View
70
Download
2
Category
Preview:
DESCRIPTION
mengenai reaksi anafilaktik
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Reaksi anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi yang dapat mengancam nyawa
melalui peranan Immunoglobulin E (Ig E mediated). Sering dibingungkan dengan
anaphylactoid reaction yang tidak diperantarai oleh Ig E, walaupun dalam
penatalaksanaannya cenderung sama sehingga untuk memudahkan, keduanya disebut
sebagai anafilaksis. Keduanya juga memunculkan gejala yang sama seperti angio-
edema, urticaria, dyspnoea, dan hipotensi.(6) Kadang-kadang juga dibingungkan dengan
syok sepsis atau tipe syok lainnya, asma, benda asing di saluran nafas, serangan panik
atau keadaan lainnya.(2) Kurang konsisten dan luasnya manifestasi klinis yang muncul
serta banyaknya penyebab anafilaksis ( bahkan bisa idiopatik ), menimbulkan masalah
dalam menegakkan diagnosis pasti terutama pada anak-anak. Pada setiap kasusnya
harus diselidiki riwayat reaksi-reaksi alergi sebelumnya disamping riwayat reaksi
anafilaksis yang sedang dialami; juga penekanan pada keadaan kulit, denyut nadi,
tekanan darah, saluran nafas atas, dan auskultasi pada dada.(6) Sebuah penelitian di
Australia, menyatakan sebanyak 61 % kasus disebabkan oleh makanan, 20 %
disebabkan oleh serangga, sedangkan obat-obatan dan faktor-faktor lainnya yang belum
teridentifikasi masing-masing 8%.(14) Obat-obatan seperti antibiotika (penisilin,
cephalosporin) dan antiinflamasi (aspirin dan obat golongan NSAID lainnya); makanan
terutama kacang-kacangan, makanan laut dan makanan berprotein tinggi lainnya;
serangga seperti lebah dan tawon; bahan radiokontras intravena; lateks seperti pada
selop tangan yang dipergunakan oleh petugas medis; produk-produk darah seperti
plasma,cryoprecipitate dan immune globulin; cairan semen; faktor fisik seperti suhu
dan olahraga outdoor, adalah contoh-contoh penyebab anafilaksis. Sebagian besar dari
penyebab-penyebab tersebut merupakan barang-barang yang sering dipakai atau
dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga tidak mengherankan jika jumlah penderita
cukup banyak.
1
Anafilaksis dan kematian karena anafilaksis di dunia, dilaporkan lebih sering
terjadi pada orang dewasa dibandingkan anak-anak. Terdapat pengecualian di
Australia, dimana insiden anafilaksis kurang lebih sama untuk kedua kelompok
tersebut. Kematian karena anafilaksis terutama terjadi pada orang dewasa, diikuti anak-
anak dibawah lima tahun, dan remaja. Alergen penyebabnya sama di seluruh dunia,
tetapi persentasenya berbeda di tiap negara.(12) Diperkirakan terdapat sekitar 1-3 kasus
severe anaphylaxis untuk setiap 10.000 orang, dan angka kematian 1-3 kasus untuk
setiap satu juta orang. Peningkatan prevalensi beberapa tahun terakhir disebabkan oleh
berkembangnya diagnosis pada pasien-pasien yang masuk ke rumah sakit berdasarkan
klasifikasi CIM-9 dan -10. Pada populasi yang semakin tua, terjadi peningkatan
penggunaan obat-obatan. Peningkatan resiko alergi juga disebabkan oleh kemajuan
teknologi makanan berprotein saat ini.(5) Untuk bisa mendiagnosis suatu kasus sebagai
anafilaksis biasanya dengan melihat gambaran klinisnya. Namun beberapa pemeriksaan
penunjang bisa digunakan seperti pemeriksaan laboratorium (histamine plasma,
tryptase sel mast di serum, IgE total), pulse oximetry dan pemeriksaan radiologi.
Apabila gejala tipikal muncul setelah terkena paparan, hampir dapat dipastikan kasus
tersebut adalah anafilaksis.(1) Oleh karena itu informasi yang diberikan oleh keluarga
atau kerabat pasien sangat membantu terutama apabila pasien dalam keadaan tidak
sadar selama reaksi berlangsung.
Suatu penelitian retrospektif menyatakan bahwa 65,1 % dari 518 kasus yang
dilaporkan selama lebih dari 2 tahun, termasuk grade 3 atau 4. Penelitian lainnya yaitu
sejak tahun 2001 selama lebih dari 3 tahun, dengan menggunakan data dari 229 kasus
anafilaksis yang disebabkan oleh makanan, menyebutkan bahwa 39 % diantaranya
terjadi pada anak-anak.(5) Di Indonesia sendiri, Departemen Kesehatan tidak
mempunyai angka pasti anafilaksis maupun penyebabnya baik pada anak-anak atau
orang dewasa, termasuk di Bali, namun kiranya tidak jauh berbeda dengan negara atau
daerah lainnya hanya persentasenya saja yang berbeda.
Bali yang merupakan daerah berkembang, mempunyai jumlah penderita
anafilaksis yang cukup banyak. Sebagai rumah sakit rujukan di Bali, Rumah Sakit
Sanglah, khususnya Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNUD, menerima pasien-pasien anafilaksis dengan penyebab yang berbeda-beda.
Reaksi anafilaksis yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ialah
2
faktor agent, genetik, lingkungan, perilaku manusia dan pelayanan kesehatan yang
berkenaan dengan penyakit alergi. Reaksi awalnya yang cenderung ringan membuat
masyarakat tidak mewaspadai bahaya yang akan ditimbulkan. Apa saja yang menjadi
penyebab reaksi anafilaksis penting untuk diketahui karena dapat diambil langkah yang
lebih spesifik dalam pencegahan dan penanggulangan reaksi anafilaksis yang
merupakan manifestasi penyakit alergi ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
Apa saja penyebab reaksi anafilaksis pada pasien-pasien di Divisi Alergi-
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RS Sanglah dari
bulan Januari 2001 sampai Desember 2006?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui penyebab reaksi anafilaksis pada pasien-pasien di Divisi
Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
dari bulan Januari 2001 sampai Desember 2006.
1.4 Manfaat Penelitian
Informasi penyebab reaksi anafilaksis yang didapat melalui penelitian ini bisa
dimanfaatkan sebagai pedoman dalam mengambil langkah yang lebih spesifik untuk
pencegahan dan penanggulangan serta dapat dipergunakan sebagai acuan dalam
penelitian selanjutnya yang berkenaan dengan penyakit alergi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi dan klasifikasi
Anafilaksis berasal dari Bahasa Yunani yaitu a- ( melawan ) dan –phylaxis ( kekebalan,
perlindungan ) adalah reaksi alergi tipe cepat yang melibatkan Ig E. Brown et al,
menyatakan anafilaksis sebagai dihasilkannya mediator inflamasi dari sel mast dan
basofil disertai kriteria diagnostik dalam 30 menit setelah datang ke UGD ( berupa
bronkospasme, kecepatan pernafasan, tekanan darah sistol, dan skor Glasgow Coma
Scale ) untuk distratifikasi menjadi mild, moderate, atau severe anaphylaxis.(4) Menurut
Brown SGA terdapat tiga grade anafilaksis, yaitu :
1. Mild (mengenai kulit dan jaringan subkutan saja) : eritema menyeluruh,
urticaria, edema periorbital, atau angioedema.
2. Moderate (melibatkan pernafasan, sistem kardiovaskuler atau pencernaan) :
shortness of breath, mengi, mual, muntah, dizziness (pre sinkop), diaphoresis,
dada atau tenggorokan terasa seperti tertekan, atau sakit di daerah abdomen.
3. Severe ( hipoksia, hipotensi, atau gangguan neurologis) : sianosis atau SpO2 ≤
92 % pada stage berapapun, hipotensi (tekanan darah sistol < 90 mmHg pada
dewasa), bingung, kolaps, hilang kesadaran, atau inkontinensia.(11)
Semakin cepat munculnya tanda dan gejala anafilaksis setelah terpapar suatu
stimulus, semakin tinggi kecenderungannya untuk menjadi severe dan mengancam
nyawa.(1,4) Hal ini karena terjadi katabolisme dan menurunnya sintesis Ig E spesifik
dengan bertambahnya waktu.(3) Reaksi ini terjadi pada orang yang sebelumnya sudah
pernah terpapar antigen atau mengalami sensitisasi. Dalam beberapa menit, reaksi
alergi bisa mengancam nyawa. Fase keduanya ( reaksi bifasik ) dapat terjadi dalam 1-8
jam, dan lebih dari 38 jam ( rata-rata 10 jam ) setelah mulainya anafilaksis.(13)
Menurut Mueller, berdasarkan tingkat keparahannya, anafilaksis dapat
dikelompokkan menjadi 4 grade, yaitu :
Grade I : urticaria atau eritema menyeluruh, gatal, malaise, atau anxiety
4
Grade II :angio-edema ( atau dua atau lebih dari : sesak di dada, mual, muntah,
diare, nyeri abdomen, pusing )
Grade III : dispnea, mengi atau stridor ( atau dua atau lebih dari : disfagia, dysarthria,
serak, lemah, bingung, perasaan seperti terancam bahaya )
Grade IV : hipotensi, kolaps, hilang kesadaran, inkontinensia urin atau feses, atau
sianosis
Grade III dan IV digolongkan sebagai severe anaphylaxis sedangkan bila sampai terjadi
kematian, digolongkan sebagai grade V.(5,7)
2.2 Epidemiologi
Sumber data anafilaksis berasal dari survey populasi/registrasi nasional, pasien yang
masuk rumah sakit dan diklasifikasi menurut sistem pengkodean ICD (International
Classification of Disease), jumlah yang masuk UGD, serta jaringan yang
beranggotakan para dokter. Pada tahun 2000 dan 2001, penelitian di Inggris
menyebutkan bahwa dari 13,5 juta sampel, terjadi kedaruratan karena alergi sebanyak
2323 ( 0,017 % ) kasus, sedangkan yang menjadi severe anaphylaxis sebanyak 0,005 %
dengan predominan pada laki-laki dewasa 2:1 daripada wanita dewasa. Dijumpai pula
angka kematian 0,5 % dari keseluruhan kasus anafilaksis. Kematian paling sering
disebabkan oleh cardiovascular collapse dan laryngeal edema. Kasus pada pasien yang
masuk rumah sakit dan berhasil diidentifikasi penyebabnya sebanyak 51 %; terdiri dari
makanan 15 %, obat-obatan 62 %, serangga 11 %, dan penyebab lainnya.(5) Reaksi
yang berat terhadap penisilin terjadi 1-5 kasus per 10.000 pasien dengan angka
kematian 1 per 50.000-100.000 pasien. Sengatan serangga menyebabkan 25-50
kematian per tahun. Alergi makanan yang berat lebih sering terjadi pada anak-anak dan
karena terus bertahan sampai dewasa maka frekuensi pada orang dewasa juga akan
meningkat. Makanan merupakan penyebab utama anafilaksis di luar rumah sakit.
Reaksi anafilaktoid terhadap RCM (radiocontrast media) menyebabkan 500 kematian
pada tahun 1982 walaupun angka tersebut terus menurun karena meningkatnya
kewaspadaan dan penggunaan pretreatment regimen dan/atau agent dengan osmolaritas
yang lebih rendah pada pasien dengan riwayat reaksi terhadap RCM. Anafilaksis
karena RCM, sengatan serangga, dan bahan anestesi lebih sering terjadi pada orang
dewasa. Belum diketahui secara pasti apakah ini disebabkan oleh tingginya frekuensi
paparan atau peningkatan sensitifitas.(3) Penelitian lain pada anak-anak antara tahun
5
1998 sampai 2000 menyebutkan 0,00021 % atau sekitar 2 kasus per satu juta pasien
termasuk severe anaphylaxis dengan angka kematian 8 per 10 tahun atau 1 dari
800.000 anak per tahun.(5)
2.3 Etiologi
Dari sudut pandang etiologi, atopi merupakan salah satu faktor resiko anafilaksis
terutama yang disebabkan oleh makanan, olahraga, bahan radiokontras, lateks dan
idiopatik. Atopi tidak berpengaruh pada anafilaksis yang disebabkan oleh penisilin
atau sengatan serangga. Sensitifitas host, dosis, kecepatan, cara dan waktu paparan juga
mempengaruhi, dimana paparan secara oral lebih jarang menimbulkan reaksi. Asma
dan keterlambatan pemberian epinefrin termasuk faktor resiko terjadinya kematian.(1,3)
2.3.1 Obat-obatan
Anafilaksis terhadap suatu obat tetap bisa terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak
pernah mengkonsumsi obat tersebut.(1) Obat-obatan golongan antibiotika yang pernah
dilaporkan menimbulkan reaksi anafilaksis antara lain amphotericin B, cephalosporin,
chloramphenicol, ciprofloxacin, nitrofurantoin, penisilin, streptomycin, tetracyclin, dan
vancomycin.(2) Penisilin dan cephalosporin adalah antibiotika yang paling sering
menyebabkan anafilaksis. Kedua obat golongan β lactam tersebut mempunyai
kemiripan secara molekuler dan imunologi sehingga memungkinkan terjadinya cross-
sensitivity. Pasien dengan riwayat reaksi penisilin mempunyai resiko yang lebih besar
mangalami reaksi dengan obat apapun dan resiko reaksi alergi terhadap cephalosporin
meningkat menjadi delapan kali dibandingkan tanpa riwayat alergi penisilin.(1)
Penisilin dan metabolitnya adalah hapten, molekul kecil yang hanya
mengeluarkan respon imun jika berkonjugasi dengan protein. Reaksi terhadap aspirin
dan NSAID lainnya ada dua tipe. Tipe yang pertama berupa reaksi lokal pada kulit dan
asma yang sensitif dengan aspirin ( sering disertai dengan nasal polyposis ) terjadi
melalui mekanisme yang tidak diperantarai oleh Ig E. Blokade cyclooxygenase oleh
obat ini menyebabkan overproduksi leukotriene, salah satu mediator anafilaksis. Tipe
yang kedua yaitu true anaphylaxis. Biasanya pasien ini tidak mempunyai asma, nasal
polyposis atau urticaria. Anafilaksis hanya terjadi jika sebelumnya sudah pernah
terpapar dua kali atau lebih. Gejala biasanya muncul segera atau beberapa jam setelah
obat diminum.(3)
6
2.3.2 Intravenous radiocontrast media
Reaksi anafilaktoid yang terjadi biasanya ringan ( paling sering berupa urticaria ) dan
tidak berhubungan dengan ada atau tidaknya paparan sebelumnya. Alergi kerang atau
“iodine” bukan kontraindikasi penggunaan kontras secara intravena dan tidak
memerlukan pretreatment regimen seperti antihistamin atau kortikosteroid. Kontras
yang diperbolehkan pada pasien yang mempunyai alergi apapun adalah Low Molecular
Weight Contrast, dengan terlebih dahulu melakukan inform consent pada pasien.
Apabila mukosa terkena paparan, tidak akan menyebabkan reaksi. Resiko terjadinya
reaksi meningkat pada pasien atopi dan/atau asma.(1)
2.3.3 Sengatan serangga ( Hymenoptera )
Lebah dan tawon adalah contoh serangga yang sering menyebabkan anafilaksis. Reaksi
dan urticaria yang bersifat lokal tanpa manifestasi klinis lainnya lebih sering terjadi
dibandingkan reaksi menyeluruh. Urticaria yang menyeluruh merupakan faktor resiko
anafilaksis selanjutnya, sedangkan reaksi lokal, walaupun parah bukan merupakan
faktor resiko anafilaksis sistemik apabila terpapar lagi. Pasien yang pernah mengalami
anafilaksis harus menghindari sengatan serangga sebisa mungkin.(1)
2.3.4 Makanan
Gejalanya biasanya ringan dan terbatas pada saluran pencernaan, tapi anafilaksis
menyeluruh juga bisa terjadi. Anafilaksis karena makanan sering menjadi penyebab
kematian secara tiba-tiba. Makanan yang sering menyebabkan anafilaksis antara lain
kacang-kacangan khususnya kacang tanah, polong-polongan, ikan, kerang, susu, dan
telur.(1) Pencernaan yang tidak efisien seperti pada bayi yang baru lahir, dapat
menyebabkan sistem imun terpapar oleh komponen alergenik pada makanan. Istilah
pollen food allergy syndrome menyatakan gejala yang ringan setelah memakan buah-
buahan, disebabkan oleh protein-protein homolog tapi labil dimana sensitisasi terjadi
setelah terpapar serbuk sari melalui pernafasan terlebih dahulu. Wensing et al,
menemukan bahwa reaksi pada alergi kacang tanah dapat terjadi dengan dosis minimal
100 µg, kecuali pada pasien dengan reaksi yang parah dimana terjadi penurunan
ambang.(10)
2.3.5 Lateks
7
Alergi lateks banyak ditemukan di kalangan medis karena penggunaan kateter, selop
tangan untuk mencegah infeksi, dan alat-alat medis lainnya. Reaksi yang terjadi,
kebanyakan pada kulit atau membran mukosa. Orang yang alergi pada lateks mungkin
juga sensitif pada buah-buahan seperti pisang, kiwi, pear, nanas, anggur, dan pepaya.
Insidennya terus menurun karena meningkatnya kewaspadaan dan peralihan ke
unpowdered latex dan selop tangan yang tidak terbuat dari lateks.(1,2)
2.3.6 Produk-produk darah
Anafilaksis sering disebabkan oleh cryoprecipitate, immune globulin, plasma dan
whole blood.(2)
2.3.7 Cairan semen
2.3.8 Faktor fisik
Suhu yang rendah dan olahraga merupakan pencetus anafilaksis.(2) Jenis olahraga yang
bisa menyebabkan reaksi anafilaksis adalah aktifitas aerobik seperti jogging, berjalan
cepat, tennis atau bulutangkis dan menari. Aktifitas yang lebih sedikit melibatkan
sistem kardiovaskuler seperti bola voli, menunggang kuda, mengumpulkan dedaunan,
lebih jarang menyebabkan reaksi. Gejala yang sering muncul adalah pruritus dan
urticaria menyeluruh, kemerahan pada kulit dan angioedema. Gejala yang
menunjukkan gangguan pembuluh darah seperti tachycardia dan hilang kesadaran, sakit
kepala, mual dan kolik gastrointestinal, obstruksi saluran nafas atas, dan disfagia juga
sering terjadi. Pada kebanyakan pasien, frekuensi reaksi menurun atau bahkan tetap
sejak pertama kali mengalami reaksi. Jika pasien mempunyai riwayat alergi lainnya
khususnya eczema atau mempunyai riwayat alergi pada keluarganya, akan lebih sering
mengalami reaksi.(9) Ada dua tipe anafilaksis yang disebabkan oleh olahraga. Tipe
yang pertama tergantung pada makanan, seperti kerang, tomat, minuman anggur,
produk susu dan seledri. Reaksi tidak akan terjadi jika makanan tersebut dimakan dan
tidak diikuti dengan olahraga, atau berolahraga saja tanpa memakan makanan tersebut
sebelumnya. Tipe yang kedua tidak tergantung pada makanan.(8) Walaupun demikian,
anafilaksis tidak selalu terjadi setiap kali berolahraga. Oleh karena itu, pasien dilarang
berolahraga apabila cuaca sangat panas atau sangat dingin, musim alergi, dan udara
yang lembab; dilarang makan sebelum berolahraga; mengubah lokasi olahraga
8
misalnya di dalam atau di luar ruangan; dan menghindari obat-obatan seperti aspirin
atau NSAID.(9)
2.3.9 Idiopatik
Diagnosis idiopatik ditegakkan apabila tidak ada alergen penyebab atau faktor fisik
yang dapat diidentifikasi sebagai penyebabnya. Gejala yang muncul dan
penanganannya umumnya sama dengan anafilaksis yang penyebabnya diketahui.(8)
2.4 Patofisiologi
Saat sel mast dan basofil mengalami degranulasi baik melalui mekanisme yang
diperantarai maupun yang tidak diperantarai oleh Ig E, histamine yang telah terbentuk
sebelumnya dan leukotriene serta prostaglandin yang baru terbentuk, dikeluarkan oleh
sel-sel tersebut. Respon fisiologis terhadap mediator-mediator ini meliputi spasme otot
polos pada saluran pencernaan dan pernafasan, vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah, dan perangsangan ujung saraf sensori. Proses fisiologis ini
menyebabkan munculnya gejala klasik anafilaksis seperti : kemerahan, urticaria,
pruritus, bronkospasme, dan kram perut disertai mual, muntah dan diare. Hipotensi dan
syok dapat terjadi karena penurunan volume intravaskuler, vasodilatasi, dan disfungsi
myocardium.(3) Peningkatan permeabilitas pembuluh darah dapat menyebabkan
perpindahan 50 % volume pembuluh darah ke ruang ekstravaskuler dalam waktu 10
menit, yang akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, menyebabkan
dihasilkannya katekolamin sebagai kompensasi. Akibatnya bisa terjadi peningkatan
resistensi pembuluh darah perifer atau penurunan resistensi walaupun banyak
katekolamin yang dihasilkan. Sel mast yang berakumulasi pada plak pembuluh darah
koroner bisa menyebabkan trombosis arteri koroner. Karena antibodi yang berikatan
dengan reseptor sel mast merangsang degranulasi sehingga kemungkinan dapat
menghancurkan plak yang telah terbentuk. Histamin juga menghancurkan plak dengan
menyebabkan stres hemodinamik pembuluh darah terhadap plak, dengan menyebabkan
vasodilatasi atau keduanya.(4)
Tabel 2.1. Mediator-mediator inflamasi yang terlibat pada anafilaksis
Mediator Efek fisiologis Manifestasi klinis
9
Platelat activating factor
Prostaglandin
Leukotriene
Tryptase
Kinin
Heparin
Chymase
Tumor necrosis factor α
Interleukin-1
Nitric oxide
Histamin
Meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah
Vasodilatasi perifer
Vasokonstriksi koroner
Kontraksi otot polos
Iritasi saraf sensori
Aktifasi jalur inflamasi
lainnya
Merekrut sel inflamasi
Aktifasi jalur vagal
Angioedema, urticaria
Edema laring
Hipotensi
Kemerahan
Iskemia myokardium
Wheezing
Mual, muntah, diare, nyeri
perut
Pruritus
Sumber: Tang AW : A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003
Diantara mediator-mediator tersebut, yang dihasilkan segera oleh sel mast dan basofil
adalah histamine, TNF-α, protease dan heparin, yang kesemuanya berada dalam granul-
granul sel mast dan basofil. Sel-sel tersebut juga menghasilkan lipid mediator seperti
prostaglandin D2, Leukotriene B4 yang penting pada fase akhir reaksi, PAF, dan
cysteinyl leukotriene LT C4, LT D4, dan LT E4, dalam waktu beberapa menit dan
menghasilkan sitokin khususnya IL-4 dan IL-13 dalam waktu beberapa jam setelah
terpapar.(4,7) Mediator-mediator tersebut dapat mengaktifkan sistem kinin, sistem
komplemen dan sistem koagulasi yang bekerja bersama manimbulkan feedback positif
yaitu dengan merekrut sel inflamasi lainnya seperti eosinofil dan limfosit sehingga
terjadi pemanjangan waktu reaksi atau reaksi bifasik. Sebenarnya histamine saja sudah
bisa menyebabkan gejala-gejala anafilaksis. Histamin mengaktifkan reseptor H1 dan
H2. Aktifasi reseptor H2 menimbulkan sebagian besar efek pada jantung, disamping
efek langsung histamine pada saluran pencernaan.(3) Melalui reseptor H1, histamine
merangsang sel endotel untuk mengubah asam amino L-arginin menjadi nitric oxide,
penyebab vasodilatasi. NO mengaktifkan guanylate cyclase yang menyebabkan
diproduksinya cyclic guanosine monophosphate. Normalnya NO membantu mengatur
10
tonus pembuluh darah dan tekanan darah regional. Peningkatan produksi NO akan
menurunkan venous return. Contoh gejala yang ditimbulkan oleh aktifasi reseptor H1
saja antara lain pruritus, rhinorrhea, tachycardia, dan bronkospasme. Aktifasi ke dua
reseptor histamine menyebabkan sakit kepala, kemerahan dan hipotensi. Kadar
histamin pada serum berhubungan dengan tingkat keparahan dan persistensi
manifestasi pada jantung dan paru-paru. Tryptase adalah satu-satunya protein yang
secara khusus ada pada granul sekretorik sel mast dan kadarnya pada plasma juga
berhubungan dengan tingkat keparahan anafilaksis.(4)
Anafilaksis yang berulang atau bifasik bisa terjadi dalam waktu 8 sampai 12
jam setelah serangan pertama kali. Secara klinis, tidak ada perbedaan dengan reaksi
awalnya tapi memerlukan dosis epinefrin yang lebih tinggi untuk mengurangi gejalanya
jika dibandingkan dengan reaksi unifasik. Anafilaksis yang persisten bisa berlangsung
selama 5 sampai 32 jam. Tapi tidak satupun diantara ke dua jenis anafilaksis tersebut
dapat diperkirakan akan terjadi, hanya berdasarkan tingkat keparahan fase awalnya.
Oleh karena manifestasi klinis berulang, maka pasien perlu diawasi selama lebih dari
24 jam setelah fase awalnya.(4)
2.5 Gejala dan Tanda
Anafilaksis terdiri dari kombinasi berbagai gejala yang bisa muncul beberapa detik atau
beberapa menit setelah terpapar. Manifestasi di kulit berupa urticaria dan gatal
disekitarnya. Pada reaksi lokal, lesi terjadi dekat dengan bagian yang terpapar disertai
eritema, edema dan gatal. Kadang-kadang terjadi lesi yang mirip dengan angioedema
yang melibatkan mukosa dan bagian kulit yang lebih dalam. Angioedema biasanya
tidak gatal dan lesinya nonpitting. Lesi biasanya muncul di bibir, telapak tangan,
telapak kaki, dan genitalia.
Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat
sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada produksi suara sama sekali
jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran nafas yang komplit adalah penyebab
kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi nafas mengi terjadi apabila saluran
nafas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Pada angioedema
yang disebabkan oleh ACE inhibitor, edema lidah dan bibir bisa menyumbat saluran
nafas.
11
Sistem kardiovaskuler biasanya normal pada kasus yang ringan. Pada kasus
yang berat, hilangnya tonus pembuluh darah dikompensasi dengan tachycardia, tapi
bradycardia bisa juga terjadi pada kasus yang sangat berat. Turunnya volume
intravaskuler terjadi karena kebocoran kapiler sehingga tekanan darah menurun.
Henti nafas atau jantung dapat terjadi pada kasus yang parah. Syok bisa terjadi
tanpa manifestasi klinis pada kulit atau riwayat paparan sehingga anafilaksis menjadi
diagnosis banding pada pasien yang syok namun tidak ada penyebab yang
teridentifikasi. Tanda-tanda vital sangat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan
dan organ-organ yang terkena. Pasien biasanya tidak dapat beristirahat karena gatal-
gatal pada urticaria. Anxiety , tremor dan perasaan seperti kedinginan bisa terjadi
karena efek kompensasi katekolamin endogen. Jika terjadi hipoperfusi atau hipoksia,
kesadaran pasien akan menurun atau mengalami agitasi.(1)
2.6 Diagnosis
Diagnosis anafilaksis biasanya dengan melihat gambaran klinisnya, namun beberapa
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium juga bisa digunakan. Apabila
suatu gejala yang tipikal dianggap berhubungan dengan suatu paparan, maka diagnosis
hampir pasti bisa ditegakkan.(1) Sampson,HA et al, membuat kriteria klinis untuk
mendiagnosis anafilaksis, yang terdiri dari :
1. Onsetnya akut ( beberapa menit sampai beberapa jam ) dengan melibatkan jaringan
kulit, mukosa atau keduanya ( contohnya urticaria menyeluruh, gatal atau
kemerahan, bibir-lidah-uvula yang bengkak).
Dan salah satu dari :
a. Gangguan respirasi ( dispnea, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan PEF,
hipoksemia )
b. Penurunan tekanan darah atau gejala disfungsi organ ( hipotonia, sinkop,
inkotinensia )
2. Dua atau lebih hal-hal di bawah ini yang terjadi secara cepat setelah terpapar suatu
alergen yang mungkin adalah penyebabnya(beberapa menit sampai beberapa jam) :
a. Mengenai jaringan kulit-mukosa ( urticaria menyeluruh, gatal kemerahan, bibir-
uvula-lidah bengkak )
12
b. Gangguan respirasi ( dispnea, mengi-bronkospasme, stridor, penurunan PEF,
hipoksemia )
c. Penurunan tekanan darah atau gejala lain yang berhubungan ( hipotonia, sinkop,
inkontinensia )
d. Gejala gastrointestinal yang persisten ( nyeri kram abdomen, muntah )
3. Penurunan tekanan darah setelah terpapar alergen yang telah dikenal oleh pasien
tersebut ( beberapa menit sampai beberapa jam ) :
a. Bayi dan anak-anak : tekanan darah yang rendah ( sesuai umur ) atau penurunan
tekanan darah sistol lebih dari 30 %.
b. Dewasa : tekanan darah sistol kurang dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari
30 % dari tekanan darah normal pasien tersebut.(15)
Apabila dengan gejala klinis belum bisa mendiagnosis anafilaksis, maka tes
yang bisa dipakai saat terjadi reaksi adalah pengukuran kadar tryptase sel mast di
serum. Tryptase dihasilkan dari sel mast pada reaksi anafilaksis maupun anafilaktoid.
Kadarnya meningkat pada reaksi yang parah. Kenaikan ini bersifat sementara dengan
puncaknya kurang lebih 1 jam setelah onset reaksi dan tetap tinggi selama lebih dari 5
jam.(1) Bisa juga dengan mengukur kadar histamin di plasma, yang meningkat dalam 5
sampai 10 menit setelah onset walaupun tetap tinggi hanya selama 30 sampai 60 menit
saja, tapi kadar histamine di urin bisa bertahan lebih lama.(2)
Pemeriksaan jantung pada pasien dengan reaksi yang berat dan pada pasien
yang mempunyai penyakit jantung sangat penting terutama apabila menggunakan obat-
obat adrenergic agonist. Pulse oximetry juga bisa digunakan. Pemeriksaan radiologi
sebenarnya tidak diperlukan untuk mendiagnosis atau memanajemen anafilaksis, tetapi
bisa digunakan sebagai alat bantu diagnosis jika diagnosis belum jelas. Tes sensitifitas
terhadap antibiotik penisilin bisa dilakukan jika penisilin atau cephalosporin adalah
obat pilihan untuk infeksi serius pada pasien yang mempunyai riwayat reaksi alergi
yang parah. Prosedur ini bisa dilaksanakan setelah dilakukan inform consent, dan alat-
alat resusitasi telah disediakan.(1)
Tetapi apabila gejala pada gastrointestinal mendominasi atau terjadi kolaps
jantung dan paru dimana sulit untuk mengetahui riwayat penyakit pasien, maka
anafilaksis sulit untuk didiagnosis.
Tabel 2.2 Diagnosis Banding Anafilaksis
13
Gejala Diagnosis banding
Hipotensi
Respiratory distress dengan wheezing atau
stridor
Kolaps postprandial
Flush syndrome
Lain-lain
Syok septik
Reaksi vasovagal
Syok kardiogenik
Syok hipovolemik
Benda asing di saluran nafas
Asma dan eksaserbasi penyakit paru
obstruktif kronis
Sindrom disfungsi vocal cord
Benda asing di saluran nafas
Menelan monosodium glutamate
Menelan sulfat
Karsinoid
Postmenopausal hot flushes
Red man syndrome ( vancomycin )
Serangan panik
Systemic mastocytosis
Angioedema herediter
Leukemia dengan produksi histamin
berlebih
Sumber : Tang AW : A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003
BAB III
KERANGKA KONSEP
14
Bagan berikut menunjukkan kerangka konsep penelitian ini
Penyebab
BAB IV
METODE PENELITIAN
- Obat-obatan
- Intravenous radiocontrast media
- Sengatan serangga
- Makanan
- Lateks
- Produk darah
- Cairan semen
- Faktor fisik
- Idiopatik
Reaksi Anafilaksis
15
4.1 Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif deskriptif.
4.2 Populasi Sampel
4.2.1 Populasi
a. Populasi target yaitu pasien-pasien dengan reaksi hipersensitifitas
akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RS Sanglah.
b. Populasi terjangkau yaitu pasien-pasien dengan reaksi hipersensitifitas
akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK UNUD/RS Sanglah dari bulan Januari 2001 sampai bulan
Desember 2006 yang mempunyai formulir rekam medis yang lengkap.
4.2.2 Kriteria Inklusi
Semua pasien dengan reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah dari
bulan Januari 2001 sampai bulan Desember 2006.
4.2.3 Kriteria Eksklusi
Pasien-pasien dengan reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-
Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
sebelum bulan Januari 2001 dan setelah bulan Desember 2006.
4.3 Variabel Penelitian
4.3.1 Definisi Operasional Variabel
a. Anafilaksis : reaksi hipersensitifitas akut, berat dan sistemik mengenai dua
organ atau lebih setelah terpapar alergen.
b. Reaksi hipersensitifitas akut : suatu reaksi yang manifestasi klinisnya akut
yang hanya melibatkan kulit, mukosa, atau keduanya, setelah terpapar
alergen.
16
c. Obat : bahan berasal dari tumbuh-tumbuhan, binatang, mineral, yang dapat
dipakai mencegah, meringankan, menyembuhkan suatu penyakit.
d. Intravenous radiocontrast media : kontras untuk pemeriksaan radiologi
yang diinjeksikan secara IV untuk mempermudah melihat struktur didalam
tubuh.
e. Sengatan serangga : gigitan serangga yang menimbulkan reaksi.
f. Makanan : bahan yang dimasukkan ke dalam mulut kemudian dikunyah dan
mengandung nutrisi.
g. Lateks : hasil olahan getah pohon karet.
h. Produk darah : darah, hasil olahan darah menjadi komponen-komponennya.
i. Cairan semen : hasil pengeluaran penis; cairan viskus lengket warna putih
kekuningan mengandung spermatozoa; campuran yang dihasilkan oleh
sekresi testis, vesicula seminalis, prostate, dan glandula bulbouretra.
j. Faktor fisik : keadaan lingkungan, aktifitas yang dilakukan.
k. Idiopatik : penyebab yang belum teridentifikasi.
4.4 Lokasi dan Waktu
Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah
dari bulan Januari 2001 sampai Desember 2006.
4.5 Bahan dan Alat
Formulir rekam medis yang lengkap dari pasien-pasien dengan reaksi
hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah dari bulan Januari 2001 sampai bulan
Desember 2006.
4.6 Prosedur Pelaksanaan
Dengan mengamati dan mengutip semua formulir rekam medis pasien dengan
reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF
Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah dengan penekanan pada penyebab-
penyebab reaksi hipersensitifitas akut/anafilaksis. Kemudian data disajikan secara
deskriptif dengan melihat proporsi.
17
BAB V
18
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Data Deskriptif
Dari bulan Januari 2001 sampai Desember 2006, pasien dengan reaksi hipersensitifitas
akut/anafilaksis yang masuk ke Divisi Alergi-Imunmologi adalah sebanyak 154 orang
yang dijadikan sampel penelitian ini.Tabel 5.1. menyebutkan bahwa dari sampel yang
dimasukkan dalam penelitian didapatkan penyebab anafilaksis berupa obat sebanyak 88
kasus atau 57,1 persen atau yang terbanyak dari empat jenis penyebab, berupa makanan
sebanyak 48 kasus atau 31,2 persen, berupa insect sting sebanyak 13 kasus atau 8,4
persen, dan 5 kasus sisanya atau 3,3 persen disebabkan oleh penyebab lainnya yaitu
jamu pegel linu sebanyak 3 kasus, transfusi PRC 1 kasus dan transfusi TC 1 kasus.
Semua data ini diperoleh dari formulir rekam medis seluruh pasien hipersensitif atau
anafilaksis di Divisi Alergi-Imunologi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
UNUD/RS Sanglah dari Bulan Januari 2001 sampai dengan Desember 2006.
Tabel 5.1. Data Deskripsi Penyebab Anafilaksis
No. Penyebab Jumlah Kasus %
1.
2.
3.
4.
Obat
Makanan
Insect sting
Lain-lain :
a. Jamu pegel linu
b. Transfusi PRC
c. Transfusi TC
88
48
13
5
3
1
1
154
57,1
31,2
8,4
3,3
Total Kasus
Penelitian lain yang pernah dilakukan di inggris menurut Pumphrey R. Clin Exp
Allergy 2000, juga memberikan hasil yang tidak jauh berbeda. Yaitu obat menduduki
peringkat pertama sebanyak 33 persen, diikuti makanan sebanyak 23 persen dan insect
sting sebanyak 20 persen. Perbedaan persentase seperti yang ditunjukkan pada tabel
5.2. hanya menunjukkan perbedaan faktor geografi dan kebiasaan masyarakat.
19
Tabel 5.2. Data penyebab anafilaksis di Inggris menurut Pumphrey R. Clin Exp Allergy
2000
No. Penyebab %
1.
2.
3.
4.
5.
Obat
Makanan
Insects
Latex
Lain-lain
33
23
20
3,4
19
Sumber : Pumphrey R. Clin Exp Allergy, (2000)
5.2 Data Obat Penyebab anafilaksis
Setelah penelitian dilakukan, diketahui terdapat empat besar golongan obat yang dapat
menyebabkan anafilaksis dari sebanyak 88 kasus. Terdiri dari yang terbanyak yaitu
obat golongan analgetik 44 kasus atau 50 persen, antibiotika 28 kasus atau 31,82
persen, NSAID 12 kasus atau 13,64 persen dan sisanya 4 kasus atau 4,54 persen
disebabkan oleh obat-obat lain yang tidak termasuk dalam tiga kategori obat tersebut.
Golongan analgetik yang paling sering menyebabkan anafilaksis adalah antalgin
dengan zat aktifnya yang utama yaitu metamizole Na. Sedangkan golongan antibiotika
yang paling sering adalah penicillin, dan dari golongan NSAID yang paling sering
adalah ketoprofen. Beberapa diantara golongan obat tersebut merupakan obat-obat yang
dijual bebas di pasaran dan ada juga yang sering dipergunakan di pusat-pusat pelayanan
kesehatan seperti RS Sanglah Denpasar. Untuk distribusi lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel 5.3.
Tabel 5.3. Data Obat Penyebab Anafilaksis
No. Jenis Obat Jumlah Kasus %
20
1.
2.
3.
4.
Analgetik
a. Antalgin ( Metamizole Na )
b. Parasetamol
c. Asam mefenamat
d. Puyer bintang tujuh
Antibiotika
a. Penicillin
b. Quinolone
c. Cotrimoxazole
d. Thiamphenicol
NSAID
a. Ketoprofen
b. Aspirin
Lain-lain
a. Amiodarone
b. Furosemide
c. Bromhexin HCl
d. Orciprenalin Sulfate
44
15
13
13
3
28
20
6
1
1
12
9
3
4
1
1
1
1
88
50
34
29,6
29,6
6,8
31,82
71,4
21,4
3,6
3,6
13,64
75
25
4,54
25
25
25
25
Total Kasus
5.3 Data Makanan Penyebab Anafilaksis
Berikut ini akan ditampilkan jenis makanan yang paling sering menyebabkan
anafilaksis dari keseluruhan 48 kasus yang berhasil dikumpulkan.
Dari 48 penderita, ditemukan jenis makanan yang paling sering menimbulkan
anafilaksis adalah ikan laut sebanyak 25 kasus atau lebih dari setengah jumlah
penderita, diikuti udang sebanyak 11 kasus, daging babi dan telur masing-masing 2
kasus. Sedangkan yang disebabkan oleh susu, daging ayam, kepiting, madu, bekicot,
kerang, kacang tanah dan lobster masing-masing 1 kasus.
Tabel 5.4. Data Makanan Penyebab Anafilaksis
No. Jenis Makanan Jumlah Kasus %
21
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Ikan laut
Udang
Daging babi
Telur
Susu
Daging ayam
Kepiting
Madu
Bekicot
Kerang
Kacang tanah
Lobster
25
11
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
48
52,08
22,9
4,16
4,16
2,08
2,08
2,08
2,08
2,08
2,08
2,08
2,08
Total Kasus
Faktor atopi berpengaruh pada reaksi anafilaksis yang disebabkan oleh makanan
dimana diantara para penderita tersebut kemungkinan mempunyai riwayat
hipersensitifitas pada keluarganya mengingat atopi diturunkan secara genetik. Namun
hal ini tampaknya tidak berlaku pada reaksi anafilaksis yang disebabkan oleh penicillin
dan insect sting. Pada prinsipnya anafilaksis merupakan reaksi alergi yang dapat
disebabkan oleh banyak hal.
5.4 Kendala Penelitian
Kendala yang dihadapi dalam penelitian ini adalah terbatasnya pengetahuan yang
penulis miliki.
22
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan kesimpulan sebagai berikut :
Penyebab anafilaksis adalah obat, makanan, insect sting dan alergen lainnya yang tidak
termasuk dalam ketiga golongan tersebut.
6.2 Saran
Untuk penelitian yang menggunakan data sekunder seperti formulir rekam medis,
diusahakan menggunakan data yang paling lengkap.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Krause RS: Anaphylaxis, March 18 2004. Available
from:URL:http://www.emedicine.com/anaphylaxis/article.htm
2. Tang AW: A Practical Guide to Anaphylaxis, October 1 2003. Available from:
URL:http://www.americanfamilyphysician.htm
3. Dreskin SC: Anaphylaxis, October 7 2005. Available from:
URL:http://www.emedicine.com
4. Kemp SF, Lockey RF: “Anaphylaxis: A review of causes and mechanisms”. J
Allergy Clin Immunol September 2002:341-346.
5. Epidemiology of life-threatning and lethal anaphylaxis: a review. Available
from: URL:http://www.foodallergyproject.org/Moneret-Vautrin-et-al-2005.pdf
6. Chamberlain D, Fisher J, Ward M: The Emergency Medical Treatment of
Anaphylactic Reactions for First Medical Responders and for Community Nurses,
May 2005.
7. Mallon D : Clinical immunologist and allergist Princess Margaret and Fremantle
Hospitals, Western Australia, 2006.
8. Nicklas et al: “Exercise-induced anaphylaxis, Idiopathic anaphylaxis”. J Allergy
Clin Immunol June 1998:s523-s525.
9. Shadick NA, Liang MH, Partridge AJ, LICSW, Bingham C, Wright E, Fosssel AH,
Sheffer AL: “The natural history of exercise-induced anaphylaxis: Survey results
from a 10-year follow up study”. Boston, Mass. J Allergy Clin Immunol July
1999:123-126.
10. Sicherer SH, Leung DYM: “Advances in allergic skin disease, anaphylaxis, and
hypersensitivity reactions to foods, drugs, and insect stings”. New York, Denver. J
Allergy Clin Immunol vol 114, number 1:118-123.
11. Brown SGA: “Clinical features and severity grading of anaphylaxis”. Hobart,
Tasmania, Australia. J Allergy Clin Immunol August 2004:371-376
12. Anaphylaxis: Global Overview. Available from:
URL:http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/
anaphylaxis/anaphylaxisglobal_pf.html
24
13. About anaphylaxis, March 2004. Available from:
URL:http://www.epipen.ca/EN/about_anaphylaxis.aspx
14. Mullins RJ. Clin Exp Allergy 2003
15. Sampson HA, et al JACI 2006
25
Recommended