View
46
Download
5
Category
Preview:
DESCRIPTION
asthma paediatrics
Citation preview
REFERAT
Asthma Pada Anak
Pembimbing :
Dr. Dwi Haryadi, SpA
Disusun Oleh :
Rabie’ah 11.2014.061
Zaim Syazwan bin Zulkafi 11.2014.043
Muhammad Hazim Afif b Amirudin 11.2014.044
Ahmed Haykal Hilman 11.2014.035
Drey 11.2014.287
Leobalda Purnama Deludore 11.2014.046
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RS Bayukarta
11 Mei 2015 – 18 Juli 2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai adanya
mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran nafas, termasuk
dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World Health Organization (WHO)
memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini
diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber
lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia
dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan ditangani
dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi
lagi pada masa akan datang serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas
hidup pasien(1).
Asma memberi dampak negatif bagi pengidapnya seperti sering menyebabkan
anak tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga serta aktifitas seluruh keluarga,
juga dapat merusak fungsi sistem saraf pusat, menurunkan kualitas hidup penderitanya,
dan menimbulkan masalah pembiayaan. Selain itu, mortalitas asma relatif tinggi. WHO
memperkirakan terdapat 250.000 kematian akibat asma(2).
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan tidak
dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah menghindari
faktor penyebab(2).
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan
asma pada anak.
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan asma pada
anak.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang melibatkan
sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan dengan
hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama pada malam hari
atau awal pagi. Episodik ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan yang
luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan(3).
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang ditandai
oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas sebagai respon
terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada banyak orang(4).
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK) Respirologi
IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi berulang dan/atau batuk
persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik, cenderung pada
malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma
atau atopi lain pada pasien dan/atau keluarganya(5).
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko(1,6)
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan
laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan
dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial. Beberapa
literatur menyebutnya sebagai exercised induced bronchospasm (EIB). Exercised induced
asthma harus dibedakan antara penderita asma dengan atlit. Pada asma, didapatkan
berespons terhadap bronkodilator dan metakolin, serta berhubungan eosinofil. Sedangkan
EIB pada atlit, tidak ditemukan respon tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan
terjadinya EIB adalah latihan fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable
maximum heart rate.(7)
Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya
kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha lebih untuk
menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam alveolus tetap optimal. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas dari permukaaan saluran napas dimana
terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya
proinflamatory mediator berupa histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada
akhirnya menyebabkan terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada
EIB atlit, tidak terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil,
neutrofil, atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(7)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma: (1,6)
Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoa, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap
rokok.
Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen
dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari,
asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan
kering, olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis,
sinusitis, dan gastroesofageal refluks).
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut(1):Hiperaktivitas bronkus obstruksi
Gejala Asma
Pencetus (trigger)Pemacu (enhancer)Pemicu (inducer)
Faktor Genetik
Faktor Lingkungan
Sensitisasi inflamasi
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit
yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang terletak pada
kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih
merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR
merupakan MHC (major histocompatibility complex) klas II, suatu reseptor permukaan
sel yang disandikan oleh kompleks antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte
Antigen) yang terletak pada kromosom 6 daerah 6p21.31(1).
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah
anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta).
Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki. WHO
memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan
laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi(2).
Asma adalah penyakit kronik yang umum menyebabkan peningkatan angka
kesakitan. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari data statistik pusat nasional
Amerika Serikat pada tahun1998, terdapat 8,65 juta anak-anak dilaporkan menderita
asma dan 3,8 juta anak pernah mengalami episode serangan asma dalam waktu 12 bulan.
Asma pada anak-anak di Amerika Serikat dianggap sebagai penyebab tersering adanya
kunjungan ke Instalasi Gawat Darurat (867,000 kasus), rawat inap (166,000 kasus) dan
tidak masuk sekolah (10.1 juta kasus) Walaupun asma tidak sering menyebabkan
kematian, namun dilaporkan 164 kematian anak akibat asma pada tahun 1998(6).
2.4. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai
oleh serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif.
Tidak semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik
mengidap asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul
pertama kali dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2
dekade pertama kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang
diperantarai oleh IgE dan memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika
dan dermatitis atopik(8).
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan
molekul Major Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan
MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC)
utama pada saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam
sumsum tulang, lalu membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di
dalam epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan
sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel
epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik
pindah menuju daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif(8).
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif
terhadap alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan
komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi
fase lambat pada asma timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi
pengerakan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga
terdapat retensi selektif sel T pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan
pelepasan newly generated mediator. Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh
antigen, akan mengalami polarisasi ke arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam
pertama fase lambat terjadi transkripsi dan transaksi gen, serta produksi mediator pro
inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi.
Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat(8).
Pada remodeling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori
melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinsai
antara kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks
Metalloproteinase (MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses
yang penting dalam remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel
otot polos saluran respiratori dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah
vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul
termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran respiratori dapat diamati pada
pasien yang meninggal akibat asma. Hal tersebut secara langsung berhubungan dengan
lamanya penyakit(8).
Gambar 1. Patogenesis Asma
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan
kelenjar submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat.
Secara keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur
saluran respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran
respiratori. Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas
saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu
lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi
kortikosteroid(8).
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamsai kronik dan hiperaktivitas bronkus(1).
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,
nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan
refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi(1).
GejalaFaktor Risiko
Hiperaktivitas
Bronkus
Obstruksi
Bronkus
Faktor Risiko Faktor Risiko
Inflamasi
Gambar 2. Proses imunologis spesifik dan non-spesifik
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eusinofil, netrofil, trombosit dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien,
tromboksan, Platelet Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi
asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas
bronkus(1).
2.5 Patofisiologi Asma
2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyempitan saluran nafas yang terjadi pada pasien asma dapat disebabkan oleh
banyak faktor. Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast, neuropeptidase yang
dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang berasal dari saraf eferen post
ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi otot polos saluran nafas adalah
hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh darah, serta terjadi deposisi matriks pada
saluran nafas. Namun,dapat juga timbul pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi
sekret yang banyak, tebal dan lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari
mikrovaskularisasi bronkial dan debris seluler(9).
Secara garis besar, semua gangguan fungsi pada asma ditimbulkan oleh
penyempitan saluran respiratori, yang mempengaruhi seluruh struktur pohon
trakeobronkial. Salah satu mekanisme adaptasi terhadap penyempitan saluran nafas
adalah kecenderungan untuk bernafas dengan hiperventilasi untuk mendapatkan volume
yang lebih besar, yang kemudian dapat menimbulkan hiperinflasi toraks. Perubahan ini
meningkatkan kerja pernafasan agar tetap dapat mengalirkan udara pernafasan melalui
jalur yang sempit dengan rendahnya compliance pada kedua paru. Inflasi toraks
berlebihan mengakibatkan otot diafragma dan interkostal, secara mekanik, mengalami
kesulitan bekerja sehingga kerjanya menjadi tidak optimal . Peningkatan usaha bernafas
dan penurunan kerja otot menyebabkan timbulnya kelelahan dan gagal nafas(9).
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori
Mekanisme terhadap reaktivitas yang berlebihan bronkus yang menyebabkan
penyempitan saluran napas sampai saat ini tidak diketahui, namun dapat berhubungan
dengan perubahan otot polos saluran nafas yang terjadi sekunder serta berpengaruh
terhadap kontraktilitas ataupun fenotipnya. Sebagai tambahan, inflamasi pada dinding
saluran nafas yang terjadi akibat kontraksi otot polos tersebut(9).
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik asma,
dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic Obstruction
Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi. Stimulus seperti olahraga,
udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki pengaruh langsung terhadap otot polos
saluran nafas (tidak seperti histamin dan metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang
sel mast, ujung serabut dan sel lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan
mediatornya(9).
2.5.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus. Kelainan
ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian elastisitas jaringan
otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan kontraktilitas otot pada pasien
asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan pemendekan otot. Sebagai tambahan,
terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel
otot polos dapat menjadi etiologi hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik(9).
Peran dari pergerakan aliran udara pernafasan dapat diketahui melalui hipotesis
pertubed equilibrium, yang mengatakan bahwa otot polos saluran nafas mengalami
kekakuan bila dalam waktu yang lama tidak direnggangkan sampai pada tahap akhir,
yang merupakan fase terlambat, dan menyebabkan penyempitan saluran nafas yang
menetap atau persisten. Kekakuan dari daya kontraksi, yang timbul sekunder terhadap
inflamasi saluran nafas, kemudian menyebabkan timbulnya edema adventsial dan
lepasnya ikatan dari tekanan rekoil elastis(9).
Mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast, seperti triptase dan protein
kationik eosinofil, dikatakan dapat meningkatkan respon otot polos untuk berkontraksi,
sama seperti mediator inflamasi yang lainnya seperti histamin. Keadaan inflamasi ini
dapat memberikan efek ke otot polos secara langsung ataupun sekunder terhadap
geometri saluran nafas(9).
2.5.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran nafas
hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab ostruksi saluran
nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak mengalami perbaikan dengan
bronkodilator(9).
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa peningkatan
volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan dan perlengketan dari
sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja tetapi terdapat juga
penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal datri mikrovaskularisasi
bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel inflamasi yang mengalami lisis(9).
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel Goblet yang
dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena adanya pelepasan
neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik. Kemungkinan besar yang
lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh mediator inflamasi, dengan
aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase, kimase sel mast, leukotrien,
histamin, produk neutrofil non-protease(9).
2.6. Diagnosis
Kelompok anak yang patut diduga asma adalah anak yang menunjukkan batruk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam atau dini hari
(nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan/atau atopi
pada pasien atau keluarga (lihat alur diagnosis di lampiran 1)(5,10).
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil, dan
bertambahnya umur khususnya diatas umur tiga tahun, diagnosis asma menjadi lebih
definitive. Untuk anak yang sudah sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru
sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederharna dengan peak flow meter, atau yang
lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamine, metakolin,
gerak badan (exercise), udara kering dan dingin,atau dengan salin hipertonis sangat
menunjang diagnosis.pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak
melalui 3 cara yaitu didapatkannya.(4)
1. Variabilitas pada PFR atau FEV 1 lebih dari 20%
2. Kenaikan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
3. Penurunan ≥ 20% pada PFR atau FEV1 setelah provokasi bronkus.
2.6.1 Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk
dan/atau mengi yang memburuk dengan progresif. Selain keluhan batuk dijumpai sesak
nafas dari ringan sampai berat. Pada serangan asma gejala yang timbul bergantung pada
derajat serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien
masih lancar berbicara dan aktifitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala
bertambah berat anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala
sesak dan sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan
kata-kata(11).
2.6.2 Pemeriksaan fisik
Gejala dan serangan asma pada anak tergantung pada derajat serangannya. Pada
serangan ringan anak masih aktif, dapat berbicara lancar, tidak dijumpai adanya retraksi
baik di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi nafas masih dalam batas normal. Pada
serangan sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama pada saat ekspirasi,
retraksi, dan peningkatan frekuensi nafas dan denyut nadi bahkan dapat dijumpai
sianosis. Berbagai tanda atau manifestasi alergi, seperti dermatitis atopi dapat
ditemukan(11).
Dasar penyakit ini adalah hiperaktivitas bronkus akibat adanya inflamasi kronik
saluran respiratorik. Akibatnya timbul hipersekresi lender, udem dinding bronkus dan
konstriksi otot polos bronkus. Ketiga mekanisme patologi diatas mengakibatkan
timbulnya gejala batuk, pada auskultasi dapat terdengar ronkhi basah kasar dan mengi.
Pada saat serangan dapat dijumpai anak yang sesak dengan komponen ekspiratori yang
lebih menonjol(11).
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada AGD
dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2 (hipoksemia).
Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi
memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang
mencapai <70% nilai normal(11).
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat membantu
penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total umum dijumpai
pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan pemeriksaan uji provokasi
dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi positif, maka diagnosis asma secara
definitive dapat ditegakkan(11).
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma anak secara arbitreri PNAA membagi asma anak
menjadi 3 derajat penyakit(10,11)
Parameter klinisKebutuhan obat, dan faal paru
Asma episodic jarang (asma ringan)
Asma episodic sering(asma sedang)
Asma persisten(asma berat)
1.Frekuensi serangan 3-4x /1tahun 1x/bulan ≥1/bulan2.Lama serangan <1 minggu ≥1 minggu Hampirsepanjang
tahun, tidak ada remisi3.Intensitas serangan Ringan Sedang Berat4.diantara serangan Tanpa gejala Sering ada gejala Gejala siang dan
malam5.Tidur dan aktivitas Tidak terganggu
<3x/mingguSering terganggu>3x/minggu
Sangat terganggu
6.Pemeriksaan fisis diluar serangan
Normal, tidak ditemukan kelainan
Mungkin terganggu (ditemukan kelainan)
Tidak pernah normal
7.Obat pengendali Tidak perlu Perlu, non steroid/ steroid inhalasi dosis 100-200 ụg
Perlu, steroid inhalasiDosis ≥400 ụg/hari
8.Uji faal paru(di luar serangan0
PEF/FEV1 >80% PEF/FEV1 60-80% PEF/FEV1 < 60%Variabilitas 20-30%
9.Variabilitas faal paru
≥20% ≥30% ≥50%
(bila ada serangan)
Tabel 2. Penetuan Derajat Serangan Asma (11)
Parameter klinis,Fungsi paru, Laboraturium
Ringan Sedang Berat Ancaman henti napas
Sesak (breathless) BerjalanBayi :Menangis keras
BerbicaraBayi :Tangis pendek& lemahKesulitan menetek dan makan
IstirahatBayi :Tidak mau minum / makan
Posisi Bisa berbaring Lebih sukaDuduk
Duduk bertopang lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran Mungkin irritable
Biasanyairritable
BiasanyaIrritable
kebingungan
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada NyataWheezing Sedang, sering
hanya pada akhir ekspirasi
Nyaring,Sepanjang ekspirasi± inspirasi
Sangat nyaring, Terdengar tanpa stateskop
Sulit /Tidak terdengar
Penggunaan ototBantu respiratorik
Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan paradoxTorako- Abdominal
Retraksi Dangkal,Retraksi Interkosta
Sedang, ditambahRetraksi suprasternal
Dalam, ditambahNapas cuping hidung
Dangkal/Hilang
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu BradipnuPedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar:Usia frekuensi napas normal<2 bulan < 60 / menit2-12 bulan < 50 /menit1-5 tahun < 40 / menit6-8 tahun < 30 / menit
Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi BradikardiPedoman nilai baku frekuesi nadi pada anak :Usia Frekuensi nadi normal
2-12 bulan < 160 / menit1-2 tahun < 120 / menit3-8 tahun < 110 / menit
Pulsus paradoksus Tidak ada<10 mmHg
Ada10-20 mmHg
Ada>20 mmHg
Tidak ada,Tanda kelelahanOtot respiratorik
PEFR atau FEV1PrabronkodilatorPascabronkodilator
(% Nilai dugaan/>60%>80%
Nilai terbaik)40-60%60-80%
<40%<60%Respon < 2 jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHgPaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
2.7.Tatalaksana Asma
Tatalaksana asma dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana saat serangan dan jangka
panjang (lihat alur tatalaksana di lampiran 2 dan 3)(11,12). Tujuan tatalaksana asma anak
secara umum adalah untuk menjamin tercapainya tumbuh kembang anak secara optimal
sesuai dengan potensi genetiknya. Secara lebih khusus tujuan yang ingin dicapai adalah(10)
:
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal sebagai seorang anak, termasuk
bermain dan berolah raga.
2. Sedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari (tidur tidak terganggu)
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok
pada PEF.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari,
dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sedikit mungkin timbul,
terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Tujuan tatalaksana saat serangan (5):
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Apabila tujuan ini tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya apakah perlu
tingkat pengobatan dinaikkan (step up) atau bahkan perubahan pengobatan atau bila
tujuan telah tercapai dan stabil 1 – 3 bulan apakah sudah perlu dilakukan penurunan pelan
– pelan (step down)(10).
Syarat step up (13):
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asma sudah dilakukan.
2. Pemberian obat sudah tepat susunan dan caranya.
3. Tindakan 1 dan 2 sudah dicoba selama 4 -6 minggu.
4. Efek samping ICS (inhaled cortikosteroid) tidak ada.
ICS baru boleh dinaikkan.
Syarat step down (13):
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik.
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut.
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis terkecil
yang masih dapat mengendalikan asmanya.
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebabnya dan kalau sudah dikoreksi, ICS dapat
diturunkan bersama dengan penambahan LABA dan atau LTRA
2.7.1. Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)
dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan atau
gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada lagi
gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok kedua
adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini
digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas.
Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah tidak ada
lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu 25 % setip
penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu(10).
Obat – obat Pereda (Reliever)(12)
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada anak.
Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus, sel-sel
inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pankreas(12).
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan
terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens mukosilier, penurunan
permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan mediator sel mast(12).
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2 agonis
selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α sehingga
menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi, takiaritmia, tremor,
dan hipertensi(12).
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama pada
jantung dan CNS(12).
β2 agonis selektif(12)
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral: 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum 5mg/kgBB),
interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis
maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek puncak
dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak dicapai
dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada keadaan ini
obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek samping takikardi
lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB setiap 15
menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan dengan
0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi, palpitasi,
dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi, tapi karena
efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini diberikan pada
serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan anticholinergick(12).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor
adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat diabsorbsi setelah
pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM harus dihindarkan karena
menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya adanya makanan dalam lambung
akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat
besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan
masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati, sebagian besar
dieksresi bersama urin. (14)
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi yang
lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia(12).
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan nebulisasi β2
agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis anjuran 0, 1 cc/kgBB,
nebulisasi tiap 4 jam(12).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk usia diatas
6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya adalah kekeringan
atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi
asma jangka panjang pada anak(12).
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan(12) :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan yang
cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan kortikosteroid
hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam. Preparat oral yang di
pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari
diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali sehari(12).
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini bekerja
sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat sintesis eikosainoid,
menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain di jaringan paru dan
menurunkan permeabilitas vascular.(14)
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi kejaringan
paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek mineralokortikoid minimal.
Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam.
Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1
mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam(12).
Obat – obat Pengontrol(3,13)
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin, cromones,
dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling efektif
dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi awal dengan
penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan dalam pengontrolan
asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan. Terapi pemeliharaan dengan
inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi
frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan
kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi
bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis, mencegah
terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi terjadinya down regulation
receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek
samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan
gangguan pada gigi dan mulut.
2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)
Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan mungkin
hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang yang
membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan memakai LTRA
adalah sebagai berikut :
LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap bronkokonstriktor;
Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per hari.,
penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya preparat
montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan transforming
growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan terjadinya fibrosis,
hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan mencegah perubahan
fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
Ada 2 preparat LTRA :
a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali sehari.
(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun dengan dosis
10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat keparahan
asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping obat dapat
mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga perlu pemantauan fungsi
hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol. Pemberian ICS
400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi serangan, FEV1 pagi dan
sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya hiperreaktivitas dan airway remodeling.
Kombinasi ICS dan LABA sudah ada dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone
propionate dan salmeterol (Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide
dalam MDI sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan
obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid yang
bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi ringan SSP,
palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan lambung. Efek
samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai
pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai
10mg/kgBB/hari.
2.7.2 Terapi Suportif(12)
a. Terapi oksigen
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula hidung,
masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen, sebaiknya diukur
dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit sebagai
tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama dengan nebulisasi
salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna menurunkan pulsus
paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi sesak. Campuran helium dan
oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena helium bersifat ringan sehingga dapat
mengubah aliran turbulen menjadi laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah
mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang adekuatnya
asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta efek diuretic teofilin.
Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma berat terjadi peningkatan sekresi
Antidiuretik Hormone (ADH) yan memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan
pleura negatif tinggi pada puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru.
Jumlah cairan yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
4.7.2. Cara Pemberian Obat(10)
UMUR ALAT INHALASI< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler2-4 tahun Nebuliser, Aerochamber, babyhaler
Alat Hirupan (MDI/ Metered Dose Inhaler) dengan alat perenggang (spacer)
5-8 tahun NebuliserMDI dengan spacerAlat hirupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler)
>8 tahun NebuliserMDI (metered dose inhaler)Alat Hirupan BubukAutohaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangu deposisi obat dalam mulut
(orofaring), jadi mengurangi jumlah obat yang akan tertelan sehingga mengurangi efek
sistemik. Sebaliknya, deposisi dalamm paru lebih baik sehingga didapat efek terapeutik
yang lebih baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (Spinhaler, Diskhaler,
Rotahaler, Turbuhaler) memerlukan inspirasi yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan
untuk anak usia sekolah. Sebagian alat bantu yaitu Spacer (Volumatic, Nebuhaler,
Aerochamber, Babyhaler, Autohaler) dapat dimodifikasi dengan menggunakan bekas
gelas atau botol minuman atau menggunakan botol susu dengan dot susu yang telah
dipotong untuk anak kecil dan bayi.
4.7.3. Prevensi dan Intervensi Dini(13)
- Pengendalian lingkungan : menghindarkan anak dari asap rokok, tidak
memelihara hewan berbulu, memperbaiki ventilasi ruangan, mengurangi
kelembaban kamar untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungau.
- Pemberian ASI ekslusif minimal 4 bulan
- Menghindari makanan berpotensi alergen
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai pada anak-anak. Asma
didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut :
timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari (nocturnal),
musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan bersifat reversible baik
secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi pada
pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. Karena asma
merupakan penyakit yang berhubungan dengan imunologi, maka penderita asma dapat
mengalami serangan berulang. Asma dapat diklasifikasikan sebagai asma episodik jarang,
episodik sering, dan asma persisten. Sedangkan jika terjadi serangan, dapat
diklasifikasikan sebagai asma serangan ringan, sedang, dan berat. Serangan asma yang
tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan
serangan asma tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi
dengan pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.
Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari faktor
pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan dengan
dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi terjadinya serangan
asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari penderita asma.
3.2 Saran
1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis dan kriteria diagnosis agar tidak
terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis sehingga penangannya menjadi
lebih tepat dan adekuat.
2. Perlunya pemahaman mengenai penatalaksanaan asma pada saat serangan dan
tidak serangan sehingga dapat meningkatkan quality of life pasien.
3. Perlunya informasi mengenai asma kepada masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
4. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
5. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta:
UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
6. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science (USA);2003.
7. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s Delgado,
Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report : Exercise-
induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville, NJ, Hershey,
Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American Academy of Allergy :
2007
8. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:
Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.85-96.
9. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,
Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.
10. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen
Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta :
Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS, Rusmil
K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta : Badan
Penerbit IDAI; 2005.
12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi
pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi
pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog
Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h. 496-500.
Recommended