View
21
Download
4
Category
Preview:
Citation preview
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Puji syukur penyusun panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida
Sang Hyang
Widhi Wasa, karena berkat asung kertha wara nugraha Beliaulah penyusun dapat
menyelesaikan karya tulis / paper ini tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan paper ini banyak mendapat bantuan-bantuan dari
beberapa pihak baik berupa moril maupun materi. Untuk itu penyusun ingin
mengucapkan terima kasih utamanya kepada Kepala STKIP Agama Hindu
Amlapura, para dosen, teman-teman serta orang tua penyusun yang telah dengan
sabar menuntun penyusun, memberi saran dan kritik serta memberikan bantuan
berupa materi sehingga karya ini dapat terselesaikan.
Dengan telah mendapat bantuan bukan berarti penyusun merasa sempurna
dalam menyusun karya ini, masih banyak kendala serta kekurangan yang dihadapi
penyusun.. Untuk itu, penyusun selalu meminta saran dan kritik yang sifatnya
membangun guna kesempurnaan karya tulis / paper selanjutnya.
Semoga karya tulis / paper ini dapat berguna bagi para pembaca dan bagi
kita semua, utamanya bagi mereka yang memerlukan isi dari karya tulis / paper
ini.
Om Santih, Santih, Santih Om
Amlapura, Januari 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….
DAFTAR ISI…………………………………………………………………
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang……………………………………………… 1
1.2. Rumusan Masalah………………………………………….. 3
1.3. Tujuan Penulisan…………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………. 4
2.1. Tari Wali Sebagai Seni Sakral……………………………… 4
2.2. Pengertian Tari Wali……………………………………….. 5
2.3. Sejarah Tari Wali…………………………………………… 5
2.4. Jenis Tari Wali Dan Pelaksanaannya……………………… 6
BAB III PENUTUP……………………………………………………….. 10
3.1. Kesimpulan………………………………………………….. 10
3.2. Saran…………………………………………………………. 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Seni adalah sebuah karya manusia. Seni dapat berwujud seni tari,
seni gamelan, seni suara dan seni lainnya. Seni selain sebagai hiburan juga
dapat mengiringi pelaksanaan sebuah upacara atau lazimnya sebagai
bagian dari pelaksanaan yadnya. Agama Hindu memiliki tiga kerangka
dasar dalam melaksanakan ajaran-ajarannya yang meliputi : tattwa
(filsafat), etika (susila) dan ritual (upacara). Ketiga landasan tersebut
memberikan jiwa dalam melaksanakan ajaran agama sehingga apa pun
yang dilakukan satu dengan yang lainnya saling berhubungan erat. Seperti
contohnya pergelaran seni dalam pelaksanaan yadnya selalu disertakan
ajaran filsafat yang memiliki makna melaksanakan amal ajaran menuju
dharma yang sejahtera dan damai lahir bathin. Dalam kaitannya dengan
catur marga yaitu bhakti marga, karma marga, jnana marga dan raja
marga, seni dalam pelaksanaan yadnya termasuk dalam bhakti marga.
Termasuk bhakti marga karena manusia menonjolkan karya seninya
seperti seni tari, seni suara dan lain untuk mewujudkan bhakti kepada
Tuhan beserta manifestasinya.
Jadi seni selain sebagai hiburan juga berkaitan erat dengan yadnya.
Dalam pelaksanaan seni acapkali dihubungkan dengan upacara agama
yang penuh mitologi dan makna (nilai filasafatnya).
Seiring perkembangan zaman seni kian hari kian berkembang. Dari
seni yang bersifat tradisional menjadi seni yang modern, kotemporer dan
lebih dinamis. Walaupun pergelarannya tidak meninggalkan unsur seni
yang ada, namun sepuluh tahun ke depan dikhawatirkan akan
mempengaruhi tatanan makna yang ada di dalamnya. Seperti halnya
penggunaan alat-alat masa kini dalam seni yang lebih praktis
penggunaannya seperti alat komunikasi TV, tape atau radio dan lain
sejenisnya. Perkembangan yang ada membuat manusia lebih menjalankan
sesuatu lebih praktis, dimana pengadaan suatu seni cukup dengan
membunyikan tape, menghidupkan TV atau VCD.
Penggunaan alat modern itu sebenarnya mengurangi makna seni
yang ada. makna seni seperti yang diutarakan di atas adalah perwujudan
bhakti. Dimana, bhakti adalah perilaku langsung dari manusia dalam
melakukan sesuatu yadnya yang ditujukan kepada Tuhan dan
manifestasinya. Sehingga penggunaan alat modern dapat mengurangi
makna yang ada. Selain hal tersebut, seni juga berguna bagi manusia
sebagai warna hidup, sebagai mata pencaharian serta memberi hal yang
lebih. Hal yang lebih disini yaitu suatu keindahan yang dirasakan manusia.
Kehidupan masyarakat Bali yang bercorak religius memberi warna
khas tersendiri pada perkembangan sosial budayanya. Ini menyebabkan
Bali ditempatkan sebagai salah satu pusat budaya yang perlu
dikembangkan dan dilestarikan. Bali terlahir dari perpaduan yang serasi
antara agama Hindu, adat istiadat, pandangan hidup, seni dan lembaga-
lembaga sosial kemasyarakatan sebagai penduduknya. Ini dapat dibuktikan
dengan tata kehidupan masyarakat Bali baik dalam pengorganisasian
masyarakat, ilmu pengetahuan, sastra, tata bahasa, seni, adat intiadat dan
kehidupan kerohanian.
Tradisi besar Bali terikat oleh suatu kontak atas kesadaran dari
suatu pandangan yang bersumber pada ajaran agama Hindu dalam bentuk
Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu Tatwa (Filsafat), Susila (Etika),
dan Ritual (Upacara). Ketiganya tidak bisa berdiri sendiri, walaupun
terbagi-bagi tetap dalam aplikasinya merupakan jaminan yang tidak bisa
dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dan selalu dilaksanakan oleh
Umat Hindu. Ritual (Upacara) dalam disebut dengan Panca Yadnya.
Panca Yadnya adalah lima macam korban suci patut dipersembahkan oleh
umat hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta
manifestasinya.
Pelaksanaan Panca Yadnya merupakan suatu cara yang dilakukan
oleh umat Hindu untuk melaksanakan kewajiban, karena sejak lahir
manusia telah membawa hutang yang disebut dengan Tri Rna.
Dalam implementasinya di lapangan sebuah upacara yadnya
diiringi dengan salah satu atau lebih cabang seni yang ada di Bali yang
dikenal dengan seni sacral. Disebut seni sacral arena seni tersebut
dikeramatkan dan dipentaskan karena upacara tertentu. Seperti halnya tari
rejang yang merupakan bagian dari tari wali, pementasannya sering
dikaitkan dengan upacara dewa yadnya.
Masih awamnya fikiran manusia terkadang mereka tidak
megetahui makna apa yang mereka lakukan. Begitu juga dengan
pelaksanaan yadnya yang mereka lakukan, mereka masih beranggapan
gugon tuwon.
Dalam sebuah pelaksanaaan yadnya dan pelaksanaan seni sakral
(pengiring yadnya) yang ada baik berupa seni tari, seni suara ataupun seni
tabuhnya akan menyesuaikan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra
(keadaan) yang ada di daerah tersebut. Hal itu tergantung dari daerah
tersebut, bagaimana masyarakat mengolah dan mewujudkannya sesuai
dengan bhaktinya serta kemampuannya. Dalam hal ini kesenian itu dapat
terletak dalam kaitannya dengan adat.
Tari wali yang merupakan bagian dari seni sakral bukan hanya
sebagai seni biasa yang merupakan hiburan semata, tetapi juga termasuk
kebudayaan yang perlu dikembangkan, termasuk adat serta termasuk
rangkaian agama yaitu sebagai pengiring suatu yadnya. Sakral artinya suci,
magis atau keramat. Jadi seni tersebut sangatlah memiliki arti yang
penting dan berkaitan dengan persembahan yadnya serta bhakti manusia
dan perlu dilestarikan. Selain itu, ajaran agama Hindu dari segi apapun
memiliki niali yang sangat kompleks dan bersifat universal. Karena ajaran
agama Hindu dapat menjangkau siapapun dan diterima oleh siapapun serta
memiliki aneka ragam bentuk dan nilai-nilai di dalamnya.
Mengingat hal itu, perlu kiranya dibuat sebuah tulisan yang
mengungkapkan sedikit tentang seni dalam pelaksanaan yadnya tersebut
khususnya seni tari di Bali yang lebih dikenal dengan tari wali. Karya ini
diharapkan dapat memberikan sedikit arti tentang makna seni dalam
yadnya. Penulis mengharapkan keberadaan seni, lebih-lebih seni sakral
(pengiring yadnya) tidak semakin sirna atau pudar baik dari segi
pelaksanaan maupun keberadaannya. Segala yang terkandung dalam
ajaran agama Hindu tentunya memiliki nilai pendidikan tersendiri. Begitu
halnya dengan tari rejang ini, yang tentunya juga memiliki nilai-nilai
pendidikan. Maka dengan itu, perlu adanya sebuah kajian yang
mengangkat tentang nilai-nilai pendidikan dalam ngerejang pada saat Aci
Manggung di Desa Adat Bugbug.
1.2 Identifikasi Masalah
Dalam neyusun karya ilmiah ini dapat diidentifikasi permasalahan-
permasalahan yang timbul dan dihadapi antara lain sebagai berikut: apa makna
suatu upacara yadnya yang dilakukan oleh masyarakat? Apakah makna tari wali
atau tari sacral dalam pelaksanaan upacara ? Seni yang ada di Bali apakah hanya
bersifat tontonan? Bagaimana perkembangan seni sacral yang ada di Bali? nilai
apakah yang terdapat dalam suatu pertunjukan seni di Bali? bagaimana nilai-nilai
pendidikan dalam seni sakral yang ada di Bali? Bagaimana nilai-nilai pendidikan
yang terkandung dalam tari wali yang ada di Bali?
1.3 Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, adapun rumusan masalah
dalam paper ini yaitu :
1.3.1 Bagaimanakah sejarah tari rejang?
1.3.2 Bagaimanakah rangkaian upacara dalam pergelaran tari rejang dalam
Aci Manggung di Desa Adat Bugbug?
1.3.3 Apakah nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ngerejang pada
Aci Manggung di Desa Adat Bugbug.
1.4 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam paper ini yaitu :
1.4.1 untuk mengetahui sejarah tari rejang?
1.4.2 Untuk mengetahui rangkaian upacara dalam pergelaran tari rejang
dalam Aci Manggung di Desa Adat Bugbug?
1.4.3 Untuk mengetahui Apakah nilai-nilai pendidikan yang terkandung
dalam ngerejang pada Aci Manggung di Desa Adat Bugbug.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kerangka Berfikir berdasarkan Kajian Teori
Suatu pelaksanaan upacara yadnya di Bali terkandung banyak nilai
tergantung dari segi mana kita melihatnya. Rejang dalam di Desa Adat
Bugbug yang pergelarannya dikaitkan dengan upacara yang ada di Desa
tersebut tentunya juga memiliki nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut cukup
beragam. Manusia sebagai manusia jaman ini harus dapat melihat sesuatu
bukan hanya dari segi keindahannya saja tetapi juga mestinya melihat nilai
pendidikannya. Karena di jaman yang serba berkembang ini, diperlukan
adanya pemahaman-pemahaman guna meningkatkan sradha atau
keyakinan kita. Seperti halnya tari rejang tentunya terdapat nilai-nilai
pendidikannya. Dalam ajaran agama Hindu, kita mengenal desa kala patra
dimana semua kegiatan yadnya tentunya berbeda-beda antara satu sama
lain, baik makna pergelaran dan niali-nilainya.tergantung tempat atau desa,
waktu, serta keadaan yang terjadi. Untuk itu, perlu dibuat suatu kajian
tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ngerejang pada Aci
Manggung di Desa Adat Bugbug.
2.2 Tari Wali Sebagai Seni Sakral
Seni sakral merupakan seni yang berkaitan dengan pelaksanaan
yadnya (upacara agama), yang pelaksanaannya dihubungkan dengan
kekuatan gaib dari alam semesta sehingga menimbulkan emosi
keagamaan. Seni Sakral di Bali disebut dengan ”wali” karena
pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan pelaksanaan upacara agama. Dari
segi etimologi seni sakral berasal dari dua kata seni dan sakral. Seni
artinya indah, sesuatu yang memiliki nilai keindahan. Sedangkan sakral
artinya suci atau keramat, memiliki nilai magis. Jadi seni sakral berarti
hasil karya manusia yang indah serta dikeramatkan karena mengandung
kekuatan gaib dan mempunyai hubungan dengan pelaksanaan yadnya.
Selain hal tersebut seni sakral terkait dengan mitologi upacara, gamelan,
nyanyian sehingga sesuai dengan ajaran agama. Jenis seni sakral yaitu seni
tari / tari wali, seni tabuh / gamelan, seni suara / gending, dan seni
bangunan / arsitektur.
Tari wali di Bali sebagai contohnya rejang, pendet, sanghyang dan
lain sebagainya dipentaskan dalam pelaksanaan agama. Pergelaranya harus
berkaitan dengan upacara tersebut. Tari wali dikeramatkan karena
dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dipengaruhi oleh alam semesta.
Di dalamnya mencakup seni, hiburan, adat, agama serta nilai kebudayaan.
Selain itu keberadaan tari wali ini secara nyata sangat dikermatkan sehigga
pergelarannya pun memilih waktu tertentu pula, yaitu terkait pelaksanaan
yadnya. Oleh karena itu, seni tari wali merupakan bagian dari seni sakral
yang ada utamanya di Bali. Kesakralan dalam tari wali umumnya terletak
pada :
1. Peralatan yang dipergunakan
Sebagai contoh : Tari pendet dengan canang sarinya, pasepan
dan tetabuhan yang dibawa oleh penari. Tari rejang dengan
gelungnya serta benang penuntun yang dililitkan pada tubuh si
penari. Topeng Sidakarya dengan beras sekaruranya dan lain
sebagainya.
2. Pada penari atau pelaksanaannya
Umumnya kesucian penari merupakan syarat yang memegang
peranan penting disamping peralatan yang digunakan. Penari
tari wali ini sepatutnya dilaksanakan oleh orang yang sudah
maeinten atau disucikan secra ritual atau penari masih gadis
atau jejaka atau orang tua yang telah habis masa haidnya.
2.2.1 Pengertian Tari Wali.
Tari wali adalah jenis tarian yang dikeramatkan oleh umat Hindu
karena pelaksanaannya yaitu sebagai pengiring dalam pelaksanaan yadnya.
Tari wali dikeramatkan karena dianggap mempunyai kekuatan gaib yang
dipengaruhi oleh alam semesta. Jadi tari wli adalah tari suci keagamaan
yang khusus dipergunakan sebagai bagian pelaksanaan upacara
keagamaan.
2.2.2 Sejarah Tari Wali.
Sejarah tari wali dikaitkan dengan mitologi agama sehingga
melalui penelitian ilmiah sulit dilaksanakan, hal tersebut menyebabkan
kita tidak tahu sejak kapan tarian tersebut mulai ada. adanya mitologi
tersebut bertujuan untuk tetap menjaga kesakralan atau kesucian tari wali
tersebut dan memantapkan pelaksanaan upacara keagamaan sehingga lebih
bermakna. Seni tari di Bali dikenal salah satu jenis tari yaitu tari wali.
Walaupun tari wali atau tari sakral merupakan ciptaan manusia, dimana
manusi yang membuat dan manusia yang menyucikannya. Namun hal
tersebut sudah menjadi kensensus sebagai suatu tarian keagamaan maka
manusia harus menghormatinya, lebih-lebih hal itu adalah wujud bhakti
manusia kepada Tuhan dan manifestasinya.
Sejarah tari wali bila kita lihat dari segi struktur kebudayaan di
dunia, tari wali di Bali dan Jawa memiliki persamaan dengan tari di India.
Hal tersebut dapat dilihat dari gerakan tangannya, yang menyerupai
gerakan mudra. Menurut mitologinya di India tarian diciptakan oleh Dewa
Brahma dan sebagai penarinya adalah Dewa Ciwa yang terkenal dengan
nama tarian Ciwa Natya Raja, dimana beliau memutar dunia ini dengan
gerakan mudranya yang mempunyai kekuatan gaib.
Di Bali juga disebutkan demikian yaitu dalam lontar Siwagama,
Tantu Pagelaran dan Saripurana disebutkan bahwa tari wali diciptakan
oleh Dewa Brahma dan ditarikan oleh Dewa Ciwa. Oleh Dewi Uma tarian
ini dipelajri sehingga Dewa Ciwa bergelar Bhatara Guru. Ciwa memutar
dunia ini dengan gerakan mudra. Lain halnya dalam lontar Usana Bali
diterangkan bahwa untuk melawan kekuatan Mayadenawa melarang
manusia untuk menyembah Tuhan dan para Dewa, karena Tuhan tidak
pernah memberikan apa-apa. Sehingga Dewa Indra bersama widyadara -
widyadari serta diiringi oleh prajuritnya menggempur Mayadenawa.
Pertempuran dimenangkan oleh Dewa Indra dan dirayakan dengan
sukacita. Widyadara menarikan tari baris, widyadari menarikan tari rejang
sedangkan gandharwa dan prajurit membawakan tabuh gegaboran
(baleganjur), dengan memukulkan alat-alat perangnya dan dilengkapi
dengan tiupan seruling, selonding dan rebab. Sehingga dari sejak itulah
dalam setiap piodalan atau upacara agama diharapkan menarikan tari
rejang dan atau tari sakral lainnya.
2.2.3 Jenis Tari Wali Dan Pelaksanaannya.
a. Tari Rejang
Dalam lontar Usana Bali disebutkan bahwa rejang adalah simbol
widyadari yang turun ke dunia menuntun Ida Bhatara pada waktu melelasti
atau tedun kepeselang. Oleh karena itu maka penarinya terdiri dari daha-
daha atau gadis-gadis yang belum kawin. Tari rejang dipentaskan pada
waktu upacara dewa yadnya. Ada beberapa jenis tari rejang yaitu : rejang
renteng, rejang lilit, rejang bangkul, rejang oyod padi, rejang bregong,
rejang alus, rejang nyangnyingan, rejang luk penyalin, rejang glibag ganjil,
rejang dewa dan rejang pakenak. Dalam pelaksanaannya diiringi oleh
gabor, misalnya gabor longgor, gabor salisir, gabor babancangan dan
gabor ganjur. Bagian terakhir dari tari rejang biasanya diikuti oleh tari
perang yang menggunakan bermacam-macam senjata seperti tombak,
gada, cakra, bajra, bandrang dan lain sebagainya.tari perang diakhiri oleh
siratan tirtha amertha oleh sang sulinggih.
Komposisi pakaian penari rejang tidak jauh degan pakaian yang
digunakan pada sembahyang. Laki-laki memakai destar, baju, sahut umpal
atau ambed dan kain biasa. Perempuan memakai bunga emas atau bunga
segar biasa di rambutnya, berbaju kebaya, sasenteng dan berkain biasa.
Diantara tari rejang yang ada, tari rejang renteng mempunyai ciri khusus
yaitu jempana sebagai linggih Ida Bhatara dituntun dengan benang
panjang diikatkan pada pinggang si penari.
Mengenai gerakannya, tarian ini memeiliki kebebasan yang
disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Dalam upacara Pangider
Bhuana, penarinya menari mengelilingi sesajen / upakara, berputar-putar
sambil menuruti arah pradaksina.
b. Tari Pendet
Tari pendet melambangkan melambangkan persembahan kepada
dewa, dimana para penarinya membawa alat-alat upacara yang akan
dipersembahkan kepada Bhatara. Jenis alat upacara yang dibawa adalah
canang pesucian, canang pengeresikan, pasepan, tetabuhan dan
sebagainya. Tarian pendet dibawakan oleh para pemuda dan pemudi atau
oleh orang yang telah mawinten dan para pemangku. Pelaksanaannya
dilaksanakan di halaman pura. Tarian ini diperuntukan untuk mendak /
nuur Ida Bhatara diiringi gamelan ganjur / gong gede, sering juga dipakai
untuk mendak tirta. Disamping tari pendet biasa, juga dikenal baris pendet
atau baris gayung yang terdiri dari beberapa orang berpakaian baris dan
membawa alat-alat pesucian, canang sari maupun punia. Fungsinya sama
dengan tari pendet biasa. Dahulu tarian ini dipertunjukan pada upacara-
upacara besar.
c. Tari Baris
Tari Baris melambangkan suatu kepahlawanan, dimana tarian ini
dilakukan pada upacara maprani, upacara makincang kincung dan mabiasa
serta upacara dewa yadnya dan butha yadnya yang menggunakan sarana
pecaruan (korban). Senjata yang dibawa oleh penari baris adalah tombak,
tamyang atau perisai, cabang kayu dapdap, yang semuanya itu
mengagungkan suatu kepahlawanan. Dahulu juga dipentaskan dalam
kaitannya dengan upacara pitra yadnya. Adapun makna mitologi yang
terkandung adalah kemenangan Dewa Indra melawan Mayadenawa, yaitu
kemenangan dharma melawan adharma. Jenis-jenis tari baris yang
termasuk tari wali yaitu : baris dapdap, baris presi, baris kuning, baris
tombak, baris jojor, baris pendet, baris tamiang, baris dangkur dan baris
jangkang.
d. Tari Sanghyang
Tari Sanghyang adalah tari kerauhan yang ditarikan di dalam
keadaan tidak sadar diri. Tari ini mempunyai arti magis yaitu penolak
bahaya untuk keselamatan desa dan malapetaka karena adanya wabah
penyakit, bencana alam dan sebagainya. Dalam Lontar Kecacar yang
merupakan anugerah Ida Bhatara Gunung Agung kepada Empu Kuturan
disebutkan bahwa tarian Sanghyang Dedari merupakan tarian penolak
”kecacar” dan “grubug” (sampar). Dalam Lontar Tantu Pagelaran
disebutkan bahwa Bhatara Ghana memelihara para widyadara-widyadari
sebagai penari di sorga, para widyadara-widyadari tersebut melambangkan
penari Sanghyang. Selain itu, juga disebutkan bahwa kalau musim
‘grubug” (penyakit sampar) dimana para Bhutakala berkeliaran, kemudian
dipentaskan tarian Sanghyang dengan banten caru dan tunggul Ghana,
maka para Bhutakala akan takut melihat bhatara Ghana ada disana. Tarian
ini hanya diiringi nyanyian-nyanyian atau vokal. Dimana nyanyian-
nyanyian itu sebagai irama dari tarian Sanghyang. Penari menari sesuai
dengan keinginan nyanyian Sanghyang. Jenis tarian Sanghyang
diantaranya adalah : Sanghyang Dedari, Sanghyang Bojog, Sanghyang
Kerek, Sanghyang Celeng, Sanghyang Jaran Gading, Sanghyang Memedi,
Sanghyang Teter, Sanghyang Sri Putut, Sanghyang Tutup, Sanghyang
Lesung, Sanghyang Dongkang, Sanghyang Sampat, Sanghyang Kuluk,
Sanghyang Prahu, Sanghyang Capah, dan Sanghyang Lelipi.
2.3. Pengertian Nilai
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata nilai berarti keragaman
konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan bagi warga masyarakat
bersangkutan. Nilai juga dapat diartikan suatu kegiatan manusia dalam kehidupan
agama menuju ke arah perkembangan yang lebih baik.
2.4. Pendidikan Agama Hindu
2.4.1. Pengertian Pendidikan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia istilah pendidikan berarti proses
pengolahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan
merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia yang
berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat. Dapat juga dikatakan pendidikan adalah proses bantuan
atau pertolongan yang diperoleh secara sengaja oleh orang dewasa kepada peserta
didik yang belum dewasa untuk meningkatkan kepribadian dengan jalan membina
potensi-potensi pribadinya yaitu : cipta, rasa, karsa untuk memenuhi kebutuhan
jasmani maupun rohaninya, sehingga terbentuklah manusia berpikiran, bermental,
dan berkepribadian baik serta dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam
keluarga, bangsa dan Negara serta mencegah atau menghilangkan potensi bakat
yang tidak baik.
2.4.2. Pengertian Pendidikan Agama Hindu
Pendidikan Agama adalah usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan
pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda
agar kelak menjadi manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kepribadian yang utuh yang memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran
agama dalam kehidupannya. Pendidikan agama adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak didik menuju tercapainya manusia
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan Agama Hindu di luar
sekolah merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa raga
masyarakat dengan ajaran agama Hindu itu sendiri sebagai pokok materi.
2.4.3.Tujuan Pendidikan Agama Hindu
Tujuan agama diturunkan kedunia adalah untuk menuntun umat manusia
dalam mencapai kesempurnaan hidup berupa kesucian bhatin, tingkah laku dan
budi pekerti yang luhur yang memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan materi
pada manusia serta mahkluk lainnya yang disebut Jagadhita.
Tujuan Pendidikan Agama Hindu disekolah membentuk manusia
Pancasilais Yang astiti bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan
membentuk moral, etika serta spiritual anak didik yang sesuai dengan ajaran
Agama Hindu.
2.5 Analisa
Dalam mencari atau meggali suatu informasi hendaknya selain
berpegang pada pegangan pustaka juga harus dapat melakukan observasi dan
wawancara dimana tempay kajian dalam paper atau karya tulis ini. Karena suatu
pembuatan karya hendaknya tidak mengabaikan unsur kebenaran yang ada, tidak
bisa hanya bersumber dari penulis saja. Setelah mencari dan mengumpulkan data,
langkah selanjutnya adalah menganalisanya. Penganalisaan yang dapat digunakan
dapat dilakukan dengan cara menyusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu
kesimpulan umum.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan tersebut
yaitu :
3.1.1. Seni sakral merupakan seni yang berkaitan dengan pelaksanaan
yadnya (upacara agama), yang pelaksanaannya dihubungkan
dengan kekuatan gaib dari alam semesta sehingga menimbulkan
emosi keagamaan. Termasuk di dalamnya adalah seni tari yaitu tari
wali.
3.1.2. Tari wali adalah jenis tarian yang dikeramatkan oleh umat Hindu
karena pelaksanaannya yaitu sebagai pengiring dalam pelaksanaan
yadnya.
3.1.3. Sejarah tari wali dikaitkan dengan mitologi yaitu tarian diciptakan
oleh Dewa Brahma dan sebagai penarinya adalah Dewa Ciwa yang
terkenal dengan nama tarian Ciwa Natya Raja, dimana beliau
memutar dunia ini dengan gerakan mudranya yang mempunyai
kekuatan gaib. Dalam lontar Usana Bali diterangkan bahwa
kemenangan Dewa Idra m,elawan Mayadenawa yang dirayakan
dengan tari-tarian, seperti rejang dan baris.
3.1.4. Jenis tari wali yaitu : Tari Rejang, Tari Pendet , Tari Baris, Tari
Sanghyang.
3.2. Saran
Saran penulis yaitu :
3.2.1. Masyarakat hendaknya sadar arti penting seni sakral khususnya tari
wali, yang perlu dilestarikan tanpa mengurangi maknanya.
3.2.2. Tarian tidak hanya sebagai hiburan tapi menunjang segala aspoek
kehidupan, untuk itu perlu dilestarikan.
DAFTAR PUSTAKA
Wirnata, I. K. 2007. Seni Sakral. Amlapura : STKIP Agama Hindu
Amlapura.
Putra, I G. A. G. -------. Tari Wali. Denpasar ; Sudamani.
Sudhirga, I.B. 2004. Widya Dharma Agama Hindu Pelajaran Agama Hindu
Untuk Kelas XII SMA. Bandung : Ganeca Exact.
Buku I Nyoman Djayus, BA. Dasar-dasar Dalam Tari. Judul Penerbit dan
tahun terbit tidak dicantumkan.
Alwi, Hasan (eds). 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Said, H.M. 1985. Ilmu Pendidikan. Bandung: Alumni.
Recommended