View
11
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
Pada pengujian mengenai bab kitin dan kitosan dilakukan dengan memilih sampel kulit udang yang diberikan berbagai perlakuan yang berbeda di setiap kelompoknya dengan tujuan untuk membandingkan data yang akan diperoleh. Berdasarkan jurnal yang berjudul “Production and Characterization of Chitosan From Shrimp Waste” yang ditulis oleh Hossain & Iqbal (2014), mengatakan bahwa kulit dan kepala udang memiliki nilai ekonomis yang rendah. Pada industri udang, limbah udang biasa digunakan untuk proses selanjutnya dan dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu kitosan.
Citation preview
ACARA II
KITIN KITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Raphael Elhan Argasae
NIM : 12.70.0158
Kelompok : C1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas.
1.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah udang, HCl 0,75N; 1N; dan
1,25N, NaOH 3,5%, 40%, dan 60%.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan
HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air
panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan
ayakan 40-60 mesh.
2
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam & secara kontinu dilakukan
pengadukan.
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
3
1.2.2. Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH dengan perbandingan 6:1
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
4
1.2.3. Deasetilasi
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2,
NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudian dikeringkan pada suhu 70oC selama 24 jam
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
C1 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 23,45 30,00 27,43
C2 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 37,82 44,00 27,38
C3 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5% 41,67 54,55 32,16
C4 HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5% 40,00 58,30 24,30
C5 HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5% 21,19 40,32 11,25
Berdasarkan hasil pengamatan diatas, dapat dilihat bahwa nilai rendemen kitin I tertinggi
terdapat pada kelompok C3 yaitu 41,67%, sedangkan untuk nilai rendemen kitn I terendah ada
pada kelompok C5 yaitu 21,19%. Akan tetapi pada nilai rendemen kitin II tertinggi ada pada
kelompok C4 yaitu 58,3%, sedangkan untuk nilai terendah ada pada kelompok C1 yaitu 30%.
Rendemen kitosan yang dihasilkan, nilai tertinggi ada pada kelompok C3 yaitu 32,16% dan nilai
terendah ada pada kelompok C5 yaitu 11,25%. Berdasarkan data yang diperoleh tersebut,
semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang ditambahkan, maka akan semakin tinggi pula
nilai rendemen yang dihasilkan, walaupun ada beberapa kelompok yang menunjukkan
penurunan nilai.
6
3. PEMBAHASAN
Pada pengujian mengenai bab kitin dan kitosan dilakukan dengan memilih sampel kulit udang
yang diberikan berbagai perlakuan yang berbeda di setiap kelompoknya dengan tujuan untuk
membandingkan data yang akan diperoleh. Berdasarkan jurnal yang berjudul Production and
Characterization of Chitosan From Shrimp Waste yang ditulis oleh Hossain & Iqbal (2014),
mengatakan bahwa kulit dan kepala udang memiliki nilai ekonomis yang rendah. Pada industri
udang, limbah udang biasa digunakan untuk proses selanjutnya dan dapat menghasilkan produk
yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi yaitu kitosan. Dalam jurnal ini juga juga tertulis
bahwa kitosan merupakan polimer karbohidrat yang didapat dari kitin yang mudah didapatkan
dari golongan crustaceans, fungi, serangga dan beberapa alga (Tolamite et al., 2000). Kitin
(C8H13NO5)n merupakan biopolymer yang berasal dari unit N-asetil-D-glukosamin yang saling
berikatan dengan ikatan (14). Kitin memiliki beberapa ciri-ciri jika dilihat dari segi fisik,
antara lain tidak dapat larut dalam air, tidak berbau, pelarut organic umumnya, berupa kristal
amorphous dengan warna putih, asam-asam anorganik serta basa encer (Muzzarelli, 1985). Peter
(1995) mengatakan bahwa kitin merupakan kelompok polisakarida yang tersedia melimpah di
alam setelah selulosa. Kitin ini sering dijumpai di dalam komponen struktur eksoskeleton dari
serangga dan spesies crustacean serta dapat juga ditemui di dalam dinding sel ragi dan jamur.
Di dalam crustacean kitin bergabung dengan protein, pigmen, dan garam anorganik (CaCO3).
Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan kitin yang terdapat di alam tidak berdiri sendiri akan tetapi
bergabung dengan senyawa lainnya (Suhardi, 1992). Di sisi lain Peter (1995) mengatakan
penggunaan kitin yang paling besar dan banyak ada pada industry pangan dan kosmetik. Ada
beberapa manfaat dari kitin yaitu sebagai bahan pendukung beberapa macam enzim antara lain
enzim lactase, papain, asam fosfatase, kimotripsin, dan glukosa isomerase. Jika dilihat dari segi
komersialnya, kitin mempunyai biaya yang rendah apabila ingin dikembangkan, karena kitin
dapat diperoleh dari limbah industry pengolahan makanan laut (Wang et al., 2010). Salah satu
contoh produk turunan dari kitin dimana hanya dapat larut dalam asam yang encer seperi asam
format, asam asetat, dan asam sitrat atau disebut dengan kitosan. Keberadaan gugus karboksil
7
pada asam asetat dapat memperudah proses pelarutan kitosan. Hal tersebut dapat terjadi karena
adanya interaksi hydrogen antara gugus karboksil dan gugus amina dari kitosan.
Dalam jurnal yang berjudul Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the
Biomass of Cultivated Rotifer, Brachionus rotundiformis oleh Rumengan et al. (2013) tertulis
bahwa struktur molekul dari rotifer yaitu C18H26N2O10 dimana gugus hidroksil pada rantai kedua
digantikan oleh asetil amida. Kitosan yang dihasilkan tidak memiliki ikatan amida, tetapi gugus
hidroksil dan amino dapat dilihat pada spectra hingga 3500 cm-1. Kitosan yang dihasilkan dari
isolasi kitin yang menggunakan biomassa rotifer dan keduanya menunjukkan gugus fungsional
yang berbeda. Kitin tersusun atas 2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa, sedangkan kitosan 2-amino-
2-deoksi-D-glukosa. Berdasarkan jurnal tersebut berarti kitosan lebih sering digunakan untuk
keperluan farmasi.
Dunn et al., (1997) mengatakan bahwa kitosan mempunyai sifat polikationik, sehingga dapat
dijadikan sebagai agen penggumpal dalam proses penanganan limbah yang terutama banyak
mengandung protein. Kitosan mampu berikatan secara crosslink jika diberi tambahan crosslinked
agent contohnya glutaraldehid, glioksial, atau kation Cu2+. Sampai saat ini sudah terdapat lebih
dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan beserta turunannya di dalam industri pangan, pemrosesan
makanan, bioteknologi, pertanian, farmasi, kesehatan, dan lingkungan. Kitin kitosan ini sudah
tidak jarang lagi digunakan sebagai penanganan penyakit setelah panen pada buah jeruk, tomat,
pir, strawberry, anggur meja, dan longan. Kitosan adalah prospek yang baik bila digunakan
sebagai pilihan untuk perlakuan terhadap buah dan sayur setelah panen, hal tersebut dapat terjadi
karena sifat alamiahnya, aktivitas antimikrobial, dan mampu menimbulkan efek pertahanan pada
jaringan tumbuhan.
Berikut merupakan struktur dari selulosa, kitin, serta kitosan yang bisa dilihat pada gambar
dibawah ini :
8
Gambar 1. Struktur dari selulosa, kitin, kitosan.
(Zhang et al., 2010).
Dalam jurnal yang berjudul Chitin and Chitosan Preparation from Marine Sources, Structure,
Properties and applications, Younnes & Rinaudo (2015) mengatakan bahwa ekstraksi kitin dari
kelompok crustaceans dapat dilakukan dengan tahap pertama yaitu penghilangan protein atau
yang dinamakan deproteinasi, kemudian dilanjutkan dengan penghilangan kalsium karbonat
dengan proses demineralisasi. Proses isolasi kitin diawali dengan pemilihan cangkang dari
limbah yang digunakan. Pemilihan ini dilihat dari kualitas bahan yang digunakan. Idealnya
cangkang yang digunakan harus yang mempunyai ukuran dan dari spesies yang sama.
Pada praktikum kali ini yang dilakukan pertama kali adalah tahap demineralisasi. Tahap ini
diawali dengan mencuci limbah udang menggunakan air yang mengalir kemudian dikeringkan,
lalu dicuci lagi menggunakan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan kembali. Bastaman
(1989) mengatakan bahwa sebelum dilakukan proses demineralisasi, bahan dilewatkan pada
proses pencucian terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang masih menempel.
Pencucian dengan menggunakan air panas dilakukan dengan tujuan sebagai tahap sterilisasi agar
mikroba yang merugikan dapat hilang. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan pada suhu
800C. Proses pengeringan ini dilakukan dengan tujuan menghilangkan air bekas perlakuan
pencucian yang menempel pada kulit udang sehingga kadar air berkurang dan didapatkan hasil
kulit udang yang kering. Setelah dipastikan bersih, cangkang udang tadi dihancurkan sampai
menjadi serbuk dan diayak menggunakan ayakan ukuran 40 60 mesh. Langkah berikutnya
adalah serbuk yang sudah didapat, dicampur dengan larutan HCl dengan perbanding 10 : 1.
9
Untuk kelompok C1 dan C2 ditambahan HCl dengan konsentrasi 0,75 N, kelompok C3 dan C4
ditambahkan HCl dengan konsentrasi 1 N, dan kelompok C5 ditambahkan HCl 1,25 N. (Sahidi
& Syonowiecki, 1991) mengatakan bahwa penambahan senyawa HCl ini bertujuan untuk
melarutkan senyawa-senyawa mineral yang ada pada serbuk kulit udang tersebut khususnya
kalsium karbonat. Kemudian campuran serbuk tadi diaduk selama 1 jam dan dipanaskan dengan
suhu 90C selama 1 jam. Selanjutnya dicuci lagi hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu
80C selama 24 jam. Khorrami et al. (2012) mengatakan dalam jurnalnya yang berjudul
Production of Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus
plantarum bahwa produksi kitin dan kitosan yang diperoleh dari bahan dasar udang tidak hanya
diperoleh dengan cara batch culture, menggunakan bakteri Lactobacillus plantarum, yang
diinkubasi pada suhu 30C. Penggunaan bakteri ini dapat juga digunakan dalam proses
demineralisasi dan deproteinasi dari kulit udang. Larutan alkali yang dipakai pada penelitian ini
juga sama dengan yang digunakan di dalam praktikum kali ini yaitu larutan NaOH yang
menandakan bahwa kitin dan kitosan memang bisa di konversi menggunakan larutan tersebut.
Dari metode pertama tadi didapatkan hasil pengamatan nilai rendemen kitin I dari kelompok C1
hingga C5 secara berurutan adalah 23,45% ; 37,82% ; 41,67% ; 40% ; dan 21,19%. Hal tersebut
kurang sesuai dengan pendapat Truong et al. (2007) yang mengatakan bahwa konsentrasi
perubahan penambahan asam yang sesuai akan mampu melarutkan mineral secara sempurna
sehingga apabila semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka akan menghasilkan
rendemen kitin I yang semakin besar pula. Tetapi yang terjadi pada percobaan kali ini adalah
nilai rendemen kitin C5 yang menggunakan HCl 1,25 N lebih kecil dibandingkan dengan
kelompok C1 yang menggunakan HCl 0,75 N. Hal tersebut dikarenakan pada saat pemanasan
menggunakan hot plate suhu tidak stabil dan mengakibatkan overheat pada sampel dan timbul
letupan hingga menyembur tumpah dari gelas beker, sehingga sampel yang didapat jumlahnya
tidak sama tiap kelompoknya. Kesalahan tersebut berdampak pada langkah selanjutnya yaitu
proses deproteinasi dan deasetilasi.
Tahap yang kedua adalah deproteinasi bertujuan untuk mengurangi kadar protein dengan
menggunakan larutan alkali encer dan pemanasan yang cukup (Wu et al, 2005). Larutan alkali
yang digunakan adalah NaOH. Tahap ini diawali dengan mencampurkan tepung dari hasil proses
10
demineralisasi dengan NaOH menggunakan perbandingan 6 : 1 dan diaduk selama 1 jam setelah
itu disaring dan didinginkan. Pengadukan dilakukan untuk meratakan pemanasan supaya derajat
deproteinasi meningkat namun tidak terjadi kegosongan. Tujuan pendinginan dalam proses ini
adalah agar bubuk kitin yang dihasilkan dapat mengendap di bawah sehingga tidak akan
terbuang ketika dilakukan pencucian berulang kali (Younes et al., 2012). Selanjutnya residu
yang didapatkan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80C selama 24 jam. Dari
proses ini didapatkan produk kering terakhir yang disebut kitin.
Hasil yang didapat pada tahap kedua ini dapat dilihat pada tabel hasil pengamatan (tabel 1). Nilai
rendemen kitin II yang didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rendemen I. Hal ini
tidak sesuai dengan teori yang seharusnya dari proses deproteinasi dan pencucian ini didapatkan
hasil yang lebih rendah dari proses demineralisasi (Angka & Suhartono, 2000). Hal ini
kemungkinan dikarenakan terjadi kesalahan proses pembuatan kitin seperti menurut Rao &
Stevens (2000) mengatakan bahwa proses demineralisasi seharusnya dilakukan setelah proses
deproteinasi karena dalam proses demineralisasi akan memicu terjadinya kontaminasi protein
terhadap cairan esktrak mineral.
Tahap terakhir ialah deasetilasi bertujuan memperoleh kitosan dari kitin dengan melepas gugus
asetil pada kitin. Kitin yang hasil dari proses sebelumnya ditambahkan dengan NaOH 40% untuk
kelompok C1 dan C2, 50% untuk kelompok C3 dan C4, dan untuk kelompok C5 ditambahkan
NaOH 60%. Penambahan tersebut dilakukan sambil diaduk selama 1 jam untuk kemudian
didiamkan selama 30 menit. Kemudian dipanaskan pada suhu 90C selama 60 menit untuk
selanjutnya disaring dan residu yang dihasilkan dicuci sampai pH netral. Residu tersebut di oven
pada suhu 70C selama 24 jam dan dihasilkanlah kitosan sebagai produk akhir. Berdasarkan
teori yang dikemukakan oleh Rogers (1986), proses pendinginan dilakukan dengan tujuan agar
bubuk kitosan pada larutan dapat mengendap secara maksimal dibagian bawah dan tidak ikut
terbuang selama pencucian.
Hasil yang diperoleh setelah tahap terakhir, dapat dilihat pada tabel hasil pengamatan (tabel 1).
Nilai rendemen kitosan III yang didapat lebih kecil bila dibandingkan dengan rendemen kitin II.
Hal tersebut kurang sesuai dengan pendapat yang dikatakan oleh Hong et al. (1989), bahwa jika
11
semakin tinggi konsentrasi pada larutan NaOH, maka nilai rendemen kitosan yang diperoleh
akan semakin rendah, hal tersebut dapat terjadi karena adanya proses depolimerisasi rantai
molekul kitosan sehingga akan mengakibatkan berat molekul dari kitosan akan menurun. Tetapi,
hasil yang didapat ketika konsentrasi NaOH yang besar, justru mendapatkan hasil rendemen
yang paling kecil, seperti halnya pada kelompok C5 yang menggunakan larutan NaOH 60% dan
mendapatkan nilai rendemen 11,25%, sedangkan pada kelompok C2 yang ditambahkan dengan
NaOH 40% mendapatkan nilai rendemen 37,38%. Kesalahan yang terjadi kemungkinan terjadi
akibat tidak rata dan tidak stabilnya suhu dan pengadukan yang dilakukan oleh praktikan.
Padahal menurut teori dari Kurita et al. (1993), dikatakan bahwa kualitas dan penggunaan
produk kitosan ditentukan dari seberapa besar derajat deasetilasinya. Derajat deasetilasi ini
bervariasi pada pembuatan kitosan tergantung pada bahan dasar dan kondisi proses seperti
konsentrasi suhu, larutan alkali, dan waktu.
Dalam jurnal yang berjudul Extraction and Characterization of Chitin and Chitosan from F.
Solani CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and Study of Their Productive
Application oleh Krishnaveni & Ragunathan (2015) terutlis bahwa banyak manfaat yang
didapatkan dari pembuatan kitin dan kitosan. Kedua produk tersebut banyak digunakan sebagai
antibakteri dan desinfektan. Namun, yang paling penting kitin dan kitosan dapat diaplikasikan
untuk bidang pangan, seperti pembuatan pembungkus makanan. Hal ini dikarenakan kitosan
yang merupakan hasil dari proses deasetilasi memiliki umur simpan yang panjang, fleksibel,
cukup keras, sangat sulit untuk disobek serta memiliki aktivitas antimikroba, dan memiliki sifat
biodegradable.
12
4. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan merupakan hasil ekstraksi dari limbah crustacea seperti udang yang
dapat dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai ekonomis lebih tinggi.
Kitin memiliki ciri-ciri fisik tidak dapat larut dalam air, tidak berbau, berupa kristal
amorphous dengan warna putih, asam-asam anorganik serta basa encer.
Pemanfaatan kitin dan kitosan selain diaplikasikan ke industri pangan namun juga dapat
digunakan pada industri pembuatan kosmetik dan pestisida.
Demineralisasi yang dilakukan dengan penambahan HCl bertujuan untuk menghilangkan
senyawa mineral dari kulit udang terutama kalsium karbonat.
Deproteinasi yang dilakukan dengan penambahan NaOH bertujuan untuk memisahkan
protein dengan kitin.
Deasetilasi bertujuan untuk memperoleh kitin dan kitosan dengan melepas gugus asetil
yang ada pada kitin.
Semarang, 18 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen
Raphael Elhan Argasae Tjan, Ivana Chandra
12.70.0158
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S. L. dan M. T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumberdaya
Pesisir dan Lautan. Bogor.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn
Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical
Engineering. The Queen's University. Belfast.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of
Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from
crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Hossain, M. S. and A. Iqbal. (2014). Production and Characterization of Chitosan From Shrimp
Waste. Journal Bangladesh Agricultural University. 12 (1) : 153-160.
Khorrami, M., G. D. Najafpour, H. Younesi, and M. N. Hosseinpour. (2012). Production of
Chitin and Chitosan from Shrimp Shell in Batch Culture of Lactobacillus plantarum.
Chem. Biochem. 26 (3) 217-223.
Krishnaveni, B., and R. Ragunathan. (2015). Extraction and Characterization of Chitin and
Chitosan from F. Solani CBNR BKRR, Synthesis of Their Bionanocomposites and Study of
Their Productive Application. Journal of Pharmacy Science. Vol. 7 (4) : 197-205.
Kurita, K.; Tomita, K.; Ishi, S.; Nishimura, S-I.; Shimoda, K. -chitin as a convenient starting material for acetolysis for efficient preparation of N-acetylchitooligosaccharides. J. Polym.
Sci. A Polym. Chem. 1993, 31, 23932395.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando.
San Diego.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal
of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Rao, M.S.; Muoz, J.; Stevens, W.F. Critical factors in chitin production by fermentation of
shrimp biowaste. Appl. Microbiol. Biotechnol. 2000, 54, 808813.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Rumengan, I. F. M., E. Suryanto, R. Modaso, S. Wullur, T. E. Tallei and D. Limbong. (2013).
Structural Characteristics of Chitin and Chitosan Isolated from the Biomass of Cultivated
Rotifer, Brachionus rotundiformis. International journal of fisheries and aquatic sciences. 3
(1) : 12-18.
14
Sahidi, F.; Synowiecki, J. Isolation and characterization of nutrients and value-added products
from snow crab (Chifroeceles opilio) and shrimp (Panda- 111sb orealis) processing
discards. J. Agric. Food Chem. 1991, 39, 15271532.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin,
Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Tolaimate, A., Desbrires, J., Rhazi, M., Alagui, M., Vincendon, M. and Vottero, P. 2000. The
influence of deacetylation process on the physicochemical characteristics of chitosan from
squid chitin. Polymer. 41: 2463-9.
Truong, T.; Hausler, R.; Monette, F.; Niquette, P. Fishery industrial waste valorization for the
transformation of chitosan by hydrothermo-chemical method. Rev. Sci. Eau 2007, 20, 253262.
Wang, Zhengke; Qiaoling Hu; Lei Cai. (2010). Chitin Fiber and Chitosan 3D Composite Rods.
International Journal of Polymer Science Volume 2010, Article ID 369759, 7 pages.
Wu, Tao; Svetlana Zivanovic, F. Ann Draughon, William S. Conway,Dan Carl E. Sams. (2005).
Physicochemical Properties and Bioactivity of Fungal Chitin and Chitosan. J. Agric. Food
Chem. 2005, 53, 3888-3894.
Younes, I.; Ghorbel-Bellaaj, O.; Nasri, R.; Chaabouni, M.; Rinaudo, M.; Nasri, M. Chitin and
chitosan preparation from shrimp shells using optimized enzymatic deproteinization.
Process Biochem. 2012, 47, 20322039.
Younes, I., and Marguerite Rinaudo. (2015). Chitin and Chitosan Preparation from Marine
Sources. Structure, Properties and Applications. Journal marine drugs. 13, 1133-1174.
Zhang, Hongyin; Renping Li dan Weimin Liu. (2011). Effects of Chitin and Its Derivative
Chitosan on Postharvest Decay of Fruits: A Review. Int. J. Mol. Sci. 2011, 12, 917-934;
doi:10.3390/ijms12020917
15
6. PERHITUNGAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
Kelompok C1
Rendemen Chitin I =
= 23,45 %
Rendemen Chitin II =
= 30,00 %
Rendemen Chitosan =
= 27,43 %
Kelompok C2
Rendemen Chitin I =
= 37,82 %
Rendemen Chitin II =
= 44 %
Rendemen Chitosan =
= 27,38 %
Kelompok C3
Rendemen Chitin I =
= 41,67 %
Rendemen Chitin II =
= 54,55 %
Rendemen Chitosan =
= 32,16 %
16
Kelompok C4
Rendemen Chitin I =
=40,00 %
Rendemen Chitin II =
= 58,3 %
Rendemen Chitosan =
= 24,30 %
Kelompok C5
Rendemen Chitin I =
= 21,19 %
Rendemen Chitin II =
= 40,32 %
Rendemen Chitosan =
= 11,25 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
Recommended