View
230
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 1Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
PROCEEDING
WORKSHOP PRESIDIUM DKN“PENATAAN KAWASAN HUTAN BAGI KEBANGKITAN
KEHUTANAN NASIONAL”
Hotel Grand Aston - Yogyakarta, 17 – 18 Juli 2013
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas terselenggaranya Workshop Presidium Dewan
Kehutanan Nasional – Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional. Kegiatan
workshop selama dua hari, tanggal 17 – 18 Juli 2013 tersebut diselenggarakan di Hotel Grand Aston,
Yogyakarta.
Tujuan diselenggarakannya workshop Presidium DKN ini adalah untuk merumuskan peran
strategis DKN dalam mendukung agenda dan kegiatan yang terkait dengan perubahan kebijakan
kehutanan di Indonesia. Dukungan tersebut melalui pengembangan kerjasama dan dukungan
terhadap implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga yang dikoordinasikan dengan KPK.
Selain itu, workshop juga bertujuan untuk mengidentifikasi pandangan tentang substansi dan
merumuskan masukan konkrit berupa policy brief Presidium DKN tentang strategi implementasi
Rencana Aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Merangkum Keputusan MK tentang hutan adat dan
rumusan peran masyarakat adat dan komunitas lokal, serta menyusun dan menyepakati rencana kerja
(work plan) sebagai tindak lanjut workshop.
Workshop Presidium DKN diharapkan menghasilkan rumusan tentang peran strategis DKN
dalam perumusan rencana aksi NKB 12 kementerian dan lembaga. Selain itu juga menghasilkan
dokumen rancangan policy brief Presidium DKN sebagai masukan substansi yang akan menjadi
masukan bagi KPK dan 12 kementerian dan lembaga dalam implementasi rencana aksi untuk
mengakselerasi pengukuhan kawasan hutan di Indonesia. Menghasilkan rencana kerja (work plan)
berupa kegiatan-kegiatan tindak lanjut dari workshop ini, diantaranya konsultasi atau dialog publik di
tingkat nasional dan region, serta proyek percontohan implementasi NKB 12 kementerian dan
lembaga di sejumlah region.
Kami menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah mendukung dan mensukseskan pelaksanaan workshop Presidium DKN ini. Baik
pihak sekretariat DKN, EO maupun para anggota Presidium DKN dari semua kamar sebagai peserta
workshop dan para narasumber.
Proceeding ini berisi catatan proses yang telah dilalui dalam workshop Presidium DKN
“Penataan Kawasan Hutan Bagi Kebangkitan Kehutanan Nasional”. Mencerminkan gambaran
dinamika yang terjadi dalam forum maupun hasil-hasil yang dicapai. Harapannya semoga apa yang
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 2Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
telah dihasilkan dalam workshop ini baik berupa sikap, pandangan maupun masukan dari para peserta
bermanfaat bagi pengawalan program FIP di Indonesia untuk tujuan keadilan dan kelestarian hutan.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada 11 Maret 2013, 12 Kementerian dan Lembaga menandatangani Nota
Kesepahaman Bersama (NKB) tentang “Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia”.
NKB 12 K/L ini lahir dengan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Tujuan NKB ialah untuk meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam percepatan
pengukuhan kawasan hutan serta meningkatkan kerjasama dan koordinasi dalam mendorong
percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi.
Tiga agenda utamanya adalah harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-
undangan. Penyelarasan teknis dan prosedur. Serta resolusi konflik berprinsip keadilan dan
HAM.
Kejelasan agenda dan kegiatan yang dijalankan menyusul terbitnya NKB 12 K/L ini
akan sangat tergantung pada rencana aksi bersamanya. Termasuk di dalamnya, terkait
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai status hutan adat. Keputusan MK ini tentu
akan membawa implikasi serius dan luas, baik terhadap perjuangan masyarakat (lokal dan
adat) atas hutan, juga menyangkut keseluruhan kebijakan kehutanan nasional di Indonesia.
Sinergitas para pihak sangat vital. Dalam hal ini, kedua belas kementerian/ lembaga
yang menandatangi NKB (Kemendagri, Kemenkum HAM, Kemenkeu, Kemen ESDM,
Kementan, Kemenhut, Kemen PU, Kemen LH, Kemen PP/ Bappenas, BPN, BIG, dan
Komnas HAM) harus benar-benar responsif, kredibel dan bekerja nyata dalam mensukseskan
maksud NKB ini.
Dewan Kehutanan Nasional (DKN) sebagai salah satu wadah dimana duduk wakil
konstituen dalam sektor kehutanan (Masyarakat Adat dan Lokal, Pemerintah, Bisnis, LSM/
Pemerhati, dan Akademisi/Peneliti) yang berkepentingan atas penataan kehutanan nasional,
tentu saja sangat penting untuk memberikan respon khusus atas terbitnya NKB ini, termasuk
Keputusan MK mengenai Hutan Adat. Respon DKN ini didudukkan sebagai bahan masukan
dan pertimbangan bagi semua pihak agar substansi NKB ini dipahami dengan utuh dan
implementasi rencana aksinya di lapangan dapat dikawal secara kritis, objektif dan efektif.
Sebagai langkah awal, guna mendiskusikan dan merumuskan respon tersebut, DKN
memandang perlu untuk mengadakan workshop yang dihadiri oleh semua pihak yang
merupakan unsur anggota DKN. Dalam Workshop ini didiskusikan, dirumuskan dan
ditetapkan pandangan DKN atas rencana aksi NKB 12 K/L, termasuk di dalamnya keputusan
MK terkait hutan adat. Dari workshop ini diharapkan keluar rencana aksi DKN yang konkrit
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 3Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
dalam mengawal implementasi rencana aksi NKB dan tindak lanjut dari keputusan MK
tersebut. Beberapa isu strategis yang perlu elaborasi khusus dalam workshop ini adalah kaitan
NKB 12 K/L dan Keputusan MK dengan: reforma agraria, land reform plus, forestry land
tenure, hak masyarakat adat atas hutan, dan resolusi konflik agraria.
Tentu rangkaian kegiatan ini tidak akan berhenti di sini, berdasarkan diskusi dengan
KPK, ke depan diharapkan DKN bersama KPK akan mengawal sosialisasi rencana aksi ini di
7 (tujuh) regio. Diharapkan, perwakilan dari kamar pemerintah, masyarakat, akademisi, dunia
usaha, dan LSM dapat memberikan kontribusi pemikirannya. Sehingga, percepatan
pengukuhan kawasan hutan dapat diarahkan guna memastikan penguasan dan pengusahaan
hutan sungguh jadi bagian dari perwujudan spirit ideologis Pancasila dan Konstitusi, yakni
keadilan sosial dan kemakmuran rakyat.
B. Materi dan Agenda Pembahasan
Materi dan substansi acara yang akan dibahas dalam workshop ini mencakup:
1. Pemaparan konteks dan substansi serta rencana aksi yang dikandung dalam NKB 12 K/L,
serta langkah-langkah tindak lanjut dalam implementasi rencana aksi NKB tersebut;
2. Pemaparan konteks dan substansi judicial review terhadap UU Kehutanan dan Putusan
MK, serta tindak lanjut dan konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari
perspektif Kementerian Kehutanan;
3. Pemaparan pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK serta
hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma agraria dan pengelolaan
SDA;
4. Pembahasan peran DKN terhadap permasalahan dan kebijakan nasional
kehutanan, khususnya merespon NKB 12 K/L dan Putusan MK terkait hutan adat;
5. Pembahasan respon Presidium DKN berdasarkan kamar-kamar DKN untuk
mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi dan pelaksanaan
rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK tentang hutan adat;
6. Perumusan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen yang utuh dan
terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN, dan rencana
kerja (work plan) sebagai tindak lanjut workshop.
Agenda pembahasan dalam workshop selama dua hari adalah sebagai berikut:
1. Pengantar dan Pembukaan: Penjelasan tentang pandangan dan sikap DKN terhadap
permasalahan dan kebijakan nasional kehutanan, khususnya merespon terbitnya NKB 12
K/L dan Putusan MK terkait hutan adat. Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi
Kartodohardjo.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 4Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
2. Pemaparan Materi I: Uraian mengenai konteks dan substansi serta rencana aksi yang
dikandung oleh NKB 12 kementerian dan lembaga, serta langkah-langkah tindak lanjut
dalam implementasi rencana aksi NKB 12 K/L. Oleh Pimpinan KPK, dalam hal ini
diwakili Dian Patria (Tim Monitoring dan Evaluasi NKB-KPK).
3. Pemaparan Materi II: Uraian mengenai konteks dan substansi judicial review terhadap
UU Kehutanan dan Putusan MK terkait hutan adat, serta tindak lanjut dan
konsekuensinya terhadap kebijakan kehutanan nasional dari perspektif Kementerian
Kehutanan RI. Oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM.
4. Pemaparan Materi III: Uraian pakar mengenai implikasi NKB 12 K/L dan Putusan MK
terkait hutan adat serta hubungannya dengan penataan kebijakan kehutanan dan reforma
agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi
Rachman, PhD.
5. Diskusi dan Klarifikasi: Peserta memberikan respon berupa pertanyaan dan pandangan
terhadap apa yang sudah diuraikan oleh narasumber, lalu narasumber menyampaikan
respon baliknya yang dipandu oleh fasilitator.
6. Pengantar Sidang Kamar: Penjelasan singkat mengenai substansi materi yang akan
dibahas, dan proses pelaksanaan diskusi kelompok atau sidang kamar yang dipandu oleh
fasilitator.
7. Pelaksanaan Sidang Kamar: Membahas respon Presidium DKN berdasarkan kamar-
kamar DKN untuk mengidentifikasi pandangan dan masukan terhadap konteks, substansi
dan pelaksanaan rencana aksi NKB 12 K/L, dan kaitannya dengan Putusan MK terkait
hutan adat yang dipimpin oleh ketua kamar dan dibantu sekretaris kamar masing-masing.
8. Perumusan Hasil Sidang Kamar: Para Ketua dan Sekretaris Kamar merumuskan hasil
Sidang Kamar dan menyiapkan bahan pemaparan pleno.
9. Review dan Pengantar: Penjelasan tentang proses yang sudah berjalan pada hari pertama,
dan yang akan berlangsung pada hari kedua yang dipandu fasilitator.
10. Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar: Uraian mengenai rumusan hasil sidang setiap
kamar DKN terhadap substansi dan implementasi NKB 12 kementerian dan lembaga,
serta tindak lanjut dalam implementasi rencana aksinya. Oleh ketua kamar masing-
masing dan dipandu fasilitator.
11. Perumusan Hasil: Merumuskan substansi hasil workshop ini menjadi sebuah dokumen
yang utuh dan terintegrasi (policy brief) berdasarkan masukan dari setiap Kamar DKN,
dan rencana tindak lanjut setelah lokakarya yang dipandu oleh fasilitator.
12. Perumusan Rencana Kerja: Menyusun rencana kerja (work plan) sebagai tindak lanjut
dari workshop ini yang dipandu pleh fasilitator.
13. Penetapan Hasil dan Penutupan: Menetapkan hasil-hasil workshop, rencana tindak lanjut,
dan penutupan workshop. Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodohardjo.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 5Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
II. DINAMIKA FORUM
A. Hari Pertama
1. Pembukaan
Oleh Ketua Presidium DKN, Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo.
Ketua menyampaikan terimakasih kepada anggota presidium DKN serta Dirjen
Planologi Kemenhut, Tim KPK dan UKP4 yang akan menjadi narasumber.
Kinerja nasional terkait kehutanan dan pengelolaan lahan:
a). Masalah kelola hutan konservasi & lindung, penurunan kinerja
usaha besar, terutama hutan alam, dan stagnasi peran usaha kecil;
b). Gap antara de jure dan de facto dari kawasan hutan negara. Dari
konteks de jure kawasan hutan Indonesia cukup luas. Meskipun
persentase penetapan masih kecil tapi secara de facto sebenarnya
tidak terlalu menggembirakan karena banyak potensi konflik yang
terkait dengan kawasan hutan;
c). Rendahnya tata kelola hutan dan lahan, terkait dengan
pelaksanaan kebijakan transparansi, akuntabilitas, korupsi dst. Ini
sudah dikaji dan sudah diserahkan ke Presidium DKN. Masalah ini
perlu mendapatkan perhatian khusus yang sekarang oleh tim UNDP
dan UKP4 sedang berkeliling ke 10 propinsi untuk melihat bagaimana
peningkatan tata kelola hutan dan lahan.
Memahami kondisi dan perubahan kebijakan kehutanan dan pertanahan:
Pegangan kedepan harus memperhatikan RKTN
• (Permenhut 49/2011)—
• MP3EI (Perpres 32/2011)—
• RAN GRK (Prespres 61/2011)—
• Stranas REDD+ (02/Satgas Redd+/09/2012)—
• (P 6/2007 jo P 3/2008) kaitannya dengan upaya kemenhut untuk
mengoperasionalkan KPH.
Kebijakan terkait dengan penetapan kawasan hutan negara
Arah kedepan dari kebijakan-kebijakan ini sudah jelas yaitu untuk
memastikan di satu sisi pelestarian hutan, di sisi lain adalah distribusi
pendapatan kepada masyarakat. Tetapi tidak seluruhnya sinkron satu sama
lain. Ada hal-hal yang terkait dengan pertentangan-pertentangan prioritas.
Misalnya antara RKTN dan MP3EI.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 6Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
• Putusan MK (45/2011)
• NKB 12/KL, dikoordinasikan oleh KPK. Fokus pada kawasan hutan dan
percepatan pengukuhannya serta seluruh aspek yang terkait dengan persoalan
kawasan hutan.
• Putusan MK (35/2012) yang menyatakan bahwa hutan adat berada di luar
kawasan hutan negara.
Berkaitan dengan MDG’s dan penanggulangan Kemiskinan (right base approah)
• UU P3H (Pencegahan dan Pemberantasan Pengerusakan Hutan)
• Revisi UU 32/2004 dan PP 38/2007. Pada akhir Juni di Surabaya,
Dirjen BUK melakukan diskusi mengenai revisi berbagai peraturan perijinan
untuk meningkatkan pelayanan publik. Dalam acara tersebut Kemendagri
mempresentasikan arah perubahan PP 38. Kemendagri berpandangan bahwa
kehutanan dalam konteks sebagai lanskap dan ekosistem sehingga peran propinsi
sangat tinggi dibandingkan kebupaten.
• FIP dan DGM, yang juga menjadi tema di DKN.
Tampaknya ini akan menjadi tema besar di dunia setelah tahun 2015.
Penjelasan tentang FIP dan DGM
Forest Investment Program (FIP) adalah satu dari tiga program di bawah
Dana Iklim Strategis (SCF), sebuah dana perwalian multi-donor yang dibentuk pada
tahun 2009 untuk memberikan pembiayaan jalur cepat.
Jadi akan ada proses tertentu yang terkait dengan pembiayaan ini yang
tujuannya adalah pengurangan deforestasi dan degradasi. Kemenhut sudah
membentuk SC ketuanya adalah Sekjen Kementerian Kehutanan. DKN diminta
sebagai anggota SC, termasuk eselon 1 Kementerian keuangan dst. Di pertemuan ini
akan dibicarakan secara khusus bagaimana FIP dan DGM itu.
Dedicated Grand Mechanism (DGM) adalah mekanisme hibah khusus bagi
masyarakat adat dan lokal, sebuah inisiatif global dalam rangka memberikan hibah
kepada masyarakat adat dan lokal untuk meningkatkan kapasitas dan mendukung
inisiatif tertentu, sehingga dapat lebih banyak berpartisipasi dalam FIP dan proses-
proses REDD+ lainnya di tingkat lokal, nasional, dan global. Komitmen dana 70 juta
DKN sudah bicara dengan KPK tentang bagaimana DKN bisa mendukung
proses ini terutama dalam implementasinya. Agenda NKB 12/KL
direncanakan hingga tahun 2015. Ini merupakan program jangka panjang dan
tidak ingin terpengaruh dengan politik praktis.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 7Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
US $ akan digunakan untuk maksud tsb. Basis pengembangan FIP adalah melalui
pembangunan KPH;
Catatan DKN berkaitan dengan FIP dan DGM
Ketua Presidium DKN belum bisa memberikan hal yang lebih detil lagi karena
SCFIP belum pernah mengadakan pertemuan sehingga DKN belum bisa
mendapatkan informasi terkait pelaksanaan FIP.
Pemetaan Agenda NKB 12 K/L
Pertama, terkait dengan seluruh aspek pemanfaatan kawasan hutan beserta
pengukuhannya serta penyelesaian pihak ketiga. Pihak ketiga itu bisa kampung, desa,
masyarakat adat. Ada juga pedoman tersendiri untuk memastikan bagaimana
penempatannya. Lalu ada juga revisi P 44 dan P 47 yang terkait dengan panitia tata
batas dan pengukuhan kawasan hutan. Disamping itu juga tersedia sistem pengaduan
dan tindak lanjut dari proses-proses pengukuhan dan masalah tenurial. Diharapkan
kedepan ada semacam informasi yang terbuka bagi masyarakat jika ada masalah
terkait sehingga ada komunikasi secara langsung mengenai pengaduan dan prosesnya.
Hal ini tidak mudah karena banyak juga lembaga yang melakukan itu,
termasuk Komnas Ham dan DKN. Hampir setiap tahun dua lembaga ini menerima
beberapa puluh konflik. Yang penting adalah bagaimana tindak lanjut dari pangaduan
tersebut. Di samping ini ada juga segenap hal lain yang diperlukan, seperti peta dasar
yang harus seragam dst.
Kedua, berkaitan dengan operasional KPH dengan kelengkapan regulasinya,
pelaksanaan program pendampingan masyarakat di KPH itu, lalu mempercepat
Diperlukan pembaruan dan pelaksanaan kebijakan (peraturan-perundangan
dan kelembagaan) —NKB 12 K/L adalah salah satu proses yang sedang
dilakukan. Kamar bisnis menyatakan bahwa policy reform lebih penting
daripada softloan, untuk kondisi Indonesia sekarang.
DKN bukan pelaksana dari FIP dan DGM. DKN hanya sebagai anggota SC.
Persoalan DKN dengan FIP sebetulnya bukan DKN menolak atau menerima
FIP, karena menolak atau menerima, FIP tetap jalan, tapi yang sangat penting
adalah catatan DKN yang akan disampaikan di dalam SCFIP, untuk
memastikan perbaikan FIP jika ada temuan kelemahan di masing-masing
kamar.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 8Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
pelaksanaan pencadangan untuk HTR, HKM, HD dst yang diharapkan KPH punya
peranan penting dalam konteks ini. Yang selama ini relatif sulit masyarakat dapat
menyampaikan proposal perijinan dst, diharapkan KPH punya peran seperti itu.
Ketiga terkait dengan review dan proses perbaikan kebijakan perijinan. Yang
diharapkan tidak hanya ijin pinjam pakai terkait kawasan hutan tapi seluruh perijinan
karena pada saat bulan lalu DKN memfasilitasi di Surabaya banyak sekali terkait
dengan perijinan yang lain yang berada di kawasan hutan yang sedang berjalan.
Bukan hanya persoalan penggunaan dan pelepasan kawasan hutan tapi eksisting ijin
itu juga mempunyai peran penting.
Keempat, ada khusus penyelesaian konflik sendiri, regulasi penyelesaian
sengketa di dalam kawasan hutan, kemudian juga terbangun konsensus penyelesaian
konflik ini oleh Kementerian dan Lembaga. Ini sangat penting karena konflik,
terutama keterlanjuran itu banyak sekali interpretasi yang berbeda. Apalagi kemudian
menggunakan UU Kehutanan, yang satu menggunakan cara bekerjanya BPN, dst. Ini
juga perlu bukan hanya jangka pendek tapi juga jangka panjang karena persoalan-
persoalan yang terkait dengan konteks sengketa ini. Ini juga sangat terkait dengan UU
Pertanahan yang akan segera muncul; bagaimana sebenarnya peradilan pertahan dsb
bisa menyelesaikan konflik.
Kelima, berkaitan dengan penguatan peraturan-peraturan rencana yang
intinya adalah penjabaran RKTN menjadi hal-hal yang sifatnya operasional;
bagaimana itu bisa dilaksanakan di setiap pulau, bagaimana tata batas bisa bekerja
dengan penguatan kapasitas. Idenya adalah satu tahun sebelum panitia tata batas
bekerja, ada survey sosial untuk mengetahui desa dsb.
Ketua Presidium DKN sedang menyarankan, memberikan input kepada tim
KPK untuk melakukan klustering dari 93 rencana aksi.
Garis Besar Agenda NKB—12K/L: Harapan Peran DKN
a) Penyempurnaan kebijakan dan peraturan serta percepatan pengukuhan kawasan
hutan, termasuk kepastian status pihak ke-3 dalam kawasan hutan negara;
b) Beroperasinya 120 KPH serta berjalannya kemitraan dan pemberdayaan masyarakat,
RHL, di dalam areal kerja KPH itu;
c) Proses perizinan secara integratif dan transparan dengan jaminan masa depan
perizinan sesuai peraturan-perundangan dan bebas konflik;
d) Terdapat regulasi penyelesaian sengketa kehutanan dan terwujud konsensus
penyelesaian konflik oleh 12 K/L;
e) Terdapat perencanaan nasional yang lebih rinci dalam penyelesaian pengukuhan
kawasan hutan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 9Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Dalam konteks percepatan pengukuhan kawasan hutan, UKP4 mengadakan
pertemuan antara pak Untoro dengan gubernur Kalimantan Tengah di Barito Selatan.
Diharapkan KPK juga menggagas tindakan serupa bersama kementerian dan lembaga
mungkin ada fokus menyelesaikan tata ruang dan tata batas di propinsi tertentu.
Dalam konteks operasional di lapangan, terhadap 5 kluster rencana aksi ini, DKN
diharapkan bisa melihat pelaksanaan ini. Seperti yang diketahui bersama, pada saat
membicarakan ekonomi, peran masyarakat adat, termasuk juga konservasi, mustahil
bisa tercapai ketika kawasan hutan tidak menjadi prioritas. Setiap pergantian menteri
selalu mengambil program populis, tetapi kawasan hutan selalu menjadi bagian yang
tidak prioritas. Ini terlihat dari anggaran kementerian kehutanan dimana 46%
ditujukan untuk membuat persemaian. Sebaiknya anggaran itu untuk Dirjen
Planologi.
2. Pengantar oleh Usep Setiawan (Fasilitator)
Usep Setiawan menjelaskan tentang tujuan dan keluaran yang hendak dicapai dalam
workshop serta alur dan acara hari pertama.
3. Pemaparan materi NKB Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia Sebagai
Upaya Pencegahan Korupsi di Sektor Kehutanan
oleh Tim Monev NKB-KPK, Dian Patria
Tanggal 3 Desember 2010 KPK melakukan paparan hasil kajian Sistem
Perencanaan Kawasan Hutan di Dirjen Planologi. KPK masuk ke perencanaan di
planologi karena KPK menganggap upaya perbaikan harus mulai dari perencanaan.
Proses belangsung hingga 11 Maret 2013 dengan ditandantanginya NKB Percepatan
Pengukuhan Kawasan Hutan.
Program yang didukung oleh KPK ini adalah program fundamental yang
harusnya selesai dalam 10 tahun mendatang, setelah itu baru hal-hal lain
dibicarakan untuk memastikan pembangunan kedepan.
Ada sejumlah syarat rekomendasi KPK di Dirjen Planologi. Salah satunya
adalah perlu adanya satu peta yang menjadi acuan bersama. Dalam kajiannya,
KPK menemukan banyak versi kawasan hutan dengan skala yang tidak
operasional sehingga KPK menyarankan adanya one map sebagai acuan semua
pihak. Syarat yang lainnya adalah adanya jaminan pelepasan kawasan hutan.
Kajian KPK juga menemukan banyak tanah-tanah terlantar yang dilepaskan
tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 10Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Persoalan kehutanan tidak mudah dan tidak bisa diselesaikan sendiri oleh Dirjen
Planologi. Perlu berbagai peran dari Kementerian dan lembaga yang lain. Oleh karena itu
KPK melakukan pengkajian dan pendalaman dengan mengundang para pakar. Berberapa
kali KPK berdiskusi dengan CSO, LSM akademisi dan K/L. Dari pengkajian, pendalaman
dan diskuti tersebut lahirlah 3 naskah tematik yaitu Harmonisasi Kebijakan dan Peraturan
Perundangan, Penyelarasan Teknis dan Prosedur, serta Resolusi Konflik. Kalau bicara
dalam konteks KPK, korupsi bisa terjadi karena keijakan yang bermasalah. Oleh karena
itu perlu ada perbaikan dan harmonisasi kebijakan. Dalam operasionalisasi pun terjadi
penyimpangan-penyimpangan, ada kolusi, suap dalam pemberian ijin dsb. Salah satu
sumber konflik adalah karena adanya penyelewengan pada saat operasional.
Rencana Aksi NKB 12 K/L
Dalam rencana aksi NKB terdapat tiga tema yang saling terkait dan outputnya
pun beririsan; ada rencana aksi yang menjadi prasyarat untuk rencana aksi yang lain di
kementerian yang sama atau kementerian yang lain. Total ada 93 Renaksi dan sudah
disimplifikasi oleh pak Hariadi menjadi satu tabel.
Latar Belakang
Di Sektor kehutanan banyak sekali masalah yang sudah lama berlangsung akibat
tata kelola dan korupsi di sektor sumberdaya alam. Masalah-masalah di sektor kehutanan
diantaranya tingginya deforestasi, tingginya kerugian negara di sektor kehutanan, dan
adanya ketidakpastian hukum atas kawasan hutan yang menyebabkan tumpang tindih
izin.
KPK concern dengan masalah di sektor kehutnan karena KPK ingin
berkontribusi untuk menyelamatkan sumberdaya alam atau menghilangkan
korupsi atau faktor-faktor penyebab korupsi di dalam pengelolaan sumberdaya
alam.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 11Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Salah satu penyebab yang ditemukan KPK mengapa tambang tidak clean dan
celar adalah belum selesainya masalah batas administrasi. Baru sekitar 17% segmen yang
telah mempunyai batas administrasi yang jelas. Jika tidak ada kejelasan batas
administrasi, ketika lokasi tambang yang berbatasan dengan kabupaten atau propinsi yang
lain, biasanya terjadi konflik.
Dari sisi PNPB SDA penerimaan dari hutan dan tambang tidak terlalu banyak.
Jauh di bawah APBN. Angka tidak seimbang dengan konflik-konflik di area hutan yang
sangat besar dan tingginya kerusakan lingkungan. Ada biaya sosial korupsi.
UU KPK mengatakan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga
tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa. KPK dibentuk dalam perspektif Penjagaan Hak-hak Sosial
dan Ekonomi untuk Kesejahteraan Rakyat. Jadi, KPK tidak hanya menangkap koruptor
tapi juga memberikan perubahan nyata di masyarakat.
KPK masuk ke chapter sumberdaya alam karena di dalam strategy map KPK ada
3 hal, yaitu ketahanan pangan, pendapatan dan ketahanan energi serta sektor kesehatan.
KPK sampai tahun 2003-2015 fokus pada 3 sektor tersebut. Tahun lalu KPK mengkaji
tata niaga daging sapi. KPK menemukan dugaan-dugaan penyimpangan. KPK
bekerjasama antara pencegahan dan penindakan. Selain perbaikan sistem, KPK juga
melakukan tindakan ketika ada kasus. Hal serupa juga dilakukan di chapter pendapatan
berkaitan dengan perpajakan dll.
KPK juga melibatkan CSO. Hal ini sangat tepat karena dengan pertimbangan
sumberdaya KPK yang terbatas. Misalnya dalam, konteks NKB, peran CSO adalah
memantau impelementasi NKB di lapangan atau memberikan masukan secara substansial
sehingga KPK bisa bekerja lebih efektif dan efisien.
Tugas KPK Dalam NKB
Tugas KPK merupakan kombinasi antara pencegahan dan penindakan.
Sebenarnya peran KPK dalam NKB lebih banyak memberikan koordinasi dan
supervisi. Jadi tidak hanya dalam bidang penindakan, KPK melakukan
koordinasi, tapi juga dalam pencegahan, dalam rangka perbaikan sistem.
Termasuk dalam NKB ini. Seringkali KPK memberikan saran, menjadi mediator
dan fasilitator serta menjaga koordinasi antar Kementerian.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 12Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Tugas Monitor KPK sesuai pasal 14 diantaranya Melakukan pengkajian terhadap
sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara & pemerintah. Tahun 2010
KPK melakukan kajian di Dirjen Planologi, BPN, Imigrasi, Bea Cukai, dll. Memberi
saran perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi
tersebut berpotensi korupsi kepada semua pimpinan lembaga negara & pemerintah. Dan
melaporkan jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan kepada
Presiden, DPR, & BPK. Salah satu instansi yang dinilai kooperatif yaitu Kementerian
Kehutanan.
Pemetaan Permasalahan dan Komitmen Bersama
Tema 1: Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundagan.
Renaksi Tema 1 diantaranya
a) Harmonisasi kebijakan dalam rangka penyelarasan wilayah usaha sektoral, dengan
kebijakan tata ruang dll.
b) Mendorong proses perizinan terintegrasi. BPK sering menemukan tidak adanya ijin
pinjam pakai bagi perusahaan tambang di Kawasan hutan. Misalnya di Aceh tidak satu
pun perusahaan tambang mempunyai ijin pinjam pakai. Pihak Kehutanan hanya tahu yang
lapor dan berharap dinas kehutanan di daerah melakukan pengawasan. Tapi di daerah,
pengendalian sangat lemah. Sama juga dengan pertambangan.
Akhirnya pengusaha jalan terus. Ditambah lagi dengan ketidakjelasan peta kawasan
hutan.
c) Mendorong instrumen pengendalian dalam pengelolaan SDA. Dengan otonomi daerah
tidak mudah mengendalikan ijin. Ijin-ijin usaha perkebunan oleh Bupati, sangat sedikit
yang dilaporkan ke pusat. Tahun lalu tidak ada satupun Pemda yang melaporkan IUP.
Sangsi sulit diterapkapkan kepada Pemda. Pemda selalu beralasan lokasi tambang yang
jauh dan sumberdaya Pemda yang terbatas.
Masalah di NKB sudah lama tapi tidak ada penyelesaian. Sudah ada TAP MPR
9/2001 tapi dinilai tidak ada implementasi. Untuk menyelesaikan masalah ini
KPK menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi untuk mempercepat
implementasi Renaksi NKB. Intinya KPK berusaha mendorong bagaimana akar
masalah bisa hilang sehingga koruptor makin sulit bersembunyi di balik masalah
yang tidak kunjung selesai.
Alasan pengusaha tidak memiliki ijin pinjam pakai adalah sudah mendapatkan IUP dari Bupati dan pengurusan ijin pinjam pakai butuh waktu lama.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 13Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Data yang dipakai adalah data surveyor. Data tersebut dipakai oleh pemerintah dan
negara, sementara surveyor dibayar oleh perusahaan tambang.
Tema 2: Penyelarasan Teknik dan Prosedur Pengukuhan Kawasan Hutan
Renaksi Tema 2, diantaranya:
a) Mendorong one map yang jadi acuan semua stakeholders sehingga bisa single reference,
single standard.
b) Pengembangan integrasi informasi geospasial dengan memperkuat peran BIG,
memperkuat jaringan data spasial nasional. Sesuai data kajian, masih 16% yang clear dan
clean serta 16% batasan administrasi yang selesai sehingga perlu dipercepat.
c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia, Pembentukan KPH. Data terakhir ada
60.000 km yang belum memiliki tata batas. Tapi dengan usulan perubahan tata ruang,
menjadi 170.000 km lari.
Tema 3: Resolusi Konflik
Renaksi tema 3 diantaranya:
a) Membangun basis data dan informasi konflik agraria. Di sini juga ada peran Komnas
HAM;
b) Membangun konsesus perlunya lembaga penyelesaian konflik agrarian;
c) Memperluas wilayah kelola masyarakat.
Terkait Harmonisasi Kebijakan, tidak ada yang pas antara UU sektoral, UU 4/2009, UU
Pertambangan, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan UU Tata Ruang, karena masih jalan
masing-masing.
Di tema 1 ada peran-peran dari Kemenhut, ESDM, Lingkungan Hidup, Pertanian,
dan PU untuk harmonisasi regulasi baik di internal K/L maupun diantara K/L itu sendiri.
Banyak hal yang perlu dilakukan di renaksi tema 1.
Tema 2, penyelarasan teknik dan prosedur pengukuhan kawasan hutan. Seperti
diketahui ada putusan MK 45 bahwa penunjukkan saja tidak cukup untuk pengukuhan
kawasan hutan. Ada masalah-masalah di dalamnya. Ada yang sudah terlanjur ditunjuk
tapi belum sempat diinventarisasi, baik itu kayu maupun masyarakat di dalamnya. Tata
batas juga masih banyak sekali PR-nya. Terakhir ada putusan MK 35 tentang hutan adat.
Putusan itu setelah NKB ditandatangani. Akibatnya adalah lemahnya legitimasi kawasan
hutan dan konflik yang tidak kunjung habis.
Bisa dikatakan tidak ada pengawasan atas industri tambang.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 14Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Tema 2 terdorong oleh visi PP 44, PP 50 dan PP 47 untuk penguatan Panitia Tata
Batas. Ada di kajian KPK tahun 2010, dimana Bupati sebagai ketua Panitia Tata Batas
tidak mengindahkan saran dari tim sehingga tidak ada solusi. KPK juga mendorong
Pemda, melalui Mendagri untuk mensosialisasikan setiap rencana tata batas dan
membuka ruang partisipasi masyarakat dalam penataan tata batas di wilayahnya. Agar
masyarakat tahu wilayah mana yang akan ditatabatas sehingga konflik bisa diminimalisir
dan diaplikan di APBD.
Tema 3 menunjukkan bahwa peran masyarakat sangat dikedepankan di dalam
NKB.
Tindak Lajut NKB
a) Menyusun Tim dan Kelembagaan Monev Pelaksanaan Renaksi Bersama NKB;
b) Membentuk Satgas Pelaksanaan NKB (gabungan dari perwakilan 12 K/L);
c) Penajaman dan finalisasi renaksi NKB dengan 10 K/L dengan melibatkan Pakar dan
CSO;
d) Pleno dengan 12 K/L (akhir Juli 2013);
e) Pemantauan implementasi renaksi dengan melibatkan Pakar dan CSO. KPK
menggunakan aplikasi F8K dan IMH (Indonesia Memantau Hutan). IMH akan
dilaunching pada 17 Agustus 2013. Diharapkan CSO bisa berperan memberikan masukan
atas data-data spasial, tidak hanya kehutanan tapi juga pertambangan dan perkebunan.
4. Pemaparan materi mengawal reformasi tatakelola hutan dan lahan gambut di
Indonesia oleh Tim UKP4, Josi Khatarina
Sekilas UKP-PPP (UKP4)
Dasar pendirian UKP4 adalah Perpres 54/2009 jo Perpres 10/2012.Tugasnya
antara lain membantu Presiden dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian
pembangunan sehingga mencapai sasaran pembangunan nasional dengan
penyelesaian penuh.
Prioritas tugasnya antara lain meningkatan efektivitas dan percepatan
pelaksanaan reformasi birokrasi dan perbaikan layanan umum, meningkatan
efektivitas penegakan hukum serta perwujudan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan
dan berkeadilan.
Ijin untuk masyarakat sangat kecil dibandingkan ijin untuk usaha. Porsinya tidak sampai 0,5%. Perlu mendorong kepastian hukum yang berkadilan untuk rakyat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 15Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Tugas awal UKP4, antara lain monitoring dan evaluasi prioritas nasional.
Debottlenecking; memastikan apabila ada persoalan-persoalan dalam prioritas
nasional maka ada upaya-upaya untuk melakukan terobosan-terobosan. Penguatan
Lembaga Penegakan Hukum.
Contoh tugas-tugas terkait tugas utama adalah REDD+, TEPA (Penyerapan
Anggaran), Satgas PMH (Pemberantasan Mafia Hukum), sampai tahun 2011, Open
Government Indonesia.
Memonitor dan Mengawal Prioritas Nasional
Dari 11 prioritas nasional Kabinet Indonesia Bersatu 2010-2014 dua
diantaranya yang terkait langsung dengan NKB 12/KL adalah Reformasi Birokrasi
dan Pemerintahan serta Lingkungan Hidup dan Tatakelola Daerah Pasca Bencana.
Tiga prioritas bidangnya adalah politik, hukum dan Keamanan, Ekonomi dan
Kesejahteraan Rakyat.
Mengawal REDD+ dan Tata Kelola Hutan & Lahan Gambut
Karena sampai akhir Juni lalu Ketua Satgas REDD+ adalah Pak Untoro,
maka program-program reformasi tata kelola dan lahan gambut di Indonesia yang
dikawal UKP4 banyak dilakukan dan terkait dengan prioritas di bidang penurunan
emisi atau perubahan iklim secara umum.
Gambaran Umum Persoalan Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut
Perencanaan
a) Belum selesainya penataan ruang;
b) Belum selesainya pengukuhan kawasan hutan;
c) Terdapat beberapa perbedaan dalam pengaturan kriteria kawasan lindung dan
budidaya di dalam kawasan hutan dan APL;
d) Proses perencanaan yang belum transparan, partisipatif dan akuntabel.
Pemanfaatan
a) Perizinan yang belum transparan, efisien dan efektif serta harmonis antar sektor
dan pusat dan daerah;
Fungsi UKP4 antara lain pencegahan dan pemberantasan mafia hukum,
penyempurnaan peraturan dan informasi pertanahan, sumber daya alam dan
tata ruang, penguatan kontribusi Indonesia dalam isu perubahan iklim
global, lingkungan, dan upaya persiapannya.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 16Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
b) Tidak tersedianya sarpras yang memadai termasuk ketiadaan database perizinan
yang terkoneksi antar pusat-daerah, dan antar sektor, sehingga data-data perijinan
tidak terbaharui dengan baik di tingkat pusat. Bahkan di tingkat propinsi pun
data-data perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah tingkat II tidak
diketahui. Di beberapa kasus ditemukan pemerintahan yang ada saat ini tidak
memiliki data perijinan yang diberikan oleh pemerintahan tahap sebelumnya.
c) Akses masyarakat yang relatif tertutup di dalam pengelolaan SDA.
Pengawasan dan penegakan hukum
a) Rumusan delik yang tidak efektif dalam memberikan efek jera;
b) Lemahnya koordinasi antar APH dan kapasitas serta sarpras yang belum
memadai. SDM juga belum memadai dan jauh dari mencukupi untuk memastikan
adanya penegakan hukum yang efektif;
c) Judicial corruption. Ini adalah salah satu alasan presiden mendirikan Satgas
PHM pada tahun 2009.
Berbagai Rencana Aksi
a) Inpres 1/2013 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.
Ada outline untuk memastikan sektor pertambangan memiliki perijinan berbasis
teknologi informasi;
b) Inpres 2/2013 tentang Keamanan dan Ketertiban Dalam Negeri (dalam kaitannya
dengan penyelesaian konflik); salah satu item yang ada di rencana aksi adalah
percepatan pengukuhan kawasan hutan;
c) Inpres 6/2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata
Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini ditindaklanjuti dengan
sebuah rencana aksi yang didalamnya terdapat berbagai rencana aksi yang harus
dilakukan oleh kementerian dan lembaga yang dilaporkan dan dipantau juga oleh
UKP4;
d) NKB 12 K/L tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan. Bisa dikatakan
ada beberapa rencana aksi yang keliatannya overlapping untuk mencapai tujuan
yang berbeda-beda. Tapi perlu dipahami bahwa pengawasan di UKP4 hanya
satu. Mungkin ada beberapa rencana aksi yang terkait beberapa Inpres, rencana
aksinya sama tapi pelaporannya cukup satu dan pemantauannya terintegrasi;
Database perijinan menjadi salah satu yang krusial yang harus ditangani.
Salah satu poin dalam rencana aksi adalah aspek transparansi perijinan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 17Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
e) MOU dan Peraturan Bersama (6 K/L: Kemenhut, KemenLH, Kemenkeu,
Kejaksaan Agung, POLRI, PPATK) Penanganan Perkara Tindak Pidana Terkait
SDA-LH Di Atas Hutan dan Lahan Gambut dengan Pendekatan Multidoor+;
f) MOU antara Satgas REDD+ dengan Pemda Prov Kalteng, Kaltim dan Jambi. Di
Kalteng ada dua kegiatan utama terkait MoU, yaitu penataan perijinan dan
percepatan pengukuhan kawasan hutan. Sementara di Kaltim kegiatannya
terfokus pada penataan perijinan. Untuk di Jambi, selain penataan perijinan ada
juga pemanfaatan data-data one map. Pada dasarnya MoU-MoU ini itu adalah
melaksanakan sebuah kegiatan di tingkat teknis sehingga hasil dari kegiatan ini
bisa menjadi input bagi pembenahan tata kelola di tingkat nasional. Nanti akan
dilihat bagaimana implementasi MoU menyumbang pada beberapa perubahan
peraturan di tingkat nasional.
Kegiatan-kegiatan yang diupayakan untuk menjawab masalah-masalah
dalam tata kelola hutan dan lahan gambut:
a) Reformasi Peraturan Perundang-undangan: Mempersiapkan dan memberi
kerangka hukum bagi reformasi tata kelola hutan dan lahan gambut serta
memberi dasar bagi REDD+. Kegiatan ini sedikit berbeda dengan NKB yang
tujuannya lebih kepada pencegahan korupsi. Kegiatan ini diarahkan bagi
pengurangan emisi melalui penyempurkan tata kelola hutan dan lahan gambut;
b) Gerakan One Map;
c) Percepatan pengukuhan kawasan hutan;
d) Penataan perjinan;
e) Penguatan penegakan hukum.
“Policy Paper” Pengkajian & Perancangan Peraturan Perundang-undangan
Mempersiapkan dan Memberi Kerangka Hukum bagi REDD+
Isi Policy Paper secara umum:
a) Menganalisa kondisi kerangka hukum yang mengatur tata kelola hutan dan lahan
gambut yang ada saat ini.
Bagaimana mengkaji secara sistematis berbagai peraturan perundang-
undangan yang ada terkait hutan dan lahan gambut,
UKP4 bekerjasama dengan kementerian Hukum dan Ham membangun sebuah
policy paper yang isinya adalah prinsip-prinsip, mengkaji dan merancang
peraturan perundang-undangan untuk mempersiapkan dan memberi kerangka
hukum bagi REDD+.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 18Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Mengidentifikasi persoalan-persoalan di dalam peraturan perundang-
undangan tersebut.
Dan pada akhirnya memberikan masukan-masukan tentang peraturan-
peraturan mana yang mungkin perlu direvisi, peraturan mana yang perlu
dicabut, atau peraturan mana yang perlu dibuat. Misalnya secara khusus
perlu dibuat peraturan tentang masyarakat adat.
b) Membangun Konsep hukum yang tepat dalam konteks Indonesia untuk
melakukan pembenahan pengurusan SDH dan lahan gambut
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan REDD+ (lembaga
REDD+, badang REDD+, instrumen pendanaan, mekanisme MAV)
Selain secara substantif memberikan arahan tentang bagaimana
menyempurnakan tata kelola hutan dan lahan gambut, di dalam policy
paper ini juga ada mekanisme kelembagaannya. Berdasarkan diskusi
dengan berbagai K/L dan juga masyarakat sipil yang dilakukan dalam
membangun peraturan perundang-undangan ini maka disepakati bahwa
diperlukan sebuah mekanisme dan kelembagaan untuk mengawal policy
paper ini. Salah satu opsi yang ada yaitu Kementerian Hukum dan Ham
lewat GBHN dari Dirjen Perundang-undangan. Itu diharapkan nantinya
akan mengawal seluruh proses reformasi peraturan perundang-undangan
ini.
c) Memberi dasar yang kuat bagi pelaksanaan mekanisme REDD+.
Pengukuhan Kawasan Hutan; Studi Kasus Barito Selatan
Kalau misalnya di NKB itu dibicarakan rencana aksi di tingkat nasional, sebetulnya rencana
aksi itu juga dibangun berdasarkan kerja dari studi kasus yang kita lakukan di Barito Selatan.
Di Barito Selatan ada sebuah tim percepatan pengukuhan kawasan hutan yang terdiri dari
Kementerian Kehutanan, Direktur Pengukuhan, Dirjen Planologi, Kemendagri (berkaitan dengan
penyelesaian batas wilayah), UKP4, BPN (berkaitan dengan hak pihak ketiga), Pemda (sebagai
penanggungjawab pengukuhan kawasan hutan), dan Akademisi. Setelah penandatanganan MoU, lalu
ada Tim Percepatan Pengukuhan tersebut, ada pertemuan dengan Bupati dan Dinas Kehutanan. Pada
tahap ini ada pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang sudah berjalan.
Tahun sebelumnya sudah ada pembentukan BPKH sebagai salah satu bagian dari Renaksi dan
kebetulan sesuai dengan rencana di Kemenhut untuk membentuk BPKH khusus di Kalimantan
Tengah. Mudah-mudahan bisa membantu secara umum proses pengukuhan kawasan hutan di
Kalimatan Tengah. Saat ini yang sedang berjalan di Barito Selatan adalah pengembangan juklak
resolusi konflik dan bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengukuhan
kawasan hutan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 19Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Pada saat pembahasan mengenai prioritas wilayah mana yang akan ditatabatas, karena
keterbatasan anggaran, maka disepakati di dalam Tim Percepatan Pengukuhan yang kemudian
difollowup di lapangan yaitu penatabatasan ini diarahkan pada penyelamatan hutan yang tersisa dan
saat yang bersamaan memiliki ancaman tinggi. Daerah yang dipilih sesuai dengan data-data yang ada,
termasuk citra resolusi tinggi yang saat ini sudah tersedia.
Pengembangan Juklak Resolusi Konflik & Proses Partisipatif
Pada saat pembahasan percepatan pengukuhan saat itu, P50 sudah berubah dengan P44, dan
banyak hal di dalam P44 sudah sangat membantu agar proses pengukuhan bisa jauh lebih cepat
dibandingkan proses sebelumnya. Salah satu yang masuk adalah patok virtual. Tapi di sisi lain, ada
beberapa hal yang kelihatannya masih perlu ditindaklanjuti, antara lain:
Tim percepatan kemudian menginisiasi sebuah penyusunan Juklak teknis untuk berbagai
pengaturan tersebut sehingga pengukuhan kawasan hutan ini bukan hanya cepat selesai tapi juga tidak
menyisakan konflik-konflik di lapangan. Jadi, tingkat akseptabilitas-nya jadi jauh lebih tinggi. Saat ini
draft tersebut sudah ada di Kemenhut dan akan disinkronkan dengan proses di NKB dimana
diharapkan akan menjadi bagian terintegrasi dari perubahan P44 dan P47.
Penataan Perizinan
Penataan perijinan didasarkan pada MoU dengan tiga daerah, Kaltim, Kalteng dan Jambi.
Inisiatif penataan perijinan bukan hanya dari pemerintah pusat tapi juga pemerintah daerah. Jadi, ada
demand dari pemerintah daerah menyambut berbagai perkembangan pemikiran tentang perijinan yang
sudah dibangun di Satgas REDD+-UKP4. Ketiga provinsi inisiator ini secara sukarela memasukkan
diri ke dalam MoU.
Tiga Kegiatan utama Penataan Perijinan
1) Pengembangan sistem pengelolaan informasi perijinan (SPIP)
Kegiatan ini sudah berjalan di Kalimantan Tengah. Kegiatan turunan
a) Pengumpulan data.
Beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti untuk percepat pengukuhan kawasan hutan
a). Keterlibatan masyarakat adat dan lokal;
b). Bagaimana resolusi konflik di lapangan atas indentifikasi hak-hak yang ada;
c). Peningkatan transparansi proses;
d). mekanisme keberatan apabila dalam proses pengukuhan ada pihak yang tidak setuju
dengan tata batas.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 20Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Selama ini yang dimiliki oleh Pemprov adalah daftar perijinan tanpa ada data-data dukung.
Dengan adanya SPIP ini diharapkan pemprov dan pemerintah pusat memiliki akses terhadap
seluruh data dukung perijinan.
b) Pengembangan infrastruktur SPIP yang terintegrasi (software SPIP)
c) Registrasi izin (Upload dan penomoran data secara digital). Untuk mempermudah akses oleh
policy maker.
d) Verifikasi data oleh pemegang izin
Tahap ini sedang dijajaki dengan Kalimantan Tengah, dan akan dilanjutkan dengan Kaltim
dan Jambi. Data-data yang asalnya adalah dari Pemda, pada satu tahap dirasa perlu untuk
dibuka dan diberikan waktu kepada pemegang ijin untuk melakukan verifikasi, apakah data-
data tersebut mutakhir atau tidak.
e) Penerapan sistem perizinan on-line terintegrasi
f) Publikasi informasi publik perizinan, hanya untuk data yang memang bisa dikonsumsi oleh
publik. Sebagian merupakan data yang diperlukan oleh K/L untuk proses administrasi
perijinan itu sendiri. Yang akan berjalan secara paralel adalah kajian tentang data-data mana
yang harus terbuka pada publik dan mana yang merupakan bagian dari informasi internal
pemerintahan.
2) Uji tuntas
a) Penyediaan dokumen
b) Pelaksanaan audit oleh law firm (Kalimatan Tengah)
c) Penyusunan rekomendasi. Rekomendasi dibangun pada dua tingkat,
Tingkat kegiatan
Dari data yang masuk dilihat kegiatan mana saja yang perlu difollow up.
Rekomendasi di tingkat kegiatan yang saat itu dibangun berdasarkan MoU nanti akan
diberikan kepada pemerintah daerah karena pemerintah daerah adalah pihak yang
memberikan ijin dan nantinya akan punya kewenangan mengenai tindakan-tindakan
tertentu.
Tingkat kebijakan
Di tingkat ini dilihat kebijakan-kebijakan apa saja yang berpengaruh pada kondisi
perijinan yang ada saat ini. Rekomendasi didapatkan dari lawfirm dan akademisi.
3) Implementasi
a) Penertiban;
b) Penyelesaian konflik lahan;
c) Pembenahan kebijakan
Tahap implementasi akan lebih banyak dilakukan oleh badan REDD+. Sedangkan tahap 1 dan
2, di awalnya akan lebih banyak dilakukan oleh UKP4 bersama-sama dengan K/L yang lainnya.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 21Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Lingkup Audit Ijin
Di aspek sosial di sini diupayakan identifkasi kemungkinan adanya overlapping klaim atas
satu bidang lahan. Aspek Revenues saat ini baru berfokus pada pajak saja dan bekerjasama dengan
Dirjen pajak untuk mengidentifikasi kepatuhan membayar pajak dari berbagai perusahaan yang
masuk.
Berdasarkan MoU yang ada serta kapasitas dan sumberdaya yang ada, fokus penataan
perijinan baru pada kebun dan tambang.
Sistem Database yang terintegrasi
Harapannya SPIP ini hanya ada satu saja secara nasional dan nantinya masing-masing daerah
akan bisa mengakses dan memperbaharui datanya melalui microsites. Di masing-masing Pemda
tingkat II dan I akan punya akun khusus untuk mengupload data-data perijinan yang mereka miliki.
Untuk tambang sudah ada peraturan perundang-undangan yang menjamin adanya akses data dari
pemda ke pemerintah pusat, sementara untuk kebun, seperti masukan ke draft terkahir dari program
Permentan 2006/2007, mewajibkan pemda maupun pemegang ijin untuk mengupload data-data
mereka melalui database yang sudah disediakan.
Lingkup informasi dalam SPIP
a). Permohonan Izin dan Pemrosesan
Dokumen permohonan izin dan kelengkapan-nya; I
nformasi proses perizinan yang real time.
b). Penerbitan Izin
Dokumen izin, meliputi antara lain: izin lokasi, AMDAL, izin lingkungan, izin usaha perkebunan,
izin pelepasan kawasan hutan.
c). Pelaporan dan Pengawasan
Dokumen laporan perusahaan;
Dokumen laporan pengawasan
d). Penegakan Hukum
Surat keputusan yang berisi tindakan penegakan hukum kepada pengusaha, meliputi antara lain
surat peringatan, dll.
Penguatan Penegakan Hukum
Pendekatan Multidoor
Alasan menggunakan pendekatan Multidoor:
a) Kejahatan di sektor kehutanan dan sumber daya alam merupakan kejahatan lintas sector;
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 22Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
b) Keterbatasan Peraturan Perundang-undangan yang satu dapat diisi dengan Peraturan perundang-
undangan yang lain;
c) Kejahatan kehutanan hampir selalu dibarengi oleh pencucian uang, suap, gratifikasi dan
penghindaran pajak.
Tujuan dan Manfaat Multidoor
a) Sistem Penegakan Hukum Terpadu
b) Menghindarkan disparitas tuntutan pidana untuk perkara-perkara sejenis
c) Menghindari peluang lolosnya pelaku kejahatan (ijin terbang)
d) Efek Jera
e) Pertanggung jawaban Korporasi apabila terjadi kejahatan kerusakan lingkungan
f) Pemulihan Lingkungan
g) Kerjasama Internasional (asset recovery)
h) Pengembalian Kerugian Negara
Pada dasarnya latar belakang multidoor adalah mendorong Koordinasi dan kerjasama antar
Aparat Penegak Hukum. Aparat Penegak Hukum bisa melihat satu kasus dengan pendekatan multi
rezim hukum. Di sini peran fasilitator dan confiner sangat dibutuhkan.
5. Pemaparan materi perspektif kebijakan atas putusan MK No. 35/PUU-X/2012
tentang uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat hukum adat
oleh Dirjen Planologi Kemenhut, Ir. Bambang Soepijanto, MM
KPK dan UKP4 adalah mitra kementerian kehutanan untuk memperbaiki tata
kelola. Penandatangan NKB 12/KL adalah puncak dari pemahaman KPK tentang
kesulitan kementerian kehutanan untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Dan
pembentukan BPKH yang baru merupakan rekomendasi dari ABK. Semula kita
mengajukan ke Menpan, ditolak. Tapi setelah ada hasil telaah dari lembaga-lembaga
Pendekatan Multidoor adalah Pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan
tindak pidana terkait Sumber Daya Alam-Lingkungan Hidup (SDA-LH) di atas hutan
dan lahan gambut yang mengandalkan berbagai peraturan perundangan antara lain
Kehutanan, Perkebunan, Pertambangan, Penataan ruang, Lingkungan hidup,
Perpajakan, Tindak pidana Korupsi, dan TP Pencucian uang. Diharapkan secara
optimal bisa diupayakan sebuah efek jera apabila ditemukan pelanggaran di atas hutan
maupun lahan gambut.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 23Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
yang ditugaskan oleh kami maka yang sekarang ini ada di Kalteng, di Riau,
Lampung, Aceh dan Kendari, merupakan salah satu renaksi yang kami tindaklanjuti.
Kehutanan berbeda dengan Kementerian Pertanian yang houlding company
karena eksekutor Kehutanan adalah Menteri.
KPK sungguh memahami itu. Oleh karena itu Kementerian kehutanan diberikan
rencana aksi untuk memudahkan itu, antara lain adanya single reference dalam bentuk
peta dasar yang tunggal. Peta dasar hanya dikeluarkan oleh BIG. Dalam implementasi
ini, kemenhut terus menerus dipandu oleh KPK dan UKP4.
Pemohon uji konstitusionalitas UU No. 41/1999 terkait hak masyarakat
hukum adat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan
Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Kasepuhan Cisitu.
Pasal yang diuji meliputi: Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1)
ayat (2), ayat (3), ayat (4); Pasal 67 ayat (1), ayat (2), ayat (3). Sebagian permohonan
dikabulkan, yaitu Pasal 1 angka (6); Pasal 4 ayat (3); Pasal 5 ayat (1) ayat (2), ayat
(3), ayat (4).
Uraian Pasal Yang Diuji
a) Pasal 1 angka 6, berbunyi Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah
masyarakat hukum adat.
b) Pasal 4 ayat (3), berbunyi Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
c) Pasal 5
Aayat (1), berbunyi Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: hutan negara, dan
hutan hak.
Ayat (2) Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa
hutan adat.
Ayat (3) Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya
masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Urusan perijinan di kehutanan tidak sederhana. P 38 menyatakan bahwa ijin bidang dikeluarkan oleh daerah, ditambah dengan AMDAL, rekomendasi Gubernur, ada CNC-nya, dan juga pertimbangan teknis dari perkebunan, baru kemudian ke Kementerian Kehutanan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 24Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Ayat (4) Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada
Pemerintah.
d) Pasal 67
1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
AMAR PUTUSAN YANG DIKABULKAN MK
No. Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Amar Putusan MK1. Kata ”negara” dalam pasal 1 angka 6,
yaitu: “Hutan adat adalah hutan “negara” yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal 1 angka 6 UU No. 41 Tahun 1999 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 1 angka 6 dimaksud menjadi “Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat”.
2. Pasal 4 ayat (3), yaitu: “Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
Pasal 4 ayat (3) dimaknai “penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
3. Pasal 5 ayat (1), yaitu: Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak
Pasal 5 ayat (1), dimaknai “hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”
Pasal 5 ayat (1) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Pasal 5 ayat (2), yaitu: Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat berupa hutan adat.
Pasal 5 ayat (2) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 25Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
5. Pasal 5 ayat (3), yaitu: pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) “dan ayat (2)” dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.
Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3) bertentangan dengan UUD Tahun 1945 ;
Frasa “dan ayat (2)” dalam pasal 5 ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga pasal 5 ayat (3) dimaksud menjadi “Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Pada pasal 5 ayat (3), kata “sepanjang” tidak berani dihilangkan. Yang dilakukan oleh MK adalah
penyempurnaan.
AMAR PUTUSAN YANG DITOLAK MK
No. Pasal Dalam UU No. 41 Tahun 1999 Pertimbangan Hukum MKPasal 67(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat(1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan mengandung substansi yang sama dengan Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan dalam konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”. Oleh karenanya, pertimbangan hukum terhadap Pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan menyangkut konteks frasa “sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya”mutatis mutandis berlaku terhadap dalil permohonan Pasal 67 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kehutanan;
Perspektif Kebijakan Pasca Putusan MK No.. 35/PUU-X/2012
A. Pertimbangan MK atas pengujian Pasal 67 UU 41/1999
Pengujian Pasal 67 yang tidak dikabulkan oleh MK, didasarkan pertimbangan sebagai
berikut:
1. Frasa “dan Hutan Adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”, Frasa
dimaksud sudah tepat dan sejalan dengan Pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (2)
UUD 1945 (vide halaman 176)
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 26Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
2. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak
ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat dikembalikan kepada Pemerintah, dan
status hutan adat pun beralih menjadi hutan negara (vide halaman 182)
B. Langkah-Langkah
1. Membentuk tim sosialisasi putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012.
2. Telah diterbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan No SE.1/Menhut-II/2013 tanggal
16 Juli 2013 kepada Gubernur/Bupati/Walikota Seluruh Indonesia dan Kepala Dinas
Provinsi /Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan yang memuat penjelasan
putusan MK.
3. Mempercepat penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Hukum Adat (inisiatif DPR).
4. Meminta Kemendagri untuk mendorong Pemda menetapkan Perda tentang Penetapan
Wilayah Masyarakat Hukum Adat.
5. Wilayah masyarakat hukum adat yang berdasarkan Perda berada dalam kawasan
hutan, maka sesuai Permenhut No P.44/Menhut-II/2012 dikeluarkan dari kawasan
hutan.
Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat
A. Hasil Inventarisasi Perda
Perda Provinsi
1. Perda Provinsi Maluku No 14 Tahun 2005 dan Perda No 3 Tahun 2008;
2. Perda Provinsi Sumatera Barat No 16 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan
Pemanfaatannya (tidak dilampiri peta);
3. Perda Khusus Provinsi Papua Nomor 23 Tahun 2008 Tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat Dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah
(tidak dilampiri peta);
4. Perda Provinsi Riau No 1 Tahun 2012 Tentang Lembaga Adat Melayu Riau (tidak
dilampiri peta).
Perda Kabupaten
Sepanjang UU yang diperintahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 belum
terbentuk, dalam mengisi kekosongan hukum, maka pengukuhan dan hapusnya
masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah, dapat dibenarkan
(vide halaman 184).
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 27Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
1. Perda Kab. Kampar No 12 Tahun 1999 Tentang Hak Tanah Ulayat (tidak dilampiri
peta);
2. Perda Kab. Lebak No 65 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat
Masyarakat Baduy (tidak dilampiri peta namun terdapat batas-batas wilayah);
3. Perda Kabupaten Maluku Tenggara No 03 Tahun 2009 Tentang Ratshap dan Ohoi
(tidak dilampiri peta);
4. Perda Kabupaten Nunukan No 03 Tahun 2004 Tentang Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat Kabupaten Nunukan (tidak dilampiri peta).
Ini adalah masukan dalam rangka penyusunan Perda karena nanti kementerian
kehutanan akan merespon Perda-Perda yang memang merupakan penetapan wilayah
masyarakat hukum adat. Jadi, ada tanggungjawab. Contoh pembuktian untuk ditetapkan
sebagai wilayah hukum adat: makam menggunakan batu berwarna hitam, ada tulisan
meninggal tahun 1881. Pemerintah daerah harus punya tanggungjawab bagaimana
menetapkan itu karena mereka harus mencari pembuktian baik itu saksi hidup ataupuan
tanda-tanda yang masih ada. Atau juga kebiasaan yang terpelihara baik. Bukti-bukti itu
akan menjadi ruh dari perda.
6. Pemaparan materi ralat kebijakan agraria kehutanan oleh MK: apresiasi dan
konsekuensinya oleh Direktur Eksekutif SAINS, Noer Fauzi Rachman
Adat merupakan retorika legitimasi bagi hampir semua pengguna praktek atau
hak yang dituntut. Adat bukan suatu bagian dari peristiwa masa lampau yang masih
Putusan MK bagi Kemenhut tidak ada masalah. Semua bisa dilaksanakan dengan
baik sepanjang sudah ada Perda yang menetapkan itu atau sekarang segera
menetapkan perda atas wilayah masyarakat hukum adat. Jadi, tidak ada masalah kita
akan bisa bekerja secara cepat sepanjang itu menyangkut tindak lanjut dari putusan
MK.
B. Syarat-syarat pengakuan masyarakat hukum adat (Kumulatif)
Syarat-syarat berdasarkan penjelasan Pasal 67 UU 41 Tahun 1999:
1. Masyarakat dalam bentuk paguyuban,
2. Ada kelembagaan adat,
3. Ada wilayah hukum adat yang jelas,
4. Ada pranata adat, khususnya peradilan adat,
5. Mengadakan pemungutan hasil hutan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 28Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
bersisa pada masa sekarang. Adat adalah suatu cara dimana kelompok masyarakat yang
berada dalam situasi konflik untuk melegitimasi klaimnya. Konflik yang dimaksud adalah
konflik yang berkenaan dengan, pertama-tama dimasukkannya hutan adat dalam kawasan
hutan negara, tapi lebih dari itu, setelah dimasukkan dalam kategori hutan negara,
kementerian kehutanan dalam hal ini Menteri mengalokasikan, memberikan ijin hak dan
pengelolaan hutan kepada industri di atas tanah dan wilayah yang diklaim oleh
masyarakat adat itu. Jadi, situasinya konflik. Kalau masyarakat adat itu menyingkir, tidak
masalah. Masalah akan timbul jika masyarakat adat menolak untuk menyingkir dan
mempertanyakan legitimasi dari pemberian lisensi itu dan bekerjanya konsesi, baik itu
taman nasional, hutan tanaman industri, hutan produksi, atau sekarang adalah konsesi
restorasi ekosistem.
Pada situasi konflik seperti itu, dan memang karena latar belakang demikianlah,
AMAN dengan dua komunitas anggotanya mengajukan constitutional review ke MK.
Yang dilaporkan oleh masyarakat adat di dalam MK itu adalah peristiwa-peristiwa
kekerasan, bahkan masyarakat dari Manggarai melaporkan kematian sejumlah orang. MK
diminta untuk meninjau konstitusionalitas kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan
hutan adat.
Garisbawah terhadap keputusan MK
Dikabulkannya klaim masyarakat adat itu didasarkan pada pasal-pasal tertentu,
diantaranya adalah pasal 18b. Uraian tentang pasal 18b dinyatakan bahwa ada hal yang
fundamental. Berikut kutipan pasal 18b, “hal yang penting dan fundamental adalah
masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai
penyandang hak yang dengan demikian tentu dapat pula dibebani kewajiban. Dengan
demikian masyarakat hukum adat adalah subyek hukum. Sebagai subyek hukum di dalam
suatu masyarakat di dalam negara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapatkan
perhatian sebagaimana subyek hukum yang lain.”
Masyarakat adat adalah penyandang hak dan subyek hukum atas tanah wilayah
adatnya yang harus diperlakukan sama dengan subyek hukum yang lain yakni dalam
hal ini negara dan pihak ketiga seperti pemegang lisensi-lisensi yang diberikan oleh
Kementerian Kehutanan itu.
Latar belakang situasinya adalah konflik. Konfliknya bukan sekedar pertentangan klaim tapi sudah melibatkan bagaimana kelompok masyarakat tersebut berhadapan secara kekerasan dengan aparatus keamanan maupun dengan pemegang konsesi itu sendiri.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 29Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Kebijakan sebelumnnya yang berkaitan dengan hutan adat dianggap keliru secara
konstitusional harus diralat, karena ini ditemukan di dalam semangat putusan MK, seperti
yang diungkapkan oleh hakim MK itu bahwa, jika dikaitkan dengan pasal 33 ayat 3
UUD45, yang menjadi tugas negara adalah bagaimaa pengusahaan sumberdaya alam
yang di bumi, air ….secara adil dan merata.”, hal itu tidak dapat dicapai dengan
menegakkan hukum semata karena hukum yang berkenaan dengan sumberdaya alam
mengandung cacat yang jika ditegakkan justru akan menimbulkan ketidakadilan sosial.
Penegakan hukum sumberdaya alam yang tidak adil akan mengancam eksistensi
masyarakat hukum adat yang sangat rentan penggusuran oleh mereka yang
mengatasnamakan atau izin dari negara.” Ini adalah kalimat dari salah satu hakim MK,
Ahmad Shodiqin Jadi jelas sekali definisi bahwa pasal yang diluruskan oleh MK itu
adalah hukum yang menciptakan ketidakadilan itu atau yang dianggap pak Ahmad
Sodiqin sebagai cacat konstitusional.
Sekarang bagaimana peristiwanya apabila situasi kenyataannya kawasan atau
tanah wilayah adat ada di dalam kawasan konsesi suatu persusahaan tertentu, kawasan
konsesi taman nasional?
Hal-hal yang diuraikan pak Bambang sangat indah apabila situasinya bukan di
dalam konflik agraria. Tetapi akan tidak mudah dan menjadi ada masalah ketika wilayah
adatnya ada di dalam kawasan konsesi yang masih berjalan. Kalau saja diserahkan
Kementerian Kehutanan untuk melakukan indentifikasi, ada konflik-konflik interest,
yakni tidak mungkin wilayah adat yang diidentifikasi itu ditunjukkan ada di dalam
klausul konsesi. Ini potensialnya besar menjadi konflik interest. Oleh karena itu, ini
adalah sesuatu yang perlu penanganan khusus. Kalau pak Bambang sendiri sebagai ketua
tim yang menyusun daftar isian masalah terhadap RUU PPMA (Pengakuan dan
Perlindungan atas Masyarakat Hukum Adat) yang diajukan oleh DPR secara inisiatif,
maka soal ini harusnya diurus secara sungguh-sungguh. Uraian pak Bambang
menunjukkan hal itu belum mendapat perhatian.
Lisensi-lisensi yang berkenaan dengan wilayah adat sangat besar. Hampir
wilayah-wilayah anggota komunitas masyarakat adat di dalam AMAN itu dalam situasi
konflik; pertambangan, kehutanan, konservasi. Yang ini masalahnya adalah bagaimana
wilayah adat itu telah terfragmentasi dan untuk mengembalikannya ke dalam situasi yang
utuh, memerlukan penyelesaian konflik dengan pemegang konsesi-konsesi itu. Konflik
tersebut bukan sesuatu yang terjadinya satu kali dua kali tapi sudah kronis dan meluas.
Sifat kronis dan meluas ini sudah berlangsung bertahun-tahun, bukan hanya konflik
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan pemegang lisensi dan pemerintah yang
memberikan lisensi, akan tetapi meluas hingga, misalnya konflik antara masyarakat
hukum adat dengan pekerja perusahaan. Konflik-konflik ini sebaiknya menjadi masalah
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 30Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
kebijakan yang dibicarakan di dalam penyelesaian terhadap putusan-putusan mengenai
pemberian lisensi yang ada di dalam kawasan hukum adat.
Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, tetapi yang paling penting adalah
bahwa ralat ini berkenaan dengan putusan yang telah diberikan oleh Menteri Kehutanan
terhadap satu wilayah hutan negara yang di dalamnya terdapat wilayah adat. Ralat ini
apakah akan berujung pada ralat terhadap kawasan-kawasan yang konsesinya telah
diberikan itu? Apakah hendak dikeluarkan, wilayahnya itu? Permen Agraria 5/99
menyatakan wilayah hukum adat itu tidak bisa ditetapkan pada kawasan yang telah
diberikan hak oleh pejabat publik di atasnya.
Tantangannya saat ini adalah mencari cara yang manjur agar wilayah adat bisa
keluar dari hutan negara dan menjadi hutan hak. Menunggu Perda, seperti yang
ditindaklanjuti oleh Kementerian Kehutanan, bukanlah sesuatu yang bisa ditunggu oleh
AMAN. AMAN, begitu keluar keputusan MK, Abdon Nababan, Sekjen AMAN,
menyampaikan ke Presiden untuk minta maaf karena sebelumnya keputusan-keputusan
Kementerian Kehutanan diberikan lisensi pada kawasan wilayah adat, anggota-anggota
AMAN. Kemudian para pejuang-pejuang adat yang bertarung di dalam konflik itu,
sebagian dikriminalisasi. Karena masih ada yang dipenjara, mereka diminta untuk
diamnesti. Karena menang sebagian, AMAN merayakan. Salah satu perayaannya adalah
apa yang disebut sebagai Plangisasi. Plangisasi adalah gerakan dimana masyarakat
hukum adat memberikan tanda mengenai wilayah adat mereka. Masalahnya, wilayah itu
masih dalam wilayah konsesi. Sementara Menteri Kehutanan mengatakan bahwa
kementeriannya berposisi menunggu.
Sebaliknya Pemda kabupaten dan kota harus aktif mengajukan Perda karena yang
mengetahui kawasan hutan adat adalah pemerintah daerah. Sekjen Kementerian
Kehutanan mengatakan perlu mendorong pemerintah di berbagai daerah untuk
mempercepat penyusunan perda. Dia sangat mengandalkan Perda. Pada perspektif
konflik, cara yang mengandalkan Perda agak sulit bekerja karena sebagian dari yang
memotivasi AMAN melakukan tuntutan ke MK itu adalah perbuatan hukum yang
dilakukan dari Menteri Kehutanan dalam memberikan izin ataupun hak atas wilayah yang
didalamnya wilayah itu ada kawasan atau wilayah adat. Pejabat publik telah berbuat
sesuatu pada masa lampau yang pada situasi sekarang mengakibatkan sebagian besar atau
kecil atau seluruhnya dari wilayah adat itu masuk dalam kawasan konsesi. Lalu sekarang
dibiarkan Pemda untuk melakukan identifikasi. Pemda mungkin akan melakukan
Jika Permen 5/1999 diterapkan di dalam urusan ini, wilayah adat tidak bisa
diterapkan. Pemda yang mengikuti peraturan penyelesaian masalah ulayat oleh
Permen 5/1999 ini tidak akan memberikan pemulihan secara sepenuhnya terhadap
wilayah adat. Dia hanya bisa dipergunakan untuk wilayah sisa saja, yaitu yang
tidak dikenakan kawasan konsesi.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 31Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
identifikasi. Kalau pakai pedoman Permen 5/1999, Perda akan ambil wilayah sisanya
saja. Sedangkan kalau pakai pedoman yang lain maka dia akan masuk ke dalam kawasan
konsesi. Ujiannya DKN di sini, karena ini akan menjadi peristiwa yang sifatnya
pertarungan.
Karena ini menjadi masalah nasional, presiden mengungkapkan I am personally
committed to initiating a process that registers and recognizes the collective ownership of
adat territories in Indonesia. Seharusnya presiden mengungkapkan hal itu bukan sebagai
personal, melainkan sebagai pejabat publik karena presiden punya otoritas untuk
membuat Perpu, karena jelas dalam putusan MK yang dibutuhkan adalah Undang-
undang.
Situasi konflik ini berlangsung terus di lapangan dan memerlukan penyelesaian
yang luar biasa. Belum bisa ada analisis yang firm tentang bagaimana kementerian
kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan BIG bekerja
untuk membuat satu kesepahaman bersama apakah dalam bentuk surat putusan bersama
untuk kepastian mengenai wilayah adat ini.
Dari pengalaman masa lampau, sinergi kerja ataupun harmonisasi kerja diantara
badan-badan ini adalah peristiwa langka. Badan Pertanahan Nasional takut kalau
melakukan tindakan menyelesaikan, apa yang diistilahkan “hak pihak ketiga dalam
kawasan hutan”. Bagi mereka haram masuk ke dalam urusan memastikan hak masyarakat
bila itu ada di dalam kawasan hutan negara. Mereka akan menjadi objek kriminalisasi
juga. Dan bukan sedikit pejabat-pejabat dari BPN yang dikriminalisasi karena
memberikan satu sertifikat di atas kawasan hutan negara.
Problematik yang ada sekarang sebenarnya mengacu pada suatu prinsip apakah
pejabat publik atau pemegang kekuasaan negara itu punya kesediaan untuk mengakui
eksistensi masyarakat hukum adat yang otonomi dan pada satu pihak itu juga memberikan
kemungkinan bagi mereka untuk melanjutkan hidup berkenaan dengan penguasaan tanah
dan sumberdaya alam yang berada diatasnya, yang itu juga vital bagi kelestarian fisik dan
non-fisik masyarakat tersebut. Ini bukan hanya perjuangan keadilan sosial, ini perjuangan
kewarganegaraan yang diusir. Prinsip dasar penguasaan negara atas wilayah hutan negara
adalah kriminalisasikanlah masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan hutan
yang mau dikuasai oleh negara. Prinsip itu sudah berlaku sejak jaman kolonial. Menurut
Alm. Edhar Lauden, yang juga anggota Dewan Kehutanan Nasional, itu adalah hukum
Dan ketika Undang-undang tidak bisa dijalankan, ada Perpu yang dapat dilakukan
dengan inisiatif dari presiden.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 32Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
kolonial di alam Indonesia merdeka yang diteruskan dengan UU 5/67 dan masih
dilanjutkan dengan UU 41.
Ralat seharusnya dilakukan tidak hanya pada tingkat kalimat, seperti yang telah
MK nyatakan, tetapi pada prakteknya. Ini adalah hubungan-hubungan sosial. Pendekatan
hubungan sosial berbeda dengan pendekatan tekstual. Pendekatan tekstual bisa dilihat
dalam teksnya, berubah. Teks berubah belum tentu praktek berubah. Seperti yang
diketahui putusan MK terhadap cara penunjukkan kawasan hutan negara, yang tidak lagi
dianggap inkonstitusional, tapi harus melalui proses sampai dengan pengukuhan, itu
berakhir tidak melakukan koreksi terhadap penguasaan hutan negara yang sebelumnya.
Persoal ini seperti gong yang membuka pertarungan. Pertarungan dalam kebijakan level
yang paling tinggi, yakni perundang-undangan, sampai pertarungan di lapangan.
Pertarungannya berlapis-lapis dan membuka pertarungan di berbagai arena, yang
memungkinkan terjadinya berbagai bahaya. Semua pihak harus memastikan hal ini tidak
menjadi konflik dimana masyarakat-masyarakat yang lemah semakin tersingkir. Dengan
memberikan wilayah adat kepada masyarakat adat bukan berarti membuat masyarakat
marjinal di dalam wilayah itu lebih baik. Berbagai penelitian berkenaan dengan
pembentukan kontrol wilayah adat oleh masyarakat hukum adat, menyatakan bahwa
kaum perempuannya menjadi kehilangan akses pada wilayah itu, kaum miskinnya tidak
berhasil mendapatkan aset lagi. Karena biar bagaimana pun, negara-bangsa itu memiliki
norma-norma perlindungan terhadap kaum yang lemah. Dan begitu adat dikembalikan
pada situasi feodal misalnya, masyarakat elit feodalnya dapat menggunakannya lebih
dahsyat daripada kalau tidak ada kontrol negara.
Pihak-pihak seperti kementerian Kehutanan, BPN, Kemendagri, dan BIG perlu
bekerja dan mematangkan bagaimana menemukan formula baru di dalam komunikasi-
komunikasi. Antar KPK dan mereka, satu per satu, belum ditemukan satu terobosan yang
membuat putusan MK dapat menjadi riil. Prosesnya masih masing-masing
mengkoordinasi, masing-masing membuat suatu aturan, aturan bersama, yang nantinya
diketahui antara rencana, antara proses internal di dalam internal kebijakan dengan
implementasi, dan hasilnya masih berjalan.
7. Catatan kritis pemaparan oleh fasilitator, Usep Setiawan
Untuk Dian Patria (KPK)
a) Bagaimana KPK melakukan pengawasan dan monitoring dan kontrol terhadap 12
kementerian dan lembaga setelah renaksi tuntas disusun? Termasuk apa sanksi
bagi menteri dan kementerian yang bandel?
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 33Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
b) Bagaimana formulasi kongkrit pelibatan CSO/masyarakat sipil dalam
pengawalan da pengimplementasian NKB?
c) Apa harapan KPK terhadap DKN terkait pengawalan NKB?
Untuk Josi Khatrina (UKP4)
a) Bagaimana UKP4 memastikan 12 Kementerian dan Lembaga menjalankan
renaksinya secara efektif? Fungsi UKP4 adalah memberikan pengawasan dan
pengendalian, bagaimana posisi spesifik UKP4 terhadap implementasi NKB 12
K/L?
b) Posisi UKP4 sifatnya Ad Hoc dan akan berakhir masa pemerintahan ini di tahun
2014. Setelah 2014 UKP4 tidak jelas lagi baik secara eksistensi lembaga dan
programnya. Bagaimana mengatasi transisi eksistensi lembaga UKP4 dan
program-programnya?
c) Apa harapan UKP4 terhadap DKN berkaitan dengan NKB 12 K/L?
Untuk Bambang Soepijanto (Kemenhut)
a) Bagaimana Kemenhut berkoordinasi dengan Kemendagri dalam upaya
mendorong Pemda? Koordinasi dengan Kemendagri sangat penting agar
keputusan MK bisa menjadi satu gerakan nasional antara kementerian kehutanan
dan kemendagri khususnya supaya Pemda mengetahui, memahami dan memang
terdorong untuk melakukan percepatan penetapan wilayah-wilayah adat atau
hutan-hutan rakyat, atau pengakuan terhadap eksistensi satu komunitas
masyarakat adat tertentu di wilayahnya.
b) Bagaimana Kemenhut berkomunikasi dengan masyarakat adat dan komunitas-
komunitas lokal dalam implementasi atau tindak lanjut dari keputusan MK?
Selain Pemda dan Kemendagri yang menaungi para Pemda itu, putusan MK ini
akan secara langsung berpengaruh terhadap eksistensi masyarakat adat dan
komunitas lokal yang bersentuhan dengan kawasan hutan. Di Jawa maupun di
luar Jawa.
c) Apa harapan Kemenhut atas DKN untuk berperan dalam mengawal tindak lanjut
putusan MK?
Untuk Noer Fauzy Rachman (SAINS)
Nur Fauzi diharapkan bisa menanggapi respon para narasumber, serta
memberikan penajaman-penajaman yang nantinya bisa mengarahkan presidium DKN
untuk membuat sesuatu yang kongkrit, dari NKB maupun putusan MK.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 34Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Respon Narasumber
a). Dian Patria (KPK)
Fungsi kontrol yang selama ini KPK lakukan dalam konteks NKB adalah
saran perbaikan pada Kementerian/Lembaga dan pemantauan atas implementasi saran
perbaikan. Ada juga fungsi pencegahan terhadap pelaporan LHKPN, pelanggaran
negara dan pelaporan gratifikasi. Khusus terkait NKB, KPK bersama-sama UKP4
menggunakan tools aplikasi webbased F8K (Formulir 8 kolom).
Kementerian/Lembaga setiap 3 bulan melaporkan progressnya. Ada kesepakatan
dengan masing-masing K/L tentang target-target yang akan dilakukan 3 tahun
kedepan. Itu masuk dalam webbased dan tiap 3 bulan melaporkan bukti
pendukungnya, misalnya peraturan yang baru atau dokumen yang lain. Kemudian tim
Monev KPK melakukan pemantauan di lapangan.
Persoalannya, SDM KPK sangat terbatas. Litbang KPK yang mengurus NKB
hanya dua orang. Oleh karena itu, dibutuhkan pelibatan-pelibatan CSO, pakar dan
NGO. Misalnya dalam melakukan verifikasi dokumen-dokumen yang disampaikan
pada KPK, kelengkapannya, substansinya, keterlibatan CSO, pakar, dan NGO sangat
membantu KPK melihat apakah peraturan-peraturan yang disampaikan ke KPK
menjawab saran perbaikan. Menjawab Renaksi. Karena bisa jadi, renaksi kita dijawab
tapi ada jebakan-jebakan di dalamnya yang luput. DKN adalah salah satu CSO yang
bisa diajak bekerjasama karena DKN memiliki 5 kamar dan punya 5 perspektif.
KPK dalam pemantauannya menggunakan mekanisme berbasis web dan ada
pelibatan pakar. KPK dibantu 10 pakar, termasuk Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo dan
Noer Fauzi Rachman, PhD. Keterlibatan pakar bertujuan untuk memastikan KPK
tidak melenceng. KPK adalah lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi,
bukan mengurusi kehutanan. Jadi, KPK berharap sisi governance-nya di sektor
kehutanan dibantu oleh pakar.
Ada dua kebutuhan KPK baik untuk keluar maupun untuk kepentingan ke
dalam. Untuk ke dalam, informasi diolah jika memang ternyata K/L-K/L-nya ada
yang bandel. Informasi yang didapatkan mungkin bisa ditangani oleh bagian
penindakan KPK.
Peran DKN, DKN memiliki 7 region dengan 5 kamar. Saat ini 12 K/L juga
sedang menyepakati lokus-lokus daripada Renaksi NKB di daerah. Lokus-lokus itu
Selain F8K, KPK juga melaunching IMH (Indonesia Memantau Hutan). Sistem
itu akan dibuka ke publik dan media sehingga CSO atau NGO bisa memberikan
masukan atau informasi bahwa peta kawasan hutan atau ijin suatu kawasan hutan
tertentu sedang bermasalah dsb.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 35Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
akan dibagi disepakati dalam prioritas-prioritas untuk dikerjakan bertahap secara
bersama-sama. Ini sudah dimulai oleh teman-teman UKP4 yang sudah memiliki
lokasi implementasi karena mungkin prasyarat-prasyarat di sana sudah lebih lengkap.
Itu bisa menjadi prioritas lokasi untuk implementasi NKB. Atau mungkin ada tempat-
tempat lain, tentu saja dengan melihat kekuatan dan sumberdaya yang ada di KPK.
b). Josi Khatarina (UKP4)
UKP4 dalam hal ini pemantau program, sudah memiliki sebuah sistem
establish karena selama ini yang dipantu UKP4 bukan hanya NKB tapi juga berbagai
prioritas nasional. Sudah banyak INPRES yang ada selama ini dengan cara yang
terukur dimana Kementerian dan Lembaga itu semuanya menyampaikan laporan
berdasarkan format 8 kolom, setiap 3 bulan dan menyampaikan dokumen-dokumen
pendukung melalui sistem wholecase. Setelah itu baru diberi catatan. Mekanisme
pelaporan UKP4 langsung ke presiden. Raport Merah adalah mekanisme monev yang
ada di UKP4 dan sudah establish.
UKP4 hanya ada pada masa pemerintahan saat ini. UKP4 bukan
penanggungjawab program tetapi lebih kepada pengawasan. Implementator adalah
masing-masing K/L. Fungsi pengawasannya sendiri saat ini sedang dalam masa
transisi ke Bappenas, sesuai dengan INPRES 1/2013 tentang Pemantauan yang
dilakukan oleh Bappenas, format 8 kolom ini yang digunakan oleh Bappenas,
sehingga bisa langsung dimanfaatkan di kemudian hari. Tugas dan Fungsi
pengawasan akan dilakukan oleh Bappenas setelah tahun 2014. Sementara itu
berbagai kegiatan, misalnya percepatan pengukuhan kawasan hutan, yang menjadi
penanggungjawab utama di tingkat nasional adalah Kemenhut. Ini hanyalah
komitmen untuk saling sama-sama belajar aspek-aspek mana dalam proses
pengukuhan kawasan hutan yang perlu untuk diimprove. NKB merupakan exit
strategy bagi UKP4 karena masa hidup NKB lebih panjang dibandingkan UKP4.
Berbagai program di UKP4 akan diupayakan masuk ke dalam NKB. Sejauh ini
sebagian sudah masuk ke dalam NKB.
c). Bambang Soepijanto (Dirjen Planologi Kemenhut)
Dalam upaya mendorong Pemda, Kemenhut melakukan pertemuan-
pertemuan dengan Pemda. Kemenhut sudah 3 kali meeting dengan Dirjen yang
DKN diharapkan bisa terlibat dalam proses perencanaan, dalam proses
pelaksanaan maupun proses monev. Diharapkan dari forum DKN bisa
didapatkan input untuk pelaksanaan NKB.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 36Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
membidangi untuk membicarakan langkah-langkah kedepan. Persoalan kesepakatan
pengukuhan dilakukan secara sistemik. Karena di Kehutanan hampir seluruhnya
concruent authority. Ketika tata batas diserahkan kepada pemerintah daerah 5 tahun
hanya bisa 7000. Ketika sudah ditarik ke sini, setiap tahun 3000. Akhir tahun 2014
akan diselesaikan 63.000. Tahun ini akan diselesaikan 19.000 km lari dan tahun
depan 20.000 km lari. Tapi yang namanya tata batas tidak akan pernah selesai, karena
selalu ada perubahan karena dinamika tata ruang 5 tahunan, parsial, permohonan
pelepasan, dan permohonan pinjam pakai.
Kehutanan unik karena istilahnya macam-macam; pengelolaan, pelepasan,
pemanfaatan, penggunaan. Oleh karena itu Kemenhut bersama Pemda menyepakati
bahwa sekarang de Jure menurut PP 38, yang mengukur adalah tim Kemenhut tapi
yang memegang jabatan Bupati. Ngga bakal selesai kalau Kementerian dalam negeri
tidak bisa menyelesaikan, membantu ada edaran pada Bupati-Walikota untuk
menyelesaikan itu. Kalau Bupati rapat dan tidak datang, berita acaranya batal. Oleh
karena itu perlu ada penyederhanaan yaitu Berita acara bisa dikuasakan Butapi
kepada siapa yang menghadiri. Jika tidak begitu, penentuan tata batas tidak akan
selesai. Jadi yang mengukur adalah pihak Kemenhut, biaya juga dari Kemenhut, tata
batasnya oleh Bupati dengan timnya. Oleh karena itu Kemenhut sudah berkoordinasi
sebelum putusan MK tentang masyarakat hukum adat. Sekarang lebih intens pada
tataran menteri dalam upaya mendorong lahirnya Perda. Di tataran eselon 1 dan 2
sudah jalan.
Kemenhut adalah pemerintah yang punya policy, tidak hanya policy
statement tapi juga policy decision. DKN diharapkan bisa memberikan masukan
dalam rangka reformulasi policy.
Putusan MK adalah policy decision maka dalam ekonomi politik kebijakan
publik, state harus kuat tapi tidak dominan. Yang dilakukan adalah rekonstruksi
policy, bukan dekonstruksi. Tidak perlu juga konstruksi karena policy sudah ada,
maka direkonstruksi policy itu mengacu pada putusan MK. Kita bicaranya rule of the
game. Yang disampaikan oleh pak Noer Fauzy di atas tadi ada 3 hal persoalan yaitu
sosiologi hukum, sosiologi konflik, atau masalah reformasi kebijakan. Seharusnya
tidak demikian. Begitu ada policy decision yang baru maka Kemenhut sebagai
turunan harus melakukan rekonstruksi kebijakan terkait adat. Kalau dicampur dengan
Berkaitan dengan sosialisasi putusan MK, Pemerintah telah membentuk tim untuk
melakukan sosialisasi dengan masyarakat adat dan lokal tentang substansi dan
langkah-langkah yang akan ditempuh Pemerintah. Proses Sosialisasi ini tidak
sederhana karena tim sosialisasi harus paham betul akan content dan situasi yang
dihadapi.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 37Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
masalah klaim kawasan dan konflik, urusannya jadi berbeda. Tidak semua disebut
konflik. Ketika belum jelas persoalan hak, sebutannya adalah klaim kawasan. Situasi
dimana satu kelompok merasa punya hak, berhadapan dengan administrasi bukan
hak, itu disebut dengan konflik. Tapi ketika hanya merasa memiliki kawasan hutan,
itu disebut dengan klaim kawasan. Klaim kawasan bicara sosisologi hukum, konflik
bicara resolusi konflik. Klaim dan konflik adalah dua hal yang berbeda.
Putusan MK, langkahnya adalah rekonstruksi kebijakan untuk implementasi.
Tidak perlu lagi bicara latar belakang yang ruwet karena sudah putusan MK, sehingga
harus dilakukan oleh Pemerintah. Bahwa ada sejarah yang buruk, iya. Justru di situlah
puncaknya adalah menguji konstitusional di MK. Bahwa ada hal-hal yang perlu
disosialisasikan, benar. Tapi yang dilakukan pemerintah dalam welfare state ini
adalah merekonstruksi kebijakan yang ada. Tidak ada lain. Tidak akan ngawur-
ngawuran. Ini ilmiah. Kalau ada masalah diselesaikan dengan putusan MK. Kalau
Perdanya memang menyatakan bahwa konsesi itu wilayah masyarakat adat, maka
harus dilakukan revisi atas area bukan ijin. Akan tetapi hal itu harus diuji terlebih
dahulu. Jika tidak demikian, negara ini akan jadi bukan negara hukum. Di sini state
harus kuat tapi tidak dominan. Jika state tidak kuat maka yang terdorong adalah
sosialisme modern. Itu tidak boleh ada di negeri ini. Negara harus berpikir
kesejahteraan tapi dalam koridor negara hukum dan dalam bingkai NKRI. Jika mau
baik di depan publik maka harus benar di depan hukum. Kalau tidak benar di depan
hukum maka tidak perlu baik di depan publik.
d). Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SAINS)
DKN adalah satu channel bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat,
pengusaha, pemerintah, akademisi dan pemerhati/LSM agar masuk menjadi bagian
dalam proses penyusunan kebijakan. Putusan MK ini sudah direspon dan akan terus
direspon melalui proses sosial, diantaranya plangisasi yang dilakukan oleh AMAN
dan rasa bahagia para kesultanan karena dengan adanya putusan MK ini mereka bisa
melakukan klaim atas tanah-tanah mereka. Sejumlah Pemda-pun bekerja keras dan
cepat untuk menetapkan wilayah-wilayah masyarakat hukum adat. Kesemua itu perlu
masuk ke dalam proses kebijakan Kementerian Kehutanan.
Jika Perda menetapkan suatu kawasan sebagai wilayah hukum adat maka itu adalah
hak masyarakat adat, dan yang berada di dalam wilayah hukum adat adalah hutan
adat. Hutan adat adalah bukan hutan negara sebagaimana putusan MK kendati UU
41 belum dilakukan revisi tapi berlaku sejak diundangkan pada sidang paripurna.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 38Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Contoh-contoh respon tersebut diantaranya intensifikasi konflik antara
masyarakat adat dengan pemegang konsesi, intensifikasi pembuatan perda kabupaten,
intensifikasi hidupnya kembali pembentukan masyarakat hukum adat dalam bentuk
kerajaan/kesultanan serta klaim wilayah adatnya, dan terjadi post-mobilitasi. Respon-
respon tersebut harus masuk ke dalam proses kebijakan. Tanpa perlu khawatir dengan
koridor NKRI, kelompok-kelompok ini sebelumya secara sosiologis dianggap sebagai
bukan bagian dari yang dilindungi ketika keputusan-keputusan konsesi diberikan, dan
terjadi kekerasan-kekerasan terhadap mereka atau kriminalisasi. Mereka yang telah
dikriminalisasi di masa lampau mengalami rasa luka yang besar. Kini mereka
mengambil sikap untuk protes atau sebagian lagi menghindar dan menjadi perambah
lahan.
DKN sebaiknya punya pemetaan respon-respon itu di masing-masing region
kemudian pemetaan itu masuk ke kebijakan nasional. Posisinya sudah bisa diketahui
dimana ujungnya adalah keluarnya hutan adat dari kawasan hutan negara, tinggal
bagaimana itu bisa berlangsung di dalam suatu mekanisme yang secara pegangan
belum ada. Karena kedekatannya dengan problematik tersebut Kemenhut perlu
membuat mekanisme bagaimana putusan MK dijalankan, kemudian bekerjasama
dengan BPN, BIG, dan Pemda dan Kemendagri. DKN bisa bekerja membuat suatu
proses bagaimana fakta sosiologis bisa naik ke dalam proses-proses kebijakan.
Konflik-konflik yang ada di masyarakat membutuhkan mekanisme penyelesaian
konflik. Klaim-klaim adat atas wilayah konsesi banyak terjadi, mulai dari yang
proyek raksasa hingga ke skala unit. Apa yang dikerjakan oleh KPK dan NKB dapat
memfasilitasi proses koordinasi di antara ke-4 kelembagaan itu. Kami masih akan
terus bekerja bagaimana keempat lembaga nasional ini bisa bekerja menjamin bahwa
terdapat suatu mekanisme yang mewadahi supaya putusan MK punya jalur dan
menjadi implementasi yang nyata dan berefek nyata pada status dari penguasaan
tanah masyarakat-masyarakat adat.
8. Diskusi dan pendalaman materi
a). Marthen Kayoi (Kamar Pemerintah)
Perlu ada definisi jelas tentang hutan negara dan hutan adat di Papua.
Mengingat ada 200 lebih suku yang tersebut merata di tanah Papua.
Yang penting dikerjakan oleh DKN adalah membuat suatu pemetaan mengenai
bagaimana di 7 region yang menjadi bagian kerjanya memiliki identifikasi peta
bagaimana putusan MK direspon oleh masing-masing wilayah itu.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 39Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Keadaan yang ada saat ini harus dianggap sebagai kerja bersama sehingga
perlu duduk bersama. Pusat tidak boleh mengklaim diri atas putusan MK dan
lalu menugaskan pemda dan masyarakat. Secara bersama-sama juga harus
mengakui bahwa kesalahan tempo dulu adalah kesalahan bersama,
diantaranya kesalahan atas Papua.
Setelah putusan MK perlu ada spesifikasi wilayah. Pelaksananya akan
dipikirkan bersama.
Apakah putusan MK berlaku surut atau berlaku sejak tanggal ditetapkan? Jika
berlaku surut maka kesalahan tempo dulu adalah kesalahan bersama tapi jika
berlaku sejak tanggal ditetapkan maka HPH harus angkat kaki dari Papua.
Prioritas pencabutan HPH dilakukan terhadap HPH tidak aktif. Sedangkan
yang masih aktif diajak duduk bersama. Indikator aktif tidaknya HPH di tiap
level pemerintahan, berbeda-beda. Perbedaan indikator ini melahirkan
penilaian dan juga mempengaruhi kebijakan. Walaupun rekomendasi
gubernur adalah cabut ijin HPH tidak aktif akan tetapi Keputusan Menteri
tidak menyatakan demikian, maka ijin tidak akan dicabut. Oleh karena itu
perlu ada standar prosedur mengenai indikator aktif tidaknya HPH. Standar
yang berbeda-beda akan memunculkan tindakan saling menyalahkan. Yang
jadi korban adalah pelaksana.
Perlu ada kesepakatan mengenai pihak yang akan menentukan peta dasar.
Peta dasar merujuk pada Bakosurtanal. Peta dasar kemudian dioverlay
dengan peta tematik agar semuanya bisa terlihat.
Harmonisasi dan Sinkronisasi kebijakan dan aturan sudah dibicarakan sejak 6
tahun lalu di Papua tapi tidak dihiraukan. Harmonisasi dan sinkronisasi
aturan sebaiknya terlebih dahulu dilakukan. Aturan-aturan diinventarisir.
Aturan yang tidak cocok, yang disusun berdasarkan aturan kolonial dan tidak
mempunyai nilai pemanfaatan bagi pemberdayaan ekonomi rakyat, harus
dinyatakan batal. Jika aturan seperti itu masih dipakai maka yang membuat
aturan tersebut harus disalahkan terlebih dahulu baru kemudian
pelaksananya.
Pembentukan Perda harus ada instruksi secara nasional kepada Gubernur.
Papua sudah punya Perda berkaitan dengan masyarakat adat akan tetapi
hanya mengatur tentang bagaimana posisi adat diperlakukan. Belum sampai
kepada bagaimana memberdayakan masyarakat di dalam hutan adat.
Memisahkan hutan negara dan hutan adat. Perlu dilihat indikator penentuan
tata batas. Dulu indikator tata batas adalah batas fungsi kemudian dirubah
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 40Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
menjadi batas ruang. Dalam penentuan batas hutan negara harus aspek sosial,
ekonomi dll harus diperhitungkan agar tidak terjadi konflik.
b). David (Kamar Bisnis)
Penataan kawasan hutan merupakan salah satu alternatif yang cukup baik
untuk membenahi hutan Indonesia, yang menjadi masalah semua hutan sudah
diberikan ijin konsesi. Jika setelah selesai penataaan kawasan hutan dan
didapati ternyata sebagian berada di hutan adat, apakah konsesinya nanti akan
berkurang atau tidak?
Apakah pengelolaan hutan adat kedepannya bersifat otonomi atau semuanya
diserahkan untuk masyarakat adat? Apakah masyarakat adat cukup mereka
kelola sendiri atau tetap memerlukan perijinan dari instansi teknis
Kehutanan? Apakah di tingkat kabupaten-Kota, Propinsi, ataukah tetap masih
di pusat? Ini untuk pengelolaan hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan
kayu. Hal yang berkaitan dengan mekanisme hak pengelolaan hutan adat
perlu diklarifikasi kedepannya, mengingat coverage hutan adat sangat besar.
Bagaimana konsesi-konsesi yang sudah diberikan apabila masyarakat adat
tidak berkenan terhadap ijin konsesi HPH yang telah diberikan.
Apakah pengelolaan hutan oleh masyarakat adat masih memerlukan ijin
pengelolaan, baik hasil hutan kayu maupun hutan bukan kayu.
c). Agus Justianto (Kamar Pemerintah)
Terkait pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat
Pemisahan konsepsi hutan adat dari hutan negara akan berimplikasi pada
keberadaan masyarakat hukum adat dan pengelolaan hutan adat itu sendiri. Saat ini
yang tersisa hanya komunitas tertentu yang terdiri dari beberapa desa. Tidak ada lagi
wilayah masyarakat hukum adat yang secara hukum masih utuh, seperti tahun 80-an.
Padahal pertimbangan hakim pada putusan MK ini jika keberadaan masyarakat
hukum adat tidak hidup lagi maka hak pengelolaan kembali kepada negara. Artinya
status hutan adat menjadi hutan negara. Konstruksi dan fakta hukum ini rancu karena
di satu sisi pengakuan hutan adat terpisah dari hutan negara, di sisi lain keberadaan
masyarakat hukum adat sulit dibuktikan jika harus kembali seperti tahun 1980-an.
Oleh karena itu diperlukan penyamaan pemahaman atau persepsi karena kebijakan
pemerintah dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat harus didasarkan peraturan
atau hukum yang berlaku. Di sinilah peran DKN untuk bisa membantu menyamakan
persepsi atau menjembatani antara pemerintah dan masyarakat hukum adat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 41Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
d). Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat)
Harapannya NKB bukan merupakan bagian dari cara pembendungan
departemen-departeman terhadap korupsi yang dilakukan sebelum NKB
karena kalau dalam penataan kawasan hutan kedepan untuk lebih baik dan
jauh dari korupsi dsb, sebelumnya itu ternyata dugaan kita banyak yang
terjadi. Contohnya pengalihan kawasan hutan di pulau-pulau kecil. Pulau-
pulau yang sebenarnya tidak bisa diijinkan, tapi itu diijinkan. Pulau Roma
yang kecil yang besarnya dua kali mall di Jakarta, itu diijinkan untuk
pertambangan. Kepulauan Aru yang karangnya begitu banyak tapi diijinkan
ribuan hektarnya untuk ditanami tebu. Pasti ada sesuatu di pemberian ijin-ijin
tersebut.
Terkait dengan keputusan MK. Kata “sepanjang masih hidup” itu tidak beda
dengan pernyataan pak Bambang bahwa itu harus dibuktikan dulu. Jadi
sepanjang-masing-hidup itu artinya masyarakat adat dipaksa untuk
mengidentifikasikan dirinya lalu meminta pemerintah untuk melegitimasi,
padahal masyarakat adat sudah ada jauh sebelum negara ini ada. Tapi di
Maluku, pembuktian dilakukan melalui sidang-sidang pengadilan dimana
masyarakat adat menggugat PT. Wahana Potensi Nusa dan Koperasi Wahana
Lestari di pulau Buru karena menghancurkan tempat-tempat keramat dari
marga-marga yang ada di sana. Gugatan itu dikabulkan oleh pengadilan.
Tanpa peta. Marga-marga bersangkutan datang dan melakukan ritual-ritual
adat di wilayahnya dan itu diakui. Peta jangan dijadikan satu-satunya alasan
bahwa kawasan hutan ini harus ditetapkan dengan peta. Perda 14/2005 di
Maluku merupakan Perda penetapan kembali negeri menjadi persekutuan
masyarakat hukum adat. Kita turut mengawal perda itu. Hanya saja yang
tidak diakomodir oleh DPRD ketika itu adalah pengakuan terhadap agama-
agama suku yang ada di Maluku. Hutan yang berada di belakang negeri tetap
menjadi hutan dan bukan berarti tidak dikelola karena di dalamnya terdapat
binatang buruan, tanaman obat-obatan dll. Hubungan masyarakat hukum adat
dengan hutannya jelas ada. Kalau hal itu dibawa ke peta, tidak ada yang
namanya hutan negara di Maluku. Batasan antar negeri adalah batas antar
marga. Implementasi dengan pengakuan kawasan hutan harus dibedakan
antara pulau-pulau kecil dan pulau-pulau besar.
Harapannya KPK tidak hanya melihat kedepan tapi juga
mengungkapkan korupsi sebelum adanya NKB.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 42Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
e). Endro Siswoko (Kamar Bisnis)
Untuk pak Bambang Soepijanto:
Perlu ada antisipasi pemekaran kabupaten. Bisa jadi wilayah yang semula berada
di satu kabupaten, karena ada pemekaran kabupaten, sebagian wilayahnya tidak
diakui oleh kabupaten baru.
Perlu ada antisipasi kemungkinan masyarakat adat yang meminta kembali
hutannya yang semula sudah diserahkan kepada negara.
Area konsesi bisa jadi akan terkurangi karena adanya enclave, pengakuan atas
wilayah konsesi. Berkurangnya wilayah konsesi juga perlu menjadi catatan.
Untuk pak Dian Patria:
Perlu pencerahan mengenai interpretasi illegal logging. Interpretasi illegal
logging yang berbeda-beda menimbulkan ketidakpastian di dunia usaha. Ini
membingungkan dunia usaha. Siapakah yang akan menjadi wasit ketika timbul
masalah-masalah seperti ini?
f). Mateus Pilin (Kamar LSM)
Dengan fakta-fakta sosial yang ada sekarang, dalam konteks kehutanan di
Indonesia, KPK harus segera melakukan tindakan-tindakan strategis.
Apa terminologi online dalam perijinan online? Perijinan online di satu sisi
membuka akses pada banyak pihak tapi di sisi yang lain masih ada masalah
akses di tingkat masyarakat.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dirasa cukup serius. Di
Kalimantan Barat, akses masyarakat terhadap wilayah tinggal 6,68%. Ini
paradoks. Ijin-ijin yang diberikan masih tetap jalan tapi di sisi lain ada
persoalan di lokal.
Tuntutan-tuntutan lain yang disampaikan oleh AMAN agar segera difollowup
oleh pemerintah.
g). Hariadi Himawan (Kamar Pemerintah)
Untuk pak Noer Fauzy:
Tadi ada statemen yang mengatakan bahwa konsekuensi dari putusan MK ini
akan menimbulkan potensi pertarungan. Pertarungan ini bisa berupa perang intelek,
Stop perijinan dan proses kebijakan-kebijakan yang selama ini
mengkriminalisasi masyarakat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 43Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
bisa juga perang tubuh. Bisakah pertarungan ini dibawa menjadi dialektika yang
dilandasi dengan persaudaraan? Ada beberapa provinsi yang sudah punya rintisan ke
arah itu. Jika tadi banyak yang mengatakan bahwa ini sudah terlanjur menjadi
konsesi, ini hak, ini batas, banyak kaitannya dengan hak. Pernahkah kita melihat
bahwa nanti kalau masyarakat adat berdaulat, prinsip hutan lestari tetap akan
inkonsisten? Ini belum disinggung. Kita punya kepentingan di situ. Jangan sampai
nanti ini berdaulat otonom, disalipkan semua. Di propinsi yang hutan adatnya
dominan, di Sumatera Barat dan NTT, sebelum ada putusan MK ini kami sudah
sepakat dengan pemerintah daerahnya, ini akan dikompatibelkan dengan hutan-hutan
desa yang ada di dalam kerangka regulasi. Maksudnya adalah supaya mereka ini
dilatih dan didampingi bagaimana mengelola hutan secara benar.
Kami menyampaikan dengan cara santun bahwa ini bukan soal menang kalah
namun Pemerintah ingin mengawal dan mengantarkan. Tapi ini hanya ada pada
provinsi yang sejarah konsesinya tipis. NTT tidak pernah ada HPH sejak dulu.
Masalah akan terjadi pada provinsi-provinsi yang sebagian wilayahnya sudah
terfragmentasi. Pasti akan terjadi perang saling klaim. Penyelesaian masalahnya harus
dilakukan dengan duduk bersama.
Untuk pak Dian Patria:
Delapan bulan lagi pemerintahan efektif. NKB baru sampai pada tataran
instrumental kebijakan, belum sampai tataran ideologis. KPK harus mengantisipasi
kemungkinan pemerintah yang baru akan tergagap-gagap yang dikhawatirkan akan
kembali pada kebijakan yang populis.
Untuk pak Bambang Soepijanto:
Harapannya pak Bambang menularkan ke eselon 1 yang lain agar tidak hanya
menjadi urusan planologi saja.
Respon Narasumber
Pemerintah ingin mengawal masyarakat. Kalaupun nanti mereka menjadi
masyarakat adat yang otonom di dalam pengelolaan hutan, dia tetap bisa
mengelola hutan dengan prinsip-prinsip lestari.
Tidak fair jika persoalan penataan hutan diserahkan kepada daerah.
Kementerian Kehutanan juga harus ikut duduk bersama dan difasilitasi DKN.
Kalau ini dibiarkan bisa berpotensi dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 44Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
a). Bambang Soepijanto (Dirjen Planologi Kemenhut)
Duduk bersama pasti dilakukan tapi yang dikaji hanyalah hal yang pasti,
karena putusan MK tidak berubah, bahwa hutan adat adalah bukan hutan
negara melainkan hutan hak. Segala sesuatunya akan berlaku hutan hak. Tata
usaha kayunya berlaku hutan hak. Jadi, tidak ada lagi yang namanya
interpretasi ganda. Pembuktiannya dilakukan dengan Undang-undang. Jika
belum ada Undang-undang, Perda. Itu mandat, jangan ditafsir-tafsir lagi.
Duduk bersama dilakukan hanya untuk membicarakan bahwa itu harus
dilaksanakan.
Putusan MK tidak berlaku surut. Tidak ada putusan majelis manapun yang
backward looking, pasti forward looking. Tetapi adat itu ada sejak dulu.
Ketika Perda yang baru atas symptom, atas bukti-bukti, atas hal-hal yang
baru, maka Perda baru itu akan mengeliminasi ijin. Putusan memang tidak
retroaktif tapi adat itu ada sejak dulu, kemarin belum diperdakan. Kalau
sekarang sudah diperdakan oleh daerah maka adat itu diakui.
Tidak masalah jika masyarakat adat tidak menggunakan peta. Yang penting
bisa menunjukkan dimana letak kawasan masyarakat adat. Peta dasar sudah
ada UU-nya, bahwa single referencenya BIG. Kedepan, BIG dimita untuk
membuat peta dasar seluruh Indonesia dengan skala 50.000 per propinsi.
Kalau pakai skala 250.000 batas-batas kawasan bisa mencong.
Ada tiga tata batas, tata batas fungsi, tata batas luar dan tata batas perijinan.
Dalam rangka bareng ini, untuk tata batas luar maupun tata batas fungsi,
kalau kemudian ada masyarakat adat yang sudah ada perda-nya itu bersamaan
kita akan lakukan tata batas itu. Saya tidak terlalu mengandalkan patok batas
karena vocated. Saya menggunakan koordinat geografis. Jika menggunakan
batok batas, rentan hilang. Titik koordinat tidak mungkin hilang. Patok tidak
terlalu penting tapi patok adalah stick boundary yang di peta merupakan
koordinat geografis.
Kewajiban, kewenangan pemegang ijin merupakan konsekuensi hukum azas
hukum. Kalau ada yang baru maka yang lama diabaikan. Kalau ada yang
tinggi, yang rendah diabaikan. Kalau ada yang khusus, yang umum
diabaikan. Kalau ada hutan baru maka yang lama diabaikan. Perijinan itu
akan tereliminasi dengan besiking yang baru. Untuk yang baru harus ada
pembuktian dulu. Mandatnya dalam MK adalah Perda. Introspeksi internal
Kemenhut, sebenarnya banyak SK-SK HPH/HTI yang cacat karena belum
tata batas. Besiking itu kongkrit, final, individual. Tidak ada lagi luasan plus-
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 45Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
minus. Kalau plus-minus namanya belum final. Seharusnya ketika
memberikan ijin itu harus sudah tata batas. SK yang masih menjanjikan dua
tahun penyelesaian tata batas adalah SK yang belum final. Saat ini bahkan
pada perpanjangan baru tata batas. Telah terjadi kesalahan-kesalahan
berjamaah dalam pengurusan ijin. Angka pasti dalam tata batas menghindari
kesalahan sanksi administrasi atas boundary. Sudah pasti pidana kalau keluar
dari itu.
Kalau masyarakat adat sudah bisa membuktikan wilayahnya, pengurangan
working area pasti terjadi.
Karena pembuktian tata batas tidak sederhana maka perlu ada instrumen
untuk membuktikan bahwa masyarakat hukum adat berhak berada di satu
kawasan tertentu. DKN bisa memberikan masukan kepada UU Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
Berkaitan dengan ijin di pulau-pulau kecil, teguran bisa langsung
disampaikan ke Bupatinya karena ijin diberikan langsung oleh Bupati. Kalau
kemudian dia sampai ke Jakarta pada kawasan hutan yang dapat dikonversi,
kalau syarat kecukupannya oke, tidak ada jalan lain menteri akan melepas.
Yang harus dipersoalkan kenapa Bupati memberi ijin. Pada HPK,
peruntukkannya adalah untuk kegiatan non-kehutanan. HPK adalah bukan
hutan tetap. Jadi boleh dilepaskan. Harus dipertanyakan langsung kepada
Bupati setempat mengapa pulau-pulau kecil diberikan ijin konsesi.
Peta spasial sangat penting ketika pemekaran kabupaten terjadi. Ketika
kabupaten berkembang, spasial tidak berubah. Yang berubah hanya judul
wilayah spasial. Letak masyarakat hukum adat berdasarkan spasialnya
walaupun nomenklatur pemdanya bisa berbeda.
Jika ada pejabat yang memberikan ijin tidak sesuai dengan peruntukkannya
bisa ditindak dengan menggunakan UU 26/2007. UU tersebut sangat
mengikat kuat pejabat yang memberikan ijin manfaat yang tidak sesuai
dengan ruangnya. Pejabat yang melanggar bisa dicopot dari jabatannya dan
dipidana.
Hutan adat yang berada di posisi hutan lindung juga punya fungsi lindung,
tidak hanya statusnya kawasan hutan. Ini adalah persoalan status. Letak yang
akan menentukan peran.
Sosialisasi mengenai kawasan dan ruang di internal Kemenhut sangat
diperlukan. Biasanya persoalan kawasan dan ruang diurus oleh Planologi.
70% urusan Kehutanan berada di Planologi, termasuk menjadi kuasa hukum
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 46Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Menteri. Perubahan, peruntukkan, pelepasan, ijin pinjam pakai, semuanya di
Planologi. Tugas Planologi adalah mensosialisasikan persoalan-persoalan ini
di internal Kemenhut. Pak Hariadi yang selama membantu kami dalam hal-
hal seperti ini.
b). Dian Patria (KPK)
KPK tidak perlu menjadi bagian dalam implementasi NKB jika pimpinan
pemerintah komit untuk perbaikan tata kelola sumberdaya alam kehutanan.
DKN dan KPK bisa saja hanya memberikan saran dan yang menjalankan
komitmen adalah pemerintah. KPK memiliki fungsi pencegahan dan
penindakan, disamping koordinasi dan supervisi.
Dalam menjalankan fungsi pencegahan KPK bekerja bersama bagian
penindakan. Di bagian pencegahan pun KPK memiliki fungsi-fungsi deteksi
RHKPN, ada gratifikasi, bahkan punya nation interest; ketahanan pangan,
ketahanan energi dan pendapatan.
Dalam pemberantasan korupsi, ada 3 lembaga yang menangani yaitu KPK,
polisi dan kejaksaan. Tapi kalau bukan korupsi, misalnya illegal logging
semata, bukan urusan KPK. Tapi kalau korupsi, KPK bisa menangani, dan
ada dua penegak hukum yang lain, KPK menjalankan fungsi koordinasi dan
supervisi atas penanganan kasus yang ada di kepolisian dan kejaksanaan. Itu
ditangani secara spesifik dikerjakan oleh Korsub penindakan yang kerjanya
keliling polda dan melakukan koordinasi-supervisi kasus-kasus korupsi yang
sedang ditangani oleh Polda setempat. KPK dimungkinkan untuk mengambil
alih kasus ketika dianggap penanganan polisi tidak seperti yang seharusnya.
KPK sangat berharap ada masukan dari kamar masyarakat jika ada
pengaduan-pengaduan yang bisa disampaikan melalui bagian pengaduan
masyarakat KPK, surat, atau website Indonesia Memantau Hutan.
KPK adalah lembaga independen. KPK bukan di bawah presiden, legislatif
ataupun yudikatif. Secara teoritik, tidak masalah jika pemerintahnya ganti
karena yang dipegang oleh KPK adalah MoU dengan kementerian.
c). Noer Fauzi Rachman (Direktur Eksekutif SAINS)
Renaksi penindakan tidak mungkin dimasukan ke dalam NKB karena
kemungkinan tidak akan ada K/L yang bersedia menandatangani
MoU.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 47Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
DKN harus menguatkan kemampuan untuk mengurus konflik dengan skala
yang besar. Selama ini DKN mengurus konflik yang skalanya kasus per kasus. Pulau-
pulau kecil seperti Maluku Utara atau Maluku Tenggara bisa saja satu pulau keluar
dari kawasan hutan negara karena seluruhnya wilayah hutan adat. Maka jika
dikerjakan prosesnya, dimana sudah ada konsesi pada waktu itu maka itu akan
menjadi konflik dengan pemegang konsesi. Dan itu akan datang begitu besar arusnya
dalam DKN.
Tidak ada yang tidak bisa diurus, termasuk konflik. Pengalaman di Filipina,
National Commision on Indegineous People mencanangkan 7 juta hektar dari 70 juta
hektar. 70 juta itu adalah keseluruhan kawasan nasional Filipina. Tujuh juta hektar
adalah wilayah teritorial adat. Saat ini kawasan yang sudah mendapatkan CADC dan
CADT, Certificate of Ancestral Domain Claim dan Certificate of Ancestral Domain
Title mencapai di atas 1 juta hektar. Dari claim ke title membutuhkan 10-15 tahun.
Besaran di Indonesia belum bisa diketahui jumlahnya. Kalau DKN punya
pengalaman dengan mediasi konflik maka ini jumlahnya akan jauh lebih besar lagi,
begitu dia masuk ke dalam dan membuka prosesnya. Karena konsesinya bekerja
dengan proses dimana hutan adat dianggap hutan negara. Gerakan Plangisasi sangat
mungkin terjadi, dan jumlahnya sangat banyak karena jumlah HPH-HTI juga tidak
sedikit. Itupun jika Perdanya bener. Di sinilah kemampuan mengurus konflik dalam
skala yang besar diperlukan.
Tidak sederhana ketika National Land Commision Filipina membuat kamar
penyelesaian konflik. Di situ berkenaan dengan bagaimana konflik diajudikasi, data-
data dari kementerian kehutanan, bagaimana bisa keluar ijin di wilayah itu,
bagaimana masyarakat tidak terlihat ketika ijin itu keluar, bagaimana sekarang
visibilitas dilakukan supaya masyarakat adat bisa kelihatan. Proses verifikasi itu
membutuhkan skill yang tidak sedikit. Kita belum sampai pada membayangkan
seperti itu. Itu akan tumbuh dari kemampuan yang ada naik ke dalam kelas
berikutnya.
9. Sidang Kamar
a). Pengantar oleh Ketua Presidium DKN, Hariadi Kartodihardjo
• Dokumen pendukung sidang Kamar
DKN juga harus meningkatkan pengalamannya memediasi kasus konflik menjadi
pengalaman mengelola teritorial. Dari kasus ke teritorial. Oleh karena perlu
dilihat lagi cara manajemen pengelolaan konflik yang selama ini dijalankan di 7
region DKN.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 48Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
– Handout presentasi pemaparan workshop;
– Draft Naskah Kebijakan DKN: Penataan Kawasan Hutan bagi
Kebangkitan Kehutanan Nasional; masalah kebijakan dan peran DKN;
– Tiga Lampiran NKB 12/KL;
– Detail Rencana Aksi detail;
– Garis Besar Haluan Kehutanan (GBHK), yang merupakan hasil rumusan
pada saat kongres kehutanan Indonesia ke-5. GBHK berisi cakupan
mandat yang diamanatkan oleh kongres. Ada 10 aspek yang dirumuskan
di dalam kongres Kehutanan Indonesia ke-5 tahun 2011.
– Surat-surat berkaitan dengan intervensi World Bank. Ketua presidium
dan perwakilan tiap kamar akan melakukan pertemuan dengan World
Bank untuk membahas sikap DKN terhadap hubungan kerjasama dengan
World Bank. Ini dalam rangka mengembalikan DKN sesuai dengan
statutanya.
• Hasil sidang kamar
– Diinput langsung ke dalam naskah draft kebijakan;
– Catatan-catatan penting untuk ditambahkan ke dalam naskah kebijakan;
– Follow up dari KPK dan DKN berkaitan dengan implementasi NKB 12
K/L.
• Sidang dipimpin Ketua Kamar, dibantu sekretaris
• Substansi yang didiskusikan dan dirumuskan:
– Apa pandangan masing-masing kamar terhadap keberadaan NKB 12 K/L,
dan Putusan MK 35/2012 ?
– Apa saja masukan substansi dan strategis kamar terhadap 3 kelompok
Renaksi NKB 12 K/L ?
– Apa saja kegiatan yang penting dijalankan oleh kamar atau komisi dan
DKN secara keseluruhan ?
• Setiap kamar menyiapkan:
– Bahan presentasi (power point);
– Mempresentasikan hasil sidang kamar.
Pembagian Kamar
1. Kamar Pemerintah (Ketua: Agus Yustianto)
2. Kamar Masyarakat (Ketua: Leonard Imbiri)
3. Kamar Akademisi (Ketua: Hariadi Kartodhardjo)
4. Kamar Bisnis (Ketua: Agus Wahyudi)
5. Kamar LSM (Ketua: Matheus Pilin)
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 49Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
b). Pembekalan oleh Noer Fauzi Rachman
Renaksi NKB 12 K/L tidak mempertimbangkan putusan MK karena pada
saat itu belum ada. Naskah lampiran ketiga NKB 12 K/L tentang Resolusi Konflik
belum mempertimbangkan putusan MK. Maka naskah ini memiliki bentuk khusus
karena ada konflik antara konsesi, Kementerian Kehutanan, dan masyarakat hukum
adat. Konflik tersebut akan berlangsung di lapangan dan diperkirakan memiliki
intensitas yang lebih besar.
Putusan MK seperti memberi isi bahwa akan ada jenis konflik melalui mana
status dari masyarakat hukum adat menjadi lebih kuat karena dia akan keluar dari
hutan negara. Padahal hutan negaranya sebagian sudah ada di dalam kawasan-
kawasan konsesi kehutanan. Konsesi kehutanan dapat berbentuk konsesi hutan
produksi seperti HPH, bisa hutan tanaman, bisa hutan konservasi, bisa juga konsesi
restorasi ekosistem.
Butir-butir yang dibicarakan di dalam sidang kamar
1. Pandangan DKN atas konflik yang akan terjadi;
2. Pandangan DKN atas konflik yang akan diurus oleh DKN;
3. Rencana Kerja DKN.
B. Hari Kedua
Pleno Pemaparan Hasil Sidang Kamar
1. Kamar Masyarakat
Peserta Sidang Kamar Masyarakat
a) Leonard Imbiri;
b) Yanes Balubun;
c) Jomi Suhendri;
d) Sungging Septivianto;
e) Andreas Lagimpu.
Input Draft Kebijakan DKN Terkait NKB 12/KL
a) Proses pelaksanaan program percepatan pengukuhan kawasan hutan/ NKB 12 KL
(dasar : putusan MK No.45/2011) harus selaras dengan upaya implementasi
keputusan MK No.35/2012 tekait dengan status hutan adat.
b) Proses pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan memperhatikan dan
menghormati hak perorangan dan hak komunal/pertuanan/ulayat terkait dengan
hutan adat sesuai putusan MK No.35/2013.
Yang bisa dilakukan DKN dalam kaitannya dengan KPK adalah membuat
resolusi konflik menjadi bagian yang diusulkan untuk dijadikan topik
interaksinya. Masing-masing kamar memiliki andil khusus karena merupakan
channel bagi tiap konstituennya.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 50Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
c) Penggunaan kalimat “masyarakat perlu membuktikan hutan adatnya”,
merupakan bagian dari proses penetapan kawasan hutan adat yang berbelit dan
mempersulit masyarakat adat untuk menguasai dan mengelola kawasan hutannya.
d) Perlu diatur dengan PP yang memungkinkan pemerintah memfasilitasi dan
mendanai proses penetapan hutan adat.
e) Peta kawasan hutan adat adalah salah satu alat dan bukan satu-satunya alat dalam
membantu identifikasi kawasan hutan adat.
f) Perumusan kebijakan kehutanan dalam kaitan dengan pengukuhan kawasan hutan
secara khusus hutan adat di provinsi Aceh, Papua dan Papua Barat haruslah
merujuk pada UU otonomi khusus Papua dan Aceh.
g) Penunjukkan kawasan hutan pada pulau-pulau kecil yang akan dikukuhkan perlu
dikaji dengan mempertimbangkan aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat
setempat.
h) Rumusan Materi pokok dan peran bagi masyarakat adat/lokal pada halaman 4 dan
aktifitas pada halaman 5 perlu dirumuskan kembali dengan mempertimbangkan
keputusan MK No.35/2013.
i) Pada bagian peran masyarakat adat/lokal (halaman 4 & 5) perlu memasukkan
posisi BUMN Kehutanan (Perum Perhutani,Inhutani) sebagai pihak yang selama
ini juga mendapatkan alokasi besar dalam pengelolaan hutan.
j) Pada halaman 6 perlu memasukkan peran UKM kehutanan yang telah memiliki
konstribusi positif melalui hutan tanaman/hutan rakyat, namun belum
mendapatkan perhatian yang baik melalui kebijakan pemerintah.
k) Dalam kluster renaksi (gambar 1. hal 5) perlu memasukkan upaya perluasan
pencadangan kawasan hutan untuk HTR, HKM dan Hutan Desa.
l) FIP/DGM akan mencapai kesetaraan dan legitimasi jika rancangan, implementasi
dan alokasi berbagai manfaatnya mencerminkan kebutuhan dan aspirasi di tingkat
nasional dan subnasional.
Berkaitan dengan penanganan konflik, perlu;
1) memperkuat sistem yang telah dimiliki DKN (komisi mediasi konflik,
mekanisme dan protokol penanganan konflik, infrastruktur pengaduan berbasis
Web based online/offline, jejaring sosial, SMS Center);
2) memperkuat koordinasi dengan pihak terkait terutama Kementerian Kehutanan;
3) memperkuat kapasitas mediasi konflik.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 51Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Tambahan Kamar Masyarakat
Leonard Imbiri: Dalam perumusan kebijakan, terutama peraturan perundang-
undangan, biasanya ada kalimat-kalimat yang kadangkala menjadi jebakan dan tidak
memperhitungkan mekanisme internal atau kearifan lokal masyarakat adat dalam
menentukan batas-batas wilayah. Kalimat “masyarakat perlu membuktikan tanah
adatnya.” menurut kita itu adalah suatu bentuk penyangkalan terhadap keberadaan
masyarakat adat di wilayah Republik Indonesia. Kami menyarankan kalimat seperti
itu tidak digunakan karena secara hukum itu kadangkala mempersulit masyarakat
dalam proses-proses pengurusan hak-haknya.
Dan itu tidak hanya pada pemanfaatan peta tapi juga dengan memperhitungkan
bagaimana mekanisme lokal masyarakat dalam menentukan batas wilayah adatnya.
Diskusi dan Klarifikasi
Zulfikar (Kamar Pemerintah): saya mempertanyakan implementasi dari
pernyataan “tidak diperlukan pembuktian terhadap batas wilayah masyarakat hukum
adat.” Pertama, saya informasikan bahwa kondisi masyarakat hukum adat di setiap
wilayah Indonesia berbeda-beda, karena masing-masing memiliki sejarah yang
berbeda. Kedua, kaitannya dengan peraturan perundangan. Keputusan MK masih
mengiyakan yang 67, lalu diatur dengan Undang-undang, dan dalam konteks diatur
dengan undang-undang itu pengertiannya, sesuai dengan peraturan perundangan.
Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Dalam penjelasan teman-teman lebih
banyak berkaitan dengan proses-proses penataan yang dilakukan terhadap
tanah/hutan adat.
Berkaitan dengan fungsi supervisi yang dilakukan KPK terhadap
implementasi NKB 12 KL, peran strategis yang perlu dilakukan DKN adalah
memberikan masukan berupa informasi yang berkaitan dengan isu
kehutanan.
Apabila UU itu belum ada maka UU sebelumnya yang mengatur hal tersebut yang tidak berlawanan dengan substansi keputusan MK, masih berlaku. Dengan demikian maka tetap diperlukan pengakuan terhadap batas wilayah masyarakat hukum adat melalui Perda.
Kamar masyarakat mengusulkan agar penentuan hutan adat perlu diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah yang memungkinkan pemerintah memfasilitasi proses-proses penentuan batas wilayah masyarakat adat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 52Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Di sini masyarakat adat disuruh untuk membuktikan hutan adatnya, melalui peta tadi.
Menurut kami itu adalah suatu kerja yang membutuhkan kapasitas yang besar dan
dalam proses-proses hukumnya masyarakat adat akan mengalami satu proses yang
berbelit-belit dan itu akan membawa dia pada posisi sekarang. Itu satu kekhawatiran
setelah menginterpretasikan kalimat “masyarakat adat perlu membuktikan hutan
adatnya.”
Kita tidak mengatakan “tidak membuktikan”, tapi penggunaan kalimat
“masyarakat adat perlu membuktikan hutan adatnya.” dalam mekanisme, itu
menyangkal posisi masyarakat adat dalam kaitannya dengan kearifan lokalnya
menentukan batas-batasnya.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Saya menyarankan kita perlu memberi
perhatian khusus terhadap proses dan mekanisme di dalam Perda. Kita paham
masyarakat punya kelemahan untuk melakukan pembuktian karena pembuktian butuh
waktu, biaya serta berpotensi konflik. Perhatian khusus yang dimaksud adalah
Pemerintah daerah dan DPR yang akan membuat Perda perlu ada persiapan dan
perhatian khusus karena hal itu mengandung konsekuensi tertentu.
Usep Setiawan (Fasilitator): Poin pak Zulfikar adalah memang harus jelas
betul mengenai proses dan tatacara dalam penentuan mana yang disebut hutan adat
dan mana yang bukan. Kita ingin memastikan bahwa proses penentuan wilayah adat
betul-betul dijalankan dengan baik, dengan melibatkan banyak pihak, saling
bersinergi, dan tidak ada yang menegasikan satu pihak dengan pihak yang lain.
Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Pertama, Perda untuk menentukan
mekanisme sangat penting. Kearifan lokal dalam menentukan batas perlu dimasukkan
ke dalam perda sebagai satu bentuk mekanisme. Jika kearifan lokal tidak dipakai,
masyarakat tidak akan memiliki kapasitas untuk itu.
Dalam pandangan kami bahwa, pertama, masyarakat adat memiliki kearfian
lokal dalam menentukan batas wilayah. Peta bukan satu-satunya alat untuk
menentukan batas wilayah masyarakat adat. Kedua, pembuktian tentang
hutan adat tidak merupakan kerja masyarakat adat.
Kalau kearifan lokal dipakai, masyarakat akan jauh mempunyai kapasitas
dalam mendorong proses-proses penenntuan batas wilayah adat. Mekanisme
dari luar yang terlalu dipaksakan di luar mekanisme masyarakat adat, akan
selalu membawa konflik baru bagi masyarakat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 53Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Hasby: kekhawatiran Kamar Masyarakat sudah ada di NKB, bahwa sebelum
kita menetapkan kawasan atau wilayah hukum masyarakat adat, pertama kali perlu
melakukan identifikasi. Identifikasi dilakukan melalui survey sosial yang melibatkan
seluruh stakeholder. Disitulah kearifan lokal digunakan. Di dalam survey sosial,
kearifan lokal bisa masuk untuk mengidentifikasi. Setelah itu menentukan batas-batas
di lapangan.
David (Kamar Bisnis): di dalam pembuktian hutan adat, yang sering
dipikirkan adalah potensi konflik dengan perusahaan atau dengan pemerintah. Kalau
di Kalimantan Timur ada hambatan ketidaksepakatan antara masyarakat adat itu
sendiri. Tidak ada solusi untuk masalah seperti itu. Pemegang ijin terpaksa menunggu
mereka menyelesaikan persoalan, bahkan pro aktif menghubungi Panglima Dayak
dsb. Dalam perencanaan penataan kawasan hutan perlu dipikirkan mekanisme
penyelesaian masalah jika terjadi ketidaksepakatan antar sesama kelompok
masyarakat. Di Sumatera juga terjadi hal serupa. Ada beberapa areal di Sumatera
terjadi overlapping klaiming, masyarakat yang berbeda merasa memiliki areal yang
sama sehingga terjadi dualisme kepemimpinan masyarakat adat di wilayah yang
sama.
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): Pertama, kemarin kita
mendiskusikan sejarah keluarnya MK 45/2012. Putusan MK 45 dari sebuah proses
penunjukan yang oleh MK menyatakan bahwa itu bertentangan dengan hukum
sehingga harus dilakukan yang dinamakan pengukuhan. Menjadi pertanyaan diskusi
kemarin adalah apakah pengukuhan itu akan dilakukan di atas wilayah-wilayah hasil
penunjukan. Kalau itu dilakukan di atas wilayah hasil penunjukan, maka konflik akan
terjadi, karena sejarah penunjukkan di masa lalu selalu bertentangan dengan hukum,
selalu terjadi pelanggaran HAM, dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
Kalau memang dari pemerintah sendiri meyakinkan kita, masyarakat adat
atau masyarakat lokal, bahwa proses pengukuhan kawasan hutan bukan serta merta di
Setelah batas-batas di lapangan ada, barulah dipetakan. Jadi, tidak terbalik;
dipetakan baru dibuktikan. Survey sosial yang mengakomodir kearifan lokal
dalam mengindentifikasi wilayah bisa meminimalisir konflik antara
masyarakat adat dengan pemerintah juga antara masyarakat adat satu dengan
yang lain.
Dalam rangka kelancaran penataan hutan, jika terjadi konflik antar
masyarakat adat, perlu ditentukan pihak mana yang akan menyelesaikan
konflik tersebut.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 54Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
atas wilayah-wilayah yang sudah mendapat penunjukan kawasan hutan, atau
pengukuhan kawasan hutan itu di wilayah baru yang diajukan oleh dunia usaha, maka
mungkin mekanisme proses identifikasi itu bisa dilakukan secara terbuka dan secara
partisipatif dengan masyarakat.
Kalau proses pengukuhan kawasan itu dilakukan lagi di atas kawasan hutan
yang sudah ditunjuk, hanya untuk memenuhi sebuah syarat legalitas hukum, setelah
MK menyatakan itu tidak sah, maka itu yang tidak kita inginkan. Akan menjadi
persoalan karena itu berarti bahwa sudah dibayangkan proses mengindentifikasi
semua pranata-pranata sosial untuk menentukan, mengeluarkan hak ulayat,
mengeluarkan hak perorangan terkait dengan masyarakat-masyarakat lokal, itu pun
juga akan menjadi persoalan. Untuk mengantisipasi konfliknya bisa menggunakan
peran DKN.
Kedua, berkaitan dengan konflik antar masyarakat adat. Berdasarkan
pengalaman kita, masyarakat adat memiliki kearifan untuk menyelesaikan konflik
antar masyarakat adat. Tapi kalau tidak ada penyelesaian, ada intervensi dari oknum
dunia usaha terhadap konflik itu. Oleh karena itu pemerintah harus memfasilitasi
proses-proses penyelesaian konflik antar masyarakat adat agar semua pihak bisa
duduk bersama-sama.
Dunia usaha juga memberikan ruang kepada masyarakat adat untuk masuk ke
dalam wilayahnya untuk melakukan pemetaan wilayah adat, tanpa merasa takut akan
dikeluarkan dari wilayah investasi, dan masyarakat adat juga terbuka menyatakan
titik-titik penguasaannya secara adat.
Usep Setiawan (Fasilitator): Dua catatan kritis: mekanisme penanganan
konflik yang mungkin terjadi dalam proses pengukuhan kawasan hutan dan proses
identifikasi hutan-hutan adat harus disusun sedemikian rupa.
Marthen (Kamar Pemerintah): Pertama, percepatan proses penataan dan
pengukuhan kawasan hutan bukan satu-satunya alat untuk menyelesaikan konflik
tenurial. Kamar masyarakat menyatakan proses itu harus melibatkan masyarakat.
Mekanisme proses penentuan batas dirinci dengan baik karena ini sangat berkaitan
dengan hukum. Berdasarkan pengalaman, di H-2 dilakukan proses inventarisasi
trayek batas terlebih dahulu sebagai prakondisi untuk melakukan penataan batas.
Proses penentuan batas sangat bergantung pada mental sang Pengukur. Proses
Di Maluku, ketika terjadi konflik antar negeri, maka Latupati, Forum Raja-
raja di kawasan itu yang akan rapat dan memutuskan penyelesaian konflik.
Masyarakat adat harus diberi ruang untuk menyelesaikan konfliknya.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 55Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
penataan batas kawasan dan Penentuan batas bukan satu-satunya alat untuk
menyelesaikan konflik, terutama di Papua karena 200 suku menyebar merata di
seluruh tanah Papua.
Kedua, bicara soal identifikasi hak-hak masyarakat adat harus dengan hati,
tidak hanya dengan pikiran. Hati dan pikiran harus sinergis. Konflik kehutanan dan
tenurial sudah berlangsung sangat lama dan basisnya hanya masyarakat dan
pengusaha. Seharusnya Kemenhut harus ikut terlibat dalam penyelesaian konflik.
Tidak bisa hanya mengandalkan Pemda. Penataan batas merupakan kata kunci, peta
buka satu-satunya cara. Masing-masing kelompok masyarakat adat memiliki cara
identifikasi kepemilikan hak ulayat yang berbeda-beda. Pengakuan kepemilikannya
pun berbeda salah satunya berdasarkan sejarah perjuangan, seperti Papua.
Usep Setiawan: Implementasi NKB tidak diperuntukkan bagi penyelesaian
konflik tapi NKB punya kontribusi positif terhadap upaya-upaya penyelesaian konflik
tenurial kehutanan. Noer Fauzy mengingatkan bahwa NKB punya potensi konflik
karena terjadi tarik menarik kepentingan baik antar K/L, K/L dengan dunia usaha,
dunia usaha dengan masyarakat, bahkan antar kelompok masyarakat. Dalam
implementasi NKB ada tahapan-tahapan kritis yang harus disiapkan; mekanisme
penyelesaian konflik.
Oding (Kamar Akademisi): Di Papua dan Maluku sebagian besar kawasan
hutannya berstatus hutan adat. Bisa jadi tidak ada hutan negara. Nanti kalau itu benar-
benar terjadi, dengan berlaku putusan MK 35 maka potensi konfliknya sangat besar.
Penting untuk mencermati dan menghilangkan potensi konflik itu.
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): memperjelas poin memperkuat
koordinasi dengan pihak terkait terutama Kemenhut. Poin ini berkaitan dengan
penangan konflik-konflik kehutanan.
Usep Setiawan (Fasilitator): identifikasi pihak terkait selain Kemenhut dalam
urusan penanganan konflik?
Sungging Septivianto (Kamar Masyarakat): ketika proses penangangan
konflik sudah berjalan dengan baik di awal, di pertengahan dan menjelang akhir
proses biasanya Kemenhut berjalan sendiri dalam pengambilan keputusan. Salah satu
contohnya yang ditangani di Sumatera. Ada upaya memperkuat koordinasi agar itu
tidak terjadi lagi.
Leonard Immbiri (Kamar Masyarakat): menambahkan mekanisme lokal
dalam penanganan konflik.
2. Kamar LSM dan Pemerhati
Ketua : Matheus Pilin
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 56Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Sekretaris : Ita Natalia
Anggota : Paramita Iswari
Rafles
Ahmad Zazali
Catatan dan Masukan
a) Lampiran 1; Harmonisasi kebijakan dan Peraturan Perundangan tabel hal 5
Renaksi Kementerian Kehutanan mengenai penyempurnaan aturan tentang
pengukuhan kawasan hutan perlu penegasan mengenai: 1. Penerbitan aturan
tentang STATUS kawasan hutan, 2. Penyempurnaan aturan terkait FUNGSI
kawasan hutan.
b) Terkait dengan hal tersebut, pada lampiran 5, draft naskah kebijakan DKN perlu
di tambahkan catatan kaki mengenai belum adanya SK penunjukan/penetapan
terhadap STATUS KAWASAN hutan di Indonesia
c) Usulan; Tabel 5 pada draft Naskah Kebijakan DKN tidak perlu di cantumkan.
d) Sebelum adanya kepastian hukum atas kawasan hutan sebaiknya revisi atas
RTRWP di tangguhkan karena belum ada kepastian legal mengenai kawasan
hutan. Implikasi dari melanjutkan RTRWP akan melegalkan pemutihan
pelanggaran.
e) Lampiran 3; Resolusi konflik. Terbangunnya konsensus penyelesaian konflik
secara terpadu dan perlu ditetapkan penyelesaian konflik 1 pintu di kementerian
atau lembaga terkait.
f) Lampiran 3 ; bagi konsesi yang belum tata batas penyelesaian konflik (hak pihak
ke tiga/ hutan adat) diselaraskan dengan proses tata batas. Bagi konsesi yang
sudah tata batas tapi masih ada konflik (hak pihak ke tiga/hutan adat)
penyelesaian dengan mekanisme dialog dan mediasi. Poin ini mendukung kerja-
kerja di poin 5.
g) Secara khusus untuk KPK, perlu secara jeli menindak lebih lanjut kementerian
atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB nya
h) Catatan khusus kepada Presiden, untuk memberikan sanksi kepada kementerian
atau lembaga yang mengabaikan renaksi NKB yang ditetapkan
Pandangan umum terhadap Carut Marutnya Tata Kelola Kehutanan Di
Indonesia
a) Dalam konteks Putusan MK 35/2012 & No.45/2012; Masalah kehutanan saat ini
adalah sebagai masalah bersama dan masalah sektoral yang perlu perubahan cara
pandang; kebijakan dan cara kerja.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 57Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
b) Inkonsistensi terhadap proses pengukuhan kawasan hutan yang telah ada selama
ini sehingga diperlukan transparansi terhadap seluruh dokumen dalam
pengukuhan kawasan hutan (peta dan berita acara) sehingga dapat diverifikasi
oleh publik.
Pandangan Kamar LSM/Pemerhati terhadap NKB 12 K/L
a) Partisipasi masyarakat sangat penting mengawal proses NKB K/L sampai ke
tujuan.
b) Bahwa NKB 12 K/L bisa menjadi terobosan untuk mengatasi carut marutnya
persoalan kehutanan dengan catatan semua pihak (pemerintah, CSO, masyarakat
adat dan komunitas lokal, sektor usaha, akademisi) mengambil peran/bagian
sesuai dengan fungsinya terkait dengan putusan MK ini.
c) Bahwa dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan (IMH)
menghimbau kepada semua pihak untuk mendukung upaya tersebut yang di
fasilitasi KPK.
d) Memastikan transparansi dari setiap proses serta uji akuntabilitas terhadap output
yang dihasilkan
Rekomendasi
a) Memastikan prinsip keadilan gender dalam NKB
b) Legalitas perijinan akan bermasalah ketika kepastian hukum belum ada sehingga
moratorium menjadi alasan yang paling kuat.Ijin-ijin tidak diterbitkan di
wilayah yang belum ditata batas menjadi hutan Negara, tidak dipertukarkan dan
tidak dipinjamkan, sebagaimana penjelasan UUK pasal 12.
c) KPK bersama DKN membangun sebuah sistem monitoring yang transparan dan
inklusif
d) Dalam upaya memperkuat Indonesia Memantau Hutan IMH) menghimbau untuk
mendukung bentuk pemantauan hutan yang di fasilitasi KPK. Tidak harus semua
melalui DKN, bisa juga bentuknya himbauan untuk memperkuat IMH yang
difasilitasi KPK. Secara explicit kita biulang yang difasilitasi
e) KPK bersama DKN mendiseminasikan hasil NKB 12 K/L dan rencana aksinya
seluruh wilayah di Indonesia, termasuk pulau kecil.
f) KPK bersama DKN melakukan peningkatan kapasitas terhadap masyarakat sipil
untuk dapat memantau pelaksanaan NKB ini
g) Kementerian Kehutanan harus mempunyai desk terpadu untuk penyelesaian
konflik kawasan hutan. Ini juga berlaku untuk Papua dan pulau-pulau kecil.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 58Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Dalam Tabel 5 pada naskah Kebijakan DKN, yang dijelaskan hanya fungsi
saja. Sementara yang menyangkut status tidak dibahas sehingga tentang hutan negara,
hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan rakyat, dll tidak ada kejelasan. Pernyataan
bahwa bisa jadi di Papua tidak ada hutan negara, dikarenakan persoalan status yang
tidak jelas. Dalam konteks fungsi, diasumsikan fungsi kawasan hutan merupakan
hutan negara. Status menjadi isu yang penting. Hubungannya dengan moratorium
dan kepastian hukum, aspek penetapan dengan memperhatikan aspek status menjadi
sangat penting.
Momentum
Terkait dengan UU 41 banyak sekali terjadi kriminalisasi sehingga
masyarakat adat menginginkan segera adanya amnesti terhadap kasus-kasus yang
ada. Implikasinya adalah soal kepastian hukum kalau kita bicara mengenai hutan
adat, aspek pengukuhan. Moratorium juga berimplikasi pada kepastian hukum. Kalau
kepastian hukum ini dalam konteks mendukung NKB 12/KL maka revisi rencana
RTRWP itu dalam konteks kepastian hukum.
Tambahan Kamar LSM
Rafles: Status kawasan hutan diatur dalam pasal 5 UU 41 sedangkan fungsi
kawasan hutan diatur dalam pasal 6 UU 41. Yang terjadi dalam aturan-aturan
pelaksanaanya itu adalah mengacaukan istilah status dan fungsi di dalam Permen-
Permen yang kemudian keluar.
Sama saja ketika kita mempersoalkan antara kawasan hutan dengan batas
administrasi negara karena memang kepemilikan pasti dibagi habis. Kalau tidak
dimiliki oleh rakyat, pasti dimiliki oleh negara. Sampai saat ini, dari 8 SK penunjukan
kawasan hutan yang ada di pulau Sumatera, tidak satupun SK penunjukan yang
mengatakan itu adalah status kawasan hutan, tapi fungsi kawasan hutan. Itu kenapa
kita berani mengatakan bahwa ini tidak dilaksanakan. Mungkin paradigma ini yang
perlu dilihat ulang. Artinya, sepertinya sudah ada penerjemahan-penerjemahan yang
keliru dan ini mungkin perlu diperdebatkan kedepan kalau memang konteks
Dalam status kawasan hutan sebetulnya tidak perlu adanya PU 45 maupun PU 35 kalau mandat ini dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan. Karena terhadap status kawasan hutan, itu terkait dengan hak penguasaan; hak penguasaan oleh masyarakat, hak penguasaan oleh negara. Sementara, fungsi kawasan hutan adalah tentang bagaimana hutan itu dikelola. Jadi kedua-dua halnya itu membagi habis seluruh wilayah Indonesia. Jadi tidak bisa fungsi menegasikan status.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 59Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
hukumnya perlu dipersoalkan. Ini sangat menarik sekali karena memang akar
persoalannya ada di status dan tidak pernah dilaksanakan dan yang muncul kemudian
adalah interpretasi-interpretasi yang cenderung menyesatkan.
Diskusi dan Klarifikasi
Agus Yustianto (Kamar Pemerintah): Mengomentari diagram. Tadi
disampaikan “status kawasan hutan”, ini rancu karena diposisikan ada hutan negara,
hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat. Hutan desa dan hutan
kemasyarakatan adalah ijin yang diberikan oleh pemerintah yang berada di hutan
negara.
Pola-pola pemanfaatan hutan harus direkonstruksi agar tidak
membingungkan. Misalnya posisi hutan desa dan hutan kemasyarakatan, yang
dipahami adalah ijin yang diberikan. Hutan desa, hutan negara dan hutan
kemasyarakat tidak bisa disejajarkan.
Rafles (Kamar LSM): memang betul di dalam beberapa Permenhut, hutan
desa dan Hutan kemasyarakatan dimaknai sebagai ijin. Tapi kalau melihat konstruksi
dari UU 41 di pasal 5 dan pejelasan pasal 5, sepanjang hutan desa dan hutan
kemasyarakatan itu dimaknai sebagai ijin, itu justru bertentangan dengan UU 41.
Banyak hal yang mis dari UU 41 karena banyak aturan-aturan yang tidak ditemukan.
Misalnya tentang pembatasan ijin, ada di UU tapi tidak ada PP maupun Permen yang
mengatur itu. Itu adalah aspek monopoli.
Usep Setiawan (Fasilitator): Point tentang status dan fungsi kawasan hutan
adalah perlu mengkaji ulang, merekonstruksi dan mendudukan kembali UU 41, UU
Kehutanan, dikaitkan dengan implementasi NKB.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Rekomendasi kamar LSM menggiring DKN
seolah-olah menjadi operasional pelaksana eksekusi. Tidak setuju dengan
rekomendasi itu. Tidak masalah DKN melakukan pemantauan tapi jangan tempatkan
DKN bersama KPK untuk melakukan sesuatu yang operasional. Apalagi DKN
bersama KPK menonitor kerja NKB, kemudian mendesimenasikan ke seluruh
Indonesia. Itu sudah keluar dari garis besar haluan di DKN.
Perlu merekonstruksi lagi hal yang berkaitan dengan status kawasan hutan
karena pemahaman dan implementasi dari hutan-hutan tersebut masih rancu.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 60Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Matheus Pilin (Kamar LSM): Perspektif kamar LSM dalam poin rekomendasi
adalah disadari bahwa anggota presidium DKN berada di beberapa wilayah di
Indonesia. Maka ketika melakukan proses diseminasi terkait dengan dokumen NKB,
ini akan sangat strategis untuk disampaikan kepada banyak orang. Kamar LSM tidak
melihat ini dalam konteks operasional melainkan mendayagunakan fungsi-fungsi
yang ada dalam tubuhnya DKN ini ketika berada di wilayah-wilayah yang ada di tiap
kamar yang bisa berkontribusi.
Usep Setiawan (Fasilitator): Poinnya DKN mendorong KPK untuk
melakukan rekomendasi poin 3, 5 dan 6, tapi tidak dalam posisi DKN mengerjakan
pekerjaannya KPK. Perlu ada reformulasi redaksi rekomendasi.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Kalau yang dimaksudkan bahwa DKN ingin
mendiseminasikan informasi apa yang telah dilakukan oleh DKN kepada konstituen,
itu tidak ada masalah. Itu satu keharusan bagi DKN karena DKN berdasarkan
konstituen. Tapi kalau misalnya DKN bersama KPK mendiseminasikan hasil NKB
dan rencana aksinya pada seluruh wilayah Indonesia, termasuk pulau kecil, itu sama
dengan DKN didorong untuk menjadi operasional eksekusi. Redaksi rekomendasinya
mengarah ke situ.
Eny Faridah (Kamar Akademisi): di dalam draft Naskah Kebijakan DKN, di
bagian terakhir tertera bahwa DKN akan mendukung proses perencanaan maupun
desimenasi dan pelaksanaan renaksi NKB dan akan masuk ke 5 kelompok. Agar
DKN tidak menjadi pelaksana KPK, bentuk dukungan DKN bisa mengikuti apa yang
diperlukan. Redaksi rekomendasi menjadi “KPK dengan dukungan DKN melakukan
desiminasi.” Bentuk dukungan bisa dibicarakan lebih lanjut.
Paramitha Iswari (kamar LSM): DKN bukan hanya presidium. AD
menyebutkan bahwa DKN termasuk juga orang-orang yang pernah mengikuti
kongres DKN. Artinya DKN punya konstituen di seluruh wilayah Indonesia. Maksud
dari rekomendasi ini adalah KPK menyelenggarakan diseminasi NKB lalu DKN
memberikan informasi mengenai konstituen DKN. Ini tidak keluar dari kewenangan
DKN karena ini bukan proyek atau DKN menjadi konsultan bagi KPK.
Marthen (Kamar Pemerintah): berkaitan dengan rekomendasi poin 5 dan 6,
“mendukung” bentuknya bisa “bersama-sama KPK”, bisa juga “sendiri tapi substansi
sama”. “Melakukan sendiri” juga termasuk mendukung. Yang penting semua sepakat
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 61Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
untuk menindaklanjuti NKB maka semua punya tanggungjawab yang sama untuk
melakukan itu. Sosialisasi adalah tugas KPK dan 12 K/L.
Zulfikar (kamar Pemerintah): Mohon klarifikasi lebih lanjut tentang
pernyataan penundaan revisi RTRWP sampai ada kepastian hukum atas kawasan
hutan.
Rafles (Kamar LSM):
Contohnya di Kalimantan Tengah. Dokumen Tim terpadu belum pernah
ditemukan secara publik sehingga tidak bisa dilakukan penilaian apakah kajian tim
terpadu itu berdasarkan otoritas ilmiah yang bisa diverifikasi pula secara ilmiah. Jika
itu tidak dilakukan, maka bisa dikatakan bahwa ini adalah sebuah upaya untuk
mengebiri semangat yang luar biasa dari UU Penataan ruang. Karena proses
keluarnya PP 10/2010 itu setelah UU 26/2007 keluar, tentang Tata Ruang. Memang
benar itu mandat dari UU 41 tapi keluarnya pasca UU Tata Ruang keluar. Dan
menariknya, satu mandat dari UU Tata Ruang tidak dilaksanakan oleh pemerintah;
Audit Perijinan. Karena di sana resmi batal demi hukum dan batal dengan
kompensasi. Artinya semangatnya itu adalah menertibkan ijin-ijin. Ini seirama
dengan NKB. Persoalannya adalah seberapa parah persoalan, ketika tidak
teridentifikasi akan menumpuk akumulasi persoalan. Penyelesaian juga bersifat
parsial, akhirnya. Yang kasihan adalah pihak pengusaha.
Usep Setiawan (Fasilitator): poin kritisnya adalah isu kaitan antara
percepatan pengukuhan kawasan hutan dan revisi RTRW. Lampiran 1 NKB berkaitan
dengan harmonisasi kebijakan maka perlu dilihat harmonisasi sinkronisasi antara UU
Kehutanan, pelaksanaan NKB dan UU RTRW dan pelaksanaanya.
Leonard Imbiri (Kamar Masyarakat): Posisi DKN bisa merupakan satu
kesimpulan bersama. Tapi posisi DKN juga bisa keluar dalam posisi kamar-kamar,
jika DKN tidak bisa sampai pada konsensus.
RTRWP perlu ditunda karena fungsi maupun status kawasan hutan menjadi data dasar dalam penyusunan rencana tataruang. Rencana tataruang menjadi tidak pasti jika datanya ilegal. Legalitas tata ruang bisa dipertanyakan ketika legalitas kawasan hutannya bermasalah. RTRWP justru menjadi alat untuk melegalkan ijin-ijin yang bermasalah di masa lalu. Memutihkan pelanggaran ijin. Tapi tidak ada proses transparansi dari setiap proses tim terpadu kepada publik.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 62Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Usep Setiawan (Fasilitator): Ada dua model penyikapan atas kebijakan, bisa
DKN secara keseluruhan merumuskan sikap bersama secara bulat tapi dalam hal-hal
tertentu tiap kamar bisa punya sikap yang otonom. Rekomendasi LSM perlu diberi
konteks yang lebih luas terkait hubungan antara kebijakan tata ruang dan penataan
kawasan hutan.
Matheus Pilin (Kamar LSM): Ini adalah pandangan kamar. Kamar punya
kepentingan terhadap konteks dan teminologi. Muncul kata “ditangguhkan” di dalam
catatan dan masukan poin 4 karena perhatian kita lebih pada land-use ketika bicara
soal tataruang. Land-tenure sering terabaikan. Ketika kita selalu bicara dalam konteks
land-use nya dan mengabaikan land-tenure-nya maka berhubungan ketika kita bicara
soal tata ruang. Contoh kasus untuk menegaskan bahwa RTRW perlu ditangguhkan
adalah masyarakat tidak diperbolehkan membuat sekolah di kampungnya karena
masih masuk di dalam kawasan hutan sementara masyarakat butuh sekolah. Ketika
itu dipaksakan masuk ke dalam bagian tataruang yang ditetapkan maka konflik yang
terjadi. Rekonstruksi rekomendasi tidak boleh menghilangkan kata “ditangguhkan”.
Mohon tanggapan atas rekomendasi mengenai penyelesaian konflik satu
pintu di Kementerian atau lembaga terkait. (catatan dan masukan kamar LSM poin 5)
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): penyelesaian konflik harus
berkoordinasi dengan pihak terkait, dalam hal ini kehutanan. Pengalaman Komisi
Mediasi Konflik DKN, penyelesaian konflik justru hilang di tingkat Kementerian
kehutanan. Penyelesaian konflik harus berada di dalam satu kewenangan tertentu
yang benar-benar bisa punya kepastian hukum.
Jomi Suhendri (Kamar Masyarakat/Komisi Mediasi Konflik DKN) Sepakat
dengan adanya mekanisme penyelesaian konflik 1 pintu di kementerian atau lembaga
tertentu. Proses penyelesaian konflik terkait dengan keterbatasan di DKN, terutama
Komisi Konflik. Komisi Konflik DKN sifatnya hanya rekomendasi, tidak bisa
memutuskan segala sesuatu yang sifatnya eksekusi. Eksekusi tetap ada di wilayah
kemenhut. Jika arah dorongannya ke penyelesaian konflik 1 pintu, harus ditentukan
ada di kementerian mana. Di Kemenhut sebenarnya sudah ada tim kerja yang bekerja
menyelesaikan konflik kehutanan.
Perlu diperjelas apakah yang dimaksudkan dengan 1 pintu ini mendorong ke
arah Rekomendasi Kamar LSM poin 7; Kemenhut harus mempunyai desk terpadu
untuk penyelesaian konflik kawasan hutan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 63Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Jali (Kamar LSM): proses penyelesaian konflik di internal Kemenhut tersebar
di beberapa direktorat. Tahap penyelesaian penataan batasnya dipegang Dirjen
Planologi(?). Terhadap konflik yang terjadi antara masyarakat dan pemegang konsesi
diurus oleh Dirjen BUK. Bahkan sekarang ada PUPDAL, di bawah Sekjen langsung
yang punya fungsi mediasi. Tiga proses ini terkadang tidak terkoneksi. Ketika DKN
ditunjuk sebagai mediator, untuk menyelesaikan satu kasus, DKN harus rapat sendiri-
sendiri dengan masing-masing bagian tersebut. Untuk penyelesaian melalui
mekanisme tata batas harus berurusan dengan planologi. Untuk yang berurusan RKT,
proses perijinan dll, melalui BUK. Dan sekarang ditambah dengan lembaga PUSDAL
yang langsung di bawah Sekjen.
DKN pernah mengusulkan adanya direktorat khusus yang menangani
penyelesaian konflik. Minimal 1 direktur penyelesaian konflik di bawah Kementerian
Kehutanan. Menurut Kementerian Kehutanan penambahan itu tidak mudah karena itu
membutuhkan persetujuan DPR dan Menpan karena butuh penambahan eselon.
Akhirnya jalan tengahnya adalah penambahan tupoksi yang akibatnya tupoksi
tersebar.
Usep Setiawan (Fasilitator): kamar LSM dan kamar masyarakat
mengusulkan agar mekanisme penanganan dan penyelesaian konflik kawasan
kehutanan ini diperbaharui dan ditata ulang dengan satu usulan kongkrit mekanisme
dan kelembagaan yang selama ini tersebar kewenangannya di sejumlah unit,
dikumpulkan dalam satu unit. Perlu juga didesain mekanisme penyelesaian konflik
yang ada di kemenhut dan kementerian yang lain, serta antara kementerian.
David (Kamar Bisnis): di dalam NKB 12 K/L ada satu bagian yang khusus
masalah penyelesaian konflik. Di dalam satu Kementerian saja sering tidak terbangun
koordinasi yang baik, apalagi antar kementerian.
Perlu ada penyelesaian konflik satu pintu agar birokrasinya tidak terlalu
panjang.
Karena ini NKB, yang kita pikirkan adalah konflik kawasan hutan yang terkait
dengan fungsi departemen atau kementerian lain. Tentu penyelesaiannya tidak
di desk Kementerian Kehutanan tapi harus ada kelembagaan yang bisa
menjadi payung. Barangkali ada lembaga penyelesaian konflik yang bisa
lintas departemen.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 64Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Usep Setiawan (Fasilitator): lampiran ketiga NKB berkaitan dengan resolusi
konflik, yaitu mengidentifikasi tugas-tugas atau aksi-aksi yang akan dilakukan setiap
kementerian/lembaga dalam konteks resolusi konflik. Kedepannya akan dibentuk satu
badan khusus atau mengoptimalkan fungsi koordinasi antar kementerian dan
lembaga, perlu ada konfirmasi dari KPK.
3. Kamar Akademisi dan Peneliti
Peserta Sidang Kamar Akademisi
a) Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (IPB)
b) Dr. Eny Faridah (UGM)
c) Dr. Agus Kastanya (Universitas Pattimura)
d) Teguh Yuwono, M.Si (UGM)
e) Oding Affandi, M.P (USU)
f) Dr. Edy Batara Siregar (USU)
Masukan Terhadap Naskah KebijakanDKN
a) Bagian Pendahuluan Penambahan “hutan desa” pada kalimat “Sementara itu
bagi usaha kecil seperti hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan desa,
maupun ….. Dst”
b) Bagian Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan
Kondisi dan kinerja nasional point (3) penambahan kata “(ill forestry and
land governance)”
Rencana pembangunan dan problemanya point (6) penambahan kalimat”
Kebijakan ini juga nyaris tidak berkomunikasi dengan kebijakan pengurusan
kehutanan terutama dalam bidang perencanaan kehutanan sebagaimana
termaktub pada UU 41/1999 Tentang Kehutanan”.
Bagian Kawasan Hutan dan Ruang point (7) penambahan kata “Namun
dalam konteks lapangan, adanya putusan MK ini dapat menjadi tameng dari
kebijakan bupati/gubernur dalam hal “alih fungsi/peruntukan kawasan hutan”
menjadi perkebunan/pertambangan dll yang selama ini banyak terjadi di
banyak daerah”.
Penyelesaian konflik tidak bisa diserahkan kepada satu kementerian saja
karena konflik pasti terjadi lintas kementerian. Dengan adanya NKB 12 K/L
akan dibentuk saru organisasi yang didalamnya salah satu khusus untuk
menyelesaikan konflik.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 65Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
c) Bagian Kinerja Nasional dan Perkembangan Kebijakan
Bagian Kawasan Hutan dan Ruang point (10) penambahan kata Oleh
karena itu perlu segera diketahui bagaimana konstelasi terkait penguasaan
kawasan hutan dan lahan di tingkat tapak dan potensi konflik antara
“masyarakat hukum adat” dengan pemilik ijin-ijin konsensi.
Penambahan point (11) Pemerintah telah mencanangkan kebijakan
penggunaan ruang di dalam kawasan hutan melalui kerangka Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH), sebagaimana dimandatkan oleh UU 41/1999 dan
PP 6/2007 Jo. PP 3/2008. Kebijakan ini menggariskan bahwa kawasan hutan
harus terbagi habis ke dalam satu anakuntabilitas dan permanen di tingkat
tapak. Melalui KPH, implementasi kebijakan yang berkaitan dengan
keruangan, serta hubungan antar aktor di sektor primer kehutanan, dan
pencapaian/pemeliharaan fungsi social, lingkungan (termasuk peran dalam
penurunan emisi karbon) dan ekonomi dapat didesentralisasikan kepada
KPH.
d) Bagian Agenda 12 Kementerian/Lembaga
Peran bagi Masyarakat Adat/Lokal penambahan kata Pemerintah/Pemda
sendiri misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung.
Keberadaan …dst… Hutan ini dapat diselesaikan dengan dilakukannya
revisi UU 41/1999 tentang kehutanan
Penambahan kalimat Dengan kenggotaaan Panitia Nasional Tata Batas
yang tidak hanya dari Kemenhut tapi juga beranggotakan representasi K/L
yang lain.
Peran bagi Usaha Besar Kehutanan Penambahan kalimat alinea 2 “Yang
tidak kalah penting adalah adanya mafia perizinan yang berdampak pada
mahalnya biaya perizinan khususnya untuk izin pinjam pakai kawasan hutan
untuk tambang.”
Pandangan DKN
a) Pembahasan Kebijakan point Kelompok Pengukuhan Kawasan Hutan
penambahan kata “terutama untuk menentukan kriteria legalitas masyarakat
hukum adat di tingkat lapangan”.
b) Penambahan alinea penutup dengan kalimat “Tentu, kelima kelompok
tersebut tidak bekerja secara independen, karena kelimanya saling terkait dan
saling berinteraksi. Muara atau sasaran akhir yang harus dipantau adalah
perbaikan tata kelola baik di tingkat koherensi kebijakan, efektivitas
pemantapan kawasan, efektivitas organisasi pengelola sumber daya
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 66Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
kehutanan, terjaminnya peningkatan ruang kelola dan pendapatan
masyarakat, serta terjaminnya usaha dan bisnis berbasis kehutanan lestari.”
Seluruh rencana pembangunan harus terintegrasi dalam Rencana
Pembangunan Nasional yang terpadu termasuk MP3EI, RAN GRK, Stranas
REDD+, Pengelolaan hutan lestari seluruhnya diarahkan untuk kesejahteraan
masyarakat. Konsep pembangunan nasional inilah yang harus dijabarkan dalam
pembangunan daerah (keterpaduan RTRW, TGH/K dan pembangunan sector
lainya)
Dengan adanya keputusan MK No. 35/2012 tentang hak masyarakat adat,
perlu dipikirkan bagaimana pengelolaan hutan lestari bisa berjalan. Ada acaman
terhadap eksistensi hutan lestari yaitu KPH, apabila hutan adat dikeluarkan dari
hatan Negara, dan tidak ada aturan yang tegas menyangkut pengelolaan KPH.
Wilayah-wilayah yang hampir seluruhnya menyangkut hak adat (seperti
Maluku dan Papua) terutama Maluku sebagai kawasan pulau-pulau kecil, perlu
dikelola dalam kesatuan KPH hutan adat, untuk menjamin kelestarian hutan dan
kesejahteraan masyarakat.
Untuk kawasan pulau-pulau kecil, maka pemberian ijin untuk pertambangan
harus dihentikan karena sangat berbahaya bagi masyarakat dan lingkungan,
terutama lingkungan laut pesisir yang juga memiliki biodeversitas tinggi
Peran KPK dalam NKB 12 K/L, selain terfokus pada 12 kementerian dan
lembaga, juga harus benar-benar difokuskan ke pemerintah daerah untuk
mengatasi pemberian ijin yang tidak sesuai prosedur dan menyalahi RTRW dan
tumpang tindih ijin
Pandangan Umum Terhadap NKB 12 K/L
• NKB merupakan program jangka panjang dan bersifat lintas sektoral maka
dibutuhkan komitmen penyelenggara pemerintahan baik legislatif, eksekutif,
maupun yudikatif.
• Perlu dibangun kesepahaman yang sama terkait NKB, khususnya dengan
legislatif. Kesepahaman yang sama akan memudahkan tercapai harmonisasi
Naskah kebijakan DKN harus dapat menjelaskan bahwa pembangunan nasional sekarang sagat sektoral dan tidak terpadu, baik antar Departemen maupun dalam Departemen kehutanan sendiri (Antar Dirjen), sehingga setiap program yang dikembangkan tidak ada prioritas untuk penyelesaian masalah yang dihadapi.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 67Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
kebijakan dan peraturan perundangan jika dalam aksi NKB akan mengarah
pada proses penyusunan atau amandemen sebuah kebijakan (undang-undang)
• Jikapun ada komitmen besar di tingkat menteri/ketua lembaga dalam renaksi
NKB, yang juga penting adalah bagaimana antisipasi implementasi ketia
kegiatan ini di tingkat2 lebih rendah/di lapangan, apalagi jika
mempertimbangkan perbedaan kondisi/budaya kerja di setiap daerah;
• Terwujudnya NKB 12 K/L dengan peran KPK yang kuat, adalah kesempatan
untuk mereformasi kebijakan termasuk peraturan pelaksana yang tidak sesuai
untuk mendudukkan pengelolaan yang benar dan mendukung kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu memadukan Renaksi NKB 12 K/L dengan
memfokuskan integrasi semua jenis program kehutanan yang ada dengan
pembangunan KPH hendaknya menjadi prioritas utama;
Pandangan Umum Terhadap Putusan MK 35/2012
• Putusan MK telah menempatkan kembali masyarakat adat dan komunitas
lokal sebagai subjek hak dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya
hutan;
• Putusan MK diharapkan menjadi pintu masuk rekonsiliasi antara pemerintah,
masyarakat adat, dan pngusaha Pemerintah bersama masyarakat adat
memetakan wilayah hutan adat yang selama ini masih belum ada kejelasan
penunjukan dan penetapannya;
• Dalam menindaklanjuti putusan (constitutional review) MK/45 maupun
MK/35 diusulkan agar sementara dilakukan penundaan perijinan yang baru
(HPH/HTI dsb) di kawasan hutan yang belum ditetapkan, agar pengukuhan
status (hutan adat) tidak banyak hambatan;
• Perlu disusun strategi/kebijakan dengan mempertimbangkan ketidak-netralan
Pemda terhadap percepatan penetapan hutan adat, mengingat dari
kepentingannya Pemda akan lebih diuntungkan dng pengukuhan kawasan
untuk tujuan selain itu;
• Perlu kepastian hukum bagaimana hak (kepemilikian) hutan adat ini secara
administratif didaftarkan ke Negara (register) apakah berstatus seperti hak
milik atau ada hak komunal, sehingga terdapat kejelasan statusnya.
Kegiatan Yang Penting untuk Dilaksanakan oleh DKN
DKN akan memberikan input substansial terhadap perbaikan peraturan-
perundangan, berupa: masalah-masalah di lapangan serta pemecahan masalah
yang dapat dijalankan;
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 68Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Dalam 6 bulan sekali diusulkan ada pertemuan antara KPK dan DKN untuk
mereview pelaksanaan NKB dan mekanisme penyelesaian hambatan-
hambatan yang dihadapi;
Identifikasi/inventarisasi hasil pemetaan hutan yang secara de facto dan de
jure yang merupakan kawasan hutan adat untuk mempercepat penetapan
legalitas masyarakat hukum adat yang sah sebagai pemangku kawasan hutan
adat;
Akademisi dapat berperan dalam percepatan pembangunan KPH melalui
peningkatan kapasitas SDM nya;
Mengingat anggota DKN/DKD terbatas, mungkin perlu disampaikan bahwa
terbuka kemungkinan bahwa DKN –dalam mendukung NKB 12 K/L ini-
akan bekerjasama dengan lembaga terkait jika dipandang perlu;
Peran DKN untuk merealisasikan NKB 12 K/L, sebaiknya mendorong
pembentukan DKD di tiap Provinsi dan meningkatkan kapasitas DKD untuk
membantu merealisasikan seluruh Renaksi NKB;
DKN sebagai wadah multi-pihak diharapkan mampu keluar dengan satu
pandangan bahwa dengan adanya Keputusan MK No. 35/12 eksistensi hak
masyarakat adat dengan hutan adatnya harus tetap dapat berbentuk sebagai
hutan/lestari di dalam KPHP, KPHL, KPHK dan tidak mengkonversi fungsi
hutan sehingga daya dukung lingkungan terabaikan.
Diskusi dan Klarifikasi
Imam (Kamar Bisnis): Setuju atas usulan Kamar akademisi berkaitan
dengan amandemen UU 41 karena dalam 14 tahun ini sudah banyak yang harus
disesuaikan.
Dengan NKB diharapkan kita bisa memberikan pendewasaan kepada
konstituen bahwa kita tidak berdiri sendiri. Setiap kamar pasti ingin kepentingan
kostituennya didahulukan. Diterbitkannya NKB adalah kemajuan pemerintah.
Implementasi NKB harus memperhitungkan kelangsungan hidup dari konstituen
lain. Harapannya DKN bisa diterima oleh semua konstituen dari seluruh
stakeholder.
Kerjasama antar kamar perlu ditingkatkan karena DKN adalah milik
bersama. Mendukung penyelesaian konflik satu pintu yang penting bisa
menyerap aspirasi 5 kamar.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 69Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Panitia tata batas anggotanya antara lain
BPN, perkebunan, kehutanan dll.
Marthen (Kamar Pemerintah): Amandemen UU 41 pasti membutuhkan
waktu. Sambil menunggu amandemen UU 41 yang bisa dipercepat adalah
harmonisasi dan sinkronisasi aturan-aturan tiap KL dalam waktu 2 minggu.
Usep Setiawan (Fasilitator): dua poin dari Kamar Pemerintah; (1)
penjelasan panitia tata batas perlu diperdalam dan (2) revisi UU Kehutanan serta
percepatan sinkronisasi dan harmonisasi peraturan-peraturan
kementerian/Lembaga. Panitia tata batas sebagai ujung tombak dari proses
percepatan pengukuhan kawasan hutan mendapatkan perhatian khusus.
Agus K. (Kamar Akademisi): Semangat untuk membangun ini kembali
betul-betul dilakukan dengan proses-proses yang terbuka dan tidak menggunakan
cara-cara lama.
Marthen (Kamar Pemerintah): Pembentukan Panitia Tata Batas harus
merujuk kepada NKB 12/KL, bukan hanya kepada panitia tata batas yang ada
sekarang. Itu bisa dilakukan di daerah. Dinas Kehutanan setempat mengusulkan
ke Gubernur. Langsung saja bisa karena ketuanya itu Bupati.
Usep Setiawan (Fasilitator): Kewenangan, inovasi dari pemerintah
daerah dibutuhkan untuk menjadikan panitia tata batas lebih melibatkan banyak
pihak, dan lebih efektif dalam pekerjaannya. Bukan hanya terbentuk format tapi
juga efektif di lapangan.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Ada masalah ketatanegaraan terkait
dengan Panitia Tata Batas. Panitia Tata Batas diketuai oleh Bupati atas
sepengetahuan menteri. Anggotanya adalah Disbun, Dinas Kehutanan, Dinas
Pertanian dan semua SKPD yang berkaitan dengan penggunaan lahan.
Masalahnya lembaga-lembaga ini tidak ada hubungannya dengan K/L. Disbun
tidak ada hubungannya dengan K/L Pertanian, Dinas kehutanan tidak punya
hubungan dengan K/L Kehutanan. Hanya ada satu lembaga yang punya
hubungan vertikal langsung dengan pusat, yaitu kantor pertanahan.
Yang perlu menjadi catatan, apa yang dimaksudkan dengan instansi K/L itu tidak serta merta dalam tata pemerintahan kita itu bisa didelegasikan pada dinas-dinas tingkat kabupaten.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 70Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Contohnya kebijakan kementerian pertanian tidak serta merta bisa dijabarkan
oleh dinas perkebunan ketika menjadi panitia tata batas. Wakil pemerintah di
daerah itu adalah Gubernur. Gubernur membentuk panitia, tapi dia tidak punya
link secara langsung. Hubungannya dengan Bupati adalah koordinasi dan monev.
Usep Setiawan (Fasilitator): butuh penjelasan lebih lanjut hubungan
antar unsur pemerintahan.
Agus (Kamar Akademisi): Harus dilihat substansi apa yang mau
dilakukan dalam penentuan tata batas. Semua komponen yang masuk ke dalam
kepanitiaan tata batas harus melihat substansi itu; apa yang harus diselesaikan.
Eny Faridah (Kamar Akademisi): NKB di atas meja terlihat mulus tapi
belum tentu pelaksanaan di lapangan juga akan mulus. Di bagian masukan untuk
draft kebijakan DKN kamar akademisi menegaskan bahwa yang terpenting
adalah bagaimana mengantisipasi implementasi setiap kegiatan. Diantaranya
Panitia Tata batas, diupayakan kedepannya tidak akan seperti sekarang.
Usep Setiawan (Fasilitator): Implementasi NKB membutuhkan
sinergisitas dari semua unsur pemerintahan dan itu harus tercermin dari Panitia
Tata Batas.
Jali (Kamar LSM): Tata batas merupakan titik masuk pengentasan soal
status maupun soal konflik-konflik di dalam kawasan hutan. Ada dua tata batas
yang berbeda; tata batas untuk pengukuhan kawasan hutan dan tata batas terhadap
wilayah yang sudah dibebani hak pihak, dalam hal ini sudah diberikan ijin-ijin
konsesi di atas kawasan hutan itu. Kedua jenis tata batas itu memiliki Permenhut
yang berbeda. Khusus untuk kawasan hutan yang sudah dibebani konsesi
IUPHHK-HT, itu diatur dalam Permenhut 9/2011, sedangkan untuk pengukuhan
kawasan hutan diatur Permenhut 44/2012 tentang pengukuhan kawasan hutan.
Penatabatasan wilayah yang sudah dibebani ijin konsesi berada di bawah
koordinasi BPKH yang kewajibannya hanya 11% dari total tata batas, selebihnya
diserahkan kepada konsultan/pihak ketiga yang disewa oleh pemegang konsesi.
Rata-rata pemegang konsesi belum melakukan tata batas walaupun di Permenhut
44/2012 menyatakan bahwa dua tahun sejak ijin didapat tata batas harus sudah
selesai. Tapi dalam prakteknya masih banyak yang belum punya tata batas
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 71Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
padahal sudah puluhan tahun konsesi dipegang. Titik ini paling mungkin
digunakan untuk penyelesaian konflik yaitu diselaraskan dengan proses
penatabatasan konsesi. Poinnya adalah di dalam Permenhut diatur bahwa dalam
proses penatabatasan ada proses identifikasi dan penyelesaian hak pihak ketiga.
Yang tidak ada adalah penyelesaian hak pihak ketiga. Tidak ada panduan yang
dibuat oleh Kemenhut tentang cara mengidentifkasi, cara memverifikasi pihak
ketiga dan skema penyelesaiannya. Itu diserahkan kepada kesepakatan masing-
masing pihak dalam proses dialog maupun mediasi. Akibatnya yang kita hadapi
selama ini adalah usulan mana yang paling meyakinkan. Kalau perusahaan,
selama ini selalu mengusulkan bentuk penyelesaian kemitraan dan kerjasama
untuk menyelesaikan hak-hak pihak ketiga yang sudah ada di dalam konsesi.
Sementara masyarakat biasanya tuntutannya adalah dikeluarkan dari konsesi
perusahaan. Tentu kalau dikeluarkan implikasinya harus ada adendum terhadap
perijinan. Tapi karena tidak adanya panduan, hanya berdasarkan proses
perundingan dari pada pihak, penyelesaian konfliknya jadi lebih lama. Tarik
ulurnya lebih lama.
Permenhut P44/2012 tidak berbeda dengan Permenhut P9/2011.
Agus Wahyudi (Kamar Bisnis): Berkaitan dengan penataan tata batas
konsesi oleh pemegang konsesi. Sebagian besar pemegang konsesi belum bisa
menata batas bukan karena tidak mau tapi karena pada realitanya menentukan tata
batas sangat sulit. Biasanya di tahun awal sudah melakukan penataan tata batas
tapi penyelesaian sampai dengan pengukuhan sangat rumit. Rumitnya antara lain
karena sebagaian batas area kerjanya itu adalah batasan kawasan. Ketika batas
kawasannya belum selesai, karena batas kawasan menyangkut Panitia Tata Batas
yang beranggotakan banyak pihak maka sulit mengambil keputusan, sehingga
penataan batas beberapa konsesi tertunda. Langkah lebih lanjut sebenarnya
Pemerintah sudah menyederhanakan pelaksanaan tata batas. Peran BPKH
Usulan kongkritnya, untuk tata batas kawasan konsesi perlu pengaturan
tentang prosedur penyelesaian hak pihak ketiga dalam proses penetapan
tata batas. Selama ini yang terjadi adalah kreasi masing-masing pihak di
perundingan antar pihak. Sedangkan untuk tata batas dalam rangka
pengukuhan kawasan hutan, juga perlu ada panduan penyelesaian hak
pihak ketiga.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 72Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
sebenarnya bukan hanya 11% tapi karena keterbatasan tenaga dan semua
pedoman trayek tata batas sudah dibuat sehingga Pemerintah hanya mengontrol
pelaksanaan dan porsinya 10% saja. Setidaknya pedoman sudah dibuat dan
disepakati bersama antara pihak-pihak terkait batasnya maupun dengan
Pemerintah. Kamar Bisnis akan mengusulkan penyederhanaan pelaksanaan
penataan tata batas baik di penetapan kawasan maupun kawasan konsesi.
Hasby: mengkomentari penyampaian pak Jali.
Untuk melakukan tata batas harus dibentuk panitia tata batas. Panitia tata
batas di tingkat kabupaten, ketuanya adalah Bupati. Untuk membentuk panitia
tata batas membutuhkan waktu yang sangat lama. Di beberapa tempat, teman-
teman di konsesi sudah meminta melakukan tata batas sampai 10 tahun. Suratnya
sudah dilayangkan tapi panitia tata batasnya belum terbentuk. Pembentukan
panitia tata batas harus diberi tenggat waktu sehingga percepatan pelaksanaan tata
batas bisa dilakukan. Seandainya penentuan tata batas bisa dilakukan oleh
konsesi sendiri, prosesnya bisa cepat. Konsesi menginginkan kepastian.
Di beberapa tempat, untuk kepentingan sertifikasi maka mereka
melakukan sendiri tata batasnya hanya minta berita acara kedua belah pihak,
tanpa ada pengesahan dari pihak yang diberikan kewenangan, untuk memastikan
bahwa satu sama lain itu tidak melanggar antara batas masing-masing.
Putusan MK 35/2012 sifatnya bukanlah tata batas untuk ijin melainkan
pengukuhan tata batas pada fungsi maupun statusnya. Tata batas ijin baru bisa
dilakukan setelah semua pengukuhan atau penetapan batas-batas fungsi maupun
status selesai dilaksanakan.
Usep Setiawan (Fasilitator): Prosedur dan mekanisme penatabatasan
kawasan hutan perlu diperbaiki karena hal itu terkait langsung juga dengan
kepentingan dunia usaha dan kepastian hukum bagi masyarakat adat.
Sebenarnya kewajiban tata batas untuk ijin yang diberikan kepada unit
usaha di tangan pemegang ijin, tetapi yang melakukannya tidak boleh
pemegang ijin. Ini yang membuat betapa sedikitnya penyelesaian tata
batas hutan yang berijin dari kementerian Kehutanan sehingga
realisasinya sampai saat ini kurang dari 26% terhadap semua konsesi yang
sudah diberikan pemerintah Indonesia.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 73Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
4. Kamar Bisnis
Anggota Kamar Bisnis
a) Agus Wahyudi
b) David
c) Bambang Soekartiko
d) Bambang Supriyambodo
e) Aldrianto Priadjati
f) Endro Siswoko
g) Iman Harmain
h) Hasbillah (ABK)
Pandangan terhadap NKB 12 K/L
Percepatan Penataan dan Pengukuhan Kawasan Hutan
• Masalah belum selesainya penataan dan pengukuhan kawasan hutan sebenarnya
sudah dirasakan sejak lama oleh banyak pihak. Putusan MK No 45/PUU-
IX/2011, membuat banyak pihak tersentak dan menyadarkan kita semua untuk
segera menyelesaikan penataan dan pengukuhan kawasan hutan.
• Pengukuhan kawasan hutan, bagi siapapun sangat penting. Karenanya percepatan
pelaksanaan dan penelesaiannya merupakan kebutuhan mendesak dan harus
dijadikan prioritas
• Kesulitan dan hambatan pelaksanaan penataan batas dan pengukuhan kawasan
hutan sangat komplek dan melibatkan banyak pihak terkait, baik di pusat maupun
di daerah, harus diselesaikan dan dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak
terkait. Maka NKB 12 K/L untuk percepatan penataan dan pengukuhan kawasan
hutan Indonesia adalah langkah strategis dan penting. Maka perlu dipastikan
kelancaran implementasinya.
• Walaupun Percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia sangat penting,
tetapi belum cukup untuk menjamin bangkitnya kehutanan nasional. Dibutuhkan
prasyarat lain yang sangat prioritas untuk diselesaikan.
• Terpuruknya kehutanan nasional, antara lain diakibatkan masih banyaknya
kebijakan-kebijakan yang tidak kondusif
• Harga kayu log di luar negeri 2,5 kali lebih tinggi dari harga log dalam negeri.
• Tetapi industri kayu lapis nasional tidak mampu bersaing dengan industri luar
negeri, akibatnya kinerjanya makin menurun,
• Kayu gergajian (sawn timber) yang dilarang ekspor harganya di pasar dunia jauh
lebih mahal dari kayu lapis.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 74Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
• Produk Industri kayu sekunder nasional belum mampu memberikan nilai tambah
dan nilai devisa yang besar karena ada pembatasan luas penampang yang bisa
ekspor (max 4.000 mm2), padahal produk dengan luas penampang besar
harganya jauh lebih mahal.
• Perlu ada Revisi kebijakan al dengan membuka kesempatan ekspor log selekif
dan mencabut larangan ekpsor kayu gergajian, mempermudah ekspor veener
(turunkan pajak ekspor), mencabut batasan luas penampang produk
moulding/wood working ekspor, serta mendorong pemanfaatan kayu maksimal
dan optimal (kisah sop ayam) untuk memperoleh nilai tambah dan devisa tinggi.
• Mendorong terbitnya Permenhut yang mengatur pemanfaatan HHBK dan
agroforestry.
• Kebangkitan kehutanan nasional harus didukung dengan implementasi roadmap
pembangunan indutri kehutanan bebasis hutan tanaman. Pengembangan hutan
tanaman menjadi prioritas untuk mengurangi tekanan dan pelestarian hutan alam
nasional, pembukaan lapangan kerja, pembangunan wilayah dll.
• Pembangunan Hutan Tanaman seluas 14,5 juta ha netto diproyeksikan akan
mampu menghasilkan kayu lestari sebanyak 362,5 jt m3 pertahun dan diharapkan
mampu menghasilkan devisa 10 kali devisa saat ini
• Segera selesaikan pelaksanaan penataan dan pengukuhan kawasan hutan,
prioritaskan di daerah-daerah yang dibebani ijin dan banyak komunitas di
sekitarnya. Sederhanakan prosedur dan persingkat waktu pelaksanaan, buat target
ketat yang disepakati oleh semua pihak terkait (pemerintah pusat dan daerah)
untuk menyelesaikan berita acara dan kesepakatan antar instansi terkait yang
selama ini menjadi kendala utama pelaksanaan pemetaan dan pengukuhan
kawasan hutan.
• Percepat dan permudah proses pemberian ijin pemanfaatan kawasan hutan (HTI,
HPH, HTR dll) baru, untuk implementasi road map pembangunan kehutanan.
Jangan biarkan open acces terlalu lama kawasan hutan yang habis masa ijin
sebelumnya karena hanya akan mendorong terjadinya perambahan, penebangan
liar dan bahkan kebakaran lahan-hutan.
Pandangan Terhadap Putusan MK No. 35/2012
• Putusan MK No 35 sesuai bunyinya adalah tidak retroaktif, tidak berlaku surut.
• Kondisi tersebut penting untuk memberikan jaminan usaha bagi unit-unit usaha
dan unit menajemen yang telah memperoleh ijin dan telah berinvestasi sebelum
putusan MK tersebut.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 75Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
• Jaminan tersebut selain penting untuk kepastian usaha juga untuk
memngapresiasi investasi dan capain-capaian lain seperti sertifikasi dll, yang
diperlukan untuk kebangkinan kehutanan nasional.
• Pemerintah perlu membuat pedoman penyelesaian terhadap hutan adat yang telah
dibebani ijin pemanfaatan. Tidak boleh merugikan siapapun termasuk pemegang
ijin pemanfaatan.
UU tentang P3H
• Menyambut baik terbitnya UU tersebut. Namun juga berharap penerapannya
harus tepat, definisi dan batasan-batasan harus dipahami dan diterapkan sesuai
makna yang sebenarnya, tidak diintrepretasikan salah sehingga menumbuhkan
ketidak-pastian hukum baru misalnya kesalahan adminstrasi kehutanan dianggap
pelanggaran pidana.
• Harus diikuti dengan langkah seperti penerbitan PP turunannya agar tidak terjadi
kekosongan hukum dan salah intrepretasi dan kesalahan dalam pemahaman dan
penerapan UU tersebut.
• Sebaiknya DKN aktif berpartisipasi dalam penyusunan PP tersebut agar
menjamin kepentingan semua pihak.
• Untuk menjamin implementasinya, upaya kebangkitan kehutanan nasional yang
didukung dengan upaya percepatan penataan dan pengukuhan kawasan hutan,
roadmap pembangunan kehutanan, dan membutuhkan kebijakan yang kondusif,
maka sangat mendesak agar Negara memiliki Garis Besar Haluan Kehutanan
Nasional bagian dari Garis Besar Halauan Negara, sehingga terjamin adanya
kesinambungan pembangunan kehutanan.
Prioritas Aksi DKN
a) DKN mengusulkan adanya GBHKN
b) DKN mengusulkan minimal aktif dalam penyusunan PP turunan UU P3 HH
c) Komunikasi reguler misalnya 4 bulan sekali, antara DKN dan KPK, Kemenhut
untuk memastikan implementasi NKB 12 K/L
d) Mengusulkan agar pemerintah segera membuat Pedoman penyelesaian adanya
hutan adat yang sudah dibebani ijin pemanfaatan hutan.
e) DKN mendorong percepatan revisi/penyederhanaan pedoman pelaksanaan
penataan dan pengukuhan batas kawasan hutan serta penataan dn pengukuhan
batas areal kerja UM
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 76Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
f) DKN mendorong percepatan pelaksanaan penataan dan pengukuhan batas
kawasan hutan di daerah-daerah dimana terdapat keberadaan hutan adat.
(memprioritaskan, untuk mencegah konflik antar pihak)
g) Kamar Bisnis DKN akan melakukan pertemuan internal berkala untuk memberi
masukan ke DKN
Diskusi dan Klarifikasi
Marthen (Kamar Pemerintah): Pertama menyangkut pemberian kesempatan
untuk export log. Dalam sejarah HPH, Papua sangat dirugikan oleh Export Log.
Hubungannya dengan industri, dengan kebijakan kemenhut, dari 600-an HPH, Papua
hanya kebagian 4. Kalau distribusi pemerataan pembangunan kehutanan, Papua itu
satu entry point. Oleh sebab itu, kebijakan yang sudah diambil oleh Papua adalah logs
tidak boleh keluar dan industri harus dimulai dari Papua. Tidak mudah untuk
memulai itu, tapi kapan lagi kalau tidak memulainya sekarang. Setelah dihitung-
hitung, Papua tidak mendapat fee dari export logs.
Kedua, berkaitan dengan penyederhanaan prosedur tata batas. Hal itu
terdengar kongkrit juga karena mekanisme penataan tata batas cukup panjang. Salah
satu prosedur dalam proses penentuan tata batas adalah substansi dari konsultan, dan
itu harus dipertimbangkan jika ingin menyederhanakan prosedur. Dalam Penentuan
tata batas di Papua, Konsultan harus didatangkan dari Jakarta dan jumlahnya bisa
mencapai 15 orang. Penentuan tata batas di daerah perlu mengembangkan konsultan
dari daerah.
Ketiga berkaitan dengan open access. Apakah HPH-HPH yang pegang ijin
tapi tidak aktif masuk dalam kategori open access? Perlu mengartikulasikan open
access karena open access yang diberikan di Papua berbeda dengan di tempat lain. Di
Papua, dari 31 HPH, yang aktif hanya 14 . 17 HPH tidak aktif diusulkan ke
Kemenhut untuk ditinjau kembali SK-nya karena open access. Dia memberikan ruang
kepada siapa saja untuk mengaksesnya. Setelah dihitung-hitung, jika 17 HPH tidak
aktif tersebut tetap bekerja, Papua bisa mendapatkan pemasukan cukup besar. Saya
usulkan, HPH yang tidak aktif dicabut SK-nya. Area dan tata batas kembali ke hutan
adat.
Keempat, salah satu yang menjadi faktor di Papua adalah tata batas menjadi
panjang karena area konsesinya menjadi luas dan areal-areal yang tidak produktif di
dalam area HPH. Di dalam area HPH banyak kampung dll. Bahkan kebijakan yang
kami ambil waktu menjadi Kakanwil Kehutanan, saya membuat redesain area HPH.
Papua saat ini punya kebijakan untuk tidak mengeksport log.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 77Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Waktu saya bikin redesain area HPH, seluruh mitra kehutanan bilang bahwa redesain
tersebut mereduksi area konsesi. Saya mengatakan bahwa sesungguhnya tidak
demikian. Redesain ini memfokuskan HPH pada ruang yang efektif sesuai dengan
area bisnis HPH. BUK sendiri menerapkan konsep itu. Saat ini konsep itu dipakai
sebagai RKU untuk menentuan area HPH. Jika tidak keberatan, kita juga bisa
mengusulkan Redesain atas area HPH supaya HPH bekerja pada areal yang tertib dan
produktif sesuai dengan bisnisnya.
Kelima, putusan MK tidak berlaku surut. Putusan MK menjadi catatan kita
untuk memberi rekomendasi ke Kemenhut tentang ijin-ijin yang sudah ada dan
bentuk penyelesaiannya. Harus ada bentuk kongkrit dari putusan MK.
Zulfikar (Kamar Pemerintah): Kamar Bisnis menyampaikan pesan bahwa
penataan kawasan hutan tidak cukup untuk kita bangkit dari Kehutanan Nasional.
Bahasa pesimisnya, kalau bangkit dari kehutanan nasional bukan penataan hutan.
Penataan hutan itu menangani konflik. Masih ada satu masalah yang tersembunyi.
Ada informasi yang masih tersimpan, yaitu kita punya potensi kayu yang bisa untuk
nilai tambah ekonomi bisa diekspor, tapi ada larangan ekspor. Maksud dari melarang
ekspor adalah nilai tambah dan lebih. Tapi setelah kita lakukan pengelolaan dalam
negeri, dijual. Harganya lebih tinggi daripada pasar dunia. Ini blunder. Sementara ada
batasan-batasan dimensi.
Kemudian batasan dimensi. Jika batasan dimensi menyebabkan kayu kita
tidak bisa kompetitif di luar dan tidak bisa ekspor, maka perlu dicarikan
penyebabnya. Apakah ada tekanan dari pasar dunia kepada kita supaya kita terjepit
sehingga mempengaruhi peraturan yang memaksa batasan dimensi, sehingga kita
menjual dengan batasan dimensi yang harganya jatuh dan cukup masuk ke segment
tertentu. Dan sebagian besar masalahnya bukan di Kehutanan melainkan Perdagangan
dan Perindustrian. Artinya, kita harus buka, bangkitnya kehutanan itu kendalinya ada
dimana? Jika Kehutanan tidak bisa bangkit karena ada masalah di Perdagangan dan
Perindustrian, maka kita harus bicara. Tidak relevan mengatakan masalah di bisnis
dikarenakan masalah penataan kawasan hutan. Ini ada sesuatu yang tidak tuntas
ditangani.
Pertanyaannya, dimana biaya tinggi itu? Apakah biaya tinggi pada investasi
dan teknologinya, atau biaya tinggi pada pajaknya atau biaya tinggi pada hal
yang lain? Kalau ini menjadi hal penting, kita bongkar saja, untuk
menemukan dimana masalah yang sebenarnya.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 78Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
David (Kamar Bisnis): secara analisa komparasi antar negara, seharusnya
sektor hutan Indonesia menjadi pemenang, atau sebagai pemain dominan di tingkat
global. Berdasarkan historical data, ternyata hari ini hutan Indonesia mengalami
koleps. Banyak kebijakan larangan ekspor, tepat pada waktunya. Dari awal
munculnya industri di Indonesia, dengan pelarangan ekspor, itu seperti jamur di
musim hujan, terjadi pembangunan industri besar-besaran. Sehingga sekitar tahun 91
kita bisa menghasilkan plywood lebih dari 10 juta meter kubik petahun. Waktu itu
kita dikatakan raja kayu untuk menguasai pasar dunia. Tapi hari ini dari yang 10 juta
sekarang produksinya hanya 3 juta meter kubik plywood. Pada saat itu di Cina hanya
1 juta kubik plywood tapi tahun lalu china sudah memproduksi 224 juta meter kubik
panel, yang mana plywood lebih dari 100 juta, lalu ada MDM dan partikel board.
Jadi, peta persaingan sudah berubah. Sepuluh tahun terkahir, dengan pelarangan
ekspor ini malahan industri yang ada di luar Papua semua satu persatu berguguran.
Itu aneh. Mendapatkan bahan baku murah tapi rugi.
Kalau kita lihat dari proses HPH, sekitar 20 tahun yang lalu kita masih ada
sekitar 580 HPH. Hari ini sekitar 294 HPH. Luas area dulu sekitar 60 juta, sekarang
tinggal 24 juta. Dan pengusaha itu realistis. Kalau mendapat satu area HPH itu tidak
jatuh dari langit. Kita perlu satu proses waktu dan biaya untuk memperolehnya.
Setelah kita peroleh, pertanyaannya, kenapa tidak dikerjakan. Itu aneh. Ijin HPH tidak
bisa dijaminkan. HPH bukan aset perusahaan. Sehingga pertanyaannya, kenapa
mereka tidak memproduksi. Kalau kita lihat dari catatan, 9,1 juta itu adalah angka 5-6
tahun yang lalu, realisasi hanya sekitar 6 juta. Lebih parah lagi tahun lalu. Realisasi
dari 9,1 juta hanya 3,77 juta. Ada apa? Mungkin selama ini kita bergerak di HPH juga
bagi masyarakat juga susah mencerna, mengambil kayu di hutan yang tidak ditanam,
kok rugi? Kan aneh pertanyaanya.
Sebelum 2008, 1 liter BBM hanya dibayar sekitar 2000 rupiah. Sekarang
BBM kita bayar sampai ke logging operation itu sudah di atas 10.000-15.000. Terjadi
peningkatan sekitar 5-6 kali lipat harga BBM satuannya. Begitu juga dengan jarak
hooling. Awal memperoleh HPH jarak hoolingnya relatif masih dekat. Sekarang jarak
hooling sudah mencapai peningkatan 4-5 kali lipat. Untuk biaya BBM per meter
kubik, kalau dulunya 1 kubik log diperlukan 2 dollar untuk jarak hooling, sekarang
biayanya 2 dollar x 5 jarak hooling x 6 harga kenaikan satuan. biaya hooling
melompat 2 dollar langsung ke 60 dollar.
HPH juga menghadapi perbedaan harga. Di luar negeri, harga Meranti 300
dollar, Kapur 500 dollar, Merbau 800 dollar. Tetapi di dalam negeri, untuk Merbau di
Surabaya hanya dihargai sekitar 3 juta, 300 dollar. Meranti hanya dihargai sekitar 120
dollar. Kondisi saat ini analoginya kita melakukan ekspor 40%, sisa kayu yang 60%
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 79Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
dibuang ke laut, dimana harga terdistorsi sangat parah. Akibatnya HPH memilih tidak
aktif karena biaya produksi kayu jauh lebih tinggi daripada harga jual. Sehingga kalau
pun kita cabut HPH-nya, kita serahkan lagi ke yang lain, penyakitnya tidak akan
selesai.
Dalam pengelolaan HPH, dunia bisnis tidak mengharuskan ekspor log tetapi
menginginkan agar harga tidak terdistorsi. Kalau hal itu tidak dilakukan akan banyak
HPH yang hanya untuk bayar pegawai saja kesulitan. Tujuan dunia bisnis adalah bisa
melakukan ekspor log secara selektif dan perlu periodisasi tertentu yang kita evaluasi
sehingga harga tidak terdistorsi. Sekarang kita mengorbankan sumberdaya kita. Yang
seharusnya bisa jual 300, karena ada kebijakan pelarangan ekspor log, jualnya tinggal
120.
Masuk di dalam industri. Dapat harga 120 dollar harusnya industri sangat
untung, tapi yang terjadi industri malah bangkrut. Pabrik plywood yang tergabung di
AKINDO, yang semula 130 saat ini tinggal 20an pabrik. Hal ini terjadi karena dengan
membeli seharga 120 plus DRPSDH 20 dollar, jual produk plywood, antara break
event dan rugi. Jadi, pertanyaannya, kenapa orang mau beli kayu kita 300? Karena
kayu ini seharusnya kita gunakan untuk produk yang bernilai tinggi dulu. Shawn
timber. Itu kualitas 1 meranti putih, 2000 dollar. Dilarang ekspor. Akibatnya di dalam
industri kita, tidak sempurna. Harusnya produk yang bernilai tinggi kita melakukan
ekspor, itu dilarang. Itu yang kemarin saya sempat sampaikan kepada bapak
Gubernur di Papua Barat, “pak, bapak industrialisasi sederhana sekali. Beri kebijakan
ekspor shawn timber dan ekspor log, tidak ada pembatasan luas penampang di Papua,
itu otomatis industri akan menjamur.” Dulu Papua agak terlambat karena letak lokasi
sehingga masalah pengapalan dsb memang ada satu kendala sehingga jaman dulu itu
industri kayu lapis dilarang dibangun, jaman-nya pak Bob Hasan, dimasukkan ke
dalam daftar negatif investasi, kecuali untuk Timor Timur dan Papua. Yang lain tidak
diijinkan lagi karena untuk memberikan kesempatan. Ternyata kesempatan yang
sudah diberikan tersebut tidak begitu banyak dimanfaatkan. Banyak teman-teman
yang investasi di Papua yang sampai hari ini tidak memiliki banyak cerita sukses
karena kendala infrastruktur dsb.
Yang harus kita benahi adalah bagaimana kita bisa memaksimalkan nilai
kayu di industri primer.
Di Industri sekunder ada kebijakan pemerintah yang melarang ekspor yang
luas penampangnya lebih dari 4000mm, kecuali Merbau. Merbau batasannya antara
8000-10.000mm. Padahal kita tahu semakin tebal produk shawn timber dan moulding
maka harganya makin mahal. Seharusnya tidak perlu perlu dipotong kecil-kecil
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 80Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
karena dalam ukuran besar bisa dijual lebih mahal. Di dalam proses industri ada yang
namanya anomali. Tidak selamanya setiap proses akan menciptakan nilai tambah.
Kalau bicara tentang kebangkitan kehutanan ada agenda besar yang harus
diselesaikan, yaitu kenapa kita dulunya the winner sekarang menjadi the losser. Ini
sangat tergantung dengan kebijakan di Kementerian Perdagangan, yang mendapatkan
input dari Perindustrian. Dengan ekspor log secara selektif, harga terdistorsi bisa
dikurangi. Dengan kebijakan ekspor shawn timber kita memaksimalkan nilai industri
primer. Dengan mencabut larangan pembatasan luas penampang, kita bisa menaikkan
harga produk industri sekunder pada harga normal. Ini adalah agenda yang sangat
penting, karena kalau tidak HPH akan koleps. Industri juga tinggal menunggu waktu.
Sementara ini kita berbicara masalah penataan kawasan hutan. Padahal ada hal yang
lebih jauh lebih penting selain penataan kawasan hutan yang harus dibenahi.
Marthen (Kamar Pemerintah):
Penjelasan dan analisis pak David disusun secara tertulis.
Pilihannya jangan eksport log. Perlu dijelaskan bentuk dari eskspor log selektif
dan sasarannya daerah mana saja. Kaitannya dengan Papua, kalau pilihannya
Export Log, Papua tidak akan mendapatkan apapun.
5. Kamar Pemerintah
Anggota Kamar Pemerintah
Agus Justianto
Zulfikhar
Marthen Kayoi
Hariyadi Himawan
Pandangan Kamar Pemerintah Terhadap NKB 12 K/L
Posisi DKN adalah sebagai mitra yang dapat memberikan masukan sesuai keahlian /
keilmuan kehutanan.
DKN dapat memberi masukan dan mengkritisi formulasi dan re-formulasi kebijakan
dalam implementasi NKB. Banyak kebijakan yang dinilai belum tepat sasaran. NKB
akan berdampak pada peraturan-peraturan yang lain.
Masalah yang dihadapi lebih banyak menyangkut Perindustrian dan
Perdagangan. Perindustrian dan Perdagangan tidak mungkin masuk ke
dalam NKB 12 K/L karena NKB menyangkut penataan kawasan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 81Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Pandangan Kamar Pemerintah Terhadap Keputusan MK 35/2012
DKN meminta Kemenhut untuk melakukan koordinasi secara aktif dengan K/L
terkait dalam proses-proses penyusunan Perda Penetapan Masyarakat Hukum Adat.
DKN meminta Kemenhut untuk melakukan rekonstruksi kebijakan dan peraturan
perundangan di bidang kehutanan untuk menindaklanjuti Keputusan MK No. 35/2012
Mendorong percepatan penyelesaian RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat
Mengidentifikasi seluruh kawasan hutan negara berdasarkan UU 41/1999 setelah
keluarnya keputusan MK, terutama hutan yang tidak dibebani hak dan tidak termasuk
Hutan Adat.
Pemetaan kawasan konflik yang selama ini dinyatakan oleh masyarakat sebagai hutan
hak dan hutan adat, untuk membedakan mana yang baru tahap “klaim dan mana yang
riil “konflik”.
Pemikiran Baru
Melakukan identifikasi hutan adat Ini baru menyelesaikan claim dan konflik
kawasan hutan dengan masyarakat adat.
Bagaimana dengan : masyarakat setempat didalam dan disekitar kawasan hutan, dan
juga eks masyarakat hukum adat ?
Pemberian Sertifikat Hak Pengelolaan Kawasan Hutan kepada Masyarakat, untuk
Usaha di Bidang Kehutanan. Di Indonesia kewenangan dibagi dua; hutan, diampu
oleh kemenhut dengan UU kehutanan dan Agraria dengan UU Agraria. Kalau Agraria
bisa memberikan sertifikat, maka hutan bisa memberikan sertifikat juga.
Sebagai sertifikat penggunaan kawasan hutan kepada masyarakat untuk usaha di
bidang kehutanan (Sertifikat Hak Pengelolaan Kawasan Hutan). Kawasan hutan
negara diharapkan tidak berkurang terus. Dengan memberikan legalitas maka tidak
perlu dienclave atau dikeluarkan dari kawasan hutan negara. Pemberian sertifikat
harus dilakukan dengan persyaratan yang ketat.
Kemanfaatan sebagai solusi :
a) Antisipasi pertumbuhan kebutuhan ruang kawasan hutan untuk masyarakat;
b) Memberikan kepastian hak pengelolaan kawasan hutan;
c) Usaha masyarakat akan lebih bankable;
Mensikapi keberadaan NKB dalam konteks penyelesaian masalah klaim dan
konflik kawasan hutan dengan masyarakat, serta mensikapi keputusan MK,
sebagai “Reforma Agraria Kehutanan”.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 82Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
d) Sebagai implementasi kemitraan antara KPH dengan Masyarakat dalam
Pengelolaan Kawasan Hutan.
Analisa Resiko :
a) Konflik kawasan hutan dengan masyarakat menurun;
b) Rekonstruksi kebijakan dan peraturan perundangan di bidang pengelolaan
kawasan hutan;
c) Percepatan pembentukan kelembagaan KPH sebelum diimplementasikan, karena
relatif masyarakat sudah lebih siap /telah hadir di kawasan.
Diskusi dan Klarifikasi
David (kamar Bisnis):
HPH koleps salah satunya karena harga jual jauh lebih rendah daripada biaya
produksi. Bukan karena tidak mampu bersaing atau karena tidak punya pasar
melainkan karena kebijakan, salah satunya pelarangan ekspor logs.
Khusus Papua, untuk mempercepat industri di Papua, maka perlu ada
pemberian insentif yang sama. Misalnya dengan melakukan ekspor shawn timber.
Salah satu langkah kompromi yang dikatakan selektif tadi, bisa berdasarkan ijin
pengolahan PHPR, FIC, bahwa dia benar-benar sudah menerapkan sustainable forest
management di pengolahan hutan.
Masalah lokasi masih terbuka ruang untuk diskusi. Khusus untuk Papua
misalnya dalam rangka untuk peningkatan industrialisasi, malahan sebelum ini kita
bahas sudah mempercepat untuk melakukan kebijakan ekspor shawn timber dari
Papua. Jangan kayunya kayu bulat, dari Papua, dikirim ke pulau Jawa, kemudian
diekspor. Proses itu membutuhkan logistic cost yang sangat besar sehingga kita tidak
akan kompetitif. Kalau bisa ekspor dilakukan langsung dari Papua. Ada dua variabel
dalam peta persaingan HPH; logistic cost dan scale of economic. Kalau tidak
mencapai satu skala ekonomis, kita akan kesulitan.
Masalah penyederhanaan prosedur tata batas. Diperlukan diskusi lebih detil
tentang hal ini. APHI mengusulkan adanya pemotongan langkah prosedur tata batas.
Tapi perlu ada pembicaan mengenai kriteria untuk memaksimalkan sumberdaya di
lokal, seperti konsultan.
Imam Harmain (Kamar Bisnis): Khusus Papua, agar bisa mendapatkan
manfaat dari ekspor logs, Papua bisa menerapkan retribusi ekspor. Yang penting bagi
Setuju dengan redesain HPH sehingga HPH bisa mengelola area yang
benar-benar dikelola. HPH juga agar tidak perlu membayar PBB area-area
yang tidak masuk dalam ijin.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 83Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
HPH, ekspor bisa dilakukan. Retribusi juga bisa jadi salah satu sumber dana untuk
menumbuhkan perekonomian dan masyakat yang signifikan.
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): Sertifikat untuk hak pengelolaan
kawasan hutan harus benar-benar dikaji. Jangan sampai di dalamnya muncul
sertifikat-sertifikat lain. Kalau sertifikat ini hanya terkait dengan hak pengelolaan
hutan saja, tidak masalah. Tapi kalau sertifkiat itu berkaitan dengan wilayah hutan, itu
akan menjadi persoalan baru di tingkat masyarakat.
Agus (Kamar Pemerintah): Masyarakat yang tinggal di dalam hutan perlu
penyelesaian yang tuntas. Masalah sertifikat akan dikaji ulang termasuk implikasi-
implikasi yang akan timbul. Opsinya adalah pemberian ijin property right di dalam
kawasan hutan. Ini adalah usulan yang kontroversial karena sangat progresif.
Usep Setiawan (Fasilitator): Poin mengenai sertifikat akan dibicarakan lebih
lanjut. Bukan sesuatu yang final. Poin kamar pemerintah adalah diperlukannya
semacam hak legalitas atas kepemilikan dan pengelolaan atas kawasan hutan oleh
masyarakat. Bentuknya akan dibicarakan lebih lanjut.
Yohanes Balubun (Kamar Masyarakat): kalau sertifikat itu berlaku untuk
masyarakat lokal yang sudah bertahun-tahun ada di dalam kawasan hutan, dan hutan
itu tidak berada dalam status hutan adat, itu tidak masalah. Tetapi untuk masyarakat
adat yang yang menempati kawasan hutan adat pemberian hak harus memperhatikan
mekanisme kepemilikian lokal.
Usep Setiawan (fasilitator): Apapun bentuknya, legalitas tidak boleh
melanggar budaya lokal adat setempat. Kekhawaritan sertifikasi wilayah adat
berhubungan dengan kemungkinan komersialisasi atas tanah atau kawasan hutan adat
tersebut.
Marthen (Kamar Pemerintah): Usul: tahap awal jangan log tetapi
memperbesar luas penampang shawn timber. Ekspor log sangat merugikan Papua.
Standing stok Merbau saat ini perlu mendapat perlindungan walaupun Papua Barat
keluar dari SKB 2 Gubernur.
Input KPK, oleh: Dian Patria
Pada saat kita menyusun NKB, kita banyak berhubungan dengan pemerintah,
ada pertisipasi dari CSO, LSM dan juga dari Akademisi. Di DKN ada pihak yang
kongkrit, yaitu user; masyarakat dan pebisnis. Merekalah yang paling tahu masalah-
masalah kongkrit yang ada di lapangan. Pemerintah bisa jadi membuat sesuatu yang
tidak operasional di lapangan. Kesepakatan kita adalah peraturan harus dibuat tidak
koruptif sekaligus operasional di lapangan.
KPK sampai kapan pun sumberdayanya terbatas sehingga perlu
bekerjasama dengan jaringan yang ada. Dalam konteks NKB, DKN bisa
membantu KPK untuk memastikan implementasi NKB sesuai dengan
konteks yang kongkrit di lapangan, operasional, sekaligus tidak koruptif.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 84Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Tadi juga ada masukan dari kamar LSM untuk melakukan sosialisasi di
seluruh Indonesia. Menurut kami, yang terpenting adalah implementasinya. Ada
kekhawatiran jika terlalu banyak melakukan sosialisasi, waktunya akan habis. Untuk
mengantisipasi kekhawatiran tersebut, KPK mengusulkan semacam ToT dengan
LSM. Pihak LSM membantu meneruskan jaringan-jaringan yang ada ke seluruh
Indonesia sehingga nanti ada simpul-simpul yang lengkap yang ikut membantu
memantau NKB. Sekali lagi, NKB bukan satu-satunya penyelesaian masalah
kehutanan. Prosesnya pun jangka panjang 3 tahun. Masukan dari tiap-tiap kamar
sebagian sudah masuk di dalam NKB karena dalam penyiapan renaksinya sudah
melibatkan pemerintah, CSO dan Akademisi.
Hal konkrit yang bisa dilakukan kedepan
Masalah itu ada di daerah sedangkan KPK 12/KL di pusat. Karena kapasitas sangat
terbatas maka dibuatkan prioritas. Jaringan-jaringan DKN diharapkan bisa optimal di
prioritas-prioritas implementasi NKB.
KPK sudah memiliki aplikasi monev yang dinamakan F8K, bersama UKP4 plus
Indonesia Memantau Hutan yang sedang dikembangkan. LSM diharapkan bisa
memberikan masukan atas isi dari Indonesia Memantau Hutan atau isi dari F8K itu
sendiri.
Masing-masing sesuai kewenangannya dan melakukan perannya masing-masing.
Intinya, yang baik-baik kita dorong bersama-sama. Setiap pihak harus melepaskan
kepentingannya untuk hal-hal yang lebih besar.
Kesepakatan di NKB untuk konflik adalah mengoptimalkan peran-
peran atau fungsi-fungsi yang ada di 12/KL, sekaligus mendorong
kelembagaan 1 pintu. Itu sudah masuk ke dalam butir-butir NKB.
Sistem IT direncanakan terimplementasi pada tahun ini.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 85Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Perumusan Draft Naskah Kebijakan
Dilakukan oleh Tim Perumus yang terdiri dari:
a) Prof. Dr. Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium DKN)
b) Leo Imbiri (Kamar Masyarakat)
c) Agus Wahyudi (Kamar Bisnis)
d) Zulfikar (Kamar Pemerintah)
e) Oding (Kamar Akademisi)
f) Mateus Pilin (Kamar LSM)
III. RANGKUMAN RENCANA KERJA
1. Mediasi konflik DKN
a) DKN pernah bekerjasama dengan Epistema dan Huma mengembangkan alat untuk
mendokumentasikan kasus-kasus yang masuk ke DKN. Sepanjang tahun 2013 sistem
tidak berjalan dengan baik. Database dan dokumentasi kasus sangat penting untuk
mengukur kinerja divisi mediasi konflik. Harapannya, alat yang dikembangkan bisa
dimaksimalkan. Sepanjang Januari sampai Juli 2013 Komisi Mediasi Konflik belum
mendapatkan laporan dari sekretariat mengenai pengaduan-pengaduan yang masuk ke
DKN. Kasus terakhir yang masuk ke DKN adalah peristiwa di Pasaman, akan tetapi
komisi mediasi konflik tidak mendapatkan informasi kasus tersebut. (Jomi Suhendri)
b) Mempertimbangkan masuknya usulan adanya desk terpadu penyelesaian konflik
kehutanan.
c) Bahasanya masih bahasa rekomendasi. Perlu merubah bahasanya menjadi bahasa
kegiatan. (Agus)
d) Poin 1 dan 2 menjamin kelanjutan desk.
e) Di KPK ada pengembangan pengaduan dan penyelesaiannya. Mekanisme penyelesaian 1
pintu bisa dibicarakan lebih luas. Pengaduan dibuka dan bagaimana koordinasinya
dengan kementerian kehutanan. (Hariadi)
Kelemahan Komisi Mediasi Konflik terletak di database. Kasus-kasus yang
masuk ke DKN tidak terdokumentasi dengan baik.
Pada bulan ke-9 dan bulan ke-12 poin tentang mekanisme penyelesaian
1 pintu bisa dibicarakan dengan Kemenhut berdasarkan NKB karena ada
mekanisme evaluasi 3 bulanan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 86Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
f) Jika ini disepakati, divisi mediasi konflik akan mendiskusikannya kembali,
mendetilkannya ke dalam kegiatan-kegiatan, termasuk mencari support dari media
strategis.
g) Pak leo mengusulkan untuk mengacu ke GBHK DKN dalam perumusan tindak lanjut. Di
dalam GBHK sudah ada program-program kongkrit yang dilakukan tiap komisi. Ratih
mengatakan bahwa pernah ada renstra sebagai turunan GBHK yang menghasilkan
kompilasi Program Kerja DKN 2011-2016 yang di dalamnya terdapat usulan aktivitas
dan rekomendasi komisi yang menjalankan, usulan output, dan alokasi waktu
pelaksanaan. Ratih mengusulkan untuk mengoverlaykan rekomendasi kegiatan kali ini
dengan GBHK dan kompilasi program kerja DKN 2011-2016. Mita mengusulkan rencana
dari workshop ini mendetilkan ke dalam kegiatan dan harus mengacu kepada dokumen
GBHK dan turunanya.
2. Mengawal Implementasi NKB 12 K/L
Berkaitan dengan Poin 5, Marthen mengatakan masukan boleh apa saja tapi
fungsinya bisa beda. Perlu ada pertimbangan informasi seperti apa yang harus diberikan.
Informasi seperti apa yang harus diberikan oleh DKN harus diberikan batasan yang jelas.
Mita mengusulkan untuk menunda pembahasan poin 5 dan akan dilihat apakah poin 5 ini
sudah masuk ke poin-poin yang lain atau tidak.
Bagi Kamar LSM, komunikasi reguler ini dipakai untuk mereview NKB-nya dan
mekanisme penyelesaian hambatan-hambatan yang ada. Sedangkan bagi kamar bisnis,
memastikan implementasi dan hambatan-hambatan. Perlu mempelajari NKB yang lebih
dalam hingga ke target bulanan sehingga DKN bisa menentukan informasi apa yang akan
disebar. Poin 5 bisa masuk ke poin 6. Perlu ditentukan penanggungjawab dari pertemuan
koordinasi DKN-KPK. (Hariadi)
Dalam konteks informasi, Pilin mengusulkan judul programnya disederhakan menjadi
penguatan sistem IMH yang di dalamnya akan bicara soal prosedur, sumber informasi,
kriteria serta bagaimana informasi diterima, didistribusian dan diproduksikan. Mita
menegaskan bahwa hal itu dilakukan dengan pertemuan rutin dsb.
Usulan kegiatan Penguatan sistem IMH berada di bawah Komisi
Pemerintahan/Komisi I yang diketuai oleh pak Zulfikar. Pak Zulfikar masih belum jelas
tentang apa itu IMH. Kalau konsep IMH sudah clear, baru DKN bisa menentukan bentuk
dukungannya dan dari sisi mana akan mendukung. Karena situasinya seperti itu, dan itu akan
menjadi bagian dari posisi DKN, pak Hariadi mengusulkan agar surat DKN ke KPK
Hingga poin 10 Rekomendasi Kegiatan, usulan konkritnya adalah adanya komunikasi reguler antara DKN dan KPK.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 87Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
mengatakan bahwa di pertemuan dua hari ini DKN sepakat untuk melakukan koordinasi
dengan KPK berkaitan dengan pelaksanaan NKB. Respon ini harus resmi. Di pertemuan
pertama, DKN sudah bisa menentukan informasi apa yang harus diberikan di pertemuan
selanjutnya. Oleh karena itu bentuk informasi seperti apa yang akan disampaikan tidak perlu
didefinisikasi dari sekarang.
Pak Marthen menegaskan bahwa bentuk informasi yang diberikan kepada KPK harus
substantif, sesuai dengan kapasitas dan fungsi lembaga DKN. Jangan sampai DKN
memberikan masukan teknis yang merupakan tugas Kemenhut. Pertemuan rutin DKN dan
KPK dilakukan setiap 3 bulan, mengikuti jadwal F8K.
Pertemuan DKN dengan World Bank tanggal 17 Juli 2013, Werner dan Mubariq
meminta DKN mengajukan sebuah rencana kerja dalam jangka waktu satu tahun. Mita
mengusulkan DKN mengajukan rencana kerja berkaitan dengan mendukung KPK.
3. Keputusan MK No. 35 Mengenai Hutan Adat
a) Poin 13 inti dari Kamar Akademisi adalah menyatakan bahwa hutan adat tetap hutan dan itu
masuk ke dalam implementasi keputusan MK. (Hariadi)
b) Inventarisasi, adat dsb di dalam NKB dinyatakan sudah akan dikerjakan oleh Kemenhut, BIG,
BPN dan Kemendagri.
Hasil identifikasinya bisa dikaitkan dengan kamar masyarakat. Ketika hasil identifikasi sudah
ada, Kamar Masyarakat perlu mengecek dll. Jangan sampai DKN berperan seperti K/L juga.
(Hariadi)
c) Sekedar pertemuan tidak akan efektif.
Policy paper itu sebagai bahan pertemuan. (Agus Justianto)
d) Usulan mengenai policy paper diperuntukkan untuk semua pertemuan.
Bentuk kegiatannya adalah DKN mendampingi proses itu melalui koordinasi periodik. Di internal DKN, kegiatan ini ditangani oleh komisi 1.
KPK sudah menyatakan akan mengajak kerjasama dengan DKN untuk
melakukan ToT kepada CSO untuk beberapa wilayah sehingga bisa
melakukan sosialisasi NKB ke jaringan-jaringan DKN. Forum sepakat dengan
usulan ini.
Oleh karena itu Poin 14 harus ditambahkan dengan mendorong percepatan proses identifikasi dst.
DKN dalam konteks isu tersebut membuat semacam policy paper yang bisa disampaikan melalui pertemuan atau melalui surat.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 88Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
e) inti dari poin 9 usulan kegiatan adalah kalau hutan adat baik maka hutan negara baik via
versa.
f) Penanggungjawab: komisi pemerintah khususnya yang mengerjakan kamar masyarakat.
g) DKN juga harus memperhatikan RUU Pengakuan Perlidungan Masyarakat Adat. Selama ini
pembicaraan RUU Masyarakat Adat berjalan sendiri.
h) Pak Zulfikar menawarkan diri untuk mengkoordinasikan poin-poin usulan yang akan
disampaikan ke DPR. Mita menambahkan dengan RUU Desa.
4. Terkait Kebijakan
Poin 19 Rekomendasi Kegiatan
a) GBHK nasional yang dimaksud oleh Kamar Bisnis adalah GBHK untuk kehutanan bukan
GBHK untuk DKN. Kehutanan hanya memiliki RPJM 5 tahun. Lima tahun dianggap
terlalu singkat. Zulfikar dan Agus dari Kamar Pemerintah menginformasikan bahwa
Kemenhut memiliki RKTN untuk tingkat nasional dan RKTD di tingkat propinsi yang
jangka waktunya 25 tahun. RKTN masih baru dan sudah ada PP sistem perencanan
kehutanan untuk penyusunan RKTN dan RKTD dan sudah ada mekanisme
penyambungan dengan perencanaan di Bappenas.
Poin 19 rekomendasi kegiatan tetap ada tapi tidak dalam rangka membuat sesuatu yang
baru
b) Pak Hariadi menyebutkan komitmen lisan dari Bappenas, yaitu RPJM 2015-2019 dan
Renstra 2015-2019 yang berkaitan dengan kehutanan akan dikonsultasikan dengan DKN.
c) Kaitannya dengan proses konsultasi publik yang dilakukan, pak Leo menegaskan bahwa
proses persiapan pra konsultasi publik perlu mendapatkan perhatian dari DKN.
Pengalaman tahun lalu dokumen diberikan pada saat DKN diundang sehingga masukan
DKN tidak signifikan. Mita menjelaskan bahwa aturan DKN berkaitan dengan konsultasi
publik diatur di dalam Protokol Konsultasi Publik, yaitu dua minggu sebelum
pelaksanaan konsultasi publik, sudah harus ada bahan yang masuk ke pihak DKN.
Poin 17 Rekomendasi Kegiatan
a) Dari 93 Renaksi NKB sama sekali tidak menyentuh spesifikasi otsus. Kelemahannya
adalah hubungan dengan Papua, Papua Barat dan Aceh, berbeda.
Pak Zulfikar mengusulkan adanya agenda tersendiri yang membahas RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
Leo mengusulkan untuk mengawal mekanisme yang sudah dikerjakan oleh pemerintah.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 89Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Pak Marthen mengingatkan bahwa dirinya sudah memberikan catatan tambahan redaksi
di Naskah Kebijakan DKN, yaitu bahwa khusus untuk daerah yang mendapatkan
Otonomi Khusus, segala seusatunya harus mengacu pada UU Otsus. Dalam PP 38 tentang
pembagian kewenangan juga dinyatakan bahwa untuk Papua dan Aceh penjabaran lebih
lanjutnya harus mengacu pada UU Otsus.
b) Pak Leo berharap kehadiran pak Hariadi di rapat-rapat KPK atas nama presidium,
sementara SK mengenai NKB memposisikan pak Hariadi sebagai pakar. Pak Hariadi
mengatakan prosesnya cukup informal saja, yang penting informasi bisa mengalir.
Zulfikar mengingatkan bahwa DKN memiliki protokol ketika presidium menyampaikan
sesuatu. Jangan sampai menjadi beban berat bagi pak Hariadi yang posisinya sebagai
pakar dan harus mengajukan sesuatu sebagai presidium yang belum menjadi komitmen
bersama.
c) Posisi DKN terhadap UUP3H.
Ada informasi bahwa sebagian konstituen dari kamar LSM akan mempersoalkan
UUP3H ke MK. Pandangan mengenai UUP3H juga sudah dikeluarkan oleh kamar
masyarakat dan kamar LSM. Pak Hariadi ikut merumuskan UUP3H bersama ICW dan
Komnas HAM. Pak Hariadi belum memposisikan UUP3H dalam konteks DKN dan
menyerahkan kepada presidium apakah akan menentukan posisi terhadap UUP3H atau
tidak. Zulfikar mengusulkan agar usul JR oleh kamar masyarakat dan kamar LSM harus
hati-hati. Tidak ada hubungan antara posisi DKN dengan pandangan kedua kamar
tersebut. Mita menjelaskan bahwa di DKN dimungkinan tiap kamar menyatakan sikapnya
ke publik atas nama Kamar. Seperti yang diinisiasi oleh kamar LSM terkait dengan HTI
dengan mengeluarkan naskah atas nama Kamar LSM DKN. Zulfikar menyanggah dengan
menyatakan bahwa sesuai Protokol DKN tidak bisa seperti itu.
Zulfikar menginginkan adanya ketegasan apakah sikap kamar ada di dalam
mekanisme internal DKN atau untuk keluar. Seingat Zulfikar, kesepakatan di Bandung
menyatakan bahwa sikap kamar untuk keluar tidak diperbolehkan. Yang boleh keluar
hanya sikap DKN. Menurut Mita diskusi Bandung memperbolehkan sikap kamar. Bung
Yanes menguatkan bahwa kamar boleh membawa sikapnya, internal maupun eksternal,
tapi tidak atas nama DKN. Pak Edy menyatakan bahwa kamar boleh menyatakan
sikapnya di internal maupun eksternal, tidak ada batasan. Kamar-kamar di dalam DKN
boleh berbeda pendapat. Sikap DKN yang keluar harus menyertakan catatan sikap tiap
kamar. Zulfikar mengatakan bahwa poin ini dibahas ketika ada pembicaraan tentang
mekanisme untuk pengambilan keputusan yang ada komposisi.
Jika sepakat untuk mengajukan masalah otsus, pak Hariadi mengajukan diri untuk membicarakannya di rapat KPK, dan sekalian bisa menjadi agenda NKB.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 90Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Agar tidak larut dengan pembicaraan mengenai sikap kamar dan sikap DKN, pak Leo
mengusulkan untuk kembali melihat beberapa protokol DKN. Menurut pak Leo,
pernyataan pak Zulfikar sangat penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan posisi
anggota presidium, posisi presidium, dan posisi kamar. Mita mengingatkan tentang
protokol komunikasi DKN yang sudah didesain tapi belum ditetapkan.
Menurut Zulfikar belum ada pembicaraan secara khusus mengenai UUP3H baik di dalam
kamar maupun antar amar. Sikap DKN terhadap UUP3H adalah menyesalkan kenapa
tidak dibicarakan dengan DKN.
Zulfikar dan Agus Justianto mengusulkan keluarannya merupakan masukan untuk PP
turunan dalam bentuk policy paper.
No. 19 Rekomendasi Kegiatan
Yanes mengingatkan agar DKN tetap harus mempertimbangkan dengan usulan kamar
masyarakat terkait dengan putusan MK 35. Jangan sampai proses pengukuhan ini akan
menyebabkan konflik.
5. Lain-lain
Poin 21 Rekomendasi Kegiatan
Menurut Mita, poin ini sudah masuk ke rencana turunan GBHK yang dirumuskan di
Bandung. Pak Hariadi mengusulkan untuk menentukan DKD yang potensial untuk didorong.
DKD Sumatera Utara dibentuk berdasarkan SK Gubernur. Penanggungjawabnya adalah
sekretariat atau lintas Komisi.
Poin 22 Rekomendasi Kegiatan
Poin ini bertujuan untuk menyamakan kapasitas mengingat kapasitas akademisi sangat
beragam. Bentuknya bisa ToT.
Poin 24 Rekomendasi Kegiatan
a) Poin ini adalah masukan dari pak Noer Fauzy. DKN diasumsikan sangat kaya oleh orang-
orang yang punya pengalaman terkait dengan banyak hal dengan berbagai macam perspektif
Rencana kedepan DKN adalah mendiskusikan UUP3H di dalam presidium agar bisa dilanjutkan dengan perdebatan di dalam kamar mengenai kekuatan dan kelemahan UU tersebut.
Presidium sepakat menentukan DKD Papua yang didorong pembentukannya dan bekerjasama dengan DKD Sumatera Utara, Maluku dan Kalimantan Timur.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 91Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
sehingga diusulkan adanya pendidikan kehutanan kontemporer. Bentuknya bisa diskusi atau
kursus dan diisi oleh berbagai narasumber. Inti dari pendidikan ini adalah berbagi
pengetahuan yang ada di dalam presidium DKN ke khalayak yang lebih luas.
b) Pak Zulfikar mengusulkan DKN tidak perlu menyelenggarakan, tapi memberikan ke diklat-
diklat yang dilakukan pihak yang lain yang relevan dengan DKN, misalnya Lemhanas yang
juga punya kajian strategi nasional tentang kehutanan. Pak Agus Justianto mengusulkan untuk
bekerjasama dengan Pusdiklat kemenhut sehingga DKN tidak hanya menjadi narasumber tapi
juga berkontribusi pada perumusan kurikulum. Pak Marthen mengusulkan peserta pendidikan
adalah kepala-kepala dinas kehutanan di daerah.
Perbedaan pandangan soal “kebangkitan kehutanan”
Tema workshop kali ini adalah penataan hutan bagi kebangkitan hutan nasional.
Kalau penataan hutan saja tidak begitu signifikan untuk kebangkitan hutan nasional. Kamar
bisnis mengusulkan untuk ada pembicaraan mengenai revitalisasi sektor kehutanan mulai dari
HPH, industri primer, industri sekunder. Ada kebijakan yang dalam jangka pendek harus
segera direvisi. Untuk jangka menengah kamar bisnis juga mengusulkan adanya upaya
mendorong percepatan permen mengenai HHBK maupun agro forestry. Untuk jangka
panjang usulannya adalah untuk mengimplementasikan workplan tanah garapan. Apakah isu
ini perlu kita sampaikan ke dalam NKB 12/KL, agar mereka tahu bahwa dengan adanya
rencana-rencana ini kebangkitan kehutanan bisa tercapai.
Menurut Rafles kamar bisnis mengusulkan hal tersebut karena melihat kebangkitan
kehutanan dari sisi ekonomi. Berbeda dengan kamar LSM yang melihat kebangkitan
kehutanan dari sisi lingkungan yaitu jumlah perlindungan ekologinya.
Pak Hariadi berusaha mengakomodir perbedaan pandangan mengenai Kebangkitan
Kehutanan. Di dalam NKB ada Kementerian Keuangan. Walaupun belum tahu persis dari
Kementerian Kehutanan yang terkait dengan ekonomi. Jika dilihat dari perspektif ekonomi
berpendapat bahwa lingkungan dan sosial tidak akan bisa dipikirkan jika usahanya bangkrut.
Upaya-upaya ekonomi harus komprehensif dengan yang lainnya. Sangat penting di dalam
naskah posisi DKN, posisi ekonomi diletakkan sebagai salah satu unsur penting di dalam
renaksi NKB.
Tambahan Input
Menurut pak Hariadi, DKN selama ini didominasi oleh komisi mediasi dan
lingkungan. Ini menyebabkan proporsi aktivitas presidum menjadi tidak seimbang. Setelah
NKB ini komisi Pemerintah diharapkan mendapatkan porsi yang cukup, tapi justru ekonomi
tidak. Salah satu opsi yang bisa dilakukan agar bisa menyeimbangkan aktivitas presidium pak
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 92Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Hariadi mengusulkan peleburan komisi. Misalnya anggota komisi ekonomi didistribusikan ke
komisi yang lain. Wacana peleburan ini perlu dipikirkan.
Pak Zulfikar mengusulkan adanya revitalisasi organisasi DKN. Selama ini yang
revitalisasi dilakukan di tingkatan supporting, administrasi dsb. Khususnya untuk ABK, pak
Zulfikar meminta ada keberanian untuk mengambil langkah agar tidak menjadi beban.
Berkaitan dengan komisi, pak Zulfikar menjelaskan bahwa ketidakseimbangan juga terjadi di
dalam komisi itu sendiri. Ketidakseimbangan aktivitas di dalam komisi DKN akan berakibat
kontraproduktif terhadap DKN sendiri.
Kaitannya dengan usul pak Zulfikar, pak Hariadi mengingatkan hasil Rapim I yang
menyepakati adanya pertemuan periodik sekretariat yang dihadiri oleh ketua presidium, wakil
ketua presidium, ketua harian dan wakil, serta sekretariat. Lalu itu ditingkatkan menjadi ketua
presidium, wakil ketua presidium dan ketua-ketua kamar. Rapim I memutuskan dua hal;
pertama, bahwa kalau ada komisi yang sedang bekerja lalu anggota komisi tertentu tidak
hadir, itu bisa menunjukkan orang lain meskipun bukan anggota komisi itu. Yang penting
representasi kamar selalu terpenuhi. Sebaliknya, keanggotaan komisi sebenarnya fleksibel di
tiap kamar. Kedua, khusus untuk mediasi konflik yang ke lapangan tidak harus presidium
yang turun langsung. Bisa menunjuk mediator sebagai wakil dari presidium. Jadi, setiap
kamar mendefinisikan sendiri berdasarkan kamarnya. Rapim I berusaha mengambil
terobosan-terobosan.
Pak Marthen mengusulkan pembicaraan lebih lanjut di DKN untuk menganalisis
tentang export logs. Pak Marthen mengusulkan fokusnya tidak harus logs tapi kayu gergajian
dengan memperjuangkan luas penampangnya. Asal jangan dalam bentuk square logs. Itu bisa
masuk ke dalam agenda revitalisasi ekonomi kehutanan. Pak Hariadi mengusulkan hal ini
menjadi agenda kamar bisnis untuk melakukan pertemuan yang pertama dengan mengundang
anggota presidium yang lain, terutama Papua.
Pak Leo membacakan protokol Konsultasi Publik DKN, pasal 6 dan 7. Pasal (6)
Komunikasi antar pemangku kepentingan atau kamar DKN disampaikan secara terbuka tetapi
santun sesuai dengan protokol sikap sebagaimana disebutkan pada bagian 3. Pasal (7)
komunikasi hasil konsultasi kesepahaman persetujuan sikap, posisi, perbedaan pandang,
rekomendasi dan langkah tindak lanjut disampaikan kepada peserta konsultasi tatap muka dan
menjadi informasi publik. Pada bab II menjelaskan tentang proses dimana bisa dilakukan atas
penunjukkan atau rekomendasi ketua presidium.
Dari protokol tersebut, pak Leo berpandangan bahwa kamar mempunyai kewenangan
untuk melakukan pernyataan sikap sesuai sikap kamar, sesuai dengan konsensus yang
dilakukan oleh kamar, baik dalam pertemuan presidium maupun oleh pertemuan kamar.
Karena kita juga sepakat bahwa hasil dari pertemuan presidium bisa merupakan satu
konsensus bersama tapi itu juga bisa merupakan hasil dari perbedaan pandangan kamar.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 93Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Terkait dengan anggota DKN di daerah, perlu ada keleluasaan penyampaian sikap bagi
mereka. Yang penting pernyataan sikap tersebut bukan pernyataan pribadi atau merupakan
klarifikasi terhadap konsensus yang dibuat oleh DKN. Atau konsensus yang dibuat oleh
kamar DKN. Dalam hal-hal tertentu itu perlu rekomendasi atau penunjukkan dari ketua
presidium DKN.
Penutupan
Oleh: Hariadi Kartodihardjo (Ketua Presidium DKN)
Pertama, terkait dengan sikap kamar. Hal itu penting untuk dilihat lagi karena
merupakan aktivitas sehari-hari DKN. Ketua presidium bukan menteri yang memberikan
arahan kepada anak buahnya melainkan mensarikan dari bawah. Pihak-pihak lain harus tahu
mengenai hal itu. termasuk juga bagaimana sikap kamar dst. Kita bisa menyampaikan sesuatu
ke menteri dengan perbedaan pendapat antar kamar. Tidak harus selalu bulat. Menteri yang
akan menilai. Oleh karena itu tidak selalu harus dipaksakan mekanisme voting. Tetapi
instrumen voting suatu saat bisa dipakai. Intinya ini menjadi penegasan penting yang akan
kita lihat bersama untuk memastikan itu.
Kedua, saya memandang kegiatan dua hari ini sangat baik. Kebetulan yang hadir
banyak. Yang penting sebetulnya, seperti juga harapan banyak orang, termasuk juga middle
class kehutanan, berikutnya tidak harus selalu populis. Sementara persoalan tenurial selalu
ditinggal dari waktu ke waktu. Kita punya kesempatan yang baik untuk kerjasama dengan
KPK karena formulasi dan pikiran awalnya juga dari kita sendiri, untuk memastikan ini
sampai pada tahun 2015. Mudah-mudahan kita juga punya energi cukup besar untuk
mengantarkan ini dan saya kira tadi malam dengan World Bank dst, termasuk juga sekretariat,
siap mendorong ini semua.
Ketiga, terkait dengan pengantar FGD 19 Juli 2013, posisi DKN jangan dibuat sulit.
DKN terhadap FIP sebenarnya tidak dalam posisi setuju atau menolak. FIP bisa berjalan
sebagaimana program pemerintah yang lain, dengan atau tanpa DKN. Saat ini DKN ditunjuk
sebagai anggota SC FIP. Oleh karena itu, yang penting adalah memastikan bagaimana FIP
mempunyai kelemahan dan kekuatan dan input DKN terhadap FIP. Tentunya sangat baik
kalau pandangan dan input berasal dari semua kamar, yang kemudian menjadi mandat ketua
presidium dan mbak Mita sebagai anggota untuk membawa input tiap kamar ke dalam
pertemuan SC.
Hingga saat ini SC belum mengadakan pertemuan maka DKN akan melayangkan surat ke ketua SC untuk segera melakukan pertemuan dan dalam pertemuan itulahdisampaikan butir-butir yang akan dihasilkan.
Dokumen ini hasil dari Workshop Presidium DKN untuk menyikapi 94Nota Kesepakataan Bersama 12 Kementerian dan LembagaTentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan
Ketua presidium akan melaporkan kepada seluruh anggota seberapa jauh butir-butir
itu diterima. Kemudian DKN memutuskan. Jika sebagian besar tidak diterima, saya
mengusulkan DKN mengundurkan diri dari SCFIP, tapi itu tergantung presidium, karena saya
yakin yang diusulkan tiap kamar adalah hal-hal yang prinsip. Hasil SC pertama akan
diputuskan bersama untuk memastikan apakah DKN masih di dalam SCFIP atau tidak.
Sedangkan DGM, itu adalah prakarsa hubungan kamar masyarakat dengan AMAN. Itu bisa
kita lanjutkan sampai dengan terbentuknya SC dst, itupun sangat tergantung dengan
komunikasi antara kamar masyarakat dan AMAN. Jadi DKN adalah channel saja.
Recommended