View
233
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
12341
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Pendengaran merupakan salah satu dari pancaindera yang digunakan untuk
berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Bila terjadi gangguan pada fungsi pendengaran
akan mengurangi kemampuan untuk menerima informasi dan berkomunikasi melalui suara.7
Dari kelima indera manusia yang digunakan dalam proses belajar, fungsi telinga untuk
mendengar dapat menyerap 20% informasi, lebih besar dibanding membaca yang hanya
menyerap 10% informasi.8
Derajat pendengaran normal pada manusia intensitasnya antara 0-20 dB. Jika derajat
pendengaran seseorang melampaui batas normal maka dikatakan terjadi penurunan derajat
pendengaran. Penurunan derajat pendengaran dapat diakibatkan oleh gangguan pada telinga
baik secara struktural ataupun fungsional. Berdasarkan uji pendengaran, penurunan fungsi
pendengaran dapat dibagi atas tipe konduktif (conductive hearing loss), sensorineural
(sensorineural hearing loss), dan tipe campuran antara kedua tipe di atas (mixed hearing
loss). Tuli konduktif terjadi apabila terdapat gangguan hantaran bunyi sistem konduksi (pada
tulang-tulang pendengaran) di dalam telinga. Tuli sensorineural terjadi apabila terdapat
gangguan fungsi system sensoris serta saraf, akibat kerusakan sel – sel rambut dalam koklea,
N.VIII, dan pusat pendengaran di korteks serebri. Tipe campuran terjadi apabila terdapat
gangguan penghantar bunyi sistem konduksi di dalam telinga tengah dan gangguan sistem
saraf pendengaran.7
Dari hasil "WHO Multi Center Study" pada tahun 1998, Indonesia termasuk empat
negara di Asia Tenggara dengan prevalensi gangguan pendengaran yang cukup tinggi (4,6%),
tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%), Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun
bukan yang tertinggi tetapi prevalensi 4,6% cukup tinggi yang dapat menimbulkan masalah
sosial di tengah masyarakat. Berdasarkan hasil Survei Nasional Kesehatan Indera Penglihatan
dan Pendengaran di 7 provinsi tahun 1993-1996, prevalensi ketulian 0,4% dan gangguan
pendengaran 16,8%. Penyebabnya, infeksi telinga tengah (3,1%) presbikusis (2,6%), tuli
akibat obat ototoksik (0,3%), tuli sejak lahir/kongenital (0,1%) dan tuli akibat pemaparan
bising. Data yang didapat dari BKIM kota Semarang pada November 2007 yang dilakukan
pada anak-anak usia sekolah dasar, dari 467 siswa kelas 1 yang diperiksa telinganya
ditemukan sebanyak 29,55% siswa mengalami gangguan pendengaran yang diakibatkan oleh
serumen obsturan, otitis media kronik supuratif (OMKS) 1,28% dan sensory neural hearing
1
loss (SNHL) unilateral 0,21 %.9 Di dunia, menurut perkiraan WHO pada tahun 2005 terdapat
278 juta orang menderita gangguan pendengaran, 75 - 140 juta diantaranya terdapat di Asia
Tenggara.8 Angka gangguan pendengaran Indonesia cukup mengejutkan, termasuk yang
tinggi di bilangan Asia Tenggara, yaitu 16,8% untuk gangguan pendengaran
Terdapat 2 jenis kelainan yang berhubung dengan pemaparan bising yaitu trauma
akustik dan gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearingloss/NIHL).
Keduanya mengakibatkan kerusakan pendengaran dengan menyebabkan beberapa kerusakan
pada telinga, terutama telinga dalam. Kerusakan telinga dalam sangat bervariasi dari
kerusakan ringan pada sel rambut sampai kerusakan total organ korti. Segera setelah terjadi
pemaparan bising yang mendadak dan merusak, sel-sel dan jaringan telinga dalam mengalami
trauma, degenerasi atau perbaikan. Paparan bising pada fase akut dengan intensitas paparan
140 dB atau lebih, menyebabkan trauma akustik segera dan seketika terjadi kurang
pendengaran. 10
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Telinga
Telinga terdiri atas telinga luar, telinga tengah atau cavum timpani, dan telinga dalam
atau labyrinth. Telinga dalam berisi organ pendengaran dan keseimbangan.1
a. Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas auricular dan meatus acusticus externus. Auricula berfungsi
mengumpulkan getaran udara. Auricular terdiri atas lempeng tulang rawan elastis tipis yang
ditutupi kulit.1,2
Meatus acusticus externus adalah tabung berkelok berbentuk huruf S yang
menghubungkan auricular dengan membrane timpani. Tabung ini berfungsi menghantarkan
gelombang suara dari auricular ke membrane timpani. Pada orang dewasa panjangnya ± 1
inci (2,5cm). 1/3 bagian luar adalah kartilago elastis, sedangkan 2/3 bagian dalam rangkanya
terdiri dari tulang. Panjangnya kira – kira 2½ - 3cm. Meatus acusticus externus dilapisi oleh
kulit, pada 1/3 bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar sebacea, glandula
ceruminosa dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Glandula
3
Gambar 1. Anatomi Telinga Manusia
ceruminosa adalah kelenjar keringat yang telah termodifikasi unutuk menghasilkan skret lilin
berwarna coklat kekuningan. Rambut dan lilin ini merupakan barier yang lengket,untuk
melindungi telinga dari masuknya benda asing. Pada 2/3 bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen.1,2
b. Telinga Tengah ( Cavum Timpani )
Telinga tengah adalah ruang berisi udara di dalam pars petrosa ossis temporalis yang
dilapisi oleh membrane mukosa. Telinga tengah terdiri dari membrana timpani dan tulang –
tulang pendengaran. Tulang – tulang pendengaran berfungsi meneruskan getaran membrana
tympani (gendang telinga) ke perilympha telinga dalam.1,2
Telinga tengah mempunyai batas berupa atap, lantai, dinding anterior, dinding
posterior, dinding lateral, dan dinding medial. Atap dibentuk oleh lempeng tipis tulang
(tegmen tympani), merupakan bagian dari pars petrosa ossis temporalis. Lempeng ini
membatsi antara cavum tympani dari meninges dan lobus temporalis otak di dalam fossa
crania media. Lantai dibentuk di bawah oleh lempeng tipis tulang. Lempeng ini membatasi
antara cavum tympani dari bulbus superior V. jugularis interna.1
Bagian bawah dinding anterior dibentuk oleh lempeng tipis tulang yang memisahkan
cavum tympani dari a.carotis interna. Pada bagian atas dinding anterior terdapat muara dari
dua buah saluran. Saluran yang lebih besar dan terletak lebih bawah menuju tuba auditiva,
dan yang terletak lebih atas dan lebih kecil masuk ke dalam saluran untuk m. tensor tympani.
Di bagian atas dinding posterior terdapat sebuah lubang besar yang tidak beraturan, yaitu
aditus ad antrum. Di bawah ini terdapat penonjolan yang berbentuk kerucut, sempit, kecil,
disebut pyramis. Dari puncak pyramis ini keluar tendo m. stapedius.1
Sebagian besar dinding lateral dibentuk oleh membrana tympanica. Membrana
tympani adalah membrana fibrosa tipis yang berwarna kelabu mutiara. Membrana ini terletak
miring, menghadap ke bawah, depan, dan lateral. Permukaannya konkaf ke lateral. Pada
dasar cekungannya terdapat lekukan kecil, yaitu umbo, yang terbentuk oleh ujung manubrium
mallei. Membrana tympani berbentuk bundar dengan diameter ± 1 cm dan cekung bila dilihat
dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Pinggirannya tebal dan
melekat di dalam alur pada tulang. Alur itu, yaitu sulcus tympanicus , di bagian atasnya
berbentuk incisura. Dari sisi – sisi incisura ini berjalan dua plica, yaitu plica malearis
anterior dan posterior, yang menuju ke processus lateralis mallei. Daerah segitiga kecil pada
membrana tympani yang dibatasi oleh plica – plica tersebut lemas dan disebut pars flaccida.
Bagian lainnya tegang disebut pars tensa. Pars flaccida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar
4
ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Pars
tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen, dan
sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. 1,2
Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral telinga dalam. Bagian terbesar dari
dinding memperlihatkan penonjolan bulat, disebut promontorium, yang disebabkan oleh
lengkungan pertama cochlea yang ada di bawahnya. Di atas dan belakang promontorium
terdapat fenestra vestibule, yang berbentuk lonjong dan ditutupi oleh basis stapedis. Pada sisi
medial fenestra terdapat perilympha scala vestibule telinga dalam. Di bawah ujung posterior
promontorium terdapat fenestra cochleae, yang berbentuk bulat dan ditutupi oleh membrane
tynmpani secundaria.1
Tulang – tulang pendengaran (ossicula auditus) adalah melleus, incus, dan stapes.
Malleus adalah tulang pendengaran terbesar. Melleus terdiri dari caput, collum, prosessus
longum atau manubrium, sebuah processus anterior dan lateralis. Caput mallei berbentuk
bulat dan bersendi di posterior dengan incus. Collum mallei adalah bagian sempit di bawah
caput. Manubrium mallei berjalan ke bawah dan belakang dan melekat dengan erat pada
permukaan medial membrane tympani. Processus anterior adalah tonjolan tulang kecil yang
berhubungan dengan dinding anterior cavum tympani. Processus lateralis menonjol ke lateral
dan melekat pada plica mallearis anterior dan posterior membrane tympani.1
Incus mempunyai corpus yang besar dan dua crus. Corpus incudis berbentuk bulat
dan bersendi di anterior dengan caput mallei.1,2 Crus longum berjalan ke bawah di belakang
dan sejajar dengan manubrium mallei. Ujung bawahnya melengkung ke medial dan bersendi
dengan caput stapedis. Crus breve menonjol ke belakang dan melekat pada dinding posterior
cavum tympani.1
Stapes juga mempunyai caput, collum, dua lengan, dan sebuah basis. Caput stapedis
kecil dan bersendi dengan crus longum incudis. Collum berukuran sempit dan merupakan
tempat insersio m.stapedius. Kedua lengan berjalan divergen dari collum dan melekat pada
basis yang lonjong. Pinggiran basis dilekatkan pada pinggir fenestra vestibuli oleh sebuah
cincin fibrosa, yang disebut ligamentum annulare.1
Di dalam telinga tengah pun terdapat otot – otot diantaranya adalah:
1) M. tensor tympani. Origo : cartilago tuba audiotiva dan dinding tulang salurannya sendiri.
Insersio : otot langsing ini berjalan ke belakang dan berakhir sebagai tendo bulat yang
membelok ke lateral di sekitar processus cochleariformis dan berinsersio pada manubrium
5
mallei. Fungsi : secara refleks meredam getaran malleus dengan lebih menegangkan
membrana tympani.1
2) M. stapedius. Origo : dinding dalam pyramis yang berongga. Insersioi : tendo muncul dari
puncak pyramis dan berinsersio pada bagian belakang collum stapedis. Fungsi : secara
refleks meredam getaran stapes dengan menarik collumnya.1
Fungsi utama dari otot-otot telinga bagian dalam yaitu melindungi telinga dari suara
keras, dan untuk mengurangi mengganggu suara yang dihasilkan oleh pendengar.3
Tuba audiotiva terbentang dari dinding anterior cavum tympani ke nasopharynx. Tuba
berfungsi menyeimbangkan tekanan udara di dalam cavum tympani dengan nasopharynx.1
c. Telinga dalam ( Labyrinthus )
Labyrinthus terdiri atas layrinthus osseus, yang tersusun dari sejumlah rongga di
dalam tulang dan labyrinthus membranaceus, yang tersusun dari sejumlah saccus dan ductus
membranosa di dalam labyrinthus osseus.
Labyrinthus osseus terdiri dari tiga bagian : vestibulum, canalis semisirkularis, dan
cochlea. Ketiganya merupakan rongga – rongga yang terletak di dalam substansia compacta
tulang, dan dilapisi oleh endosteum serta berisi cairan bening, yaitu perilympha, yang di
dalamnya terdapat labyrinthus membranaceus.1,2
Vestibulum, merupakan bagian tengah labyrinthus osseus. Pada dinding lateralnya
terdapat fenestra vestibuli yang ditutupi oleh basis stapedis dan ligamentum annularenya, dan
fenestra cochleae yang ditutupi oleh membrana tympanisecundaria. Di dalam vestibulum
terdapat sacculus dan uriculus labyrinthus membranaceus.1
Ketiga canalis semisirkularis yaitu canalis semicircularis superior, posterior, dan
lateral bermuara ke bagian posterior vestibulum. Setiap canalis mempunyaisebuah pelebaran
di ujungnya disebut ampulla. Di dalam canalis terdapat ductus semicircularis.1,2
Ujung atau puncak koklea disebut helikotrema , menghubungkan perilimfa skala
timpani dengan skala vestibule. Skala vestibule dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan
skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibule dissebut sebagai membrane vestibule
(Reissner’s membrane) sedangkan Dasar skala media adalah membrane basalis. Pada
membrane ini terletak Organ Corti yang merupakan organ pendengaran. Organ Corti. terdiri
dari kurang lebih 10.000 - 12.000 sel-sel rambut eksternal dan 3500 sel-sel rambut internal
yang duduk di atas basilar membrane. Prinsipnya sel – sel rambut luar diinervasi oleh saraf
eferen sedangkan sel – sel rambut dalam diinervasi oleh saraf aferen.2,3
2. Fisiologi Pendengaran6
Proses mendengar diawali oleh Aurikula yang berfungsi untuk mengumpulkan
gelombang suara yang ditangkapnya. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga
bagian tengah melalui kanalis auditorius eksternus.3,4
Gelombang tersebut menggetarkan membrane timpani kemudian diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran. Prosesus longus maleus melekat pada
membrane timpani, ujung yamg lainnya melekat pada inkus, sehingga ketika maleus bergerak
maka inkus pun akan ikut bergerak. Ujung lainnya dari inkus melekat pada stapes. Stapes
terletak berhadapan dengan membrane labirin koklea pada muara fenestra ovalis.2,3,5
Ujung tangkai meleus melekat di bagian tengah membrane timpani, dan tempat
perlekatan ini secara konstan akan tertarik oleh M. tensor timpani sehingga membran timpani
tetap tegang. Keadaan ini memungkin setiap getaran yang terjadi pada membrane timpani
akan dikirim ke tulang – tulang pendengaran,dan terjadi sebaliknya jika membrane longgar.5
Artikulasi inkus dengan stapes menyebabkan stapes mendorong fenestra ovalis ke
depan dan di sisi lain juga mendorong cairan koklea setiap saat membrane timpani bergerak
ke dalam, dan setiap meleus bergerak keluar akan mendorong cairan ke belakang.5
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. getaran
diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan
menimbulkan gerak relative antara membrane basilaris dan membrane tektoria.2
7
Gambar 2. Fisiologi Pendengaran
Ada tiga baris ramping, luar silinder sel-sel rambut, yang masing-masing berisi sekitar
100 silia (sebenarnya mikrovili) yang menyentuh tectorial membran. Dasar-dasar dari sel-sel
rambut yang melekat erat pada membran basilar oleh sel pendukung, dan sel tubuh mereka
mengapung di perilimfa.3
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan
listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada
saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius, yang kemudian nai menuju kolikulus
inferior kontralateral. Penyilangan selanjutnya terjadi pada inti lemniskus lateralis dan
kolikulus inferior. Dari kolikulus inferior, jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum
dan kemudian ke korteks pendengaran (area 41) di lobus temporalis. Korteks pendengaran
dapat menginterpretasikan informasi yang diterima dalam bentuk suara serta menjadi tempat
untuk menyimpan informasi tersebut sehingga dapat diingat kembali. 2,4
3. Gangguan Fisiologi Pendengaran
Tuli dibagi atas tuli konduktif, tuli sensorineural serta tuli campuran. Gangguan
telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli konduktif, sedangkan gangguan
telinga dalam menyebabkan tuli sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli
retrokoklea. sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan
terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan menyebabkan
telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung. Obat-obatan dapat merusak stria vaskularis,
sehingga saraf pendengaran rusak, dan terjadi tuli sensorineural. Setelah pemakaian obat
ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala gangguan pendengaran berupa tuli
sensorineural dan gangguan keseimbangan. Tuli campuran disebabkan oleh kombinasi tuli
konduktif dan tuli sensorineural. Tuli campuran dapat merupakan satu penyakit, misalnya
radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam.2
Robekan pada gendang telinga, lesi pada tulang pendengaran, atau imobilisasi alat
konduksi, misalnya yang disebabkan oleh infeksi purulen di telinga tengah akan menghambat
transmisi ke fenestra vestibule. Selain itu, bila terdapat lubang gendang telinga, fenestra
koklea tidak akan lagi terlindungi. Hal ini menyebabkan tuli telinga tengah.6
8
Sel rambut dapat dirusak oleh tekanan suara (akibat terpapar oleh suara yang terlalu
keras untuk jangka waktu yang terlalu lama). Hal ini menyebabkan tuli telinga dalam yang
akan sama – sama memengaruhi konduksi udara dan tulang.6
4. Trauma Akustik
1. Defenisi
Istilah trauma akustik dipakai untuk menyatakan ketulian akibat pajanan
bising, atau tuli mendadak akibat ledakan hebat, dentuman, tembakan pistol, serta
trauma langsung ke kepala dan telinga. Trauma akustik berarti kerusakan pada elemen
saraf di telinga dalam akibat pajanan energi akustik yang kuat dan tiba-tiba.
2. Etiologi
Paparan suara yang berlebihan apalagi berupa suara ledakan dapat
menyebabkan kerusakan organ korti. Salah satu efek bising pada pendengaran adalah
trauma akustik akut yaitu kerusakan organ pendengaran yang bersifat segera setelah
terjadi paparan energi suara yang berlebihan, seperti bising mesin, suara jet, konser
rock, gergaji mesin dan letusan senjata. Terdapat berbagai cara bising dapat merusak
telinga dalam. Pemaparan bising yang sangat keras lebih dari 150 dB, seperti pada
ledakan, dapat menyebabkan tuli sensorineural ringan sampai berat. Biasanya tuli
timbul pada cara pemaparan yang lebih halus dan progresif sampai pemaparan bising
keras intermitten yang kurang intensif atau pemaparan kronis bising yang kurang
intensif. Pemaparan singkat berulang ke bising keras intermitten dalam batas 120-150
dB, seperti yang terjadi akibat pemaparan senjata api atau mesin jet, akan merusak
telinga dalam. Pemaparan kronis berupa bising keras pada pekerja dengan intensitas
bising di atas 85 dB, seperti yang terjadi akibat mengendarai traktor atau mobil salju
atau gergaji rantai, merupakan penyebab tersering dari tuli sensorineural yang
diakibatkan oleh bising. Di samping itu, pada lingkungan yang besar, seseorang dapat
terpapar bising diatas 90 dB pada waktu mendengarkan music dari sistem suara
stereofonik atau panggung musik.
9
3. Patofisiologi
Suara yang keras menyebabkan getaran berlebihan pada membran timpani yang
kemudian dilanjutkan melalui tulang – tulang pendengaran ke perilimfe dan
endolimfe, selanjutnya menggetarkan membrane basilaris lebih kuat dari keadaan
normal, hal ini menyebabkan sentuhan sel – sel rambut luar dan sel – sel rambut
dalam pada membrane tektoria yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan atrofi
sel – sel rambut tersebut. Bising dengan intensitas 85 dB atau lebih dapat
mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran Corti di telinga dalam, terutama
yang berfrekuensi 3000-6000 Hz. Mekanisme dasar terjadinya tuli karena trauma
akustik, adalah;
Proses mekanik
Pergerakan cairan dalam koklea yang begitu keras, menyebabkan robeknya
membrana Reissner dan terjadi percampuran cairan perilmfe dan endolimfee,
sehingga menghasilkan kerusakan sel-sel rambut. Pergerakan membrana
basiler yang begitu keras, menyebabkan rusaknya organ korti sehingga terjadi
percampuran cairan perilmf dan endolimfe, akhirnya terjadi kerusakan sel-sel
rambut. Pergerakan cairan dalam koklea yang begitu keras, dapat langsung
menyebabkan rusaknya sel-sel rambut, dengan ataupun tanpa melalui
rusaknya organa korti dan membrana basiler.
Proses metabolic
Vasikulasi dan vakuolisasi pada retikulum endoplasma sel-sel rambut dan
pembengkakkan mitokondria yang akan mempercepat rusaknya membrana sel
dan hilangnya sel-sel rambut. Hilangnya sel-sel rambut mungkin terjadi karena
kelelahan metabolisme, sebagai akibat dari gangguan sistem enzim yang
memproduksi energi, biosintesis protein dan transport ion. Terjadi cedera pada
vaskularisasi stria, menyebabkan gangguan tingkat konsentrasi ion Na, K, dan
ATP. Sel rambut luar lebih terstimulasi oleh bising, sehingga lebih banyak
membutuhkan energi dan mungkin akan lebih peka untuk tcrjadinya cedera
atau iskemi. Kemungkinan lain adalah interaksi sinergistik antara bising
dengan zat perusak yang sudah ada dalam telinga itu sendiri.
10
4. Nilai Ambang Bising
Adapun nilai ambang batas yang dibuat berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
Republik Indonesia no. KEP-51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor
Fisika di Tempat Kerja, dimana nilai amabang batas kebisingan ditetapkan sebesar 85
dB. Kebisingan yang melampaui nilai ambang batas, juga ditetapkan waktu
pemajanan per harinya
5. Gambaran Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara (speech
discrimination) dan fungsi sosial. Gangguan pada frekuensi tinggi dapat menyebabkan
kesulitan dalam menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada
tinggi, seperti suara bayi menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama
sekali. Ketulian biasanya bilateral. Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering
11
dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu ketajaman pendengaran dan konsentrasi.
Secara umum gambaran ketulian :
a. Bersifat sensorineural
b. Hampir selalu bilateral
c. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ) Derajat
ketulian berkisar antara 40 s/d 75 dB.
d. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan
pendengaran yang signifikan.
Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga
mempunyai pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara,
gangguan konsentrasi, gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan
pendengaran yang terjadi.
6. Diagnosis
Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan jenis onset hilangnya pendengaran atau
berkurangnya pendengaran, apakah tiba-tiba atau pelan-pelan (bertahap).
Sudah berapa lama dirasakan, Apakah hilangnya pendengaran tetap (tidak ada
perubahan) atau malah semakin memburuk. Apa disertai dengan nyeri, otore,
tinnitus (berdenging di telinga), telinga terasa tersumbat, vertigo, atau
gangguan keseimbangan. Apakah kehilangan pendengarannya unilateral atau
bilateral. Apakah mengalami kesulitan berbicara dan mendengar di lingkungan
yang bising. Pada orang yang menderita tuli saraf koklea sangat terganggu
oleh bising latar belakang, sehingga bila orang tersebut berkomunikasi di
tempat yang ramai akan mendapat kesulitan mendengar dan mengerti
pembicaraan. Ditanyakan juga apakah pemah bekerja atau sedang bekerja di
lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama biasanya 5 tahun atau
lebih. Pernahkah terpapar atau mendapat trauma pada kepala maupun telinga
baik itu berupa suara bising, suara ledakan, suara yang keras dalam jangka
waktu cukup lama. Apakah mempunyai kebiasaan mendengarkan headphone,
mendengarkan musik dengan volume yang keras. Apakah mengkonsumsi
obat-obatan ototoksis dalam jangka waktu lama.
Pemeriksaan Fisis
12
Pada pemeriksaan fisis telinga tidak ditemukan adanya kelainan dari telinga
luar hingga membran timpani. Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan perlu
dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab
kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi
telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena
agen toksik. Dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perIu dilakukan
untuk rnenyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat)
menganggu pendengaranya.
7. Diagnosis Banding
Diagnosa banding trauma akustik antara lain, yaitu;
1. Tuli saraf pada geriatri (presbikusis)
2. Tuli akibat obat ototoksik
8. Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan yang spesifik dapat diberikan pada penderita dengan
trauma akustik. Oleh karena tuli karena trauma akustik adalah tuli saraf koklea yang
bersifat menetap (irreversible). Apabila penderita sudah sampai pada tahap gangguan
pendengaran yang dapat menimbulkan kesulitan berkomunikasi maka dapat
dipertimbangkan menggunakan ABD (alat bantu dengar). Pada pasien yang gangguan
pendengarannya lebih buruk harus dibantu dengan penanganan psikoterapi untuk
dapat menerima keadaan. Latihan pendengaran dengan alat bantu dengar dibantu
dengan membaca ucapan bibir, mimik, anggota gerak badan, serta bahasa isyarat agar
dapat berkomunikasi. Selain itu diperlukan juga rehabilitasi suara agar dapat
mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan.
Pencegahan dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya tuli pada trauma
akustik. Bising dengan intensitas lebih dari 85 dB dalam waktu tertentu dapat
mengakibatkan ketulian, oleh karena itu bising dilingkungan kerja harus diusahakan
lebih rendah dari 85 dB. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain
dengan meredam sumber bunyi, sumber bunyi diletakkan di area yang kedap suara.
Apabila berada di daerah industri yang penuh dengan kebisingan menetap, maka
dianjurkan untuk menggunakan alat pelindung bising seperti sumbat telinga, tutup
telinga, alat-alat tersebut terutama melindungi telinga terhadap bising berfrekuensi
13
tinggi yang masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian . Sumbatan telinga
efektif digunakan pada level kebisingan rendah sekitar 10 dB hingga 32 dB.
Adakalanya tutup telinga lebih efektif daripada sumbatan telinga khususnya pada
pekerja yang berpindah-pindah tempat. Bila terjadi tuli bilateral berat yang tidak dapat
dibantu dengan a1at bantu dengar maka dapat dipertirnbangkan dengan memasang
implan koklea. Implan koklea ialah suatu perangkat elektronik yang mempunyai
kemampuan memperbaiki fungsi pendengaran sehingga akan meningkatkan
kemampuan berkomunikasi penderita tuli saraf berat dan tuli saraf bilateral.
9. Pencegahan
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah
terjadinya trauma akustik yang disebabkan oleh kebisingan.
Program ini terdiri dari 3 bagian yaitu :
Pengukuran pendengaran
Pengukuran pendengaran secara periodik.
Pengendalian suara bising
Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a. Melindungi telinga secara langsung dengan memakai ear muff (tutup
telinga) dan ear plugs (sumbat telinga).
b. Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukan dengan cara:
memasang peredam suara
menempatkan suara bising ( mesin ) didalam suatu ruangan yang
terpisah dari orang di sekitar
Analisa bising
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekuensi
bising, lama dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat
utama dalam pengukuran kebisingan adalah sound level meter .
10. Prognosis
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang
sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun
pembedahan, maka prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah
pencegahan terjadinya ketulian
14
BAB III
KESIMPULAN
Terdapat 2 jenis kelainan yang berhubung dengan pemaparan bising yaitu trauma
akustik dan gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearingloss/NIHL).
Keduanya mengakibatkan kerusakan pendengaran dengan menyebabkan beberapa kerusakan
pada telinga, terutama telinga dalam. Kerusakan telinga dalam sangat bervariasi dari
kerusakan ringan pada sel rambut sampai kerusakan total organ korti. Segera setelah terjadi
pemaparan bising yang mendadak dan merusak, sel-sel dan jaringan telinga dalam mengalami
trauma, degenerasi atau perbaikan. Paparan bising pada fase akut dengan intensitas paparan
140 dB atau lebih, menyebabkan trauma akustik segera dan seketika terjadi kurang
pendengaran.
Paparan suara yang berlebihan apalagi berupa suara ledakan dapat menyebabkan
kerusakan organ korti. Salah satu efek bising pada pendengaran adalah trauma akustik akut
yaitu kerusakan organ pendengaran yang bersifat segera setelah terjadi paparan energi suara
yang berlebihan, seperti bising mesin, suara jet, konser rock, gergaji mesin dan letusan
senjata.
Suara yang keras menyebabkan getaran berlebihan pada membran timpani yang
kemudian dilanjutkan melalui tulang – tulang pendengaran ke perilimfe dan endolimfe,
selanjutnya menggetarkan membrane basilaris lebih kuat dari keadaan normal, hal ini
menyebabkan sentuhan sel – sel rambut luar dan sel – sel rambut dalam pada membrane
tektoria yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan atrofi sel – sel rambut tersebut. Bising
dengan intensitas 85 dB atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor
pendengaran Corti di telinga dalam
Tidak ada pengobatan yang spesifik dapat diberikan pada penderita dengan trauma
akustik. Oleh karena tuli karena trauma akustik adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap
(irreversible). Untuk itu lebih baik dilakukan pencegahan.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell R. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran (Clinical Anatomy for Medical
Students) edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;2006
2. Soepardi E. Iskandar N. Bashiruddin J. Restuti R.. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala & Leher edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2007
3. Silbernagl S. Despopoulos A. Color Atlas of Physiology. Stuttgart, Germany : Georg
Thieme Verlag;2003
4. Boies, L. Adams, G. Higler, P. BOIES Buku Ajar THT edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC;1997
5. Guyton A. Hall J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology)
edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC;2006
6. Silbernagl S. Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. Stuttgart, Germany : Georg
Thieme Verlag;2000
7. Dewi Y. Agustian R. Skrining Gangguan Dengar pada Pekerja Salah Satu Pabrik Tekstil
di Bandung. Majalah Kedokteran Bandung Vol. 44 No. 2, 2012. Hlm 96-100
8. Irmawati D.Hubungan gangguan pendengaran dengan prestasi belajar siswa. 2010.
Semarang; Universitas Diponegoro
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Telinga Sehat Pendengaran Baik. c2010
[cited 2015 January 16]. Available from:
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/840-telinga-sehatpendengaran-
baik.html
10. Munilson J. Gangguan Pendengaran Akibat Bising : Tinjauan Beberapa Kasus. 2010.
Padang; Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
16
11. Komite nasional penanggulangan gangguan pendengaran dan ketulian. c2007 [cited 2015
Januari 16]. Available from: http://www.k omnaspgpk.org /v1/web/index.php
12. Feidihal. Tingkat kebisingan dan pengaruhnya terhadap mahasiswa di bengkel teknik
mesin politeknik Negeri Padang. Jurnal Teknik Mesin. Vol. 4 No. 1, Juni 2007. Hlm 31-
41.
13. Linasari P. Kebisingan Lalu Lintas Dan Hubungannya Dengan Tingkat Ketergangguan
Masyarakat (Studi Kasus : Jalan Bojongsoang, Kabupaten Bandung). 2009. Bandung;
Institute Teknik Bandung.
14. Farkhana N. Analisis faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa sekolah
menengah pertama di kecamatan demak (skripsi). 2010. Semarang; Universitas
Diponegoro
15. Budiyanto A. Trauma akustik akibat latihan menembak pada taruna akademi kepolisian
Semarang. 2010. Semarang : Universitas Semarang
16.
17
Recommended