View
17
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1 | Modul Penanganan TPPU dan APA
MODUL PENANGANAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN
TINDAK PIDANA ASAL Tim Penyusun Muhammad Yusuf R. Narendra Jatna KBP Sundari KBP Agung Setya, SIK AKBP Muh. Anwar R AKBP Hady Poerwanto Syarief Nahdi Eko Setiawan Dado Achmad Ekroni Ineke Indraswati Fadjar Donny Tjahjadi Winarko Dian Subagyo Agus Waluyo Sulaiman Theo Erbinar P. Sinurat Wahono Saputro Zeini Aswin AKBP Sri Anna Rudyono Ian Florindo Robert D. Deo Arinta Luthri Handini Riono Budisantoso Ivan Yustiavandana Rizki Addwiansyah Agus Mulyana Fathan Luthfi Rachmawati Muhammad Novian Marina Ayu Harsuci Nadia Safitri Ni Komang Wiska Ati Afra Azzahra
RESENSI
Modul ini telah dijadikan sebagai materi dasar dalam pelatihan terpadu (workshop) bagi berbagai elemen dari rezim anti pencucian uang di Indonesia, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), para penyidik TPPU (Polri, KPK, BNN, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak), penuntut umum (Kejaksaan RI), dan hakim. Modul yang berbentuk buku ini diharapkan dapat dijadikan manual bagi para peserta workshop dalam memahami penanganan TPPU dan tindak pidana asalnya serta penelusuran dan pengembalian aset hasil tindak pidana dari perspektif lembaga‐lembaga penegak hukum sesuai kewenangan masing‐masing.
Modul sejenis pernah dibuat setahun sebelumnya (2011). Sejak awal penyusunannya, modul ini telah dilakukan perbaikan terus menerus, baik dari segi teknik penulisan maupun penambahan dan penyempurnaan materi dari lembaga‐lembaga penegak hukum di bidang penyidikan dan penuntutan yang terlibat dalam penanganan tindak pidana asal maupun TPPU. Beberapa materi penyempurnaan antara lain penegasan kembali mengenai perlunya menggabungkan tindak pidana asal dengan TPPU sejak dari penyidikan dalam rangka asset recovery, pelaksanaan fungsi pemeriksaan yang dilakukan oleh PPATK, tipologi, serta penyidikan maupun penuntutan tindak pidana asal dan TPPU. Modul yang telah direvisi ini dirubah judulnya menjadi “Modul Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Asal”.
Modul ini terdiri atas sepuluh bagian. Bagian Kesatu adalah silabus workshop terpadu yang memuat latar belakang perlunya penyusunan modul ini, sasaran umum dan khusus, dan lain sebagainya.
Disain & Tata LetakPerpustakaan PPATK Cetakan pertama, Juni 2012 vi + 315 hlm + indeks Penerbit Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Jl. Juanda No. 35 Jakarta 10120 Indonesia Telephone: +6221‐3850455, Facsimili: +6221‐3856009 Website: www.ppatk.go.id, Email: contact‐us@ppatk.go.id
2 | Modul Penanganan TPPU dan APA
Bagian Kedua adalah berupa pengantar untuk memahami pola penanganan TPPU secara terpadu. Di sini dijelaskan bahwa pola penanganan suatu perkara apabila mengikuti pola penanganan suatu perkara apabila mengikuti pola sistem kompartemen sebagaimana tergambar dalam KUHAP maka seolah penanganan suatu kasus/perkara terkotak‐kotak dalam tahap penyidikan, persidangan, dan eksekusi. Kompartementalisasi (pengotak‐kotakan) penanganan suatu perkara akan membawa akibat terutama dalam konteks pelacakan dan pengembalian aset hasil tindak pidana, khususnya dalam tahapan eksekusi. Kegagalan eksekusi suatu aset hasil tindak pidana dapat terjadi akibat dari pola penanganan dari penyidikan yang tidak tepat.
Bagian Ketiga merupakan uraian ringkas mengenai rezim anti pencucian uang di Indonesia. Pada bagian ini dijelaskan bahwa dalam penyelidikan dan penyidikan financial crime, atau tindak pidana yang dilakukan dengan tujuan mencari uang atau kekayaan menggunakan pendekatan follow the money dan juga follow the suspect. Pendekatan follow the money merupakan istilah lain bagi pendekatan Rezim Anti Pencucian Uang (AML Regime). Pendekatan follow the money mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil tindak pidana diperoleh melalui pendekatan analisis transaksi keuangan (financial analysis) kemudian baru dicari pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan. Dalam melacak terjadinya transaksi keuangan yang mencurigakan, pelacakan dapat dilakukan ke belakang untuk mengetahui sumber dananya. Demikian juga pelacakan ke depan untuk mengetahui siapa lawan transaksi, yang menerima atau menikmati hasil transaksi tersebut. Pelacakan dapat dilakukan semaksimal mungkin, sesuai kebutuhan untuk mencari adanya indikasi tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Hasil financial analysis ini dapat memberikan petunjuk atau indikasi mengenai dugaan adanya suatu tindak pidana telah dilakukan oleh seseorang. Namun demikian, financial analysis belum dapat memastikan terjadinya suatu tindak pidana dan bukan merupakan alat bukti terjadinya tindak pidana tersebut. Kedua hal terakhir ini merupakan tugas penyidik yang menerima hasil financial analysis tersebut dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Bagian Keempat adalah deskripsi mengenai peran dan fungsi PPATK sebagai national vocal point dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU di Indonesia. Dalam hal ini, PPATK merupakan financial intelligence unit (FIU) yang bertugas melakukan proses intelijen dan menyampaikan informasi intelijen keuangan kepada pihak penyidik untuk digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti suatu dugaan tindak pidana. Informasi intelijen keuangan tersebut dihasilkan oleh PPATK setelah sebelumnya melakukan analisis terhadap Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT), Laporan Transfer Dana yang dikirimkan oleh PJK (bank dan non bank), Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT) dari Dirjen Bea dan Cukai, dan Laporan Transaksi dari Penyedia Jasa dan/atau Barang (PJB).
Bagian Kelima adalah uraian penyelidikan dan penyidikan TPPU oleh Polri. Bagian ini menjelaskan bagaimana Polri menindaklanjuti Hasil Analisis (HA) yang telah disampaikan oleh PPATK. Penanganan Hasil Analisis (HA) yang disampaikan oleh PPATK tersebut lebih kepada tata cara dan proses tahap penyelidikan dan penyidikan TPPU, serta hal‐hal lain yang secara spesifikasi harus dilakukan pada penanganan TPPU.
Bagian Keenam adalah penanganan tindak pidana korupsi oleh KPK dan kaitannya dengan TPPU. Pada bagian ini diuraikan bahwa pelaku tindak pidana korupsi umumnya menyamarkan dan menyembunyikan harta kekayaaan yang diperolehnya sebelum dinikmati atau digunakan, yang masuk dalam ruang lingkup TPPU. Pemahaman terhadap proses penyidikan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime) dari TPPU akan menjadi kunci keberhasilan dalam upaya menelusuri dan mengembalikan kerugian negara (asset recovery) yang timbul akibat tindak pidana korupsi, serta memperberat hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi dan TPPU. Untuk itu perlu peningkatan kompetensi penegak hukum dalam penanganan TPPU dan tindak pidana korupsi secara berkesinambungan melalui berbagai kegiatan pelatihan, diskusi, kerjasama dan koordinasi antar lembaga.
Bagian Ketujuh adalah penyidikan TPPU dan narkotika oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Dalam rangka penyelamatan aset hasil tindak pidana (proceed of crimes), sesuai dengan Pasal 80 Undang‐Undang
3 | Modul Penanganan TPPU dan APA
Narkotika, penyidik BNN memiliki peran penting. Dalam hubungan ini, penyidik BNN diberikan kewenangan memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening simpanan yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait, kemudian memblokir harta kekayaan tersangka baik berupa benda bergerak tidak bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, menghentikan sementara untuk suatu transaksi keuangan, perdagangan, dan perjanjian lainnya berdasarkan bukti permulaan yang cukup ada hubungan dengan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, untuk meminta keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa penyidik BNN dapat meminta langsung kepada bank atau penyedia jasa keuangan (PJK) lainnya .
Bagian Kedelapan adalah uraian tentang penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan dan cukai oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Peran direktorat ini juga cukup penting dan strategis dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia alam hal pengawasan pembawaan uang tunai keluar‐masuk wilayah NKRI, yang telah menjadi isu penting yang harus dicermati oleh semua negara. Dalam hubungan ini, Pasal 34 dan Pasal 35 UU TPPU telah menetapkan suatu kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan pembawaan uang tunai baik dalam rupiah maupun mata uang asing dan/atau instrumen pembayaran lain dalam bentuk cek, cek perjalanan, surat sanggup bayar, atau bilyet giro paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia wajib memberitahukannya kepada DJBC berikut dengan sanksi administrasi berupa denda yang dikenakan kepada setiap orang yang tidak benar dalam melaporkan pembawaan uang tunai atau instrument pembayaran lainnya. Selanjutnya, oleh DJBC laporan tersebut diteruskan ke PPATK untuk dijadikan bahan analisis.
Bagian Kesembilan mengurai penyidikan pajak dan TPPU oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pada bagian ini ada dikemukakan bahwa “pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama bagi sebagian besar negara termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri sesuai dengan APBN tahun 2011, dari total anggaran pendapatan negara sebesar Rp 1.104 triliun, kurang lebih 69% atau Rp 764 triliun anggaran pendapatan negara dibiayai dengan penerimaan pajak. Mengingat pentingnya peranan pajak, maka segala perbuatan dalam bidang perpajakan yang dapat merugikan pendapatan negara harus dicegah”. Meskipun PPNS pada Direktorat Jenderal Pajak termasuk penyidik TPPU berdasarkan UU TPPU, namun berdasarkan Pasal 44B UU KUP penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dihentikan oleh Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan untuk kepentingan penerimaan Negara. Dalam hal ini, PPNS lebih mengutamakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan karena sesuai dengan asas ultimum remedium dan sifat perpajakan yaitu administrative penal.
Bagian Kesepuluh sebagai bagian yang terakhir adalah uraian mengenai penututan perkara tindak pidana asal dan TPPU oleh Kejaksaan RI. Pada bagian ini ditegaskan perlunya pemahaman yang benar dalam penyidikan TPPU dengan tindak pidana lainnya sebagai tindak pidana asal, dimana feit TPPU harus dipandang sebagai feit yang berbeda. Untuk itu, dalam tim penyidik harus dibagi tugas antara tim yang mendalami tindak pidana asal dan tim yang mendalami TPPU. Dasar pemikirannya adalah karena penyidikan tindak pidana asal seperti korupsi lebih kepada pendekatan in‐personam (against person), sedangkan penyidikan TPPU lebih menggunakan pendekatan in rem (against asset) yang menggunakan pendekatan follow the money.
Jakarta, 7 Juni 2012
Edi Nasution
Recommended