penyakit yang disebabkan Cytomegalovirus ini
ditandai dengan lesi-lesi tersebar di daerah mukokutan, batang tubuh, tungkai atas dan
bawah, muka dan rongga mulut. Bentuk lesi berupa makula eritematosa agak menimbul,
berwarna hijau kekuningan sampai violet. Cara penularannya melalui kontakseksual.
Karsinoma sel skuamosa tipe in situ maupun invasif di daerah anogenital; limfoma terutama
neoplasma sel limfosit B; keganasan kulit non melanoma serta nevus displastik dan
melanoma, merupakan neoplasma lainnya yang sering dijumpai pada penderita
HIV/AIDS.Radiasi, kemoterapi dan imunomodulator interferon dapat dicoba, yang
sebenarnya ditujukan untuk memperpanjang masa hidup, sehingga lama terapi sulit
ditentukan.
Tabel 2.7.5 Infeksi Oportunistik pada penderita HIV/AIDS
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan
Pengobatan bagi ODHA. Jakarta. 2006.Lang GK. Ophtalmology. New York :
Thieme. 2000.
2. Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9
3. Yayasan Spiritia: Lembaran Informasi tentang HIV / AIDS untuk ODHA.
Jakarta. 2003.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana
Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI. 2012.
5. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Situasi HIV/AIDS di
Indonesia Tahun 1987 – 2006. Jakarta. 2006.
6. Fauci, A., Braunwald, E., Kasper, D., Hauser S., Longo., D., Jameson, J.,
Loscalzo. 2012. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th. Ed. USA:
McGraw – Hill.
7. UNAIDS Hari Aids Sedunia Report 2012. UNAIDS LI 2012. Kaiser Family
Foundation. (Diunduh pada 14 juni 2015). Tersedia di:
http://www.amfar.org/about_hiv_and_aids/facts_and_stats/statistics__worldwide
8. Laporan statistik HIV/AIDS di Indonesia 2012. (Diunduh pada 14 juni 2015).
Tersedia di: http://pppl.depkes.go.id/infopenyakit?id=67
9 . Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds.Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006
10. Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9
Perjalanan Penyakit
DISKUSI
No Pertanyaan Jawaban
1 Berapa lama waktu inkubasi
virus HIV?
Dari waktu pajanan pertama virus HIV hingga menghasilkan
hasil yang positif di laboratorium, akan dibutuhkan waktu
sekitar 2 minggu hingga 3 bulan.
2 Bagaimana aturan minum obat
ARV?
Obat ARV diminum setiap hari seumur hidup, satu kali dalam
sehari dan dalam waktu yang sama
3 Kapan harus melakukan
penggantian ARV lini pertama
menjadi ARV lini kedua?
Penggunaan ARV lini kedua dilakukan saat ditemukan adanya
indikasi gagal terapi dengan ARV lini pertama. Kegagalan terapi
dapat dievaluasi dalam 6 bulan penggunaan ARV dan dilihat
berdasarkan kegagalan klinis, kegagalan imunologis dan
kegagalan virologis. Kegagalan klinis diindikasikan saat
ditemukannya kembali infeksi oportunistik, kegagalan
imunologis dilihat berdasarkan penurunan CD4 seperti pada
awal pengobatan ataupun jumlahnya yang selalu kurang dari 100
sel/mm3, sedangkan kegagalan virologis dinilai berdasarkan
jumlah viral load lebih dari 5000 copies/ml
4 Seberapa sering harus
melakukan pemeriksaan CD4?
Pemeriksaan CD4 baiknya dilakukan setiap 6 bulan sekali, pada
ODHA yang bergejala maupun yang tidak
5 Bagaimanakah pemberian ARV
untuk profilaksis setelah
pajanan? Kapankah waktu yang
paling baik?
Profilaksis setelah pajanan paling baik dilakukan sebelum 3 jam
dan maksimal 48 hingga 72 jam setelah pajanan. ARV yang
diberikan adalah kombinasi AZT +3TC + EFV atau AZT + 3TC
+ LPV/r diberikan selama 1 bulan.
6 Setelah pemberian profilaksis
setelah pajanan, kapan harus
dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memeriksa
status HIV?
Pemeriksaan laboratorium untuk HIV dilakukan dalam waktu 3
bulan setelah pajanan dan diulang kembali pada 6 bulan setelah
pajanan
7 Mengapa infeksi oportunistik
yang muncul pada setiap
individu berbeda – beda?
Tidak ada kekhususan dalam infeksi oportunistik yang muncul
pada setiap individu. Masing – masing akan mengalami
perjalanan stadium 1, 2 ,3 hingga 4. Penemuan infeksi
Tanggal Keadaan pasien Laboratorium Tatalaksana
21/5/2015 BB: 53 kg
S: Os mengeluhkan
adanya jamur di
lidah, batuk-batuk,
penurunan BB dalm
2bulan terakhir
VCT Reaktif Menjelaskan penyebab, faktor
resiko tertular HIV dan
komplikasi yang mungkin
terjadi.
Konseling HIV
Menjelaskan manfaat ARV
Menganjurkan untuk
melakukan PHBS dan
penggunaan kondom 100%
Menganjurkan pasien untuk
mengajak pasangan untuk
konseling
Merujuk ke lab kec cillincing
untuk pemeriksaan BTA dan
darah lengkap
Merujuk ke poli penyakit
dalam RSUD koja untuk
pemeriksaan CD4 dan
rencana pemberian ARV
Nystatin drop 4 x 1 ml
26/05/15 BB: 60 kg
S: sama seperti
sebelumnya os
membawa hasil Lab
darah dan foto
thoraks
Hb 11,6 g/dl, Ht 35 %,
Leukosit 11.800/UI,
Trombosit 257 ribu/UI,
Eritrosit 3,3 juta/UI
Ureum 19 mg/dlKretinin 1,1 mg/dl
Menganjurkan untuk
melakukan PHBS dan
penggunaan kondom 100%
Menganjurkan pasien untuk
mengajak pasangan untuk
konseling
Merujuk ke poli penyakit
dalam RSUD koja untuk
pemeriksaan CD4 dan
rencana pemberian ARV
Nystatin drop 4 x 1 ml
oportunistik pada saat diagnosis hanyalah berdasarkan keluhan
subjektif yang pasien rasakan dan hasil anamnesis riwayat
infeksi oportunistik sebelumnya.
Recommended